NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Chikatetsu de Bishoujo o Mamotta Ore V3 Chapter 11 — 20

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Chapter 11: Muncul!?

"Aaah, adegan itu benar-benar mengguncang hatiku! Rasanya super seru!"

Yuri menyeruput minumannya dengan semangat sambil berbicara penuh antusias tentang film yang baru saja kami tonton.

"Iya. Biasanya aku jarang menonton film romantis, tapi sesekali tidak ada salahnya juga. Yah, meskipun aku sama sekali tidak punya keinginan untuk mengalami cinta yang bikin hati berdebar seperti itu."

"Eh, jangan-jangan, Koi-san itu sebenarnya cuma sok tegar? Dalam hati kamu juga ingin mengalami cinta yang membara, kan?"

"Hah? Berani sekali seorang bawahan seperti kamu membantah perkataanku. Mau kuhapus dari dunia ini?"

"Ucapanmu sudah seperti iblis, serius..."

"Apa barusan kamu bilang? Iblis? Aku ini apa?"

Koi-san menatapku tajam dengan dahi berkerut.

S-Seram! Aku kelepasan bicara! Ini bisa berujung maut!

"Heeey, tenang dulu, Koi-chi! Dia cuma bercanda! Benar kan, Ryo?"

"O-O-Of course! Aku cuma bercanda!"

Untung saja Yuri turun tangan dan membantuku meredakan situasi. Aku langsung mengikuti alurnya untuk menenangkan Koi-san.

Setelah menatapku dengan mata menyipit, dia akhirnya menghela napas.

"Hmph... Baiklah."

Meski masih menatapku tajam, dia akhirnya menyeruput minumannya dengan sedotan.

"Tapi ngomong-ngomong, Hinami lama sekali ya? Kenapa dia belum datang? Sudah hampir sepuluh menit sejak kita masuk ke sini. Apa dia baik-baik saja?"

Saat itu juga, bulu kudukku berdiri.

Hinami sekarang sedang sendirian. Dan dia belum datang juga ke sini...

Jangan-jangan, stalker itu muncul!?

Memikirkan kemungkinan itu, tubuhku langsung bergerak sendiri. Aku berdiri dari tempat duduk dengan ekspresi tegang.

Karena si stalker tidak muncul di bioskop tadi, aku jadi lengah. Dan karena kecerobohanku, sekarang Hinami mungkin dalam bahaya...!

Ini buruk! Aku harus segera ke sana!

Saat aku menoleh, aku melihat Koi-san menatapku serius. Lewat tatapan matanya, dia seperti berkata, "Pergilah. Yuri akan aku jaga."

Terima kasih, Koi-san. Aku serahkan Yuri padamu.

"H-Hah? Ryo, kenapa tiba-tiba berdiri?"

"Maaf! Aku juga mau ke toilet sebentar! Koi-san, Yuri, tunggu di sini!"

"Eh, tunggu sebentar, Ryo—!"

Aku mengabaikan teriakan Yuri dan langsung berlari menuju toilet wanita secepat mungkin.

*** 

"Sial! Jangan-jangan dia masuk ke toilet wanita!? Tidak, tapi di sana pasti ada orang lain, jadi seharusnya dia tidak bisa bertindak sembarangan. Kalau begitu, mungkin dia mendekati Hinami begitu dia keluar dari toilet? Bagaimanapun juga, aku harus cepat ke sana!"

Sambil menggerakkan kaki dan tanganku sekuat tenaga, aku terus melihat sekeliling mencari Hinami.

Sial! Karena ini masih liburan musim panas, tempat ini dipenuhi oleh siswa dan keluarga! Dengan kondisi ini, aku tidak bisa melihat di mana Hinami berada!

Sudah berkali-kali aku meneleponnya, tapi dia tidak mengangkatnya sama sekali! Brengsek! Dia ada di mana!?

"Haa… haa… haa… Hinami, kau di mana!?"

Karena terus berlari tanpa henti, aku akhirnya berhenti sejenak untuk mengatur napas dan kembali melihat ke sekeliling.

Tapi tetap saja, aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan Hinami. Dia tidak ada di mana pun.

"Sial! Apa yang harus kulakukan!?"

Saat aku menggerutu panik—

"A-anu… aku benar-benar tidak bisa menerima hal seperti itu!"

Seseorang berkata dengan suara penuh kegelisahan.

Suara itu… Tidak salah lagi, itu Hinami! Dia ada di mana!? Apakah dia masih aman!?

Aku terus menoleh ke segala arah, mengamati sekitar dengan penuh kewaspadaan.

Dan kemudian, sedikit jauh dari tempatku berdiri, aku melihatnya.

Hinami, dan seorang pria mencurigakan berdiri di depannya.

Pria itu mengenakan topi hitam yang ditarik rendah, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Tapi dari pakaian dan posturnya, jelas dia seorang laki-laki.

Aku harus ke sana!

Aku menerobos kerumunan orang, memaksakan diri maju untuk sampai ke Hinami secepat mungkin.

"Hinami! Kau tidak apa-apa!?"

Aku berteriak sambil berdiri di antara mereka berdua, melindungi Hinami di belakangku. Bersamaan dengan itu, aku menatap pria itu dengan tatapan tajam.

"Hei, kau! Apa yang kau inginkan darinya!?"

"E-Eh!? Jadi dia sedang kencan dengan pacarnya!? A-aku benar-benar minta maaf! Aku tidak tahu sama sekali! Aku hanya ingin berbicara dengannya!"

"Hah…? Minta maaf?"

Alih-alih bersikap agresif atau melawan, pria itu malah menundukkan kepala dengan sopan dan meminta maaf.

Reaksinya sangat tidak terduga hingga otakku tidak bisa langsung memprosesnya.

Seorang stalker biasanya tidak akan menyerah semudah ini, kan? Bahkan, sikapnya terlihat cukup baik. Dia bukan tipe yang berbahaya… malah terlihat seperti orang yang sopan.

"A-Ah! Bukan begitu, Ryo-kun! Orang ini… u-um… dia bilang dia adalah penggemarku!"

"Apa? Penggemar? Maksudmu… penggemar seperti di dunia hiburan itu?"

"U-Uh huh…"

Dengan wajah memerah, Hinami mengangguk malu-malu.

Otakku semakin bingung.

Jadi dia bukan stalker, tapi penggemar!?

Apa-apaan ini!?

Sementara aku masih terjebak dalam kebingungan, Hinami buru-buru menjelaskan situasinya.

"Maaf ya, Ryo-kun! Orang ini hanya penggemarku, d-dia cuma ingin berfoto denganku. Aku sedang menolaknya, lalu tiba-tiba kamu datang dan—"

Begitu Hinami selesai berbicara, pria itu pun ikut menjelaskan.

"I-Iya! Aku melihat foto Hinami-chan di internet dan berpikir dia sangat cantik! Aku ingin sekali berbicara dengannya, dan kebetulan aku bertemu dengannya di sini… Jadi aku cuma ingin meminta foto bersamanya…"

"Jadi, jadi kau cuma seorang… penggemar?"

"T-Tentu saja! Aku benar-benar hanya bertemu dengannya secara kebetulan! Aku tidak tahu kalau dia punya pacar… M-maafkan aku!"

Pria itu kembali membungkuk dalam-dalam padaku, lalu dengan cepat pergi seperti sedang melarikan diri.

Jadi… dia bukan stalker.

Dia hanya seorang penggemar biasa.

Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan dan bertindak gegabah…

Ini benar-benar memalukan! Aku kelihatan seperti orang bodoh yang sok keren!

"S-Sorry… Aku sudah salah paham."

"T-Tidak apa-apa! Jangan khawatirkan itu! Dari sudut pandang pacarnya, wajar jika kau merasa seperti itu! Maaf ya, aku benar-benar tidak bermaksud mengganggu!"

Setelah mengatakan itu, pria tersebut langsung pergi terburu-buru.

Aku memang sudah meminta maaf atas kesalahpahamanku, tapi aku belum sempat meluruskan kesalahpahamannya tentang aku sebagai 'pacar' Hinami.

Aku benar-benar membuat kekacauan kali ini. Aku bertindak gegabah dan malah merepotkan Hinami.

"Maaf, Hinami. Aku sudah membuat kekacauan."

"Tidak, jangan khawatir. Malah aku yang harusnya minta maaf karena membuatmu khawatir. Ryo-kun tidak melakukan kesalahan apa pun."

"T-Tapi tetap saja…"

"Aku senang, tahu. Ryo-kun datang lebih cepat dari siapa pun untuk menolongku. Aku benar-benar senang. Jadi, jangan merasa bersalah, ya?"

Hinami meletakkan kedua tangannya di dadanya, lalu tersenyum lembut sambil mengucapkan kata-kata itu.

Begitu mendengarnya, aku tanpa sadar tersenyum sendiri.

Karena takut dia melihat ekspresiku, aku buru-buru membuang muka. Tapi… aku yakin wajahku pasti sudah merah sampai ke telinga.

Aku memang terlalu cepat mengambil kesimpulan dan hampir membuat masalah, tapi pada akhirnya Hinami baik-baik saja, jadi mungkin tidak apa-apa.

Tapi… entah kenapa…

Setiap kali aku melihat wajah Hinami, setiap kali dia memujiku seperti tadi…

Kenapa hatiku terasa begitu berdebar?

Apakah mungkin… aku…?

Chapter 12: Pulang Bersama

Pada akhirnya, si penguntit tidak muncul di dalam pusat perbelanjaan. Setelah ngobrol seadanya tentang film yang baru saja kami tonton, kami pun berpisah.

Namun, mengingat kemungkinan dia muncul di perjalanan pulang, aku memutuskan untuk menemani Hinami sampai ke rumahnya.

Setelah turun di stasiun terdekat, kami berjalan berdua menuju rumahnya.

"Rasanya, waktu berlalu begitu cepat hari ini," kata Hinami sambil menatap langit yang berwarna jingga karena matahari terbenam.

"Mereka bilang semakin bertambah usia, waktu terasa berjalan lebih cepat. Aku juga nggak tahu kenapa begitu."

"Aku juga nggak tahu. Tapi memang aneh, ya? Waktu yang menyenangkan selalu terasa begitu singkat. Hari ini seru banget—belanja bareng Koi-chan, nonton film bareng semuanya, rasanya benar-benar menyenangkan. Waktu berlalu begitu cepat. Dan juga…"

Hinami berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lembut.

"Saat Ryo-kun datang menolongku tadi… hanya sesaat, tapi aku merasa seperti melihat sosok pahlawan itu lagi. Entah kenapa, saat aku melihat punggungmu, aku merasa tenang."

Mendengar kata-katanya, aku langsung teringat sesuatu.

Dulu, aku pernah menyelamatkan Hinami dari serangan orang tak dikenal. Aku memang belum pernah mengaku, tapi dia pasti masih mengingat punggung orang yang menyelamatkannya saat itu. Mungkin itulah sebabnya dia merasa tenang saat melihat punggungku.

Mungkin karena pernah diselamatkan sekali, secara tidak sadar hatinya merasa nyaman.

"Jangan terlalu dipikirkan. Siapa pun pasti akan merasa tenang jika ada seseorang di sisinya."

Tepat setelah aku mengatakannya—

Hinami tiba-tiba menggenggam tanganku erat dan menatapku dengan wajah serius.

Gerakannya itu membuatku refleks menghentikan langkah.

"T-tidak, bukan begitu…! Kalau bukan Ryo-kun, aku mungkin… aku mungkin tidak akan merasa tenang… Hanya karena itu Ryo-kun…"

Dengan wajah yang memerah karena malu, Hinami tetap menatap mataku dan mengungkapkan perasaannya dengan sungguh-sungguh.

Bahkan aku yang kurang peka pun bisa langsung menyadari bahwa dia tidak sedang bercanda.

"Begitu, ya… Entah kenapa aku merasa senang. Terima kasih, Hinami."

Kenapa, ya? Sejak kapan aku jadi seperti ini? Sejak festival olahraga itu, mungkin…?

Setiap kali Hinami mengatakan sesuatu, hatiku sering terasa berdebar.

Aku merasa bahagia, sampai tanpa sadar aku tersenyum sendiri.

Hatiku terasa hangat. Dari dalam tubuhku, aku merasakan sesuatu yang menghangatkan.

Saat Hinami ada di sampingku, aku merasa tenang.

Perasaan ini… mungkinkah…?

Sementara pikiranku masih belum bisa tenang, aku mulai melangkahkan kaki lagi.

Genggaman tangan Hinami masih erat, tapi aku tidak mencoba melepaskannya.

Awalnya, dia hanya menggenggam tanganku. Namun perlahan, jari-jari kami mulai saling bertautan.

Tanpa mengatakan apa pun, kami terus berjalan bersama—dengan tangan yang saling terpaut erat, layaknya sepasang kekasih.


Chapter 13: Undangan

Sudah dua minggu berlalu sejak kami berbelanja di pusat perbelanjaan.

Sejak saat itu, aku dan Hinami menelepon setiap hari, tapi tidak ada perubahan yang berarti.

Dia juga tidak melihat orang mencurigakan di sekitar rumahnya, dan tidak ada pesan aneh yang dikirimkan kepadanya.

Jadi, untuk sementara, hari-hari kami berjalan dengan damai.

Aku sendiri tetap menjadi pemalas tanpa kegiatan, jadi aku hanya bersantai di sofa ruang tamu sambil memainkan game ritme secara asal. Kebetulan hari ini aku bangun lebih awal, jadi sejak pukul sembilan pagi, aku sudah bermain game tanpa henti.

Karena orang tuaku sedang bekerja, tidak ada yang bisa mengomeliku meskipun aku menjalani hidup yang malas begini.

Satu-satunya orang di rumah selain aku adalah Michika, tapi dia akan pergi keluar nanti. Mungkin nanti aku akan memesan makanan antar untuk makan siang dan tetap bersantai.

"Oh, Onii. Ternyata di sini. Eh, bisa sebentar?"

"Hmm? Kenapa?"

Michika turun dari lantai dua dan memanggilku yang sedang bermalas-malasan di ruang tamu.

Aku menghentikan game untuk sementara dan menoleh ke arahnya.

"Aku mau pergi main dengan teman-teman, jadi kalau nanti kamu keluar, tolong kunci rumah, ya?"

"Baik."

Michika lalu berjalan ke pintu depan dan pergi keluar.

Dia hampir setiap hari pergi bermain. Nggak bosan, ya…? Tapi, ya sudahlah. Lagipula, aku bisa menikmati waktu sendirian.

Fiuh, akhirnya rumah kosong. Tidak ada siapa pun yang mengganggu. Nyaman sekali.

Aku pun kembali melanjutkan game yang sempat terhenti.

Dalam lingkungan yang sepi tanpa gangguan, aku fokus bermain game selama tiga puluh menit.

Saat ingin beristirahat sejenak dan mengambil teh, tiba-tiba ponselku berbunyi di ruang tamu yang kosong.

Ketika melihat layar, aku terkejut melihat nama Hinami muncul.

Hah? Kenapa tiba-tiba menelepon? Ada sesuatu yang terjadi?

"Halo? Ini aku."

"Ah! Selamat pagi, Ryo-kun!"

"Pagi. Ada apa menelepon sepagi ini?"

"U-umm… Aku ingin berkonsultasi denganmu tentang sesuatu."

"Dengan aku?"

Jangan-jangan ini soal penguntit itu?

Tapi suaranya terdengar tenang, tidak terdengar panik. Kalau begitu, mungkin ini tentang hal lain.

"Ryo-kun… Akhir pekan depan kamu ada rencana?"

"Akhir pekan depan…? Hmm, tidak ada. Aku kosong."

Aku bahkan tidak perlu mengecek jadwal.

Liburan musim panas tahun ini, aku memang tidak memiliki rencana khusus. Tidak ada acara besar, jadi aku yakin akhir pekan depan aku masih luang.

"Syukurlah! Sebenarnya… Aku, Koi-chan, dan Yuri-chan berencana pergi berlibur selama dua hari satu malam."

"Liburan, ya? Kedengarannya menyenangkan. Semoga kalian bersenang-senang."

"U-umm… Ryo-kun mau ikut juga?"

"Hah? Aku juga?"

"Iya. Kami sudah merencanakannya sejak lama, dan aku berpikir, bagaimana kalau Ryo-kun ikut juga? Saat liburan musim panas, di kelas kamu bilang tidak punya banyak rencana, jadi… aku ingin mengajakmu…"

"A-aku boleh ikut!?"

Tanpa sadar, aku berteriak di ruang tamu yang kosong. Aku tidak pernah menyangka akan diajak berlibur oleh Hinami.

"Iya… Kalau Ryo-kun tidak keberatan, aku ingin kamu ikut… Aku ingin membuat kenangan bersama!"

"A-aku mengerti! Aku ikut! Terima kasih sudah mengajakku!"

Sebelum aku sadar, aku sudah menjawab dengan penuh semangat.

Aku merasa sangat senang mendengar kata-kata Hinami. Ini bukan sekadar untuk melengkapi jumlah orang, tapi dia benar-benar mengajakku dengan tulus.

Hinami mengingat bahwa aku tidak memiliki rencana selama liburan musim panas, itulah sebabnya dia mengundangku. Kalau aku menolak, aku pasti akan merasa sangat bersalah.

Belakangan ini, si penguntit juga tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak. Sesekali, tidak ada salahnya bersikap seperti siswa biasa dan membuat kenangan.

"Syukurlah! Nanti aku kasih tahu detailnya, ya!"

Setelah itu, dia memberitahuku tentang tujuan perjalanan dan tempat berkumpul pada hari keberangkatan.

Akhirnya, meskipun awalnya aku tidak memiliki rencana apa pun, aku sekarang akan pergi liburan selama dua hari satu malam bersama Hinami.

Terima kasih, Hinami. Dan juga, terima kasih Yuri dan Koi-san!

Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku pergi berlibur.

Chapter 14: Kolam Renang

"Wow! Jadi ini hotel tempat kita menginap, ya? Besar sekali! Aku bakal ambil banyak foto dan nanti upload ke X!"

Begitu kami tiba di hotel, Yuri yang sudah dalam keadaan sangat bersemangat langsung melompat-lompat dan menjadi orang pertama yang memasuki lobi. Ia segera mengarahkan ponselnya ke berbagai sudut dan mulai mengambil banyak foto.

"Yuri, jangan terlalu heboh! Tunggu sebentar! Ayo masuk bersama-sama!"

Hinami kemudian mengejar Yuri yang sudah berlari melewati pintu otomatis hotel.

Mereka terlihat seperti seorang anak kecil yang terlalu senang saat pertama kali masuk ke toko mainan, dan orang tua yang sibuk mengawasinya.

"Ayo kita juga masuk," ujar Koi-san.

"Oke," jawabku.

Aku dan Koi-san mengikuti mereka berdua dan melangkah ke dalam lobi hotel.

Saat ini, kami berada di sebuah hotel mewah yang terintegrasi dengan fasilitas rekreasi skala besar. Pada musim panas seperti ini, kolam renang yang memiliki luas setara dengan satu Tokyo Dome dibuka untuk umum, dan setiap tahunnya selalu dipadati pengunjung.

Sejujurnya, bagi pelajar seperti kami, menginap di hotel ini bukanlah hal yang mudah secara finansial. Harga per malamnya saja sudah sangat mahal, apalagi jika ditambah dengan biaya masuk ke kolam renang. Gaji dari pekerjaan paruh waktu siswa SMA tentu tidak akan cukup untuk membayar semuanya.

Namun, kebetulan ayah Koi-san adalah pemilik hotel ini, sehingga kami bisa mendapatkan harga khusus dengan biaya yang jauh lebih murah.

Aku cukup terkejut saat mengetahui bahwa keluarganya memiliki jaringan hotel terkenal di seluruh negeri. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, mungkin ini bukan hal aneh di sekolah kami. Sebelum menjadi sekolah campuran, sekolah ini dulunya adalah sekolah khusus putri, jadi wajar saja jika banyak anak dari keluarga konglomerat atau pejabat tinggi yang bersekolah di sini. Sekali lagi, aku merasa betapa luar biasanya sekolah tempatku belajar sekarang.

"Koi-san, terima kasih banyak. Aku benar-benar tidak menyangka bisa menginap di sini dengan harga semurah ini. Aku sempat mencari harga hotel ini di internet, dan begitu tahu betapa mahalnya, aku sampai kaget," kataku.

"Ah, tidak perlu berterima kasih. Aku hanya memanfaatkan koneksi keluargaku saja, tidak ada usaha keras yang kulakukan. Jika ingin berterima kasih, lebih baik kamu mengucapkannya pada Hinami."

"Hah? Pada Hinami?"

"Ya. Dia yang merencanakan perjalanan ini. Untukmu, lho."

Koi-san melanjutkan,

"Sebelum liburan musim panas, kamu pernah bilang kalau kamu tidak punya rencana apa pun dan hanya akan menghabiskan waktu dengan santai, kan? Setelah mendengarnya, Hinami langsung datang padaku dan berkata ingin membuat kejutan dengan merencanakan perjalanan ini. Karena itulah aku membantunya. Jadi, kalau mau berterima kasih, ucapkanlah pada Hinami."

"Benar-benar… Aku beruntung memiliki teman seperti mereka…"

"Itu sudah pasti. Selain itu, suasana juga sempat terasa suram karena kasus penguntit itu, jadi sesekali kamu perlu menyegarkan pikiran. Nikmatilah hari ini sepuasnya, wahai Tuan Pahlawan."

"Kau benar. Aku akan menikmati hari ini sepenuhnya."

Kami kemudian menitipkan barang-barang di resepsionis.

Setelah itu, kami berempat langsung menuju ke kolam renang raksasa yang berada di dalam kompleks hotel.

*** 

"Wow... Aku memang sudah melihatnya di foto, tapi ini jauh lebih besar dari yang kubayangkan. Ada cukup banyak orang, tapi tempat ini masih terasa luas. Sebenarnya kolam ini bisa menampung berapa orang, ya?"

Di hadapanku terbentang berbagai wahana air, seperti lazy river yang mengalir perlahan dan water slide yang dimulai dari ketinggian lebih dari sepuluh meter, lalu meluncur turun dengan kecepatan tinggi.

Sepertinya ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk bermain seharian penuh.

Setelah melihat berbagai kolam renang yang tersebar di sekeliling, aku memutuskan untuk menunggu ketiga gadis itu di bawah menara jam besar saat mereka berganti pakaian.

Karena anak laki-laki biasanya lebih cepat dalam berganti pakaian, aku sudah memperkirakan bahwa aku pasti akan menunggu. Namun, sudah sekitar lima belas menit berlalu sejak kami berpisah di depan ruang ganti.

"Lama sekali... Padahal, kalau tidak salah, tempat janjian kita di sini," gumamku sambil menunggu.

Saat itu—

"Ah! Ketemu! Ryo-kun!"

Aku mendengar suara Hinami dari kejauhan.

Aku segera melihat ke sekeliling untuk mencari sumber suara itu, dan tak lama kemudian, aku melihat Hinami berlari ke arahku dari sisi kanan. Di belakangnya, Koi-san dan Yuri juga mengikuti.

Ketiganya berlari kecil dengan mengenakan baju renang, dan karena itu, dada mereka ikut bergerak naik turun (kecuali Koi-san).

Akibatnya, banyak pria di sekitar yang langsung terpaku menatap mereka—termasuk aku.

Tunggu... Sekarang aku perhatikan baik-baik... Baju renang yang mereka pakai...

Itu yang kami beli waktu di mal, bukan!?

Jadi mereka sengaja membelinya untuk hari ini!?

Baru sekarang aku benar-benar memahami maksud perkataan Yuri saat itu. Pantas saja dia mengatakan hal yang agak misterius waktu itu...

Jadi, mereka sudah mengetahui rencana ini sejak awal, dan sengaja memilih baju renang yang sesuai.

Gawat... Ketiganya memakai baju renang yang benar-benar cocok dengan kelebihan masing-masing.

Aku benar-benar akan bermain di kolam renang bersama tiga gadis cantik ini? Kenapa aku jadi gugup begini...?

"Ryo-kun, maaf ya! Sudah menunggu lama?"

"Ya ampun, Hinami cepat sekali! Maaf, ya, sudah membuatmu menunggu lama, Ryo!"

"Kalian berdua, sedikit tenanglah."

Hinami adalah yang pertama tiba di hadapanku, disusul oleh Yuri dan Koi-san. Ketiganya sedikit terengah-engah, dan keringat menetes di pipi mereka.

Saat aku tanpa sadar mengikuti tetesan keringat di wajah Hinami dengan pandanganku, keringat itu akhirnya jatuh dan menghilang di belahan dadanya.

Tiba-tiba, aku menyadari bahwa aku sedang melihat sesuatu yang biasanya tidak pernah kulihat dari Hinami. Aku pun buru-buru mengalihkan pandangan ke samping.

Sial... Aku tidak sedang berpikir macam-macam, kan...?

"T-tidak apa-apa! Aku juga tidak menunggu terlalu lama, kok."

"Syukurlah! Ngomong-ngomong, Keido Ryo-san... Barusan kau sedang melihat keringat yang jatuh ke dada Hinami, bukan? Benar, kan?"

Sepertinya Yuri tidak melewatkan hal itu.

Dia menatapku dengan seringai licik, jelas menikmati reaksiku.

Sial... Jadi Yuri melihatnya, ya...?

"Tidak, aku tidak melihat apa pun! Mungkin kau hanya salah paham!"

"Oh~? Jadi meskipun melihat dada seorang siswi SMA dari dekat, kau tetap bersikap tenang~? Atau jangan-jangan, sebenarnya kau malah merasa bersemangat, ya~?"

"T-tidak, sama sekali tidak!"

"Lalu, bagaimana dengan ini?"

Tiba-tiba, Yuri menarik lenganku dan menekankannya ke dadanya.

Sensasi lembut dan kenyal itu langsung tertangkap oleh otakku, membuatku tidak bisa langsung bereaksi.

"Bagaimana rasanya, Ryo?" godanya sambil tersenyum jahil.

"H-hei! Dasar bodoh! Jangan bercanda seperti ini, Yuri!"

"Eh~? Kenapa, Ryo~? Kau masih ingat, kan, kalau kau sendiri yang memilih baju renang ini waktu di mal~? Aku sudah mempersiapkan ini dengan baik untuk hari ini~"

Benar juga... Baju renang yang Yuri kenakan sekarang adalah yang dibelinya saat di mal. Dari semua yang dia coba waktu itu, ini adalah yang paling terbuka dan terlihat lebih seperti baju renang untuk wanita dewasa.

Melihat Yuri dari jarak sedekat ini—terutama belahan dadanya—membuatku semakin gugup.

Aku pun berusaha menjauh, tapi Yuri tidak melepaskan genggamannya dan semakin erat mencengkeram lenganku.

Bermesraan seperti ini di depan banyak orang jelas bukan ide yang bagus...!

A-aku mulai merasa risih dengan tatapan orang-orang sekitar! Ini gawat!

Kenapa Yuri bisa tetap santai dalam situasi seperti ini? Atau jangan-jangan... dia malah semakin bersemangat!? Matanya bahkan terlihat berkilauan!

"Hoi, Yuri. Jangan melakukan hal seperti itu di tempat umum. Lepaskan dia,"

Melihat aku yang kebingungan, Koi-san menghela napas dan akhirnya masuk di antara kami, memisahkanku dari Yuri.

Begitu aku berhasil menjauh dari Yuri, Koi-san menatapku dengan tatapan dingin.

"Kenapa wajahmu merah begitu...? Malu, ya? Pilih waktu dan tempat yang tepat kalau mau begituan."

"A-aku minta maaf..."

"Haa... Dasar anak laki-laki di usia seperti ini. Begitu melihat dada perempuan yang besar, langsung bernapas berat dan bersemangat berlebihan..."

Ekspresi Koi-san tampak sedikit tidak puas.

Hmm...? Ini jarang terjadi... Ah, jangan-jangan... Koi-san iri pada Yuri karena dia tidak punya dada besar...?

"Kau barusan pasti berpikir, 'Koi-sama pasti iri pada Yuri karena tidak punya dada besar,' kan?"

"T-tidak, tidak, tidak! Aku sama sekali tidak berpikir begitu! Tidak ada niat seperti itu! Dan kenapa tiba-tiba pakai 'sama'!?"

Hampir saja aku dalam bahaya! Tapi tunggu... Kenapa dia bisa tahu apa yang aku pikirkan!?

Apa dia seorang cenayang!? Jangan-jangan Koi-san bisa membaca pikiran orang!?

"Hmm... Soalnya, dari raut wajahmu, aku merasa kau sedang memikirkan hal semacam itu. Tapi tentu saja, kau tidak sedang berpikir seperti itu... kan? Kan?"

Tatapan Koi-san semakin tajam, membuat tubuhku refleks menegang.

Serem banget... Kalau aku jujur, dia pasti bakal membunuhku di tempat.

"A-aku sungguh tidak memikirkan hal seperti itu... Sungguh!"

Koi-san menatapku beberapa detik dengan ekspresi curiga sebelum akhirnya menghela napas.

"Hmph... Baiklah. Kali ini aku akan memaafkanmu."

Setelah mengatakan itu, dia mengalihkan pandangannya ke Yuri.

"Yuri, sebelum masuk ke kolam, kita harus mengisi udara di pelampung yang kita bawa. Aku melihat ada pompa udara di sana, jadi ayo cepat."

"Baik, baik~! Ayo pergi, Koi-chi! Ryo dan Hinami juga ikut, ya!"

"A-ah, baiklah. Ayo pergi, Hinami."

Saat aku hendak berjalan mendahului, tiba-tiba Hinami menggenggam tanganku dengan lembut.

Matanya sedikit berkaca-kaca, dan wajahnya merona saat dia membuka mulut untuk berbicara.

"R-Ryo-kun... Bagaimana menurutmu? B-baju renang ini... a-apakah cocok untukku...?"

Dia menatapku dengan tatapan memohon dari bawah, membuat jantungku langsung berdegup kencang.

Gila... Ini bikin jantungku berhenti sesaat!

Biasanya dia selalu memakai seragam, jadi aku tidak terlalu menyadarinya, tapi kulit Hinami benar-benar putih.

Tubuhnya ramping dan kencang, tapi dadanya tidak kalah dari Yuri.

Bagaimana caranya dia bisa punya tubuh yang bisa menghancurkan kewarasan pria seperti ini...?

"S-sangat cocok... Sebenarnya, terlalu cocok sampai aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat..."

Aku menjawab dengan sedikit gugup, tapi mata Hinami langsung berbinar setelah mendengarnya.

"B-benar!? Aku senang sekali! Kalau dipuji oleh Ryo-kun, rasanya sangat menyenangkan!"

Setelah itu, kini giliran Hinami yang memperhatikanku dengan tatapan penuh minat.

"Ryo-kun sendiri juga kelihatan sangat terlatih, ya? Perutmu cukup berotot, dan lenganmu juga..."

"Oh, ini? Aku dulu sering berlatih. Ototnya masih tersisa dari masa itu. Sekarang sih sudah agak menurun karena jarang latihan."

"Eh!? Jadi dulu lebih berotot lagi!?"

"Yah, kurang lebih begitu."

"Wah, keren! Aku selalu menganggap orang yang rajin berlatih itu sangat menarik!"

"T-terima kasih, Hinami."

"Ya! Ayo kita pergi, Ryo-kun!"

"Oke!"

Setelah mengobrol sebentar, aku dan Hinami pun menyusul Yuri dan Koi-san yang sudah berjalan lebih dulu.

Tapi... aku cukup terkejut mendengar Hinami mengatakan kalau dia menyukai pria yang berotot. Rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku mendengar pujian seperti itu darinya.

Ternyata dia lebih suka tipe pria yang atletis, ya? Aku tidak pernah menyangka itu, jadi cukup mengejutkan.

*** 

"Wah~. Nyaman sekali~. Memang kalau musim panas itu paling enak ke kolam renang, ya~."

Yuri bersandar di pelampung berbentuk donat, mengapung di permukaan air dengan wajah penuh kepuasan, membiarkan dirinya terbawa arus kolam.

Saat ini, kami berada di kolam arus. Kolam berbentuk lingkaran ini memiliki arus air yang lembut, sehingga tubuh kami secara otomatis terbawa mengitari kolam tanpa perlu berenang.

Karena ini adalah kolam pertama yang kami masuki, kami memilih tempat yang tenang dan santai seperti ini.

Sudah hampir sepuluh menit kami di sini, tapi arusnya begitu nyaman hingga rasanya ingin tetap berendam lebih lama.

Kami membiarkan diri terbawa arus sambil mengobrol santai.

"Memang paling enak kalau pertama masuk kolam itu di sini, ya~."

"Iya. Orangnya memang cukup banyak, tapi karena tempatnya luas, sama sekali tidak terasa sesak!"

Yuri tampak begitu menikmati suasana, sementara Hinami tersenyum ceria.

Di sisi lain, Koi-san yang bertubuh mungil hampir tidak bisa menapak dasar kolam, jadi dia memilih mengapung dengan pelampung. Dia juga memakai kacamata hitam, sambil menyeruput jus kelapa langsung dari buahnya melalui sedotan. Dia memang sempat mampir ke kios tadi untuk membeli itu.

Penampilannya benar-benar seperti orang kaya... Yah, memang dia orang kaya sih.

"Haa~. Ini baru namanya menikmati kolam renang," katanya dengan nada anggun.

Bukan hanya penampilannya, bahkan cara bicaranya pun seperti sosialita...

Sebagai rakyat jelata, ini pertama kalinya aku melihat seseorang menikmati kolam tanpa berenang sama sekali...

Sambil berenang ringan di depan Koi-san, aku tetap mengobrol dengan Yuri dan Hinami.

"Ryo~. Setelah ini kita mau ke kolam mana?"

"Aku sih terserah. Gimana kalau ke 'kolam ombak'?"

"Wah, ide bagus~! Hinami, gimana?"

"Aku setuju!"

Kolam ombak adalah kolam yang dibuat untuk menghasilkan ombak buatan. Gelombangnya bervariasi, kadang kecil, kadang besar.

Bahkan hanya dengan berendam di dalamnya, kolam ini tetap seru untuk dinikmati.

Tapi... Yuri ini dari tadi hanya mengandalkan pelampung dan sama sekali tidak mencoba berenang...

Koi-san menggunakan pelampung karena dia pendek dan kakinya hampir tidak menyentuh dasar kolam, tapi Yuri kan tinggi untuk ukuran perempuan, jadi kenapa dia tidak berenang...?

Aku penasaran, jadi aku coba mengetesnya.

"Hei, Yuri. Kita mau ke 'kolam ombak' setelah ini, jadi bagaimana kalau mulai berenang sekarang?"

Aku mengangkat pelampungnya dan dengan sedikit tenaga, membaliknya.

"Kyaa! Hei, Ryo!"

Yuri terkejut dan langsung tenggelam ke dalam air. Yah, sebentar lagi dia pasti muncul lagi dan mengomel, "Huh! Kenapa tiba-tiba begitu!?"

Atau setidaknya, itulah yang aku pikirkan. Tapi ternyata...

"Awawa! A-aku tidak bisa berenang! Ryo, tolong pinjamkan tubuhmu sebentar!"

Begitu muncul ke permukaan, Yuri langsung memeluk tubuhku erat-erat.

Kami pun jadi saling menempel. Aku bisa merasakan suhu tubuhnya... dan juga sesuatu yang empuk...! Lagi!?

"Yuri, jadi kau tidak bisa berenang!?"

"A-a-a-aku bisa berenang, tapi... h-hari ini kebetulan sedang..."

"Jadi memang tidak bisa berenang, kan!? Kenapa tidak bilang dari awal!?"

"Tidak mungkin! Mana mungkin aku bilang kalau aku tidak bisa berenang! Dasar Ryo bodoh!"

Yuri menggembungkan pipinya kesal, lalu mulai memukul-mukul dadaku dengan tangannya.

Karena dia sedang memelukku erat, aku tidak bisa langsung melepaskan diri, jadi aku hanya bisa menerima serangannya yang lebih terlihat seperti aksi manja.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau Yuri tidak bisa berenang. Ini mengejutkan.

Kalau yang tidak bisa berenang itu Hinami si gadis polos, aku masih bisa mengerti. Tapi Yuri, yang selalu bisa melakukan segalanya dengan baik, ternyata punya kelemahan seperti ini...?

"Sudah, aku marah! Sampai ke 'kolam ombak', aku mau digendong punggung!"

"Hei, hei! Gendong punggung itu keterlaluan!"

"Gendong! Gendong! Gendong! Gendong! Gendong!"

Pukulan di dadaku semakin kuat.

Memang tidak sakit, tapi aku tahu kalau aku sudah membuatnya kesal.

Untuk menenangkannya, mungkin aku harus menuruti permintaannya kali ini.

"Baiklah! Aku akan menggendongmu, jadi tenang dulu!"

Begitu aku mengatakan itu, Yuri langsung tersenyum lebar penuh kemenangan.

"Yeay~! Ayo cepat, Ryo! Kalian juga setuju, kan?"

"E-eh...? Aku sih tidak masalah..."

"Aku juga setuju. Tapi Yuri, jangan terlalu menempel..."

"Terima kasih~! Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa berenang! Ayo, Ryo!"

"O-oke..."

Aku pun berjalan menuju pinggir kolam sambil menggendong Yuri di punggung.

Sementara itu, Koi-san tetap asyik menyeruput jus kelapanya dengan kacamata hitamnya. Karena pelampungnya memiliki tali, Hinami menariknya agar bisa ikut berjalan bersama kami.

"Ryo-kun..."

"Hm? Kenapa? Kau memanggilku?"

Tiba-tiba aku mendengar suara Hinami memanggil namaku dengan pelan. Aku menoleh ke belakang, tapi dia hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi sedikit muram.

"T-tidak... Mungkin kau hanya salah dengar..."

"Begitu ya...?"

Aneh... Aku yakin tadi mendengarnya dengan jelas.

Tapi... kenapa ekspresi Hinami terlihat sedikit murung?

Padahal tadi dia masih ceria...

*** 

Setelah meninggalkan "Kolam Arus", tujuan kami berikutnya adalah "Kolam Ombak".

Kami berempat segera memasuki kolam yang dipenuhi banyak orang dan membiarkan tubuh kami terombang-ambing oleh gelombang air.

Begitu selesai meminum jus kelapa, kali ini Koi-chan menusukkan sedotan ke dalam buah nanas utuh dan langsung meminumnya.

Saat kami berjalan menuju kolam tadi, kami melihat ada minuman yang disajikan langsung dalam buah nanas, dan Koi-chan dengan cepat membelinya.

Benar-benar suka minum jus sambil berendam di kolam, ya, Koi-chan. Kuharap dia tidak sampai sakit perut...

Sementara Koi-chan menikmati kolam dengan caranya sendiri,

"Wow! 'Kolam Ombak' juga luar biasa! Gelombangnya cukup kuat, ya?"

"Memang lebih kuat dari yang kuduga. Yuri, kau tidak apa-apa meskipun tidak bisa berenang?"

"Aku baik-baik saja! Sekarang aku masih di atas pelampung, dan ada Ryo di dekatku, jadi aku tenang~!"

Yuri dan Ryo-kun terlihat begitu dekat satu sama lain, menikmati kolam bersama. Aku hanya bisa melihat punggung mereka berdua sambil terombang-ambing oleh ombak.

Aku juga ingin lebih banyak berbicara dengan Ryo-kun... Aku ingin lebih dekat dengannya. Tapi, di sisinya sudah ada Yuri...

Apakah aku hanya akan berakhir tanpa melakukan apa-apa...?

Tidak, tidak boleh...! Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi!

Aku harus berani! Kalau aku tidak melakukan sesuatu, tidak akan ada yang dimulai! Kalau aku hanya diam, aku tidak akan mendapatkan kesempatan!

Memang memalukan, dan aku sedikit gugup. Tapi aku harus melangkah...!

"R-Ryo-kun! Ombaknya cukup kuat, ya! A-aku juga bisa terseret, jadi bolehkah aku berada di dekatmu...?"

Aku berdiri di sisi kanan Ryo-kun, menatapnya meski malu.

"O-oh. Tentu saja tidak masalah. Hinami juga kurang pandai berenang?"

"Ti-tidak. Hanya saja, ada banyak orang di sini, dan, u-umm... kupikir aku akan merasa lebih tenang kalau ada di dekatmu."

Saat aku mengatakan itu, Ryo-kun tersenyum lembut. Pipinya sedikit memerah, tapi bibirnya terangkat membentuk senyuman.

"Ti-tidak masalah! Kalau aku bisa membantumu merasa lebih nyaman, tentu saja aku tidak keberatan."

"Te-terima kasih, Ryo-kun!"

Setelah mengucapkan terima kasih, aku melirik ke arah Yuri yang berada di sisi kiri Ryo-kun. Wajahnya terlihat sedikit tidak senang.

Bukan seperti dia menolak kehadiranku, tapi lebih seperti dia sedikit khawatir...

Itu wajar, kan? Karena orang yang disukai Yuri adalah Ryo-kun.

Namun, meskipun begitu, aku juga menyukai Ryo-kun.

Aku tidak bisa terus hanya melihat Yuri mendekatinya.

Aku tidak ingin hanya sekadar iri. Aku juga ingin merasakan cinta...

Aku mengalihkan pandanganku kembali ke Ryo-kun.

Lalu, dengan sekuat tenaga, aku menggenggam erat lengan kanan Ryo-kun.

Lengan Ryo-kun yang ramping namun kokoh menyentuh dadaku, membuatku sangat malu, tapi aku harus menahannya.

Kalau aku tidak bisa melakukan setidaknya ini, aku tidak akan bisa bersaing dengan Yuri...!

"Eh...?! Hinami, kenapa tiba-tiba?!"

"A-aku, umm! Aku ini tidak punya banyak tenaga, jadi kalau ada ombak besar, aku bisa dengan mudah terseret dan menabrak orang lain... J-jadi kupikir kalau aku berpegangan pada lenganmu, aku tidak akan terseret... A-apakah kau tidak suka...?"

Aku bisa merasakan wajahku memanas. Aku ingin segera menenggelamkan wajahku ke dalam air untuk mendinginkannya.

Tapi, aku tidak boleh mundur.

Ryo-kun itu baik hati, dia pasti akan menerimanya.

"Ka-kalau memang begitu, baiklah. Tapi tetap hati-hati agar tidak terseret, ya, Hinami."

"U-uhm! Terima kasih, Ryo-kun!"

Berhasil! Aku berhasil!

Aku bisa menempel pada Ryo-kun seerat Yuri. Tapi, ini saja belum cukup...

Setelah "Kolam Arus" ini, tujuan berikutnya mungkin adalah "Water Slide".

Water Slide itu adalah wahana di mana dua orang duduk di atas pelampung dan meluncur bersama dalam sekali dorongan.

Jadi, pasti nanti Yuri akan mengusulkan ke sana, lalu kami semua akan pergi begitu saja. Dan seperti biasa, Yuri akan mengajak Ryo-kun dengan cara yang alami. Kalau itu terjadi, aku hanya bisa melihat punggung mereka lagi.

Aku tidak boleh membiarkan itu terjadi. Jika aku sudah berhasil mendekati Ryo-kun, aku harus mengambil langkah berikutnya!

"A-a-ano, Ryo-kun!"

"Ryo, soal tempat selanjutnya—!"

Begitu aku memanggil Ryo-kun, suaraku bertabrakan dengan suara Yuri di saat yang sama.

Kami berdua saling menatap sesaat, lalu segera mengalihkan pandangan kembali ke Ryo-kun.

"Tempat selanjutnya, bagaimana kalau 'Water Slide'!?"

Seperti yang kuduga, Yuri juga memikirkan hal yang sama.

Aku tahu kalau dia pasti akan mengajak Ryo-kun, tapi aku juga tidak bisa tinggal diam!

"A-ah, baiklah... kalau begitu..."

"Kalau begitu, ayo naik berdua!"

Kata-kata kami lagi-lagi saling bertumpukan.

Di titik ini, tidak ada gunanya merasa malu. Aku harus memastikan aku tidak kalah dari Yuri!

Aku menatap Ryo-kun dengan penuh tekad, menggenggam lengannya erat, dan semakin merapatkan tubuhku padanya.

Melihat tindakanku, Yuri juga tidak mau kalah dan semakin mendekatkan tubuhnya ke Ryo-kun.

"Ryo, kau mau naik denganku?"

"Ryo-kun! A-ayo naik bersamaku!"

Aku dan Yuri menatap tajam satu sama lain, dengan Ryo-kun di antara kami. Aku tidak peduli lagi apa yang Yuri pikirkan tentangku. Ini adalah pertarungan, Yuri.

Mengajak lawan jenis naik wahana bersama dalam pakaian renang seperti ini sungguh memalukan, tapi aku harus maju!

"E-ehhh!? Kenapa tiba-tiba begini, kalian berdua?"

"Jadi, kau mau naik dengan siapa?"

"E-eh, tunggu dulu... bukankah kita bisa bertiga?"

"Tidak bisa!"

Aku dan Yuri menjawab dengan kompak dan tanpa ragu.

Water Slide itu hanya bisa dinaiki dua orang. Tidak mungkin kami bisa naik bertiga.

Jadi, hanya salah satu dari kami yang bisa menikmati wahana ini bersama Ryo-kun.

Ryo-kun mengernyitkan dahi, berpikir sejenak, lalu akhirnya berkata,

"Ka-kalau begitu... aku naik dulu dengan Hinami, ya. Lagipula, kalau Hinami tidak mengajakku ikut perjalanan ini, aku tidak akan ada di sini."

"B-benar!? Terima kasih, Ryo-kun!"

Aku menggenggam lengan Ryo-kun lebih erat dan menempel padanya semakin dekat.

Aku sangat senang...!

Dia memilihku, bukan Yuri. Apa pun alasannya, itu saja sudah cukup membuatku bahagia!

Senyum merekah di wajahku, sementara Yuri mengembungkan pipinya dengan ekspresi tidak puas, menatapku tajam.

Dari matanya, aku bisa merasakan rasa frustrasi.

Maaf, Yuri. Tapi aku juga...!

*** 

Setelah keluar dari "Kolam Ombak", kami berpindah ke "Water Slide".

"Water Slide" ini dimulai dari ketinggian lebih dari sepuluh meter dan sangat populer, sehingga antriannya pun sangat panjang.

Karena meluncur di dalam tabung berkelok-kelok dengan kecepatan tinggi, sesekali terdengar teriakan dari para pengunjung—terutama dari perempuan.

Meskipun menakutkan, tetap saja banyak orang yang ingin menikmati sensasi menegangkan ini. Kami sudah mengantre lebih dari tiga puluh menit.

Sebentar lagi giliran kami, tetapi melihat ketinggian ini, tetap saja rasanya cukup menakutkan...

Ketika aku melihat ke bawah dari tangga yang telah kami naiki, rasa takut itu semakin terasa.

Wahana ini dimainkan berpasangan, dan kami sudah berpasangan: aku dengan Ryo-kun, sedangkan Yuri bersama Koi-chan.

"Hinami, apa kau takut? Kau baik-baik saja?"

Mungkin karena melihatku gemetar saat menatap ke bawah, Ryo-kun bertanya dengan suara lembut.

"A-aku baik-baik saja!"

"Benarkah? Tapi kau gemetar."

"A-aku hanya belum terlalu terbiasa! Aku baik-baik saja! Memang ada sedikit rasa takut, tapi aku juga sangat menantikannya!"

"Begitu ya... kalau begitu tidak apa-apa."

"Ohh~ Jadi Hinami ternyata takut, ya~? Mau bertukar pasangan denganku? Yang pertama pasti lebih menegangkan, kan?"

Yuri yang berada di belakang kami tiba-tiba ikut dalam percakapan.

Sepertinya dia terlihat khawatir, tapi aku tahu dia hanya ingin bertukar pasangan denganku agar bisa meluncur bersama Ryo-kun.

"T-tidak perlu! A-aku akan meluncur bersama Ryo-kun!"

"Hmm~"

Yuri memasang ekspresi sedikit kesal dan memalingkan wajahnya dariku.

Seperti yang kuduga, dia masih belum menyerah. Dia ingin meluncur bersama Ryo-kun.

Namun, karena waktu antrean yang lama, mungkin kami hanya bisa menaiki wahana ini sekali atau paling banyak dua kali. Tidak mungkin kami mengulanginya berkali-kali.

Karena itu, aku ingin kesempatan ini hanya menjadi milikku!

"Pengunjung berikutnya, silakan ke sini!"

Saat sedang memikirkan hal itu, tiba-tiba giliran kami tiba. Petugas sudah bersiap.

Dia meletakkan pelampung besar untuk dua orang di pintu masuk "Water Slide" dan menahannya agar tidak terbawa arus.

Kami harus duduk di atasnya, lalu langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Ini memang mendebarkan, tetapi selama aku bersama Ryo-kun, pasti aku baik-baik saja!

"Baiklah, Hinami. Banyak orang yang masih menunggu, ayo naik."

"O-oke!"

Aku dan Ryo-kun naik ke atas pelampung. Ryo-kun duduk di depan, sementara aku duduk di belakangnya.

"Semangat, Hinami!"

"Terima kasih, Koi-chan! Kalian juga segera menyusul ya!"

Tepat sebelum kami meluncur, Koi-chan melambaikan tangan padaku. Dan setelah itu—

"Silakan menikmati!"

Dengan kata-kata petugas, kami langsung meluncur turun dengan kecepatan tinggi.

Kami berayun di dalam tabung, melaju dengan kecepatan luar biasa. Aku spontan menutup mata dan menggertakkan gigi. Aku memang sedikit takut.

"Whoa! Ini cepat banget! Hinami! Kau baik-baik saja!?"

Meskipun menikmati wahana ini, Ryo-kun tetap mengkhawatirkanku.

Tapi, ini adalah kesempatan langka kami bisa menikmati waktu berdua. Aku tidak boleh membuatnya cemas!

"A-aku baik-baik saja! Ini seru...! Sangat menyenangkan!"

Aku mencoba bersikap berani.

Aku tidak ingin mengatakan bahwa aku takut. Aku ingin menciptakan kenangan indah bersamanya tanpa membuatnya khawatir!

"Begitu ya! Tapi kalau kau merasa takut, kau bisa berpegangan padaku!"

Ryo-kun sempat menoleh ke belakang, tersenyum padaku, lalu kembali menatap ke depan.

Melihat punggungnya membuat hatiku lebih tenang. Senyumnya memberiku rasa nyaman.

Jika dia tersenyum seperti itu, berarti dia tidak akan keberatan kalau aku berpegangan, kan...?

Saat ini, tidak ada siapa pun yang bisa mengganggu kami.

Tapi momen ini tidak akan berlangsung selamanya. Sebentar lagi perjalanan ini akan berakhir.

Jadi, aku harus berani!

Meskipun malu, aku merapatkan tubuhku ke punggungnya, seolah-olah memeluknya dari belakang.

Aku melingkarkan tanganku ke tubuhnya dan menggenggamnya erat.

Saat merasakan otot tubuhnya yang kokoh dan kehangatan kulitnya, jantungku berdegup kencang.

Jantungku berdebar. Ini sangat memalukan, tetapi juga menenangkan. Aku merasa nyaman. Aku bisa langsung merasakan kehangatan orang yang kusukai.

"ZABUUR!"

Setelah keluar dari tabung, pelampung kami meluncur di atas air sebelum akhirnya berhenti.

Kami turun dari pelampung dan berjalan ke area yang tidak menghalangi orang lain yang sedang meluncur.

"Fuuuh, kecepatannya lumayan ya. Tapi seru! Hinami, kau baik-baik saja?"

"Aku sangat menikmatinya! Awalnya memang agak takut, tapi setelah pertengahan, aku mulai merasa seru! Tahu-tahu sudah selesai!"

"Syukurlah. Yang penting kau menikmatinya."

"Ya! Eh? Ryo-kun, telingamu merah sekali? Kenapa?"

Saat berbicara dengannya, aku menyadari bahwa telinganya berwarna merah terang.

Sebelum meluncur tadi, warnanya tidak seperti itu...

Apa karena terbakar matahari? Tapi, apakah dalam waktu sesingkat itu warnanya bisa berubah?

"E-eh!? A-anu, jangan dipikirkan! Hahaha!"

"O-oke..."

Sepertinya dia sedang berusaha menutupi sesuatu, tapi aku tidak ingin memaksanya mengatakannya. Aku tidak suka memaksa orang lain.

Mungkin Yuri dan Koi-chan akan segera sampai di sini?

Saat aku melihat ke arah tabung tempat mereka akan meluncur—

"Aku tidak menyangka Hinami akan memelukku..."

Aku mendengar Ryo-kun bergumam pelan, tapi aku tidak bisa menangkapnya dengan jelas.

Chapter 15: Penentuan Kamar

Pukul 18.00.

Waktu di kolam renang telah usai, dan kami berempat sedang beristirahat sebentar di kamar hotel.

Karena kami sudah berada di kolam renang sejak pagi, menjelang sore tubuh kami benar-benar kehabisan tenaga.

Bermain di kolam renang memang menyenangkan, tetapi menghabiskan waktu terlalu lama di sana membuat tubuh menjadi sangat lelah.

Setelah bermain cukup lama dan mengingat makan malam di hotel akan dimulai pukul 18.30, kami memutuskan untuk keluar dari kolam renang sebelum pukul 18.00 dan sekarang berada di salah satu kamar hotel.

Di dalam kamar terdapat dua tempat tidur besar, kamar mandi, dan satu televisi berukuran besar. Bisa tidur di lingkungan yang luas dan nyaman seperti ini benar-benar luar biasa.

"Berada di kolam renang terlalu lama memang melelahkan, ya. Memang menyenangkan, tapi untuk sementara waktu aku harus menghindari berenang... Ditambah lagi, kulitku jadi sangat terbakar matahari."

Koi-san berbaring di atas tempat tidur dengan wajah lelah sambil menghela napas panjang.

Karena tubuhnya kecil dan dia jarang berolahraga, dia memang terlihat tidak memiliki banyak stamina.

Tapi kalau dipikir-pikir, selama di kolam renang tadi, dia hanya minum jus sambil mengapung di atas pelampung…

"Menyenangkan sekali, ya~. Setelah ini kita akan makan malam di hotel, lalu tidur. Besok kita akan pergi ke festival di dekat sini, kan, Hinami?"

Yuri, yang duduk bersila di sebelah Koi-san yang masih berbaring, menoleh ke arah Hinami yang duduk di tempat tidur lainnya.

"Iya. Besok akan ada festival di dekat sini. Setelah menikmatinya, kita akan langsung pulang. Festivalnya dimulai sore hari, dan perjalanan pulang akan diantar oleh ayahnya Koi-chan. Kita benar-benar harus berterima kasih padanya!"

Di dekat hotel tempat kami menginap, ada sebuah kuil besar yang setiap tahun mengadakan festival musim panas. Kami berencana untuk menghadiri acara itu.

Festivalnya akan dimulai pada sore hari dan berakhir sekitar pukul 20.00, ditutup dengan kembang api besar yang akan menghiasi langit.

Meski pulang agak malam, ayah Koi-san sudah bersedia mengantarkan kami dengan mobilnya.

"Wah, aku jadi makin tidak sabar~. Pergi ke festival dengan teman-teman seperti ini pasti seru banget! Kita bisa membuat banyak kenangan indah! Ah, ngomong-ngomong, aku tadi mengambil banyak foto, jadi nanti harus aku rapikan. Aduh~. Menghapusnya pasti butuh waktu lama, soalnya aku ingin menyimpan semuanya~."

Selama di kolam renang, Yuri terus-menerus mengambil foto, hampir di setiap kesempatan.

Karena ponselnya memiliki fitur tahan air, dia tidak khawatir akan rusak meskipun terkena air. Baik saat berada di dalam air maupun saat sedang menunggu antrean, dia selalu menyempatkan diri untuk mengambil foto.

Lalu, dengan wajah sumringah, dia mengunggahnya ke X dan Instagram. Benar-benar remaja perempuan yang gemar berbagi momen di media sosial.

"Oh, sepertinya waktu makan malam sudah hampir tiba. Sebelum kita keluar kamar, ada satu hal yang ingin aku bahas dengan kalian."

Setelah mengecek waktu di ponselnya, Koi-san mengangkat tubuhnya dari posisi berbaring dan menatap kami bertiga.

"Ada apa, Koi-chan?" tanya Hinami dengan kepala sedikit dimiringkan.

Koi-san lalu duduk tegak, menatap kami satu per satu, dan berkata, "Aku ingin membahas soal pembagian kamar."

"Pembagian kamar? Bukannya kita sudah memesan dua kamar? Kalau begitu, aku bisa tidur di kamar satunya," jawabku.

"Awalnya memang begitu. Tapi, karena kita menginap dalam kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, bukankah akan lebih menarik kalau ada sedikit unsur ketegangan? Jadi, bagaimana kalau kita memutuskan dengan siapa kita akan menghabiskan malam ini?"

"""""Apa!?"""""

Aku, Hinami, dan Yuri serempak mengeluarkan suara kaget.

Mendengar usulan mengejutkan itu, aku sampai terdiam dengan mulut terbuka.

Tunggu, jadi maksudnya...

Aku harus menghabiskan malam ini berdua dengan salah satu dari mereka!?

Apa!? Sejak kapan ada acara seperti ini!? Lagipula, hanya berdua? Ini benar-benar gila!

Aku mulai panik, sementara Yuri dan Hinami justru tampak sedikit memerah dan... entah kenapa, mereka terlihat bersemangat?

Eh, kenapa mereka terlihat begitu antusias...? Apa mereka berusaha menghindari tidur sekamar denganku?

Yah, aku juga bisa mengerti. Siapa juga yang mau sekamar dengan cowok yang bahkan bukan pacarnya? Pasti mereka ingin menghindarinya.

Tapi, entah kenapa, setelah melihat ekspresi mereka, Koi-san malah menyeringai.

Kenapa dia tersenyum seperti itu setelah melihat reaksi Hinami dan Yuri...?

Jangan-jangan, alasan dia tiba-tiba mengusulkan ini ada hubungannya dengan mereka berdua...?

"Eh, tapi ini terlalu mendadak, Koi-san. Kenapa kamu tidak memberitahukan ini dari awal? Kalau tiba-tiba begini, rasanya sulit untuk langsung setuju."

"Soalnya, kalau dadakan begini, pasti lebih seru, kan? Perjalanan itu harus ada unsur ketegangannya. Lagipula... setelah mengamati kalian berdua hari ini, aku rasa ini ide yang bagus."

"Kalian berdua? Maksudnya siapa? Aku juga termasuk?"

"Yaah~. Itu kamu pikir sendiri saja. Gunakan otakmu yang tumpul itu, Dasar Si Lamban."

Koi-san menjulurkan lidahnya dengan ekspresi mengejek.

Serius, apa-apaan ini? Yang dia maksud "kalian berdua" itu Hinami dan Yuri, kan...?

Kenapa bagi mereka berdua ini bisa menjadi sesuatu yang "mendebarkan"...?

Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran Koi-san...?

"Baiklah, kalau begitu, ayo kita putuskan sekarang. Agar adil, kita tentukan dengan suit. Semua orang harus ikut, tidak boleh ada yang mundur!"

Koi-san menatap kami satu per satu dengan tajam.

Ini artinya... aku tidak bisa menghindarinya.

Jadi, aku benar-benar harus menghabiskan malam ini bersama salah satu dari mereka?

Malam ini... hanya berdua.

Aaaaahhhhhh! Jangan dipikirkan! Jangan biarkan pikiran aneh menguasai kepalamu!

Ini hanya kejadian tak terduga! Bukan salahku!

Tenangkan dirimu... Memang benar aku gugup, tapi sudah tidak ada jalan keluar.

Kalau aku menolak, suasananya akan menjadi aneh. Lagipula, Hinami dan Yuri sudah terlihat sangat bersemangat.

Sebagai laki-laki, aku tidak boleh mundur sekarang. Itu akan sangat memalukan.

Mereka juga pasti akan berusaha keras dalam suit ini agar tidak sekamar denganku.

Baiklah, kalau begitu, aku akan menghadapinya! Apa pun yang terjadi, aku akan mengatasinya!

"Baiklah, kita mulai. Satu, dua, tiga!"

Mengikuti aba-aba dari Koi-san, kami semua mengucapkan kata yang sama:

"""Suit pertama! Jan... ken... pon!"""

Chapter 16: Malam

"Jadi? Kenapa pasanganku malah kamu? Biasa aja dong, ngerti suasana. Dasar bodoh."

"Nggak adil banget! Kan kita pakai suit! Jangan ngeluh ke aku! Lagian, yang nyaranin suit buat adil itu kan kamu sendiri, Koi-san!"

"Ribut banget sih. Ya udah deh."

Kami menginap di hotel milik ayahku dan baru saja menentukan pembagian kamar...

Tapi masa sih, pasanganku malah si pendek ini? Cowok bebal yang meskipun pakai 'super' berkali-kali pun masih belum cukup menggambarkan betapa lemotnya dia...

Sial. Kenapa sih harus jadi pasangan sama dia? Peluangnya cuma sepertiga, kan...?

Kenapa aku nggak bisa dapet salah satu dari dua orang lainnya?

"Haaah... Tapi kalau dipikir-pikir, karena ini Koi-san, aku agak tenang juga sih. Soalnya kalau dia, nggak bakal ada masalah aneh-aneh yang terjadi."

Budakku—Ryo, meski sedang ngambek di atas kasur, sepertinya diam-diam cukup menikmati situasi ini.

Setelah makan malam, kami langsung mandi di kamar mandi, jadi tinggal tidur saja.

Tapi dengan perasaan kayak gini, kayaknya bakal susah tidur.

Kalau harus dibandingkan, ini rasanya seperti saat pembagian tempat duduk di kelas dan kebetulan duduk di sebelah orang yang paling nggak ingin aku duduki sebelahnya.

Kenapa sih, di saat yang paling nggak aku harapkan, dia malah dapet aku...?

"Tapi kenapa tiba-tiba Koi-san ngajak begini, ya...? Padahal awalnya aku kan mau tidur sendirian di kamar."

"Haaah... Kamu ini beneran bebal, ya. Cowok paling bebal sejagat raya."

Awalnya memang seharusnya begitu.

Tapi tadi siang, di kolam renang, Hinami dan Yuri terus menggoda Ryo habis-habisan.

Kalau Yuri sih memang begitu dari dulu, tapi Hinami? Aku sampai terkejut. Itu pertama kalinya aku melihat dia seagresif itu terhadap seorang cowok.

Sepertinya dia akhirnya bisa merapikan perasaannya terhadap Ryo dan memutuskan untuk maju.

Dan Yuri pun sadar akan hal itu. Makanya, dia nggak mau kalah. Akibatnya, di kolam renang tadi, mereka berdua sampai berebutan untuk mendekati Ryo.

Aku sih nggak berminat ikut-ikutan, jadi cuma menonton dari luar sambil minum jus.

Buat mereka berdua, perjalanan ini adalah kesempatan emas untuk semakin dekat dengan Ryo. Makanya, sebagai teman, aku mau membantu mereka mendapatkan peluang itu.

...Tapi cowok ini malah kalah suit dan berakhir jadi pasanganku.

Nggak cuma bebal, tapi juga nggak peka sama situasi.

Peluang dia mendapatkan salah satu dari mereka itu dua pertiga. Peluang yang cukup besar. Tapi kenapa malah dapet aku?

Kamu salah menggunakan keberuntunganmu, dasar bodoh.

"Coba jelasin, Koi-san. Aku udah mikir-mikir, tapi tetap aja nggak ngerti..."

"Kamu serius nanya itu? Dasar cowok bebal."

"Apa sih... Sampai segitunya bilang aku bebal..."

Ryo terlihat sedikit lesu, tapi tetap melanjutkan pembicaraannya.

"Dua orang itu, pas kita ngomongin suit, tiba-tiba semangat banget. Apa mereka sebegitu nggak mau jadi pasangan aku, ya...?"

Cowok ini... Kenapa malah jadi pesimis?

Mungkin karena dia nggak pernah mengalami pengalaman dikejar-kejar cewek. Ditambah lagi, Hinami dan Yuri itu bukan sembarang cewek. Mereka berdua termasuk yang paling cantik di sekolah, bahkan satu angkatan.

Waktu acara olahraga sekolah pun, mereka sampai didekati banyak cowok.

Jadi, menurutnya, nggak mungkin cewek dengan level seperti mereka tertarik padanya.

Hah. Aku nggak habis pikir.

Hari itu... Saat semua orang cuma bisa lari menyelamatkan diri, dia malah mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Hinami.

Kenapa sekarang malah jadi takut menghadapi cinta?

"Kamu beneran bebal, ya. Masa sih nggak nyadar perasaan mereka? Payah banget."

"Eh? Maksudnya apa...? Jadi, Koi-san tahu sesuatu soal Yuri dan Hinami?"

"Mungkin tahu, mungkin juga nggak. Tapi aku nggak bakal kasih tahu. Pikir sendiri."

"Eh—yaah... Aku nggak ngerti..."

"Kalau gitu, coba ingat-ingat apa yang terjadi hari ini."

Begitu aku bilang begitu, Ryo tampak berpikir keras.

Setelah beberapa saat terdiam, dengan ragu-ragu, dia bergumam pelan.

"Kayaknya... Hari ini mereka berdua lebih sering menyentuh aku, deh..."

Oh? Lumayan. Setidaknya dia bisa menyadarinya.

Kalau dia tipikal tokoh utama novel ringan, dia bahkan nggak bakal sadar sampai di situ.

Ryo masih tampak ragu, tapi tetap melanjutkan.

"Gimana ya... Aku tahu ini bakal terdengar ge-er, tapi..."

"Hmm."

"Mereka berdua... Apa mereka... Eh, nggak, nggak mungkin! Nggak mungkin lah! Aku nggak mungkin bisa populer..."

Lihat? Seperti dugaanku. Karena kurang percaya diri dalam urusan cinta, dia malah mengabaikan tanda-tanda itu.

Atau lebih tepatnya, dia sebenarnya sadar, tapi malah membelokkannya ke arah yang salah.

Haaah... Kalau dia memang suka salah satu dari mereka, harusnya langsung maju aja.

Nggak ada pilihan lain. Aku harus memberitahunya.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap matanya dengan serius.

"Dengar, ya. Entah itu soal cinta atau apapun, jangan pernah berpikir 'aku bukan siapa-siapa'. Setiap orang pasti punya kelebihan masing-masing. Dan kelebihan itulah yang bisa membuat seseorang menyukaimu. Jadi, buang jauh-jauh pikiran 'aku bukan siapa-siapa'. Kamu juga punya kelebihan, Ryo."

Kalau aku nggak ngomong sampai segini, dia nggak bakal sadar.

Dia bukan cuma berhasil mengalahkan pelaku penusukan itu, tapi juga selalu berusaha melindungi Hinami.

Dia selalu melindungi teman-temannya.

Dia nggak sombong, dan selalu menolong orang lain tanpa peduli siapa pun itu.

Hinami dan Yuri menyukainya justru karena itu. Jadi, harusnya dia percaya diri.

"A-aku juga punya... kelebihan?"

"Iya. Tapi, kenapa kamu gemetar begitu? Kamu kedinginan? Mau aku naikin suhu AC?"

Aku mengambil remote AC, tapi Ryo buru-buru menggelengkan kepala.

"T-tidak. Bukan itu. Aku cuma... nggak nyangka aja, Koi-san bakal bilang begitu ke aku..."

Eh, serius? Itu yang bikin dia gemetar?

Yah, kalau melihat sikapku selama ini, mungkin wajar kalau dia kaget.

"Kalau gitu, menurutmu, apa kelebihanku?"

"Nggak bakal aku kasih tahu. Nanti kamu jadi besar kepala."

"Eh—tolonglah, Koi-san!"

"Nggak!"

Aku langsung memalingkan wajahku, mengabaikan Ryo yang memohon-mohon sambil menyatukan tangannya.

Nggak mungkin aku bilang langsung, apalagi di situasi berdua kayak gini.



"Tapi terima kasih, Koi-san. Entah kenapa, aku jadi merasa sedikit lebih percaya diri."

"Oh, begitu. Kalau begitu, baguslah. Ngomong-ngomong…"

"Hm?"

"Kalau ada seseorang yang menyukaimu, apa yang akan kamu lakukan?"

Begitu aku bertanya, Ryo menundukkan kepala dan terdiam. Tapi aku mengabaikan reaksinya dan langsung melanjutkan.

"Kalau ada yang menyatakan perasaannya padamu, apa yang akan kamu lakukan? Kalau orang itu cukup imut, apakah kamu akan menerimanya?"

"Tidak, aku tidak akan menerimanya hanya karena itu."

Begitu aku selesai bicara, Ryo langsung mengangkat wajahnya dan menjawab dengan serius.

"Aku akan senang, tapi kalau hanya menilai dari penampilan luar, itu tidak benar. Aku ingin benar-benar melihat kepribadian dan sifat orang itu sebelum memutuskan."

"Hmm… kata-kata yang bagus."

"Aku tidak seperti Kusayagi yang asal memilih siapa saja asalkan imut. Lagipula…"

"Lagipula apa?"

"Saat ini… meskipun aku masih belum bisa mengatur perasaanku dengan jelas, ada seseorang yang menarik perhatianku. Jadi…"

"Oh, begitu. Jadi, meskipun ada yang lebih cantik, kamu akan tetap mengutamakan orang yang menarik perhatianmu?"

"Ya."

Meskipun dia lamban dalam urusan cinta, dia tetap memiliki prinsip yang kuat. Aku benar-benar menghormati bagian dari dirinya yang seperti ini.

Kebanyakan pria di luar sana mungkin langsung menerima siapa saja yang mereka anggap menarik secara fisik.

"Ngomong-ngomong, orang yang menarik perhatianmu itu…"

"Aku, aku tidak akan memberitahumu! Kalau aku mengatakannya, kamu pasti akan melakukan sesuatu!"

"Oh begitu? Padahal aku bisa saja membantumu, lho?"

"Itu memang menggoda… tapi karena aku masih belum bisa mengatur perasaanku dengan baik, aku belum bisa memberitahumu."

"Begitu ya."

Kemungkinan besar, orang yang menarik perhatiannya adalah Hinami atau Yuri.

Tapi bahkan aku tidak bisa menebak siapa di antara mereka yang dia maksud.

Dari apa yang kulihat hari ini, dia lebih sering tersenyum saat berbicara dengan Hinami. Tapi itu belum cukup menjadi bukti pasti.

Ada kemungkinan juga kalau dia hanya merasa gugup saat berbicara dengan Yuri, sehingga sulit baginya untuk berbicara dengan lancar.

"Yah, semoga beruntung. Aku akan mendukungmu… setidaknya sedikit."

"Hanya 'sedikit'?"

"Iya. Nah, selamat malam. Aku mau tidur."

"Oke, sudah hampir jam sebelas juga, sih."

"Iya. Oh ya, satu hal lagi…"

"Apa?"

"Coba saja sentuh aku sedikit saja saat aku tidur… aku bakal menghajarmu."

"Ba-baik…"

Di samping Ryo yang tampak ketakutan, aku berbaring di tempat tidur dan menutup mata.

Saat ini, aku benar-benar tidak berdaya. Akan sangat mudah bagi seorang pria untuk menyerangku. Tapi, aku tetap bisa merasa tenang.

Karena pria yang tidur di ranjang sebelah…

Adalah seseorang yang paling bisa kupercayai, dan aku tahu dia tidak akan melakukan apa pun.

*** 

"Tak kusangka aku dan Hinami akan berada di kamar yang sama~. Ini benar-benar di luar perkiraan~."

"Ya. Aku juga agak terkejut."

Dalam pembagian kamar, aku dan Yuri ditempatkan di kamar yang sama. Kami berdua berbaring di atas tempat tidur sambil mengobrol.

Biasanya, aku senang bisa berduaan dengan Yuri…

Tapi kali ini, suasananya sedikit canggung.

Yuri adalah sainganku dalam cinta. Hari ini saja, kami sudah beberapa kali berbenturan. Memang tidak sampai bertengkar, tapi kami sama-sama berusaha menarik perhatian Ryo-kun. Karena itu, ada sedikit ketegangan di antara kami.

"Haa~… Capek juga ya~. Tapi besok ada festival, pasti seru~."

"I-Iya, Yuri…"

Tanpa sadar, nada suaraku sedikit melemah.

Aduh… bagaimana ini? Seharusnya perjalanan ini menyenangkan…

Saat aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, Yuri mengubah posisi tidurnya dan menatapku lekat-lekat.

"Jangan-jangan, Hinami merasa sedikit canggung karena sekamar denganku?"

Begitu Yuri mengatakan itu, tubuhku langsung menegang.

Aku yang terkejut tidak bisa mengeluarkan kata-kata.

Aku hanya bisa menggeliat dengan gelisah. Namun, melihat reaksiku, Yuri malah tertawa lepas.

"Sejujurnya, aku juga merasa sedikit canggung. Aku sudah bilang sebelumnya, kan? Aku suka Ryo. Dan kamu juga sama. Kita ini saingan dalam cinta, tapi kalau ada hal yang bisa kita nikmati bersama, mari kita nikmati bersama. Oke?"

"T-Yuri…"

Mendengar kata-katanya, hatiku perlahan menjadi tenang.

Aku terlalu memikirkan ini secara berlebihan. Tapi sahabatku yang ada di hadapanku, berbicara dengan lembut.

Jadi… aku juga harus melepaskan harga diriku dan membuka hati.

"Terima kasih, Yuri. Maaf ya, tadi aku agak terlalu kepikiran."

"Ah, tidak sama sekali! Gak masalah! Santai aja! Oh iya! Bagaimana kalau kita saling membicarakan hal-hal baik tentang Ryo?"

"Hal-hal baik tentangnya?"

"Ya! Kita berdua sama-sama menyukainya, kan? Yuk, kita berbagi cerita tentang apa yang membuat kita jatuh cinta padanya sampai kita tertidur!"

"Baik! Ide yang bagus! Ayo kita ngobrol banyak!"

"Yossh! Kalau begitu, aku mulai duluan~!"

Lalu, Yuri mulai menceritakan banyak hal baik tentang Ryo-kun.

Saat kecil, Ryo memberinya keberanian untuk berubah.

Saat nyawanya terancam, Ryo menyelamatkannya.

Setiap kali melihat orang dalam kesulitan, Ryo pasti akan membantu.

Dia baik dan bisa diandalkan.

Walaupun dia banyak melakukan hal baik, dia tidak pernah menyombongkannya dan selalu membantu dari balik bayang-bayang.

Satu per satu, Yuri menceritakan semua itu dengan penuh semangat dan panjang lebar.

Dan ternyata, alasan dia menyukai Ryo-kun hampir sama denganku.

"Iya kan, iya kan!? Ryo itu suka menolong orang tanpa sadar, tapi anehnya dia tidak pernah menyadari perasaan kita~."

"Benar banget! Tapi meskipun begitu, dia tetap keren, jadi kita malah makin menyukainya, kan?"

"Aaah, aku paham banget! Kalau Hinami, apa yang membuatmu jatuh cinta padanya?"

"Eh? Aku…? U-um… Saat aku dalam kesulitan, dia selalu membantuku. Dan entah kenapa… saat aku melihat punggungnya, aku merasa tenang. Hatiku terasa hangat…"

Aku meletakkan tangan di dadaku dan mulai mengenang pertemuan pertamaku dengan Ryo-kun, serta semua kejadian yang telah kami lalui bersama.

Pertama kali aku bertemu dengannya adalah ketika dia mengantarkan seorang anak perempuan yang tersesat ke ruang guru.

Sejak saat itu, kami berada di kelas yang sama dan bahkan duduk bersebelahan. Hubungan kami pun semakin dekat.

Saat aku diam-diam makan siang sendirian, Ryo-kun menjelaskan situasiku pada Yuri dan Koi-chan, lalu mereka membantuku.

Saat aku diganggu anak-anak nakal, dia berdiri di depanku untuk melindungiku.

Saat aku diikuti oleh seorang penguntit, dia selalu berada di sisiku.

Aku benar-benar…

Sangat menyukai Ryo-kun.

"Aku ngerti banget~. Anak baik hati itu selalu saja membantu orang lain. Tapi, Hinami… mungkin suatu hari nanti kamu akan menyadari siapa Ryo sebenarnya. Kalau saat itu tiba, terimalah kenyataan itu dengan baik, ya?"

"Eh? Maksudnya 'siapa dia sebenarnya'? Apa maksudnya?"

"Ah! Bukan apa-apa! Lupakan saja~!"

Saat aku bertanya balik, Yuri buru-buru mengalihkan pandangan dan tampak seperti menyembunyikan sesuatu.

‘Siapa dia sebenarnya’…? Apa yang sebenarnya Yuri maksud…?

Hmm, kupikir-pikir pun aku tidak mengerti. Apa maksud perkataannya tadi?

"Tapi, aku merasa sedikit lega. Aku jadi benar-benar yakin kalau Hinami juga mencintai Ryo dengan sepenuh hati. Kita memang saingan, tapi hatiku lebih tenang sekarang. Kalau aku kalah, rasanya aku tidak keberatan kalau orangnya itu kamu."

Setelah menenangkan diri, Yuri menatapku dengan mata yang penuh ketulusan dan kelembutan.

"Ya. Aku juga, Yuri. Ayo kita berjuang bersama…! Besok di festival, aku ingin bisa lebih dekat dengannya!"

"Ya! Ayo lakukan yang terbaik! Aku tidak akan kalah!"

"Aku juga, pastinya! Kalau begitu, sudah malam, kita tidur saja. Bergadang itu tidak baik untuk kecantikan."

"Benar juga. Selamat malam, Yuri. Dan terima kasih sudah mengobrol denganku. Aku senang sekali."

"Aku juga, Hinami. Selamat malam, sahabat…"

Setelah kata-kata itu diucapkan, kami berdua menutup mata dengan tenang.

Meskipun Yuri adalah saingan cintaku, kami tetap bisa berbicara dengan jujur tanpa menyembunyikan perasaan masing-masing.

Kami sama-sama memahami betapa besar rasa cinta kami kepada Ryo-kun.

Kami memang saingan…

Tapi tetap saja, bisa berbagi cerita tentang orang yang kita sukai dengan jujur seperti ini… rasanya menyenangkan sekali…


Chapter 17: Festival

Di pagi hari, seperti kemarin, kami menghabiskan waktu di kolam renang, lalu beristirahat sejenak di sore hari. Dan akhirnya, tiba waktunya untuk festival.

Setelah mengirim barang bawaan kami masing-masing ke rumah melalui jasa pengiriman dan check-out dari hotel, kami berjalan kaki menuju lokasi festival.

Karena jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel, kami mengobrol santai sambil berjalan, dan tanpa terasa, kami sudah sampai. Di tengah pegunungan yang mengelilingi area ini, terdapat kuil yang menjadi pusat festival hari ini.

Halamannya sangat luas, mungkin cukup untuk menampung sekitar seratus mobil. Di sana, berbagai stan makanan dan permainan berjajar, menciptakan suasana meriah dengan kerumunan orang-orang, mulai dari penduduk lokal hingga turis asing.

Ada takoyaki, yakisoba, permainan menembak, hingga menangkap ikan mas.

Rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku datang ke festival, mungkin sejak SMP. Sekarang, aku merasakan kembali perasaan nostalgia itu.

"Uwooo~! Lihat, lihat! Festivalnya sudah dimulai! Seru banget! Ayo cepat ke sana!"

Aroma lezat dari berbagai stan membuat semangat Yuri semakin meningkat. Ia begitu bersemangat hingga tidak bisa diam, melompat-lompat di tempat seolah akan segera berlari ke arah festival.

"Heii, tunggu dulu, Yuri. Ada banyak orang, jadi kita harus tetap bersama," ujar Koi dengan tenang.

"Tapi, Koicchi! Ini benar-benar bikin semangat! Aku harus ambil banyak foto! Ayo cepat!"

"Hai, hai," jawab Koi-san dengan santai.

Seperti biasa, Koi-san yang tetap tenang mengikuti Yuri yang berlari kecil menuju area stan. Aku dan Hinami pun mengikutinya dari belakang.

Karena jumlah orang yang banyak, jalannya sedikit sulit, tapi masih bisa ditoleransi.

"!"

Saat itu juga, aku merasakan sesuatu.

Dari belakang, ada seseorang yang menatapku dengan cara yang tidak menyenangkan... Seolah sedang mengawasi kami...

Aku refleks menoleh ke belakang, tapi tidak ada orang yang mencurigakan atau terlihat mengikuti kami.

Apa hanya perasaanku saja? Tapi aku yakin tadi ada seseorang yang memperhatikan kami...

"Hm? Ada apa, Ryo-kun? Kok menoleh ke belakang?"

"Eh? Ah, tidak ada apa-apa. Aku cuma merasa tempat ini ramai sekali."

"Benar juga. Aku tidak menyangka akan seramai ini," ujar Hinami, tampak sedikit canggung di tengah keramaian.

Sepertinya dia tidak menyadari apa yang aku rasakan. Mungkin memang cuma perasaanku saja.

"Yah, mungkin karena hotel tempat kita menginap dekat dari sini. Jadi, para tamu hotel juga datang ke festival ini, sama seperti kita."

"Benar juga. Bukan hanya penduduk lokal, tapi pasti banyak turis juga. Kita harus hati-hati agar tidak terpisah."

"Ya. Aku sih tidak masalah, tapi Hinami ini agak ceroboh, jadi jangan sampai nyasar ya."

"Aku tidak akan tersesat! Aku ini sudah dewasa!"

"Benarkah? Aku merasa kamu bakal tersesat sih~."

"Sudah! Jangan mengejek aku! Aku ini sudah SMA!"

Hinami memasang wajah kesal sambil menggembungkan pipinya.

Jujur saja, wajah marahnya sama sekali tidak menyeramkan. Sebaliknya, malah terlihat menggemaskan. Kalau dibandingkan, Koi-san jauh lebih menyeramkan saat marah.

"Oke, maaf. Kalau sampai kita terpisah, lebih baik kita tentukan tempat berkumpul."

"Tempat berkumpul?"

"Iya. Misalnya, kalau baterai ponsel kita habis dan tidak bisa menghubungi satu sama lain, kita tetap bisa bertemu kembali. Ah, kalau kita terpisah sebelum kembang api, kita bisa berkumpul di tengah gunung itu."

Aku menunjuk ke gunung besar yang ada di sebelah kuil.

"Di tengah gunung itu?"

"Ya. Waktu check-out dari hotel, staf di resepsionis memberitahuku bahwa di sana ada tempat tersembunyi untuk melihat pemandangan. Katanya, itu tempat terbaik untuk menikmati kembang api."

"Benarkah? Aku tidak tahu ada tempat seperti itu. Kalau begitu, kita bisa menikmati kembang api tanpa diganggu orang lain!"

"Benar. Jadi kalau kita terpisah sebelum kembang api, kita bertemu di sana. Kalau setelahnya, kita kumpul di gerbang kuil."

"Baik! Tapi, aku tidak akan tersesat, jadi kamu tidak perlu terlalu khawatir!"

"Ya, ya, maaf."

Hinami kembali memasang wajah kesal, tapi tetap saja terlihat manis.

Aku benar-benar tidak bisa menganggapnya menakutkan. Justru, sikapnya yang begitu menggemaskan membuat jantungku berdebar.

**

Setelah itu, kami mulai mengelilingi stan-stan festival satu per satu.

Yuri, seperti biasa, langsung menyerbu stan makanan. Saat membeli yakisoba, dia berhasil menghabiskannya hanya dalam waktu tiga menit.

Wajah kaget pemilik stan saat melihat pelanggan yang sama kembali membeli dalam waktu singkat benar-benar pemandangan yang lucu.

Di stan menangkap ikan mas, Koi-san dengan mudah menangkap sepuluh ekor dan bahkan mendapatkan hadiah tambahan.

Sementara itu, Hinami menikmati festival bersama Yuri dan Koi-san, dengan perhatiannya sepenuhnya tertuju pada permen kapas.

Ia membeli permen kapas yang lebih besar dari wajahnya sendiri dan memakannya dengan ekspresi bahagia.

Melihat mereka bertiga begitu menikmati festival, aku pun ikut terbawa suasana.

"Oh, ada apel karamel…"

Saat kami berjalan, mataku menangkap stan yang menjual apel karamel. Aku merasa mencium aroma manis yang samar-samar, ternyata berasal dari sana.

Saat aku memasukkan tangan ke dalam saku untuk mengeluarkan dompet—

"…Hah? Tidak ada. Eh? A-aku… dompetku… tidak ada!"

Keringat dingin langsung mengalir di tubuhku.

Dompetku tidak ada di sakuku! Jangan-jangan aku kecopetan!?

Aku segera meraba seluruh tubuhku untuk memastikan, tapi tetap saja dompet itu tidak ada.

"Hm? Ada apa, Ryo?"

Yuri, yang sedang mengunyah takoyaki, menyadari keanehan dan bertanya.

"Aku kena masalah… Dompetku hilang."

"Eh!?"

Tiga suara terkejut terdengar serempak.

"Kapan terakhir kali kamu melihatnya?"

"Kalau tidak salah, terakhir kali aku menyentuhnya sebelum keluar dari hotel. Aku ingat membelikan minuman dari mesin penjual otomatis."

Mendengar itu, Koi langsung mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.

"Halo, ini Koi Koharu. Saya ingin menanyakan sesuatu…"

Ia berbicara di telepon selama beberapa saat. Tidak sampai satu menit, ia menutup teleponnya, lalu menghela napas lega.

"Dompetmu ada di meja resepsionis hotel. Sepertinya kamu menjatuhkannya di lorong."

"Se-serius!? Terima kasih, Koi-san!"

Ternyata, Koi-san tadi menelepon hotel tempat kami menginap untuk menanyakan apakah ada barang hilang yang ditemukan.

"Jangan berterima kasih padaku, tapi pada staf hotel. Nah, hotelnya kan tidak terlalu jauh dari sini, jadi cepatlah ambil dompetmu."

"Oke! Aku akan ke sana sekarang. Kalian bertiga nikmati festival dulu. Kalau aku sudah sampai, aku akan menelepon!"

"Oke~! Hati-hati ya~! Pastikan kembali sebelum kembang api dimulai!"

Yuri, yang baru saja menghabiskan takoyakinya, mengedipkan mata ke arahku.

Karena ia makan dengan terburu-buru, ada sedikit saus yang menempel di pipinya. Tapi justru itu membuatnya terlihat semakin menggemaskan.

"Baiklah, aku pergi dulu! Sampai nanti!"

"Ya! Ryo-kun, hati-hati!"

Hinami melambaikan tangan, dan aku pun segera berlari menuju hotel.

Jaraknya tidak terlalu jauh, jadi seharusnya aku bisa kembali dengan cepat.

*** 

Sudah sekitar sepuluh menit sejak Ryo-kun kembali ke hotel.

Sementara itu, aku, Koi-chan, dan Yuri masih terus mengelilingi berbagai stan yang menarik perhatian kami.

"Enak banget~. Minuman yang paling cocok saat festival itu memang ramune! Kyaa~. Rasa segarnya ini bikin nostalgia banget~. Benar-benar suasana musim panas!"

Yuri menenggak habis ramune dalam botol kaca dengan cepat. P-padahal itu minuman bersoda, tapi dia bisa langsung menghabiskannya begitu saja… sungguh luar biasa…

"Yuri, kamu minumnya terlalu cepat, deh. Kalau makan dan minum sebanyak itu, nanti malah sakit perut, lho?"

"Tenang aja! Aku baik-baik saja~! Perutku ini sangat kuat, tahu~!"

"Ya sudah, kalau kamu sendiri yang bilang begitu… Tapi jangan sampai boros juga, ya. Dari kita bertiga, kamu yang paling banyak menghabiskan uang."

"Baik, Kak Koi! Aku akan lebih hati-hati!"

Setelah berkata begitu, Yuri langsung mengalihkan pandangannya ke stan lain dan berlari dengan penuh semangat.

Aku dan Koi-chan yang sudah terpengaruh dengan energinya, akhirnya pasrah mengikuti dari belakang.

Namun, saat kami berjalan melewati kerumunan—

"Kyaa!"

Seseorang dari belakang tiba-tiba mendorongku, membuatku menabrak seorang pria bertubuh cukup besar yang ada di depanku.

Mungkin karena suasana yang ramai, seseorang secara tidak sengaja mendorongku tanpa sadar.

"A-anu, maaf sekali. Aku tidak sengaja menabrakmu karena didorong dari belakang,"

Aku segera membungkuk meminta maaf sebelum melihat wajah pria yang kutabrak.

Ia mengenakan kacamata, memiliki tubuh yang lebih berisi dibanding pria pada umumnya, rambutnya berantakan, dan ada sisa-sisa janggut yang tidak tercukur rapi.

Penampilannya cukup mencolok dan memberikan kesan kurang menyenangkan.

Aku berniat segera menjauh setelah meminta maaf, namun—

"A-anu... K-Kujo Hinami-san, kan...? Gadis cantik yang disebut sebagai 'keajaiban seribu tahun sekali'...?"

Begitu mendengar suara itu, tubuhku langsung membeku.

Di saat yang sama, aku mulai gemetar.

Suara ini…

Ini bukan suara yang asing. Aku pernah mendengarnya di suatu tempat.

Dan aku pernah merasakan ketakutan luar biasa karena suara ini.

"Eh-hehe… Akhirnya aku bisa melihat wajahmu dengan jelas dan berbicara langsung denganmu… Fufufu…"

Pria itu menyeringai dengan ekspresi menyeramkan.

Kata-kata barusan, suara ini…

A-aku tahu…

Kenapa dia ada di sini...?

Bagaimana dia tahu aku ada di tempat ini...?

Aura pria ini jelas berbeda dari para penggemar yang pernah kutemui di pusat perbelanjaan.

Suaranya, tatapan matanya yang menatapku dengan penuh ketidaknormalan…

Aku tidak salah.

Pria ini… adalah stalker-ku.


Chapter 18: Krisis, Sekali Lagi

"Hah… hah… hah… Aku harus cepat kembali ke festival!"

Setelah mengambil dompetku di hotel, aku segera berlari menuju tempat festival. Karena musim panas, hanya dengan sedikit berlari saja, keringat sudah mengalir deras.

Udara yang panas dan lembap membuatku ingin minum, tapi aku tidak bisa mengeluh. Ini salahku sendiri karena menjatuhkan dompet.

Aku harus segera bertemu kembali dengan Hinami dan yang lainnya.

Saat itulah—

Nada dering ponsel di sakuku berbunyi. Ketika kulihat, itu panggilan dari Koi-san.

Pasti dia akan bilang sesuatu seperti, "Cepatlah, dasar idiot!" atau semacamnya. Aku berhenti sejenak dan mengangkat telepon.

"Halo, ini aku. Aku sedang berlari—"

"Di mana kamu sekarang!? Berapa lama lagi sampai kamu kembali!?"

Aku belum selesai bicara, tapi suara Koi-san terdengar sangat panik, sesuatu yang jarang terjadi.

Eh…? Ada apa dengan kepanikan ini…? Ini bukan Koi-san yang biasanya…

"A-ada apa, Koi-san?"

"Itu… Hinami tidak ada! Kami sudah mencarinya ke mana-mana, tapi dia tidak bisa ditemukan!"

"…Apa?"

Aku membeku. Dari nadanya, aku tahu ini bukan sekadar tersesat.

Kalau saja… Kalau saja hilangnya Hinami ada hubungannya dengan si stalker itu…

"K-Koi-san! Ceritakan dengan jelas apa yang terjadi!"

"Aku tahu! Setelah berpisah denganmu, kami berjalan-jalan ke berbagai stan, lalu tiba-tiba terdengar teriakan Hinami dari belakang. Saat kami menoleh, ada pria bertubuh besar di depannya… Setelah itu, sepertinya Hinami panik dan langsung berlari pergi. Kami mencoba mengejarnya, tapi di tengah keramaian, kami kehilangan jejaknya."

"Sudah coba meneleponnya…?"

"Sudah, tapi dia tidak mengangkat. Mungkin dia terlalu sibuk melarikan diri."

"Koi-san, kamu dan Yuri kembali ke gerbang kuil dulu. Aku akan menemui kalian di sana, lalu kita segera mencari Hinami bersama. Aku akan sampai dalam beberapa menit!"

"Baik, aku akan membawa Yuri bersamaku!"

Begitu menutup telepon, aku langsung berlari secepat mungkin. Aku memaksa kakiku untuk bergerak sekuat tenaga.

Ini buruk. Ini sangat buruk!

Hinami sedang sendirian! Bisa saja dia sudah ditangkap oleh stalker itu!

Sial! Kenapa dia ada di sini!?

Kami tidak memberitahu siapa pun, dan tidak ada yang memposting di internet.

Lalu, bagaimana dia bisa tahu kami ada di sini!?

Sial… Tidak ada gunanya berpikir sekarang.

Yang harus kulakukan adalah—

Segera menemukan Hinami!

Hanya dalam beberapa menit, aku tiba di gerbang kuil. Di sana, Koi-san dan Yuri sudah menunggu di samping gerbang torii. Aku langsung berlari menghampiri mereka.

"Koi-san! Yuri!"

Mereka menoleh begitu mendengar suaraku.

"Bagaimana dengan Hinami!?"

"Masih belum ada kabar… Kami mencarinya dalam perjalanan ke sini, tapi tidak menemukannya…"

Ekspresi Koi-san tampak muram. Ia menggigit kuku jempolnya dengan ekspresi penuh penyesalan.

"Stalker itu pasti punya cara untuk mengetahui keberadaan Hinami… Tapi bagaimana caranya…? Bahkan dia bisa muncul di tempat kami berlibur… Ini benar-benar di luar dugaan… Sial…!"

"Tidak ada gunanya berpikir sekarang. Kita harus membagi tugas. Koi-san, kamu hubungi polisi dan tunggu di sini. Aku dan Yuri akan mencari Hinami."

"Baik! Aku tadi mendengar dari Koi, ternyata Hinami punya stalker… Aku benar-benar tidak tahu… Aku sama sekali tidak menyadarinya…"

"Jangan salahkan dirimu, Yuri. Aku juga minta maaf karena menyembunyikannya darimu. Aku pikir jika aku dan Koi-san bisa menangani ini sendiri, kamu tidak perlu khawatir… Tapi sekarang kamu malah ikut terlibat."

"Benar. Aku tidak bisa melakukan banyak hal sendirian karena tubuhku kecil. Aku akan menunggu polisi di sini. Yuri, Ryo, aku serahkan Hinami pada kalian. Jika polisi sudah datang, aku akan segera menyusul, jadi pastikan ponsel kalian selalu aktif."

""Baik!""

Aku dan Yuri segera berlari menuju area festival.

Sementara kami berlari, Koi-san mulai menelepon polisi.

*** 

"Sial! Ini tidak berhasil! Terlalu banyak orang, aku tidak bisa menemukannya! Hinami, di mana kau!?"

Setelah berpisah dengan Koi-san, aku dan Yuri mencari Hinami di dalam area kuil dengan sekuat tenaga. Tapi festival ini terlalu ramai, membuat pencarian jadi sangat sulit.

Sebentar lagi, kembang api utama festival akan mulai. Saat aku kembali ke hotel untuk mengambil dompet, sepertinya semakin banyak orang datang untuk melihatnya.

Sial! Ini buruk!

Aku terus menoleh ke segala arah, tapi tetap saja, jumlah orang yang begitu banyak membuat pencarian ini nyaris mustahil.

Banyak orang yang memiliki gaya rambut atau pakaian mirip Hinami. Jika aku harus memeriksa satu per satu, itu akan memakan waktu terlalu lama.

"Apa yang harus kita lakukan, Ryo...? Aku tidak tahu lagi harus mencari di mana..."

Wajah Yuri terlihat putus asa. Sejak tadi, ia terus-menerus mencoba menelepon Hinami, tapi panggilannya tidak pernah tersambung.

Sepertinya Hinami terlalu sibuk melarikan diri, hingga tidak punya waktu untuk mengangkat telepon.

"Yuri, untuk sementara, jangan menelepon dulu. Yang lebih penting sekarang adalah terus mencari Hinami."

"Ya, kau benar... Tapi dengan banyaknya orang seperti ini, menemukannya bukan hal yang mudah..."

"Hinami pasti masih di dalam area kuil, tapi tempat ini luas dan sangat ramai. Ini akan memakan waktu lama..."

"Ugh... Seandainya saja kita sudah menentukan titik pertemuan kalau sampai terpisah... Aku tidak pernah menyangka ini akan terjadi..."

Ucapan Yuri membuat sesuatu terlintas di benakku. Itu mungkin hanya kata-kata yang ia ucapkan secara spontan, tapi bagiku, itu seperti secercah harapan.

"Itu dia...! Ya, mungkin dia ada di sana! Yuri! Tetaplah mencari di dalam kuil...! Jika kau menemukan Hinami, segera hubungi aku! Aku akan pergi ke pertengahan bukit di belakang kuil! Aku dan Hinami pernah membahasnya sebagai tempat pertemuan jika terpisah, jadi mungkin dia ada di sana!"

"O-oke! Aku akan memberitahu Koicchi!"

"Aku mengandalkanmu! Tunggu aku, Hinami! Aku pasti akan menyelamatkanmu...!"

Saat aku bersiap berlari menuju bukit, aku merasakan sesuatu menarik tanganku dengan erat.

"T-tunggu, Ryo!"

Yuri mencengkeram tanganku, menghentikan gerakanku.

Kenapa, Yuri...? Apa yang terjadi...?

*** 

"Maaf, Ryo. Sebenarnya... aku..."

Aku menatap mata Ryo dengan serius dan mengungkapkan semuanya.

"Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Koi-chi saat festival olahraga. Aku tidak berniat menguping, tapi aku terkejut dengan pembicaraan kalian, dan selama ini aku diam saja... Maaf, ya."

"Jadi... Jadi, kau tahu siapa aku sebenarnya...?"

"Iya."

Aku mengangguk pelan.

"Itulah kenapa aku ingin bertanya. Apakah kau akan menyelamatkan Hinami sebagai seorang pahlawan, atau karena kau mencintainya?"

"Pahlawan... Karena aku mencintainya...?"

Mendengar pertanyaanku, Ryo langsung terdiam. Setelah berpikir sejenak, dia menjawab dengan ragu.

"A-aku hanya sebagai teman..."

"Itu bukan jawaban yang sebenarnya, kan, Ryo?"

Tubuh Ryo menegang mendengar kata-kataku, seolah aku baru saja menusuk titik lemahnya.

"Ryo... Aku sangat menyukaimu. Dari semua orang yang pernah kutemui, aku paling menyukaimu. Itulah kenapa aku ingin tahu. Apa yang sebenarnya kau rasakan terhadap Hinami?"

"Y-Yuri... Kau menyukaiku...!?"

"Iya! Kau tidak pernah menyadarinya, tapi aku sudah berusaha cukup keras untuk menunjukkan perasaanku, tahu?"

Begitu aku mengungkapkan perasaanku, wajah Ryo langsung memerah hingga ke telinganya.

Sepanjang yang kutahu, Ryo belum pernah berpacaran dengan siapa pun.

Mungkin, aku adalah orang pertama yang pernah menyatakan cinta padanya.

Karena dia belum pernah mengalami hal seperti ini, tubuhnya bereaksi berlebihan terhadap pengakuanku.

"S-sungguh...? Aku sama sekali tidak menyadarinya... Tidak, sebenarnya aku sempat curiga sedikit, tapi aku tidak pernah menyangka kalau kau akan mengaku langsung seperti ini..."

"Ryo... Kenapa kau selalu berpikir negatif di saat seperti ini...? Tapi yang jelas, aku benar-benar menyukaimu. Jadi tolong jawab dengan jujur, bagaimana perasaanmu terhadap Hinami?"

"M-mengapa Hinami tiba-tiba dibahas...?"

"Karena kau selalu berusaha melindunginya. Saat insiden penyerangan, saat festival olahraga, dan bahkan sekarang. Aku tahu kau menganggapnya sebagai teman, tapi dari sudut pandang orang lain, ini lebih dari itu."

Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap langit yang mulai berubah dari jingga senja menjadi gelapnya malam.

"Aku rasa... kau mencintainya."

"......!"

Mata Ryo terbelalak lebar, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin dia terlalu terkejut untuk bisa menjawab.

"Itulah kenapa aku ingin tahu. Kau akan menyelamatkannya karena kau seorang pahlawan? Atau karena kau mencintainya?"

"A-aku..."

Ryo terlihat bimbang.

Saat dia masih berusaha mencari jawabannya, aku menggenggam tangannya dengan lembut. Kehangatan tubuhnya, serta genggaman tangannya yang besar dan kuat, memberikan rasa nyaman di hatiku.

"Aku mencintaimu, Ryo. Jadi, berhentilah berpikir kalau 'Hinami tidak mungkin menyukaiku' atau 'Aku ini bukan siapa-siapa'... Tolong katakan perasaanmu yang sebenarnya. Aku sudah mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku, jadi aku ingin tahu jawaban jujur darimu..."

Ah, ini buruk. Aku sendiri yang mengatakan ini, tapi rasanya air mataku ingin keluar.

Aku tahu. Aku bisa melihatnya di mata Ryo.

Dia tidak akan menyelamatkan Hinami sebagai seorang pahlawan.

Dia ingin menyelamatkan Hinami karena dia mencintainya.

Aku mengerti. Aku pasti akan ditolak. Aku kalah dari Hinami.

Tapi tidak apa-apa.

Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku dengan jujur, dan jika mereka bisa bersama setelah ini, aku akan menerima kenyataan itu.

Mungkin aku akan kalah, tapi Hinami adalah sahabatku.

Aku tidak mungkin menghalangi kebahagiaan antara sahabat dan orang yang kucintai.

Aku menahan air mataku dengan sekuat tenaga dan menatap Ryo dengan mata yang sedikit berembun.

Ryo menatapku sebentar, lalu mengambil napas dalam-dalam. Wajahnya kini menunjukkan tekad yang kuat.

"Aku... Aku..."

"Ya..."

"Aku mencintai Hinami. Selama ini, aku selalu berada di dekatnya untuk melindunginya. Awalnya, aku hanya ingin tetap tersembunyi agar identitasku tidak ketahuan. Tapi belakangan ini, aku mulai menyadari sesuatu... Saat Hinami ada di dekatku, aku merasa tenang. Saat dia kesulitan, aku ingin selalu ada di sisinya untuk mendukungnya. Jadi, aku rasa..."

"Ya..."

"Aku mencintai Hinami. Aku sangat mencintainya. Itu sebabnya aku ingin menyelamatkannya, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai seorang pria yang mencintainya...!"

Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, Ryo berkata demikian.

Syukurlah. Akhirnya dia menyadari perasaannya sendiri...

Pada akhirnya, aku memang ditolak. Tapi entah kenapa...

Aku merasa sedih, tapi di saat yang sama, juga merasa lega.

Mungkin karena Ryo akhirnya mengerti perasaannya dan mengatakannya dengan jelas.

Meskipun kesedihan akibat ditolak menyesakkan hatiku, aku tetap merasa tenang karena orang yang kusukai kini bersama sahabatku.

"Begitu ya... Terima kasih, Ryo. Aku memang ditolak, tapi aku tidak menyesal pernah menyukaimu."

"Yuri... Maaf, benar-benar maaf."

"Jangan minta maaf! Aku baik-baik saja, lihat ini!"

Untuk menenangkan Ryo, aku tersenyum lebar.

Mungkin dia tahu kalau ini hanya senyum palsu, tapi aku tetap berusaha mengangkat sudut bibirku semampuku agar dia merasa lega.

"Jangan pikirkan aku, yang penting sampaikan perasaanmu dengan baik pada Hinami! Ah, dan mulai besok, tetaplah bersikap seperti biasa, ya? Aku memang sudah mengaku dan ditolak, tapi aku ingin kita tetap bisa ngobrol tanpa canggung."

"Iya, aku mengerti, Yuri. Aku akan tetap bicara denganmu seperti biasa, tidak akan menghindar atau bersikap aneh."

"Terima kasih, Ryo."

"Aku yang harus berterima kasih, Yuri. Rasanya hatiku jadi lebih lega sekarang."

"Begitu ya! Syukurlah...! Maaf ya, tiba-tiba bicara begini di saat genting. Tapi aku benar-benar ingin memastikan."

"Tidak apa-apa, Yuri. Sekarang aku akan berlari ke tempat Hinami secepat mungkin!"

"Baik! Lindungi dia dengan segenap hatimu, ya?"

"Tentu saja!"

Saat Ryo membalikkan badan dan bersiap untuk berlari pergi—

Aku tersadar bahwa masih ada satu hal yang belum sempat kukatakan.

Aku segera meraih tangannya sekali lagi.

"Eh? Ada apa?"

Dia menoleh dengan bingung. Aku menatapnya dengan mata penuh kesungguhan.

"Ryo. Ada satu hal terakhir yang ingin kukatakan."

"A, apa itu?"

"Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku juga tidak tahu kenapa kau menyembunyikan identitasmu sebagai pahlawan. Tapi satu hal yang aku tahu—apa yang kau lakukan itu luar biasa. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh sembarang orang. Jadi, kau harus bangga pada dirimu sendiri. Mungkin ada alasan di balik keenggananmu untuk mengungkapkan siapa dirimu yang sebenarnya. Aku tidak tahu pasti. Tapi satu hal yang kuminta darimu—buang jauh-jauh pemikiran bahwa kau tidak pantas disebut sebagai pahlawan. Karena bagiku, kau adalah seorang pahlawan sejati."

Aku memang tidak tahu alasan sebenarnya kenapa Ryo merahasiakan identitasnya dari Hinami.

Tapi jika dia sampai harus menyembunyikannya, pasti ada alasan kuat di balik itu.

Instingku mengatakan bahwa ada sesuatu di masa lalu yang membuatnya enggan mengungkapkan dirinya.

Seharusnya, dia bisa dengan bangga menceritakan perbuatannya kepada siapa saja. Tapi satu-satunya orang yang tahu hanyalah Furuicchi.

Meski dunia mengakui dan memuji keberaniannya, dia tetap memilih untuk tetap diam. Itu pasti bukan hanya karena dia tidak ingin menjadi terkenal.

Itulah sebabnya—meskipun aku tidak memahami semuanya tentang Ryo, setidaknya...

Aku ingin memutuskan rantai yang membelenggu hatinya.

Ke depannya, Hinami-lah yang akan menjadi orang yang selalu ada untuknya, di saat suka maupun duka.

Jika aku terus berada di sisinya dan memberinya dukungan, itu mungkin tidaklah tepat. Itu adalah peran yang seharusnya dijalani oleh Hinami.

Tapi setidaknya, izinkan aku melakukan ini, Hinami.

Karena aku menyukainya, aku ingin melakukan ini untuknya—sebagai yang terakhir kalinya.

"Y-Yuri..."

Kini, mata Ryo mulai berair.

Seperti yang kuduga. Pasti ada sesuatu yang terjadi di masa lalunya, setelah kami berpisah saat masih kecil.

"Apa pun yang terjadi, kau tetaplah pahlawan yang hebat. Jadi jangan terlalu memikirkannya. Jangan biarkan masa lalu mengikatmu. Oke? Janji."

Aku mengulurkan kelingkingku, dan Ryo pun melakukan hal yang sama. Kami mengaitkan jari kelingking kami satu sama lain.

"Iya... Terima kasih, Yuri. Benar-benar terima kasih."

"Aku baik-baik saja, Ryo! Sekarang, ayo cepat pergi ke Hinami!"

"Iya! Aku pasti akan melindunginya!"

Kali ini, benar-benar—

Ryo membalikkan badan dan berlari menuju pegunungan.

Punggungnya, yang selalu terasa besar dan kokoh, semakin lama semakin menjauh.

Dan jarak di antara kami terus bertambah jauh. Mungkin, selamanya takkan bisa kembali seperti dulu.

Hatinya telah sepenuhnya tertuju pada Hinami, dan dia tidak akan kembali lagi.

Ahh, aku sempat berharap bisa melihat kembang api tahun ini bersama orang yang kusukai...

Tapi sepertinya, tahun ini pun aku akan menyaksikannya sendirian.

Tapi masih ada tahun depan, dan aku yakin suatu saat aku juga akan menemukan cinta yang baik untukku.

Hinami, Ryo. Semoga kalian berdua bahagia.

Ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk kalian.

"Baiklah. Mungkin saja Hinami masih ada di kuil ini, jadi aku harus terus mencarinya..."

Aku tidak bisa terus diam di sini.

Aku berbalik dan melangkah ke arah yang berlawanan dari jalan yang dilalui Ryo.

Aku juga harus menemukan Hinami.

Dan aku juga harus menemukan kembali jalanku dalam cinta...

"Selamat tinggal, Ryo."

Air mata mulai menggenang di mataku.

Namun, meski begitu, aku tetap menatap lurus ke depan dan melangkah maju.



Chapter 19: Aku Akan Menolongmu Lagi...

Sambil berlari sekuat tenaga, aku terus mendaki jalan setapak menuju titik tengah gunung.

Di tengah suara nyanyian serangga yang menggema dari segala arah, aku kembali mengingat percakapan tadi.

Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Yuri menyukaiku... Aku memang sempat curiga, tapi tidak pernah benar-benar yakin.

Yuri itu punya tubuh yang proporsional, ceria, dan sangat cantik. Rasanya sulit dipercaya kalau seorang gadis secantik dia menyatakan perasaannya padaku...

Tapi berkat pengakuan Yuri, aku akhirnya menyadari sesuatu...

Selama ini, aku selalu merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatiku.

Saat bersama Hinami, aku merasa tenang dan nyaman. Aku selalu ingin berada di sisinya.

Setiap kali Hinami dalam bahaya, aku tidak bisa tinggal diam. Aku ingin melindunginya, apa pun yang terjadi.

Perasaanku terhadapnya berbeda dari yang kurasakan terhadap orang lain.

Dan akhirnya, aku tahu jawabannya.

Aku... mencintai Hinami. Aku sangat mencintainya.

Itulah sebabnya, aku harus melindunginya dari penguntit itu. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untuknya.

Dan aku akan mengungkapkan perasaanku.

Terima kasih, Yuri... Kalau aku tidak bertemu Hinami, mungkin aku akan jatuh cinta padamu.

Aku tidak akan menyia-nyiakan perasaanmu. Aku sangat beruntung memiliki teman sepertimu.

Aku tidak tahu bagaimana perasaan Hinami terhadapku.

Tapi aku akan mengatakan semuanya.

Bukan sebagai pahlawan yang pernah menyelamatkannya, tapi sebagai seorang pria yang mencintainya.

Aku terus berlari menaiki jalan setapak, semakin mendekati titik tengah gunung.

Keringat bercucuran membasahi wajah dan tubuhku, tenggorokanku terasa sangat kering, tapi aku tidak peduli.

Aku harus segera menemui Hinami...!

*** 

Sambil terengah-engah, aku terus berlari menuruni gunung.

"Ke... kenapa kau lari dariku, Hinami-chan!?"

"Tolong... tolong jangan mendekat! Aku mohon, jangan ke sini...!"

Saat Ryo-kun kembali ke hotel untuk mengambil dompetnya yang tertinggal, penguntit itu tiba-tiba muncul di depanku.

Napasnya terdengar sangat kasar, pupil matanya membesar seolah-olah sedang dalam keadaan euforia yang tidak wajar...

Bagaimana dia bisa ada di sini? Bagaimana dia tahu lokasiku?

Aku tidak tahu jawabannya. Tapi satu hal yang pasti—situasi ini benar-benar membuatku putus asa...

Aku terpisah dari Yuri dan Koi-chan, lalu panik.

Meskipun ada orang di sekitar, aku terlalu ketakutan untuk berteriak. Satu-satunya hal yang terpikirkan saat itu adalah mencari tempat aman dan menelepon polisi. Namun, dalam keadaan panik, aku justru berlari ke titik tengah gunung ini...

Di sini ada sebidang tanah lapang dan juga dek observasi.

Meski berada di pegunungan, tempat ini cukup luas dan menawarkan pemandangan malam yang indah.

Namun, saat ini hanya ada aku dan penguntit itu di sini.

Dia mengejarku tanpa henti, dan tanpa sadar kami sampai di sini...

Titik tengah ini adalah tempat berkumpul jika aku dan Ryo-kun sempat terpisah. Kalau aku tetap di sini, mungkin saja dia akan datang menolongku...

Tapi itu hanya harapan. Tidak ada jaminan dia benar-benar akan datang.

Teleponku terus berdering dari tadi, tapi dalam situasi ini, tidak mungkin aku bisa mengangkatnya.

A-apa yang harus kulakukan...?

Tidak ada siapa-siapa di sini.

Di depanku, ada seorang pria yang mengincarku.

Situasi ini... persis seperti waktu itu...

Seperti saat insiden di stasiun bawah tanah...

A-apa yang akan dia lakukan padaku...?

Tolong... siapa pun... selamatkan aku...!

Tubuhku gemetar hebat, dan dalam hati aku terus memohon pertolongan.

Tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan datang.

"Te-tenang saja, Hinami-chan... Aku tidak akan melakukan apa-apa..."

"Ka-kalau begitu, kenapa kau terus mengikutiku!? Kenapa!?"

"A-aku hanya ingin menjauhkanmu dari laki-laki jahat...! Barusan aku melihatmu dengan seseorang, kan? Aku yakin dia itu orang jahat yang mengincarmu! A-aku ingin melindungimu! Aku akan selalu di sisimu, jadi ikutlah denganku!"

"Dia bukan orang jahat! Justru kaulah yang menakutkan!"

"Ja-jangan berkata seperti itu..."

Sambil berbicara, dia perlahan mendekatiku.

Aku mundur beberapa langkah, tapi dia terus mempersempit jarak.

"A-aku hanya ingin melindungimu, Hinami-chan... Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihat berita itu. Di antara semua perempuan yang pernah kutemui, kau yang paling cantik dan mempesona... Tapi tiba-tiba si Kusayanagi itu muncul, dan aku tidak bisa menahannya lagi! Daripada orang asing sepertinya mengincarmu, lebih baik aku yang melindungimu...! Ja-jadi, ayo kita hidup bersama...? Iya? Kalau tidak... aku mungkin akan benar-benar marah..."

Dia mengulurkan tangan kanannya ke arahku.

Tatapannya penuh dengan kegilaan, seolah mengancamku.

Aku terlalu fokus pada matanya, sampai aku baru menyadarinya—

Di tangan kirinya... dia menggenggam pisau...

Pisau itu memiliki panjang sekitar 20 cm, dan terlihat sangat tajam.

Sudah... sudah tidak ada harapan. Aku akan mati di sini. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku.

Tubuhku terlalu ketakutan untuk bersuara.

Kakiku lemas, dan aku jatuh terduduk di tempat.

Apa hidupku benar-benar akan berakhir di sini...?

Tidak... Aku tidak mau mati...

Masih banyak hal yang ingin kulakukan...

Aku tidak ingin menyia-nyiakan nyawaku—nyawa yang pernah diselamatkan oleh pemuda itu.

Aku belum sempat mengungkapkan perasaanku pada Ryo-kun. Aku belum sempat mengatakan bahwa aku mencintainya.

Aku juga belum sempat berterima kasih pada pemuda yang telah menyelamatkanku saat itu...

Aku tidak ingin semuanya berakhir seperti ini...

Tapi... apa yang bisa kulakukan...?

Aku tidak bisa mengalahkannya sendirian. Dan sekarang, aku juga sudah tidak bisa lari lagi.

“H-hoi… Ayo kita hidup bersama. Aku satu-satunya yang bisa membuatmu bahagia. Tapi kalau kau tidak mau menurut… k-kau mengerti, kan? Hehehe…”

Penguntit itu tertawa pelan dengan nada yang mengerikan. Ujung pisau tajam yang digenggamnya kini mengarah padaku.

Ketakutan akan kematian kembali menghantuiku.

Air mata mulai mengalir deras dari mataku.

Butiran-butiran besar jatuh ke tanah, membentuk pola titik-titik di kakiku yang lemas.

“Ti-tidak perlu menangis… Jika kau menurut, aku akan membuatmu bahagia… Aku hanya tidak ingin laki-laki lain berada di dekatmu. Aku hanya ingin melindungimu. Jadi, ayo…”

Dia terus mendekat.

Jarak di antara kami kini hanya tinggal tiga meter.

Sudah... Aku sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

Tapi... aku tidak ingin menyerah.

Saat berbicara dengan Yuri, aku menyadari betapa aku mencintai Ryo-kun.

Mungkin aku akan ditolak, tapi aku tetap ingin menyampaikan perasaanku.

Aku tidak boleh mati sebelum itu... Aku harus percaya bahwa masih ada harapan...

Aku harus mencoba untuk memanggilnya...

Aku mengusap air mataku dengan kasar, lalu dengan bibir yang gemetar, aku berbisik pelan.

"Ryo-kun... tolong aku!"

Begitu aku mengucapkannya, ekspresi penguntit itu berubah drastis.

Urat-urat di wajahnya menegang, dan dia mengerutkan kening dengan penuh kemarahan.

"Kenapa kau selalu mengatakan itu…!? Aku saja sudah cukup untukmu! Kau tidak butuh pria lain di sisimu! Kita bisa selalu berdua… Jadi…"

Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu mengangkat pisau di tangan kirinya tinggi-tinggi.

"Kau tidak boleh menyebut nama itu lagi!!! Ini hukumannyaaaa!!!"

Pisau itu melesat turun ke arahku.

Whoosh!

Aku bisa mendengar suara angin yang terbelah, menusuk telingaku.

Sudah… Aku tidak bisa menghindar…

Pisau itu, dalam gerakan lambat, semakin mendekat.

Ketakutan yang pernah kurasakan di masa lalu kini kembali menyelimutiku…

Kali ini, aku tidak akan selamat…

Hidupku akan berakhir di sini…

Tidak… Aku belum siap mati…

Aku belum sempat berpamitan pada Ayah, Ibu, dan adik-adikku.

Aku belum melakukan apa pun untuk Yuri dan Koi-chan.

Dan aku belum menyatakan perasaanku pada Ryo-kun…

Aku tidak mau…

Seseorang…

Tolong aku…

Tepat saat aku memohon di dalam hati—

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA HINAMI, BANGSAAAAAAT!!!"

Suara teriakan penuh amarah tiba-tiba terdengar dari balik semak-semak.

Begitu aku mendengar suara itu, harapan yang sempat hilang kini kembali menyala.

Seseorang berlari ke arah kami dengan cepat, tidak peduli bahwa lawannya membawa pisau.

Dengan tinjunya yang kuat, dia menghantam wajah si penguntit.

"GUAAAHH!!"

Penguntit itu menjerit kesakitan dan terlempar ke tanah.

"Kau…! K-Kenapa kau ada di sini!?"

Wajahnya dipenuhi keterkejutan saat melihat sosok yang kini berdiri di depanku.

Sementara itu—

“Kau sudah aman sekarang. Aku tidak akan membiarkan bajingan ini menyentuhmu lagi, Hinami!”

Ryo-kun berdiri di hadapanku, tersenyum lembut.

Begitu melihat wajahnya, meski aku baru saja berada di ambang kematian, bibirku perlahan tertarik membentuk senyuman.

Ryo-kun… Dia datang untuk menolongku…!

Aku begitu ketakutan sampai menangis, tapi sekarang… aku merasa lega…

Dan pada saat yang sama—

"Punggung ini... Aku mengenalnya..."

Kenangan lama mulai perlahan kembali ke dalam benakku.



Chapter 20: Penyelesaian

Hah… Hah… Hah… Nyaris saja. Aku berhasil datang tepat waktu…

Sambil terengah-engah, aku menatap tajam ke arah penguntit yang tengah berusaha bangkit.

Itu sangat berbahaya. Kalau aku datang lebih lambat sedikit saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Hinami.

Aku tidak tahu siapa sebenarnya pria ini, tapi aku tidak akan membiarkannya mendekati Hinami lagi.

“B-Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini…!? Bagaimana kau bisa tahu kalau aku bersama Hinami!? Aku melihatmu pergi dari kuil! Aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba keluar, tapi itu memberiku kesempatan! Seharusnya kau tidak tahu tempat ini, jadi kenapa!?”

Pria itu berteriak dengan marah, ludahnya berhamburan ke segala arah.

Pipi yang kutinju tadi kini memerah dan sedikit membengkak. Ada sedikit darah di bibirnya.

Namun, meski begitu, dia masih mencengkeram pisau di tangan kirinya dengan kuat dan mengarahkannya ke arahku.

“Aku dan Hinami sudah berjanji. Jika kami terpisah, kami akan berkumpul di tempat ini. Jadi, aku datang ke sini dengan taruhan segalanya!”

Aku melanjutkan dengan nada tajam.

“Sebaliknya, kenapa kau bisa ada di sini…!? Bagaimana kau tahu kami berada di sini!? Kami tidak memberi tahu siapa pun!”

Bagaimana bisa dia tahu lokasi ini?

Aku tidak bisa memahami itu. Bahkan jika dia seorang penguntit, rasanya tidak mungkin dia bisa mendapatkan informasi tentang perjalanan ini.

Apa dia memasang alat penyadap? Tapi kapan?

“Kuh… Kuh… Kuh…”

Penguntit itu tertawa kecil dengan suara mengerikan, lalu memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Dia mengeluarkan ponselnya dan menampilkan sesuatu di layar, lalu menunjukkannya padaku dan Hinami.

“Memang benar, sampai beberapa hari yang lalu, aku tidak tahu kalau kalian pergi berlibur. Tapi, berkat postingan anak ini, aku bisa tahu ke mana kalian pergi dan bahkan mengetahui jadwal kalian…”

Layar ponselnya menampilkan sebuah akun X (Twitter).

Saat aku melihat nama akunnya…

‘Yuri’

Aku menelan ludah dan segera membaca isi postingannya.

Ada foto kami berempat di kolam renang, foto suasana hotel, serta cuitan tentang festival yang kami hadiri.

“Aku terus mengawasi semua SNS yang berhubungan dengan Hinami. Lihat, temanmu yang bernama Yuri ini selalu memposting foto perjalanan kalian. Bahkan sebelumnya di pusat perbelanjaan, aku juga tahu kepergian Hinami dari sini. Saat itu, ada seorang anak laki-laki yang mengundang Hinami bermain sebelum liburan musim panas, tapi dia menolak karena ada rencana belanja. Anak itu lalu mengeluh di SNS tentang bagaimana dia ditolak. Dari situlah aku tahu kalau Hinami akan pergi ke pusat perbelanjaan pada hari Sabtu. Tapi waktu itu terlalu ramai dan kalian selalu bersama, jadi aku menyerah dan pulang…”

Aku menggigit bibirku dengan kuat.

Brengsek… Dia lebih cerdas dari yang aku kira…!

Dia menelusuri akun yang diikuti oleh Hinami, menemukan akun Yuri, dan dari sanalah dia mengetahui keberadaan kami.

Yuri tidak tahu tentang penguntit ini sampai beberapa waktu lalu. Itulah sebabnya dia terus memposting banyak foto yang menampilkan Hinami.

Dan pria ini melihat semua itu, menemukan lokasi kami, lalu mengikuti kami ke sini…!

“K-Kau adalah penghalang! Aku saja sudah cukup untuk Hinami! M-Minggirlah dari hadapanku!”

Sambil gemetar, dia tetap mengarahkan pisaunya ke arahku, perlahan mendekat.

“J-Jangan kotori malaikatku lagi! Hinami adalah milikku!!”

“Omong kosong! Hinami bukan milik siapa pun! Jangan buat dia ketakutan lagi!”

“D-Diam kau! Hanya aku yang bisa… Hanya aku yang bisa…”

Dia menundukkan kepala sejenak, terdiam. Lalu, setelah menarik napas dalam-dalam, dia kembali menatapku dengan ekspresi gila—

Dan tiba-tiba berlari ke arahku dengan pisau terhunus.

“Hanya aku yang bisa melindungi Hinami! Kau harus menyingkir!”

Dia berteriak sambil berlari ke arahku, pisaunya mengarah lurus padaku.

“Ry-Ryo-kun! Awas!!”

Dari belakang, aku mendengar suara Hinami yang dipenuhi ketakutan.

Tidak apa-apa. Aku tidak akan lari.

Kalau aku lari, Hinami yang ada di belakangku akan berada dalam bahaya.

Aku harus melindunginya. Apa pun yang terjadi!

Aku bisa mendengar napas penguntit itu yang semakin berat. Dia sedang dalam kondisi emosi tinggi—

Dia tidak berpikir jernih.

Dan jika dia tidak berpikir jernih…

Aku harus memanfaatkan itu!

Saat dia semakin mendekat, aku segera merendahkan tubuhku dan memutar kakiku dalam gerakan setengah lingkaran, nyaris menyentuh tanah.

Dia tidak sempat bereaksi—

Dan kakiku menghantam pergelangan kakinya dengan keras.

“Uwaah!!”

Laki-laki itu berteriak, kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh dengan keras.

Punggungnya membentur tanah, dan dia menggertakkan giginya menahan rasa sakit.

Aku tidak melewatkan kesempatan itu.

Tanpa ragu, aku mengayunkan tinjuku lagi ke arah wajahnya.

PAK!

Suara pukulan bergema di udara, dan pisaunya terlepas dari genggamannya, terjatuh beberapa meter dari tempatnya.

“Bagus. Sekarang kau tidak punya senjata lagi.”

Sambil melenturkan jari-jariku, aku mendekatinya selangkah demi selangkah.

Satu pukulan lagi, dan dia pasti tidak akan bisa bangkit lagi.

Atau setidaknya, itulah yang kupikirkan.

“Jangan remehkan aku…!”

Tiba-tiba, dia berteriak keras dan melompat bangun.

Lalu—dengan gerakan cepat—dia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.

Sebuah pisau lain.

“MATI KAU!!”

Dia menerjang ke arahku dengan pisau terhunus.

Sial!

Dia punya senjata lain!?

Aku tidak akan sempat menghindar!

“Ry—Ryo-kun!! T-Tidak mungkin… Darah!!”

Teriakan Hinami bergema di udara.

Aku menunduk dan melihat darah menetes dari perutku, jatuh ke tanah dalam tetesan merah pekat.

Titik-titik darah membentuk pola acak di bawah kakiku, menciptakan bayangan suram dari rasa sakit yang menjalar.

Ah… Sial… Ini sakit sekali.

Tapi—aku tidak akan kalah hanya karena ini!

“T-Tidak mungkin! Kau menghentikannya dengan tangan kosong!?”

Seperti yang dia katakan, aku berhasil menangkap bilah pisau dengan tangan kosong tepat sebelum menusuk perutku.

Namun, tidak mungkin aku bisa selamat tanpa luka.

Darah mengalir deras dari tanganku yang kini terkoyak, dagingnya terbelah akibat ketajaman pisau.

Aku menahan rasa sakit itu, menggertakkan gigi.

Ini adalah rasa sakit terburuk yang pernah kurasakan.

Darahku terus menetes, dan luka di tanganku cukup dalam.

Tapi dibandingkan dengan melihat Hinami terluka dan menderita—

Rasa sakit ini tidak ada apa-apanya!

Bajingan ini…!

Masih mencengkeram pisau dengan erat, aku menarik kepalaku ke belakang—

Dan menghantamkan kepala ke wajahnya dengan sekuat tenaga!

DUK!

Bunyi benturan yang keras terdengar.

Dia berteriak kesakitan, dan refleksnya melepaskan pisaunya.

Tubuhnya terdorong ke belakang, dan dia jatuh terduduk di tanah.

Aku menendang pisau itu jauh dari jangkauannya.

“A-Arrgh… Sialan…!”

“Dengar, bajingan! Jangan pernah mendekati Hinami lagi!!”

Aku mencengkeram rambutnya dengan tangan berlumuran darah, menatapnya dengan penuh ancaman.

Matanya membelalak, dan air mata mulai mengalir dari wajahnya.

Dia… ketakutan.

“A-Aku… Sial… Sial!!”

Dengan panik, dia menepis tanganku, lalu bangkit dan berlari secepat mungkin menuruni gunung.

Dia melarikan diri.

Aku menghela napas berat.

Setidaknya, ini cukup untuk sementara.

Polisi akan segera datang, dan pisaunya penuh dengan sidik jari.

Hanya masalah waktu sebelum dia tertangkap.

Tapi begitu aku merasa lega, tiba-tiba—

Lututku melemas.

Aku jatuh berlutut di tanah.

Rasa sakit, ketegangan, dan ketakutan akhirnya menghantam tubuhku sekaligus.

Sial… Darah di tanganku tidak berhenti mengalir.

“R-Ryo-kun!! Kau baik-baik saja!?”

Hinami langsung berlari dan berjongkok di sampingku.

Aku menatapnya—

Tidak ada luka di tubuhnya.

Bagus.

Tanganku memang terluka cukup parah, tapi aku tidak akan mati.

Untuk saat ini… semuanya sudah beres.

0

Post a Comment



close