Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 2: Festival Perburuan Kesatria
Bagian 1
Meskipun kami adalah anak-anak Kaisar, bukan berarti kami bisa bertemu dengannya setiap hari. Itu karena sang Kaisar, yang memerintah Kekaisaran yang luas ini, sangat sibuk.
Sang Kaisar hampir setiap hari mengadakan pertemuan dengan para bawahannya, namun yang dapat menghadiri pertemuan itu hanyalah mereka yang memegang jabatan penting. Putra-putri yang diizinkan menghadiri pertemuan di hadapan Kaisar, yang disebut Sidang Dewan Agung, untuk saat ini hanya Pangeran Kedua saja.
Namun, pada hari itu, seluruh pangeran dan putri yang berada di ibu kota diperintahkan untuk menghadiri Sidang Dewan Agung.
“Langka sekali. Ada apa, ya?”
“Hal seperti ini terjadi paling banyak sekali dalam setahun. Pasti ada sesuatu yang ingin dilaporkan.”
Tak ada gunanya berharap akan ada pernyataan masuk akal semacam “hentikan perebutan takhta yang berdarah-darah ini”. Justru ayah kami adalah orang yang berpandangan bahwa hanya mereka yang bisa keluar sebagai pemenang dari perebutan takhta yang pantas menjadi Kaisar.
Dia adalah seorang Kaisar sebelum menjadi seorang ayah. Dia juga tipe orang yang tanpa ragu menyatakan bahwa tugas seorang Kaisar adalah mempersiapkan penerus yang mampu mempertahankan dan mengembangkan kekaisaran yang luas ini. Untuk tujuan itu, dia bahkan tak segan menutup mata terhadap pengorbanan-pengorbanan yang ada.
“Laporan, ya... Semoga saja kabar baik.”
“Kemungkinan besar sih tidak. Hampir pasti bukan sesuatu yang menyenangkan.”
“Semoga saja tidak seperti itu. Ayo, pakai mantelmu dengan benar.”
Leo menunjuk mantel selempang yang ada di tanganku dengan ekspresi setengah kesal.
Mantel ini adalah pakaian khusus untuk keluarga kekaisaran. Mengenakannya berarti kami dalam pakaian resmi meski bersifat semi-formal. Memang merepotkan, tapi kalau mau menghadap Kaisar, tak ada pilihan selain memakainya.
“Merepotkan sekali.”
“Kalau kamu ngomong begitu, nanti Ayah akan marah lagi, lho?”
“Ya, ya, aku tahu...”
Sambil bercakap-cakap seperti itu, kami pun melangkah menuju Aula Takhta, tempat takhta Kaisar berada.
* * *
“Terima kasih untuk kerja keras kalian semua.”
“Kami menyampaikan hormat kami kepada Yang Mulia Kaisar.”
Semua orang berlutut dan menundukkan kepala kepada pria berambut pirang yang duduk di atas takhta.
Dia adalah Johannes Lakes Ardler, Kaisar ke-31 dari Kekaisaran Adrasia. Usianya lima puluh satu tahun, namun dari penampilannya, dia tampak seperti baru empat puluh tahun lebih sedikit.
Dia adalah ayah kami dan kaisar dari Kekaisaran yang telah berdiri lebih dari enam abad.
Orang-orang yang mengelilinginya hanyalah para pejabat tinggi yang membawahi birokrasi sipil dan militer.
Pandangan mereka tertuju langsung pada kami, anak-anak kaisar, termasuk diriku. Jumlah kami ada sebelas orang.
“Sembilan pangeran dan dua putri. Sepertinya tak ada yang absen. Sayang, putri sulung yang berada di perbatasan tidak hadir, tapi dia bisa dikesampingkan. Aku senang, anak-anakku.”
Ayah kami, yang memiliki tiga belas anak termasuk mendiang putra sulung, menatap anak-anak yang berkumpul dengan penuh kepuasan.
Yang tertua berusia dua puluh delapan tahun, dan yang termuda sepuluh tahun. Jarang sekali semua bisa berkumpul seperti ini.
Di antara kami, seorang pria bertubuh besar mengangkat suaranya.
“Yang Mulia Kaisar. Untuk keperluan apa kami dipanggil hari ini? Jika ada perang, izinkan saya yang turun. Akan saya hajar musuh-musuh bangsa ini dengan segenap kekuatan Kekaisaran!”
Pria besar berambut merah yang mengenakan zirah berat itu adalah Pangeran Ketiga, Gordon Lakes Ardler. Dia adalah salah satu jenderal, dan merupakan petarung terkuat di antara para pangeran.
Sebagian orang mungkin menyebutnya gagah dan karismatik, tapi menurutku lebih cocok disebut sombong dan kasar. Begitulah dia, selalu penuh percaya diri dan merasa paling benar.
Kaum militer garis keras umumnya berada di pihak Gordon. Jika dia menjadi kaisar, Kekaisaran pasti akan menerapkan kebijakan perluasan wilayah tanpa henti. Bisa saja perang dengan negara-negara besar lain di benua ini terjadi demi mewujudkan penyatuan benua. Bagi mereka yang menginginkan kejayaan perang, dia adalah pilihan terbaik.
Namun bagi mereka yang tidak menginginkan perang, dia adalah kaisar terburuk.
“Gordon, kamu memang tak pernah berubah.”
“Setiap kali bicara selalu perang ini, perang itu. Benar-benar otak otot. Lihatlah, Yang Mulia pun terlihat kesulitan menanggapimu.”
Melihat ayah kami tersenyum masam, seorang wanita berambut hijau panjang angkat bicara.
Wanita yang mengenakan jubah hitam itu adalah Putri Kedua, Zandra Lakes Ardler. Wajahnya cantik, tapi sorot matanya tajam dan menusuk, memberi kesan keras dan dingin. Mungkin sifatnya yang buruk tampak jelas dari matanya. Dan memang kesan itu tidak salah.
Dari ketiga pesaing utama perebutan takhta, yang paling kejam adalah Zandra. Karena sifatnya itu, dia gemar menggunakan sihir terlarang yang telah dilarang oleh hukum dan terus berusaha membangkitkannya kembali. Hal itu membuatnya sangat populer di kalangan para penyihir.
Jika dia menjadi kaisar, Kekaisaran akan berubah menjadi negara sihir. Tapi juga akan menjadi negara yang gila dan tak manusiawi.
“Hmph, penyihir lemah seperti dirimu takkan mengerti. Bertempur dan gugur di medan perang adalah kehormatan tertinggi bagi prajurit. Jika kamu ikut campur, akan kupatahkan lehermu.”
“Astaga, betapa mengerikannya kata-katamu. Jika kamu menginginkan kehormatan sebegitu rupa, maukah kamu menerimanya dariku?”
Udara di ruangan langsung terasa menegang. Siapa sebenarnya yang lebih menyeramkan? Apa yang diucapkan itu hampir sama dengan ancaman pembunuhan.
Berani sekali mereka saling mengancam di depan Kaisar. Sungguh, apa sih yang ada dalam pikiran mereka?
Saat aku sedang berpikir begitu, seorang pria berambut biru berdeham.
“Mohon maafkan kelancangan adik-adikku, Yang Mulia.”
Sambil berkata demikian, pria itu menundukkan kepala. Dia berdiri paling dekat dengan Kaisar di antara semua anak-anak. Pria jangkung berkacamata dengan sorot mata tajam.
Dia adalah Pangeran Kedua, Eric Lakes Ardler.
Dari seluruh anak kaisar, hanya dia yang diizinkan mengikuti Sidang Dewan Agung, dan seorang jenius diplomasi yang mengelola hubungan luar negeri Kekaisaran. Dalam hal kecerdasan, dia dinilai melebihi mendiang putra mahkota. Saat ini, dia adalah kandidat terkuat untuk takhta kekaisaran.
Jika dia menjadi kaisar, Kekaisaran pasti akan stabil. Namun dengan sifatnya yang tenang sekaligus kejam, rakyat mungkin akan merasa tertekan. Dan sebagai seorang realistis, dia takkan membiarkan bibit pemberontak hidup. Bila dia naik takhta, kami pasti akan dibunuh.
Karena itulah kami tak punya pilihan selain ikut dalam perebutan takhta ini.
Gordon dan Zandra menatap Eric dengan tajam. Eric telah mencuri momen terbaik dari mereka.
“Tak apa. Persaingan adalah hal yang baik. Aku pun menjadi kaisar melalui cara seperti itu.”
Persaingan itu pada akhirnya akan berubah menjadi pertumpahan darah.
Semua orang yang hadir di sini memahami hal itu. Dan sang kaisar tidak melarangnya, karena dia yakin itu adalah demi kebaikan Kekaisaran.
“Baiklah, karena itu aku ingin kalian saling bersaing. Itulah alasan aku mengumpulkan kalian semua.”
“Kalau hanya adu kekuatan, aku siap.”
“Tunggu dulu, Gordon. Jangan melihat segalanya dengan sederhana. Bagaimana kamu akan bertanding kekuatan dengan adikmu yang baru berusia sepuluh tahun? Karena itulah aku memutuskan untuk menghidupkan kembali sebuah festival yang sudah tidak diadakan selama puluhan tahun.”
“Festival, Yang Mulia?”
Ayah kami mengangguk, lalu tersenyum licik.
Ketika masih muda, beliau adalah seorang jenderal besar yang tak pernah kalah dalam pertempuran yang dipimpinnya. Kadang, senyum lebar penuh semangatnya menunjukkan sisi lamanya itu.
“Festival Perburuan Kesatria. Sebuah perayaan di mana para Kesatria Pengawal istana bersaing dalam berburu monster, dinilai dari kelangkaan dan ukuran hasil buruannya. Dulu festival ini sering diadakan saat monster masih banyak di tanah kekaisaran, tapi kini tak lagi karena para petualang sudah terlalu andal. Tapi aku akan menghidupkannya kembali.”
Kesatria Pengawal adalah pasukan elit Kekaisaran. Mereka berbeda kelas dari para kesatria yang melayani para bangsawan biasa.
Mereka adalah pedang Kekaisaran, kartu truf utama yang dikirim ke medan perang bila militer reguler tak mampu menangani situasi. Kesetiaan mereka hanya pada Kaisar.
Jika mereka dikerahkan untuk sebuah festival, maka itu akan menjadi acara berskala besar.
“Aku mengerti. Memang belakangan ini aktivitas monster meningkat. Tapi, apakah guild petualang akan menyetujuinya?”
Pekerjaan petualang adalah melindungi rakyat dari monster di seluruh benua. Artinya, berburu monster adalah inti dari pekerjaan mereka. Tentu ada pekerjaan lain juga, tapi sebagian besar adalah urusan monster.
Bagi para petualang, festival semacam ini bisa dianggap mencuri lahan pekerjaan mereka. Mereka pasti takkan senang.
“Tak perlu khawatir. Izin dari markas besar guild sudah kudapat. Mereka sendiri mengakui bahwa cabang-cabang mereka kesulitan menghadapi serbuan monster langka akhir-akhir ini. Mereka justru berharap festival ini dilakukan. Konon, bahkan Duke Kleinert mengalami kesulitan menghadapi monster dan bersedia bekerja sama.”
Kalau dilihat secara obkektif, itu omong kosong.
Alasan mengapa cabang guild di wilayah Kekaisaran tetap beroperasi hanya karena Kekaisaran yang menanggung biayanya. Artinya kami bayar, maka kalian harus kerja kalau ada monster. Namun saat wilayah Duke Kleinert diserang monster, guild pertualang gagal memenuhi tugasnya meski dibayar mahal. Silver, yang bukan bagian dari guild, yang menyelesaikan semuanya. Hal itu tidak bisa dibilang sebagai keberhasilan guild.
Jika melihatnya secara realistis, percakapan yang sebenarnya mungkin seperti ini.
“Kami bayar mahal, tapi kenapa kalian tak bisa kalahkan monsternya?”
“Kami mohon maaf...”
“Kami akan adakan festival pemburuan monster, kalian harus setuju.”
“Eh, itu... Sulit bagi kami...”
“Kalau begitu, kirim petualang andalan kalian.”
“Itu juga agak...”
“Pilih salah satu.”
“...Baiklah, silakan gelar festivalnya.”
Ya, pasti seperti itu.
Ayah kami bukan orang yang melewatkan peluang untuk menggunakan insiden di wilayah Duke Kleinert sebagai alat tawar-menawar.
Markas besar guild juga pasti pusing berada di antara petualang lokal dan Kekaisaran.
Lagi pula, akhir-akhir ini memang monster bermunculan lebih sering di wilayah Kekaisaran. Bahkan monster tingkat tinggi.
Jika dibiarkan, korbannya bukan hanya rakyat dan hasil panen, tapi juga para petualang. Dalam situasi seperti ini, mengerahkan Kesatria Pengawal Kekaisaran untuk berburu monster langka adalah ide cemerlang. Jika bisa mengadakan festival, maka dari itu bisa meraup keuntungan, dan rakyat pun akan merasa aman. Benar-benar ide brilian. Seperti yang diharapkan dari Kaisar.
Masalahnya, bagaimana beliau akan melibatkan kami dalam festival itu?
“Aku mengerti. Maksud Yang Mulia adalah kami akan memimpin pasukan kesatria dan berburu monster, bukan begitu?”
“Memang benar, Eric. Kamu cepat tanggap. Aku sendiri yang akan membagi kesatria kepada kalian. Kalian boleh turun langsung ke medan tempur, atau menunggu kabar baik. Yang penting, buat festival ini meriah.”
Dengan kata itu, Kaisar mengakhiri penjelasannya. Dia sendiri yang membagi kesatria mungkin untuk mencegah ada yang diam-diam memilih pasukan terbaik.
Pilihan boleh terjun ke medan tempur atau menunggu kabar baik terdengar seperti pertimbangan bagi mereka yang tak nyaman di medan tempur, tapi kenyataannya, para kesatria tak akan mengabdi pada mereka yang bahkan tak mampu berdiri di garis depan. Bagi kandidat takhta, itu bisa jadi bencana.
Kaisar ingin mengatakan bahwa, jika ingin merebut takhta, setidaknya milikilah semangat untuk berdiri bersama pasukan. Jika tak bisa, maka kami tak layak menjadi kaisar.
“Yang Mulia, aku mengerti soal festival ini. Tapi, aku ingin bertanya satu hal.”
“Apa itu, Gordon?”
“Jika menang, apa yang akan kami dapatkan? Jika hadiahnya tidak menarik, aku tidak akan termotivasi.”
“Hmm, benar juga. Apa yang kamu inginkan?”
“Tentu saja, gelar Putra Mahkota.”
Gordon menyatakan keinginannya tanpa ragu.
Zandra menatapnya seolah ingin membunuhnya dengan pandangan, dan Eric, meskipun terlihat tenang, dia pasti kesal di dalam hati.
“Kamu memang jujur, ya. Baiklah, karena kamu begitu terus terang, aku pun akan bicara sejujurnya. Gelar Putra Mahkota tidak bisa ditentukan lewat festival semacam ini.”
“Tentu saja. Kalau kita menentukan Putra Mahkota lewat festival seperti ini, kita akan ditertawakan negara-negara lain.”
“Benar, Zandra. Tapi aku juga tak bisa tak memberikan hadiah apa pun. Karena itu, aku akan menunjuk pemenangnya sebagai Duta Besar Penuh Kuasa. Negara tujuan penugasan akan ditentukan berdasarkan situasi diplomatik ke depannya.”
Semua orang langsung menahan napas. Jika seorang pangeran atau putri ditunjuk sebagai Duta Besar Penuh Kuasa, maka negara tempatnya ditugaskan pasti menganggapnya sebagai calon kuat penerus takhta. Dan orang itu akan memiliki hubungan erat dengan negara tersebut.
Bagi para pesaing takhta, jabatan itu sangatlah berharga.
Yang paling dirugikan adalah Eric, sebagai Menteri Luar Negeri. Tapi dia pun pasti menginginkan jabatan tersebut. Dan yang lebih penting, jika orang lain merebut posisi diplomatik itu darinya, reputasi dan harga dirinya akan tercoreng.
Karena ada yang dipertaruhkan, Eric pasti akan bertarung dengan serius.
Kesatria Pengawal akan mengerahkan kekuatan penuh siapa pun atasannya, jadi hasil akhirnya akan bergantung pada strategi para pangeran dan putri.
Situasinya akan jadi rumit. Dengan pemikiran itu, aku mulai menyusun strategi agar Leo bisa keluar sebagai pemenang.
Bagian 2
“Ini jadi urusan yang merepotkan, ya.”
“Benar-benar merepotkan. Dalam kejadian kali ini, posisi kita cukup terjepit.”
Pagi hari berikutnya. Aku segera mengundang Sebas dan Fine ke kamarku untuk mengadakan rapat strategi.
Sebas tampaknya sudah memahami betapa seriusnya situasi ini.
“Terjepit? Padahal menurut saya ini justru kesempatan... Bukankah para kesatria dibagi secara adil oleh Yang Mulia Kaisar, dan bukankah Tuan Leo adalah orang yang paling Tuan Arnold percayai kemampuannya?”
“Hah...”
“N-Napas panjang itu... Anda sedang meremehkan saya, bukan? Saya bisa tahu kok!”
Melihat Fine yang mulai ribut, aku pun tak punya pilihan selain memulai penjelasan.
Memang, pemikirannya tidak sepenuhnya salah. Setengahnya benar.
“Peristiwa ini, memang bisa dibilang kesempatan, tapi juga sekaligus ancaman. Kesempatannya adalah, Leo bisa saja diangkat menjadi Duta Besar. Tapi ancamannya, jika salah satu dari tiga rival kita yang menjadi duta itu, maka bayangan punggung mereka yang sempat mulai terlihat akan menjauh lagi. Walau kita disebut fraksi keempat, kita masih jauh di belakang tiga besar. Kalau salah satu dari mereka yang menang, dua lainnya masih bisa bersaing, tapi kita tidak punya kekuatan sebesar itu. Kalau tidak ada peristiwa besar yang mengguncang, kita bisa langsung tersingkir dari perebutan takhta.”
“B-Begitu ya... I-Ini berbahaya! Kita harus cepat-cepat bertindak!”
Fine, yang mulai panik, berdiri dari kursinya dan mondar-mandir di dalam ruangan.
Mengabaikannya, aku bertanya pada Sebas.
“Apa kamu sudah mengumpulkan informasi?”
“Tidak banyak, Tuan Muda. Tampaknya pihak kesatria juga baru diberitahu kemarin. Sepertinya keputusan diambil hanya oleh Yang Mulia Kaisar dan para penasihat dekatnya.”
“Kalau begitu, makin sulit untuk bermain curang. Hasil akhir sangat bergantung pada kemampuan dan keberuntungan para kandidat, ya...”
Apakah kami bisa bertemu monster langka atau tidak, itu murni masalah keberuntungan.
Sebesar apa pun kemampuannya, kalau tidak ada kesempatan untuk menunjukkannya, tidak akan berarti.
“Ada satu informasi lagi. Menurut prediksi para kesatria, lokasi pelaksanaan adalah wilayah timur Kekaisaran.”
“Timur? Kenapa di sana?”
“Karena di timur, kerusakan akibat monster paling parah. Pasukan petualang pun tak mampu menanganinya. Selain itu, hampir semua wilayah lain sudah dikirimkan pasukan kesatria, hanya wilayah timur yang belum.”
“Jadi sengaja dibiarkan kosong untuk dijadikan tempat festival, ya. Itu memang terdengar seperti keputusan Ayah.”
Sudah kuduga mereka tidak akan memburu monster di seluruh wilayah Kekaisaran. Mereka pasti memilih satu lokasi. Kalau wilayah yang menderita itu jadi pusat festival, maka kota-kota sekitarnya akan ramai oleh pengunjung, mempercepat pemulihan ekonomi. Ya, benar-benar cara berpikir ayah.
“Rencananya, kesatria akan berburu monster di timur selama beberapa hari, lalu hasil buruannya akan dinilai berdasarkan kekuatan dan jumlah. Pada akhirnya, Yang Mulia Kaisar sendiri yang akan menentukan pemenangnya. Kabarnya, berita ini sudah menyebar, dan para pedagang mulai berdatangan ke timur.”
“Namanya juga peluang bisnis. Para pedagang tak akan melewatkannya. Festival ini akan menjadi sangat besar... Para tokoh penting dari berbagai wilayah pasti akan datang untuk menyaksikannya juga. Ini bakal jadi rumit.”
“T-Tuan Al! Saya punya ide untuk strategi!”
“Coba saja, aku akan mendengarkan.”
Fine menepuk tangannya dan mengangkat tangan seolah minta izin bicara.
Meski aku tak terlalu berharap, menolak juga rugi. Fine bukan orang bodoh, hanya kurang cocok dalam hal siasat. Bisa saja dia menemukan sesuatu yang jitu.
“Saya pikir, Tuan Al saja yang menjadi juara!”
“Bodohnya aku, sempat berharap barang sedikit...”
“Nona Fine, Yang Mulia Arnold harus tetap berperan sebagai orang tidak kompeten. Tiba-tiba menonjol dalam acara ini tentu akan sangat mencurigakan.”
“Ah, iya... Tapi selain itu, bukankah tidak ada jalan yang benar-benar pasti...?”
Benar juga. Aku yang menang akan jadi cara paling aman. Karena Silver ikut serta, para kandidat lain maupun kesatria bukan lawan yang sepadan.
Tapi jika kulakukan itu, aku kehilangan kartu truf. Dan akan semakin sulit untuk menjadikan Leo sebagai kaisar. Jika aku justru yang menonjol, suara dukungan akan terbagi. Itu hanya akan jadi langkah buruk.
“Kita cari cara lain.”
“Namun, dengan kondisi seperti sekarang, kita hampir tidak punya langkah yang bisa kita ambil. Tiga rival itu mungkin bisa menggunakan cara seperti memancing monster langka ke timur, atau setidaknya mengawasi pergerakannya. Tapi kita kekurangan orang untuk melakukannya.”
“Aku tahu. Tapi mereka pasti akan melakukan itu. Kita juga bisa melakukan hal yang serupa. Aku sebagai Silver bisa mendorong monster ke timur.”
“T-Tidak boleh! Jangan lakukan itu!”
Fine segera menentang ideku.
Melihat reaksi itu, aku dan Sebas hanya bisa tersenyum kecut. Memang, dia benar-benar seperti Leo.
“Benar. Kalau kita lakukan itu, sampai festival dimulai warga timur akan terus menderita. Kita tak bisa membiarkan itu terjadi. Leo pun pasti tidak akan menyetujuinya.”
Secara pribadi, aku juga tidak ingin melakukan taktik seperti itu. Sebagai petualang, harga diriku tidak akan mengizinkannya. Tapi kalau memang terpaksa, mungkin akan kulakukan. Namun sekarang belum waktunya. Kalau semua kandidat lain adalah tiran kejam, mungkin lain cerita. Tapi untuk saat ini, yang dipertaruhkan hanyalah nyawa kami, Leo, dan Ibu.
Aku tak bisa menyakiti rakyat hanya demi menyelamatkan diri sendiri dan keluarga.
“Syukurlah... Saya lega mendengarnya.”
Fine menghela napas lega, lalu buru-buru menunduk dalam-dalam.
“S-Sekali lagi saya bicara sembarangan...! Mohon maaf! Yang Mulia pasti tidak akan melakukan hal seperti itu!”
“Jangan hiraukan itu. Katakan saja apa yang kamu pikirkan. Pendapatmu selalu sesuai jalan yang benar.”
“Maksudnya bagaimana...?”
“Artinya Yang Mulia menyukai Nona Fine yang apa adanya.”
“A-Ah...”
Fine menutupi wajah yang memerah dengan kedua tangannya.
Padahal aku tidak bilang apa-apa. Itu tadi Sebas yang bilang. Jangan sampai salah paham.
“Aku tidak pernah bilang aku menyukainya, kan?”
“Kalau begitu Anda membencinya?”
“Yah... itu...”
“Kalau begitu, berarti Anda suka. Baguslah, Nona Fine.”
“Ya!”
Melihat Fine tersenyum lebar seperti itu, aku merasa kekuatanku terkuras.
Yah, sudahlah. Saat aku mulai pasrah, terdengar ketukan di pintu. Ternyata dia datang juga.
“Silakan masuk.”
“Permisi, Kakak. Aku tidak mengganggu, kan?”
“Tidak, kami sedang membahas bagaimana cara membuatmu jadi Duta Besar.”
Yang datang adalah Leo. Di belakangnya, Marie mengikutinya dalam diam. Mendengar kata-kataku, Leo tersenyum masam dan menjawab, “Aku justru merasa Kakak yang seharusnya jadi duta besar.”
“Kamu pikir aku bisa menjalin hubungan baik dengan negara lain?”
“Iya, aku percaya itu.”
“Terima kasih. Tapi secara realistis, aku tidak bisa memenangkan festival ini. Kamu yang harus melakukannya.”
“Benar... Tapi, tetap saja rasanya berat. Lawan-lawan kita adalah keluarga sendiri.”
“Kalau begitu kamu mau nyerah?”
Mendengar ucapanku, Leo menggeleng pelan. Ya, kalau mau menyerah, pasti sudah dari awal dia melakukannya.
Meski terdesak, Leo sudah mengambil keputusan. Dan jika sudah begitu, dia tidak akan mundur lagi.
“Aku akan menyerah, kalau memang dengan menyerah itu keadaan jadi lebih baik. Tapi nyatanya tidak. Ibu, Kakak, dan orang-orang yang ikut bersamaku, semuanya harus kutanggung. Kalau aku tidak menang, tidak ada masa depan bagi siapa pun di pihak kita.”
“Kalau kamu sudah paham itu, tidak masalah.”
Tiga saudara kami sudah tak punya belas kasih. Akhir-akhir ini, mereka makin kejam.
Bahkan Jenderal Dominik yang bahkan belum menyatakan dukungannya pada Leo pun mereka bunuh. Artinya, mereka sudah tak pilih cara lagi.
Dulu mereka tidak seperti itu. Bahkan setelah putra mahkota wafat, mereka masih punya sisi manusiawi. Tapi perebutan takhta yang berkepanjangan telah mengubah mereka. Mereka bukan lagi keluarga.
Untuk melindungi semua orang yang mendukung Leo. Dan untuk rakyat yang tinggal di Kekaisaran.
Leo harus jadi Kaisar. Dan Leo pun sudah siap akan itu.
Sejak kecil, Leo mengagumi dan menjadikan sang Putra Mahkota sebagai panutannya. Bahkan setelah sang Putra Mahkota meninggal, dia tetap memegang prinsip itu. Kini, dia telah memutuskan untuk mengikuti jejak sang Putra Mahkota.
Karena itulah, dari semua pangeran, Leo adalah yang paling mirip dengan sang Putra Mahkota. Tapi dia tidak sekeras realita. Dia orang yang idealis, terlalu baik, dan mudah terhanyut oleh perasaan. Karena itulah dia tidak mengangkat dirinya dalam perebutan takhta. Namun Jenderal Dominik dibunuh. Itulah yang membuat mereka salah langkah.
Leo terlalu baik. Tanpa kejadian itu, mungkin dia takkan bisa memutuskan untuk bersaing dengan keluarga sendiri.
Tapi, kejadian itu membuatnya memutuskan. Dan setelah dia memutuskan, Leo menjadi kuat.
“Sendiri saja aku tidak cukup kuat. Aku membutuhkan kaliansemua.”
Mendengar kata-kata Leo itu, semua orang yang ada di ruangan mengangguk dalam diam.
* * *
Keesokan harinya, aku menerima sebuah permintaan sebagai Silver.
Itu karena aku menerima kabar dari Guild Petualang bahwa ada permintaan dengan peringkat tinggi yang masuk.
Hampir tak pernah sebelumnya aku harus bergerak dua kali dalam sebulan. Sepertinya memang benar bahwa monster sedang bermunculan dalam jumlah besar di Kekaisaran.
Namun begitu, bukan berarti muncul monster yang cukup kuat untuk merepotkan seorang petualang peringkat SS sepertiku. Monster yang muncul kali ini adalah seekor Cerberus yang mengalami mutasi, berubah warna dari hitam menjadi merah. Monster ini dikenal sangat kuat, telah menumbangkan banyak petualang, dan kini masuk dalam daftar buruan Guild. Peringkatnya adalah AAA, setara dengan King Minotaur yang pernah kukalahkan sebelumnya.
Cerberus sendiri adalah monster langka, dan seharusnya tidak muncul di wilayah Kekaisaran. Kemungkinan besar, monster ini melarikan diri dari para petualang di luar Kekaisaran dan tersesat masuk ke sini.
Sungguh merepotkan, datang ke Kekaisaran justru saat sibuk seperti ini, pikirku sambil segera memburu Cerberus tersebut.
Ia tak bisa dibunuh dengan satu serangan, tapi setelah aku menghantamnya dengan tiga kali sihir, ia akhirnya tewas. Jasadnya nyaris hancur oleh serangan terakhir, tapi taringnya masih tersisa, jadi aku memutuskan untuk membawa itu sebagai bukti penyelesaian misi.
Saat sedang melakukan pekerjaan khas petualang seperti itu, dari kejauhan tampak pasukan berkuda mendekat.
Kecepatan mereka cukup tinggi. Pasukan siapa ini?
Para penguasa daerah di sekitar sini seharusnya sudah diberi tahu oleh Guild bahwa Silver sedang dalam misi memburu Cerberus...
“Hei, orang di sana! Ledakan tadi itu ulahmu, ya?”
“Kalau iya, memang kenapa? Tapi sebelumnya, bukankah seharusnya kalian memperkenalkan diri dulu?”
Sambil menjawab pertanyaan dari arah belakang, aku terus mengumpulkan taring monster, lalu menoleh ke arah pasukan berkuda.
Dan aku terdiam. Karena yang kulihat adalah sosok yang tak pernah kuduga akan muncul.
Gadis di atas kuda itu sangat cantik hingga membuatku tertegun.
Dia berambut panjang berwarna sakura dan dengan mata hijau seperti giok. Posturnya tegak sempurna dan tatapannya tajam, mengingatkanku pada pedang yang indah namun kuat. Aku mengenal gadis itu. Sangat mengenalnya.
Sudah beberapa tahun kami tidak bertemu, jadi aku tak mengenalinya hanya dari suaranya. Tapi begitu melihat wajahnya, aku langsung tahu. Di Kekaisaran ini, hanya satu keluarga yang memiliki kombinasi rambut sakura dan mata hijau seperti itu.
“Namaku Elna von Armsberg, kapten pasukan ketiga dari Kesatria Pengawal. Aku datang karena mendengar tentang Cerberus. Jangan-jangan kamu yang telah menaklukkannya?”
Armsberg. Mendengar nama itu saja sudah cukup membuat negara-negara tetangga gemetar.
Mereka adalah keturunan sang pahlawan yang mengalahkan Raja Iblis yang mengguncang benua sekitar lima ratus tahun lalu.
Setelah menaklukkan Raja Iblis, Kaisar saat itu ingin mempertahankan sang pahlawan di dalam Kekaisaran, tapi si pahlawan menolak semua hadiah, baik itu gelar duke, marquis, atau count, dan hendak kembali mengembara. Kaisar pun menyusun siasat dan memberikan satu-satunya gelar khusus di seluruh benua, demi menahannya tetap tinggal.
Gelar itu adalah Keluarga Pahlawan. Di antara para bangsawan Kekaisaran, status mereka adalah yang tertinggi, bahkan lebih tinggi dari pangeran. Secara praktis, mereka tidak perlu berlutut kepada siapa pun kecuali Kaisar.
Namun tidak ada yang mempermasalahkan perlakuan istimewa itu. Sebab selama ratusan tahun, mereka telah menunjukkan hasil yang luar biasa, bahkan lebih dari cukup untuk layak menerimanya.
Mereka adalah pelindung Kekaisaran. Dan Elna adalah putri pewaris dari Keluarga Pahlawan Armsberg.
Dia juga musuh alami bagiku yang dulu sering menolongku dari perundungan, namun selalu mengomeliku sebagai pengecut dan lemah, memberikan pelatihan ala militer yang keras, dan menanamkan trauma seumur hidup. Terus terang, aku menyebut itu sebagai bentuk perundungan juga.
Karena perasaan itu, aku mundur selangkah tanpa sadar, tak bisa mengeluarkan suara. Namun aku segera teringat bahwa wajahku kini tersembunyi di balik topeng perak.
Sekarang aku adalah Silver, bukan Arnold.
Bahkan Elna pun tidak perlu kutakuti!
“Tak bisa kamu lihat sendiri? Tampaknya putri bangsawan Armsberg kurang baik penglihatannya.”
“Apa katamu...?”
Ah...
S-Sial...!
Karena dendam masa lalu yang menumpuk, aku tanpa sadar terbawa emosi dan menjawab dengan nada mengejek.
Ini gawat...
“Dari perawakanmu, sepertinya kamu petualang peringkat SS, Silver. Baru sedikit dikenal, tapi sepertinya sudah besar kepala, ya?”
Elna tersenyum.
Tapi aku tahu. Elna selalu tersenyum saat marah. Itu senyum kemarahan.
G-Gawat... Tak ada untungnya membuat masalah dengan Elna. Aku harus menyiasatinya...
“Akhir-akhir ini, katanya kamu sering tinggal di ibu kota dan bahkan dijuluki Pelindung Kekaisaran, ya? Apakah rumor itu benar? Atau sekadar tantangan bagi keluarga Armsberg?”
“Itu cuma sebutan yang diberikan rakyat. Aku sendiri tak pernah mengakuinya. Lagipula, aku tak tertarik dengan julukan seperti Pelindung Kekaisaran. Tenang saja.”
B-Baiklah. S-Semoga ini cukup sebagai tanda damai...
“Kamu sedang menyindir bahwa keluarga kami terlalu peduli dengan julukan kecil? Atau kamu sama sekali tak menaruh hormat pada kami? Apa pun itu, tetap saja itu provokasi, kan?”
Ahhh...!!
Sudah tak bisa diselamatkan! Kesan pertamaku sudah terlalu buruk, jadi apa pun yang kukatakan akan disalahartikan! Terlebih lagi, Elna adalah orang yang pantang kalah. Sekali tersinggung, dia tidak akan tenang sampai berhasil mengalahkan musuhnya sepenuhnya.
Sial! Ya sudah!
Aku akan melepaskan semua dendamku selama ini. Sepertinya menjalin hubungan baik sudah tak mungkin lagi.
Dengan sikap pasrah, aku menatap Elna dan mengejeknya lewat hidung.
“Hmph. Tampaknya kamu sangat memperhatikan kehadiranku, ya? Keluarga Pahlawan tampaknya begitu mencintai reputasi. Keluarga yang tak bisa menerima jika ada orang lain yang dipuji, kecil sekali hatimu.”
“Apa katamu!? Aku tidak akan memaafkan penghinaan terhadap keluargaku!”
“Yang menghina duluan siapa? Aku menerima permintaan resmi dari guild dan berhasil menaklukkan monster ini. Tapi dari ucapanmu tadi, seolah-olah kalau bukan aku yang membunuhnya, kamu yang duluan, bukan? Bukankah itu berarti kamu menantang otoritas guild petualang?”
“Aku tak bermaksud begitu! Aku hanya ingin melindungi rakyat!”
“Kapten, mohon menahan diri. Meskipun terjadi kesalahpahaman informasi, bila permintaan berasal dari guild petualang, maka kesalahan ada pada kita. Selain itu, kita harus segera kembali ke ibu kota.”
“Ugh... Silver! Ingat baik-baik! Yang melindungi Kekaisaran adalah keluarga kami, para kesatria, dan para prajurit! Bukan petualang!”
“Akan kuingat. Tapi mungkin segera lupa juga.”
“Kamu...!”
Melihat Elna pergi dengan amarah nyaris meledak, aku tak bisa menahan senyum. Ya, aku telah melakukan kebodohan. Tapi rasanya sangat menyegarkan, seolah semua dendam lama telah terbalas.
Dia adalah jenius luar biasa yang bergabung dengan pasukan kesatria pengawal di usia sebelas. Karena sering mendapat misi penting, sejak jadi kesatria dia hampir tak pernah muncul. Kalaupun bertemu, biasanya hanya sempat menyapa sebentar.
Namun kali ini, aku berhasil membuatnya kesal. Ah, sungguh memuaskan! Sekarang aku benar-benar mengerti perasaan seorang korban perundungan yang akhirnya bisa membalas dendam.
“...Meski begitu, tetap saja aku sudah menambah musuh baru.”
Apa yang sebenarnya kulakukan...?
Kalau aku jadi musuh keluarga pahlawan Armsberg, semuanya akan sepenuhnya jadi salahku...
“Sialan...”
Sambil menggaruk kepala, aku pun memulai perjalanan pulang.
Bagian 3
Beberapa hari telah berlalu sejak aku kembali ke ibu kota kekaisaran.
Di tengah hiruk pikuk persiapan festival yang melibatkan banyak orang, hari yang ditakdirkan pun tiba.
“Menurutmu siapa yang akan datang?”
“Yang pasti salah satu kapten dari pasukan tingkat atas.”
Aku tengah menunggu tamu di sebuah kamar dalam istana.
Hari ini, setiap anak Kaisar akan diberitahu pasukan kesatria mana yang akan ditugaskan mendampingi mereka. Caranya sederhana, kapten dari pasukan tersebut akan datang langsung ke ruangan masing-masing.
Pasukan kesatria pengawal kekaisaran dibagi ke dalam regu-regu bernomor, dan semakin kecil nomornya, semakin elit pasukan tersebut. Terutama tiga regu teratas, dipimpin oleh kapten-kapten dengan kekuatan yang luar biasa. Agar keseimbangan kekuatan tetap terjaga, kemungkinan pasukan elit ini akan diberikan kepada para kandidat yang dianggap lemah.
“Asal jangan Elna yang datang...”
“Lagi-lagi Anda berkata begitu... Padahal beliau adalah keajaiban dari keluarga pahlawan Armsberg, masuk pasukan pengawal di usia sebelas dan menjadi kapten di usia empat belas. Itu keberuntungan luar biasa, bukan?”
“Hanya dari segi kemampuan. Secara pribadi, aku tidak tahan padanya.”
“Namun, beliau dikenal sebagai sosok teladan dan bahkan disebut-sebut sebagai calon komandan pasukan kesatria pengawal di masa depan.”
“Itu karena dia pandai menjaga citranya. Baik rakyat maupun para kesatria pengawal belum menyadari sifat aslinya. Aku tidak akan pernah lupa pertemuan pertama kami, saat aku berusia tujuh tahun. Kamu tahu apa kata-kata pertamanya saat menolongku dari perundungan?”
“Apa, kalau boleh tahu?”
“Dia memanggilku ‘lemah’. Begitu katanya! Apa itu kata-kata yang pantas diucapkan pada anak kecil yang sedang sedih karena dirundung? Dan setelah itu, dia memberiku pedang kayu dan menyuruhku berlatih, lalu menghajarku habis-habisan. Sejak hari itu, aku harus selalu menghindarinya saat bermain. Dia benar-benar menanamkan rasa trauma padaku! Siapa pun yang mendengar cerita ini pasti merasa itu keterlaluan! Dia perempuan iblis!”
Meski aku menjelaskan dengan penuh semangat pada Sebas, dia hanya mengangkat bahunya dengan ekspresi bingung.
Sial! Kenapa perasaanku tak tersampaikan?
Saat aku mulai gelisah, tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Dan di sana berdirilah...
“Siapa yang kamu sebut perempuan iblis, hmm?”
Dengan senyum di wajahnya, si iblis bernama Elna menatapku.
Begitu melihat sosoknya, wajahku langsung menegang. Dan...
“Sebas! Panggil para kesatria! Iblis telah muncul!!”
“Sayangnya, tak ada seorang pun yang akan datang. Karena kesatria terbaik telah hadir di sini.”
“Sebas memang sangat mengerti, ya. Yang Mulia Pangeran Arnold Lakes Ardler. Saya, Elna von Armsberg, Kapten Regu Ketiga Pasukan Kesatria Pengawal Kekaisaran, mohon izin menghadap. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali kita bertemu, tapi sepertinya Anda tidak banyak berubah.”
“Tch...! Itu sindiran, ya?”
“Tentu saja. Kudengar kamu sangat populer di ibu kota? Katanya kamu dipanggil Pangeran Sisa. Menarik sekali.”
“Ya, berkat itu aku bisa bersenang-senang. Terima kasih, ya.”
Kami saling melempar senyum manis.
Meski sudah beberapa tahun tak bertemu, kami ini adalah teman masa kecil. Terlepas dari statusku sebagai pangeran dan dia sebagai putri dari keluarga pahlawan, kami sudah saling mengenal dengan baik.
Setelah saling bertukar senyum sebagai bentuk penjajakan, aku pun mengerutkan kening terlebih dahulu.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak merasa memanggilmu.”
“Kalau aku datang ke sini, bukankah itu artinya sesuatu? Masih tidak mengerti juga?”
“Aku tidak percaya...”
“Kamu ini keterlaluan. Padahal aku harus bersusah payah, tahu? Aku sampai meminta langsung pada Yang Mulia Kaisar agar aku ditempatkan bersamamu.”
“Jangan bertindak seenaknya begitu! Kakak-kakakku pasti langsung memelototiku!”
“Tak perlu dipikirkan. Toh kamu bukan orang yang mengincar takhta, kan?”
“Masalahnya bukan itu! Ah, kenapa kamu selalu begitu dari dulu!?”
Aku tahu dia melakukannya demi kebaikan, tapi yang dia anggap sebagai kebaikan tidak selalu sejalan dengan apa yang kubutuhkan.
Dalam kasus ini, kalaupun harus meminta pada Ayahanda, lebih baik dia bergabung di pihak Leo. Meskipun, belum tentu permintaannya akan dikabulkan.
Yang jelas, karena Elna datang padaku, aku yang tadinya dianggap peserta biasa yang tidak penting, mendadak jadi kandidat kuat untuk menang. Sekarang aku jadi makin sulit bergerak. Elna secara alami menarik perhatian. Melakukan pergerakan diam-diam sudah hampir mustahil.
Meskipun akan merepotkan jika dia pergi ke pihak lain, lebih merepotkan lagi kalau dia datang ke pihakku. Bukan cuma karena masalah kecocokan, tapi memang aku benar-benar tidak ingin dia datang.
“Aku akan memastikan kamu menang. Biar mereka yang memanggilmu Pangeran Sisa menelan kata-kata mereka mentah-mentah!”
“Aku tidak menginginkan hal seperti itu...”
“Tidak bisa! Sikapmu seperti ini tidak bisa dibiarkan. Aku sudah menyatakan kepada Yang Mulia bahwa aku akan membuat Al menjadi orang yang benar. Maka dari itu, mulai sekarang kita latihan keras! Pertama-tama, aku akan melihat sejauh mana kemampuan berkudamu sekarang. Ayo, kita ke tempat latihan!”
“...Sebas. Kepalaku mendadak terasa sakit. Ini mungkin penyakit berat...”
“Itu gawat sekali. Tapi sepertinya itu penyakit hati yang berat bernama berpura-pura sakit. Mungkin akan sembuh kalau tubuh dan jiwamu ditempa dengan baik.”
Aku menatap Sebas dengan tatapan penuh keluh kesah, tapi dia tetap bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
Hanya tinggal beberapa hari sebelum Festival Perburuan Kesatria dimulai. Tak ada yang akan berubah hanya dengan latihan beberapa hari.
Dengan pikiran seperti itu, aku pun menyeret langkah, dibawa paksa menuju tempat latihan.
* * *
“A-Ah!? Sakit...”
“M-Maaf! Akan saya oleskan lebih lembut lagi, ya.”
Keesokan harinya.
Karena nyeri otot yang luar biasa, aku tak bisa bangun dari tempat tidur dan terpaksa menerima pengobatan dari Fine yang mengoleskan salep ke punggungku. Punggungku benar-benar dalam kondisi mengenaskan. Ototku kaku seperti batu, tak ada harapan untuk bisa bergerak.
Semua ini gara-gara Elna yang menyiksaku habis-habisan dengan latihan berkuda. Sudah berapa lama sejak terakhir aku berlatih mengayunkan pedang atau tombak dari atas pelana? Itu benar-benar menyiksa. Aku terjatuh berkali-kali dari kuda, dan setiap kali itu terjadi, punggungku menghantam tanah.
Kalau ini harus terjadi setiap hari, aku pasti mati.
“Yang Mulia Arnold. Tadi saya menyampaikan pada Nona Elna, dan katanya latihan hari ini bisa dimulai siang nanti.”
“Dalam kamus orang itu nggak ada kata ‘libur’ ya...”
“Memang layak disebut titisan sang pahlawan, bukan? Tapi, bukankah Yang Mulia, maksudku, Tuan Silver juga memiliki kemampuan setara?”
“Yang Mulia lebih mengandalkan sihir kuno. Stamina dasarnya bahkan di bawah rata-rata orang biasa. Berkuda, ilmu pedang, sihir modern, semuanya tak pernah sungguh-sungguh dilatih. Jadi tak ada yang bisa dibanggakan, Nona Fine.”
“Begitukah!? Kukira semua petualang itu punya stamina luar biasa...”
“Kebanyakan memang begitu... Tapi aku menutupi kekurangan fisikku dengan sihir kuno, dan aku juga tak pernah mau melakukan apa pun yang bisa membangun stamina.”
“Bahkan saat perjalanan ke wilayah Duke Kleinert kemarin pun, Anda menggunakan sihir kuno untuk memperkuat tubuh. Kalau tanpa itu, seperti yang dikatakan Nona Elna, Anda memang seorang cecunguk.”
Tak ada tenaga untuk membantah racun verbal Sebas.
Masih menelungkup di tempat tidur, aku hanya bisa menghela napas panjang.
Namun, Sebas tiba-tiba berbicara dengan nada sedikit lebih cerah.
“Semua tergantung dari cara pandang. Meski menyakitkan bagi Anda, ini adalah kesempatan besar untuk Yang Mulia Leonard.”
“Ya, kurasa begitu...”
“Eh? Maksudnya bagaimana?”
Karena Fine tampak bingung, aku memutuskan untuk menjelaskannya secara singkat.
Tak perlu terlalu panjang.
“Elna itu bisa dibilang kesatria terkuat. Jadi kalau aku menang karena dapat Elna, orang tidak akan mengira kemenangan itu berkat kekuatanku.”
“Benar sekali. Seperti yang Anda katakan, Nona Fine, jika Yang Mulia Leonard tidak bisa menang, maka kemenangan oleh Yang Mulia Arnold adalah rute paling aman. Tapi tentu saja, kalau Yang Mulia menang mendadak tanpa alasan yang jelas, itu akan mencurigakan... Namun, kini kartu truf telah jatuh ke tangan kita.”
“Mengerti! Jadi, sekarang Tuan Al bisa bertarung sungguh-sungguh, ya!”
“Yah, kalau aku tidak ikut campur, Elna pun akan bergerak sendiri. Dan dengan kemampuannya yang luar biasa, kemungkinan menang tetap tinggi selama aku tidak jadi beban.”
“Itu sebabnya Yang Mulia Kaisar menyerahkan Nona Elna pada Anda, Pangeran Arnold. Karena mengira Anda akan menjadi penghambat.”
“Dan hasilnya, malah jadi duet antara kesatria terkuat dan petualang terkuat di kekaisaran. Yang Mulia pasti tak menyangka!”
Melihat Fine bicara dengan wajah gembira, aku pun bangkit dari tempat tidur dan mengenakan baju atasanku.
Tinggal beberapa hari lagi menuju Festival Perburuan Kesatria. Apa pun yang bisa kulakukan, harus segera dilakukan.
“Kalaupun skenario terburuk terjadi, aku sendiri akan menang dan merebut posisi duta besar. Tapi yang terbaik tetap kalau Leo yang menang.”
“Kenapa begitu? Bukankah kalau Anda yang menjalin relasi dengan negara lain, semua itu tetap akan menjadi aset bagi Tuan Leo?”
“Ya, mungkin begitu. Tapi akan lebih baik jika Leo yang secara langsung terpilih menjadi duta. Banyak orang penting akan hadir sebagai penonton juga.”
“Kedengarannya masuk akal, tapi jangan-jangan Anda hanya malas jadi duta, ya?”
Aku terkejut dan bahuku otomatis terangkat.
Melihat reaksi yang begitu mencurigakan, Sebas menghela napas, lalu Fine ikut menyambung.
“Tuan Al... Tak perlu menyerahkan semuanya kepada Tuan Leo, bukan?”
“Hm? Menyerahkan?”
“Kami tahu. Anda hanya mengatakan begitu untuk menyerahkannya pada Tuan Leo, bukan?”
“Haa... Nona Fine. Sepertinya Anda sedikit salah paham. Yang ada di depan Anda sekarang adalah seorang pangeran tulen yang amat malas.”
“Tidak bisa disembunyikan darimu ya, Fine... Itu memang kebiasaanku dari dulu. Entah kenapa, aku selalu ingin menyerahkan segalanya pada Leo. Baik itu takhta maupun posisi penting lainnya.”
“Sudah kuduga! Itu memang mulia sebagai seorang kakak, tapi kalau terlalu berlebihan, itu juga tidak baik. Aku yakin Tuan Leo pun akan sedih.”
Memanfaatkan kesalahpahaman Fine dengan sangat efektif, aku pun berhasil lolos dari ceramah Sebas.
Sebas menatapku dengan wajah cemberut karena telah memperdaya Fine.
“Membohongi wanita bukanlah tindakan terpuji, lho.”
“Aku tidak membohongi. Aku hanya membiarkannya salah paham.”
“Ah, permainan kata. Tapi nanti Nona Elna pasti akan memarahimu lagi.”
“Memangnya dia ibuku?”
“Punya teman masa kecil yang begitu perhatian membuatku iri. Aku tidak punya siapa pun yang bisa disebut teman masa kecil.”
“Itu cuma merepotkan, tahu. Apalagi yang satu itu, terlalu ikut campur.”
“Oh? Apa yang terlalu ikut campur?”
Suara itu melayang masuk.
Kulihat Elna berdiri di ambang pintu.
Wajahnya tersenyum, tapi rasanya simbol kemarahan berkedip-kedip di sekitarnya.
Refleks, aku memalingkan pandangan karena trauma masa lalu yang kembali muncul, tapi karena dia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan pergi, aku pun menyerah dan berbicara.
“Kamu datang tanpa diundang, itu nggak kamu anggap ikut campur?”
“Aduh, keterlaluan. Aku dengar seseorang tak bisa bergerak karena nyeri otot, jadi aku bawa salep buat kamu, tahu?”
“Sudah ada orang seratus kali lebih baik darimu yang mengoleskannya, jadi aku baik-baik saja.”
“Begitu ya? Jangan-jangan yang kamu maksud adalah Nona Fine si Putri Blau Mève?”
“Ah, iya. Senang bertemu. Saya Fine von Kleinert.”
“Elna von Armsberg. Kupikir kalaupun bertemu, pasti di kamar Leo, bukan di kamar Al. Ini mengejutkan.”
Setelah mengatakan itu, Elna tersenyum hangat kepada Fine.
Itu jelas senyum yang berbeda dari yang dia berikan padaku. Itu senyum untuk pencitraan.
“Al. Aku merasa seperti sedang diremehkan, deh?”
“Itu cuma perasaanmu saja.”
“Semoga saja. Nah, kalau begitu, ayo kita pergi.”
Begitu berkata, Elna langsung mencengkeram tengkukku yang masih di atas tempat tidur.
Sambil kebingungan karena perlakuan mendadak itu, Elna tetap tersenyum seperti biasa sambil menjelaskan.
“Kamu sendiri bilang sudah baik-baik saja, kan? Berarti waktunya latihan.”
“Apa!? Maksudku bukan itu! Ow! Sakit! Berhenti! Aku bisa cedera, tahu!”
“Nyeri otot bukan cedera. Obatnya ya gerak!”
Dengan begitu, seperti kemarin, aku kembali diseret oleh Elna menuju tempat latihan.
Bagian 4
Malam hari.
Aku menuju ke ruang bawah tanah istana dan meletakkan tanganku pada dinding yang tampak tak mencolok. Saat itu, sebuah garis bercahaya merambat melintasi dinding, lalu dinding itu pun terbuka.
Tanpa merasa heran akan kejadian itu, aku melangkah masuk ke dalam.
Di dalamnya terbentang tangga sempit yang terus menurun. Aku menuruninya hingga tiba di sebuah pintu kayu.
Ketika pintu itu kubuka, yang menyambutku adalah sebuah ruang kerja yang sangat rapi.
Puluhan buku tua tersusun di rak, dan meskipun tak ada yang merawatnya, nyala lilin di ruangan itu tak pernah padam.
Orang yang dulu menggunakan ruangan ini terlalu malas untuk menyalakan api setiap waktu, jadi dia menyihir lilin-lilin itu agar menyala terus-menerus.
“Seperti biasa, kamu masih menekuni penelitian sihir. Hebat juga, Kakek Tua.”
“Esensi sejati sihir tidak akan terungkap bahkan setelah bertahun-tahun.”
Yang menjawab adalah seorang lelaki tua berukuran mungil dan tampak transparan.
Dia duduk di atas meja, menikmati bacaan sebuah buku. Setiap kali membalik halaman, dia melakukannya dengan sihir yang lincah.
Sulit dipercaya, tapi lelaki ini dulunya adalah seorang kaisar.
“Meski ujung-ujungnya dirimu malah tersegel di dalam buku karena penelitian sihirmu sendiri... Orang-orang sekarang menjulukimu sebagai Kaisar Gila, tahu?”
“Itu benar-benar keteledoran. Tak kusangka aku bisa dirasuki iblis. Memalukan sekali.”
Nama lelaki tua ini adalah Gustav Lakes Ardler.
Dia adalah buyutku, dan merupakan kaisar dua generasi sebelum sekarang.
Dia adalah seorang pecinta sihir sejati, sampai-sampai membangun ruang rahasia seperti ini untuk meneliti sihir.
Karena obsesinya, tubuhnya dirasuki oleh iblis yang tersegel dalam buku, dan iblis itulah yang menghancurkan ibu kota. Sejarah mencatatnya sebagai kegilaan akibat penelitian sihir kuno.
Dan karena insiden inilah sihir kuno menjadi tabu di kalangan keluarga kerajaan.
Namun, setelah waktu berlalu dan aku bertemu dengannya, dia menjadi guruku yang mengajarkan sihir kuno.
Kini, yang tersisa darinya hanyalah roh yang bersemayam dalam buku. Dia tidak memiliki tubuh fisik. Yang kulihat sekarang hanyalah bentuk pikirannya.
Meski segelnya telah terbuka ketika aku menemukannya, dia tampaknya tidak berniat mendapatkan tubuhnya kembali. Dia sudah puas menjalani hari-harinya meneliti sihir seperti ini.
“Enak sekali hidupmu. Karenamu, aku harus menyembunyikan kenyataan bahwa aku bisa menggunakan sihir kuno, tahu.”
“Pikirkan dari sisi baiknya. Karena aku tersegel di sini, kamu bisa belajar sihir kuno, bukan? Topeng perakku juga berguna bagimu, kan?”
“Yah, lumayan.”
“Kurang ajar benar kamu sebagai cicit.”
Meski berkata begitu, matanya tidak lepas dari buku.
Dia terus membaca buku sihir, dan ketika mendapatkan ide baru, dia langsung menulisnya. Dia selalu seperti itu.
Faktanya, karena dia memang senang, aku tidak berniat mengganggunya.
Namun, tentu saja aku datang ke sini karena ada urusan penting.
Dan tampaknya dia tahu maksudku.
“Kamu ingin berkonsultasi, kan? Ayo cepat, jangan ragu.”
“...Adikku terseret ke dalam perebutan takhta.”
“Kalau dia memang berbakat, cepat atau lambat itu akan terjadi. Itulah perebutan takhta.”
“Jadi memang... Ini semua hasil rekayasa.”
“Kalau aku di posisi mereka, aku juga akan melakukannya. Kalau sudah jadi musuh, lebih baik dibereskan secara terbuka.”
Sudah lama aku berpikir tentang ini. Setelah sang jenderal tua dibunuh, kami terpaksa memilih antara dua jalan. Padahal, meskipun sang jenderal mendukung Leo, dia belum menjadi ancaman nyata bagi ketiga saudara kami. Tapi mereka memilih membunuhnya lebih awal.
Mungkin karena mereka menganggap Leo berbahaya, tapi yang lebih masuk akal adalah mereka mencari alasan untuk menyatakan Leo sebagai musuh dan menghabisinya.
“Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan.”
Di hadapanku adalah mantan kaisar.
Dia adalah orang yang pernah memenangkan perebutan takhta. Dia adalah pendahulu yang melewati berbagain intrik kejam. Jika ada yang bisa menjawab pertanyaanku, sudah pasti dia. Tapi sebelum aku bicara, dia malah sudah menjawab duluan.
“Kalau aku adalah anak kedua atau ketiga, aku pasti akan membunuh sang putra mahkota. Itu jawabanku.”
“...Aku belum bertanya apa-apa.”
“Kalau soal perebutan takhta, cepat atau lambat kamu akan menanyakannya. Aku adalah putra sulung, tapi berkali-kali nyawaku terancam. Dari sudut pandangku, jika sang putra mahkota sampai terbunuh, berarti itu kesalahannya sendiri. Kematian putra mahkota yang diunggulkan hanya akan memicu pertumpahan darah.”
“Ayah sendiri pun menyelidiki kematian itu, dan hasilnya tetap perang.”
“Mungkin pelakunya sangat lihai. Atau, mungkin para penasihat kaisar juga terlibat. Atau bahkan... sang kaisar sendiri yang terlibat. Apa pun itu, sangat mencurigakan bahwa seorang putra mahkota yang begitu unggul bisa tewas di medan perang. Kalau kamu berada di posisi itu, kamu pasti akan melindungi adikmu dengan sekuat tenaga, bukan?”
“Tentu saja.”
“Itulah jawabannya. Banyak orang pasti berpikir begitu. Kalau setelah itu dia tetap tak bisa dilindungi, berarti ada konspirasi. Ini bukan hal aneh dalam sejarah perebutan takhta.”
Omongan kakek ini membuatku makin murung.
Tapi semua yang dikatakannya masuk akal.
Dan jika semua dugaannya benar, maka apa pun yang terjadi ke depan harus kupandang sebagai konspirasi.
Dengan kata lain, Festival Perburuan Kesatria pun mencurigakan.
“Apakah ada sihir untuk mengendalikan monster, Kakek?”
“Topik sihir, ya? Bagus! Ceritakan padaku!”
Kakek langsung menatap ke arahku dengan semangat membara. Aku hanya bisa menghela napas.
Karena otaknya hanya dipenuhi oleh sihir, dia hanya tertarik pada topik itu. Walaupun cucunya datang membawa masalah besar, dia tetap mendahulukan sihir.
“Belakangan ini jumlah monster di kekaisaran meningkat. Bahkan monster langka pun mulai bermunculan. Aku mulai curiga ada seseorang yang mengendalikannya.”
“Hmm... Mengendalikan beberapa monster dengan sihir itu mungkin. Tapi sihir yang mencakup wilayah luas, itu tidak ada.”
“Begitu ya... Sepertinya aku terlalu curiga...”
Kupikir kalau melibatkan sihir, maka mungkin Zandra si Putri Kedua yang terlibat. Tapi kalau Kakek bilang tidak ada sihir semacam itu, aku akan percaya.
Berarti munculnya monster-monster itu mungkin hanya kebetulan.
“Memang tidak ada sihirnya. Tapi alatnya ada.”
“Alat?”
“Alat sihir kuno. Alat ini menghasilkan suara yang disukai monster dan menarik mereka. Kalau digunakan oleh orang dengan energi sihir yang besar, jangkauannya bisa sangat luas.”
“Alat seperti itu benar-benar ada?”
“Menurut dokumen lama, ya. Seingatku alat itu berupa seruling yang disebut Hameln. Jika digunakan oleh penyihir kuat, seruling itu bisa menarik monster dari seluruh penjuru kekaisaran.”
Orang zaman dulu sungguh menciptakan barang yang berguna sekaligus menyusahkan.
Saat sihir lebih maju dibanding zaman sekarang, alat sihir pun memiliki kekuatan luar biasa. Benda-benda seperti itu sering ditemukan di reruntuhan atau dijadikan pusaka negara, tapi kadang bisa muncul ke permukaan di saat yang tidak tepat.
“Jadi alat seperti itu memang ada... Sebenarnya, Festival Perburuan Kesatria akan segera digelar. Para pangeran dan putri akan memimpin masing-masing kesatria mereka.”
“Oh? Kaisar zaman sekarang sungguh menarik. Apa hadiahnya?”
“Duta Besar Penuh Kuasa. Dengan situasi sekarang, kami tak bisa kalah. Tapi kalau seruling itu ada di tangan musuh, kami tak punya peluang menang...”
“Betul. Kalau bisa memanggil monster sesuka hati, siapa pun yang memilikinya pasti menang. Tapi, aku pribadi tidak akan menggunakan cara serendah itu.”
Kakek berkata dengan tegas, dan aku setuju.
Sekilas terlihat sebagai strategi yang bagus, tapi sebenarnya hanya mengejar keuntungan sesaat.
Kalau ada dari ketiga saudara yang menggunakan alat itu, aku yakin dua lainnya akan mengecam habis-habisan. Dalam perebutan takhta, jika kamu melakukan hal yang merugikan negara, kamu tak akan lolos dari hukuman. Bahkan jika orang yang dicurigai bersikap tak tahu apa-apa, reputasi mereka tanpa diragukan akan jatuh.
Jadi kecil kemungkinan salah satu dari mereka mau mempertaruhkan segalanya dengan tindakan gegabah seperti itu. Artinya...
“Orang yang bergerak di balik layar bukan dari tiga calon utama.”
“Benar. Entah apakah orang itu punya hubungan dengan mereka atau tidak, yang jelas dia telah mempertaruhkan keselamatan kekaisaran. Orang seperti itu pasti mengincar lebih dari sekadar jabatan duta besar.”
“...Satu masalah lagi bertambah.”
Tak hanya melihat ke atas, kini aku juga harus mengawasi bawah.
Ini bukan lagi sekadar festival untuk meraih jabatan. Aku harus mencari tahu siapa yang bergerak di balik layar.
Festival perburuan ini mungkin akan menjadi ajang pertarungan lebih dari yang dibayangkan.
“Adakah cara untuk menghentikan seruling Hameln itu?”
“Kamu hanya bisa menghancurkannya. Karena gelombang suaranya hanya terdengar oleh monster, jadi sulit untuk dicegah.”
“Dengan kata lain, ikut serta secara jujur tidak akan berguna?”
“Benar. Tapi itu juga berlaku untuk mereka. Mereka tidak tahu pasti apakah festival ini akan diadakan. Artinya, mereka sudah punya rencana memakai monster bahkan sebelum festival dimulai. Ada sesuatu di balik festival ini. Waspadalah.”
Dengan petuah itu, aku pun meninggalkan ruangan.
* * *
Dalam perjalanan kembali ke kamarku.
Aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Saat hendak menoleh, sebuah suara pria menghentikanku.
“Jangan bergerak.”
“...Kamu mengatakan itu sambil tahu bahwa aku adalah Arnold Lakes Ardler?”
“Tentu saja.”
Sambil berkata demikian, pria di belakangku menghunus belatinya dengan bunyi yang jelas terdengar.
Tak kusangka mereka bergerak secepat ini.
“Aku tidak akan membunuhmu, tapi kamu akan tidur cukup lama.”
“Sayangnya aku tidak bisa begitu saja berkata ‘silakan’.”
Perlahan aku menoleh ke belakang.
Meski memberi celah seperti itu, pria itu sama sekali tidak bergerak.
Yang berdiri di sana adalah seorang pria berpakaian serba hitam, ciri khas seorang pembunuh. Namun, sepertinya dia tidak diberi perintah untuk membunuh. Yah, siapa pun pasti akan menghindari cara seceroboh itu.
“A-Apa yang kamu lakukan...?”
“Aku menggunakan penghalang untuk menghentikan gerakanmu. Suaramu itu memberiku waktu untuk menyiapkannya. Sayang sekali, niatmu untuk tidak membunuh justru jadi kelemahanmu.”
Tak diragukan lagi, dia adalah pembunuh berpengalaman.
Mampu menyusup ke dalam istana yang keamanannya sangat ketat. Tapi, bahkan pembunuh semacam itu akan kesulitan membuat korbannya tak sadarkan diri tanpa membunuh.
Karena itulah dia membuka suara untuk menghentikanku, yang justru memberiku waktu untuk menyiapkan penghalang.
Meski begitu, aku memang selalu memasang penghalang pendeteksi di sekelilingku, jadi pembunuh mana pun tak akan bisa mendekat tanpa terdeteksi.
Berjalan sendirian malam-malam seperti ini tanpa persiapan sama saja dengan cari mati.
“Cih... Kukira kamu pangeran tak berguna...!!”
“Sudahlah, tenangkan dirimu. Sekarang jawab pertanyaanku. Bisa menyusup ke istana berarti ada yang membantumu, bukan? Siapa dia?”
“Hmph! Jangan remehkan aku! Aku lebih baik mati daripada menyebutkan namanya!”
“Jadi kamu tidak menyangkalnya. Oke, itu sudah cukup menyempitkan kemungkinan.”
“Kh...!!”
Satu-satunya pihak yang bisa mempengaruhi keamanan istana hanyalah tiga orang saudara kandungku.
Kalau orang lain yang ingin membantunya masuk, butuh rencana rumit yang memakan waktu yang lama, dan itu tidak realistis.
Bagaimanapun, satu-satunya alasan kuat untuk menyerangku sekarang hanyalah karena aku mendapat Elna sebagai pasangan di festival.
“Kamu menyerangku agar aku tidak ikut dalam Festival Perburuan Kesatria karena aku dipasangkan dengan Elna, bukan? Sayangnya, kamu terlalu naif. Aku sudah bersiap sejak awal.”
“Hmph... Itu juga berlaku untuk kami! Lakukan!”
Begitu dia berkata demikian, seseorang tanpa suara muncul di belakangku.
Yang muncul adalah Sebas.
“Tampaknya mereka bergerak dalam kelompok berempat. Tiga orang lainnya sudah saya lumpuhkan, Yang Mulia Arnold.”
“Kerja bagus, Sebas.”
“A-Apa...?”
“Kamu pikir aku akan membiarkan Yang Mulia berjalan sendirian? Benar-benar meremehkan.”
“Kuh...”
“Baiklah... Mari kita mulai. Katakan, siapa yang memberimu perintah?”
Sambil memasang penghalang kedap suara, aku mengaktifkan ilusi untuk memproyeksikan pemandangan yang paling ditakuti pria ini. Aku sendiri tak bisa melihat apa yang ditampilkan, tapi dia pasti bisa.
Dan mengejutkannya, hanya dengan itu saja, identitas pemberi perintah pun langsung terbongkar.
“Hiihhh! A-Ampuni aku! Ampuniiii... Nona Zandraaaa! A-Aku tidak mengatakan apa pun! Aku belum mengucapkan sepatah kata pun!”
“Hoo... Jadi kamu peliharaannya Zandra, ya. Tampaknya dia melatihmu dengan cara yang cukup kejam.”
“Terikat oleh rasa takut... Itulah Yang Mulia Zandra yang kita kenal. Apa yang akan Anda lakukan?”
“Menyerahkannya ke pihak berwenang tidak akan melukai Zandra sedikit pun. Tapi membunuhnya pun akan menyusahkan karena harus mengurus jasadnya. Sembunyikan saja di tempat yang aman. Mungkin akan berguna nanti.”
“Baik, Tuan.”
Sambil membiarkan pria itu terus terguncang oleh ilusi Zandra, aku berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Jika mereka menyerang pada waktu ini, berarti Zandra tidak terlibat dalam insiden monster. Dia berusaha mengeliminasi aku karena ingin menang dalam festival dan merebut posisi duta besar. Karena itu, dia tidak mungkin juga menjadi dalang di balik munculnya para monster.
“Kalau begitu, siapa yang sebenarnya sedang bergerak di balik layar?”
Sambil bergumam demikian, aku pun kembali ke kamarku.
Bagian 5
Kota terbesar di wilayah timur Kekaisaran, Keer.
Tempat yang dijadikan pusat Festival Perburuan Kesatria itu tengah ramai seperti belum pernah terjadi sebelumnya.
Hari ini adalah malam sebelum festival, dan acara utama akan berlangsung esok hari. Namun para pedagang telah memeras otak mereka, dan berbagai jenis kios dan lapak telah berjajar di seluruh Keer. Bahkan hanya dengan berjalan sebentar saja tadi, aku sudah melihat benda-benda aneh dan unik yang belum pernah kulihat sebelumnya dijajakan di sana.
Sambil mencicipi beberapa di antaranya yang kubeli, aku tengah menunggu seseorang.
Ini semacam janji temu.
“Maaf membuat Anda menunggu!”
Suara riang itu disusul oleh kemunculan Fine, yang mengenakan gaun putih sederhana.
Itu adalah gaun yang kubelikan untuknya saat di ibu kota. Tapi bukan hanya itu yang berbeda dari biasanya.
Fine mengenakan kacamata berwarna perak. Kacamata itu aku temukan di antara koleksi rahasia kakek, sebuah benda yang langka.
Kacamata itu berfungsi untuk ilusi ringan. Bagi mereka yang tidak mengenal Fine dengan baik, dia akan terlihat seperti gadis biasa yang sepenuhnya tak mencolok. Mereka yang mengenalnya dekat atau para penyihir berpengalaman mungkin akan menyadarinya, tapi untuk sekadar berjalan di tengah kota, kacamata ini cukup ampuh.
“Aku tidak menunggu lama. Dalam perjalanan ke sini, tidak ada yang mengenalimu, kan?”
“Ya! Bagaimana? Apa kacamatanya cocok untukku?”
Fine mengangkat sedikit kacamatanya dan tersenyum.
Mungkin karena kacamata itu, Fine terlihat berbeda dari biasanya.
Dengan kacamata itu, dia tampak lebih cerdas dan lebih tenang.
Biasanya Fine selalu tersenyum ceria, dan jarang sekali terlihat dewasa. Itu bukan hal buruk, tapi bagi sebagian orang, mungkin sikap seperti itu kurang cocok. Namun Fine yang berkacamata ini, barangkali akan membuat siapa pun menyukainya.
Dia memang sudah cantik sejak awal, tapi dengan ini, pesonanya terlihat lebih dewasa.
Yah, meskipun kebanyakan orang tidak akan bisa melihat wajahnya yang sebenarnya.
Sambil menikmati perasaan bangga yang agak bodoh karena bisa melihat sang wanita tercantik di kekaisaran dengan kacamata secara eksklusif, aku pun mengajak Fine untuk segera pergi.
“Hari ini kita bersenang-senang sepuasnya ya, Tuan Al!”
“Iya, tentu saja.”
Mungkin karena khawatir aku terlalu tegang, Fine yang mengajakku keluar seperti ini.
Ini masa-masa genting dalam perebutan takhta, dan besok adalah hari penting dari Festival Perburuan. Memang saatnya untuk berusaha keras, tapi sejujurnya, semua yang bisa kulakukan sudah kulakukan.
Sisanya bergantung pada hari pelaksanaan.
Karena itulah aku menerima ajakan Fine.
Lagipula, aku tak enak hati jika membuatnya terus khawatir.
“Baiklah, kalau begitu mari kita mulai dari kios-kiosnya.”
“Ya! Kita kunjungi semuanya!”
“Kalau itu sih rasanya mustahil.”
“Kita pasti bisa!”
Mudah sekali membayangkan Fine yang segera kekenyangan, tapi dia tetap bersikukuh bisa melakukannya.
Meski memakai kacamata, sifat aslinya tidak berubah.
Seorang gadis bangsawan yang ceria dan agak polos.
Justru karena itulah, berada di dekatnya terasa menenangkan.
“Kalau begitu, ayo kita coba.”
“Ya!”
Dengan Fine yang tersenyum cerah di sisiku, aku pun mulai berkeliling kios-kios di sepanjang jalanan kota.
* * *
“Uuh... Perutku kenyang sekali...”
Haruskah aku mengatakan “seperti yang kuduga” atau “tentu saja sudah kuduga”?
Fine sudah beristirahat di sebuah lapangan kecil di sudut kota.
Sambil menyodorkan minuman, aku hanya bisa tersenyum masam.
“Kalau ingin mengunjungi semua kios, harusnya makan sedikit demi sedikit.”
“Kalau disisakan, rasanya tidak enak pada orang yang sudah membuatnya...”
“Perkataan yang tak pantas diucapkan oleh seorang putri dari keluarga duke.”
Faktanya, hanya dengan melihat betapa dia menikmati makanan dari kios-kios sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dia memang berbeda dari gadis bangsawan kebanyakan. Dia pun tidak menunjukkan penolakan terhadap konsep makan sambil berjalan.
Menurut pengakuannya sendiri, mengunjungi kios-kios saat festival adalah impiannya sejak lama.
Yah, keluarga duke mengatur wilayah kekuasaan yang luas, dan di wilayahnya sendiri, mereka adalah yang paling berkuasa.
Mereka berada di posisi yang menyelenggarakan festival, bukan yang menikmatinya.
Kalau aku, tiap kali ada festival di ibu kota, aku selalu kabur diam-diam untuk ikut bersenang-senang.
“Uuhh... Impian berjalan-jalan di kios festivalku...”
“Bisa kan jalan-jalan lagi nanti? Tidak harus makan, sekadar melihat-lihat pun cukup menyenangkan, kan?”
“Ada cara menikmati seperti itu juga, ya?”
“Tentu saja ada. Istirahatlah sebentar, lalu kita jalan lagi. Kalau berjalan, nanti juga rasa kenyangnya berkurang.”
“Baik... Tapi untuk saat ini, masih belum bisa...”
Padahal dia tidak makan sebanyak itu, tapi Fine sudah dalam kondisi tak bisa bergerak.
Tubuhnya kecil, dan jelas bukan orang yang bisa makan banyak, tapi entah kenapa dia bisa berambisi menaklukkan semua kios.
Pasti dia sangat menantikan ini.
Rasanya justru Fine yang lebih menikmati semuanya dibanding aku, tapi ya sudahlah.
Melihat Fine yang tampak bahagia juga bukan hal yang buruk.
Saat kami bersantai di lapangan itu, aku melihat sosok yang sudah sangat kukenal.
Atau lebih tepatnya, wajah yang kulihat setiap hari.
Karena ya, wajah itu adalah wajahku sendiri.
“Leo dan... Marie?”
“Mereka sedang apa, ya? Berdua seperti itu?”
“Bukan tipikal pasangan yang sedang kencan, sih. Sepertinya sedang bekerja lagi.”
Etos kerja Leo memang patut diacungi jempol.
Membuktikan dugaanku, ada beberapa kesatria yang berjalan di belakangnya.
Sungguh, kebiasaan Leo yang tak bisa diam memang bikin pusing. Kemarin saja dia mengunjungi beberapa desa, dan sekarang entah urusan apa lagi yang dia selami.
Seperti sudah terhubung, Leo menoleh ke arahku tanpa peringatan.
“Kakak? Ada Fine juga?”
“Yo.”
Setelah menyadari keberadaan kami, Leo dan Marie pun mendekat.
Marie mengikuti Leo dari belakang dengan tenang dan sopan, benar-benar gambaran ideal dari seorang pelayan. Pelayan cerewetku harusnya belajar dari dia.
“Halo, Kakak. Halo, Fine. Kalian sedang kencan?”
“Ya, kami sedang kencan.”
Fine langsung menjawab begitu. Tapi Leo hanya tersenyum kecil.
Sepertinya dia tahu kalau kenyataannya tidak begitu.
“Memangnya kelihatan seperti itu?
“Agak ambigu, sih.”
“Uuh... Mengecewakan sekali...”
Fine menjatuhkan bahunya dengan sedih.
Ternyata dia sungguh ingin ini dianggap sebagai kencan.
Yah, dia tahu aku adalah Silver.
“Abaikan itu, kalian sedang menangani apa sekarang?”
“Ada beberapa kasus pencurian di sekitar sini.”
“Pencurian?”
Cukup berani juga orangnya.
Memang, ayah belum tiba di sini, tapi festival ini diselenggarakan oleh kaisar. Festival ini adalah panggungnya para bangsawan dan kesatria pengawal kerajaan. Melakukan kejahatan di malam sebelum festival, itu sama saja menantang kaisar.
“Jadi, apa yang mereka incar?”
“Sepertinya perhiasan. Jadi, Fine, kamu sebaiknya berhati-hati juga.”
“Eh? Saya? Ah!”
Fine buru-buru memegang hiasan rambut berbentuk burung camar biru di kepalanya.
Itu adalah hadiah dari ayah, dan hampir selalu dia pakai. Bisa dibilang, itu tak bisa dilepas. Terutama kalau ia sering bersama aku atau Leo, sebagai pangeran, mengenakan itu menunjukkan posisinya.
Meskipun begitu, karena sedang menyamar, kupikir hari ini dia bisa saja tidak memakainya.
“Mau kembali dan menyimpannya dulu?”
“T-Tidak perlu, butuh waktu juga, dan selain itu, aku sangat menyukai ini bahkan jika tidak menghitung fakta bahwa ini pemberian dari Yang Mulia...”
“Kalau kamu memang nyaman, ya tak apa.”
“...Kalau Anda khawatir, saya akan menyimpannya saja.”
Dengan ragu, Fine akhirnya melepas hiasan rambut itu.
Saat kami sedang bercakap begitu, aku merasakan sesuatu yang aneh.
Sesuatu yang asing masuk ke dalam penghalang yang kugunakan di sekitarku.
Bukan seorang manusia. Ketika kulihat ke bawah, ada seekor binatang kecil seperti musang putih.
“Itu...”
“Kecil dan lucuu!”
Panjangnya sekitar sepuluh sentimeter.
Makhluk kecil yang lucu itu melangkah pelan ke arah Fine.
Sekilas, sepertinya tidak berbahaya. Tapi ada yang terasa janggal. Aku yakin pernah melihat binatang ini. Seingatku, makhluk ini hanya hidup di wilayah barat benua...
Saat aku berpikir begitu, makhluk kecil itu menggosokkan kepalanya ke kaki Fine. Melihat itu, mata Fine berbinar dan dia jongkok untuk mengelusnya.
“Lucuu! Tuan Al! Ini lucu sekali!”
“Ya, tapi... Leo, apa nama makhluk ini?”
“Hmm, aku juga merasa pernah lihat ini...”
“Itu namanya Brett, hewan kecil yang hidup di wilayah barat benua.”
“Itu dia!”
Aku dan Leo berseru bersamaan menjawab ucapan Marie.
Sementara itu, Fine terus membelai si Brett.
Namun, di detik berikutnya, Brett melompat ke dada Fine.
“Ahaha! Tidak! Itu geli! Ah!”
Fine mencoba menangkap Brett, tapi dalam prosesnya, si kecil itu menyelinap masuk ke dalam pakaiannya.
Karena tubuh Fine yang mungil tapi memiliki bentuk yang cukup menarik, pemandangan itu jadi sedikit menggoda.
“Kyaa! Ahaha! Sudah! Jangan begitu! Ah, awa...!”
Awalnya hanya kepalanya yang masuk, tapi dengan cepat si Brett menyelinapkan seluruh tubuhnya ke dalam baju Fine.
“Yah! Jangan! I-Itu... Ahh, hentikaan!”
Brett merayap liar ke seluruh tubuh Fine di balik pakaiannya, membuatnya terpingkal karena geli dan malu.
Aku dan Leo pun buru-buru mengalihkan pandangan, merasa baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya.
Marie pun bergegas untuk membantu, tapi pada saat itu, satu lagi Brett menyusup lewat penghalangku.
Aku dan Leo berusaha menghadangnya dengan kaki, tapi dia dengan lincah menghindar.
Dan kali ini, ia mendekati Marie yang sedang sibuk memperhatikan Fine.
Brett itu pun memanjat tubuh Marie dan masuk ke dalam rok-nya.
“Hya! Kamu! Berhenti!”
“Tidak! Jangan tarik celanaku!”
“Masuk ke mana sih! Dasar cabul!”
Keduanya kini kesulitan mengatasi makhluk kecil yang menjelajah di balik pakaian mereka.
Kami pun tidak bisa membantu, dan hanya saling menatap bingung. Namun, pada saat itulah, satu lagi Brett yang berbeda menerobos masuk.
Gerakannya sangat cepat. Dia memanjat tubuh Marie, melompat ke tubuh Fine, dan menggigit sesuatu sebelum kabur.
Seakan itu isyarat yang ditunggu, kedua Brett lain pun keluar dari pakaian Fine dan Marie, lalu kabur ke arah berbeda.
“Uuhh...”
“Makhluk cabul itu... Tidak bisa dibiarkan begitu saja.”
“Ya, tidak bisa dibiarkan. Mereka mengambil barang penting.”
“Kena kita... Sepertinya itulah cara pencuri beraksi, menggunakan Brett.”
Aku dan Leo sama-sama mengerutkan dahi.
Hiasan rambut di tangan Fine telah menghilang.
Menyadari hal itu, wajah Fine langsung pucat.
“H-Hiasan rambut pemberian Yang Mulia Kaisar...”
“Yah, kalau Fine yang meminta maaf, Ayah mungkin tidak akan menyalahkanmu. Malah, beliau mungkin akan berkata ‘serahkan padaku’ lalu turun tangan mencari pelakunya. Tapi lebih baik kita tidak membuat keributan. Kita cari sendiri saja.”
“Benar juga. Aku akan mencarinya bersama Marie. Marie, kamu tidak kehilangan apa-apa?”
“Tidak, saya tidak mengenakan perhiasan.”
“Mungkin mereka dilatih hanya untuk menargetkan benda-benda berharga. Sepertinya bukan pelaku tunggal.”
Mengatakan itu, Leo membawa Marie bersamanya untuk mengejar salah satu Brett.
Aku juga hendak mengejar yang lain, namun Fine menarik ujung bajuku dengan wajah seolah hendak menangis.
“S-Saya akan kembali saja...”
“Kamu memikirkannya terlalu dalam?”
“...Saya mengajak Tuan Al keluar karena saya ingin Anda bersantai... Tapi malah menyusahkan Anda lagi... Kalau saya tidak ada, mungkin Anda...”
Butiran air mata mulai menetes dari mata Fine.
Dia pasti merasa bersalah karena menyebabkan masalah.
Padahal itu bukan salah Fine. Pencuri itu kemungkinan besar tidak tahu kalau yang diincarnya adalah Fine. Kalau tahu, tak mungkin mereka bertindak ceroboh begitu.
Kali ini hanya kebetulan. Jadi tak perlu Fine terlalu merasa bersalah.
“Aku merasa lebih tenang saat ada kamu.”
“Eh...?”
“Jadi jangan bilang kamu menyusahkanku. Aku akan segera menemukannya. Tenang saja.”
“Tapi... Kita sudah kehilangan jejaknya...”
“Tak masalah. Kalau aku yang mencarinya, pasti ketemu.”
“Tapi... Kalau Anda menggunakan sihir dalam skala luas, keluaran sihirnya...”
Apa yang dikatakan Fine memang benar, Festival Perburuan Kesatria masih menanti. Sebaiknya aku tidak menghabiskan terlalu banyak sihir.
Namun, untuk kasus ini, aku tidak perlu sampai menggunakan sihir.
“Kamu kira aku selalu menyelesaikan segalanya dengan sihir?”
“T-Tidak begitu maksudku...!”
“Hewan seperti itu memang cerdas. Tapi tetap saja, pada akhirnya mereka hanyalah binatang. Kalau kamu mengingat itu, pasti akan terlihat titik terangnya.”
Mengatakan itu, aku mengajak Fine menyusuri gang sempit. Brett yang membawa hiasan rambut itu berlari lurus ke arah sini.
Brett bukan hewan dengan penglihatan istimewa. Jadi kemungkinan besar mereka menggunakan suara atau bau.
“Kalau mencari langsung sekarang rasanya agak sulit...”
“Kita bukan mencari hewannya. Kita cari benda yang memanggilnya.”
“Benda yang memanggilnya?”
“Masuk ke pakaian wanita atau menargetkan perhiasan, itu bisa dilatih. Tapi membawa benda ke tempat yang jauh, apalagi di tengah kerumunan seperti ini, pasti ada bantuan lain.”
“Kalau dipikir-pikir memang begitu. Jangan-jangan pelakunya tadi ada di dekat kita...”
“Kalau cukup nekat untuk melakukan itu, dari awal mereka tak perlu memakai Brett. Pasti ada cara lain.”
Dengan itu, aku mulai menyisir gang sempit.
Tak lama kemudian, aku menemukan sebuah kotak kecil tersembunyi di sela-sela bangunan.
Saat kubuka, tepat seperti dugaanku.
“Itu apa?”
“Batu Fonograf. Batu yang memancarkan suara yang direkam sebelumnya dalam interval tertentu. Biasanya digunakan untuk memancing monster. Suara yang diputar biasanya suara betina. Mungkin kali ini pun begitu. Kalau batu seperti ini diletakkan secara berkala, batu ini bisa memandu Brett ke tempat tujuan.”
“Begitu, ya! Jadi hiasan rambutnya diambil untuk diberikan sebagai hadiah!”
“Tepat sekali. Ada orang yang menggunakan kebiasaan seperti itu untuk mencuri.”
“Jahat sekali! Tak bisa dibiarkan!”
“Benar. Kurang ajar sekali mereka. Harus kita tangkap.”
“Iya!”
Dengan semangat Fine yang ceria, pencarian pun dimulai.
Aku perkirakan, batu-batu itu akan diletakkan di tempat yang tidak ramai, jadi kami menyusuri gang-gang sempit.
Dugaan itu tepat, batu-batu itu diletakkan terus ke arah barat.
Namun ada satu hal yang tidak kukira. Gangnya sempit sekali...
“Bertahanlah sebentar...”
Gang yang kami masuki ternyata sangat sempit.
Di tengah gang itu, kami membagi tugas mencari kotak. Lalu, “Ketemu!”
“Bagus!”
Aku menoleh ke arah Fine.
Dia sedang melompat kegirangan karena menemukan batu itu.
Namun karena melompat di tempat sempit, dia kehilangan keseimbangan.
Segera aku maju untuk menahannya, tapi yang terjadi malah kami jadi saling berpelukan.
“M-Maaf...!”
“T-Tidak, aku juga minta maaf...”
Mungkin karena wajah kami terlalu dekat, Fine buru-buru menjauh dariku.
Wajahnya merah padam, dan aku pun yakin wajahku pun tak jauh beda.
Saat itu, Brett tadi muncul dan mendekati Fine.
Dia menggosokkan kepalanya ke kaki Fine sambil mengeluarkan suara sedih.
“Kasihan... Tidak apa-apa, kami akan segera menolongmu!”
“Sepertinya sudah dekat. Ayo lanjut.”
Kami keluar dari gang dan menuju barat. Lalu kami melihat Brett yang berbeda masuk ke sebuah rumah penduduk.
Tampaknya di situlah markas mereka.
“Itu tempatnya, ya.”
“Benar. Kalau begitu, kita tangkap mereka.”
Aku merapikan rambutku yang acak-acakan, dan merapikan pakaian.
Setelah itu, aku menegakkan tubuh dan memanggil kesatria yang sedang berpatroli di sekitar.
“Kalian.”
“Y-Yang Mulia Leonard!”
“Kumpulkan para kesatria di sekitar sini. Kami telah menemukan markas pencuri.”
“A-Apa!? Seperti yang diharapkan dari Yang Mulia! Segera kami kerahkan!”
Para kesatria yang wajahnya bersinar penuh semangat langsung pergi memanggil yang lain.
Leo sudah berkunjung di berbagai desa membantu untuk menangkap pencuri, jadi reputasinya tampaknya memang luar biasa di kalangan para kesatria timur.
Dengan ini, seharusnya semuanya bisa selesai.
Namun saat aku menoleh ke belakang, Fine tampak tidak puas.
“Ada apa?”
“Yang menemukannya kan Anda, tapi...”
“Kalau aku yang bicara, para kesatria tidak akan bergerak. Akan gawat kalau mereka kabur, kan?”
“Itu memang benar, tapi... Nanti orang-orang pasti hanya memuji Tuan Leo lagi...”
“Kamu peduli dengan itu? Untuk apa? Kalau Leo yang dipuji, itu menguntungkan dalam perebutan takhta.”
Aku mencoba menenangkannya, tapi Fine tetap cemberut.
Sementara itu, para kesatria mulai berkumpul.
Aku memerintahkan mereka mengepung rumah itu, dan memberikan aba-aba untuk menyerbu.
Mungkin karena lengah, penyerbuan itu berjalan lancar.
Empat pria langsung ditangkap dan digiring keluar dari rumah.
Aku dan Fine lalu masuk ke dalam rumah itu.
Di dalamnya terdapat Brett yang dikurung dalam kandang, serta berbagai perhiasan hasil curian.
“Boleh minta waktunya sebentar?”
“Eh? A-Ah... Dalam kasus seperti ini, ada aturan dilarang menyentuh barang bukti...”
“Tenang saja. Hanya sebentar.”
Mengabaikan peringatan dari kesatria, aku memeriksa barang-barang curian itu. Dan benar saja, di sana ada hiasan rambut burung camar biru.
Aku mengambilnya dan menyerahkannya kepada Fine.
“Fine. Lepaskan kacamatamu.”
“Baik.”
“Anda...!!”
“Seperti yang kalian tahu, dia adalah Blau Mève. Hiasan rambutnya dicuri. Itu sebabnya kami mencarinya. Hanya orang-orang terdekatku yang tahu ini. Kalau tersebar bahwa hadiah dari Kaisar dicuri di kota Keer, para kesatria penjaga bisa kehilangan kepala mereka. Kalian boleh membicarakan hal ini, tapi pahamilah, jika hal ini bocor, yang akan rugi adalah kalian sendiri.”
“Y-Ya! Saya tidak melihat apa-apa!”
“S-Saya juga tidak, Yang Mulia!”
Kesatria yang bertugas menjaga barang bukti pun buru-buru berkata demikian.
Puas dengan jawaban mereka, aku keluar dari rumah bersama Fine.
Begitu para kesatria tak lagi mengawasi, aku pun kembali dari peran sebagai Leo menjadi diriku sendiri, Al.
“Fwah, sekarang tinggal menjelaskan semuanya pada Leo. Tapi syukurlah, hiasan itu benar-benar ketemu.”
“Terima kasih banyak. Semuanya berkat Anda.”
“Ah, aku sebenarnya tak melakukan hal besar.”
“...Aku, aku tak masalah kalau dunia tidak tahu tentang apa yang Anda lakukan... Karena aku tahu! Aku yang akan selalu mengingat bahwa Anda itu hebat dan keren! Mulai sekarang dan seterusnya! Selamanya!”
Fine menyatakan sesuatu yang entah kenapa begitu penuh semangat.
Napasnya memburu karena terlalu terbawa suasana.
Namun, perasaanku sama sekali tidak buruk karenanya.
“Begitukah? Kalau begitu, aku mengandalkanmu, ya.”
“Ya! Suatu hari nanti aku akan menerbitkan buku! Aku akan menuliskan semua pencapaian Anda, tanpa ada yang terlewat!”
“Kamu tak perlu melakukan itu.”
“Eh, kenapa begitu?”
Dan begitulah, sambil tertawa bersama, kami berdua kembali menikmati festival hingga akhir.
Bagian 6
Festival malam telah usai, dan tibalah hari pelaksanaan utama Festival Perburuan Kesatria.
Perayaan dimulai dengan pidato dari Ayahanda, namun beliau sendiri belum selesai mempersiapkan diri.
Sambil menunggu, aku dan Leo berdiri di atas tembok benteng, memandangi kota di bawah.
“Kalau sudah hari pelaksanaan begini, keramaiannya memang luar biasa.”
“Benar, ya. Ini hal baik. Penduduk timur sudah lama dirundung masalah monster, jadi saat seperti ini pasti sangat dibutuhkan.”
“Benar juga. Ayahanda pun tampaknya menyadari keterlambatan dalam menanggapi masalah mereka. Kabarnya beliau sudah lebih dulu membagikan uang pada rakyat timur. Semacam pesan agar mereka bisa menikmati festival.”
Beliau pasti memperhitungkan bahwa hanya menggelar festival saja tidak cukup untuk meredam ketidakpuasan.
Kalau rakyat tidak rela mengeluarkan uang, maka keberadaan festival pun tak ada artinya. Maka itu, sebagai pemicu agar mereka bisa membuka dompetnya, kaisar sendiri yang menanggung uang awalnya.
Rakyat timur yang sudah lama diteror monster memang penuh kewaspadaan. Tanpa dorongan seperti uang, mereka mungkin takkan membuka hati bahkan di tengah festival.
Dalam hal ini, Ayahanda benar-benar orang yang luar biasa. Namun, justru karena strategi itu pula pencuri seperti kemarin bisa muncul. Sejak saat itu, jumlah kesatria patroli bertambah, dan meskipun belum ada kejadian besar, insiden-insiden kecil terus bermunculan.
Bahkan Elna, salah satu Kesatria Pengawal Kekaisaran, sampai harus dikerahkan karena kekurangan tenaga.
“Kalian di sini rupanya?”
Suara dari belakang membuat kami serentak menoleh.
Ternyata, Elna telah berdiri di sana.
Dia tampaknya baru saja menyelesaikan tugas. Wajahnya terlihat sedikit lelah. Tapi mengingat kerasnya pelatihan sebagai kesatria pengawal, ini pasti bukan lelah fisik. Lebih mungkin kelelahan mental.
“Halo, Elna. Bagaimana kondisimu?”
“Sebelum hari utama saja aku sudah kelelahan, secara mental. Menangani berbagai keributan kecil, mengejar pencopet, aku tak biasa menjalani misi seperti ini. Bagaimana dengan kalian?”
“Aku? Biasa saja. Tapi aku merasa cukup puas, secara emosional.”
“Oh? Kenapa?”
Jarang-jarang Leo mengatakan hal seperti ini.
Dari sifatnya, biasanya dia hanya akan menjawab secara netral.
“Aku datang lebih awal dan sempat mengunjungi desa-desa yang terdampak serangan monster. Menurutku, sebagai bangsawan kekaisaran, kita punya kewajiban untuk mengangkat semangat mereka. Lagipula, pemenang perayaan ini juga akan mendapatkan hadiah uang. Aku ingin menyumbangkan hadiah itu, dan menambahkannya dengan uangku sendiri.”
“...Kamu benar-benar memikirkan hal seperti itu?”
“Hmm... Kita datang ke wilayah timur hampir bersamaan, kan? Selama itu, apa saja yang kamu lakukan, Al?”
“Aku menikmati festival malam.”
Saat aku menunjukkan hasil buruanku dari stan-stan terdekat, daging kadal panggang gosong, Elna memegangi dahinya sambil mendesah.
Rasanya berlebihan sekali, deh.
“Andai Al punya setidaknya satu sifat baik dari Leo, aku bisa tenang sebagai teman masa kecil kalian... Leo bahkan ikut menangkap pencuri kemarin, dan para kesatria di kota ini memujinya setinggi langit.”
“Aku juga ikut berkontribusi ke festival, tahu? Sebagai bangsawan kekaisaran, aku membelanjakan uangku di sana.”
“Haa...”
“Kakakku ini punya banyak sisi baik, kok. Cuma dia terlalu pandai menyembunyikannya, jadi orang-orang tidak menyadarinya.”
Leo pun menyela dan membelaku ketika Elna mulai kehilangan kesabaran. Memang ciri khasnya Leo.
Aku juga sudah memintanya agar tak membocorkan soal penyamaranku sebagai dirinya.
Tak ada gunanya membuka semuanya sekarang, dan akan jadi masalah kalau orang-orang mengira kami sering bertukar peran.
Begitu pula dengan Elna, aku tak memberi tahunya.
Meskipun dia berpihak pada kami, dia bukan benar-benar bagian dari fraksi kami.
“Kamu memang luar biasa, Leo. Ini sebagai hadiah, mau coba sedikit?”
“Terima kasih. Hm? Lumayan enak juga, ya.”
“Benar, kan? Aku punya bakat menemukan makanan enak di stan-stan.”
“Bakat seperti itu tak dibutuhkan seorang pangeran... Ayo, kita harus berangkat. Leo, kamu juga. Sudah hampir mulai.”
Diingatkan oleh Elna, aku buru-buru menyantap habis daging panggangku.
Dan begitulah, Festival Perburuan Kesatria pun akan segera dimulai.
* * *
“Negeri kita, Kekaisaran ini, adalah salah satu negara yang paling sedikit mengalami penderitaan akibat monster. Mungkin karena itu, penanganan terhadap monster selalu tertunda. Kali ini pun, karena kekuranganku, rakyat di wilayah timur harus menanggung derita. Aku sungguh merasa menyesal. Kumohon maafkanlah Kaisar yang bodoh ini.”
Di hadapan rakyat yang berkerumun, Ayahanda sedang berpidato.
Giliran kami tampil masih agak nanti.
Saat aku tengah menunggu di ruang yang sebenarnya adalah rumah bangsawan daerah yang disulap menjadi ruang tunggu, tamu tak terduga muncul di ruanganku.
Kupikir itu pasti Elna atau Fine, tapi orang yang datang justru seseorang yang agak di luar dugaanku.
“...Christa? Ada apa kamu datang ke sini?”
“Kakak...”
Yang berdiri di sana adalah Christa Lakes Ardler, adik perempuanku yang merupakan Putri Ketiga Kekaisaran dan baru berusia dua belas tahun.
Rambut pirangnya berkilau, dan dia punya mata berwarna kuning keemasan seperti batu amber. Kecantikannya disebut-sebut akan mampu menyaingi Fine suatu saat nanti, tapi orang-orang menyamakannya dengan boneka, karena dia hampir tak pernah menampilkan ekspresi.
Dengan memeluk boneka kelinci kesayangannya, Christa menatapku dari bawah tanpa menunjukkan raut apa pun, namun ada sedikit goyangan di dalam matanya.
Tanda bahwa dia tengah merasa cemas.
“Masuklah dulu. Ada apa? Kamu sedang bingung karena ada masalah?”
“Tidak... Bukan Christa yang punya masalah... Orang-orang di sini yang bermasalah...”
Penjelasan yang samar-samar.
Kebanyakan orang akan menyerah pada titik ini. Tapi tidak boleh begitu saat berhadapan dengan Christa.
Aku mempersilakannya duduk di kursi, lalu berlutut agar sejajar dengannya.
Anak ini adalah sosok yang sangat istimewa bahkan di antara keluarga kekaisaran.
Tak ada satu pun yang menyadari, atau mereka pura-pura tak menyadarinya, bahwa dia terlahir dengan kemampuan sihir alami.
Sihir seharusnya adalah sesuatu yang dipelajari melalui latihan. Tapi di dunia ini, ada segelintir orang yang sejak lahir bisa menggunakan sihir secara naluriah. Mereka disebut pengguna sihir bawaan, dan sangat langka serta kuat. Karena sihir yang mereka miliki unik, sihir mereka tak dapat ditiru oleh siapa pun.
Christa memiliki tanda-tanda itu.
Mungkin semacam ramalan masa depan atau sesuatu yang mirip. Dulu, saat Putra Mahkota meninggal, dia sempat menangis dan meramalkan kematian kakak sulungku tepat di depan mataku.
Kalau kabar ini tersebar, Zandra pasti dengan senang hati memanfaatkannya. Karena itu, aku telah memperingatkan Christa agar merahasiakannya dari siapa pun. Namun aku juga bilang, jika dia melihat sesuatu, datanglah langsung kepadaku. Dan kini dia datang, artinya, dia melihat sesuatu lagi.
“Kali ini kamu melihat apa?”
“...Kota ini dikepung banyak monster...”
Kemampuannya masih belum stabil.
Kadang dia melihat bayangan yang tampaknya dari masa depan, tapi baginya, gambaran-gambaran itu tampak seperti mimpi buruk.
Dan gambaran itu tidak selalu tepat. Tapi kadang benar terjadi.
Itulah kenapa tak bisa diabaikan.
“Kamu tak melihat seseorang mati secara langsung, kan?”
“Tidak...”
“Baik. Terima kasih sudah datang memberi tahu. Sekarang aku bisa lebih waspada.”
“...Kakak juga akan pergi?”
“Iya. Kita tak bisa bersama saat ini.”
“...”
Christa menunjukkan ekspresi tak suka.
Mungkin karena dia tidak senang harus ditinggalkan saat sedang cemas. Tapi aku tak bisa tetap tinggal hanya untuk menemaninya.
Jika benar kota akan dikepung monster, akan lebih mudah menanganinya dari luar.
“Permisi, ini Fine.”
Tepat waktu sekali. Fine masuk ke dalam ruangan.
Tangannya membawa kantong berisi kudapan.
Kerja bagus!
“Christa, aku perkenalkan. Ini temanku, Fine.”
“Senang bertemu denganmu, Yang Mulia Putri Christa. Saya Fine von Kleinert.”
“Aku tahu. Putri Camar Biru, Blau Méwe. Qanita tercantik di Kekaisaran.”
“Kamu tahu banyak juga, ya.”
Aku mengelus kepala Christa, tapi dia tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Tapi dia juga tidak menghindar.
Christa hanya akrab dengan aku, Leo, dan kakak perempuan kami yang tinggal di perbatasan. Bahkan dengan Ayahanda sendiri, dia tetap waspada. Itulah kenapa semua orang merasa kesulitan menanganinya.
Tentu saja dia akan tetap tinggal di sini kali ini juga, tapi meninggalkan Christa dalam kondisi seperti ini pun membuatku tak nyaman.
“Fine, maaf. Bisakah kamu menemaninya untuk sementara waktu?”
“Aku mau sama kakak saja...”
“Fine itu bisa dipercaya. Bahkan lebih dari aku. Lagipula, kudapannya enak, kan? Kamu suka makanan manis, ‘kan?”
Sambil berkata begitu, aku mengambil salah satu kue berbentuk kelinci dari kantong Fine dan memperlihatkannya pada Christa.
Dia mencicipinya dengan hati-hati, lalu menatap Fine lekat-lekat.
Aku tertawa kecil melihat reaksi itu.
“Selamat. Dia sudah akrab denganmu.”
“Eh? Apa begitu ya...?”
“Anak ini tidak akan memandangi orang yang tidak dia sukai. Dia tidak tertarik. Christa, sampai aku dan Leo kembali, Fine yang akan menjagamu. Tidak apa, kan?”
“Iya...”
“Begitulah. Maaf mengganggumu, tapi temani dia sebentar.”
“Dengan senang hati. Jika itu yang Anda harapkan.”
Fine pun tersenyum dan mulai memberikan kudapan lainnya pada Christa.
Sesaat aku teringat pada istilah “menyuapi binatang liar”, tapi terlalu kasar untuk diucapkan, jadi kutelan dalam hati.
Tepat saat itu, sorak sorai membahana dari luar.
Mungkin pidato Ayahanda telah selesai.
Sekarang giliran kami tampil ke depan.
“Yuk, kita pergi. Christa, kita harus menunjukkan diri pada rakyat.”
“...”
“Jangan pasang wajah tidak suka. Ini tidak bisa dihindari. Kita ini bangsawan kekaisaran.”
“...Kakak selalu kabur.”
“Kali ini tidak, ‘kan? Ayo, kita berangkat.”
Aku menggenggam tangan kecilnya dan membawanya keluar ruangan. Fine mengikuti dari belakang.
Namun tepat saat kami keluar, kami bertemu dengan seseorang yang sangat merepotkan.
“Wah? Sempat-sempatnya mengurus anak? Karena dapat anak ajaib dari keluarga Armsberg, ya?”
Zandra, Putri Kedua Kekaisaran.
Melihat Christa langsung bersembunyi di belakangku, wajah Zandra tampak tak senang.
“Kakak, jangan bilang mengurus anak. Merawat adik itu tugas wajar bagi seorang kakak.”
“Menjengkelkan. Jawabanmu pun terdengar santai sekarang.”
“Sebaliknya, Kakak tampak frustrasi. Ada yang tak berjalan sesuai rencana?”
Wajah Zandra sejenak menampakkan amarah luar biasa, tapi segera kembali tenang. Dia sadar bahwa marah di sini tak ada gunanya, hanya membuatnya terlihat lemah.
Meski aku tahu betul bahwa pembunuh bayaran itu berasal dari bawahannya, tak perlu kuucapkan di sini.
“Bersiaplah. Sekuat apa pun pedangmu, percuma kalau tak bisa menggunakannya. Akan kuajarkan itu padamu.”
“Huh! Kamu pikir bisa mengajari siapa?”
Mendengar kami berbicara, Gordon pun muncul.
Benar-benar mereka berdua, tidak bisa puas kalau tidak bertengkar.
Namun, tatapan tajam Gordon langsung tertuju padaku. Sejenak, rasanya seperti jantungku digenggam erat.
Memang benar, sebagai pria yang meraih banyak pencapaian di medan tempur, dia punya aura membunuh yang kuat. Tanpa sihir, aku pasti sudah kalah telak.
“Bagaimana, Arnold? Mau serahkan pedangmu padaku? Masih belum terlambat untukmu. Pergilah pada Ayahanda dan mengaku bahwa kamu tak pantas memilikinya. Sujud dan mohonlah agar aku yang menggantikannya.”
“Sayangnya, aku tidak seberani itu, Kakak. Mengatakan Ayahanda salah memilih berarti menantangnya, dan itu lebih menakutkan.”
“Hmph, kamu tak mampu memberikan hartamu pada yang lebih layak. Sungguh memalukan. Baiklah, kalian semua akan kuhancurkan.”
“Itu seharusnya kalimatku.”
Zandra dan Gordon saling menatap tajam.
Kami pun memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi diam-diam.
Tak ada gunanya terlibat dalam pertengkaran mereka.
“Kakak... Aku takut...”
“Tak apa. Fine bersamamu. Dan kalau terjadi sesuatu, aku akan datang menyelamatkanmu. Aku janji.”
“Benarkah...?”
“Iya, benar.”
Sambil berkata begitu, aku menggenggam erat tangan kecilnya.
Mungkin karena itu, Christa pun tersenyum tipis.
Tangan seseorang diletakkan dengan lembut di atas kepala Christa.
“Sayang sekali ya. Kamu cuma mengandalkan kakakmu saja?”
“Kakak Leo!”
Melihat Leo, Christa langsung memeluknya dengan ekspresi gembira.
Lalu dia menggenggam tangan kami berdua.
Raut wajahnya pun terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Kalau begini, aku tenang...”
“Kalau begitu bagus. Leo, kamu sudah putuskan akan berkeliling ke mana?”
“Aku akan keliling ke selatan.”
“Selatan? Bukankah itu wilayah yang hampir tidak terkena serangan monster?”
“Iya. Tentu saja meramaikan festival itu penting, dan kursi Duta Besar Penuh Kuasa juga sangat berarti. Tapi menurutku, yang paling penting adalah membasmi sebanyak mungkin monster dan menghapus keresahan rakyat timur. Mungkin hanya aku yang pergi ke selatan. Padahal di selatan juga ada monster.”
Sungguh pemikiran yang sangat Leo.
Jika semua orang hanya berfokus ke tempat yang banyak monster, maka tidak akan berdampak baik bagi wilayah timur secara keseluruhan.
Karena itu dia justru memilih tempat yang tidak didatangi siapa pun. Itu mulia, tapi...
“Lalu? Apa kamu punya peluang untuk menang?”
“Ada. Memang kerusakan akibat monster di selatan kecil. Tapi setelah aku tanyakan, rupanya karena ada monster yang sangat kuat menduduki wilayah itu.”
“Jadi kamu mengincar si kuda hitam.”
“Tepat sekali.”
Dilihat dari sifat festival ini, jika seseorang berhasil mengalahkan monster besar dan kuat, peluang menang akan meningkat drastis.
Kalau begitu, mengincar monster yang bahkan ditakuti monster lain adalah strategi yang masuk akal.
“Jadi alasan kamu keliling desa adalah karena itu?”
“Tentu saja juga untuk menghibur warga. Tapi ya, aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan.”
“Syukurlah. Lanjutkan dengan semangat, ya.”
“Kakak juga harus semangat, kalau tidak nanti dimarahi Elna, lho?”
“Tak masalah. Aku merasa level usahaku sekarang sudah pas.”
Sambil mengobrol seperti itu, kami bertiga keluar ke balkon.
Banyak rakyat yang menatap kami.
Setelah semua anak-anak Kaisar berkumpul dan menunjukkan diri di balkon, Ayahanda pun mengangkat suara dan menyampaikan deklarasi.
“Saatnya festival dimulai! Para kesatria pengawal akan menyatakan kesetiaan mereka kepada anak-anakku yang harus mereka lindungi! Anak-anakku akan menghormati para kesatria, dan para kesatria akan menghormati mereka! Bergerak bersama seakan satu tubuh, hadapilah monster-monster perkasa! Kita adalah keluarga kekaisaran! Bila mereka adalah musuh Kekaisaran, maka kita punya kewajiban untuk membinasakan mereka semua! Pergilah, anak-anakku! Para kesatriaku! Dengan ini, Festival Perburuan Kesatria dimulai!!”
“Uooooooooh!!”
“Semangat, Pangeran Eric!!”
“Bukan! Kali ini pasti jadi panggungnya Pangeran Gordon!”
“Putri Zandra pasti akan menunjukkan strategi yang luar biasa!”
“Aku mendukung Pangeran Leonard! Belum pernah aku bertemu orang sebaik dia!”
Satu per satu anak-anak Kaisar meninggalkan kediaman, masing-masing memimpin kesatria mereka.
Satu-satunya yang tinggal di rumah hanyalah Christa. Sisanya, termasuk aku, akan pergi memburu monster bersama para kesatria.
Masing-masing dari kami mengibarkan panji pribadi yang dirancang khusus untuk hari ini.
Panji milikku adalah salib putih di atas dasar hitam. Sebaliknya, Leo memakai salib hitam di atas dasar putih. Sungguh desain yang terlalu jelas dan seolah dibuat asal-asalan. Terlihat sekali bagaimana aku diperlakukan.
Tapi, aku tidak membenci desainnya.
“Sudah siap?”
“Tentu. Ayo berangkat.”
Mengatakan itu, aku memacu kudaku.
Di belakangku, Pasukan Kesatria Ketiga yang dipimpin Elna mengikutiku.
Sorak sorai hanya tertuju pada Elna. Tapi itu tidak masalah.
Tugasku adalah tetap berada dalam bayang-bayang dan bergerak diam-diam.
Jika ada seseorang yang menjalankan rencana dari balik layar, maka aku hanya perlu membalasnya dari balik layar pula.
Post a Comment