NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Darenimo Natsukanai Tobikyuu Tensai Youjo ga, Ore ni Dake Amaetekuru Riyuu V2 Chapter 1 - Selingan 1

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 1

Nona yang Mana?


Aneh. Waktu terasa berjalan terlalu lambat.


(...Akhirnya sudah tiga minggu berlalu)


Aku menatap tanggal di ponsel dan merasa lelah. Akhirnya pertengahan Agustus datang… Biasanya, liburan musim panas berlalu dalam sekejap, tapi entah kenapa tahun ini waktu terasa berjalan sangat lambat.


Mungkin karena aku tidak bisa benar-benar menikmati satu-satunya hobiku, yaitu bermain game. Rasanya tidak ada semangat.


Begitulah aku menghabiskan hari-hari dalam keadaan linglung, dan tibalah hari ini.


(...Yah, sudahlah)


Meskipun begitu, bukan berarti aku sedang murung. Justru sekarang aku sedang merasa senang.


Karena besok… aku akan bertemu dengan gadis itu.


[Aku baru saja tiba di rumah. Akan segera tidur, jadi mohon bantuannya besok]


Malam hari. Sambil menyeruput somen dingin buatan ibu, aku menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Pesan yang baru saja masuk jelas-jelas dari Hime.


Melihatku seperti itu, ibu yang sedang mencuci piring berkata, “Jangan main ponsel saat makan,” tapi aku pura-pura tidak dengar dan menyentuh layar untuk membalas pesan.


Tepat saat itu, satu pesan lagi masuk.


[Senang sekali bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Selamat malam, Yohei-kun]


...Hanya satu kalimat. Bahkan tanpa emoji atau stiker, kalimatnya sangat sederhana.


Namun, tanpa sadar aku tersenyum. Itu sangat khas Hime.

Melihat ekspresi itu, ibu menepuk kepalaku pelan.


“Jangan senyum-senyum sendiri, cepat habiskan makanmu. Aku nggak bisa selesai cuci piring, tahu.”


Menyebalkan. Tapi aku sedang dalam suasana hati yang terlalu baik untuk membantah, jadi aku hanya mengangguk diam-diam dan dengan cepat membalas pesannya:


[Aku juga nggak sabar. Selamat malam, Hime]


Oke. Sekarang aku cepat habiskan makan malam, mandi… dan hari ini aku tidak akan main game. Aku ingin cepat tidur demi hari esok.


Sambil merencanakan hariku, aku melahap sisa somen dengan semangat.


Karena aku memulainya terlambat, mungkin air yang menempel di mie sudah mencair dan membuat kuahnya jadi encer. Tapi aku sama sekali tidak peduli.


Karena aku sangat menantikan bisa bertemu Hime.


Bisa mempertahankan pola tidur normal selama liburan musim panas pasti karena pesan dari Hime waktu itu.


Berkat itu, aku bisa tidur sebelum matahari terbit dan bangun sebelum siang. Entah pola itu sehat atau tidak, tapi setidaknya hari ini aku tidak kekurangan tidur—jadi anggap saja berhasil.


Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang.


Entah kenapa, aku sedang duduk di kursi depan mobil yang dikemudikan oleh seorang kakek yang tidak kukenal.


Aku duduk di kursi penumpang depan. Kakek itu berambut dan berjanggut putih, terlihat tenang dan baik hati… Tapi karena ini pertama kalinya kami bertemu, suasananya jadi canggung.


“Ha-hari ini panas ya?”


“Benar, panas.”


“...Pa-panas banget, ya.”


“Panas, benar.”


“…………”


Karena keheningan itu sangat tidak nyaman, aku mencoba memulai obrolan, tapi langsung berakhir begitu saja.


(Sial… kemampuan sosialisasiku payah sekali)


Sudah cukup, aku menyerah. Kakek ini juga sepertinya tidak keberatan. Aku akan diam saja sampai tiba di tujuan.


Sebenarnya hari ini aku diundang ke rumah keluarga Hoshimiya.


Hime mengirim pesan: 

[Aku membawa banyak oleh-oleh, jadi tolong datang untuk mengambilnya]


Jadi aku memutuskan untuk datang bermain ke rumah mereka.


Tapi setelah menanyakan alamatnya, ternyata tempatnya cukup jauh di pinggiran kota, dan sulit dijangkau. Kalau naik bus, harus memutar jauh dan makan waktu lama.


Karena itu, keluarga Hoshimiya dengan baik hati menawarkan tumpangan.


Kakek yang mengemudi ini datang menjemputku di minimarket dekat rumah. Karena dia memakai jas, mungkin dia adalah pelayan keluarga?


Keluarga Hoshimiya memang keluarga kaya, jadi wajar saja kalau mereka punya pembantu.


(Tapi… masa sih, keduanya nggak ikut menjemput?)


Menurut cerita sang kakek, kedua saudari itu ketiduran karena jet lag. Karena masih perlu bersiap-siap, mereka tidak sempat ikut menjemput.


Hime juga mengirim pesan permintaan maaf. Sedangkan dari Hijiri-san, entah kenapa, aku justru dapat stiker “Selamat tidur.”


Aku pun membalas: ke Hime aku bilang “nggak apa-apa”, dan ke Hijiri-san aku tulis “jangan tidur lagi”. Itu semua sudah setengah jam yang lalu.


Akhirnya, mobil berhenti.


Sepertinya kami telah sampai di rumah keluarga Hoshimiya.


(W-wow… besar…!)


Dari kaca depan, terlihat rumah bergaya barat. Tiga lantai dan juga sangat lebar ke samping. Berapa banyak ruangan di dalamnya ya…? Terlihat sangat luas.


Rasanya lebih cocok disebut “mansion” daripada “rumah.”

Halamannya pun luas. Kalau jalan keliling, pasti butuh waktu lama.


“Aku akan parkir dulu, ya.”


“Baik, terima kasih sudah mengantar.”


Sepertinya aku disuruh turun, jadi aku membuka pintu dan keluar dari mobil.


Udara panas langsung menyergap, membuatku ingin kembali masuk ke mobil yang ber-AC.


Tapi saat aku menoleh, mobilnya sudah melaju. Mungkin tempat parkirnya agak jauh karena area rumah ini sangat luas. Toh aku diturunkan cukup dekat, jadi malah bersyukur.


Aku berjalan menuju pintu masuk. Tak ada siapa-siapa di sekeliling.


Aku ragu—haruskah tekan bel, atau hubungi lewat ponsel dulu… Tapi sebelum sempat memutuskan, pintunya tiba-tiba terbuka.


“Ah, Hime.”


Dari balik pintu ganda itu, muncul wajah seorang gadis kecil berusia delapan tahun.


Setelah tiga minggu tidak bertemu, Hime menyambutku dengan wajah yang bersinar cerah.


“Kamu datang, Yohei-kun… ehehe~.”


Hime tersenyum lembut, lalu dengan malu-malu mencubit ujung roknya.


Pakaiannya hari ini adalah gaun terusan yang mirip dengan yang ia kenakan saat kami pergi jalan-jalan waktu itu. Bedanya, jika dulu berwarna putih, kali ini berwarna hitam. Warna kontras itu sangat cocok dengan rambut peraknya, membuatnya terlihat sedikit lebih dewasa dari biasanya.


“Lama tidak bertemu, Hime.”


“Iya, sudah tiga minggu, ya.”


Ekspresi polos di wajahnya memiliki semacam sihir yang membuat pipi ini otomatis ikut tersenyum hanya dengan melihatnya.


Tiga minggu terakhir terasa sangat lambat. Mungkin karena itu, saat melihat wajah Hime, aku merasa sangat senang bisa bertemu lagi.


“Silakan masuk, di luar panas sekali.”


Suhu yang sangat mengganggu pun entah bagaimana terlupakan saat bersama Hime. Aku yang tadinya hampir mengajaknya mengobrol sambil berdiri di luar, kini menurut dan masuk ke dalam rumah sesuai permintaannya.


“Lu… luas banget!”


Sebenarnya aku sudah memperkirakan dari tampak luar, tapi melihatnya langsung dengan mata sendiri benar-benar luar biasa. Begitu masuk dari pintu depan, ruang besar yang menyerupai lobi hotel langsung tampak di hadapan.


Di bagian dalam, ada lorong dan beberapa pintu kamar yang bisa terlihat. Di tengah ruangan, ada tangga spiral menuju lantai atas. Sepertinya dari situ bisa naik ke lantai dua dan tiga.


“Di bagian belakang lantai satu ini ada kamar para pelayan. Di lantai dua ada kamar keluarga dan tamu. Lantai tiga adalah ruang kerja ayah dan ibu. Tapi, mereka jarang sekali ada di rumah ini.”


Mungkin karena aku tampak menoleh ke sana kemari dengan rasa penasaran, Hime menjelaskan sedikit tentang struktur rumah ini. …Luar biasa. Sedikit terdengar rendahan, tapi aku jadi penasaran, berapa banyak uang yang harus dihasilkan untuk bisa tinggal di rumah seperti ini? Sulit membayangkannya, aku sampai terpukau.


Mungkin wajahku terlihat lucu.


“...Yohei-kun, mulut dan matamu jadi bulat semua, lho.”


Hime menahan tawa kecil sambil melihatku. Mungkin wajahku terlihat aneh... Meski agak malu, tapi aku senang bisa melihat Hime tertawa. Jadi tidak masalah.


“Ke sini, yuk. Onee-chan juga ada di kamar. Ayo cepat.”


Setelah berkata begitu, Hime menarik tanganku.


(Hime... sepertinya lebih ceria dari biasanya?)


Nada suaranya tidak terlalu berbeda dari biasanya. Tapi ekspresinya terlihat lebih cerah, dan ia tampak sangat senang.


Mungkin karena senang bisa bertemu lagi setelah 3 minggu. Aku juga merasa begitu, jadi aku benar-benar senang menerima perasaan tulus darinya.


Kami naik tangga dan diarahkan ke kamar pertama.


“Ini kamar aku dan Onee-chan.”


“Eh? Kamar kalian berdua?”


Ada beberapa kamar lain di dalam, tapi sepertinya bukan itu yang dimaksud.


“Iya. Karena kami sering menghabiskan waktu bersama, jadi kami memakai kamar yang sama.”


Oh iya, waktu kami pergi belanja kemarin, mereka sempat bilang begitu. Kalau tidak salah, mereka juga tidur di tempat tidur yang sama?


Mereka benar-benar saudara perempuan yang sangat akur, ya… Begitu pikirku sambil masuk ke dalam kamar lewat pintu yang dibuka Hime.


Karena ini kamar cewek, mungkin tidak sopan kalau aku melihat-lihat terlalu banyak... Tapi saat aku masih canggung karena itu—


“Gu gaa... uahh... fuh gah...”


Suara ngorok seperti dari proyek pembangunan terdengar, dan rasa tegang itu langsung lenyap.


Suara ngorok yang menggelegar membuatku merasa malu karena sempat menganggap Hijiri-san sebagai “perempuan” dengan citra tertentu.


“Maaf ya. Aku sudah coba bangunin berkali-kali, tapi dia nggak bangun juga.”


Hime tampak pasrah. Ia menghela napas dan berjalan pelan menuju ranjang tempat kakaknya tidur. Aku mengikutinya dari belakang dan ikut masuk ke dalam kamar.


(Luas banget...)


Tidak bisa dibandingkan dengan kamarku. Ukurannya seperti setengah ruang kelas. Aku langsung terkesima.


Di dinding ada lemari dan meja belajar. Di tengah ruangan ada sofa berbentuk huruf U dan televisi, tampak sangat nyaman.


Di bagian paling dalam, ada ranjang besar dengan kelambu. Sepertinya itu area untuk tidur… dan ukurannya lebih dari cukup untuk dua orang.


Dan di tengah ranjang itu, dia berada.


“Onee-chan, bangun, dong.”


“Gugogogogo…”


“Itu ngorok macam apa sih…”


Aku berdiri di samping Hime yang tampak lelah, lalu mengintip wajah tidur Hijiri-san.


Rambutnya berantakan karena tidur, air liur keluar dari mulutnya, matanya sedikit terbuka... dan karena tidur dalam posisi terlentang dengan tangan dan kaki terbuka, bagian bawah piyamanya sedikit tersingkap dan memperlihatkan pusarnya.


“…………”


Ini sih... sebaiknya aku pura-pura nggak lihat saja.


Untuk ukuran tidur seorang gadis, ini cukup... mengejutkan. Tapi, kakakku sendiri juga dulunya seperti ini saat belum menikah, jadi aku nggak merasa jijik atau gimana-gimana juga.


“Onee-chan, bangunlah. Ini keterlaluan banget, lho.”


“Nn~... lima menit lagiii…”


“Kamu udah bilang gitu sejak sejam yang lalu.”


“Soalnya... tinggal sebentar lagi sampai Yohei datang…”


“Aku udah datang dari tadi, tahu.”


“…Eh?”


Akhirnya, kelopak mata yang terus tertutup itu perlahan terbuka.


Matanya masih setengah tertutup karena mengantuk. Ia pertama-tama melihat Hime... lalu berpindah ke arahku yang berdiri di samping.


Pada saat itu, matanya langsung terbuka lebar.


"Yohei!? Tidak, bohong... jangan lihat! Jangan lihat aku seperti ini!"


Sepertinya dia memang sedang dalam masa usia di mana hal-hal seperti rambut kusut saat tidur, air liur yang menetes, dan piyama yang berantakan jadi sesuatu yang ia pedulikan. Dengan panik, dia mencoba menutupi dirinya dengan selimut dan menghindari pandangan dariku.


Melihat kakaknya seperti itu, Hime berkomentar singkat.


“Semua sudah terlambat. Aku bahkan sempat mendengar onee mendengkur.”


“Gyaa!”


"Kakak bilang ‘grugogogo’. Yohei-kun juga tertawa lho."


"Be-berhenti! Jangan bilang apa-apa lagi..."


Hijiri-san mulai menangis hampir seperti bayi. Melihat kakaknya seperti itu, Hime tampak agak puas.


"Karena Onee-chan terus tidur, mau tidak mau harus belajar dari pengalaman menyakitkan seperti ini."


"Uuh… Yohei mesum!"


“Kenapa jadi aku yang disalahin?”


Entah kenapa, amarahnya malah sampai kepadaku juga.


Sambil menutupi wajahnya agar aku tidak melihat, Hijiri-san buru-buru turun dari tempat tidur.


"A-aku… aku cuci muka dulu ya!"


"…Syukurlah. Sepertinya rasa malu seorang gadis masih ada."


Melihat punggung Hijiri-san yang berjalan keluar kamar, Hime menghela napas lega.


“Ah, seprai tempat tidurnya berantakan. Kalau dibiarkan begitu, nanti bisa dimarahi, boleh aku rapikan?”


“Tentu. Aku juga bantu.”


“Boleh? Kalau begitu, aku akan menerima tawaranmu.”


Tempat tidur benar-benar berantakan. Seprai kusut, bantal berada dalam posisi tegak entah kenapa, dan selimut hampir jatuh ke lantai.


Mungkin ulah Hijiri-san. Mungkin dia juga tidurnya tidak tenang, pikirku sambil berpindah ke sisi lain tempat tidur untuk merapikan seprai.


Di sana aku menyadarinya.


"Eh? Ini..."


Di dekat bantal. Di situ ada boneka beruang yang sangat aku kenal. Dan boneka itu… sedang mengenakan kaus. Lagi-lagi, kaus yang juga sangat familiar… atau lebih tepatnya, itu kaus yang baru saja aku pakai belum lama ini.


"Aku tidur bersamanya setiap malam."


Sepertinya Hime menyadari aku memperhatikan. Sambil melipat selimut, dia tertawa malu-malu.


"Berkat itu, aku bisa tidur nyenyak di Amerika. Terima kasih."


“Ah, tidak perlu. Kan kamu yang ngambil, aku nggak ngapa-ngapain juga.”


Boneka beruang ini sebenarnya didapat Hime dari permainan crane saat kami pergi ke game center bersama. Aku hanya mengeluarkan uang, tidak melakukan apa-apa secara langsung.


Tapi sepertinya Hime tidak sedang membicarakan itu.


“...Rasanya seperti Yohei-kun ada di dekatku, jadi aku merasa tenang.”


Bukan soal benda. Dia bersyukur karena merasa itu seperti hadiah dariku.


Aku baru sadar… dan langsung ikut merasa malu.


“Be-begitu ya. Senang mendengarnya.”


Aku mengangguk pelan, dan Hime menirukan gerakanku sambil tersenyum kecil.


“Ehehe.”


Setelah itu dia kembali melipat selimut.


...Sepertinya hari ini Hime sedang dalam suasana hati yang baik. Secara spesifik, dia banyak tertawa. Atau lebih tepatnya, setiap kali bicara denganku, dia tampak selalu tersenyum dan wajahnya begitu polos.


Mungkin karena sudah lama tidak bertemu. Tapi, mungkin juga... hanya aku yang merasa begitu. Atau, mungkin kami berdua memang agak aneh hari ini.


Tiga minggu ternyata cukup lama, baik untukku maupun Hime.


"Uhuk."


Sekitar lima belas menit berlalu.


Hijiri-san yang sudah menyelesaikan persiapannya akhirnya kembali ke kamar.


Sambil berdeham seolah tidak terjadi apa-apa, dia duduk di sofa tempat aku dan Hime sedang bersantai.


Sekarang dia tidak lagi memakai piyama, melainkan baju rumah. Meski polos, atasan longgar dan celana pendek yang dipakainya tampak seperti setelan yang feminin.


Penampilannya yang sebelumnya berantakan, kini terlihat rapi seakan tidak pernah terjadi apa-apa.


“Lupakan yang tadi.”


“Aku tidak bilang apa-apa, kok.”


“...Yohei itu tipe yang hilang ingatan kalau kepalanya terbentur ya?”


“Jangan selesaikan masalah dengan kekerasan.”


“Onee-chan, tolong berhenti berpikiran barbar seperti itu. Semua ini salah Onee-chan sendiri karena malas bersikap rapi.”


“Tapiii… uuuh~”


Tampaknya rasa malunya masih tersisa. Untuk memperbaiki suasana hati Hijiri-san, sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengeluarkan ‘itu’.


“Hime, ayo kita makan.”


“Baik. Sekarang Onee-chan juga sudah di sini, pas banget.”


“Eh? Itu... maksudnya ini?”


Hijiri-san menatap benda yang ada di atas meja di depan sofa. Tepat sekali. Itu adalah oleh-oleh yang kubawa karena berkunjung ke rumah mereka.


“Kelihatannya kotaknya mewah, isinya apa?”


“Kue kering.”


Ya. Yang kubawa adalah kue kering dalam kaleng kecil.


Bisa dibilang ini adalah oleh-oleh standar. Kadang ibuku juga mendapatkannya, dan setiap kali itu terjadi, aku selalu ikut mencicipi.


Karena harganya sedikit mahal dari kue biasa, rasanya juga terasa lebih enak. Tidak bisa kubawa ke sekolah, tapi karena ini momen yang pas, aku pun sengaja membelinya.


“Waah, banyak sekali isinya.”


“Hmm...?”


Bukan hanya Hime, tapi Hijiri-san juga tampaknya terpikat oleh kue kering itu.


Meskipun begitu, rasa malunya sepertinya belum sepenuhnya hilang, terlihat sedikit canggung. Tapi, Hijiri-san adalah orang yang sangat patuh pada nafsu makannya.


"Silakan, makan saja."


"Kalau begitu, cuma satu ya... enak banget!? Apa ini? Enaknya~!"


Ekspresinya langsung berubah total. Ia menikmati rasa kue itu dengan wajah penuh kebahagiaan... Syukurlah, Hijiri-san orangnya sederhana.


"Aku makan satu lagi, ah~"


"Onee-chan, itu tidak sopan. Menurutku kamu harus makan lebih pelan."


Sambil menegur Hijiri-san, Hime makan kuenya dengan wajah tenang.


Satu gigitan kecil. Meski kuenya kecil, Hime menggigitnya perlahan dan tidak langsung memakannya semua.


"...Manisnya pas, dan teksturnya renyah, enak sekali."


Tapi pada gigitan kedua, dia memasukkan satu kue utuh ke dalam mulut. Gigitannya besar, hampir sama dengan Hijiri-san. Sepertinya dia benar-benar suka rasanya, dan itu menyenangkan.


Hijiri-san tampaknya sudah ceria kembali, dan Hime pun tampak puas.


"Rasanya cocok dengan teh ya."


"Benar juga! Kalau aku tanya Mei-chan, mungkin dia bisa bawain?"


"Tapi bukannya tadi dia bilang sedang keluar karena ada urusan?"


"Oh iya ya? Hmm, ya sudahlah! Kalau air sih ada."


Saat kakak beradik itu mengobrol, aku sempat berpikir:

("Siapa itu 'Mei-chan'?")


Dia yang biasa membawa teh. Tapi katanya juga sedang keluar karena ada urusan. Dari dua petunjuk itu, aku menduga dia mungkin semacam pembantu rumah tangga di rumah ini.


Aku teringat kakek bersetelan jas tadi. Tapi dia sepertinya bukan 'Mei-chan'... Jadi siapa, ya?


Saat aku memiringkan kepala memikirkan hal itu, Hime tampaknya menyadari.


"Itu orang yang merawat kami. Semacam... pembantu rumah tangga. Namanya Itou Mei-san."


"Oh ya, dan kakek yang antar-jemput kamu tadi itu namanya Haruno-san. Dia yang biasa nganterin kami ke sekolah dan sebagainya~"


Begitu rupanya. Jadi Mei-san itu pembantu, dan kakek yang menyetir tadi namanya Haruno-san.


Seperti yang kuduga dari seorang nona dari keluarga kaya, ternyata punya dua orang asisten rumah tangga adalah hal yang biasa.


Yah, dengan rumah sebesar ini, memang sulit kalau hanya dikelola oleh keluarga saja.


"Aku harus menyapa nanti, ya."


Dengan Haruno-san aku sempat mengobrol di mobil, tapi dengan Itou Mei-san aku bahkan belum bertemu. Kalau ada kesempatan, aku ingin menyapa.


"Menemui dia ya... Hmm, kira-kira Mei-san mau datang nggak ya?"


"Dia pemalu banget~... dan juga orangnya cukup galak, jadi hati-hati ya? Aku tiap hari dimarahin."


"Itu karena Onee-chan-nya ceroboh."


"Aku tuh nggak ceroboh! Hanya saja, hati Mei-chan sempit aja~"


Hmm. Jadi memang Hijiri-san yang salah, atau memang Mei-san yang galak, ya?


Bagaimanapun juga, mungkin dia nggak terlalu senang bertemu denganku. Kalau begitu, mungkin aku nggak perlu memaksa Tapi, untuk bilang aku nggak penasaran sama sosok "pembantu galak dan pemalu" itu juga bohong.


Entah kenapa aku membayangkan seorang wanita dewasa tinggi, berkacamata.


Kalau bisa sih, aku ingin melihatnya walau hanya sekilas.

...Pikiran dangkal semacam itu harus kutahan.


Bagaimanapun, dia bekerja di sini secara profesional. Aku harus menjaga sikap supaya tidak bersikap tidak sopan.


Setelah pembicaraan soal pembantu selesai…


"Ah, ngomong-ngomong, aku juga bawa oleh-oleh untuk Yohei-kun!"


Hime menepuk tangannya seperti baru teringat sesuatu, lalu berdiri dari sofa. Dia mengambil tas besar dari mejanya, dan kembali ke arah kami.


Dia menggendong tas putih besar seperti Santa Claus.


"Ja, jangan-jangan... semua itu oleh-oleh...?"


"Iya. Aku kebanyakan beli deh kayaknya."


Sungguh tak terduga. Hime membuka mulut tas putih itu dan mengeluarkan isinya satu per satu dengan hati-hati.


Kaos dan topi tim baseball terkenal. Permen warna-warni khas Barat. Jus buah mewah dalam kotak. Tas jinjing dan tumbler yang terlihat keren. Dan yang paling mencolok: boneka kucing besar.


"Sebanyak ini, nggak apa-apa?"


"Tentu saja. Soalnya Yohei-kun sudah sering kasih aku banyak makanan manis, jadi ini balasannya."


"Semuanya dibeli pakai uang saku kami, lho~. Ini tanda terima kasih karena selama ini udah baik sama kami, jadi jangan sungkan ya."


Sebenarnya aku ngasih cemilan bukan karena mengharapkan imbalan, jadi rasanya malah agak nggak enak.


Atau mungkin, aku merasa sudah cukup dibalas. Senyum bahagia Hime saat makan, dan cara Hijiri-san menikmati makanan dengan penuh semangat, itu sudah lebih dari cukup buatku. Tapi, aku tetap menerimanya dengan baik


"Akan kuterima dengan senang hati."


Niat baik mereka benar-benar tulus dan menyenangkan. Menolaknya jelas bukan pilihan.


"Aku sih sempat bilang cukup bawa sedikit aja, tapi Hime-chan ngotot mau kasih semuanya, jadi ya... heboh deh."


"...Yohei-kun, jangan-jangan ini terlalu banyak ya? Kalau merepotkan, kamu nggak usah bawa pulang juga nggak apa─"


"Nggak kok. Aku senang dapat semuanya... dan nggak akan kukembalikan."


Karena aku melihat wajah Hime sedikit cemas, aku langsung buru-buru menenangkannya.


Tidak, mungkin itu bukan sekadar basa-basi, tapi inilah isi hati sebenarnya. Karena ini adalah hadiah yang diberikan dengan tulus oleh Hime dan Hijiri-san, tentu saja aku tidak berniat mengembalikannya.


Setelah aku mengatakannya, Hime tersenyum kecil seolah merasa lega.


"Aku senang... Ehe. Kalau kamu bilang begitu, aku juga ikut senang."


Seperti biasa, dia sangat jujur. Dia benar-benar senang mendengar perkataanku. Aku merasa tenang melihat sisi manis dirinya itu. Dan sepertinya perasaanku juga telah tersampaikan, jadi aku merasa lega.


"Beberapa waktu lalu aku menerima kaos dan boneka darimu... Jadi ini semacam balasannya dariku."


"Oh, jadi itu maksudnya."


Kalau kaos tim baseball sih masih masuk akal, tapi sempat kupikir boneka lucu itu agak aneh untuk hadiah ke anak laki-laki SMA. Ternyata Hime yang memilihnya. Serius dan perhatian... benar-benar ciri khas dirinya, dan itu sangat menggemaskan.


"Jus dan camilan itu aku yang pilih~"


"Terima kasih. Akan kumakan di rumah nanti."


"Kalau nggak mau, aku yang ambil aja ya~?"


"Bukan nggak mau sih..."


"Kalau barangnya kebanyakan, bisa kok ditinggal di sini."


"...Hijiri-san, jangan-jangan kamu cuma pengen makan sendiri?"


"Tehehe. Ketahuan ya~"


Oleh-oleh berupa makanan dan minuman itu memang sangat cocok dengan Hijiri-san. Karena dia memang suka makan, jadi pilihan rasanya pasti enak.


"Tumbler dan tas lucu itu kami pilih berdua."


"Banyak banget yang lucu, ya~"


"Iya. Kami juga beli yang sama, jadi kita kembarannya."


Wah... itu mengejutkan juga.


Punya barang yang sama dengan kakak-beradik Hoshimiya, ya? Karena mereka berdua tidak terlihat risih atau apa pun, aku tidak berkata apa-apa, tapi kalau dipikir-pikir jadi agak malu juga.


Yah, meskipun aku malu, bukan berarti aku tidak suka. Malah jujur saja, aku sangat senang.


"Jadi begini, waktu di Amerika, kami sempat nonton pertandingan baseball, lho. Kaos ini dibeli di sana."


"Eh, serius? Wah, keren banget itu."


"Soalnya pemain Jepang lagi populer, jadi kami pikir sayang kalau dilewatkan."


"Hebat banget lho~ pas bolanya kena bat, bunyinya Klakkkkk! gitu!"


Setelah oleh-oleh, giliran cerita perjalanannya. Sambil ngemil kue, kakak-beradik Hoshimiya mulai bercerita tentang kenangan mereka di Amerika.


Sepertinya mereka ingat ucapanku yang bilang, "Aku juga menantikan cerita oleh-olehnya." Mereka bercerita tentang pengalaman yang tak bisa dirasakan di Jepang, dan itu sangat menarik.


(...Memang menyenangkan ya.)


Sebelum liburan musim panas, kami bertiga sering mengobrol seperti ini setiap hari. Tapi selama tiga minggu terakhir, tidak ada kesempatan untuk itu.


Meskipun menghabiskan hari-hari dengan main game bukan hal yang buruk, tapi waktu mengobrol seperti ini dengan mereka terasa sangat istimewa.


Kami terus mengobrol tentang kehidupan mereka di luar negeri selama beberapa saat.


Mungkin sekitar satu jam telah berlalu. Saat itu, aku tiba-tiba ingin ke kamar mandi. Ketika kutanyakan lokasinya,


"Letaknya agak ujung dari ruangan ini, di seberang──"


"Aah! Eh, hmm... Yohei, pakai yang di lantai satu aja, ya? Ada di ujung lorong!"


"...Padahal lebih dekat pakai yang ini."


"T-Tapi malu, jadi nggak boleh!"


Tentu saja aku tidak akan mempermasalahkan tempatnya. Justru aku merasa tidak sopan karena kurang mempertimbangkan, jadi aku segera keluar dari ruangan.


Aku menuruni tangga spiral, dan sampai di lantai satu yang rasanya seperti lobi hotel. Karena tadi dibilang letaknya di ujung, aku berjalan ke arah sana.


Keluar dari ruangan besar, masuk ke lorong seperti koridor. Setelah melewati beberapa pintu dan berbelok di sudut, akhirnya aku melihat toilet pria dan wanita yang berdampingan.


(Mungkin karena ada Haruno-san juga.)


Aku sudah tidak terkejut lagi bahwa rumah pribadi ini memiliki toilet pria dan wanita terpisah. Di rumah ini, hal seperti itu sepertinya memang wajar.


Setelah buang air, aku mencuci tangan dan membuka pintu untuk kembali ke kamar kakak-beradik itu.


"Eh? Siapa kamu!? Siapa tuh!"


"Eh? Umm...?"


Tiba-tiba aku bertemu seseorang yang keluar dari toilet wanita di sebelah.


Kalau yang muncul adalah orang dewasa, aku bisa mengira dia adalah salah satu staf rumah ini... Tapi yang muncul ternyata seorang gadis kecil dengan rambut hitam bob lurus, jadi aku jadi bingung.


Seorang gadis kecil dengan poni rata. Usianya... sepertinya lebih tua dari Hime, tapi pasti lebih muda dari Hijiri-san. Mungkin sekitar kelas 5 atau 6 SD, atau paling tinggi kelas 1 SMP.


Pakaiannya ringan: tank top dan celana pendek. Penampilannya benar-benar seperti anak-anak yang sedang menikmati liburan musim panas.


(Siapa ya... apa dia masih saudara Hime dan Hijiri-san?)


Mungkin sepupu? Sepertinya masih kerabat, tapi aku tidak yakin.


"Jangan-jangan, kamu maling!?"


Sementara aku masih mencoba menebak, gadis itu sudah menunjukkan sikap curiga. Maka aku pun buru-buru menjelaskan siapa diriku agar dia tenang.


"Bukan, aku bukan maling. Aku temannya Hime dan Hijiri-san..."


"Beneran? Hmm... mencurigakan. Namamu siapa?"


"Ozora Yohei. Kalau kamu?"


"Hmm... Yohei, ya."


Pertemuan pertama. Dan dari seorang gadis yang jelas-jelas lebih muda dariku, dia memanggilku tanpa sopan dengan menyebut namaku langsung.


Yah, hal seperti itu sih tidak terlalu kupermasalahkan. Meskipun rasanya dia sedikit meremehkanku karena tidak menjawab saat kutanya namanya, tapi ya sudahlah.


"Kalau begitu, aku mau balik ke kamar Hime dan yang lainnya, ya."

Kupikir tidak ada gunanya berlama-lama bicara, jadi aku berkata begitu dan hendak berjalan pergi.


Namun, langkahku tertahan karena ujung bajuku tiba-tiba ditarik dengan kuat.


"Ugh."


Karena bajuku ditarik, kerahnya menekan leher dan membuatku mengeluarkan suara aneh. Saat aku menoleh untuk melihat apa yang terjadi, gadis itu sedang menatapku tajam.


"Hei, kamu lagi nganggur?"


"Nggak juga sih, nggak nganggur."


"Kalau kamu nganggur, aku mau minta tolong dong?"


"Kan aku bilang nggak nganggur…"


Anak ini sama sekali tidak berniat mendengarkan perkataanku.


Kalau bisa, aku ingin segera kembali ke kamar. Kalau terlalu lama, Hime dan Hijiri-san pasti khawatir.


Tapi, gadis ini tampak sedikit kesulitan juga, jadi aku tidak tega untuk mengabaikannya begitu saja.


"…Ada apa memangnya?"


"Mushi."


"Mushi? Maksudmu, ngga aku cuekin, lho."


"Bukan itu! Maksudku serangga! Ada serangga!"


"Oh, serangga toh. Di mana?"


"Di sana!"


Dia menunjuk ke arah toilet wanita. Lalu, aku baru menyadari kalau dia berdiri dengan posisi agak menyipitkan kaki dan tampak gelisah.


(Apa jangan-jangan dia masuk ke toilet, tapi ada serangga dan dia takut keluar?)


Akhirnya aku memahami situasi si gadis. Meskipun sikapnya agak maksa, jelas dia memang sedang kesulitan. Kalau memang begitu, kenapa tidak bilang saja dari awal.


"Mau aku tangkapin serangganya?"


"…Aku nggak bilang gitu sih?"


"Iya, iya. Biar aku yang tangkap... Tapi, tunggu. Itu kan toilet perempuan, harusnya manggil Hijiri-san dulu atau gimana──"


"Hah!? Emangnya kamu mau aku ngompol di sini!?"


"O-oke, ngerti. Kalau gitu, ya sudah, nggak ada pilihan."


Ternyata dia sudah cukup di ambang batas.


Masuk ke toilet perempuan jelas bikin canggung, tapi ini keadaan darurat, jadi tidak bisa dihindari. Lagipula aku tidak punya niat aneh-aneh.


Kalau terlihat gugup atau mencurigakan malah tambah gawat, jadi aku memutuskan untuk bersikap tenang dan masuk dengan percaya diri.


Aku membesarkan hati dan akhirnya melangkah masuk.


Struktur dalamnya tidak jauh berbeda dengan toilet laki-laki. Ada tiga bilik di dalamnya... Hmm, sekilas sih aku tidak melihat ada serangga.


"Di mana serangganya?"


"Di sana! Cepetan dong!"


"Di bilik paling dalam? Kalau gitu pakai bilik yang depan aja, kan bisa..."


"Hah!? Aku bahkan nggak mau berada di ruangan yang sama dengannya!"


Ucapannya seperti cewek remaja yang sedang ngambek pada ayahnya.


Kalau begitu, memang lebih baik serangganya ditangkap beneran… Tapi kalau itu ‘si kecoak cepat lari’ yang kumaksud, wah bakal ribet. Sambil berpikir begitu, aku membuka pintu bilik yang ditunjuk dan mengintip ke dalam.


Namun, tidak ada serangga di sana juga.


"Huh? Apa sudah kabur ya?"


Aku menoleh ke belakang sambil mengangkat alis. Ingin bertanya lagi ke gadis berambut bob itu soal serangganya... Tapi tiba-tiba, ekspresinya berubah total.


"Kyahaha! Dasar bego, dari tadi juga nggak ada serangga kok~!"


Padahal tadi wajahnya terlihat cemas.


Sekarang dia malah tertawa mengejekku seolah mempermainkanku.


Ternyata, cerita soal ada serangga dan dia kesulitan itu bohong.


“Tertipu sama anak kecil kayak aku, payah banget. Lagian, kamu sampe masuk ke toilet cewek pula!”


“...Kenapa kamu bohong sih?”


“Gak ada alasan khusus, kok? Kayaknya aku cuma kesel aja, gitu~”


Gadis itu menyeringai. Senyuman yang seperti sengaja dibuat untuk mengusik perasaan orang lain.


“Hei, kamu marah ya? Kesel ya sama aku? Kesel kan dibego-begoin sama anak kecil kayak gini? Hahaha, dasar Yohei bodoh!”


Jelas sekali dia sedang mengejekku. Padahal ini pertama kali kami bertemu, tapi dia sudah terlihat seperti merendahkanku.


(Anak ini... kayaknya harus aku kasih pelajaran yang benar.)


Aku pun perlahan mengangkat tanganku.


Lalu mengulurkan tangan itu ke arah kepalanya. Melihat itu, gadis tersebut menyipitkan mata dan tersenyum semakin sinis.


“Eh? Mau pakai kekerasan? Parah banget!”


Sikapnya tetap sama menjengkelkannya. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Menyalahgunakan kebaikan orang untuk lelucon seperti ini sungguh tidak bisa dimaafkan. Seharusnya aku marah beneran...


...Tapi aku bukan orang dewasa yang sekeras dan setegas itu.


"Yosh yosh. Kamu pengen diperhatiin, ya? Jangan bikin lelucon aneh-aneh kayak gini, ya."


Tangan yang kuangkat tadi kuletakkan dengan lembut di atas kepalanya.


Lalu kuusap-usap kepalanya dengan lembut ke kiri dan kanan. Yang penting sekarang adalah membuat dia tahu bahwa aku ada di pihaknya. Aku pikir, kita mulai dari situ dulu.


“…………Hah?”


Mungkin dia tidak menyangka bakal dielus kepalanya. Dia tampak bingung. Menatapku tanpa bergerak sedikit pun.


“Bukannya kamu mau mukul?”


“Enggak, lah. Sakit, kan, dipukul?”


“Eh... kamu gak marah? Padahal aku udah kurang ajar banget lho barusan, kamu gak kesel?”


“Aku gak hidup dengan gampang marah cuma gara-gara hal sepele kayak gitu.”


Itu cuma iseng lucu dari anak kecil. Justru aku merasa dia itu ceria dan lucu.


“Lagi liburan musim panas, jadi kamu gabut, ya?”


“Bukan begitu juga!”


“Ahaha. Sifat tsundere-mu itu juga lucu, lho.”


“L-lucu!? Kamu waras gak sih!?”


Sepertinya dia memang ingin diperhatikan. Mungkin dia cuma pengen ada yang peduli.


“Daripada bikin lelucon kayak gini, mending ikut aku ke tempat Hime dan yang lain, yuk. Ada cemilan juga, kita bisa makan bareng.”


“Aku sih, sebenernya gak...”


“Iya iya. Udah deh, jangan jual mahal. Yuk, kita jalan.”


“Eh, tunggu──!?”


Ngobrol kelamaan di toilet juga mulai melelahkan.


Tapi karena gadis itu tidak mau bergerak, aku pun mengangkat tubuhnya dan mulai berjalan.


Kupeluk dia dengan tangan masuk ke ketiaknya, lalu membawanya begitu saja. Aku berniat membawa anak ini langsung ke kamar tempat Hime dan yang lainnya berada.


Karena tubuhnya kecil, tentu saja ringan. Bisa kuangkat dengan mudah.


“…………”


Dia juga tidak banyak melawan. Karena mendadak jadi diam, mungkin dugaanku benar: dia sebenarnya merasa kesepian.


Saat aku sedang berpikir seperti itu...


“Ah, ketemu. Yohei-kun, karena kamu lama banget, kami jadi mencarimu… Tapi, umm, ini maksudnya apa ya?”


“Yohei!? K-k-kamu lagi ngapain sih!!”


Mungkin karena aku terlalu lama pergi, mereka jadi khawatir dan mencariku. Aku bertemu dengan Hime dan Hijiri-san di depan toilet.


Hime dan Hijiri-san melotot melihatku menggendong si gadis kecil.


“Eh, tadi sempat ada kejadian... Tapi intinya, aku pikir anak ini bisa diajak bareng ke kamar, makan cemilan juga. Gimana menurut kalian?”


Sampai aku ngomong sejauh itu, aku baru ingat kalau aku belum tahu siapa sebenarnya gadis ini.


Tadi waktu kutanya, dia bahkan gak mau kasih tahu namanya. Setidaknya, aku harus tahu dia siapa dan hubungannya apa dengan mereka. Maka aku menatap ke arah Hime dan Hijiri-san.


“Ngomong-ngomong, anak ini siapa?”


“...Itu maid kami.”


“Eh? Nggak mungkin. Buat ukuran maid, dia masih kekanak-kanakan banget.”


“Aku juga terlihat kekanak-kanakan untuk ukuran anak SMA.”


“Ahaha. Iya juga sih... eh, tunggu?”


Awalnya aku kira Hime cuma bercanda, jadi aku tertawa. Tapi melihat ekspresinya, tampaknya dia serius.


Eh? Jangan-jangan... beneran?


“Memanggil Mei-chan ‘anak kecil’ sambil menggendongnya seperti itu... aku sih nggak akan sanggup. Duh~”


Mei-chan. Mendengar nama itu, aku langsung teringat percakapan sebelumnya.


Pengurus yang membantu Hime dan Hijiri-san. Maid andalan yang katanya sangat cakap. Kalau tidak salah, namanya... Itou Mei. Aku membayangkan sosok wanita dewasa yang kalem dan dewasa, jadi tidak menyangka kalau orangnya sekecil ini.


“Ngomong-ngomong, aku ini bukan anak kecil, ya. Aku orang dewasa sejati.”


“Uhh… eh?”


Nada bicaranya juga berubah total, membuatku tidak hanya terkejut tapi sampai tertegun.


Gadis ceria dan nakal yang tadi bicara denganku sudah tak terlihat lagi. Di hadapanku sekarang adalah seorang wanita yang terlihat agak dingin.


"Begitulah, jadi kalau kamu bisa menurunkanku, aku akan senang. Yohei-sama?"


"A-ah, iya."


Nada bicaranya tidak memberi ruang untuk penolakan. Secara refleks, aku menurunkan dia—bukan lagi "Mei-chan", tapi Mei Itou—ke lantai. Dia pun menghela napas kecil dan merapikan sedikit kerutan di pakaiannya.


"Tak kusangka, di usia 28 tahun aku masih harus digendong begini."


"Dua... dua puluh delapan tahun...!?"


Penampilannya seperti anak SMP, jadi sulit dipercaya.

Dan juga, kenapa dia berpura-pura jadi anak kecil?

Aku ingin tahu lebih jauh soal itu.


"Maaf baru bisa memperkenalkan diri. Aku Itou Mei, salam kenal. Seperti yang terlihat, aku bekerja sebagai maid."


Kami sekarang kembali di kamar saudari Hoshimiya. Mei Itou, yang entah sejak kapan sudah berganti ke pakaian maid, menunduk pelan di depanku yang duduk di sofa.


Sikap sombong dan nakal sebelumnya lenyap sepenuhnya. Kini, gerak-geriknya sangat anggun.


"Sa-salam kenal juga… Namaku Ozora Yohei. Uhm, aku berteman baik dengan Hime dan Hijiri-san di sekolah, dan—"


Karena dia memperkenalkan diri, aku juga ikut memperkenalkan diri. Aku ingin menjelaskan hubunganku dengan kedua saudari itu, tapi—


"Aku sudah tahu."


Dengan singkat dan datar dia memotong ucapanku. Hmm… mungkin kesan dia terhadapku tidak terlalu baik. Sikapnya terasa agak dingin.


"Aku sudah memberitahunya sebelumnya soal Yohei-kun."


Mungkin karena melihatku jadi kikuk, Hime yang duduk di sebelahku segera menambahkan penjelasan. Terima kasih, itu sangat membantu.


"Nee nee, Yohei? Kenapa kamu keliatan canggung gitu? Jangan-jangan kamu takut sama Mei-chan? Ufufu, aku ngerti sih. Mei-chan emang kelihatan dingin ya~"


Dan Hijiri-san, aku berharap kamu bisa lebih menjaga ucapanmu sedikit saja…


Mungkin karena ucapannya, suasana di sekitar Mei Itou jadi terasa lebih dingin.


"…Sei-ojousama, ini tehnya. Silakan diminum."


"Yaaay, terima kasih, Mei-chan!"


"Tak perlu. Memiliki nona semudah ini sangat memudahkan pekerjaanku."


"Eh? Tadi ngomong apa?"


"Tidak ada apa-apa. Sudah, makan saja kuenya. Dan diam ya."


"Okaay!"


Sepertinya kehadiran Hijiri-san sedikit mengganggu pembicaraan.


Dengan gerakan yang sudah terbiasa, dia menuangkan teh. Sepertinya saat berganti ke baju maid, dia juga sudah menyiapkan minuman.


Memang benar, dia adalah pengurus pribadi saudari Hoshimiya… Dia juga pandai menangani Hijiri-san.


Hijiri-san yang mudah tergoda makanan, sekarang sepenuhnya sibuk dengan teh dan kue, kemungkinan tidak akan ikut dalam percakapan.


"Hime-sama dan Yohei-sama juga, silakan. Hati-hati, masih panas."


"Terima kasih."


"Te-terima kasih… Uhm, Itou-san?"


Penampilannya seperti anak kecil, tapi usianya orang dewasa. Kupikir cara memanggil seperti ini lebih sopan. Tapi, dia menggeleng dan membetulkannya.


"Panggil saja Mei."


Serius? Dia membolehkan dipanggil dengan nama depan… berarti mungkin aku tidak dibenci.


"Kalau begitu… Mei-san, ya."


"Ehhehe. Yohei-kun, cara bicaranya sama seperti aku ya."


Hime tertawa saat aku mulai pakai bahasa sopan. Hanya karena kami berbicara dengan nada yang sama saja dia sudah senang. Dia menggoyang-goyangkan tubuhnya perlahan sambil menikmati tehnya.


Imut sekali… dan berkat dia ada di dekatku, aku jadi tidak terlalu gugup.


Meski aku masih agak kaku saat bicara dengan Mei-san, aku bisa tetap tenang karena Hime berada di sini.


Kalau suasananya begini terus, sepertinya aku bisa menanyakan hal-hal yang ingin kutahu.


"Uhm, soal yang tadi… kenapa Mei-san berpura-pura jadi anak kecil?"


Aku mulai dengan pertanyaan soal kejadian sebelumnya. Sejak kami bertemu di toilet, dia bilang ada serangga dan mencoba menjahiliku. Aku masih belum mengerti maksud dari semua itu.


"Ada sesuatu yang ingin aku pastikan."


"Memastikan…?"


"Aku ini juga, pada dasarnya, wali dari para nona ini. Jadi aku ingin tahu seperti apa orang yang bergaul dengan mereka. Aku hanya ingin menguji. Maaf kalau sikapku saat itu kasar."


Setelah itu, Mei-san kembali menundukkan kepala dengan dalam. Tentu saja aku tidak marah, jadi sebenarnya tak perlu minta maaf.


Tapi karena aku masih belum sepenuhnya mengerti maksudnya, aku lanjut bertanya.


"Apa yang ingin kamu pastikan?"


"Aku ingin tahu seperti apa sifat aslimu. Karena sifat asli manusia biasanya muncul saat berhadapan dengan orang yang lebih lemah dari dirinya, bukan? Dalam kasus ini, seorang anak perempuan yang lebih muda, dan bersikap menjengkelkan—aku ingin melihat bagaimana kamu menanganinya."


Sifat asli, ya… Aku paham. Orang mungkin akan bersikap manis pada yang lebih tinggi statusnya, tapi saat dengan yang lebih lemah, sifat asli mereka sering kali muncul.


"Aku ingin tahu seperti apa sikapmu saat marah."


Memang, akting Mei-san sebelumnya sangat menyebalkan.

Dia memanggilku tanpa sopan, berkata aku bodoh dan "norak", dan berbagai kata-kata menyakitkan lainnya.

Aku punya cukup alasan untuk marah.


Tapi aku bahkan tidak sempat terpikir untuk marah.


"Ma-maaf… Apa aku seharusnya marah waktu itu?"


Sebaliknya, aku malah tertawa. Kupikir itu cuma kenakalan anak kecil saja.


Mungkin pilihan yang benar adalah menegurnya dengan benar.


...Mungkinkah sebenarnya Mei-san merasa kecewa padaku? Mungkin karena itu juga sikapnya terasa dingin.


Kalau sampai dia menilai aku tidak layak menjadi teman Hime dan Hijiri, bagaimana ya... itu membuatku takut.


"Tidak, sebenarnya aku ingin melihat bagaimana cara kamu marah... Tapi justru karena kamu tertawa, itu di luar dugaanku. Namun sebaliknya, aku pikir itu adalah sikap yang ideal. Aku jadi yakin bahwa kamu adalah orang yang tidak akan pernah menyakiti nona-nona ini."


Penilaian yang tak terduga, dan sangat tinggi. A-ah... jadi begitu pun sudah cukup, ya...!


"Kalau kamu marah tapi masih bisa mengendalikannya dan hanya menegur, itu sudah lulus bagiku. Tapi kalau kamu adalah orang yang menggunakan kekerasan atau menakut-nakuti, mungkin aku akan melarang hubunganmu dengan para nona."


Menggunakan kekerasan itu tidak mungkin. Seumur hidup, aku belum pernah sekalipun mengangkat tangan pada siapa pun. Aku tidak bisa melakukan hal seperti itu, dan juga tidak berniat. Dan rupanya, hal itu sampai ke hati anak itu juga.


"Mei-san, tidak apa-apa kok. Yohei-kun bukan orang seperti itu."


"Ya, memang begitu... Lagipula, kalau dia punya kecenderungan seperti itu, Hime-ojousama pasti tidak akan menyukainya. Maaf ya, sudah bertindak aneh."


"Betul itu. Aku mengerti kalau kamu khawatir pada aku dan Onee-chan, tapi... Yohei-kun itu orang yang baik."


Aku sendiri tidak marah. Tapi mungkin, Hime sedikit kesal.

Jarang-jarang, pipinya sedikit menggembung. Sikap seperti itu menggemaskan, dan tanpa sadar aku mengelus kepalanya.


"Hime, terima kasih. Tapi aku sungguh tidak keberatan, kok."


"...Begitu ya? Kalau begitu, syukurlah."


Hime pun, tampaknya merasa tenang setelah dielus. Pipinya pun kembali normal. Melihat itu, Mei-san juga tampak lega dan menghela napas.


"Aku berterima kasih atas kelapangan hatimu."


"Tidak perlu. Justru aku merasa lega karena Mei-san begitu mempedulikan Hime dan Hijiri-san."


"Mendengar kamu berkata begitu... Seperti yang dikatakan Hime-ojousama, kamu memang orang yang luar biasa."


Dan, di momen itu, akhirnya sudut bibir Mei-san sedikit terangkat. Senyum kecilnya lebih kalem daripada penampilannya yang masih seperti gadis muda.


Itu adalah senyum lembut khas orang dewasa, berbeda dengan senyum polos Hime.


Aku ikut tersenyum. Awalnya terasa dingin, tapi melihat senyuman itu membuat semua perasaan dingin itu lenyap.


Syukurlah. Ternyata aku tidak dibenci oleh keluarga Hoshimiya bersaudara.


"Tu-tunggu... dia tersenyum...? Mei-chan yang itu, tersenyum!?"


Begitu urusanku dengan Mei-san selesai… Hijiri-san yang sejak tadi fokus pada kue dan teh, kini tampak bingung setelah melihat senyum Mei-san.


"Mei-chan yang pemalu dan cuek itu... bisa-bisanya tersenyum pada pertemuan pertama, dan kepada cowok pula... Apa dia palsu!?"


"Kamu terlalu lebay. Aku tidak sejauh itu, kok."


"Tapi memang benar kan, biasanya tamu ditangani sepenuhnya oleh Haruno-san, kan? Jarang sekali Mei-san muncul ke depan seperti ini."


"Hime-ojousama juga...!"


Mei-san tampaknya sedikit malu. Tatapannya mulai menghindar.


"Itu berarti, mungkin dia sangat menyukai Yohei-kun?"


"Eh? Serius!? Jadi Mei-chan diam-diam suka anak yang lebih muda...?"


"Aku tidak mengerti kenapa bisa ditarik kesimpulan seperti itu. Tapi, ya, aku memang menyukainya—Yohei-sama, maksudku."


...Orangnya sendiri ada di sini, jadi akan lebih menyenangkan kalau mereka lebih menjaga ucapannya.


Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana, jadi untuk menyembunyikan rasa malu, aku menyeruput teh yang tadi dituangkan oleh Mei-san. Wah, enak... aromanya juga harum.


Sementara aku menikmati teh itu, tampaknya Mei-san mulai merasa tidak nyaman.


"Kalau begitu, aku pergi belanja untuk makan malam dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ya... Ah, Yohei-sama. Apakah Anda ingin makan malam di sini?"


"Makan malam? Boleh ya?"


"Tentu saja. Kalau Anda bersedia, tentu."


"Kalau begitu... boleh, ya?"


"Tentu. Akan aku siapkan."


Kesempatan langka. Aku juga penasaran dengan masakan keluarga Hoshimiya, jadi aku menyambut tawaran itu dengan senang hati.


"...Mungkin aku akan masak steak. Anak laki-laki kan biasanya makannya banyak, kan?"


Sambil bergumam sendiri, Mei-san pun keluar dari kamar kakak beradik itu.




Langkah kakinya ringan. Tidak sampai melompat-lompat, tapi rok seragam maid-nya bergoyang lembut.


"Hmm... sampai mengundang untuk makan malam... Mei-chan, kamu cukup suka Yohei, ya?"


Tampaknya, tidak salah kalau dibilang mood Mei-san sedang baik.


Dilihat dari reaksi Hijiri-san, sikap Mei-san terhadapku memang berbeda dari biasanya.


"Kalau itu Yohei-kun, tentu saja. Dia orang yang luar biasa sih."


Dan, seperti biasa, penilaian dari Hime tetap tinggi. Seolah berkata, wajar saja kalau Mei-san menyukainya, dia pun menepuk dadanya dengan bangga.


Imut sekali, pikirku sambil merasa hangat di hati. Tapi di sisi lain, Hijiri-san menatapku dengan mata curiga, tajam dan menusuk.


Seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia katakan.


"A-ada apa...?"


"Ah, nggak ada~. Cuma mikir... kalian akrab banget, ya."


...Apakah tatapan curiga itu karena cemburu?


Rasanya seperti dia tidak senang karena adik tercintanya seperti diambil darinya—begitulah kesan yang kutangkap. Tapi, sepertinya bukan hanya itu alasannya.


"Yohei-kun... ini."


Sementara itu, Hime sendiri tampaknya tidak terlalu memperdulikan tatapan dari Hijiri-san.


Dia mengambil kue yang jadi incarannya, lalu menyodorkannya padaku.


Aku tahu betul dari pengalaman selama ini, kalau itu bukan permintaan agar aku memakannya.


"Ya ya, silakan."


Aku menerimanya dengan ujung jari, lalu langsung membawanya ke mulut Hime.


Dan tampaknya, itu memang yang dia inginkan. Hime terlihat tersenyum dengan senang, lalu membuka mulut dan menggigit kue itu.


Seperti biasa, dia juga menggigit jariku sedikit saat makan.

Rasa geli itu... tentu saja, bukan sesuatu yang tidak kusukai.


Namun, dulu perilaku seperti ini hanya dilakukan saat kami berdua saja. Sekarang, bahkan saat ada Hijiri-san pun, dia melakukannya tanpa ragu.


Perubahan sikap ini, dan juga satu hal lainnya—


"...Kalian memang akrab sekali, ya."


Perasaan Hijiri-san juga, secara pribadi sangat membuatku penasaran. Seolah dia ingin mengatakan sesuatu soal hubungan antara aku dan Hime.


Kalau boleh jujur, aku lebih suka kalau dia mengatakannya langsung... tapi dia sendiri tidak mengungkapkan apa pun.


Kalau sudah begini, sekalipun aku bertanya, mungkin dia hanya akan mengelak.


Hijiri-san memang tipe orang yang santai dan suka mengalihkan topik, jadi sepertinya lebih baik aku tidak memaksanya berbicara.


(Untuk saat ini, aku akan tetap seperti biasa saja.)


Baik terhadap Hime, maupun terhadap Hijiri-san.


Daripada bersikap aneh karena terlalu sadar situasi, lebih baik tetap bersikap alami. Aku rasa itu akan menjaga hubungan kami bertiga tetap baik.


Jadi hari ini, aku memutuskan untuk pura-pura tidak menyadari perubahan ini.


Menjelang makan malam, aku mengobrol dengan para saudari Hoshimiya tentang Amerika dan juga kejadian-kejadian selama tiga minggu terakhir.


Hime, seperti biasa, tampak antusias dan mengobrol dengan semangat yang sangat menggemaskan.


Hijiri-san awalnya hanya sedikit bicara, seolah sedang mengamati aku dan Hime, tapi entah bosan atau akhirnya merasa nyaman, ia pun ikut bergabung dalam obrolan dan ikut bersenda gurau.


"Di restoran burger di Amerika, kita bisa pesan ukuran yang super besar, lho~. Aku sampai terbawa suasana dan pesan triple burger!"


"Dan akibat mencoba memakannya dengan membuka mulut terlalu lebar, hampir saja rahang Onee-chan terkilir."


"Ke-Kenapa kamu harus menambahkan cerita memalukan itu, Hime-chan!? Padahal aku bilang jangan diceritain~!"


"Soalnya, itu cerita yang sangat lucu dan khas Onee-chan, jadi aku tak bisa menahannya."


"Aku nggak merasa itu lucu sama sekali!"


Kami larut dalam cerita-cerita oleh-oleh seperti itu, dan waktu pun berlalu dengan cepat.


Menjelang sore, pintu kamar pun diketuk.


"Permisi, makan malam sudah siap."


Tentu saja yang muncul di balik pintu adalah maid kami, Mei-san. Dia tampak membawa makanan dengan sebuah troli.


"Waah, daging!"


"Oooh...!"


Aku ikut berseru bersama Hijiri-san.


Di atas piring tersaji potongan daging besar. Ini adalah steak mewah yang jelas tidak akan ditemukan di supermarket biasa…


Ungkapan yang terlintas di benakku secara refleks adalah "wah, pasti mahal ini", dan itu membuatku merasa sangat rakyat jelata.


Daging itu sudah dipotong seukuran sekali suap dan dilumuri saus, tampilannya saja sudah membuat perutku berbunyi.


"Semoga cocok dengan selera Anda, Yohei-sama."


"…Ini, Mei-san yang memasaknya?"


"Ya. Biasanya memang aku yang menyiapkan makanan di rumah ini."


Kemampuan memasak yang bisa dipercaya untuk melayani keluarga Hoshimiya, tentu saja hasilnya tidak mungkin mengecewakan.


Setelah duduk dan menunggu sebentar, Mei-san mulai menyusun hidangan di meja.


Persiapan makan malam pun selesai.


"Selamat makan."


Aku mengatupkan tangan bersama para saudari Hoshimiya, lalu mengambil garpu.


Menunya terdiri dari steak, salad, sup, dan roti—gaya Barat. Bagiku yang biasanya hanya makan masakan rumahan biasa, ini terasa segar dan istimewa.


Tentu saja aku memulai dari steak. Karena sudah dipotong kecil-kecil, aku tidak perlu repot memotongnya lagi.


Begitu aku menusuk sepotong dan memasukkannya ke mulut, rasa daging merah berkualitas tinggi langsung menyebar.


"Enak sekali...!"


Dagingnya sendiri sudah kaya rasa, mungkin karena kualitasnya sangat bagus. Tapi saus di atasnya berpadu sempurna, membuat rasanya semakin nikmat berkali-kali lipat.


"Bagaimana? Yohei-sama, rasa bumbunya cocok?"


"Y-Ya… Mungkin ini steak terenak yang pernah kumakan seumur hidup..."


Itu bukan basa-basi. Ini pertama kalinya aku makan daging seenak ini, dan aku benar-benar terkesan.


"...Syukurlah kalau begitu."


Begitu aku menyampaikan pendapatku dengan jujur, Mei-san tampak menghela napas lega. Wajahnya tetap tenang, tapi nada suaranya terdengar lebih cerah, mungkin karena senang dipuji.


"Silakan makan dengan pelan-pelan, ya. Aku akan menyiapkan makanan penutup."


Setelah mengatakan itu, Mei-san mendorong troli keluar ruangan. Langkah kakinya begitu ringan, seolah sedang melompat-lompat kecil.


Mungkin tidak pantas menyebutnya seperti itu untuk seseorang yang lebih tua dariku, tapi... Mei-san tampaknya tipe orang yang emosinya terlihat jelas dari gerak-geriknya—cukup menggemaskan.


Entah kenapa, dia mengingatkanku pada Hime. Gadis itu juga sangat mudah menunjukkan emosinya lewat tindakan.


Saat aku melirik ke arah Hime sambil berpikir begitu… aku menyadari dia sedang menatapku lekat-lekat.


"Hime? Ada apa?"


"...Ada saus di pipimu."


"Eh? Serius?"


Wah, itu memalukan. Aku buru-buru hendak menyeka, tapi lebih cepat dari itu, tangan kecil Hime sudah terulur ke arahku.


Punn, jarinya menekan pipiku. Tapi gerakannya tidak seperti sedang membersihkan saus.


"Hehehe. Tertangkap, Yohei-kun~"


...Sepertinya itu hanya keisengannya saja. Setelah mencolek pipiku, Hime tampak sangat puas. Dia tertawa polos.


Melihat itu, aku pun ikut tersenyum.


"Hime juga ada sausnya, tahu."


"...Kalau begitu, boleh dibersihkan juga?"


Meski jelas aku hanya bercanda karena dia belum mulai makan, Hime malah pura-pura polos dan mendekatkan pipinya ke arahku.


Seolah berkata “ayo, sentuh aku juga.”


"Baiklah. Eii."


Punyu~


Sebagai balasan, aku pun menyentuh pipi Hime dengan ringan.


Seperti biasa, terasa lembut. Sensasinya seperti ingin terus menyentuhnya selamanya, empuk dan kenyal.


“Hmm. Terima kasih.”


Hime menggeliat seperti merasa geli, tapi juga terlihat senang. Mungkin karena puas dengan interaksi barusan, akhirnya dia mulai makan malamnya juga.


Dibandingkan dengan yang kumakan, ukuran steak milik Hime hanya setengahnya. Dan mungkin karena mempertimbangkan mulut kecilnya, potongannya dibuat lebih kecil lagi.


Sepertinya Mei-san adalah seorang pelayan yang sangat memperhatikan hal-hal detail. Berkat itu, Hime bisa makan dengan lebih mudah.


(Kalau dipikir-pikir, Mei-san juga memperhatikan kebutuhan Hijiri-san ya?)


Tiba-tiba aku penasaran, dan mengamati steak milik Hijiri-san. Aku punya bayangan kalau dia tipe yang tidak peduli dengan hal kecil dan lebih suka menggigit daging besar dengan lahap. Tapi mungkin di rumah, dia makan dengan cara yang lebih anggun?


(Hijiri-san... yup, memang besar juga)


Steaknya lebih besar dari milikku, dan potongan dagingnya terlalu besar untuk dimakan dalam sekali suap. Sepertinya Mei-san menyesuaikan porsi dengan cara makan Hijiri-san yang lebih bersemangat.


Saat aku memikirkan hal-hal seperti itu, aku tiba-tiba menyadarinya.


“Eh? Hijiri-san belum makan.”


Padahal biasanya dia adalah orang pertama yang mulai makan—ini cukup aneh.


“Eh? A-aku makan kok. Makan... dan aku tidak akan memberikannya ke kamu, Yohei.”


“Eh, aku juga nggak berniat ngambil sih.”


Tapi ada yang terasa aneh dengan sikapnya. Bukan seperti dia melamun... tapi dia terus melihatku dan Hime dari tadi. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.


(Apakah aku harus bertanya secara langsung?)


Haruskah aku menyelidikinya... atau tidak?


Aku sempat ragu. Tapi karena itu, Hijiri-san lebih dulu mulai makan dan aku kehilangan momen yang tepat untuk bertanya.


“Ngem-ngem... nggh!?”


“Onee-chan, ini airnya. Jangan makan terburu-buru, nggak ada yang bakal ngambil makanan Onee-chan, jadi santai aja makannya.”


“Ah, terima kasih Hime-chan... aku cuma... takut Yohei bakal ambil punyaku...”


“Yohei-kun nggak seperti Onee-chan yang serakah soal makanan, kok. Tenang aja.”


“Aku juga nggak serakah soal makanan!”


...Gagal. Suasana terlalu santai untuk membicarakan hal serius. Tidak ada pilihan lain. Kalau ada kesempatan lain nanti, aku akan bicara dengan Hijiri-san secara langsung.


Dengan keputusan itu, aku kembali menikmati makananku. Karena ini adalah masakan buatan Mei-san, aku harus menikmatinya sepenuh hati.


Aku menikmati makanan selama beberapa saat. Sesekali berbincang santai dengan Hime dan Hijiri-san, dan tepat ketika kami bertiga selesai makan, Mei-san kembali masuk ke kamar.


Sama seperti sebelumnya, dia membawa sebuah troli. Melihatnya, aku sampai refleks menatap dua kali.


“Aku membawakan dessert.”


Mei-san mengatakannya dengan nada datar seperti biasa, dan tidak terlihat ada yang aneh dengannya. Rambut hitamnya yang rapi sangat cocok dengannya, dan meskipun dia sudah dewasa, tubuhnya yang mungil membuatnya terlihat sangat imut.


Seragam pelayannya yang sedikit kebesaran memberinya kesan seperti sedang berusaha terlihat dewasa... meskipun ini tidak sopan kalau aku katakan langsung kepadanya.


Intinya, tidak ada yang aneh dari Mei-san sendiri. Yang membuatku kaget adalah... troli yang dia dorong.


Di atasnya ada sebuah kue yang bertingkat tiga. Aku sampai tidak percaya dengan apa yang kulihat.


“W-waah, kuenya mewah banget.”


“Ini momen spesial, jadi aku menyiapkan yang terbaik... meskipun bukan aku yang membuatnya. Aku memesannya, dan baru saja tiba.”


Tapi kenyataannya, acara hari ini hanyalah kunjungan seorang teman, aku, ke rumah Hime dan Hijiri-san. Disambut semewah ini malah membuatku merasa tidak enak.


Tapi... aku menghargai niat baik mereka. Mungkin lebih baik aku menerima semuanya dengan senang hati.


Saat aku berpikir begitu dan hendak mengucapkan terima kasih pada Mei-san...


“Mei-chan? Ini... jangan-jangan kue pernikahan?”


“Ya, benar.”


“Benarkah ini kue pernikahan!? Ke-kenapa!? Kan nggak ada yang nikah, kan!?”


“Kenapa kamu bingung begitu... Tentu saja ada yang akan menikah, bukan?”


“Siapa yang menikah?”


“Kamu.”


“A-aku!? D-dengan siapa?”


“Dengan Yohei-sama.”


“Aku!?”


Situasi ini benar-benar tidak terduga. Dan Mei-san sama sekali tidak terlihat seperti sedang bercanda.


“...Kenapa kalian terlihat begitu terkejut?”


Mei-san juga tampak bingung. Dia menatapku dan Hijiri-san bergantian, lalu akhirnya menatap ke arah Hime.


“Hime Ojou-sama, bukankah kalian akan menikah?”


Akhirnya, alasan dari kesalahpahaman Mei-san pun terungkap.


Penyebabnya... adalah Hime.


“Ya. Onee-chan dan Yohei-kun akan menikah di masa depan. Dan aku akan menjadi adik ipar Yohei-kun.”


...Oh iya, itu benar.


Aku benar-benar lupa, tapi Hime sepertinya masih mengingat dengan jelas bahwa dia ingin aku dan Hijiri-san menikah.


“Itu sebabnya, untuk merayakan kunjungan pertama ke rumah dan juga untuk merayakan masa depan sebagai keluarga, aku menyiapkan kue besar ini.”


Sekarang aku paham. Tidak heran aku merasa aneh melihat kue semewah itu hanya untuk kunjungan biasa dari seorang teman.


(Kalau dipikir-pikir... sikap Mei-san juga jadi lebih masuk akal.)


Menurut cerita kakak beradik itu, Mei-san adalah orang yang pemalu. Meskipun begitu, dia tetap muncul di hadapanku dan mencoba mengujiku.


Aku sempat terkejut karena sampai sejauh itu hanya demi menilai kepribadian temannya. Tapi kalau dia melakukannya bukan sebagai ‘teman’, melainkan sebagai ‘calon tunangan’, semuanya jadi masuk akal.


Bagaimanapun, aku adalah orang yang bisa mempengaruhi hidup tuan putri yang ia layani. Sebagai pelayan, tidak aneh jika ia berusaha menilai kepribadianku dengan sungguh-sungguh.


“...Apa mungkin kalian sebenarnya tidak akan menikah?”


“Belum pasti juga sih!”


Hijiri-san segera menyela. Mendengar itu, Mei-san mengalihkan pandangannya padaku.


“Yohei-sama, benarkah itu?”


“Yah… kami belum bertunangan. Benar begitu, Hime?”


“Ya. Memang cuma aku yang bilang begitu sepihak.”


Mendengar penjelasan Hime, tampaknya Mei-san menyadari bahwa ia telah salah paham.


“Muu… padahal kalau Yohei-sama yang jadi pasangan, aku akan sangat mendukung.”


Dia tampak agak kecewa.


Aku merasa senang karena tampaknya dia menerima keberadaanku, tapi di sisi lain jadi merasa bersalah karena seolah mengecewakannya.


“Maafkan aku. Sepertinya aku terlalu terburu-buru menyimpulkan.”


“Tidak, tak perlu minta maaf…”


Itu bukan sesuatu yang perlu ia minta maafkan. Lagipula, sikapku yang menggantung juga pasti jadi salah satu penyebab Mei-san sampai salah paham. Ini adalah hasil dari aku terus menunda-nunda menyelesaikan persoalan ini.


(Aku harus membicarakan ini dengan Hijiri-san suatu saat nanti…)


Keinginan tulus Hime untuk ‘menjadi adik’ sangat menyenangkan. Tapi, bukan berarti Hijiri-san dan aku bisa memutuskan untuk menikah hanya demi itu.


Sekali lagi aku merasa betapa pentingnya membicarakan hal ini secara serius dengan Hijiri-san.


“Hime-chan! Bukankah aku sudah bilang jangan sembarangan bicara soal itu?”


“Kenapa memangnya? Aku pikir Onee-chan dan Yohei-kun menikah itu hal yang sangat indah… Atau jangan-jangan, Onee-chan sebenarnya tidak mau?”


“Bu-bukan, bukan berarti aku tidak mau!”


“Lihat Onee-chan tidak masalah. Lagipula, entah bagaimana, Onee-chan juga kelihatan tidak terlalu keberatan.”


“T-tapi tetap saja… rasanya malu banget!”


Hmm… Hijiri-san mencoba membujuk Hime, tapi pembicaraan mereka sepertinya agak buntu.


Menjelaskan tentang hubungan asmara dan jarak emosionalnya pada gadis delapan tahun tentu sulit.


Aku ingin membantu, tapi rasanya aku juga tidak akan banyak membantu, jadi kali ini aku putuskan untuk menyerahkannya pada Hijiri-san.


Saat aku duduk diam di sofa, tiba-tiba…


“Silakan, Yohei-sama. Mumpung sudah ada, tolong nikmati kuenya juga, ya.”


Tanpa kusadari, Mei-san sudah memotong-motong kue dan membagikannya. Kue tart pendek dengan stroberi di atasnya.


“Terima kasih. Aku makan, ya.”


Aku menerima tawarannya dan menyuapkan satu potong kue.

Hmm, enak. Sponge-nya lembut, krimnya kental, dan stroberinya juga lezat.


Pasti mahal, ya… Lidah orang biasa sepertiku bahkan masih terlalu kaget untuk benar-benar bisa menikmati rasanya, tapi aku akan mencoba menikmatinya sebaik mungkin.


Sambil memikirkan itu dan terus makan, aku sadar kalau Mei-san masih berdiri di dekatku. Tanpa berkata apa pun, dia terus memandangi cara aku makan.


Aku pun ikut menatapnya balik. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Ternyata firasatku benar.


“…Yohei-sama, kalau boleh… tolong jaga nona kami, ya.”


Suaranya kecil sekali. Percakapannya dengan Hijiri dan Hime yang masih berlangsung tidak terganggu, dan hanya aku yang cukup dekat untuk mendengarnya.


Tapi aku mendengarnya dengan jelas.


“Kalau dengan Anda, saya yakin beliau akan baik-baik saja. Tolong buat dia bahagia, ya.”


“──”


Sepertinya itulah yang ingin dia sampaikan.


Setelah mengatakan itu, ia tampak puas. Tanpa menunggu jawabanku, ia kembali ke arah meja saji, membagi kue untuk kedua kakak beradik itu.


Sambil menatap punggungnya, aku… mengucapkan kata-kata yang hampir keluar dari mulutku hanya dalam hati.


(Nona yang kamu maksud… Hime atau Hijiri-san, ya?)


Aku sempat ingin langsung bertanya. Tapi entah kenapa, rasanya curang kalau aku menanyakannya, jadi aku akhirnya hanya menelannya kembali.


Mungkin, Mei-san memang sengaja tidak menyebutkan nama.

Dengan hanya mengatakan “nona”, seolah dia menyerahkan keputusan itu padaku—apakah itu Hime atau Hijiri-san.


(Buat dia bahagia, ya…)


Dari Mei-san, aku merasakan perasaan hangat. Dia benar-benar menginginkan kebahagiaan untuk Hime dan Hijiri-san.


Justru karena itu, aku tidak boleh bersikap setengah-setengah.


(…Aku harus benar-benar memahami perasaanku sendiri.)


Sejujurnya, aku sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaanku.

Apakah aku menyukai Hijiri-san?


Atau… tidak, aku masih belum tahu.


Karena itu, aku belum bisa memberi jawaban, dan akhirnya hanya menyuapkan satu potong kue lagi sambil terus merasa bimbang.


Rasa manis dan lembut dari kue itu membuatku menghela napas kecil. Memang, makanan manis itu selalu menyenangkan.


Karena setelah memakannya, perasaan bahagia langsung menyelimuti.


Soal pernikahan juga… aku hanya bisa berharap akhir dari cerita ini bisa sehangat rasa manis itu—penuh kebahagiaan.




~Selingan 1~

Kegelisahan Hoshimiya Hijiri


──Hoshimiya Hijiri sedang dilanda kebingungan.


(Bagaimana sebaiknya, ya...)


Larut malam. Di atas ranjang, ia melamun sambil menatap langit-langit.


Biasanya, begitu ia berbaring, dalam sepuluh detik saja sudah tertidur. Tapi malam ini, karena jet lag dan satu hal yang terus berputar-putar di kepalanya, matanya tetap segar.


Penyebabnya adalah tentang Hime, adik tercintanya.


(Zzz... zzz...)


Hijiri membalikkan badan dan melihat ke samping. Di sana, Hime sedang tidur.


Ia tertidur dengan napas yang tenang. Berbeda dari Hijiri, Hime sudah bangun sedikit lebih awal, mungkin karena itu malam ini dia bisa tidur lebih cepat.


Melihat Hime yang tidur nyenyak, Hijiri tersenyum kecil.


(...Sedang memeluknya dengan sangat penuh kasih ya.)


Di ujung pandangannya, Hime terlihat memeluk boneka beruang. Boneka itu dipakaikan kemeja laki-laki, dan Hime menempelkan pipinya ke kain pakaian itu seolah-olah sedang membelainya dengan lembut.


Sejak pergi berbelanja bersama Yohei waktu itu, Hime selalu tidur dengan pose seperti ini. Bahkan saat di Amerika pun kebiasaannya tidak berubah. Sepertinya, ke mana pun ia pergi, boneka itu akan selalu menemaninya tidur.


(Dia benar-benar menyukai Yohei, ya...)


Hijiri bisa melihatnya dengan jelas. Ia yakin bahwa perasaan yang dipegang adiknya bukan sekadar rasa sayang biasa.


(Baju yang dipilihnya pun mirip dengan one-piece yang pernah dipuji oleh Yohei.)


Hijiri mengingat kejadian siang tadi. Biasanya, Hijiri yang memilihkan pakaian untuk Hime. Tapi karena hari ini Hijiri tidur siang, Hime memilih sendiri pakaiannya.


One-piece itu bentuknya mirip dengan yang dibelinya bersama Yohei saat mereka berbelanja sebelumnya. Entah disengaja atau tidak, pasti Hime memilih itu karena pernah dipuji cocok oleh Yohei.


(Dia sangat ceria hari ini... Banyak sekali tersenyum.)


Hime bukanlah anak yang ekspresinya besar.


Itulah kenapa Yohei mungkin tidak menyadarinya. Bahwa hari ini Hime lebih sering tersenyum, lebih ceria, dan tampak sangat bahagia.


Melihat Hime sebahagia itu adalah hal yang langka. Setidaknya, Hime tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti itu di depan keluarganya. Apalagi di depan orang asing, tentu lebih tidak mungkin lagi.


Itu berarti, keberadaan Yohei sangat besar bagi Hime.


Hanya bertemu saja sudah sangat bahagia. Mengobrol saja menyenangkan. Diperhatikan membuatnya merasa istimewa. Dan setelah pulang, dia jadi merasa kesepian... meski tidak diucapkan secara langsung.


Namun begitu Yohei pulang, semangat Hime langsung menurun drastis.


Setelah beberapa saat dia kembali ceria, tapi melihat bagaimana emosi adiknya naik turun karena Yohei, Hijiri tidak bisa mengabaikan perasaan cinta yang tersembunyi di balik semua itu.


(Tapi, Hime sepertinya tidak menyadarinya sendiri...! Aku pikir dia bakal berhenti ngomongin soal pernikahan, tapi ternyata nggak juga ya.)


Rencana pernikahan antara Hijiri dan Yohei masih tetap ingin diwujudkan oleh Hime.


Kalau memang Hime tidak menyukai Yohei dengan cara seperti itu... Hijiri mungkin juga tidak terlalu keberatan. Dia tidak membenci Yohei, malah menyukainya sebagai pribadi.


Tapi, tidak mungkin ia bisa mendukung rencana itu dengan mengabaikan perasaan adiknya.


(Sebagai kakaknya, apa yang bisa kulakukan untuk Hime...?)


Belakangan ini, Hijiri terus memikirkan hal itu. Sejak menyadari perasaan Hime tepat sebelum liburan musim panas, dia terus bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.


Bahkan karena itu, dia tidak bisa fokus belajar untuk ujian.

Yah, meski pun dia bisa fokus, belum tentu juga bisa lolos nilai minimum. Tapi itu urusan lain.


“Apa yang bisa kakak lakukan... supaya Hime bisa bahagia ya?”


Begitu bergumam, Hijiri mengelus kepala Hime yang sedang tidur.


“Nnya... onee-chan...”


“Iya, ini kakak~”


“...nng.”


Mungkin kesadarannya sempat muncul sesaat. Tapi setelah mendengar suara sang kakak, Hime kembali tertidur dengan tenang.


Hijiri memang tipe yang tidurnya pulas, tapi sebenarnya Hime juga cukup sering tidur nyenyak. Di tempat seperti sekolah atau lingkungan asing, dia tidak pernah bisa tidur karena waspada, tapi di tempat yang aman dan nyaman, dia akan langsung terlelap.


Karena itu, gumaman Hijiri barusan tidak sampai ke telinga Hime. Meski begitu, Hijiri tetap tak bisa menahan kata-katanya.


“...Apa yang harus kakak lakukan supaya Hime bisa bahagia?”


Setelah itu, Hijiri pun perlahan memejamkan matanya. Jawabannya masih belum ada. Tapi meskipun begitu, dia akan terus memikirkannya.


Agar adik tercintanya bisa bahagia. Apa yang harus dilakukannya demi mencapai hal itu.


Hijiri terus merenung hingga kesadarannya mulai menghilang──


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment

close