NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 91 - 100

Chapter 91: Dogeza Anggota Dewan Kota Kondo

POV Ayah Kondo

“Apa… yang Anda katakan…”

Dengan suara bergetar, aku tak sengaja mengucapkan kata-kata itu.

“Tidak ada gunanya berkelit, Kondo-kun. Aku sudah mendengar semuanya dari balik sana. Lagipula, kalau kau memang ingin meminta maaf, seharusnya menghubungi lebih dulu. Tapi kau langsung datang, langsung bicara soal uang, dan bahkan memaksa untuk berdamai tanpa mempertimbangkan perasaan korban. Itu perilaku paling rendah sebagai manusia.”

Mendengar itu, darah di tubuhku seperti menghilang. Seluruh tubuhku jadi dingin.

“Itu… itu karena saya juga dalam kondisi tertekan, jadi saya tak sengaja berkata kasar…”

Bahkan aku sadar betapa kacau aku berbicara.

“Begitu ya… Tapi, Kondo-kun, kebetulan aku ini rekan relawan dari kepala sekolah di sekolah tempat anakmu belajar. Kau tahu maksudku, kan? Bisa bayangkan aku ingin menyampaikan apa?”

Punggungku mulai berkeringat dingin. Aku teringat semua yang tadi siang aku katakan di sekolah.

“Itu… tidak mungkin…”

Jadi semua itu sudah sampai ke telinga mantan wali kota!?

Setelah aku sadar maksudnya, tubuhku mulai bergetar tak terkendali.

“Sudahlah, Aono-san, tolong nyalakan TV. Sepertinya waktunya sudah tiba. Ini momen penting bagi Eiji-kun. Memang sudah direkam, tapi aku ingin menontonnya secara langsung. Si dungu ini biarkan saja dulu.”

“Baiklah.”

Seolah sudah berlatih sebelumnya, mereka berdua mengabaikanku dan menyalakan TV yang ada di restoran. Berita sore pun mulai disiarkan.

Seorang pembawa berita wanita mulai membacakan berita.

“Dua siswa SMA mendapat penghargaan dari pemadam kebakaran. Mereka adalah Eiji Aono, siswa kelas 2, dan Ai Ichijo, siswa kelas 1, yang tinggal di kota ini. Keduanya memberikan pertolongan pertama kepada seorang pria yang tiba-tiba ambruk di depan stasiun pada hari Sabtu lalu. Setelah menyerahkan pria itu ke ambulans, mereka pergi tanpa menyebutkan nama. Namun, video aksi mereka yang diunggah ke media sosial menarik banyak simpati. Pemadam kebakaran dan polisi kemudian mencari identitas mereka. Identitas keduanya akhirnya ditemukan berkat informasi dari guru di sekolah tempat mereka belajar…”

Setelah suara penyiar wanita itu, muncul sepasang siswa SMA yang tersenyum cerah menjawab wawancara.

Begitu mendengar nama “Eiji Aono,” aku langsung sadar itu anak dari pemilik rumah ini. Tapi aku belum bisa memahami sepenuhnya seberapa besar nilai dari kisah heroik ini.

“Kondo-kun? Apakah kau tahu siapa pria yang diselamatkan Eiji-kun?” tanya Tuan Minami.

Aku hanya bisa menggeleng.

“Itu adalah Tuan Yamada. Mantan Ketua Dewan Provinsi. Betapa menakutkannya kebetulan ini. Kau pasti tahu Yamada, kan? Dia sesama anggota partai denganmu, dan salah satu tokoh senior.”

Tentu aku tahu. Tokoh besar di dewan provinsi, bahkan anggota parlemen pun segan padanya. Memang dia sudah pensiun, tapi putranya melanjutkan posisinya dan sekarang juga tokoh penting…

Keringat dingin mengucur deras.

“Omong-omong, Kondo-kun. Aku ingin memperkenalkan seseorang padamu. Heii, Yamada-kun!”

Terdengar langkah kaki dari belakang.

“Saya ingin menonton momen membanggakan sang penyelamat dengan tenang, tapi sungguh disayangkan harus mendengar berita buruk dari Anda, Tuan Kondo.”

Anggota dewan provinsi Yamada muncul. Ia pewaris ayahnya, dan diharapkan bisa maju ke parlemen nasional suatu hari nanti.

“Ke… kenapa Anda bisa ada di sini…?”

“Baru saja saya bertemu Eiji-kun di sekolah. Saya juga ingin menyampaikan salam pada walinya, jadi saya dibantu Tuan Minami untuk datang ke sini. Tapi saya sangat kecewa mendengar tindakan bodoh Anda.”

Ia mengoperasikan ponselnya dan mulai memutar rekaman suara.

“Nyonya Aono. Saya ini anggota dewan dan juga pengusaha konstruksi. Jadi saya ingin menyelesaikan ini secara damai. Anda pasti paham maksud saya, bukan?”

“Ini hanya gumaman. Toko ini adalah peninggalan almarhum suami Anda, kan? Jadi jangan perbesar masalah. Kalau saya serius, toko ini bisa saya hancurkan kapan pun.”

“Tak mungkin kau bisa berdalih bahwa ini sekadar gumaman. Kau pasti tahu banyak berita anggota dewan kota lain yang terkena masalah karena perundungan kekuasaan. Kalau sampai media tahu, semua akan berakhir. Malu dong, Pak. Partai bahkan sudah mengangkat isu pemecatan Anda dalam rapat.”

Yamada, yang biasanya tenang, kini menatap tajam penuh kemarahan ke arahku.

“Itu hanya permainan kata… Lagipula, kenapa Tuan Minami bisa ada di sini…”

Yamada dan Minami hanya menghela napas panjang.

Sang pensiunan wali kota berkata dengan nada dingin:

“Pemilik restoran ini adalah sahabat karibku. Dia juga aktif dalam kegiatan relawan. Kami di kota ini terlalu banyak mengandalkan kebaikannya. Eiji-kun bisa dibilang pahlawan yang mengabdi untuk masyarakat, dan kami semua berutang budi padanya. Dan kau… yang tak tahu apa-apa, berani melukai dan mengancam anak itu. Sudah siap menerima konsekuensinya?”

Suara hatiku runtuh seketika. Semua yang kubangun selama ini akan hancur.

“Ma… maafkan saya…”

Saat hendak meminta maaf kepada Tuan Minami, terdengar bentakan keras.

“Bukan kepada dia kau harus meminta maaf! Anakmu memukul Eiji yang tidak bersalah di depan umum, menyebarkan informasi bohong demi melindungi diri, membuatnya terisolasi dan mencoba menghancurkan hidupnya. Dan kau—demi melindungi anakmu—bahkan mencoba mengancam keluarganya!”

Informasi yang bahkan tidak aku ketahui, ternyata sudah tersebar. Tak ada lagi tempat untuk lari.

Dengan wajah pucat, aku menoleh ke ibu Eiji. Lututku lemas, dan tanpa sadar, kepalaku menyentuh lantai. Aku bersujud.

Tanpa diminta. Aku bersujud dengan niat memohon ampun.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyerah sepenuhnya pada orang lain.

Rasa malu tak sebanding dengan ketakutan kehilangan segalanya.

Ketakutan itu mengalahkan segalanya.

“Saya sungguh minta maaf atas ucapan kasar saya sebelumnya.”

Tapi permintaan maaf sambil bersujud itu hanya disambut dengan suasana dingin. Tidak ada yang peduli.

Seperti seorang terdakwa di ujung palu hakim, aku merasa berdiri di gerbang neraka.

Dan neraka ini… belum berakhir.


Chapter 92: Ibu Ichijou Ai vs Anggota Dewan yang Hancur

POV Ayah Kondo

Meskipun aku tetap bersujud di lantai, tak ada satu pun dari mereka yang mengatakan apa pun. Keheningan yang menyakitkan mulai menggerogoti jiwaku.

“Apa yang sedang Anda lakukan, Pak Kondo?”

Sebuah suara perempuan yang dingin menusukku seperti pisau.

“Saya… saya hanya ingin meminta maaf…”

“Sudah berulang kali saya katakan, bukan? Pergilah dari sini. Siapa yang bisa memaafkan orang yang mencoba menyakiti anak laki-laki dan toko yang diwariskan oleh mendiang suami saya? Tak ada gunanya berlutut seperti itu. Saya tak akan menarik laporan polisi. Bahkan, saya akan melaporkan juga soal ancaman yang Anda lontarkan tadi. Kalau Anda ingin bicara, silakan lakukan di kantor polisi atau pengadilan. Tapi saya tidak punya kewajiban untuk mendengarkan. Sampai jumpa di pengadilan nanti.”

“Tolong… tolong pertimbangkan kembali…”

Aku membenturkan kepala ke lantai berulang kali.

Kepalaku mulai terasa perih dan sedikit berdarah.

“Sungguh memalukan. Saya sudah dengar semuanya dari Pak Minami tadi. Anda memaki kepala sekolah dan guru Takayanagi yang sebenarnya sudah berusaha membantu Eiji. Anda juga menyombongkan bahwa putra Anda punya masa depan yang gemilang. Tapi dengar baik-baik, anak saya juga punya masa depan yang gemilang! Jangan rendahkan kami. Omong kosong soal bisnis! Karena Anda dan anak Anda, reputasi anak saya hancur. Maka kami tidak akan mundur. Kami tidak akan memaafkan anda sampai Anda hancur total.”

Ekspresinya begitu mengerikan hingga aku tak sanggup berkata apa-apa selain mengeluarkan erangan tanpa suara.

“Ma… maafkan saya.”

Akhirnya aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali mundur dan keluar dari tempat itu.

Padahal ini bulan September, tapi angin di luar terasa menusuk tulang.

Atau mungkin hanya tubuhku sendiri yang gemetar karena takut…

Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depanku. Seorang gadis SMA turun dari dalam mobil, mengenakan seragam yang sama dengan sekolah anakku. Ketidaksesuaian itu justru menambah rasa takutku.

“Jadi Anda memang di sini, ya, Tuan Kondo.”

Seorang gadis muda yang tidak kukenal memanggil namaku. Dalam situasi ini, itu hanya bisa berarti masalah.

“Kenapa kamu tahu namaku… siapa kamu sebenarnya…?”

Dia tersenyum seperti gadis seumuran pada umumnya, tapi aura tekanannya membuatku tak bisa bernapas.

“Nama saya Ichijou Ai. Mungkin akan lebih mudah jika saya bilang saya adalah… putri dari orang itu. Saya rasa Anda akan langsung paham.”

Nama ayahnya bukan main-main. Dalam dunia politik dan bisnis, tak ada yang tidak mengenal namanya. Bahkan jauh lebih berpengaruh daripada mantan wali kota Minami atau anggota dewan Yamada.

Darahku langsung tersedot dari wajahku.

Aku juga baru sadar, dia adalah gadis yang tadi muncul di berita bersama Eiji Aono karena aksi penyelamatan mereka. Artinya, keluarga Aono juga punya hubungan dengan keluarga Ichijou.

“Ada… apa? Ada keperluan apa dengan saya?”

Secara refleks aku menggunakan bahasa hormat kepada gadis yang jauh lebih muda dariku.

“Hanya ingin memberi peringatan. Meskipun sepertinya sudah agak terlambat. Saya sudah menyelidiki Anda. Semua hal… dan saya yakin Anda paham apa maksud saya. Kalau Anda atau anak Anda mencoba menyakiti keluarga Aono lagi, atau menghalangi pemulihan nama baik Eiji Aono… maka saya tidak akan pernah memaafkan itu.”

Kenapa… kenapa orang-orang kuat seperti ini mendukung keluarga itu?! Bukankah mereka cuma pemilik restoran biasa!?

“Tapi… tapi… masa depan anak saya…”

Kalau begini terus, anakku akan kehilangan segalanya. Bahkan aku pun akan terseret. Kalau rekaman suaraku yang tadi diputar diserahkan ke polisi, aku juga bisa dijerat hukum…

“Sungguh memalukan. Tanggung jawab atas tindakan kalian harus kalian tanggung sendiri. Saya juga mendapat informasi bahwa berita mengenai Anda dan anak Anda akan disiarkan besok pagi. Kemungkinan tentang insiden anak Anda dan upaya Anda mengancam sekolah.”

“Tidak mungkin… terlalu cepat! Apa sekolah merekam pembicaraan itu secara diam-diam!? Itu pelanggaran privasi! Apa mereka menjual orang tua siswa ke media!?”

“Sepertinya… wartawan sedang menunggu di ruang tamu sebelah ruang kepala sekolah. Mereka memang dijadwalkan mewawancarai kami soal aksi penyelamatan itu. Tapi karena Anda bicara dengan suara keras, mungkin mereka jadi merekam. Itu benar-benar kesalahan Anda sendiri. Kalau Anda mau bicara soal pelanggaran, maka demi pemulihan nama baik Aono Eiji, laporan ini akan dianggap sangat penting. Jika Anda menggugat sekolah, saya akan menganggap itu sebagai deklarasi perang terhadap saya.”

Saat itu, aku sadar… aku sedang dipermainkan. Mungkin semua ini sudah diatur oleh gadis muda yang berdiri di hadapanku. Apa benar dia lebih muda dari anakku sendiri?

Rasa takutku membuatku merasa tercekik.

“Bohong… bohong… ini semua bohong…”

Aku jatuh terduduk dan memukul-mukul tanah dengan tangan. Darah mulai keluar, tapi ledakan emosiku tidak bisa dikendalikan.

“Kalau begitu, saya permisi. Saya rasa kita tidak akan bertemu lagi, Anggota Dewan Kondo. Saya punya janji makan malam.”

Dengan ekspresi berubah menjadi lebih ceria dan sesuai usianya, ia melewatiku yang sedang terpuruk, lalu berjalan menuju restoran Kitchen Aono.

**

POV Takayanagi

Setelah pulang sekolah. Aku menyerahkan urusan klarifikasi dengan klub sepak bola kepada guru lain, dan mendatangi seorang siswa.

Aku yakin dia sedang berada di ruang praktik IPA karena dia aktif di klub sains.

Sebenarnya, aku seharusnya menemui siswa ini lebih awal.

Aku mengetuk pintu. “Silakan,” jawab seseorang dari dalam. Saat aku masuk, dia sedang menyiapkan lampu alkohol.

“Yo, Endou. Bisa ngobrol sebentar?”

Akhirnya, aku sampai juga. Kepada siswa lain yang juga harus kuselamatkan.


Chapter 93: Takayanagi dan Endou

— POV Endou —

Saat aku sedang menyiapkan eksperimen di ruang IPA, Pak Takayanagi datang.

Waktunya pas. Mungkin mau bahas pelajaran tambahan Kimia untuk Aono, atau mungkin soal insiden Kondo. Keduanya memungkinkan.

Aku telah melakukan hal yang bisa dibilang dosa. Karena itu, aku siap menerima hukuman. Jika Pak Takayanagi, yang telah berjuang demi Aono, ingin menghukumku, aku akan menerimanya. Jika semua sudah terbongkar, aku tidak akan cari-cari alasan.

“Ya, tidak apa-apa. Tapi hari ini aku sendirian, jadi… bisakah kita bicara di sini saja?”

“Tentu saja.”

Beliau tersenyum ramah.

“Kalau situasinya begini, bagaimana kalau saya menyeduh kopi pakai gelas beaker? Biar kelihatan seperti eksperimen IPA.”

Aku mencoba bercanda sedikit. Pak guru tertawa.

“Benar juga. Di light novel banyak adegan kayak begitu. Tapi hari ini saya bawa kopi kaleng. Mau café au lait?”

Sikap ramah itu membuatku sedikit lega.

“Terima kasih. Tapi… apa tidak apa-apa guru memberi kopi ke murid?”

Beliau tertawa lagi.

“Asal diam-diam, tak masalah. Dan lagi, kamu sudah banyak membantu soal Aono. Ini ucapan terima kasih kecil.”

“Saya sih pengennya traktiran yakiniku.”

Aku bercanda lagi, dan beliau membalas dengan tawa, “Jangan ngaco.”

Tapi dari reaksinya, aku tahu—semuanya sudah ketahuan. Indraku jadi lebih tajam akhir-akhir ini, dan dari cara beliau menjawab, aku bisa menebaknya.

“Jadi, apa yang ingin dibicarakan?”

Aku sudah siap. Karena bantuan dari Imai, aku siap menghadapi apa pun. Kalau pun aku dikeluarkan dari sekolah, aku akan belajar sendiri dan ikut ujian kesetaraan. Aku akan lanjut kuliah. Aku akan memutuskan rantai antara Kondo dan Eri di sini dan sekarang.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih. Dan juga minta maaf.”

Kata-kata beliau sungguh tak terduga.

“Minta maaf? Kenapa?”

“Sudah jelas, dong. Kamu sudah menderita, tapi aku sebagai guru tidak menyadarinya. Maaf, Endou. Aku yakin aku telah membuatmu sangat tertekan. Seharusnya aku sadar lebih cepat. Maafkan aku. Kamu memikul beban besar sendirian, soal Kondo dan klub sepak bola.”

Hatiku terguncang. Bahkan wali kelasku waktu SMP pun tidak pernah begitu tulus padaku.

“Kenapa… sejauh apa bapak tahu?”

“Aku baru sadar belakangan ini kalau kamu yang bergerak di balik layar. Saat foto Kondo tersebar ke sekolah, aku langsung tahu—si pemotret pasti punya dendam kuat terhadap Kondo. Mungkin kamu juga yang mengacaukan mental anak-anak klub sepak bola. Aku periksa siapa siswa yang tidak masuk pada hari pengambilan foto, yang punya keterkaitan dengan Kondo dan Aono… dan muncullah namamu. Ditambah riwayat masa lalumu… Aku rasa kamu sudah siap ketahuan sejak awal. Bahkan siap mengorbankan dirimu demi menjatuhkan Kondo.”

Aku kagum. Dalam rencanaku, Kondo atau anak-anak klub sepak bola akan tahu siapa aku, lalu mereka akan membalas dendam. Aku sengaja memancing kekerasan agar mereka tak bisa mengelak. Strategi mengorbankan diri. Aku tahu betul, Kondo si pemburu pengakuan pasti akan bereaksi.

Tapi sekolah bergerak lebih cepat dari dugaanku dan menghukum Kondo lebih awal.

“Rencanamu berjalan dengan baik. Hari Minggu lalu, beberapa anggota klub sepak bola mengaku ke pihak sekolah. Disertai rekaman suara dan bukti pesan di medsos. Karena kamu mengguncang klub sepak bola, sekolah jadi bisa cepat mengambil tindakan. Terima kasih ya, karena sudah bergerak demi Aono.”

“Itu tidak benar. Aku bukan demi Aono. Aku cuma bergerak demi diriku sendiri… hanya itu.”

“Jangan merendahkan dirimu seperti itu. Kalau kamu cuma dendam ke Kondo, kamu pasti sudah bertindak sejak lama. Tapi kamu bertindak demi Aono, kan? Karena itu kamu rela mengorbankan dirimu di tahap akhir. Kamu cuma tidak mau Aono merasa berutang budi, makanya kamu bilang begitu.”

“…”

Sikap Pak Takayanagi yang terus mencoba merangkulku… membuat hatiku campur aduk. Andai aku bertemu beliau sejak SMP, mungkin hidupku akan berbeda.

“Karena itu… jangan lanjut lagi. Serahkan semuanya ke orang dewasa. Aku tahu kami lemah, tapi kamu tidak perlu menanggung semuanya sendiri sampai mengorbankan masa depanmu. Kamu sudah cukup berjuang.”

Pak guru ini… luar biasa.

“Terima kasih. Saya akan serahkan semua data dan bukti yang sudah saya kumpulkan. Apa pun hukumannya, saya siap menerimanya.”

Akhirnya, aku bisa lepas dari semua beban ini. Sisanya aku serahkan pada beliau.

“Itu sangat membantu. Tapi… hukuman apa yang kamu maksud?”

“Eh? Tapi saya kan bolos, dan…”

“Ya, bolos memang tidak bisa dibenarkan. Tapi… soal foto itu, kamu cuma tidak sengaja menjatuhkan sesuatu di depan ruang klub sepak bola, kan? Kalau kamu cuma kehilangan barang, tentu tidak bisa dihukum, bukan?”

Mendengar itu, emosiku meledak. Café au lait yang kuminum terasa manis dan pahit.

**

— Di Kantor Polisi —

“Pak Doumoto, bagaimana dengan barang milik siswa bernama Kondo tadi? Bisa jadi bukti nggak ya? Soalnya ini ada kaitannya dengan kasus penganiayaan. Dan ponselnya rusak total, nggak bisa dinyalakan.”

Seorang petugas bertanya.

“Kalau begitu, kirim saja ke bagian forensik. Kalau pelaku tahu polisi sudah bergerak, bisa saja ada yang berusaha hapus bukti. Justru bagus ponselnya mati. Kita bisa ambil datanya sebelum ada yang menghapus apa pun.”


Chapter 94: Sekolah Bergerak untuk Menjatuhkan Sanksi

— POV Takayanagi —

Setelah selesai berbicara dengan Endou, aku kembali ke ruang guru untuk mengadakan rapat evaluasi hari ini. Banyak guru yang sudah membantu mengumpulkan informasi, jadi sekalian juga dijadikan momen untuk saling melaporkan perkembangan masing-masing.

Aku yang pertama kali membuka suara.

“Pertama, mengenai klub sepak bola. Aida dan Ueda telah mengaku bahwa merekalah yang mencoret-coret meja Aono sebagai bentuk pelecehan. Kemarin, setelah diperlihatkan rekaman suara dan riwayat pesan dari media sosial yang diberikan oleh siswa tahun pertama dari klub sepak bola, mereka tampaknya sadar tidak bisa menghindar lagi. Mereka juga mengakui telah turut menyebarkan informasi palsu, dan mulai mengakui keterlibatan pihak luar selain anggota klub.”

Awalnya, mereka berdua melawan keras. Tapi setelah bukti bocor dari dalam, mereka tidak bisa lagi menyangkal. Menurut laporan Pak Iwai, wali angkatan yang menyelidiki kasus ini, wajah mereka langsung pucat pasi dan tubuh mereka gemetar ketika melihat bukti itu.

Seseorang yang sudah putus harapan akan berbicara seperti radio rusak—mengeluarkan segalanya. Aku lanjut melapor.

“Seperti dugaan, dalang utamanya adalah Kondo. Ueda dan Aida mengikuti perkataan senior yang mereka hormati. Kapten klub sepak bola juga memprovokasi mereka hingga akhirnya mereka ikut terlibat dalam tindakan kriminal.”

Setelah itu, Wakil Kepala Sekolah memberikan laporan tentang perkembangan terbaru terkait Kondo.

“Selain itu, Kondo telah ditangkap oleh pihak kepolisian karena dugaan penganiayaan terhadap korban perundungan, Aono Eiji, di luar sekolah, serta karena menyerang polisi yang datang untuk meminta keterangan. Ia melemparkan benda ke arah polisi dan tertangkap tangan atas pelanggaran terhadap petugas.”

Fakta bahwa dalang dari semua ini, Kondo, kini sudah tidak bisa bergerak lagi, setidaknya memberikan sedikit ketenangan. Dengan begitu, kekacauan tak akan makin meluas.

Bu Mitsui juga menambahkan.

“Untuk penyebaran rumor jahat tentang Aono, siswa kelas 2 bernama Amada Miyuki telah mengakui keterlibatannya. Dia sebelumnya adalah pacar Aono, tapi berselingkuh dengan Kondo. Karena ingin melindungi dirinya sendiri, ia terpengaruh rayuan Kondo dan berpura-pura menjadi korban. Ia memalsukan memar di tubuhnya untuk tampil sebagai sosok tragis. Ia tidak menyangka rumor itu akan menyebar sejauh ini, dan saat masalah membesar, ia terlalu takut untuk menyangkalnya.”

Para guru menghela napas mendengar bahwa Amada, yang dikenal sebagai siswi teladan, telah tersesat sejauh itu. Seandainya dia berbicara jujur sebelum semuanya membesar, mungkin keadaan bisa dicegah. Tapi dia memilih jalan lain. Sanksi tidak terelakkan.

“Lalu, ini informasi yang belum terverifikasi, tapi perlu saya sampaikan karena Amada-san yang mengatakan hal ini. Walaupun belum pasti, tapi penting untuk disebarluaskan di lingkungan sekolah. Katanya, Aono sempat berniat untuk bunuh diri karena syok atas perselingkuhan dan penyebaran rumor palsu itu.”

Mendengar laporan itu, ekspresi para guru langsung berubah. Aono sempat mencoba bunuh diri. Bahkan mungkin, saat ini pun dia masih menyembunyikan luka batin dan terus menderita. Rasanya sesak di dada.

Pak Kumada, guru olahraga, pun tanpa sadar ikut bicara.

“Jangan-jangan… hari itu, saat upacara masuk sekolah? Aku sempat membentaknya saat dia mau kabur dari sekolah, tanpa tahu situasinya. Kalau saja aku lebih peka… sial…”

Meski dikenal keras dalam mendidik, saat seperti inilah sisi lembut Pak Kumada muncul. Tubuh besarnya bergetar, menyesali tindakannya.

Tapi, justru aku sebagai wali kelas Aono yang paling bertanggung jawab. Aku yakin, seharusnya aku bisa menyadarinya lebih cepat. Seharusnya aku sendiri yang mencari Aono, bukan hanya menyerahkannya kepada wakil kepala sekolah atau Bu Mitsui. Penyesalan demi penyesalan bermunculan.

“Selama satu minggu sejak kejadian ini, saya mengamati Aono-kun. Dan memang, di hari pertama dia kembali ke sekolah, kondisinya tampak sangat terpukul. Hari-hari berikutnya, dia terlihat lebih tenang, tapi bisa jadi dia hanya menahan diri. Jadi kita harus tetap waspada dan berhati-hati.”

Saat wajah semua guru tampak muram, Kepala Sekolah angkat bicara.

“Terima kasih atas laporannya. Saya sepenuhnya setuju bahwa kita harus terus mendampingi Aono sebagai korban. Ini sangat penting. Setelah rapat ini selesai, saya sendiri akan menyampaikan informasi ini kepada wali Aono. Besok juga, konselor sekolah akan datang, jadi kita akan menjalin kerja sama erat dengan beliau.”

Kepala sekolah selalu turun tangan langsung saat hal-hal penting terjadi. Kami sangat berterima kasih.

“Selain itu, mulai besok mungkin media akan mulai bergerak mencari berita. Namun, untuk para siswa yang terlibat dan melakukan pelanggaran hukum, kita harus tegas dalam menjatuhkan sanksi. Dan melindungi Aono serta siswa lainnya adalah tanggung jawab kita. Walau ada tekanan dari luar, kebijakan kita tidak akan berubah. Seperti laporan Bu Mitsui tadi, bisa jadi akan muncul hal-hal yang sulit untuk diungkap. Tapi saya ingin semuanya tetap terbuka dan membaginya bersama. Semua tanggung jawab akhir akan saya tanggung. Silakan fokus menjalankan tugas kalian tanpa khawatir. Sekian.”

Kepala sekolah menyampaikan tekadnya dengan penuh keyakinan.

Masalah perundungan ini akhirnya memasuki tahap krusial.


Chapter 95: Jalan Pulang Sang Teman Masa Kecil

— Sudut Pandang Miyuki —

Aku pulang dari sekolah seperti melarikan diri. Biasanya, sepulang sekolah aku menikmati obrolan santai dengan teman-teman. Tapi sekarang, aku tidak punya teman lagi. Itu sudah sewajarnya. Karena kebohonganku, aku tidak hanya merepotkan mereka, tapi sudah menyakiti mereka secara nyata.

Sejak tadi, notifikasi dari media sosial terus berbunyi tanpa henti. Saat tadi kubuka dengan rasa takut, kutemukan umpatan dan makian dari akun anonim:

“Pembohong.”

“Cewek selingkuh murahan yang mengorbankan teman masa kecil demi menyelamatkan diri sendiri.”

“Pelacur.”

Kata-kata seperti itu bertebaran. Dan memang, semua itu benar.

Aku sudah menceritakan segalanya kepada Takayanagi-sensei. Bagaimana awal aku mengenal Kondo-san, bagaimana kejadian kekerasan itu terjadi, dan mengapa aku sampai ikut terlibat dalam konspirasi keji itu. Apa yang kami bicarakan, termasuk juga kejadian saat aku dibawa oleh polisi bersama Kondo-san.

Aku juga memberitahu bahwa karena diriku, Eiji sampai ingin bunuh diri.

Semuanya sudah kuceritakan. Padahal seharusnya, aku mengatakannya sejak hari pertama insiden perundungan itu terjadi. Tapi aku tidak bisa. Aku benar-benar manusia paling buruk.

Saat memikirkan bagaimana Eiji—yang tidak bersalah sama sekali—harus menjalani hari-hari yang penuh penderitaan, rasa bersalahku begitu besar hingga ingin menangis rasanya. Aku sendiri pantas menerima semua ini karena ini akibat dari perbuatanku. Tapi dia tidak bersalah, dan dia tetap dihujat dan diasingkan. Ke mana pun dia pergi, pasti merasa seperti dikelilingi oleh musuh dan tawa sinis. Neraka di dunia nyata—dan aku yang mendorongnya masuk ke sana.

Sekarang aku mengerti… bahkan kalau aku meminta maaf, aku tidak akan dimaafkan.

Hari itu, aku mengeluarkan kata-kata kasar kepada Eiji. Padahal dia selalu bersikap lembut dan memprioritaskanku. Tapi aku malah menyebutnya sebagai penguntit yang suka kekerasan. Hanya mengingat itu saja membuatku ingin mati karena sakitnya.

Waktu itu, pikiranku sudah tidak waras.

Hal yang harusnya aku timbang adalah: kenangan sepuluh tahun bersama Eiji yang kami bangun dengan begitu berhati-hati, dibandingkan dengan kesombongan dan harga diriku yang dangkal. Mana yang harus kupilih—sekarang aku bisa menjawabnya tanpa ragu. Eiji itu baik hati. Bahkan ketika aku melukainya begitu dalam, dia tetap berkata bahwa dia tidak ingin merusak kenangan masa kecil kami yang berharga.

Aku kalah dalam segala hal. Baik sebagai manusia, maupun dalam hal kepercayaan orang-orang.

Aku hanya siswi teladan palsu, sementara dia… orang-orang di sekitarnya benar-benar bergerak untuk membantunya di saat genting. Sementara aku, karena tidak pernah meminta bantuan siapa pun, dan tidak pernah mencoba membantu Eiji, akhirnya tidak ada satu pun yang berpihak padaku.

“Eiji memang selalu berjuang demi orang lain… Wajar kalau dia dibela…”

Saat kami pindah ke kota ini, Eiji adalah teman pertamaku. Ayahku meninggalkan kami, dan ibu memilih pindah ke kota ini karena lebih cocok untuk membesarkan anak. Saat aku masih terus menangis, Eiji-lah yang pertama kali memperlihatkan dunia luar yang menyenangkan.

Dia memang orang yang selalu berusaha demi orang lain. Wajar kalau sekarang dia menerima balasannya. Sedangkan aku, berusaha mengisi kekosongan hati yang tidak bisa kuisi sendiri dengan cara yang salah. Eiji selalu menghargai aku.

Tapi aku terlalu terburu-buru.

Masa depan yang mungkin terwujud, dan kenangan berharga yang telah kami bangun bersama—dua hal itu kini berubah menjadi beban abadi dalam hidupku. Aku berjalan pulang, setelah kehilangan segalanya, hanya menyisakan penyesalan yang dalam.

**

— Saluran video berita TV ○○ —

“Berita eksklusif berikut ini. Kami mendapatkan rekaman suara seorang pria yang diduga anggota dewan kota, yang mengancam sekolah tempat anaknya bersekolah serta keluarga korban demi menutupi kasus kekerasan yang dilakukan oleh anaknya. Tampaknya, sang anggota dewan ini menggunakan pengaruhnya untuk menekan pihak-pihak yang terlibat demi menutupi tindak kriminal anaknya. Harap berhati-hati, karena rekaman berikut mengandung kata-kata yang kasar. Demi menjaga privasi, sebagian suara telah kami edit. Silakan dengarkan.”

Teks di layar: Suara yang diduga milik anggota dewan kota

“Anak saya sedang berada di masa penting menuju kelulusan. Kami mempertimbangkan jalur rekomendasi olahraga, dan universitas yang dituju pun memberi respons positif. Ini hanya pertengkaran anak-anak. Bukankah akan merugikan kedua belah pihak jika masalah sepele ini diperbesar?”

“Bisakah diselesaikan secara damai? Kalau masalah ini terungkap ke publik, reputasi para guru dan jumlah pendaftar di masa depan bisa terdampak.”

“Pak ○○, anggaplah ini sebagai urusan bisnis. Jika kalian mau diam, saya akan memudahkan berbagai urusan kalian ke depan. Atau kalian ingin terus jadi pihak yang merugi karena memusuhi saya?”

Teks di layar: Suara yang diduga milik guru

“Kau bilang hanya pertengkaran anak-anak!? Kau tak tahu malu! Karena anakmu, masa depan seorang siswa SMA hampir hancur total!”

Teks di layar: Suara anggota dewan kota kepada keluarga korban

“Ibu △△, saya adalah anggota dewan kota dan juga pengusaha. Saya ingin menyelesaikan ini dengan tenang. Ini hanya omongan pribadi. Toko ini, kan, peninggalan mendiang suami Anda yang berharga. Jadi, sebaiknya tidak usah memperbesar masalah. Kalau saya serius, saya bisa melakukan apa saja terhadap toko seperti ini.”

**

“Ini sungguh keterlaluan. Di zaman sekarang, masih ada anggota dewan kota yang sebegitu butanya dengan kekuasaan? Mengejutkan sekali. Padahal dalam berita sebelumnya, ada siswa-siswa muda yang berjuang menyelamatkan nyawa orang lain. Maaf, saya sampai berkata kasar sebagai sesama orang tua. Rincian lengkap berita ini akan kami sajikan dalam program berita pagi esok hari.”


Chapter 96: Endou dan Yumi

— POV Endō, di Rumah —

Aku sedang menatap layar ponsel, membaca berita online tentang kehancuran Kondo dan kawan-kawannya. Meski nama asli mereka belum dicantumkan, itu hanya tinggal menunggu waktu. Dalam arti tertentu, balas dendamku akhirnya selesai.

Kalau masalah ini makin meluas, karier ayah Kondo pun tamat. Dia pasti akan mengundurkan diri dari jabatan sebagai anggota dewan kota, dan bisnis utamanya di bidang konstruksi juga akan hancur. Perusahaan milik keluarga Kondo selama ini mengandalkan koneksi politik untuk mendapat proyek dari pemerintah kota dan provinsi—tradisi yang sudah ada sejak generasi sebelumnya. Kalau itu hancur, maka urat nadi kehidupan mereka juga ikut runtuh.

Akibat kasus ini, keluarga Kondo pasti akan terkena gugatan ganti rugi atas kasus perundungan dan kekerasan. Dengan bisnis yang terkena dampak berat, mereka kemungkinan besar akan gulung tikar.

Balas dendamku akhirnya selesai... seharusnya aku senang...

Hari yang selama bertahun-tahun terus aku nantikan akhirnya tiba, tapi entah kenapa hatiku tidak merasa lega.

Itu karena nama baik Aono-kun belum dipulihkan sepenuhnya. Dialah satu-satunya teman selain Yumi yang pertama kali mengulurkan tangan saat aku tenggelam dalam keputusasaan. Sekarang aku baru menyadari, dia benar-benar teman yang sangat berharga. Selama nama baiknya belum dibersihkan, balas dendamku belumlah tuntas.

Saat aku termenung sambil menatap langit-langit dengan perasaan yang campur aduk, ponselku bergetar. Sebuah pesan LINE masuk. Awalnya kukira dari teman sekolah, tapi yang muncul malah nama yang sangat familiar.

Domoto Yumi:

“Selamat malam. Maaf mendadak. Besok sore kamu bisa luang sebentar? Masih ada yang ingin aku bicarakan. Rasanya, waktu kita ngobrol kemarin terlalu singkat…”

Sepertinya aku harus mentraktir Imai ramen nanti. Entah kenapa, pikiran itu muncul begitu saja. Padahal selama beberapa tahun terakhir aku hanya dipenuhi oleh kegelapan dan kebencian terhadap Kondo. Sekarang, ketika perasaan itu mulai memudar, aku jadi ingin bertemu teman lama dari SMP.

Aku langsung membalas pesannya:

“Kita janjian di mana?”

Dan saat menyadari bahwa aku bahkan sudah menganggap pertemuan itu pasti terjadi, aku sendiri merasa terkejut.

Sebelum kami berpisah, Takayanagi-sensei pernah berkata seperti ini:

“Menurutku, sekarang kamu sudah boleh memaafkan dirimu sendiri, Endō. Kamu sudah berjuang sejauh ini. Menjadi bahagia juga merupakan bentuk balas dendam terhadap Kondo dan yang lainnya. Kamu berhak meraih kebahagiaan—bukan hanya itu, itu adalah kewajibanmu.”

Selama ini aku tak pernah merasa layak untuk bahagia.

Aku sudah terlalu banyak menyusahkan orang tua. Gagal masuk SMA tepat waktu, yang merupakan bentuk durhaka. Hubungan dengan teman-teman juga sebagian besar sudah putus. Bahkan soal Eri pun, kalau saja aku lebih kuat waktu itu, mungkin masa depan kami bisa berbeda. Karena semua itu, aku terus memandang diriku sebagai manusia paling buruk.

Tapi sekarang aku menyadari—justru pikiran seperti itulah yang membuat diriku dan orang-orang di sekitarku menderita. Imai dan Takayanagi-sensei menyuruhku untuk memaafkan diri sendiri. Mungkin sudah saatnya aku melangkah maju. Dan akhirnya, aku bisa benar-benar menghadapi Yumi—orang yang selama ini terus kutolak dan lukai.

Aku ingin membalas perasaan baiknya. Mungkin sudah terlambat. Kalau begitu, aku hanya akan minta maaf. Tapi setidaknya aku ingin mengungkapkan betapa besar artinya tangan yang ia ulurkan waktu itu.

“Kalau begitu, besok sepulang sekolah di depan stasiun, ya. Aku mau ajak kamu ke kafe yang ingin aku kunjungi. Temani aku, ya?”

Dan aku langsung membalas:

“Aku menantikannya.”

**

— Rumah Kondo (POV Anggota Dewan Kondo) —

Seorang sekretarisku mengirim pesan mendesak untuk melihat berita di internet.

Di sana, rekaman suara omonganku tadi telah disebarkan ke seluruh dunia. Hampir pasti tim penelusur internet akan segera menemukan identitasku.

Dan karena ancaman dari Ichijō Ai, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau aku sampai membuatnya marah, aku akan mendapat musuh yang lebih menakutkan dari media mana pun.

Jalan mana pun yang kutempuh, ujungnya tetap sama—kehancuran. Aku tidak bisa lari dari takdir ini.

“TIDAAK! TIDAAAAK!! AAAAAAAAHHHHH!!”

Teriakanku menggema di rumah yang luas ini. Rasanya hanya tinggal menunggu waktu sampai rumah ini pun harus kulepas. Kenyataan pahit sudah mengarahkan taringnya padaku.

Ponselku berdering.

“Maaf mengganggu malam-malam. Apakah ini nomor Bapak Kondo? Saya Nanami dari surat kabar Nichi-Asa…”

Bagaimana mereka bisa menemukan nomorku!? Aku langsung memutuskan sambungan. Tapi tak lama kemudian, panggilan masuk dari nomor lain.

“Aku sudah… selesai…”

Aku mematikan ponsel. Tapi kemudian, telepon rumah berbunyi. Aku mencabut kabelnya. Hanya ingin melarikan diri dari kenyataan yang kejam ini.

Pelarian diri. Aku sadar, semua tindakanku sekarang tidak berarti apa-apa selain itu.

“HENTIKAN…!! TIDAAAAAK!! AAAAAAHHHHHHH!!”

Dan malam yang tak bisa kujalani dengan tidur pun terus berlanjut.


Chapter 97: Jamuan Makan Malam, Ibu dan Anak Perempuan

Saat aku pulang ke rumah, ternyata Paman Minami, Yamada-san, dan Ichijō-san sudah berkumpul. Awalnya aku pikir Ichijō-san akan pulang bersamaku hari ini, tapi katanya ada urusan mendadak, jadi dia pulang duluan naik mobil keluarga dan menungguku di rumah.

“Selamat datang, Eiji. Selamat atas penghargaanmu, kamu benar-benar anak kebanggaan Ibu.”

Ibuku menyambutku dengan senyum cerah. Kakakku juga tersenyum kecil tanpa berkata apa-apa. Begitu pula dengan orang-orang dewasa di sekelilingku, termasuk Ichijō-san.

Dunia yang sempat kehilangan warna karena kejadian-kejadian kemarin, sekarang terasa lebih cerah daripada sebelum semuanya terjadi.

“Terima kasih, Ibu, Kakak, semuanya. Ini semua berkat kalian.”

Berkat mereka semua, aku bisa terus bertahan dan tidak menyerah. Saat itu, kalau aku tidak bertemu dengan Ichijō-san di atap, mungkin aku tidak akan bisa merasakan kebahagiaan seperti ini. Takdirku berubah di tempat itu—aku menyadarinya dengan jelas sekarang. Keinginan untuk mati sudah benar-benar hilang. Aku ingin terus berada di ruang yang hangat ini. Andaikan momen ini bisa berlangsung selamanya.

“Ayo, kita makan! Hari ini Ibu sudah sewa tempatnya khusus. Apa pun yang kamu suka, akan Kakakmu masak!”

Ucapan itu membuat semua orang tertawa.

“Oh ya, Satoshi juga bilang mau datang ke sini habis kegiatan klub.”

“Begitu, ya? Wah, harus masak banyak hamburger kesukaannya, nih!”

Ibu berkata begitu seakan sudah tahu betul apa yang disukai teman masa kecilku.

Satoshi memang sempat menghubungiku. Katanya dia melihat langsung saat senior Kondo dibawa polisi. Setidaknya itu membuatku sedikit lega. Aku tidak mau orang seperti itu terlibat lagi dalam hidupku. Katanya, Ibu juga sudah mengajukan laporan kekerasan terhadapku ke pihak berwajib. Mungkin nanti akan ada saatnya aku harus memberi kesaksian di pengadilan—memang membuatku sedikit cemas, tapi aku tidak akan lari.

Orang itu sudah menghancurkan hidup banyak orang. Maka dia harus bertanggung jawab.

Karena itu, aku akan terus melangkah ke depan…

Berkat makan malam yang menyenangkan ini, aku bahkan tak sadar bahwa ponselku yang ada di dalam tas sudah beberapa kali berbunyi, membawa kabar bahagia.

**

—POV Ichijō Ai—

Di tengah-tengah makan malam, Ibu dari senpai memanggilku untuk berbicara berdua. Agak gugup, aku pun masuk ke ruang istirahat.

“Ai-chan, terima kasih banyak, ya.”

Tiba-tiba, beliau menundukkan kepala dengan dalam.

“Ah… soal penyelamatan itu, semuanya berkat Eiji-senpai, bukan saya…”

“Bukan soal itu. Barusan sekolah mengabari kami, katanya ada dugaan bahwa Eiji sempat berpikir untuk bunuh diri karena kasus perundungan dan kekerasan itu. Mungkin ada yang mengaku saat interogasi.”

Hatiku terasa perih mendengarnya. Aku dan Ibu Eiji tahu siapa yang memberikan kesaksian itu—meski tak menyebut nama.

Aku menyesal. Aku tak seharusnya mengatakan hal itu. Meskipun tidak langsung, aku malah menyampaikan kabar yang menyakitkan untuk Ibu, bertentangan dengan keinginan Senpai.

“……”

“Kamu bisa melihat sendiri dari sikapnya sekarang, kan? Dia pasti tidak lagi berpikir ke arah sana. Tapi mungkin setelah insiden kekerasan itu, ditambah rasa dikhianati dan perundungan, dia benar-benar sampai pada batasnya. Dan saat itu, secara impulsif… Kami para orang dewasa tidak menyadarinya. Atau mungkin, kami sadar, tapi tidak berani melangkah masuk dan mengulurkan tangan. Kami salah. Yang menyelamatkan Eiji adalah kamu, Ai-chan. Saat dia dibully pun, kamu berdiri di pihaknya. Itu saja sudah membuatmu layak disebut pahlawan. Tapi kamu bahkan menyelamatkan nyawanya juga. Terima kasih… benar-benar terima kasih.”

“Bukan begitu… Justru saya yang diselamatkan…”

Ibu Eiji menatapku lurus dan mengangguk seolah berkata, “Aku tahu semuanya.”

“Meski begitu, karena kamu, Eiji bisa tetap hidup. Kalau bukan karena kamu, keluarga kami pasti akan menyesal seumur hidup. Semua ini berkat kamu.”

Beliau memelukku dengan hangat, seperti seorang ibu sejati. Sejak Ibu meninggal, aku belum pernah merasa setenang ini.

“Saya yang merasa diselamatkan. Kalau tidak ada Eiji-senpai, mungkin saya juga sudah hancur…”

Beliau tak berkata apa-apa, hanya mempererat pelukannya.

Beliau pasti sudah tahu, bahwa aku sempat ingin mengakhiri hidupku. Tentang hubungan aneh kami di hari pertama masuk setelah liburan musim panas.

“Mungkin ini terdengar tidak pantas karena kamu anak orang lain. Tapi aku harus mengatakannya, karena Eiji juga bagian dari ini. Ai-chan, kamu sudah seperti keluarga kami. Aku mencintaimu bahkan melebihi anak kandungku sendiri. Kalau suatu saat kamu merasa terpuruk, meskipun itu tidak ada hubungannya dengan Eiji, datanglah padaku. Kamu tidak sendiri. Kalau aku sampai kehilanganmu, aku akan menyesalinya seumur hidup, sama seperti kalau kehilangan Eiji.”

Mendengar kata-kata itu, perasaanku tak bisa lagi ditahan. Aku teringat wajah almarhum Ibu, dan langsung memeluk Ibu Senpai dengan sekuat tenaga.


Chapter 98: Kakak yang Menjadi Pengganti Ayah

—POV Ichijō Ai—

Saat dipeluk oleh ibunya Senpai, perasaan bahagia langsung membuncah dalam hatiku.

Sebelum Ibu meninggal, keluargaku juga termasuk harmonis. Dan sekarang, aku merasa seolah-olah bisa mendapatkan kembali sesuatu yang telah hilang. Kehangatan cinta dan rasa aman yang diberikan secara tulus dari niat baik orang lain mulai meluruhkan segala rasa cemas dalam hatiku.

Senpai bisa sebaik dan setulus itu karena dibesarkan oleh orang tua seperti ibunya dan mendiang ayahnya. Ia menyelamatkanku, bahkan dengan mempertaruhkan dirinya sendiri.

Ia selalu berterima kasih padaku, tapi sebenarnya itu hanya balasan. Aku yang seharusnya berkali-kali mengucapkan terima kasih padanya, karena telah memperkenalkan dunia yang hangat ini dengan mempertaruhkan nyawanya.

“Ai-chan, kamu sudah berjuang sejauh ini. Berkat perjuanganmu, semua ini bisa terjadi. Jadi, tolong... mulai sekarang, jangan sungkan untuk bergantung pada orang lain.”

Mendengar itu, perasaanku meledak. Aku menangis sesenggukan seperti bayi, sampai membuat bajunya basah. Meskipun aku tahu nanti aku pasti merasa malu, saat itu aku tidak bisa menahan air mata.

Aku sangat mencintainya. Perasaanku terhadap Senpai, yang telah menunjukkan bahwa dunia sehangat ini benar-benar ada, semakin besar.

**

—POV Eiji—

“Hei, Eiji! Hamburger buat Satoshi udah jadi! Pakai saus demi-glace kesukaannya dan aku tambahkan telur mata sapi di atasnya. Ayo ambil sini!”

Suara kakakku terdengar dari dapur. Ibu sedang bicara dengan Ichijō-san, jadi aku yang mengantar makanan.

Nasi porsi besar untuk Satoshi dan hamburger raksasa. Dapur dipenuhi aroma saus demi-glace yang mengundang selera. Bagi kami bersaudara, aroma ini adalah aroma khas Ayah.

Saus demi-glace ini dibuat dari resep asli Ayah saat pertama membuka restoran, dan hingga sekarang masih terus dilestarikan dengan cara ditambah (disambung) setiap hari. Ini adalah fondasi dari semua menu utama restoran kami. Aroma ini adalah wujud kebanggaan Ayah dan kenangan penting keluarga yang kini diteruskan oleh Kakak.

Setelah Ayah meninggal secara mendadak dan aku serta Ibu terpuruk dalam kesedihan, Kakak pernah berkata:

“Aku masih belum dewasa, tapi sampai Eiji lulus kuliah, aku tidak hanya akan jadi kakak—aku akan menjadi ayah baginya. Mungkin aku tidak bisa sebaik Ayah, tapi aku akan menanggung semua kebutuhan adikku sampai dia mandiri. Jadi, Ibu… izinkan aku meneruskan Kicchin Aono.”

Sejak menjadi pemilik generasi kedua, Kakak mengorbankan masa mudanya di usia 20-an demi keluarga dan toko. Sepertinya satu-satunya hiburannya adalah menonton drama luar negeri di waktu istirahat.

Waktu aku lulus ujian masuk SMA, Kakak bahkan lebih senang dibanding aku sendiri.

Aku sangat berutang budi padanya—rasa terima kasihku tak bisa terlukiskan.

“Eiji, kamu luar biasa. Ayah di surga pasti juga ikut bangga. Kalau soal Kondo dan kawan-kawannya, rasanya aku sendiri ingin menghajar mereka, tapi Ibu melarangku. Kalau saja aku lebih kuat, aku pasti bisa melindungimu lebih baik. Maaf, ya…”

Aku buru-buru menepis rasa bersalah Kakak itu.

“Bukan begitu, Kak. Kakak sudah bekerja keras banget buat aku. Aku benar-benar bersyukur. Kalau nggak ada Kakak, aku mungkin sudah menyerah.”

Mendengar itu, Kakak memalingkan wajahnya dengan ekspresi malu, matanya sedikit berkaca-kaca.

“Begitu ya… Saus demi-glace hari ini aku buat dengan sepenuh hati. Kamu juga coba, ya. Aku yakin Ayah pasti ikut menyaksikan kita.”

Katanya, saus sambung seperti ini biasanya akan berganti total isinya setiap tiga bulan. Jadi, sebenarnya, saus yang dibuat Ayah mungkin sudah tidak tersisa. Tapi entah kenapa, dari aromanya aku masih bisa merasakan kehangatan Ayah.

Aku membawa hamburger untukku dan Satoshi ke meja makan.

“Wah, kelihatannya enak banget! Eh iya, Eiji… dari tadi HP-mu bunyi terus tuh. Banyak notifikasi, ya?”

Baru aku sadar, aku belum memeriksa ponsel. Aku ambil dari tas dan menyalakannya.

Ternyata ada banyak notifikasi dari aplikasi situs novel.

Ratusan komentar, pemberitahuan kenaikan peringkat mingguan, dan juga pesan dari pihak pengelola.

Hidupku yang dulu sempat berada di titik terendah kini mulai terbuka ke arah yang baru. Sebuah firasat baru pun tumbuh di dalam hatiku.


Chapter 99: Novel Karya Eiji

Aku segera memeriksa notifikasi itu.

Ternyata, ada banyak komentar tertulis. Jumlah pembaca dalam sehari mencapai 40.000 orang.

Aku kaget sekaligus merasa sedikit takut. Jangan-jangan isi tulisanku bermasalah dan malah bikin kontroversi? Aku buru-buru membuka kolom komentar.

*

“Walau hanya cerpen, emosiku jadi campur aduk. Tapi rasa yang tertinggal setelah membacanya justru menyegarkan. Sangat menarik. Kutunggu karya berikutnya!”

“Sudah kubaca tiga kali. Tidak bosan sedikit pun. Karya luar biasa.”

“Sungguh karya yang sempurna. Apa ini nama samaran penulis profesional?”

“Aku juga tulis review. Novel ini bikin hatiku hangat dan bikin semangat menghadapi hari esok.”

“Baru saja gagal di tempat kerja dan sedang down, tapi semua rasa itu langsung sirna. Semoga novelnya bisa terbit.”

*

Sebagian besar komentar dipenuhi tanggapan hangat. Sisanya hanya koreksi kesalahan ketik, tapi semua komentar terasa sangat membahagiakan. Mataku mulai berkaca-kaca karena haru. Padahal ini cuma naskah yang kutulis untuk klub sastra di sekolah, tapi ternyata bisa menjangkau begitu banyak orang…

Kalau bukan karena Ichijō-san, naskah ini mungkin sudah dibuang oleh ketua klub. Tapi berkat bantuannya, aku bisa mengambil kembali naskah itu dan atas sarannya, aku memutuskan memublikasikannya di situs web…

Aku benar-benar tak bisa cukup berterima kasih. Semuanya berkat Ichijō-san.

Saat melihatnya keluar dari dalam bersama Ibu, aku langsung berlari ke arahnya. Satoshi tampak terkejut melihatku.

“Ichijō-san, lihat ini!”

Aku merasa yang pertama harus tahu adalah dia—orang yang telah menyelamatkanku.

“Eh? Ada apa? A-ah, ini… ini kan cerpen yang waktu itu, ya? Eh… EH!? Total pembacanya 40 ribu? Dan ini… peringkatnya masuk sepuluh besar!?”

Dia yang biasanya tenang pun sampai kelabakan. Tapi dia langsung menyadari ranking yang luput dari perhatianku—memang luar biasa.

“Hebat! Novel Eiji populer sekali! Oii, Kakak! Pak Minami! Lihat ini!!”

Ibu, yang tampaknya belum terlalu paham, langsung menyebarkan kabar itu ke semua orang.

“Senpai, ini… notifikasi yang ini maksudnya apa, ya?”

Aku membuka pesan penting yang ditandai dengan huruf merah dari pihak situs.


Kepada Tuan Eiji Aono,

Kami dari tim pengelola situs penulisan novel “Maruyomu”.

Kami menerima permintaan dari Penerbit ○○ untuk memasukkan karya Anda dalam antologi kumpulan cerpen yang akan mereka terbitkan. Selain itu, mereka juga menyatakan ketertarikan untuk membaca karya lain yang mungkin sedang Anda tulis.

Jika bersedia, mohon balas pesan ini. Jika Anda setuju, kami akan meneruskan kontak Anda kepada pihak penerbit.


Sesaat, aku tidak bisa memahami isi pesannya.

Ichijō-san yang pertama membuka suara:

“Luar biasa…! Aku tahu kok! Novel Senpai memang bagus banget… sampai-sampai penerbit tertarik!”

Kata-katanya membuat semua orang bersorak kegirangan. Saat itu, waktu yang tak akan pernah kulupakan dimulai.

**

—POV Ketua Klub Sastra—

Kondo-kun katanya ditangkap polisi. Untung saja aku sempat hapus semua pesan di SNS. Sepertinya dia dilaporkan karena menyebarkan kekerasan dan informasi bohong tentang Eiji, yang memperparah situasi.

Untung cepat-cepat "cut loss". Aku gak mau ikut hancur bersama si brengsek itu. Biarlah Eri dan Amada jatuh ke neraka, itu urusan mereka.

Aku tinggal nonton dari tempat aman dan nikmati semua kekacauan ini—seperti nonton drama seru dari posisi paling strategis.

Saat itu, ponselku berbunyi. Dari adik kelasku di klub sastra.

“Senpai, ada yang gawat! Coba buka situs Maruyomu! Itu… itu… cerpen itu… entah kenapa masuk peringkat atas!!”

“Hah? Kamu ngomong apa sih? Maruyomu ya… bentar, aku buka… EHH!?”

Aku menemukan judul cerpen yang seharusnya tidak mungkin ada di daftar ranking teratas.

Padahal naskah itu sudah dibuang. Seharusnya sudah hilang karena tersimpan di ruang klub. Apa dia punya salinan digitalnya? Tapi bukannya dia dulu dalam kondisi mental yang hancur? Mustahil dia sanggup mempublikasikannya…

Pasti cuma judul yang mirip. Mungkin kebetulan saja. Tak mungkin dia—juniorku sendiri—mendapat pengakuan lebih dulu dariku. Aku tidak mau itu terjadi.

Rasa iri pun mulai menggelegak dalam hati. Aku hampir menyadari betapa parah rasa rendah diriku, tapi tetap menyangkalnya. Aku membuka halaman novel itu.

Dan di sanalah, tanpa sadar… aku telah membuka kotak Pandora bernama keputusasaan.


Chapter 100: Keputusasaan Sang Ketua dan Janji Bahagia

Aku terus menggulir dan membaca novel itu.

Meski hanya sekilas membacanya sebelumnya, aku masih ingat isi ceritanya. Jalan ceritanya benar-benar sama dengan naskah milik Eiji-kun. Dengan kata lain, novel ini memang karyanya.

Padahal baru beberapa saat diunggah, tapi angka pembacanya sudah meningkat secara luar biasa. Ini adalah momen di mana bakat Eiji akhirnya muncul ke permukaan. Novel ini memang menarik—aku sudah tahu itu sejak pertama kali membacanya. Perasaan terkejut dan iri waktu tahu bahwa itu ditulis oleh adik kelasku masih melekat, dan sekarang semua itu kembali membara melihat hasil yang didapat.

Tidak, tidak, ini tidak adil. Kenapa? Padahal aku sudah berusaha menghancurkan dia… kenapa semua orang malah memuji dia?

Setelah selesai membaca, aku bahkan mulai membenci diriku sendiri karena, sebagai pencinta novel, aku harus mengakui bahwa ini adalah karya yang bagus. Aku akhirnya menerima bahwa aku kalah total dalam hal bakat menulis. Dan yang paling menyakitkan—aku kalah dari adik kelasku. Aku yang selalu merasa jadi yang terbaik di generasiku, kini ditinggalkan jauh di belakang. Aku ditinggalkan sendirian.

Aku tak mau melihatnya. Tapi aku tetap penasaran: bagaimana orang lain menilai dia?


“Ini karya perdana!? Pendatang baru yang luar biasa!”

“Kualitas segini sih pasti penulis profesional pakai nama samaran.”

“Gak mungkin gak dikasih rating tinggi.”

“Genre minoritas tapi bisa bikin ramai kolom komentar? Ini sih pesta!”


Kolom komentar dipenuhi pujian untuk Eiji-kun.

Dunia mengakui dia sebagaimana mestinya. Dengan hasil seperti ini, sangat mungkin penerbit akan bergerak.

Nama penanya pun simpel—"Eiji."

Aku tak mau mengakuinya. Tak bisa menerima ini. Siapa yang sudi menerima kenyataan seperti ini?

Dengan panik, aku membuka folder naskah di laptop dan mengunggah cerpen andalanku yang terbaru ke situs yang sama.

Kalau begini, aku harus membalas dengan karya ini dan dapatkan rating lebih tinggi dari novel Eiji.

Kalau tidak… harga diriku akan runtuh.

Dengan hati pilu, aku mempertaruhkan semua yang telah kujalani dalam hidup ini.

Tanpa sadar, aku baru saja membuka gerbang menuju kehancuranku sendiri.

**

—POV Eiji—

Karena sudah larut, aku memutuskan untuk mengantar Ichijō-san pulang.

Setelah kejadian tadi, semua orang tampak tersenyum. Suasana begitu hangat dan bahagia. Aku yakin semua orang sebenarnya ikut lelah secara mental karena masalah bullying yang kualami. Mereka kini bisa merasa lega.

“Terima kasih banyak, Senpai. Sudah repot-repot mengantar.”

“Gak masalah. Semua ini juga berkat Ichijō-san, naskahku bisa sukses.”

“Saya gak ngapa-ngapain kok. Itu murni kemampuan Senpai. Mata saya gak salah menilai ya?”

Dia tertawa sambil berkata begitu.

“Terima kasih banyak. Kalau waktu itu kamu gak selamatkan naskah itu, mungkin aku udah berhenti nulis.”

“Gitu ya… Kalau begitu, aku senang bisa sedikit membalas kebaikanmu.”

“Nanti aku traktir kamu. Makan kue bareng, gimana?”

Mendengar itu, dia menunjukkan senyum nakal.

“Wah, ngajak kencan ya? Senang banget. Kalau gitu aku bakal dandan rapi-rapi~”

Karena ucapan terus terangnya itu, wajahku langsung panas. Aku nggak bisa jawab. Tapi dia kelihatan puas dan melanjutkan:

“Makan malam tadi menyenangkan. Aku gak nyangka bisa kembali merasakan dunia sehangat itu. Semua ini berkat Senpai. Bahkan naskah yang kutolong waktu itu belum cukup untuk membalasnya. Tapi, bolehkah aku minta satu permintaan egois?”

Nada suaranya terasa menyimpan sepi dan luka yang dalam.

Sebagai seniornya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menjawabnya dengan pasti.

“Tentu saja.”

“Mulai sekarang… ayo terus buat banyak kenangan indah seperti hari ini. Bareng-bareng, ya.”

Matanya sedikit berkaca-kaca.

“Iya, aku janji.”

Tanpa perlu berpikir. Jawaban itu langsung keluar dari mulutku.

“Terima kasih. Aku tunggu, ya. Ini janji, loh~”

Kami mengaitkan kelingking dan tersenyum satu sama lain. Betapa aku berharap momen bahagia ini bisa bertahan selamanya. Dengan perasaan yang sama dalam hati, kami melangkah pelan dalam kehangatan suasana yang masih terasa.


Previous Chapter | 

4

4 comments

  • Aku dha
    Aku dha
    21/6/25 08:47
    Terima kasih admin yg baik hati udah terjemahin ke bahasa indo
    Reply
  • G0T3R0
    G0T3R0
    20/6/25 22:12
    Send more. Keep up the great work.
    Reply
  • Godok
    Godok
    20/6/25 21:38
    Ini udah tamat atau masih ada lanjutannya min? Ane belum puas ngeliat amada tersiksa🗿
    • Godok
      Tanaka_Hinagizawa
      21/6/25 12:56
      Masih lanjut, buat WN kalo di raw, baru sampe ch 247, tapi blom tamat
    Reply



close