NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 121 - 130

 Chapter 121: Jalan Menuju Kebahagiaan


“Kalau begitu, detailnya akan Aku kirim lewat email nanti. Aono-san, apa Anda bisa ikut rapat online? Karena nanti akan semakin sulit menyediakan waktu, jadi sebaiknya kita lakukan via online saja. Aku akan kirimkan tautan dan petunjuk masuk ke situsnya lewat email juga.”

Editor itu mengatakan dengan penuh semangat.

“Baik, Aku mengerti. Mohon kerja samanya ke depan juga.”

Jadwal pertemuan berikutnya akan diatur melalui email. Entah kenapa, aku merasa seperti baru saja masuk ke dunia orang dewasa.

Setelah berpisah dengan editor, aku mengirim pesan kepada Ichijou-san.

Katanya dia sedang ada di toko es krim dekat stasiun.

Letaknya sekitar satu menit dari sini. Aku pun segera tiba di sana.

“Senpai!!”

Dia yang berada di dalam segera menyadari keberadaanku dan melambaikan tangan.

Aku menuju mejanya dan meletakkan barang-barangku.

“Aku juga mau makan es krim, ah.”

“Eh? Bukannya Senpai tadi sudah minum sesuatu saat pertemuan?”

“Sudah sih, tapi karena tegang jadi rasanya nggak kerasa. Sekarang aku mau tenangin diri pakai es krim.”

Ichijou-san tertawa kecil. Dia sedang makan es krim rasa jeruk dan stroberi.

Aku memesan es krim rasa vanila dan rum raisin—kombinasi klasik.

Sekali suap, rasa manis dan dinginnya membuatku merasa hidup kembali.

Ichijou-san yang duduk di depanku tampak tersenyum bahagia.

“Senpai, ternyata suka es krim ya.”

“Emangnya ada orang yang nggak suka es krim?”

“Iya juga, sih.”

Obrolan sepele ini terasa sangat menyenangkan. Suasananya begitu nyaman.

“Nee, Senpai, bolehkah aku mewujudkan salah satu keinginanku?”

Dengan suara manja dan sedikit malu-malu, ia berkata seperti itu padaku.

“Hmm?”

“Sebenarnya aku selalu ingin merasakan momen berbagi es krim kayak gini. Lagi pula, aku belum pernah makan rum raisin. Boleh aku coba satu suap? Sebagai gantinya, aku kasih satu suap jerukku.”

Usulan yang sangat imut membuatku tertawa kecil. Tentu saja, dia dibesarkan seperti gadis bangsawan, jadi pasti mengidamkan interaksi yang santai seperti ini.

“Jangan-jangan, Senpai pikir aku kekanak-kanakan dan malah ngeledek aku, ya?”

Dia sedikit menggembungkan pipinya dan tersenyum nakal. Gestur itu pasti bisa membuat sebagian besar cowok SMA salah paham. Bahkan aku pun hampir terpesona. Tapi, karena dia biasanya sangat waspada, bisa melihat sisi dirinya yang seperti ini rasanya nyaris seperti keajaiban.

“Nih, silakan.”

Aku menyendokkan sedikit rum raisin ke cup es krimnya dengan sendokku.

“Ini... jadi ciuman tak langsung, ya...”

Ichijou-san bereaksi polos dengan suara kecil. Padahal dia sendiri yang mengusulkan tadi, batinku sambil mencicipi sorbet jeruk pemberiannya.

“Tunggu... aku belum siap secara mental...”

Aku sempat iseng memikirkan bahwa dia sepertinya terlalu manja, lalu memasukkan sorbet itu ke mulutku.

Dingin menyegarkan dan rasa asam jeruknya langsung menghapus panasnya akhir musim panas di bulan September ini.

“Dasar Senpai, jahat,” katanya sambil malu-malu, bergantian menatapku dan es krimnya, lalu akhirnya memberanikan diri menyuap rum raisin itu.

“Enak...”

Matanya membesar karena terkejut, lalu terlihat sangat tersentuh oleh rasanya. Aku hanya tersenyum kecil sambil ikut menikmati rasa rum raisin yang penuh dengan aroma dewasa dan manis yang lembut.

Es krim ini—dengan keajaibannya—membuat jarak kami semakin dekat.

**

—POV Ketua Klub Sastra—

Dalam keputusasaan, aku membuka ponsel. Ada pesan dari adik kelas di klub.

“Bu Ketua, nggak apa-apa kan? Anak-anak klub sepak bola sekarang lagi parah banget.”

Urus urusanmu sendiri, dong. Aku bahkan lagi nggak bisa mikir sekarang.

Dengan kesal, aku lanjut membaca pesannya.

“Untuk sekarang, aku udah ingetin semua anggota buat jaga rahasia. Asal kita nggak cerita, semuanya pasti aman!!”

Melihat pesan itu, aku tanpa sadar berteriak di tengah jalan.

“Makanya aku bilang, ini bukan saatnya ngomongin itu!!”

Orang-orang di sekitarku langsung menatapku kaget. Tatapan mereka pun terasa seperti penghinaan. Aku hanya bisa lari pulang dalam rasa malu.


Chapter 122: Perjalanan Pulang Endo dan Yumi

—POV Endo—

Setelah berpisah dari mereka berdua, kami berjalan santai di sekitar stasiun. Rasanya sangat rileks. Akhir-akhir ini, karena masalah klub sepak bola, aku merasa tegang terus. Tapi sekarang, tubuhku terasa jauh lebih ringan.

“Aono-kun dan Ichijou-san itu orang-orang baik, ya. Aku ingin main bareng lagi nanti. Nggak nyangka mereka belum pacaran padahal udah sedekat itu.”

Yumi tertawa kecil sambil berkata begitu.

Melihat Aono-kun tersenyum sebahagia tadi dari jarak dekat, entah kenapa aku jadi merasa terharu.

“Kenapa kamu malah pasang wajah puas kayak tukang kayu habis ngerjain proyek? Emang puas karena apa, sih?”

Yah, dia memang sahabat kecilku. Yumi pasti langsung menyadari maksudku. Kalau Yumi ada di klub sepak bola, mungkin aku nggak akan bisa menuntaskan balas dendamku. Dia pasti langsung sadar. Wajar sih, mengingat ayahnya seorang polisi.

“Nggak, bukan apa-apa. Eh, jam belajarmu di bimbel aman?”

“Hmm, harusnya sih udah berangkat sekarang, tapi… kadang bolos juga kayaknya seru, ya.”

Yumi yang biasanya serius bisa bilang kayak gitu… itu langka banget. Tapi, mungkin aku juga harus sadar bahwa yang kukenal itu Yumi dari tiga tahun lalu. Waktu selama itu wajar kalau orang berubah.

“Eh, jangan dipelototin gitu dong. Aku cuma bercanda, kok. Aku tuh belum pernah bolos sekolah kecuali kalau sakit. Tapi tahu nggak, Kazuki… kadang aku mikir, kayaknya nggak masalah deh kalau aku harus ngulang setahun. Soalnya, kalau gitu kita bisa masuk universitas bareng, kan? Aku ingin kuliah di tempat yang sama dan habisin waktu bareng kamu…”

Dia bilangnya bercanda, tapi karena aku sahabat kecilnya, aku tahu itu tulus dari hatinya.

Pada akhirnya, kasus Eri dan Kondo juga menyakiti Yumi. Aku ingin bilang ke diriku yang dulu yang mengurung diri:

"Bukan cuma kamu yang jadi korban."

“Terima kasih.”

“Hah? Mendadak banget sih. Kalau mau bilang makasih, aku juga harus bilang. Hari ini seru banget, rasanya kayak balik ke masa lalu. Kalau Aono-kun dan Ichijou-san oke, ayo main bareng lagi ya. Sampaikan salamku juga!”

“Pasti.”

Aku membalasnya dengan senyuman sambil bersyukur karena hubunganku dengan Yumi sudah kembali seperti dulu.

“Oke, kalau gitu, siswa pejuang ujian ini mau lanjut belajar. Nanti malam aku kabarin lagi, ya. Yuk, kita ngedate lagi!”

Kami berpisah sambil tertawa. Yumi melangkah menuju tempat bimbel dengan wajah cerah.

**

—POV Yumi—

Setelah berpisah dengan Kazuki, aku menuju minimarket untuk beli camilan buat dimakan di bimbel.

Sebenarnya, dulu kita bertiga pasti bermain bersama hari ini. Saat memikirkan itu, aku merasa sangat kesepian.

*

“Eri. Kenapa kamu harus menyakiti Kazuki? Gimana bisa kamu segitu kejamnya?!”

“……”

“Kamu tahu perasaanku, kan? Aku masih bisa tahan waktu kamu deket sama Kazuki karena kamu itu Eri…”

“……Maaf…”

“Eri yang aku Akungi dulu udah nggak ada. Mulai sekarang, aku rasa kita lebih baik nggak usah ketemu lagi. Jangan ajak aku ngomong di sekolah.”

*

Aku masih ingat jelas percakapan terakhirku dengan Eri waktu SMP.

Masa-masa bertiga itu memang penuh kenangan… tapi aku nggak menyesal dengan keputusan hari itu.

“Kazuki, aku masih nunggu jawabanmu yang waktu itu, lho. Sekarang aku nggak perlu tahan perasaanku lagi, kan?”

Dengan tekad bulat, aku beli cokelat dan keluar dari minimarket.

“Makanya aku bilang, ini bukan saatnya ngomongin itu!!”

Terdengar teriakan seorang wanita dari arah stasiun. Orang-orang langsung menoleh.

Dan aku pun terkejut. Karena aku tahu siapa pemilik suara itu.

Gadis itu dulunya satu SMP denganku, meski kami tidak terlalu dekat.

“Eh… jangan-jangan itu Tachibana-san?”

Saat aku mencoba memastikan wajahnya, dia buru-buru pergi seperti melarikan diri.

Ngomong-ngomong, dia masuk ke sekolah yang sama dengan Kazuki, ya.

Jangan-jangan… ada sesuatu yang terjadi?

Kayaknya malam ini aku bakal nanya soal itu ke Kazuki.


Chapter 123: Pizza Penuh Berkah & Para Pelaku yang Runtuh

—Dapur Keluarga Aono—

Aku sedang melaporkan hasil rapat hari ini pada keluargaku dan Ichijou-san.

“Eh!? Bukan cuma ikut antologi, tapi juga bakal nerbitin buku kumpulan cerpen sendiri!?”

Ichijou-san berseru kaget.

Ibuku menatapku dengan mata berbinar dan menimpali,

“Keren banget! Jadi buku karya Eiji sendiri bakal terbit, ya! Mama senang sekali. Harus beli tiga: satu buat dibaca, satu buat disimpan, dan satu buat dibagikan!”

Para wanita di ruangan itu langsung heboh sendiri, meninggalkanku dalam kebingungan.

“Iya, ini luar biasa. Bisa nerbitin dua buku sekaligus, itu hebat banget. Kamu udah jadi penulis profesional meski masih SMA!”

Rasanya geli juga kalau dipuji seperti itu.

“Selamat ya, Eiji.”

Kakakku, yang biasanya serius, kali ini tersenyum hangat dan mengucapkan selamat.

Lalu, pizza favoritku dipadukan dengan cola spesial keluarga dibawa ke meja. Sepertinya, ini disiapkan khusus untuk merayakan kabar baik ini.

“Terima kasih semuanya.”

Pizzanya pakai saus tomat, penuh topping seafood dan sayur. Aromanya menggoda banget.

“Kalau begitu, sebaiknya kita lapor ke pihak sekolah, ya? Tapi pasti ada yang namanya kerahasiaan juga, kan?”

Ibu memang orang dewasa sejati. Dia langsung paham soal begituan.

“Sampai pengumuman resmi dirilis, diminta untuk tidak membocorkan ke publik. Tapi katanya, kalau hanya untuk mengurus izin ke sekolah sih, tidak masalah. Karena aku masih di bawah umur, jadi ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh wali. Maaf, ya, tolong bantu.”

“Tentu saja! Mama akan tanda tangan berlembar-lembar pun nggak masalah. Wah, aku sudah nggak sabar. Oke, kami harus bersiap untuk buka kedai malam ini. Ai-chan, silakan nikmati pizzanya sama Eiji ya.”

“Terima kasih banyak!”

Ichijou-san menatap pizza itu dengan penuh minat.

“Ichijou-san, jangan-jangan kamu suka pizza?”

“Bukan suka… lebih tepatnya ini pertama kalinya. Aku tuh pernah punya impian kecil, makan pizza bareng teman-teman. Dan sekarang… impian itu kesampaian.”

Aku cuma bisa senyum kecut. Benar-benar putri bangsawan.

Sepertinya dia begitu senang sampai bingung merangkai kata. Aku menyilakannya untuk mencicipi duluan. Pizza ini memang menu spesial yang hanya disajikan saat Natal atau ulang tahun pelanggan setia.

“Enak sekali. Aku nggak tahu pizza bisa seenak ini. Perpaduan seafood, sayur, dan kejunya luar biasa!”

Sepertinya dia menyukainya. Mungkin dia baru saja menemukan rasa "berdosa" yang belum pernah dia kenal.

Kami makan malam dengan riang. Keberadaan Ichijou-san di sini mulai terasa wajar. Anehnya, hal itu membuatku bahagia.

**

—POV Seorang Anggota Klub Sastra—

Akhirnya, tidak ada balasan dari ketua. Aku jadi khawatir.

Aku menggigil di kamarku sendiri.

“Kondo-senpai juga sudah ditangkap, dan anak-anak klub sepak bola juga…”

Aku hanya mengikuti perintah mereka.

Mereka bilang, kalau aku menurut, Kondo-senpai akan kencan lagi denganku.

Aku juga menuruti ketua, mengenalkan Miyuki pada Kondo-senpai. Lalu mereka kencan seperti sepasang kekasih. Kalau aku menuruti semua instruksinya, semuanya akan berjalan sempurna.

Sekarang, semua anggota klub sudah sepakat tutup mulut. Satu-satunya masalah adalah anak kelas 1 yang baru keluar dari klub. Tapi aku sudah mengancamnya. Kalau dia macam-macam, dia bakal dikucilkan di sekolah. Aku juga bilang kalau karena dia nggak menghentikan semua itu, maka dia juga bersalah seperti kami. Dia langsung pucat. Dia anak yang penakut, jadi seharusnya sudah cukup untuk membungkamnya.

Aku nggak mau jadi seperti anak-anak klub sepak bola!

**

—POV Seorang Anggota Klub Sepak Bola—

Kenapa aku juga harus kena tahanan rumah!?

Aku harus bilang apa ke orang tua!?

Ini semua gara-gara Kondo.

Apa yang akan terjadi pada kami sekarang? Karena kami pelaku perundungan, paling bagus kami cuma diskors. Kalau parah, bisa-bisa di-DO.

Hidupku hancur.

Semuanya salah Kondo. Sejak SMP, dia memperlakukanku seperti budak. Kalau dia keluar nanti, akan kubalas dendam. Sumpah!


Chapter 124: Serangan Balik Wali Kota Minamimae

—Dapur Keluarga Aono—

"Minami-san, terima kasih atas kedatangannya seperti biasa."

"Ah tidak, tidak. Eiji-kun ini luar biasa, ya. Siapa sangka, di usia semuda itu sudah dipastikan debut sebagai novelis… Ayahmu pasti ingin melihatnya."

"Tidak, aku yakin beliau melihat, kok. Dulu pun, setiap momen penting, beliau selalu muncul tiba-tiba di dekatku. Kalau bukunya terbit, pasti beliau senang, beli satu eksemplar ke mari, lalu pamer ke teman-teman di surga."

"Benar juga. Pasti begitu. Kalau begitu, aku juga harus cepat-cepat baca dan mampir ke makamnya untuk pamer. Dia itu, kan, baca bukunya lama."

"Kalau begitu, Aku ikut juga saat itu."

"Ngomong-ngomong, aku ke sini hari ini untuk bicara soal Kondo, anggota dewan kota itu. Mari kita masuk ke topik utama."

"Baik. Kira-kira bagaimana kelanjutannya?"

"Pemerintah kota sudah menyelesaikan pembahasan penanganannya. Tampaknya, perusahaan yang dia kelola juga terlibat dalam akuntansi curang. Ini jelas melanggar hukum. Kalau bisa dibuktikan dengan jelas, maka perusahaannya akan kehilangan hak untuk ikut tender proyek konstruksi kota. Pemerintah provinsi dan pusat juga akan melakukan hal serupa. Kalau begitu, perusahaannya tak akan bertahan. Pasti bangkrut."

"Kalau soal kursi dewan kota-nya…?"

"Dalam peraturan kota, kalau seorang anggota dewan ditangkap saat masih menjabat, maka gaji dan tunjangan akan langsung dihentikan. Aku sudah bicara dengan beberapa anggota dewan lainnya. Pada rapat berikutnya, akan diajukan resolusi rekomendasi pengunduran diri. Kalau dia menolak, langsung diberhentikan tanpa syarat. Kalau sudah begini, dia tidak bisa ganggu kamu atau kedai ini lagi. Perusahaannya hancur, kursi dewan pun lenyap."

"Terima kasih banyak. Aku benar-benar selalu bergantung pada Anda, Minami-san."

"Tak perlu berterima kasih. Aku ini sudah menganggap kalian berdua seperti cucuku sendiri. Kalau demi melindungi cucuku, apapun akan kulakukan. Selama aku masih hidup, takkan kubiarkan siapapun menyakitimu."

**

—POV Eiji—

"Senpai, terima kasih selalu sudah mengantarku pulang. Kalau Senpai sedang sibuk, jangan ragu bilang ya. Aku bisa dijemput juga kok."

Kami makan malam bersama seperti biasa, lalu aku mengantarnya pulang.

"Nggak apa-apa kok. Aku memang ingin mengantar. Lagipula, ngobrol pelan-pelan di jalan pulang itu menyenangkan juga."

Mendengar itu, wajah Ichijou-san memerah.

"Duh..." katanya lirih, lalu kembali ke ekspresinya yang biasa.

"Senpai, Aku kadang berpikir, jangan-jangan Senpai terlalu suka sama Aku? Kadang-kadang sampai agak terlalu protektif gitu..."

Begitu menyadari dia sudah mengungkapkan isi hatinya, wajahnya makin memerah.

"Yah, aku nggak bakal menyangkal sih. Terus terang, jarang ada orang yang senyaman kamu saat diajak bersama. Serius."

Hobi kami cocok, dan dia selalu ada saat aku butuh, bahkan rela rugi demi membelaku. Mana mungkin aku nggak ingin menjaganya?

Begitu keadaan tenang, aku akan menyatakan perasaanku secara langsung. Aku merasa, waktunya sudah dekat.

**

—POV Ichijou Ai—

Seperti biasa, aku diantar pulang oleh Senpai. Kami makan malam bersama, lalu berjalan berdua. Rasanya bahkan lebih intens daripada hubungan pacaran biasa.

Kalau bisa, aku ingin hubungan ini makin dalam.

Baru saja aku keceplosan tadi, tapi kami sudah tahu satu sama lain saling menyukai.

Meski begitu, tetap saja aku takut melangkah lebih jauh. Aku ingin terus menikmati kenyamanan ini. Perasaan ragu-ragu itu wajar, karena ini adalah cinta pertamaku. Aku belum tahu harus bersikap bagaimana.

Tapi, aku yakin akan bahagia jika bisa jadi kekasihnya. Maka dari itu, aku ingin menuntaskan semua hal.

Aku berutang banyak pada Senpai dan keluarganya. Mereka telah mengajarkanku kembali hangatnya rasa kemanusiaan, yang dulu pernah kucampakkan.

“Aku ingin selalu bersamamu…”

Aku membisikkan perasaanku yang sebenarnya, dengan suara cukup kecil agar ia tak mendengarnya.

Tapi... aku juga berharap sebenarnya dia mendengarnya.

Dan saat itu, aku sadar… aku sedang merasa bahagia.

Kami melangkah pelan-pelan menyusuri jalan…

Agar waktu bersama ini bisa terasa lebih lama.


Chapter 125: Interogasi Anggota Dewan Kondo

—POV Anggota Dewan Kondo—

DUG!

Meja dipukul keras. Interogasi kuno macam apa ini? Aku ini anggota dewan kota yang dipilih rakyat, tahu! Bukan seperti kalian—pegawai negara biasa yang bahkan tak pernah mencalonkan diri dalam pemilu!

"Dengarkan baik-baik, Tuan Kondo. Kami sudah menemukan banyak pergerakan dana yang mencurigakan. Minimal, tolong jawab, apakah Anda mengakui hal tersebut atau tidak!"

Polisi itu menyerangku dengan nada tinggi.

"Aku memilih untuk diam. Tolong panggilkan pengacara Aku."

Apa pun yang mereka tanya, aku hanya akan menjawab itu. Harus bertahan. Cari celah untuk membalikkan keadaan. Tidak ada secercah harapan, tapi aku tak punya pilihan selain bertahan.

"Begini ya, dengan bukti sebanyak ini, Anda pikir bisa lolos begitu saja? Anda ini anggota dewan kota, lho. Nggak merasa bertanggung jawab sama warga?"

"Aku memilih untuk diam."

Aku menjawab dengan suara dingin. Polisi itu menarik napas panjang.

"Kalau begitu, soal Anda mengancam guru dan keluarga korban dalam kasus perundungan anak Anda—gimana? Kami punya rekamannya, Anda tak bisa mengelak. Lebih baik akui yang satu itu saja, bagaimana?"

Aku berkeringat dalam hati, menahan rasa malu dan marah. Jika aku mengaku, perusahaanku tamat. Posisi di dewan juga hilang.

"……"

Aku menatap polisi itu dengan tatapan tajam, tetap diam.

"Hah... Mau diam juga, hasilnya takkan berubah. Tapi itu hak Anda. Tapi, Tuan Kondo, sekarang tak ada satu pun yang akan menolong Anda. Jangan harap tekanan dari politikus pusat bisa menghentikan penyelidikan ini. Itu cuma cerita di TV atau novel. Atasan kami justru menyuruh kami menggali kasus ini sedalam mungkin. Ke mana saja uang haram itu mengalir, kami akan telusuri sampai ketemu."

Setiap kata polisi itu makin menyudutkanku.

Berhenti… tolong jangan perlihatkan kenyataan padaku lagi…

Tanpa kusadari, air mata mengalir deras di atas meja. Polisi itu tampak terkejut, lalu menghela napas dengan wajah setengah iba, setengah muak.

"Aku… selama ini berusaha keras… demi warga kota…"

Tapi tangisanku tak berarti bagi penyidik yang sudah kenyang pengalaman.

"Oh ya? Jadi kamu buat dana gelap demi warga? Sampai memalsukan pembukuan juga? Lagipula, keluarga korban yang kamu ancam itu juga warga kota, kan? Guru yang kamu tekan juga. Semua yang kamu lakukan cuma demi karier dan ego kamu sendiri, kan?"

"Apa yang bisa kamu tahu, kamu cuma pelayan negara!"

Aku melotot dan berteriak. Tapi polisi itu hanya tertawa kecil.

"Nah, itu masalahnya. Kamu pikir, karena kamu anggota dewan atau direktur perusahaan, kamu bisa seenaknya? Tapi nyatanya, kamu melakukan pelanggaran. Itu sebabnya kamu duduk di sini sekarang. Sadar dong—kamu itu udah bukan orang spesial lagi."

Ucapan dingin itu menghujani kepalaku berkali-kali.

"Kalau begini terus… apa yang akan terjadi padaku?"

Kalimat itu lolos dari bibirku—dalam kelemahan.

"Itu urusan pengadilan. Tapi dengan bukti sebanyak ini dan sifat pelanggaranmu yang berat, mungkin kamu akan dapat hukuman penjara."

Penjara…

Kata itu terasa seperti beban raksasa menimpaku. Aku jadi kriminal, masuk penjara, perusahaanku bangkrut, jadi bahan olokan di internet. Aku tak mau, aku tak sanggup… Kalau saja masih bisa dapat gaji dari dewan, aku akan bertahan hidup…

"Oh ya, menurut peraturan kota, begitu anggota dewan ditangkap, semua tunjangan dan gaji dihentikan. Hanya menyampaikan informasi."

Seolah bisa membaca pikiranku, kata-kata itu menghancurkan harapan terakhirku.

Mungkin ini taktik mereka—menggiring ke jurang keputusasaan, lalu menghempaskan. Aku sadar, tapi tetap saja aku tak kuasa menahan kehancuran itu.

"Lepaskan aku dari sini… kumohon, keluarkan aku…"

Malam itu tenggelam dalam laut keputusasaan. Tak ada akhir yang terlihat. Hidupku tenggelam dalam kegelapan mutlak.

**

—POV Aono Eiji—

Kami tiba di apartemen Ichijou-san lebih cepat dari yang kuharapkan. Padahal tadi aku sengaja memperlambat langkah…

Aku ingin bersamanya lebih lama.

Keinginan kecil dalam hatiku itu sepertinya tersampaikan.

"Nee, Senpai. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengantar… gimana kalau Aku buatkan teh? Kita ngobrol sedikit lagi di kamar Aku, yuk."


Chapter 126: Deg-degan Nunggu

—POV Ichijou Ai—

Aku sendiri pun merasa, aku telah melakukan sesuatu yang nekat. Mengundang laki-laki yang kusukai ke rumah—dan itu malam hari pula.

Itu jelas tindakan yang terlarang. Apalagi, aku tinggal sendirian. Pembantu rumah juga sedang libur.

Mengajak seseorang yang baru kukenal sekitar seminggu ini masuk ke rumahku jelas berbahaya.

Tapi, bahkan saat itu pun… alarm kewaspadaanku tidak berbunyi.

Karena… laki-laki yang kuundang adalah Aono Eiji.

Dalam seminggu terakhir ini, aku sudah melihat siapa dia sebenarnya. Seseorang yang lembut, yang rela menolong orang lain meski harus menempatkan dirinya dalam bahaya. Seseorang yang tetap melangkah maju walau dalam kondisi putus asa. Dan seseorang yang, saat terluka, selalu ada orang di sekelilingnya yang akan segera datang menolong—itulah cerminan dari karakternya.

Di sekelilingnya, banyak orang yang dengan tulus rela membantu, bahkan jika itu merugikan diri mereka sendiri. Itu pasti karena selama ini, dia pun selalu menolong orang lain dengan sepenuh hati. Waktu dia menolongku pun begitu. Aku yakin dia sudah lama menjadi orang yang mengulurkan tangan lebih dulu kepada orang lain. Karena itulah, meski dunia serasa memusuhinya, teman sejatinya tetap ada di sisinya.

“Padahal, dia cuma satu tahun lebih tua dariku… tapi dia luar biasa.”

Saat sendirian, pikiranku selalu dipenuhi dirinya.

Dari luar, mungkin aku terlihat seperti orang yang punya segalanya. Uang, bakat, popularitas. Tapi yang benar-benar aku inginkan… hilang sejak hatiku hancur waktu itu, dan belum pernah kutemukan kembali.

Aku iri pada Eiji, yang punya keluarga dan sahabat sejati. Dia punya hal-hal yang sangat kuinginkan—dan dia menjaga semuanya dengan sungguh-sungguh.

Dan dia bahkan membiarkanku masuk ke dalam lingkaran itu. Meski dalam bentuk yang berbeda, dia memberiku sesuatu yang selama ini kucari.

Itulah kenapa, aku jatuh cinta padanya.

Karena dia menyelamatkan hidupku? Iya, itu juga. Tapi lebih dari itu, aku mencintainya karena siapa dirinya yang sesungguhnya.

Kami naik lift menuju lantai apartemenku. Aku gugup. Dan sepertinya, Senpai juga. Kami tidak berkata-kata sama sekali. Tapi entah kenapa, keheningan itu justru terasa menenangkan.

“Senpai, Aku deg-degan. Soalnya… masuk ke kamar cewek malam-malam itu… pasti rasanya kayak lagi ngelakuin sesuatu yang nggak boleh, kan?”

Aku menggoda sambil menutupi rasa maluku sendiri. Kalau tidak, aku bisa gemetar.

“Tentu saja aku gugup. Ini pertama kalinya aku ada di situasi kayak gini.”

Aku hampir refleks berkata “Eh!?” Kapanpun dia ke rumahnya Amada-san? Tapi… pasti pernah, kan? Mereka kan bahkan dekat dengan keluarganya.

Tapi kalau dipikir rasional… aku tiba pada satu kesimpulan.

“Berarti… aku ini orang yang spesial, ya?”

Rasa senangku membuatku mengucapkan itu dengan lantang. Mengetahui bahwa aku orang yang spesial baginya—itu membuatku sangat bahagia.

“No comment.”

“Jangan kayak politisi dong, Senpai.”

“Tapi serius, kamu yakin ini baik-baik saja? Maksudku… kamu tinggal sendiri, kan? Gimana kalau terjadi sesuatu yang salah…”

Tepat saat itu, lift sampai di lantai tujuan.

Tapi aku tahu. Senpai bukan tipe orang yang akan melakukan hal yang tak kuinginkan. Dia tidak akan memaksaku. Karena dia adalah Aono Eiji. Laki-laki yang kucintai. Dia tidak akan menyakitiku.

Tapi tetap saja… di dalam diriku, ada perasaan berbahaya yang perlahan tumbuh.

“Tenang saja. Aku percaya sama Senpai. Kita cuma minum teh dan ngobrol kayak biasa, kok. Lagipula…”

Aku tahu aku tak boleh mengatakan ini. Tapi aku benar-benar melayang sekarang.

“Lagipula?”

Perasaanku lepas kendali, dan akhirnya mengucapkan kalimat yang dulu sempat kutelan kembali. Kalimat yang dulu tak bisa kuucapkan.

“Kalau sama Senpai… aku nggak apa-apa kok… kalau sampai terjadi sedikit kesalahan.”


Chapter 127 – Ichijou Ai

“Tidak apa-apa kalau sedikit melakukan kesalahan.”

Kata-kata itu bergema di dalam hatiku. Orang seperti Ichijou-san, sampai melakukan semua ini untukku. Itu adalah suatu kehormatan besar. Rasionalitasku pun mulai goyah.

Kami bahkan tidak perlu mengatakannya secara langsung—perasaan kami yang saling menghargai bisa terasa dari setiap kata yang terucap. Aku yakin, kalau aku menyatakan perasaan sekarang, dia pasti akan menerimanya tanpa ragu.

"Kesalahan, ya..."

Aku tanpa sadar tersenyum kecut.

"Eh, barusan, sempat kepikiran yang mesum ya?"

Dengan senyum arkais layaknya poker face, dia tertawa. Saat Ichijou-san tertawa seperti itu, biasanya dia sedang menutupi rasa malu.

Ichijou-san memang sosok yang sempurna dalam banyak hal, tapi dalam urusan hubungan antar manusia, dia masih menunjukkan sisi yang sesuai dengan usianya. Aku yakin dia sendiri berniat menyembunyikannya, tapi senyumnya itu memiliki sedikit nuansa gelap. Sepertinya hal itu ada kaitannya dengan keluarganya.

Aku belum pernah menanyakan alasan kenapa dia mencoba mengakhiri hidupnya hari itu.

Namun, tanpa bertanya pun aku tahu bahwa ada masalah dalam keluarganya. Dia selalu menghindari membicarakan soal keluarganya. Padahal dia sering berbagi cerita tentang hal-hal pribadinya yang lain, tapi topik itu selalu dia hindari dengan keras. Aku jadi teringat sesuatu yang sering dikatakan ayah semasa hidupnya:

"Fakta bahwa ada masalah dalam keluarga saja, sudah cukup melukai seorang anak."

Kata-kata itu mencerminkan pandangan manusiawi ayah yang terbentuk dari pengalamannya menghadapi banyak pelanggan di restoran dan kegiatan sukarelanya.

**

Kunjungan kedua ke kamar Ichijou-san terasa agak sepi.

Ada aroma manis, namun atmosfernya terasa mekanis. Aku rasa selama ini dia terus memerankan sosok 'Ichijou Ai' yang ideal menurut orang lain. Hasil dari semua itu bisa dilihat dari kamar ini… dan dari kejadian di atap hari itu.

“Kamu nggak masalah kalau minumnya teh, kan?”

“Iya.”

Sepertinya dia sudah tahu teh kesukaanku. Mungkin ibuku yang memberitahunya. Bisa jadi, teh itu sudah disiapkan agar aku bisa datang kapan saja.

Ichijou-san dengan cekatan merebus air dan memilih kue dari lemari.

Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama.

“Kenapa sih ngeliatin terus? Jadi malu, tahu,”

Keluhannya terdengar malu-malu.

“Enggak, aku cuma senang bisa melihat sisi sehari-harimu, Ichijou-san.”

“Kalau orangnya bukan aku, itu sudah masuk pelecehan, tahu?”

Dia protes sambil tersenyum senang.

Ketegangan yang sempat terasa sebelumnya sudah menghilang entah ke mana.

“Senpai, masih ingat apa yang aku bilang tadi?”

Sambil menyiapkan cangkir teh antik yang terlihat mahal, dia bertanya dengan gaya menggoda. Aku pura-pura lupa dan menjawab, “Apa tadi?” tapi dia langsung merengut sedikit dan berkata, “Huh, dasar.”

“Menurut Senpai, 'sedikit' itu sampai sejauh apa?”

Aku nyaris menyemburkan teh yang sedang kuminum. Tidak menyangka dia akan menekan sejauh ini.

“Entahlah?”

Aku mencoba terlihat tenang, meski jelas-jelas kami berdua sedang gugup.

“Pegangan tangan? Ciuman? Atau...”

Dia meletakkan cangkir tehnya, lalu mendekat ke arahku yang sedang duduk, dan membisikkan di telingaku:

“...lebih dari itu?”

Kurasa, tidak banyak pria yang bisa tetap tenang setelah diserang seperti ini.

Aku perlahan berdiri dan memeluk tubuhnya yang lembut. Wangi manis seperti madu tercium darinya. Tubuhnya sempat sedikit tersentak, tapi lalu melemas dalam pelukanku.

Ichijou-san menerimaku seolah dia sudah siap sejak awal. Perlahan, lengannya yang ramping melingkari punggungku.

Aku mengeluarkan jawaban dari pertanyaan tadi.

“Mungkin… segini.”

Dalam pelukanku, tak ada lagi sosok adik kelas yang dikenal sebagai idola sekolah dan siswi berprestasi. Yang ada hanyalah seorang gadis biasa—lemah dan mudah terluka.

“Begitu ya...”

Ichijou-san tersenyum lega, dengan ekspresi bahagia namun sedikit sedih.

Dia menyembunyikan wajahnya ke dadaku.


Chapter 128 – Aono Eiji

Aku memeluk tubuhnya dengan erat.

Lembutnya kulitnya. Nafas manisnya. Aroma sampo dan sabun.

"Maaf ya. Tapi… boleh sedikit lebih lama lagi."

Dia berkata manja sambil menyembunyikan wajahnya. Mungkin dia sedang menangis. Suaranya terdengar gemetar.

Yang ada di hadapanku bukanlah sosok idola sekolah yang sempurna. Yang ada di sini adalah Ichijou Ai, seorang gadis seusia kami yang rapuh dan mudah terluka—sama seperti saat aku menemuinya di atap waktu itu.

Aku tidak yakin apakah pilihan yang akan kuambil ini adalah keputusan yang benar. Tapi, aku ingin mengikuti perasaanku. Mungkin aku salah paham. Mungkin ini bukan hal yang dia harapkan. Mungkin ini terlalu berat baginya.

Namun, ini adalah pelajaran yang kudapat dari kejadian bersama Miyuki. Jika ada sesuatu yang ingin kusampaikan, aku harus mengatakannya selagi orang itu masih berada di sisiku.

Aku melonggarkan pelukanku.

Ichijou-san tampak sedikit terkejut, lalu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

Wajahnya memerah, dengan ekspresi cemas dan lemah yang belum pernah kulihat sebelumnya—seolah-olah dia sedang mencari tempat untuk bersandar.

"Senpai?"

Aku menyentuh kedua bahunya yang kecil, lalu mulai berbicara.

"Tak perlu buru-buru. Kalau kamu tidak keberatan dengan orang seperti aku… kalau kamu bersedia menerimaku, maka aku akan selalu berada di sisimu, Ichijou-san. Aku tidak akan pergi ke mana pun. Sumpah."

Dengan ekspresi terkejut, dia menatapku.

Kata-kata yang kuucapkan mungkin terdengar seperti pernyataan cinta—atau bahkan lebih berat dari itu.

Setelah beberapa saat, ketika dia mulai memahami maknanya, dia mengeluarkan suara pelan, “Eh?” dan, sama seperti sebelumnya, langsung memelukku erat.

“Iya. Tolong… pegang aku erat-erat, ya.”

Dia berkata sambil menggigil, namun dengan ekspresi bahagia.

Dengan berpegangan pada kata-katanya itu, aku sekali lagi meraih punggungnya dan memeluknya erat.

“Iya. Pasti.”

Kami berdua perlahan melangkah maju.

**

—Dari POV Ichijou Ai—

“Menurut Senpai, ‘sedikit’ itu sejauh apa? Pegangan tangan? Ciuman? Atau… lebih dari itu?”

Pertanyaanku yang nakal itu membuat dia tampak benar-benar bingung. Setelah mengucapkannya, aku langsung dilanda rasa bersalah. Aku sadar bahwa aku telah memaksakan pilihan yang berat kepada seseorang sebaik dia. Padahal kejadian dengan Amada-san juga baru saja terjadi, dan dia mungkin belum bisa menata perasaannya… tapi aku…

Aku sedang panik. Dia memiliki bakat yang tidak bisa kukejar. Aku bahagia saat tahu dia akan debut sebagai novelis, tapi di saat yang sama, aku merasa seperti mulai tertinggal.

Aku tidak mau ditinggalkan lagi. Ibuku dan ayahku juga sudah pergi jauh dariku.

Aku takut Senpai juga akan pergi jauh dariku. Seperti anak kecil yang sedang ngambek, aku bersikap manja kepadanya.

Aku takut pada kata-kata atau tindakan selanjutnya. Apa pun pilihannya, aku tahu aku akan merasa senang. Tapi, aku juga bisa membayangkan diriku menyesal. Karena aku telah memaksanya untuk memilih.

Dia tidak berkata apa-apa, hanya memelukku.

Aku diselimuti oleh kehangatannya—oleh kebaikannya yang sepenuhnya memeluk diriku. Aku merasa bahagia.

Dengan nada ragu-ragu, dia berkata, “Mungkin… segini ya?”

Keberadaan tubuhnya yang hangat kurasakan sepenuhnya. Punggungnya yang lebar memberiku rasa aman.

Aku senang. Tapi sisi diriku yang egois mulai muncul. Aku ingin mengubah hubungan kami dengan cara apa pun. Bagaimana jika dia pergi jauh? Bagaimana kalau dia menyukai orang lain? Hubungan kami seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Aku ingin sesuatu yang bisa menjadi fakta—sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.

Dan aku membenci diriku yang egois itu. Seolah-olah aku memanfaatkan kebaikannya.

"Maaf ya. Tapi… boleh sedikit lebih lama lagi."

Aku bersandar padanya, ingin memastikan bahwa aku ada untuknya dan dia tidak akan pergi jauh.

Dia tetap tinggal bersamaku, seolah sedang menuruti keinginanku yang manja.

Lalu dia perlahan melepaskan pelukannya.

Saat itu, hatiku terasa sangat sedih. Mungkin dia menolakku. Perasaan itu membuat dunia seakan runtuh seketika.

Nyaris menangis, aku berkata, “Senpai?”

Dia menatapku dengan tatapan penuh ketulusan, dan memegang kedua bahuku dengan lembut.

"Tak perlu buru-buru. Kalau kamu tidak keberatan dengan orang seperti aku… kalau kamu bersedia menerimaku, maka aku akan selalu berada di sisimu, Ichijou-san. Aku tidak akan pergi ke mana pun. Sumpah."

Kata-kata yang dia ucapkan melebihi semua yang bisa kubayangkan.

Aku butuh waktu untuk benar-benar memahami maksudnya.

Itu terdengar seperti pernyataan cinta, namun jauh lebih berat maknanya.

Dan itu adalah kata-kata yang paling kuinginkan—lebih dari semua opsi yang pernah kusebutkan tadi.

“Eh…”

Kepalaku kosong, detak jantungku semakin cepat. Sampai aku takut dia akan mendengarnya.

Aku berusaha keras menatap wajahnya. Tapi aku terlalu gugup untuk menatapnya langsung.

Tapi aku harus menatap wajahnya dan menjawab.

Dengan mengumpulkan keberanian, aku menatapnya—dan melihat dia sedang menatapku dengan cemas.

Melihat itu, perasaanku menjadi tenang, dan aku bisa mengungkapkan isi hatiku dengan jujur.

“Iya. Tolong… pegang aku erat-erat, ya.”

Aku yakin saat itu aku menunjukkan ekspresi paling bahagia dalam hidupku selama beberapa tahun terakhir.

“Iya. Pasti.”

Mendengar jawabannya, aku benar-benar merasa bahagia.

Perlahan, kami berdua melangkah maju ke depan.


Chapter 129 – Pasangan yang Bahagia:

—POV Eiji—

Setelah cukup lama saling berpelukan, kami perlahan melepaskan tubuh masing-masing. Meski dengan enggan, kami akhirnya saling menjauh.

Namun sambil menyembunyikan berbagai perasaan di dalam hati, kami berdua tersenyum.

“Mulai sekarang juga, tolong jaga aku baik-baik, ya.”

Ia tersenyum malu. Pengakuanku tadi memang tidak biasa.

Mungkin, sebagai pengakuan cinta dari seorang siswa SMA, itu tidak pantas. Karena pengakuan itu sepenuhnya…

“Ah, iya. Sama-sama.”

Aku tersenyum canggung, berusaha menutupi rasa malu.

Kalau dipikir-pikir secara logis, seharusnya ini adalah awal dari hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Tapi dengan pengakuan barusan…

Aku merasa dia juga sedang berusaha menyembunyikan rasa malunya.

Suasana yang sulit diungkapkan dengan kata-kata mengalir di antara kami berdua.

Aku menyeruput teh yang sudah sedikit dingin. Rasa manis dan asam dari buah yang cerah berpadu dengan pahitnya teh—pas sekali dengan suasana hatiku saat ini.

Dia juga menyeruput teh pada saat yang sama. Wajahnya tampak terbuai. Tapi tetap, seperti biasa, Ichijou-san tetap memperhatikan orang lain.

“Tehnya jadi agak dingin, ya. Aku buatkan yang baru, ya.”

“Enggak usah repot-repot.”

“Jangan bilang begitu dong. Soalnya, kalau aku seduh lagi, kita jadi bisa ngobrol sedikit lebih lama. Temani aku, ya.”

Ucapannya yang tiba-tiba menunjukkan sisi femininnya itu membuat jantungku berdebar. Mungkin karena pengakuanku tadi, dia mulai menunjukkan sisi dirinya yang lebih asli.

“Kalau begitu… aku terima tawaranmu.”

Aku mengambil sebutir cokelat impor yang tersedia di atas meja.

Ternyata itu cokelat pahit. Padahal aku mengira akan manis. Tapi pahitnya yang elegan justru cocok dipadukan dengan teh. Ini pasti cokelat mahal. Benar-benar gadis dari keluarga berada, ya.

Aku juga ingin menjadi pria yang pantas berdiri di sampingnya. Karena itu, aku harus berusaha lebih keras menulis novel. Aku ingin mengembangkan bakat yang dia temukan dalam diriku dan membuat Ichijou-san bahagia.

“Senpai…”

“Ya?”

Dia membelakangiku sambil menyeduh teh. Gerakan tangannya begitu anggun, bahkan terkesan berkelas.

“Aku tahu aku harus mengatakan yang seharusnya. Kamu mungkin sudah menyadari betapa rumitnya diriku. Aku nggak mau hanya mengandalkan kebaikanmu tanpa mengatakan hal penting itu.”

Aku tahu persis apa yang dia maksud. Pasti soal keluarganya.

Tapi sepertinya, dia belum siap untuk membicarakannya.

Meskipun ingin mengatakan, dia belum sanggup. Aku tak ingin memaksanya. Aku tahu dia sedang berusaha menyembunyikan perasaannya agar aku tidak khawatir.

“Seperti yang aku bilang tadi, kamu nggak perlu memaksakan diri. Nggak usah buru-buru. Kalau suatu saat kamu ingin bicara, bicaralah.”

Selama ini, dia selalu berada di sisiku. Maka sekarang giliranku…

“Terima kasih. Senpai benar-benar orang yang baik. Karena itu, aku nggak mau terlalu bergantung. Kalau suatu saat aku sudah bisa menjelaskan semuanya padamu… dan saat kamu mendengarnya pun perasaanmu tetap nggak berubah… tolong, ucapkan sekali lagi kata-kata tadi.”

Terlalu serius. Itu yang kupikirkan.

Memang, aku bisa merasakan dia punya masa lalu yang berat dalam keluarganya. Tapi aku jatuh cinta bukan pada dirinya di masa lalu.

Yang kucintai adalah dirinya yang sekarang… dan dirinya yang akan datang.

“Perasaanku nggak akan berubah. Karena kata-kata tadi bukan kuucapkan untuk Ichijou-san di masa lalu, tapi untuk Ichijou-san yang sekarang.”

Mendengar itu, dia menunduk sedikit.

“Ucapanmu itu… persis seperti yang ingin kudengar. Terima kasih.”

Kami terus melangkah maju, perlahan.

Kali ini, aku memeluknya dari belakang.

Dan dia tidak menolak, menerima pelukanku sepenuhnya. Hubungan kami semakin dalam—aku bisa merasakannya dengan pasti.

**

—POV Ichijou Ai—

Senpai meminum tehnya, lalu pulang. Terlalu banyak hal terjadi, hingga aku jatuh terduduk di depan pintu.

Tapi, aku tahu perasaan kami satu. Hanya dengan mengetahui itu saja, aku tidak perlu terburu-buru lagi.

…Tidak.

Bukan itu. Aku harus menolak diriku sendiri yang selalu berpikir dengan untung dan rugi.

“Aku… telah dicintai oleh seorang pria bernama Aono Eiji.”

Kenyataan itu membuatku sangat bahagia. Rasanya ingin berteriak.

Selama ini aku hanya ingin dicintai oleh seseorang. Akhirnya… aku mengerti. Dia membuatku menyadarinya.

“Tapi tahu nggak, Senpai…”

Aku menghela napas bahagia.

“Aku sudah siap untuk dicium… bahkan siap kalau kamu mau mendorongku ke ranjang. Tapi… aku nggak pernah menyangka akan dilamar. Itu jelas bukan ‘sedikit’ lagi.”


Chapter 130 – Miyuki yang Menyadari Kebahagiaannya:

—POV Miyuki—

Aku dibawa oleh Guru Mitsui menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat.

Pikiranku kembali ke kejadian tadi di sekolah.

Saat aku menangis tersungkur, para guru tak berkata apa pun dan membawaku ke UKS, lalu menempatkanku di bawah pengawasan. Wajar saja. Mereka tidak bisa membiarkan siswi yang baru saja mencoba bunuh diri sendirian.

Guru Takayanagi datang dan bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”

Aku tidak bisa menjawab. Pada akhirnya, aku pun telah mengkhianati beliau. Teman masa kecil, sahabat, bahkan keluarga—semuanya telah pergi meninggalkanku.

Itu semua karena aku mengkhianati mereka. Aku yang menyebabkan masalah besar ini tidak pantas lagi berada di tempat ini.

Aku tak bisa melupakan suara tulus dari dia yang bicara denganku di atap tadi.

“Tidak semudah itu. Kamu sadar nggak kalau bunuh diri di sini akan melukai Eiji-senpai? Kamu berselingkuh dari sahabat masa kecilmu, mengkhianatinya, lalu kamu mau menyakiti dia lebih dalam dengan cara egois seperti ini? Kamu pernah berada di dekat orang-orang yang sangat baik—kenapa hal sesederhana itu saja nggak bisa kamu pahami? Mau sampai sejauh apa kamu bertindak seenaknya? Kalau kamu pernah benar-benar menjadi pacarnya Eiji-senpai, tolong pikirkan dia walau sedikit saja. Apa hak kamu untuk menghancurkan masa depannya? Sampai seberapa dalam kamu ingin meninggalkan luka seumur hidup padanya? Pada akhirnya, kamu bahkan nggak pernah benar-benar mencintai Eiji-senpai, kan?”

Kata-kata itu terus menggema di telingaku.

Luka seumur hidup. Aku hanya bersikap egois dan manja. Apakah aku benar-benar mencintainya?

Aku tak bisa menjawab dengan baik. Aku terhantam oleh cinta Ichijou Ai pada Aono Eiji—cinta yang bahkan menyerupai obsesi.

Lalu aku dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa aku, yang sudah bersama sahabat masa kecilku selama lebih dari sepuluh tahun, tidak bisa memahaminya lebih dari gadis itu.

Aku hanya ingin seseorang yang bisa kunikmati kehadirannya. Aku hanya ingin sosok pengganti ayah yang telah tiada. Maka dari itu, alih-alih cinta yang sejati, aku malah lari pada hubungan fisik yang jelas dan kepuasan sesaat yang cepat.

(Maaf, Eiji. Aku nggak bisa mencintaimu seperti Ichijou-san mencintaimu. Aku benar-benar terburuk. Wajar saja kalau akhirnya begini. Ichijou-san… dia tetap percaya padamu.)

Aku kalah telak. Rasa putus asa karena tak bisa menang, tak peduli bagaimana pun caranya.

Dan sekarang, aku bahkan tak bisa melarikan diri lewat kematian.

"Maafkan Aku, tapi karena kejadian ini, kami akan menghubungi orang tuamu. Meskipun kamu sedang diskors, kalau ada sesuatu yang kamu khawatirkan, kamu bisa langsung hubungi Aku atau Guru Mitsui. Ini bukan lagi hubungan guru dan murid—ini antara manusia dengan manusia.”

Kebaikan guru justru terasa menyakitkan. Saat mendengar kata “menghubungi orang tua,” aku hampir berteriak “jangan,” tapi aku tak bisa mengatakannya. Ibuku yang sedang dirawat tidak boleh menerima tekanan lebih. Aku ingin lenyap. Aku ingin orang-orang melupakan bahwa aku pernah menjadi manusia seperti ini.

Kalau saja aku tidak berselingkuh... aku pasti masih bisa kembali ke tempat yang hangat itu.

Aku ingin kembali. Meskipun aku tahu aku tak akan pernah bisa kembali, aku tetap membenciku yang masih berharap.

Aku ingin kembali ke tempat yang telah aku buang sendiri.

Dan aku sadar, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku hanya tak bisa melihatnya karena itu terlalu dekat. Tapi aku telah melepaskannya dengan begitu mudah.

Tempat yang hangat itu takkan pernah bisa tergantikan. Mungkin… memang sudah tak akan pernah bisa.

Waktu yang kuhabiskan bersama Eiji adalah masa paling bahagia dalam hidupku—dan dengan menyadari itu, aku harus menjalani sisa hidupku yang panjang dalam keputusasaan.

Guru Mitsui menemaniku menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat.

Di jalan dekat stasiun, aku melihat Eiji dan Ichijou-san.

Kami berada di sisi yang berbeda dari jalan besar, jadi mereka tidak melihatku. Mereka tampak berjalan bersama dengan riang.

Sambil menyaksikan kebahagiaan yang telah hilang dari genggamanku, aku melanjutkan langkah di jalan penuh duka.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close