Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 2
Curahkanlah Cinta dan Kasih Sayang
Guru di taman kanak-kanak tempat aku dulu bersekolah ditangkap karena telah menyekap Akira-kun.
Dia adalah seorang wanita dengan wajah lembut dan polos yang biasa dipanggil "Momo-sensei."
Dia mencintai semua anak tanpa terkecuali, tak pernah sekalipun menunjukkan tanda-tanda memihak satu anak tertentu.
Sesaat sebelum kehebohan tentang hilangnya Akira-kun melebar, dia berkata kepada aku dan sahabatku:
"Dalam menunjukkan kasih sayang, kau tak boleh memilih cara."
Aku dan sahabatku sering berebut Akira-kun, saling menarik tangan satu sama lain.
Momo-sensei hanya tersenyum saat menyaksikan kami.
"Cinta itu tidak memiliki batas. Oleh karena itu, kasih sayang yang dibatasi oleh cara hanyalah sebuah kepalsuan belaka."
"Apa maksudnya?"
Sahabatku lahir dan besar di luar negeri. Dia pernah bercerita bahwa ayahnya memutuskan untuk membesarkannya di Jepang karena kecintaan kakeknya pada negara ini.
Dia memiliki rambut platinum yang begitu indah hingga terasa tak nyata. Mengibaskan rambut panjangnya, dia bertanya dengan suara cadel:
"Hei, Yui-chan, kau ingin selalu bersama Akira-kun?"
Aku mengangguk.
"Begitu ya."
Saat itu—mata guru kami berputar dalam pusaran "cinta" yang terlihat begitu sepi.
"Kalau begitu, kau harus mengurung Akira-kun agar tak bisa diambil siapa pun, kan?"
"Mengurung?"
"…Kalau kau benar-benar menyukainya."
Senyum Momo-sensei tampak menyedihkan.
"Suatu saat nanti, kau akan mengerti."
Tak lama setelah itu, dia ditangkap begitu saja.
Kesalahan fatal yang dilakukannya—padahal rencana penculikannya hampir sempurna—adalah "membawa Akira-kun ke rumah sakit karena ia terserang demam."
Seorang ahli penanganan krisis bahkan berkomentar bahwa jika bukan karena itu, Akira-kun mungkin tidak akan pernah ditemukan.
Tindakannya sangat terencana, begitu teliti hingga menyerupai sebuah karya seni.
"Mungkin saja dia bahkan sudah memperhitungkan semua ini sejak awal."
Seorang pakar psikologi kriminal yang diundang ke acara televisi mengatakannya dengan ekspresi serius, seolah tak pernah melontarkan candaan seumur hidupnya.
Kasus penculikan ini menjadi sorotan nasional, terus diberitakan setiap hari dan menjadi santapan empuk media.
Para jurnalis, meskipun mendapat hujan kritik di internet, tetap berusaha menyodorkan mikrofon ke anak-anak taman kanak-kanak.
"Kau pasti takut, bukan? Sangat menakutkan, kan?"
Namun, Akira-kun hanya menjawab dengan polos:
"Tidak sama sekali, aku tidak takut."
"Momo-sensei itu sangat baik lho. Kenapa semua orang berbicara buruk tentangnya? Tinggal bersamanya sangat menyenangkan. Masakannya lebih enak dari ibuku, dia selalu memberiku camilan, dan dia tak pernah melakukan hal buruk padaku."
Masyarakat menganggap Akira-kun telah dicuci otak dan mengalami Sindrom Stockholm, sehingga ia tidak bisa mengatakan hal buruk tentang penculiknya.
Kebanyakan orang mengganti hal yang tak bisa mereka pahami dengan sesuatu yang lebih bisa mereka mengerti.
Mereka percaya diri telah memahami segalanya hanya dengan melihat satu sisi yang ditampilkan media.
Dalam waktu singkat, mereka mencocokkan pendapat pribadi dengan opini publik untuk memperoleh kepuasan. Jika ada perbedaan, mereka akan melampiaskannya dengan berbagai bentuk kritik.
Reaksi masyarakat terhadap suatu kasus layaknya mencocokkan jawaban dalam ujian yang sudah tersedia.
Sementara itu, para influencer yang mencoba memberikan jawaban berbeda demi mendapat pengikut, sebenarnya hanya menggunakan metode yang mirip dengan sekte yang menargetkan orang-orang terbuang dari masyarakat.
Pada akhirnya, baik mereka maupun sekte-sekte itu melakukan hal yang sama—menekan tombol tanpa henti seperti monyet dalam eksperimen laboratorium, hanya untuk melihat apakah mereka akan mendapat hadiah atau tidak.
Kenyataannya, hanya mereka yang terlibat dalam suatu kasus yang bisa memahami kebenaran yang sesungguhnya.
Pola rumit bernama "cinta" yang ditenun oleh Momo-sensei hanya bisa dipecahkan dengan kunci jawaban yang ada di dalam hatinya.
"…Dia adalah seseorang yang spesial bagiku."
Sebagai seorang wanita dengan "penyimpangan seksual," Momo-sensei dikecam dan dihakimi oleh masyarakat.
"Tak peduli berapa banyak cinta yang kutunjukkan, dia selalu menerimanya dengan santai. Dia tersenyum. Aku yakin dia tidak akan mengkhianatiku. Aku berpikir dialah satu-satunya orang yang bisa menemaniku seumur hidup. Bahkan hingga sekarang, aku tetap berpikir demikian."
Kata-katanya yang diterbitkan di majalah tertanam dalam benakku.
"Perbedaan usia bukanlah masalah. Dalam menunjukkan kasih sayang, kau tak perlu memilih cara. Hanya saja—"
Aku bisa melihat senyum lembut Momo-sensei.
Senyum yang ia tunjukkan saat mengawasi anak-anak dengan penuh kasih.
"Aku hanya ingin bersamanya. Selama mungkin. Meski dunia menganggap itu aneh, aku tetap ingin bersamanya. Apakah itu sesuatu yang salah?"
Lalu—aku menarik tangan Akira-kun di taman kanak-kanak.
"Di masa depan, Akira-kun akan dikurung oleh Fii~"
"Tidak, Yui yang akan mengurungnya~"
Tentu saja, kasih sayang kami dianggap sebagai masalah dan para guru menegur kami dengan tegas.
"Kalian tidak boleh melakukan hal seperti itu!"
"Yui, kau istri kedua. Fii pasti akan kembali, jadi jangan lupakan itu."
Meninggalkan kata-kata itu, sahabatku pergi ke luar negeri—
Dan aku, hingga kini, masih mencintainya.
"…Mimpi yang begitu nostalgia."
Aku bangun, tersenyum di bawah cahaya matahari pagi.
"Karena ini Akira-kun, dia pasti sudah melupakan semua yang terjadi saat itu."
Kemarin, dia masih ada di rumah ini. Menyadari fakta itu kembali, tubuhku bergetar karena kebahagiaan.
"Aku mencintaimu… Akira-kun… Meskipun kau tak ingat tentang aku… tetap saja, aku mencintaimu… mencintaimu…"
Mendekapkan kemeja miliknya yang masih beraroma dirinya, aku menghirup baunya dalam-dalam.
"Cintai aku, Akira-kun… Cintai hanya aku sendiri… Jangan melihat perempuan lain… Jika kau melakukannya, aku…"
—Dalam menunjukkan kasih sayang, kau tak boleh memilih cara.
"Agar aku bisa terus bersamamu—aku akan melakukan apa pun."
Mencium foto dirinya yang berdiri di samping bantal, aku mengenakan seragamku sebagai Minatsuki Yui.
*
"…Jadi, kau ini siapa?"
Di jalan menuju sekolah pada pagi yang suram, seorang gadis asing tiba-tiba menghalangi jalanku.
Seragamnya dipakai secara tidak rapi—bagian dada terbuka, pita tergantung longgar, dan rok mini yang memperlihatkan pahanya. Kedua telinganya dihiasi anting perak, sementara kukunya dipulas dengan cat kuku biru muda.
"…Kita sudah bicara, kan?"
Gadis yang jelas-jelas berpenampilan gal itu menundukkan kepala sambil menggenggam salah satu lenganku dan berbicara dengan suara pelan.
"Hah?"
"Kemarin… kita teleponan, kan…?"
Pipi gadis itu memerah, lalu ia berseru dengan suara lantang.
"Akulah! Stalker-mu!"
"…Hah?"
Dengan wajah yang semakin merah, ia menutupinya dengan kedua tangan.
"……"
Aku mengecek waktu di ponsel, lalu berjalan melewatinya tanpa berhenti.
"Tu-tunggu, sebentar! Masak kamu nggak bereaksi sama sekali? A-aku ini benar-benar stalker-mu, lho!"
Gadis gal yang mengaku sebagai stalker itu mengejarku dengan panik dan mencengkeram lenganku.
Aku menghela napas dan melepaskan tangannya.
"Aku nggak tertarik meladeni khayalan orang lain tanpa dibayar. Orang yang meneleponku kemarin adalah seorang yandere sejati. Bukan sekadar karakter figuran seperti dirimu."
"Figuran? Maksudnya apa?"
Aku tak berniat menjelaskan, jadi aku kembali melangkah. Tapi, gadis itu berlari memotong jalanku.
"A-aku ini yandere beneran!"
"Kalau begitu, tunjukkan buktinya."
"U-uhm…"
Gadis itu merogoh sakunya, secara tak sengaja memperlihatkan bra biru mudanya, lalu mengeluarkan sebuah foto dan menunjukkannya padaku.
"Nih! Aku selalu bawa fotomu!"
Aku hanya tertawa kecil dan melanjutkan langkahku.
"Tunggu, serius! Seharusnya kau bereaksi, kan? Kayak 'Uwaaah' atau 'Eeh!?'—paling nggak kayak gitu!"
"Jangan terus menempeliku. Menghadapi orang sepertimu hanya akan mengganggu perhatianku dari yandere yang asli."
Di sekolah ada Minatsuki Yui (dan dia duduk di sebelahku), belum lagi aku harus menghadapi si pemuja fanatik itu.
Aku tidak punya waktu untuk membuang perhatian pada orang-orang biasa yang tidak ada hubungannya dengan kehidupanku.
"Lagipula, cara bicaramu berbeda dari kemarin. Kau menggunakan 'Boku' untuk menyebut diri sendiri dan memanggilku 'Akira-sama.' Nada bicaramu lebih terputus-putus, penuh dengan frasa aneh yang lahir dari keyakinanmu yang mendalam."
"Orang bisa berubah!"
Yandere itu justru tidak bisa berubah.
"Pokoknya, sebentar saja, dengarkan aku—"
"Akira-kun, siapa perempuan itu?"
Dalam sekejap—aku langsung berlari sekencang mungkin.
"T-tunggu! Kenapa tiba-tiba lari!?"
Ternyata gadis gal itu cukup cepat. Ia berlari sejajar denganku, pita di lehernya berayun, sementara ia berseru dengan penuh kebingungan.
"Diam! Kalau kau ingin merasakan hidup sepenuhnya, berlarilah tanpa bicara!"
"Ah…merepotkan deh."
Seolah sudah diduga, Yui muncul dari gang samping.
Meskipun aku sudah berlari lebih dulu, dia tetap bisa mengejarku dalam sekejap dengan kecepatan luar biasa dan perhitungan rute yang sempurna.
Dia berdiri menghadang jalan kami, menggelengkan kepala dengan ekspresi muram.
"Selamat pagi, Yui! Wah, kebetulan banget kita ketemu pas jogging!"
"Akira-kun, kalau kau melarikan diri, berarti kau merasa bersalah, kan? Padahal aku percaya padamu. Pagi ini suasana hatiku sangat baik, tahu? Karena aku bermimpi tentangmu. Tapi, semuanya jadi berantakan. Aku sedih, Akira-kun. Sangat sedih. Mungkin kau seharusnya tidak boleh keluar rumah, ya? Iya, benar. Aku harus tegas. Begitu, kan? Ya, memang begitu."
Oi! Yui! Ayo kita bicarakan ini dengan tenang ya!?
"Minatsuki Yui…? Kenapa rasanya dia berbeda dari biasanya?"
"Kau, alihkan perhatiannya ya."
"Hah?"
Aku tersenyum.
"Sementara itu, aku akan kabur."
"Hah!? Kenapa kau harus kabur—Tunggu, kenapa dia nyalain stun gun di jalan menuju sekolah!? Apa dia gila!?"
Sambil bersenandung senang, Minatsuki menyalakan stun gun, menciptakan irama dari suara listriknya.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.
Setelah mengambil ancang-ancang dengan ringan, dia berlari lurus ke arahku.
"…Kau punya masa depan?"
"Hah!? Kenapa kau nanya itu di saat seperti ini!?"
"Seberapa banyak uang yang kau punya?"
"E-eh… 2250 yen?"
"Minatsuki-san! Aku ditipu olehnya! Tolong aku!"
"Apa!? Nggak, itu salah paham saja!"
Aku tidak tertarik pada figuran yang tidak punya kekuatan ekonomi.
"Akira-kun harus dihukum, dihukum, dihukum, dihukum, dihukum, dihukum, dihukum, dihukum…"
Sial! Dia cuma peduli padaku!
Aku mencari cara untuk menyelamatkan diri dan melihat sebuah bus yang berhenti di dekat sana.
"Ayo naik!"
"T-tunggu!"
Dengan senyum penuh, Minatsuki mulai mempercepat larinya.
Sepertinya dia menyadari rencanaku. Gadis yang dikenal sebagai pelari tercepat di seluruh sekolah mulai menunjukkan kecepatannya—
"Ah!"
"…Cih!"
Dia terpeleset saat berusaha menghindari fotoku yang jatuh dari saku si gadis gal.
"Kumohon, jalanlah! Nyawa dua orang sedang dipertaruhkan di sini!"
Menanggapi teriakan yang begitu nyata, sopir bus yang kebingungan akhirnya menginjak pedal gas.
Para siswa yang ikut dalam bus sempat gaduh karena kebingungan, tapi bus melaju dengan lancar, membuat mereka merasa lega.
"He-hei, tunggu..."
Gadis gyaru yang menunduk menatap tangan yang tengah terhubung denganku.
Dengan wajah memerah dari leher hingga pipi, ia mengalihkan pandangan dengan rasa malu.
"Le-lepaskan tanganku..."
Di situasi seperti ini, masih bisa bertingkah layaknya romcom? Kau luar biasa.
Aku melepaskan tangannya begitu saja.
Entah ritual macam apa, gadis itu kemudian mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
Sambil menatap ke arah kanan atas yang kosong, dia bergumam, dengan suara yang tidak jelas.
"A-apa itu...? Orang itu, yaa...?"
"Itu tadi—"
Vibrasi ponsel. Ponsel yang kupinjam dari adikku bergetar, menandakan satu pesan baru masuk.
Yui:
Aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bicara, aku ingin bica—
Bzz... bzz... bzz...
Notifikasi bertubi-tubi masuk ke ponselku. Pesan dengan isi yang sama dikirim berkali-kali dari kontak yang tidak pernah aku simpan.
"Ini beneran yandere..."
Aku harus mencari cara untuk bisa bertahan dari gadis yang duduk di sebelahku di sekolah.
Setelah itu, kami akhirnya tiba di sekolah dengan selamat.
"Aku benar-benar minta maaf!"
Di ruang bimbingan siswa, aku menatap puncak kepala gadis gyaru yang terpaksa berangkat sekolah bersamaku.
Ia menundukkan kepala dalam-dalam kepada Unya-sensei dan aku, menghapus air mata di sudut matanya sambil terus meminta maaf.
"Aku yang memasukkan rambut dan kuku ke dalam loker Kiritani-kun. Aku menyukainya sejak lama, dan aku tidak bisa menahan perasaanku, jadi aku melakukan itu untuk menarik perhatiannya. Maafkan aku..."
"...Gimana menurutmu, Kiritani?"
"Gimana menurutku apanya? Pelakunya bukan dia. Soalnya, dari dia nggak terasa ada 'aura' itu. Tidak ada aura mengerikan yang membangkitkan insting bertahan hidupku."
"Kiritani, ikut aku sebentar."
Saat keluar dari ruang bimbingan bersama Unya-sensei, guru yang (secara sarkastik) berpengalaman dalam urusan cinta hanya bisa menghela napas.
"Jadi intinya, Kiritani. Kau tidak menganggap dia sebagai stalkermu. Itu yang mau kau katakan, kan?"
"Tentu saja. Soalnya, pertama-tama—"
"Warna rambutnya berbeda."
Menyela pembicaraan, Yui muncul dengan mengenakan kacamata belajar dan mengubah gaya rambutnya menjadi ponytail.
"Rambut yang dimasukkan ke loker Akira-kun itu hitam, kan? Tapi, dia mengecat rambutnya... Dan kukunya juga, dibiarkan panjang agar bisa dipoles dengan kuteks. Rambut dan kuku itu dimasukkan dua hari yang lalu. Kalau begitu, rasanya tidak mungkin itu berasal darinya, bukan?"
Bisakah kau berhenti tiba-tiba muncul seolah itu hal yang wajar?
"Minatsuki, mendengar pembicaraan orang lain itu tidak baik. Kau akan mencoreng nama baik siswa teladan."
"Aku datang untuk memanggil guru, lho. Home room pagi sebentar lagi dimulai."
Tampaknya, Unya-sensei baru ingat dengan kewajibannya. Ia bergumam "Astaga," lalu dengan terburu-buru berbalik menuju ruang guru.
"Maaf, Kiritani. Kita lanjutkan nanti. Kinugasa! Kau ada waktu setelah sekolah?"
"Eh? Ah, iya..."
Sepertinya sangat ketakutan, gadis gyaru—Kinugasa Maria, gemetar sambil menatap Yui.
"Kalau begitu, kita bahas lagi setelah sekolah. Aku akan ke ruang guru dulu, jadi kalian langsung ke kelas. Jangan terlambat."
"Begitulah. Jangan terlambat."
Saat aku mengikuti Unya-sensei dengan memegang ujung bajunya, tiba-tiba Unya-sensei menoleh dan meninjuku pelan.
"Kau dengar, kan? Pergilah ke kelas lebih dulu."
"Tidaaak! Aku mau ikut dengan guru!"
Kalau aku tidak ikut, aku akan mati!
"Akira-kun."
Yui memisahkan tanganku dari guru dengan kekuatan genggaman yang membuatku terkejut.
"Kau tidak boleh merepotkan Unya-sensei, mengerti?"
Tatapan matanya gila! Bisa membunuh orang hanya dengan pandangan!
"Kinugasa! Kenapa kau malah bengong!? Hidup mati kita dalam satu menit ke depan ditentukan oleh beliau!"
"Eh? A-ah? Se-sensei!"
Akhirnya menyadari situasi genting ini, Kinugasa melompat berdiri, lalu menghalangi jalan Unya-sensei.
"U-uh, Unya-sensei! I-itu anak! Gadis itu membawa stun gun!"
Dasar bodoh! Mana mungkin yandere tingkat tinggi melakukan kesalahan dasar seperti itu!
"Stun gun? Di mana?"
Dengan senyuman ramah, Minatsuki bertanya dengan tenang.
"Eh? Di-da-di dalam sakunya, mungkin...?"
Minatsuki membalikkan sakunya dan menunjukkan kedua tangannya sambil tersenyum lebar.
"Kinugasa, jangan bicara sembarangan. Tidak perlu repot-repot menanggapi kebodohan Kiritani."
Tidak mungkin seseorang membawa stun gun saat pergi memanggil guru.
Saat menyadari bahwa tidak ada gunanya mengadu kepada Unya-sensei, Kinugasa menoleh ke arahku dan berteriak.
"He-hei! Lepaskan tanganmu dari Kiritani!"
Kau serius? Kau sengaja menyinggungnya!?
"...Hah?"
Minatsuki-san berhenti tersenyum dan menatap Kinugasa dengan kepala sedikit miring.
"Haaah?"
Keinginan membunuh yang terkandung dalam pertanyaan singkat itu bukanlah sesuatu yang bisa ditahan oleh orang biasa.
Kinugasa yang terkejut mundur beberapa langkah, lalu menatapku seolah meminta pertolongan.
"Minatsuki-san, tolong! Gadis itu menatapku dengan penuh nafsu!"
"Aku... aku sudah mencoba menolongmu! Kau mengkhianatiku!?"
Bukan, kau malah memperburuk keadaan.
"A-Akira-kun... I-imut... manja sekali... u-uhm, kau boleh menekan kepalamu lebih dalam ke dadaku..."
Oh, aku bisa selamat! Aku menemukan jalan hidupku!
Dengan mempertaruhkan nyawaku, aku menekan kepalaku ke kedua dada Minatsuki.
Saat aku terengah-engah dan berkeringat deras dalam upaya penyelamatan diri, tanganku ditarik oleh guru dan aku dipisahkan dari dada yang sudah mulai berbau kematian itu.
"K-Kau, Kiritani, ada apa denganmu? Kau seperti pemain football Amerika yang sedang birahi... Apa kau demam?"
"Ini lebih dari sekadar demam, jadi biarkan aku pergi bersamamu. Nasib silsilah keluarga Kiritani sekarang ada di tanganmu, Sensei."
"O-Oke, oke, aku akan melindungi garis keturunanmu. Lakukan sesukamu."
Sensei, aku menyukaimu. Aku mencintaimu (secara manfaat).
Entah karena insting bertahan hidup atau kemampuan menilai bahaya yang tajam, Kinugasa sudah menghilang di tengah kekacauan ini.
Aku berpegangan pada Sensei dan berjalan menuju kelas melalui ruang guru.
Sementara itu, Minatsuki-san yang berjalan di sebelahku masih menampilkan senyum yang sama seperti beberapa jam lalu, seolah hanya disalin dan ditempel ulang.
"Baiklah, semua, duduk di tempat. Homeroom pagi dimulai."
Setelah berhasil melewati batas antara hidup dan mati, aku selamat dengan teknik yang lebih mirip pertunjukan akrobat.
Minatsuki-san yang berusaha terlihat sebagai siswa teladan tetap memasang senyuman yang tidak memiliki tanggal kedaluwarsa, lalu duduk di sampingku.
Aku tahu tidak akan ada kematian mendadak di tengah pelajaran, jadi aku dengan santai bersenandung kecil sambil mengutak-atik isi mejaku.
Saat jari-jariku meraba ketebalan buku pelajaran untuk jam pertama dan hendak mengambilnya—
"Hm?"
Aku menemukan kotak bekal hitam yang tidak kukenal.
[Onii-chan, jangan pernah membukanya.]
"Eh, kenapa?"
Saat jam pelajaran pagi selesai dan jam makan siang tiba, aku masih bingung harus bagaimana menangani kotak bekal hitam ini.
Tepat saat itu, pesan rutin dari Sumire masuk.
Begitu aku mengirimkan pesan untuk berkonsultasi, telepon darinya langsung berdering.
"Itu pasti hadiah dari penggemar aneh kemarin. Kau bilang dia mau menjemputmu hari ini, kan? Kalau aku, aku pasti mencampurkan obat tidur golongan benzodiazepine agar kau lebih mudah diculik."
Apa aku ini pejabat tinggi negara atau sesuatu?
"Tapi aku penasaran. Aku sampai tidak bisa berkonsentrasi belajar pagi ini. Minatsuki-san juga tidak mencoba ikut campur."
Kupikir dia akan langsung menghilangkanku begitu jam istirahat tiba, tapi anehnya, Minatsuki-san sama sekali tidak mendekat.
Di sekolah, dia menjalani kehidupan normal dan sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan khusus padaku, seperti orang biasa tanpa masalah apa pun.
"…Dia sedang menyamar."
"Apa?"
"Kalau Minatsuki-senpai benar-benar ingin menculikmu, dia pasti tidak akan menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Dia akan menyembunyikan perasaannya terhadapmu agar tidak dicurigai sebagai pelakunya."
"Tapi tadi di depan Sensei, dia tidak berusaha menyembunyikannya, kan?"
"Itu mungkin karena dia tidak bisa mengendalikan rasa cemburunya... atau dia menganggap Sensei sebagai musuh, seperti saat dia berhadapan denganku."
"Minatsuki-san menganggap Unya-sensei sebagai musuh? Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Bagiku, Sensei itu cuma alat yang bisa memenuhi keinginanku."
Jangan perlakukan wali kelas orang lain seperti alat ajaib.
"Ngomong-ngomong, Onii-chan. Sudah kau periksa isi ponselmu?"
"Sudah. Tapi jujur saja, ini keterlaluan. Obsesi kakak-adik macam apa ini?"
Di dalam kartu microSD yang Sumire paksa untuk kuperiksa, ada ribuan foto diriku.
"Aku mencintaimu, Onii-chan!"
Cinta yang terlalu berat itu malah menekan dadaku.
"Berhentilah mengirim pesan setiap beberapa menit. Ponselku terus berbunyi berisik. Dan stop mengucapkan 'suka' dan 'cinta' padaku. Itu bukan kata-kata yang pantas untuk kakakmu."
"Kamu sudah dengarkan pesan suaraku?"
Seolah tak punya niat untuk menghentikan gangguan ini, suara riangnya terus terdengar.
"Kenapa aku harus mendengar rekaman 'aku suka padamu' dari adikku sendiri setiap kali ada telepon masuk? Apalagi, setelah 'aku suka padamu', suara berikutnya malah 'sup krim'."
"Aku ingin kamu tahu seberapa besar aku mencintaimu! Jantungmu berdebar, kan?"
Ya, aku benar-benar berdebar... karena makin yakin kalau adikku sudah tidak waras!
"Kalau kau terus bercanda seperti ini, aku bisa saja membuang adikku ke gunung."
"Baik! Aku akan menurut! Jadi, kamu suka aku? Kamu mencintaiku?"
"Tidak, biasa saja."
Klik klik klik klik—suara cutter yang dipanjangkan terdengar, diikuti dengan napas tersengal-sengal seperti orang mengalami hiperventilasi.
"Suka. Cinta."
Karena malas berdebat, aku mengatakannya dengan nada datar. Begitu aku mengucapkannya, suara lembut dan lengket menyusup ke telingaku.
"Aku juga... Onii-chan, aku suka padamu... aku mencintaimu..."
Kasihan sekali orang yang tenggelam dalam cinta palsu seperti ini.
"Baiklah, aku tutup teleponnya. Terima kasih atas sarannya—"
"Tidak boleh! Kalau kamu menutup telepon ini, aku akan mati sekarang juga!?"
Astaga... Dia bertingkah seolah bisa membunuh dirinya hanya dengan satu sentuhan jariku.
"Biarkan teleponnya tetap tersambung. Bisikkan 'aku mencintaimu' di telingaku. Kalau kamu lakukan itu, aku akan menjadi anak yang baik."
Begitu aku kembali ke kelas, aku merekam suaraku dengan nada datar: "Aku mencintaimu."
Setelah mengatur ulang ke mode putar ulang, aku memasukkan ponsel ke dalam meja.
"O-Onii-chan... a-aku terlalu bahagia... k-kepalaku mungkin sudah tidak berfungsi lagi... s-semuanya terdengar sama... suara Onii-chan terus bergema di dalam kepalaku... i-ini luar biasa..."
Adik itu memang mudah ditangani.
Saatnya makan siang.
Minatsuki biasanya makan bersama anggota OSIS di ruang OSIS, jadi sepertinya dia juga tidak ada di kelas hari ini.
"Haaah, akhirnya bisa bernapas lega juga."
Aku meletakkan kotak bekal hitam pekat itu di meja dan membuka tutupnya.
"Ah, sial! Secara alami, kebiasaan membukanya begitu saja—"
Aku melihat sesuatu yang bercampur dengan banyak rambut hitam dan darah. Pelan-pelan, aku menutup tutupnya kembali dan langsung melemparkannya ke tempat sampah dengan gaya dunk.
"Itu lebih parah dari yang kubayangkan... Aku meremehkan yandere... Ini bukan sekadar mencampurkan sesuatu ke dalam makanan... Ini sesuatu yang langsung masuk ke perut..."
100% rambut hitam! (Termasuk kandungan darah)
Aku refleks melemparkannya, tapi tentu saja aku tidak bisa membiarkannya begitu saja di tempat sampah kelas—Saat aku merasa ada tatapan tertuju padaku, aku menoleh dan melihat Maria Kinugasa berdiri di sana.
"...Kau membuangnya?"
"Tidak, aku tidak membuangnya."
Apa ini? Ada perasaan aneh... Suasananya berbeda dari biasanya.
Aku mengambil kembali kotak bekal itu.
Karena tutupnya tertutup rapat dan sudah menyerap darah hingga menjadi lebih berat, isinya hampir tidak berceceran.
Saat aku mengambilnya dan memeriksa bagian dalamnya, aku menyadari ada surat yang ditempel di bagian bawah tutupnya.
Untuk Akira-sama.
Seiring dengan kedatangan Sang Sosok Agung, aku mengirimkan bagian tubuh yang mengandung energi kehidupanku. Tolong makanlah. Dengan begitu, cintaku akan tersampaikan padamu, dan anda akan menyadari bahwa aku adalah pengikut setiamu.
Akira-sama, aku mengagumimu. Aku mencintaimu. Cintaku padamu begitu suci, membungkus seluruh diriku.
Aku akan selalu berada di sisimu, selamanya.
Setelah membaca dari awal hingga akhir, aku merasa benar-benar tercerahkan.
Ah, orang ini... sudah tidak bisa diselamatkan!
"Jadi?"
Tepat setelah aku selesai membaca, Kinugasa bergumam sambil terlihat gelisah.
"Bisakah... kau ikut denganku sepulang sekolah?"
Dengan pipi yang sedikit memerah—dia mengenakan perban putih di pergelangan tangan kirinya.
"...Perban itu, kau terluka?"
"Eh? Ah, aku tadi sedikit tergores, sih."
Kinugasa tersenyum sambil menyembunyikan lengan kirinya di belakang punggungnya, seolah ingin mengalihkan pembicaraan.
"Perlihatkan."
"Eh?"
"Lepaskan perban itu dan tunjukkan. Kalau hasilnya sesuai dugaanku, aku akan ikut denganmu."
Sesaat, hanya sesaat, aku merasakan aura mencurigakan.
Darah yang bercampur dengan rambut hitam tadi terlihat segar dengan mata telanjang. Tidak mungkin sudah terlalu lama sejak diambil. Jika dia yang memasukkan benda itu ke dalam bekal, kemungkinan besar dia sendiri yang mengobati luka setelah mengiris tangannya.
"Eh, eeh!? Ki-Kiritani, kau punya fetish dengan luka atau gimana? Itu agak bikin aku ngeri, sih..."
Dengan rambut pirangnya yang cerah, Kinugasa mengusap kepalanya, tampak bingung, tetapi tetap mulai membuka perbannya.
"...Apa-apaan ini..."
Di baliknya—
"Itu cukup sakit, tahu?"
Seperti yang dia katakan, hanya ada bekas goresan.
Aku mencoba mengusapnya dengan ujung jariku, tetapi tidak merasakan keanehan apa pun. Jika jumlah darah sebanyak itu berasal dari sini, pasti akan ada bekas luka yang lebih jelas.
"U-um... Ki-Kiritani, i-itu... Memalukan, tahu..."
Kinugasa memalingkan pandangannya dariku, wajahnya memerah seiring meningkatnya suhu tubuhnya, sementara aku terus mengusap bekas lukanya dengan fokus penuh.
"...Ternyata cuma perasaanku saja. Sungguh konyol. Pada akhirnya, kamu hanyalah figuran biasa. Sempat-sempatnya aku takut."
"Eh! K-Kenapa aku malah dihina gitu!? Keterlaluan!"
Kinugasa mengerang sambil menggembungkan pipinya, lalu secara alami menyelipkan lenganku di antara tubuhnya dan menekan dada yang lebih besar dari perkiraan ke tubuhku.
"Berhenti. Kalau Minatsuki melihat, aku bakal mandi dengan asam sulfat pekat."
Saat aku mencoba melepaskan diri, dia malah mengerang, "Muu!" dengan wajah cemberut.
"Sudah wajar bagi seseorang untuk menarik perhatian orang yang dia suka. Kenapa aku harus diprotes sama Minatsuki?"
Dia masih belum memahami situasi ini? Kau dari planet mana, sih?
"Kinugasa, kau itu stalker-ku, kan?"
"Eh, iya. Aku stalker-nya Kiritani, kok?"
Tanpa mempedulikan tatapan teman sekelas yang makan siang di dalam kelas, gadis gyaru yang menempel padaku itu berbicara dengan santai.
"Tadi kau bilang kau menyukaiku... Tapi, tidak terpikir kalau tindakan stalking bisa membuatku membencimu?"
"So-Soalnya, aku benar-benar suka... Sa-Saat memikirkan Kiritani, jantungku berdebar... A-Aku jadi tidak bisa tetap tenang..."
Aku tidak mengerti. Apa yang ada di pikirannya? Apa mungkin orang seperti ini yang memasukkan rambut dan kuku ke lokerku?
"Kalau kau jujur, lalu bagaimana dengan rambut hitam yang ada di lokerku? Dan kuku panjang yang sudah tumbuh sempurna itu?"
Saat aku bertanya, dia menatapku dengan ekspresi kosong dan matanya membesar.
"Eh? Maksudmu apa? Rambutku... lihat, bukan hitam, kan? Dan kuku itu... itu sudah lama banget, tahu? Lagian, aku cuma memasukkan beberapa helai rambut saja."
Dia mencubit sehelai rambutnya dan menunjukkan padaku.
"...Kalau begitu, bagaimana dengan bekal ini?"
Aku membuka bekal penuh kasih sayang yang berlebihan itu dan memperlihatkan isinya.
Dalam sekejap, Kinugasa berteriak, "Kyaa!" dan langsung memelukku, menyembunyikan wajahnya di dadaku.
"A-Apa ini!? O-Otak orang ini pasti ada yang salah! K-Kepolisian! Kita harus melapor ke polisi!"
"Jadi, ini bukan ulahmu? Dari isi suratnya, seharusnya orang yang mengirim ini sama dengan yang meneleponku kemarin."
"Aku nggak mungkin melakukan hal kayak gini! Ini pasti ada yang meniru perbuatanku!"
Sial, ini makin ribet saja!
"...Minatsuki."
"Apa?"
Kinugasa berkata dengan penuh keyakinan.
"Itu pasti dia! So-Soalnya, dia kan tipe orang yang bisa mengancam kita pakai stun gun! Dia pasti nggak ragu menyalahkan orang lain dan mengirimkan ini!"
Aku... nggak bisa langsung menyangkalnya!
"T-Tolong ikut aku sepulang sekolah! Aku akan membuktikan kalau aku tidak bersalah!"
Dia berpegangan erat padaku, menatapku dengan mata basah karena ketakutan—aku masih belum bisa menentukan ke arah mana ini akan berakhir.
*
"Minatsuki-san, gaya rambut ponytailmu cocok sekali!"
"Terima kasih."
"Kenapa tiba-tiba mengganti gaya rambut?"
"…Kenapa, ya?"
Sepulang sekolah.
Minatsuki-san, yang duduk di sebelahku, mengobrol santai sambil melemparkan tatapan yang terasa seolah ingin membelit tangan dan kakiku.
Sebelum aku terbunuh dengan penuh kasih sayang, aku buru-buru bersiap untuk pulang.
"Akira-kun."
Sial, ini kayak rudal kendali.
"Mau ke mana?"
Setiap jawabanku adalah soal hidup dan mati, jadi tolong jangan ajukan pertanyaan.
"Sementara ini, ke tempat Unya-sensei. Lalu… ada sesuatu yang mengganjal, jadi aku mau mampir ke rumah seorang teman."
"Kinugasa Maria?"
Meski dari luar tampak seperti percakapan biasa antar teman sekelas, Minatsuki-san yang terkenal sebagai murid teladan sudah menarik perhatian banyak orang.
Ekspresi imutnya kini berubah masam.
"Tidak boleh kesana, jangan pergi. Hukuman dariku belum cukup membuatmu kapok?"
Eh, apa? Aku sudah dihukum? Kalau ingatanku sampai hilang karena terlalu takut, itu lebih menyeramkan lagi.
"Bahkan Unya-sensei… bisa jadi orang yang berbahaya…"
Hei, yang berbahaya itu kau, tahu!
"Aku menghargai peringatanmu, tapi rasanya tidak enak kalau terus mencurigainya tanpa kepastian."
"Kau sampai sepeduli itu padanya?"
Kalau didengar orang lain, ini terdengar seperti pertengkaran pasangan, tapi bagiku ini adalah permainan bertahan hidup.
"Tidak sama sekali. Aku tidak peduli. Tapi dia telah mencuri sesuatu yang berharga dariku, jadi aku harus mengambilnya kembali."
"Tidak ada yang lebih berharga bagimu selain Yui—"
"Foto Yui."
Dalam keheningan, yandere yang tak tergoyahkan itu terdiam.
Satu detik, dua detik, tiga detik… perlahan, pipi Minatsuki-san memerah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan berbisik,
"B-bohong…"
"Te-tetapi, m-meski itu benar, y-yui yang akan mengambilnya… A-akira-kun tidak boleh…"
Oh? Ini berdampak.
"Bagaimanapun, aku ini pacarmu. Kalau aku ingin mengambil kembali foto orang yang kusayangi… tidak boleh kah?"
"T-tidak boleh…"
Aku melangkah maju, mendesaknya ke dinding, lalu berbisik di telinganya.
Dia memerah hingga ke leher, memalingkan wajahnya, lalu melirikku sesekali.
"Se-sepenuhnya tidak boleh…"
Kenapa menutup mata?
"Tenang saja. Aku tidak akan melakukan hal berbahaya, dan aku akan segera kembali padamu. Lagipula, kalau terjadi sesuatu, kamu akan menolongku, kan?"
"U-uhm…"
Jangan majuin bibir begitu.
Kuanggap dia sudah mengizinkan, jadi aku pergi tanpa suara.
Meninggalkan sang putri yang menutup mata, mengabaikan kenyataan, dan menunggu ciuman yang tak akan datang.
Aku menuju ruang guru.
Pada akhirnya, bimbingan dari Unya-sensei berakhir tanpa kejelasan (kesaksianku dan Kinugasa tidak cocok).
Dipandu oleh Kinugasa Maria, aku pun pergi ke rumahnya.
"Inilah rumahku."
Aku menatap rumah sederhana di tengah kompleks perumahan, tidak ada ciri khas yang mencolok.
"Hmm."
Rumah biasa, minus 100 poin.
"Masuk, masuk."
Dia mengambil kunci dari bawah pot bunga, membuka pintu, lalu mengundangku masuk.
Aku cepat-cepat melepas sepatu di pintu masuk, dan dia menarik tanganku, membawaku ke ruang tamu.
Di ruang tamu, ada meja kecil yang sudah terlihat sering dipakai.
Di atas lemari yang menempel di dinding, ada foto keluarga yang dipajang.
Perabotan yang ada, setidaknya satu di antaranya memiliki goresan atau noda, memberikan kesan sejarah panjang.
"Kiritani, mau minum apa? Aku nggak bisa menyiapkan sesuatu yang mewah, sih."
"Teh hangat saja… Aku boleh pinjam kamar mandi?"
"Ah, iya. Silakan saja."
Aku keluar ke lorong, lalu dengan langkah hati-hati menaiki tangga.
Aku menebak posisi dan meletakkan tanganku di gagang pintu yang tertulis "Kamar Kinugasa".
Kalaupun dia sudah menghilangkan bukti, jika dia benar-benar seorang yandere, pasti ada jejak yang tertinggal.
Baiklah, aku buka—
"Kiritani."
Suara dari belakang membuatku menoleh.
Kinugasa berdiri di sana, tersenyum.
"Itu bukan kamar mandi, lho?"
"…Salah pintu ya."
Kenapa kau melangkah tanpa suara? Apa kau ninja?
"Tak perlu berbohong… Kau tertarik dengan kamarku, kan? Lihatlah sepuasnya."
Dia membuka pintu lebar-lebar. Di depan mataku, terbentang kamar gadis biasa, tak ada yang aneh.
"Ba-bagaimana? Ada yang aneh?"
Dia menggeliat sedikit karena merasa malu saat kamarnya dilihat.
Aku merasa lega. Sepertinya aku terlalu curiga—
Lalu aku melihat foto keluarga yang terpajang.
Tiba-tiba, alarm berbunyi di kepalaku.
"Ki-Kinugasa-san?"
"Ada apa?"
Tiba-tiba, dia mencengkeram pundakku erat.
"Kalau aku salah, maaf, tapi…"
Dunia berputar. Saat sudut pandangku berubah, aku melihat Kinugasa berdiri di sana.
Di belakangnya, seorang gadis berpakaian serba hitam berdiri dengan wajah tertutup rambut panjang.
"Kenapa, dari semua foto keluarga di rumah ini, tidak ada satupun yang memuat dirimu?"
"Karena ini bukan rumahku."
Kinugasa tersenyum dan berbisik,
"Kau akan ikut denganku, kan, Akira-kun?"
Aku mengangkat kedua tangan dan tersenyum ramah.
*
"…Aku kalah."
Di dalam ruang kelas yang kosong seusai jam pelajaran, Yui berbisik.
Di tangannya ada kotak bekal hitam pekat yang ia ambil dari dalam laci meja Akira Kiritani—setelah selesai membaca surat di balik tutupnya, ia menyadari kesalahannya sendiri.
"Jadi, bekal yang aku masukkan malah dimanfaatkan balik. Padahal maksudku memberi hukuman, tapi kalau Akira-kun tidak bereaksi, berarti ini alasannya."
Tepatnya, yang dimasukkan Yui sebagai hukuman hanyalah "rambut."
Ia tidak ingat menaburkan darah, juga tidak merasa pernah menempelkan surat di balik tutupnya. Tujuannya hanya menakut-nakuti Akira dengan memanfaatkan ketakutannya terhadap penguntit. Karena itu, ia memotong rambut hitamnya sendiri dan memasukkannya ke dalam kotak bekal.
Jika kotak bekal itu sampai terlihat orang lain dan menjadi masalah besar, agar kecurigaan tidak mengarah kepadanya, ia sengaja mengikat rambutnya dengan gaya ponytail dan mengurangi volumenya agar tak terlihat ada yang berkurang.
Dengan citra dirinya sebagai murid teladan, ia yakin bahwa orang-orang akan lebih dulu menuduh penguntit sebagai pelaku. Namun… justru dirinya yang dimanfaatkan.
Dengan diam, Yui mulai berpikir.
Aku memasukkan bekal itu sebelum istirahat siang. Berarti ada seseorang yang diam-diam menambahkan darah ke dalamnya.
Mudah untuk membayangkan bahwa pelakunya adalah Kinugasa Maria.
Kalau begitu, darah ini adalah deklarasi perang. Fakta bahwa kotak bekalnya sengaja tidak disingkirkan pun menunjukkan bahwa ia sedang mencoba memprovokasi.
"…Perban di lengan kiri."
Sebagai kemungkinan asal darah itu, Yui memperhatikan perban yang melilit lengan kiri Maria.
Tak diragukan lagi, itu hanya tipuan. Orang yang cukup licik untuk memanfaatkan kotak bekalnya demi mendapatkan kepercayaan Akira tidak mungkin membuat kesalahan mendasar seperti itu. Jadi, itu hanya pengalihan agar perhatian tertuju ke lengan kirinya.
Mungkinkah luka sebenarnya ada di pergelangan tangan kanan…? Tidak, bukan itu. Pergelangan tangan kanannya tampak bersih, tanpa luka sedikit pun.
Menggunakan jarum suntik akan terlalu berisiko… Apakah ada cara untuk menyembunyikan luka itu…?
Saat menekan rasa ingin membunuhnya dan terus berpikir dengan tenang, ponsel Yui bergetar di saku bajunya.
Menjawab panggilan itu, ia menempelkan ponsel ke telinganya.
"Itu pasti foundation tape."
Di seberang sana, Sumire—dengan suara yang terdengar seperti binatang sekarat karena kakaknya belum pulang—segera menyimpulkan setelah mendengar situasinya.
"Itu produk komersial yang juga disebut sebagai plester penutup bekas luka. Bisa ditempel di kulit seperti stiker biasa, dan efeknya bertahan selama seminggu. Mirip dengan kulit buatan. Kalau cuma bekas luka sayatan, benda itu bisa menutupinya dengan sempurna. Yah… mungkin wajar kalau Minatsuki-senpai yang terlalu sempurna sampai kurang kasih sayang tidak tahu hal seperti ini, karena dia jelas tidak akan berpikir untuk menyayat diri hanya demi Akira-nii."
Begitu ya… Jadi Maria sengaja menarik perhatian ke lengan kiri yang diperban, lalu membuat orang lain menyentuhnya untuk menumbuhkan rasa percaya. Padahal luka aslinya ada di lengan kanan, tersembunyi di balik foundation tape.
Sambil memahami hal itu, Yui tersenyum dan membalik posisi ponselnya di tangan.
"Kita tidak akrab, jadi aku tidak butuh obrolan yang tidak perlu. Jadi, bagaimana? Aku sudah memutuskan untuk menyingkirkan gadis itu."
Mendengar pertanyaan Yui, suara geraman terdengar dari seberang.
"Jadi, kau mengajakku untuk bersekutu?"
"Apakah perlu menanyakan itu? Kalau otakmu masih berfungsi dengan baik, jawab saja dengan ya atau tidak."
Tentu saja, setelah dia tidak berguna lagi, aku akan memutuskannya begitu saja.
"Baiklah, aku akan bekerja sama. Soalnya, kali ini, dia mungkin lebih berbahaya daripada Minatsuki-senpai. Cara pemalsuannya yang begitu rapi, bagaimana ia berhasil menipu Minatsuki-senpai, dan yang lebih mencurigakan… dia tidak ada dalam daftar orang yang harus aku singkirkan. Sekarang, dia adalah orang yang paling tidak ingin aku biarkan mendekati Onii-chan."
"Memang ada baiknya untuk mengamatinya lebih dalam. Aku juga tidak merasa kalau dia adalah penguntit yang selama ini mengikuti Akira-kun."
Mungkin Kinugasa Maria masih menyimpan rahasia yang belum terungkap.
Justru karena rahasia itu berhasil ia sembunyikan, kami berhasil dikalahkan dengan begitu mudah.
"Prinsipnya, 'hukum mereka yang mencurigakan,' Minatsuki-senpai."
Sumire dengan tenang membalik pepatah "jangan menghukum yang masih diragukan" menjadi lebih agresif.
"Rambut dan kuku bisa dengan mudah dimanipulasi. Selama kemungkinan itu masih ada, seharusnya senpai tidak dengan mudah menyimpulkan bahwa dia bukan penguntit."
"Kalau aku langsung menuduhnya sebagai penguntit dan Akira-kun malah dengan mudah menerima permintaan maafnya, mereka akan semakin dekat, entah itu dalam arti baik atau buruk. Justru orang bodoh yang terus menerus bicara hal-hal yang tidak masuk akal akan terlihat lebih mencurigakan dan membuat orang malas berurusan dengannya."
"Jadi karena kebodohan itu, kau sampai kehilangan Onii-chan? Minatsuki-senpai terlalu lemah menghadapi jebakan cinta ya."
"Kalau kau sendiri yang mengalaminya, baru kau akan mengerti."
Sambil berbicara di telepon, tangan Yui terus membelai meja Akira.
Hanya dengan mengingat momen itu, pikirannya langsung diliputi perasaan ekstasi dan samar-samar berubah merah muda.
"Jadi? Kalau perempuan itu dihilangkan, senpai bisa mengurusnya, kan?"
"Menurut data pengukuran tubuhnya di bulan April yang kudapat, berat badannya 49 kilogram, sesuai dengan penampilannya yang kurus. Tulangnya juga terlihat kecil, jadi tergantung alat, bisa diatasi dengan berbagai cara. Kalau dilarutkan dengan natrium hidroksida(NaOH) yang mudah didapat, tulang dan gigi yang tidak bisa dihancurkan oleh basa kuat bisa dihancurkan dan dicampur... tidak akan terlalu merepotkan, kan? Tapi, sebelum menjalani kehidupan masa depan bersama Akira-kun, aku tidak mau mengambil risiko, jadi mungkin lebih baik memilih cara damai dan memeliharanya."
Saat sedang mempertimbangkan berbagai skenario, suara tawa kecil terdengar dari ujung telepon.
"Ya, silakan lakukan sesukamu. Selama aku bisa mendapatkan kembali Onii-chan, aku sudah puas."
Setelah kata-kata itu, telepon terputus, dan Yui memeriksa daya setrum pada stun gun yang tersembunyi di dasar tasnya.
"Tunggu aku, Akira-kun. Yui yang kamu cintai akan datang menjemputmu."
Dia mengambil sehelai rambut Akira yang jatuh di lantai, lalu menelannya dengan penuh kasih sayang.
Dengan langkah ringan, dia berjalan menuju ruang guru.
*
Di hadapanku, seorang gadis berpakaian serba hitam mondar-mandir ke kanan dan ke kiri... melakukan perjalanan singkat berulang kali.
Sambil berkeliling di depan altar yang terlihat seperti buatan sendiri, dia terus bergumam sesuatu.
"Ah, setelah menyambut Akira-sama... p-pertama, harus disucikan dengan air suci... ke-kemudian, mengeluarkan usus yang najis..."
Oh, apakah aku ini seekor ikan?
"Hei, boleh bicara sebentar?"
"A-ah...! A-Akira-sama... ha, haaah...!"
Begitu aku memanggilnya, dia langsung sujud dan mulai berdoa kepadaku.
Dengan suara serak yang sengaja dibuat, dia mengucapkan kata-kata doa yang tidak kumengerti.
"Aku ini, dewa, kan?"
"T-tentu saja... b-bagiku, Akira-sama adalah... s-sama seperti dewa—"
"Aku ingin makan udon."
Sambil menutup mata, aku membentuk mudra dan varamudra (tanda tanpa rasa takut dan tanda pemberian berkah) untuk memberikan wahyu sebagai seorang dewa.
"Aku ingin... makan udon..."
Melihatnya berlari tergesa-gesa, aku yakin akan kemenanganku sebagai seorang dewa.
Beberapa puluh menit kemudian, semangkuk udon panas pun tiba.
"Sekarang jam berapa?"
Setelah menghabiskan udon bergaya Kanto, aku bertanya.
Gadis berambut hitam yang menutupi wajahnya keluar dari ruangan, lalu kembali beberapa saat kemudian dan menjawab,
"Jam 8 malam."
"Sudah waktunya. Baiklah, ayo kita mulai."
"A-apa yang... akan kita mulai...?"
"Rapat strategi melawan Minatsuki Yui."
Dia terlihat bingung.
"Aku sudah memutuskan. Udon-nya enak, jadi aku akan tetap tinggal di sini sebagai dewa. Yah, kalau ada kekurangan, mungkin hanya karena udon-nya bergaya Kanto."
"Ti-tidak... a-aku membuatnya dengan gaya Kansai... karena kutambahkan darah... m-mungkin karena itu kuahnya terlihat lebih gelap..."
Aku bahkan menghabiskan kuahnya karena rasanya terlalu enak?
"Jadi... a-apa maksud dari r-rapat strategi melawan Minatsuki Yui, Akira-sama...?"
"Maksudnya begini, makhluk penuh obsesi bernama Minatsuki Yui pasti akan datang untuk merebut kembali aku, sosok sucinya. Tujuan kita ke depan adalah mencari cara untuk mencegahnya."
"A-anda akan tetap tinggal!?"
Pintu dan jendela sudah dipasangi kawat berduri, jadi apa haknya mengatakan itu?
"J-jika begitu! S-segera lakukan pengeluaran usus—"
"Tunggu."
Dari entah di mana, dia mengeluarkan pisau dapur, lalu memiringkan kepalanya dengan mata yang berbinar penuh kegilaan.
"Kamu menyukai aku, dewa ini, kan?"
"A-a-aku tidak memiliki perasaan berlebihan seperti itu!"
Tolong, jangan mengayunkan pisau itu.
"Baiklah, aku akan meralatnya. Kamu menyembah aku, dewa ini... benar, kan?"
"T-tentu saja. T-tidak ada keraguan sedikit pun dalam keimananku."
"Dewa Akira yang kamu sembah ini ingin tetap tinggal di sini. Masih perlu menjadikanku objek pemujaan? Bukankah lebih baik aku tinggal di sini dalam wujud asliku?"
"T-tapi... u-usus itu najis—"
"Kamu benar-benar mengatakan bahwa usus dewa yang hidup ini najis!? Kau serius!?"
Saat aku berdiri dan berteriak, ujung pisau menyentuh perutku, jadi aku langsung berbisik.
"Aku tidak marah. Sama sekali tidak marah, oke?"
Lalu aku duduk kembali.
"Ususku sangat bersih. Aku sehat, bahkan aku makan yogurt setiap pagi, jadi lingkungan ususku sangat luar biasa. Kamu paham, kan?"
"T-tapi... kalau begitu, a-ajaran yang kubuat akan..."
"Ajaran itu ditentukan oleh aku, sang dewa. Itu sudah sewajarnya."
Haha, mudah sekali! Dengan begini, dia akan menjadi budakku—
"Palsu."
"Hah?"
Sambil mengayunkan ujung pisau, dia menatap altar di belakangku dan bergumam.
"A-aku tahu... A-Akira-sama yang asli... t-tidak akan pernah menyangkal ajaran yang kubuat... k-kau itu palsu...!"
Oh, begitu! Jadi aku ternyata bukan Kiritani Akira!
"Maaf, aku sudah keterlaluan. Sebenarnya, aku bohong soal makan yogurt setiap pagi. Sebenarnya, aku tidak terlalu suka."
Sambil mundur perlahan, aku meminta maaf, tapi gadis berambut hitam itu tetap mendekatiku.
"A-aku telah mengizinkan keberadaan makhluk najis di tanah suci ini... b-bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada Akira-sama...? A-aku harus menebusnya dengan darah orang berdosa..."
Aku akan memaafkanmu tanpa perlu ditebus, jadi kau juga tolong maafkan aku.
Punggungku menempel ke dinding, sementara dia memegang erat pisau di pinggangnya, siap menusuk dengan penuh tekad.
Pose bertarung dengan niat membunuh tinggi, mengincar usus di bawah perut.
Jika begini terus, bukan hanya aku, tapi juga kehidupanku yang berharga akan berakhir—
Tertekan dalam situasi hidup dan mati, aku mengerang, "Ugh!" lalu melakukan taruhan terakhirku.
"Ugh... uuu... uuuuu... keluarlah! Keluar dari tubuhku!"
Aku langsung jatuh ke lantai dan berguling-guling sambil berteriak.
Gadis berambut hitam itu memperhatikanku, kehilangan kesempatan menyerang dan terdiam.
"A-akhirnya aku menang...! Menistakan ajaran yang lahir melalui pengikut suciku adalah sebuah dosa yang tak terampuni! Dengan gelombang suci ini, kejahatan yang berpura-pura menjadi dewa pun telah musnah!"
Meniru seorang pejuang yang baru saja melewati pertarungan sengit, aku bangkit dengan gemetar, sementara dia yang mengamatiku dengan saksama tiba-tiba memanggil dengan lembut.
"M-mungkinkah... A-Akira-sama...?"
Untuk berpura-pura seolah memiliki sifat ketuhanan, aku menampilkan senyum penuh percaya diri.
"Benar sekali, aku adalah dewa. Sepertinya aku telah dirasuki roh jahat."
"A-Akira-sama... syukurlah...! Ka-Karena Anda menolak ajaran, saya berpikir telah terjadi sesuatu...! Jadi roh jahat telah merebut tubuh suci Anda...!"
Ah, bagus. Sepertinya skenario ini bisa berhasil.
"Aku yang telah terlahir kembali ini adalah Akira yang sejati, yang tidak akan menolak ajaranmu. Jadi, tidak perlu membunuhku."
Begitu dia merasa lega dan otot-ototnya mengendur, aku dengan sekuat tenaga menendang pergelangan tangannya.
Pisau itu terlempar ke udara dalam lintasan melengkung, kemudian jatuh ke lantai sambil berbunyi nyaring.
Begitu dia kehilangan senjatanya, sorot matanya seketika berubah penuh kewaspadaan.
Dalam sekejap, aku memperpendek jarak dan memeluknya erat untuk menahan kedua tangannya.
Sambil menatap tahi lalat di tengkuknya, aku tersenyum lembut.
"Inilah pelukan seorang dewa. Terimalah dengan baik."
"A-Ah...! Anda memujiku...? Be-Betapa suatu kehormatan...! Oooh...! Aku bisa merasakan kebaikan ilahi yang semakin tumbuh dalam diriku...!"
Yang benar itu kebalikannya.
"Selama kamu terus mematuhi ajaran dan menjalani hidup dalam kebaikan, aku akan tetap menjadi dewa di dunia ini."
Aku tersenyum lebar.
"Mari kita ciptakan dunia Akira bersama."
Sambil mempertahankan konsep agama Akira, aku menguasai sepenuhnya cara mengendalikannya.
Selama aku menemukan celah untuk memanipulasinya, aku bisa terus dihormati sebagai dewa selamanya.
"Ya-ya...! Te-Tentu saja...!"
Selama aku bisa menemukan satu kesempatan untuk menang, itu sudah cukup.
Dengan merebut senjata, mengendalikan kebahagiaan, serta menaklukkan rasa takut, aku akan menemukan tempat abadi di mana tidak ada yang bisa menyentuhku.
Antara hidup atau mati. Jika tak masuk ke sarang harimau, takkan bisa mendapatkan anak harimau.
Jika tidak terus bertaruh, aku tidak akan pernah bisa hidup bergantung pada orang lain sampai mati.
"......Aku akan menjadi dewa."
Hidup ini selalu tentang dua pilihan—maju atau mundur.
*
"Minatsuki-senpai, batas waktunya sampai hari ini."
"Aku tahu."
"Sudah ada perkiraan lokasinya?"
"…Belum ada."
Nada suara Yui terdengar semakin cemas. Sudah satu hari penuh berlalu sejak Kinugasa Maria membawa pergi Akira.
"Sebentar lagi hari Senin... Sebelum sekolah dimulai dan masalah ini mencuat, dia pasti akan pindah tempat persembunyian. Kita harus menemukan Onii-chan sebelum itu atau game over. Apa kau tidak bisa mendapatkan alamat Kinugasa Maria dari ruang staf? Sebagai murid teladan, seharusnya ada banyak cara—"
"Kinugasa Maria tidak pernah ada."
Beberapa detik kemudian, Sumire tampaknya mulai sadar dari keterkejutannya.
"…Jadi, wanita itu menggunakan nama palsu?"
"Secara teknis, ada seorang gadis di sekolah ini dengan nama yang diucapkan sama, ‘Kinugasa Maria’, seorang murid kelas satu. Kemungkinan, dia adalah pendukung dari wanita yang mengaku sebagai ‘Kinugasa Maria’... Jika ada seseorang di baliknya yang cukup fanatik hingga mengorbankan dirinya sendiri, maka itu dia."
Unya-sensei hanyalah wali kelas 2-C.
Bahkan jika dia mengenal semua murid di kelasnya, dia tidak mungkin bisa mengingat nama dan wajah seluruh siswa di sekolah.
Dengan kepribadian Unya-sensei, dia tidak akan mencari tahu lebih jauh tentang seorang gadis yang menelepon secara anonim.
Dan jika ada seorang siswi kelas 2 yang datang meminta maaf secara langsung dengan memakai pita khas tahun kedua, dia tidak akan mengira bahwa gadis itu sebenarnya menggunakan nama murid kelas satu.
"Tapi, kalau Kinugasa Maria adalah Kinugasa Maria yang... ah, sial, baik nama keluarga maupun nama depannya sama, ini benar-benar merepotkan."
"Sebut saja yang kelas satu sebagai Maria, dan yang satunya sebagai wanita sialan."
"Itu ide bagus, kita pakai itu. Tapi meskipun Maria adalah pengikut fanatik wanita sialan, kenapa dia harus memilih nama ‘Kinugasa Maria’ yang sama? Begitu kita menyelidikinya sedikit saja, identitas Maria bisa langsung terbongkar."
"Secara rasional, itu memang tindakan bodoh. Tapi secara emosional, mungkin tidak ada yang salah dengan itu."
"Jadi, maksudmu wanita sialan itu punya alasan kuat untuk memakai nama ‘Kinugasa Maria’, meskipun dia tahu itu bisa mengungkap identitas Maria dan membocorkan informasi penting?"
"Wanita sialan itu bukan orang bodoh. Dari cara dia memanfaatkan bekal hitamku, bisa dipastikan dia sadar bahwa nama itu bisa membuka identitas Maria. Namun, dia tetap memilih menggunakannya."
"......Di bawah Peraturan Pendidikan Sekolah Pasal 20, alamat murid harus dikelola oleh kepala sekolah, kan? Kalau nama sudah diketahui, Minatsuki-senpai seharusnya bisa mendapatkan informasinya dari ruang kepala sekolah. Apakah kau tidak bisa mendapatkan apa pun dari Maria?"
"Saat ini, dia sedang berlibur ke Hokkaido. Hanya akhir pekan biasa, tapi tetap saja."
Terdengar suara seseorang menggigit kuku di ujung telepon.
"Smartphone yang kutanam pada Onii-chan masih tertinggal di lacinya. Sekalipun GPS-nya akurat, tetap saja tidak bisa digunakan."
"Bagaimana dengan drone?"
Sejak Akira diculik pada hari Jumat, drone milik Sumire yang biasa digunakan untuk menguntitnya telah diterjunkan dalam pencarian.
Namun, meskipun memiliki mata di udara, hasilnya masih belum memuaskan.
"Tidak bisa. Kalau dia tidak keluar rumah dan menutup semua tirai, kita tidak punya cara untuk menemukannya. Terbang di atas area pemukiman padat juga melanggar undang-undang penerbangan, jadi cepat atau lambat akan ada yang melaporkannya."
"Jadi, tidak berguna ya?"
Jawaban diam mengonfirmasi dugaanku.
"……Kau tidak menyembunyikan informasi dariku, kan?"
"Eh? Kenapa minatsuki-senpai berpikir begitu?"
Terdengar suara manis yang terdengar seperti sedang menggoda.
Yui memindahkan gagang telepon dari satu sisi ke sisi lain.
"Karena Sumire yang sangat menyayangi kakaknya tidak mungkin puas hanya dengan menerbangkan drone. Pasti ada sesuatu yang lain, kan?"
"Tidak, nggak ada apa-apa kok."
Nada suaranya berubah sedikit. Dengan karisma alaminya, keterampilan manipulasi psikologis yang telah diasahnya, dan fakta bahwa dia lebih dihormati daripada ketua OSIS saat ini, Yui bisa dengan mudah menangkap sedikit perubahan emosional dari lawan bicaranya.
"……Begitu ya. Kalau ada informasi, kabari aku."
"Tentu saja. Sampai nanti."
Telepon terputus, dan Yui tersenyum.
"Baiklah."
Dia menggeser layar ponselnya dan menatap foto Kinugasa Maria yang diambil diam-diam.
"Sumire-chan masih dalam tahap penyelidikan. Pengalih perhatian sudah cukup, masih ada waktu sebelum dia mencapai Maria."
Sambil bergumam, dia mulai berjalan.
"Jika wajahnya sudah diketahui, ada banyak cara untuk melacak keberadaannya. Ingat itu, Sumire-chan?"
Minatsuki Yui, yang dengan cerdik memanfaatkan citranya sebagai murid teladan untuk mendapatkan alamat Maria dari seorang guru yang mudah diingat, mulai menuju ke tempat itu.
*
"Yah, tak mungkin dia menyangka lokasi dirinya sendiri yang ketahuan."
Sumire mengenakan sweater rajut berbulu lembut dan celana pendek denim. Dengan gaya santai untuk perjalanan, dia menurunkan kacamata hitam modisnya dan menatap titik yang menunjukkan "Minatsuki Yui."
"Kelemahan Minatsuki-senpai sudah jelas: Onii-chan. Karena Kiritani Akira selalu ada dalam pikirannya, dia mengira aku hanya mengawasi onii-chan lewat GPS. Pemikirannya terlalu naif, sampai-sampai mungkin kadar gula dalam urinnya meningkat."
Sambil menyeruput jus mangga yang manis, seorang pria tertarik pada penampilannya yang menawan dan menyapanya.
"Hei, sekarang kau punya waktu sebentar—"
"Aku akan membunuhmu."
Dengan senyum lebar, gadis cantik itu berkata.
"Pendengaranku adalah milik Onii-chan. Jika kau menggunakannya tanpa izin, aku akan membunuhmu."
Mendengar kata-kata tajam itu, pria itu buru-buru menjauh dengan ketakutan.
"Dia gila!" serunya saat berlari kembali ke teman-temannya.
"Itu reaksi yang normal."
Dengan wajah memerah, Sumire merasakan kehangatan langsung dari kaus Akira yang dia kenakan di bawah sweaternya.
"Tapi, Onii-chan berbeda... Orang itu bisa menerima bahkan cintaku... Dia istimewa, benar-benar istimewa..."
Dengan tatapan mabuk kemenangan, Sumire menatap titik lokasi yang terus bergerak.
Saat Yui sedang mandi bersama Akira, dia telah menyusupkan GPS ke ponselnya. Lokasi yang ditunjukkan membuatnya merasa seperti seorang pemenang sejati.
"Semangat ya, Minatsuki-senpai. Kerja keraslah demi menciptakan pemenang sejati, yaitu aku."
Setelah membuang wadah kosong, Sumire mulai bergerak dengan tenang.
*
"Kiritani, ayo buka mulutmu~"
Sepotong apel yang sudah dipotong mendekati mulutku.
Aku menghindar dari garpu yang ditusuk apel itu, menjauh dari Kinugasa yang tersenyum.
"Hei, kenapa? Kenapa kau ngambek?"
Dia merapat manja padaku, tapi setelah mengetahui sifat aslinya, aku sama sekali tidak berniat menerimanya.
"Nee~, Kiritani~"
"Diamlah, pelayan iblis. Aku bersyukur kau mencarikan tempat bertahan hidup untukku yang bagus, tapi kenyataan bahwa kau telah menipuku tidak bisa disangkal."
"Itu salahku! Aku akan minta maaf dengan benar! Aku sungguh minta maaf!"
Kalau permintaan maaf bisa menyelesaikan segalanya, tidak akan ada yandere di dunia ini.
"Kau tahu, aku dipaksa melakukan doa pagi selama tiga jam dalam posisi lotus. Aku bukan hanya kelelahan, tapi hampir mencapai pencerahan, dasar bodoh!"
"Ehh... Tapi, bukankah kau yang dengan semangat melakukannya sendiri?"
"Ngomong-ngomong, di mana kau tidur tadi malam? Anak itu panik tengah malam, bilang Sang Dewa telah menghilang!"
"Di bawah lantai."
"Apa?"
"Aku menemukan futon dan satu set peralatan tua di dalam lemari. Jadi, aku mengangkat tatami dan lantai, lalu meletakkan futon di bawahnya untuk tidur. Aku tidak mau diserang dalam tidur dan dibedah hidup-hidup."
Senyuman Kinugasa membeku.
"S-sejauh itu?"
"Aku bahkan belum melakukan semuanya. Awalnya aku ingin membuat barikade dari altar dan kawat berduri, tapi kupikir itu akan memicu perlawanan, jadi aku batalkan saja. Aku pria yang tahu cara memperlakukan wanita dengan baik. Itu adalah keahlian dasar seorang gigolo."
"Ehh...?"
Kau yang menculik dan menyekapku, kenapa sekarang malah terlihat jijik?
"Ngomong-ngomong, waktu di bawah lantai, kau tidak menemukan sesuatu yang aneh, kan...?"
Aku merogoh saku untuk mengambil cermin antik dan buku harian yang kutemukan di bawah lantai, berniat bertanya pada Kinugasa apakah barang itu bernilai.
Tapi kemudian aku melihat tanganku kosong, lalu memperhatikan bahwa buku dongeng Putri Salju yang tergeletak di lantai tidak tertutupi debu.
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak ada."
"Oh... Syukurlah..."
"Tapi, serius, kau benar-benar mau jadi simpanannya anak itu? Aku yang bilang begini juga aneh, tapi kau waras?"
"Amatir."
Saat aku mendecakkan lidah, Kinugasa memiringkan kepalanya.
"Maksudmu?"
"Pertama-tama, kemungkinan dia akan menikamku hanya sekitar 30%. Fakta bahwa dia tidak melakukannya kemarin menunjukkan adanya keraguan dalam hatinya. Lagipula, kejadian kemarin mungkin hanya sandiwara belaka."
"Kenapa kau berpikir begitu?"
Kinugasa, yang mengenakan pakaian santai dengan banyak bagian terbuka, menurunkan garpunya dan menundukkan kepala.
"Karena sejak awal dia sudah membawa senjata. Awalnya aku kira itu untuk menobatkanku sebagai dewa, tapi dia berkata, 'Pertama, sucikan diri dengan air suci.' Anak itu sangat terobsesi dengan doktrin, jadi tidak masuk akal jika dia langsung menikamku sebelum ritual pembersihan."
Aku menjelaskan dengan lancar.
"Hanya ada satu alasan senjata itu bisa dibawa masuk ke pertemuan dengan seorang dewa, yaitu untuk ritual pengorbanan... Dan pengorbanan itu hanya bisa dilakukan setelah penyucian dengan air suci. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa pisau itu hanya untuk mengancamku."
"Jadi, Kiritani ternyata pintar juga?"
"Tidak, aku tidak pintar. Aku hanya merasa otakku bekerja lebih cepat saat menghadapi situasi hidup dan mati, terutama ketika tidak punya siapa pun untuk diandalkan. Itu semacam insting bertahan hidup gigolo."
"Hei, Kiritani."
Kinugasa menggenggam tanganku erat dengan ekspresi rumit.
"Kau benar. Itu aku yang menyuruhnya membawa pisau. Jadi, meskipun cinta anak itu mungkin menyimpang, dia tidak akan sampai melukaimu."
Kau pikir penculikan dan penyekapan itu bukan bentuk kekerasan, hah?
"Kiritani, kau ingin keluar dari sini? Kau ingin keluar, kan? Anak itu bisa melakukan hal yang tak terduga."
"Tidak, sebenarnya—"
"Satu-satunya cara keluar dari sini..."
Dengar dulu kalau orang bicara, dong.
"Adalah dengan jatuh cinta padaku."
Mata Kinugasa yang basah menahan air mata mengurungku dalam tatapannya, lalu ia memelukku erat dari depan dengan ekspresi putus asa. Tonjolan lembutnya menekan dadaku, dan kehangatan yang nyaman menyelimuti seluruh tubuhku.
Saat tatapanku turun dan menangkap tengkuknya—aku pun menyadarinya.
"Kau… jangan-jangan…"
"Kiritani, kumohon! Aku akan merawatmu sekuat tenaga! Kau tak perlu mencintaiku! Tapi tolong jatuh cintalah padaku! Katakan kalau kau mencintai—"
Suara getaran ponsel menghentikan permohonannya yang putus asa.
Layar ponsel yang tergeletak di lantai menyala, dan Kinugasa yang terkejut menjawab panggilan tersebut.
"Halo, ada apa—eh?"
"Aktifkan speaker."
Sesuai instruksiku, dengan tangan gemetar, ia mengaktifkan speaker.
"M-Minatsuki Yui sedang menuju ke sana!"
Suara gadis yang tak kukenal bergema memenuhi ruangan.
"Itu tidak mungkin… Pemalsuan alamatnya sudah sempurna, kan?"
"Y-Ya! Aku bersumpah atas nama Akira-sama! Guru yang memberi Minatsuki Yui alamat palsu adalah bagian dari kelompok kami, jadi tidak mungkin ia berkhianat!"
Bisakah kalian berhenti merekrut pengikut di luar kendaliku?
"L-Lalu, kenapa bisa ketahuan!? Bagaimana mungkin!?"
"A-Aku tidak tah—"
Terdengar suara benda berbenturan, napas kasar, dan teriakan—suara-suara yang menandakan adanya perlawanan tumpah dari speaker.
Tiba-tiba, panggilan terputus, meninggalkan keheningan yang menekan ruangan.
Kinugasa menelan ludah, mengepalkan tangan hingga kuku panjangnya menusuk telapak tangannya.
Keringat menetes dari dahinya saat ia mencoba menebak akhir dari pertempuran tersebut—
"Ketemu."
Dengan pernyataan tegas dari Minazuki Yui, panggilan berakhir.
"K-Kiritani! Kita harus pergi!"
"Hei, tunggu! Bergerak sembarangan itu—"
"Lokasi kita sudah ketahuan! Kalau kita tetap di sini, Kiritani akan direbut Minatsuki! Padahal dia belum sempat menyatakan perasaannya!"
Kinugasa yang panik mengeluarkan isi pikirannya tanpa penyaringan.
Tubuhnya gemetar karena ketegangan dan ketakutan saat ia menarikku keluar, membuka kawat berduri dan gembok yang mengunci tempat ini.
"Ah."
Dan di luar, mata kami bertemu dengan drone yang sedang mengamati kami.
*
"Ketemu! Sesuai prediksi, bingo!"
Secara refleks, Sumire berseru kegirangan.
Drone yang telah berputar dalam radius 25 meter dari lokasi Minatsuki akhirnya menemukan target pencariannya.
Kegembiraan menyelimutinya, tetapi masalah segera muncul di benaknya.
Terlalu jauh…! Agar tidak ketahuan, aku menjaga jarak terlalu jauh dari Minazuki-senpai…!
Mendecak lidahnya dengan kesal, ia segera membuka ponsel untuk menghubungi Yui.
"Minatsuki-senpai, sudah ketemu! Lokasinya—"
Sambil mengirimkan lokasi, Sumire langsung berlari.
"Sementara mereka bertengkar, aku akan menculik Onii-chan. Para betina bodoh yang sedang birahi itu akan kusaksikan dari samping. Tunggu aku ya, Onii-chan!"
Perebutan Akira antara tiga pihak ini akhirnya mendekati titik akhir.
*
"Jangan bergerak."
Terlalu teralihkan oleh drone, kami gagal menyadari kehadiran Minatsuki yang telah mendekat dari belakang.
Ia menempel di punggung Kinugasa, menyeringai dengan puas.
"Akira-kun, aku datang untuk menyelamatkanmu."
Aku lebih ingin menyelamatkanmu yang sudah rusak.
"…Bagaimana kamu bisa tahu tempat ini?"
Minatsuki yang tampaknya melompati pagar rumah menjawab dengan santai sambil menekan setrum listrik ke leher Kinugasa.
"Tentu saja aku tidak tahu lokasinya."
"Apa maksudmu?"
Minatsuki tersenyum lebar.
"Cuma gertakan. Aku tahu ada yang membuntutiku, jadi aku menggunakan cermin tangan untuk memeriksa pengejar dari belakang, lalu menyesuaikan arah berdasarkan reaksi mereka."
Cita-cita masa depannya mungkin jadi mata-mata?
"Tapi tetap saja, bagaimana kau bisa menemukan lokasi pastinya—"
"Jauhi Onii-chan, wanita psikopat."
Dengan napas memburu, Sumire muncul dari sudut jalan.
Ekspresinya yang penuh kebencian berubah menjadi senyum cerah begitu ia melihatku, lalu ia berlari ke arahku.
"Onii-chan! Aku sudah berusaha keras! Puji aku! Peluk aku, cium aku! Menikahlah denganku! Kamu boleh melakukan apa saja padaku! Bahkan membunuhku pun aku rela, asalkan oleh Onii-chan!"
"Sumire-chan, berhenti."
Minatsuki menyela, membuat Sumire menghentikan langkah dan mendecak lidahnya kesal.
"Kenapa? Kau pikir siapa yang memberitahumu lokasi ini?"
"Oh, jadi drone itu milikmu, Sumire? Menarik. Pinjamkan padaku lain kali ya."
"Onii-chan boleh memilikinya! Aku akan memberimu semuanya!"
Hore! Aku bisa menjual organ adikku!
"Tadi ‘ketemu’ itu cuma jebakan untuk memancing aku dan Kiritani keluar, ya… Haha, kau hebat juga."
"Hei, Akira-kun. Bagaimana dengan Kinugasa Maria? Haruskah kita melarutkannya?"
Jangan perlakukan dia seperti tepung kanji.
"Lalu, Akira-kun yang mengabaikan peringatanku harus dihukum. Selama seminggu, kamu tak boleh menelan apa pun selain cairanku. Ah, tapi ini malah seperti hadiah, ya? Maaf, Akira-kun."
Cairan tubuh adalah bumbu terbaik!
"Kalau kau mencoba menculik Onii-chan lagi, aku juga punya cara sendiri untuk membalasnya, tahu?"
"Eh? Sumire-chan, kau pikir kau bisa melakukan apa?"
Melaporkan ke polisi.
"Aku bisa membunuhmu."
Tidak bisa dibiarkan. Otaknya langsung terhubung dengan niat membunuh.
"Tapi sebelum itu, kita harus memutuskan nasib dalang utamanya. Kalau penculik Onii-chan bisa lolos tanpa hukuman, siapa pun tak akan terima."
"Aku sih, biasa saja."
"Akira-kun, kau bukan pihak yang ditanyai sekarang."
Tidak mungkin...
"......Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
Tatapan Minatsuki semakin tajam dalam bayang-bayang.
Tanpa sedikit pun keraguan, output stun gun dinaikkan ke maksimum, dan suara percikan listrik di udara membentuk melodi pembunuhan.
Apakah dia sudah menyerah untuk melawan?
Kinugasa menutup matanya, seolah menerima nasibnya—dan aku meraih tangan Minatsuki.
"Akira-kun? Jadilah anak baik dan lepaskan tanganmu, ya?"
Tatapannya kosong banget!
"Yui. Dia bukan pelaku utamanya. Pelaku sebenarnya ada orang lain."
"Siapa?"
Mendengar pertanyaan singkat itu, aku langsung menunjuk ke dalam rumah tempat kami berada sebelumnya.
"Pelakunya ada di dalam sana!"
Baiklah, aku akan memakai ini untuk mengulur waktu dan melarikan diri dari Minatsuki!
"Aku akan memanggil si bajingan itu sekarang! Tunggu sebentar—"
"Akira-kun, tunggu. Kamu, panggil dia kemari."
Sial! Rencanaku langsung berantakan!?
Kinugasa yang sempat disentuh dengan stun gun akhirnya dibebaskan sementara. Dia dengan patuh melangkah masuk ke dalam rumah sesuai perintah.
"Akira-kun!"
Begitu Kinugasa Maria menghilang, Minatsuki langsung memelukku dari belakang.
Napasnya memburu karena kegembiraan, lalu dia mulai menjilat leherku dengan serius.
"Suka... Akira-kun... Aku mencintaimu... Nngh... Akira-kun... Akira-kun...!"
Chuu, chuuu! Suara bibirnya terdengar jelas.
Dengan taringnya, dia menembus pembuluh darah di leherku dan menyeruput darah yang mengalir keluar dengan lahap.
"Aah...! Enak sekali, nyawa Akira-kun...! Aku bahkan ingin menuangkannya ke atas nasi dan memakannya...!"
Akira resmi naik level menjadi furikake hidup! Uwahh.
"Jangan sentuh Onii-chan...! .ja... jangan sentuh...!"
Kalau begini terus, adikku akan kehilangan kemanusiaannya!
"Hmm~? Ada apa~?"
Sambil tetap tersenyum, Minatsuki menjilat leherku dengan lidahnya, sementara tangannya mengusap-usap tubuhku.
"Onii-chan—"
"Jangan sentuh Akira-samaaa!!"
Seorang gadis berambut hitam melompat keluar dari pintu depan dan menabrak Minatsuki dengan kepalanya.
Vampir yang sebelumnya tersenyum dan menikmati darahku dengan penuh semangat itu kehilangan keseimbangannya karena serangan mendadak, dan mereka berdua berguling-guling di lantai, saling bertarung.
"...Hah?"
Minatsuki yang tertindih dengan cepat membalikkan keadaan menggunakan ketenangannya dan naluri bertarung yang luar biasa.
Gadis berambut hitam itu, yang tadinya mengenakan hoodie hitam yang menutupi kepalanya, kini rambut panjangnya terurai bebas.
Tangan dan kakinya meronta dengan liar, ekspresi marahnya tersembunyi di balik poninya yang terlalu panjang.
"Rambut hitam itu... Kau yang memasukkannya ke dalam loker sepatu Akira-kun, kan...!?"
Gadis di bawah jubah hitam itu terengah-engah, lalu berteriak dengan lantang untuk menakuti Minatsuki.
Namun, Minatsuki yang seumur hidupnya tidak pernah merasa terintimidasi oleh siapa pun, dengan mudah menahan kedua tangan gadis itu menggunakan lututnya, lalu tanpa ragu mencengkeram rambut hitam panjangnya.
"Rambut ini, akan kucabut semuanya, ya? Karena rambut yang berani menyentuh Akira-kun tidak layak ada di dunia ini."
Pemimpin sekte Akira, yang rambutnya ditarik dengan keras, berusaha mati-matian untuk melawan, tapi kedua tangan dan kakinya sudah dikunci.
Perlawanan sia-sianya berakhir dengan—
"...Aku sudah menduganya."
Rambut hitam itu terlepas—dan yang muncul di bawah cahaya terang adalah Kinugasa Maria.
Post a Comment