NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Darenimo Natsukanai Tobikyuu Tensai Youjo ga, Ore ni Dake Amaetekuru Riyuu V2 Chapter 2 - Selingan 2

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 2

Lebih Manis dari Biasanya 


Liburan musim panas. Biasanya ini adalah masa libur panjang di mana kita tidak perlu pergi ke sekolah, tapi di Akademi Hakuun tempat kami bersekolah, ada yang disebut "hari masuk sekolah."


Sesuai namanya, itu adalah hari di mana kami tetap harus datang ke sekolah.


Katanya sih, tujuannya untuk memantau kondisi siswa atau memperbaiki ritme hidup yang jadi kacau selama liburan.


Meski begitu, satu-satunya hal yang kami lakukan hanyalah bersih-bersih, dan itu pun selesai sebelum siang. Tidak perlu memakai seragam, semua orang datang dengan pakaian olahraga. Rasanya seperti hari yang tidak begitu berarti, dan seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan malas-malasan sambil berpikir betapa merepotkannya ini.


Apalagi aku memang tidak tahan panasnya musim panas ini. Sebisa mungkin aku ingin tetap di dalam rumah... Tapi, tahun ini rasanya tidak seburuk itu.


Karena ada dia bersamaku.


"Ah, Yohei-kun. Selamat pagi."


Menjelang pukul sembilan pagi. Saat aku tiba di kelas, sedikit lebih siang dari biasanya, seorang gadis kecil dengan pakaian olahraga menyapaku.


"Pagi, Hime."


Saat aku membalas sapaannya, Hime tersenyum kecil dengan wajah senang.


Sudah tiga hari sejak terakhir kali kami bertemu. Terakhir kami bertemu waktu aku main ke rumahnya.


"Syukurlah kamu datang. Soalnya Yohei-kun suka bangun kesiangan."


"...Sebenarnya tadi aku memang nyaris terlambat karena bangun kesiangan."


"Begadang itu tidak baik, tahu?"


"Ahaha. Aku akan hati-hati."


Saat aku sedang merasa hangat setelah mendapat nasihat lembut dari Hime, wali kelasku pun datang.


Mungkin karena ini masa liburan musim panas, beliau juga terlihat tidak terlalu bersemangat. Setelah mencatat absensi, beliau menulis lokasi bersih-bersih dan jumlah orang yang dibutuhkan di papan tulis, lalu berkata, "Kalau sudah bersih-bersih, boleh pulang~" dan langsung keluar dari kelas.


Apa itu benar-benar boleh… yah, kami juga tidak peduli sih. Justru kami para siswa ingin cepat-cepat pulang, jadi sikap cuek guru itu malah kami syukuri.


Sekarang, enaknya bersih-bersih di mana, ya. Sepertinya tempat bisa dipilih berdasarkan siapa cepat dia dapat, jadi bagian yang kelihatannya mudah dan cepat seperti membuang sampah atau mengisi ulang perlengkapan langsung penuh terisi nama. Ada juga anak-anak yang berkelompok dengan teman-temannya dan memilih ruang kelas atau lorong yang bisa dibersihkan ramai-ramai.


"Yohei-kun. Apa aku boleh menulis namaku bersama denganmu?"


"Iya. Aku juga sedang bingung mau pilih yang mana."


Tentu saja, aku memang berniat bersih-bersih di tempat yang sama dengannya. Hanya saja, karena aku ingin memilih tempat yang tidak memberatkan dia, aku belum memutuskan.


"...Menurutku, tempat yang bisa dibersihkan berdua saja juga tidak masalah."


Setelah mendengar saran dari Hime, aku mengangguk mengerti.


Mungkin Hime lebih nyaman kalau hanya berdua daripada harus kerja kelompok. Awalnya aku pikir akan lebih mudah kalau kerja sama dengan banyak orang di ruang kelas, tapi kalau begitu maunya...


"Gimana kalau tangga? Cuma butuh dua orang."


"Ya. Tidak masalah."


Sekolah kami punya empat lantai, jadi mungkin sedikit merepotkan. Tapi karena itu juga tempat ini tidak laku, jadi kebetulan masih kosong.


Aku dan Hime menulis nama kami, lalu tempat bersih-bersih pun ditentukan. Kami membawa sapu dan pengki, lalu menuju lantai empat. Akan lebih efisien jika mulai dari atas, jadi kami pun naik tangga bersama-sama.


Begitu sampai, kami langsung mengambil sapu. Nah, sebentar lagi kami akan mulai bersih-bersih, tapi… sebelum itu, aku merasa ingin sedikit usil.


"Hime, kamu tahu cara pakai sapu?"


"...Sebenarnya aku juga punya giliran piket, tahu?"


"Ahaha. Kupikir kalau kamu belum tahu, aku bisa ngajarin."


Tentu saja, aku cuma bercanda.


Meskipun dia masih 8 tahun dan melompat kelas, kegiatannya tidak jauh beda dengan kami. Aku tahu dia pasti sudah paham cara pakai alat kebersihan.


Aku hanya ingin sedikit menggoda. Hanya candaan ringan untuk mencairkan suasana.


"Aku ralat. Aku tidak tahu, jadi boleh minta diajari?"


Wah, gawat. Hime malah balik menyerang.


"Eh? A, ah... iya..."


"Tolong ajari aku ya, Yohei-kun. Pegangnya begini, kan? Lalu, cara menggerakkannya gimana?"


Hime mendekat ke arahku dengan cepat. Tubuhnya menempel erat padaku. Jaraknya begitu dekat sampai aku bisa mencium aroma manis dari Hime.


"Ayo, Yohei-kun. Coba gerakkan."


"E-eh, maksudnya aku gerakin sapu yang kamu pegang?"


"Iya. Karena kamu bilang mau ngajarin kan, jadi aku minta tolong kepadamu."


Pa-pada awalnya ini cuma bercanda, lho…


Tapi Hime malah sangat antusias. Padahal dia pasti sudah tahu cara memakainya... yah, bagaimanapun ini memang aku yang mulai. Harus bertanggung jawab.


"Kalau begitu, aku pegang ya?"


Aku memegang sapu yang Hime pegang juga. Posisi kami seperti saling menutupi… menggunakan sapu yang sama berdua begini, situasinya agak aneh.


"Begini, digerakkan ke kanan dan kiri."


"Hmm-hmm. Begitu ya… ini cukup sulit, jadi tolong ajari lebih lama."


"Su-sulit ya…"


"Iya. Sangat sulit, jadi aku ingin diajari perlahan oleh Yohei-kun... ehehe."


Gawat. Hime terlihat sangat senang.


Saat aku melirik ekspresinya, dia tampak puas sekali. Sepertinya dia benar-benar menikmati situasi ini.


"Boleh aku minta diajari sampai lantai satu juga?"


"Itu sih… kayaknya bakal capek banget."


Bukan berarti aku tidak suka dengan keadaan ini. Tapi, posisi tubuhku mulai terasa berat.


Karena tinggi badan Hime yang rendah, aku harus membungkuk, dan itu cukup menguras tenaga.


Tubuh kami pun saling menempel, yang entah kenapa membuatku merasa malu... Saat aku sedang berharap semoga dia bisa sedikit berbelas kasihan padaku, itulah saatnya—


"Wah? Wah wah!? Aku menemukan dua orang yang sangat akrab di sini!"


Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang. Kalau mau dibilang positif, dia terdengar sangat enerjik. Tapi kalau mau jujur, volume suaranya seperti tombol pengaturnya rusak.


"Wah!"


Terkejut oleh suara itu, Hime sontak terlonjak dan menjauh dariku… Meski begitu, anehnya aku justru merasa sedikit kehilangan.


Yah, kami juga tidak bisa terus menempel seperti itu selamanya. Lagipula, kami memang harus menyelesaikan tugas bersih-bersih, jadi mungkin ini sudah waktunya yang pas.


Aku menoleh ke arah suara itu, dan di sana berdiri seorang siswi berponi kuda. Posturnya mungil, dan kulitnya yang kecokelatan akibat terbakar matahari cukup mencolok.


"Itu Kusumori-san."


"Ya! Halo, Hoshimiya-senpai, Ozora-senpai!"


Namanya adalah Kusumori Haine. Dia adik kelas kami yang duduk di tahun pertama SMA, dengan ciri khas rambut kuncir kuda. Dia juga satu-satunya anggota klub koran.


Baik aku maupun Hime pernah diwawancarai olehnya, jadi kami cukup saling kenal… Tapi, bertemu dengannya di sini rasanya agak aneh.


"Ini masih liburan musim panas, kenapa kau ke sekolah? Dan kenapa pakai seragam?"


Seingatku, hari ini yang masuk sekolah hanya kelas kami. Aku tidak tahu alasan kenapa Kusumori-san bisa ada di sini.


"Apakah ini untuk kegiatan klub koran, mungkin?"


Seperti yang diharapkan dari Hime. Oh, benar juga. Kalau untuk kegiatan klub, datang ke sekolah bukan hal aneh.


Aku hampir saja merasa yakin dengan penjelasan itu, tapi—


"Hari ini aku ikut pelajaran tambahan! Klub koran lagi libur… Soalnya, aku belum selesai mengerjakan tugas! Aku pinjam ruang kosong di lantai empat buat belajar sendiri, terus dengar suara kalian, jadi aku ke sini!"


Ternyata bukan karena klub. Sepertinya Kusumori-san memang punya nilai jelek.


"Yah… Aku terlalu sibuk dengan kegiatan klub sampai nggak sempat belajar. Akibatnya, aku dapat nilai merah di matematika!"


Dia tetap ceria seperti biasa. Meski kena nilai merah dan harus ikut pelajaran tambahan, dia terlihat tetap menikmati semuanya.


"Pelajaran tambahan, ya. Sama seperti kakakku."


"Aku sering saling menghibur bareng Hijiri-senpai, loh!"


"Kalian beda angkatan, tapi belajar bareng, ya?"


"Betul! Soalnya tugas pelajarannya cuma ngisi lembar soal, jadi semua siswa dari tiga angkatan yang ikut pelajaran tambahan dikumpulin di ruang yang sama."


"Begitu ya. Terima kasih sudah menemani kakakku."


"Ah, enggak kok! Aku malah senang bisa bareng dia!"


Entah karena suasana ceria dari Kusumori-san, kali ini Hime pun bisa mengobrol tanpa merasa canggung.


Meskipun sudah saling kenal, di sekolah Hime jarang bicara dengan orang lain selain aku dan Hijiri-san. Rasanya menyenangkan melihat dia bisa bercakap seperti ini.


Tapi sepertinya Kusumori-san juga memperhatikan ekspresiku.


"Ozora-senpai, tatapannya panas banget, ya! Cara kau menatap Hoshimiya-senpai tuh… wah banget!"


"…Panas, ya?"


Mungkin memang agak hangat… Tapi menurutku tidak seberlebihan itu. Tapi sepertinya, dari sudut pandang Kusumori-san, kesannya seperti itu.


"Guehehe. Hubungan kayak gini tuh mantep banget… Beda usia tuh makanan favoritku!"


Matanya berbinar seperti ada bentuk hati. Ah, sepertinya anak ini tipe yang suka banget bahas soal cinta, ya?


"Eh, aku ini ganggu ya? Padahal kalian sampai ke tempat sepi kayak gini, maaf banget sudah ganggu. Aku langsung cabut deh, lanjutkan saja obrolannya!"


Yap, benar. Kusumori-san kayaknya salah paham.


"Kami ke sini karena tugas bersih-bersih, kok. Nggak ngapa-ngapain seperti yang kamu bayangkan."


Aku tetap mengklarifikasi, tapi—


Yang paling aku perhatikan sekarang justru reaksi Hime. Jangan-jangan dia jadi salah paham atau merasa nggak nyaman? Aku agak khawatir dan mencuri pandang ke arahnya.


"Kamu suka hubungan beda usia? Berarti kamu juga suka kakak laki-laki, ya."


"Banget! Mau itu kakak laki-laki, adik laki-laki, atau pria dewasa, semuanya makanan favoritku!"


"Hmm. Aku nggak begitu paham tentang adik atau pria dewasa, tapi kakak laki-laki itu memang keren. Seperti Yohei-kun, misalnya."


"Beneran!? Guehehe… Makasih, ya, buat suguhannya."


"…? Sama-sama, ya?"


Ah, syukurlah. Sepertinya Hime nggak terlalu ngerti maksud sebenarnya dari kata-kata Kusumori-san.


Kusumori-san terus ngomongin soal lawan jenis, tapi… Hime kayaknya nggak benar-benar menangkap maksudnya. Jadi pembicaraan mereka agak nggak nyambung.


Walau Hime juga merasa ada yang janggal, tapi karena percakapannya masih bisa diikuti, dia tidak merasa perlu bertanya lebih lanjut. Obrolannya pun selesai begitu saja.


"Eh… Kalau begitu, kami harus lanjut bersih-bersih. Kusumori-san juga semangat, ya, ikut pelajaran tambahannya."


Sepertinya sudah waktunya berpisah dengan Kusumori-san. Kalau ngobrol lebih lama, situasinya pasti makin bikin deg-degan. Jadi aku mencoba mengakhiri percakapan. Namun, Kusumori-san ternyata tidak semudah itu.


"…Kalian tahu nggak? Katanya musim panas tahun ini taman air di kota baru saja dibuka ulang! Terus, akhir pekan depan juga bakal ada festival besar, loh!"


Tiba-tiba dia menyelipkan info aneh tanpa konteks.


Aku sempat mengernyit, bingung dengan maksudnya, tapi Kusumori-san mengedip nakal ke arahku sambil berbisik—


"Pas banget buat ngajak seseorang jalan bareng, kan?"


Kurasa dia bermaksud ingin berbicara pelan. Dia juga sudah berbisik dengan benar. Tapi volumenya tetap terlalu besar, jadi tidak ada artinya. Bukan cuma aku, Hime juga bisa mendengarnya dengan jelas.


"Kolam renang. Festival. Begitu ya... memang cocok sih untuk acara jalan-jalan sih."


Hime menanggapi kata "acara" secara harfiah, polos dan sangat menggemaskan.


Tapi kurasa Kusumori-san tidak menggunakannya dalam arti sederhana. Mungkin maksudnya seperti ‘acara kencan’ atau semacam itu.


(A-apa-apaan sih ikut campur begitu...)


Seperti yang kuduga, orang ini memang tipe yang selalu mikir soal cinta. Dan parahnya, tipe yang suka ikut campur urusan orang lain.


Klub koran... kalau dipikir sebagai gadis yang suka gosip, mungkin tidak aneh. Tapi mengarahkan pandangan seperti itu pada aku dan Hime, dia ini cukup berpengalaman juga.


"Kalau begitu, aku cabut dulu ya! Hoshimiya-senpai, Ozora-senpai, semoga bahagia!"


Syukurlah. Sepertinya dia akhirnya puas, Kusumori-san pun berlari meninggalkan kami menuju ruang kelas kosong.


Entah kenapa rasanya dia meninggalkan ucapan yang tidak perlu, tapi semoga Hime tidak terlalu memikirkannya.


"Semoga bahagia, ya? Hmm, aku memang merasa bahagia kalau bersama Yohei-kun."


Yah, dia memang memperhatikan, tapi karena polos, dia tidak menganggapnya dalam makna yang aneh.


Hime memang lucu, ya.


...Tentu saja, aku juga merasa bahagia saat bersama Hime.


(Ugh... gara-gara Kusumori-san, jadi malu sendiri.)


Sepertinya aku yang malah jadi salah tingkah. Kusumori-san, ucapanmu benar-benar bikin ribet... begitu pikirku, tapi ternyata ucapannya cukup berguna untuk Hime.


"Yohei-kun, mau pergi ke kolam renang dan festival bareng?"


Tak lama setelah kami melanjutkan bersih-bersih, dia mengusulkan itu.


Tentu saja, aku tidak punya alasan untuk menolak.


Jadi begitu, akhir pekan ini... kami pun memutuskan untuk pergi.


Pertengahan Agustus. Liburan musim panas tersisa sekitar dua minggu lagi.


Hari ini aku pergi naik mobil bersama teman-teman. Tujuan kami tentu saja kolam renang.


"Kolam renang~! Horeee!"


"Onee-chan, jangan terlalu semangat. Kita belum sampai."


Hijiri-san yang bersorak di dalam mobil ditenangkan oleh Hime. Aku hanya melihat mereka dari samping.


Kami baru saja bertemu di minimarket terdekat. Sekarang, kami bertiga duduk di jok belakang berurutan dari ujung: Hijiri-san, Hime, lalu aku.


"Seru banget, ya! Hari ini aku mau berenang sepuasnya~!"


Hijiri-san yang duduk di dekat jendela sangat bersemangat. Suaranya keras, gerakannya heboh. Hime yang duduk di sebelahnya tampak sedikit terganggu.


"Coba tiru Yohei-kun, diam sedikit."


"Nggak mau! Soalnya, gara-gara tugas dan pelajaran tambahan, stresku udah numpuk banget. Hari ini aku mau main sepuasnya! Aku mau berenang lawan arus di lazy river dan naik perosotan air sepuluh kali, jadi siap-siap aja!"


Begitulah rupanya. Sepertinya Hijiri-san memang sangat menantikan hari ini karena berbagai alasan. Matanya sampai melotot... a-agak menyeramkan sih semangatnya.


"Onee-chan, kayaknya hari ini bakal repot banget."


"Kalau gitu Hime-chan yang harus jagain..."


Biasanya sih kebalik, tapi ya sudahlah.


Hime mendesah pelan sambil bersandar manja ke arahku, seolah bilang dia lelah menghadapi Hijiri-san.


Aku menopangnya sebagai bentuk perhatian, dan Hime pun menyandarkan berat badannya lebih lagi. Apa dia sedang manja? ...Lucu banget.


Saat Hime bersantai begitu, Hijiri-san malah lebih memperhatikan kecepatan mobil.


"Mei-chan, cepetan dong!"


"Keselamatan nomor satu."


Oh iya, yang menyetir hari ini adalah Mei-san. Seperti biasa dia mengenakan seragam maid dan menyetir dengan luwes.


(...Karena dia kecil, pemandangannya jadi lucu juga)


Karena Mei-san tampak seperti anak kecil, melihatnya menyetir mobil terasa aneh.


Tapi ya, walau begitu dia sudah dewasa kok. Keterampilan mengemudinya pun tak perlu diragukan lagi... setidaknya, kelihatannya kakinya bisa menjangkau pedal gas dan rem dengan baik, jadi sepertinya aman.


"Ngomong-ngomong, masih berapa lama lagi sampai? Tiga menit?"


"Kurang lebih tiga puluh menit lagi. Bersabarlah."


"Eeh~. Aku nggak tahan nunggu selama itu~"


Hijiri-san gelisah, tapi Mei-san tidak terganggu sama sekali. Mobil pun melaju dengan tenang.


Berkat itu, mobil tidak terlalu berguncang, jadi terasa nyaman.

AC-nya juga dingin, dan joknya empuk banget.


Mungkin karena itu…


"Zzz... zzz..."


Tiba-tiba, terdengar suara napas tidur dari sebelahku.


Aku melirik, dan di situ Hime sedang tertidur dengan mata tertutup. Dia bersandar di lenganku, terlihat tidur dengan nyaman.


"Ah, Hime-chan ketiduran."


Hijiri-san juga menyadarinya dan langsung mengecilkan suaranya.


"Yohei-sama, nggak apa-apa kan?"


Mei-san mungkin melihat dari kaca spion. Dia bertanya dengan nada khawatir.


Karena kalau aku bicara bisa membangunkannya, aku hanya mengangguk pelan untuk menunjukkan semuanya baik-baik saja.


"Kalau begitu, tolong jagain Hime Ojou-sama untuk sementara, ya... sepertinya dia terlalu bersemangat menyambut hari ini sampai kurang tidur tadi malam."


Benar-benar seperti anak kecil menjelang tamasya.


Padahal dia gadis delapan tahun yang sangat dewasa untuk usianya... tapi di saat seperti ini, dia benar-benar menunjukkan sisi kekanakannya, dan itu sangat menggemaskan.


Sampai kami tiba, kupikir lebih baik membiarkan Hime tidur saja. Dengan begitu, aku berusaha untuk tidak bergerak. Sebenarnya tidak ada masalah dengan Hime yang sedang tidur.


"Hime-chan tidur… tidur nyenyak? Hmm, tidur deh…"


Tapi, aku tetap saja terusik oleh tingkah laku Hijiri-san.


Entah bagaimana, aku belum sempat bicara dengan dia karena tak ada waktu yang pas.


Sejak lama Hijiri-san terlihat seperti memikirkan sesuatu, jadi kupikir akan bagus kalau aku bisa mendengarkan isi pikirannya suatu saat nanti.


Tiga puluh menit naik mobil. Kami akhirnya tiba di kolam renang umum yang dikelola oleh kota.


Begitu sampai, aku langsung berpisah dengan kakak beradik Hoshimiya untuk berganti pakaian.


Ngomong-ngomong, Mei-san tidak ikut ke kolam. Katanya dia ingin membeli beberapa barang, dan akan menjemput kami lagi nanti setelah selesai.


(Yosh… kurasa aku akan keluar duluan)


Aku selesai berganti pakaian dengan cepat. Celana pendek renang dan atasan—itu disebut rash guard, ya.


Setelah memakainya, aku keluar dari ruang ganti. Aku menoleh ke sekitar, tapi dua orang itu belum kelihatan.


(Apakah memang wajar kalau cewek butuh waktu lebih lama untuk ganti pakaian…? Tunggu, sebentar?)


Baru saat itu aku sadar akan sesuatu.


(Aku… datang ke kolam renang bareng cewek, ya?)


Selama ini aku menganggapnya hanya sekadar jalan bareng teman. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, pergi ke kolam renang bareng cewek itu hal yang cukup spesial, kan?


Begitu menyadarinya, aku jadi merasa kikuk. Aku mencoba untuk menenangkan diri… tapi sayangnya, waktunya kurang tepat.


"Yohei-kun, maaf ya. Sudah menunggu lama?"


Seseorang memanggilku. Seketika tubuhku kaku dan aku tidak bisa bergerak.


Karena aku berdiri di dekat pintu ruang ganti, dia pun langsung menyadari keberadaanku.


Dengan langkah ringan dan suara tap-tap dari kakinya yang telanjang, Hime mendekat. Begitu aku sadar bahwa itu dia, tubuhku langsung mengendur.


"…Ah, Hime ya."


"Ya. Aku Hime."


Tentu saja, Hime memakai baju renang. Modelnya tipe terpisah berwarna merah, cocok sekali dengan warna matanya.


Dia juga memeluk pelampung di lengannya. Pemandangan itu memberi kesan kekanak-kanakan yang sangat cocok dengan suasana musim panas.


"Umm… gimana menurutmu? Ini baju renang baru, lho."


"Imut banget. Bagus sekali."


Saat aku menyampaikan kesanku dengan jujur, Hime tersipu malu. Tanpa sadar, dia menutupi mulutnya dengan pelampung itu… tapi karena bahannya transparan, senyumnya tetap kelihatan.


"Kamu juga mengikat rambutmu, ya?"


"Ya. Aku minta Onee-chan untuk bikinkan twintail."


"Kelihatan bagus. Cocok banget."


Biasanya Hime membiarkan rambutnya terurai, tapi kali ini dia mengikatnya menjadi twintail. Rasanya beda dari biasanya dan cukup menyegarkan.


"Ehehe. Aku senang karena Yohei-kun selalu memuji."


Iya dong. Aku juga senang karena kamu begitu senang dipuji.


"Oh iya? Hijiri-san mana?"


Baru kusadari, dia belum muncul juga. Lambat sekali. Kukira tadi dia akan datang bersama Hime. Tapi meski kami sudah berbicara agak lama, dia belum juga muncul.


"Onee-chan bilang, ‘tunggu di depan, nanti aku nyusul.’ Tapi aku nggak tahu kenapa belum datang juga…"


Hime tampak bingung juga.


Aku hendak memintanya untuk melihat ke dalam, tapi saat itu—


"U-uhh… maaf ya, udah bikin nunggu?"


Dari ruang ganti wanita, Hijiri-san keluar dengan langkah goyah dan kedua tangannya disilangkan di dada.


Wajahnya tampak sangat pucat. Dia memakai bikini, jadi warna kulitnya terlihat jelas… dan sepertinya tubuhnya sedikit lebih merah dari biasanya.


(…Ke-kenapa aku jadi deg-degan?)


Hime malah membuat suasana jadi tenang, tapi Hijiri-san itu sekelas denganku. Mungkin karena itu aku jadi canggung melihatnya, tubuhku langsung kaku.


Begitu sadar, aku malah jadi grogi. Yah, wajar sih, selama ini aku menjalani kehidupan sekolah tanpa banyak berhubungan dengan cewek.


(Uh, harus ngomong apa? Muji… tapi apa itu terlalu gamblang? Sama Hime bisa sih, tapi kalau Hijiri-san… apa dia bakal mikir aku punya niat nggak enak? Tapi, kalau—)


Aku bingung sendiri dalam hati.


Tapi di sisi lain, Hijiri-san sama sekali nggak peduli dengan reaksiku.


"A-a-a-a-apa yang harus aku lakuin…"


"Onee-chan, kenapa tangannya disilangkan begitu?"


Satu-satunya orang yang tetap tenang di sini cuma Hime, dan dia menyadari ada yang aneh dengan Hijiri-san.


Setelah dibilang begitu, aku juga sadar. Posisinya aneh. Lebih tepatnya, dia tampak seperti sedang menutupi dadanya.


"Ukuran-nya… kekecilan."


"Padahal itu dibeli tahun lalu, kan?"


"Iya. Sekarang sempit banget, rasanya hampir robek."


Wah… situasinya cukup genting.


"Y-yohei? Aku… mau minta tolong, boleh?"


"Aku nggak lihat, sumpah, nggak lihat!"


Aku buru-buru memalingkan pandangan. Aku ingin menjaga hubungan baik dengan Hijiri-san. Nggak mau sampai ada salah paham cuma karena nafsu sesaat. Jadi aku tunjukkan kalau aku nggak niat macam-macam.


Tapi ya, Hijiri-san bukan tipe yang bakal marah cuma karena itu.


"Aku tahu kok Yohei bukan cowok mesum. Tapi, eh… kalau bisa, aku mau pinjam atasanmu."


Oh, begitu toh. Memang, aku sedang memakai rash guard—jaket renang yang bisa menutupi bagian atas tubuh.

Kalau kupinjamkan, dia bisa menutupi tubuhnya juga.


"O-oke. Nih."


Aku buru-buru melepasnya dan menyerahkannya ke Hijiri-san. Dengan ini, urusan soal baju renang selesai… atau setidaknya, kupikir begitu.


Tapi ternyata kami berdua lengah.


"Makasih──kyaa!?"


Saat dia mau mengambil jaket dariku, tangannya otomatis terangkat dari dada.


Refleks, aku langsung memalingkan wajah. Untungnya aku tidak melihat apa pun… syukurlah.


Kalau sampai terlihat sesuatu yang nggak seharusnya, aku nggak akan bisa menatap wajah Hijiri-san lagi.


Terima kasih refleksku.


"Ma-ma-maaf ya! Aku ganti dulu sebentar!"


Hijiri-san kembali ke ruang ganti dengan wajah memerah.


Satu-satunya yang tetap tenang melihat punggungnya yang menjauh hanyalah Hime.


"Masa pertumbuhan, ya? Aku iri."


"I-Iri?"


"Iya. Aku juga ingin cepat tumbuh besar... dan aku juga iri dengan jaket milik Yohei-kun."


Setelah berkata begitu, Hime menyodok pinggangku dengan ujung jarinya.


…Kurasa sekarang aku sudah bisa mengalihkan pandangan. Setelah memastikan kalau Hijiri-san sudah pergi, aku pun menoleh ke arah Hime.


"Aku iri."


Dia menatapku dengan pandangan agak kesel. Ekspresinya... entah kenapa, terlihat imut, sampai-sampai aku refleks tersenyum.


(Ah, Hime memang menenangkan ya…)


Suaranya, kata-katanya, gerak-geriknya, ekspresinya—semuanya terasa menggemaskan.


Aku senang Hime ada di sini.


Berkat dia, ketegangan yang tadi sempat kurasakan terhadap Hijiri-san langsung menghilang.


"Itu karena Onee-chan malas belanja, jadinya begini."


Hijiri-san kembali dengan mengenakan rash guard milikku, dan Hime menggumamkan hal itu dengan nada jengkel.


"Kemarin kan aku sudah ajak beli baju renang, ingat?"


"T-Tapi... aku pikir ukurannya masih muat, soalnya itu beli tahun lalu…"


Hijiri-san terlihat jelas tidak nyaman.


Rash guard-nya punya resleting di bagian depan. Memang sekarang bagian atas tubuhnya lebih tertutup, tapi karena itu baju pria, bagian dadanya agak sempit dan belahannya masih kelihatan. Buat anak SMA cowok, ini sudah cukup bikin grogi. Kalau dia tetap pakai bikini, mungkin aku bakal lebih bingung lagi mau lihat ke mana.


Sebagai efek sampingnya, bagian bawah tubuh juga tertutup sampai paha atas karena panjangnya rash guard, jadi justru lebih tertutup dari sebelumnya.


Jujur saja, aku lebih nyaman begini.


"Onee-chan lagi masa pertumbuhan. Jadi harus lebih perhatian sama ukuran baju, tahu."


"Uuuh… ja-jangan-jangan aku memang agak gemukan…"


Hime terlihat sedikit kesal, dan Hijiri-san jelas-jelas murung.


Tapi yah, Hijiri-san memang sering dimarahi Hime, jadi ini bukan pemandangan baru. Malah, hubungan kakak-adik mereka yang akrab seperti ini terlihat menyenangkan.


"Yohei-kun, maaf ya Onee-chan bikin repot."


"Yooheeii~, maaf ya~"


"Enggak apa-apa kok. Aku sama sekali nggak keberatan."


Tentu saja aku bahkan nggak merasa direpotkan. Aku menggeleng dan memberi isyarat kalau semuanya baik-baik saja. Paling-paling aku cuma agak malu karena sekarang tubuh bagian atasku telanjang.


Tapi ya, tubuhku juga nggak seberapa layak ditutup-tutupi. Nggak pakai atasan juga bukan masalah besar.


"Kalau begitu, gimana kalau kita mulai berenang?"


Mumpung udaranya panas dan semua sudah tenang, aku pun mengusulkan.


Sejujurnya, aku juga ingin cepat-cepat nyemplung ke air. Tempat kami berdiri sekarang memang teduh, tapi udara tetap panas. Di dalam air pasti lebih baik.


"Aku setuju! Hime-chan, ayo!"


"Benar juga. Kita ke sini untuk bersenang-senang, jadi ceramahnya cukup sampai sini saja."


"Yeayyy~!"


Seperti biasa, mereka cepat akur kembali. Hijiri-san menggenggam tangan Hime, dan Hime membalas genggaman itu dengan alami. Mereka mulai berjalan berdampingan.


"Mau ke kolam arus yang sana?"


"Boleh. Tapi, Onee-chan… masih ingat kalau aku nggak bisa berenang, kan?"


"Hah? Hime nggak bisa berenang?"


Ini pertama kalinya aku dengar. Saking terkejutnya, aku langsung bertanya balik.


Hime adalah gadis jenius yang naik kelas lebih cepat. Aku selalu membayangkan dia bisa melakukan apa saja.


Tapi ternyata, ada juga hal yang nggak bisa dia lakukan.


"Kalau lebih tepatnya, aku belum pernah latihan berenang."


"Waktu Hime-chan masih lebih kecil dari sekarang, dia nggak boleh olahraga berat."


Benar juga. Hime katanya memang agak lemah dalam hal fisik.


Waktu pertama kali kami bertemu juga begitu. Dia kelelahan setelah tersesat dan berjalan keliling, sampai akhirnya duduk di pinggir jalan—dan di sanalah aku menemukannya.


"Sejak datang ke Jepang, kondisi tubuhku membaik, jadi sekarang aku sudah bisa olahraga."


"Betul~. Hime-chan sekarang sehat banget, deh."


"Iya. Memang aku nggak bisa berenang, tapi aku bisa mengapung. Jadi harusnya nggak masalah di kolam arus… tapi, tolong tetap di dekatku ya."


"Tentu saja. Yohei juga, tolong perhatikan Hime-chan ya?"


"Pasti. Aku bakal awasi."


Jadi begitu. Dia memang nggak bisa berenang, tapi bukan berarti takut air. Kalau cuma belum terbiasa, harusnya aman.


"Ini pertama kalinya aku masuk kolam besar seperti ini, jadi aku antusias."


Hime juga tampak bersemangat. Biasanya ekspresinya nggak banyak berubah, tapi hari ini jelas kelihatan.


Sepertinya semalam dia bahkan sulit tidur karena terlalu menantikannya… semoga hari ini jadi kenangan indah buat Hime.


"Hangat~~…"


Itulah hal pertama yang keluar dari mulut Hijiri-san setelah masuk ke air.


"Benar juga."


Begitu aku menyentuh air, aku pun berpikiran sama. Memang lebih baik dari udara luar, tapi airnya nggak sedingin yang aku bayangkan. Agak mengecewakan, sih.


"Hime, sini."


Terakhir, aku mengulurkan tangan ke arah Hime yang belum masuk ke kolam. Sepertinya dia agak takut masuk air. Kalau dia belum terbiasa, ya wajar saja.


"Terima kasih. Aku masuk, ya."


Tapi begitu mendengar suaraku, rasa ragu di wajahnya langsung hilang.


Dia menggenggam tanganku dan perlahan masuk ke dalam air. Dari samping, Hijiri-san segera mengulurkan tangan untuk menyangga tubuh Hime, jadi nggak ada kekhawatiran soal tenggelam.


"Nih, pelampungnya."


Setelah menyerahkan pelampung, persiapan Hime pun selesai.


"Hangat juga ya~."


Dan ternyata pendapat Hime juga sama seperti kami.


Namun, nada suaranya sama sekali tidak terdengar suram. Justru, seolah ingin mengatakan bahwa air yang hangat ini pun menyenangkan, ekspresinya tampak cerah.


"Onee-chan, kita bergerak ya."


"Iya! Hebat, kan?"


"Iya. Padahal cuma mengapung, tapi tubuhku bisa bergerak sendiri."


"Be-begitu ya! Uh-hmm... Nggak bisa, Yohei, bantu pegang Hime dong!"


"Boleh aja, tapi kenapa mendadak begini?"


"Aku juga mau ngambang~!"


Sepertinya Hijiri-san sudah nggak tahan lagi. Dia menyerahkan Hime padaku, lalu ikut mengapung di permukaan air.


"Hime, kamu nggak apa-apa? Pegang bagian ini aja, ya?"


Aku meletakkan tanganku perlahan di pinggangnya. Karena tubuh Hime ramping, aku agak khawatir dia bakal tergelincir dari lubang pelampung. Tapi kalau seperti ini, seharusnya dia nggak akan tenggelam.


"Makasih. Kalau Yohei-kun yang menahan, rasanya tenang."


Hime pun sudah masuk ke mode santai sepenuhnya.


Tubuhnya benar-benar rileks dan bersandar pada tanganku. Berat badannya yang memang ringan terasa makin ringan karena daya apung di air. Rasanya seperti memegang sesuatu hanya dengan satu tangan.


Dengan begini, meski dia nggak bisa berenang pun seharusnya nggak masalah.


"Ah~ ini luar biasa. Stres karena belajar rasanya hilang semua...!"


Sementara itu, Hijiri-san tampak sangat menikmati. Mungkin akhir-akhir ini dia banyak tugas dan kelas tambahan.


"Onee-chan itu sebenarnya pemalas yang ogah keluar rumah, tapi kalau ke taman hiburan atau tempat main begini dia malah semangat banget. Sepertinya dia memang suka main."


"Iya! Tahun lalu, aku juga sempat ke pantai bareng teman-teman~"


Hijiri-san memang punya pergaulan yang luas. Meskipun kelihatan cantik, kepribadiannya lembut dan ramah. Dia juga anggota OSIS, jadi wajar kalau disukai banyak orang. Pasti sering juga diajak main bareng teman-temannya.


"Waktu itu, dia malah ketiduran pas berjemur dan akhirnya hampir nggak berenang sama sekali."


"Hime-chan!? Itu rahasia dong... Setelah itu aku juga kena sunburn, lho. Jangan diingat-ingat lagi~!"


"Hari ini juga bisa-bisa kena matahari, yakin nggak apa-apa?"


"Aman kok~ Aku udah pakai sunscreen. Oh iya, Hime-chan juga udah aku bantuin pakai, jadi tenang aja."


"Iya. Aku sudah dibantu dengan sangat teliti."


"Baguslah. Kulit Hime dan Hijiri-san kan putih banget, pasti kalau kebakar matahari bakal parah."


"Iya. Kulitku cepat banget jadi merah..."


"Yohei-kun juga kulitnya putih, kalau terbakar matahari, jadi merah juga ya?"


"Kayaknya aku malah jadi hitam. Nggak terlalu perih juga, jadi sepertinya kulitku agak tahan."


"Enaknya~ Aku juga pengin jadi gelap."


"Kalau Onee-chan jadi gelap, kayaknya bakal lucu kayak telur rebus kecap, deh."


"Apa-apaan itu!? Jangan bilang aku bulat kayak telur rebus ya!"


"Nggak bermaksud gitu kok. Itu cuma perumpamaan... maksudku lucu, gitu."


"Lucu? Kalau gitu nggak apa-apa deh! Yang penting lucu, semuanya oke~"


...Begitulah, sambil ngobrol santai, kami menikmati arus santai di kolam. Tentu saja selama itu, aku terus menopang tubuh Hime.


Meski dia sudah pegangan sama pelampung dan kelihatannya aman, tetap saja rasanya dia lebih tenang kalau aku terus memegangnya.


Kurang lebih sekitar lima belas menit. Setelah satu putaran penuh di kolam arus, aku mulai merasa haus.


Hari ini juga sangat panas. Meski kami di air dan agak tertolong, sinar mataharinya tetap terik. Saat aku mengusulkan istirahat, Hijiri-san dan Hime langsung setuju.


Kami membeli minuman dari mesin otomatis dan duduk di bangku untuk beristirahat. Masing-masing memegang kaleng jus kecil.


Aku dan Hijiri-san langsung menghabiskannya, tapi Hime masih meminumnya perlahan. Dia memang selalu tenang.


Aku sih merasa nggak masalah kalau istirahat agak lama... tapi—


"Maaf! Aku mau berenang lagi ya!"


Hijiri-san yang ternyata masih belum puas main, langsung kembali ke kolam arus.


Sepertinya memang benar dia suka tempat-tempat hiburan. Padahal biasanya selalu ngantuk, tapi kali ini dia sangat aktif.


"...Hari ini karena ada Yohei-kun, Onee-chan bisa bebas main dan kelihatannya senang sekali."


Sambil menatap Hijiri-san yang sedang berenang gaya punggung, Hime berbisik pelan.


Dia memegang kaleng jus yang tadi dibeli dengan kedua tangan erat-erat. Matanya yang menyipit terlihat seperti sedang merasa lega.


"Biasanya, Onee-chan selalu menjagaku, jadi meskipun pergi ke tempat seperti ini, dia nggak bisa main dengan bebas. Aku sempat merasa bersalah soal itu... jadi aku senang kalau Onee-chan bisa bersenang-senang hari ini."


Seperti Hijiri-san yang sangat menyayangi Hime—


Hime pun, benar-benar sangat menyayangi Hijiri-san.


Aku bisa merasakan kasih sayang hangat antara kakak-adik. Mereka memang selalu akur.


"Bukan berarti aku menganggap Onee-chan merasa terbebani karena aku, sih. Tapi sesekali, aku ingin dia bisa main bebas tanpa perlu khawatirin aku."


"Kalau gitu, hari ini aku yang jaga kamu. Jadi Hijiri-san bisa main sepuasnya."


Setelah aku bilang begitu, Hime mengangguk pelan.


"Yohei-kun ada di sisiku, dan aku juga sangat senang."


"Aku juga senang bisa bareng Hime."


"Ah, tapi... kalau Yohei-kun nanti pengin main juga, bilang ya? Nanti aku bakal minta tolong Onee-chan untuk gantian jagain aku."


Dia juga memikirkan aku. Tapi, untukku, rasanya agak beda dari Hijiri-san.


"...Kalau bareng Hime, rasanya lebih menyenangkan."


Aku sengaja mengulangi kata-kata yang mirip dengan yang barusan.


Karena, memang itu perasaanku yang sebenarnya. Di sini memang ada kolam arus dan seluncuran air, tapi dibanding semua itu, rasanya jauh lebih menyenangkan berada bersama Hime.


Aku datang ke tempat ini bukan karena tertarik dengan fasilitas kolam renangnya.


Aku datang karena Hime dan Hijiri-san ada di sini. Makanya aku nggak perlu merasa sungkan atau menahan diri.


"Ehhehe."


Perasaanku sepertinya sampai ke Hime. Dia tersenyum. Dengan wajah polos, dia menatapku.


"Kalau begitu... aku mau manja banyak sama Yohei-kun, ya."


Setelah berbisik begitu, Hime mulai meminum sisa jusnya.


Kalengnya kecil, tapi mungkin isinya masih terlalu banyak buat Hime. Setelah minum sebagian, sepertinya perutnya sudah penuh. Dia menyodorkan kaleng itu ke arahku.


"Aku udah nggak bisa habisin. Boleh minta tolong Yohei-kun yang minum sisanya?"


"Boleh? Kalau gitu, aku minum ya."


Itu jus jeruk yang sudah diminum sebagian. Biasanya aku lebih sering minum minuman bersoda, jadi kupikir, sudah lama juga aku nggak minum yang seperti ini.


(...Apa rasanya memang semanis ini?)


Begitu menyentuh lidahku, rasanya lebih manis dari yang kuingat, dan terasa agak aneh.


Mungkin karena sudah lama nggak minum, ya.


Mungkin juga karena tadi aku secara tidak langsung berbagi ciuman dengan Hime.


Tentu aku menyadari hal itu, tapi karena Hime sendiri tampak tidak terlalu memikirkannya... rasanya aneh kalau justru aku yang lebih sadar soal itu, jadi kuputuskan untuk tidak terlalu dipikirkan.


Isinya tinggal sedikit. Di tegukan kedua, aku menghabiskannya sekaligus.


Iya, ternyata jus jeruk memang manis banget.


"Yohei-kun, bolehkah aku minta satu permintaan egois?"


"Ya, tentu."


Jawabanku cepat. Selama aku bisa, aku akan melakukannya dengan senang hati.


Itu terjadi tepat setelah aku meminum jus. Saat kami duduk berdampingan di bangku, Hime menunjuk ke satu arah.


"Boleh aku latihan berenang di sana?"


Aku mengikuti arah pandang Hime. Di sana ada kolam kecil khusus anak-anak.


Memang, kolam itu dangkal dan pas untuk latihan berenang.


"Boleh aja. Hijiri-san... yah, seharusnya nggak masalah sih."


"Itu juga dekat kok. Lagipula, Onee-chan pasti bisa menemukan aku di mana pun, dan dia pasti datang pas waktu istirahat nanti."


Tadinya aku berpikir untuk memanggil Hijiri-san yang sedang bermain di kolam arus, tapi kurasa nanti saja. Lagipula Hime bilang tak masalah, jadi kami pun menuju kolam anak-anak berdua.


Begitu masuk air, hal pertama yang kulakukan adalah mengecek kedalaman. Airnya setinggi atas lututku, dan kira-kira setinggi pusar untuk Hime. Kedalaman segini cukup aman dan juga ideal untuk latihan.


"Hime bisa membenamkan wajah ke air?"


"Iya. Kalau itu sih bisa."


Hime langsung menunjukkan dengan mempraktekkannya.


Dia membenamkan wajah tanpa ragu. Seperti yang dia bilang tadi, dia memang belum punya pengalaman berenang, tapi bukan berarti dia takut air.


Kalau begini, sepertinya dia akan cepat bisa.


"Pertama-tama, aku harus mulai dari mana, ya? Berenang seperti Onee-chan kelihatannya sulit."


"Itu masih terlalu cepat buatmu."


Hijiri-san, meski kelihatan begitu, ternyata cukup jago dalam olahraga. Dia bahkan bisa backstroke, butterfly, dan gaya dada. Sepertinya dia lebih jago dari aku dalam hal berenang.


"Kita coba mulai dari tendangan kaki dulu, ya?"


"Tendangan kaki?"


"Iya. Aku akan pegang tanganmu, dan kamu gerakkan kakimu seperti sirip—kayak ikan gitu. Nanti kamu akan maju ke depan."


"Tangan? Berarti aku harus pegang tangan Yohei-kun, ya."


Saat aku mengulurkan kedua tanganku ke Hime, dia langsung menggenggam erat tanpa ragu.


Jari-jarinya kecil. Aku menggenggamnya dengan lembut, cukup kuat untuk bisa menopangnya tapi tetap hati-hati supaya tidak menyakitinya, lalu menyuruhnya mulai melakukan tendangan kaki.


"Aku harus memiringkan badan, ya? Menyerahkan tubuh ke daya apung air."


"Betul. Jangan melawan daya apung. Biarkan tubuhmu rileks."


Seperti yang kuduga dari gadis jenius ini. Kalau dia sudah paham konsep daya apung, akan lebih mudah menjelaskannya.


Hime memang tipe pemikir. Dia akan memikirkan prinsipnya dulu, baru bertindak.


"Agar daya apung maksimal, aku harus menghadap ke bawah dengan perutku—tapi kalau tegang malah mengganggu postur. Jadi, dalam posisi ini, aku hanya akan menggerakkan ujung kaki untuk menciptakan dorongan ke samping."


Setelah bergumam pelan begitu, Hime langsung menyelam ke air.


Tanpa ragu. Sesuai teori, dia menghadap ke bawah. Tangan kami masih saling menggenggam, jadi aku menariknya dengan lembut untuk mendukung gerakannya.


"Nnmm."


Hime menggerakkan kakinya sambil mengangkat wajah ke permukaan air. Berkat itu, meski perlahan, dia tetap bisa maju ke depan.


"Wah. Kamu udah bisa berenang, tuh."


Saat kukatakan itu ke Hime, dia menghentikan kakinya dan berenangnya. Lalu dia meloncat kecil dengan wajah penuh keceriaan.


"Benarkah? Aku benar-benar bisa berenang?"


"Iya, kamu hebat."


"...Yeay."


Dia tampak sangat senang, sampai aku ingin sekali mengelus kepalanya.


Tapi Hime masih menggenggam tanganku, jadi sulit untuk menggerakkan tangan. Malah kedua tanganku dipegang. Gerakanku terbatas, tapi perasaannya yang manja justru bikin aku nggak keberatan.


"Kali ini, aku ingin kamu coba latihan mengambil napas sambil wajahmu masuk air... bisa kan? Kalau kamu takut air, kita nggak perlu sampai situ, kok."


"Nggak, nggak apa-apa. Aku mau coba."


Setelah itu, kami mencoba latihan yang sedikit lebih sulit.


Tapi Hime bisa melakukannya dengan mudah. Kalau dia bisa berenang tanpa memegang tanganku, bisa dibilang dia sudah menguasai tendangan kaki.


"Apa Hime sebenarnya punya bakat renang, ya?"


Dia lebih cepat berkembang dari yang kupikir. Padahal dia sering bilang tidak percaya diri dalam olahraga. Aku sempat mengira dia bakal kesulitan.


"Aku juga kaget. Tadinya aku nggak yakin... tapi mungkin karena Yohei-kun menggenggam tanganku, jadi aku sama sekali nggak merasa takut."


Dan lagi-lagi dia bilang hal yang menggemaskan begitu.


Tentu saja aku senang. Tapi karena agak malu juga, aku jadi ingin menyembunyikan senyumanku.


Tapi karena Hime terus menggenggam tanganku, aku tak bisa menyembunyikan rasa malu ini… dan melihatku seperti itu, Hime malah tersenyum nakal.


"Ini balasan karena kamu sudah memujiku banyak. Kamu senyum-senyum sendiri, ya, Yohei-kun."


"Yah, aku senang, jadi ya wajar saja."


"Senang, ya?"


Aku mengaku kalah dengan jujur dan mengangkat bahu. Saat itu, Hime menggenggam tanganku lebih erat lagi. Seolah-olah ingin bilang, jangan sampai lepas.


"Eh-hehe. Yohei-kun, bolehkah aku minta waktumu sedikit lebih lama?"


"Iya. Akan lebih baik kalau hari ini kamu bisa berenang tanpa harus bergantung pada tangan, ya."


Dengan perkembangan ini, kurasa pada akhirnya dia bisa belajar gaya bebas juga. Begitu kupikir… tapi Hime tampaknya tidak terlalu bersemangat.


"Melepas tangan… kurasa itu masih terlalu cepat. Aku belum bisa benar-benar merasakan bagaimana cara mengendurkan tubuhku di air. Kalau tidak menggenggam tanganmu, rasanya tubuhku tenggelam."


"Tak apa kok, jangan memaksakan diri."


"…Yah, memang itu alasannya. Tapi sejujurnya, ada alasan lain juga."


"Alasan lain?"


"Iya. Rasanya sayang sekali kalau harus melepas tanganmu, Yohei-kun."


Pantas saja, dari tadi dia tak mau melepas genggamannya. Hime benar-benar menikmati menggenggam tanganku. Anak ini sungguh… selalu saja membuat hatiku terasa geli.


Memang sih, melepas tangan mungkin akan lebih efektif untuk latihan renang. Tapi setelah mendengar hal semanis itu, mana mungkin aku bisa melepasnya?


Yah, biarlah. Dia bisa benar-benar berenang sendiri lain kali. Dengan pemikiran seperti itu, aku pun terus menemaninya latihan di kolam anak-anak.


Tentu saja, sambil tetap berpegangan tangan.


Saat aku masih menemani latihan Hime di kolam anak-anak, Hijiri-san datang mendekat dengan wajah yang terlihat puas.


"Ah, itu Onee-chan."


"Yahho~ Maaf ya, aku malah main sendiri."


Suasana hatinya terlihat sangat baik. Mungkin karena selama liburan musim panas dia terus disibukkan dengan tugas dan pelajaran tambahan. Waktu bertemu pun wajahnya sering terlihat cemberut, jadi rasanya sudah lama sekali aku tak melihat senyumnya yang lebar seperti ini.


"Aku juga sempat seluncuran di water slider loh. Baru lima kali sih."


"Lima kali…?!"


Mungkin yang paling menikmati ini semua sebenarnya adalah Hijiri-san.


Aku dan Hime memang bersenang-senang juga, tapi cara Hijiri-san bersenang-senang itu beda levelnya.


"Kalian sedang ngapain~?"


"Aku diajari cara berenang oleh Yohei-kun."


"Eh? Hime-chan udah bisa berenang?"


"Iya. Lihat ya, Onee-chan."


Setelah itu, Hime menggenggam tanganku lagi, jadi aku menariknya seperti tadi. Hime berenang dengan gaya kaki katak dan memperlihatkannya pada Hijiri-san.


"O-oh… jadi begitu caranya berenang, ya."


Sementara itu, Hijiri-san tampak sedikit kaget. Entah karena terkejut melihat Hime berenang, atau karena hal lain.


Dia juga sempat melirikku seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi karena Hime berhenti dan mengangkat wajah dari permukaan air, aku kehilangan timing untuk bertanya.


"Onee-chan, ada yang aneh?"


"Ah, ehm… tangannya… hmm, nggak, nggak apa-apa!"


"…Onee-chan aneh. Yah, meski biasanya juga memang aneh sih."


"Aku nggak aneh!"


Percakapan mereka benar-benar seperti kakak-adik pada umumnya.


Hijiri-san menarik napas seperti berusaha menenangkan diri, lalu menatap Hime lagi. Dari sisi kolam, dia menatap adik tercintanya dengan tatapan lembut.


"Hime-chan hebat, ya~. Sekarang sudah bisa berenang sejauh itu."


"Itu semua berkat Yohei-kun."


Hime membusungkan dadanya dengan bangga. Dia pasti senang dipuji oleh Hijiri-san. Pipi Hime juga tampak lebih merah dari biasanya, dia tampak sangat bersemangat… atau mungkin lebih tepatnya, sedikit terbawa suasana.


Suaranya juga terdengar lebih tinggi dari biasanya. Jadi lebih mudah didengar sih, tapi artikulasinya sedikit kacau, dan aku merasa dia sedang tidak sepenuhnya tenang.


Kalau dia sampai menikmati ini semua sampai segitunya, tentu aku juga senang. Tapi tetap saja, aku merasa sebaiknya aku juga memperhatikan keadaannya dengan saksama.


Rasanya seperti orang tua yang mengawasi anak kecil yang terlalu semangat saat berada di festival atau taman bermain.


(Aku jadi terlalu protektif, ya…)


Aku pun menyadarinya. Terhadap Hime… aku merasa seperti punya perasaan lebih dari sekadar adik.


Mungkin karena itu, aku jadi terlalu waspada dan tak ingin melewatkan satu gerakannya pun.


Padahal dia bukan adikku. Tapi kenapa aku sampai sebegini khawatir?


Bisa jadi, bagi sebagian orang aku terlihat terlalu ikut campur atau terlalu mencemaskan hal yang tak perlu.


Tapi setidaknya untuk kali ini… perasaan ini terhadap Hime membawaku pada tindakan yang tepat.


"Hime-chan, gimana kalau sekarang kita istirahat sebentar?"


"Begitu ya. Boleh aku beli minuman?"


"Tentu~"


Saat kami mau naik dari kolam untuk istirahat.


Karena sepertinya kami sudah tidak perlu lagi berpegangan tangan, aku pun melepasnya lalu berjalan keluar dari kolam.


Hijiri-san sudah lebih dulu berjalan tanpa melihat ke arah kami.


Aku pun naik dari sisi kolam dan mengikuti Hijiri-san.


Setelah melangkah beberapa langkah, tiba-tiba aku merasa ada yang janggal dan berhenti.


Tadi rasanya Hime ada di belakangku.


Aku pikir dia mengikuti, tapi saat aku menoleh tanpa sadar, aku baru sadar dia belum keluar dari kolam.


(Hah? Ini…?)


Ada yang tidak beres. Begitu aku menyadarinya, aku langsung melompat kembali ke dalam kolam secara refleks.


"──Eh?"


Hijiri-san menyusul dan berseru. Baru pada saat itulah aku akhirnya bisa memahami situasinya.


(Hime tenggelam.)


Tak salah lagi. Dalam sekejap aku lengah, sesuatu terjadi pada Hime.


"Uhuk. Prpfff."


Suara batuk kecil terdengar. Sekitar satu meter dari tepi kolam, Hime berusaha menggapai permukaan air, terlihat kesulitan. Karena ia tampak berjuang keras untuk mengangkat wajahnya ke atas air, aku langsung mengulurkan tangan dan menopang tubuhnya.


"Hime, kamu nggak apa-apa."


Suara yang keluar lebih tenang dari yang kukira.


Dari belakang, aku merangkul tubuhnya dan meletakkan tangan di perutnya untuk mengangkatnya sedikit. Kulakukan itu karena gerakan kakinya yang panik justru membuat posisinya makin tak stabil.


"......"


"Tenang. Tarik napas perlahan, ya."


Mungkin dia sempat menelan sedikit air. Sambil terus mengusap punggung Hime yang masih terbatuk-batuk, aku mencoba menenangkannya dengan suara lembut.


Lalu, tiba-tiba tubuh Hime menjadi lemas.


Beberapa detik sebelumnya ia masih panik, tapi begitu aku menyentuhnya, dia langsung melepas seluruh ketegangan dari tubuhnya. Dia bersandar padaku dan, sesuai ucapanku, mulai menarik napas dalam-dalam.


"Suuu... haa... fuu..."


Akhirnya, dia tampak tenang.


Bukan tenggelam, lebih tepatnya hampir tenggelam.


Untung aku segera menyadarinya dalam beberapa detik. Kadang, sikap terlalu protektif ternyata berguna juga.


"Hime-chan!? A-apa kamu baik-baik saja!?"


Dengan ekspresi panik, Hijiri-san berlari mendekat.

Wajahnya pucat. Kelihatan jelas kalau dia sangat mengkhawatirkan Hime.


"...Maaf."


Ucapan pertamanya adalah permintaan maaf—benar-benar mencerminkan kepribadian Hime.


Padahal dia pasti ketakutan karena hampir tenggelam, tapi perasaannya tentang telah merepotkan orang lain tampaknya jauh lebih kuat.


Tapi ini murni kecelakaan. Dia tidak perlu minta maaf. Untuk menyampaikan itu, aku mengelus kepala Hime dengan lembut.


"Yang penting, kamu selamat tahu."


"...Semua berkat kamu, Yohei-kun."


"Nggak, justru aku yang minta maaf. Aku sempat lengah."


"Fweeehh... aku juga minta maaf! Padahal aku harusnya menjaga Hime-chan lebih baik…!"


Hijiri-san hampir menangis. Dia langsung melompat ke kolam dan memeluk Hime—dan aku juga kena peluk dari belakang.


Dari belakang aku. Dari depan Hijiri-san. Hime terhimpit di tengah dan kelihatan sedikit kesulitan bernapas.


"O-Onee-chan? Sekarang aku malah nyaris tenggelam karena dadamu…"


"Jangan tenggelam lagi! Hiks... uuh, Hime-chaan…"


Hime tidak menangis. Bahkan di saat seperti ini, ekspresinya nyaris tak berubah.


Sebaliknya, Hijiri-san menangis seolah menggantikan adiknya. Dia benar-benar ekspresif.


Dan tangisannya pun dramatis. Air mata dan ingus bercucuran, wajahnya pun berantakan. Mungkin karena itu terlihat agak lucu, Hime pun tertawa kecil.


"Onee-chan, berhenti. Wajah menangismu lucu banget."


"A-apa yang sebenarnya terjadi?"


"Aku terpeleset. Waktu berusaha berdiri lagi, tubuhku nggak bisa kugerakkan seperti biasa, terus aku panik. Padahal kalau tetap tenang, seharusnya nggak tenggelam karena kedalamannya masih bisa kugapai... Tapi kayaknya aku kehilangan kendali."


Hari ini Hime memang terlihat lebih bersemangat dari biasanya.


Mungkin karena itu juga dia agak sulit mengendalikan diri. Yang penting, Hime selamat. Itu sudah cukup.


"Terima kasih, Yohei-kun."


"Nggak masalah, jangan pikirin."


Setelah menjawab begitu, aku baru sadar masih mengangkat Hime. Aku mulai menurunkan tubuhnya.


Tapi Hime menolak untuk melepas pelukanku.


(Apa mungkin dia masih takut?)


Meski cuma sebentar, dia baru saja hampir tenggelam. Wajar kalau muncul rasa takut.


"Sejujurnya, tadi aku panik banget… Tapi begitu Yohei-kun menyentuhku, kepalaku langsung jernih. Semua ketegangan hilang, dan aku nggak sempat menelan air terlalu banyak."


"Syukurlah aku sempat datang tepat waktu. Sebenarnya, aku harusnya tetap menggandeng tanganmu sih."


Ini bukan saatnya membanggakan diri karena berhasil menolong. Idealnya, aku tak seharusnya melepaskan perhatian dari Hime sejak awal.


Aku seharusnya memastikan dia benar-benar sudah keluar dari kolam. Aku benar-benar menyesal. Mungkin ini berlebihan, tapi di tempat seperti kolam renang, sikap terlalu hati-hati memang diperlukan.


(Kalau sampai dia jadi takut air…)


Padahal dia sudah mulai bisa berenang.


Kalau dia sampai jadi takut air, itu sepenuhnya salahku. Aku harus terus mengawasinya sampai dia benar-benar bisa berenang dengan percaya diri.


Saat aku memikirkan itu—


"Yohei-kun, lihat ini."


Tiba-tiba, Hime melepaskan diri dariku.


Kupikir dia akan memelukku lebih lama, tapi ternyata tidak—dia menundukkan kepala ke air, lalu mulai mengayuh dengan kakinya dan berenang sampai ke tepi kolam.


Baru saja tadi dia enggan melepaskan tanganku.


"Aku sudah bisa berenang. Untungnya, karena hampir tenggelam tadi, aku jadi bisa merasakan cara melepaskan ketegangan dari tubuh."


...Sepertinya, dia menangkap kekhawatiranku.


Karena dia anak yang cerdas, dia sengaja berenang untuk menenangkanku.


"Hime-chan, hebat. Tanpa kusadari, kamu sudah tumbuh sejauh ini…"


Hijiri-san juga menyaksikan pencapaian Hime.


Air matanya masih ada, tapi kini karena terharu. Aku sempat merasa dia terlalu berlebihan… tapi kemudian—


"Hime…!"


Ternyata aku juga nggak beda jauh.


Melihat Hime berenang, aku refleks bertepuk tangan.


Ternyata aku lebih senang daripada yang kusadari saat melihat dia akhirnya bisa berenang.


"Eh-hehe. Kalian berdua lebay banget deh."


Dia mungkin nggak menyangka akan mendapat reaksi sebesar ini.


Hime tertawa malu-malu. Tak terlihat lagi bayangan ketakutan seperti saat dia nyaris tenggelam tadi.


"Yuk, kita naik. Aku agak capek."


"Ya, ayo. Kita istirahat sambil minum jus, yuk."


"Baik. Biar aku saja yang beli. Kalian berdua istirahat aja, ya."


Kami bertiga pun naik dari kolam dan berjalan santai.

Kulihat langkah Hime stabil, tak ada yang aneh.


(Syukurlah. Sepertinya ini nggak akan jadi trauma.)


Dengan sedikit latihan lagi, dia pasti bisa berenang dengan lancar.


Dan yang paling membuatku bahagia—hari ini tidak diakhiri dengan rasa takut, tapi menjadi kenangan yang menyenangkan.




~Selingan 2~ : Tekad Hoshimiya Hijiri


Setelah bermain di kolam renang.


Waktu sudah malam. Sepulangnya dari sana, kedua saudari itu mandi, makan malam, dan setelah segalanya selesai…


Hijiri mengusulkan sesuatu pada adiknya.


"Memang agak cepat, tapi bagaimana kalau kita tidur sekarang?"


"…Baik."


Hime mengangguk, tapi tatapan matanya tampak kosong. Hal itu membuat Hijiri khawatir.


(Dia seperti melamun.)


Sejak pulang, sikap Hime memang tampak aneh. Mungkin dia lelah karena kejadian di kolam renang. Dengan pikiran itu, Hijiri memutuskan untuk mematikan lampu lebih awal hari ini.


Meskipun begitu, mereka tidak mematikan lampu sepenuhnya. Seperti biasa, mereka hanya menyalakan lampu tidur.


Yah, sebenarnya bukan Hime, tapi Hijiri yang takut pada kegelapan.


Berkat itu, meski kamar cukup gelap, mereka masih bisa melihat samar-samar ekspresi satu sama lain.


"…Hime-chan, kamu belum tidur?"


Sekitar sepuluh menit berlalu.


Hijiri melirik dengan mata setengah terpejam, memperhatikan Hime yang tak juga memejamkan mata. Akhirnya, dia bertanya karena penasaran.


"Jangan-jangan kamu terlalu lelah sampai nggak bisa tidur?"


"…Bukan, bukan karena itu."


Begitu menjawab, Hime menatap Hijiri dengan ekspresi heran.


Dia meletakkan tangan di dadanya dan memiringkan kepala. Jelas sekali dia sedang memikirkan sesuatu yang mengganggunya.


"Onee-chan… aku merasa agak… cemas."


"Cemas? Eh, kenapa!? Hime-chan, kamu nggak enak badan…?"


"Mungkin. Rasanya tubuhku agak aneh."


Hime bukan tipe yang suka membuat orang lain khawatir. Bahkan kalau merasa sakit, dia akan menahan diri sampai batas terakhir.


Karena itu, saat mendengar kata-katanya, wajah Hijiri langsung pucat.


(Ternyata waktu hampir tenggelam tadi memang ada apa-apa…!)


Setelah mendengar lebih lanjut, Hijiri bertekad akan segera meminta bantuan Mei dan membawanya ke rumah sakit.


Dia menyimak perkataan Hime dengan serius.


Awalnya Hime tampak ragu, tapi akhirnya dia menguatkan hati dan berbisik,


"Dadaku… berdebar terus, nggak berhenti."


Hime menggenggam tangan Hijiri dan menempelkannya ke dadanya.


Deg… deg…


Memang terasa detak jantungnya berdetak kuat. Meski tidak terlalu cepat, tapi iramanya jelas terdengar keras.


(Berdebar…? Berdebar itu maksudnya… deg-degan, kan?)


Awalnya Hijiri hampir panik, mengira ini sesuatu yang gawat.


Tapi setelah mengingat bahwa "berdebar" berarti deg-degan, dia tiba-tiba menjadi sangat tenang.


(Eh? Deg-degan? Jangan-jangan…)


Ada satu alasan yang langsung terlintas di benaknya.


"Itu sakit nggak, Hime-chan? Kamu merasa nggak enak badan, atau…?"


"Sejak kapan ya… Sepertinya sejak terpeleset di kolam renang."


Kalau dilihat dari satu sisi, pernyataan itu memang benar. Tapi dari sudut pandang lain, penjelasannya bisa jadi seperti ini:


"Saat Yohei menolong kamu, ya."


"…Yup."


Begitu nama Yohei disebut, Hime langsung menggenggam dadanya erat-erat.


"Deg! Rasanya seperti jantungku berhenti sebentar. Sepertinya aku memang sakit."


"Aah… hmm, iya, mungkin… 'sakit', ya…"


Hijiri sudah paham. Dia tahu persis kenapa jantung adiknya berdebar begitu hebat.


(Hime-chan… jelas-jelas jatuh cinta, kan…!?)


Kalau cuma mendengar nama Yohei saja bisa membuatnya deg-degan, itu jelas cinta. Dan mengira itu penyakit… reaksinya klasik banget, sampai-sampai manga pun mungkin nggak akan pakai cerita se-klasik ini.


(Ya, sih… dia ditolong waktu panik, jadi kalau langsung jatuh cinta itu nggak aneh juga.)


Sejak saat itu, Hime kadang melamun. Hijiri sadar, itu karena perasaan sukanya pada Yohei jadi makin besar.


Dan ini mungkin akan jadi titik balik besar.


(Haruskah aku jelaskan? Atau… aku alihkan saja?)


Hijiri sedang dihadapkan pada pilihan besar: mana yang terbaik untuk Hime?


"Rasanya makin parah, Onee-chan. Kalau begini terus, lebih baik kita minta bantuan Mei-san buat ke rumah sakit."


"Ah—tunggu. Kayaknya… kamu nggak perlu sampai ke rumah sakit, deh."


Hijiri benar-benar tidak menyangka Hime bisa sampai segitunya hanya karena mengingat Yohei.


Kalau sudah begini, rasanya sulit untuk menunda memberitahunya.


Soalnya Hime sudah dalam kondisi "bermasalah".


(Mei-chan… nggak bisa diandalkan soal cinta. Orang itu juga kelihatannya nggak ngerti apa-apa.)


Mei, sang maid keluarga Hoshimiya, memang bisa diandalkan dalam banyak hal, tapi untuk urusan hubungan lawan jenis? Jelas bukan andalannya.


Dia sangat pemalu dan sepertinya tidak tertarik sama sekali pada cinta. Kalau Hime bilang dadanya berdebar, Mei pasti akan langsung membawa Hime ke rumah sakit. Dia tidak akan sadar bahwa ini soal cinta. Begitu pikir Hijiri.


Artinya, ini saatnya Hijiri yang harus berperan.


"Tapi, detak jantung secepat ini tuh aneh, kan?"


"Itu karena… hmm… mungkin karena Yohei, Hime-chan?"


"Karena Yohei-kun?"


Hime terlihat bingung.


Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia mengerti maksud dari semua ini, membuat Hijiri tak bisa menahan senyum kecut.


(Biasanya kamu cepat nangkep apa pun, tapi soal cinta… kamu belum mengerti, ya.)


Andai saja Hime bisa sedikit sadar, penjelasan berikutnya bakal jauh lebih mudah.


Hijiri sempat berharap, karena Hime adalah gadis jenius, dia akan langsung mengerti... tapi sayangnya, reaksi yang diharapkan tak kunjung datang.


"Aku rasa ini bukan karena ulah Yohei-kun."


"Tapi, kalau kamu mengingat Yohei, bukankah kamu merasa sesak napas?"


"Itu... mungkin benar."


Hijiri perlahan mendorong Hime untuk menyadari perasaannya.


Meski begitu, Hijiri sendiri belum memutuskan apakah sebaiknya ia jujur atau justru menyembunyikan soal cinta ini. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin Hime memahami situasinya.


"Kalau hanya dengan memikirkan Yohei saja, rasanya dadamu nyesek, tubuhmu jadi panas, dan napasmu jadi berat, kan?"


"Keren banget. Onee-chan kayak cenayang ya?"


Hime terlihat benar-benar kagum.


Biasanya Hime sering memandang Hijiri dengan tatapan pasrah, tapi kali ini, ia menatap penuh kekaguman dan hormat. Hijiri merasa senang, tapi juga khawatir karena itu berarti Hime masih belum menyadari apa-apa.


(Aku juga nggak punya pengalaman cinta sih... semua ini cuma pengetahuan dari drama dan manga...)


Hijiri memang populer di kalangan lawan jenis. Ia sadar betul soal itu, dan sudah beberapa kali menerima pernyataan cinta.


Tapi baginya, tidur dan makan jauh lebih penting daripada cinta. Kalau dibandingkan dengan Mei, Hijiri mungkin sedikit lebih baik, tapi ia juga bukan orang yang bisa memberi nasihat soal cinta.


(Yah... sebenarnya, ada satu orang yang kupikir ‘mungkin aku bisa bersama orang ini’...)


Namun, orang itu adalah orang yang saat ini disukai Hime. Dan soal perasaan itu pun, Hijiri belum benar-benar bisa merapikannya.


(Ugh, kayaknya aku emang nggak sanggup...)


Hijiri tidak yakin bisa membimbing Hime yang masih belum sadar akan perasaannya sendiri.


Dalam kondisinya sekarang, Hijiri merasa dirinya setengah-setengah.


(Yohei dan Hime juga udah akrab sekarang... mungkin lebih baik hubungan mereka tetap kayak sekarang aja.)


Akhirnya, Hijiri memutuskan untuk menyembunyikan segalanya. Ia merasa itulah jalan terbaik bagi Hime.


"Karena main bareng Yohei itu sangat menyenangkan, Hime masih kebawa semangatnya. Kalau sudah lewat waktu, pasti tenang sendiri."


"Benar juga... aku memang sangat senang. Mungkin karena itu aku jadi bersemangat... jadi perubahan aneh di tubuhku ini bisa jadi karena perasaan itu."


Hime benar-benar polos. Ia langsung mengangguk dengan yakin tanpa sedikit pun mencurigai kata-kata Hijiri.


(Oke. Kayaknya aku berhasil menutupi semuanya.)


Sebagai kakak, Hijiri merasa sedikit tidak berguna karena tak bisa membimbing adiknya dengan benar.


Tapi, pada titik ini, ini adalah pilihan terbaik yang bisa diambil.


Hijiri hendak mengalihkan pembicaraan ke topik lain yang lebih jauh. Namun, Hime lebih dulu berbisik pelan.


"Berarti... Yohei-kun itu orang yang spesial bagiku, ya."


Orang yang spesial. Hime sadar bahwa ia menganggap Yohei sebagai sosok yang penting.


Namun, Hijiri tidak mengerti kenapa Hime tidak menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Yohei... sampai akhirnya mendengar kata-kata berikutnya.


"──Yohei-kun adalah orang yang aku sayangi... sama besarnya seperti aku menyayangi Onee-chan."


...Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi Onii-chan. Hijiri langsung terdiam dengan mata membelalak.


(Jangan-jangan... buat Hime, rasa ‘sayang’ yang paling besar adalah perasaan terhadapku?)


Bagi Hime, ‘cinta’ berarti kasih sayang—bukan cinta romantis. Ia tidak tahu ada bentuk cinta lain selain yang ia rasakan terhadap kakaknya.


Bahkan terhadap Mei pun, karena mereka tinggal serumah, perasaan itu tidak jauh dari rasa kekeluargaan. Itulah kenapa Hime tak bisa memahami konsep ‘cinta romantis’.


Karena perasaan itu tidak pernah ia temui sebelumnya.

Kalau dipikir-pikir, semuanya jadi masuk akal.


(Alasan kenapa Hime ingin menjodohkanku dengan Yohei, dan jadi adik ipar...)


Jika kasih sayang adalah bentuk cinta tertinggi bagi Hime, maka menjadi adik ipar adalah wujud puncak dari ekspresi cintanya.


Mungkin menurut Hime, menjadi adik dari Yohei jauh lebih berharga dibanding menjadi pacarnya.


(Waktu Yohei bilang ‘aku ingin kamu jadi adikku karena kamu imut banget’, Hime kelihatan senang banget... berarti emang kayak gitu, ya.)


Sekitar tiga bulan lalu, saat Yohei dikenalkan di rumah, Hime terlihat sangat bersemangat saat mengulang ucapan itu.


Waktu itu, Hijiri tak terlalu memikirkannya. Tapi kalau Hime benar-benar memandang kasih sayang sebagai bentuk cinta tertinggi, maka kalimat itu terdengar seperti... lamaran.


(Buat Hime, itu udah sama aja kayak dilamar...!)


Titik-titik itu akhirnya terhubung.


Hijiri, yang semula kesulitan memahami perasaan Hime, akhirnya bisa mengerti sekarang.


Bukan berarti Hime tak sadar. Ia paham bahwa dirinya sangat menyayangi Yohei. Tapi ia menyalahartikan perasaan itu.


Ia menganggap perasaannya terhadap Yohei sama dengan perasaannya terhadap Hijiri.


(...Tapi, mungkin nggak apa-apa kalau tetap begini.)


Untuk sekarang, situasi ini adalah kebahagiaan terbesar bagi Hime.

Bahkan, Hime mungkin akan lebih bahagia jadi adik daripada jadi pacar. Kalau begitu, bisa jadi Hime akan mendukung hubungan Hijiri dan Yohei jika itu terjadi.


Kalau begitu, tak perlu menjelaskan apa-apa. Kalau semua tetap seperti ini, Hijiri pun bisa mengabaikan perasaan cintanya yang mulai tumbuh.


Bagi Hijiri, dan bagi Hime yang sekarang, pilihan terbaik adalah... tidak mengatakan apa pun.


"Hime-chan itu, aku rasa... kamu ‘menyukai’ Yohei sebagai seorang laki-laki, tahu?"


Tapi tanpa sadar, Hijiri mengatakannya.


Ia tahu, akan lebih tenang kalau tidak berkata apa-apa. Itu pun akan lebih menguntungkan baginya sendiri.


Namun Hijiri adalah kakak bagi Hime.


(Buat Hime yang sekarang, mungkin lebih baik tidak tahu. Tapi buat Hime di masa depan... dia pasti akan menyesal.)


Yang paling ia inginkan adalah kebahagiaan Hime.


Dan kebahagiaan Hijiri pun baru akan berarti jika Hime bahagia.


Kalau itu memang demi kebahagiaan adiknya, Hijiri rela menyingkirkan perasaan kecilnya terhadap Yohei. Lagipula, ia sendiri belum yakin apakah perasaan itu benar-benar cinta. Setidaknya, perasaan itu tidak sebanding dengan milik Hime.


Perasaan sekecil itu tidak layak dipertahankan jika harus mengorbankan kebahagiaan adiknya. Maka, Hijiri pun menepisnya.


"Hime-chan sedang jatuh cinta."


Saat itu juga, Hijiri merasa seolah ia akhirnya menemukan keberanian.


Selama ini, Hijiri selalu merasa ragu. Karena itulah ia tidak pernah yakin dengan kata-katanya dan tidak bisa mengatakannya dengan tegas.


Tapi sekarang, dia merasa bisa menyampaikannya dengan benar.


"Ini... cinta, ya?"


"Iya. Hime-chan itu sebenarnya ingin jadi pacarnya Yohei."


"...Aku masih belum benar-benar mengerti."


Hime bergumam pelan dan menggigit bibirnya rapat-rapat.

Ekspresinya tak begitu cerah. Dia masih terlihat belum bisa menerima sepenuhnya.


"Hime-chan. Perasaanmu padaku dan perasaanmu pada Yohei itu, sebenarnya punya makna yang berbeda, tahu?"


"Tapi kan sama-sama 'suka', ya?"


Hime cenderung memikirkan segala sesuatu dengan logika. Karena itu, dia cepat memahami hal-hal yang punya penjelasan prinsip yang jelas. Tapi justru karena itulah, dia lemah dalam hal-hal yang menyangkut emosi yang abstrak.


Dengan sabar, Hijiri pun terus menjelaskan.


"Perasaan 'suka' itu ada banyak jenisnya."


"...Tapi, kalau ingin jadi pacar, bukankah itu berarti paling suka? Aku suka Onee-chan dan Yohei-kun sama besarnya. Aku nggak bisa membandingkannya."


"Kamu nggak harus membandingkannya. Kamu bisa suka dua-duanya, kok... Onee-chan juga sayang banget sama Hime-chan. Tapi kan aku nggak ingin kamu jadi pacarku. Dan kamu juga nggak pengin aku jadi pacarmu, kan?"


"Itu memang benar. Tapi tetap saja..."


Hime masih menunjukkan ekspresi sulit.


Itu bukan karena dia sulit memahami, tapi lebih seperti… dia tidak ingin memahaminya. Ada perasaan bersalah yang terlihat di wajahnya.


"Soalnya, aku pikir Onee-chan lebih cocok menikah sama Yohei-kun."


Mendengar itu, Hijiri bisa meraba perasaan Hime.


(Apa mungkin... Hime-chan sengaja berpura-pura nggak sadar?)


Mungkin dia memang sengaja tidak melihat perasaannya sendiri. Karena kalau dia menyadarinya, dia harus mulai menolak gagasan bahwa Hijiri dan Yohei akan menikah.


"...Soalnya, Onee-chan pasti akan lebih bahagia. Yohei-kun itu orang yang hebat. Dia pasti akan mengutamakan Onee-chan, yang aku sayangi. Jadi..."


Pada akhirnya, dua bersaudara ini terlalu memikirkan satu sama lain.


Karena itu, terkadang mereka malah tidak sejalan. Padahal mereka sangat menyayangi satu sama lain, tapi justru karena itu mereka jadi saling menahan diri, dan hubungan mereka terasa tidak selaras.


Dulu, Hijiri pernah menangis saat sedang berdua dengan Yohei. Waktu itu dia merasa takut menjadi beban bagi adiknya, dan Yohei menghiburnya.


Itulah yang membuat hubungan kakak-beradik mereka semakin erat dan tetap baik sampai sekarang.


Situasinya sekarang sama seperti waktu itu.


Karena terlalu memikirkan Hijiri, Hime jadi menahan perasaannya sendiri.


Demi kebahagiaan kakaknya, dia siap mengorbankan dirinya sendiri.


Pantas saja dia terlihat sulit paham. Padahal biasanya Hime sangat cepat menyadari sesuatu.


Tapi kali ini, justru karena dia tidak ingin mengerti, akhirnya situasinya jadi seperti ini.


(Syukurlah... aku bisa menyadarinya.)


Hijiri merasa lega.


Dan di saat yang sama, dia merasa sayang sekali pada adiknya… lalu langsung memeluk Hime dengan erat.


"O-Onee-chan? Kenapa tiba-tiba peluk aku begitu?"


"...Kebahagiaanku itu, kalau Hime-chan bahagia."


Kemudian, dengan lembut, dia membetulkan kesalahpahaman Hime.


Seperti Hime yang sangat memikirkan Hijiri… Hijiri pun ingin menunjukkan bahwa dia juga memprioritaskan Hime lebih dari siapa pun.


"Jadi, kamu nggak boleh memendamnya. Hime-chan kan selalu bilang, ‘nggak perlu sungkan sama Onre-chan’, ya? Kamu suka Yohei, kan? Kalau kamu ingin jadi pacarnya, nggak apa-apa loh jujur sama perasaanmu."


"Aku nggak sedang menahan diri. Aku benar-benar... soal Yohei-kun itu..."


Hime tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya tidak keluar dengan lancar.


Dia memang anak yang jujur, jadi berbohong bukan hal yang bisa dia lakukan dengan mudah.


"Kamu ingin selalu bersama Yohei, kan?"


"............"


"Kalau mengingat dia aja udah bikin jantung berdebar, napas jadi sesak, kepala jadi melayang... itu tandanya kamu sangat menyukainya, kan?"


"............"


Hime tidak menjawab.


Dia hanya terus menunduk, menghindari kontak mata. Tapi dia juga tidak lagi menyangkal. Hijiri merasa tinggal sedikit lagi, lalu berkata pelan.


"Aku nggak akan menikah sama Yohei. Aku nggak mau menerima orang yang disukai banget sama Hime-chan. Makanya, kalau Hime-chan nggak melakukan apa-apa, bisa jadi Yohei malah jadian sama orang lain."


"............!"


"Memang sih, sekarang Yohei belum tertarik sama lawan jenis. Tapi ke depannya, siapa yang tahu? Kamu rela bakal kejadian kayak gitu?"


Hijiri sadar itu sedikit kejam. Tapi berkat kalimat itu, akhirnya Hime membuka mulut.


"Itu...!"


Ekspresinya langsung berubah. Terlihat cemas, bahkan panik, hingga membuat dada Hijiri terasa perih.


Tapi meski begitu… dia tetap tidak bisa membiarkan Hime terus memendam perasaannya.


"Bisa aja, suatu hari nanti, ada cewek lain yang tiba-tiba suka sama Yohei… tapi, kalau Hime-chan nggak suka Yohei sebagai cowok, itu nggak masalah, kan?"


Hijiri bertanya lagi.


Itu pertanyaan terakhirnya. Kalau Hime masih menolak, maka Hijiri akan menganggap Hime memang belum siap untuk urusan cinta, dan akan mengalihkan pembicaraan.


Dia berniat menutupnya dengan bercanda kalau perlu.


"──Nggak boleh."


Hime menggeleng kuat-kuat.


Dia tak lagi menghindar, tapi mulai menghadap langsung pada perasaan Hijiri.


"Aku nggak mau kalau orangnya bukan Onee-chan."


Perasaan yang selama ini ia sembunyikan, akhirnya Hime ungkapkan.


Biasanya dia selalu tenang dan dewasa, tapi sekarang… dia memperlihatkan ekspresi emosional seperti anak seusianya, dan mengucapkan kata-kata itu dengan sekuat tenaga.


"Aku tahu itu egois. Soal siapa yang disukai, itu kan haknya Yohei-kun... Tapi rasanya sesak sekali. Kalau Onee-chan yang bersama dia, aku masih bisa tahan. Tapi kalau aku bayangin orang lain, rasanya kayak mau nangis... Aku jadi mikir, apa aku ini aneh..."


"Hime-chan… mungkin itulah yang namanya 'cinta'. Itu artinya kamu menyukai Yohei sebagai laki-laki."


Aku kembali menyampaikan hal itu.


Tadi Hime tidak mau mencoba memahaminya. Tapi sekarang... dia sudah mau menerima kata-kataku dengan baik.


"Sebagai seorang laki-laki, aku menyukainya?…"


"Iya. Kurasa itulah yang disebut cinta. Jadi, Hime-chan bukan aneh kok. Tenang saja."


Meski berkata begitu, di dalam hati Hijiri sebenarnya sedang berkeringat dingin.


(Aku juga sebenarnya nggak begitu ngerti soal cinta, tapi... kayaknya memang begitu, kan? Kan!?)


Pengetahuannya hanya sebatas dari drama dan manga, tapi sebagai kakak, dia tak ingin terlihat lemah, jadi ia berusaha tampil yakin.


Setidaknya di saat seperti ini, dia ingin bisa jadi kakak yang bisa diandalkan. Mungkin karena perasaan itu tersampaikan, Hime pun mempercayai kata-kata Hijiri tanpa ragu.


"Berarti... aku suka pada Yohei-kun, ya?"


"Iya. Kurasa begitu. Soalnya, kalau bukan begitu, kamu nggak akan sedekat dan semanja itu dengannya."


Alasan kenapa gadis jenius yang tak pernah dekat dengan siapa pun itu cuma bisa manja pada Yohei...


Itu karena dia sangat menyukai Yohei.


"...Begitu, ya. Jadi itu sebabnya aku jadi terus memikirkan Yohei-kun."


Hime mengangguk pelan.


Akhirnya dia bisa menerima perasaannya sendiri. Tapi wajahnya masih terlihat muram.


"Onee-chan, aku harus bagaimana?"


Hime terlihat bingung.


Mungkin karena ini adalah "cinta" pertamanya, dia belum tahu bagaimana cara menghadapinya. Hijiri tersenyum kecil dan mengelus kepala adiknya dengan lembut.


Untuk memberinya rasa tenang, agar dia tahu semuanya akan baik-baik saja.


"Kuharap kamu bisa tetap seperti biasanya. Bersikap jujur dan jangan menahan perasaanmu, terus manja saja sama Yohei."


"Seperti biasanya... nggak apa-apa kan?"


"...Hmm, tunggu sebentar. Seperti biasanya... kayaknya justru sayang, deh? Mulai sekarang kamu boleh lebih manja lagi, menurutku!"


Dalam hal akademik, prestasi, maupun kepribadian, Hime jauh lebih dewasa dan matang.


Karena itu, Hijiri ingin setidaknya bisa mendukung adiknya sebagai seorang kakak.


Saat Hime ketakutan, dia akan berada di sisinya. Saat Hime dalam kesulitan, dia akan mengulurkan tangan. Dan jika Hime tak punya keberanian, dia akan mendorongnya dari belakang.


Kali ini juga, dia hanya melakukan hal yang sama seperti biasa.


(Aku hanya perlu membantu Hime tanpa banyak pikir...)


Hijiri merasa selama ini dia tak banyak berperan sebagai seorang kakak. Tapi kali ini, dia benar-benar merasa telah menjadi penopang bagi adiknya.


Karena Hime menahan air mata besar di pelupuk matanya.


"Onee-chan... terima kasih."


Hime biasanya tidak pernah menangis.


Sejak kecil, Hijiri hampir tak pernah melihat air mata adiknya.


Hime adalah gadis yang tidak suka merepotkan orang lain, dan dia tahu kalau menangis bisa menjadi beban. Karena itu, dia selalu tampak tenang dan jarang menunjukkan ekspresi.


(Apa Hime juga merasa kesulitan karena nggak tahu harus gimana?)


Hijiri sendiri juga sempat bingung. Mungkin Hime pun telah berjuang menghadapi perasaan baru ini tanpa tahu harus berbuat apa.


Memikirkan itu, Hijiri memeluk adiknya lebih erat lagi. Dia sengaja menekan Hime ke dadanya, agar wajahnya tidak terlihat.


Karena dia pikir akan lebih baik kalau Hime bisa menangis tanpa harus malu.


"Aku tetap paling suka sama Onee-chan."


"Hime-chan…"


Kata-kata yang keluar dari mulut Hime yang berada di dadanya, membuat dada Hijiri terasa sesak.


(Adikku memang terlalu menggemaskan...)


Atau mungkin, justru Hijiri yang lebih mencintai adiknya daripada siapapun. Hime, yang tidak pernah dekat dengan orang lain dan selalu mengikuti di belakangnya, tidak mungkin tidak disayang.


Namun tetap saja, hanya pada satu orang itu dia tidak bisa menolak.


(Yohei... tolong bahagiakan Hime-chan, ya.)


Tak mungkin dia mau menyerahkan adik tercintanya pada laki-laki yang setengah-setengah.


Hijiri sudah lama memperhatikan Yohei. Tapi dia yakin, pada akhirnya, Hime bisa diserahkan padanya.


(Waktu di kolam renang itu... dia bisa menyelamatkan Hime lebih cepat dariku. Kalau itu Yohei... pasti bisa.)


Hijiri merasa dia telah bertemu seseorang yang mencintai Hime sama seperti dirinya. Atau bahkan lebih dari itu.


Karena itulah, Hijiri pun berpikir:


Kalau Yohei yang menjaga Hime, pasti dia akan bisa membuat adiknya bahagia.


Dengan keyakinan itu, Hijiri pun mengelus kepala Hime dengan lembut—


Previous Chapter |Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close