NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Darenimo Natsukanai Tobikyuu Tensai Youjo ga, Ore ni Dake Amaetekuru Riyuu V2 Chapter 4

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty


Chapter 4

Onee-chan


Liburan musim panas tinggal tersisa satu minggu lagi.


(Tugas… belum selesai, ya)


Karena ini liburan panjang, tentu saja tugas yang diberikan juga lumayan banyak. Sebenarnya aku sudah mengerjakannya sedikit demi sedikit, tapi masih ada sekitar sepuluh persen yang belum selesai.


Menurut rencanaku, semuanya sudah harus beres sekarang. Tapi, sejak beberapa hari lalu aku benar-benar nggak punya semangat untuk menyentuh tugas-tugas itu, dan akhirnya kutinggalkan begitu saja.


Bukan cuma tugas. Game yang kusukai, siaran video yang biasa kutonton tiap hari… aku nggak punya semangat menyentuh apa pun dan hanya melamun saja.


Entah kenapa TV tetap menyala, tapi aku sama sekali nggak menyerap apa pun dari isinya. Mungkin ini yang disebut "pikiran sedang melayang entah ke mana."


Penyebab kenapa aku kehilangan semangat sampai segitunya—


Itu karena festival musim panas beberapa hari lalu.


(…Waktu itu, seharusnya aku bilang apa ya?)


Lebih tepatnya, aku terus memikirkan bagaimana seharusnya aku menjawab pengakuan Hime.


Aku nggak bisa bilang apa-apa. Hime bilang itu nggak masalah.


Bukan berarti sikapku waktu itu salah. Tapi tetap saja, rasanya ada pilihan yang lebih baik daripada diam saja.


"Fuuah… payah banget sih."


Aku bergumam kecil di atas ranjang, lalu menggulingkan badan.


Sekarang sudah siang. Tadi aku baru bangun, dan begitu bangun langsung kepikiran soal Hime. Sepertinya hari ini juga akan kulewati dalam keadaan melamun.


Aku tahu ini nggak boleh dibiarkan.


(Aku mau… ketemu Hime.)


Aku sudah memutuskan.


Sejak festival musim panas, Hime belum menghubungiku sama sekali.


Tentu saja bukan karena hubungan kami jadi canggung. Memang dari awal, aku dan Hime hanya saling menghubungi kalau ada urusan saja, jadi ini adalah hal yang biasa.


Baik aku maupun dia, kami nggak terlalu jago dalam komunikasi lewat internet.


Tapi entah kenapa, beberapa hari terakhir ini aku jadi kepikiran terus. Aku jadi sering mengecek ponsel, berharap ada pesan darinya… padahal aku sendiri nggak tahu, sebenarnya aku berharap apa.


Dan sebenarnya, perasaan seperti apa sih yang kupunya untuk dia?


Aku belum bisa menjawab itu.


Tapi, kalau aku terus-terusan begini, mungkin nanti bakal terasa aneh saat ketemu dia.


Setidaknya, sebelum liburan musim panas selesai, aku ingin ketemu dia sekali lagi. Rasanya ngeri kalau sampai waktu berlalu terlalu lama.


Jadi, aku pun mengirim pesan ke Hime.


[Maaf mendadak. Bisa ketemu dalam waktu dekat? Aku dapat oleh-oleh kue dari kakakku, pengin bagi-bagi juga ke kamu]


Cerita soal oleh-oleh dari kakakku itu benar. Sepertinya dia habis pergi liburan, dan dia beliin oleh-oleh untukku, terpisah dari punya orang tuaku.


Tapi jumlahnya terlalu banyak kalau kumakan sendiri, dan orang tuaku nggak suka makanan manis.


Makanya aku pikir, sekalian saja kubagi ke Hime dan Hijiri-san… bisa sekalian jadi alasan juga, jadi timing-nya pas banget.


Sekarang aku jadi agak gelisah.


Tapi kalau aku bisa langsung ketemu dan bicara sama Hime, mungkin perasaanku akan lebih tenang.


Sambil menunggu balasan, aku terus berpikir begitu.


Hime memang jarang bawa ponsel, jadi biasanya balasannya lama. Tapi hari ini cepat.


(Oh, udah dibalas… eh?)


Begitu suara notifikasi masuk terdengar, aku langsung melihat layar ponsel.


"Hijiri-san?"


Ternyata yang muncul bukan Hime, tapi Hijiri-san.


Kebetulan, ya? Kok pas banget momennya. Dengan pikiran begitu, aku membuka kunci layar dan membuka aplikasi pesan.


Begitu kulihat isi pesannya, tubuhku langsung terlonjak.


[Maaf ya, Yohei. Hime-chan lagi kena flu]


Flu?. Hime lagi nggak enak badan.


Kenapa, ya? Waktu festival dia kelihatan sehat… jadi berarti dia sakitnya setelah itu?


…Apa mungkin, karena aku?


Aku nggak bisa menjawab pengakuan Hime dengan baik. Dia memang berusaha tetap ceria, tapi kalau sebenarnya dia memaksakan diri dan malah kepikiran…?


Kalau kupikir begitu, aku jadi makin nggak tenang.


[Hime-chan bilang, "Jangan khawatir, ya. Cuma flu musim panas kok. Jadi tenang aja, ya.]


Mungkin Hijiri-san lagi merawat Hime sekarang.


Sepertinya pesanku ke Hime sudah sampai, tapi karena dia nggak punya tenaga untuk membalas, akhirnya Hijiri-san yang mengirimkan pesan sebagai gantinya.


Flu bisa menular. Kalau Hijiri-san merawat dia, itu karena mereka satu rumah. Tapi aku bukan keluarga, jadi nggak seharusnya aku datang.


Aku tahu itu.


Tapi meskipun begitu, aku tetap berpikir seperti ini—


[Boleh nggak… aku datang menjenguk? Aku nggak peduli kalau nanti ketularan. Aku pengen ketemu saja]


Aku khawatir. Kalau membayangkan Hime lagi kesakitan, rasanya aku nggak bisa diam saja.


Tentu saja ini cuma keegoisanku sendiri. Meskipun aku datang menjenguk, flu-nya Hime juga nggak akan langsung sembuh. Tapi, setidaknya aku ingin mengatakan sesuatu untuk menguatkannya.


Ini bukan soal logika. Perasaanku… nggak bisa dibendung.


[Sudah kuduga Yohei bakal ngomong begitu]


Dari balasan Hijiri-san, terasa nada "ya ampun, dasar kamu."


[Dari semalam dia udah demam, aku sempat mikir mau kasih tahu kamu juga. Tapi aku ragu, soalnya kalau kukasih tahu kamu pasti langsung datang. Nggak nyangka kamu malah duluan yang ngontak~]


Pesannya masuk satu per satu.


Tapi nggak ada satu pun kalimat yang menyuruhku untuk jangan datang.


[Hime-chan juga bilang dia pengin kamu datang]


…Syukurlah. Sepertinya Hime juga pengin aku datang menjenguk.


Dan, dengan begitu—


Agak mendadak, tapi aku memutuskan untuk pergi menjenguk Hime.


Setelah beberapa saat bertukar pesan dengan Hijiri-san, dia bilang akan menyediakan mobil antar-jemput untukku juga.


Sebenarnya aku sempat berpikir akan naik bus ke sana, tapi dengan mobil waktu bisa lebih dihemat, jadi aku benar-benar bersyukur. Karena Mei-san sedang sibuk merawat Hime, seperti sebelumnya, kakek Haruno-san yang akan datang menjemputku.


Setelah membuat janji temu di minimarket terdekat dalam waktu tiga puluh menit, aku mengakhiri pesan dengan Hijiri-san.


Sebagai oleh-oleh untuk menjenguk, aku akan membawa cokelat dari kakakku… lalu aku juga akan beli minuman isotonik, jelly, dan beberapa hal lain dari minimarket.


Sambil memikirkan itu, aku bersiap-siap dengan cepat.


Waktu menunjukkan pukul dua siang.


Padahal baru sekitar dua jam sejak aku bangun tidur, tapi aku sudah sampai di kediaman keluarga Hoshimiya.


"Terima kasih sudah mengantar."


Setelah mengucapkan terima kasih kepada Haruno-san, kakek yang menyetir mobil, aku segera melangkah cepat menuju bangunan besar bergaya arsitektur Barat.


Ngomong-ngomong, aku tidak mendapat banyak informasi dari Haruno-san selama di mobil. Orang itu, baik dalam arti positif maupun negatif, sangat santai. Tentang kondisi Hime pun dia hanya bilang, "Dia baik-baik saja," dan tidak menjelaskan lebih lanjut.


Karena itu, begitu sampai dan disambut di pintu masuk, aku langsung bertanya kepada Mei-san tentang kondisi Hime.


"Cuma flu musim panas biasa kok."


Jawaban itu, pada dasarnya sama saja seperti yang dikatakan Haruno-san.


Sementara aku panik dan bahkan belum sempat melepas sepatu di depan pintu, Mei-san tampak seperti biasa saja. Justru, sepertinya aku yang terlihat agak aneh di matanya.


"Yohei-sama, tenanglah. Pagi tadi dia sudah periksa ke rumah sakit, dan memang cuma flu musim panas biasa. Dia juga sudah dapat obat, jadi tenang saja."


…Sepertinya aku memang terlalu khawatir.


Setelah mendengar penjelasan Mei-san yang tenang dan jelas, aku mulai merasa lebih tenang.


"Maaf. Aku mungkin sedikit terlalu panik tadi."


"Fufu… Kau benar-benar sangat peduli pada Hime-ojou-sama, ya."


Sementara itu, Mei-san menyempitkan matanya sambil tersenyum lembut.


Rasanya malu juga. Seperti perasaanku pada Hime benar-benar bisa dilihat dengan jelas olehnya.


"Hime-ojou-sama memang sering sakit. Waktu kecil, hampir tiap dua bulan sekali dia jatuh sakit."


"Memang aku pernah dengar kalau tubuhnya tidak terlalu kuat… jadi begitu, ya."


"Tapi mulai tahun lalu, dia jadi jauh lebih sehat, kok. Sejak naik ke kelas dua, dia belum pernah sakit sama sekali. Tapi karena waktu kecil dia sering terbaring sakit seperti ini, kami sudah terbiasa menghadapinya."


Pantas saja Haruno-san dan Mei-san terlihat sangat tenang. Bagi mereka ini adalah hal yang biasa. Lagipula Hime juga sudah diperiksa di rumah sakit. Kalau begitu, seharusnya tidak perlu khawatir berlebihan.


"Karena itu… sejujurnya kami berharap kunjungan dibatasi supaya virusnya tidak menular ke orang lain."


"…Maaf, aku memaksa datang."


"Kalau Yohei-sama sih, ya sudahlah. Kalau kau janji akan cuci tangan dan kumur dengan benar, aku akan membiarkanmu masuk."


"Ya, aku janji."


Saat aku mengangguk, Mei-san mengisyaratkan agar aku masuk.


Dia orang yang baik. Meskipun aku memaksa, dia tetap menerima tanpa memperlihatkan wajah tidak suka… meskipun penampilannya seperti anak-anak, tapi dia punya kedewasaan dan ketenangan orang dewasa.


Berkat sikap tenangnya, rasa panikku pun hampir hilang sepenuhnya.


Syukurlah. Sepertinya aku bisa bertemu Hime dengan sikap seperti biasa.


"Silakan."


Mei-san mengantarku sampai ke kamar saudara perempuan itu, lalu membukakan pintu.


Sepertinya dia tidak berniat masuk ke dalam. Setelah memastikan aku sudah masuk, dia menutup pintunya perlahan.


"Oh, Yohei datang."


"Maaf, aku datang mendadak."


Di tepi dinding kamar, di ujung ranjang besar, Hijiri-san duduk di sana.


Tapi aku tidak melihat Hime. Dari posisiku berdiri, dia terhalang pandangan, jadi aku pun mendekat ke tempat tidur… dan akhirnya, aku melihatnya.


"Ah."


Sepertinya dia juga melihatku di saat yang sama.


Hime ada di tengah-tengah tempat tidur, hanya kepalanya yang muncul karena tubuhnya tertutup selimut sampai leher.


"Hime, aku datang."


"Itu Yohei-kun. Onee-chan, Yohei-kun datang menjenguk kita... Uhuk."


"Hime-chan!? Jangan terlalu semangat, aduh!"


"Eh-hehe. Maaf, aku senang sekali sampai lupa diri."


Hime tertawa.


Wajahnya merah karena demam dan ekspresinya terlihat lelah. Tapi dia tetap tersenyum cerah, dan melihat wajahnya itu membuatku merasa lega.


Syukurlah, dia tampak lebih sehat dari yang kukira.

Mungkin memang aku saja yang terlalu khawatir.


"Yohei-kun, terima kasih sudah datang."


"Tidak, tidak. Oh iya, aku bawakan beberapa barang buat kamu."


Selain oleh-oleh dari kakakku, aku juga membeli beberapa makanan ringan yang mudah dimakan saat sakit dari minimarket. Setelah kuberikan, Hijiri-san menerimanya dariku.


"Terima kasih. Hime-chan susah disuruh makan waktu sakit, jadi ini sangat membantu~"


"Soalnya, aku memang nggak nafsu makan."


"Tapi kalau kamu nggak makan, nanti tubuhmu makin lemah. Justru pas lagi nggak sehat begini kamu harus makan dengan baik."


"...Aneh sekali. Onee-chan itu ngomong pakai logika sekarang."


"Apa maksudmu Onee-chan itu!? Hime-chan, dasar kamu—"


...Hubungan mereka memang masih seperti biasa.


Hime kadang bersikap sedikit nyebelin ke Hijiri-san, dan Hijiri-san tampaknya senang sekali melihat Hime yang seperti itu sampai mencubit pipinya berkali-kali.


"Uhuk, uh..."


Tapi sesekali Hime masih batuk, jadi jelas ini bukan situasi biasa.


"Hime, kamu nggak apa-apa?"


"Aku baik-baik saja. Kecuali tenggorokan yang sakit, badan yang lemas, dan kepala yang pusing, semuanya aman kok."


"Itu sih namanya jelas lagi sakit."


"Eh-hehe, ternyata nggak bisa pura-pura sehat, ya."


...Aku jadi makin yakin kalau dia sedang memaksakan diri.


Wajahnya memang tersenyum, tapi entah kenapa terasa agak canggung. Bukan senyum palsu sih, tapi seperti dia sedang berusaha keras untuk terlihat ceria.


Mungkin dia melakukan itu agar aku tidak khawatir.


Bahkan saat seperti ini pun dia masih memikirkan aku... anak ini benar-benar penuh perhatian.


"Yohei-kun, kamu ada bawa jelly minuman?"


"Ada, kok. Aku beli sekitar tiga."


"Kalau begitu, bolehkah aku minta satu? Jujur saja, hari ini aku belum makan apa pun."


Setelah bilang begitu, Hime perlahan bangkit dari tidurnya.


AC di dalam kamar cukup dingin, tapi keningnya tetap basah oleh keringat.


Dia pakai baju lengan panjang dan berselimut rapat, tapi sepertinya bukan itu penyebabnya. Kemungkinan besar tubuhnya demam.


Itu tandanya sistem imunnya sedang melawan virus. Energinya juga pasti terkuras, jadi sebaiknya dia mengisi nutrisi walau sedikit.


"Yohei, suapin dia, ya."


"Eh? A-ah... baiklah."


Sempat terpikir kalau seharusnya Hijiri-san saja yang menyuapinya, tapi karena dia malah menyerahkan padaku, mungkin menurutnya akan lebih baik begitu. Jadi aku nurut saja.


"Hime, nih."


Hijiri-san berdiri, dan aku duduk di pinggir tempat tidur menggantikan posisinya. Aku membuka tutup jelly minuman instan yang terkenal bisa isi ulang energi hanya dalam 10 detik, lalu menyerahkannya ke Hime.


"Terima kasih. Aku minum, ya."


Lalu dia mendekatkan kepala ke arahku—tanpa memakai tangannya, langsung menempelkan mulut ke mulut botol yang aku pegang.


Sama seperti waktu makan permen, dia memutuskan untuk meminum jelly langsung dari tanganku.


(...Hup.)


Karena mungkin dia merasa lemas akibat demam, tubuhnya agak goyah. Jadi aku menyanggah punggungnya dengan satu tangan agar dia lebih stabil. Setelah itu, dia tampak lebih mudah meminumnya, dan pelan-pelan kemasan jelly itu mulai menyusut.


"Haah... Hah, uhuk..."


Walau diselingi nafas dan batuk, akhirnya dalam waktu sekitar satu menit, dia berhasil menghabiskan semuanya. Yang tersisa di tanganku hanya bungkus kosong yang pipih seperti batang apel yang sudah habis dimakan.


"Terima kasih banyak. Dingin dan enak rasanya."


"Syukurlah kamu bisa habiskan semuanya. Oh iya, aku juga bawa oleh-oleh dari kakakku yang dari luar negeri. Kalau kamu sudah sembuh, ayo makan bareng."


"Ya. Karena Yohei-kun yang bawa, tentu saja aku akan memakannya."


...Sepertinya ekspresinya melunak sedikit.


Mungkin karena efek jelly. Atau, mungkin karena setelah selesai minum, entah sejak kapan dia menggenggam tanganku.


"Tangan Yohei-kun hangat, ya."


"Mungkin... karena tanganmu dingin, Hime."


Padahal dia berkeringat, tapi ujung jarinya sangat dingin.


Sampai-sampai aku refleks menggenggam erat, seakan ingin menghangatkannya.


"Eh-hehe."


Hime tersenyum lemah.


Tapi karena belum benar-benar pulih, dia kelihatan lelah saat bicara. Mungkin juga tidak baik kalau dia terus duduk terlalu lama. Tapi meski begitu, Hime tampaknya belum ingin tidur.


"Yohei-kun, lihat ini. Ini kelinci yang aku dapat dari festival kemarin."


Dia mencoba melanjutkan percakapan. Seolah ingin bilang, aku masih ingin bicara lebih lama... dan aku tak bisa mengabaikan perasaan itu.


"Wah, benar. Kamu taruh di samping boneka beruang, ya."


"Ya. Kupikir mereka cocok berteman baik... juga, entah kenapa mirip kamu dan aku, jadi aku suka melihatnya."


Kata-katanya bikin malu, tapi juga bikin senang.


Lalu dia menunjuk ke arah tembok. Di sana ada mangkuk ikan yang diletakkan di atas lemari.


"Ikan mas yang kamu berikan juga sudah dimasukkan ke dalam mangkuk. Mereka berenang dengan sehat, lho."


...Ternyata aku bener-bener lagi panik, ya.


Harusnya aku bisa sadar soal ikan itu sejak tadi, tapi malah baru sadar setelah Hime menunjukkannya.


Aku terlalu mengkhawatirkan Hime sampai-sampai pandanganku terasa sempit.


"Menurut Mei-san, katanya mereka masih akan tumbuh lebih besar. Jadi nanti akan dipindahkan ke akuarium yang lebih besar, menyesuaikan ukurannya."


"Oh, begitu ya. Kira-kira bisa tumbuh seberapa besar?"


"Katanya tergantung individunya juga, tapi... beberapa sentimeter lagi, sepertinya... uhuk."


Hime tampak masih ingin terus mengobrol. Tapi sepertinya tubuhnya sudah mulai meminta istirahat.


"Hime-chan, gimana kalau sekarang tidur dulu? Kalau tidur banyak, pasti cepat sembuh, kok."


Hijiri juga sepertinya memikirkan hal yang sama denganku.


Hime pun tampaknya sadar akan kondisinya, dan menurut saja, lalu berbaring kembali.


(...Tapi tangannya nggak mau lepas.)


Hime terus menggenggam tanganku.


Tentu saja, aku nggak melepaskannya. Tapi karena aku ingin menyelimutinya, aku mengganti posisi tubuhku sambil tetap menggenggam tangannya.


"Yohei-kun, makasih untuk semuanya."


"Asal demi Hime bisa cepat sembuh, ini semua bukan apa-apa kok."


"...Kalau dibilang begitu, aku jadi harus berusaha cepat sembuh, ya."


"Enggak perlu dipaksain kok. Cukup istirahat yang banyak aja, itu udah cukup."


"Baiklah."


Setelah mengucapkan itu, Hime pun menutup matanya perlahan.


Dia tadi menyambutku dengan semangat, mungkin karena itu sekarang dia kelelahan. Bisa jadi rasa kantuk juga mulai datang.


"Hime-chan, selamat tidur ya. Kalau ada apa-apa, Onee-chan ada di dekatmu, jadi panggil aja kapan pun."


"Iya. Tapi aku khawatir, jangan sampai Onee-chan tertular flu dariku."


"Haah... andai kalau aku tertular flu, Hime-chan bisa langsung sembuh, aku rela kena flu berapa kali pun deh."


"Sayangnya, Onee-chan nggak bakal kena flu, kok. Soalnya, orang bodoh nggak bisa tertular."


"Ugh... memang sih, katanya orang bodoh nggak kena flu. Kalau aku nggak bodoh, aku bisa nyerap flunya Hime-chan dan bikin kamu sehat lagi...!"


"Itu tadi cuma bercanda, kok. Onee-chan bukan orang bodoh. Cuma... nggak pinter belajar aja."


"Itu namanya bodoh juga!"


"Ehehe."


Percakapan khas kakak-adik keluarga Hoshimiya yang hangat dan menyenangkan.


Mendengar obrolan santai mereka seperti biasa, entah kenapa hatiku jadi tenang. Kalau masih bisa bercanda seperti ini, sepertinya dia akan baik-baik saja.


"............zzz."


Setelah percakapannya dengan Hijiri selesai...


Tiba-tiba Hime nggak berkata apa-apa lagi. Setelah beberapa menit mengamati, napasnya yang halus dan tenang mulai terdengar.


"Hime-chan udah tidur, ya."


"Iya. Tidur nyenyak banget."


"Fuuh... syukurlah..."


Hijiri yang duduk di sebelahku menatap wajah tidur Hime dan menghela napas lega.


Berbeda dari saat Hime masih bangun tadi, ekspresinya sekarang terlihat sedikit cemas.


Tentu saja, dia pasti mengkhawatirkan kondisi adiknya. Meski begitu, dia tetap berusaha ceria di depan Hime dan mencoba menghiburnya.


Seperti biasa, dia benar-benar kakak yang hebat dan luar biasa.


"Kira-kira mulai kemarin siang, ya? Tiba-tiba dia bilang tubuhnya terasa lemas. Pas malam, dia juga nggak nafsu makan, dan waktu aku periksa, ternyata dia demam... Suhunya naik sampai tiga puluh delapan derajat di tengah malam."


"Itu cukup tinggi, ya."


"Iya. Sepertinya badannya benar-benar nggak enak, jadi malamnya dia hampir nggak tidur. Paginya kami bawa ke dokter, dan setelah minum obat, keadaannya lumayan membaik... Tapi tetap aja, nafsu makannya belum balik. Padahal Haruno-san dan Mei-chan udah menyiapkan banyak hal, tapi dia nggak makan apa-apa. Aku jadi khawatir banget."


Tadi saat bertemu Hime langsung, aku sempat merasa kondisinya nggak separah bayanganku.


Ternyata, sebenarnya dia cukup parah.


"Sebelum siang, dia lemas banget, bahkan diajak ngomong juga cuma bengong dan reaksinya lambat... Tapi, begitu dapat kabar dari Yohei, dia langsung lebih sadar. Dia juga akhirnya mau minum jelly, dan sekarang bisa tidur dengan tenang kayak gini... jadi aku merasa sedikit lega."


Hijiri tertawa kecil, lalu memandang ke arah tanganku.


Karena Hime masih menggenggam tanganku, aku jadi sedikit canggung. Tapi menyembunyikan kontak fisik seperti ini sekarang pun rasanya nggak ada gunanya.


Soalnya, Hijiri sudah melihat semuanya sejak awal.


"...Makasih udah datang. Berkat Yohei, Hime-chan juga kelihatan senang."


"Nggak, aku nggak ngelakuin apa-apa yang perlu disyukuri kok... Aku cuma nggak bisa tenang karena khawatir sama Hime."


"Tapi tetap aja, Hime-chan kelihatan lebih segar setelah lihat wajah Yohei. Itu aja udah bikin aku lega banget."


Hijiri bergumam pelan, lalu menyentuh rambut Hime yang sedang tidur. Dia merapikan bagian yang agak berantakan dengan lembut.


"Sebegitu pentingnya Yohei buat Hime-chan, ya."


"...Masa, sih?"


"Iya. Soalnya, waktu aku yang pegang tangannya, atau waktu aku duduk di sebelahnya, dia nggak jadi segar kayak tadi. Sedih sih, tapi kenyataannya aku bukan sosok yang bisa bikin dia semangat kayak kamu."


"──Itu nggak benar. Aku nggak yakin Hime menganggap aku lebih spesial dari Hijiri-san."


Aku langsung menyangkal. Perbandingan itu membuatku sedikit resah.


Memang, mungkin Hime terlihat lebih bersemangat setelah aku datang. Tapi itu cuma efek sementara. Faktanya, sekarang dia sudah kehabisan tenaga dan tertidur.


Sebaliknya, berkat kehadiran Hijiri yang selalu berada di sisinya, Hime bisa merasa tenang dan nyaman.


Artinya, peranku dan peran Hijiri itu berbeda.


Aku nggak mau dia salah paham, jadi buru-buru kujelaskan.


"Ufufu. Aku tahu kok~. Nggak usah panik begitu, Yohei? Aku tahu Hime-chan sangat menyayangiku."


Ternyata, kekhawatiranku tadi nggak perlu.


Ternyata aku cuma salah paham, dia sebenarnya sudah mengerti dengan baik.


"Yah, walaupun aku agak nggak terima sih. Aku kan lebih sering bareng Hime-chan, tapi Yohei bisa disukai sama besarnya. Itu curang banget!"


"Me-meskipun kau bilang curang…"


Aku agak kesulitan menanggapi. Saat aku hendak menjawab—


"Unnya…"


Mungkin bukan sleep talking, tapi Hime menggumamkan sesuatu yang aneh.


Suara manisnya itu menyadarkanku akan kehadiran Hime.


Benar juga. Hime sedang tidur. Aku tak ingin mengganggu tidurnya.


Sepertinya sebaiknya pembicaraan kami sudahi di sini. Terlalu lama tinggal di sini juga rasanya nggak enak... Mungkin aku harus pulang.


Begitulah pikirku, tapi...


"Yohei. Ayo keluar sebentar."


Hijiri-san tiba-tiba mengajakku. Sepertinya dia masih belum puas bicara.


…Atau mungkin, ada hal lain yang ingin dia bicarakan.


"Baik."


Aku juga masih ada hal yang ingin kutanyakan, jadi ini pas sekali.


Aku mengangguk, lalu perlahan bangkit dari tempat tidur. Hime tampaknya sudah benar-benar tertidur, karena genggaman tangannya mulai mengendur. Kebetulan sekali.


Pelan-pelan aku melepaskan tangannya agar tidak membangunkannya.


"Hime. Selamat tidur."


Aku menyampaikan kata itu padanya.


Lalu bersama Hijiri-san, kami pelan-pelan meninggalkan kamar.


Tempat yang dituju adalah taman luas milik keluarga Hoshimiya.


Tanahnya ditutupi rumput hijau, dan di sekitar pagar ditanam pohon-pohon dengan jarak yang rapi. Rasanya seperti taman kecil dan suasananya nyaman.


Di sudut juga terlihat kebun kecil. Tamannya benar-benar terawat dengan baik.


"Haruno-san itu dulunya tukang kebun, lho. Sekarang dia juga merangkap jadi sopir, tapi biasanya dia lebih sering mengurus taman ini. Kebun yang di belakang itu dikelola Mei-chan, dia yang menanam sayur-sayuran."


Mungkin karena kulihat-lihat sekeliling, Hijiri-san mulai menjelaskan berbagai hal padaku.


"Pohon di sana nanti bisa dipanen buah kesemeknya saat musim dingin. Lihat deh, ada buahnya yang masih hijau, kan?"


"Benar juga… Tunggu, semua pohon ini pohon kesemek? Kayaknya hasil panennya bakal banyak banget."


"Iya, sih. Enak, sih, tapi kami nggak bisa ngabisin semuanya, jadi biasanya dikasih ke kenalan. Nanti Yohei juga kebagian, ya."


"Boleh? Makasih, aku jadi nggak sabar nungguin."


Sambil bertukar obrolan ringan, aku berjalan pelan mengikuti Hijiri-san.


Karena masih siang, matahari masih cukup terik. Kami berpindah ke bawah naungan pohon kesemek, dan Hijiri-san pun berhenti di sana.


"…………"


Sepertinya penjelasan soal taman sudah selesai.


Hijiri-san terdiam, dan keheningan menyelimuti kami.


Sebenarnya aku juga ingin bicara, tapi entah kenapa sulit untuk memulai.


Ngomong-ngomong, rasanya sudah lama juga sejak terakhir kali aku berdua saja dengan Hijiri-san. Biasanya kalau bersamanya, Hime juga selalu ada.


Kalau dipikir-pikir, kami baru pernah sekali berdua saja.


Waktu itu masih awal aku akrab dengan Hime. Kami ngobrol di ruang kelas setelah pulang sekolah.


"Ufufu. Hubungan antara aku dan Yohei ini… aneh banget, ya."


"Yah, aku menganggap kita teman sih."


"Aku juga. Tapi, rasanya kita bukan teman yang akrab."


Itu memang benar. Hubunganku dengan Hijiri-san memang agak sulit disebut dekat.


Kami saling percaya, aku bisa merasakannya. Tapi ya, hanya sebatas itu.


"Kalau nggak ada Hime-chan, aku jadi bingung mau ngobrol apa."


"Bukan karena canggung, kok. Bukan juga karena salahmu… Mungkin karena aku memang nggak terlalu pandai beri

nteraksi sama orang lain."


"Hmm. Tapi sama Hime-chan, kalian bisa begitu akrab, ya."


Rasanya suasananya berubah.


Biasanya Hijiri-san tampak santai dan lembut, tapi kini ekspresinya sedikit lebih serius dari biasanya.


Sepertinya, ini saatnya topik utama dimulai. Aku pun ikut bersiap.


"Yohei, kamu… ada sesuatu yang terjadi dengan Hime-chan kan?"


...Seperti yang kuduga, dia memang bisa merasakannya.


Yah, mana mungkin seorang kakak melewatkan perubahan pada adiknya.


"Setelah festival musim panas, Hime-chan jadi sangat bersemangat… selama beberapa hari tingkah lakunya agak aneh. Mungkin sekitar tiga hari? Dia terus dalam suasana hati yang tinggi, sampai-sampai aku khawatir, dan akhirnya dia malah kena flu."


Apa yang dia ceritakan sesuai dengan hal yang ingin kutanyakan.


Kenapa Hime sampai jatuh sakit?


Mungkinkah penyebabnya… adalah aku?


"──Dia menyatakan perasaannya padaku. Hime bilang dia menyukaiku."


Sejak awal, aku memang tak berniat menyembunyikannya.


Aku sudah memutuskan dari awal untuk jujur pada Hijiri-san. Karena dia adalah kakak Hime. Bukan orang luar. Aku ingin dia tahu dengan benar.


"...Begitu, ya. Jadi Hime-chan menyatakan cintanya."


Mendengar kata-kataku, Hijiri-san menghela napas dalam-dalam dan tersenyum pahit.


Reaksinya itu cukup mengejutkanku.


"Kamu nggak kaget?"


"Nggak. Soalnya aku udah dengar langsung dari Hime-chan sebelumnya. Katanya dia suka sama Yohei."


"Eh? Kalau kamu udah tahu… berarti kamu juga tahu soal pengakuannya?"


"Itu aku nggak tahu, sih? Tapi waktu festival musim panas itu aku sengaja ngajak Mei-chan keliling supaya kalian bisa berdua saja."


Jadi begitu.


Ternyata saat itu pun Hijiri-san sudah memperhatikan Hime. Makanya dia tidak pergi bersama Hime hari itu, aku baru menyadarinya sekarang.


"Aku sempat kaget waktu denger kamu sakit perut, tapi... oh, ternyata karena itu, ya."


"Me-memang benar aku sakit perut, tapi..."


Andai saja alasan sakit perut itu cuma bohong, malah akan lebih baik...


Tapi bagaimanapun juga, pada akhirnya rencana Hijiri-san untuk membuatku dan Hime berdua saja berjalan dengan sukses. Bisa dibilang sesuai rencananya.


"Itu nggak penting, deh! Pokoknya, kalau Hime-chan udah ngakuin perasaannya, Yohei jawab apa?"


Hijiri-san tampaknya tidak ingin terlalu lama membahas soal sakit perut tadi. Aku sih nggak masalah, tapi sepertinya dia merasa malu kalau diungkit terus.


Sudah waktunya kembali ke topik.


Tentang bagaimana aku menanggapi pengakuan Hime.


"Soal jawabanku... Hime bilang aku nggak perlu jawab."


Jawabannya adalah "tidak ada".


Hime memang tidak mengharapkan jawaban dariku.


Dan aku sendiri, karena masih ragu, tidak bisa berkata apa-apa.


Akhirnya, hubungan kami tidak berubah, sesuai dengan yang Hime inginkan. Namun aku terus memikirkan hal itu.


"Tapi, aku nggak bisa merasa diam saja itu adalah pilihan yang terbaik... Aku bersikap setengah hati, dan mungkin itu yang bikin Hime jadi kepikiran dan akhirnya jatuh sakit."


Aku meluapkan kegelisahan yang kupendam.


Bahkan siap kalau harus dimarahi oleh Hijiri-san... atau mungkin aku justru ingin dimarahi olehnya, sebagai bentuk penebusan.


Begitu besar penyesalanku atas keputusan itu.


Dan yang membuatku makin kesal, aku masih belum bisa mengatur perasaanku sendiri meski sadar aku menyesal.


Aku merasa sangat tidak berguna──dan itulah yang membuatku menyalahkan diri sendiri.


"Enggak kok. Itu bukan salahmu, Yohei."


Tapi Hijiri-san malah menggeleng pelan, tampak bingung. Seolah-olah dia benar-benar tidak mengerti kenapa aku menyalahkan diri sendiri.


"Hime itu memang gampang sakit. Musim panas tahun ini dia sempat ke luar negeri juga, lalu sepulangnya dia main sama Yohei, pergi ke kolam renang, pokoknya aktivitasnya padat banget. Terus kalian juga pergi ke festival... kupikir, dia udah sampai batas tenaganya."


Hijiri-san berkata hampir sama persis dengan Mei-san.


"Kalau dipikir-pikir, tahun ini justru dia jauh lebih sehat. Waktu kecil, Hime-chan jauh lebih sering sakit, tahu?"


Artinya, Hime jatuh sakit bukan karena aku.


Hijiri-san berkata seperti itu. Bukan untuk menghiburku dengan kebohongan, tapi berdasarkan kenyataan objektif, dia yakin aku tidak bersalah.


"Ah, aku ngerti sekarang. Yohei, kamu selama ini nyalahin diri sendiri, ya? Ngerasa nggak bisa ngasih jawaban yang tepat pas Hime-chan ngakuin perasaannya, terus Hime-chan malah jatuh sakit… dan semuanya kamu tanggung sendiri?"


"...I-iya, begitu sih."


"Ufufu. Nggak segitunya juga, kok~ Yohei itu selalu mikirin Hime-chan duluan, kan. Mana mungkin aku bisa nyalahin kamu."


Hijiri-san tersenyum lembut.BBukan senyum ceria seperti Hime, tapi senyum hangat yang menenangkan.


"Justru karena Yohei udah bersikap serius terhadap perasaan Hime-chan, aku tuh bener-bener bersyukur. Yohei memang orang yang baik."


Dia mengakui aku.


Bukan seperti Hime yang ceria dan terbuka, tapi Hijiri-san juga menunjukkan rasa hangatnya dengan cara yang berbeda.


Dan itu membuatku sangat senang.


Dia bilang aku baik… tapi kau pun sama, Hijiri-san. Kau juga orang yang sangat baik.


Karena itu, pertahananku yang selama ini kutahan, mulai runtuh.


"...Tapi tetap saja, aku masih ragu. Aku nggak yakin kalau membiarkan semuanya begitu saja adalah jawaban yang tepat."


Kelemahanku pun terungkap.


Perasaan yang terus kutahan hampir tumpah.


Aku buru-buru mencoba menutup mulut.


"Tapi Hime-chan sendiri puas cuma dengan menyatakan perasaannya, kan? Kalau begitu, bukankah tidak menjawab itu pilihan yang benar? Kenapa, Yohei... kenapa kamu terlihat begitu... tersiksa?"


Karena Hijiri-san mendorongku untuk terus bicara seperti ini, aku jadi tak bisa menghentikannya.


"…Aku nggak tahu. Perasaanku terhadap Hime nggak bisa aku urai dengan jelas. Awalnya aku pikir dia imut seperti adik perempuan. Itu memang kenyataannya, bukan bohong. Tapi, seiring kami makin akrab, rasanya jadi berbeda dari sekadar perasaan terhadap adik…"


Aku sudah tak lagi menatap mata Hijiri-san.


Menatapnya langsung jelas mustahil. Dari tadi, bagian rasional dalam diriku sudah memberi sinyal bahaya. Seolah memperingatkan agar jangan mengungkapkan lebih jauh.


Tapi, aku tetap tak bisa menghentikannya.


Meski menunduk, emosi yang lama kusimpan di dalam hati mulai mengalir keluar.


"Aku jelas sangat menyayangi Hime. Tapi, aku nggak tahu 'sangat menyayangi' ini maksudnya seperti apa. Sebagai adik? Atau, mungkin—"


Pertanyaan itu tak pernah kutemukan jawabannya, meskipun sudah kupikirkan berkali-kali.


Perasaan seperti apa yang sebenarnya kumiliki terhadap Hime?


"Apakah aku menyukai Hime sebagai seorang perempuan… aku juga nggak tahu."


Akhirnya, selama belum bisa menemukan jawabannya, aku akan terus terjebak dalam kebingungan.


Karena perasaanku sendiri tidak pasti dan aku tidak yakin, aku jadi menyalahkan diri sendiri, marah pada diri sendiri, dan merasa cemas.


Itulah kenapa aku tanpa sadar menganggap semuanya salahku.


Mungkin itu sebabnya aku sampai berpikir, Hime jatuh sakit gara-gara aku.


"…Begitu ya."


Hijiri mendengarkanku sampai akhir dengan tenang.


Karena dia tidak menyela atau menertawakan ucapanku, dan menerima semuanya dengan serius, aku jadi bisa mengungkapkan isi hatiku.


"Ah… um…"


Tiba-tiba aku merasa bersalah atas semua yang kukatakan.


Meskipun aku meluapkan perasaan seperti ini, Hijiri-san pasti hanya merasa bingung.


"Jadi, Yohei lagi bingung, ya."


"Kurasa begitu."


"…Hmm. Tapi maaf ya? Aku ini bodoh, jadi aku nggak terlalu ngerti perasaanmu, Yohei."


Itu wajar saja. Karena aku sendiri pun belum benar-benar paham.


Aku ingin bilang, kamu nggak perlu memaksakan diri untuk mengerti. Maaf kalau aku bilang hal aneh.


Aku berniat mengatakannya, tapi tak bisa mengeluarkan kata-kata itu.


"Kamu kan nggak benci Hime-chan, kan?"


"Tentu saja nggak."


"Dan kamu juga nggak berniat menolak pengakuan perasaannya, kan?"


"Menolak? Bahkan aku nggak pernah terpikir soal itu."


"Jadi, kamu cuma nggak tahu… apakah kamu ingin dia jadi adikmu, atau jadi pacarmu… begitu ya?"


"Menginginkan dia jadi adik… yah, mungkin perasaanku memang mendekati itu."


Kalau aku menyayangi Hime bukan sebagai lawan jenis tapi seperti adik perempuan, maka wajar saja kalau aku berharap dia benar-benar jadi adikku.


"Kalau begitu, kamu ingin menikah denganku biar Hime-chan bisa jadi adikmu?"


"Menikah… dengan Hijiri-san?"


Aneh, tapi itu adalah sesuatu yang sering Hime katakan.


Itu adalah harapan idealnya—bahwa aku menikah dengan Hijiri-san akan jadi kebahagiaan terbesar baginya.


Tapi sekarang, semuanya berubah.


Setelah perasaan cinta Hime berubah jenisnya, cita-citanya pun ikut berubah.


Dan aku sendiri pun—tak pernah benar-benar memikirkan soal menikah dengan Hijiri-san.


"Kalau Yohei benar-benar ingin Hime-chan jadi adikmu, aku nggak keberatan menikah."


"Eh? Tapi…"


Aku agak bingung.


Soalnya, aku belum pernah memikirkan hal itu sekali pun.


"Ufufu. Yah, wajar aja. Yohei nggak pernah menganggap aku sebagai sosok yang bisa dicintai. Makanya, meskipun Hime-chan sering bicara soal menikah, kamu nggak pernah mempertimbangkannya, kan?"


"Kurasa itu berlaku untuk kita berdua."


Menurutku bukan cuma aku yang nggak punya perasaan romantis. Karena aku pun tak pernah merasa Hijiri-san menyukaiku seperti itu.


"Aku sih nggak masalah, asal Yohei memang serius."


"…Tapi, tunggu. Kayaknya cinta nggak bisa dibangun begitu aja."


"Ya? Aku nggak tahu, soalnya aku belum pernah jatuh cinta sama cowok."


Kalau begitu, aku juga nggak tahu.


…Begitu ingin kuucapkan, tapi tiba-tiba aku menyadari sesuatu.


"Lihat, Yohei kan nggak berniat jadi pacarku. Kamu juga nggak berusaha menyukaiku. Artinya, kamu juga nggak mau menikah denganku untuk menjadikan Hime-chan adikmu, kan? Kalau begitu, rasa 'sangat sayang' yang kamu rasakan itu… bukankah itu sudah cukup jelas?"


Hijiri menambahkan untuk membantuku memahami.


Sepertinya, sejak awal dia sudah bisa merasakan isi hatiku.


(Apa mungkin aku terlalu membingungkan semuanya sendiri?)


Karena terlalu terobsesi, aku sampai kehilangan arah. Aku terjebak dalam keraguan, memutarbalikkan logika sendiri, dan akhirnya pikiranku jadi berantakan.


Di sisi lain, Hijiri justru melihat semuanya dengan sederhana.


Aku rasa, menyebut dirinya "bodoh" itu bukan ungkapan yang tepat. Hijiri-san memang kurang pandai dalam pelajaran, tapi itu bukan berarti dia lambat dalam berpikir.


Mungkin karena itu, dia bilang dia tidak mengerti maksud dari kebingunganku.


"Haaah... akhirnya bisa ngomong juga...! Dari dulu aku udah penasaran, soalnya kelihatan banget kok, Yohei itu suka banget sama Hime-chan."


...Ngomong-ngomong, belakangan ini Hijiri-san memang kelihatan seperti ingin bilang sesuatu tentang aku dan Hime.

Aku juga ingin membicarakannya, tapi belum dapat momen yang pas untuk mulai.


Jadi begitu ya. Hijiri-san ternyata sudah sadar sejak lama.


"Yohei itu suka sama Hime-chan sebagai perempuan, lho!"


Sambil berkata begitu, Hijiri-san menepuk punggungku dengan keras.


Suara "pokk!" terdengar nyaring, seakan-akan dia menyemangatiku, dan rasa sakitnya menyusul belakangan.


Tapi, aku nggak benci rasa sakit ini. Bahkan, rasanya seperti rasa lega yang menyegarkan.


"Ayo, semangat dong! Kalau Yohei kelihatan muram terus, Hime-chan bakal sedih, lho? Kalau bikin adikku yang imut itu menangis, aku nggak akan maafin kamu!"


Dia tertawa. Dengan senyuman lembut, dia menyemangatiku.


"......"


Kebaikannya itu, entah kenapa bikin aku hampir menangis.


"Apa aku... pantas buat dia?"


"Hime-chan itu cuma bisa bahagia kalau sama Yohei, tahu?"


"Aku nggak punya kelebihan apa-apa. Apa aku bisa bikin Hime bahagia?"


"Justru karena itu Yohei yang cocok. Orang lain nggak akan bisa bikin dia bahagia kayak kamu."


"...Tapi aku—"


"Ah, udah deh! Kamu nyebelin banget!"


Barusan masih tersenyum, tapi karena aku terus mengeluh, Hijiri-san jadi sedikit kesal.


"Kan kamu orang yang disukai Hime-chan, jadi bersikaplah seperti itu. Kalau nggak... aku nggak bisa tenang. Dia itu harta berhargaku, jadi tolong jaga baik-baik, ya?"


...Benar juga.


Buat Hijiri-san, ini seperti menyerahkan adiknya padaku.

Tentu saja dia punya perasaan tentang hal itu.


"Ugh... yang pengen nangis malah aku! Hime-chan-kuuuu... hiks"


Setelah marah, sekarang Hijiri-san malah menangis.

Entah kenapa, dia tiba-tiba memelukku erat-erat.


"Eh, Hijiri-san?"


"Uwaaaah! Yohei, tolong jaga Hime-chan, ya? Tolong bahagiakan dia, ya? Sayangi dia banyak-banyak, ya? Tapi kalau kamu kesulitan, nggak apa-apa minta bantuan ke aku juga, ya? Aku bakal datang kapan pun dan di mana pun, demi kalian berdua!"


...Mungkin dia sedang terbawa emosi.


Karena dia sedang memelukku, aku nggak bisa lihat wajahnya, tapi dari suaranya yang bergetar, jelas dia sedang menangis. Sepertinya malah menangis keras.


Tapi sebenarnya, Hime dan Hijiri-san bukannya akan berpisah atau apa.


"Hijiri-san... kamu terlalu cepat. Hime itu masih adikmu, kok."


Pernikahan itu masih jauh banget.


Malah, memikirkan tentang pernikahan sekarang itu jelas terlalu dini. Aku bahkan belum jadi pacarnya, tapi Hijiri-san sudah membayangkan masa depan kami.


"Kalau Yohei jadi adik iparku, kamu boleh panggil aku 'Onee-chan', ya?"


"...Eh, itu sih terlalu malu-maluin."


"Kenapaa!? Panggil dong! Aku juga pengin punya adik laki-laki, jadi pas banget, kan!"


"Kita ini seangkatan... eh, bisa nggak kamu lepasin pelukannya? Aku agak susah napas, nih."


"Nggak mau. Jangan lihat mukaku sekarang. Aku jelek banget waktu nangis."


"Udah telat... aku juga pernah lihat kamu nangis sebelumnya, kok."


"Tetap aja nggak mau! Onee-chan itu nggak boleh nunjukin sisi lemahnya ke adik, tahu!"


Sepertinya dia sudah benar-benar merasa jadi kakak sekarang.

Dipeluk begini memang agak malu-maluin. Tapi... rasanya nyaman, jadi aku mengendurkan bahuku.


"──Makasih, Hijiri-san."


Aku mengucapkan terima kasih, sambil mengepalkan tanganku erat-erat.


Aku sudah banyak mengeluh. Aku juga udah memperlihatkan sisi burukku ke Hijiri-san, dan bahkan sampai disemangati segala.


Berkat itu, aku akhirnya bisa menetapkan tekadku.


"Aku... akan menyampaikan perasaanku ke Hime."


Begitu aku mengatakan itu, Hijiri-san akhirnya melepaskanku.

Saat aku menengadah, yang kulihat adalah Hijiri-san yang sudah mengusap air mata dan ingusnya dengan benar. Meski matanya, hidungnya, dan pipinya memerah, tapi kelihatannya dia sangat bersikeras untuk tidak memperlihatkan air mata lagi.


"...Nggak usah maksain diri, tahu? Hime-chan juga bilang kamu nggak perlu buru-buru kasih jawaban."


"Nggak. Kalau aku nggak ngasih jawaban, rasanya kayak aku lari dari perasaan Hime. Aku nggak bisa bersikap seperti biasa dalam kondisi begini."


Aku sadar, aku memang agak terlalu kaku.


Tapi tetap saja, aku nggak bisa membiarkan diriku tidak memberikan jawaban setelah dia menyatakan perasaannya.


Aku ingin menunjukkan ketulusanku ke Hime. Setidaknya ke dia, aku nggak mau bersikap tidak adil.


Makanya, aku akan kasih jawaban. Itu sudah jadi keputusanku.


"Pastinya... setelah dia sembuh dari sakit dulu, sih."


"Iya... semangat ya! Aku juga bakal dukung kamu!"


Hijiri-san juga mendukung tekadku.


Itu adalah dukungan yang sangat menguatkan. Kalau nggak ada dia, mungkin aku masih akan terus bingung sampai sekarang.


Bahkan mungkin aku jadi nggak bisa bersikap wajar ke Hime. Dan kalau itu terjadi, Hime juga mungkin bakal nyesel karena udah menyatakan perasaan, dan hubungan kami jadi rusak... Membayangkan masa depan seburuk itu aja udah bikin merinding.


Aku bersyukur, karena sekarang aku bisa menegaskan perasaanku.


(Aku... menyukai Hime.)


Sekali lagi, aku menegaskan keinginanku sendiri.

Tentu saja, ini bukan rasa sayang ke adik.


Aku menyukai gadis itu sebagai lawan jenis.


Karena itu, kali ini, aku yang akan "menyatakan perasaan" pada Hime──.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close