NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Himono ni Naritai Ore wa, Yandere ni Kawareru Koto ni Shita V1 Chapter 1

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 1

Kalau Tidak Mau Bekerja, Lebih Baik Dikurung oleh Yandere, Kan?


"Cita-cita masa depanku adalah menjadi gigolo seorang wanita kaya yang hanya punya uang—ugh!"


Saat sedang membaca keras-keras surat pernyataan penyesalan, sebuah jari tajam menekan dahiku.


"Hei, Kiritani! Siapa yang nyuruh kau baca karangan konyol itu, hah!? Aku bilang bawa surat pernyataan, bukan lelucon murahan! Mau kubunuh, hah!?"


Dengan nada yang sama sekali tidak mencerminkan seorang guru SMA, wali kelasku, Unya-sensei, berteriak marah.


Unya-sensei adalah legenda di sekolah kami, dikenal sebagai "gadis gorila satu lawan seribu." Di tengah maraknya isu kekerasan fisik oleh guru, dia tetap setia dengan gaya mengajar kerasnya, mengkombinasikan teriakan penuh semangat dengan pukulan yang tak kalah berapi-api.


Selalu mengenakan setelan olahraga ala wanita liar, tapi dengan tinggi badan dan wajah yang cukup tampan layaknya bintang Takarazuka, dia lebih populer di kalangan siswi daripada siswa. Usianya 27 tahun.


"Tapi, Unya-sensei, kenapa aku harus menulis surat pernyataan? Teman sekelasku bilang mual dan ingin muntah, jadi aku hanya menunjukkan foto Sensei untuk membantunya muntah lebih cepat."


"Kau berani membacakan kejahatanmu di depanku sendiri, hah? Dan satu lagi, dari mana kau dapat foto perjodohanku!?"


"Dua hari lalu, Sensei meninggalkannya di meja, jadi aku buat sekitar seratus salinan dan—"


Brak! Sebuah sandal melayang dan mendarat di kepalaku.


"Cukup! Langsung ke pokok masalah. Gimana perkembangan kasus penguntitan itu?"


Kasus penguntitan itu... Sejak dua minggu lalu, aku terus-menerus mendapat perhatian intens dari seseorang. Rasa cintanya yang membara mulai berdampak pada orang-orang di sekitarku, jadi aku akhirnya melapor ke Unya-sensei.


"Pagi ini, ada tumpukan surat cinta yang tak terhitung jumlahnya di lokerku. Bersama dengan rambut dan kuku yang indah. Setelah aku periksa, surat-surat itu ditulis dengan beberapa tulisan tangan yang berbeda."


"...Kau pasang perangkap penarik psikopat di lokermu, atau gimana?"


Sepertinya, penguntitku bukan hanya satu orang. Aku menghitung setidaknya tiga tulisan tangan berbeda dalam tumpukan surat itu.


"Aku ingat, waktu TK ada teman yang bilang, 'Suatu hari nanti, aku akan mengurung Akira-kun~' atau semacamnya."


"Anak TK yang sudah berjanji untuk menculikmu di masa depan? Bahkan romantisme tingkat tinggi pun tidak bisa memahami itu. Sebaiknya laporkan ke polisi bersama orang tuamu."


"Aku tidak menolak meminta bantuan hukum, tapi biasanya kasus seperti ini tidak akan diproses kecuali sudah ada korban. Ditambah lagi, aku ini laki-laki, jadi paling-paling aku cuma diberi nasihat dan disuruh pulang."


"...Maaf, aku nggak bisa bantu lebih."


Unya-sensei menunduk dengan ekspresi bersalah.


"Jangan bilang begitu, sensei. Bisa berkonsultasi saja sudah sangat membantu. Lagipula, sensei sudah menyebarkan peringatan tentang penguntitan ini ke seluruh kelas... Jujur saja, ini bikin ‘bagian tertentu’ dari tubuhku menegang."


"Bagian kepala, kan? Kepala, kan? Kau nggak sedang mengalami reaksi aneh terhadap gurumu, kan?"


Karena matanya tidak tertawa, aku buru-buru meminta maaf.


"Baiklah, cukup bermain dengan guru lajang. Aku pulang dulu. Kalau terlalu lama, nanti malah makin berbahaya dengan para penguntit."


"Hati-hati, ya. Aku juga takut, soalnya."


Aku keluar dari ruangan, melemparkan surat pernyataan itu begitu saja. Aku berhasil meloloskan diri dari guru pemarah dan menarik napas lega, lalu mulai berjalan di lorong sepulang sekolah.


"Ah, sial. Aku kelupaan tas di kelas."


Saat menuju loker, aku baru sadar bahwa tasku masih tertinggal.


"Gawat! Kalau penguntitku ada di sekolah, mereka bisa saja mencuri barang-barangku."


Aku segera berbalik ke lorong yang sepi dan membuka pintu kelas 2-C—lalu melihat seorang murid teladan yang sedang membenamkan wajahnya ke dalam tasku dan menghirup aromanya dengan penuh semangat.


"…Ahaha."


Dia mengangkat wajah dari tasku. Namanya Minatsuki Yui.


Seorang gadis yang disebut sebagai "Bunga Buatan yang Sempurna di Langit" oleh seluruh sekolah. Dari sudut mana pun dipandang, dia adalah seorang wanita anggun yang sempurna. Dengan senyum menawan dan sikap ramahnya, hampir tidak ada yang membencinya.


Diciptakan dengan keterampilan tingkat dewa, kata orang-orang. Wajahnya yang indah kini merona merah karena kegembiraan.


"Yah, ketahuan deh. Sayang sekali."


"Eh... Kau salah mengendus tas, kan?"


"Tidak, aku yakin betul dengan aroma ini. Akira Kiritani-kun."


Minatsuki mengeluarkan stun gun dengan gerakan alami. Dia memutarnya dengan lincah, sambil bersenandung dan menyalakan percikan listrik.


Saat aku mundur, dia justru semakin mendekat dengan napas memburu.


"Sudah ketahuan, jadi nggak apa-apa, kan? Kan? Kita boleh tinggal bersama, kan? Karena aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, jadi itu pasti diperbolehkan. Cinta itu suci. Semua orang bilang begitu. Jadi aku akan mencintaimu, Akira-kun. Aku akan mencintaimu, mencintaimu, dan terus mencintaimu. Jangan takut, ya. Dalam suka dan duka, saat makan, buang air, tidur—aku akan merawatmu. Aku akan mencintaimu seumur hidup. Jadi ayo bersama selamanya, ya? Katakan ‘iya’. Jangan khawatir. Aku mencintaimu. Kita akan jadi pasangan yang sempurna. Kita bisa menjadi pasangan hidup. Aku akan mengurus semua kebutuhanmu—makanan, pakaian, tempat tinggal. Aku akan mengurus semuanya. Jadi nggak apa-apa. Akira-kun tidak punya bagian yang kotor—"


"Tunggu. Barusan kau bilang apa?"


Minatsuki, yang berbicara tanpa henti, kembali mengulanginya dari awal.


"Sudah ketahuan, jadi nggak apa-apa, kan? Kan? Kita boleh tinggal bersama, kan? Karena aku mencintaimu. Aku mencintaimu—"


"Bukan itu! Aku dengar tadi kau bilang, 'Aku akan mengurus semua kebutuhanmu—makanan, pakaian, tempat tinggal.' Benar, kan?"


Aku mengeluarkan voice recorder dari saku dan memutar ulang rekamannya.


"Baik! Aku mengerti perasaanmu! Aku tidak terlalu paham soal cinta dan sebagainya, tapi aku sudah memutuskan!"


Minatsuki menatapku dengan bingung. Aku langsung berlutut dan membuat deklarasi.


"Aku akan menjadi gigolomu!"


Sementara Minatsuki masih terpana, aku teringat beberapa momen kecil bersamanya.


"Kiritani-kun, halaman 34."


Minatsuki Yui adalah seorang siswa luar biasa, menjabat sebagai wakil ketua OSIS meskipun masih kelas dua.


Saat di kelas, dia mengenakan kacamata dan selalu menjaga ekspresi serius serta sikap tenangnya. Banyak siswa laki-laki di kelas yang diam-diam memendam perasaan padanya.


Saat pembagian tempat duduk minggu lalu, dia kebetulan duduk di sebelahku. Meski aku sering kesulitan mengikuti pelajaran (atau mungkin, pelajaranlah yang kesulitan mengikutiku), dia selalu dengan sabar membantuku.


"Ah."


Saat dia bergerak, penghapusnya jatuh ke lantai.


"Oh, ini dia... Nih, Minatsuki-san."


Saat aku menyerahkan penghapus yang jatuh, dia mengucapkan terima kasih dengan singkat.


"Maaf kalau aku terkesan ikut campur, Kiritani-kun. Sebaiknya jangan terlalu sering tidur di kelas."


Setelah menerima penghapus, dia menatapku dengan sorot mata penuh teguran.


"Memang sih, tidur dengan kepala di atas meja tidak bisa dibilang nyaman."


"Aku tidak peduli soal kenyamanan tidur. Maksudku, lebih baik kamu mengikuti pelajaran dengan baik. Jika terlalu malas, kamu akan kesulitan di masa depan. Hati-hatilah."


Setelah memberikan nasihat berharga itu, dia segera kembali menghadap papan tulis.


Saat itu, aku pikir dia sama sekali tidak tertarik pada serangga kecil sepertiku. Aku pun tidak pernah berniat meraih bunga di puncak tebing.


Namun, sekarang dia—


"Jadi, aku boleh mengurungmu kan!? Bolehkah aku menjadikan Akira-kun sepenuhnya menjadi milikku!? Ini tidak melanggar hukum anti monopoli kan!? Akira-kun memang butuh hak asasi manusia!?"


Seperti ini. Perbedaan ini pasti bisa masuk Guinness World Records.


"Tentu saja. Aku, Akira Kiritani, dari ujung kepala hingga ujung kaki, selalu menjadi milikmu."


Meski merasa sedikit kecewa, aku tetap menyelesaikan transaksi perbudakan pribadiku dengan gaya seorang gentleman.


Minatsuki-san gemetar dan menghela napas panas.


"Jadi, jadi… ternyata kita saling mencintai!? Kamu menyukaiku, kan!? Benar, kan!? Ya!?"


Apa otaknya hanya 2-bit? Kalau aku dan kau saling menyukai, berarti kau juga saling mencintai dengan semua teman sekelas yang tertarik padamu.


Meski begitu, aku tetap tersenyum lebar dan menjawab pernyataan cintanya.


"Tentu saja, aku menyukaimu!"


Jika hanya dengan kata-kata ini aku bisa mengamankan masa depanku, maka ini harga yang murah.


"A-a-aah… he-hebat… Akira-kun bilang… su-su-ka… dia menyukaiku…!"


Dengan ekspresi penuh ekstasi dan suara yang meleleh, dia tampak seperti seseorang yang rutin mengkonsumsi obat-obatan yang tidak bisa ditulis di kartu medis.


"A-aku… Akira-kun, aku punya permintaan."


"Apa itu?"


Salah satu dari Tiga Prinsip Dasar Seorang Gigolo—seorang gigolo tidak boleh melawan.


Kecuali itu perintah yang keterlaluan, aku tidak berniat menentang Minatsuki-san. Lagipula, menerima perintah dari gadis secantik ini adalah kehormatan sekaligus hadiah.


Jika dia seorang gadis cantik, maka apa pun diperbolehkan—


"Lepaskan celanamu."


Namun, kejahatan tetap tidak bisa dibiarkan.


"…Maksudmu, seperti yang disebut 'pants' di Amerika?"


"Tidak, bukan! Sama sekali bukan itu!"


Dengan napas memburu, Minatsuki-san menunjukkan gairah yang mencolok.


"Celana dalam! Aku mau celana dalammu, Akira-kun!"


"Dimengerti."


Jika aku menolak di sini, reputasiku sebagai gigolo akan runtuh.


Aku pergi ke toilet pria, lalu kembali dengan celana dalam yang baru saja aku lepas.


Begitu aku menyerahkannya, dia langsung merebutnya dan menghirupnya dalam-dalam.


"Ah! Luar biasa! Menakutkan! Efeknya begitu kuat, sampai menakutkan!"


Aku yang seharusnya takut padamu.


"Ini jauh berbeda dari penghapus. Ini berbahaya, kau pasti butuh lisensi penanganan bahan berbahaya untuk ini."


Minatsuki-san dengan sigap mengeluarkan kantong ziplock bertuliskan "Koleksi Akira-kun" dari tasnya.


Dengan ekspresi penuh keseriusan seperti seorang pengrajin, dia menyimpan celana dalamku dengan hati-hati.


"Ngomong-ngomong, Akira-kun. Mulai besok, jangan tidur di kelas, ya. Kalau aku tidak bisa melihat wajahmu, kadar kejenuhan Akira dalam darahku turun di bawah 96%."


Persentase diriku dalam darahnya terlalu tinggi, kan?


Jadi itulah maksudnya ketika dia mengeluh, "Jangan tidur di kelas," dan sekarang aku akhirnya menyadari bahwa aku adalah pusat perhatian sejak awal.


"J-Jadi, mau ke rumah? Mau ke rumah Yui?"


"Eh, tidak, aku tidak keberatan sih... tapi bagaimana dengan orang tuamu?"


"Tidak masalah. Mereka hampir tidak pernah ada di rumah. Jadi, ayo cepat pergi—"


"Oh, Kiritani. Kau masih di sini? Hmm... Minatsuki? Kombinasi yang langka."


Saat Unya-sensei memasuki kelas, Minatsuki langsung kembali ke ekspresi siswa teladan seperti biasanya.


"Ya. Aku ada kegiatan OSIS. Aku kebetulan bertemu Kiritani-kun, jadi kami mengobrol sebentar."


"Begitu ya. Baguslah. Ngomong-ngomong, Kiritani, kau ada waktu sekarang?"


"Eh? Ah, iya. Kenapa, Sensei?"


Unya-sensei menepuk bahuku dengan buku catatan kelas sambil berbicara.


"Soal kasus penguntit itu. Kalau kau ada waktu, ayo ke ruang guru sekarang—"


"Tidak ada waktu."


Saat aku hendak menyetujuinya, Minatsuki yang berdiri di belakangku tiba-tiba mengambil alih hak menjawab.


"Sensei, Kiritani-kun tidak bisa sekarang. Kami sudah berjanji untuk belajar bersama setelah ini. Benar kan, Kiritani-kun?"


H-Hei! Yang kau tusukkan di punggungku itu stun gun, kan!? Ini ancaman terang-terangan, bukan!?


"... Benarkan?"


Matanya menakutkan! Itu tatapan pembunuh!


"H-Haha, sepertinya begitu. Sungguh... sayang sekali ya."


"Hmm, aneh juga. Sejak kapan kau jadi begitu akrab dengan Minatsuki?"


"Kami duduk bersebelahan... selamanya."


Kata "selamanya" itu diucapkannya tepat di telingaku, sementara tatapan panasnya mengunci pergerakanku.


"Yah, ini bukan hal mendesak, jadi bisa besok saja. Hati-hati di jalan."


"Baik. Sampai jumpa, Sensei."


Minatsuki tersenyum manis dan memberi salam dengan sopan.


Begitu suara langkah Unya-sensei menjauh, dia memasukkan stun gun-nya ke dalam saku.


"E-Ehm... J-Jadi, ayo pergi, Akira-kun."


Dengan pipi yang merona dan ekspresi malu-malu, dia terlihat sangat menggemaskan. Tapi saat aku tidak segera menjawab, suaranya mulai bergetar dengan nada yang menyeramkan.


"... Kamu nggak mau pergi dengan Yui?"


"Mau! Mau! Aku mau pergi ke mana pun!"


"Bagus. Oh, iya."


Dia berbalik dan tersenyum manis.


"Akira-kun, lingkar lehermu berapa sentimeter?"


Itu... pertanyaan yang biasa diajukan untuk anjing, kan?—Tapi aku tidak berani mengatakannya.


*


Kamar pribadi Akira Kiritani seharusnya terkunci, sehingga tidak seorang pun selain dirinya yang bisa masuk. Di dalam ruangan yang remang-remang itu, terdengar suara seseorang menggeliat kesakitan.


"...Kenapa?"


Seorang gadis yang meringkuk di tempat tidur mengerang sambil menggeliat.


"Kenapa Onii-chan tidak mengangkat teleponku!? Kenapa!? Kenapa dia tidak menjawab panggilanku!? Ini aneh, kan!? Padahal dia sudah janji!! Onii-chan, Onii-chan, kalau Onii-chan tidak ada... kalau Onii-chan tidak ada, aku... aku akan hancur, aku akan hancur, aku akan hancur, aku akan hancur..."


Kiritani Sumire—adik tiri Akira—membuat selimut dari tumpukan pakaian kakaknya dan membungkus seluruh tubuhnya seperti tempurung kura-kura.


"Onii-chan tidak mungkin akan mengkhianatiku, tidak akan mengkhianatiku, tidak akan mengkhianatiku... semuanya baik-baik saja, baik-baik saja, baik-baik saja... Onii-chan yang paling menyayangiku, menyayangiku, menyayangiku... Onii-chan pasti baik-baik saja, baik-baik saja, baik-baik saja... kenapa dia tidak mengangkat teleponnya!?"


Tanpa menunggu satu dering pun, ponsel yang dilemparkan dengan keras menghantam dinding.


Wajahnya yang masih memiliki kesan kekanak-kanakan berubah kelam saat dia mulai mencabik-cabik surat cinta yang ditujukan padanya dengan gunting.


"Aku milik Onii-chan, aku milik Onii-chan, aku milik Onii-chan... benda menjijikkan ini tidak perlu, tidak perlu, tidak perlu..."


Suara gunting yang merobek kertas bergema di ruangan.

Tiba-tiba, Sumire mengangkat wajahnya.


"...Aku harus menjemputnya."


Dengan langkah yang goyah, dia berdiri dan berjalan ke luar dengan langkah yang tidak stabil.


"Onii-chan sedang menunggu... Aku harus pergi, harus pergi..."


Tujuannya hanya satu.


*


"Si-Silakan masuk."


"Maaf mengganggu."


Diundang ke dalam sebuah apartemen mewah di gedung pencakar langit, aku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah seorang gadis.


Dan bukan sembarang gadis. Ini rumah Minatsuki Yui, yang disebut sebagai bunga artifisial sempurna, idola para pria di sekolah.


Hanya berbicara dengannya sebentar saja sudah cukup untuk membuat iri teman sekelas.


Dan sekarang, aku malah diundang ke rumahnya? Sehari sebelumnya, aku bahkan tidak bisa membayangkannya.


"Akira-kun, kenapa kamu harum sekali? Karena kamu keren? Karena kamu sangat keren? Kamu itu pangeran Yui, kan? Makanya kamu wangi sekali, ya?"


Ya ampun, aku juga tidak menyangka dia bakal seberbahaya ini.


"J-Jadi, bagaimana menurutmu tentang rumah Yui?"


Aku menuruti ajakannya dan melihat sekeliling dengan kagum.


Lantai atas sebuah apartemen pencakar langit. Interiornya seakan menyimpan sihir yang membuktikan kekuatan uang.


Jendela besar memberikan kesan luas dan menawarkan pemandangan menakjubkan.


Di ruang tamu yang lapang, terdapat meja kaca dengan kaki dari kayu walnut. Di sekelilingnya, kursi berlengan dari kayu oak tersusun rapi.


Di atas meja yang diterangi pencahayaan lembut, terdapat secarik catatan dan segepok uang tunai yang dibiarkan terbuka.


Minatsuki, yang tadi menghirup aroma leherku, tersadar dan dengan pipi memerah, ia berbisik,


"Kalau begitu, ayo kita buat rumah untuk Akira-kun ya?"


"Hmm? Rumah? Rumahku ada di sini, sekitar belasan menit naik sepeda."


"Ya, aku tahu. Aku punya alamat dan nomor teleponmu di ponsel, juga tempat kelahiranmu yang terdaftar di kantor pemerintahan, serta rumah sakit tempat kamu lahir."


Kenapa dia tahu hal-hal yang bahkan aku sendiri tidak tahu?


"Akira-kun, kamu akan tinggal bersama Yui, kan? Ini rumah untuk itu."


"Ini… bukan rencana jangka panjang, kan?"


Terdengar suara keras.


Dia membanting kepalan tangannya ke meja dan menatapku dengan mata yang dipenuhi amarah.


"…Akira-kun tidak ingin bersama Yui?"


"Haha, jangan konyol. Tinggal bersama orang yang kamu suka itu kewajiban, kan?"


"A-Akira-kun…"


Ini gawat. Salah pilih jawaban, bisa langsung mati.


"Lalu… soal ke depannya, aku akan tetap pergi ke sekolah dari sini?"


"Memangnya sekolah ada gunanya?"


Kau nggak mau ke sekolah lagi, ya?


Kalau ini aku yang dulu, pasti akan setuju dengan semangat tinggi… Tapi Minatsuki Yui yang ada di depanku saat ini tersenyum sambil menggerakkan bibirnya dengan kecepatan tinggi.


"Soalnya, Akira-kun itu keren. Karena keren, cewek lain pasti bakal menatapmu penuh minat, kan? Yui percaya pada Akira-kun, tapi kalau cewek lain menggoda, mungkin saja sesuatu bisa terjadi, kan? Kalau sampai begitu, Yui mungkin tidak bisa memaafkan cewek itu. Bahkan mungkin juga tidak bisa memaafkan Akira-kun. Itu mengerikan, kan? Kan?"


Dengan senyum cerah, aku mengangkat jempol ke arah gadis di depanku.


"Benar sekali! Itu sama-sama merugikan kita!"


Kalau aku tidak menjawab begini, pasti bakal langsung mati, kan? Aku tahu kok!


"Syukurlah! Akira-kun punya pemikiran yang sama! Yui tidak ingin harus membujukmu."


Dengan bunyi berdebam, Minatsuki Yui meletakkan sesuatu di meja yang tadinya tersembunyi di belakang punggungnya.


"Jadi, mulai besok, Akira-kun tidak perlu pergi ke sekolah lagi, ya? Tenang saja, Yui akan mengurus semuanya. Aku juga bisa mengajarimu pelajaran. Aku bisa memasak, bahkan memandikanmu juga."


Sambil berkata, "Syukurlah, ini tidak perlu dipakai," dia tertawa dan mengeluarkan pispot serta popok, lalu meletakkannya di meja.


"Haha, syukurlah! Hampir saja aku harus menjalani hidup dengan perawatan penuh di usia segini."


Dia benar-benar sudah siap menculikku! Dasar cewek yang sudah menetapkan celana dalam seseorang sesuka hati!


"Lalu, rumahku itu… bagaimana, ya? Apakah termasuk bangunan ilegal?"


"Hm? Kau penasaran? Ehehe, ini dia!"


Dengan senyum polos, Minatsuki membawa sebuah kandang anjing besar yang belum dirakit. Seperti anak kecil yang bermain Lego, dia merakitnya dengan cekatan (dan itu menakutkan).


"Tada~! Rumah Akira-kun sudah selesai!"


"Wow, keren banget!"


Apa kau lagi mabuk, hah?


"Aku sudah mencari ini sejak lama. Aku ingin menemukan yang sangat besar agar Akira-kun tidak merasa sempit di dalamnya. Kalau dua kandang ini digabung, kamu bahkan bisa tidur dengan nyaman."


Seolah mengharap pujian, dia menundukkan kepalanya. Aku pun mengucapkan "terima kasih" dengan senyum palsu, lalu mengusap kepalanya perlahan.


"Ehehe… Aku suka…"


Dengan wajah malu-malu, dia terlihat sangat menggemaskan. Tidak heran dia disukai banyak pria.


Tapi dia ini cewek yandere! Dia benar-benar ingin memasukkanku ke dalam kandang!


"Akira-kun suka, kan?"


"Tentu saja."


Mana mungkin aku suka, dasar bodoh!


"Untuk sementara, aku akan membongkarnya dulu dan merakitnya lagi di kamarku, ya? Ayah jarang pulang ke rumah, dan kalaupun pulang, dia tidak akan masuk ke kamarku. Jadi, tenang saja, ya?"


Bagian mana yang seharusnya membuatku tenang?


"Oh, dan aku punya hadiah… A-Akira-kun mau menerimanya?"


"Tentu saja."


Aku menolak.


Dengan pipi memerah, Minatsuki tersenyum manis dan menyerahkan sesuatu kepadaku seolah sedang menyatakan cinta.


"T-Tolong terima ini!"


Kalau itu surat cinta, mungkin ini bisa menjadi momen manis dalam kehidupan remajaku.


"T-Terima kasih…"


Tapi benda ini… tidak terlihat seperti apa pun selain borgol.


Aku tidak bisa menolak hadiah dari Minatsuki Yui. Kalau aku menunjukkan tanda-tanda penolakan, jalur menuju kematian akan langsung terbuka lebar.


Aku mencoba menjawabnya dengan senyuman palsu.


"Sialan, terima kasih."


"Sialan?"


"Aku ini anak Edo. Kalau merasa senang, suka keluar kata-kata seperti 'Sialan! Bajingan! Senangnya aku!'"


"Ahaha, aneh banget."


Kau yang lebih aneh, tahu?


"Kalungnya masih dalam proses pembuatan, jadi tunggu sebentar, ya? Aku sudah meminta untuk mempercepatnya, jadi nanti kamu bisa menantikannya."


Jadi, dia benar-benar membuat kalung untukku, ya? Dalam beberapa jam saja, hidupku sudah berubah dari manusia menjadi seekor anjing.


"Oh! Satu lagi! Ada hadiah lain di depan pintu… Jangan lupa ambil, ya?"


Aku merasa jantungku akan berhenti karena terlalu tegang.


"Nah, sekarang, ayo kita mandi berdua—"


Tiba-tiba, suara bel pintu berbunyi.Minatsuki menyipitkan mata dan melihat ke arah monitor kecil.


Yang muncul di layar adalah seorang gadis imut yang sedang tersenyum cerah.


"…Siapa yang mengganggu waktu Yui dan Akira-kun?"


Tatapan penuh niat membunuhnya tertuju pada sosok di layar—Kiritani Sumire.


Dengan kata lain, adikku sendiri.


"Sepertinya, itu adikku."


Aku menelan ludah sambil mengawasi ekspresi Minatsuki.


Dari reaksinya, sepertinya dia tidak tahu tentang adikku sejak awal.


Kalau begitu, berarti bukan Minatsuki yang mengundangnya.

Jelas saja, aku yang hampir mencapai akhir hidupku karena dikurung pun tidak mungkin mengundangnya.


"Adik? Eh? Akira-kun punya adik?"


Ekspresi Minatsuki, yang tadinya bersiap dengan stun gun, berubah dari badai berdarah menjadi langit cerah, seolah menyambut musim semi di dunia ini, sementara pipinya merona.


"Ka-kalau begitu, aku harus menyapanya. Soalnya, dia keluarga Akira-kun."


"Eh, itu... bukan ide bagus, kan? Dia itu pecinta kakak. Kalau dia tahu aku tinggal serumah dengan Minatsuki—"


"Yui."


"Hah?"


Dengan kesal, Minatsuki menggertakkan giginya.


"Yui! Panggil aku Yui! Kita ini pasangan, kan!?"


Kalau ini cerita komedi romantis, jantungku pasti berdebar.

Tapi karena ini yandere, rasanya justru seperti jantungku akan berhenti.


"Haha, Yui. Aku cuma salah ngomong sebentar, kan?"


"A-Akira-kun... kamu ini memang suka bercanda... tapi aku tetap suka..."


Tadi dia mengancam dengan stun gun, tapi sekarang emosinya naik-turun dengan kecepatan yang gila.


"Kembali ke topik, dia itu pecinta kakak. Kalau tahu aku tinggal serumah dengan Yui, dia pasti akan menentang habis-habisan. Bisa-bisa, dia melaporkan kita ke orang tua."


"E-eh, ta-tapi... aku sudah menjadwalkan pertemuan dengan orang tuamu. Ini bisa jadi masalah..."


Sebagai pria pengangguran yang hidup dari pasangannya, aku juga cukup pusing dengan ini.


"Buatku, dikurung oleh Yui bukan masalah. Bahkan, aku berniat menjalani hidup sebagai anjingmu... asalkan aku tidak dibunuh."


Bagian terakhir itu aku gumamkan pelan.


"Jadi, aku akan bersembunyi di dalam. Tolong usir dia dengan baik."


"U-uh, iya! Aku akan berusaha!"


Menjadi pria pengangguran yang bergantung pada Minatsuki Yui memang berisiko. Tapi di sisi lain, dia adalah investasi masa depan yang sangat menjanjikan.


Jika dia mencurahkan cinta sebanyak ini padaku, kecil kemungkinan dia akan membuangku di tengah jalan.


Cerdas, cantik, dan memiliki masa depan yang cerah.

Kalau melewatkan dia, aku pasti akan menyesal.


Memang sih, dia gadis gila yang ingin memasukkanku ke dalam kandang hewan peliharaan.


Tapi kalau dia mencintaiku sampai sejauh ini, bukankah itu berarti aku bisa mengendalikannya?


Aku bisa melakukannya! Aku hampir mencapai puncak gunung yang disebut kehidupan!


"Aku ingin dikurung olehmu."


"Yui juga ingin mengurung Akira-kun..."


Setelah membuatnya tergila-gila dengan kata-kata pamungkas itu, aku meninggalkan Yui di ruang makan dan masuk ke kamar dalam.


"Jadi, usirlah dia secepatnya. Kau tidak perlu membiarkannya masuk. Jangan biarkan dia melewati pintu depan, oke?"


"Baik~! Tunggu sebentar ya, Akira-kun!"


Bahkan dari luar pun terlihat betapa bersemangatnya Minatsuki.


Dia berjalan dengan langkah ringan menuju pintu depan.

Beberapa menit kemudian, adikku masuk ke ruang makan.


"Permisi."


Hei, Minatsuki!? Apa kau tidak dengar!?


"Seperti yang kuduga, Minatsuki-senpai memang cocok dengan Onii-chan. Sebenarnya, aku selalu ingin punya kakak perempuan seperti ini."


"E-ehehe... Be-benaran?"


Minatsuki yang sedang mabuk asmara telah sepenuhnya jatuh ke dalam jebakan adikku.


Dengan rambut kecokelatan yang diikat dua sisi dan dihiasi pita biru, serta memakai seragam yang kebesaran hingga menutupi tangannya, Sumire memiliki sifat alami yang disukai semua orang.


Jelas sekali dia sedang memperpendek jarak dengan Minatsuki.


Tampaknya, kemampuan hipnosisnya saat mengumpulkan uang angpau dari kerabat atas perintahku masih belum luntur.


"Jadi karena Kakakmu tidak pulang, kamu sampai harus mengunjungi rumah teman sekelasnya ya. Kamu benar-benar sangat menyayangi Kakakmu, ya."


"Oh, bukan begitu. Aku cuma pecinta kakak, kok. Meskipun aku yang bilang, tapi menurutku Kakak itu keren banget~."


Sumire menyipitkan matanya dengan makna tersembunyi.


"…Kalau sampai dia diculik, kan merepotkan."


Saat Minatsuki hendak meletakkan teh di meja, tangannya tiba-tiba berhenti.


Dia berbisik pelan, "Heh."


"Sumire-chan, kamu ini seperti gadis fantasi, ya? Maksudku, kamu punya imajinasi yang cukup liar?"


"Minatsuki-senpai, kalau tidak salah, kau tidak punya saudara, kan?"


Sumire mengeluarkan ujung jarinya dari lengan seragam yang kebesaran dan tersenyum.


"Lalu, kenapa ada sepatu pria di pintu masuk? Bukankah itu aneh?"


"…Itu punya ayahku."


"Oh, begitu? Lalu, bagaimana dengan sneakers yang disembunyikan di atas rak sepatu?"


Minatsuki tersenyum dan mengulurkan tangannya ke stun gun yang ditempel di bawah meja dengan selotip.


"Aku tidak menyembunyikannya, kok. Aku hanya berencana membuangnya."


"Oh, begitu? Soalnya, itu mirip dengan sepatu onii-chan—"


Sambil tetap tersenyum, adikku menatap Minatsuki dengan tajam.


"Jadi, kupikir Onii-chan juga sedang ada di sini."


Ketegangan yang terasa sama seperti negosiasi antara mafia.


"Sumire-chan, kamu ini benar-benar menarik. Kamu pasti sering bermain dengan balok-balok imajiner di kepalamu, ya?"


Ufu, ahaha— Setelah saling tersenyum, tiba-tiba Sumire berdiri dan berkata,


"Aku mau pulang."


"Eh, sudah mau pulang? Padahal bisa lebih lama di sini."


"Tidak perlu, urusanku sudah selesai. Kalau begitu, permisi."


Adikku keluar dari ruang makan begitu saja, dan Minatsuki pergi untuk mengantarnya.


"…Dia memang selalu punya firasat tajam."


Masih bersembunyi, aku bergumam pelan.


"Tapi yah, sepertinya aku berhasil mengelabui dia—"


Ada vunyi getaran, notifikasi chat—itu ponselku.


Aku membuka layar chat—dan hampir menjatuhkan ponsel karena terkejut.


Sumire: "Kenapa Onii-chan bersembunyi?"

Sumire: "Ayo pulang!"


"Hah? Kok ketahuan?"


"Aku rasa bukan ketahuan, sih."


"Uwoah!"


Sejak kapan dia kembali? Minatsuki-san mengintip layarku dari balik bahu dan tersenyum lebar.


"Akira-kun, sudah balas chat itu?"


"T-tidak, belum."


Masih dengan senyum di wajahnya, Minatsuki-san mengulurkan tangan ke arahku.


"Kalau begitu, berikan padaku."


"Hah?"


"Smartphone-nya, berikan padaku?"


Bisakah kau tidak meminta ponselku dengan santai seolah itu cuma permen?


"Eh, kau mau apa?"


Menolak berarti memulai perjalanan menuju akhir hidupku, jadi aku menyerahkan ponsel itu kepadanya dengan senyum kaku.


"Jangan konyol, Akira-kun. Akira-kun jelas mengerti apa yang akan kulakukan, kan."


Masih tersenyum, Yui mulai menghancurkan ponselku dengan gagang stun gun.


"Ei ei! Ei ei! Mesin yang menggoda Akira-kun, begini caranya!"


Bertolak belakang dengan kata-katanya, matanya tidak tersenyum sama sekali. Apa-apaan tatapan penuh niat membunuh itu?


Gak, gak, gak!


Sambil menatap layar yang hancur berantakan, aku ikut memberikan irama seperti tradisi dalam insiden yandere penghancuran ponsel.


"Ei ei!"


"Soore, soore!"


"Ei ei!"


"Hancurlah! Hancurlahhhh!"


Tidak mungkin. Sekalipun aku ikut meramaikan, kengerian ini tidak akan berkurang.


Saat aku hanya bisa menyaksikan sebagai pemilik sah yang pasrah, beberapa menit kemudian, ponselku telah menjadi puing-puing.


"Begini, Akira-kun. Kurasa adikmu hanya sedang menjebakmu."


"Hah? Maksudnya?"


Dengan senyum lembut bagaikan Santa Maria, gadis cantik itu menatapku penuh kasih sayang.


"Hanya dugaan, tapi kupikir adikmu sengaja mengunjungi tempat-tempat di mana kamu mungkin berada. Setelah itu, meskipun dia tidak yakin kamu ada di sana, dia tetap mengirim pesan. Jika kamu menjawab 'Hah, kok ketahuan?', maka dia bisa memastikan kamu benar-benar ada di sana, kan?"


"Tapi itu dengan asumsi aku bisa langsung membalas chat-nya, kan?"


"Satu setengah menit."


Yui mengetuk layar ponselku yang sudah rusak.


"Itu rata-rata waktu responmu terhadap chat adikmu. Entah itu menelepon atau mengetik pesan, jika kamu tidak merespons dalam jangka waktu itu, maka ada sesuatu yang tidak beres. Tapi, kamu tetap membiarkan chat-nya terbaca. Jadi, dia bisa menyimpulkan bahwa kamu menghilang bersama seseorang atas kemauan sendiri."


…Dalam sekejap sebelum menghancurkan layar, dia bisa menganalisis informasi dengan sedetail itu?


"Tadi pun, kamu langsung membuat chat-nya terbaca. Itu berarti adikmu sekarang yakin kamu bebas untuk membalas."


"Haa… Tapi, bagaimana jika ponselku dipegang oleh orang lain dan mereka yang membuka chat itu?"


"Orang jahat yang sengaja membuka chat hanya untuk menandainya sebagai terbaca dalam hitungan detik? Tidak mungkin. Jika chat sudah terbaca tapi tidak ada balasan dalam waktu respons rata-rata, itu akan mencurigakan. Jadi, opsinya hanya dua: menunda membaca chat untuk mengulur waktu atau membaca chat lalu membalas dengan sesuatu yang netral."


Yui mengayunkan dua jarinya sambil meletakkan stun gun di meja.


"Jika ada yang mencegat sinyal lewat SIM palsu, itu akan merepotkan. Jadi, aku sudah mencabut SIM-nya sebelum menghancurkan ponsel… Tapi mungkin aku terlalu waspada."


Setelah bergumam begitu, Yui berjalan ke dapur, membuka kulkas, lalu mengeluarkan sesuatu—sepatuku?


"Hah? Sepatuku… Bukannya tadi kusembunyikan di atas rak sepatu?"


"Mana mungkin aku membiarkan harta berharga yang penuh aroma Akira-kun hanya disimpan di atas rak sepatu? Nanti wanginya berkurang, kan?"


Bisakah kau berhenti berbicara seolah teori yandere-mu itu masuk akal?


"Yang aku sembunyikan di atas rak sepatu tadi itu adalah salah satu barang dari 'Koleksi Akira-kun' yang Yui dapatkan. Dulu kamu pernah memberikannya, kan?"


Menyebut barang curian dari rak sepatu sebagai "pemberian"—tebal sekali mukanya.


"Kalau Sumire-chan memang seorang adik yang sangat menyayangi kakaknya, dia pasti tahu sepatu apa yang sedang kamu pakai sekarang. Dengan begitu, semua pertanyaan yang dia ajukan sejak sampai di rumah ini, termasuk chat tadi, hanyalah kebohongan tanpa kepastian."


Dengan tenang, Yui membuang ponselku yang sudah hancur ke tempat sampah.


"Nah, kalau begitu, Akira-kun…"


Dia mendekat dan berbisik dengan senyum licik.


"Ayo, kita mandi?"


…Mungkinkah aku benar-benar tidak punya jalan keluar?


Aku hanya bisa tersenyum sambil berusaha menahan wajahku agar tidak kaku.


*


"…Komunikasinya terputus."


GPS yang ditanam di ponsel onii-chan berhenti mengirim sinyal.


Sambil duduk di atas pagar pembatas dan mengayunkan kakinya, Sumire Kiritani berpikir dalam diam.


Dia telah memasang dua alat pelacak di ponsel kakaknya: GPS mini yang mendapat daya dari baterai internal dan aplikasi berbasis geolokasi.


Namun, kedua perangkat itu berhenti bekerja dengan jeda waktu yang berbeda. Itu berarti, SIM telah dicabut terlebih dahulu sebelum perangkat kerasnya dihancurkan.


Sambil menekan bagian tengah dahinya dengan ibu jari, Sumire mengayun-ayunkan kakinya.


Dengan kata lain, kemungkinan besar pihak lawan mencurigai adanya SIM swap... Jika hanya ingin memblokir aplikasi geolokasi yang menggunakan fungsi positioning ponsel, cukup dengan mematikan daya ponsel. Tetapi fakta bahwa ponsel itu sengaja dihancurkan menunjukkan bahwa mereka juga mempertimbangkan aspek perangkat keras.


Pihak lawan memiliki pengetahuan yang cukup dan telah mengambil tindakan terbaik dalam waktu singkat ini.


Sumire mendecak lidahnya.


Merepotkan... Kemungkinan besar mereka juga sudah mengambil langkah keamanan yang layak. Tidak mungkin mengakses informasi melalui Wi-Fi. Jika mereka melakukan sesuatu melalui SIM yang sudah dicuri, itu akan merepotkan. Untuk saat ini, lebih baik tetap offline.


"Belum bisa menyempitkan posisi dengan akurat... Harusnya aku memasang GPS yang lebih presisi. Ini semua demi menyelamatkan Onii-chan..."


Sumire menggaruk kepalanya dengan kedua tangan, menggigit kuku sambil merapalkan mantra.


"Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan, Onii-chan akan tinggal bersamaku. Selalu tinggal bersamaku, karena aku tidak bisa hidup tanpa Onii-chan."


Ia mendongak, menatap layar ponselnya dengan penuh kekaguman. Foto Onii-chan-nya terpampang sebagai wallpaper.


"Onii-chan... Nn..."


Lalu, ia mencium layar itu. Setelah mengulanginya beberapa kali, Sumire akhirnya kembali tenang.


"Tiga orang tinggal di area yang ditunjukkan oleh GPS. Sejujurnya, aku belum punya bukti pasti."


Gadis kecil itu menyatukan jari-jarinya yang keluar dari balik lengan bajunya.


"Kau terlalu terburu-buru, Minatsuki-senpai."


Di wajahnya terukir keyakinan.


"Sepatu kets itu... baunya mengandung jejak Onii-chan."


Sejak kecil, Sumire telah terbiasa dengan bau kakaknya, dan dalam hal penciuman, ia jauh lebih unggul dari Minatsuki Yui.


"Lagipula, kata-kata 'Aku berencana membuangnya' itu adalah pernyataan jujur, bukan? Kalau begitu, Minatsuki-senpai pasti sudah mendapatkan barang aslinya."


Sumire berdiri perlahan.


"Tunggu aku, Onii-chan... Aku akan membunuh perempuan itu kalau perlu..."


Tatapan matanya dipenuhi dengan niat membunuh yang sama seperti Minatsuki Yui.


*


Tatapan mesum Yui merayapi tubuhku dari atas ke bawah.


"U-Umm... Kalau begitu, buka bajumu?"


Aku yang diarahkan ke kamar mandi berdiri kaku seperti patung.


Kehormatan priaku dalam bahaya….. Kalau ini terjadi beberapa jam yang lalu, aku pasti sudah dengan senang hati memamerkan tubuh atletisku (berlebihan). Tapi dalam beberapa jam terakhir, ketakutan yang begitu mendalam telah membuatku mengalami fobia melepas pakaian, dan mental rapuhku menolak untuk memamerkan tubuhku ke dunia luar.


Tapi aku harus melepasnya. Perintah majikan adalah mutlak.


"Dengan segenap hormat, aku akan melaksanakan perintah ini."


Celana boxer kesayanganku sudah disita oleh Yui, jadi begitu celana panjangku dilepas, "dia" akan menyapa dengan ceria.


Sebagai pria yang masih memiliki rasa malu, aku memutuskan untuk melepas pakaian dari atas lebih dulu.


"Uhe, uhehe... Uheh..."


Kenapa aku, seorang pria, yang harus mengalami penghinaan ini? Bukankah biasanya kebalikannya?


Setelah melepas seragam dan kaos, kini aku bertelanjang dada. Minatsuki-san mulai gemetar hebat.


"Ehh, kamu baik-baik saja?"


Kau bukan mesin cuci tua, kan?


"A-aku... B-baik...baik saja kok..."


Dari sela-sela tangannya yang menutupi hidung dan mulutnya, darah merah segar menetes deras ke lantai.


"Fuaah... Hehehe...! A-Akira-kun! Akira-kun, di depan Yui... fuaaah...!"


Kalau dibiarkan, dia bakal mati karena kehilangan terlalu banyak darah, kan?


"...Yui."


Aku mencoba melakukan pose otot (Front Double Biceps).

Darah semakin mengalir deras ke lantai.


"...Yuiii!"


Aku lanjut dengan pose otot (Side Chest).


Yui mendongak ke langit, mengeluarkan suara napas berat.


"A-Aku akan mati! Yui... akan mati!"


Penyebab kematian: Side Chest.


Demi menjaga kelangsungan hidup majikanku, aku melakukan pertolongan pertama sebagai tugas seorang pria simpanan.


Dengan susah payah menghindari penghargaan Darwin, Yui menutupi matanya dengan tangan dan berbisik.


"M-Masuklah dulu..."


"Aku... Aku tidak bisa melihat! Kalau aku semakin menyukai Akira-kun, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan padanya!"


Kenapa kalimatmu selalu terdengar mengancam?


Demi keselamatanku, aku pun telanjang sepenuhnya.


Sementara itu, Yui memasukkan pakaianku ke dalam koper dengan ekspresi puas.


"Umm... Seragam itu mahal, jadi tolong jangan—"


"Ehh!?"


"Ah, tidak apa-apa."


Beberapa jam yang lalu, aku masih menganggapnya teman sekelas biasa. Sekarang, hanya dengan melihat wajahnya saja aku hampir kena PTSD.


Dengan rasa takut pada yandere di belakang dan kamar mandi di depan, aku akhirnya melangkah masuk.


"Hahh..."


Tak bisa menahan diri, aku menghela napas kagum.


Seperti yang diharapkan dari apartemen mewah seharga miliaran yen.


Empat sisi kamar mandi ini dilapisi marmer alami, dipoles hingga berkilau. Bathtub bundarnya dilengkapi dengan jacuzzi, dan air hangat di dalamnya memancarkan cahaya yang indah berkat lampu bawah air.


"...Menang."


Telanjang bulat, aku menikmati kemenangan sebagai seorang pria simpanan.


"Ah, Akira-kun."


Saat aku sedang memperkirakan harga kamar mandi ini, sebuah suara memanggil namaku.


"B-Bolehkah aku masuk?"


Di balik kaca buram, siluet seorang gadis terlihat samar.


Karena berbagai alasan, aku belum pernah pacaran sebelumnya. Apalagi mandi bareng seorang perempuan.


Meskipun terkenal dengan ketebalan sarafnya, kali ini tanganku berkeringat karena tegang.


"S-Silakan masuk."


Sambil menutupi bagian bawah tubuh dengan handuk, aku menjawab dengan hati-hati.


"Pe-Permisi..."


Orang yang masuk adalah— Yui, dengan mata tertutup dan memegang stun gun.


"Kalau sampai aku melihat Akira-kun telanjang, aku pasti pingsan... Jadi, tepuk tangan dan beri tahu aku, ya? Oke?"


Oni-san, ke sini. Ke arah suara tepukan tangan. (Mati seketika.)


Pada akhirnya, dia hanyalah gadis remaja berusia tujuh belas tahun.


Padahal dia yang menelanjangiku, tapi ternyata dia merasa malu memperlihatkan tubuhnya sendiri.


Yui, yang mengenakan baju renang sekolah, merentangkan kedua tangannya ke depan dan berjalan sempoyongan ke arahku.


"U-umm... kenapa kau memegang stun gun? Bukannya itu masuk tiga besar benda yang tidak boleh dibawa ke kamar mandi?"


"Jangan khawatir, sudah aku cas dengan benar!"


Hyuuh! Cewek ini akhirnya bahkan menyerah untuk berdiskusi!


"Akira-kun, kamu di mana?"


BZZZT! BZZZT!—Stun gun mengeluarkan suara pelepasan listrik yang sangat berbahaya.


"Yui ada di sini... peluk aku..."


Pelukan maut (Tipe: Listrik. Efek: Mengubah target menjadi 'M' status).


Rambut hitam panjangnya yang berkilau melambai-lambai ke kanan dan kiri.


Selangkah, lalu selangkah lagi, Yui semakin mendekat ke arahku.


"Ehehe... ehehehe... Kalau kamu pingsan, aku akan merawatmu... Akira-kun yang tidak bergerak, kalau melihatnya telanjang pun pasti tidak masalah, kan..."


Kembalikan ketulusan hatiku, yang tadi sempat berpikir ini akan jadi pengalaman pertama mandi bareng yang manis dan memalukan.


Lain kali, aku akan menetapkan harga dan bunga untuk ketulusanku, lalu kalau tidak dibayar sebelum tenggat waktu, aku akan mengancam dengan lari shuttle run di jalanan sambil mengayunkan kemaluanku.


Dikejar yandere yang semakin mendekat, aku yang semakin terpojok—otakku berputar dengan kecepatan tinggi untuk menemukan solusi.


"Yui!"


"Ehh, ehh?"


Aku merobek handuk di pinggangku dan melemparkannya. Handuk itu mendarat sempurna di kepala Yui.


"Aku sekarang telanjang bulat! Satu hari spesial, full open! Nudist yang telah membuang semua norma sosial, kini berdiri di atas panggung marmer tanpa sehelai benang pun! Waaah! Semuanya terlihat jelas!"


"Eh!? Ehh!?"


Hidungnya membesar karena napasnya yang tersengal-sengal. Dia mengayunkan kedua tangan dan mengaduk-aduk udara.


"Ayo, Yui! Lemparkan stun gun itu dan hadapilah aku! Peluk aku dengan kedua tanganmu! Aku telanjang, tahu, telanjaaang!"


"Te-telanjang... h-hah... Akira-kun, Akira-kun... telanjang... te-telanjang..."


Tetesan darah mengalir dari lubang hidung kanannya.


Sepersekian detik kemudian. Yui membuang stun gunnya dan, dengan gerakan liar layaknya binatang buas yang kelaparan, dia melompat ke arahku.


"Hmph!"


Aku yang telanjang bulat berguling ke depan, menghindari tangannya, lalu dengan cepat mengambil kembali stun gun tersebut.

Yui bereaksi berlebihan terhadap suara itu, dan aku memanfaatkannya untuk mengarahkannya, menarik handuk dari kepalanya, lalu menggunakannya untuk menutupi selangkanganku.


"...Jangan remehkan seorang survivor."


Aku berbisik pelan, menyatakan kemenanganku.


Aku meninggalkan kamar mandi, meninggalkan gadis malang itu yang masih meraba-raba udara, mencari sosok ilusifku.


Setelah meraih handuk mandi dari rak atas, aku dengan gagah melilitkannya di pinggang.


Namun, meski telah selamat dari situasi genting sesaat, aku merasa bonus kematian tak terhindarkan sudah mulai aktif.


Aku menghela napas panjang dan memikirkan langkah selanjutnya.


Tak ada pilihan lain. Aku harus kembali ke rumah untuk saat ini. Besok, aku akan menenangkan Yui dan membuat kontrak tertulis dengannya.


Sungguh merepotkan, pikirku sambil membuka pintu menuju ruang makan—


"Aku datang menjemput, Onii-chan."


"Uwahhhhh!!"


Aku jatuh terduduk karena kaget melihat adikku yang tiba-tiba muncul.


"Ada apa, Akira-kun—eh, Sumire-chan?"


Yui buru-buru melepas penutup matanya dan keluar dari kamar mandi. Dia menatap Sumire yang muncul tiba-tiba, menyipitkan mata seolah menilai sesuatu.


"Pasal pelanggaran masuk rumah, hukuman maksimal tiga tahun penjara atau denda hingga sepuluh tahun... Bagaimana kau bisa masuk?"


"Tentu saja lewat jalur resmi. Aku meminta izin dengan baik pada petugas keamanan di pintu masuk, ' Barangku ada yang tertinggal, bolehkah aku masuk kembali?' Aku kan jago berteman, jadi gampang~"


Tatapan mereka bertemu, memancarkan percikan api yang tak terlihat.


Sementara Yui menekan dengan tatapan tajam, Sumire dengan santainya mengaitkan kedua tangan di belakang kepala.


"...Kuncinya?"


"Minatsuki-senpai, jangan-jangan kalau ada Onii-chan di dekatmu, kau jadi lemah?"


Sambil menggoyangkan kunci yang tak pernah kulihat sebelumnya, adikku tersenyum lebar, seakan bangga dengan kejahatannya.


"Karena kunci model dimple itu merepotkan, aku pinjam sebentar~"


Aku yang masih setengah telanjang tak bisa menahan diri untuk bertanya.


"Eh, kunci dimple itu apa?"


"Itu kunci yang dirancang khusus untuk mencegah pembobolan dengan teknik picking! Aku bisa membukanya sih, tapi perlu alat khusus dan waktu lama, jadi lebih mudah kalau kupinjam saja!"


"Kenapa kau tahu hal semacam itu!?"


"Agar bisa masuk ke kamar Onii-chan—demi keamanan!"


Menyerahkan keamanan rumah kepada adikku sendiri! Itu keputusan yang tidak pernah kubuat, dan jujur saja, itu cukup menakutkan.


Saat aku mengusap kepala Sumire yang manja, aura pembunuhan menusuk dari samping.


Aku segera bergeser ke samping, menghindari serangan tak terlihat itu.


"Bagaimana kau tahu tempat kunci cadangan?"


"Aduh, Minatsuki-senpai, bukannya kau sendiri yang memberi tahu ya?"


Yui mengerutkan alisnya dengan curiga.


"Kunci cadangan di dalam sneaker lama milik Onii-chan... Saat kau mengundangku masuk, matamu melirik ke arahnya, kan? Manusia, kalau menyembunyikan sesuatu, tanpa sadar akan melirik ke tempat itu."


Mengingat ucapan Yui sebelumnya—


—Ada hadiah yang ingin kuberikan di depan pintu.


Jadi hadiah di depan pintu itu ternyata kunci cadangan... Kukira itu bakal semacam kalung dengan rantai buat dikalungkan ke leher, tapi ternyata barangnya cukup normal. Mengecewakan. Ini masih level yandere liar biasa.


Saat tengah berbincang dengan riang, adikku memiringkan kepalanya sedikit dan tersenyum—lalu cahaya menghilang dari mata Yui.


"Sayang sekali. Sepertinya, aku mungkin tidak bisa akrab dengan Sumire-chan."


Boleh aku berpakaian dulu? Aku tidak mau mati dalam keadaan setengah telanjang.


"Perempuan yang menculik dan menyekap kakak orang lain, lalu mengucapkan itu sebagai bentuk permintaan maaf, kau pikir itu wajar? Tidak ada seorang pun yang meminta izin untuk melihat taman bunga di dalam kepalamu."


Maaf! Itu aku yang meminta!


Kalau aku mengatakan itu, situasi yang sudah panas ini malah akan makin kacau, dan nyawaku yang mungkin bisa selamat akan melayang.


Jadi, aku hanya bisa menyilangkan tangan dan mengamati jalannya perdebatan dengan wajah serius (aku seorang penganut non-kekerasan).


"Setelah dia mencintaiku, aku akhirnya memahami betapa berharganya diriku sendiri. ...Bagiku, Akira-kun adalah makna hidupku, dan baginya, akulah makna hidupnya. 2 insan yang saling mencintai tidak perlu memilih cara untuk bisa bersatu."


Pilih cara yang benar, dong?


"Hah, perempuan yang mengutip Goethe pasti selalu merepotkan. Kenapa tidak membaca The Sorrows of Young Werther dan bunuh diri saja? Dengan begitu, kau bisa menikmati ‘cinta’ sambil dengan senang hati membudidayakan bakteri mental di otakmu."


"Kau bahkan tidak punya sedikit pun empati, makanya kemampuan komunikasi sosialmu sangat rendah. Tapi karena tampaknya kau cukup pandai menjaga citra diri, bagaimana kalau aku memanggilmu ‘Palsu-chan’?"


Mereka berdua tampaknya makin bersemangat. Aku boleh pulang sekarang?


Dengan tatapan membunuh yang tetap tenang, Yui meletakkan tangan di dagunya sambil terus menatap tajam Sumire.


"Memang mustahil untuk benar-benar mengunjungi rumah seluruh teman sekelas. Aku sudah menduga ada cara tertentu yang kau gunakan untuk mengetahui lokasi Akira-kun, tapi... Ah, begitu rupanya."


"Hah? Apa maksudmu?"


Yui tersenyum penuh kemenangan, sementara Sumire menatapnya dengan tajam.


"Di depan Akira-kun, kau berpura-pura menjadi gadis baik, ya?"


Perlahan, ekspresi menghilang dari wajah Sumire.


"Kamu tahu, Akira-kun?"


Seperti rumput musim semi yang mulai bertunas, Yui menampilkan senyum lembut penuh kasih.


"Ponsel yang aku rusak itu, Yui bisa memperbaiki datanya dengan mudah, lho? Mau Yui bantu perbaiki?"


Sambil menyipitkan mata, dia menatap adikku.


"Siapa tahu, mungkin saja sesuatu yang tidak pantas ditemukan di dalamnya, ya?"


Wajah Sumire langsung berubah pucat. Dia menggigit kukunya dengan gemetar dan mulai bergumam pelan.


"Aku tidak mau dibenci oleh Onii-chan... Aku tidak mau dibenci... Aku tidak mau dibenci... Onii-chan saja... Onii-chan saja... Onii-chan saja..."


Bukan hanya kebiasaannya menggigit kuku, kebiasaannya bergumam seperti ini juga sebaiknya dia hentikan. Rasanya, dia jadi mirip Minatsuki.


"Hei, Sumire-chan. Putuskan selagi aku masih menggunakan kata-kata yang lembut, ya?"


Saat Yui meletakkan kedua tangannya di bahu Sumire, tubuh Sumire langsung menegang, dan tangannya masuk ke dalam saku.


"Kalau kau pergi sekarang, aku akan memaafkanmu."


Yui tersenyum, tapi matanya penuh dengan permusuhan.


"Juga, aku akan merahasiakannya dari Akira-kun—"


Saat Sumire berusaha mengeluarkan tangannya dari saku, Yui dengan cepat menangkap pergelangan tangannya tanpa perlu melihat.


"Kalau kau mengeluarkan tangan dari saku, aku akan menganggapnya sebagai deklarasi permusuhan, ya?"


"Ugh... Uuhh..."


Sumire mengerang dengan suara tertahan sambil menggeliat kesakitan.


"Baiklah, ayo kita tenang dulu. Kita cari solusi yang menguntungkan semua orang."


"Kalau begitu, bagaimana kalau kita membagi Akira-kun jadi dua?"


Kalau aku salah bicara sedikit saja, akan lahir serial berjudul Pengantin yang Dibagi Dua.


"Maaf, tapi aku masih ingin tetap menjadi Akira-kun yang masih utuh."


"Hei, Sumire-chan, bisa tidak kau pamerkan isi kepalamu yang menyedihkan itu di tempat lain? Yui akan melakukan apa pun demi Akira-kun, jadi cepatlah pergi... Hah?"


Getaran di tubuh Sumire perlahan menghilang, dan senyumnya pun muncul.


Saat melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah itu, mata Yui perlahan melebar—


"Ada apa? Minatsuki, kau pakai baju renang saat mandi?"


Orang yang tidak kuduga sama sekali berdiri di belakang adikku.


"Kau ini, Kiritani... Berendam di rumah orang lain, gaya seperti itu cuma pantas dilakukan anak SMP."


Dengan pakaian olahraga yang biasa ia kenakan, wali kelasku menyapa dengan mengangkat sebelah tangan.


"Unya-sensei!? Kenapa sensei ada di sini!? Jangan bilang, sensei sengaja datang untuk mencari calon istri masa depan— Argh!"


Aku langsung meringkuk kesakitan setelah menerima jitakan keras.


"Tadi, Sumire menghubungiku dan berkata, ‘Kalau nanti aku menelepon, tolong masuk ke rumah Minatsuki-senpai.’ Sebenarnya aku juga ragu apakah pantas bagi seorang guru untuk ikut campur... Tapi, kalau aku diundang sebagai tamu kejutan dalam pesta kejutan, aku tidak punya pilihan selain datang, kan?"


Saat aku dan Yui masih bingung, Unya-sensei memiringkan kepala.


"Hm? Sumire bilang, hari ini ulang tahun Minatsuki, kan? Aku tidak bisa menggantikan kedua orang tuamu, tapi sebagai wali kelas, setidaknya aku ingin merayakannya sedikit."


"Unya-sensei, kalau mau menghadapi krisis paruh baya, lakukan di tempat lain."


Begitu aku merasakan asam lambung di mulutku, aku baru sadar kalau sudah mengatakannya dengan lantang.


Saat aku merasakan penderitaan karena kekerasan sepihak, Yui tetap menatap Sumire dalam diam.


"Kenapa kau bisa tahu kalau kedua orang tuaku jarang pulang?"


"Minatsuki-senpai itu seorang pemikir yang terlalu serius, kan? Kau selalu menumpuk informasi dengan rapi, merancang situasi yang terbaik, lalu menyusun rencana untuk menculik Onii-chan. Tapi kau tidak boleh membiarkan uang tunai tergeletak begitu saja. Kalau itu terjadi, junior yang jahat bisa menyimpulkan, Ini uang untuk makan malam, berarti kedua orang tuanya sering pulang terlambat."


Sumire mengeluarkan tangannya dari saku dan mengayunkan ponselnya di udara.


"Aku sudah bilang, kan? Aku pandai mencari teman."


"Tapi kau tidak bisa berteman denganku."


Saat mereka berdua mulai tertawa, aku dan Unya-sensei hanya bisa terdiam, masih belum bisa memahami situasi yang terjadi.


Aku tidak yakin, tapi apakah rencanaku dimana bergantung kepada orang lain berhasil?

Saat aku tengah mencari cara untuk mengambil uang di atas meja dengan tidak mencolok, aku melirik ke arah Unya-sensei yang mendekat.


"Ada apa, sensei? Aku tidak punya waktu untuk mengurus wanita dengan gaji rendah yang masih menerima perbudakan modern ini."


"Aku tidak menyangkal bahwa pekerjaan guru itu sangat melelahkan, tapi ini tentangmu, jadi dengarkan baik-baik. Aku berencana memberitahumu di sekolah besok, tapi... Kiritani."


Unya-sensei menatapku dan berkata:


"Stalker yang mengganggumu sudah ditemukan."


"Hah?"


Minatsuki dan Sumire langsung berhenti tertawa.

Ruangan mendadak sunyi.


Mungkin merasa bersalah telah merusak suasana, Unya-sensei berbisik, "Kita akan membahas detailnya nanti," lalu mengangkat kotak kue.


"Nah, sebelum itu, ayo makan kue bersama. Minatsuki, kau boleh pilih duluan. Aku sudah membeli berbagai macam, pasti ada yang kau suka."


"Benarkah? Wah, senang sekali! Aku suka makanan manis!"


Sekejap, aura mencekam pun sirna.


Perjanjian damai berbasis makanan manis terjalin, dan ketenangan sementara pun mengalir. Saat aku menikmati ketenangan palsu itu, tiba-tiba saja posisi duduk kami berubah.


Sejak awal pertemuan kami, Unya-sensei memang memiliki keahlian tangan yang luar biasa.


Ia memanfaatkan keahliannya dengan menunjukkan trik sulap, tapi kemudian berhenti dan menatap kami dengan pandangan aneh.


"Kalau Sumire masih bisa dimaklumi sih, tapi... kenapa Minatsuki juga menempel pada Kiritani?"


Entah bagaimana, sekarang aku duduk di satu kursi bersama dua orang.


Dengan mereka yang menempel erat di kedua sisi, aku merasa kematian sudah begitu dekat.


"Suka, suka, suka, suka, suka, suka, suka, suka, suka, aku sangat suka Akira-kun! Suka, suka, suka, suka, suka..."


"Juga, dari tadi, Minatsuki sedang membisikkan apa ke Kiritani?"


Minatsuki tersenyum cerah.


"Speed Learning."


Ya, lebih tepatnya cuci otak instan.


"Onii-chan... chu... Onii-chan..."


Apakah ciuman di telinga tanpa izin dalam keluarga termasuk kekerasan dalam rumah tangga?


"Aku tahu dia seorang brocon, tapi... biasanya sampai segitunya ya? Ciuman di telinga itu sudah kelewatan, bukan?"


"Aduuuh, sensei! Di luar negeri, hal seperti ini biasa saja!"


Negara mana yang melegalkan kejahatan seksual antar saudara, hah?


"Sumire. Sudah waktunya kamu berhenti bergantung pada 'Onii-chan'. Ini sudah di luar batas kewajaran."


Aku berusaha bersikap tegas sebagai kakak, tapi Sumire hanya merespons dengan, "Tapi..."


"Aku bisa menanggung hidup Onii-chan di masa depan, lho~"


"Eh!?"


Sumire memeluk lenganku dengan kedua tangannya dan menatapku dengan senyuman manis.


"Kalau demi Onii-chan, aku bisa bekerja seumur hidup~. Lagipula, karena kita saudara, aku tidak akan pernah mengkhianatimu~"


Menjadi pria yang ditanggung oleh adiknya... kedengarannya lumayan juga.


Mungkin ekspresiku terlalu kentara, karena Yui tiba-tiba menempelkan stun gun ke pinggangku.


"... Kamu mau mengkhianatiku?"


"Sumire, di dunia mana ada seorang kakak yang hidup ditanggung adiknya? Penghasilan tahunan di bawah 1,3 juta yen itu masih masuk kategori tanggungan, tahu? Kalau mau bercanda, tunggu sampai kamu punya penghasilan miliaran dulu."


Sumire mendecak lidahnya, lalu berbisik kepada Minatsuki di belakang punggungku.


"Bisakah kau berhenti dengan ancaman yang begitu terang-terangan? Lagipula, kau tahu apa yang akan terjadi jika kau benar-benar menggunakan stun gun dalam situasi ini, kan?"


"Aku tahu."


Minatsuki menempelkan hidungnya ke punggungku dan menghirup aromanya sebelum menjawab:


"Aku tahu, makanya aku melakukannya... Kalau aku bisa selalu bersama Akira-kun, aku bisa pergi ke mana pun."


Aku menolak ikut, terima kasih.


"Apa-apaan ini, bisik-bisik? Rasanya seperti kembali ke masa sekolah."


Tanpa minum alkohol, seorang guru 27 tahun yang mengenakan jaket olahraga mendekati kami dengan semangat aneh di rumah seorang mahasiswa.


"Hebat juga, Kiritani! Dikelilingi gadis-gadis, ya?"


"Hahaha! Sungguh situasi yang sulit!"


Satu adalah adikku, dan satunya lagi jelas-jelas butuh dilaporkan ke polisi... Apakah ada manusia di dunia ini yang menganggap situasi ini menyenangkan?


"Baiklah, saatnya berpisah sejenak, Kiritani. Maaf harus memisahkanmu dari dua bunga ini, tapi sekarang waktunya sendiri. Setelah kau selesai makan, temui aku di depan pintu. Naikkan kadar gula darahmu dulu sepuasnya."


Aku memanfaatkan kemurahan hati Unya-sensei dan menyelesaikan kuenya sebelum berdiri.


Namun, setelah berjalan beberapa langkah, aku menyadari sesuatu.


Meskipun aku terus berjalan, di kedua sisi tetap terasa sesuatu yang hangat dan lembut menempel.


"Uh... bisa tidak, kalian berhenti mengikutiku...?"


Dua makhluk yang menempel erat padaku ini mengendus-endus di bawah lenganku sebelum berkata:


"Akira-kun, kamu tidak bisa ke toilet sendiri, kan—oh, tunggu, itu tahap terakhir, ya?"


Barusan, kau mengucapkan sesuatu yang sangat mengerikan dengan nada santai, kan?


"Bukan, aku hanya akan berbicara sebentar dengan Unya-sensei. Tadi, Unya-sensei sendiri juga bilang, 'Aku akan meminjam Kiritani,' kan?"


"Aku tidak meminjamkannya."


"Hah?"


Minatsuki tersenyum cerah.


"Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun—bahkan sedetik pun—meminjam Akira-kun."


Bagaimana bisa bahkan aku sendiri tidak memiliki hak asasi atas diriku sendiri?


"Onii-chan! Ngobrol dengan Unya-sensei bisa besok saja, kan? Yang lebih penting, ayo pulang bersamaku!"


"Enggak, prioritasnya tetap Unya-sensei dulu, dong?"


"...Hah?"


Kelopak mata Sumire berkedut, bibirnya gemetar, dan wajahnya meringis kesakitan.


"A-aku... lebih rendah daripada sensei...? A-aku lebih tidak dibutuhkan daripada sensei di mata Onii-chan...? Eh... eeeh... a-apa maksudnya... eh...? Padahal kita sudah hidup bersama... eh...? Aku sudah mengorbankan segalanya demi Onii-chan..."


Kalau begitu, buang juga egomu.


"Jadi, Yui juga di posisi kedua!? Aku cuma perempuan kedua di mata Akira-kun!? Padahal kita saling mencintai!? Padahal kita pacaran!?"


Oh, jadi ini yang namanya ledakan berantai, ya!


"Kalau aku tidak dibutuhkan, aku akan mati, ya? Kalau aku tidak berguna buat Onii-chan, berarti aku tidak punya alasan untuk hidup. Jadi, aku akan mati, ya?"


"Aku sudah bilang berhenti bercanda seperti itu!"


Aku mendorong tubuh Sumire yang menempelkan cutter ke pergelangan tangannya, dan saat dia kehilangan tenaga, aku langsung merebut pisau itu darinya.


Aku memasukkan entah cutter keberapa ke dalam sakuku.


"Karena kamu, aku jadi punya terlalu banyak cutter. Setiap ada di pasar loak, aku bisa jualan dengan label 'Cutter bekas pakai siswi SMP' dan dapat untung besar... jadi terima kasih, ya."


"U-uhm! Aku juga mencintaimu, Onii-chan!"


Kau pakai alat penerjemah di telingamu atau gimana dah?


Sambil menempelkan pipinya padaku, Sumire memelukku erat. Yui yang melihatnya menatap tajam, lalu menaikkan voltase stun gun-nya.


"Jangan nempel-nempel ke Akira-kun, dong?"


"Aku nggak akan lepasin, tahu? Aku dan Onii-chan itu terikat, kok."


Dalam ikatan saudara, maksudnya?


"Kalau begitu, lenya—"


"Kiritani."


Pintu terbuka, dan Yui menyimpan stun gun-nya.


"Kau ada telepon."


"Eh? Dari siapa?"


Sensei terlihat kebingungan, alisnya turun.


"Stalker-mu."


"Blokir saja."


Tak bisa menolak, aku menempelkan ponsel ke telinga.


Mungkin dia pakai layanan telepon murah atau VoIP, karena suaranya berisik penuh noise.


"Se-salam hormat bagi Akira-sama yang mulia..."


Begitu mendengar satu kalimat itu saja, aku langsung tahu orang ini berbahaya. Sampai-sampai aku merasa dia baik hati karena langsung menunjukkan kegilaannya.


Telingaku digelitik suara kelam yang mengerikan, jadi aku segera memutus panggilan dan menyerahkan ponsel itu kembali ke sensei, seolah-olah itu benda terkutuk.


"Maaf, rice cooker di rumahku tiba-tiba mau melahirkan, jadi aku harus pul—"


Panggilan masuk lagi. Sensei hanya menatapku tanpa bicara, memberi tekanan agar aku mengangkatnya. Terpaksa aku menempelkan ponsel lagi ke telinga.


"Ya, ini Akira-sama yang mulia."


"A-aaa... ma-maaf atas kelancanganku barusan... a-aku sadar kalau sampah sepertiku tidak pantas mendapat kehormatan mendengar suara Akira-sama..."


Jangan merasa terhormat begitu tanpa seizinku.


"A-aku hanya... i-ingin mendapat pujian darimu... makanya a-aku menelepon..."


"Seorang stalker yang cuma bisa membuntuti orang dari belakang berani sekali bicara besar. Menurutmu, orang yang dirugikan olehmu akan memuji pelakunya?"


"A-aku akan membayar... sepuluh juta yen..."


"Opsi 'dibelai kepala' mulai dari dua juta yen, mau sekalian?"


"......Minatsuki Yui."


Suara lirih memotong pembicaraan.


Aku sekilas melirik Yui sebelum kembali fokus ke telepon.


"Itu... dan juga Sumire Kiritani... Bukankah dua orang itu yang saat ini mengusik ketenangan hati Akira-sama?"


"Kau mengawasiku dari mana?"


"Ku-kue itu terlihat enak, ya... a-aku juga ingin mencicipinya..."


Aku langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling.


Korden tertutup rapat. Tidak mungkin dia mengintip ke dalam dari luar.


"Mustahil dia bisa melihat."


Meski tidak mendengar percakapanku dengan stalker itu, Yui menempelkan bibirnya ke telinga yang tidak kupakai untuk menelepon dan berkata dengan yakin.


"Aku sudah memastikan tidak ada gangguan dalam pertemuanku dengan Akira-kun. Mungkin yang dia lihat itu 'Sensei' saat membeli kue dan masuk ke rumah Yui. Selama dia melihat itu, dia pasti bisa menebak bahwa kita sedang menikmati kue sekarang, kan?"


"Kau nggak melihatnya langsung, kan? Omong kosongmu itu sudah ketahuan sama otakku yang jenius, dasar bodoh."


Dengan logika deduksi yang luar biasa, aku berhasil menemukan kebenaran.


Stalker itu tampaknya terdiam karena merasa tidak bisa mengalahkan otakku yang superior.


"Kiritani, aku tahu ini privasi, jadi aku nggak akan memaksamu menyalakan speaker. Tapi kalau bisa, dengarkan dia sebentar saja. Aku juga awalnya ragu membiarkan korban dan pelaku berbicara secara langsung, tapi dia mengumpulkan keberanian untuk menyerahkan diri dan terlihat sangat menyesal."


"Menyerahkan diri?"


Aku menutup mic ponsel dan bertanya pada sensei, yang kemudian mengangguk.


"Baru saja setelah wawancaramu selesai. Dia menghubungiku dan bilang, 'Besok aku ingin meminta maaf secara langsung. Kalau Kiritani-san masih ada di kelas, tolong beritahu dia soal ini.' Tadinya aku mau membicarakannya besok pagi, karena sepertinya kamu ada urusan dengan Yui."


"Jadi, karena itu kamera yang aku pasang di kotak pemadam kebakaran di lorong tidak menangkap Sensei... Kau sudah mengetahui rencananya dan menggagalkannya?"


Eh, dia memang sudah merencanakan menculikku dari awal!?


"A-aku telah menyelamatkan Akira-sama dari orang-orang jahat."


Mungkin karena suara lantang sensei terdengar sampai ke telepon, stalker itu kembali berbicara.


"Lalu, a-aku juga sudah memasang penghalang di loker sepatu Akira-sama... me-menggunakan rambut dan kukuku... u-untuk melindungi Akira-sama dari orang-orang jahat..."


Tolong simpan urusan penghalang gaib ini buat manga shounen saja, ya?


"A-aku hanya ingin... d-diakui oleh Akira-sama... a-aku juga sudah memberi hukuman pada orang jahat... a-apakah Akira-sama menyukainya?"


"Jadi itu kamu yang mengirim mayat tikus dan kecoa ke teman sekelasku ya?"


"Itu hukuman dari langit..."


Berhentilah menyebut bencana buatan manusia sebagai hukuman ilahi.


"Aku mohon, jangan menyebabkan bencana di sekelilingku hanya karena aku. Nanti aku malah dapat julukan 'Pusat Ledakan Yandere'."


"O-Onii-chan, kamu bahkan memikirkan orang lain... Kamu keren sekali..."


Dengan wajah yang meleleh, adikku menempelkan wajahnya ke perut bagian bawahku dan bernapas berlebihan.


Apa aku harus mengumpulkan udara di sekitarku ke dalam kantong plastik lalu menjualnya padanya demi sedikit uang tambahan?


"Aaah...! T-Tentu saja...! Jika itu perintah Akira-sama... aku akan melakukan apa pun...!"


Tiba-tiba, sebuah kesempatan emas dalam hidupku datang.


"...Biayai hidupku."


"A-Apakah aku diizinkan untuk menerima wujud asli-mu!?"


Kenapa bahasanya terdengar begitu berat?


"Aaah...! Aku menerima wahyu yang mulia, dan rasanya aku bisa melayang ke langit! Besok aku akan menjemputmu, jadi mohon bersiaplah... Aaah... Aaaahhh!"


"Ehm, maaf, aku batal."


Namun, panggilannya sudah berakhir.


Dengan ekspresi kosong, aku menatap layar ponsel yang menunjukkan durasi panggilan.


"Jadi, bagaimana hasilnya?"


"Sensei, tolong aku!"


Dilanda ketakutan luar biasa, aku mencari perlindungan di dada datar Unya-sensei.


Saat aku memeluk wanita 27 tahun yang malu-malu itu, tinju kiri yang terarah dengan baik dan pukulan kanan yang sempurna mendarat tepat di pelipisku.


Tanpa suara, aku jatuh berlutut.


*


Tirai hitam pekat menutup cahaya matahari sepenuhnya.

Meski siang hari, ruangan itu tidak membiarkan seberkas cahaya pun masuk.


Satu-satunya yang diizinkan berbagi kegelapan itu hanyalah nyala lilin.


Tempat lilin bergaya kuno menjatuhkan bayangan bisu ke lantai dan meneteskan lilin seperti air mata berdarah yang ditumpahkan oleh korban persembahan.


"Akira-sama... Akira-sama..."


Seorang gadis yang mengenakan jubah hitam pekat menyatukan tangannya dalam doa, mempersembahkan hatinya.

Tujuan doanya adalah sebuah boneka—dibuat menyerupai Akira Kiritani.


Barang suci yang ia peroleh (curi) dari Akira menghiasi boneka itu dengan beragam variasi.


Pada wajah patung Akira ukuran asli itu, terdapat ekspresi muramnya yang tertangkap dalam sebuah foto (yang diambil secara diam-diam) dan dijahitkan di sana.


Dinding ruangan sepenuhnya dipenuhi foto-foto Akira, tertempel dari ujung ke ujung, sampai warna asli wallpaper tidak lagi terlihat.


Pada setiap gambar itu, tertulis ayat-ayat pemujaan dalam tinta merah darah.


"Aku mencintaimu... a-aku... aku mencintai Akira-sama... Jika demi kebahagiaanmu... a-aku..."


Dari celah tudung yang menutupi kepalanya sepenuhnya, sekilas terlihat bibirnya yang tersenyum.


"Baik itu mati atau membunuh, aku tidak akan pernah ragu."


Lalu, ia menggores pergelangan tangannya—


"Besok, aku akan menjemputmu."


Sambil mempersembahkan sumpah darahnya kepada patung dewa yang ia ciptakan sendiri.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close