Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
Berpikir Adalah Senjata Terbesar Karakter Pendukung Yang Tidak Berbakat
Aku pernah mendengar bahwa hidup itu butuh sedikit "rangsangan", tapi ini... ini terlalu berlebihan.
Di kehidupan pertama, Hitsujitani Miwa hanya muncul sebagai gadis cantik yang pindah ke SMA Hirasaka, menyelesaikan masalah stalker, lalu bergabung ke dalam harem.
Namun, siapa sangka, ternyata dia adalah teman masa kecil Amada.
Apa-apaan ini? Apa karena status awalnya sebagai murid pindahan saja tidak cukup kuat untuk bersaing dengan heroine lain, jadi sang pengarang menambahkan elemen teman masa kecil belakangan?
Kalau memang begitu, waktu penambahannya salah. Ini seharusnya dilakukan di kehidupan pertama.
Kenapa malah baru di kehidupan kedua... tepat saat tokoh utama sudah menghilang, elemen itu dimasukkan?
"Hei, Ishii-kun. Kamu dengar nggak?"
"Ah, ah... dengar, kok..."
Aku sekilas melirik ke dalam toko, dan melihat Hidaka bersiap-siap datang ke arah kami dengan ekspresi yang penuh kewaspadaan.
Mungkin dia sadar ada yang tidak beres dengan diriku.
Aku buru-buru memberi isyarat dengan tangan, mengatakan "nggak apa-apa", sehingga dia tenang kembali.
Oke. Tenanglah, diriku.
Dalam contoh kasus sebelumnya, teman masa kecil itu sangat membenci tokoh utama. Jadi kalau Hitsujitani juga teman masa kecil, mungkin──
"Makanya, ceritain tentang Teruchi, ya!"
Ah, tidak. Ini benar-benar sudah di level high affection.
Sudah dalam mode Teruchi Baby yang sangat mencintai Amada-kun ini.
"Kalau kamu teman masa kecilnya, kenapa nggak tanya langsung ke dia?"
Aku mencoba memberikan perlawanan kecil. Tapi sejujurnya, aku tidak ingin Hitsujitani dan Amada saling terhubung sama sekali. Aku hanya merasa ini semua akan berakhir sia-sia.
"Soalnya... aku nggak yakin Teruchi masih ingat aku. Kalau ternyata dia lupa, aku pasti sedih banget..."
Aduh, heroine ini... dari sikapnya yang barusan, sekarang tiba-tiba jadi malu-malu dan imut sekali.
Bisa nggak sih, tolong hapus saja setting ini sekarang juga? Pakai trik sulap penghapus atau apa gitu.
"Aku kasih tahu dulu, cerita ini mungkin nggak enak didengar, lho."
"Nggak apa-apa kok, aku udah siap."
Masalahnya, dia malah santai sekali. Dasar, cowok keren.
Tapi, kenapa sih harus teman masa kecil? Kalau begitu, bukannya Hidaka juga harus tahu soal Hitsujitani? Mereka sama-sama teman masa kecil, kan?
Tidak, jangan sekarang mempertanyakan itu. Untuk sekarang, aku harus memberikan informasi dulu.
Kalau mau jujur, aku sama sekali tidak mau menceritakannya. Kalau bisa, aku ingin kabur saja dan membatalkan janji ini.
Tapi kalau aku kabur, Hitsujitani pasti tetap akan mengganggu kehidupanku.
Kalau begitu, satu-satunya jalan adalah menghadapi risikonya.
Ini sekaligus kesempatan. Bukan menyampaikan fakta apa adanya, tapi membumbui cerita supaya kesan Amada jadi seburuk mungkin.
Kalau berhasil, aku bisa menurunkan tingkat ketertarikan Hitsujitani pada Amada sampai ke level minus.
"Jadi begini, beberapa waktu yang lalu──"
Mulailah aku menceritakan kisah yang dibumbui dengan hati-hati kepada Hitsujitani:
Bahwa Amada menganggap dirinya sebagai tokoh utama dalam dunia romcom, dan percaya bahwa semua gadis cantik di dunia ini pasti jatuh cinta padanya.
Bahwa dia memilih Hidaka Mikoto sebagai heroine utama, sementara heroine lain hanya jadi cadangan.
Semua itu hanya untuk meningkatkan suasana cerita dan memuaskan rasa superioritas dirinya.
Bahkan, dia memanfaatkan heroine-heroine itu untuk menyelesaikan berbagai masalah, lalu mengambil seluruh pujian di akhirnya.
Aku sendiri adalah korban terbesar dari kelakuan Amada.
Karena Hidaka Mikoto yang ditetapkan sebagai heroine utama mulai menunjukkan ketertarikan padaku, aku dianggap sebagai pengganggu dan hendak disingkirkan.
Caranya?
Dia berusaha menjebakku sebagai pelaku foto ilegal.
Amada diam-diam mengakses ponselku, mengambil foto para heroine saat berganti pakaian, dan bermaksud memanfaatkannya untuk membuatku tampak seolah-olah aku seorang pemeras dan brengsek.
Tapi rencananya gagal.
Aku berhasil membongkarnya, dan akibatnya, sifat asli Amada terbongkar di depan seluruh teman sekelas serta heroine yang dia manfaatkan.
Akhirnya, Amada kehilangan posisinya di sekolah dan berhenti datang ke sana.
──Padahal aku bermaksud membumbui ceritanya, tapi kenyataannya sudah terlalu parah sehingga aku tidak perlu mengarang banyak.
Ternyata begini rasanya.
"Aku mengerti... Jadi itu yang terjadi. Terima kasih sudah mau cerita..."
Ekspresi Hitsujitani tampak serius.
Bagus, kan, Hitsujitani? Sekarang kamu pasti sudah kecewa banget, kan? Kamu pasti merasa tidak ada gunanya peduli pada Amada, kan?
Sekarang, sudahlah, tinggalkan dia, dan jadi saja murid pindahan biasa──
"Justru karena itu... aku malah makin ingin jadi sekutu Teruchi!"
──Gagal total.
Dia malah tersenyum lebih cerah daripada sebelumnya.
Ini kayak kebalikan dari "melihat sendiri lebih meyakinkan daripada mendengar".
Kalau tidak mengalami sendiri sebagai korban, cerita buruk tentang orang lain tidak berpengaruh besar. Malah, kasihan terhadap orang yang jadi bahan gosip, lalu makin ingin membelanya.
Begitulah dunia ini... kadang, niat baik justru menyusahkan orang lain.
"Selain itu, ini malah kesempatan juga, kan? Sekarang nggak ada gadis cantik lain di sekitar Teruchi!"
Bagaimanapun, situasiku dalam bahaya besar.
"Ngomong-ngomong, Hitsujitani..."
"Apa?"
"Kamu bilang kamu teman masa kecil Amada, kan? Kalian satu SD?"
"Enggak, sekolahnya beda kok. Kami cuma sama-sama ikut kursus renang."
Serius, bocah ini memang suka banget bikin suasana romcom di mana-mana.
"Makanya mungkin Teruchi udah lupa sama aku. Waktu kecil, aku kelihatan beda banget sama sekarang."
Wah, gimana ya soal itu──
Pada kehidupan pertama, Hitsujitani pura-pura tidak tahu soal hubungan masa kecilnya, tapi sepertinya itu hanya karena Amada telah menetapkan Hidaka sebagai pemeran utama wanitanya dan sengaja mengabaikannya.
Dia benar-benar mengerahkan segala upaya untuk berpura-pura bebal.
"Aku dulu anak yang sangat pemalu, loh,"
Meski aku tidak bertanya, dia mulai bercerita tentang masa lalunya. Boleh gak sih, kamu pulang aja sekarang?
Pola anak pemalu ini sudah dipakai sama Kanie-san, jadi ceritanya juga ketiban.
"Karena itu, aku sering dibully di tempat les renang. Yang menyelamatkanku waktu itu adalah Teruchi!"
Yaelah, mencurigakan banget. Bukannya ada orang lain yang sebenarnya paling berusaha waktu itu?
Gak kebayang sih Amada berani ngelawan pembully. Paling parah, malah dia yang mimpin bullying dari belakang.
"Teruchi waktu itu kerja sama dengan anak yang paling jago renang di kelas, terus bilang ke anak-anak lain, 'Jangan bully Hitsujitani-san.' Aku beneran seneng banget waktu itu!"
Tuh, kan. Bener aja, dia dibantuin sama orang lain.
Jangan-jangan itu Tsukiyama? Dia juga anak klub renang.
"Sejak saat itu aku gak dibully lagi. Tapi aku pikir aku juga harus berubah, jadi aku nekat buat berusaha lebih ceria! Meskipun, masih ada sisi lemahnya..."
Boong banget. Aslinya, kamu itu setegar jenggot Theo Hernández yang tumbuh dari jantung. Gak usah pura-pura lemah cuma buat ningkatin nilai kamu di mataku deh.
"Makanya, sekarang gantian aku yang harus jadi kekuatannya! Kalau Teruchi kesusahan, aku yang bakal bantuin dia!"
Gak perlu. Aku malah pengen Amada jatuh ke neraka.
"Kalau aku bisa tahu situasinya, aku bisa bantu bujuk dia! Kan aku bukan sekadar orang asing, tapi teman sekelas yang tahu ceritanya, datang buat bantu!"
"Bukannya kamu temen masa kecilnya...?"
"Itu... Ah! Aku belum bilang ya! Sebenarnya, Ishii-kun, aku mau minta tolong…"
"Tergantung isinya, aku bisa tolak."
"Kalau gitu, aku mau bilang dulu. Tolong jangan bilang ke Teruchi kalau aku ini teman masa kecilnya. Aku pengen dia ingat sendiri, kalau dia memang masih ingat!"
Ah, begitu toh. Itu sebabnya di kehidupan pertama aku gak tahu kalau Hitsujitani Miwa itu teman masa kecilnya.
Waktu itu, dia sengaja mendekati Amada tanpa ngaku identitasnya. Tapi karena Amada sudah menetapkan Hidaka sebagai heroine utama, dia mungkin ngerasa teman masa kecil baru itu malah bakal ganggu. Makanya, dia sengaja pura-pura gak sadar.
"Baiklah. Aku janji gak akan bilang."
Walaupun aku gak bilang, sekarang Amada pasti 100% bakal ingat sih. Atau lebih tepatnya, dia memang dari awal sudah ingat. Ya, terserah lah.
"Hehe! Makasih banyak! Ishii-kun ternyata gak seseram yang orang-orang bilang ya!"
Akhirnya puas, Hitsujitani melambaikan tangan kecilnya dengan imut sambil berkata "Daaah!" lalu pergi dengan langkah ringan.
Tinggallah aku yang berdiri bengong, sampai akhirnya Hidaka menghampiriku. Dengan tatapan penuh kekhawatiran, dia menatapku seolah ingin langsung tahu apa yang terjadi.
"Kazupyon, kamu gak apa-apa? Boleh aku tahu apa yang terjadi?"
"Teman masa kecil pemeran utama malah nempel ke figuran kayak aku..."
◇ ◇ ◇
Dalam hidup, mungkin memang selalu ada orang yang terasa seperti 'ketidaknyamanan' buat kita.
Cuma dengan keberadaan mereka, hidup kita jadi terasa berat, penuh bayang-bayang dan kecemasan.
Buatku, orang itu adalah Amada Teruhito.
Kalau dipikir-pikir, sejak insiden itu sampai kemarin, sebenarnya aku lumayan bahagia.
Meskipun, ya, tetap ada kerepotan karena Tsukiyama, Ushimaki, atau Iba sering ganggu, tapi itu masih dalam batas toleransi. Namun, masa bahagia itu, hari ini, resmi berakhir...
"Ishii, aku bener-bener minta maaf waktu itu!!"
Pagi hari di kelas 1-C, Amada Teruhito membungkuk dalam-dalam di depanku.
Padahal sebelumnya dia gak pernah sekalipun datang ke sekolah, tiba-tiba dia muncul.
Begitu masuk kelas, dia langsung mendatangiku dan meminta maaf.
"Aku waktu itu cemburu sama Ishii dan melakukan hal buruk! Aku tahu cuma minta maaf gak cukup, tapi ini satu-satunya yang bisa kulakukan... Maaf banget!!"
Di sebelahnya, Hitsujitani Miwa berdiri sambil tersenyum.
Sambil ngelihat Amada yang lagi minta maaf, dia malah bilang, "Kamu hebat banget bisa minta maaf!"
Sumpah, nyebelin banget.
"Baguslah kalau kamu sadar."
"Eh?"
Amada mendongak, bingung.
"Memang, minta maaf gak akan menghapus semuanya. Mulai sekarang, jangan pernah berhubungan lagi denganku atau dengan Hidaka."
"Ugh... Iya, aku ngerti..."
Tentu saja. Hanya karena sudah minta maaf di depan semua orang, bukan berarti aku akan memaafkanmu seumur hidup.
Dan Amada sendiri pasti paham betul soal itu.
Tetap saja dia minta maaf, karena tujuannya sebenarnya bukan buat minta maaf. Ini cuma akting buat menciptakan 'lingkungan'.
Biar dia, yang sebelumnya menghilang dari sekolah karena masalah besar, bisa punya tempat di kelas.
Semuanya cuma skenario.
"Gak apa-apa, Teruchi! Hal yang udah terjadi mau gimana lagi, ayo lanjutkan hidup!"
Kalau di kehidupan pertama, Hitsujitani memanggil Amada "Amada-kun," tapi sekarang dia manggil "Teruchi." Dengan kata lain, Amada sudah ingat kalau Hitsujitani adalah teman masa kecilnya.
"Iya. Makasih, Miwa."
Sial, Hitsujitani jadi sekutu Amada itu masalah besar.
Padahal dia baru saja pindah, tapi sudah jadi populer di kelas.
Kalau Hitsujitani terlihat akrab sama Amada, teman sekelas lainnya juga jadi gak berani bersikap keras ke dia.
Lebih dari itu, korban utama kejadian dulu itu aku dan Hidaka, bukan teman-teman sekelas.
Mereka cuma penonton dari luar yang gak tahu banyak soal peristiwa itu. Makanya, walaupun ada yang gak suka, mereka akhirnya tetap menerima Amada.
Menyedihkan, tapi begitulah kenyataannya.
"Selamat datang kembali, Teru."
"Kamu masih mau manggil aku Teru, Tsuki?"
"Ya tentu saja."
Tsukiyama juga, dengan santai, menyambut Amada.
Dia itu memang dari dulu tipe orang yang kalau Amada tidak masuk sekolah, dia akan khawatir dan berusaha melihat keadaannya.
Makanya, aku sudah tahu kalau begitu Amada datang ke sekolah, dia akan menyambutnya dengan senyum.
"Ngomong-ngomong, kenapa Hitsujitani dan Teru bisa sedekat itu?"
"Fufu! Sebenarnya, kami ini teman masa kecil!"
"Eh! Serius!?"
Mendengar ucapan Hitsujitani, Tsukiyama membelalakkan mata.
Informasi bahwa Amada sebenarnya tidak melupakan Hitsujitani, yang sebelumnya hanya dugaan, kini terbukti sepenuhnya benar. Dan itu cukup menghantam mentalku.
Benar-benar, kalau urusannya sama Amada, tidak ada hal baik yang terjadi padaku.
"Kazupyon..."
Hidaka mengeluarkan suara yang terdengar cemas. Bukan hanya aku, bagi Hidaka pun Amada adalah lawan terburuk.
Tidak mungkin ada hal baik terjadi dengan kembalinya dia ke sekolah.
"Tidak apa-apa."
Setidaknya untuk mengurangi kecemasannya sedikit, aku menyampaikan itu dengan senyuman.
Sebenarnya aku ingin menghapus seluruh kecemasannya, tapi untuk saat ini, ini saja yang bisa kulakukan──
"Bagus! Ini juga lumayan bagus!"
Ternyata dia jauh lebih semangat dari yang aku kira...
◇ ◇ ◇
Amada Teruhito mulai bersekolah lagi di SMA Hirasaka.
Padahal, belum ada masalah besar yang terjadi.
Meskipun begitu, firasat buruk bahwa keseharianku akan runtuh semakin kuat, mungkin karena perkembangan situasinya terlalu cepat.
"Teru, bilang dulu deh, aku tidak akan melakukan hal kayak dulu lagi!"
"Aku tahu kok, Mooka. Tapi, waktu itu, bukannya aku, tapi Hime yang..."
"Ara? Padahal aku sudah berusaha keras demi Teru-san, kok dibilang begitu sih?"
"Meski begitu, tetap saja itu keterlaluan!"
"Hahaha! Sudahlah, Iba dan Ushimaki juga, anggap saja sudah lewat!"
"Eh kalian berempat! Jangan asyik ngobrol tentang masa lalu waktu aku gak ada, dong~"
Saat istirahat makan siang, yang berkumpul di sekitar Amada Teruhito adalah seperti biasa sahabat lamanya, Tsukiyama Ouji.
Ditambah lagi tiga gadis cantik: Ushimaki Fuuka, Iba Kouki, dan Hitsujitani Miwa.
Sejujurnya, aku sudah memperkirakan ini akan terjadi begitu Amada kembali, tapi tidak menyangka semua itu terjadi secepat ini, bahkan sebelum jam makan siang selesai.
Hanya saja, satu hal yang agak di luar dugaan adalah Kanie tidak kembali ke "harem"-nya Amada.
Teman-teman cewek yang segrup dengannya pun bertanya dengan heran, "Gak apa-apa?"
Kanie pun tersenyum kecil dan menjawab:
"Tempatku ada di sini."
Dengan ekspresi lembut itu dan satu kalimat itu, para cewek langsung terpesona.
"Koro, imut banget~! Kami juga sayang kamu!"
"Wah! Ugh, sakit... susah napas..."
Tubuh kecil Kanie dipeluk erat dan dihujani kasih sayang berlebihan. Meskipun pelukannya agak kasar, Kanie sendiri tampaknya tidak terlalu keberatan.
"Kazupyon, kamu gak apa-apa?"
Mungkin dia bertanya tentang bagaimana aku merasa melihat teman-teman seperti Tsukiyama yang dulunya sempat dekat denganku, kini berbalik mendekati Amada lagi.
"Enggak masalah. Siapa yang mau mereka habiskan waktu bersamanya, itu pilihan mereka sendiri."
Lagian, aku memang tidak pernah menganggap Ushimaki dan lainnya itu benar-benar teman.
Dalam kehidupan pertamaku, mereka sangat menyakitiku.
Bahkan di kehidupan kedua ini, mereka hampir saja menjebakku.
Kalau mereka menjauh, aku tidak peduli. Kalau pun ada yang menggangguku, itu hanya fakta bahwa mereka kembali berkumpul di sekitar Amada.
Itu... yah, cukup merepotkan.
"..........."
Tanpa sengaja, pandanganku bertemu dengan Ushimaki yang sedang ngobrol santai dengan Amada dan yang lainnya.
Tapi dia cepat-cepat memalingkan wajahnya dengan ekspresi bersalah.
Tenang saja, aku gak marah, kok. Asal kalian gak berani macam-macam lagi, aku gak akan ganggu juga.
"Aku akan tetap di sisimu, Kazupyon."
"Terima kasih."
Benar. Aku masih punya Hidaka di sisiku.
Kalau Amada mau kembali jadi protagonis dalam drama cinta ini, terserah dia. Asal dia tidak menyeret keluargaku atau Hidaka ke dalam kekacauannya.
"Kazupyon, ayo makan."
"Ayo."
Aku keluar dari kelas bersama Hidaka.
Saat kami berjalan di lorong, Hitsujitani mengejar kami.
"Hei, Ishii-kun, Hidaka-san!"
Saat aku menoleh, Hitsujitani menatap kami dengan sedikit ketegangan, tapi wajahnya juga menunjukkan kegembiraan karena Amada akhirnya kembali ke sekolah.
Aku mulai berpikir... apa aku salah karena pernah menceritakan tentang Amada padanya?
Kalau saja aku tidak bilang apa-apa… Tapi, sekarang menyesal pun sudah terlambat.
"Ada apa?"
"Ini... kalau mau, mau gak makan siang bareng? Tentu, bareng Teruchi juga, sih..."
"Kamu tahu kan, aku gak mungkin mau?"
"Ah... iya. Iya, bener juga... Maaf ya, nanya aneh-aneh."
Hitsujitani langsung membalikkan badan dan kembali ke kelas. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia menoleh sebentar dan berkata, "Aku gak akan maksa lagi, kok!"
Apakah itu sungguh niatnya atau hanya omong kosong, aku tidak tahu.
Bahkan kalau sekarang dia sungguh-sungguh, nanti dia bisa saja berubah pikiran kalau diminta oleh Amada.
Aku tahu betul dalam hidup pertamaku: seorang heroine akan rela mengorbankan segalanya untuk protagonisnya.
◇ ◇ ◇
Pelajaran siang hari dimulai dengan olahraga gabungan antar kelas.
Seperti biasa, sesi dimulai dengan pemanasan. Di SMA Hirasaka, pemanasan dilakukan berpasangan.
Sebelumnya, karena Amada tidak pernah hadir, selalu ada satu siswa yang tidak punya pasangan dan akhirnya harus berpasangan dengan guru.
Tapi mulai hari ini, semua siswa bisa berpasangan dengan sempurna berkat kehadiran Amada.
Aku, yang tidak punya teman baik di SMA Hirasaka, biasanya berpasangan dengan Tsukiyama, yang juga tidak punya teman dekat. Namun, hari ini tampaknya agak berbeda.
"Ishii, mau berpasangan?"
"Sudah kubilang, jangan pernah berurusan lagi denganku, kan?"
"Mau gimana lagi. Aku gak ada pasangan lain."
"...Tsk."
Karena dia datang — Amada Teruhito.
Para cowok lain, termasuk Tsukiyama, sudah berpasangan. Artinya, aku secara otomatis harus berpasangan dengan Amada. Para siswa yang tahu apa yang terjadi di antara kami diam-diam memperhatikan kami, sementara guru, yang tidak tahu apa-apa, dengan santainya memberikan instruksi untuk pemanasan.
"U-uh, Ishii,"
"Apa sih?"
Dengan punggung saling bersentuhan dan tangan saling terkait, kami melakukan latihan pemanasan di mana satu orang mengangkat dari belakang, sementara Amada mencoba mengobrol denganku. Sebenarnya aku enggan menjawab, tapi dia akan tetap bicara meski aku diam.
"Ga perlu... segitu... waspadanya, kok..."
"Yang... nentuin... itu aku!"
Mendapatkan kata-kata paling tidak bisa dipercaya dari orang yang paling tidak bisa dipercaya di dunia—apa aku terlihat seperti bakal percaya?
Meski begitu, dia tidak akan membuat masalah langsung setelah kembali ke sekolah.
Meskipun Hitsujitani yang populer ada di sisinya, Ushimaki dan Iba sekarang sudah kehilangan banyak kepercayaan di sekolah dibandingkan di kehidupan pertamaku.
Sedangkan Tsukiyama, meskipun hasil akhirnya mirip, ada sedikit perubahan pada kepribadiannya—dia tidak akan pernah membantu kejahatan Amada karena keadilan yang dipegangnya. Setidaknya untuk itu, aku masih bisa mempercayainya.
Jadi, aku sebenarnya bukan takut pada Amada yang sekarang. Aku takut pada Amada setelah semester kedua.
Di SMA Hirasaka ini, banyak event komedi romantis akan terjadi, dan hampir selalu diikuti oleh masalah. Walaupun ada event yang murni romantis tanpa masalah, hasil akhirnya tetap sama: para heroine jatuh cinta pada Amada Teruhito.
Kalau Amada benar-benar kembali, semua event itu akan jatuh ke tangannya lagi. Para heroine akan jatuh cinta padanya, dan Harem Amada akan terbentuk. Itu yang kutakutkan.
Aku hanya bisa menang melawannya sebelumnya karena saat itu baru semester satu, sebelum haremenya terbentuk sempurna.
Kalau harem Amada yang dulu terbentuk lagi?
Kalau mereka kembali berusaha menjatuhkanku?
Kali ini, aku pasti kalah. Aku akan kehilangan keluargaku lagi... dan juga Hidaka...
"Aku berencana pindah sekolah."
"Apa?"
Aku tanpa sadar menghentikan gerakan pemanasan mendengar kata-kata dari Amada di belakangku. Kami berbalik saling menghadap. Amada tersenyum lega entah kenapa.
Amada mau pindah sekolah?
"Setelah semua yang terjadi, rasanya canggung buat tetap sekolah di sini. Lagian aku udah banyak bolos, kehadiranku udah mepet banget. Daripada tinggal kelas, mending pindah. Oh ya, aku sempat ikut ujian tengah semester, lho."
"Kamu ikut? Bukannya kamu gak datang waktu itu?"
"Aku diam-diam datang di hari lain buat ikut. Katanya, itu kebijakan khusus buat siswa yang banyak bolos."
Jadi begitu... tapi itu bukan masalah sekarang.
"Kamu beneran mau pindah?"
"Iya. Jujur aja, selama kamu dan Mikoto bareng, aku nggak ada peluang lagi. Atau mau tukeran, kamu yang pindah sekolah?"
"Tidak mungkin."
"Yah, udah kuduga~"
Dengan santai, tanpa menunjukkan rasa sakit hati, Amada berkata. Dia pasti tahu jawabanku dari awal.
Amada melemparkan senyum seakan sudah merelakan semuanya.
"Aku nggak akan ganggu kamu atau Mikoto lagi. Kalian udah kayak pasangan, kan? Jagain dia baik-baik."
"Kamu juga pernah ngomong kayak gitu sebelumnya. Waktu mau menjebakku."
"Ahaha, masih inget aja. Ketat banget sih."
Amada tertawa keras.
Kalau memang Amada benar-benar pindah, ini kabar terbaik buatku.
Aku masih penasaran siapa yang akan mengurus semua event komedi romantis setelah dia pergi, tapi setidaknya aku bisa menghindari ketakutan terbesarku.
Meski begitu, aku nggak bisa percaya begitu saja. Karena dia sudah pernah menipuku dengan cara seperti ini.
"Yah, gitu deh. Walaupun cuma sebentar lagi, salam kenal."
"...Iya."
Aku tak punya kata lain selain menerima ucapannya.
◇ ◇ ◇
Hari Minggu. Karena aku nggak jadwal kerja paruh waktu, aku pergi jalan-jalan bersama Hidaka dan Yuzuki.
Setelah sarapan berlima, kami bersiap-siap, lalu pergi bertiga.
Biasanya orang janjian ketemu langsung di tempat, tapi aku sudah tahu percuma bicara logika umum ke Hidaka. Ini sudah jadi rutinitas kami.
Aku nggak mengeluh tentang itu. Yang benar-benar ingin kusesali adalah...
"Sebenernya, Kazu nggak harus ikut juga, kan?"
Hari ini, Yuzuki memilih Hidaka sebagai teman jalan-jalannya. Aku nggak diundang.
"Kenapa kamu ngomong kayak gitu, Yuzu! Bukankah kita sudah bersumpah untuk bersama selamanya... selamanya... selama-lamanya?"
"Artinya sama aja, dan kita nggak pernah bersumpah kayak gitu!"
"Tapiii!"
"Hari ini aku mau beli kosmetik, Kazu nggak perlu ikut kan!"
Memang begitu adanya. Hari ini, alasan Yuzuki mengajak Hidaka keluar adalah karena dia ingin membeli kosmetik.
Yuzuki, yang merasa minder karena wajahnya yang kekanak-kanakan, sering membeli kosmetik dengan uang jajannya agar bisa memberikan kesan sedikit lebih dewasa.
Di antara berbagai kosmetik itu, yang paling disukai dan sering dibelinya adalah "produk yang direkomendasikan oleh Hanatori Miyabi".
Menurut Yuzuki, kosmetik yang direkomendasikan oleh Hanatori Miyabi harganya cukup terjangkau untuk kalangan SMP dan SMA, tapi kualitasnya sangat bagus, jadi setiap kali ada yang direkomendasikan, Yuzuki pasti membelinya.
"Miyabi-chan itu populer, jadi banyak perusahaan yang mengajukan kerja sama, tapi untuk produk kosmetik, dia benar-benar selektif dan hanya mau merekomendasikan barang yang dia anggap benar-benar bagus. Buktinya, sejauh ini belum pernah sekalipun aku merasa kecewa dengan rekomendasinya."
Itulah kata-kata Yuzuki.
Bahkan setelah mengetahui bahwa identitas Hanatori Miyabi sebenarnya adalah Hitsujitani Miwa, Yuzuki tetap berkata penuh kasih, "Hal-hal baik harus tetap dihargai." Seperti yang kuduga, dia benar-benar seorang malaikat.
Setelah mendengar cerita itu, aku sempat berkata bahwa Yuzuki sudah cukup imut tanpa perlu berdandan, tapi dia menatapku dengan wajah mengerikan dan berkata, "Kalau kamu bilang begitu, kamu bakal dijadikan musuh semua perempuan di dunia ini."
Tak lama setelah itu, aku pun mulai mempelajari tentang kosmetik dengan serius.
"Walaupun begitu, aku tetap mau bersama Yuzu! Ya, Yuzu, boleh kan? Kakak punya uang, lho? Nih, ada uang dari kerja part-time juga. Apa pun yang Yuzu mau, akan kubelikan..."
"Cara ngomongmu menyeramkan... Itu kan uang yang Kazu susah payah dapatkan, jadi pakailah untuk dirimu sendiri. Atau belikan sesuatu untuk Papa dan Mama saja."
"Itu ide bagus! Baiklah, kita lakukan itu! Kira-kira apa yang bagus ya?"
"Kalau begitu, setelah kita selesai belanja, kita pilihkan hadiah untuk Papa dan Mama, ya. Aku juga akan ikut patungan, jadi jangan pilih yang terlalu mahal, ya."
Haaah…
Kenapa Yuzuki bisa sebaik ini, seperti malaikat sungguhan?
Aku benar-benar dibuat bingung karena terlalu menyayanginya.
"Yuzuki-chan, aku juga mau ikut patungan. Aku juga sering ditolong sama Papa dan Mama."
"Mm, oke."
Yuzuki menerima tawaran Hidaka dengan santai, tapi ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya.
Bukannya lebih wajar kalau Hidaka membelikan hadiah untuk keluarganya sendiri?
"Kazupyon, kita pilih hadiah bareng-bareng, ya."
"Ah, iya, tentu."
Aku pun sempat berpikir.
Walaupun aku sudah menghabiskan cukup banyak waktu bersama Hidaka, mungkin aku sebenarnya belum benar-benar mengenalnya sebaik yang kukira.
Sepertinya kalau kutanya, Hidaka akan dengan jujur menjawab, tapi justru karena itu, rasanya jadi sulit untuk bertanya.
Pasti Amada tahu banyak tentangnya, ya…
Memikirkan itu, aku merasa frustrasi tanpa alasan.
◇ ◇ ◇
Dari rumah ke stasiun, termasuk waktu untuk berganti kereta, semuanya memakan waktu satu setengah jam.
Tujuan kami hari ini adalah sebuah pusat perbelanjaan yang terletak cukup jauh dari kampung halaman kami.
Kosmetik rekomendasi Hanatori Miyabi yang hendak dibeli Yuzuki hanya dijual di toko tertentu, dan ini sudah merupakan toko yang paling dekat.
"Kalau begitu, Kazu, tunggu saja di sini, ya. Nanti aku kasih kabar kalau sudah selesai."
"Fu, fuguu... Baiklah…"
Kata-kata Yuzuki yang tanpa belas kasihan menghantamku.
Padahal aku sudah bersiap untuk ikut menemaninya, tapi rupanya hari ini bukan hanya untuk membeli kosmetik, Yuzuki juga berencana membeli pakaian dalam, jadi aku diperintahkan untuk menunggu.
Meskipun kami kakak-adik, tetap saja ada batasan yang tak bisa dilanggar.
"Jangan pasang wajah sedih begitu dong. Jadi kayak aku yang berbuat jahat, kan."
"Yuzuki-chan, Kazupyon juga ikut...?"
"Mikoto-chan, jangan memanjakan dia! Kalau memang nggak boleh, harus tegas bilang nggak boleh!"
"Uuh... Kazupyon, maaf ya..."
"Nggak usah dipikirkan. Aku akan menunggu di sini. Akan menunggu... selama apa pun!"
"Berat banget omongannya…"
Meninggalkan kata-kata malas begitu saja, Yuzuki pun pergi bersama Hidaka.
Aku menatap punggung mereka sampai menghilang dari pandangan, lalu berjalan menuju sofa istirahat.
"...Mungkin aku keliling-keliling saja."
Walau sudah duduk di sofa, aku merasa bosan karena tidak ada yang kulakukan. Jadi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan keliling dalam pusat perbelanjaan.
Tentu saja, aku tidak akan sengaja mendekat ke bagian pakaian dalam untuk "kebetulan bertemu."
Sebagai kakak, aku harus menepati janji dengan Yuzuki.
Sekalian, mungkin bagus juga kalau aku mencari-cari ide hadiah untuk ayah dan ibu.
Saat aku berpikir begitu dan mulai berkeliling, mataku menangkap sosok seorang gadis yang tampak mencurigakan, berusaha menutupi wajahnya sambil bergerak tergesa-gesa.
Bukannya tidak mencolok, gaya seperti itu malah membuatnya semakin mencolok, kan?
Saat aku memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama...
"Hitsujitani?"
Begitu aku memanggil, tubuhnya langsung bergetar. Dia perlahan menurunkan tangannya yang menutupi wajah, memperlihatkan sosok yang sesuai dengan dugaanku—Hitsujitani Miwa.
"Ya... yaa. Kebetulan, ya. Nggak nyangka ketemu di tempat kayak gini... padahal ini jauh banget dari rumah."
Aku juga cukup terkejut bertemu Hitsujitani Miwa di pusat perbelanjaan ini.
Kelihatannya dia juga sama terkejutnya.
Tapi, kenapa dia kelihatan begitu ketakutan?
"Sebenernya, hari ini aku ke sini buat beli kosmetik! Kan, buat promosi di siaran, aku harus coba semua produknya sendiri dulu. Jadi aku mau beli sebanyak mungkin! Di sekitar sini, cuma di tempat ini kosmetik favoritku dijual!"
Tanpa aku tanya, dia langsung memberi penjelasan panjang lebar. Entah kenapa, nadanya terdengar seperti sedang mencari-cari alasan.
Sikapnya benar-benar aneh. Padahal, baru beberapa waktu lalu dia masih sering datang menemuiku, kan?
"Eh, maaf ya! Aku harus jaga jarak, soalnya..."
"Miya-chan, maaf lama ya!"
"...!"
Kali ini, giliranku yang terkejut luar biasa.
Yang memanggil Hitsujitani dengan "Miya-chan" adalah seorang pria dewasa, jelas lebih tua dari kami.
Sekitar akhir 20-an, berbadan gemuk dengan pakaian longgar—pakai hoodie besar meski musim panas sudah dekat, mungkin untuk menutupi perutnya.
Melihatku sedang berbicara dengan Hitsujitani, pria itu langsung menunjukkan ekspresi tidak suka.
"Itu siapa?"
"Ah, e-ehm... Cuma kebetulan ketemu aja, kok..."
"Miya-chan. Itu siapa?"
Pria itu memandang Hitsujitani dengan tatapan tajam.
Bukan seperti orang yang hanya ingin mendengarkan alasan—lebih seperti, dia marah karena Hitsujitani terlihat berusaha menyembunyikan siapa aku.
"Hei! Jangan bersikap kasar gitu! Itu kan nggak sopan ke orang ini!"
"Hh! M-maaf, Miya-chan!"
Begitu Hitsujitani menunjukkan kemarahannya, posisi mereka langsung berbalik.
"Kamu jadi benci aku, ya?"
"Belum. Tapi kalau kamu terus bersikap kayak tadi, mungkin aku bakal mulai benci."
"Jangan! Jangan gitu!"
Aura menakutkan pria itu lenyap, berganti dengan ekspresi memelas, nyaris menangis.
Sedikit banyak, aku jadi mengerti hubungan antara mereka. Yah, tidak bisa dihindari. Aku putuskan untuk ikut bermain sesuai arah yang menguntungkan Hitsujitani.
"Eh, aku teman sekelasnya Hitsujitani... Tapi, Miya-chan itu?"
"Ah! Aduh!"
Aku buru-buru melemparkan umpan untuk menyelamatkan Hitsujitani. Pria itu, yang tadinya menunjukkan ketidakpuasan, kini tampak panik.
Mungkin dia berpikir dari jawabanku, aku tidak tahu bahwa Hitsujitani adalah Hanatori Miyabi.
Melihat itu, Hitsujitani sendiri tampak kaget, matanya membelalak.
"Masalah panggilan nama... ya santai aja lah!"
Pria itu mencoba menutupi kegugupannya dengan kemarahan.
Tapi jujur saja, akulah yang paling kebingungan di sini.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Kenapa Hitsujitani bersama pria ini?
Seharusnya, sebagai siswa SMA biasa, aku tidak mungkin tahu identitas teman (atau lebih tepatnya, kenalan?) Hitsujitani.
Tapi, pria ini beda.
"...Tadi juga udah kubilang, jangan pakai sikap kayak gitu..."
"A-ah! Maaf! Maaf banget!"
Dalam kehidupanku yang dulu, aku memang tidak pernah bertemu langsung dengannya, tapi aku pernah melihat foto pria ini.
Mungkin lebih muda dari dirinya, pria itu terus membungkuk dengan memalukan di hadapan Hitsujitani.
Orang ini adalah...
"Yah, aku senang tahu kalau kamu bukan orang spesialnya Miya-chan."
Pria ini... adalah orang yang dulu menguntit Miwa Hitsujitani.
"Iya, tentu saja begitu..."
"Ayo, Miya-chan, kita lanjut belanja, kan masih belum selesai?"
"Iya... benar juga..."
Meskipun didesak pria itu, Hitsujitani masih terus melirikku seakan ingin mengatakan sesuatu.
"Tenang saja, aku nggak bakal ngadu ke siapa pun."
"Ah! Iya! Makasih banyak!"
Begitu mendengar kata-kataku, Hitsujitani langsung tersenyum cerah dan pergi bersama si pria itu.
Kenapa?
Kenapa Hitsujitani kelihatan begitu akrab berbelanja dengan si penguntit itu?
Di kehidupanku yang pertama, bukankah Hitsujitani pindah ke SMA Hirasaka untuk melarikan diri dari pria itu?
Apa ini akibat dari tindakanku di kehidupan kedua ini?
Tidak, itu mustahil. Memang benar tindakanku mempengaruhi banyak hubungan di SMA Hirasaka, tapi tidak mungkin sampai mempengaruhi hubungan seseorang yang bahkan belum ada di sana saat itu.
Dengan kata lain, bahkan di kehidupan pertamaku, Hitsujitani dan pria itu sudah saling mengenal. Kalau begitu, kenapa pria itu akhirnya menjadi penguntit yang dipermalukan?
"Bukan urusanku. Ini bukan urusanku..."
Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri seperti itu, tapi pikiranku tetap penuh dengan berbagai spekulasi.
Tenang. Jangan panik karena informasi yang terlalu banyak. Coba urutkan satu per satu.
Pertama-tama, pisahkan informasi yang kudapat di kehidupan pertama dan kehidupan kedua:
- Kehidupan Pertama
Miwa Hitsujitani pindah ke SMA Hirasaka untuk melarikan diri dari seorang penguntit.
Kitami Sae menjual informasi tentang keberadaan Hitsujitani ke si penguntit.
- Kehidupan Kedua
Miwa Hitsujitani adalah teman masa kecil Teruhito Amada dan memiliki perasaan samar padanya.
Miwa Hitsujitani dan si penguntit sudah saling mengenal dari awal, dan pria itu sangat patuh pada Hitsujitani.
Kitami Sae tidak tahu siapa si penguntit, apalagi menjual informasi apapun.
Jelas sekali, dua cerita ini sangat berbeda. Tapi, kalau menggabungkan informasi dari kehidupan kedua ini ke dalam yang pertama, seluruh insiden itu kelihatan sangat berbeda.
Mulai dari sini, aku akan membahas hipotesisku tentang kebenaran di balik insiden Hitsujitani di kehidupan pertama:
Di kehidupan pertama, Hitsujitani mengaku pindah sekolah untuk melarikan diri dari penguntit, tapi itu bohong.
Sebenarnya, Hitsujitani, yang masih menyimpan perasaan pada Amada, berusaha mencari tahu keberadaan Amada dengan berbagai cara, dan memutuskan pindah ke SMA Hirasaka hanya untuk bisa bertemu dengannya.
Namun, setelah benar-benar pindah, dia menemukan bahwa di sekitar Amada sudah ada banyak gadis cantik.
Bahkan lebih parah, Amada sendiri (mungkin dengan sengaja) seolah-olah telah melupakan dirinya, dan di sisi Amada sudah ada teman masa kecil—yang tentu saja jauh lebih dekat dengannya.
Bagi Hitsujitani, keberadaan teman masa kecil seperti Hidaka itu adalah rintangan besar. Karena itu, Hitsujitani berusaha membangun hubungan baru dengan Amada lewat "drama" yang lebih dramatis.
Maka terciptalah... si penguntit.
Dengan kata lain, insiden di kehidupan pertama itu adalah rekayasa.
Si pria itu dijadikan kambing hitam sebagai "penguntit" oleh Hitsujitani.
Kalau cuma sampai situ saja, aku bisa mengabaikannya. Kasihan si pria itu, tapi bagiku itu hanya salah satu kisah cinta yang bukan urusanku.
Masalahnya, kisah ini tidak berakhir di situ.
Ada Kitami Sae. Di kehidupan pertama, Kitami Sae dituduh telah menjual informasi tentang alamat Hitsujitani ke si penguntit, membuat Hitsujitani menderita.
Tapi itu... adalah kesalahpahaman.
Karena di kehidupan kedua, kita tahu:
Kitami Sae sendiri membantah pernah menjual informasi. Hidaka juga membantah hal yang sama.
Kalau cuma dari ucapan mereka berdua, mungkin bukti ini terasa lemah. Tapi ada satu bukti kuat lain:
Hitsujitani dan si pria itu sudah saling mengenal sejak awal.
Kalau begitu, si pria itu tidak perlu membeli informasi dari Kitami, karena dia bisa langsung mendapatkannya dari Hitsujitani sendiri.
Kesimpulannya:
Di kehidupan pertama, Kitami Sae sengaja dijebak sebagai si "pengkhianat".
Tapi... kenapa? Kenapa Sae harus diperlakukan seperti itu?
Di kehidupan pertama maupun kedua, Hitsujitani dan Kitami tidak punya hubungan sama sekali. Hitsujitani tidak punya alasan untuk menjebak Kitami.
Meskipun begitu, kenyataannya Kitami tetap dijebak.
Dia terus berusaha membuktikan ketidakbersalahannya, tapi tidak ada yang mau mendengarnya. Ditekan oleh orang-orang di sekitarnya, dia hancur... persis seperti aku di kehidupan pertamaku...!
"...Jadi, begitu ya..."
Tidak. Itu tidak sepenuhnya benar. Memang benar Hitsujitani tidak ada hubungan langsung dengan Kitami. Tapi kalau kita memasukkan dua orang lagi dalam persamaan ini, sebuah kemungkinan baru muncul.
Teruhito Amada dan Hidaka Mikoto.
Aku berusaha mengingat kembali ingatan dari kehidupan pertamaku.
Setelah insiden Hitsujitani berakhir, aku pernah menghabiskan waktu sendirian bersama Amada.
Waktu itu, Amada pernah berkata:
"Lagipula, aku juga ingin sedikit mencoba tantangan. Ingin tahu seberapa jauh kekuatanku bisa berguna."
Arti sebenarnya dari kata-kata itu. Itu bukan tentang mencoba melindungi Hitsujitani dari bahaya.
Itu adalah sebuah eksperimen. Untuk melihat sejauh mana para heroine akan bertindak demi dirinya.
Dan korban dari eksperimen itu adalah Kitami Sae.
Kitami Sae, satu-satunya teman Hidaka Mikoto.
Bagi Amada Teruhito, heroine yang paling diprioritaskan adalah Hidaka Mikoto.
Kitami, yang akrab dengan Hidaka, adalah sosok yang mengganggu bagi Amada.
Karena itu, dia ingin menyingkirkannya. Untuk mengisolasi Hidaka sepenuhnya dan membuatnya bergantung pada dirinya.
Mungkin Hitsujitani membantu dalam hal itu. Demi Amada yang sangat dia cintai.
Pada awalnya, kasus stalker yang dibuat oleh Hitsujitani hanyalah untuk mempererat hubungannya dengan Amada.
Namun Amada melihat rencana Hitsujitani itu, dan malah memanfaatkannya untuk dirinya sendiri.
Mungkin, seperti biasanya, dia mengeluhkan sesuatu dengan pura-pura rapuh di depan Hitsujitani.
Seperti, "Aku ingin lebih banyak berbicara dengan Mikoto, tapi karena dia punya teman dekat, aku jadi merasa seperti pengganggu," dan sebagainya.
Lalu Hitsujitani, setelah mendengar itu, bertindak. Ia menambahkan bumbu yang terlalu kejam pada kasus stalker yang awalnya untuk dirinya sendiri, demi memenuhi keinginan Amada.
Sudah jelas, dalam kehidupan pertamaku, semua rencana Amada berjalan lancar.
Eksperimen itu berhasil.
Mereka menangkap stalker itu, lalu bahkan menemukan 'pelaku sebenarnya' yang disebut-sebut menjual informasi.
Akibatnya, Kitami kehilangan posisinya di SMA Hirasaka dan harus pindah sekolah. Tapi kalau begitu, bagaimana dengan kehidupan kali ini?
Kalau Hitsujitani hendak membuat kasus stalker palsu lagi, bagaimana Amada akan memanfaatkannya?
Apakah kali ini juga dia akan menjebak Kitami Sae? Tidak, itu mustahil.
Memang, Kitami, yang akrab dengan Hidaka, tetaplah sosok yang mengganggu bagi Amada. Tapi sekarang, ada orang lain yang jauh lebih jelas mengganggu Amada.
Itu aku — Ishii Kazuki.
Sosok yang paling menghalangi rencana cinta Amada dengan Hidaka Mikoto jelas-jelas adalah aku. Kalau begitu, apakah Amada berencana menjadikan aku sebagai pelaku yang menjual informasi?
Memang, aku sudah diketahui oleh Hitsujitani sebagai seseorang yang tahu "Hanatori Miyabi adalah Hitsujitani Miwa."
Jadi kalau mau menjadikan aku sebagai pelaku, itu mungkin.
Tapi tetap saja, terlalu beresiko, bukan?
Karena Amada sudah pernah gagal menjebakku sebelumnya.
Kalau dia mengulanginya lagi, dia pasti dicurigai, dan tujuan akhirnya — yaitu benar-benar menyingkirkanku — akan sulit tercapai. Amada sendiri pasti paham itu.
Kalau begitu, apa yang akan dia lakukan?
Apa yang sebenarnya ingin dilakukan Amada Teruhito kali ini lewat Hitsujitani?
Kalau aku berharap ada perkembangan yang menguntungkan bagiku, itu adalah kemungkinan bahwa Amada sama sekali tidak berniat melakukan apa-apa.
Dia sendiri, beberapa waktu lalu saat pelajaran olahraga, mengatakan bahwa dia akan pindah sekolah.
Kalau itu benar...
—Ah. Sejujurnya, hanya dengan Ishii dan Mikoto selalu bersama, aku sudah nggak punya kesempatan sama sekali. Atau, mau kau yang pindah sekolah menggantikanku?
Kata-kata Amada yang baru-baru ini ia lontarkan terngiang di kepalaku.
"Bukan aku... bukan aku yang jadi sasarannya..."
Kalau memang benar Amada akan pindah sekolah, maka menjebakku pun tidak ada gunanya.
Karena Amada sendiri akan meninggalkan sekolah ini.
Kalau begitu, siapa yang akan dijadikan target?
Siapa yang kalau dipaksa pindah sekolah, akan sangat menguntungkan bagi Amada?
Jawabannya hanya satu.
Kali ini, target Amada bukan aku.
Dia sama sekali tidak berencana menjebakku.
Sasaran Amada adalah...
"……Hidaka Mikoto."
POV Amada Teruhito
Kenapa aku harus mengalami semua ini?
Aku terus-menerus mempertanyakan itu pada diriku sendiri.
Hari itu, sebenarnya yang seharusnya dihukum adalah Ishii Kazuki, bukan aku. Sebagai antagonis yang muncul di awal cerita, dia seharusnya diadili.
Main heroine yang awalnya tertipu olehnya pun akan menyadari perasaannya terhadap sang protagonis, dan kisah romcom sesungguhnya akan dimulai.
Tapi pada kenyataannya, aku lah yang diadili.
Serius, aku nggak ngerti lagi.
Aku nggak pernah menyangka kalau Ishii itu orang gila kayak gitu. Aku nggak melakukan apa pun, tapi aku dianggap telah memanfaatkan para heroine seenaknya.
Mana ada antagonis di awal cerita yang segila itu?
Biasanya yang muncul itu musuh tingkat tutorial saja, sekadar untuk menunjukkan kekuatan sang protagonis.
Dan heroine-heroine yang kupilih juga parah. Bagi mereka, berkorban untukku itu hal yang wajar. Harusnya mereka bertanggung jawab penuh demi aku.
Tapi apa yang mereka lakukan?
Mereka malah gagal sendiri dan melemparkan semua tanggung jawab ke aku.
Ushimaki Fuuka, Iba Kouki, Kanie Kokoro — mereka semua sampah tak berguna.
Sebenarnya, memberikan mereka gelar 'heroine' saja sudah salah besar. Mereka cuma sampah wanita biasa.
Aku sudah membantu menyelesaikan masalah mereka, jadi normalnya mereka harus mendedikasikan seluruh hidup mereka untukku.
Namun pada akhirnya, mereka lebih memilih percaya pada Ishii, si antagonis, daripada padaku. Dan mereka membiarkanku hancur begitu saja. Sampah sejati.
Tapi di atas semua itu, ada sampah yang paling menjijikkan.
Hidaka Mikoto.
Kalau saja dulu dia langsung jatuh cinta padaku, semua ini nggak akan terjadi. Saat dia kesusahan waktu kecil, bukankah aku yang selalu ada di sisinya?
Heroine sejati itu harusnya nggak pernah melupakan rasa terima kasih, dan terus membalasnya dengan setia. Tapi dia dengan mudah membalikkan telapak tangan, lalu bertindak semaunya sendiri.
Gara-gara dia, aku bahkan sampai nggak bisa lagi ke sekolah.
Cepatlah, datang dan lihat keadaanku karena khawatir. Aku ini sudah menunggu dengan sabar, tapi yang datang cuma Tsuki yang nggak berguna sama sekali. Dia benar-benar orang yang nggak peka.
Kalaupun kau datang karena khawatir, yang akan aku rasakan cuma kekecewaan. Jangan lakukan hal yang nggak perlu.
"Apa aku harus pindah sekolah, ya..."
Aku capek menghabiskan waktu untuk pikiran yang nggak ada artinya, jadi pikiranku beralih ke hal lain.
Kayaknya aku udah nggak mungkin lagi bisa menjalani cerita romcom di SMA Hirasaka ini, jadi mungkin aku memang harus pindah sekolah.
Kalau aku pindah, pasti takdir bakal membuat Hidaka Mikoto, pasangan jodohku, pindah ke sekolah yang sama juga. Lalu aku bisa mulai cerita romcom baru di sekolah baru, kan?
"Tenang. Sekarang saatnya bersabar..."
Nggak apa-apa. Aku ini tokoh utama cerita. Aku nggak boleh bertindak gegabah.
Lagipula, Ishii dan Mikoto belum pacaran──lebih tepatnya, sampai mati pun mereka nggak akan jadi pasangan.
Mikoto itu sebenarnya suka banget sama aku, cuma dia nggak sadar aja. Selama perasaan itu ada, nggak mungkin mereka jadian. Kalaupun Ishii nembak Mikoto, dia bakal ditolak.
Makanya, jangan panik. Saat yang tepat pasti akan datang.
Dan akhirnya, saat itu pun tiba.
"Ha... halo... Pertama kali bertemu, ya...? Kau Amada-kun, kan?"
"Iya, aku memang Amada, tapi..."
Gadis yang datang menemuiku itu adalah orang yang belum pernah kulihat di SMA Hirasaka. Tapi aku ingat siapa dia. Hitsujitani Miwa.
Saat SD dulu, aku pernah menolong dia karena kupikir mungkin dia bakal jadi heroine juga.
Karena dia nggak ada di SMA Hirasaka, aku kira dia udah gugur dari persaingan heroine, tapi apa aku salah paham?
"Aku Hitsujitani Miwa. Umm, aku baru saja pindah ke SMA Hirasaka."
"…………!"
Oh, jadi begitu. Ini memang salah satu event klasik di romcom. Ternyata Miwa ini karakter anak pindahan.
Gadis polos yang mengejarku untuk membalas budi masa kecil. Cocok banget jadi heroine cadangan yang bakal ditolak.
"Begitu ya. Jadi, ada apa Hitsujitani-san mau menemuiku?"
"…! Umm..."
Wajah kecewanya itu ketara banget. Makasih atas reaksi yang sesuai harapan ta.
Kelihatannya, dia memang suka padaku, dan cukup sadar akan posisinya sebagai heroine. Tapi, kalau begitu, bagaimana dengan ceritanya? Bukankah heroine utamanya adalah Hidaka Mikoto?
Terus terang aja, Mikoto itu jauh lebih cantik dari dia.
"Mau datang ke sekolah?"
Sambil menggigit bibir bawah, Miwa mengajakku. Tapi aku nggak bisa langsung mengangguk. Kalau aku setuju, bisa-bisa Miwa malah jadi heroine utama. Aku nggak mau itu.
Ceritaku harus Mikoto yang jadi heroine utama──oh, aku paham sekarang.
Sepertinya aku telah membuat kesalahan besar. Romcom itu nggak selalu harus dimulai dari upacara penerimaan.
Ada juga yang mulai dari semester kedua, dari tahun kedua, atau saat anak pindahan datang──banyak polanya. Dan romcom-ku ini ternyata termasuk yang dimulai dari anak pindahan.
Heroine utama tetap Mikoto. Heroine sampingan, Hitsujitani Miwa.
Cerita di mana dua teman masa kecil bersaing untuk memperebutkanku.
Kalau begitu, aku juga harus bertindak dengan benar.
"Um, Hitsujitani-san... mungkin kau lupa, tapi..."
"...Eeh!?"
Yup, gampang banget. Jangan pura-pura nggak kenal dan ngetes aku, ribet.
"Dulu kita satu kelas di kursus renang, kan?"
"Benar! Benar banget! Aku Miwa Hitsujitani dari waktu itu! Kau masih ingat aku..."
Haa... Aku benar-benar orang baik karena mau mengabulkan keinginan heroine kayak gini. Orang sebaik aku ini sampai harus menderita, dunia ini memang nggak adil.
"Teru-chii..."
Miwa berkata sambil menangis.
Kalau secepat ini jatuh hati, ya wajar dia cuma heroine cadangan.
Yah, untuk sekarang, aku bakal bertahan sama dia dulu.
"Senang bertemu lagi, Miwa. Tapi kurasa kita cuma bisa bersama sebentar."
"Eh? Kenapa?"
"Aku berniat pindah sekolah. Soalnya, ada banyak hal yang terjadi..."
"Kalau itu soal kejadianmu, aku sudah dengar... Tapi pasti ada alasannya, kan?"
Iya, memang gara-gara para cewek jelek itu, aku dibikin sengsara.
Meskipun begitu, aku juga salah karena salah paham soal awal cerita ini. Bisa sadar dan menyesal, aku memang benar-benar sosok protagonis sejati.
"Ya, mungkin hanya sebentar..."
"Nggak apa-apa. Aku akan melindungi Teruchii... Jadi, mau datang ke sekolah?"
Aku juga harus minta maaf ke Mikoto soal ini. Tapi dia pasti memaafkanku.
Karena, bagaimanapun, dia cinta banget sama aku.
"Kalau begini terus, aku bakal beneran pindah sekolah, lho?"
"Kalau gitu, aku juga ikut pindah. Aku kan baru saja pindah ke sini, lebih baik tetap bareng Teruchii."
"Aku senang kau mau balas budi, tapi kau nggak perlu sampai sejauh itu."
"Haa... Di bagian ini juga, kau masih tetap sama, ya. Padahal aku sudah berusaha sejauh ini."
Padahal sejauh ini apanya, kau belum ngapa-ngapain. Jangan ngarang prestasi sendiri.
"Hei, Teruchii. Apa ada sesuatu yang bisa aku lakukan? Aku akan melakukan apapun untukmu."
Jangan sok mengungkit sesuatu yang sudah sewajarnya. Dari awal pikir sendiri dan bertindak buat aku, baru aku mau terima.
Yah, sebagai heroine cadangan, dia cuma segini kemampuannya.
Karena kasihan, aku kasih tahu jawabannya.
"Kalau bisa sih, aku mau tetap dekat dengan Mikoto... Tapi, dengan keadaanku sekarang, itu sulit..."
"Mikoto, maksudmu Hidaka-san? Tapi, Hidaka-san itu kan sama Ishii-kun..."
"Iya. Makanya aku udah menyerah. Kalau mereka nggak putus, aku nggak ada kesempatan."
Keren, kan? Tentu saja kau tahu apa yang harus kau lakukan untukku, kan?
"…………Aku mengerti. Aku akan mencoba melakukan sesuatu."
Miwa berbisik lemah. Tentu saja aku pura-pura nggak dengar.
"Eh? Tadi kau bilang apa?"
"Nggak, nggak ada apa-apa! Teruchii, jangan pikirkan apapun dan datang aja ke sekolah! Aku akan ada di sana!"
Iya, iya, aku bakal lakuin itu.
Haa... Padahal aku cuma mau cepat-cepat bersama Mikoto dan dapat happy ending, tapi situasi dan waktu nggak mendukung. Menyebalkan banget.
Kalau nanti sudah menikah, anak mau berapa ya…
Previous Chapter | Next Chapter
Post a Comment