Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Chapter 1: Suara yang Meminta Pertolongan
Sekitar dua puluh menit berlalu sejak aku tertidur karena kelelahan.
Entah kenapa, suara di sekitarku terasa mengganggu, membuatku terbangun.
Ada apa ini? Apa ada anak kecil yang menangis dan berteriak? Atau mungkin ada kakek aneh yang bernyanyi?
Aku membuka mataku yang masih berat dan melihat sekeliling…
Hal pertama yang langsung tertangkap oleh pandanganku adalah orang-orang yang berlari panik, seolah-olah berusaha melarikan diri dari sesuatu. Bahkan dalam keadaan baru bangun, aku bisa langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Melihat wajah mereka yang ketakutan, keringat dingin mengalir di pelipis mereka saat mereka berlari sekuat tenaga ke arah gerbong depan.
Apa yang terjadi? Ada apa ini?
Aku masih belum memahami situasinya, sampai akhirnya suara teriakan seorang pria paruh baya dengan setelan kerja menyadarkanku.
"Ada penyerang acak! Semua, lari!!"
Begitu mendengar kata penyerang acak, aku sempat berpikir kalau ini mungkin masih dalam mimpi.
Aku mencubit pipiku untuk memastikan—dan rasanya sakit.
Kucoba lagi beberapa kali, dan tetap terasa sakit.
Jadi… ini bukan mimpi?
Saat aku menyadari bahwa ini bukan dunia mimpi, melainkan kenyataan…
Aku langsung berdiri dari tempat duduk dan ikut berlari ke arah gerbong depan, mengikuti arus orang-orang yang panik.
Seperti daun kering yang terseret arus sungai, aku hanya bisa berlari tanpa berpikir.
Saat aku menoleh ke belakang, masih banyak orang yang berusaha kabur.
Tapi di ujung sana…
Seorang pria berjalan tertatih-tatih ke arah kami, menggenggam sebilah pisau tajam sepanjang tiga puluh sentimeter di tangannya.
Di ujung pisau itu, samar-samar terlihat noda darah. Mungkin dia sudah melukai beberapa orang.
Pria itu berpenampilan berantakan dengan rambut acak-acakan dan tubuh yang kurus kering. Yang lebih mengerikan, dia menyeringai lebar.
Sial… ini benar-benar pembunuh psikopat!
Ini gawat. Situasi ini benar-benar berbahaya!
Mungkin ada seseorang yang sudah menelepon polisi, dan kemungkinan besar petugas sudah menunggu di stasiun berikutnya.
Tapi sampai saat itu tiba, apa yang harus kami lakukan?
Siapa yang bisa menghentikan pria gila itu?
Kereta masih berjalan, artinya kami tidak bisa keluar. Sampai kereta tiba di stasiun berikutnya, satu-satunya yang bisa kami lakukan hanyalah terus berlari ke gerbong depan.
Sial! Cepatlah sampai di stasiun berikutnya!
Kenapa harus terjadi sebelum aku sempat turun?!
Brengsek! Mati di hari aku selesai ujian itu terlalu menyedihkan!
Aku masih punya banyak hal yang ingin kulakukan, banyak hal yang ingin kualami!
Aku tidak mau mati!
Dengan gigi yang terkatup erat karena frustrasi, aku terus berlari sekuat tenaga.
Lalu tiba-tiba—
"Kyaaa!!"
Terdengar suara jeritan seorang gadis dari arah depan.
Aku segera menoleh ke arah suara itu, dan melihat gadis cantik yang tadi duduk di depanku terjatuh di lantai.
Sepertinya dia tersandung saat berusaha melarikan diri. Karena terlalu banyak orang yang berdesakan, kakinya tertabrak, membuatnya sulit untuk bangkit kembali.
Aku melihatnya sekilas saat berlari melewatinya…
Dan jujur saja, aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Dia tidak berada dalam jangkauan tanganku. Bahkan jika aku ada di dekatnya, melawan arus orang-orang yang panik hanya untuk menolongnya adalah hal yang mustahil.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku menoleh ke arah gerbong yang lebih aman dan terus berlari.
Tidak… aku pura-pura tidak melihatnya dan meninggalkannya begitu saja.
Saat ini, aku pasti pantas disebut sampah.
Tapi kemudian—
"T-tidak… jangan datang ke sini… t-tolong hentikan…"
Suaranya yang bergetar karena ketakutan mengguncang hatiku.
Secara refleks, aku menoleh ke belakang.
Dan di sana—
Penyerang itu berdiri tepat di depan gadis itu dengan senyum menyeramkan.
Pisau yang berkilau di tangannya terlihat seperti sabit milik malaikat maut. Bukan hanya aku, pasti gadis itu juga melihatnya seperti itu.
Air mata mengalir deras dari matanya yang dipenuhi rasa takut.
"T-tidak… Aku belum mau mati…"
Dengan suara gemetar, dia mengerahkan sisa tenaganya untuk berteriak.
"T-tolong… seseorang, tolong aku!"
Begitu mendengar suara minta tolongnya, tubuhku tiba-tiba berhenti bergerak.
Entah kenapa, suaranya terus terngiang di kepalaku.
Aku tidak bisa mengabaikannya.
Sial…
Sial!
SIALAN!!!
Kenapa, di hari aku selesai ujian, aku harus mengalami situasi seburuk ini!?
Sebenarnya, aku ingin kabur! Aku ingin lari lebih cepat dari siapa pun!
Kalau aku mencoba menolong, kemungkinan aku bisa selamat tanpa luka jelas sangat kecil!
Itu sama saja dengan pergi menuju kematian!
Tapi... tapi.
Jika aku lari sekarang, aku hanya akan menjalani hidup yang penuh dengan penyesalan.
Anak itu pasti juga punya keluarga dan teman-teman yang berharga. Dia pasti punya impian dan hal-hal yang ingin dia lakukan.
Pasti begitu... Tidak diragukan lagi.
Sudahlah. Aku tidak akan lari. Aku harus menolongnya.
Aku tidak mau mengalami perasaan itu lagi.
Jika tidak ada yang mau menolong...
Maka aku yang harus melakukannya!
Dengan tekad yang bulat, aku membalikkan punggungku dari orang-orang yang berlarian panik dan langsung berlari sekencang-kencangnya menuju anak itu.
Orang-orang di sekitar pasti menganggapku sedang menuju kematian dengan sengaja.
Aku sendiri tentu saja menyadarinya.
Aku bukan seseorang yang bercita-cita menjadi pahlawan keadilan.
Aku tidak mungkin menjadi seorang pahlawan.
Tapi...
Apa aku bisa diam saja melihat seseorang yang tidak bersalah mati tanpa bisa melawan!?
Dengan tekad untuk menghadapi kematian, aku berdiri di depan anak itu.
"Eh? Kamu...?"
Anak itu mengucapkan kata-kata penuh keterkejutan atas kemunculanku yang tak terduga.
"Kukukuku."
Pelaku penyerangan itu tidak menunjukkan kebingungan sedikit pun atas kemunculanku, malah tertawa dengan suara menyeramkan.
Aku tidak ingin melihat senyuman orang yang membunuh orang lain secara acak. Sialan.
"Ahahahaha!"
Sambil berteriak histeris, pria itu mengangkat senjata tajam di tangan kanannya ke atas.
Dalam situasi seperti ini, mustahil untuk tidak merasa tegang atau takut.
Aku sangat ketakutan. Benar-benar takut.
Tapi, jika aku lari sekarang, anak di belakangku pasti mati. Jika aku membalikkan badan dan kabur, aku akan menyesal selama sisa hidupku. Aku tidak mau itu terjadi.
Aku tidak akan lari!
Sesaat sebelum pria itu mengayunkan pisaunya, aku menoleh ke belakang dan berkata pada anak itu,
"Sekarang saatnya kabur. Aku akan mengatasinya. Jadi, jangan khawatir."
Begitu mendengar kata-kataku, anak itu mulai menangis, lalu berdiri dan lari menuju gerbong depan.
Seiring suara langkah kakinya semakin jauh, aku merasa sedikit lega.
Tapi, tentu saja, hanya melakukan ini tidak akan membuat pelaku berhenti membunuh. Justru, napasnya semakin memburu dan dia terlihat semakin bersemangat.
"Hiyahahaha!"
Pisau yang dia angkat tinggi-tinggi kini hendak dia ayunkan dengan kuat.
Dengan kekuatan pria dewasa dan senjata seperti itu, serangan ini bisa memberikan luka fatal. Jika aku terkena serangan itu, aku pasti mati karena kehabisan darah.
Sekilas, posisiku terlihat sangat tidak menguntungkan. Bisa dibilang, aku hampir tidak punya peluang menang.
Tapi... itu hanya berlaku jika aku orang biasa.
Meskipun peluang selamatku nol, mungkin aku bisa meningkatkan kemungkinan itu, meski hanya sedikit.
Saat aku kelas satu SMP, karena suatu alasan, aku pernah belajar seni bela diri. Itu sebabnya aku punya pengalaman bertarung, bahkan melawan lawan yang membawa senjata. Aku ingat bagaimana guruku sering memukul tubuhku habis-habisan dengan pedang kayu. Jika terkena, rasanya sakit luar biasa.
Karena itu, aku diajarkan untuk mengamati pergerakan lawan dengan saksama, memikirkan langkah selanjutnya dengan baik, lalu baru menyerang balik.
Aku tidak tahu apakah pengalaman itu bisa berguna dalam situasi ini. Tapi aku harus mengandalkannya.
Saat keringat dingin mulai mengalir karena tegang, tampaknya itu menjadi tanda baginya untuk menyerang.
Swiing!
Suara tajam terdengar jelas di telingaku saat pisau itu membelah udara.
Pisau itu panjangnya sekitar 30 cm. Jika aku mundur, ada kemungkinan serangannya tetap bisa mengenai aku karena panjang lengannya.
Jika menghindar saja tidak cukup, maka aku harus melakukan ini!
Plak!
Alih-alih mundur, aku justru meraih pergelangan tangan kanannya dengan tangan kiriku, menggenggamnya erat-erat.
Atau lebih tepatnya, aku berhasil menangkapnya. Saat dia mengayunkan pisaunya, aku langsung mengulurkan tangan dan menggenggam pergelangan tangannya sebelum pisaunya sempat mengenainya.
"Apa!?"
Pelaku penyerangan itu mulai panik.
Pria ini bertubuh kurus. Wajahnya tampak pucat dan terlihat jelas bahwa dia tidak menjalani pola makan yang sehat.
Jika tubuhnya kurus, maka jelas ototnya juga melemah.
Dengan kekuatan lenganku yang sedang mengalami pubertas kedua, aku cukup mampu menghentikan lengan kanan pria itu!
"Aaaaaaaaahhh!"
Teriakan pelaku penyerangan menggema di dalam gerbong yang kini hanya berisi kami berdua. Tapi, hanya dengan berteriak, situasi tidak akan berubah.
Aku semakin mengeratkan cengkeramanku pada pergelangan tangan kanannya.
Aku tidak akan membiarkan orang yang mengganggu orang lain dan membunuh dengan semena-mena melarikan diri begitu saja. Aku akan memastikan dia masuk penjara dan menyesali perbuatannya!
Saat aku menarik tangan kananku ke belakang untuk mengayunkan pukulan dengan tenaga penuh—
Pria itu mencoba menangkisnya dengan mengangkat tangan kiri.
Bagus! Dia terpancing!
Dia hanya fokus pada tinju kananku dan mengalihkan perhatiannya ke sana.
Tapi sayang sekali. Targetku sejak awal bukan tinjuku.
Melainkan kakiku!
Saat dia sibuk memperhatikan tanganku, aku melayangkan tendangan keras ke perutnya.
Kekuatan kaki jauh lebih besar dibanding kekuatan tangan!
"Gofuh!"
Pelaku itu tidak menyangka serangan ini. Dia kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh.
Namun, aku tidak akan membiarkannya jatuh begitu saja tanpa memberikan serangan lanjutan.
Saat aku menendang perutnya, tangan kiriku tetap mencengkeram erat pergelangan tangannya.
Aku segera menarik tangan kiriku ke depan, mengubah arah gravitasi tubuhnya dari belakang ke depan secara paksa.
Pada saat yang sama, aku mengepalkan tinju kanan dan mengayunkannya ke depan.
Karena tubuhnya ditarik secara mendadak, dia tidak punya waktu untuk bertahan—dan tinjuku menghantam wajahnya.
PANG!
Bunyi hantaman kering terdengar, dan kali ini dia benar-benar terlempar ke belakang.
Pisau yang tadi ia pegang ikut terlempar ke gerbong belakang dengan cukup jauh.
Dengan jarak sejauh itu, dia tidak akan bisa mengambilnya lagi.
"Ugh... uuh..."
Pelaku itu berusaha berdiri dengan tubuh terhuyung-huyung. Tapi, tatapan kejamnya sudah menghilang. Sekarang, dia hanya terlihat lemah dan tak berdaya.
Bagaimana tidak? Dia baru saja menerima pukulan dan tendangan dari jarak sangat dekat. Tidak mungkin dia baik-baik saja.
"A... aahh..."
Saat pelaku masih mencoba berdiri dengan tubuh gemetar, bersamaan dengan itu, kereta pun berhenti.
Kereta akhirnya tiba di stasiun, dan pintu terbuka.
Saat itu juga, aku mengayunkan tinju kananku dan menghantam pipi kirinya dengan keras ke arah pintu.
"Guhah!"
Pria itu terlempar keluar dari kereta dan jatuh pingsan di lantai peron.
Meskipun sudah lama tidak berlatih, tampaknya kekuatan tinjuku masih ada.
Dua pukulan dan satu tendangan—itu cukup untuk mengalahkannya.
Aku memang ketakutan, tapi aku berhasil mengatasinya.
Aku melewati tubuh pria yang tergeletak itu dan menyelinap di antara para penumpang lain yang berhamburan menuju gerbang keluar.
Aku lelah dan lapar. Jika aku melapor ke polisi dan mengaku sebagai orang yang menjatuhkannya, entah berapa lama aku akan ditahan di kantor polisi. Aku tidak mau terjebak di luar pada malam yang sedingin ini.
Lebih baik aku pulang sekarang.
Menyatu dengan kerumunan penumpang lain, aku meninggalkan stasiun dan berjalan menuju rumah.
Tapi, dalam perjalanan pulang, aku baru sadar kalau aku menjatuhkan jimat keberuntungan untuk ujian kelulusanku di suatu tempat di dalam kereta.
Ya sudahlah. Aku malas kembali untuk mencarinya.
Benar-benar melelahkan...
***
Keesokan Paginya
Saat turun ke lantai satu untuk sarapan dan melirik televisi yang ada di ruang tamu, aku langsung terpaku di tempat.
Karena di layar televisi terpampang tulisan: "Terjadi Serangan Brutal oleh Pelaku Penusukan di Kereta Bawah Tanah! Sebenarnya, Apa yang Terjadi!?"
Berita itu membahas tentang pelaku penyerangan kemarin. Yah, wajar saja media massa tidak akan mengabaikan kasus seperti ini.
Memang tidak aneh kalau berita ini disiarkan di televisi. Tapi kupikir, tidak akan sampai sebesar ini.
Namun, dugaanku benar-benar meleset.
Aku mencoba mengganti saluran beberapa kali, tapi di mana-mana, semua stasiun TV sedang memberitakan insiden ini.
Hampir semua acara berita pagi menyoroti peristiwa tersebut.
Bukan hanya di TV, tapi di media sosial pun topik ini sedang heboh. Bahkan masuk ke dalam daftar tren pagi ini.
Tapi ya sudahlah, ini sudah berlalu dan tidak ada hubungannya denganku lagi. Lagipula, gadis itu juga pasti sudah selamat.
Mengikuti ibu dan adikku yang sudah mulai makan, aku pun mulai menyantap sarapanku.
Karena duduk membelakangi televisi, aku tidak bisa melihat layar, tapi tetap bisa mendengar suara beritanya.
Dari isi laporannya, tampaknya tidak ada korban jiwa. Beberapa orang mengalami luka ringan hingga berat, tapi semuanya selamat dan kini sedang dirawat di rumah sakit.
Syukurlah, semuanya baik-baik saja.
Ujianku sudah selesai, pelaku penyerangan juga sudah dikalahkan. Ini benar-benar akhir yang sempurna.
Saat aku mulai merasa lega, suara reporter pria terdengar dari televisi.
"Baik, kali ini kami berkesempatan untuk mewawancarai langsung seorang siswi SMP kelas tiga, Nona Kujo, yang hampir menjadi korban serangan ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kami."
"Ah, tidak… Tidak masalah."
"Terima kasih. Baiklah, mari kita langsung ke inti pertanyaan. Anda sempat hampir diserang oleh pelaku. Bisa ceritakan bagaimana situasinya? Dan bagaimana Anda bisa selamat?"
"Ya. Saat itu, aku terlalu ketakutan hingga terjatuh dan tertinggal. Jarakku dengan pelaku semakin dekat, hampir tak bisa dihindari. Tapi kemudian, seorang siswa laki-laki datang dan menolongku. Dia berdiri di depanku dan memberi waktu agar aku bisa kabur. Berkat dia, aku berhasil selamat."
"Wah, ternyata ada seorang pemuda pemberani di sana, ya?"
"Ya. Setelah itu, dia menyerang pelaku dengan tendangan dan pukulan, hingga akhirnya berhasil mengalahkannya. Saat petugas stasiun dan polisi datang, pelaku sudah tidak sadarkan diri, itu semua karena pemuda itu sudah menjatuhkannya sebelumnya!"
"Wow, ini pasti menjadi kisah kepahlawanan terbesar dalam hidup siswa tersebut! Seperti pahlawan super!"
"Ya! Aku juga berpikir begitu!"
"Kami sangat ingin mendengar kisah dari pahlawan super ini sendiri. Tapi, tampaknya tidak ada banyak saksi yang bisa memberikan informasi tentang dia, ya?"
"Benar. Setelah menyelamatkanku, dia menghilang di tengah kerumunan orang yang panik. Wajahnya pun tidak terlihat jelas, jadi jujur saja, menemukannya mungkin sulit. Karena itu, melalui wawancara ini, aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku padanya!"
"Wah, sangat menyentuh sekali~. Apakah pesan ini akan sampai pada sang pahlawan?"
"PFFFTTT!"
Aku langsung menyemburkan teh yang sedang kuminum.
Seriusan!? Bagaimana bisa begini!?
Dari isi wawancaranya, sepertinya aku sendiri yang sedang dibahas dalam berita ini!?
Aku menoleh ke arah televisi dan melihat gadis yang kutolong kemarin sedang muncul di layar.
Tidak bisa dipercaya… Apa benar ini sedang terjadi!?
Saat aku mulai panik dan merasakan keringat dingin mengalir, ibu dan adikku yang menonton berita itu mulai berbicara.
"Akhir-akhir ini, kejadian seperti ini makin sering terjadi. Ibu jadi takut keluar rumah sendirian~. Serem banget, ya? Oh, iya, Ryo, kamu untung tidak terlibat, ya? Secara waktu kejadiannya, kamu kan biasanya naik kereta yang sama?"
"A-ah… Aku naik kereta sebelumnya, jadi tidak kena dampaknya."
Tentu saja itu bohong. Aku hanya spontan mengarang alasan dan berpura-pura tidak peduli.
Kalau aku sampai mengaku sebagai "pahlawan super" yang dibicarakan di berita ini, pasti bakal merepotkan. Lagipula, mereka juga belum tentu percaya.
"Oh iya, temenku kebetulan ada di kereta itu! Katanya super ngeri! Tapi, siswa yang nolong itu keren banget, ya?"
Adikku yang masih kelas satu SMP, Michika, berbicara dengan mata berbinar-binar sambil melihat ke arah ibu.
"Iya, ya~. Tidak nyangka ada anak seberani itu. Keren banget, deh! Harusnya ayah dan anak laki-laki di rumah ini juga belajar dari dia, ya?"
"Setuju! Kalau aku sih, udah pasti langsung jatuh hati!"
Sepertinya, dari sudut pandang wanita, siswa yang sedang menjadi topik hangat ini benar-benar terlihat sangat keren.
Tapi… ngomong-ngomong… siswa yang mereka maksud itu…
ITU AKU!
Chapter 2: Aku Dipuja sebagai Pahlawan di Seluruh Negeri, Sementara Gadis Cantik Itu...
Sekitar satu minggu telah berlalu sejak insiden penyerangan acak.
Kupikir setelah sekian lama, kasus ini akan mulai dilupakan, tetapi ternyata justru menjadi semakin populer sebagai topik hangat.
Gadis yang muncul dalam wawancara itu menjadi perbincangan besar di forum-forum internet.
"Terlalu imut! Aku ingin menjadikannya istriku! Menikahlah denganku!"
"Tingkat kecantikan murid di Tokinozawa terlalu tinggi, wkwk."
"Bukankah dia benar-benar cantik? Jauh lebih menawan dibandingkan model yang tampil di TV."
Komentar-komentar seperti itu membanjiri internet. Selain itu, ada satu foto dari wawancara yang menangkap kecantikannya secara luar biasa, sehingga tersebar luas di berbagai media sosial.
Akibatnya, gadis cantik itu menjadi terkenal dalam waktu hanya satu hari.
Yah, kupikir dia memang sangat cantik, jadi aku bisa mengerti perasaan orang-orang.
Karena popularitasnya, para netizen memberinya julukan tertentu.
Julukan itu adalah…
"Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun"
Begitu mendengarnya, rasanya aku ingin memastikan apakah aku tidak salah dengar.
Selain itu, ada juga julukan lain seperti:
"Malaikat yang Turun ke Dunia"
"Perwakilan Aliansi Gadis Cantik Seluruh Jepang"
Sampai-sampai muncul julukan yang tidak masuk akal.
Apa yang sebenarnya terjadi, sih…?
Netizen yang terharu oleh ketulusannya, kini dengan penuh semangat masih mencari siswa laki-laki yang telah menolongnya, yaitu aku.
Namun, informasi tentangku hampir tidak ada. Beberapa orang memang melihatku, tetapi karena aku mengenakan mantel tebal di atas seragam sekolah, mereka tidak bisa mengetahui aku berasal dari sekolah mana.
Tidak ada foto, dan identitas sekolahku pun tidak diketahui. Satu-satunya petunjuk hanyalah bahwa aku turun di stasiun itu dan menghilang ke dalam kerumunan.
Sekalipun tim investigasi internet sangat hebat, mustahil mereka bisa mengungkap identitasku dengan begitu sedikit informasi.
Meskipun begitu, harapan masyarakat terhadapku meningkat dengan gila-gilaan.
Beberapa hari yang lalu, aku iseng mencari "insiden penyerangan acak siswa laki-laki" di internet dan menemukan banyak sekali komentar seperti ini:
"Siswa yang menolongnya benar-benar pemberani. Aku sangat menghormatinya."
"Fakta bahwa dia tidak mau menyebutkan namanya malah membuatnya semakin keren. Dia benar-benar pahlawan."
"Menyelamatkan gadis secantik itu… dia luar biasa. Superhero sejati!"
Kenapa aku juga jadi terkena dampaknya...?
Bahkan, ada rumor yang tersebar bahwa siswa laki-laki itu tinggi dan tampan.
Siapa yang menyebarkan informasi palsu ini?
Aku hanya memiliki tinggi rata-rata, dan jelas bukan tampan.
Kalau aku mengungkap identitasku di tengah ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi ini, apa yang akan terjadi?
Hanya membayangkannya saja sudah membuatku merinding.
Aku sama sekali tidak ingin menjadi terkenal.
Bagiku, hidup yang biasa saja sudah cukup.
Aku hanya ingin masuk universitas yang cukup bagus, lalu bekerja di perusahaan yang cukup baik.
Namun, jika aku muncul, aku pasti akan terus-menerus diharapkan untuk memenuhi ekspektasi orang-orang.
Dan itu berarti aku harus selalu berusaha memenuhi harapan mereka seumur hidupku.
Aku tidak ingin sisa hidupku dihabiskan dengan terus berada di bawah tekanan seperti itu.
Aku tidak akan membuat hidupku semakin sulit dengan keinginan bodoh untuk mencari perhatian.
Selain itu... aku pernah mengalami hal yang lebih menyakitkan.
Saat aku masih kelas satu SMP, aku gagal melindungi sahabatku dari perundungan.
Saat dia menderita, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya…
Jadi, tidak mungkin aku pantas disebut sebagai pahlawan.
Aku, yang tidak mampu melindungi orang yang berharga bagiku, tidak layak untuk dihormati.
Aku berjanji kuat dalam hati.
── Aku tidak akan pernah mengungkap identitasku.
Ya, ini yang terbaik. Aku tidak perlu melakukan hal-hal yang membuatku semakin menonjol.
Rasa terima kasih dari gadis itu sudah sampai kepadaku dengan baik.
Demi menjalani kehidupan sekolah yang damai dan menikmati hidup yang lebih tenang di masa depan, aku akan tetap menyembunyikan identitasku.
Aku tidak boleh sampai ketahuan.
Aku harus menghindari situasi di mana hidupku berubah menjadi lebih sulit gara-gara insiden ini.
Jika ada kemungkinan aku akan ketahuan, aku akan melakukan apa pun untuk menghindarinya.
Apa pun yang terjadi, tidak boleh sampai terjadi!
***
Sejak aku memutuskan untuk merahasiakan identitasku, dua minggu pun berlalu begitu saja. Waktu memang sesuatu yang aneh. Selama masa sekolah bebas, aku hanya bermalas-malasan di rumah, tapi tiba-tiba saja hari ini sudah tiba...
Ya. Hari ini, tanggal 27 Februari, adalah hari pengumuman kelulusan SMA Tokinozawa.
Sejak tadi malam, aku tidak bisa tidur karena gugup. Ditambah lagi, karena pengumuman kelulusan tidak bisa dicek secara online, aku harus berangkat pagi-pagi ke sekolah.
Akibatnya, aku jadi kurang tidur...
Kenapa di era digital seperti ini, pengumuman kelulusan masih dilakukan secara manual...?
Dengan sedikit rasa kesal, aku berjalan sendirian di jalan lurus yang menghubungkan stasiun ke SMA Tokinozawa.
Saat ini masih cukup dingin, tapi ketika musim semi tiba dan suhu mulai naik, jalan ini akan dipenuhi bunga sakura yang bermekaran di mana-mana.
Aku ingin melewati jalan yang dipenuhi warna merah muda dari sakura ini sebagai siswa baru kelas satu SMA.
Sambil memikirkan hal itu, tanpa sadar aku sudah sampai di SMA Tokinozawa.
Di depan gerbang utama, terdapat papan bertuliskan "Pengumuman Kelulusan Ada di Sini." Mengikuti petunjuk tersebut, aku berjalan menuju papan besar yang ditempel di depan pintu masuk.
Papan itu penuh dengan nomor ujian para siswa yang lulus.
Saatnya telah tiba. Dari berbagai arah, terdengar suara orang-orang yang bersorak gembira dan juga yang meratap karena hasilnya.
Mengabaikan semua itu, aku mulai mencari nomor ujianku dari sisi kanan papan, satu per satu.
Sial... Deg-degan juga, ya, ini...
Denyut jantungku semakin cepat. Lalu, saat aku melihat sebuah angka—
Jantungku hampir berhenti berdetak.
Tingkat persaingan ujian masuk ini adalah lima kali lipat. Soal-soalnya sangat sulit, bahkan mungkin lebih sulit daripada ujian masuk universitas.
Namun, nomor ujianku tertulis jelas di sana.
Dengan kata lain, aku telah lulus ujian dan bisa bersekolah di SMA Tokinozawa mulai bulan depan.
Aku berhasil... Aku lulus...
Merasakan kenyataan itu, tanpa sadar aku berteriak:
"YESS!!!"
***
Setelah memastikan kelulusanku, aku pergi ke kantor administrasi untuk mengambil dokumen terkait pendaftaran, lalu meninggalkan SMA Tokinozawa.
Misi terakhirku sekarang hanyalah membawa dokumen ini pulang dengan selamat.
Aku memasukkannya ke dalam tas, lalu berjalan di jalan lurus yang tadi kulalui. Saat itulah, sebuah bangunan menarik perhatianku.
"Hah...? Sejak kapan ada arcade 24 jam di sini?"
Sebelumnya aku terlalu fokus pada kecemasan dan ketegangan, jadi tidak menyadari bahwa di sepanjang jalan antara sekolah dan stasiun terdapat sebuah arcade.
"Yah, aku sudah lulus, jadi sebagai hadiah untuk diri sendiri, aku mampir sebentar, deh."
Aku pun masuk ke dalam arcade dan langsung menuju ke bagian rhythm game. Dulu aku sering memainkan ini dengan serius, tapi karena sibuk ujian, aku jadi jarang main. Semoga skill-ku tidak menurun.
Aku berdiri di depan Maimaro, sebuah game musik berbentuk seperti mesin cuci drum, lalu segera memulai permainan.
Simbol-simbol musik terus bermunculan di layar melingkar, dan aku memukulnya sesuai dengan ritme.
"Ahh— tetap saja, ini bikin semangat. Rasanya tidak berubah sejak sebelum ujian. Gila, ini seru banget!"
Tanpa sadar, aku terus memasukkan koin seratus yen ke dalam mesin. Aku bahkan kehilangan hitungan berapa banyak yang sudah kupakai.
Saat aku sedang asyik bermain, seseorang di sebelahku berkata:
"Heee~ kamu jago banget, ya!"
Karena tiba-tiba diajak bicara, aku menoleh.
Seorang gadis berbusana kasual berdiri di sana.
Dia memiliki rambut panjang kebiruan, tubuh yang ramping dan proporsional, serta tinggi sekitar 167 cm. Untuk ukuran perempuan, dia cukup tinggi, wajahnya kecil, dan tubuhnya sangat proporsional. Bahkan... ukuran dadanya juga cukup besar.
Dari penampilannya, sepertinya dia seumuran denganku.
Rasanya canggung kalau mengabaikannya, jadi aku menjawab seadanya.
"Yah, aku sudah cukup lama main ini."
"Oh begitu~? Aku sendiri sejak SD sudah suka rhythm game, makanya sampai sekarang masih main!"
Tak kusangka. Dari penampilannya yang terlihat social butterfly, aku tidak menyangka dia begitu antusias terhadap rhythm game.
"Kamu hebat, ya~! Hampir tidak ada miss sama sekali! Aku sendiri susah banget buat full combo!"
"Awalnya semua orang begitu. Kalau sudah terbiasa, pasti bisa full combo."
"Eh~ masa sih? Aku sudah main hampir dua tahun, tapi belum bisa masuk peringkat atas nasional. Selalu ada tiga orang yang mendominasi posisi satu sampai tiga. Hebat banget, ya?"
"Heh... begitu ya? Ada orang sehebat itu..."
Oh tidak, itu pasti aku. Seratus persen aku.
Karena aku tidak ikut klub di sekolah, aku sering menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan main rhythm game. Awalnya aku bahkan tidak masuk peringkat, tapi lama-lama aku semakin jago dan akhirnya mendapatkan gelar Rhythm Game Master.
Yah, lebih baik aku tidak bilang. Aku bukan tipe yang suka menyombongkan diri.
"Aku sih cuma main buat seru-seruan, jadi tidak terlalu peduli sama ranking. Tapi memang ya, di luar sana banyak banget orang hebat."
"Ya, di Jepang ada lebih dari 100 juta orang, jadi pasti ada yang jago juga. Ngomong-ngomong, kamu biasanya main sendirian?"
"Iya, biasanya sendiri sih~."
"Ya, memang sih. Jarang ada perempuan yang suka rhythm game."
"Benar! Makanya aku susah dapat teman yang punya hobi sama. Foto-foto di purikura juga seru, sih, tapi aku pengen punya teman yang bisa diajak main bareng... Kira-kira kalau aku minta ke Santa, dia bakal kasih tidak ya?"
"Kalau kamu minta ke Santa buat dikasih teman hobi, orang tuamu pasti langsung nangis tersedu-sedu..."
Wajahku langsung menegang tanpa sadar.
Tapi ngomong-ngomong, rambut biru ini asli atau diwarnai? Kayaknya sih mustahil asli. Dari wajahnya, dia jelas bukan blasteran atau orang asing.
Saat aku secara refleks menatap rambut panjang birunya yang indah, dia tiba-tiba berbicara:
"Oh, rambutku bikin penasaran, ya? Sekolahku punya aturan yang longgar, jadi bebas banget buat mewarnai rambut! Makanya aku bisa kayak gini. Ngomong-ngomong! Aku lagi senggang hari ini, jadi ayo tanding!"
"Hah? Tanding?"
Rhythm game yang sedang kumainkan ini bisa dimainkan sendiri maupun multiplayer. Tapi sudah lama aku tidak bertanding dengan orang lain. Sekarang, setelah sibuk ujian, aku penasaran apakah skill Rhythm Game Master-ku masih tajam.
"Oke. Aku terima tantanganmu."
"Yatta! Sebenarnya, aku lagi bosan banget hari ini. Sekolahku libur gara-gara urusan ujian masuk. Klub juga tidak ada, jadi aku tidak tahu harus ngapain~."
"Libur karena urusan ujian? Maksudmu, sekolahmu libur karena pengumuman kelulusan?"
"Iya! Hari ini pengumuman hasil masuk ke SMA! Tapi aku sih tidak peduli, soalnya aku naik dari SMP langsung ke SMA lewat jalur internal~."
...Hah? Tunggu. Di sekitar sini, satu-satunya sekolah yang hari ini mengumumkan kelulusan cuma SMA Tokinozawa. Dan kalau sekolahnya sistem SMP-SMA terpadu, berarti…
"Jangan-jangan sekolahmu itu… Tokinozawa?"
"Bener banget! Eh, kok kamu bisa nebak?"
"Aku barusan ke sana buat lihat pengumuman. Jadi aku langsung kepikiran kalau itu sekolahmu."
Begitu mendengar jawabanku, gadis berambut biru itu langsung membelalakkan mata. Dia tampak begitu terkejut sampai suaranya meninggi.
"Serius!? Wah, selamat! Gimana hasilnya!?"
"Kalau aku gagal, aku tidak bakal ada di arcade sekarang."
"Waaah! Gila! Selamat ya! Padahal tahun ini sekolahnya baru jadi co-ed, jadi persaingannya makin ketat, tapi kamu bisa lolos! Hebat banget!"
"Cuma hoki aja."
"Eh, jangan gitu dong! Keberuntungan juga bagian dari skill, lho~. Ah, berarti mulai April kita bakal sekelas!"
"Kalau ketemu di sekolah nanti, tolong bimbing aku, ya."
"Tentu saja! Wah, tidak nyangka bisa dapet kenalan dari rhythm game. Terus entah kenapa, aku merasa kita kayak udah pernah ngobrol sebelumnya. Tapi ya sudahlah! Yang penting, ayo kita habiskan semua stres ujian hari ini! Aku yang bayarin semuanya!"
"Hah!? Tidak usah, aku bisa bayar sendiri."
"Udah, tidak apa-apa! Yuk, main!"
Meskipun aku mencoba menolak, aku akhirnya kalah oleh antusiasmenya dan menerima tawarannya.
Aku pun larut dalam permainan, merasakan kembali nostalgia saat bermain rhythm game, kini bersama gadis berambut biru itu.
Rhythm game memang seru. Di rumah, ibu pasti lagi nunggu aku pulang bawa surat kelulusan, tapi sesekali mampir tidak masalah, kan?
Aku akan merayakan kelulusanku dengan bermain sepuasnya! Hari ini, perjalanan ujian panjangku akhirnya berakhir!
Dan begitulah, pengalaman pertamaku mengikuti ujian berakhir dengan happy ending.
Mulai April, kehidupan baruku sebagai siswa SMA akan dimulai. Aku penasaran seperti apa perjalanannya nanti dan orang-orang seperti apa yang akan kutemui.
Tapi yang tidak aku ketahui saat itu adalah…
Bahwa kehidupan SMA-ku nantinya akan dipenuhi dengan kejadian-kejadian penuh kehancuran.
Chapter 3: Langsung Menghadapi Event Kehancuran
Musim telah sepenuhnya berganti dari musim dingin ke musim semi, menandakan tibanya musim penerimaan siswa baru.
Hal pertama yang membuatku merasa cemas setelah masuk ke SMA Tokinozawa adalah jumlah siswi yang begitu banyak. Aku jadi merasa terintimidasi dan bertanya-tanya, apakah aku bisa mendapatkan teman di tempat ini?
Aku berangkat dari rumah agar tiba tepat waktu untuk upacara masuk, dan baru saja sampai di gerbang utama. Di sekelilingku, orang-orang berkerumun di mana-mana. Ada yang berfoto dengan orang tua mereka sebagai kenang-kenangan, ada juga yang sudah mulai membentuk kelompok pertemanan.
Namun, hampir semuanya adalah perempuan. Sejauh mata memandang, hampir tidak ada laki-laki.
Sekolah ini dulunya adalah sekolah khusus putri dengan sejarah panjang sebagai sekolah terpadu SMP-SMA. Tahun ini, sekolah ini baru saja menjadi sekolah campuran.
Meskipun begitu, popularitasnya di kalangan siswi tetap tinggi, menyebabkan rasio siswa laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang.
Di setiap kelas, jumlah siswa laki-laki hanya satu digit.
Sebagai laki-laki, tentu saja aku senang ada banyak perempuan di sekitarku, tapi kalau jumlahnya sampai sebanyak ini, rasanya malah jadi canggung.
Aku harus mencari teman sesama laki-laki, tetap fokus belajar, dan menikmati masa muda secukupnya.
Saat sedang memikirkan hal itu, aku tanpa sengaja mendengar percakapan dua siswi yang berbicara di dekatku.
"Syukurlah kita berhasil masuk ke SMA impian kita! Oh iya, katanya di sekolah ini ada ‘gadis tercantik dalam seribu tahun’, kan?"
"Iya, bener! Gila tidak sih? Kita bakal bisa lihat dia langsung! Aku pengen banget jadi temannya. Aku benar-benar berterima kasih sama cowok yang menyelamatkannya dari pelaku penyerangan itu!"
"Iya, dia tuh pahlawan abad ini! Penasaran deh orangnya kayak gimana. Mungkin dia super keren!"
"Kalau dia ganteng, bakal gila sih! Aku pasti langsung jatuh cinta!"
"Setuju banget!"
...Glek!
Begitu mendengar percakapan itu, keringat dingin langsung mengalir di dahiku.
Sudah cukup lama sejak kejadian itu, tapi masih jadi bahan pembicaraan, ya?
Jangan seenaknya membayangkan aku sebagai cowok ganteng, dong!
Kenyataannya, aku sama sekali bukan tipe cowok tampan. Bahkan, karena tatapanku yang katanya menakutkan, aku tidak pernah populer di kalangan cewek.
Kalau mereka sampai tahu aku adalah "pahlawan" yang mereka puja-puja itu…
"Eh? J-jadi kamu yang waktu itu? W-wah… senang bertemu denganmu…"
"A-aku juga… tapi kok rasanya beda dari yang kubayangkan…"
Pasti mereka bakal ngomong begitu!
Membayangkan ekspresi kecewa mereka saja sudah bikin dadaku sesak!
Demi menjalani kehidupan sekolah yang damai, lebih baik aku tetap rendah hati dan tidak menarik perhatian.
Dengan tekad baru itu, aku menerobos kerumunan siswi di gerbang utama, mengambil kertas pembagian kelas, lalu berjalan menuju aula tempat upacara penerimaan siswa baru akan diadakan.
Aula cukup jauh, jadi lebih baik aku pergi lebih awal.
Saat aku sedang berjalan ke sana—
Duk!
Sesuatu menabrak kakiku. Lebih tepatnya, lututku.
Aku langsung menunduk secara refleks dan melihat seorang gadis kecil dengan mata berkaca-kaca, seolah ingin menangis. Dari penampilannya, mungkin usianya sekitar empat tahun.
Tapi, kenapa dia sendirian?
Selain itu, wajahnya terlihat cemas, seakan-akan hendak menangis.
"Ada apa? Mamamu tidak bersamamu?"
Karena tidak mengerti situasinya, aku berjongkok dan bertanya dengan lembut.
Gadis kecil itu membuka mulutnya sedikit dan bergumam dengan suara kecil.
"...Tidak ada."
"Hah? Apa tadi?"
Dia memang merespons, tapi suaranya terlalu kecil hingga aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Aku pun mendekatkan satu telinga kepadanya dan mendengarkan dengan saksama.
Lalu, dengan suara gemetar, dia berkata:
"Mama tidak ada… Aku udah cari dari tadi, tapi tidak ketemu."
Oh, jadi dia tersesat, ya.
Aku berdiri dan melihat sekeliling. Tidak ada orang dewasa yang terlihat panik mencari anaknya. Para guru pun sibuk membagikan kertas pembagian kelas dan mengarahkan siswa baru.
Kalau aku meninggalkan anak ini begitu saja, sepertinya tidak akan ada yang memperhatikannya untuk sementara waktu.
Ya sudahlah. Masih ada waktu sebelum upacara dimulai, jadi aku akan membantunya sebentar.
"Mau cari mama bareng aku?"
"Hah…? B-benarkah?"
Mungkin karena sangat lega, gadis kecil itu langsung mendongak dan menatapku dengan mata penuh harapan.
"Iya. Untuk awalnya, kita coba ke ruang guru, ya."
"Ruang guru itu…?"
Gadis kecil itu memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Itu tempat di mana banyak guru berkumpul. Mereka pasti bisa membantu mencari mamamu. Ayo kita pergi ke sana."
"…Iya."
Gadis kecil itu mengangguk pelan, lalu berjalan bersamaku menuju ruang guru.
Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu di mana letak ruang guru.
Tapi biasanya, ruangan seperti itu ada di lantai satu gedung sekolah.
Kalau kita berjalan sambil mencari, pasti akan ketemu juga.
***
Prediksiku ternyata tepat. Begitu masuk ke gedung utama, dalam beberapa menit aku berhasil menemukan ruang guru.
Sebelum membuka pintu ruang guru, aku menoleh ke arah gadis kecil itu.
"Ini ruang guru. Pasti ada seseorang di dalam yang bisa membantu mencari mamamu."
"…Iya."
Begitu gadis kecil itu mengangguk, aku pun membuka pintu ruang guru dengan suara berderit.
"Permisi. Aku menemukan anak kecil yang tersesat… huh?"
Baru saja aku masuk, aku langsung menyadari sesuatu.
Ruang guru hampir kosong. Mungkin karena para guru sedang sibuk dengan upacara penerimaan siswa baru. Hanya ada seorang siswi dan seorang wanita yang tampaknya berusia sekitar tiga puluhan.
Saat siswi itu menoleh ke arahku, mata kami sempat bertemu.
Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat… Tapi sekarang yang lebih penting adalah membantu gadis kecil ini.
Aku tidak tahu apakah wanita itu seorang guru, tapi lebih baik aku bertanya padanya terlebih dahulu.
Namun sebelum sempat berbicara, gadis kecil di sampingku tiba-tiba membuka mulutnya dengan semangat.
"Mama! Mama ada di sini!"
Begitu berkata demikian, dia langsung berlari menuju wanita tersebut.
Wanita itu juga bereaksi cepat, wajahnya langsung berubah penuh emosi, lalu dia merentangkan tangannya dan memeluk gadis kecil itu erat-erat.
"Mari! Ke mana saja kamu!? Mama sangat khawatir!"
"Maaf… Maaf…"
Gadis kecil itu mulai menangis tersedu-sedu di dalam pelukan ibunya.
Jadi begitu… Wanita ini ternyata adalah ibunya. Dia mungkin datang ke ruang guru untuk meminta bantuan mencari anaknya.
Setelah sekitar sepuluh detik berpelukan, wanita itu perlahan melepaskan pelukannya dan menoleh ke arahku.
"Kamu yang menemani anakku ke sini?"
"Ah, iya. Aku menemukannya tersesat di gerbang depan, jadi aku mengantarnya ke sini."
"Begitu ya. Terima kasih banyak. Aku benar-benar berterima kasih."
"Tidak, tidak. Aku tidak melakukan sesuatu yang besar, kok."
"Mari, ayo ucapkan terima kasih kepada kakak ini."
Gadis kecil yang tadi menangis langsung mengusap air matanya, lalu berkata dengan suara kecil,
"Kakak, terima kasih."
"Iya. Lain kali jangan sampai terpisah dari ibumu lagi, ya?"
"Iya…"
Dia mengangguk kecil. Kemudian ibunya menggendongnya dan berkata,
"Terima kasih juga, Kujo-san. Aku sangat terbantu."
Wanita itu membungkuk hormat pada siswi di ruang guru, lalu pergi bersama putrinya.
Baiklah, tugasku sudah selesai. Saatnya aku pergi dari sini juga.
Namun, tepat ketika aku hendak meninggalkan ruang guru—
"Ah, um! Terima kasih banyak karena telah membantu gadis kecil itu. Aku sangat menghargainya!"
Langkahku terhenti mendengar ucapan dari siswi itu.
Tunggu… Barusan wanita tadi memanggilnya "Kujo", kan?
Nama itu… Aku merasa pernah mendengarnya.
Bukan hanya namanya, suara gadis ini juga terdengar familiar.
Tapi, di mana aku pernah mendengarnya?
Aku menoleh ke arahnya untuk sekadar menjawab, tapi begitu melihat wajahnya dengan lebih jelas—
Rasanya seperti ada aliran listrik tegangan tinggi yang menyetrumku dari kepala hingga ujung kaki.
Bulu mata panjang, mata besar yang indah, tubuh ramping, kulit putih bersih, serta rambut panjang berwarna hitam yang halus.
Dan nama keluarganya adalah Kujo…
Aku ingat sekarang! Gadis ini adalah…
Si "Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun" yang pernah aku selamatkan dari seorang penyerang!!
Apa-apaan ini!? Kenapa dia ada di sini!?
Sial, baru hari pertama sekolah dan aku sudah bertemu dengannya!
"A-anu… Ada sesuatu yang salah? Wajahmu terlihat sangat terkejut… Apa mungkin ada sesuatu di wajahku?"
Sial! Aku terlalu kaget sampai semuanya langsung terlihat di ekspresiku! Aku harus segera mencari cara untuk menghindari situasi ini!
"T-tidak, tidak ada apa-apa! Hanya saja… u-um… itu…"
"Hanya?"
"E-er… Itu… Ah, iya! Aku hanya penasaran kenapa kamu ada di sini. Maksudku, apa yang sedang kamu lakukan dengan ibu dari gadis kecil tadi?"
Itu adalah alasan pertama yang muncul di kepalaku, tapi setidaknya berhasil membuatku lolos dari situasi ini.
Hampir saja… Dia menatapku dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, aku pikir dia pasti akan curiga.
"Oh, benar juga. Itu memang sesuatu yang wajar dipertanyakan. Aku sedang membantu menangani urusan wali murid tadi. Karena para guru sibuk, sebagai anggota OSIS, aku ditugaskan untuk menangani ini. Meskipun baru masuk SMA, aku sudah terbiasa dengan tugas seperti ini sejak SMP!"
"Begitu ya… Tunggu, OSIS?"
Aku refleks mengulang kata itu.
"Iya! Di sekolah kami, ketua OSIS SMP secara otomatis bisa bergabung dengan OSIS SMA saat masuk ke jenjang berikutnya. Jadi meskipun aku baru kelas satu, aku sudah menjadi anggota OSIS!"
"Jadi itu alasan kenapa kamu yang menangani urusan tadi."
"Betul sekali!"
Awalnya aku heran kenapa seorang siswa yang menangani urusan wali murid, tapi kalau dia OSIS, masuk akal juga. Apalagi dia sempat menjabat sebagai ketua OSIS di SMP. Itu cukup mengesankan.
Tapi bukan itu masalahnya sekarang!
Betapa kebetulan yang luar biasa ini…
Dia yang menangani ibu dari anak yang tersesat, dan aku yang membawa anak itu ke sini, lalu kami bertemu dalam situasi seperti ini.
Demi apa, dewa pasti sedang mengerjaiku…
"A-aku pergi dulu, ya. Sebentar lagi upacara penerimaan akan dimulai."
Aku berbalik dan mengulurkan tanganku ke gagang pintu ruang guru. Namun, saat hendak keluar—
"Ah!"
Langkahku terhenti lagi karena suara Kujo.
"Ada apa?"
Aku menjawab tanpa menoleh, dan dia berkata,
"Umm… Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa pernah melihat punggungmu di suatu tempat."
…Hah?
Apa dia mulai menyadari siapa aku!?
Tidak, tunggu… Aku ingat sekarang. Saat aku menyelamatkannya waktu itu, aku membelakanginya. Itu sebabnya dia hanya mengingat punggungku!
Kalau begini terus, identitasku bisa terbongkar!
Dorongan untuk segera kabur dan keinginan untuk tetap merahasiakan identitasku bercampur menjadi satu, membuat pikiranku kacau. Tanpa sadar, aku malah berbalik dan berkata,
"T-tidak, kita belum pernah bertemu! Aku yakin sekali! Itu pasti hanya salah lihat, hahaha!"
Mataku melirik ke sana kemari dan keringat dingin mulai mengalir.
Siapa pun yang melihatku pasti mengira aku mencurigakan. Tidak mungkin aku bisa mengelabuinya dengan cara seperti ini.
Aku pikir ini adalah akhir… Tapi,
"Oh, benar juga. Mungkin hanya perasaanku saja. Maaf, aku jadi salah paham. Tidak mungkin aku bisa bertemu dengan orang itu dengan begitu mudah, ya…"
…Dia sama sekali tidak curiga.
Meskipun tingkah lakuku jelas-jelas mencurigakan, Kujo tetap menatapku dengan mata jernih tanpa keraguan.
Karena perasaan bersalah telah membohonginya, aku buru-buru membuka pintu dan meninggalkan ruang guru secepat mungkin.
Maaf, Kujo. Aku terpaksa berbohong padamu.
Tapi aku tidak bisa begitu saja mengungkapkan identitasku setelah semua perhatian yang kudapatkan belakangan ini.
Selain itu, kamu adalah "Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun."
Kecuali kita berada di kelas yang sama, kemungkinan besar kita tidak akan berinteraksi lagi.
Mungkin ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku berbicara denganmu.
Tanpa menoleh ke belakang, aku langsung menuju ke aula olahraga.
***
Sesampainya di aula olahraga, aku duduk di salah satu kursi lipat yang kosong. Tampaknya tempat duduk ditentukan secara acak.
Melihat sekeliling, hampir semua siswa baru sudah berkumpul. Dari ujung ke ujung barisan di aula ini dipenuhi oleh murid-murid baru.
Aku tak menyangka ada begitu banyak siswa kelas satu di sekolah ini—mungkin sekitar tiga ratus orang. Tapi yang mencolok adalah sekitar sembilan puluh persen di antaranya adalah perempuan.
Melihat ini secara langsung, aku benar-benar merasakan sisa-sisa atmosfer sekolah khusus perempuan.
Karena tidak ada yang bisa diajak bicara, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu sebelum upacara dimulai dengan tidur sejenak.
Namun, saat aku baru saja memejamkan mata—
Seseorang berbisik dari kursi di sebelahku.
"Hei, hei, kamu masih ingat aku?"
Hah? Apa maksudnya?
Aku menoleh ke arah kiri dan seketika tubuhku tersentak untuk kedua kalinya hari ini.
Tapi kali ini, bukan karena terkejut, melainkan karena perasaan senang yang luar biasa.
Orang yang ada dalam pandanganku bukanlah teman dari SMP atau teman lama dari SD.
Rambut panjang biru yang mencolok. Ditambah dengan suara ini. Tidak salah lagi, ini dia.
"Jangan-jangan, kamu… yang waktu itu main di game center!?"
Begitu mendengar kata-kataku, gadis berambut biru itu mengedipkan mata dengan ekspresi senang.
"Benar! Kamu masih ingat! Terima kasih!"
Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengannya lagi secepat ini.
Kupikir, selama aku menjalani kehidupan sekolah di SMA Tokinosawa, pada akhirnya aku pasti akan bertemu dengannya lagi. Tapi aku tidak menyangka pertemuan itu terjadi secepat ini.
Di tengah lautan murid perempuan yang mendominasi suasana ini, keberadaannya terasa sangat menenangkan.
"Selamat atas masuk sekolah barunya!"
"Ah, terima kasih. Tapi kamu hebat juga, bisa mengingat wajahku."
"Tentu saja! Aku tidak akan melupakan wajah teman seperjuangan dalam permainan musik. Wah, sepertinya Tuhan benar-benar bekerja dengan baik kali ini!"
"Mungkin ini juga semacam takdir."
"Setuju!"
"Oh iya, namamu siapa?"
"Aku? Ah, benar juga, kita belum sempat berkenalan, ya. Namaku Sazanami Yuri! Semua orang memanggilku Yuri, jadi panggil saja begitu!"
"Yuri, ya? Nama yang bagus. Aku Ryo. Panggil saja Ryo."
"Oke! Ryo!"
Akhirnya aku punya teman pertama di SMA! Dengan begini, aku bisa menghindari jalur kehidupan sekolah yang menyedihkan sebagai seorang penyendiri.
"Ngomong-ngomong, aku penasaran, kamu masuk kelas berapa?"
"Hah? Kelasku?"
Oh iya, tadi aku sempat diberi kertas pembagian kelas di gerbang sekolah. Seharusnya ada di saku seragamku.
Aku merogoh saku dalam dan mengeluarkan selembar kertas yang agak besar, lalu memeriksanya.
Sepertinya, ada sembilan kelas untuk siswa kelas satu tahun ini. Setiap kelas terdiri dari sekitar tiga puluh siswa lebih sedikit.
Hmm… Kelasku ada di…
"Ah, ketemu. Aku di kelas 1-A. Kalau kamu?"
"Eh!? Serius!? Aku juga di kelas A! Kita sekelas!"
Apa!? Masa iya ada kebetulan seperti ini?
Baru saja aku senang karena berhasil mendapat teman, sekarang ternyata kami bahkan ada di kelas yang sama.
Rasanya aku benar-benar beruntung.
"Wow, kejadian kayak gini beneran ada, ya! Teman cowok pertamaku di sekolah campuran ini ternyata adalah teman bermain game sekaligus teman sekelas. Ini benar-benar keajaiban!"
"Iya, sih, memang luar biasa…"
"Oh? Tapi kalau kamu bilang aku teman cowok pertamamu, berarti selama ini kamu tidak pernah punya pacar?"
Dilihat dari kepribadiannya yang mudah bergaul dan wajahnya yang cantik, dia jelas punya banyak daya tarik. Dibandingkan dengan gadis lain, dia pasti lebih populer. Tapi kalau aku adalah teman cowok pertamanya, bukankah itu agak aneh?
Mendengar pertanyaanku, Yuri menggaruk belakang kepalanya dengan tangan kanan sambil tersenyum canggung.
"Haha, aku tidak pernah punya pacar, sih~. Waktu SD aku sibuk belajar buat ujian masuk SMP, dan pas SMP aku cuma main sama cewek-cewek."
"Kamu tidak pernah berinteraksi dengan anak laki-laki dari sekolah lain?"
"Ada, sih, tapi aku tidak tertarik. Sekolah kami bekerja sama dengan sekolah-sekolah top di seluruh negeri, jadi kebanyakan anak laki-lakinya lebih fokus belajar daripada pacaran. Lagipula, sekalipun ada yang ganteng, aku memang tidak berniat pacaran. Kalau begini terus, aku bisa-bisa tetap jomblo selamanya, hahaha!"
Benar juga. Kalau sekolah mereka menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah unggulan yang bisa meluluskan siswanya langsung ke Universitas T terbaik di Jepang, wajar kalau mereka lebih memprioritaskan akademik daripada urusan cinta.
Tapi tetap saja, mendengar kalau dia sama sekali tidak tertarik untuk pacaran cukup mengejutkan. Kenapa, ya…?
"Oh iya! Sekarang kita sudah bertemu lagi, kapan-kapan ayo tanding lagi! Aku sudah jauh lebih jago dibanding sebelumnya!"
Sambil menampilkan senyuman bak iblis kecil, Yuri mengamati reaksiku. Dari ekspresinya, dia benar-benar tampak percaya diri. Yah, tapi bagaimanapun juga, aku yang akan menang.
"Tentu saja, aku akan menang telak di semua pertandingan."
"Benarkah!? Kalau begitu, kalau kalah harus traktir es krim ya! Aku pasti menang!"
"Siap! Taruhan seperti ini malah bikin makin semangat!"
"Baiklah! Aku bakal lebih giat berlatih mulai sekarang!"
Sambil duduk di kursi lipat, Yuri mengepalkan tangannya kecil sebagai tanda semangat.
Melihatnya dari jarak sedekat ini, jujur saja, aku agak terpesona.
Hari pertama di SMA, bukan hanya aku berhasil berteman dengan gadis yang menggemaskan, tapi aku juga sudah berjanji untuk bermain bersama.
Gila, kenapa keberuntunganku hari ini luar biasa bagus?
Tadi sempat panik karena hampir ketahuan, tapi akhirnya semua berakhir dengan baik.
Saat aku sedang berpikir begitu, seorang guru yang sepertinya bertugas sebagai pembawa acara naik ke atas panggung. Dia berdiri di depan mikrofon yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mulai berbicara dengan tenang.
Sepertinya, upacara penerimaan siswa baru akhirnya akan dimulai.
Yuri yang tadi penuh semangat, kini duduk tegak dan menjadi tenang setelah berbisik, "Upacara sebentar lagi mulai, ya."
Setelah suara melengking terdengar dari mikrofon, upacara pun dimulai.
"Baiklah, selamat pagi semuanya. Dengan ini, kami akan memulai Upacara Penerimaan Siswa Baru SMA Swasta Tokinosawa. Sebagai langkah pertama, kami akan mendengarkan pidato dari perwakilan siswa baru, ‘Kujo Hinami’. Silakan naik ke atas panggung."
Setelah kata-kata guru itu, seorang siswi berambut panjang dan hitam perlahan naik ke panggung. Setiap langkahnya membuat rambutnya bergoyang, memantulkan sinar matahari dengan anggun dan memberikan kesan yang hampir seperti dewi.
Aku merasa pernah melihat wajahnya sebelumnya.
Ah, benar. Aku baru saja bertemu dengannya tadi.
Ngomong-ngomong, katanya dulu dia adalah ketua OSIS di SMP.
Jika dia sampai terpilih sebagai perwakilan siswa baru, itu berarti prestasi akademiknya juga luar biasa. Benar-benar gadis yang sempurna.
Tadi aku memang sempat panik karena pertemuan mendadak, tapi seharusnya aku tidak akan terlibat lagi dengannya. Dia adalah sosok yang bersinar terang, sementara aku hanyalah bayangan di pojokan.
Tidak perlu khawatir. Setelah ini, aku tak akan ada hubungannya lagi dengannya.
Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.
Namun… hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Begitu Kujo berdiri di depan mikrofon, Yuri yang tadi diam tiba-tiba berbisik kepadaku.
"Hei, Ryo. Lihat perwakilan siswa baru itu? Dia namanya Hinami, sahabat dekatku. Nanti setelah di kelas, aku kenalin ke kamu, ya."
Tunggu, apa!?
Aku tidak salah dengar, kan?
Dia bilang mau mengenalkanku padanya!?
"Yuri, tadi kamu bilang apa?"
Aku bertanya balik untuk memastikan. Yuri pun tersenyum cerah dan menjawab dengan tegas.
"Iya, tadi pas lihat daftar kelas, ternyata aku dan Hinami sekelas. Beruntung banget, kan? Hinami itu orang yang baik, kamu pasti cepat akrab dengannya!"
…Baiklah. Jadi begitu, ya.
Aku menarik napas dalam, lalu dalam hati menjerit,
Sialan!!
Baru saja aku berpikir kalau aku tidak akan terlibat dengannya, kenapa jadi begini!? Apa aku benar-benar dikutuk oleh dewa!?
Dan kenapa Yuri dan Kujo saling kenal!? Kebetulan macam apa ini!? Ini malah lebih menyeramkan!!
"Hmm? Ryo, wajahmu tiba-tiba pucat. Kamu tidak apa-apa?"
Melihat reaksiku yang aneh, Yuri menatapku dengan penuh kekhawatiran, seolah bertanya, "Apa aku barusan mengatakan sesuatu yang aneh?"
Yuri tidak salah. Semua ini adalah ulah takdir kejam yang disusun oleh dewa yang jahil. Aku tidak boleh membuat Yuri merasa bersalah.
Meskipun wajahku sedikit menegang, aku tetap berusaha menjawab,
"Eh? Ahaha, etidak, kok! Aku, uh, senang sekali! Dikenalin sama temenmu… wow… asik banget… hehehe…"
Harapan kecil dalam hatiku agar ini semua hanya kesalahpahaman, bahkan tak bisa mencapai langit-langit gedung olahraga ini, apalagi sampai ke telinga dewa.
Kalau dipikir-pikir, ini seharusnya momen yang membahagiakan.
Mau bagaimana pun, gadis yang dikenal sebagai "Si Cantik Seribu Tahun Sekali" itu akan dikenalkan padaku secara langsung.
Bagi siswa laki-laki biasa, ini adalah kesempatan langka yang pasti akan disambut dengan penuh kegembiraan.
Namun, bagiku, situasinya berbeda.
Dikenalkan dan menjadi temannya berarti semakin besar kemungkinan rahasiaku terbongkar.
Kenapa…
Kenapa ini harus terjadi!?
Masa depan kehidupan sekolahku… kini penuh dengan kecemasan!!
Chapter - 4 Tidak Adil!
Sudah sekitar satu jam berlalu, dan akhirnya saatnya untuk pertama kali bertemu dengan teman-teman sekelas baru.
Kelasku adalah kelas 1-A. Aku pun segera melangkah masuk ke dalam ruang kelas.
Jumlah siswa di kelas ini ada tiga puluh dua orang. Dari jumlah itu, dua puluh tujuh di antaranya adalah siswi perempuan, sedangkan siswa laki-laki hanya lima orang. Jujur saja, aku merasa agak kesepian, tapi lebih dari itu, aku merasa benar-benar tidak pada tempatnya.
Sekilas melihat para siswi di kelas, hampir semuanya terlihat cantik. Ke mana pun aku melihat—ke depan, belakang, kiri, maupun kanan—hanya ada gadis-gadis cantik. Ditambah lagi, karena mayoritas di kelas ini adalah perempuan, rasanya seperti aku tidak sengaja naik ke gerbong khusus wanita.
Meski merasa tidak pada tempatnya dan sedikit canggung, aku tetap maju untuk mengecek denah tempat duduk yang ditempel di papan tulis.
Sepertinya tempat duduk ini ditentukan secara acak.
Setelah memastikan tempat dudukku, aku pun duduk dengan mantap di kursi yang akan kupakai selama satu tahun ke depan.
Sekarang, bagaimana caraku mendapatkan teman?
Di sekolah yang mayoritas siswanya adalah perempuan ini, bagaimana aku bisa menikmati masa-masa remajaku?
Saat aku mulai menatap langit-langit sambil memikirkan hal itu—
"Oh! Tempat dudukku ternyata ada di sebelah Ryo! Lucky!"
Terdengar suara seseorang memanggil namaku dari arah depan.
Saat aku menoleh ke arah suara itu, aku melihat Yūri berdiri di hadapanku. Tadi saat keluar dari aula, dia bilang ingin ke toilet, jadi sepertinya dia baru tiba di sini sekarang.
Yūri duduk di sebelah kiriku dan menatapku dengan senyuman ceria.
"Ya ampun, tidak nyangka kita duduk sebelahan lagi. Aku beruntung banget! Aku pengen ngobrol banyak soal game ritme, jadi senang banget duduk dekatmu!"
"Aku juga senang ada teman yang duduk dekatku. Ada seseorang untuk diajak bicara itu cukup menenangkan."
Memang, memiliki kenalan di dekatku sangat membantu.
Terutama karena aku baru masuk sekolah ini, jika aku tidak segera mendapatkan teman, masa-masa sekolahku ke depan bisa jadi sulit.
Kalau aku tidak punya teman, di sekolah dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang ekstrem ini, aku harus menjalani semuanya sendirian. Dan itu jelas ingin kuhindari.
Saat aku sedang berpikir seperti itu, Yūri tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke belakangku dan tersenyum.
"Oh! Koicchi juga duduk di situ?!"
Setelah Yūri berkata begitu, aku mendengar suara kursi ditarik sebelum seseorang duduk.
Aku perlahan menoleh ke belakang dan melihat seorang gadis berambut hitam dengan mata besar dan bibir mungil. Wajahnya tampak agak kekanak-kanakan, tapi ia duduk dengan anggun.
Serius? Ada gadis cantik lagi?
Saat aku tanpa sadar terpaku menatap gadis yang duduk di belakangku—
"Ada apa? Kau punya urusan denganku?"
Dengan tatapan tajam seperti seekor predator yang mengincar mangsanya, dia menatapku dengan tajam.
"Ti-tidak! Bukan apa-apa..."
S-Seram! Dia waspada banget. Aku jadi ketakutan. Meskipun tubuhnya kecil dan terlihat agak imut, kepribadiannya jelas sangat berbeda.
Aku yakin, dia ini tipe cewek dominan... Meski baru pertama kali bertemu, entah kenapa aku bisa merasakannya.
"Hei, Koicchi! Kalau pertama kali bertemu dengan seseorang, kamu harus bersikap lebih ramah!"
Berkat Yūri yang langsung membantuku, ekspresi gadis yang duduk di belakangku—Koi-san—menjadi sedikit lebih lembut.
"Yūri, siapa dia? Kau kenal?"
"Iya! Kami bertemu di hari pengumuman kelulusan dan bermain bersama! Aku tidak nyangka kita bisa sekelas, ini benar-benar sebuah keajaiban!"
"Begitu ya. Benar-benar pertemuan kembali yang ajaib."
"Benar, kan? Keren banget!"
Setelah melihat reaksi Yūri yang bersemangat, Koi-san kembali mengarahkan pandangannya ke arahku.
Aku sempat waspada, menunggu apa yang akan dia katakan, tapi ternyata dia malah mengulurkan tangannya yang mungil dan ramping ke arahku.
"Hah? Kenapa?"
"Kenapa lagi? Aku cuma mau berjabat tangan. Kalau kau tidak mau, ya tidak apa-apa."
Oh, ternyata hanya jabat tangan.
Aku pun dengan lembut menggenggam tangannya yang kecil. Wah, tangannya lembut sekali.
Saat aku tanpa sadar terpesona dengan kelembutan tangan seorang gadis—
"Aku Koi Koharu. Senang berkenalan denganmu."
Dengan sedikit senyuman di bibirnya, Koi-san memperkenalkan dirinya. Dari dekat, dia benar-benar sangat cantik.
"O-Oh. Aku Keidō Ryō. Senang berkenalan denganmu."
"Ya, aku juga. Ngomong-ngomong, tanganmu agak kasar ya. Apa kau pernah melakukan olahraga? Tubuhmu juga cukup berotot."
"Aku tidak ikut olahraga, tapi dulu sempat belajar bela diri. Guruku sangat keras, jadi latihannya cukup berat..."
"Fuh… Begitu ya."
Sesaat setelah Koharu-san menunjukkan senyuman yang agak menyeramkan…
Gyuuhhh!
Bersamaan dengan efek suara yang menyakitkan, Koharu-san tiba-tiba menggenggam tanganku dengan sekuat tenaga.
"Eh, tunggu! Koharu-san! Kau menggenggamnya terlalu kuat! Aku dengar suara aneh, lho!?"
Aku mencoba menarik tanganku, tapi kekuatan genggamannya terlalu luar biasa, bahkan sedikit pun aku tak bisa menggerakkannya.
Dari mana asal kekuatan super manusia ini!? Di tubuh sekecil itu!?
"Oh, maaf. Aku hanya ingin memastikan apakah kau benar-benar pernah belajar bela diri, jadi aku tidak sengaja menggunakan terlalu banyak tenaga. Maafkan aku."
Setelah mengatakan itu, Koharu-san akhirnya melepaskan genggamannya. Tapi tetap saja, kekuatan macam apa itu?
"Koharu-san, kau sengaja menggenggamnya sekuat itu, kan?"
Mendengar pertanyaanku, Koharu-san hanya menghela napas dan menjawab santai.
"Tentu saja tidak, dong? Yah… mungkin sebagian besar memang karena iseng saja."
"Jadi memang sengaja, kan!?"
Meski Koharu-san tersenyum manis, di mataku itu tak lebih dari senyuman seorang iblis…
Aku yakin sekarang. Orang ini benar-benar sadis tingkat tinggi! Seberapa banyak pun aku menambahkan kata 'super', itu masih belum cukup!
"Ahaha~! Aku senang kalian cepat akrab! Oh iya, Koharu-chan ini super sadis, jadi hati-hati ya, Ryo!"
Sepertinya Yuuiri puas dengan interaksi pertama kami berdua dan masih terus tersenyum riang.
"Bukan cuma 'gadis tercantik dalam seribu tahun', tapi kenalannya juga seorang super sadis…?"
Di sebelah kiriku, ada Yuuiri, si gadis dengan kemampuan komunikasi tingkat dewa.
Di belakangku, ada Koharu-san, si sadis yang kelewat batas.
Apa-apaan susunan tempat duduk ini? Karakter mereka terlalu kuat, rasanya aku terseret ke dunia yang aneh!
Selain itu, meski aku duduk di sisi lorong, para lelaki lain di kelas ini malah berkumpul di sisi jendela…
Apa aku bisa dapat teman laki-laki? Setidaknya, bisakah ada satu cowok yang duduk di dekatku…?
Aku mulai merasa cemas, tapi masih ada sedikit harapan.
Kursi di sebelah kananku masih kosong. Artinya, ada kemungkinan salah satu dari sedikit laki-laki di kelas ini akan duduk di sana.
Aku hanya bisa berharap. Tolong… semoga yang duduk di sini laki-laki… Tolonglah!
Saat aku sedang berdoa dalam hati—
Seseorang meletakkan tas di kursi sebelah kananku, lalu menarik kursinya. Tak lama, aku mendengar suara bening dan indah yang sangat familiar.
"Aaah! Yuri! Koharu-chan! Ternyata tempat duduk kita dekat! Yay!"
Aku menggeser pandanganku ke samping untuk melihat siapa yang baru saja duduk di sebelahku.
Dan begitu aku melihatnya, mataku secara refleks membelalak. Tidak, aku harus membelalak.
Saat wajah gadis itu masuk dalam pandanganku, aku langsung merasa ingin mengutuk takdir.
Kenapa… Kenapa begini…
Kenapa ‘Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun’ duduk di sebelahkuuuu!?
Chapter 5: Ketidakadilan Terjadi Lagi
"Oh! Hinami akhirnya datang! Kerja keras ya dengan tugas OSIS. Omong-omong, pidatomu tadi benar-benar mengena di hati!"
Begitu Kujo duduk di kursinya, Yuri langsung menyapanya dengan antusias.
"Sudah kubilang, itu cuma pidato biasa, kok. Tapi tetap saja, kita bertiga bisa berada di kelas yang sama, ini keberuntungan besar!"
"Benar banget~"
"Setuju."
Mendengar kata-kata Kujo, Yuri dan Koi mengangguk setuju.
Kujo Hinami.
Dia adalah mantan ketua OSIS di SMP, sosok yang sangat dihormati dan punya kepribadian ceria. Selain itu, wajahnya begitu sempurna hingga siapa pun yang melihatnya bisa langsung jatuh hati.
Tak hanya cantik, dia juga pintar—setiap tahun selalu berada di peringkat teratas di akademik.
Berkepribadian baik, berpenampilan menawan, dan memiliki prestasi cemerlang.
Bahkan, di internet dia dijuluki ‘Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun’.
Biasanya, jika bisa sekelas dan duduk di sebelah cewek sehebat ini, seseorang pasti akan sangat senang.
Tapi entah kenapa, aku sama sekali tidak bisa merasa bahagia.
Oke, bohong, aku sebenarnya senang. Dalam hati, jantungku berdetak kencang dan aku sedikit bersemangat.
Tapi… kalau identitasku ketahuan, aku benar-benar dalam masalah besar!
Tak ada yang tahu bahwa akulah orang yang menolong Kujo saat insiden penyerangan di jalan. Karena aku pergi tanpa memperkenalkan diri, internet malah menyebutku pahlawan tanpa nama.
Padahal, kenyataannya, aku hanyalah cowok biasa yang bahkan gagal melindungi sahabatku sendiri. Tidak seharusnya aku disebut pahlawan.
Oke, rencana terbaik adalah menjaga hubungan biasa-biasa saja.
Aku hanya perlu menyapa dan memperkenalkan diri, lalu tetap bersikap santai.
Namun, sebelum aku sempat melaksanakan rencana itu—
"Ah, iya! Hinami! Ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu!"
Yuri lebih dulu mengambil langkah.
Sial! Ini gawat!
Berbanding terbalik dengan kepanikanku, Yuri tanpa ragu mulai melontarkan kata-kata yang makin menipiskan harapanku.
"Dia cowok yang duduk di sebelahku! Namanya Ryo! Kami kebetulan bermain bersama di hari pengumuman hasil ujian! Keren banget, kan!? Setelah lulus, kita bisa bertemu lagi! Sepertinya dewa benar-benar menyayangiku~"
Bukan, itu bukan dewa yang menyayangimu. Aku yang sial!
Aku tidak ingat pernah melakukan kesalahan besar, tapi kenapa aku harus mengalami ini? Apa aku tanpa sadar telah menyinggung sesuatu yang tidak boleh disentuh!?
"Jadi dia temanmu, Yuri? Senang bertemu denganmu! Aku—eh?"
Tiba-tiba, Kujo menatapku dengan ekspresi heran.
"Eh? Kalian berdua sudah saling kenal!?"
Yuri langsung penasaran.
"Ya! Dia yang tadi mengantarkan anak yang tersesat ke ruang guru. Aku tidak menyangka ternyata dia sekelas denganku!"
Sial! Aku cuma mau menyapa sekedarnya dan lanjut menjalani hidup biasa! Kenapa komunikasi tingkat tinggi Yuri malah berbalik menghantamku!?
Kenapa hidupku tidak bisa berjalan sesuai rencana!?
"D-Do… domo. Perkenalkan, aku Keido Ryo."
Aku memperkenalkan diri seadanya, sementara Kujo membalasnya dengan anggukan sopan.
"Aku Kujo Hinami! Aku sudah lama berteman dengan Yuri dan Koi sejak SMP, tapi ini pertama kalinya kami bertiga bisa berada di kelas yang sama. Mulai sekarang, senang berkenalan denganmu!"
Setelah itu, Kujo menatapku sambil memberikan senyuman sempurna.
Gila, dia imut banget!
Melihat senyumnya yang penuh keceriaan, jantungku langsung berdegup kencang.
"Y-Yo… Yoroshiku… Ahaha…"
Aku mencoba tersenyum santai, tapi kenyataannya aku sedang panik setengah mati.
Aku sudah tahu sejak awal bahwa kami berada di sekolah yang sama. Saat pertama bertemu, dia mengenakan seragam Tokinozawa.
Tapi kenapa…
Kenapa dia harus sekelas denganku? Kenapa dia harus duduk di sebelahku!?
Bagaimana nasib kehidupan SMA-ku setelah ini!?
Saat aku mengeluh dalam hati dan menundukkan kepala, mataku menangkap sesuatu di tas Kujo.
Tas sekolah biasa, tidak ada yang aneh.
Namun, di tas itu tergantung sebuah benda.
Itu adalah jimat keberuntungan yang sama persis dengan yang aku punya. Jimat yang aku jatuhkan di dalam mobil saat insiden penyerangan.
Mungkinkah… Kujo juga memiliki jimat yang sama?
Tapi dia adalah siswa eskalator yang langsung naik ke SMA. Seharusnya dia tidak perlu jimat keberuntungan.
Aku menatapnya penuh tanda tanya.
Kujo, yang sadar akan tatapanku, menoleh dan bertanya,
"Ada apa, Keido-kun? Kenapa menatap tasku begitu lama?"
"A-Ah, tidak ada apa-apa… Aku hanya penasaran… Kenapa kamu punya jimat keberuntungan?"
"Oh, ini? Sebenarnya ini milik seorang siswa yang menolongku saat insiden penyerangan. Dia menjatuhkannya di tempat kejadian. Aku sebenarnya ingin menyerahkannya sebagai barang temuan, tapi aku berharap bisa bertemu dengannya suatu hari nanti dan mengembalikannya langsung sambil menyampaikan rasa terima kasihku. Itulah kenapa aku masih menyimpannya."
"H-heh... S-semoga kamu bisa bertemu dengannya suatu hari nanti."
"Ya! Aku hampir tidak punya petunjuk apa pun, tapi selama aku membawa jimat ini, aku merasa suatu saat nanti kami akan bertemu lagi! Makanya aku selalu membawanya ke mana-mana!"
"O-oh... Semoga saja begitu."
"Ya!"
Tunggu dulu!
Jadi, itu memang jimat milikku!?
Aku tahu kalau aku menjatuhkannya di dalam mobil saat insiden itu terjadi, tapi kenapa harus di depan Kujo!?
Sial... Kenapa hidupku sebegini sialnya? Kenapa semua ini harus terjadi? Tuhan jelas-jelas ada di pihak Kujo!
Saat aku masih sibuk meratapi nasibku—
Graaak!
Pintu kelas terbuka, dan seorang guru wanita muda melangkah masuk.
Dia naik ke podium, memandang seisi kelas, lalu berkata,
"Yo, semuanya. Kita langsung mulai home room, ya!"
Dia masih muda dan cantik.
Rambut pendek hitam, tanpa riasan, tapi tetap memancarkan kecantikan yang luar biasa. Ditambah dengan postur tubuh yang ideal dan—yah, bagian atasnya cukup menonjol. Sungguh kombinasi yang tidak adil.
"Baik, sebelum kita mulai home room, kita akan melakukan perkenalan dulu. Aku wali kelas kalian, Hanada. Kalian bisa memanggilku Hana-Sensei mulai sekarang."
Setelah perkenalan singkat dari Hana-Sensei, home room pun dimulai. Tidak ada yang spesial—hanya sekadar sesi perkenalan diri.
Aku juga memperkenalkan diriku dengan informasi standar: nama, asal sekolah, dan hobi. Tidak perlu memberikan kesan yang mencolok. Aku hanya ingin menjalani kehidupan SMA yang damai dan biasa-biasa saja.
Giliran perkenalan terus berlanjut sampai akhirnya tiba pada Kujo, yang duduk di sebelahku.
"Aku Kujo Hinami. Aku naik dari jenjang SMP di sekolah ini. Aku juga anggota OSIS, jadi jangan ragu untuk mengajakku bicara kapan saja."
Hanya itu.
Namun, bagi siswa yang baru masuk SMA, perkenalannya memberikan dampak besar.
Dalam sekejap, kelas menjadi riuh.
Tak heran. Kujo adalah gadis yang dijuluki "Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun" di internet. Bisa dibilang, dia adalah siswi SMA paling terkenal di Jepang saat ini.
Mengingat sosok sebesar dia berada di kelas ini, tidak mengherankan jika semua orang heboh.
Meskipun ada sedikit kehebohan, perkenalan akhirnya selesai tanpa masalah besar.
Aku berpikir bahwa setelah ini kami bisa pulang.
Tapi ternyata masih ada hal lain yang harus dilakukan.
Begitu sesi perkenalan berakhir, Hana-Sensei berkata,
"Sebenarnya aku ingin membubarkan kelas sekarang, tapi mulai besok kita harus memilih petugas kelas dan anggota berbagai komite. Jadi, sebelum itu, aku ingin menunjuk ketua kelas dulu. Ada yang mau menjadi sukarelawan?"
Berbeda dengan kegaduhan setelah perkenalan Kujo, kali ini kelas menjadi sunyi senyap.
Wajah Hana-Sensei pun berubah sedikit muram.
Dari semua tugas dan posisi yang ada, ketua kelas adalah yang paling merepotkan.
Bukan hanya harus mengatur kelas, tapi juga bertanggung jawab atas disiplin seluruh angkatan.
Siapa yang mau melakukan pekerjaan seberat itu?
"Aku bersedia!"
Ada!?
Serius!?
Dan parahnya, orang itu duduk di sebelahku!
Di tengah kesunyian yang menyelimuti kelas, seseorang dengan percaya diri mengangkat tangannya.
Orang itu adalah Kujo Hinami.
"Oh! Serius, Kujo!? Wah, itu sangat membantu!"
Hana-Sensei langsung tersenyum bahagia begitu mendengar Kujo bersedia menjadi ketua kelas.
"Senang Kujo bersedia. Tapi, aku butuh satu orang lagi. Karena sekolah ini baru saja menjadi sekolah campuran, akan lebih baik jika satunya lagi adalah siswa laki-laki. Ada yang bersedia?"
Hana-Sensei lalu mulai memindai siswa laki-laki di kelas satu per satu.
Tatapannya cukup tajam hingga terasa seperti sebuah tekanan tersirat.
Tidak, tidak, tidak! Aku tidak mau jadi ketua kelas!
Terlebih lagi, kalau harus bersama Kujo, itu jelas berbahaya!
Aku harus menjaga identitasku tetap tersembunyi! Ini bukan pilihan!
Aku berpaling, berpura-pura tidak mendengar.
Namun—
"Yah... Tidak ada yang mau?"
Tiba-tiba, Hana-Sensei mengubah topik.
"Oh iya, tadi aku sempat mendengar cerita tentang seorang siswa laki-laki yang membantu anak kecil yang tersesat dan mengantarnya ke ruang guru. Anak itu ada di kelas ini, kan?"
Sial!
Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini!
Jika mereka sadar bahwa akulah siswa yang dimaksud, pasti aku akan dipaksa menjadi ketua kelas!
"Tidak perlu repot-repot mencari, Bu. Dia ada di sini, tepat di depan saya."
Yang berbicara adalah Koi.
Aku langsung menoleh padanya, dan—
Dia hanya menyeringai.
Dia menyeringai seperti iblis.
Kau ini benar-benar sadis, yaaa!?
Jadi kau memang berniat memaksa aku menjadi ketua kelas!?
"Oh, begitu! Wah, kebetulan sekali! Baiklah, Keido! Tindakanmu tadi sungguh luar biasa. Aku ingin kau menjadi ketua kelas bersama Kujo! Kau bersedia, kan?"
Sudah kuduga! Tentu saja ini akan terjadi!
"E-er... Begini, Bu Guru..."
Saat aku masih mencoba mencari alasan, Hana-Sensei tiba-tiba memasang senyuman aneh.
"Kau mau melakukannya, kan? Ke・i・do・u♡"
Serem banget!!
Apa dia pikir menambahkan hati di akhir kalimat membuat tekanan ini terasa lebih ringan!? Justru makin menakutkan!
Dan senyumannya itu! Astaga, seram banget!
Aku yakin kalau aku menolak, sesuatu yang mengerikan akan terjadi!
"....Baiklah, saya mengerti...."
Akhirnya, aku menyerah di bawah tekanan Hana-Sensei.
"Bagus, bagus! Terima kasih, Keido! Mulai sekarang, kau dan Kujo bertanggung jawab atas kelas ini! Oke, kalau begitu, kelas bubar! Sampai jumpa besok!"
Begitulah cara aku dipaksa menjadi ketua kelas bersama Kujo karena tekanan Hana-Sensei.
Hari ini benar-benar gila.
Bukan cuma aku bertemu Kujo secara kebetulan, tapi juga sekelas dan duduk bersebelahan dengannya.
Dan sekarang, kami juga jadi ketua kelas bersama.
Apa-apaan alur ini!? Tuhan, apa Kau berniat membunuhku!?
Post a Comment