Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 4
Setiap Kisah Romantis Yang Hebat, Dulunya Dianggap Mustahil
Aku kembali ke rumah dalam keadaan seperti kehilangan jiwa, lalu menyerahkan hadiah—sepasang mug yang aku beli bersama Yuzuki dan Hidaka Mikoto—kepada ayah dan ibu sebagai ungkapan rasa terima kasih kami sehari-hari.
Kami membeli dua mug dengan desain yang sama namun berbeda warna, lalu memberikannya kepada mereka. Ayah begitu girang, sedangkan ibu tersenyum lembut dan berterima kasih.
Sekalian, aku, Yuzuki, dan Hidaka juga membeli mug masing-masing, sehingga rak piring di rumah kami kini dihiasi lima mug baru.
Karena terlalu bersemangat, ayah tanpa sengaja menjatuhkan mugnya, namun ibu berhasil menangkapnya di detik terakhir. Tak lama setelah itu, ayah menerima ceramah panjang yang luar biasa.
Mug yang menjadi lambang ikatan keluarga ini—tetapi, pada dasarnya, ia bisa hancur berkeping-keping hanya dengan sedikit benturan.
Setelah makan malam di rumah, aku mengantar Hidaka ke stasiun bersama Yuzuki, lalu kembali ke rumah.
Akhirnya aku mendapatkan waktu sendirian. Dengan ini, aku bisa memikirkan masa depan dengan tenang.
Amada Teruhito datang kembali ke SMA Hirasaka.
Sejak saat itu, aku sudah memperkirakan bahwa sesuatu yang merepotkan akan terjadi, tapi kenyataannya jauh lebih buruk dan menjengkelkan dari yang aku bayangkan.
Amada Teruhito berniat untuk pindah sekolah. Tapi dia tidak berencana melakukannya sendirian.
Dia berencana mengajak serta teman masa kecilnya sekaligus gadis yang dia cintai—Hidaka Mikoto—untuk pindah sekolah bersamanya.
Dengan memanfaatkan insiden penguntitan Hitsujitani Miwa, yang juga terjadi dalam kehidupan pertamaku.
Namun, sekalipun dugaanku benar, apakah rencana itu akan berjalan sesuai harapan mereka?
Sejujurnya, itu terasa seperti tantangan yang terlalu tinggi.
Pertama, memaksa Hidaka untuk pindah sekolah adalah hal yang sangat sulit.
Meski Amada dan Hidaka telah menghabiskan waktu lama bersama sebagai teman masa kecil, selama itu Hidaka tidak pernah membuka hatinya kepada Amada.
Hidaka adalah gadis yang sangat kuat tekadnya (dalam berbagai arti). Aku tidak percaya dia akan begitu mudah mengambil keputusan untuk pindah hanya karena tertekan oleh Amada.
Selain itu, kalaupun Amada dan Hidaka benar-benar pindah sekolah, apakah mereka akan berakhir di sekolah yang sama dengan begitu kebetulan?
Kemungkinannya sangat kecil. Kecuali keberuntungan benar-benar berpihak pada mereka, itu mustahil. Tapi, berpikir dengan logika biasa tidak akan cukup.
Meski enggan aku akui, seandainya di dunia ini ada dewa romcom (romantis-komedi), maka Amada pastilah anak kesayangan dewa itu.
Karena itu, kalau Amada berhasil menjebak Hidaka, maka kepindahan mereka akan berjalan mulus, dan mereka akan diterima di sekolah yang sama.
Bukannya menyingkirkan penghalang (aku), mereka justru akan menjauh dengan membawa "heroine utama".
Tentu saja, ini bisa saja hanya spekulasiku yang berlebihan atau mungkin kesalahpahaman mendasar.
Memang, dibandingkan dengan kehidupan pertamaku, kekuatan Amada saat ini jauh menurun.
Posisinya pun lebih buruk.
Ditambah lagi, hubungan antara Amada Teruhito dan Hidaka Mikoto sekarang jauh lebih buruk daripada di kehidupan pertama.
Buktinya, sejak datang ke sekolah, Amada belum sekali pun berinteraksi dengan Hidaka. Karena itu, mungkin saja, di kehidupan kedua ini, tidak akan terjadi masalah penguntitan.
Mungkin hanya akan ada kisah romcom biasa antara Amada Teruhito dan Hitsujitani Miwa, sesama teman masa kecil.
Kalau begitu, itu akan menjadi hasil terbaik.
Meski aku sama sekali tidak memiliki perasaan positif terhadap Amada atau Hitsujitani, ironisnya, aku mungkin akan menjadi orang yang paling mendoakan kebahagiaan mereka. Namun, aku tidak bisa hanya bergantung pada doa.
Karena lawanku adalah Amada Teruhito.
Lelaki yang, walau ditolak berulang kali oleh Hidaka Mikoto, tetap menafsirkan semuanya secara egois dan tidak pernah menyerah.
Bahkan, saat itu, ia tidak punya rasa etika atau moral sedikit pun. Selama dia tidak dijerat oleh hukum, dia mampu mencabut nyawa seseorang tanpa ragu.
Kehidupan pertamaku adalah bukti dari itu. Karena itulah, aku harus selalu bersiap menghadapi skenario terburuk. Tapi... sayangnya, dalam kondisiku saat ini, aku nyaris tidak bisa melakukan apa-apa.
Sama seperti waktu dulu, ketika Amada menggelar "drama penghukuman palsu", aku tidak bisa bertindak duluan terhadap Amada.
Karena, bahkan jika semua dugaanku benar, saat ini Amada maupun Hitsujitani belum melakukan apa pun.
Kalau aku bertindak sekarang, aku hanya akan terlihat seperti orang yang mencari masalah. Pihak yang menunggu untuk diserang selalu dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.
Itulah sebabnya aku harus mengantisipasi rencana Amada dan mengambil langkah pencegahan sejak awal. Namun, aku kekurangan informasi, sehingga hampir tidak ada strategi yang bisa aku pikirkan.
Hal terbaik yang mungkin bisa kulakukan sekarang hanyalah... tetap berada sedekat mungkin dengan Hidaka.
"Haaah... Kenapa aku harus memikirkan hal-hal seperti ini..."
Siswa SMA biasa pasti tidak akan memiliki kekhawatiran seperti ini. Tentu saja, sedikit masalah mungkin ada, tapi tidak seharusnya sampai separah ini.
Romcom itu, pada dasarnya, keajaiban yang tidak akan pernah terjadi dalam dunia nyata.
Lalu kenapa keajaiban itu justru terjadi tepat di dekatku, dan mencoba menghancurkan hidupku?
â—‡ â—‡ â—‡
"Tolong! Kumohon, pinjamkan aku kekuatan kalian!"
Pagi hari Senin, Amada Teruhito membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di hadapan teman sekelas kami. Awal dari keputusasaan.
Di sebelah Amada, berdiri Hitsujitani Miwa, sang heroine utama acara ini, dengan wajah yang sedikit memancarkan ketakutan.
Tsukiyama, Iba, dan Ushimaki berdiri dengan ekspresi serius di samping Hitsujitani.
"Aku tahu... aku paham kalau kalian tidak percaya padaku. Tapi kalau begini terus, Miwa akan..."
Awalnya, teman-teman sekelas tidak terlalu menunjukkan minat, tapi ketika mendengar kata "Hitsujitani", ekspresi mereka langsung berubah, terutama para siswa laki-laki.
"Hitsujitani kenapa?"
Yang bertanya adalah Yoshikawa — pria yang merasa dirinya keren ketika pada hari pertama Hitsujitani pindah, dia dikira sudah punya pacar.
Jika itu demi Hitsujitani, mereka mau membantu. Bukan sekadar kata-kata, sikap mereka dengan jelas menunjukkan itu.
Amada memandang Hitsujitani dengan tatapan yang agak rumit.
"Miwa, boleh aku yang cerita?"
Mendengar itu, Hitsujitani menggeleng pelan.
"Nggak, biar aku sendiri yang jelasin."
Lalu, Hitsujitani menceritakan semuanya pada teman sekelas.
Bahwa sebenarnya dia aktif sebagai Vtuber.
Bahwa karena kesalahan saat siaran, ada seorang penggemar laki-laki yang mengetahui alamat rumahnya. Bahwa pria itu kemudian jadi penguntit, dan karena merasa terancam, dia terpaksa pindah sekolah..Namun, meski sudah pindah, pria itu kembali menemukan alamat barunya.
Beberapa teman sekelas yang sudah mengenal Vtuber bernama Hanatori Miyabi tampak terkejut saat tahu itu adalah Hitsujitani Miwa, tapi hanya sebentar.
Para gadis menunjukkan ketakutan terhadap keberadaan seorang stalker, sementara para pria menunjukkan kemarahan. Tapi, itu lebih banyak sekadar keadilan palsu.
Tentu saja, mungkin ada beberapa yang benar-benar mengkhawatirkan Hitsujitani. Tapi itu hanya sebagian kecil. Sisanya, berharap bisa menjadi sosok istimewa bagi Hitsujitani dengan membantu, atau merasa bangga bisa berteman dengan selebriti. Padahal, mereka sendiri sama sekali tidak jadi terkenal.
"Itulah kenapa, aku ingin minta bantuan kalian. Tapi ini bahaya, jadi kalau memang keberatan──"
"Udah pasti kami bantu!"
Sebelum Hitsujitani menyelesaikan kata-katanya, Yoshikawa berteriak layaknya seorang protagonis.
Padahal protagonis sebenarnya adalah Amada, si teman masa kecil yang berdiri di sebelah Hitsujitani.
Setelah itu, para pria lain (kecuali aku) juga berjanji akan membantu sepenuhnya, sementara para gadis berkata mereka akan membantu sebisanya, tapi berharap jangan terlalu berharap banyak. Mungkin rasa takut terhadap stalker lebih besar daripada tekad mereka.
Hitsujitani tidak pernah menyalahkan para gadis.
"Aku ngerti kok. Cukup dengan tetap jadi teman, itu aja udah bikin aku merasa sangat kuat," katanya sambil mengikat para gadis itu dengan rantai persahabatan.
Semua ini terasa seperti pengulangan dari kehidupan pertamaku. Perbedaan dengan waktu itu hanyalah: sekarang, aku tidak termasuk dalam para pria penuh semangat itu, dan Kanigawa tidak ada di grup Amada.
Meskipun, dulu Kanigawa juga bukan orang yang suka tampil di saat-saat seperti ini, jadi ada atau tidak ada dia, tidak berpengaruh besar.
Begitu lah, para siswa laki-laki kelas 1-C (kecuali aku) pun bersatu. Demi melindungi gadis bernama Hitsujitani Miwa dari stalker palsu.
"……Haa."
Aku sudah tahu ini akan terjadi, tapi melihatnya langsung seperti ini membuat rasa frustrasiku semakin jelas.
Pada akhirnya, event stalker Hitsujitani tetap terjadi.
Ini skenario yang sangat tidak menguntungkan buatku.
Kalau bisa, aku ingin langsung membongkar semuanya.
Bahwa Hitsujitani berbohong. Bahwa dia bersekongkol dengan pria itu. Bahwa semua ini hanya rekayasa agar dia bisa mempererat hubungannya dengan Amada.
Tapi, meskipun aku bicara, tidak ada yang akan percaya. Aku tidak punya kekuatan untuk mempengaruhi siapa pun.
"Semua, makasih. Kalau begitu, soal rencana ke depannya... Kouki, boleh?"
Setelah berterima kasih kepada para pria, Amada menoleh ke arah Iba.
"Serahkan padaku. Sepertinya stalker itu sudah mengetahui kalau Miwa-san sekolah di sini. Jadi, saat jam pulang, kita semua akan bagi peran──"
Iba dengan tenang menjelaskan strategi melawan stalker.
Baru saja kehilangan posisinya di sekolah, tapi begitu Amada kembali, Iba langsung kembali jadi pemimpin.
Sepertinya benar, seorang heroine memang bisa bersinar saat protagonisnya ada di dekatnya.
Mendengarkan suara Iba, aku membuka smartphone tanpa melihat ke arahnya. Yang aku buka adalah grup chat yang dulu digunakan setiap hari sebelum Amada kembali.
Anggotanya adalah: aku, Hidaka, Tsukiyama, Ushimaki, dan Iba.
[Ishii, liburan musim panas kamu kosong? Mau ke vila keluargaku di Okinawa?]
[Nggak. Lagi pula, itu kan bukan punyamu, tapi milik ayahmu. Jangan gampang bergantung sama orang tua.]
[Ouji-kun, kebiasaan kamu itu lho. Tapi sekalian aja kita berempat ke sana. Pasti seru!]
[Tsuki, kamu tuh ceroboh banget. Aku sih tergantung kegiatan klub, tapi kayaknya bisa.]
[Kenapa kalian semua udah menganggap aku ikut?]
[Kayak yang Kazupyon bilang. Yang pergi cuma aku sama Kazupyon aja.]
[Tolong jangan abaikan aku gitu aja? Itu kan vila keluargaku!]
Itulah obrolan terakhir kami — tepat sehari sebelum Amada kembali ke sekolah. Sejak itu, tidak ada satu pun yang mengirim pesan lagi ke grup itu.
"…………Sial."
Aku bergumam kecil, tidak mampu mengendalikan emosiku sendiri.
â—‡ â—‡ â—‡
Waktu istirahat. Begitu kelas berakhir, para siswa laki-laki langsung menyerbu Hitsujitani.
Alasannya secara formal adalah untuk berdiskusi tentang stalker, tapi kenyataannya, mereka hanya ingin berinteraksi dengannya.
Dalam sekejap, Hitsujitani dikerubungi oleh hampir semua laki-laki di kelas.
Amada juga mendekat untuk bergabung dalam diskusi, tapi seperti protagonis khas dalam cerita romansa komedi, dia malah terpinggirkan, mengeluh, "Padahal aku yang minta bantuan…"
Dia mungkin berpikir bahwa saat banyak laki-laki berkumpul seperti ini, tugas protagonis sejati adalah bersikap seperti figuran.
Saat aku mengabaikan tingkah para lelaki itu tanpa menunjukkan ketertarikan apa pun, Tsukiyama datang menghampiri tempat dudukku.
"Hei, Ishii. Bisa sebentar—"
"Aku menolak."
"Aku bahkan belum bilang apa-apa!"
"Kalau bukan soal minta pendapat tentang masalah Hitsujitani atau ajakan untuk membantu, aku mau dengar."
Tsukiyama menunjukkan ekspresi pahit yang sangat kentara. Yah, selain soal itu memang tak mungkin ada topik lain. Namun, Tsukiyama tetap pantang menyerah dan melanjutkan.
"Setidaknya pendapatmu, kan? Maksudku, kau pintar berpikir..."
Aku bukan tipe yang berpikir cepat. Aku hanya memaksa diriku untuk berpikir mati-matian karena di kehidupan pertamaku aku kehilangan nyawaku, juga keluargaku.
"Please, kumohon..."
Tsukiyama mungkin tidak bermaksud buruk, tapi ini tindakan yang sangat merepotkan.
Anak-anak kelas kami mungkin tidak akan mempermasalahkan keputusanku untuk tidak terlibat dalam masalah Hitsujitani. Tapi kalau aku menolak ajakan Tsukiyama secara terang-terangan begini, bisa muncul satu keraguan kecil:
"Apa mungkin dia punya alasan tertentu untuk tidak ikut?"
Tentu saja, saat ini belum ada yang memikirkan itu, termasuk para gadis yang tidak ikut terlibat. Tapi bagaimana kalau nanti, ketika Hidaka dijadikan kambing hitam palsu? Kalau aku membelanya?
Mereka bisa saja berpikir, "Dia tahu dari awal, makanya tidak mau membantu." Lalu tak ada yang akan percaya lagi padaku.
"Kalau Hitsujitani sedang kesulitan, aku ingin membantunya. Tapi aku rasa aku nggak akan banyak berguna..."
Ini permohonan tulus dari Tsukiyama, tanpa kesombongan seperti saat kami bertengkar dulu. Itulah perubahan Tsukiyama di kehidupan kedua ini—satu-satunya dari anak laki-laki yang benar-benar bertindak dengan rasa keadilan.
Kenapa sih Hitsujitani malah jatuh cinta ke Amada, bukan ke Tsukiyama? Tsukiyama jelas lebih baik sebagai lelaki.
Aku mengeluh dalam hati.
"Kalau kita tahu wajah stalkernya, kita bisa bagi tugas untuk mencari. Itu bisa sedikit meningkatkan keamanan."
Karena tak ada pilihan lain, aku memberinya sedikit saran.
"Oh! Bener juga itu!"
"Kalau nanti tahu wajahnya, hubungi aku dan Hidaka juga."
"Ya! Makasih, Ishii!"
Sepertinya Hitsujitani mendengar percakapan kami. Dia memasang ekspresi agak pahit. Ini bukan sekadar saran. Ini adalah bentuk kecil dari perlawananku.
Aku punya sedikit keunggulan: aku sudah bertemu dengan si stalker. Dan Hitsujitani tahu itu juga. Karena aku melihat mereka berdua berbelanja bersama.
Itulah kenapa dia tidak ingin aku tahu wajah stalkernya. Karena kalau aku buka suara, akan jadi masalah.
Aku bisa saja bilang, "Aku lihat dia belanja berdua dengan cowok itu." Tapi, bahkan kalau aku mengatakan itu, dampaknya kecil.
Kalau Hitsujitani bilang, "Itu orang lain, cuma mirip aja," semuanya akan selesai. Dalam situasi sekarang, ingatan samar dari aku saja tidak akan mengalahkannya.
Manusia selalu memilih hasil yang lebih nyaman ketimbang kebenaran. Mereka ingin menjadi pahlawan untuk Hitsujitani Miwa. Mereka ingin Hitsujitani Miwa tetap menjadi heroine yang tragis. Keinginan itu membuat mereka menolak kenyataan pahit.
Sungguh menjijikkan.
"Kalau begitu, kita cek dulu ke Hitsujitani soal stalkernya... Lalu tinggal bagi tugas, siapa yang bertanggung jawab," kata Tsukiyama, tak menyadari sama sekali niatku di balik saran itu.
Dia tampak senang karena bisa mendapat saran dariku.
Orang ini benar-benar tulus ingin membantu.
"Mungkin ini bakal jadi situasi berbahaya, jadi yang sudah biasa berantem lebih cocok."
"Benar. Orang kayak kau, Tsukiyama, cocok karena kalau terjadi apa-apa, kita nggak akan terlalu merasa bersalah."
"Akhirnya malah dihina juga! Tapi... makasih, ya."
Mengatakan itu, Tsukiyama meninggalkan mejaku dan bergabung dengan kerumunan anak laki-laki di sekitar Hitsujitani.
Belum ada aksi nyata, tapi situasinya jelas makin memburuk.
â—‡ â—‡ â—‡
Situasi ini benar-benar seperti domino yang jatuh satu demi satu setelah satu kejadian kecil.
Begitu jam pelajaran selesai, Iba dan Fuuka datang ke kelas 1-C dan berbicara dengan Hidaka.
"Hei, Hidaka-san. Bisa bicara sebentar—"
"Ogah."
"Kenapa langsung nolak mentah-mentah sih!"
Rasanya seperti deja vu dari jam istirahat tadi.
Ushimaki yang menyapa langsung ditolak dingin dengan mode ratu es Hidaka. Ushimaki sampai terlihat hampir menangis. Segera, Iba menggantikan Ushimaki untuk berbicara.
"Maafkan kami. Tapi ada sesuatu yang sangat penting yang ingin kami tanyakan pada Hidaka-san. Bolehkah kami berbicara sebentar saja?"
"Apa?"
Hidaka akhirnya menunjukkan niat untuk mendengarkan, membuat Ushimaki mengeluh, "Kenapa aku yang..."
Kalau ini Hidaka yang dulu, Iba pasti juga akan langsung ditolak tanpa didengar. Tapi sekarang, sikap Hidaka berubah.
Walaupun tetap keras pada Ushimaki, dia mulai sedikit melunak terhadap Iba, dan kadang mau mendengarkan.
Dari sudut pandangku, karena pengalaman hidup di kehidupan pertama, sebenarnya aku harus lebih waspada terhadap Iba dibandingkan dengan Ushimaki, tapi sepertinya bagi Hidaka tidak begitu. Aku sendiri tidak tahu alasannya.
"Aku dan Moeka-san juga ikut membantu soal kasus Hitsujitani-san, lho. Tapi, aku kurang cocok untuk urusan kasar, jadi untuk hal-hal seperti menghadapi si stalker dalam keadaan telanjang, akan aku serahkan pada Moeka-san."
"Aku nggak akan sampai segitunya juga, tahu!"
Seperti biasa, si gadis sialan ini tetap saja gila dalam caranya. Tapi, ya sudahlah, lupakan candaan itu.
Kenapa mereka berdua mendekati Hidaka?
"Langsung ke pokok pembicaraan, sebelumnya Hidaka-san dan Ishii-san sempat berangkat sekolah bersama Hitsujitani-san, kan?"
"Itu dia yang ngikutin sendiri. Aku cuma berangkat sama Kazupyon dan Yuzu-chan."
"Saat itu, apa kalian sudah tahu bahwa Hitsujitani-san adalah Hanatori Miyabi?"
"Tahu."
Sial! Sial! Memang, Iba itu merepotkan!
Mendengar jawaban Hidaka, Iba bergumam,
"Jadi, artinya Ishii-san, Hidaka-san, dan adiknya Ishii-san tahu tentang itu, ya."
Ini benar-benar buruk kalau dikatakan di depan umum.
"Lalu, saat berangkat, kalian tidak melihat laki-laki aneh, kan? Misalnya, ada pria mencurigakan yang terus memperhatikan Hitsujitani-san?"
"Nggak tahu. Aku nggak peduli."
Obrolan ini, sebenarnya, tidak penting. Yang penting itu justru percakapan sebelumnya.
Seperti biasa, Hidaka adalah pusat perhatian kelas. Bahkan saat semua orang sedang serius membahas soal Hitsujitani, dia tetap jadi perhatian.
Dengan kata lain, Iba sudah membuat semua orang tahu—secara tidak langsung—bahwa Hidaka memang tahu soal identitas Hitsujitani sebagai Hanatori Miyabi.
Ini semacam persiapan. Karena tahu itu, Hidaka bisa saja membocorkan informasi ke stalker. Iba berusaha membuat orang-orang berpikir begitu.
"Ngomong-ngomong, katanya Hidaka-san juga punya teman yang suka banget sama streamer, ya?"
"Ada, terus kenapa?"
Hidaka menatap Iba dengan pandangan tajam.
Benar-benar, Iba itu sebegitu merepotkannya.
Apa yang Iba lakukan sekarang adalah menciptakan 'motivasi'. Hidaka dekat dengan Kitami Sae, seorang gadis yang suka streamer dan bahkan jadi streamer sendiri, walaupun tidak sukses.
Makanya, bisa dibilang, demi Kitami, Hidaka mungkin saja mencoba menghancurkan Hitsujitani, si streamer populer.
Semua orang di kelas tahu kalau Hidaka kalau sudah sayang sama seseorang, bisa melakukan tindakan berlebihan. Dengan kata lain, alasan itu sudah cukup kuat dijadikan motif.
Di hadapan seluruh kelas, Iba membangun cerita, dengan fakta, yang membuat seolah-olah Hidaka punya alasan untuk berbuat jahat.
"Tidak, ini cuma obrolan ringan saja. Kalau temanmu ada masalah, jangan ragu untuk cerita ke kami, ya. Kami pasti akan bantu."
Dengan senyum menyebalkan, Iba kemudian kembali bersama Ushimaki ke tempat Amada.
Karena kasus stalker ini belum benar-benar selesai, mereka belum bisa langsung menjebak Hidaka. Tapi, perlahan dan pasti, perangkap sedang dipersiapkan.
Kalau terus begini dan aku tidak melakukan apa-apa...
â—‡ â—‡ â—‡
"Hidaka, ayo."
Saat istirahat siang, aku memanggilnya, dan Hidaka menatapku dengan mata besarnya yang membelalak.
Dia berkedip beberapa kali, seolah sedang memastikan kebenaran, lalu berpikir sejenak, sebelum kembali menatapku lagi. Tatapan intensnya bikin aku merasa malu.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang membuatnya kaget.
Toh, selama di sekolah (dan sebenarnya hampir sepanjang hari), kita memang selalu bareng.
Semua teman sekelas juga sibuk berdiskusi soal stalker Hitsujitani, jadi tidak ada yang memperhatikan kami. Kecuali Amada, yang terus melirik ke arah kami dengan tatapan penuh dendam... Dia benar-benar belum menyerah, rupanya.
"Nggak mau pergi?"
Karena tidak ada jawaban, aku bertanya lagi. Dan tiba-tiba, wajahnya memerah dengan hebat.
"Y-Ya, a-aku... i-ikut..."
Dengan gerakan kaku seperti boneka rusak, Hidaka berdiri.
Dia memang cantik dari sananya, tapi sekarang dia terlihat jauh lebih menawan karena sikapnya yang sangat malu-malu.
Kenapa tiba-tiba jadi begini?
Saat aku masih bertanya-tanya, Hidaka mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik.
"Ini pertama kalinya Kazupyon ngajak aku. Aku senang."
...Hanya karena itu!?
Malu bercampur rasa bersalah menghantamku, dan aku mulai berjalan pelan, menyesuaikan langkah dengan Hidaka yang bergerak lebih lambat dari biasanya.
"Hari ini hari yang indah. Sangat indah. Aku rasa kita harus menetapkannya sebagai hari peringatan ajakan pertama."
"Kamu nggak perlu sebahagia itu... Maksudku, aku akan ajak kamu lagi kok."
"Kazupyon, itu artinya kamu mau membuat banyak hari peringatan denganku..."
"Bukan begitu! Kalau kita buat peringatan dari hal sekecil ini, tiap hari bakal jadi hari peringatan, tahu!"
"Tepat sekali. Sebenarnya, setiap hari bersamamu itu selalu penuh kebahagiaan dan pantas dirayakan."
"Nggak ada hal baru sebanyak itu, kan!?"
"Tapi buatku, setiap hari bersama Kazupyon selalu penuh dengan hal baru."
...Dia benar-benar kehilangan remnya.
Dan parahnya lagi, dia tersenyum begitu manis sampai-sampai aku tidak tahan melihatnya.
Aku mengajak Hidaka hari ini bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk menyampaikan sesuatu tentang kasus Hitsujitani.
Aku sedikit takut menyampaikan pikiranku yang mungkin terlalu berlebihan, tapi aku tahu lebih baik mengatakannya daripada diam saja.
Aku harus bertindak supaya Hidaka tidak dijadikan korban.
Hanya karena aku berhasil menang sekali, bukan berarti aku bisa percaya diri dan menganggap kemenangan kedua akan mudah.
Terlebih lagi, target kali ini bukan aku, tapi Hidaka. Itu berarti pertahanan diri dari orang yang bersangkutan juga mutlak diperlukan.
Sekali lagi, terbentuklah "harem Amada". Anggota musuh kali ini adalah Amada, Tsukiyama, Iba, Ushimaki, dan Hitsujitani.
Namun, di antara mereka, keberadaan Tsukiyama sebagai kekuatan musuh cukup meragukan. Karena Tsukiyama, yang bergerak berdasarkan rasa keadilan, bisa menjadi sekutu ataupun musuh bagi Amada.
Meskipun Amada adalah sahabat dekatnya, Tsukiyama tidak akan mau terlibat dalam kejahatan. Namun, karena dia punya sifat polos dan mudah dimanfaatkan, ada kemungkinan dia akan terjebak oleh kata-kata manis dan malah bertindak merugikan kami. Seperti yang terjadi saat istirahat tadi.
Lalu, ada Ushimaki dan Iba. Melihat mereka telah memberikan motivasi kepada Hidaka untuk menjebak Hitsujitani, bisa dipastikan mereka telah berpihak pada musuh.
Kalau berpikir secara normal, setelah kejadian itu, perasaan cinta mereka terhadap Amada seharusnya sudah padam. Namun, lawannya adalah Amada Teruhito, seorang protagonis "love comedy" yang dicintai dewa genre tersebut.
Kemungkinan besar, Amada sudah berhasil memulihkan perasaan mereka dengan cara yang tak terpikirkan olehku... atau lebih tepatnya, dia pasti sudah melakukannya.
Kalau tidak, tidak mungkin dua orang itu masih mau berada di samping Amada. Selain itu, keduanya adalah lawan yang sangat menyusahkan.
Meskipun posisi mereka memburuk dibandingkan di kehidupan pertamaku, itu tidak berarti kemampuan mereka menurun. Terutama Iba, dia sangat berbahaya.
Karena pernah dikalahkan cukup parah olehku sebelumnya, ada kemungkinan kewaspadaannya meningkat dan kemampuannya malah bertambah.
Selain itu, meski tidak separah Amada, etika Iba juga cukup rusak. Dia adalah tipe gadis yang bisa melakukan hal-hal gila tanpa ragu...!
Terakhir, Hitsujitani. Orang ini juga punya kemampuan yang merepotkan.
Dalam hal daya tarik atau kemampuan mengumpulkan orang, dia adalah yang terkuat di antara "harem Amada" saat ini. Yang lebih menakutkan lagi adalah pengaruh Hitsujitani di luar sekolah.
Dia adalah seorang Vtuber populer — sebuah titel yang luar biasa kuat. Faktanya, di kehidupanku sebelumnya, dia yang telah menekan ayahku dan Yuzu sampai ke sudut.
Karena itu, aku ingin memperingatkan Hidaka agar lebih berhati-hati…
"Tapi, dari sekarang aku ini bukan Hidaka Mikoto lagi, melainkan Ishii Mikoto! ...Bagus! Bagus, bagus, bagus!"
Dengan wajah ceria seolah sudah menikah denganku di pikirannya, dia dalam kondisi "kegembiraan tak terbatas", membuatku sulit berbicara.
Untuk sekarang, karena waktu istirahat masih ada, aku memutuskan untuk menunggu sampai Hidaka tenang sebelum memberitahunya—
"Jadi, benda berbahaya tak berperasaan itu sedang merencanakan apa?"
"Cepat sekali beralih mode, ya!"
Padahal baru sedetik lalu dia begitu riang, sekarang sudah berubah menjadi serius. Apa kau punya dua hati, hah?
"Soalnya, kalo Kazupyon memanggilku khusus, pasti ada sesuatu yang penting, kan? Mungkin soal orang itu juga."
"Y-ya, memang sih..."
Seperti biasa, kerja keras dan nalurinya menakutkan.
"Kalau begitu, aku akan dengar ceritamu baik-baik dulu, baru nanti kita bisa senang-senang lagi~"
"Eh? Tunggu, kenapa tiba-tiba ada jadwal aneh dimasukkan?"
"Apa, tidak ada hal penting yang mau dibicarakan?"
"Bukan itu masalahnya!"
Ciuman... kau mau ciuman di meja luar kantin ini? Itu sesuatu yang dilakukan berdua di tempat sepi, bukan... eh, beda, bukan itu maksudnya!
"Pokoknya, setelah selesai makan baru kita bicara. Aku juga lapar."
"Baiklah. Mau disuapin?"
"Tidak, terima kasih."
Aku menolak dengan tegas, dan Hidaka pun cemberut sambil menatapku dengan wajah tidak puas. Mengabaikannya, aku melanjutkan makan siangku.
Setelah selesai makan, aku akhirnya menceritakan dugaanku kepada Hidaka berdasarkan pengalaman dari kehidupanku yang pertama.
Bahwa Amada Teruhito dulu pernah mengatakan padaku kalau dia akan pindah sekolah.
Bahwa kasus "stalker Hitsujitani" yang sekarang ini sebenarnya hanya rekayasa dari Hitsujitani sendiri.
Bahwa setelah kasus stalker ini diselesaikan, akan ada seseorang yang dijadikan kambing hitam sebagai penyebar informasi tentang stalker itu. Dan bahwa target yang dimaksud bukan aku, melainkan Hidaka.
Serta dugaan bahwa Amada berencana membuat Hidaka pindah sekolah bersama dirinya agar bisa bersama di sekolah lain.
Kalau orang biasa, mendengar cerita seperti ini pasti akan bilang aku berpikiran terlalu jauh dan tidak mau mendengarnya dengan serius. Namun, Hidaka mendengarkan sampai akhir.
"Begitu ya... Memang tidak bisa dikatakan itu mustahil, ya..."
Aku diam-diam mengucap syukur dalam hati karena dia mau menerimanya.
Hidaka bukan tipe yang asal mengiyakan semua perkataanku.
Bahkan dulu, waktu aku bertindak salah soal Kitami, dia yang menegurku dengan lembut. Itulah kenapa aku benar-benar senang karena dia mempercayaiku kali ini.
"Sepertinya waktu istirahat tadi, Iba dan yang lain mendekatimu juga bagian dari rencana ini. Mungkin untuk mempersiapkan alasan palsu kenapa kau menjebak Hitsujitani."
"Eh? Masa sih?"
"Ya, kemungkinan besar begitu."
"Hmm... Tapi anak-anak itu..."
"Ada yang mengganggumu?"
"Untuk sekarang tidak. Tapi yang lebih kupikirkan adalah soal ini: kalau memang aku targetnya, walaupun dia mau memaksaku pindah, aku tidak akan pernah mau pindah dari kemauanku sendiri. Tidak mungkin aku mau berpisah dari Kazupyon."
Mendengar Hidaka mengatakannya dengan tegas, aku merasa malu sekaligus tetap tak bisa tenang.
Tentu saja aku tahu betul betapa kuat mentalnya Hidaka.
Walaupun dia diburu terus-menerus oleh Amada Teruhito sejak kecil, dia tetap bertahan dan menolak Amada sampai akhir. Jadi, sedikit tekanan tidak akan membuatnya goyah.
"Tapi, lawan kita Amada, kau tahu. Ada kemungkinan dia melakukan hal-hal yang benar-benar di luar bayangan kita."
"Ya... Tapi susah juga untuk mengantisipasi. Meskipun mereka bisa menciptakan motif, memalsukan bukti itu sangat sulit."
"Itulah masalahnya."
Dalam kasus kali ini, yang paling membuatku pusing adalah bagian ini. Pada kejadian sebelumnya, karena yang terjadi adalah sesuatu yang sudah kualami di kehidupan pertama, aku tahu bahwa Amada (juga termasuk Iba) berusaha menjebakku sebagai pelaku foto candid palsu untuk menghukumku.
Karena itu, aku bisa mengantisipasinya dengan menukar smartphone dengan Tsukiyama. Tapi, kali ini berbeda.
Aku tahu bahwa di kehidupan pertama, Kitami dijebak sebagai pelaku yang menjual informasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara Kitami dijebak menjadi pelakunya.
Aku rasa mungkin dia tertangkap basah saat melakukan transaksi uang atau diambil fotonya, tapi bagaimana caranya mereka mewujudkan itu terhadap Hidaka Mikoto?
"Hey, Hidaka. Apa kau pernah tiba-tiba diajak bicara oleh pria asing?"
"Aku selalu mengabaikannya. Satu-satunya pria yang kuajak bicara cuma Kazupyon."
Tsukiyama pun tersisih tanpa ampun dari daftar pria itu—tapi itu tidak penting sekarang.
Seperti ini, saat tidak bersamaku, Hidaka benar-benar menunjukkan perilaku yang dingin dan kejam, layaknya Putri Es. Karena itu, bahkan jika seseorang mencoba mendekatinya saat aku tidak ada, membuatnya mau berbicara saja sudah hampir mustahil.
Strategi yang berhasil saat melibatkan Kitami tidak bisa digunakan terhadap Hidaka.
"Seperti sebelumnya, mengambil smartphone Hidaka diam-diam... mungkin juga tidak bisa ya..."
"Aku juga tidak berpikir dia akan mengulang metode yang sudah gagal."
"Benar. Aku juga merasa begitu."
Dulu, Amada menggunakan kesempatan saat pelajaran olahraga, saat smartphone-ku terpisah dariku, untuk menyelipkan foto candid Ushimaki.
Tapi aku berhasil mengantisipasinya dengan menukar smartphone-ku dengan Tsukiyama.
Kalau mereka ingin menjebak Hidaka, mereka mungkin akan mencoba metode serupa: menggunakan waktu pelajaran olahraga untuk mengutak-atik smartphone Hidaka dan membuat bukti seolah-olah Hidaka berhubungan dengan seorang stalker. Memang memungkinkan, tapi seperti yang Hidaka katakan, kemungkinan itu rendah.
Karena itu sama persis dengan metode sebelumnya. Meski para siswa laki-laki berpihak pada Hitsujitani, kalau Amada melakukan cara yang sama, dia akan langsung dicurigai lagi, dan bisa menjadi sasaran kecaman teman-teman sekelas sebagai 'pria yang memanfaatkan Hitsujitani'.
Aku tidak percaya Amada Teruhito akan mengambil risiko sebesar itu. Tapi tetap saja, itu bukan alasan untuk lengah, jadi aku bilang pada Hidaka, "Tetap hati-hati, ya."
Setelah mengangguk kecil, Hidaka membuka mulut.
"Selain itu, aku juga ragu kalau Hitsujitani mau membantu."
"Maksudmu?"
"Soalnya, Hitsujitani kan pindah sekolah supaya bisa bersama dia, kan? Kalau begitu, apa dia mau membantu dalam hal yang bisa bikin dia pindah sekolah?"
"Kalau dipikir-pikir, dulu Iba dan yang lainnya juga ikut membantu, kan..."
"Itu karena mereka punya keuntungan jelas."
Kalau dipikir-pikir, benar juga.
Kalau rencana menjebakku sebagai pelaku foto candid berhasil, mungkin aku akan keluar dari sekolah, tapi Amada tidak akan.
Ditambah lagi, kalau perasaan Amada terbakar dan dia akhirnya menyatakan cinta pada Hidaka, itu akan menjadi perkembangan terbaik bagi para heroine.
Amada sendiri percaya buta kalau mereka akhirnya pasti akan bersatu, tapi kenyataan tidak seindah itu. Hidaka pasti tidak akan menerima pengakuan cinta Amada, dan kalau dia menolaknya, para heroine punya peluang besar.
Kalau begitu, apa keuntungan Hitsujitani kali ini?
"Mungkin kita juga perlu menyelidikinya."
Memang terdengar berlebihan kalau disebut motif kejahatan, tapi kalau kita tahu untuk apa Hitsujitani membantu Amada, mungkin kita bisa membuat strategi lain.
â—‡ â—‡ â—‡
Sepulang sekolah, para siswa laki-laki akan mengantar Hitsujitani pulang bersama-sama dengan alasan untuk melindunginya dari stalker.
Jumlah mereka cukup banyak hingga malah jadi mencolok, tapi dengan sebanyak itu yang mengelilinginya, sepertinya stalker tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Setelah memastikan kalau Amada, Hitsujitani, dan yang lainnya sudah meninggalkan kelas, aku memanggil seorang siswi.
"Kanie, boleh sebentar?"
"…! Ada apa?"
Hanya dengan memanggilnya, Kanie langsung gemetar. Siswi lain di sekeliling kami menatapku seolah berkata "Kalau kau berbuat jahat ke Koro, kami tidak akan memaafkanmu."
Aku memanggil Kanie karena aku ingin mendapatkan petunjuk tentang "kenapa mereka mau bekerja sama dengan Amada?" yang sempat kubahas saat makan siang dengan Hidaka.
Dulu, yang bekerja sama dengan kejahatan Amada adalah Ushimaki, Iba, dan Kanie.
Ushimaki dan Iba sudah sepenuhnya berpihak pada Amada, jadi meski kutanya, mereka tidak akan memberitahuku apa-apa. Tapi Kanie berbeda.
Seharusnya, dia sudah benar-benar kehilangan ketertarikannya pada Amada. Karena itu, kupikir mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk kalau bertanya padanya.
"Tapi Koro kelihatan takut banget, loh?"
Jujur saja, aku yang lebih takut. Para pemimpin gadis di kelas menatapku dengan wajah mengerikan.
Padahal, akulah yang dulu mempertemukan mereka dengan Kanie, dan berkat itu mereka bisa berteman. Jadi, setidaknya, beri aku kelonggaran sedikit, protesku dalam hati, meski itu tidak berarti apa-apa.
"Ah… Aku nggak bermaksud nakutin, maaf. Aku cuma mau tanya sedikit sama Kanie..."
"Kalau gitu, tanya di sini saja."
Ya, sudah kuduga akan begitu. Aku sendiri sebenarnya tidak keberatan kalau didengar siswi lain, tapi kalau banyak orang, kupikir Kanie tidak akan bicara jujur. Karena bagi Kanie, urusan dengan Amada adalah masa lalu yang ingin dilupakan.
Saat aku bingung harus bagaimana, bantuan datang dari arah yang tak terduga.
"Ah, nggak apa-apa kok. Umm, ini kan hal yang mau dibicarakan berdua saja, kan?"
Tak kusangka, Kanie sendiri yang berkata begitu padaku.
Siswi-siswi lain menatap penuh kekhawatiran, tapi Kanie membalas mereka dengan senyum.
"Makasih ya, sudah khawatir."
Sejak saat itu, hubungan kami hanya sebatas berada di dalam kelas bersama, tapi... mungkinkah Kanie berhasil mengatasi sifat pemalunya dan menyelesaikan masalahnya sendiri?
"Ahh. Kalau bisa, aku ingin bicara berdua saja. Tentu saja, aku nggak akan melakukan hal aneh."
"Kalau sampai terjadi, kayaknya aku bakal dimarahin sama Hidaka-san, deh."
Sampai bisa melemparkan candaan ringan seperti itu, sungguh mengejutkan. Setelah itu, Kanie berdiri, dan berkata, "Cepetin ya," lalu keluar dari kelas bersamaku.
Tempat yang kami tuju tidak terlalu jauh, hanya di lorong. Karena aku hanya ingin bicara berdua, tak masalah kalau penampilan kami terlihat oleh orang lain, selama isi pembicaraan tidak terdengar — malah, lebih baik begitu.
Dari tadi juga, dari balik pintu kelas, beberapa siswi memperhatikan kami diam-diam... dan di antara mereka, secara alami, ada juga Hidaka.
Menyadari tatapan-tatapan itu, tapi tanpa memperlihatkan rasa terganggu, Kanie membuka mulutnya.
"Ini soal Amada, kan?"
Tatapannya yang dingin berbeda dengan mata ketakutannya tadi. Dari kata-katanya dan sikapnya, aku yakin. Kanie berhasil mengubah dirinya yang dulunya pemalu.
"Kalau kamu janji nggak ngelibatin teman-temanku, aku mau dengar ceritamu."
"Mereka penting buatmu, ya."
"Ya jelaslah. Mereka yang melindungiku dari cowok-cowok ngeselin."
Begitu rupanya. Kanie mengubah dirinya ke arah seperti ini. Penampilan seperti binatang kecil yang jinak di dalam kelas itu dulu memang kenyataan, tapi sekarang sudah berbeda — palsu.
Kanie yang berhasil mengatasi sifat pemalunya, baik atau buruk, telah menjadi gadis yang lebih 'dingin'.
Tetap saja, dia tidak menunjukkan sisi itu di permukaan karena ingin tetap bersama teman-teman perempuannya.
Karena dia merasa nyaman di kelompok itu, dan tak mau kehilangan lingkungan itu.
"Tentu saja aku nggak niat ngelibatin siapa pun. Termasuk kamu juga, Kanie."
"Kalau begitu, cepat selesaikan aja. Dengerin soal Amada aja udah nyebelin."
Memanggil 'Amada' tanpa sapaan atau kehormatan apapun sepertinya adalah cara Kanie menunjukkan sikapnya. Dia bukan lagi salah satu heroine untuk Amada. Malah, dia membencinya.
"Ngomong-ngomong, aku kasih tahu dulu, aku nggak mau ada urusan lagi sama Amada. Juga sebisa mungkin aku nggak mau berurusan sama Ishii-kun. Takut kalau sampai kena masalah lagi."
Dengan senyum masam, dia berkata begitu.
"Kalau gitu, boleh aja kamu berurusan sama aku?"
"Bisa dibilang ini tebusan dosa dan balas budi. Aku dulu sempat mau ngejebak Ishii-kun, tapi Ishii-kun malah nolong aku. Lingkunganku yang sekarang jauh lebih baik dibanding waktu aku sama Amada. Aku bersyukur soal itu. Walaupun... kalau inget aku dulu sempet dijebak, rasanya masih kesel juga."
"Yang salah itu kamu, karena mau ngejebak aku dulu."
Dengan ekspresi agak tak puas, Kanie menggerutu, "Sedikit aja, bersikap baik lah," tapi aku bukan orang yang bisa bersikap manis, bahkan pada gadis cantik. Perasaan seperti itu sudah kutinggalkan di kehidupan pertamaku.
"Jadi, inti pembicaraannya apa?"
"Kalau Kanie sekarang ini mau kerja sama dengan Amada, kira-kira apa keuntungan yang bisa kamu dapat?"
"Nggak mungkin aku mau, tapi... mungkin, biar bisa dekat sama dia?"
Oh iya, Kanie memang belum tahu. Yah, wajar saja karena mereka memang nggak berurusan.
"Dia katanya sebentar lagi mau pindah sekolah."
"Eh!? Serius!?"
Luar biasa. Aku nggak menyangka senyuman paling memesona hari ini bakal muncul di situasi seperti ini...
Mungkin nggak selevel aku atau Hidaka, tapi kelihatannya Kanie juga sangat membenci Amada.
"Yah, itu kan cuma omongannya dia. Bisa aja bohong."
"Apaan, tuh..."
Sekejap saja, ekspresi wajahnya kembali datar seperti biasa. Aku pun berharap Amada cepat-cepat pindah sekolah.
"Jadi, misalnya nih, kalau Amada beneran pindah, kira-kira ada alasan buat bantuin dia? Soalnya kalau dia pindah, keinginannya pun nggak bakal tercapai, kan?"
"Mungkin keinginannya nggak tercapai, tapi setidaknya masih bisa ninggalin kemungkinan."
"Maksudmu gimana?"
"Yah, ini juga termasuk pendapatku waktu itu, sih..."
Kelihatannya mengingat masa lalunya sendiri tetap membuatnya merasa nggak nyaman, wajahnya menunjukkan ekspresi yang rumit.
"Pertama-tama, Ishii-kun terlalu berat mikirin soal pindah sekolah. Pindah sekolah itu bukan berarti langsung putus kontak. Kalau memang akrab, bisa jadi masih lebih sering ketemu daripada teman sekelas lain. Tentu saja, tergantung juga sama jaraknya."
"Kalau dipikir-pikir, iya juga..."
Kalau soal Hidaka, bahkan kalau dia pindah sekolah pun, dia tetap saja datang ke rumahku setiap pagi tanpa peduli. Kalau pindahnya nggak jauh, sebenarnya nggak masalah. Apa yang Kanie bilang ada benarnya.
"Kalau berangkat dari situ, pertama, mungkin mereka mikir 'kalau aku berusaha, aku bisa disukai'. Dan kedua... mereka nggak mau dibenci."
"Apa?"
"Disukai orang yang kita suka itu penting. Tapi lebih penting lagi, jangan sampai dibenci. Jadi mereka berusaha keras buat itu. Walaupun tahu mungkin nggak akan disukai balik, tetap berusaha mempertahankan hubungan yang ada sekarang. Karena dibenci itu... beneran menyakitkan."
"Berusaha keras supaya nggak dibenci, ya..."
Begitu ya... Aku rasa aku bisa mengerti perasaan itu.
Memang ada orang seperti Hidaka yang nggak peduli sama pandangan sekitar dan bertindak sesuka hati, tapi tipe kayak dia itu jarang.
Kenyataannya, aku sendiri, waktu memulai kehidupan kedua ini, bertingkah sedemikian rupa supaya nggak jadi sasaran serangan, supaya bisa melindungi nyawa keluargaku, supaya nggak dibenci Amada dan anak-anak sekelas.
Kalau begitu, Hitsujitani juga? Bukan cuma dia... Iba, Ushimaki juga...
"Ini membantu?"
"Iya. Ini cukup berguna. Terima kasih, Kanie."
"Kalau gitu, kita impas ya."
"Masih utang tujuh puluh persen lagi."
"Diskon khusus buat cewek cantik, ya."
Setelah berkata begitu, Kanie kembali ke teman-teman ceweknya yang sedang mengintip dari pintu kelas.
Kanie menampilkan ekspresi manis seperti hewan kecil, mengacungkan tinju kecilnya sambil berkata, "Aku udah berusaha," berbeda dengan ekspresi datar saat bicara denganku tadi.
Para gadis memuji, "Koro, kamu hebat," sambil membelai kepalanya. Sepertinya itulah cara Kanie menjalani hidup barunya sekarang.
Aku melamun memikirkan itu.
â—‡ â—‡ â—‡
Setelah berbicara dengan Kanie, aku bergabung dengan Hidaka dan pergi kerja paruh waktu.
Sebelum barang-barang datang, tugas kami hanya kasir, mengisi rak, dan membuat makanan goreng.
Dalam arti tertentu, itu saat-saat di mana aku bisa mengosongkan pikiranku sambil bekerja, dan aku mulai berpikir.
Situasinya tetap sangat tidak menguntungkan.
Walaupun Kanie sepenuhnya menjauh dari Amada, sekarang Hitsujitani yang kuat telah bergabung dengan Amada, dan Tsukiyama, Iba, Ushimaki yang sebelumnya bersamaku juga kembali ke pihak Amada.
Selain itu, berkat Iba dan Ushimaki, Hidaka jadi punya motif untuk menjebak Hitsujitani.
Kalau sampai Hidaka menciptakan bukti palsu, aku bakal kalah total. Situasinya cukup kritis.
Kalaupun mempertimbangkan nasihat dari Kanie, "berusaha menjaga lingkungan sekarang," atau "berusaha supaya disukai," tetap saja, bagaimana caranya memanfaatkan itu?
"Maise Super Light, tolong."
Seorang pria paruh baya mendekat ke kasir, seperti biasa menyebut nama rokok yang tidak dipajang di rak.
Tapi aku sudah terbiasa. Meskipun masih SMA, aku sudah hafal merek-merek rokok, jadi aku dengan cepat mengambilkan pesanan dan menyelesaikan transaksi.
Sementara itu, di kasir sebelah, Hidaka sedang diganggu seorang pria.
"E-ehm, kalau boleh, kasih kontakmu..."
"Masih ada pelanggan lain yang menunggu."
"Ugh!"
Dulu, Hidaka sempat bingung kenapa banyak pria mendekat ke kasirnya, tapi manajer yang melihat itu segera memberlakukan sistem antrian berurutan. Berkat itu, sekarang sudah nggak ada lagi antrian cowok-cowok cuma buat Hidaka.
Meski begitu, tetap saja ada orang yang sengaja mondar-mandir di toko, mencari kesempatan supaya bisa masuk ke kasir Hidaka. Dengan penuh semangat, mereka memberanikan diri berbicara... lalu langsung ditolak.
Barusan juga begitu, dan ada beberapa orang lain yang masih mondar-mandir di dalam toko. Terutama satu pria yang dari tadi menatap Hidaka dengan tatapan menyeramkan sambil mencoba mendekat ke kasir lalu mundur lagi.
Kelihatannya dia agak berbahaya, mungkin aku harus turun tangan.
"Y-yo, Ishii-kun..."
Dan di saat itu juga, datang satu pelanggan merepotkan lain: Hitsujitani.
Keranjang belanjaannya penuh sesak. Kelihatannya dia sengaja membeli banyak barang hanya supaya bisa menghabiskan lebih banyak waktu ngobrol denganku.
Walaupun kau mengaku sedang dikejar-kejar stalker, kau masih bisa berkeliaran sendirian seperti ini, ya──yah, karena dari awal itu cuma kebohongan, asal tidak ketahuan oleh orang sekolah, sepertinya tidak masalah.
"Apakah kamu ingin menggunakan kantong plastik?"
"Ya, tolong. Oh, dan bisakah kau mendengarkan sebentar? Aku mau bicara."
Aku sama sekali tidak menanggapi kata-kata Hitsujitani, dan hanya terus membaca kode batang barang-barangnya. Sementara itu, dengan ekspresi sedikit lemah, Hitsujitani tetap melanjutkan bicaranya.
"Terima kasih karena tidak membocorkannya..."
Begitu, ya. Ucapan terima kasih ini mungkin juga dimaksudkan untuk membungkamku.
Mungkin dia memang sungguh-sungguh berterima kasih, tapi dengan mengatakan itu, dia juga memastikan aku tidak akan membuka mulut. Padahal aku sebenarnya hanya sedang menunggu waktu yang tepat.
Di kehidupan pertamaku, pria itu memang pernah ditangkap sebagai stalker. Tapi dalam kehidupan keduaku, sebelum aku bisa menyeretnya sebagai stalker, aku sudah bertemu dengan Hitsujitani.
Dan bahkan sempat terlihat bersama Hitsujitani pula. Bagi Hitsujitani, ini situasi yang sangat tidak menguntungkan.
"Hanya untuk memastikan, orang itu cuma membantu siaran langsungku, tidak lebih."
Padahal sebenarnya dia mau menjebaknya sebagai stalker. Sungguh mulut manis. Untuk sedikit mengingatkannya, aku berkata:
"Aku kira dia itu stalker, lho."
Bagaimana, Hitsujitani? Pasti kau membenci kalimat itu, kan?
Aku tahu apa yang kau rencanakan──
"Eh? Bukan, kok. Orang itu jelas bukan stalker."
"Apa?"
Begitu Hitsujitani mengucapkan itu, aku refleks menjatuhkan barang yang sedang kukerjakan. Hitsujitani terkekeh kecil dan menegurku.
"Ishii-kun, jangan jatuhin onigiri, dong?"
"Ma-maaf..."
Tunggu, tunggu sebentar. Ini maksudnya apa? Di kehidupan pertamaku, pria itu jelas-jelas seorang stalker yang ditangkap. Tapi kini, Hitsujitani sendiri berkata dia bukan stalker?
"Seperti yang tadi aku bilang, dia itu cuma fansku yang belakangan jadi kenalan karena suatu hal. Dia bantu-bantu di siaran."
Aku melirik antrian──tidak ada orang lain. Berarti, aku bisa ngobrol sedikit.
"Kau kan VTuber independen, ya?"
"Iya, tapi bukan berarti semua harus aku lakukan sendiri. Sejak aku mulai agak terkenal, beberapa fansku membantuku."
"Artinya, kau juga mendekati pria lain?"
"Jangan pakai kata-kata yang bisa bikin salah paham, dong~"
Dengan pipi menggembung, Hitsujitani menatapku tajam tapi tetap imut.
Kalau begitu, kenapa dia datang ke aku? Kalau pria itu benar-benar bukan stalker, tidak ada alasan baginya buat repot-repot menjelaskan.
"Aku dan dia cuma teman biasa. Tapi, kalau cuma kita yang paham itu, orang lain bisa salah sangka, kan?"
"Benar juga. Orang lain bisa saja salah paham."
Atau lebih tepatnya, bahkan kalau kau tidak ada perasaan, pria itu pasti punya perasaan ke kau. Tentu saja, Hitsujitani juga pasti sadar soal itu dari awal.
"Makanya! Walaupun nggak ada yang aneh, aku tetap rahasiain hubungan kami. Untung aja yang lihat tadi orang kayak Ishii-kun, yang nggak gampang salah paham."
"Ayo cepat ke intinya."
Tanganku sudah berhenti memindai barang. Apa yang ingin dia katakan?
"Aku nggak mau Teruchi salah paham... jadi tolong jangan kasih tahu dia, ya?"
Begitu rupanya. Hitsujitani tidak mau membuat Amada salah paham, tidak mau dibenci olehnya. Makanya, dia memintaku memastikan mulutku rapat.
"Boleh, ya?"
Tatapan memohon itu──orang biasa mungkin langsung luluh.
Tapi aku bukan orang seperti itu. Bahkan sekarang pun, aku memaksa otakku untuk terus berpikir.
Pria yang di kehidupan pertamaku adalah stalker──tapi sekarang Hitsujitani Miwa sendiri bilang dia bukan.
Kalau begitu, siapa stalker sebenarnya?
Bagaimana mereka akan menjebak Hidaka?
"Baiklah. Aku janji, aku nggak bakal bilang ke siapa pun."
"Benar-benar!? Terima kasih banyak, Ishii-kun! Kamu memang baik!"
Atau jangan-jangan, Hitsujitani memang tidak berniat sejauh itu? Kasus stalker ini hanya trik untuk mempererat hubungan dirinya dengan Amada.
Membuat stalker palsu saja sudah risiko besar, mungkin dia merasa tak perlu tambah risiko lain.
"Kamu benar-benar suka sama Amada, ya."
"Yup! Aku punya banyak hutang budi sama Teruchi, soalnya."
Dengan kata-kata itu, semua asumsi manisku runtuh.
Tidak, ini mustahil. Hitsujitani pasti benar-benar bertindak demi Amada.
Berarti──
"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya! Maaf ganggu kerjaannya!"
"Hati-hati di jalan."
"Fufu. Makasih!"
Dengan senyum cerah dan sebuah kedipan, Hitsujitani meninggalkan toko
Tak lama setelah itu, pria yang tadi memperhatikan Hidaka dengan pandangan mencurigakan juga pergi.
Jadi begitu...
Begitu ternyata...
"Akhirnya aku mengerti..."
Hey, Hitsujitani.
Sudah lupa, ya? Tipu daya macam itu tidak akan berhasil terhadapku.
Akhir-akhir ini kau memang selalu begitu, kan? Biasanya aku yang blak-blakan ini, terus-menerus menunjukkan sisi lemah supaya membangkitkan rasa simpati di pihak sini.
Seolah-olah hanya aku yang bisa melihat dirimu yang sebenarnya, kau terus bertingkah seperti itu, kan?
Kau pikir aku akan tergerak? Sayangnya, itu tebakan yang benar-benar meleset. Aku hanya berpura-pura agar bisa mendapatkan informasi darimu, dan untuk melindungi Hidaka serta keluargaku.
Hari ini, alasan kenapa Hitsujitani datang ke minimarket adalah untuk memastikan dan membungkamku.
Dia ingin tahu sejauh mana aku mempercayainya. Tapi kau tidak sadar, kan? Bahwa kau baru saja membuat kesalahan besar. Dengan ini, aku bisa menghentikan rencanamu, Hitsujitani. Aku bisa menggagalkannya.
Tapi, tidak untuk sekarang. Soalnya aku sedang bekerja paruh waktu, dan yang lebih penting...
"Kazupyon bersikap ramah ke cewek lain selain aku..."
Di sebelahku, Hidaka menunjukkan ekspresi sedih yang benar-benar keterlaluan, jadi aku harus mengutamakannya dulu.
â—‡ â—‡ â—‡
"Ah! Ishii-kun, selamat bekerja! Aku mau minta tolong, boleh?"
"Harusnya kau sudah pulang, kan? Kenapa datang lagi?"
Begitu aku dan Hidaka keluar dari minimarket setelah shift berakhir, dia muncul. Hitsujitani.
Waktu menunjukkan pukul 21.00. Bukan waktu yang cocok untuk perempuan yang katanya sedang diburu stalker berkeliaran sendirian.
Tapi dia tetap datang karena ini kesempatan besar.
Kazuki Ishii mempercayainya.
Kalau sekarang, dia bisa menciptakan bukti untuk menjebak Hidaka.
"Sabunku habis. Di toko ada stok, nggak?"
"Kayaknya nggak perlu repot-repot beli di minimarket kita, deh."
"Aku pengen bantu pemasukan toko ini sebagai rasa terima kasih, juga… pengen ketemu Ishii-kun?"
"Bagian terakhir itu informasi yang benar-benar nggak perlu."
"Ahaha! Sayang sekali, ya!"
Aku nggak menyangka bakal melihat ekspresi 'tehepero' di dunia nyata. Sekilas aku melirik ke arah Hidaka, dan dia... bukan lagi 'Ratu Es', tapi sudah kayak 'Kaisar Amarah dari Penjara Es', menampilkan ekspresi mengerikan yang sudah selangkah lagi dari meledak.
"Haa... Nggak bisa diapa-apain, ya. Aku cek stok di dalam... eh, tapi membiarkan Hitsujitani sendirian juga berbahaya."
"Baiknya kamu! Seperti yang diharapkan dari Ishii-kun!"
"Kalau gitu, Hidaka, bisakah kamu cek stok di dalam?"
"Un. Oke."
"Heh?"
Hidaka langsung menuruti kata-kataku dan kembali ke minimarket.
Hitsujitani terlihat kebingungan karena tak menyangka aku akan berkata begitu, dan bertanya dengan ragu.
"Hi, Hidaka-san?"
"Ya wajar saja. Kau ini sedang diburu stalker, kan? Aku nggak mau Hidaka sampai ketarik masalah. Dan satu lagi, jangan jalan-jalan sendirian malam begini."
"Ah, aah... iya... makasih... sudah khawatir..."
Sayang sekali ya, Hitsujitani!
Kau gagal! Gagal total!
Kau kira aku yang mungkin punya perasaan padamu bakal memanfaatkan kesempatan ini buat cari muka?
Jangan mimpi!
Sejak awal, aku nggak pernah menaruh sedikitpun rasa suka pada perempuan pembohong busuk macam kau. Kalau saja kau benar-benar bertindak tulus demi Amada tanpa campur tangan keinginan pribadimu, mungkin rencanamu bisa berhasil.
Tapi kau nggak bisa menahan hasrat ingin tetap menjadi 'heroine' di antara orang-orang.
Karena itu, kau malah membuka mulut soal sering ketemu banyak cowok demi alasan pribadi. Terima kasih, berkat itu aku tahu persis caramu berniat menjebak Hidaka.
Dari tadi, ada satu orang yang terus mengawasi kami dari kejauhan. Orang itu, sewaktu aku masih kerja tadi, juga mondar-mandir di dalam toko sambil melirik-lirik ke arah Hidaka.
Awalnya kupikir dia cuma pelanggan mengganggu yang mencari kesempatan buat ngobrol dengan Hidaka di kasir, kayak biasanya. Tapi sikapnya berubah drastis.
Begitu aku mulai bicara dengan Hitsujitani, matanya berubah penuh kebencian menatapku, sama persis dengan cowok yang dulu kulihat di departemen store.
Sekarang, orang itu masih mengawasi kami dari kejauhan.
Dialah stalker yang sebenarnya. Orang yang bersekongkol dengan Hitsujitani.
Awalnya, rencananya mungkin mau menjadikan orang dari kehidupan pertamaku itu sebagai stalker, sama seperti dulu.
Tapi karena aku memergoki mereka bersama, rencana itu gagal. Kalau begitu, dia butuh pengganti.
Hitsujitani adalah streamer populer. Dia pasti punya banyak 'fans' pria yang bisa dimanfaatkan sesuka hati. Maka, cari pengganti untuk peran stalker pun mudah.
Tinggal satu masalah: bagaimana mengaitkan Hidaka dengan stalker palsu itu?
Jawabannya... juga sudah diberikan oleh Hitsujitani.
Caranya sederhana: cukup membuat mereka bertemu langsung dan berpura-pura menyerahkan uang.
Kalau biasanya, Hidaka tidak peduli apakah yang memanggilnya laki-laki atau perempuan, dia akan mengabaikannya sepenuhnya dan langsung pergi. Kalau mau bicara dengan Hidaka, kita harus membuatnya berhenti dulu.
Lalu, bagaimana caranya? Caranya adalah membuat Hidaka menunggu aku.
Hitsujitani meminta tolong sesuatu yang aneh kepadaku supaya aku menjauh dari Hidaka. Dengan begitu, secara otomatis Hidaka akan terpaksa menunggu di tempat itu dan bisa diajak bicara. Aku bisa berpura-pura memberikan uang. Tidak perlu benar-benar diterima. Yang penting adalah menciptakan situasinya.
Bagaimanapun juga, kami bukanlah polisi dari lembaga negara yang sah.
Cukup membuat bukti yang bisa menimbulkan sedikit kecurigaan bagi seorang siswa SMA biasa, itu sudah cukup.
Bahkan tanpa tahu isi pembicaraannya, asal ada foto saat aku berusaha menyerahkan uang, itu sudah bisa digunakan. Itulah sebabnya, Hitsujitani sengaja membuat pria yang akan dijebak sebagai stalker itu datang ke toko ini sebagai pelanggan, supaya bisa melihat wujud Hidaka.
Selain itu, dia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk membungkam aku, seolah-olah sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Tinggal saat aku pergi, pria palsu itu memanggil Hidaka, dan selesai.
Sebenarnya lebih baik kalau Hitsujitani dan si stalker palsu itu bergerak terpisah, tapi tampaknya itu tidak memungkinkan.
Kalau cuma membuat stalker palsu bicara dengan Hidaka sih gampang, tapi untuk menjalankan seluruh rencana ini, dibutuhkan satu orang lagi, yaitu "orang yang memotret," dan "orang yang menarik Kazuki Ishii dari Hidaka."
Hal itu tidak bisa diserahkan ke Amada. Hitsujitani tidak bisa menunjukkan sisi kotornya pada Amada. Kalau sampai Amada tahu apa yang sedang dia lakukan, dia pasti berpikir akan dibenci.
Melibatkan Ushimaki atau Iba juga tidak mungkin. Meskipun mereka mungkin ikut membantu Hitsujitani, justru karena mereka membantu jadi makin sulit. Karena begitu Ushimaki atau Iba muncul di minimarket ini, aku pasti langsung curiga.
Pengalaman pahit sebelumnya membuatku lebih waspada. Mungkin mereka juga khawatir kalau aku bisa menebak rencana mereka. Jadi mereka pun tidak bisa bergerak.
Mengundang laki-laki lain juga tidak mungkin. Pria-pria yang patuh pada Hitsujitani itu merasa puas hanya kalau mereka bisa menguasai Hitsujitani sendiri.
Kalau ada lebih dari satu pria yang dipanggil bersamaan, kepercayaan mereka terhadap Hitsujitani akan hilang, dan mereka tidak akan mau membantu lagi.
Karena itu, satu-satunya jalan adalah bergerak sendiri. Dia sendiri yang harus memotret momen saat Hidaka dan stalker palsu berbicara.
Tapi, rencana itu baru saja digagalkan. Lewat caraku, dengan membuat Hidaka mengecek stok barang. Dengan begini, bukti tidak bisa dihasilkan.
Tapi tetap saja, kenapa dia tidak bisa membuat rencana yang lebih matang?
Kalau saja aku dan Hidaka bergerak berdua, itu langsung gagal. Kalau pun mereka bertiga, bersama Hitsujitani, tetap saja banyak celah.
Sepertinya, Iba tidak terlibat dalam perencanaan atau pelaksanaan rencana ini. Kalau saja dia ikut membantu, rencana mereka pasti lebih matang.
Meyakini kemenanganku, aku membisikkan suara kecil yang hanya bisa didengar Hitsujitani.
"Oi, Hitsujitani. Dari tadi, ada pria di belakang yang menatapmu dengan aneh. Hati-hati, mungkin dia stalker."
"Eh!? U-um... makasih..."
Wajahnya tampak ketakutan, tapi dalam hati dia pasti sedang mendidih. Entah marah padaku, pada pria itu, atau pada keduanya.
"Maaf, Ishii-kun. Aku takut, jadi aku pulang duluan. Tolong sampaikan maafku pada Hidaka-san juga."
"Oke."
Dengan akting seolah-olah ketakutan, Hitsujitani buru-buru meninggalkan tempat itu.
Aku tidak melewatkan bagaimana dia menggertakkan giginya sebelum pergi.
Lalu, pria itu, seolah tidak terjadi apa-apa, buru-buru mengejar Hitsujitani. Akhirnya, aku bisa mengintip sifat aslimu.
Begitu aku tahu caranya menjatuhkanmu, aku sudah menang. Hitsujitani, aku akan manfaatkan rencanamu sebaik mungkin.
Amada, nantikan saja. Kali ini pun, kau akan memperlihatkan betapa menyedihkannya dirimu.
Post a Comment