Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
Yang Tidak Biasa adalah Hal yang Biasa
Kelahiran Kinugasa Maria terjadi saat Kinugasa Yura berusia sembilan tahun.
"…Siapa kamu?"
"Kinugasa Maria. Aku adalah temanmu."
Maria adalah satu-satunya teman yang hanya bisa dilihat oleh Yura, yang karena sifatnya yang introvert telah menjadikan kesepian sebagai sahabatnya. Seiring bertambahnya usia Yura, Maria pun tumbuh bersamanya.
Hari demi hari, setiap hari. Mereka berdua menjalani keseharian layaknya saudara sungguhan.
Ada pepatah yang mengatakan, "Semakin sering bertengkar, semakin akrab." Namun, Yura dan Maria tidak pernah benar-benar bertengkar.
Apa pun yang mereka lakukan, mereka selalu bersama, dan tidak pernah merasa terbebani dengan kebersamaan mereka. Seiring berjalannya waktu, rasa sayang mereka satu sama lain pun semakin dalam.
"Hei, Yura."
"A-apa, Maria?"
Yura yang pemalu selalu mencari perlindungan pada Maria.
Bagi hatinya yang kesepian, Maria adalah sahabat yang sangat berharga, sosok yang menopang jiwanya yang hampir runtuh.
Kebahagiaan dan kesedihan bagaikan dua sisi mata uang.
Bersama hadirnya seorang teman yang luar biasa, isolasi Yura justru semakin parah. Yang menjadi ketidak beruntungannya adalah, Maria muncul setelah kebiasaannya bermain sendirian telah mengakar dalam dirinya.
Saat masih kecil, anak-anak yang belum memahami moral atau etika sering menunjukkan sisi kekejaman mereka dengan cara yang polos. Mereka bisa mencabut sayap capung, memotong ekor kadal, atau merobek kaki belalang—hal-hal sadis yang akan hilang dengan pendidikan dan berkembang menjadi rasa jijik seiring bertambahnya usia.
Namun, bagi Yura yang tidak memiliki teman bermain, membelai dan membunuh makhluk hidup dengan tangannya sendiri telah menjadi hobi terbesar.
Seperti paus pembunuh yang menganiaya dan membunuh lumba-lumba kecil dalam fenomena 'phocoenacide'—yang alasannya masih belum jelas hingga kini. Beberapa peneliti berpendapat bahwa itu mungkin bentuk kasih sayang, seperti seorang ibu yang membelai bayinya.
Setidaknya bagi Yura, tindakannya tidak mengandung niat jahat sedikit pun. Justru, itu adalah bentuk kasih sayangnya.
"Sudah cukup, ayo cari teman lain selain aku."
"Te-temanku… ha-hanya Maria…"
Di dalam kamar yang tertutup dari cahaya matahari, Yura, yang kini telah menjadi siswi SMP, berbisik sambil tersenyum kecil. Tangannya dengan tenang membedah seekor katak yang baru saja ia tangkap.
"Se-semua orang… me-memandangku dengan takut….. Ke-kenapa mereka takut pada warna merah indah dari usus ini…?"
"…Hei, Yura."
"A-apa?"
Yura mengangkat kepalanya. Dalam cermin yang buram, refleksi dirinya tampak kotor.
Kabur, kusam, dan suram.
Kulitnya berwarna aneh, lingkar hitam pekat di bawah matanya, rambut kusut menutupi setengah wajahnya, dan tubuhnya yang tampak tidak seimbang.
Menatap dirinya sendiri, Yura tersenyum miris.
Kotor, kotor, kotor… Aku dibenci karena aku kotor. Warnaku seperti tanah yang menutupi bangkai. Jiwaku telah berubah menjadi cokelat. Tidak seperti merah indah yang mengalir di dalam makhluk hidup, tubuhku dipenuhi warna cokelat kematian. Itulah mengapa aku selalu terasing, dan mengapa aku begitu terpikat pada kematian yang memenuhi perutku.
"…Kotor."
Dengan kasar, Yura menggaruk pelipisnya dengan kukunya.
"Kotor, kotor, kotor…"
Kukunya merobek kulit, mencungkil daging, darah mengalir—dan berhenti.
"Yura, lihat."
Maria, yang seharusnya tidak nyata, menghentikan tangannya dan menunjuk ke arah cermin.
"Lihatlah. Pandang cermin itu, Yura. Lihatlah dirimu sendiri. Tolong. Lihat."
Yura menggerakkan matanya dan menatap cermin.
Menatap, menatap, menatap…
Lalu, perlahan, bayangannya mulai berubah.
Yang terpantul dalam cermin kini bukan lagi dirinya, melainkan Maria—sosok yang selalu dicintai semua orang.
Kulitnya halus dan kemerahan, matanya besar dan bercahaya, rambutnya berkilau indah, tubuhnya ideal dan seimbang.
Penampilan sempurna itu adalah wujud idealnya sendiri.
—Cermin, cermin di dinding.
Ia teringat masa kecilnya, saat nenek yang ia cintai mengajaknya bermain sulap di pangkuannya.
—Siapa yang paling cantik di dunia ini?
Sang nenek membalik cermin genggamnya, dan Yura kecil yang melihat bayangannya di sana tertawa senang.
Ia adalah cucu yang cantik dan membanggakan neneknya.
—Yura-chan, dengarkan baik-baik.
Neneknya, satu-satunya orang yang selalu berpihak padanya, berjuang menggerakkan tangan kurusnya yang lemah akibat sakit berkepanjangan. Dengan tangan gemetar, ia mengusap kepala cucunya dan berbisik lembut.
—Yura-chan sangat manis. Jadi, pasti akan segera mendapat teman.
Tangan renta itu bergetar saat mengusap rambut Yura.
—Tapi kalau Yura-chan merasa sangat kesepian, balikkan cermin ini.
Sambil tersenyum, sang nenek menunjuk bagian belakang cermin itu.
—Nenek akan selalu menjagamu.
Sang nenek tahu betul. Bahwa cucunya, yang kerap membedah serangga sendirian di taman, tidak bisa masuk ke dalam kelompok anak-anak sebayanya. Bahwa satu-satunya tempat yang bisa ia datangi adalah sisi tempat tidur neneknya yang sakit-sakitan.
Dan dengan penuh kasih, sang nenek, yang merasa tidak berdaya, memberikan 'penghiburan' terakhirnya kepada cucu yang ia cintai.
Tentu saja, cermin itu bukanlah cermin ajaib.
Hanya cermin antik biasa yang tidak akan pernah berbicara seperti dalam dongeng.
Namun, ketika Yura yang berusia 9 tahun membalikkan cermin itu, kenangan itu bangkit kembali.
Ia kembali melihat dirinya yang pernah disebut "paling cantik di dunia" oleh neneknya.
Dan dari sanalah, Kinugasa Maria—wujud idealnya—terlahir.
Ya, Maria adalah cerminan sempurna dari 'ideal' Yura.
"Aku ini, mungkin, adalah wujud idealmu."
Maria mengucapkan dengan lantang apa yang ada di benak Yura.
"A-aku juga… me-merasa Maria a-adalah yang pa-paling cantik di dunia…"
"Tapi, wajah kita sama."
Maria di dalam cermin tersenyum manis.
"Yura bisa menjadi Maria. Karena aku adalah wujud idealmu, kau pasti bisa mendapatkan teman yang berharga."
"Aku… tidak butuh itu…"
Yura menusukkan pisau bedah ke perut katak dan perlahan-lahan berdiri.
— Yura-chan sangat imut, jadi pasti akan segera mendapatkan teman.
Menghindari kenyataan yang menyedihkan, Yura mencari sosok ideal dalam cermin.
"A-a-aku tidak butuh teman... selama ada Maria, itu sudah cukup... tidak ada manusia yang bisa menyelamatkanku... jika memang ada, maka dia pasti seorang dewa..."
"…Yura."
Yura menatap makhluk yang hampir kehilangan nyawanya.
Katak yang perutnya telah dibelah dan tubuhnya dipaku dengan jarum serangga menatap langit dengan lemah, tanpa daya.
Pemandangan mengenaskan itu seakan mencerminkan akhir hidup yang sedang Yura jalani.
Satu per satu.
Lengan ditusuk dengan jarum, kaki ditusuk hingga tertembus.
Begitulah caranya, kebebasan direnggut sedikit demi sedikit, rasa sakit diberikan secara perlahan, dan akhirnya mati dalam penderitaan.
Akhir semacam itu terasa pantas bagi dirinya yang selama ini dengan seenaknya mempermainkan nyawa.
Yura percaya bahwa hidupnya yang tak lebih dari neraka yang akan pernah berubah... sampai dirinya terseret dalam keisengan Kiritani Akira.
"Ini pemerasan. Berikan uangmu."
"…Eh?"
Saat Yura keluar untuk mencari katak untuk praktikum bedah, seorang anak laki-laki dengan kondisi mengenaskan mengulurkan tangannya.
"Kau tidak dengar? Aku bilang ini pemerasan. Cepat keluarkan uangmu. Aku akhirnya bisa kabur dari kamar wanita itu dan sampai di sini. Aku ingin pergi ke kantor polisi sebelum tertangkap lagi, jadi berikan ongkos bus."
Dari kepala hingga kaki, tubuhnya penuh dengan luka dan noda.
Wajah, lengan, dan kakinya penuh goresan, sementara bajunya robek parah, entah karena tersangkut sesuatu atau sebab lain. Namun, ia tampaknya tidak peduli.
Ia berdiri tegak dengan ekspresi sombong, menghentakkan kakinya ke tanah untuk mendesak Yura.
"Pe-pemerasan itu… ke-kejahatan—"
"Tentu saja, dasar bodoh. Kalau seseorang mulai berjalan, apa kau akan bilang, 'Itu namanya berjalan'? Aku sudah tahu itu, cepat keluarkan uangnya."
Terintimidasi oleh nada kasarnya, Yura tanpa sadar membuka dompetnya.
Anak laki-laki itu tanpa sungkan mengintip isinya, tersenyum lebar, lalu menepuk bahu Yura.
"Kamu kaya, ya. Pantas saja aku mencium bau uang."
"Eh… a-aku tidak mengerti..."
Yura mengeluarkan uang kertas sepuluh ribu yen.
Namun, anak laki-laki itu mengabaikannya dan malah mengambil selembar seribu yen dari dompet Yura. Dengan gerakan terampil, ia memasukkan uang itu ke saku belakangnya sambil tersenyum.
"Kau pasti berpikir aku ini orang baik, kan?"
"Eh… u-umm, iya… se-sebabnya, aku sudah memberikan sepuluh ribu yen, tapi kau hanya mengambil seribu yen…"
"Itu efek anchoring."
"Eh… eh?"
Tak bisa mengikuti pembicaraan, Yura hanya terbengong-bengong saat anak laki-laki itu melanjutkan.
"Karena awalnya aku menyebut angka sepuluh ribu yen, kau jadi membandingkannya dan berpikir. Akibatnya, meskipun kau tetap rugi, kau merasa aku orang baik karena hanya mengambil sepersepuluh dari jumlah itu. Aku baru saja memilih menerima simpati darimu daripada sepuluh ribu yen. Paham?"
"Umm, a-aku… a-apa kau ingin disukai oleh orang sepertiku…?"
"Ya. Rasa percaya diri yang rendah juga membuatmu lebih mudah dikendalikan, aku suka itu. Aku semakin yakin bahwa pilihanku benar."
Sambil mengayunkan telunjuknya ke depan dan ke belakang, anak laki-laki itu perlahan menunjuk ke dompet Yura.
"Kau sudah terbiasa, ya."
"…Eh?"
"Kau tidak ragu sedikitpun untuk memberikan uang pada orang asing seperti aku. Aku lihat kau membawa akuarium, pasti dalam perjalanan untuk menangkap sesuatu. Makanya, saat bertemu denganku tadi, ekspresimu langsung menunjukkan bahwa kau merasa 'terjebak dalam masalah'. Dengan kata lain, kau sudah terbiasa memberikan uang untuk menghindari masalah sejak dulu."
Dalam beberapa menit sejak pertemuan mereka, Yura sudah kena tepat sasaran. Ia hanya bisa mengeluarkan suara tertahan.
Sambil tersenyum lebar, anak laki-laki itu bermain lempar tangkap dengan batu kecil.
"Kau pasti sering jadi sasaran orang-orang yang mengincar uang kecilmu. Ah, tidak perlu mengonfirmasi, kau sudah menunjukkan jawabannya dengan seluruh tubuhmu… Nah, lihat ini!"
Ia melempar batu kecil ke jalan.
Batu itu memantul beberapa kali, lalu jatuh ke saluran pembuangan, seolah menunjukkan takdirnya.
Sementara Yura hanya bisa terpaku, anak laki-laki itu menatap aspal dan bergumam.
"Jauh lebih cocok denganku daripada wanita pecandu judi itu… Waktunya pindah target, kebetulan waktunya juga pas."
"Pi-pindah target?"
"Siapa namamu?"
"K-Kinugasa… Y-Yura."
"Kinugasa Yura… Kinugasa Yura… Oke, aku ingat."
Terdengar suara jeritan wanita dari kejauhan.
Dengan senyum cerah, anak laki-laki itu meraih tangan Yura dan berbisik.
"Aku bukan tipe yang mengingat wajah, tapi aku mengingat nama orang. Sekarang, aku sudah menghafal namamu. Sampai jumpa lagi, sapi perah."
Saat seorang wanita muncul di jalan sambil berteriak histeris, punggung anak laki-laki itu sudah lenyap dari pandangan.
Yura hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan kepergiannya dengan mulut ternganga.
Keesokan harinya. Yura mengetahui bahwa nama anak laki-laki itu adalah Kiritani Akira.
Dan seiring dengan mengetahui namanya, ia juga menyadari keanehan anak itu.
Akira ternyata bersekolah di tempat yang sama dengannya.
Dalam waktu sehari, ia telah menyelesaikan semua masalah yang Yura hadapi.
"A-apa maksudnya ini…?"
Di dalam ruang praktek sains, beberapa siswa laki-laki dan perempuan sedang berlutut sambil menundukkan kepala.
Terkejut, Yura hanya bisa membuka mulutnya tanpa suara, lalu mengarahkan pandangannya ke Akira, yang duduk santai di meja panjang laboratorium sambil bermain game di ponselnya.
"Kau dibully, kan? Mereka ini dalangnya. Seperti yang bisa kau lihat, mereka meminta maaf padamu. Mau dengar pengakuan mereka satu per satu?"
"Ke-kenapa? B-bagaimana caranya?"
Semua siswa yang pernah menyiksa Yura—siswi yang merobek bukunya dan membuangnya ke toilet, siswa yang mengukir kata-kata cabul di mejanya, serta mereka yang diam-diam mengganggunya di luar jangkauan guru—semuanya gemetar dan bersujud di hadapannya.
"Aku tidak tahu."
"Hah?"
"Seseorang melakukannya atas kemauannya sendiri. Kunci laboratorium sains hanya kebetulan ada di loker sepatu. Aku tidak melakukan apa pun. Kalau siswa teladan seperti Minatsuki-san melihat ini, dia pasti bakal ngadu ke guru, dan aku bakal kena masalah besar."
Setelah mematikan game di ponselnya, Kiritani Akira menyeringai.
"Aku ini jin dalam lampu."
Duduk santai di atas meja laboratorium, lebih tinggi dari siapa pun di ruangan itu, dia dengan lembut menggenggam tangan gadis yang tak seorang pun berani menyentuh.
"Kau masih punya dua permintaan lagi. Aku akan mengabulkannya."
Pada saat itu, jantung Kinugasa Yura berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Bahkan sebelum jantungnya kembali normal, Akira sudah bergerak dalam bayang-bayang untuk mewujudkan permintaan berikutnya.
Dua hari kemudian.
Di kamar Yura, Akira datang bersama seorang gadis yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Aku Kinugasa Maria!"
"Hah...?"
Gadis yang muncul di hadapan Yura, seorang siswi satu tahun di bawahnya, membungkuk penuh semangat.
"Kita punya nama keluarga yang sama! Kebetulan sekali, ya?"
"Ma-Maria...?"
Memandang Maria, yang namanya dan auranya mengingatkannya pada "Maria" yang lain, Yura gemetar karena terkejut.
Gadis itu mengangkat wajahnya dengan raut cemas.
"Ada apa? Apa kau tidak suka kalau kita punya nama keluarga yang sama?"
"Ti-tidak, a-aku... i-itu..."
"Tenang saja. Gadis ini normal."
Kamar Yura mencerminkan sepenuhnya minatnya.
Spesimen hewan mati, toples berisi organ yang diawetkan dalam formalin, buku-buku akademik tentang anatomi, serta koleksi Blu-ray dan DVD film splatter memenuhi ruangan.
Alih-alih furnitur biasa, sebagian besar ruangan didominasi oleh meja bedah dan rak bahan kimia.
Di rak tertata rapi kaca penutup, kaca preparat, pinset, mikroskop, wadah pembedahan, jarum serangga, serta timbangan laboratorium. Di dekatnya, berbagai bahan kimia seperti metanol, larutan garam fisiologis, pewarna Giemsa, dan dietil eter disimpan dengan aman.
Tirai hitam tebal menutupi jendela rapat-rapat, melindungi kulit Yura yang sensitif, bahkan saat ada tamu langka di kamarnya.
Kamar itu lebih mirip laboratorium seorang vampir dibanding kamar seorang gadis.
Namun, pemandangan itu sama sekali tidak mengganggu Akira, yang duduk santai di tempat tidur sambil asyik bermain game di ponselnya.
Dia terlihat begitu nyaman, seakan ini adalah rumahnya sendiri.
"Dia di sini untuk mengabulkan permintaan kedua mu—‘ingin punya teman’. Selamat, ya."
"Um, Yura-senpai."
Maria melirik Akira sekilas sebelum berbisik pelan ke telinga Yura.
"Sebagai peringatan tulus. Kau mungkin sudah tahu, tapi lelaki itu adalah bajingan kelas atas dengan tingkat penyesalan 100% bagi siapa saja yang terlibat dengannya. Sampah sepanjang masa."
Nada suaranya penuh keyakinan.
Ekspresinya saat menatap Akira menunjukkan kebencian yang tak terbendung.
"Jujur saja, dia benar-benar brengsek. Dia tak pilih cara untuk melindungi dirinya sendiri, dan saat ada acara sekolah di luar, dia menggoda setiap perempuan yang ditemuinya... Dan lebih parah lagi, di usia segini, dia bahkan bilang ingin jadi pria pemalas yang hidup dari perempuan! Bukankah dia sudah gila?"
"Aku bisa mendengar itu, tahu... Eh, siapa namamu tadi?"
"Maria!"
"Oh, maaf, aku tidak berniat mengingatnya. Memori otakku terbatas. Tapi dengarkan baik-baik, Maria, yang akan kulupakan besok. Simpan baik-baik peringatan dari orang sebaik aku ini. Kalau kau tidak ingin hobimu tersebar luas, jaga ucapanmu."
Wajah Maria langsung berubah pucat.
"C-cuma bercanda, kok!" katanya dengan senyum kaku.
"S-sebenarnya, aku... diam-diam sangat suka film splatter."
Dia menatap toples berisi katak yang diawetkan dalam formalin di rak dengan mata berbinar dan tangan yang terkatup.
"Terutama bagian usus... Aku suka film seperti ‘The Evil Dead’ atau seri zombie Romero... Tapi! Itu hanya di film! Aku tidak pernah ingin melihatnya di dunia nyata, sungguh!"
"Ti-tidak apa-apa... a-aku juga... su-suka hal-hal seperti itu kok..."
"Be-benarkah!?"
Maria melonjak kegirangan dan meraih tangan Yura, membuatnya kaget dan menciut ketakutan.
"Sejak dia punya kelemahan atas diriku, aku terus dijadikan pesuruhnya! Aku tidak pernah menemukan gadis lain dengan hobi yang sama, dan aku hampir menangis karena kesepian! Akhirnya, aku punya sekutu! Aku senang sekali!"
"Baguslah. Bersyukurlah padaku."
Maria menatap Akira dengan kebencian yang semakin dalam, sementara dia hanya menguap santai.
Tatapannya, yang tadinya mengantuk, tiba-tiba beralih ke Yura.
"Jadi, Kinugasa Yura. Setelah mengamatimu beberapa hari ini, aku sampai pada kesimpulan bahwa kau tidak punya masa depan."
Mata jernihnya—memiliki sorot yang entah kenapa menarik perhatian orang—menyipit saat dia membereskan barang-barangnya.
"Aku sempat berpikir kalau keluargamu kaya raya. Tapi ternyata tidak. Kalau kau tidak mampu menghidupiku, aku tidak tertarik padamu."
"H-haah!? Kau gila atau—"
"Yura."
Hanya sekali, Kiritani Akira memanggil namanya.
"Permintaan terakhirmu... pikirkan baik-baik. Utang seribu yen akan lunas dengan itu."
Setelah berdiri, Akira melangkah pergi menuju pintu.
Maria, yang terkejut, buru-buru meraih tasnya dan mengikutinya.
Tanpa ragu atau rasa bersalah, Akira melangkah keluar, mengabaikan caci maki Maria di sampingnya.
Yura menatap punggungnya yang menjauh.
Dan di dalam dadanya, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, sesuatu yang disebut cinta mulai bersemi.
"A-a-aku... A-Akira-kun... su-suka..."
"Eh, bohong!? Seriusan!?"
Hanya Yura yang bisa melihat teman imajinasinya—Kinugasa Maria—bersorak riang.
"Kalau begitu, kau harus mengungkapkan perasaanmu! Minta bantuan Maria-chan yang namanya sama denganku, lalu wujudkan cinta pertamamu!"
"T-Tapi... a-aku seperti ini, kalau aku menyatakan perasaan... a-aku berbeda dengan Maria... itu pasti akan mengganggu..."
"Tenang saja! Yura itu Maria juga!"
Dengan senyum cerah, dia merestui perasaan cinta Yura.
"Semangat, Yura! Kamu pasti akan berhasil!"
Perasaan cinta yang terasa begitu membebani itu perlahan-lahan terasa lebih ringan.
Kebahagiaan yang menggetarkan pikirannya membuat Yura berbisik dalam hati sebuah permintaan terakhir.
—Tolong, jatuh cintalah padaku.
"K-Kau mau menyatakan perasaan pada Kiritani Akira!? Kamu waras ya!?"
Beberapa hari kemudian, saat Yura berkonsultasi dengan temannya yang lebih muda setahun, Maria, dia mendapat reaksi yang sudah diduga.
Dengan wajah merah padam, Yura mengangguk malu-malu.
Maria menghela napas panjang dengan ekspresi tak percaya.
Meski tampak enggan, dia tetap mengundang Yura ke kamarnya, seolah tak berniat menolak perasaannya.
"Aku tidak mengerti, tapi kalau itu permintaan Yura-senpai, aku tidak bisa menolaknya. Rasanya aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja."
Maria menelepon di depan Yura, dan segera setelah menutup panggilan, dia berdiri.
"Ayo pergi."
"Eh, k-ke mana...?"
"Ke salon. Katanya rambut itu mahkota perempuan, kan? Pertama-tama, kita harus melakukan sesuatu dengan rambutmu."
Proyek "transformasi" Kinugasa Yura yang dipimpin oleh Maria berlangsung dari pagi hingga malam.
Saat hari sudah gelap, sang penata rias menatap hasil karyanya dengan puas dan berbisik, "Sempurna."
Rambut yang lebih cerah dengan panjang yang tertata rapi, riasan natural yang menonjolkan wajahnya yang memang sudah cantik, kuku palsu yang dihiasi cat kuku, serta gaun balon pendek pinjaman dari Maria yang semakin memperindah tubuhnya.
"Maria..."
Sosok yang terpantul di cermin—Cermin, cermin di dinding. Siapa yang paling cantik di dunia ini?—adalah sosok Maria yang ia kagumi.
"Aku tidak menyangka dasarnya sudah sebagus ini. Jujur, aku tidak bisa membayangkan ada pria yang tidak jatuh hati dengan ini... Senpai?"
"A-aku adalah Maria... Apa yang Maria katakan itu benar... B-benarkah begitu...? Nenek tidak mungkin berbohong... yang paling cantik di dunia ini... a-aku adalah Maria..."
"Yura-senpai?"
Saat itu juga—dia berubah.
"...Aku bukan Yura."
"Eh?"
"Maria."
Cermin dengan jelas memberikan jawabannya.
"Aku adalah Kinugasa Maria."
Cinta adalah penyakit yang mengubah seseorang menjadi sosok idealnya.
Kinugasa Maria melambaikan tangan kepada bayangan dirinya di cermin.
"Aku sudah memasukkan suratnya ke loker sepatu... Tapi, kau benar-benar yakin?"
Sore itu, saat suara sorak-sorai klub baseball menggema, Maria menatap Yura dengan cemas.
"Mm, tidak apa-apa."
"Jadi... kau benar-benar Maria, kan, Senpai?"
Dengan tatapan seolah melihat sesuatu yang sulit dipahami, gadis kecil yang bernama sama itu mengamati Maria (Yura).
"Setelah pulang, aku mencari tahu tentang 'teman imajiner'... Itu adalah teman khayalan yang biasanya muncul di masa kanak-kanak, terasa nyata hingga bisa diajak bicara... Ada juga kasus di mana teman imajiner masuk ke dalam tubuh seseorang dan menyebabkan pergantian kepribadian..."
"Ya, kurang lebih seperti itu."
Setelah melihat langsung bagaimana kepribadian Yura yang berubah drastis, Maria tampaknya menyadari bahwa ini bukan sekadar akting.
Kini menerima kenyataan, Maria bertanya dengan hati-hati kepada 'Maria' yang berbicara dengan wujud 'Yura'.
"Namamu sama denganku itu... kebetulan?"
"Mungkin saja takdir."
Maria(Yura) mengedipkan mata dengan manis.
"Ada gadis lain yang kebetulan bermarga sama denganku, lalu dia juga kebetulan memiliki teman imajiner bernama Maria. Jika kebetulan terjadi dua kali, bukankah itu bisa disebut takdir?"
"Takdir... ya? Rasanya seperti keisengan Tuhan."
Kinugasa Maria tersenyum dan menatap 'teman nyata' pertama Yura.
"Aku adalah teman imajiner pertamanya, dan kau adalah teman nyata pertamanya."
Dengan nada iba, dia berkata,
"Kalau begitu, mungkin sudah saatnya dia menghadapi kenyataan. Apakah disengaja atau tidak, 'Kiritani Akira' lah yang membawa kesempatan itu. Dalam beberapa hari ini, takdir Yura telah berubah. Ke mana arahnya, tidak ada yang tahu. Dia yang berdiri di tengah takdir orang lain, seakan terikat oleh nasib seperti itu."
"Dia itu, sejak dulu, pembuat onar. Kalau urusan dengan wanita, aku yakin dia bisa masuk Guinness World Records karena jumlah insiden yang dia sebabkan."
Di bawah langit mendung yang gelap, Maria mendengar suara guntur menggelegar di kejauhan.
"Maria, kau pernah tersambar petir?"
"Eh? Hah? Petir? Ya jelas tidak, mana mungkin."
"Benar, itu normal. Tapi, ada orang yang pernah tersambar petir tujuh kali."
"Be-benar ada?"
"Normalnya tidak ada."
Seakan menatap ke dalam jurang kegelapan, Maria(Yura) mendongak ke langit yang suram.
"Tapi, jika bukan hal yang normal, itu bisa terjadi. Dan di dunia ini, yang tidak normal adalah hal yang biasa."
Maria(Yura) tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah Maria.
"Omong-omong, menurutmu apa penyebab kematian orang yang tersambar petir tujuh kali?"
"Uh... Mungkin dia mati karena tersambar petir yang ketujuh kalinya? Maksudku, kalau kena petir berkali-kali, cepat atau lambat pasti mati..."
"Bunuh diri."
Maria terdiam dengan mulut terbuka.
Kepada gadis itu, Maria(Yura) yang tersenyum memberikan jawaban.
"Orang yang tersambar petir tujuh kali berhasil bertahan hidup meski terkena petir tujuh kali. Tapi, seseorang yang hanya sekali terjebak dalam cinta tak berbalas... malah mengakhiri hidupnya demi cinta yang sepele itu."
"……"
"Yang tidak biasa justru menjadi kebiasaan."
Ucapannya itu terbawa oleh angin dan lenyap.
"Cinta... bisa membunuh seseorang."
Di belakang gedung sekolah, terdengar suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering.
Maria, yang berdiri diam tanpa kata, tersentak dan mengangkat wajahnya, menoleh ke arah asal suara itu.
"Eh... k-kenapa...?"
Entah mengapa, Maria yang terlihat kebingungan mulai gelisah dan berlari ke arah yang berlawanan dari sumber suara.
"A-aku pergi dulu. Umm... semoga beruntung!"
"Mm, sampai jumpa."
Maria berlari pergi, dan Maria(Yura) melihatnya pergi dengan tenang.
Ia mendengarkan detak jantungnya yang berdegup kencang, menutup mata dengan perlahan, dan menanti saat pengakuan itu tiba.
Satu detik, dua detik, tiga detik... suara langkah kaki berhenti di belakangnya.
Seluruh tubuhnya yang dipenuhi perasaan cinta bergetar, dan detak jantungnya yang berdebar keras mengukir rasa gugup yang semakin memuncak.
Mulutnya terasa kering karena tegang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Dengan tekad yang bulat, ia membalikkan badan—dan di hadapannya berdiri seorang siswa teladan yang dikenal semua orang.
"Minatsuki-san...? Kenapa kau ada di sini—"
"Dia tidak akan datang."
Sambil tersenyum, Minatsuki Yui berkata,
"Dia tidak akan datang ke sini. Aku diminta menyampaikan pesan."
Kepada Maria(Yura) yang masih terpaku dalam kebingungan, Minatsuki menyampaikan pesannya dengan suara yang lembut dan penuh penekanan.
"Para pria hanya sekadar tidak peduli, tetapi para wanita, sejak lahir, adalah musuh satu sama lain."
"...Hah?"
"Schopenhauer."
Sambil menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga, gadis cantik yang menyerupai seorang Yamato Nadeshiko mulai berjalan pergi.
"…Kau telah ditolak bahkan sebelum sempat mengungkapkan perasaanmu."
Saat mereka berpapasan, ia berbisik pelan ke telinga Maria.
Dan di saat kata-kata itu membentuk makna dan mencapai otaknya—
Terdengar suara keras seperti sesuatu yang jatuh, lalu pemandangan di sekitarnya mulai berputar, dan kilatan cahaya memenuhi penglihatannya.
Kebingungan, kebingungan, kebingungan.
—Cermin, cermin, wahai cermin.
Setiap kali suara keras itu bergema, pandangannya berkedip-kedip.
—Cermin, cermin, wahai cermin.
Ia kembali merasakan belaian lembut nenek tercintanya di kepalanya, dan bayangan cermin tangan yang terbalik melintas di benaknya.
—Cermin, cermin, wahai cermin.
Sebelum dirawat di rumah sakit, saat masih menjalani perawatan di rumah, neneknya pernah berkata dengan wajah sedih dan penuh rasa sakit.
—Maafkan aku.
Cermin, cermin, cermin, cermin.
—Maafkan aku, Yura-chan. Maafkan aku.
Yang paling cantik di dunia ini. Yang paling cantik di dunia ini. Yang paling cantik di dunia ini.
—Padahal Yura-chan sangat cantik...
Di dalam diri Maria, Yura perlahan membuka matanya.
—Nenek tidak pernah bisa memberitahukan hal itu kepada siapa pun.
Kasih sayang nenek yang penuh kelembutan tertanam begitu dalam di hati Yura, dan di momen itu juga memiliki dampak terbesar—
—Maafkan aku….
Citra ideal yang tercermin dalam cermin yang neneknya percayai, keyakinan buta bahwa "Kinugasa Maria" yang tercipta dari cermin itu tidak mungkin dicintai oleh siapa pun atau mengalami kegagalan dalam cinta.
Ya, itu adalah cinta yang lahir dari kebutaan Kinugasa Yura.
Cinta yang diwujudkan sebagai penghormatan kepada satu-satunya sekutu sejatinya, nenek yang penuh kasih sayang.
Dengan cinta yang buta dan keyakinan yang membabi buta, Yura yang jatuh ke dalam kontradiksi dirinya sendiri akhirnya sampai pada satu kesimpulan yang sama sekali tidak logis—
"S-sungguh, aku adalah Yura..."
Dan dengan itu, terjadi pergantian kepribadian.
"Dan lagi, Akira-sama itu seperti seorang dewa...! Be-benar, itu benar! Dia telah mengabulkan dua permintaanku...!"
Sejak kecil, gadis yang selalu menghindari komunikasi dengan orang lain itu tidak pernah sekalipun mengalami penolakan dari seseorang yang berharga baginya.
Ia tidak pernah menjalin persahabatan.
Tidak pernah merasakan cinta.
Tidak pernah memahami kasih sayang antar sesama manusia.
Tidak pernah mengenal penghormatan atau belas kasih, tidak pernah merasakan kepercayaan atau cinta yang mendalam.
Ia bahkan tidak tahu bahwa cinta memiliki sisi baik sekaligus sisi buruk.
Bahkan konsep dasar semacam itu terasa seperti bayangan ilusi yang tak dapat ia tangkap.
Karena itulah, sebagai kesimpulan yang sangat alami baginya—
Ia salah memahami makna cinta.
"Ya... a-aku jatuh cinta kepada Akira-sama itu adalah suatu kesalahan...! Maria yang mencintai Akira telah 'berlari pergi' sebelum aku tiba di sini...!"
"Yura! Yura, lihatlah ke sini! Yura!"
Sambil memegangi kepalanya, Yura berjalan berkeliling di dalam sekolah.
Namun, bayangan Maria yang sedang berteriak di dalam cermin tidak terlihat olehnya.
"Ya… a-aku harus membuat tempat untuk memuja Akira-sama...! Jika aku melakukan itu, Akira-sama pasti akan menemuiku... Dia pasti akan memujiku...!"
Yang terpantul di kedua matanya adalah—
"A-Akira-sama... a-aku dan Maria... apakah dia akan memuji kami berdua...? Jika aku mencoba berusaha lebih keras untuk Akira-sama, akankah dia memanggil namaku lagi...?"
Hanya sosok Akira dalam imajinasinya yang telah ia dewa-dewakan sebagai Tuhan yang ideal dan tak akan pernah mengkhianatinya.
"Pertama, aku harus pergi ke Maria... Dia pasti akan mengerti perasaanku... Jika tidak, aku harus meyakinkannya..."
"Y-Yura, mau ke mana? Itu bukan jalan pulang—berhenti! Dia bukan Maria!"
Dengan rambut hitam palsu yang ia curi dari klub teater, ia berjalan sambil bergumam menuju Maria yang benar-benar ada di dunia ini.
"Yura, kumohon! Hentikan! Yura! Yura!"
"Tu-tunggu sebentar, senpai! Aku akan membukanya sekarang!"
Saat Maria membuka pintu dengan senyuman...
"M-mari kita bersama-sama menyebarkan ajaran Akira-sama ke dunia..."
Ia pun ditarik masuk ke dalam cermin.
*
"...Sepertinya ketahuan, ya."
Minatsuki tetap menindih Kinugasa Maria yang tak berdaya, sementara Maria menatapku tanpa perlawanan.
"Kiritani sudah menyadari semuanya, ya?"
"Aku bahkan tidak berpikir kalian orang yang sama sampai melihat tahi lalat di tengkukmu."
Kinugasa mendongakkan kepala dengan cepat dan berteriak.
"Kiritani! Kau masih ingat nama Kinugasa Yura, kan!? Kenapa waktu itu kau tidak datang!? Kau sudah membaca suratku, kan!?"
Aku tidak bisa mengatakannya.
"Ah, aku membacanya... keesokan harinya."
Aku tidak bisa mengatakan bahwa hari itu aku bolos sekolah dan hanya bermain game di rumah.
"……Akhirnya aku ingat. Jadi, kau gadis yang waktu itu ya."
Minatsuki bergumam pelan dan melepaskan Kinugasa yang sedang ia tindih.
"Sayang sekali. Kebaikan dari seorang junior malah di sia-sia kan."
"Apa?"
"Kalau kau lihat loker sepatu, kau pasti tahu apakah Akira-kun masuk sekolah atau tidak."
Kinugasa membelalak kaget.
"Tidak mungkin… Jadi, kau bahkan tidak membaca surat itu…?"
"Bukan begitu. Aku punya firasat buruk, jadi aku memaksakan diri untuk membacanya."
"Aku memungutnya dari tempat sampah dan menyusun kembali potongan-potongan kecil yang telah dihancurkan! Kakak bahkan sampai datang ke rumah! Kau tidak bisa hanya bilang 'kau tidak datang'!"
Yah, aku memang punya insting bertahan hidup yang tinggi. Walaupun merepotkan, aku tetap pergi ke rumahnya.
"Apa maksudnya ini?"
"Itu berarti kalau kau ingin memasukkan surat, lakukan sendiri."
Minatsuki menghela napas dan menggelengkan kepalanya.
"Sejujurnya, bukankah sudah bisa diduga kalau menyerahkan surat itu pada seorang junior yang menentang hubunganmu dengan Akira-kun akan berakhir seperti ini?"
Kinugasa Maria berdiri, namun tubuhnya oleng. Begitu menyentuh rambut hitam yang jatuh ke lantai, kepribadiannya langsung berubah menjadi 'Kinugasa Yura'.
"A-aku… ta-tapi Maria… a-aku bahkan tidak tahu kalau dia sampai datang ke rumah…!"
"Tenang, Yura. Tenanglah. Aku akan membelikanmu camilan favorit sampai seratus yen."
Namun, ia tidak mendengar. Sebaliknya, ia mulai merapalkan kutukan sambil memegangi kepalanya.
"Baiklah, seratus lima puluh yen."
"Onii-chan, aku rasa ini bukan soal harga."
"Oke, satu dolar."
"Ini bukan soal mata uang."
"A-aku dikhianati… Padahal kupikir kita teman… Pe-pengkhianat… Pe-pembersihan… Pembersihan…!"
Dengan kecepatan luar biasa, Yura berlari pergi.
"Woo~! Semangat! Habisi dia! Habisi!"
Aku bersorak, akhirnya merasa bebas dari masalah ini.
"Onii-chan, kamu yakin tidak perlu mengejarnya?"
"Tidak masalah. Toh itu bukan urusanku. Lagi pula, yang menyebabkan semua ini adalah Maria, yang membuang surat Yura. Prinsipku adalah setiap orang harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Sejak awal, keadaan seperti ini sudah bisa diperkirakan. Jika dia sampai dibunuh, itu sudah risikonya."
Memang disayangkan jika harus kehilangan 'inang' seperti Kinugasa Yura, tapi aku masih punya Minatsuki dan adikku, jadi tidak ada masalah.
"Hmm, begitu ya. Kalau Onii-chan tidak masalah, aku juga tidak keberatan! Ayo cepat pulang dan makan malam romantis kita seperti biasa!"
Aku lebih memilih berciuman dengan tempat sampah daripada melakukan itu.
"Hmm, tapi aku merasa sedikit bersalah. Memang yang membuang surat itu ke tempat sampah adalah Maria, tapi akulah yang merobek-robeknya."
Orang yang merasa bersalah biasanya tidak tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol, kan?
Karena jempol Minatsuki itu, aku harus menyelesaikan puzzle super sulit selama berjam-jam saat itu.
"Sumire, beri aku ongkos bus pulang. Aku tidak bawa dompet karena tadi dikurung."
"Baik~. Nih, seribu yen penuh cinta dariku!"
Aku menerima uang kertas itu dan, seperti biasa, hendak menyimpannya di saku belakang—lalu aku terdiam.
"……"
Aku menatap uang itu dengan saksama.
"Onii-chan?"
Aku— Mendesak ke depan dengan sekuat tenaga dan langsung berlari mengejar Yura.
"Akira-kun? Ada apa?"
Seperti sudah diduga, Minatsuki segera menyusulku dan bertanya sambil berlari di sampingku.
"Ah, aku baru ingat ada urusan."
"Urusan dengan Kinugasa Yura? Atau dengan Maria?"
"Dengan orang lain."
Minatsuki menoleh bingung dan hendak bertanya lebih lanjut, tetapi aku justru berbicara dengan Sumire yang berlari sejajar denganku.
"Sumire, luncurkan drone!"
"Aku sudah menemukannya. Belok kiri lebih cepat!"
Aku segera menikung ke kiri dengan kecepatan tinggi.
Aku selalu merasa bahwa kemampuan atletikku melampaui rata-rata siswa SMA karena sering bermain petak umpet yang mempertaruhkan nyawa, tapi Minatsuki dan Sumire masih bisa mengikutiku dengan santai. Jika keadaan darurat terjadi, aku pasti tertangkap dan mati. Menyadari hal itu, aku hampir saja panik.
Aku mengecek waktu yang telah berlalu sejak aku mulai berlari.
Sepertinya ini akan sangat mepet.
Tanpa berkata apa-apa, aku terus berlari menembus jalanan.
*
Dengan senjata di tangan, Yura menatap Maria dengan mata penuh kemarahan.
"Aku mempercayaimu…!"
Maria tetap tersenyum tenang, seolah-olah telah menunggu saat ini tiba, sementara Yura menatap pisau yang bergetar di tangannya.
"Aku percaya padamu… Kenapa… kenapa kau mengkhianatiku…!?"
"Karena senpai terlalu imut."
Masih dengan senyuman, Maria menjawab dengan santai.
"Sejujurnya, aku sempat berpikir kalau pengakuanmu mungkin akan berhasil… Dan kalau itu terjadi, senpai akan berpacaran dengan sampah itu. Itu sesuatu yang tidak akan pernah bisa aku terima."
"A-apa yang salah dengan itu…!? P-padahal kau mendukungku, Maria… A-aku sangat mencintai Akira-sama… Ka-kalau pengakuanku berhasil, segalanya akan berjalan dengan baik—"
"Lalu bagaimana dengan Yura-senpai?"
Yura langsung terdiam.
Junior di hadapannya mengulang perkataannya dengan senyum tipis.
"Bagaimana dengan Yura-senpai?"
"…………"
"Saat itu, kepribadian utama yang terbentuk adalah Kinugasa Maria. Pergantian kepribadian terjadi dalam bentuk mewujudkan idealnya. Jika dia berhasil mengungkapkan perasaannya sebagai Kinugasa Maria, Yura-senpai tidak akan pernah muncul lagi, kan? Karena idealnya akan menggantikan kenyataan. Aku tidak peduli dia berpacaran dengan bajingan itu atau melakukan apapun. Memang, kupikir seleranya buruk, tapi cinta adalah urusan pribadi, dan seorang gadis belasan tahun dengan pengalaman hidup yang minim tidak punya hak untuk ikut campur. Tapi tetap saja—"
Maria melangkah maju, dan ujung pisau menyentuh perutnya.
"Temanku adalah Yura-senpai."
"…………"
Maria menatap lurus ke arah Yura.
"Aku percaya pada Yura-senpai yang suram, sulit bergaul, tidak mengenal dunia luar, bahkan di usia segini masih tidak tahu cara memakai makeup, selalu menolak diajak jalan-jalan, punya selera makan yang aneh, memaksa orang lain makan sayur, selalu mengoceh trivia tak penting setiap kali menonton film slasher hingga isi filmnya tak bisa kupahami, tidak bisa menghitung uang tapi seperti orang yang suka beli barang mahal, selalu terlihat pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata, dan begitu rapuh hingga aku khawatir dia akan jatuh kapan saja, serta seorang gadis aneh yang terobsesi dengan anatomi!"
Maria melangkah lebih dekat, mengguncang bahu Yura dengan air mata yang bercucuran.
"Temanku adalah Yura-senpai!"
Meskipun ujung pisau merobek kemejanya, menggores kulit tipisnya, dan membuat darah berceceran, Maria tidak peduli.
"Aku tidak peduli tentang idealisme atau apa pun itu! Bukankah Yura-senpai tetap Yura-senpai?! Kenapa aku harus kehilangan satu-satunya teman yang baru saja kudapat sebelum aku bisa memahami semuanya?! Aku tidak butuh itu! Aku tidak pernah butuh itu sejak awal! Tidak butuh idealisme, keyakinan buta, atau takdir, semuanya!"
Sambil menangis, Maria berteriak dengan segenap perasaannya.
"Bagi diriku, gadis tercantik di dunia yang dipantulkan oleh cermin ajaib adalah—"
"Yura-senpai!"
――Karena Yura-chan sangat imut, dia pasti akan mendapatkan banyak teman dengan cepat.
Kata-kata neneknya terlintas di benaknya, dan cahaya kembali ke mata Yura.
"Ma… Maria…"
Pisau itu jatuh ke tanah dengan bunyi berdering.
Akhirnya, Yura menemukannya.
Berkat seorang teman yang mempertaruhkan segalanya untuk menunjukkan kasih sayang, dia mendapatkan persahabatan yang selama ini dia impikan――Maaf――Gerakan Yura tiba-tiba terhenti.
――Maafkan aku.
Suara neneknya terdengar, dan kesadarannya perlahan memudar.
"……Tidak boleh."
Dengan rambut berantakan, Yura menatap Maria dengan mata yang bersinar liar.
"Nenek… tidak bisa menjadi pembohong… Dia tidak boleh berbohong… Harus Maria… Hanya Maria yang bisa…"
"Yura… Senpai…"
Tangan yang gemetar itu perlahan meraih leher Maria yang ramping.
Genggamannya semakin kuat. Terdengar suara lirih, dan wajah Maria mulai berubah menjadi merah keunguan.
Meski begitu, dia tetap tersenyum dan menutup mata Yura, seolah menerima takdirnya――
"Cermin, cermin di dinding."
Suara terdengar.
"Siapa yang paling cantik di dunia ini?"
Melihat Akira yang berlumuran keringat, kekuatan perlahan menghilang dari tangan Yura――
"Shibusawa Eiichi."
Dia tersenyum.
*
Berlari, berlari, dan terus berlari.
Mengikuti petunjuk arah Sumire, aku akhirnya tiba di rumah biasa tempat Kinugasa menjebakku.
Sambil mengusap keringat, aku mengipas wajahku dengan selembar uang seribu yen.
"Maria, kau masih hidup? Aku menyelamatkan nyawamu di detik terakhir, jadi setidaknya kau bisa mengatur pertemuan dengan banyak Shibusawa Eiichi untukku, kan?"
"…S-Siapa menurutmu yang menyebabkan semua ini?"
Maria, yang terbaring lemah, menyalahkan aku dengan suara serak.
Sebagai orang yang murah hati, aku mengabaikannya dan langsung menyelesaikan masalah ini.
"Yura! Aku menyukaimu!"
"A… Akira-sama palsu… A-Akan kubunuh…!"
Dan begitu saja, aku langsung menerima nasibku (kematian).
Yura mengambil pisau, menatap sekeliling dengan waspada.
Setelah memastikan bahwa Sumire dan Minatsuki tidak ada, dia mengayunkan pisau ke arahku dengan langkah goyah.
"Tenang saja. Hanya ada satu pangeran di sini."
"…………"
"Aku baru ingat ada urusan mendesak, jadi aku segera ke sini."
Wajahnya jelas bertanya, "Urusan apa?"
Aku juga ingin menyelesaikan ini dan segera pergi… Tapi belum ada pesan dari Minatsuki, dan Sumire juga belum menyelesaikan persiapannya.
Untuk saat ini, aku harus mengulur waktu dengan obrolan cerdas.
Aku membuka kontak yang Minatsuki berikan dan mengirim pesan kepada Maria.
[Aku akan mengulur waktu. Sementara itu, larilah]
Maria yang melihat layar ponselnya, menatapku, lalu perlahan bangkit.
"Baiklah. Aku percaya padamu."
Nah, ini situasi yang sudah biasa. Mari kita atasi.
Aku berencana memulai dengan basa-basi untuk menenangkan Yura—
Namun, saat melihatnya berlari ke arahku dengan kecepatan luar biasa, aku langsung mengubah rencana.
"Yura! Lihat ke belakang! Maria sedang kabur!"
"Dasar bajingan!"
Kau yang bodoh karena percaya padaku. Sayangnya, Yura sudah kehilangan minat pada Maria.
Tanpa mengurangi kecepatannya, dia tetap menyerangku.
Aku cepat-cepat menjatuhkan diri ke tanah—dan dari belakangku, sebuah drone tak berawak melesat maju, menabrak bahu Yura sebelum jatuh ke tanah dengan suara dentuman keras.
"Ugh…!"
Yura kehilangan keseimbangan dan jatuh berlutut.
"Onii-chan, kau meleset!"
Dari saku dadaku, teriakan Sumire bergema.
"Aku tahu. Bagaimana persiapannya?"
"Informasi dari Minatsuki-senpai sudah diterima! Persiapan awal sudah siap, butuh dua menit untuk menyelesaikan ini! Setelah aku mengirim pesan, perhatikan langit! Gunakan umpan bernama Maria itu untuk mengulur waktu sekitar dua menit! Onii-chan, apa yang kau sukai dariku!?"
Aku benci bagian dari dirinya yang masih bisa menanyakan hal konyol seperti itu dalam situasi genting.
Yura, yang sudah berdiri kembali, menatap tajam ke arahku.
"A-Akira-sama tidak akan melakukan hal seperti ini... d-dia akan menolongku... j-jadi, dia itu palsu... palsu, palsu, palsu...!"
Merek dagang "Akira" yang telah dipelihara dengan penuh ketelitian, pada hari ini resmi dianggap sebagai produk palsu dan dihentikan dari peredaran. Terima kasih atas dukungan Anda selama ini.
Dengan penuh kasih sayang, aku memanggil Yura.
"Hei, Yura. Kau masih ingat bagaimana kita bertemu?"
Aku menggerakkan mataku yang penuh urat darah dan dengan putus asa memberi isyarat kepada Maria untuk "lari."
Dengan langkah lemas, Maria mulai melarikan diri dari tempat itu.
"Saat itu, ketika aku melihatmu, aku merasa itu adalah takdir."
Setelah melepaskan umpan yang kurang efektif, aku berpikir mati-matian tentang cara untuk mengulur waktu sambil memperhatikan Yura yang mulai berlari ke arahku.
Lalu—Maria, yang tiba-tiba berlari mendekati Yura dari belakang, membuatku bergerak.
"Yura-senpai! Sekali lagi! Mari kita bicara baik-baik sekali lagi!"
Saat Yura menoleh, ia secara refleks mengacungkan pisaunya—aku mendorong Maria ke samping, lalu masuk di antara mereka dan menangkap kedua lengan Yura untuk menghentikan pisaunya.
"Dasar bodoh... lihat situasi dulu sebelum bertindak, dasar bodoh...!"
"K-Kiritani Akira... k-kenapa kau ada di sini...?"
"Efek anchoring."
Melihatku tersenyum meski berkeringat, mata Yura perlahan membesar.
"Kau masih ingat, kan?"
Saat aku merasa genggamannya melemah, aku mencoba merebut pisaunya—tapi Yura menunjukkan kekuatan yang tak bisa dipercaya untuk ukuran seorang siswi SMA dan mulai mendesakku.
"Jadi, maksudnya... kau pertama-tama menciptakan situasi di mana Maria dijadikan sebagai umpan, lalu setelah itu menyelamatkannya agar bisa mendapatkan simpati darinya... tetap saja, kau palsu... A-Akira-sama selalu memberikan cinta tanpa membeda-bedakan...!"
Ahhh, aku salah pilih strategi, ya!?
Aku jatuh berlutut dan langsung berada dalam posisi terkunci.
Terbaring telentang, aku melihat ujung pisau perlahan mendekati wajahku.
"............"
Rasanya nyata! Ini benar-benar nyata! Aku bisa merasakan hidupku yang sesungguhnya sekarang!
Ekspresiku menjadi datar karena kurangnya kelonggaran, lalu berubah menjadi senyum cerah saat aku berbisik.
"Yura, setidaknya, di saat terakhir ini... buatlah hatiku bergetar."
Sebagai seorang profesional dalam menangis palsu, aku meneteskan air mata yang sangat berharga.
"Kumohon... Yura..."
Apakah dia benar-benar tersentuh oleh perasaanku?
Yura melepaskan genggamannya dariku, menunjukkan keraguan dalam tindakannya, lalu menusukkan pisaunya ke arah dadaku—namun, terdengar suara dentingan.
Ujung pisau meleset, pecah, dan serpihannya terpantul ke tanah.
Tatapan Yura, yang membelalak karena terkejut, tertuju pada lubang di dadaku—tempat smartphone yang tersimpan di saku dadaku terlihat.
Saat itu juga—smartphone di saku dadaku bergetar.
"Perhatikan langit."
Bayangan menutupi kami.
Dengan cepat, Yura menghadap ke atas.
Drone kedua milik Sumire menjatuhkan barang pesanan tepat ke tanganku—aku menangkapnya, membaliknya, lalu menodongkannya ke arah Yura.
"Cermin, cermin di tanganku."
Itu adalah cermin tangan antik.
"Siapakah yang paling cantik di dunia ini?"
Menatap barang penuh kenangan itu, Yura melihat—
"Siapa?"
Dalam cermin, ia melihat dirinya yang kotor dan lusuh saat masih kecil.
Gemetaran.
Yura berdiri, menatap pantulan dirinya di cermin, lalu menggelengkan kepala.
Kulitnya yang pucat dengan warna aneh, lingkaran hitam yang tebal di bawah matanya, rambut berantakan yang menutupi setengah wajahnya, tubuhnya yang tampak tidak seimbang—itulah dirinya di masa lalu, saat masih berada di pangkuan neneknya.
"T-Tidak mungkin... i-ini tidak mungkin... k-kenapa... t-tapi... d-dulu... k-ketika nenek masih ada, a-aku itu sangat cantik dan imut... m-makanya, nenek selalu menunjukkan wajahku di cermin... i-itu adalah ideal yang aku dambakan..."
"Manusia selalu menciptakan sisi idealnya sesuka hati. Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Bahkan ingatan pun bisa diubah agar sesuai dengan cerita yang mereka yakini."
Aku berdiri, menepuk-nepuk debu di celanaku, lalu berbisik.
Post a Comment