NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shibou End wo Kaihi shita Galge no Heroine-tachi ga Ore no [Nikki-chou] o Yonde Himitsu o Shitta Rashii [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 5

 Penerjemah: Amir

Proffreader: Amir


Chapter 5

Terima kasih


Aku, Sano Yuuto, memiliki empat orang yang dijanjikan oleh takdir untukku.


Itu terdengar seperti pemikiran kekanak-kanakan yang akan ditertawakan orang sebagai omong kosong chuunibyou, tetapi entah mengapa sejak aku sadar akan diriku sendiri, aku selalu merasakannya secara samar. Meskipun aku tidak tahu wajah maupun nama mereka, aku merasa seakan mengetahui segalanya tentang mereka.


Perasaan itu perlahan mulai mewujud dalam kenyataan setelah aku bertemu dengan teman masa kecilku, Satsuki. Saat masih SD, aku entah bagaimana bisa melihat bayangan dirinya ketika ia sudah menjadi siswi SMA. Rambut pendek berwarna merah muda yang ia miliki, dalam bayangan itu telah tumbuh panjang dengan indah layaknya bunga sakura yang berjatuhan, dan ia menatapku dengan senyum yang seakan mampu memikat siapa pun. Terlebih lagi, tubuhnya yang berkembang dengan indah membuatku, meski masih kanak-kanak, menyadari bahwa gadis ini adalah perempuan yang luar biasa. Itulah saat di mana salah satu dari takdir yang selama ini samar dalam diriku akhirnya menjadi nyata.


“Aku tidak boleh melepaskannya,”—sebuah dorongan instingtif yang mirip dengan naluri bertahan hidup mendorongku dari dalam. Roda takdir mulai bergerak ketika aku masuk SMA.


Kitagawa Reine, Nanjou Shuna, dan Shinonome Shino—saat semua perempuan takdirku lengkap, segalanya dimulai.


Pada tahun pertama, aku berusaha untuk mendapatkan mereka semua. Namun, meskipun aku sendiri yang berinisiatif, mereka justru menginjak-injak niat baikku.


Akhirnya, aku memutuskan untuk fokus pada Satsuki terlebih dahulu. Bukan berarti aku menyerah pada yang lain, tetapi seperti pepatah “mengejar dua kelinci, tak satu pun tertangkap,” aku merasa lebih baik menjadikan Satsuki milikku dulu. Setelah itu baru kupikirkan langkah selanjutnya. Dia memang sempat bilang ingin menjadi seorang gravure idol, tapi jujur saja, bagiku itu terserah saja.


Kalau dia ingin melakukannya, biarlah dia melakukannya. Itu bukan sesuatu yang harus kubatasi. Lagipula, aku sudah memiliki firasat bahwa titik balik dalam hidupku akan datang saat kelas dua SMA.


Namun ketika waktu itu tiba, dan aku mencoba mengembangkan hubungan dengan mereka berempat, tidak ada satu pun yang berubah. Sekali lagi niat baikku diabaikan. Sampai sekarang pun aku masih merasa jengkel mengingat hal itu.


“…Ngomong-ngomong, dulu ada seorang murid biasa yang mencoba akrab dengan mereka, ya.”


Faktanya, dia sudah dilupakan esok harinya, sungguh konyol. Sayangnya, aku bahkan tidak ingat wajahnya, tetapi mengingat betapa menyedihkannya dia sedikit membuat hatiku lega.


Hubungan kami mulai berubah saat mereka berempat mulai dijuluki 【Empat Gadis Cantik】 .


Entah kenapa, sikap mereka terhadapku menjadi lebih ramah, sering menyapaku, bahkan ada yang mengucapkan terima kasih atas hal-hal yang tidak kuingat pernah kulakukan. Kadang, sejumlah besar uang tiba-tiba masuk ke rekeningku. Anehnya, aku yakin akan satu hal—

Dunia ini berputar mengelilingiku. Tuhan sedang berusaha mempertemukanku dengan 【Empat Gadis Cantik】 . Aku juga menyadari ada seorang “perantara” yang bekerja untuk menaikkan rasa suka mereka padaku, atau bahkan menciptakan situasi yang menguntungkanku. Dugaanku benar, sebab tanpa aku berbuat banyak pun, ketika masuk kelas tiga SMA, aku sudah berhasil menaklukkan semuanya.


Ngomong-ngomong, aku menyebut perantara itu sebagai ‘Santa Claus.’ Aku tidak tahu rupa maupun suaranya, tapi nama itu terdengar pas.


Hanya saja, ada satu masalah. 【Empat Gadis Cantik】itu sama sekali tidak akur. Mereka semua ingin memilikiku seorang diri, dan itu sangat merepotkan. Semua curhat dan percakapan serius biasanya kuabaikan begitu saja dan kusarahkan pada Santa Claus.


“Namun, pada saat benar-benar penting, dia tidak bisa diandalkan juga.”


Alasan aku menangguhkan jawaban saat keempatnya menyatakan cinta, adalah karena aku ingin memberi mereka waktu untuk saling akrab. Kupikir, dengan waktu sampai kelulusan, wajar jika mereka bisa lebih dekat. Kalau pun tidak, Santa Claus pasti bisa mengatasinya.

Tetapi ternyata, pada hari kelulusan pun, Satsuki menuntutku untuk memilih salah satu.


Aku benar-benar kecewa karena setelah kuberi banyak waktu, dia tetap tidak memahami maksudku. Maka kuusulkan agar mereka bisa saling mengenal sisi baik masing-masing lewat hubungan sebagai “teman tidur.” Namun, di tengah pembicaraan, dia malah membalikkan badan dan pergi. Aku benar-benar tidak menyangka akan ditolak, sampai terdiam sejenak. Tapi aku segera berniat mengejarnya.


Sayangnya, tepat saat itu seorang siswa tertabrak mobil di depan Satsuki, sehingga keadaan menjadi kacau.


“Kalau memang mau celaka, jangan sampai menyusahkanku…”


Meski begitu, aku sudah pasti akan masuk universitas yang sama dengan 【Empat Gadis Cantik】. Jadi, membuat mereka semua jadi milikku hanyalah masalah waktu. Hanya saja, ada hal yang mengganjal.


“Reine juga… jangan kirim pesan-pesan tidak penting.”


Kupikir dia menerima usulanku, jadi aku sempat menantikannya. Tapi isinya hanya hal-hal remeh belaka.


Biasanya, aku hanya mengiyakan obrolannya sambil menyesuaikan diri. Namun kali ini aku ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan agar bisa lanjut bermain game, jadi aku mengatakan apa adanya. Toh, Santa Claus pasti akan mengurusnya.


“Tapi, tidak dibaca sama sekali itu memang aneh, ya…”


Sambil berpikir begitu, tiba-tiba hari masuk universitas pun tiba. Sejak hari itu, aku sama sekali tidak mendapat kabar dari mereka berempat. Aku mencoba menghubungi mereka, tapi pesanku tidak pernah dibaca.


Akhirnya, aku berencana pergi ke universitas bersama Satsuki, jadi aku menjemputnya ke rumah. Tapi, tidak ada siapa pun di sana. Langit biru muda membentang di atas, dengan angin sepoi membawa kelopak sakura yang beterbangan.


Upacara penerimaan mahasiswa baru ini adalah yang kelima bagiku, sejak TK. Meski angka itu sendiri tidak punya arti khusus, di setiap acara semacam ini, Satsuki selalu berada di sisiku.


“Mereka sebenarnya sedang apa, ya…”


Di universitas, upacara masuk dilakukan per fakultas, diadakan di Balai Peringatan Seratus Tahun Universitas Liberal Arts.


Bagaimanapun, aku tidak bisa menghadiri upacara yang sama dengan mereka berempat. Kalau memang begitu, ya sudah. 


Tapi entah kenapa tetap terasa janggal.


Aku pun masuk ke dalam balai peringatan. Begitu pintu besar dibuka, terbentanglah ruang luas. Aula bertingkat itu memiliki struktur yang memberi kesan kedalaman sekaligus dinamika. Di tengahnya ada panggung, sementara sisanya tersusun menyerupai tempat duduk penonton. Melihat pemandangan itu, aku benar-benar merasa, “Aku sudah jadi mahasiswa.”


Aku diarahkan untuk duduk dari barisan depan, jadi aku pun mengambil tempat duduk. Kulihat sekeliling—para mahasiswa baru dalam setelan jas duduk sambil bercakap akrab dengan teman di sampingnya. Mungkin, ini kesempatan untuk membuat teman di fakultas. Karena di SMA, aku tidak benar-benar punya teman sejati.

Karena dikelilingi oleh 【Empat Gadis Cantik】 , aku sering menjadi sasaran kecemburuan dari sesama laki-laki. Akibatnya, aku tidak memiliki teman. Tidak ada yang lebih buruk daripada iri hati dari orang yang tidak populer. 


Justru, aku merasa lebih baik, karena orang-orang semacam itu tersingkir dari sekitarku. Untungnya, Universitas Liberal Arts adalah kampus yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berprestasi di SMA. Harusnya ada orang-orang yang sepadan untuk belajar bersamaku.


Untuk permulaan, mungkin aku bisa menyapa si kutu buku berkacamata yang duduk di sebelahku. Baru saja aku berniat membuka suara──


“Tolong! Biarkan aku menghadiri upacara masuk sendirian!”


Sebuah teriakan memohon menggema di dalam aula. Tempat itu memang digunakan juga untuk konser atau paduan suara, jadi suara benar-benar terdengar keras.



“Tidak boleh ikut upacara sendirian dengan kursi roda. Apalagi tangan kananmu juga tidak bisa digunakan. Tanpa kami, kamu tidak akan bisa bergerak.”


“Tidak apa-apa kok… Selama hanya berkeliling di dalam gedung, kan ada fasilitas ramah difabel, jadi tidak begitu merepotkan. Kalau pun sulit, aku bisa meminta bantuan pada staf kampus…”


“Kenapa sih? Kenapa kamu bisa mengucapkan kata-kata seperti ‘meminta bantuan staf’ dibanding mengandalkan kami? Apa kami sudah tidak dibutuhkan? Kalau ada hal yang tidak kamu suka, kami akan memperbaikinya, jadi jangan buang kami──”


“Ah! Bukan itu maksudku! Masalahnya, kalau aku bersama gadis-gadis secantik kalian, pasti jadi pusat perhatian! Aku ingin menikmati kehidupan kampus yang damai dan tenang.”


“…Jadi, di kehidupan kampus ideal Satoshi-kun itu, kami tidak ada, ya? Hei, teman-teman. Tadi aku sempat lihat di papan pengumuman, ada tempat bernama ‘Kolam Darah’ kan? Sepertinya cocok untuk kita terjun bersama.”


“Jangan langsung terjerumus ke kegelapan begitu! Baik, baik! Aku mengerti! Kalian boleh tetap bersamaku sesuka hati!”


“Jangan memaksakan diri, ya. Ayo, kita pergi.”


“Tunggu dulu! Ehh… Sebenarnya aku ini orang yang susah bergaul, sampai tiga tahun SMA tidak punya teman sama sekali. Jadi, meminta bantuan staf kampus itu jelas mustahil bagiku! Karena itu, aku butuh kalian yang sudah terbiasa bersamaku! Tanpa kalian, aku benar-benar kesulitan!”


“…Benarkah?”


“Serius! Tatap mataku. Apakah aku terlihat sedang berbohong?”


“…Benar juga, Satoshi-kun memang tidak punya teman. Maaf, aku salah paham.”


“Eh? Itu yang jadi poinnya!?”



Sepertinya dia sendiri tidak sadar, tapi suara laki-laki itu bergema ke seluruh aula. Sayangnya, fakta bahwa dia tidak punya teman kini diketahui satu angkatan, dan orang-orang pun menahan tawa. 


Sepertinya dia sedang berbicara dengan seseorang, tapi suara lawan bicaranya tidak terdengar. Jujur saja, aku tidak tertarik. Lebih baik aku menilai dulu apakah orang di sebelahku pantas dijadikan teman atau tidak.…Namun, dia sedang menoleh ke belakang. Rupanya, bukan hanya dia, mahasiswa lain pun begitu. 


Aku ikut menoleh, dan melihat seorang pria di kursi roda sedang dipeluk oleh empat mahasiswi di dekat pintu masuk aula. … Pemandangan itu membuatku geram. Biasanya, akulah yang menciptakan harem, jadi aku jarang merasa iri. Tapi melihat orang asing melakukannya, ternyata sangat menjengkelkan. 


Mulai sekarang, aku harus lebih memperhatikan waktu dan tempat saat bermesraan. Aku pun segera menghadap ke panggung lagi, berbeda dari para murid biasa. Namun──


“Lepaskan aku, Satsuki! Reine, Shuna, jangan menempel terlalu dekat! Dan Shino! Jangan menenggelamkan wajahmu di pahaku!”


Mendengar nama-nama itu, aku refleks menoleh kembali. Dan di sanalah terbentang sebuah pemandangan yang seharusnya tidak ada.


“…Apa──?”


【Empat Gadis Cantik】 ku sedang dengan penuh perhatian melayani seorang pria asing di kursi roda itu. Mereka mengikuti kata-katanya, tertawa lepas dengan wajah bahagia. Jantungku berdetak keras, seolah terlambat satu ketukan.


Berhenti──


Aku refleks berdiri dan hendak mendekat, namun aula tiba-tiba gelap. Upacara masuk akan segera dimulai. Kalau aku bertindak gegabah seperti dia tadi, masa depanku di kampus akan hancur. Dengan terpaksa aku duduk kembali, tetapi tanpa sadar tinjuku terkepal begitu kuat hingga kukuku menancap ke telapak tangan.


“Apa yang sebenarnya terjadi…!?”


Mereka tidak membalas pesanku. Selama liburan musim semi, mereka juga tidak pernah muncul. Dan yang paling penting──siapa orang itu?



“Permisi, minggir!”


“Uwah!”


Begitu upacara berakhir, aku langsung berlari ke arah belakang aula. Tapi mereka sudah tidak ada. Aku pun membuka pintu keluar aula dengan kasar, lalu bergegas ke luar gedung peringatan.


“Sial… ke mana mereka pergi?”


Tidak ada bayangan siapa pun.


“Ya! Telepon saja…!”


Pasti mereka membawa ponsel. Aku merogoh kedua saku celana, dan menemukan ponselku sempat tersangkut, tapi akhirnya berhasil kutarik paksa.


“Satsuki… tidak ada sinyal…? Shuna memang tidak punya ponsel… Reine? Shino!? Apa-apaan ini, sialan!”


Aku menendang tempat sampah di samping mesin penjual otomatis. Botol plastik pun berhamburan keluar.


“Bukankah ini saatnya Santa Claus turun tangan!? Kenapa justru saat genting seperti ini dia tidak ada!?”


Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang, tapi hasilnya justru sebaliknya. Setiap helaan napas membuat dadaku semakin penuh dengan rasa gelisah dan amarah terhadap sesuatu yang tidak kukenal.


“Apa sebenarnya yang sedang terjadi!?”



“Fuaaah~ membosankan sekali.”


“Fufu, memang beginilah sifat upacara.”


Kalau begitu, kalian tidak perlu ikut…


Tentu saja aku tidak akan mengatakannya, karena kalau kuucapkan mereka pasti akan terjerumus ke kegelapan. Jadi hanya bisa menggerutu dalam hati. Tapi, mengingat kembali upacara masuk tadi, aku benar-benar merasa malas membayangkan hari-hari kuliah yang akan datang. Aku hanya ingin punya waktu untuk diriku sendiri.


Mengapa aku harus mengalami hal seburuk ini? 


Setelah menenangkan Satsuki dan yang lainnya, ketika aku melihat dari sudut pandang yang lebih tenang, aku menyadari bahwa para mahasiswa baru seangkatanku sedang menatapku serentak. Tatapan mereka dipenuhi dengan pandangan seolah melihat sesuatu yang menyedihkan, bercampur dengan rasa iri terhadap diriku yang sedang dipeluk oleh 【Empat Gadis Cantik】 . Di situlah aku memahami situasiku sendiri.


Dengan kata lain, aku telah mendapat cap paling buruk sebagai bajingan yang membuat gadis-gadis cantik yang mengaku penyendiri di masa SMA menangis. Hidupku di kampus sudah tamat...


Setidaknya, bahwa aku memulai dari posisi minus itu tidak akan berubah. Aku ingin memulihkan nama baikku dengan ikut dalam acara makan atau bermain bersama setelah upacara penerimaan, namun dengan kondisi tubuhku sekarang, aku hanya akan membuat orang lain merasa sungkan, dan yang paling utama, aku takut pada keempat orang di belakangku.


"Uwah, sudah ada tukang cari kenalan datang... padahal aku harus mengurus Satoshi-kun, jadi hal semacam itu aku tolak. Bagaimana bisa nomor kontakku bocor, ya?"


"Haa... aku juga mendapat pesan. Aku tidak sudi dengan monyet yang sedang birahi seperti itu..."


Seperti yang sudah kuduga, Satsuki dan Reine mengeluh. Shuna dan Shino juga melihat ponsel mereka dengan wajah jengkel. Terutama Shuna, yang baru saja mulai menggunakan ponsel pintar, sudah terlihat ingin membuangnya. Padahal ini hari yang seharusnya cerah dan penuh kebahagiaan, tetapi hanya ada pembicaraan suram. Arus ini tidak baik, jadi aku memutuskan untuk memberi usulan.


"Y-ya, tinggalkan saja obrolan itu. Bagaimana kalau kita adakan pesta syukuran masuk di rumahku? Kita bisa pesan makanan antar."


Yang kumaksud "rumahku" adalah apartemenku, dan kebetulan keempat orang itu pindah ke kamar sebelah. Siapa sangka ada empat kamar kosong tepat berderetan di sampingku, sungguh suatu kebetulan yang luar biasa. Suasana pun seketika menjadi cerah.


"Itu ide bagus! Mari lakukan!"


"Kalau begitu, bagaimana kalau aku pesan sesuatu dari rumah?"


"Kalau setiap hari makan makanan begitu, lidahmu bisa rusak..."


"Benar juga~ mari kita lakukan sesuatu yang lebih wajar dengan uang saku kita, seperti layaknya mahasiswa~"


"Aku setuju dengan Shuna. Lebih terasa suasana mahasiswa kalau kita patungan dan saling mengeluarkan uang."


"Itu juga benar. Kebetulan aku memang ingin mencoba hal yang disebut 'patungan' itu."


"Itu yang kau inginkan...? Ya ampun."


Shino tampak bersemangat, tapi memang para orang kaya sering kali punya cara pandang yang berbeda.


Yah, yang penting suasana muram sudah sirna, itu sudah cukup baik. Ngomong-ngomong, ke mana perginya buku harianku? Di kamar pun tidak ada...



Ketika kulihat sambutan membosankan dari rektor, dekan, dan para pejabat dari barisan belakang, hanya sekitar separuh mahasiswa yang mendengarkan dengan serius.


Satoshi-kun mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dan kami mengintip wajahnya diam-diam agar tidak ketahuan. Sikapnya yang begitu, sungguh menawan menurutku—


"Fufu."


Di tengah keheningan dan kegelapan, tiba-tiba empat cahaya kecil muncul begitu saja.


【Grup Empat Gadis】


Shuna

『Benar-benar menyebalkan ya~ Sampah itu menemukan kita~』


Shino

『Benar sekali... rasanya aku ingin pulang ke rumah Satoshi-san dan menangis... 』


Satsuki

『Tapi lebih dari itu, kalian lihat wajahnya tadi? 』


Reine

『Fufufu, Satsuki hentikan (lol). Mengingatnya saja membuatku susah menahan tawa (lol). 』


Shino

『Benar juga wkwk. 』


Shuna

『Kalau aku malah jijik~. Sampai kapan sih dia menganggap kita masih miliknya~?』


Satsuki

『Shuna, kendalikan niat membunuhmu... kursi rodanya sampai berderit. 』


Shuna

『Ah, maaf ya~.』


Shino

『Baiklah, mari masuk ke pokok pembahasan. Fakta bahwa kebersamaan kita dengan Satoshi-san terbongkar berarti... 』


Reine

『Hampir pasti, pihak sana akan mencoba mendekati Satoshi. 』


Shuna

『Sebaiknya kita juga selalu bersama dengannya~. Untungnya jurusan Satoshi-kun itu jurusan besar, jadi kalau kita menyusup pun tidak akan ketahuan, kan~?』


Satsuki

『Tapi, mengingat sifatnya, dia pasti mencari celah untuk mendekat. 』


Shino

『Benar. Malah bisa jadi justru karena kita ada di sini, ia akan semakin berusaha mendekat. 』


Shuna

『Merepotkan ya~. Bagaimana kalau langsung semprot pakai obat serangga~?』


Reine

『Hentikan... nanti malah mengganggu orang lain... 』


Shuna

『Baiklah~.』


Satsuki

『Untuk sementara, kita hanya bisa melihat langkahnya. 』


Shino

『Benar. Namun bila ia mencoba mencelakai... 』


Satsuki

『Shino, kau juga harus menahan diri ya? Bukankah kita sudah memutuskan cara membunuhnya? 』



Aku sendiri terdaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Liberal Arts.

Alasan memilih jurusan ekonomi adalah karena, sejak kehidupanku yang lalu sekalipun, aku selalu mengagumi ilmu ekonomi. Mungkin karena prospeknya yang kuat untuk pekerjaan, atau karena ada kesan keren jika mempelajarinya. Atau mungkin karena keduanya.


Bagaimanapun juga, yang kupahami adalah bahwa Fakultas Ekonomi ternyata benar-benar fakultas yang sangat kental dengan nuansa sains. Mata kuliah seperti Matematika Lanjutan III saja mustahil dikuasai oleh mahasiswa sosial humaniora dari universitas swasta, namun ironisnya para profesor yang mengajar adalah ekonom dengan latar belakang sains. Akibatnya, mereka menganggap mahasiswa baru yang masuk pun berasal dari jalur sains.


Pasalnya, lebih dari separuh kuliahnya adalah matematika. Aku sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana mahasiswa yang benar-benar murni dari jalur sosial humaniora dapat bertahan hidup. Itu terasa aneh, tapi sekarang aku harus lebih memikirkan diriku sendiri.

Gedung Barat 5, ruang 201. Fakultas Ekonomi adalah fakultas terbesar dengan jumlah mahasiswa terbanyak. Selama tahun pertama, perkuliahan lebih sering diikuti dalam kelompok besar, sehingga otomatis banyak kuliah berlangsung di ruang-ruang besar.


Saat aku memasuki aula perkuliahan yang mirip seperti aula upacara penerimaan mahasiswa baru, pertama-tama aku dibuat terkesima oleh luasnya ruangan. Di langit-langit tinggi terpasang pencahayaan kompleks yang memancarkan cahaya lembut, menyelimuti seluruh aula. Kursi-kursi tersusun bertingkat mengitari bagian tengah, dengan meja panjang berjajar di tiap tingkatan. Pola serat kayu pada meja terlihat usang, seolah menyimpan sejarah puluhan tahun. Di atas podium terdapat pengeras suara dan proyektor, sementara layar putih terpasang di dekat langit-langit, seakan mengawasi para mahasiswa dari atas.


Seharusnya aku bisa terharu dengan suasana perkuliahan yang jelas berbeda dari masa SMA, namun tempat dudukku berada di barisan paling depan. 


Sebenarnya aku ingin sekali melihat dari belakang untuk mendapatkan gambaran menyeluruh, tetapi karena sulit berpindah dengan kursi roda, aku harus mengurungkan niat. Lebih dari itu—


“Serius, apa yang harus kulakukan…”


Masalahku seolah tiada habisnya. Tentu saja, yang kumaksud adalah soal 【Empat Gadis Cantik】 .


Kalau aku bilang ingin beraktivitas sendiri, mereka bisa terjerumus ke dalam kegelapan. Itu mustahil untuk kuucapkan. Namun, kalau kubiarkan mereka berbuat sesuka hati, itu juga akan menjadi masalah. Yang terdekat saja sudah terlihat dari pesta kecil setelah upacara penerimaan mahasiswa. Kami semua menikmati suasana ala mahasiswa dengan minuman beralkohol yang diam-diam kami beli untuk pesta di kamar.


Hanya saja, setelah itu, menyuruh mereka pulang ke kamar masing-masing benar-benar sulit. Mereka bahkan menawarkan diri untuk membantuku mandi, sampai tidur sekamar. Rasio dan keinginanku bertarung hebat, dan akhirnya rasio menang, memaksaku untuk mengusir mereka kembali ke kamar masing-masing.


Andai hari itu adalah satu-satunya hari paling melelahkan, aku mungkin bisa mengingatnya sebagai pengalaman indah. Tapi kenyataannya, hari-hariku terus seperti itu, membuatku tak bisa benar-benar tenang. Contohnya saja soal pindah kelas di dalam kampus.


Di universitas, tidak ada kelas tetap, jadi setiap jam istirahat kami harus berpindah ruang kuliah. Waktu SMA, memang ada pindah kelas, tapi hanya untuk pelajaran praktik atau eksperimen IPA di laboratorium. Pada dasarnya, kami tetap menghabiskan waktu di kelas yang sama.


Itulah sebabnya aku meremehkannya, padahal di universitas pindah kelas sangat sering dilakukan. Kadang harus keluar gedung dan berpindah ke gedung lain, dan bagiku yang di kursi roda, itu adalah pekerjaan berat. 


Untungnya, ada saja yang membantuku saat jam kosong. Itu benar-benar sangat menolong. Aku rasanya ingin bersujud sebagai tanda terima kasih. Tapi—


“Kalau saja mereka tidak selalu ngotot begitu…”


Masalahnya, mereka selalu memaksa. Entah bilang tidak mau berpisah dariku, atau bersikeras ikut masuk ke kelas. Profesor yang tidak tega pun sering turun tangan untuk menenangkan mereka, tapi tetap saja: mereka membuat keributan, melontarkan kata-kata kasar, bahkan Shino sampai mencoba menggunakan pengaruh keluarganya untuk memecat dosen dari universitas.


Akibatnya, kuliah tidak bisa berjalan lancar, aku jadi bahan tatapan heran dari orang-orang, dan perutku terasa perih. Apalagi duduk di barisan paling depan membuat semuanya terasa semakin menyakitkan.


Aku juga jadi sulit punya teman, sungguh membuatku terdesak. Andai keempatnya berbuat demikian dengan niat buruk, aku mungkin bisa menolaknya mentah-mentah. Namun, karena semua itu muncul dari rasa perhatian yang berlebihan dan perasaan bersalah mereka, aku jadi tidak bisa berkata apa pun.


“Syukurlah kami beda fakultas…”


Satu-satunya penyelamatku adalah kami berada di fakultas berbeda. 


Satsuki di Fakultas Hukum, 

Reine di Fakultas Sastra, 

Shuna di Fakultas Manajemen, 

dan Shino di Fakultas Ilmu Politik. 


Berkat itu, setidaknya waktu kuliah bisa kunikmati sendirian. Aku memang tak pernah tertarik pada pelajaran, tapi bila kuanggap sebagai satu-satunya waktu untuk menyendiri, rasanya cukup menenangkan.


“Mereka bilang ada urusan penting saat jam istirahat siang. Kalau begitu, ini kesempatan untuk mencari teman…!”


Tidak punya relasi sama sekali di dalam fakultas itu sungguh berat. 


Waktu SMA, aku masih bisa bertahan tanpa teman, tapi segalanya di universitas berbeda jauh, dan aku merasa tidak mungkin menjalani semuanya sendirian. Menyedihkannya, universitas jauh lebih keras terhadap penyendiri pasif dibandingkan SMA.


Aku pun memutuskan untuk menganggap ini sebagai kesempatan terakhir untuk membangun pertemanan. Namun—


“Masalahnya, gara-gara mereka aku malah dijauhi orang-orang…”


Tepat ketika jam kuliah selesai, bel istirahat siang berbunyi. Mahasiswa langsung berbondong-bondong keluar, membentuk antrean panjang.


Karena duduk di kursi bagian depan dekat pintu keluar, otomatis aku berhadapan dengan semua orang yang keluar. Tapi saat aku mencoba menyapa, mereka mengabaikan dan buru-buru keluar. Ada juga yang lebih memilih memutar jauh lewat pintu belakang, meski merepotkan.


Padahal aku sudah tiga tahun SMA menjadi penyendiri, sehingga kemampuan komunikasiku sudah sangat berkurang. Perlakuan seperti ini sungguh menghantam hatiku. Hingga akhirnya, hampir semua orang keluar dari kelas, menyisakan ruangan kosong.


“Meski begitu, aku tetap ingin punya setidaknya satu teman…”


Mungkin cara ini terdengar buruk, tapi yang harus kucari adalah mahasiswa penyendiri sepertiku. Mereka yang gagal melakukan debut di universitas pasti juga ingin punya teman, sama sepertiku.


Ayo, siapa pun, tolong ada yang menyapaku! Kalau hanya soal makan siang, aku rela mentraktir setiap hari!


“Boleh aku bicara sebentar?”


Datang juga!


Entah bagaimana, seakan doaku terkabul, seseorang menyapaku dari belakang. Sejak bereinkarnasi ke dunia ini, aku sama sekali tidak pernah percaya pada dewa, tapi kali ini aku ingin berterima kasih padanya.


Yang terpenting adalah kesan pertama. Jika kesan pertamaku buruk, jelas aku tidak akan diterima sebagai teman. Apalagi aku sudah membuat kesalahan di awal. Benar-benar situasi genting. Aku harus menyambut dengan senyum terbaik yang kupunya.


“Se-senang berkena… ha…?”


Ketika aku menoleh ke belakang, di sana berdiri Sano Yuuto—musuh bebuyutanku. Seketika tubuhku membeku.


Sebenarnya aku tahu dia berada di fakultas yang sama. Waktu itu saja aku sudah terkejut, tetapi karena aku tidak punya hubungan langsung dengannya, aku memilih untuk tidak peduli. Meski begitu, aku selalu tidak sengaja melirik lalu mengalihkan pandangan, berusaha mengabaikan keberadaannya.


“Salam kenal, aku Sano Yuuto.”


“Ah, um, iya. Aku Iriya Satoshi. Senang berkenalan denganmu.”


“Haha, kita kan seangkatan? Tak perlu pakai bahasa formal.”


“Ah, kalau begitu, baiklah…”


Tak pernah terlintas di pikiranku bahwa orang yang paling rumit dalam hidupku justru menyapaku terlebih dahulu. Perasaan yang selama ini kupendam muncul ke permukaan.


Dari sudut pandang Sano, aku hanyalah orang baru, jadi aku harus tetap bersikap tenang. Namun, jantungku berdetak kencang, dan lengan kananku yang seharusnya tak bisa bergerak justru bergetar samar-samar.


Ketika aku menoleh ke sekeliling, kulihat bahwa di dalam aula kuliah yang luas itu, entah bagaimana hanya ada aku dan Sano berdua. Biasanya, ada beberapa mahasiswa yang masih tinggal untuk mengikuti perkuliahan setelah jam makan siang, tetapi kali ini tidak ada siapa pun. Ruangan itu hening, begitu sunyi hingga terasa menyeramkan.


"Aku ini lulusan dari sebuah SMA kecil di Prefektur XX, sekolah yang tidak terkenal. Jadi, aku tidak punya teman bicara di sini. Kebetulan saja aku melihatmu, jadi kupikir lebih baik aku menyapamu."


Yang pertama memecah keheningan adalah Sano. Dengan senyum ramah yang tampak bersahabat, ia mulai berbicara padaku. Meski aku menyimpan perasaan yang begitu rumit terhadapnya, Sano sama sekali tidak tahu apa-apa. Karena ia dengan tulus mencoba berkenalan, aku pun harus menjawab dengan sikap yang sama tulusnya.


"He-heh… kebetulan sekali. Aku juga lulusan dari sekolah yang sama."


"Masa!? Eh, apa kamu siswa yang sempat mengulang tahun alias ronin?"


"Bukan, aku lulus langsung."


"Serius…? Aku benar-benar tidak menyangka ternyata ada teman seangkatan dari sekolah yang sama di sini juga."


Aku tidak punya alasan untuk menyembunyikan hal itu, jadi aku menceritakan semuanya apa adanya. Hanya saja, karena harus berpura-pura seolah kebetulan, aku tak boleh lengah. Dengan mengetahui terlalu banyak, aku bisa saja keceplosan dan memperlihatkan celah.


"…Kalau boleh tahu, bagaimana kamu bisa terluka seperti itu?"


"Hm? Ah, ini ya. Aku ceroboh dan kecelakaan. Haha… apa-apaan, padahal belum masuk kuliah, eh malah sudah begini…"


"Benar-benar sial, ya… Hati-hati lain kali."


"Eh? A-ah, terima kasih."


Saat aku mencoba menutupi keadaan dengan tawa kering, Sano malah menunjukkan rasa khawatir padaku. Itu membuatku sedikit terkejut.


Baru kusadari, selama ini aku hanya memikirkan bagaimana nasib para heroine setelah bad end, tanpa sekalipun membayangkan apa yang terjadi pada Sano. Anehnya, kini aku tidak merasakan lagi rasa jijik yang dulu sangat kuat terhadap dirinya semasa SMA. Mungkin saja, sebagai “tokoh utama” dalam 【LoD】, ia telah dipengaruhi oleh “kekuatan paksaan dunia” yang mendorongnya menuju bad end. 


Bisa jadi, karena paksaan itulah ia berubah aneh. Lagipula, kalau dipikir ulang, tidak mungkin rasanya orang seperti dia, yang begitu terobsesi memiliki 【Empat Gadis Cantik】 , justru tidak mendekati mereka sama sekali. Itu mustahil—ibarat meteorit jatuh dari langit.


Kalau memang begitu, mungkin aku bisa saja melupakan masa lalu. Bahkan, bila kami sama-sama dianggap korban【LoD】, anehnya, aku merasakan simpati yang tulus terhadap orang yang dulu sangat kubenci.


“Luka parah, sekolah yang sama…”


Suara gumaman Sano yang sedang larut dalam pikirannya menarikku kembali ke realitas.


“Ada apa?”


“Tidak, hanya saja…”


Tatapannya menyapu tubuhku dari atas hingga bawah, seolah sedang menilai sesuatu. Itu membuatku tidak nyaman. Lalu, pandangannya berubah tajam, seakan ia menemukan sesuatu.


“Jangan-jangan… kamu itu orang yang tertabrak truk di depan sekolah saat upacara kelulusan? Iriya, kan?”


Aku tidak menyangka ia masih mengingatnya. Itu mengejutkanku.


“Ah, ya. Memang aku. Kenapa memangnya?”


“──”


Sekonyong-konyong, tatapan Sano berubah sedingin angin musim dingin.


“Cih… jadi begitu, ya. Akhirnya semua potongan puzzle menyatu. Jadi, memang kamu, ya…”


Nada bicaranya jelas berubah. Rasa dingin merayap di sepanjang tulang punggungku. Dari sorot matanya, meluap-luap kebencian dan penghinaan yang begitu pekat, seolah hendak menelanku bulat-bulat. Butir keringat dingin mengalir di keningku.


Melihat keadaanku, Sano malah menatap dengan ekspresi jengah.


“Kamu tidak sadar kalau sudah berbuat sesuatu yang sangat hina?”


“Maksudmu apa…? Aku tidak paham.”


Aku menanggapi dengan penuh tanda tanya karena pertanyaannya tidak jelas.


“Kalau begitu, biar aku jelaskan dengan lebih gamblang. Lepaskan mereka. Lepaskan 【Empat Gadis Cantik】 , dasar brengsek.”


“Apa…?”


Ucapannya membuatku terperangah. Aku pasti sedang menatapnya dengan wajah bodoh. Dan ya, kutarik kembali ucapanku tadi. Ini bukan masalah “kekuatan paksaan dunia” atau apa pun itu. Orang ini memang menyebalkan sejak awal. Namun, alasan ia begitu membenciku masih belum jelas. Seharusnya, dialah yang berutang terima kasih padaku.


“Aku selalu heran, kenapa mereka semua tidak pernah membalas pesanku. Padahal, kamu juga tahu kan, bagaimana hubungan kami? Toh, kita satu sekolah dulu.”


“Yah… begitulah.”


Memang benar, kabar tentang 【Empat Gadis Cantik】 yang jatuh hati pada Sano Yuuto—tokoh utama yang seperti karakter figuran biasa—cukup heboh di sekolah. Hampir mustahil ada orang yang tidak tahu.


“Hah… ternyata kau benar-benar menjijikkan.”


Kesabaranku mulai habis. Aku juga tidak suka terus-menerus jadi sasaran caci maki.


“Mau bilang apa lagi? Jangan-jangan menurutmu aku sengaja menabrakkan diri ke truk supaya dirawat oleh 【Empat Gadis Cantik】 ?”


“Aku tidak menyalahkanmu atas kecelakaan itu. Itu sudah takdir. Tapi──”


Dengan nada mengejek, ia merangkapkan tangan seolah mendoakanku, kemudian menatapku tajam.


“Yang tidak bisa kupahami adalah sikapmu yang sekarang. Kau jelas-jelas menikmati keadaan ini, dasar brengsek.”


Kata-katanya memang penuh wibawa layaknya seorang tokoh utama. Namun, justru hal itu semakin menyulut amarahku.


“Tarik kembali ucapanmu… Mana mungkin aku bisa menikmati hidup dalam keadaan tubuh seperti ini! Jangan asal bicara!”


“Hah, siapa yang tahu? Dalam hati kecilmu, bukankah kau bahagia diperhatikan oleh 【Empat Gadis Cantik】 ?”


“Sudah kubilang bukan begitu! Jangan ganggu aku lagi.”


Aku merasa tidak ada gunanya lagi berbicara dengannya, jadi kucoba menggerakkan kursi rodaku dengan tangan kiri. Namun, tiba-tiba ia mencengkeram erat pegangan kursi roda. Aku menoleh dengan tatapan tajam, tapi Sano membalasnya dengan pandangan penuh kebencian.


“Satsuki dan yang lainnya itu berhati baik. Melihatmu kecelakaan di depan mata, mana mungkin mereka bisa berpaling begitu saja? Wajar kalau mereka jadi sangat perhatian. Dan kau, memanfaatkan kebaikan itu—jadi apa salahnya kalau aku menyebutmu brengsek?”


“Itu…”


『Aku adalah penyelamat mereka. Aku yang membantu Satsuki dan lainnya! 』


『Kau justru dibenci oleh 【Empat Gadis Cantik】 itu sendiri! 』


Membantah Sano Yuuto seharusnya mudah. Ada seribu satu alasan untuk membuktikan bahwa dialah yang bajingan. Namun, entah mengapa lidahku kelu. Aku tidak bisa melontarkan bantahan sama sekali. Kata-katanya—bahwa aku hanya memanfaatkan kebaikan mereka—menusuk hatiku seperti sebilah pisau.


Aku membiarkan mereka bertindak sesuka hati sampai rasa bersalah mereka hilang. Namun, apakah benar aku melakukannya dengan sikap yang setulus itu? Jika sungguh-sungguh ingin menolak, seharusnya aku bisa menolaknya kapan saja.


Alasan seperti “kalau tidak, mereka akan terjerumus ke dalam kegelapan”—bukankah itu hanya tafsiranku sendiri yang menguntungkan, agar aku bisa tetap bersama mereka? Mungkin sebenarnya aku hanya sedang larut dalam kenikmatan, menikmati situasi di mana aku bisa memperlakukan para heroine sesuka hatiku. Hati yang gelap dan busuk, sesuatu yang enggan kuakui, tiba-tiba tumpah keluar, membuatku sesak seakan jantungku digenggam kuat-kuat.


Saat tersadar kembali ke kenyataan, Sano sedang menatapku dengan mata penuh penghinaan.


“Jadi, kau memang menyadarinya… Dasar laki-laki kotor.”


“Ti-tidak! Bukan begitu maksudku…!”


“Satsuki dan yang lainnya pasti ingin menjalani kehidupan kampus yang indah. Tapi sekarang mereka justru diganggu oleh seekor parasit yang mengisap kebaikan hati orang lain. Apa kau tidak terpikir untuk membebaskan mereka?”


“……ッ”


Kata-kata yang telanjang tanpa tedeng aling-aling itu menusuk dadaku bertubi-tubi bagaikan sebilah pisau. 


Aku ingin menyangkal, aku ingin membantah. Namun, suara di dalam diriku yang mencoba membenarkan keadaan tenggelam, tertelan oleh gelombang emosi hitam pekat di lubuk hatiku sendiri.


“Aku pun sebenarnya tidak ingin mengatakan hal-hal seperti ini.”


Sano menghela napas pendek.


“Hanya saja… demi Satsuki dan yang lain, aku merasa mengambil peran kotor inilah tugasku.”


“Sano…”


Mendengar bahwa ia bukan hanya menuruti amarah, melainkan berbicara demi mereka, justru membuat dadaku semakin sesak.


“Kalau Iriya bisa berkata sekali saja: ‘Aku sudah baik-baik saja,’ itu sudah cukup. Hal kecil seperti itu bisa kaulakukan, bukan?”


“Itu…”


Hanya karena aku penyelamat mereka, bukan berarti aku boleh mengikat mereka dengan rantai itu sepanjang hidup. Mereka punya kehidupannya sendiri. Kalau tidak, bukankah seluruh perjuangan menyelamatkan nyawa mereka jadi sia-sia? Menjaga hidup mereka, hanya untuk menjadikan hidup itu penjara… Bukankah itu sama saja dengan para pencipta dunia ini? Namun, diriku yang busuk justru menolak untuk melepaskan mereka. Aku tidak ingin sendirian lagi── Sebuah keinginan egois dan sepihak. 


Saat bentuk pikiran itu jelas terwujud, aku merasa diriku sangat menyedihkan. Jika satu-satunya cara untuk tetap terhubung dengan orang lain adalah dengan menanamkan rasa bersalah pada mereka, mungkin seharusnya aku sudah mati saja waktu itu──


Tanpa sadar, kepalaku tertunduk dan hatiku tenggelam dalam kegelapan. Saat kulirik wajah Sano, ia tersenyum mengejek, dengan tatapan yang sarat hinaan. Tapi aku sudah tidak peduli.


“Apa yang sedang kau lakukan──”



Tatapan tajam bak es yang menusuk dari Reine langsung mengarah ke Sano. Meski begitu, Sano tetap tersenyum ramah, seolah tidak terusik sedikit pun.


“Sudah sekitar sebulan ya. Bagaimana kabarmu… eh, tunggu…”


Reine mengabaikan Sano dan menunduk sedikit agar sejajar dengan mataku. Teringat kembali bagaimana menyedihkannya diriku beberapa saat lalu, aku refleks mengalihkan pandangan. Namun, Reine justru menatapku dengan senyum lembut, seperti seorang kakak pada adiknya yang bandel.


“Maaf ya, Satoshi. Aku sedikit terlambat.”


“Tidak apa-apa, itu bukan masalah. Tapi, lebih dari itu…”


“Tidak perlu kau lanjutkan.”


Reine menaruh jarinya lembut di bibirku.


“Satoshi, aku senang karena kau begitu memedulikan kami. Tapi kalau semua orang mengira bahwa itu hanya karena rasa bersalahmu… itu akan membuatku sedikit sedih.”


“Reine…”


Reine sempat menundukkan pandangan, namun segera kembali menampilkan wajah dingin dan anggun. Tanpa sepatah kata pun, ia menggenggam pegangan kursi rodaku.


“Ayo, kita makan siang. Shino bilang ingin makan ramen. Katanya, ia ingin mencicipi masakan rakyat biasa.”


“…Haha, itu memang khas Shino.”


Suara Reine yang dingin namun tegas kini terdengar paling hangat. Aneh rasanya. Sesak napas yang mencekik tadi berangsur hilang, berganti dengan rasa tenang.


Reine mendorong kursi rodaku dari belakang. Biasanya aku merasa malu hingga ingin segera turun, tetapi kali ini ada rasa aman yang membuatku enggan menolaknya.


“Sudah lama tidak bertemu, Reine. Bagaimana kabarmu?”


“──”


“ッ”


Reine memperlakukan Sano seolah ia sama sekali tidak ada. Saat kami hampir melewati pintu aula──


“Satoshi-kun, maaf membuatmu menunggu~!”


“Uwah!”


Satsuki berlari sambil tersenyum lebar dan langsung menabrak kursi rodaku. Namun, ketika ia mendongak, senyumnya segera pudar.


“Kau tidak apa-apa? Lukamu tidak semakin parah, kan? Kalau kami tidak ada, kau sendirian tidak bisa apa-apa, jadi aku benar-benar khawatir…”


“Aku baik-baik saja, sama seperti biasanya.”


Padahal, akibat ia menabrakku, justru rasa sakitku bertambah.


“Yang mengkhawatirkan bukan hanya Satsuki, aku pun begitu──”


“Benar! Jangan sampai hanya Satsuki yang diperlakukan istimewa──”


Shuna dan Shino menyusul dari belakang, dengan wajah merengut. Namun, suara mereka datar tanpa ekspresi.


“Eh? Eh? Ada apa dengan kalian── ah, jadi begitu.”


Ketika Satsuki melihat “sesuatu” di belakangku, matanya menjadi gelap dan suaranya kehilangan intonasi.


“Satsuki.”


Sano memanggilnya, tetapi Satsuki tidak menanggapi sama sekali. Ia tetap tersenyum manis padaku.


“Seperti yang Reine bilang, katanya ada ramen enak di luar kampus. Ya kan, Shino?”


“Benar. Mari kita cepat pergi. Aku ingin mencoba yang namanya mesin penjual tiket itu.”


“Ahaha, memang khas nona besar ya~”


“Oi, tunggu dulu…”


Sano bergoyang pelan sambil bergumam, tetapi tampaknya selain aku, keempat orang lainnya sama sekali tidak mendengarnya. Terlebih lagi, setiap kali aku mencoba menoleh ke belakang, mereka membentuk semacam dinding untuk menghalangi pandanganku, lalu mulai mendorong kursi rodaku.



“Hoi……”


Kakiku seolah-olah diberi beban timah, sama sekali tidak bisa bergerak. Tangan yang terulur pun tidak mampu menggenggam sesuatu yang penting. Seakan-akan seperti fatamorgana yang semakin menjauh.


“Tunggu! Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu!”


Aku bersuara, tetapi sama sekali tidak mendapat tanggapan, seperti mendorong lengan ke arah tirai bambu.


“Shino, apakah kau tahu apa itu ramen?”


“Pertanyaan yang bodoh. Menurutmu aku ini siapa…?”


“Seorang nona besar yang penuh rasa ingin tahu sekaligus suka membuat keributan, kan. Tapi apakah perutmu bisa menampungnya…?”


“Kalau kurang, berikan padaku saja~ Aku sedang lapar, lho. Begitu juga denganmu, bukan, Satoshi-kun~?”


“Eh? Ah, e~hm. Yah, bisa dibilang begitu.”


Bukan untukmu, hei!


Ketika mataku bertemu dengan Iriya, seketika sebuah dinding tercipta, membuat tatapan kami tidak lagi bersinggungan. Dari kelima orang yang berjalan di depan, hanya Iriya yang menyadari keberadaanku. Ironisnya, justru hal itu membuktikan bahwa keempat orang di hadapanku bukanlah sekadar ilusi.


“Hei, bisakah kalian berhenti mengabaikanku dan mau mendengarkan apa yang kukatakan?”


Akhirnya, tubuh dan pikiranku selaras, dan aku mulai mengejar mereka. Meskipun sedikit kesal karena sudah lama tidak bertemu namun keempatnya sama sekali tidak melirik ke arahku, aku berusaha keras menjaga ketenangan. Namun──


“Kalau begitu, biar aku saja yang menyuapimu~”


“Itu curang, bukan!? Hei, Satoshi-kun. Kalau kau makan ramen dengan tangan yang bukan tangan dominanmu, pasti kuahnya akan terciprat ke mana-mana. Jadi biar aku saja yang membantumu!”


“Kalau ada gadis pengacau seperti Satsuki di dekatmu, selera makanmu justru akan hilang, kan? Aku sendiri tidak terlalu lapar. Jadi, aku saja yang akan mengurus Satoshi. Kalian cukup menikmati ramen kalian.”


“Itu jelas curang, bukan, Reine-san. Seharusnya aku, kan?”


“Tidak, aku bisa makan sendiri…”


“Hei! Hentikan!”


Keempat wanita cantikku justru memperebutkan pria lain. Lebih parah lagi, mereka tampak akrab satu sama lain saat melakukannya. 


Aku menunda menyatakan perasaan pada mereka justru agar mereka bisa mempererat ikatan satu sama lain. Namun, semua itu hanya berarti jika akulah pusat dari lingkaran itu, bukan orang lain. 


Didorong oleh rasa gelisah, aku tidak lagi bisa menahan emosiku.


“Mengapa kalian berada di dekat orang itu!? Bukankah kalian semua dulu menyukaiku!? Bahkan ketika aku menghubungi kalian, kalian selalu mengabaikannya. Sebenarnya apa yang terjadi!?”


Di salah satu sudut gedung kuliah yang sepi, tepat di depan lift, akhirnya langkah keempat orang itu terhenti.


“Haa, haa… akhirnya berhenti juga.”


Hanya suara nafasku yang terdengar bergema. Keempat orang yang tadi riuh mendadak hening bagaikan permukaan laut yang tenang.

Kesempatan ini tidak boleh kusia-siakan.


“Hei, kalau kalian merasa sulit untuk menjawab, cukup anggukkan kepala saja. Tunjukkan sinyal SOS padaku. Apa pun yang terjadi, aku pasti akan menolong kalian!”


Tidak mungkin ini benar-benar keinginan mereka. Pasti Iriya telah memanfaatkan kebaikan hati mereka sekaligus menggenggam suatu kelemahan. Kalau tidak, mana mungkin mereka memperlakukan pria yang mereka sukai dengan cara seperti ini. Namun, ketika lampu penunjuk mencapai lantai dua dan pintu lift terbuka, keempatnya masuk bersama Iriya tanpa sekalipun menoleh ke arahku.


“Ugh! Tunggu!”


Aku tidak boleh berhenti──itulah yang kupikirkan, lalu segera melangkah maju dan menyelipkan kakiku ke celah pintu lift yang hampir menutup. Pintu itu berhenti seketika karena benturan kecil, lalu tak lagi bergerak.


“Uh! Kalian yang baik hati seperti Satsuki pasti sedang dipegang kelemahannya, kan!? Sebenarnya kalian tidak menginginkan ini, tetapi kalian diancam oleh Iriya Satoshi, bukan!?”


Telinga mereka sedikit bergerak menandakan reaksi.


“Iriya, dasar kau! Katakan sesuatu, bajingan!”


Aku menuding Iriya, yang wajahnya tidak bisa kulihat karena tertutupi oleh Reine dan Shino yang mendorong kursi rodanya. Diamnya itu terasa licik sekaligus pengecut.


“Hei.”


“…Satsuki? Satsuki…!”


Apakah permohonanku yang penuh keputusasaan akhirnya sampai padanya? Satsuki memberanikan diri untuk menjawab.


Benar saja, Satsuki pasti sudah diperlakukan dengan buruk oleh Iriya. Kalau begitu, sekarang juga aku harus──


“──Mati saja kau.”


Zok.


Belum sempat aku bereaksi terhadap mata Satsuki yang menghitam pekat bagaikan dilumuri dengan tinta dan suara dingin menusuk telinga itu, dari celah pintu lift yang terbuka tipis, tangan kanan Satsuki melesat cepat ke arahku.


Jari-jarinya yang ramping mencengkeram kerah bajuku, dan dengan kekuatan seketika yang tak memberiku kesempatan berbuat apa pun, tubuhku ditarik mendekat. Tangan Satsuki sama sekali tidak ragu, ia berusaha menyeretku masuk ke dalam lift.


“Eh……?”


Suara kecil berbaur kebingungan dan ketakutan lolos dari bibirku, namun bersamaan dengan itu Satsuki menarik kembali tangannya, dan tanpa ampun pintu lift tertutup.


Tubuhku yang masih tertarik ke depan menghantam pintu, kepala membentur keras hingga rasa sakit tumpul menyebar ke seluruh wajah. Aku meringis, terjatuh ke lantai.


“~~~~!”


“──”


Darah segar muncrat ke udara, menciprat dan mewarnai lantai. Ketika pintu lift kembali terbuka, Satsuki berdiri di sana, menatapku dari atas dengan pandangan seolah sedang melihat sampah. Dalam pandangan kaburku, terlihat Shuna tersenyum sambil menekan tombol buka-tutup. Ironisnya, justru rasa sakit itu yang membuat otakku kembali sadar seketika.


“Ugh, apa yang……!?”


Namun kalimatku terhenti. Bukan hanya Satsuki, Shino dan Reine pun menatapku dengan ekspresi yang sama.


“Rendahan…… berani-beraninya kau bersikap sok terhadap penyelamat nyawa kami?”


“Memanfaatkan? Katamu kami sedang dipegang kelemahannya? Hentikan omong kosongmu yang merendahkan Satoshi kami.”


“A-apaa? Sebenarnya kalian sedang membicarakan apa sih? Hei, Shuna.”


“Bisa jangan panggil namaku?──Menjijikkan.”


Nada bicaranya yang biasanya lembut dan ramah kini runtuh, berganti dengan dingin dan penuh amarah. Senyum yang seharusnya bisa menenangkan siapa pun lenyap, meninggalkan wajah datar yang mengerikan.


Apa-apaan ini? Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Pikiranku tak selaras dengan kenyataan, membuat kesadaranku goyah. Lalu, Satsuki berjongkok di hadapanku yang terjatuh, meraih rambutku dengan kasar, dan mengangkatnya hingga wajahku sejajar dengan miliknya.

Tatapan kami bertemu. Namun mata Satsuki bagai lubang hitam.


“Setelah puas mempermainkan kami sesuka hatimu, bagaimana bisa kau masih punya nyali untuk berbicara padaku seperti biasa? Lebih parah lagi, kau bahkan mencoba melukai hati Satoshi-kun kami. Mati, mati, mati, mati, mati──mati saja kau.”


“Hii……!”


Ini…… benarkah dia Satsuki?


Aku berusaha keras melepaskan diri dari cengkeramannya, hingga beberapa helai rambutku tercabut. Namun rasa takut menumpulkan rasa sakitku, membuatku tak lagi bisa merasakannya. Satsuki berdiri, dan pintu lift kembali menutup tanpa belas kasihan.


“Jangan pernah bicara padaku lagi. Kau saja──yang pasti akan……”


Bersamaan dengan kata-kata terakhir yang terputus, pintu lift menutup rapat dengan bunyi mekanis.


Aku hanya bisa terduduk linglung, pikiranku kosong. Ekspresi penuh penghinaan yang mereka tunjukkan barusan membekas begitu jelas, tak mau hilang dari benakku. Di sana bersemayam kemarahan dan kebencian tanpa dasar.


Korosu──(Kubunuh).


Gerakan bibir terakhir Satsuki seolah membentuk kata itu.


“A-apa salahku!? Apa yang sudah kulakukan……!?”


Dada dipenuhi ketakutan, kebingungan, dan──



“Aah, lelah sekali. Tapi kenapa sih kuliah di universitas itu membosankan sekali…… kupikir bakal lebih menyenangkan.”


“Itu tidak bisa dihindari. Profesor adalah ahli penelitian, bukan ahli mengajar. Agar terasa menarik, kita harus memiliki pengetahuan dasar terlebih dahulu. Tapi tetap saja, orang-orang yang suka mengajak bicara di tengah kuliah itu apa maksudnya……”


“Memang jarang ada yang benar-benar serius mengikuti pelajaran, sih~. Banyak sekali monyet-monyet pencari jodoh, bikin sebal.”


“Aku hanya bilang, ‘Aku sudah punya pacar’, lalu mereka langsung diam.”


“……Bukankah itu curang?”


“Oh? Dalam [Perjanjian Empat Arah] tidak ada larangan, kan?”


“Reine-san memang ahlinya main curi start, ya.”


“Kalau begitu aku juga akan pakai cara itu mulai sekarang~.”


Waktu menunjukkan pukul enam sore. Karena menemani Satsuki yang punya kelas sampai jam kelima, akhirnya kami keluar kampus di jam segini. Angin sejuk berhembus di alun-alun depan stasiun, kelopak sakura berjatuhan menari. Dari pintu tiket, orang-orang keluar tanpa henti, wajah mereka dipenuhi rasa lelah bercampur lega.


Hari ini Jumat. Fakta bahwa besok libur tampaknya membuat raut wajah mereka lebih cerah. Kami pun tak terkecuali. Meski begitu…… bagaimana mungkin setelah semua yang terjadi tadi, mereka bisa bercakap-cakap dengan ceria seperti ini……?


Pikiranku kembali pada kejadian di lift. Apakah para heroine【LoD】benar-benar akan membenci tokoh utama sedemikian rupa bila tingkat kedekatan mereka gagal ditingkatkan? Dalam game, heroine yang tidak bisa dimenangkan memang semuanya berakhir dengan kematian, jadi rasanya seperti melihat hidden setting terungkap. Tapi ketika mereka mengeroyok Sano di akhir…… raut wajah keempatnya begitu mengerikan, sampai-sampai aku hanya bisa jadi penonton pasif.


Yang lebih menakutkan lagi──meski mereka baru saja melakukan hal seperti itu, ketika makan ramen, sikap mereka kembali seperti biasa. Padahal tadi aku sampai berdarah-darah, tahu!?


……Yah, mungkin itu bukan poin yang harus kupikirkan.


Kami berlima berjalan di sepanjang rel. Dalam keheningan, hanya suara mereka berempat dan derit roda kursi rodaku yang terdengar samar. Tidak ada siapa pun di sekitar.


Tiba-tiba, terdengar bunyi peringatan perlintasan: kling, kling, kling. Udara bergetar, lalu disusul deru kereta yang mendekat dengan cepat, mengguncang rel saat melintas di samping kami. Cahaya dari jendela kereta memancar putus-putus menerangi tubuh kami, dan begitu suara dan getarannya berlalu, kesunyian kembali menguasai sekitar. Seolah-olah dunia ini benar-benar diatur hanya untukku.


“Hei, Satsuki……”


“Hmm? Ada apa, Satoshi-kun?”


“Ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada kalian semua. Bisakah kau memutar tubuhku ke arah berlawanan?”


“Baik, aku mengerti!”


Satsuki dengan cekatan membalikkan kursi roda, dan aku pun berhadapan dengan keempat orang itu. Dengan wajah penuh tanda tanya, mereka menungguku berbicara.


Mengatakan “tidak ada apa-apa” dan menjadikannya bahan candaan mungkin adalah kesempatan terakhirku. Kisah tentang Sano bisa saja kusingkirkan dengan tawa, lalu mengalihkan pandangan dari perasaanku yang sebenarnya, demi memperpanjang kehidupan seperti sekarang walau hanya sehari lagi. Namun──


“Mulai sekarang, aku tidak membutuhkan perawatan lagi. Jalani hidup kalian masing-masing sesuai keinginan. Terima kasih untuk semuanya.”


Aku menampilkan senyum terbaikku, lalu menunduk dalam-dalam, hampir menyentuhkan kepala ke lutut, sebagai ungkapan rasa terima kasih.


“Jadi, kami… sudah tidak dibutuhkan lagi? Tidak diperlukan lagi…?”


Dengan suara yang seakan akan jatuh ke dalam kegelapan, Satsuki bertanya padaku. Saat aku mengangkat wajah, cahaya di mata mereka semua sudah hilang. Aku tidak boleh terbawa suasana ini.


“Bukan begitu. Aku senang kalian ada di sisiku, bahkan kalau boleh, aku ingin kalian tetap di sisiku selamanya.”


“Kalau begitu, kenapa…?”


Aku menarik napas dalam. Kata-kata sulit sekali terbentuk. Sesak. Aku tidak ingin mengatakannya. Tapi, aku tidak boleh berhenti di sini.


“Aku… sangat membenci orang yang memutarbalikkan hidup orang lain demi kepentingan pribadi… Namun, tanpa sadar aku menempatkan diri pada posisi mutlak sebagai ‘penyelamat nyawa’, dan memberi kalian semua kalung yang tidak bisa kalian lepaskan sendiri. Itu menjadikanku orang yang paling hina, dan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri… lebih dari siapa pun.”


“──”


“Karena itu, sudah cukup. Mulai sekarang, semuanya akan kulakukan seorang diri. Tidak perlu merasa bersalah lagi. Lupakan saja aku, jalani hidup kalian dengan bebas. Lepaskanlah beban ini… kumohon.”


Sekali lagi, aku menundukkan kepala. Pada akhirnya, ini juga demi diriku sendiri. Aku tidak ingin lagi tersiksa oleh rasa bersalah karena telah memutarbalikkan hidup orang lain. Aku ingin diingat sebagai pahlawan yang menyelamatkan para gadis itu.


Reine memang pernah berkata bahwa mereka tidak tinggal di sisiku hanya karena rasa bersalah. Namun, tetap saja, aku lebih mementingkan egoku sendiri. Permintaan yang egois dan sepihak. Aku mengabaikan perasaan mereka yang jauh lebih besar diliputi rasa bersalah dibanding diriku.


“…Kau baik sekali, Satoshi-kun.”


“…Tidak. Aku ini orang yang paling hina.”


Tiba-tiba terdengar helaan napas kecil, disertai senyum tipis.


“Karena ini permintaan Satoshi-kun sendiri, tentu aku ingin mewujudkannya. Tapi maaf sekali… itu permintaan yang tidak bisa kami kabulkan.”


“…Kenapa──hah?”


Saat aku mendongak untuk menanyakan mengapa Satsuki menolak perkataanku, mataku justru tertuju pada benda yang ada di tangannya.


“Aku tidak sanggup lagi melihat Satoshi-kun terus melukai dirinya sendiri. Karena itu, aku… kami semua, akan mengaku.”


“Tidak… kenapa kau bisa tahu itu…!?”


Itu adalah Catatan harian milikku. Satu-satunya kebiasaan yang kulakukan saat SMA. Sampulnya sudah pudar, sudut-sudutnya usang dan melengkung lembut akibat pemakaian. Benda yang selama ini kukira hilang, ternyata ada di tangan Satsuki. Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri kepalaku. Melihat ekspresiku, Satsuki tersenyum kecut.


“Maaf. Pada hari ketika Satoshi-kun mengalami kecelakaan, aku diam-diam mengambilnya.”


“Apa…”


“Dan aku membacanya. Tentang 【LoD】, tentang ‘kekuatan paksaan dunia’, tentang 【Satsuki Saionji】 juga… semuanya… semuanya sudah kuketahui.”


“──”


Ketika aku menoleh ke Shino, Shuna, dan Reine, jelas terlihat mereka juga mengetahui isi dari Catatan harian itu.


Satsuki membuka-buka halamannya dengan penuh kasih, lalu mulai berbicara dengan suara lembut.


“Satoshi-kun. Selama ini, kau terus melindungi kami. Menopang kami. Sendirian.”


“Ah…”


Kata demi kata mengalir perlahan, seolah menyentuh permata.


“Tapi maaf… kami sama sekali tidak mengingatnya. Hingga membaca buku harian ini pun, kami bahkan tidak tahu ada nama ‘Iriya Satoshi’. Padahal selama ini kaulah yang menyelamatkan kami, tapi kami salah paham dan mengira itu orang lain… kami benar-benar rendah sekali, ya?”


Bukan begitu. Itu semua karena “kekuatan paksaan dunia.” Itu bukan salah mereka. Namun, kata-kata yang ingin kuucapkan tertahan di tenggorokan, tak bisa keluar.


“Yang kau berikan pada kami… adalah kasih sayang tanpa pamrih. Benar-benar… betapa kejam, menyedihkan, dan tidak pernah terbalaskan perasaan itu.”


Bahunya bergetar, air mata yang tak tertahan lagi mengalir membasahi pipi Satsuki.


“Tapi… sekarang kami tahu… siapa orang yang sebenarnya telah menyelamatkan kami…”


Suara terisak itu bergetar, namun tatapan Satsuki menembusku dengan ketegasan yang tajam.


“Meski tubuhmu sudah hancur seperti ini… meski kau selalu menopang kami dari balik bayangan… setelah mengetahuinya, bagaimana mungkin kami bisa melupakanmu dan hidup dengan tenang!? Jangan remehkan kami…!?”


Gema suaranya mengguncang langit malam.


“Jangan pernah bilang ‘lupakan’ lagi…! Selama ini kami sudah melupakan begitu banyak hal, jadi apa lagi yang masih harus kami lupakan!?”


Tak terbendung. Perasaan Satsuki mengalir deras bagai banjir bandang.


“Kalau kau meminta tubuh kami, kami akan memberikannya padamu! Kalau kau bilang ‘mati’, kami akan dengan senang hati mati sekarang juga…!?”


Sejenak hening. Lalu Satsuki, seakan runtuh, memaksa keluar kata-kata sambil bergetar.


“…Tolong, jangan pernah lagi merendahkan dirimu sendiri…! Jangan pernah bilang kau orang yang hina…! Bagiku, bagi kami, kau adalah pahlawan, penyelamat──dan orang yang sangat kami cintai…!”


Air mata yang membasahi pipinya berkilau di bawah sinar bulan. Tiga orang lain yang berdiri di sampingnya pun menatapku tanpa sepatah kata, tapi jelas membawa tekad yang sama di dalam mata mereka. Aku kehilangan kata-kata. Tubuhku yang limbung kutopangkan pada kursi, lalu menundukkan kepala dalam-dalam.


“──Di kehidupanku yang lalu, sebagai seorang pengangguran, aku tidak punya tempat untuk pulang…”


Seperti es yang menempel di dalam dada perlahan mencair.


“Setelah bereinkarnasi, aku berniat hidup dengan sungguh-sungguh… agar keluargaku yang melahirkanku bisa sedikit merasa bangga memiliki aku sebagai anak…”


Namun, bagaimanapun juga aku adalah seorang yang bereinkarnasi. Aku bukanlah Iriya Satoshi yang asli. Akhirnya, aku kembali dianggap aneh, dijauhi, dan lagi-lagi, aku sendirian.


"…Kalau memang tidak ada seorang pun yang membutuhkanku, aku sudah pasrah dan berpikir akan hidup seorang diri. Tapi lalu, aku teringat bahwa aku adalah Iriya Satoshi… sejak saat itu, aku…"


『Tiga tahun hidupku hanyalah hidup demi tidak mati.』


"Seberapa keras pun aku berusaha, dia selalu merampas hasil jerih payahku… Demi bertahan hidup memang begitu, tapi apakah hidup yang hanya mengabdi pada sang tokoh utama itu benar-benar punya arti…? Aku terus memikirkan itu…"


Setiap kali Sano Yuuto semakin dekat dengan para heroine, rasa lega dan juga kekosongan menyesak dadaku. Tanpa kusadari, aku pun belajar cara menanggapinya hanya sebagai sebuah pekerjaan.


"…Ketika bad end sudah ditentukan, ketika aku sampai pada titik di mana tidak bisa lagi mundur, aku tidak mau mati tanpa menyelamatkan siapa pun. Jadi, setidaknya, agar jejak hidupku tertinggal di 【LoD】, aku memutuskan untuk melakukan balas dendam yang menyeret semua orang…"


Aku selalu sendirian. Kesepian. Sakit. Bertarung terus-menerus tanpa seorang pun yang tahu, melewati hari-hari yang tak memberiku apa pun, sampai-sampai aku bertanya-tanya apakah semua itu punya makna.Bahkan ada saat di mana aku berpikir bahwa mati mungkin adalah sebuah bentuk penyelamatan. Namun, sebenarnya──


"…Aku ingin diketahui."


Aku ingin ada seseorang yang memuji hidupku.


"Setiap hari rasanya seperti mau hancur. Seberapa pun aku berjuang… meski akhirnya akan tetap berujung bad end, setidaknya…"


Saat itulah. Tiba-tiba, sebuah kehangatan lembut menyelimuti seluruh tubuhku. Kehangatan itu semakin erat, semakin lembut, memelukku sepenuhnya.


"Sudah… cukup. Satoshi-kun sudah berjuang dengan sangat keras."


Suara Satsuki meresap jauh hingga ke dasar hatiku.


"Jadi, kali ini biarkan kami yang menyelamatkanmu. Belenggulah hidup kami dengan cinta."


Bukan dibelenggu oleh rasa bersalah, melainkan oleh cinta. 


Apakah itu sungguh sesuatu yang benar? Apakah aku boleh memaksakan hal yang sepihak dan egois seperti itu pada mereka?


"Melakukan hal seperti itu… benarkah boleh…?"


Suara lirihku terdengar nyaris serak. Namun──


"Itu sudah jelas. Aku sejak awal memang sudah siap untuk itu."


──Suara tegas tanpa keraguan.


"Aku juga, lho~! Jadi, semangat lagi ya~."


──Suara hangat dan penuh kelembutan.


"…Aku masih bisa hidup sampai sekarang karena dirimu…"


──Suara bergetar, tapi tetap terpatri kuat dalam hatiku.


Terima kasih selama ini──


"…!"


Itulah kata-kata yang selalu kuinginkan. Kata-kata yang selama ini berkali-kali kuharapkan dari dasar hati.


Begitu sampai di telinga, dadaku terasa panas, dan di detik berikutnya air mata pun mulai mengalir. Meski berusaha menahannya, aku tak mampu. Sesak tangis menyeruak dari tenggorokanku. Kata 'terbalaskan' saja tak cukup untuk menggambarkannya.


Berapa banyak perasaan yang terus kupendam? Berapa banyak kelemahan dan kehampaan yang kupikul, sambil bertahan dalam kesendirian?

『Terima kasih』 itu seharusnya dari aku untuk kalian──



Dari stasiun, sedikit berjalan di sepanjang rel, ada sebuah taman kecil. Di ruang yang dikelilingi pagar semak itu hanya ada sebuah bangku tua dan perosotan berbentuk gajah. Tak terdengar suara anak-anak bermain, tak terdengar pula nyanyian serangga. Hanya ada bulan yang menggantung di langit malam, seolah-olah sedang mengawasi kami dari atas sana.


Seakan sedang mengikuti acara kunjungan kelas dari langit, suasana itu terasa sunyi namun hangat, seolah benar-benar menjaga kami. Entah mengapa, rasanya jadi aneh sekaligus memalukan. Karena, baru saja kami berlima saling meluapkan isi hati masing-masing.


Kami menangis, berteriak, hingga akhirnya hati kami benar-benar terhubung──


"…Lalu, Satoshi-kun,"


Suara Satsuki memecah keheningan itu.


"Di antara kami, siapa yang paling kamu sukai?"


"…Apa?"


Pertanyaan yang terlalu tiba-tiba membuat suaraku terbalik.


"Di catatan harian tertulis kalau kamu menjadikan kami berempat sebagai oshimen di 【LoD】. Tapi, anak mana sih yang sebenarnya jadi 'pilihan utama'-mu?"


Seperti yang kuduga, mereka berempat mulai membolak-balik catatan harian itu.


──Hentikan. Hentikan, Satsuki…!?


Tadi aku larut dalam gelombang emosi, jadi tak ada ruang untuk merasa malu. Tapi sekarang, dalam keadaan tenang begini, isinya dibaca oleh mereka adalah hal yang benar-benar memalukan.


"Kembalikan! Maksudku, kumohon, jangan baca lagi!"


Aku buru-buru mengulurkan tangan──tapi tak sampai.


Aku mencoba meraih dengan tubuh condong ke depan dan lengan terentang, tapi jarak puluhan sentimeter itu tak juga bisa kututup.


Mereka berempat sudah terlalu sibuk dengan isi catatan harian, seolah isi hatiku yang terdalam sedang dibongkar habis. Rasanya malu, menyedihkan, tak berdaya.


"Satoshi-kun, kamu banyak menulis kalau aku imut, ya!"


"Iya, iya, aku juga~! Senang banget~!"


"Reine disebut cantik berulang kali. Wajar saja…"


"Fufu, tak bisa menahan rasa senang, ya. Tapi, Satoshi-san. Kenapa cuma aku yang keterangannya anehnya banyak yang bernuansa erotis?"


Ini ibarat neraka: surat cinta buatanku sendiri dibacakan keras-keras tepat di hadapanku. Aku hanya bisa menutup wajah, sementara mereka bersorak di sekelilingku.


"Sudahlah… hentikan…"


Tangisanku yang lirih seperti suara nyamuk tak dihiraukan oleh siapa pun. Namun, itu baru permulaan.


"Tapi, tetap saja, yang paling kamu sukai itu aku, kan?"


Suasana seketika membeku. Angin malam yang tadi sempat berhembus lembut tiba-tiba berhenti. Semak-semak masih bergoyang diterpa angin, tapi di sekitar kami, seakan waktu berhenti.


"…Satsuki-chan, coba lihat baik-baik. Catatan tentang diriku yang paling banyak, kan~?"


"Hah? Shuna, jangan bicara bodoh. Jelas-jelas Satoshi tergila-gila padaku."


"Fufu, kalian ini buta semua rupanya. Yang paling sering dilihat dengan tatapan erotis jelas aku."


"Hah?"


Benar-benar, percikan api sudah mulai bermunculan. Padahal seharusnya musim semi, tapi keringat dingin justru mengalir di dahiku.


"U-um, dengar ya. Bertengkar itu tidak baik, tahu?"


Dengan segenap keberanian, aku mencoba menyelip di antara keempat orang itu. Namun, keempat gadis yang menatapku dari atas hanya menampilkan senyum di bibir mereka, sementara sorot mata mereka menyimpan cahaya yang aneh dan menggoda.


"Hei, Satoshi-kun. Katakan saja, siapa yang paling kamu sukai?"


"Tidak, maksudku—"


"Kami tahu kok kalau kamu Love kami semua, jadi berhenti bertele-tele, ya?"


Jalan keluar sudah tertutup rapat.


"Si-siapa yang… dibilang paling kusukai itu… a-aku suka kalian semua, jadi…"


Dengan susah payah aku berhasil memaksa kata-kata itu keluar, meski wajahku panas tak tertahankan. Aku tak pernah menyangka, mengucapkan perasaan secara langsung bisa semalu ini.


"Sekarang bukan waktunya untuk hal seperti itu!"


"Be-betul, betul~!"


"Suka… suka… katakan, kamu suka aku, kan…?"


"Reine-san, tenanglah. Satoshi-san, nanti Anda harus bersiap-siap."


"Eh? Bersiap untuk apa?"


Keempatnya, dengan wajah merona, mendekat perlahan seakan mengepungku.


Wajah mereka begitu dekat. Jaraknya begitu dekat. Tekanannya luar biasa.…Sungguh, aku hanya bisa berusaha bernapas dengan susah payah.


"…Yah, sudahlah. Aku memang sudah agak menduga akan begini."


Satsuki menghela napas. Separuhnya pasrah, tapi entah mengapa terlihat juga rasa senang di sana. Lalu, ia berdiri tepat di depanku, menatap lurus ke mataku, dan berkata:


"Satoshi-kun. Satu hal ini, pastikan kamu benar-benar mengingatnya, ya?"


Begitu kata-kata itu jatuh, suasana seketika berubah.


"Kami berempat ini, sekarang sepenuhnya milikmu. Hanya saja──"


Mata Satsuki menyipit lembut, pipinya merona tipis, sementara jauh di dalam matanya berkilau cahaya sensual dan misterius yang membuat bulu kuduk merinding.


"Sebagai wanita… sebagai wanitanya Satoshi-kun… hanya soal siapa yang jadi yang pertama, itu tidak akan pernah bisa kami lepaskan."


Dalam sekejap, ketiga orang lainnya pun menyingkapkan tekad tajam di balik ekspresi lembut mereka.


"…Jadi, mulai sekarang, kami akan bersungguh-sungguh menjatuhkanmu demi menjadi yang pertama──jadi bersiaplah, ya?"


Itu bukan lelucon. Benar-benar serius.


Mata mereka semua adalah mata seorang wanita yang sudah meneguhkan tekadnya. Dengan dingin merambat ke tulang punggungku, aku hanya bisa menjawab dengan suara gemetar:


"Tolong… perlakukan aku dengan lembut…"


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close