NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Darenimo Natsukanai Tobikyuu Tensai Youjo ga, Ore ni Dake Amaetekuru Riyuu V2 Chapter 3

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 3

Perubahan dari 'Suka Banget’


Ngomong-ngomong, rasanya sudah sejak kecil aku terakhir kali pergi ke festival.


"Yohei-kun, orangnya banyak sekali, ya."


Sesaat setelah tiba di lokasi festival. Hime yang ada tepat di sebelahku membelalakkan mata melihat kerumunan orang.


Hari ini adalah hari festival yang sudah kami janjikan sejak beberapa waktu lalu. Tentu saja Hijiri dan Mei juga datang bersama, tapi katanya mereka masih dalam perjalanan dari tempat parkir yang agak jauh. Aku dan Hime diturunkan lebih dekat ke area festival dan sekarang sedang menunggu mereka.


"Festival memang selalu seperti ini. Nanti malam juga ada pesta kembang api, jadi untuk ukuran festival dalam kota, skalanya lumayan besar."


"Banyak juga orang yang pakai yukata, ya."


"Iya. Sama seperti Hime."


"…Apa aku juga terlihat cocok di suasana festival?"


"Tentu saja. Bahkan, rasanya jarang ada gadis yang lebih cocok dengan suasana festival dibanding Hime."


Hari ini Hime mengenakan yukata, membuat suasananya terasa berbeda dari biasanya. Di tangannya tergenggam kipas lipat yang tadi dibagikan di area festival.


"Yukata-nya cocok banget sama kamu."


Sebenarnya aku sudah ingin bilang begitu dari tadi. Tapi selama ada Hijiri, entah kenapa rasanya malu untuk mengatakannya. Kalau cuma berdua seperti ini, aku bisa bicara lebih santai. Aneh juga, ya.


"Ehehe. Kalau Yohei-kun yang bilang begitu, aku jadi senang sudah memilih yukata ini."


…Mungkin karena dia selalu menanggapi ucapanku dengan jujur seperti itu, aku pun ingin terus mengungkapkan perasaanku setiap kali.


Melihat senyumnya yang polos, aku ikut tersenyum.


"Ngomong-ngomong, Hime pernah lihat kembang api sebelumnya?"


"Kalau dari kejauhan, pernah. Indah sekali."


"Kalau dari dekat, lebih luar biasa lagi. Gimana ya… rasanya lebih menggetarkan."


"Begitu, ya? Wah, aku jadi tak sabar."


Sambil mengobrol, Hime tersenyum. Melihatnya tampak senang itu menyenangkan juga, tapi… ada satu hal yang mengganjal.


(Sepertinya… dia berdiri lebih dekat dari biasanya.)


Hime berdiri sangat dekat. Bukan cuma berdiri dekat, tapi benar-benar tanpa jarak. Setiap kali aku bergerak, tubuh kami bersentuhan.


Awalnya kupikir akulah yang berdiri terlalu dekat, jadi aku coba mengambil setengah langkah mundur beberapa kali. Tapi setiap kali aku menjauh sedikit, Hime ikut mendekat setengah langkah, jadi jaraknya tetap sama.


"Yohei-kun sering lihat kembang api?"


"Nggak juga? Waktu kecil sih pernah lihat dari dekat pas festival, tapi beberapa tahun terakhir aku juga kayak kamu, cuma lihat dari kejauhan."


…Aku jadi penasaran, ada apa dengan perubahan sikap Hime kali ini.


Tapi aku ragu buat menyinggungnya. Mungkin saja itu tidak sadar, dan tidak perlu dibahas. Lagipula aku juga tidak keberatan, jadi ya sudah lah.


Sambil ngobrol, kami terus menunggu. Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, akhirnya Hijiri dan Mei datang menyusul kami.


"Hime-chan, Yohei, maaf ya nunggu lama~"


"…Maaf ya, kalian berdua. Jalannya macet, jadi kami lama."


Hari ini Hijiri juga mengenakan yukata. Yukata putih bermotif bunga seperti milik Hime, dan dia juga terlihat cocok memakainya.


"A-aduh… sesak banget… Yukata tuh seketat ini, ya…"


Tapi berbeda dengan Hime, Hijiri tampak kesulitan bergerak. Mungkin ikat pinggangnya terlalu kencang. Kalau aku, sebagai laki-laki, terlalu jauh membahas ini, bisa nyambung ke topik soal bentuk tubuh dan jadi canggung, jadi lebih baik diam saja.


"Mei-chan, boleh aku lepas yukatanya?"


"Nggak boleh. Nanti kamu jadi telanjang, dong."


"Nggak apa-apa kok. Aku bisa pakai baju pelayan milik Mei-chan~"


"Nggak bisa! Kalau Hijiri Ojou-sama pakai itu, ukurannya bakal sempit dan kamu jadi pelayan mesum. Jangan, deh."


"Apa maksudmu mesum!? Badanku nggak separah itu kok… Eh, tapi, kenapa kamu malah pakai baju pelayan?"


…Ngomong-ngomong, Mei tetap memakai baju pelayannya seperti biasa.


Pelayan di festival memang mencolok. Banyak orang yang melirik ke arah kami saat lewat. Padahal dia bisa saja pakai yukata, atau pakaian biasa.


"Aku pakai baju pelayan supaya gampang dilihat meskipun ramai orang. Jadi kita nggak saling kehilangan."


Ternyata dia punya alasan yang masuk akal.


Memang sih, meskipun Mei bertubuh mungil, kalau dia pakai baju pelayan, tetap mudah dikenali dari kejauhan. Bahkan tadi aku langsung tahu mereka datang karena bisa melihat bajunya.


"…Kalau gitu, Yohei aja deh. Yukata dan bajumu tukeran yuk?"


"Nanti aku yang jadi mesum."


"Grr… Bu-bukan karena aku gemuk makanya yukatanya sesak, ya!"


"Aku nggak ngomong apa-apa, loh."


Lagian, kurasa kamu juga nggak gemuk, kok. Mungkin cuma… bagian tertentu yang membesar. Tapi ya jelas aku nggak bisa bilang begitu. Jadi aku cuma diam dan mengalihkan pandangan ke Hime.


Lalu, mata kami bertemu.


"Hmm…? Ada apa?"


"Eh? Ah, nggak. Nggak ada apa-apa, kok."


Sebenarnya aku nggak mau ngomong apa-apa. Aku cuma iseng melihat ke arah Hime saja.


Tapi kalau sampai mata kami bertemu… berarti dia memang sudah melihat ke arahku sejak tadi?


(Yah, mungkin kebetulan aja.)


Tenang. Bisa jadi cuma kebetulan saja kami saling menoleh di waktu yang sama. Tapi entah kenapa, hari ini Hime terasa berbeda dari biasanya.


"Yohei-kun, bolehkah aku menggandeng tanganmu?"


…Tuh, kan. Aku tahu ada yang beda.


"Soalnya ramai sekali. Kalau terpisah, bisa berbahaya."


"U-uh, iya. Biar nggak tersesat, ya."


Aku mengangguk. Dan seperti yang dia minta, aku menggandeng tangannya tanpa ragu.


Sebagai sosok yang lebih tua, aku mencoba terlihat tenang. Tapi dalam hati, aku sebenarnya cukup bingung.


(Hari ini Hime terasa lebih dekat dari biasanya…)


Rasanya sikapnya hari ini memang berbeda.


Bukan hanya lebih dekat secara fisik, tapi seperti… dia sudah mengambil keputusan. Ada tekad dalam tatapannya.


(Aku harus tenang. Aku nggak boleh bingung sendiri.)


Untuk saat ini, aku genggam erat tangan Hime yang terhubung denganku.


Karena gugup, pikiranku jadi buyar, dan yang paling kutakutkan adalah kehilangan jejak Hime karena satu hal kecil. Supaya itu tidak terjadi, aku berusaha tetap fokus.


"Ehhehe. Tanganmu besar sekali, Yohei-kun."


Ugh. Ekspresi polos Hime terlalu menggemaskan sampai-sampai aku nyaris lengah, tapi itu nanti saja.


Karena kami berpegangan tangan dengan benar, seharusnya tidak masalah. Aku memilih untuk percaya begitu.


"Hijiri Ojou-sama juga, nih."


"Eh? Apa maksudmu?"


"Pegangan tangan. Kalau sampai tersesat, gimana dong?"


"Ah—iya juga. Mei-chan kan kelihatan seperti anak kecil, jadi kalau tersesat pasti repot banget, ya."


"Bukan aku. Yang aku khawatirin itu Hijiri Ojou-sama yang tersesat."


"Aku yang dikhawatirin!? Padahal kalau soal penampilan, aku kelihatan lebih tua dari Mei-chan, lho!"


"Tapi kelakuanmu yang paling kekanak-kanakan di antara kita semua. Udah, sini pegang tangan... Jangan dilepas, ya? Ikuti aku terus."


Sepertinya mereka memperhatikan interaksi kami dari belakang.


Hijiri dan Mei juga akhirnya saling berpegangan tangan. Baguslah, aku memang sedikit khawatir soal Hijiri, jadi dengan begini tidak ada yang bakal tersesat.


Dan begitu lah—Festival musim panas kami pun dimulai.


Kabarnya, kembang api akan mulai ditembakkan sekitar pukul delapan malam.


Sekarang jam setengah tujuh. Artinya, kami masih punya sekitar satu setengah jam untuk berkeliling ke stand-stand makanan dan permainan.


"Am... Nyam, nyam, begitu ya."


Sambil berjalan, Hime di sampingku sedang memakan permen apel. Kami tadi membelinya di salah satu stand saat lewat.


"Aku baru pertama kali mencicipinya, tapi ternyata enak juga. Rasa apel yang segar dan manisnya lapisan gula berpadu dengan sempurna."


Sambil terus mengunyah, dia memberiku kesan pertamanya.


Tentu saja, kami masih berpegangan tangan. Aku menyesuaikan langkah dengan langkah kecil Hime dan berjalan perlahan.


"Masalahnya, ukurannya agak besar, ya."


"Kalau nggak habis, nggak usah dipaksain kok. Aku yakin Hijiri-san pasti mau bantu habisin."


"Eh? Hime-chan nggak bisa ngabisin!? Ya ampun, kalau kamu kesulitan, serahkan saja pada kakakmu ini, ya!"


Ngomong-ngomong, Hijiri juga membeli permen apel dan sudah menghabiskannya.


Katanya sih dia sengaja tidak makan siang demi festival, jadi sekarang kelaparan. Tatapan matanya sudah terang-terangan mengincar sisa permen apel milik Hime.


Oh, aku sendiri tidak beli. Bukan berarti aku benci permen apel, cuma tidak terlalu suka juga, jadi nggak terlalu tertarik.


"Gururururu~"


Dari perut Hijiri-san terdengar suara seperti binatang buas sedang menggeram.


"Bu-bukan aku, lho! Itu perut Mei-chan! Itu suara dari perut Mei-chan!"


Begitu katanya, tapi matanya berkeliaran, jadi jelas dia sedang berbohong.


"…Yohei-sama, maaf ya. Hijiri Ojou-sama agak tidak tahu malu, jadi aku akan beli makanan dari stand lain. Boleh kami titip di sini sebentar?"


"Baik, aku akan menunggu di sini bersama Hime."


"Aku akan belikan juga buat kalian berdua. Hijiri Ojou-sama, ayo pergi."


Mei yang tidak tega akhirnya menawarkan diri, lalu menyeret Hijiri-san ke arah stand-stand makanan lain.


"Bu-bukan berarti aku lapar, ya? Aku bukan si rakus, dan aku juga nggak gendut, tapi ya... karena Mei-chan sampai segitunya, ya sudahlah~"


Sampai akhir pun Hijiri-san masih saja mencari-cari alasan, tapi ya sudahlah. Fakta bahwa dia memang rakus sudah diketahui semua orang, jadi sekalipun dia mencoba menutupi, tetap saja ketahuan.


"Semoga saja Onee-chan hari ini nggak makan berlebihan."


"...Semoga Mei-san bisa menghentikannya."


Hijiri bukan tipe orang yang cukup kuat untuk bisa menahan nafsu makannya sendiri. Jadi aku hanya bisa berharap pada Mei yang terus mengawasinya.


"Aku mungkin bisa menghabiskan setengahnya, tapi sisanya sepertinya agak berat. Tapi, kalau kuberikan ke Onee-chan, itu cuma akan jadi kalori tambahan dan bikin lemak menumpuk…"


Begitu katanya, lalu Hime menyodorkan permen apelnya.


"Jadi, boleh minta bantuanmu, Yohei-kun?"


Dengan wajah polos, Hime mendekatkan permen apel ke mulutku sambil bilang "a~n."


(Aku sih nggak keberatan makan, tapi…)


Itu bukan masalah. Hanya saja, posisi permen apelnya agak rendah. Mengingat tinggi badan Hime, itu wajar sih… Tapi karena menyuruhnya jinjit juga nggak enak, aku pun membungkuk sedikit dan menggigit permen apelnya.


Rasanya seperti yang kubayangkan, nggak ada yang istimewa. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya terasa lebih enak dari biasanya.


"Hehe."


Hime tampak senang. Ia tersenyum dan menatapku dengan penuh perhatian saat aku menggigit permen apel itu.


Mungkin karena itu rasanya jadi lebih enak.


Ada atau tidaknya dia di sana… ternyata itu bisa mengubah rasa makanan.


"Sini, makan lagi."


Sepertinya Hime sengaja menunggu sampai aku menelan gigitan pertama, lalu kembali menyodorkan permen apelnya.


"Biasanya aku yang terus disuapi, jadi posisi sebaliknya terasa cukup menyegarkan. Sekarang aku sedikit bisa mengerti perasaanmu, Yohei-kun."


Jadi begitu… makanya dia terlihat begitu senang.


Saat makan camilan berdua, Hime biasanya makan langsung dari tanganku. Aku selalu merasa terhibur saat melihatnya mengunyah dengan tenang.


Mungkin Hime juga merasakan hal yang sama sekarang.


Tapi tetap saja, tinggi badan kami berbeda cukup jauh.


Kalau sedang duduk sih masih mending, tapi sekarang kami berdiri, dan pasti Hime kesulitan menyuapi dari bawah.


"Mau aku makan sendiri saja?"


Aku mengulurkan tangan, berniat menerima permen apelnya.


Kupikir aku sedang bersikap pengertian. Ini pasti lebih efisien, dan Hime juga pasti sudah puas setelah beberapa kali menyuapi.


Atau begitulah kupikir…


"Boleh seperti ini saja?"


Hime menggeleng pelan. Lalu dia kembali menyodorkan permen apel itu dengan gerakan mantap.


(Memang… hari ini terasa agak berbeda dari biasanya.)


Jarak yang terlalu dekat. Sikap yang lebih aktif. Tatapan yang terus bertemu.


Sikap Hime terasa berbeda. Bukan dalam artian buruk, tapi rasanya jelas ada sesuatu yang berubah.


"Hime, jinjit terus nggak capek?"


"Karena Yohei-kun membungkuk, aku baik-baik saja."


"Kalau begitu, bagus deh."


"Iya… aku terima saja niat baikmu yang perhatian. Yohei-kun memang baik."


Dia juga mengerti maksudku. Dia tidak menolak atau merasa terganggu.


Hime memang selalu peka. Tapi justru karena itu, aku yakin sikapnya yang terus menyodorkan permen apel ini punya maksud tertentu.


Apa yang membuat Hime berubah seperti ini, ya?

Aku benar-benar penasaran.


Tepat saat aku menghabiskan permen apel, Hijiri-san dan Mei kembali.


"Kami kembali! Hime-chan, Yohei, kami beli banyaaak!"


"Maaf sudah lama. Kami juga beli untuk kalian, jadi cari tempat yang agak tenang untuk makan, yuk."


Keduanya memegang kantong plastik di kedua tangan, yang berisi berbagai macam makanan.


Banyak juga, ya… Apa mereka bisa ngabisin semua itu? Tapi mengingat perut Hijiri kayak lubang tanpa dasar, kayaknya sih nggak masalah.


Kami pun menuju area istirahat di pojok festival. Ada banyak bangku sederhana tanpa sandaran punggung.


Tentu saja, banyak orang lain juga punya ide yang sama, jadi tempatnya agak ramai. Tapi untungnya ada satu bangku kosong, dan Hijiri langsung duduk di sana.


"Mei-chan, ayo duduk di sini~"


"Aduh… ya ya, jangan ditarik-tarik gitu dong."


Lalu Mei duduk di sampingnya, diikuti Hime yang duduk dengan manis di sebelahnya. Terakhir, aku duduk paling ujung.


(…Bukan di sebelah Hijiri, ya.)


Ada sedikit perasaan aneh melihat posisi duduk Hime.


Tapi kupikir aku cuma terlalu mikirin hal-hal kecil, jadi cepat-cepat kuusir pikiran itu. Mungkin aku memang terlalu sadar dengan suasana.


Daripada mikirin yang aneh-aneh, lebih baik nikmati saja festival ini. Itu akan jauh lebih menyenangkan.


"Hime-chan, mau takoyaki? Atau yakitori? Ada juga yakisoba sama ika yaki. Gimana? Kalau malas pilih, mau semua aja?"


"Banyak sekali ya. Kalau begitu, aku mau takoyaki saja."


"Okay~!"


Sepertinya menunya memang lengkap.


Hijiri sudah memegang sebungkus yakisoba, dan setelah memberikan takoyaki ke Hime, dia langsung mulai makan. Makan dengan lahap banget, kelihatan puas banget juga.


"Yohei-sama, silakan makan juga."


"Ah, tapi… aku mau bayar untuk yang aku makan, ya."


"Aku nggak akan menerima uang dari anak-anak. Jangan sungkan."


Penampilannya memang seperti anak kecil. Tapi Mei tetap terlihat seperti orang dewasa.


Benar juga. Dari sudut pandang orang dewasa, aku ini juga masih anak-anak, ya. Memikirkan itu membuatku merasa lebih ringan.


Kalau begitu, aku terima saja kebaikannya.


"Yohei-kun, ayo buka mulut~"


"…Terima kasih."


Dan serangan "a~n" dari Hime masih berlanjut.


Kayaknya dia benar-benar suka, deh. Tanpa ragu, dia menusukkan tusuk gigi ke takoyaki dan menyodorkannya ke arahku. Karena kami sedang duduk, posisi badannya juga terlihat lebih santai dari sebelumnya.


Hanya saja, tatapan dari Hijiri dan Mei terasa agak menusuk.


Kalau cuma berdua sih nggak apa-apa… Tapi dengan mereka melihat, ya… tetap malu juga.


"Yakisobanya enaaak~! Nih, Mei-chan, cobain juga!"


"Kalau begitu, aku coba satu… Hmm, begitu ya. Tapi masakanku lebih enak. Hmph."


"M-Mei-chan? Ini kan festival, jadi yang penting itu suasana juga, tau?"


"Nanti akan kubuatkan, jadi setelah kamu makan punyaku, coba ulangi kalimat barusan. Aku pastikan kamu nggak bisa ngomong apa-apa."


"Ugh… serem banget, Mei-chan…"


Keduanya terlalu fokus makan sampai kelihatannya tak memperhatikan kami. Kalau begitu, sepertinya aman karena tak ada yang melihat.


"Yohei-kun?"


"Ah, maaf. Aku makan, ya."


Sama seperti saat permen apel, aku mengikuti arahan Hime dan membiarkan dia menyuapiku.


Rasanya cukup kuat, teksturnya lembut, ada potongan kecil gurita seperti pelengkap... entah kenapa, rasanya seperti makanan khas festival.


"Aku juga nakan, ya... nyam."


Mengikutiku, Hime juga memakan takoyaki itu.


Mungkin ukurannya agak besar untuk mulut kecil Hime. Pipinya mengembung saat dia mengunyahnya—dan itu terlihat sangat imut.


"Nn..."


Karena sedang mengunyah takoyaki, Hime tak bisa bicara.

Tapi mungkin karena sadar aku sedang melihatnya, dia menyodorkan satu takoyaki lagi ke arahku.


...Kalau saja aku punya tusuk atau sumpit tambahan, aku bisa makan sendiri tanpa bantuan Hime.


(Tapi... ya sudahlah.)


Entah kenapa, aku tidak ingin mengatakannya.


Kalau aku meminta pada Mei-san, dia pasti mau ambilkan dari dalam kantong plastik. Tapi Hime juga terlihat senang, jadi aku terus makan seperti ini saja.


"Yohei, kamu makan, kan?"


"Iya. Aku makan, kok."


"Begitu ya! Ini masih banyak, jadi makan yang banyak ya~"


Hijiri menyapaku tepat ketika Hime menyuapkan takoyaki yang ketiga.


...Sepertinya Hijiri menyadari apa yang sedang terjadi di sini. Mei-san sepertinya tidak sadar karena terus memandang ke arah Hijiri di sisi yang berlawanan dari kami, tapi di garis pandangnya, Hijiri bisa melihat kami terus.


Meski begitu, dia tidak mengatakan apa pun. Bahkan tidak menunjukkan kalau dia memperhatikan.


Aku juga merasa ada perubahan pada Hijiri. Beberapa waktu lalu, saat ke kolam renang, dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu terus-menerus. Tapi hari ini, ekspresinya cerah.


Wajahnya terlihat lega. Bersama dengan sikap Hime, hari ini memang terasa ada yang aneh.

Mungkin ini adalah perubahan yang baik... tapi karena aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, aku merasa sedikit bingung.


Mungkin hari ini akan ada sesuatu yang terjadi.

Perasaan itu membuatku agak gelisah.


Setelah makan cukup banyak. Ketika perut kami mulai kenyang, Hime menepuk-nepuk lenganku.


"Yohei-kun. Aku ingin pergi melihat stan-stan."


Sambil menyantap gulali, dia menunjuk ke suatu arah. Di sana ada deretan stan. Dari sini terlihat seperti ada permainan menangkap ikan mas dan menembak target. Mungkin masih banyak yang lain juga.


"Makanan sudah cukup, jadi aku ingin coba bermain sebentar."


"Iya, baiklah. Ayo kita pergi."


Karena ini festival, pasti banyak pengalaman pertama buat Hime. Aku ingin dia bisa punya kenangan indah, jadi tentu saja aku akan menemaninya.


"Bagaimana dengan Onee-chan dan Mei-san? Kami akan pergi ke stan yang ada di sana."


"Eh? Oh, begitu ya. Hmm... aku masih punya es serut, jadi mungkin aku nggak ikut."


"...Karena aku khawatir dengan Ojou-sama, aku juga akan tetap di sini. Selama Hime Ojou-sama bersama Yohei-sama, aku merasa tenang. Tapi kalau ditinggal Ojou-sama sendirian, aku justru cemas."


"Cemas gimana!? Mei-chan, kamu benar-benar memperlakukanku kayak anak kecil, ya!"


"Kamu memang anak-anak. Karena kamu tidak bisa diam, aku tidak bisa membiarkanmu sendiri. Jadi aku akan jadi babysitter-mu di sini. Hati-hati ya kalian berdua, kalau ada apa-apa, hubungi kami."


Begitulah, akhirnya aku dan Hime pergi berdua.


Babysitter, ya... rasanya Hijiri tidak pantas dibilang seumuran anak kecil, tapi kalau memang mengkhawatirkannya, ya tidak apa-apa.


Mungkin menurut Mei-san, Hime jauh lebih bisa diandalkan.


"Untuk jaga-jaga, ponsel kami sudah dipasangi GPS, jadi kalau tersesat, Mei-san bisa langsung datang. Selama kita bawa ponsel, semuanya aman."


"Itu bagus."


"Hanya saja, kalau Onee-chan yang pegang, kemungkinan besar dia bakal kehilangan ponselnya. Jadi aku rasa itulah alasan Mei-san sangat khawatir."


"...Begitu ya."


Sambil berbincang, Hime perlahan menggenggam tanganku.

Karena banyak orang, supaya tidak tersesat.


Mengingat ucapannya tadi, aku pun menggenggam tangannya kembali tanpa berkata apa-apa.


"Am. Yohei-kun, gulali ini enak, ya. Ini pertama kalinya aku makan... rasanya manis dan lembut. Seperti sedang makan awan."


Di satu tangan dia menggenggam tanganku. Di tangan lainnya, dia memegang stik dengan gulali melilit di ujungnya.


Sepertinya dia sangat menyukai gulali. Dia memakannya sedikit demi sedikit dengan mulut mungilnya.


"Yohei-kun juga, coba makan."


Sesekali dia menyodorkannya ke arahku, dan setiap kali itu terjadi, aku pun menggigit sedikit.


Aku sudah tidak merasa malu atau canggung lagi disuapi seperti ini.


Mungkin dari luar kami terlihat seperti kakak-adik yang akrab. Orang-orang yang lewat pun menatap kami dengan senyum hangat.


Aku pun sudah terbiasa dengan tatapan itu. Kami menggandeng tangan dan berjalan menuju deretan stan.


"Aku ingin mencoba itu."


"Itu... yang mana? Menembak?"


Yang ditunjuk oleh Hime adalah stan permainan menembak dengan pistol mainan. Permainannya adalah menembak hadiah di atas rak, dan jika bisa menjatuhkannya, hadiah itu bisa dibawa pulang.


"Menembak, ya. Ayo kita coba sama-sama."


"Baik. Aku juga sudah lama tidak menembak, sejak kecil mungkin."


Aku bahkan tidak ingat apakah aku pernah berhasil mengenainya atau tidak. Yang tertinggal hanyalah ingatan bahwa aku pernah bermain menembak. Jadi, kurasa bisa dibilang ini juga pengalaman baru buatku, sama seperti Hime.


"Aku ingin boneka kelinci itu. Kalau diletakkan di samping boneka beruang yang aku dapat dari Yohei-kun, sepertinya akan terlihat cocok sekali."


Kelinci... ah, yang itu.


Di rak paling atas tempat target-target disusun, ada boneka kelinci putih yang duduk dengan manis.


Boneka beruang yang kudapat dari permainan crane ukurannya kira-kira dua kali lebih besar dari boneka ini. Dan bentuknya juga bukan tipe yang mudah dijatuhkan lewat permainan tembak-tembakan. Permukaannya tebal dan bagian bawahnya cukup lebar, jadi susah roboh.


"Kalau melihat kekuatan tembakannya, sepertinya sulit dijatuhkan… tapi aku tetap ingin mencobanya."


"Ya, ayo coba saja."


Hime sepertinya sudah tahu kalau ini akan sulit. Tapi mungkin dia hanya ingin merasakan permainan festival. Jadi daripada fokus mengejar hadiah, aku ingin lebih menikmati momennya bersama dia. Kalau pun gagal, yang penting bisa menikmati waktu bersama.


Begitulah niat awal kami untuk bersenang-senang dengan permainan tembak-tembakan ini, tapi…


"Wah, aku kaget. Bisa dapat dalam satu tembakan."


"…bakatmu menyeramkan, Hime."


Bahkan si bapak penjaga stand sampai terkejut setengah mati.


Hime berhasil menjatuhkan boneka kelinci putih itu hanya dengan satu tembakan. Sementara aku, karena terlalu terpana dengan yang baru saja terjadi, malah gagal total dan tidak mengenai apa pun. Padahal aku ingin tampil keren di depan Hime. Padahal aku sering main game online tembak-tembakan.


Waktu main crane game juga begitu, mungkin memang Hime jago dalam hal-hal seperti ini. Dia sepertinya memang cukup terampil.


"Ehehe. Sekarang tempat tidurku akan makin ramai."


Hime memeluk boneka kelinci itu dengan satu tangan, tangan lainnya masih menggenggam permen kapas. Sementara satu tangannya lagi tetap menggandengku. Meskipun kelihatannya jadi agak sulit berjalan, dia tampak sangat senang, jadi tak apa-apa.


"Yohei-kun, aku mau coba main yang itu selanjutnya."


Masih belum puas bermain, Hime langsung melangkah menuju stand berikutnya. Karena kami masih bergandengan tangan, aku pun secara alami ikut mengikutinya.


Setelah itu, kami berdua menjelajahi berbagai stand lainnya.


Permen kapas yang tadi ia makan pelan-pelan sekarang sudah habis. Tapi sebagai gantinya, sekarang kami berdua membawa banyak kantong plastik berisi hadiah.


Di stand-stand tadi ada permainan seperti lempar gelang, undian, cetak bentuk, dan lempar bola.


Hime memang kurang beruntung dalam undian, tapi di permainan yang mengandalkan skill, dia mendapat hasil yang sangat bagus. Hadiahnya pun cukup banyak.


Sebagian besar hadiahnya adalah berbagai macam permen dan camilan, dan Hime tampak sangat puas.


"Terima kasih sudah membawakan semuanya. Sebagai ucapan terima kasih, separuhnya untukmu ya, Yohei-kun."


"Eh, nggak usah. Aku merasa bersalah. Itu semua kan Hime yang dapat."


Ngomong-ngomong, aku sendiri… parah. Apa pun yang kulakukan selalu gagal karena terlalu tegang.


"Tapi aku juga tidak bisa menghabiskan semuanya, dan kalau dibawa pulang, Onee-chan bisa-bisa makan diam-diam dan jadi gemuk."


"…itu sih, agak berbahaya, ya."


Jujur saja, aku cukup khawatir dengan kemampuan makan tanpa batasnya Hijiri. Hari ini saja dia sudah makan sangat banyak, sampai-sampai Mei-san menggeleng-geleng. Kalau lebih dari itu, beneran mencemaskan.


"Yah, kalau begitu aku terima saja dengan senang hati."


"Ya. Silakan ambil… ah, Yohei-kun. Ke sini."


Aku sebenarnya sudah berpikir untuk segera kembali. Tapi waktu sedang berjalan, Hime tiba-tiba berhenti.


"Aku ingin mencoba menangkap ikan mas."


Mungkin dari tadi dia sudah mengincarnya.


Hime menatap ikan mas itu dengan mata berbinar paling cerah yang kulihat hari ini.


"Kamu suka ikan mas ya?"


"Iya. Aku suka ikan… atau lebih tepatnya, aku suka hampir semua makhluk hidup."


Oh begitu. Mungkin karena itu dia juga suka boneka hewan, ya. Kalau begitu, aku juga ingin membantunya dapat minimal satu.


"Kalau begitu, ayo kita coba."


"Aku akan berusaha sebaik mungkin."


Aku menyerahkan uang ke penjaga stand dan menerima sebuah "poi" serta wadah kecil. Sambil memikirkan hal sepele seperti: "Ternyata penjaga stand festival itu kebanyakan bapak-bapak, ya," aku menyerahkan alatnya ke Hime, dan dia langsung berjongkok dan mulai mencoba menangkap ikan.


"…Muu."


Tapi sayangnya, hasilnya tidak sesuai harapan.


Karena Hime selama ini selalu tampil baik di semua permainan, aku cukup terkejut.


"Sulit sekali… aku tidak bisa membaca gerakan ikan masnya, dan sulit mengatur kekuatan tanganku."


Dia menatap poi yang sudah berlubang sambil menghela napas.


Hime anak yang pintar. Mungkin karena itu, dia juga bisa menyadari permainan seperti apa yang cocok dengannya dan mana yang tidak.


"Aku lebih mahir dalam permainan yang melibatkan mesin dengan gerakan tetap, atau pekerjaan yang bisa kulakukan dengan tanganku sendiri. Tapi kalau permainan yang mengandalkan perasaan, aku jadi terlalu banyak berpikir, jadi rasanya bukan bidangku."


Aku ingin bilang, "coba lagi, yuk."


Tapi dia sendiri sepertinya tidak terlalu berniat melanjutkan. Tapi dia memang suka ikan mas. Dia menatap kolam itu seakan enggan berpisah.


…Mungkin sekarang saatnya untuk membalikkan keadaan.


"Hime, boleh aku coba juga?"


"Tentu saja. Tapi… Yohei-kun juga mau memelihara ikan mas?"


"Enggak, kok. Aku mau kasih buat Hime."


Aku tahu Hime punya sifat yang suka menahan diri. Kalau ini terjadi beberapa waktu lalu, mungkin aku juga akan terlalu sungkan untuk bilang bahwa aku ingin memberinya sesuatu.


Tapi sekarang hubungan kami sudah berbeda.


Dengan kedekatan ini… aku yakin dia akan menerimanya tanpa menolak, jadi aku sampaikan dengan jujur.


"Untukku, ya…"


Sesaat dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia menahan kata-kata itu.


Sebagai gantinya, yang keluar dari bibirnya adalah…


"Aku mau."


Dia mengungkapkan perasaannya… apa adanya.

Dengan suara lirih, Hime berbisik.


"Kalau itu hadiah dari Yohei-kun, aku pasti akan sangat senang. Setiap kali melihat ikan masnya, aku yakin akan merasa bahagia. Jadi, meskipun… aku tahu ini mungkin merepotkan…..eh, tapi aku tahu Yohei-kun nggak akan merasa keberatan, jadi, ehm, intinya──"


Tapi kemudian, sedikit rasa sungkannya itu ia simpan baik-baik.


"Tolong ya. Aku akan… memanjakan diriku sedikit, dan menerima perasaanmu, Yohei-kun."


Hime… mau menerima perhatian dariku.


…Saat pertama kali bertemu, aku mengira dia adalah gadis istimewa yang tak akan bisa dekat dengan siapa pun.


Gadis jenius itu, sekarang bukan hanya dekat, tapi bahkan manja padaku. Tidak mungkin aku tidak merasa bahagia.


"Serahkan padaku."


Aku mengangguk dengan penuh semangat, lalu kembali menyerahkan uang pada penjaga stan.


Setelah menerima poi dan wadah, aku membungkuk dan mendekatkan wajah ke akuarium, mencari ikan mas yang terlihat mudah ditangkap.


Mungkin lebih baik yang gerakannya lambat. Dengan pikiran seperti itu, aku mengincar ikan mas yang berenang santai di dekatku.


Sebenarnya aku ingin menunggu sampai dia berenang lebih dekat lagi, tapi sepertinya dia akan berbalik arah dan menjauh, jadi aku buru-buru mencoba menyendoknya dengan poi.


Tapi, ikan mas itu ternyata jauh lebih lincah dari perkiraanku.

Mungkin karena merasakan getaran dari poi yang masuk ke dalam air, dia langsung berenang menjauh dengan kecepatan tinggi, dan aku gagal menangkapnya.


"...Ada lubangnya, ya."


Bahkan, bagian tengah poi kini berlubang kecil. Sepertinya sobek karena tekanan air.


Bagian pinggirnya masih utuh, jadi sebenarnya aku masih bisa mencoba lagi. Tapi dalam kondisi ini, peluangnya agak kecil.

Haruskah aku menyerah pada poi ini dan menukarnya dengan yang baru?


…Tidak, sebaiknya jangan. Kalau bisa, aku ingin menangkapnya hanya dengan poi ini.


Karena Hime pasti akan merasa tidak enak hati. Aku yang bilang ingin memberinya hadiah, jadi tentu saja aku yang membayar semua ini.


Kalau pengeluarannya bertambah, dia pasti makin merasa bersalah. Jadi sebisa mungkin, aku harus berhasil hanya dengan satu poi ini.


"Yohei-kun, semangat ya."


Dengan lembut, Hime menyemangatiku sambil berdiri di sisiku. Tubuh kami saling bersentuhan, dan aku bisa merasakan kehangatannya.


(Kalau bisa, aku ingin tampil keren di depannya…)


Merasa kehadiran Hime di dekatku, semangatku langsung melonjak.


Pikiran yang tadinya buyar mulai kembali fokus. Perasaan panik pun lenyap, dan aku merasa lebih tenang.


(…Yang kecil itu sepertinya bisa.)


Pandangan mataku tertuju pada seekor ikan mas kecil yang berenang di pinggir akuarium.


Dia terlihat gesit, tapi kalau aku memanfaatkan pinggir akuarium, gerakannya bisa dibatasi.


Belajar dari kesalahan sebelumnya, kali ini aku menggerakkan poi dengan sangat hati-hati.


Tentu saja, aku tak lupa mengisi wadah dengan air dan menyiapkannya di dekat permukaan.


Aku memasukkan poi ke dalam air dengan perlahan agar tak menimbulkan getaran, lalu dengan gerakan halus, aku mengangkat ikan mas itu ke permukaan.


"Ah!"


Hime berseru pelan.


Bersamaan dengan suara itu, ikan mas yang kuincar berhasil masuk ke dalam wadah.


Berhasil.


"Fuuuh…"


Aku menyeka keringat yang entah sejak kapan mulai membasahi dahiku, dan menghela napas lega.

Syukurlah, berhasil juga.


"Yōhei-kun, hebat!"


Hime berseru gembira dan mendekat dengan penuh semangat.

Dia meletakkan tangannya di lututku, menatap lekat ikan mas yang berenang di dalam wadah.


"Waah…!"


Hime benar-benar terlihat bahagia. Tubuhnya bergoyang ke kiri dan kanan, memancarkan kegembiraannya dengan jelas.


(…Poinya masih bisa dipakai, mungkin aku bisa coba lagi?)


Hanya keinginan sesaat. Dia sudah begitu senang hanya dengan seekor.


Aku jadi penasaran, bagaimana reaksinya kalau aku berhasil menangkap dua?


Lagipula aku sudah berhasil sekali, jadi perasaanku tidak setegang tadi.


Dan karena pengalaman pertama sukses, aku merasa lebih percaya diri dan tahu caranya.


"Ah, berhasil juga."


Saat aku mencoba menangkap ikan mas lain yang kulihat, ternyata berhasil lagi.


Yang ini ukurannya agak lebih besar. Karena itu, jaring poi robek total dan tidak bisa digunakan lagi.


Tapi sekarang, jumlah ikan mas yang kutangkap jadi dua.


"…Bakat Yohei-kun menakutkan, ya."


"Itu kan, kalimatku barusan tadi."


"Aku sangat senang waktu Yohei-kun bilang begitu, jadi aku balas deh."


Hime berkata begitu sambil tersenyum geli. Mungkin ini bukti bahwa suasana hatinya benar-benar sedang baik.


"Tunggu sebentar ya. Aku minta dibungkusin ke om-om stan dulu."


"Ya!"


Aku lalu bilang ke penjaga stan kalau aku berhasil menangkap ikan mas.


Dia memasukkan dua ekor ke dalam kantong plastik bening dan menambahkan oksigen. Seharusnya ikan-ikannya bisa bertahan sampai di rumah.


"Nih. Hadiah untuk Hime."


Sesuai janji, aku ulurkan kantong berisi dua ekor ikan mas itu pada Hime.


"──Terima kasih banyak."


Namun sebelum menerima kantongnya, Hime langsung memelukku erat.


Tangannya melingkar di pinggangku, dan dia menatapku dari bawah.


Mata merah menyala itu menatap lurus ke arahku.


"Hi, Hime?"


Tentu saja aku terkejut.


Ini pertama kalinya Hime memelukku.


Tadi dia juga menggenggam tanganku duluan.


Hari ini dia memang agak berbeda dari biasanya.


Apa yang membuatnya berubah seperti ini? Kalau aku bilang tidak penasaran, pasti bohong.


Tapi aku tidak sempat bertanya.


"Eh-hehe."


Karena Hime sedang tersenyum polos. Dengan wajah bahagia, dia menyandarkan pipinya ke perutku sambil memejamkan mata.


Sudah pasti ada emosi di balik ini semua. Tapi karena dia menunjukkan kemanjaannya seperti ini, aku yakin ini bukan sesuatu yang buruk.


Bahkan sebaliknya. Hime sedang menunjukkan lebih banyak kasih sayang daripada biasanya.


Kalau begitu, aku tidak perlu menanyakan apa-apa. Dia tidak terlihat melakukan ini karena alasan logis atau rasional.


Jadi aku juga akan mengikuti perasaanku saja…

Dengan lembut, aku mengelus kepala Hime.


Tanpa maksud apa-apa. Aku hanya… merasa ingin melakukannya.


"Un…"


Hime mengeluarkan suara manja, dan menekan kepalanya makin erat.


Seolah ingin berkata, "Masih kurang. Elus terus, ya."


"Ah, Yohei-kun. Ada pesan darurat dari Mei-san."


Setelah sesi menangkap ikan mas selesai.


Mungkin karena tahu kalau terlalu lama berada di sana akan merepotkan pemilik stan, Hime tidak berlama-lama dalam pelukannya.


Setelah beberapa kali aku mengusap kepalanya, kami kembali berpegangan tangan dan mulai berjalan.


Mungkin kami akan bergabung dengan Hijiri dan yang lainnya... Begitu pikirku, sampai tiba-tiba Hime mendapat pesan di ponselnya.


"Sepertinya Onee-chan mengalami sakit perut setelah makan es serut. Karena toilet terdekat penuh, mereka sedang menuju ke supermarket yang sedikit lebih jauh."


"Es serut, ya... mungkin perutnya kedinginan."


Untunglah Mei yang menemaninya. Kalau soal Hijiri, pasti bisa kupercayakan.


"Mereka bilang akan kembali dalam waktu tiga puluh menit."


"Begitu... semoga saja mereka sempat melihat kembang api."


Tinggal sepuluh menit lagi sampai pukul delapan malam, waktu kembang api dimulai.


...Mungkin mereka berdua tidak akan sempat melihatnya.


"Hime. Ayo kita ambil foto kembang api untuk mereka berdua."


"Ide bagus. Tapi... kamera di ponselku tidak begitu bagus."


"Pakai ponselku saja. Nanti aku kirim lewat aplikasi pesan, jadi tenang aja."


"Bisa begitu, ya... Baiklah, aku serahkan padamu. Aku juga ingin menunjukkan kembang api pada Onee-chan dan Mei-san."


"Kalau begitu, gimana kalau kita cari tempat yang pandangannya lebih bagus?"


Tempat di sekitar kami dipenuhi stan makanan, jadi pandangan memang agak terhalang.


Akhirnya, aku dan Hime pindah sedikit. Sayangnya, kami tidak menemukan tempat tersembunyi yang kosong—dan tidak banyak waktu juga untuk mencari.


"Kalau di sini, sepertinya cukup jelas kelihatan."


"Ya, tempat ini pas banget."


Kami memilih sebuah lapangan terbuka, tempat kembang api akan diluncurkan.


Banyak orang di sana, tapi karena areanya cukup luas, kembang api pasti bisa terlihat jelas.


Lampu di sekitar juga sudah diredupkan agar kembang api terlihat lebih baik, jadi cukup gelap. Kalau sampai terpisah dari Hime, akan sulit mencarinya... Karena itu, tanpa sadar aku menggenggam tangannya lebih erat.


"...Nn."


Mungkin perasaanku tersampaikan pada Hime juga.


Dia menggenggam tanganku kembali, seolah mengatakan, aku ada di sini.


Dan saat kami saling berpegangan tangan seperti itu—waktu kembang api dimulai pun tiba.


"Yohei-kun, sepertinya sebentar lagi dimulai."


Panitia festival mengumumkan lewat pengeras suara bahwa kembang api akan segera diluncurkan.


Setelah hitungan mundur tiga, dua, satu...


Dooon!!


Dengan suara ledakan yang menggema sampai ke dasar perut, beberapa kembang api pun melesat ke langit satu per satu.


"…Waaah."


Tepat di atas kepala, kembang api beraneka warna mekar dan menyala terang.


Dentuman berat saat peluncuran, suara tajam saat menembus udara, lalu bunyi ledakan mesiu yang bergemuruh—semuanya terdengar jelas dan sangat memukau.


Tapi bukan hanya suara yang membuatnya begitu mengesankan. Karena kami berada dekat dengan tempat peluncuran, aroma mesiu tercium di sekitar, dan percikan api yang sangat terang seakan menari di udara.


Jauh lebih mengesankan dibanding melihat dari kejauhan.


...Aku benar-benar bersyukur bisa memperlihatkan ini pada Hime.


"Luar biasa, ya, Hime."


"Iya... luar biasa."


Hime yang berdiri di sampingku tampak terpukau.


Matanya terpaku ke langit, menatap kembang api yang meledak satu demi satu. Sepertinya lebih baik aku tak mengganggunya dulu dan biarkan dia menikmati pertunjukan.


(Oh iya. Aku harus foto.)


Aku sendiri hampir terpaku menatap kembang api, jadi aku cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan mengarahkannya ke langit sebelum lupa.


Setelah memotret beberapa kali, aku mengecek hasilnya. Bagus, fotonya cukup jernih… Nanti aku bisa kirim ke Hijiri-san.


Dengan itu, tugasku selesai. Sisanya, aku hanya ingin menikmati kembang api bersama Hime sepuasnya.


"…………"


Beberapa saat kami menikmati kembang api dalam diam.


Untuk skala festival kota, ini tergolong besar. Kembang apinya tak kunjung habis. Banyak, beragam, dan benar-benar menghibur. Festival yang bagus, benar-benar.


Aku juga bersyukur pada Kusumori-san yang merekomendasikan tempat ini. Kolam renang rekreasi di siang hari pun bagus, benar-benar tipikal informasi akurat dari anggota klub koran.


"...Sejak bertemu Yohei-kun, banyak hal pertama kali yang kualami."


Di tengah pertunjukan kembang api, Hime berbisik pelan. Suaranya kecil. Tapi entah kenapa, suara Hime selalu terdengar jelas olehku.


"Terima kasih untuk semuanya. Berkatmu, aku bisa menjalani hari-hari yang begitu bermakna."


Ucapan terima kasih itu membuat hatiku hangat.


Melihatnya begitu senang... membuatku ingin selalu bersamanya, sebanyak apa pun.


"Aku juga senang bisa bersama Hime. Aku yang seharusnya berterima kasih."


Perasaanku pun sama.


Aku menggenggam tangannya dan menyampaikan rasa terima kasihku dengan sungguh-sungguh.


Dan saat itulah—


"...Ah. Sepertinya, aku benar-benar tak bisa menahannya."


Hime menggenggam tanganku dengan lebih kuat lagi.


Aku menoleh, meninggalkan pandangan pada kembang api sejenak, dan menatapnya.


Pandangan kami bertemu.


"…………"


Hime menatapku dalam diam.


Dia sudah tidak menatap kembang api. Sejak tadi, setiap kali aku melihat ke arahnya, pandangan kami selalu bertemu.


Kalau begitu, artinya—Hime sudah sejak tadi terus menatapku.


"...Hime? Apa yang tak bisa kamu tahan?"


"Aku... tak bisa menahannya. Perasaanku terus meluap dan rasanya tak bisa kuendalikan... Perasaan seperti ini pertama kali kurasakan, dan jantungku... berdebar sangat kencang."


Seperti yang kuduga, dia tidak seperti biasanya.


Hime tak lagi setenang biasanya.


Sekarang, dia benar-benar terlihat terbawa suasana.


Pipi yang kadang-kadang terlihat oleh cahaya kembang api berwarna merah menyala, dan mata merahnya bersinar lebih terang dari biasanya.


"Sepanjang hari ini, aku berusaha menahan diri sebisaku. Tapi tidak bisa... Setiap kali berbicara dengan Yohei-kun, perasaanku semakin besar... dan tak bisa dihentikan."


Itu adalah sesuatu yang sudah lama aku sadari. Kalau Hime agak berbeda dari biasanya, aku sudah mengetahuinya sejak tadi.


Tapi bilang aku benar-benar nggak punya dugaan sama sekali juga bohong.


(Jarak antara aku dan Hime itu... bukan seperti kakak adik.)


Aku memang belum sepenuhnya yakin dengan alasan di baliknya... tapi setelah apa yang dia katakan barusan, aku nggak bisa lagi pura-pura nggak tahu.


Berlaku seolah-olah aku nggak mengerti hanya akan jadi hal yang tidak sopan terhadap Hime.


Karena itu, satu-satunya hal yang bisa kulakukan...


Adalah menerimanya dengan sepenuh hati.


"Sepertinya aku... sangat mencintai Yohei-kun."


Tentu saja aku nggak berpura-pura nggak mendengar.


Meski di tengah keramaian, meski di saat kembang api meledak di atas kepala, suara Hime terdengar dengan jelas. Aku juga nggak salah paham dengan maksud perasaannya.


"Bukan sebagai kakak. Tapi sebagai seorang laki-laki... aku jatuh cinta padamu."


...Entah kenapa, mungkin aku sudah sedikit menyadari dari sikap Hime selama ini.


Makanya, aku tidak terlalu terkejut mendengar pengakuannya.


"Kalau kupikir-pikir, sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah memperhatikan Yohei-kun."


"Pertama kali bertemu...?"


Bukan saat aku memberinya camilan di kelas.


Waktu kami benar-benar pertama kali saling menyadari keberadaan satu sama lain jauh sebelum itu.


"Hari upacara penerimaan siswa baru. Saat aku tersesat di dekat tempat pembuangan sampah... kamu yang menyapaku duluan. Sejak saat itu, aku terus memikirkanmu."


Ternyata dia masih mengingatnya.


Hal pertama yang mengejutkanku adalah fakta bahwa aku masih tersimpan di ingatannya.


Memang, Hime punya daya ingat yang luar biasa dan tidak akan lupa hal yang pernah dia lihat atau dengar. Tapi tetap saja, mendengar dia mengenang kejadian itu, membuatku senang karena aku ternyata cukup berarti baginya.


Aku juga masih mengingatnya dengan jelas.


Saat itu, aku melihat Hime... dan berpikir kalau dia sangat manis dan menggemaskan.


"Itu adalah hari pertama aku masuk sekolah. Apalagi aku masuk lewat jalur akselerasi, jadi jadi pusat perhatian. Ditambah lagi aku pendiam dan tidak ekspresif... karena itu, meskipun ada beberapa orang lain yang datang membuang sampah, mereka semua berjalan pergi tanpa berkata apa-apa. Wajar saja, mereka bukan tidak ramah—aku yang terlalu berbeda."


Hime sangat menyadari keunikannya sendiri.


Mungkin karena itu, waktu aku datang ke tempat pembuangan sampah pun, dia tidak bereaksi apa-apa. Karena sudah terbiasa tak disapa.


Justru karena itulah, mungkin dia sangat mengingat aku yang menyapanya.


"Tapi tetap saja, aku merasa sangat cemas saat itu. Sendirian, tidak tahu harus ke mana... dan saat itulah Yohei-kun datang menyapaku."


Aku tidak punya maksud tertentu waktu itu. Aku juga tidak merasa telah melakukan sesuatu yang luar biasa.


Aku hanya merasa khawatir melihat seorang gadis kecil duduk sendiri. Siapa pun yang ada di posisiku saat itu mungkin juga akan melakukan hal yang sama.


Tapi, Hime menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang sangat berharga.


"Kamu sangat membantu waktu itu. Suaramu lembut, kamu sangat memperhatikan perasaanku... kamu bahkan menyesuaikan langkah kaki dengan langkahku. Kamu tahu aku pemalu dan tidak memaksaku untuk bicara, hanya menemaniku di sana... aku pikir, Orang ini sangat baik."


Anak ini benar-benar cerdas. Sampai perhatian kecilku pun dia sadari. Aku jadi agak malu sendiri.


"Aku nggak melakukan apa-apa kok. Aku cuma nggak mau membuatmu merasa tidak nyaman."


"...Justru karena kamu bisa bersikap baik seperti itu tanpa memaksakan diri... aku pikir, Kakak ini luar biasa."


Seperti aku yang melihat Hime sebagai gadis kecil yang manis dan menggemaskan...


Hime juga menaruh kesan baik padaku sejak saat itu.


"Tapi aku tidak bisa menyapamu lebih dulu... kelas kita juga berbeda, jadi aku cuma bisa melihatmu dari kejauhan. Makanya, saat kita sekelas di tahun kedua, aku sangat senang."


"Aku juga senang, loh. Walaupun awalnya aku nggak nyangka kita bakal bisa ngobrol, tapi cuma dengan bisa melihatmu dari dekat saja rasanya sudah spesial."


"Itu terlalu melebih-lebihkan. Tapi kalau kamu sedikit saja menyadari keberadaanku... aku senang sekali."


Waktu kami sekelas pun, kami nggak langsung akrab.


Butuh waktu hampir dua bulan sebelum kami berbicara.


Sampai suatu hari, kami berdua tanpa sengaja tertinggal di kelas sepulang sekolah. Hime yang lapar, perutnya berbunyi, aku memberinya camilan... lalu dari situ kami mulai dekat—dan sampai ke titik ini.


"Setelah aku mulai dekat dengan Yohei-kun, perasaanku semakin berkembang. Awalnya, aku hanya ingin menjadi seperti adikmu. Kalau Yohei-kun menikah dengan Onee-chan, aku pikir aku juga bisa bahagia, dan aku sudah cukup puas."


"...Tapi sekarang, tidak lagi, ya?"


"Iya. Bahkan aku sampai dimarahi oleh Onee-chan. Dia bilang, 'Aku nggak mau menyerahkan orang yang Hime-chan cintai.' Dia mengatakannya dengan tegas."


"Wah... itu benar-benar gaya Hijiri-san, ya."


"Sangat seperti Onee-chan, dan... sangat baik juga. Karena itulah aku bisa menyadari perasaanku sendiri. Bahwa... aku mencintai Yohei-kun begitu besar, sampai tidak bisa puas hanya menjadi adik."


Sekali lagi, Hime menyampaikan perasaannya padaku.


Dan aku... menerima kata-kata "aku sangat mencintaimu" dari Hime dengan tulus.


Aneh rasanya, tapi aku tidak merasa gugup atau panik.


Berkat itu, aku tidak sampai menunjukkan sisi lemah yang tergagap dalam menjawabnya.


"…Aku senang mendengarnya. Aku juga sangat suka sama Hime."


Aku menyampaikan perasaanku dengan jujur.


Aku pun menyukai Hime, dari hati.


Tapi... apakah itu perasaan yang sama dengan rasa suka Hime?


Itu... hal yang berbeda.


"Aku tahu. Yohei-kun tidak melihatku sebagai lawan jenis, tapi lebih seperti adik... aku sadar kok."


"Tentu saja, bukan berarti aku nggak menyukaimu. Aku benar-benar suka kamu... sebagai Hime."


"Iya, aku tahu. Perasaanmu itu tersampaikan dengan baik, dan aku sangat senang karenanya."


Anak ini... terlalu peka terhadap perasaan orang.


Sepertinya Hime juga benar-benar memahami perasaanku tanpa salah mengartikan apa pun.


"Ehehe. Akhirnya aku mengatakannya juga."


Hime tertawa.


Dengan polos, seolah sedang menikmati momen ini… seperti biasa, dengan alami.


Senyumnya yang manis, ia arahkan padaku.


"Sebenarnya, aku tahu kalau sebaiknya aku tidak mengatakannya, lho? Karena itu bisa bikin Yohei-kun jadi bingung. Lagipula, meskipun aku mengungkapkan perasaan ini, hubungan kita juga tidak akan berubah."


Dia tidak ingin mengubah hubungan ini.

Mendengar itu, aku sempat merasa lega.


(Apa benar tidak apa-apa seperti ini?)


Kalau aku menghargai perasaan Hime, bukankah seharusnya aku memberikan jawaban yang jelas?


Bersikap menggantung bukan hal yang baik. Karena itu… aku malah jadi bingung.


"Hime, aku…"


Perasaanku sendiri belum sepenuhnya tertata. Tapi karena merasa harus mengatakan sesuatu, aku hampir saja menjawab tanpa benar-benar tahu apa yang ingin kukatakan.


Aku sendiri pun tidak tahu apa yang ingin kuucapkan.


Aku jelas tidak tenang. Kalau aku menjawab sekarang, kemungkinan besar aku akan menyesalinya. Aku tahu itu, tapi tetap saja, aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri.


"Tidak apa-apa, kok."


Tapi Hime menghentikanku.


"...!"


"Tidak masalah. Yohei-kun, ini hanya keegoisanku sendiri."


Ia berbisik dengan suara yang lembut. Berkat itu, aku bisa menutup mulutku tanpa mengatakan apa pun.


"Justru aku tidak ingin jawaban sekarang. Soalnya, aku belum dilihat sebagai lawan jenis. Mulai dari sekaranglah perjuanganku akan dimulai. Meskipun aku sangat senang diperlakukan dengan manis sebagai adik perempuan… tapi mulai sekarang, aku akan berusaha agar bisa dilihat sebagai seorang gadis."


"Hime…"


[Maaf]. Aku ingin mengatakan itu, tapi Hime kembali memotong ucapanku.


"Jangan minta maaf, ya. Ini hanya karena aku tidak bisa menahan perasaanku sendiri. Malah, aku yang bikin Yohei-kun bingung, jadi aku yang seharusnya minta maaf."


"Tidak! Hime juga jangan minta maaf."


Justru karena itulah, rasa bersalah makin menusuk di dada.

Seandainya saja aku orang yang tegas dan tahu apa yang aku rasakan, aku bisa langsung memberinya jawaban dan tidak membuatnya menunggu.


(Aku memang menyukai Hime. Tapi, perasaan ini termasuk jenis ‘suka’ yang seperti apa?)


Seperti yang Hime katakan, mungkin ini perasaan karena kuanggap dia seperti adik perempuan.


Atau mungkin… perasaan ini adalah sesuatu yang lain.


Sayangnya, aku tidak bisa memastikannya.


Sebagai orang yang lebih tua, itu sangat memalukan. Aku bahkan jadi ingin menyalahkan diriku sendiri. Tapi kurasa Hime tidak ingin aku melakukannya.


"Yohei-kun, jangan dipikirkan terlalu dalam, ya. Tidak perlu merasa bersalah, atau merasa tidak berguna. Jangan merasa telah menyakitiku… kalaupun kamu berpikir begitu, justru… aku akan senang kalau kamu tetap bersikap seperti biasa."


Dia hanya ingin menyampaikan perasaannya yang tak tertahankan. Bukan untuk mengubah hubungan ini menjadi sesuatu yang lebih. Itulah maksud Hime.


"Kalau karena keegoisanku hubungan kita jadi canggung… justru itu yang paling menyedihkan."


Mungkin itulah yang paling ia takuti.


Padahal dari tadi ia selalu terlihat ceria, tapi kini ekspresinya langsung menunduk. Pandangan matanya jatuh ke bawah, dan genggaman tangannya melemah.


(Ah… ini tidak boleh terjadi)


Aku mendadak berpikir seperti itu.


Kalau aku mulai bersikap aneh atau menjaga jarak dari Hime… dia pasti akan terluka.


Dan itu adalah hal yang tidak boleh terjadi.


"──Perasaanku bahwa aku menyukai Hime itu beneran sungguh-sungguh."


Karena itu, tenanglah.


Untuk menyampaikan itu, aku mengelus kepalanya dengan lembut.


"Maaf… ah, bukan, lupakan. Aku tidak bermaksud minta maaf. Maksudku, setelah mendengar perasaan Hime… aku ingin kita tetap bisa akrab seperti biasanya. Walaupun aku belum bisa menata perasaanku, tapi soal itu saja, aku yakin."


Aku hampir saja minta maaf lagi, tapi berhasil menahannya.

Aku ingin tetap bersama Hime seperti biasanya. Aku ingin menyampaikan itu dengan jelas.


"...Ehehe. Kalau begitu, aku senang."


Lalu Hime kembali tersenyum. Ia tampak lega, dan ekspresinya melunak.


Padahal hanya satu kalimat… tapi ia mempercayainya sepenuhnya, tanpa ragu sedikit pun.


Melihat wajahnya yang benar-benar tenang dan penuh kepercayaan itu, aku pun ikut tersenyum.


Hubunganku dengan Hime tidak berubah. Selama kami bisa tetap akrab seperti ini, kurasa itu sudah cukup.


(...Tapi, benarkah cukup seperti ini?)


Suara dalam hatiku bergema, tapi aku berpura-pura tidak mendengarnya.


Aku dan Hime kembali menatap langit.

Kembang api masih berlanjut.


Di langit malam yang gelap, bunga-bunga warna-warni terus bermekaran.


Seindah biasanya. Rasanya ingin melihatnya selamanya.


Namun, beberapa menit kemudian festival kembang api pun usai. Segala hal pasti ada akhirnya. Yang tersisa hanyalah aroma mesiu dan suara riuh orang-orang.


"Yohei-kun, ada pesan dari Mei-san. Sepertinya mereka sudah kembali, tapi perut Onee-chan sedang tidak enak, jadi mereka ingin langsung pulang."


"Baiklah. Kalau begitu, kita juga pulang saja, ya."


Dan akhirnya kami pun pulang.


Banyak hal yang terjadi, tapi Hime tetap seperti biasa… dan aku, walaupun sempat kesulitan bicara di awal, akhirnya bisa bersikap alami seperti biasanya.


(Apa ini benar-benar sudah cukup?)


Tapi suara itu masih bergema di hatiku.


Ada bagian dalam diriku yang terus bertanya, "Apa benar ini sudah cukup?"


Kalau aku hadapi suara itu… mungkin hubunganku dengan Hime akan berubah.


Karena itulah… aku tetap berpura-pura tidak mendengarnya.


──Dan begitu saja, malam pun berakhir.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close