NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 151 - 160

 Chapter 151 – Ketua Klub yang Makin Terpojok


—POV Ketua Klub Sastra—

Pada akhirnya, aku bahkan tidak sanggup pergi ke sekolah. Pesan-pesan yang dikirim oleh para anggota klub terdengar seperti jeritan panik. Hampir semua anggota klub sudah dipanggil untuk dimintai keterangan. Kalau melihat situasinya, aku hanya belum dipanggil karena tidak masuk sekolah hari ini. Tapi, mungkin tidak sesederhana itu. Bisa saja mereka sengaja menunggu ketidakhadiranku untuk mengguncang para anggota klub lainnya.

Kalau para anggota sampai goyah, klub kami bisa saja bubar begitu saja, seperti yang terjadi pada klub sepak bola. Bila rasa saling curiga mulai muncul, maka setiap orang akan mulai melihat yang lain sebagai musuh.

Bisa jadi, sudah ada yang mengkhianatiku. Tapi aku sudah mengantisipasi itu. Dalam kasus kali ini, aku sudah membuat semua anggota klub merasa ikut bersalah. Klub sepak bola memang besar, jadi banyak anggotanya yang tidak terlibat langsung dalam kasus perundungan. Dari sanalah kehancuran mulai menyebar, seperti air yang bocor dari retakan kecil.

“Tapi kami berbeda. Mereka yang berpura-pura tidak melihat pun, kuanggap sama bersalahnya. Aku sudah menanamkan itu dalam pikiran mereka. Setelah melihat hukuman massal pada klub sepak bola, siapa pun pasti akan merasa gentar.”

Ketakutan akan mengekang mereka. Kalau mereka sadar bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan mengikuti semua perintahku, maka mereka pasti akan patuh.

“Lagipula, semua bukti sudah kuhapus. Kondo-kun itu bodoh, jadi dia pasti tidak sadar kalau semua yang dia lakukan sudah kuarahkan sejak awal.”

Di media sosial yang kupakai untuk mengumpulkan informasi, muncul gerakan baru. Orang tua dari anggota klub sepak bola yang bodoh itu nekat mendatangi sekolah dan merekam percakapannya, lalu mengunggahnya ke internet. Sungguh bodoh. Tapi mungkin ini adalah kesempatan terbaik yang diberikan Tuhan kepadaku.

Kalau berita ini sampai menjadi besar, pihak sekolah pasti akan sibuk menangani itu. Dan saat itu terjadi, penyelidikan terhadap klub sastra bisa tertunda. Selama waktu itu, aku bisa mengambil tindakan. Kalau aku punya cukup waktu, akan lebih mudah untuk menyatukan cerita versi kami.

“Tidak apa-apa... Besok aku akan ke sekolah. Masih sempat kalau segera ditangani.”

Aku terus mengulang kalimat itu dalam hati, memaksakan diri untuk tetap tenang.

Mataku lalu beralih ke aplikasi situs tempatku mempublikasikan novel. Novelnya masih tetap sepi, tidak ada yang membaca, dan hanya menatapku dalam diam.

**

—POV Ikenobu Eri—

Dalam perjalanan pulang dari sekolah, aku berjalan terpincang-pincang di trotoar saat tiba-tiba seorang pria bersetelan jas menghentikanku.

“Apakah Anda Ikenobu Eri? Bolehkah saya mengobrol sebentar...”

Meski ia berbicara dengan sopan, entah kenapa aku merasakan aura yang mengancam.

Awalnya kupikir dia polisi, tapi dia tidak memancarkan aura kebenaran seperti itu.

“Apa-apaan ini... Saya akan teriak, tahu.”

“Maafkan saya. Nama saya Aoyama, saya seorang detektif swasta. Sebenarnya saya ingin bertanya tentang kasus Kondo-kun.”

Begitu aku mendengar nama itu, darahku seakan mengalir terbalik. Seluruh tubuhku merinding.

Aku sempat ingin lari secepatnya. Tapi, kalimat berikutnya dari pria itu bagaikan buah terlarang yang manis dan membuat langkahku terhenti.

“Sebenarnya, saya juga punya kenalan di kepolisian. Kalau Anda mau menjawab satu pertanyaan saja, saya bisa bantu atur pertemuan dengan Kondo-kun.”

Mustahil. Kenapa dia bisa sepas waktu itu? Lagipula, kalau memang bisa, kenapa tidak langsung tanyakan ke orangnya saja?

Tapi aku tak bisa menjawab. Karena tawaran untuk bertemu dengannya... adalah harapan terakhirku.

“Anda janji, kan?”

“Tentu saja.”

Memang mencurigakan, tapi kalau hanya menjawab, seharusnya tidak berisiko besar.

“Baiklah.”

Aku menerima tawarannya dengan perasaan seperti seseorang yang putus asa memegang sebatang jerami.

“Hanya satu pertanyaan. Apa yang menjadi awal kedekatan antara Anda dan Kondo-kun?”

“Eh? Cuma itu? Cukup dengan menjawab itu... saya bisa bertemu dengannya?”

“Ya. Kalau Anda mau memberitahukan, saya bisa atur pertemuannya bahkan besok.”

Tanpa berpikir panjang, kata-kata itu langsung keluar dari mulutku.

“Itu... waktu acara belajar kelompok yang diadakan oleh teman. Kami jadi satu kelompok waktu itu...”

Tubuh pria itu tampak sedikit bergetar mendengar jawabanku.

“Boleh tahu siapa nama teman Anda itu?”

“Um, sekarang kami satu sekolah, tapi sudah jarang berinteraksi... Namanya Tachibana-san. Dia anggota klub sastra...”

Detektif berpakaian hitam itu tersenyum puas dan menyerahkan kartu namanya padaku.

Di balik kartu itu, tertulis catatan: datanglah ke depan kantor polisi tempat Kondo-kun kemungkinan ditahan, pukul 16.30 besok.

“Kalau begitu, sampai jumpa besok...”

“Te-terima kasih banyak.”

Saat hendak pergi, pria itu sempat menoleh sekali lagi.

“Terakhir, satu hal lagi. Mungkin saja... pertemuan Anda dan Kondo-kun selama ini, adalah sesuatu yang sudah direncanakan sejak awal.”

Awalnya aku tidak paham maksudnya.

Tapi saat arti dari kata-kata itu meresap ke dalam tubuhku, tubuhku mulai gemetar.

Dan saat sadar kembali, pria itu sudah menghilang entah ke mana.

**

—POV Kuroi—

Aku segera melapor kepada Nona mengenai kontak yang kulakukan. Nama “Aoyama” itu cuma alias yang sering kupakai.

Nona Ai benar-benar seseorang yang mengerikan. Nalurinya terlalu tajam.

Jadi benar, Tachibana terlibat. Dia terhubung dengan terlalu banyak insiden secara tidak wajar. Meski belum ada bukti mutlak, satu-satunya kesimpulan yang masuk akal...

Kemungkinan besar, dialah dalang dari semuanya. Dan Nona...

“Bahkan ingin memanfaatkan Ikenobu Eri... demi mendekati si dalang utama.”


Chapter 152 – Eri dan Tachibana

—POV Ketua Klub Sastra, Tachibana—

Saat aku sedang mati-matian mencoba merapikan pikiranku, ponselku tiba-tiba berbunyi.

Siapa sih yang menelepon di saat segenting ini? Masih banyak hal yang harus kupikirkan. Waktu tidak cukup. Saat aku sedang panik seperti ini, aku tidak mau ada siapa pun yang mendekat.

Di layar ponsel, tertera nama mainan lama yang begitu kukenal.

Ikenobu Eri.

Gadis yang aku sendiri yang mengatur agar dia direbut oleh Kondo-kun saat SMP.

Kalau tidak salah, dia seperti Eiji-kun yang adalah pasangan teman masa kecil.

“Lama tak bicara. Aku cuma mau tanya sedikit, kamu itu... dekat ya, sama Kondo-kun?”

Seketika darahku terasa membeku.

Tak mungkin ketahuan. Hubungan antara dia dan Kondo-kun hanya kuatur tempat pertemuannya saja. Kami hanya berhubungan di belakang layar—di permukaan, aku hanya berinteraksi sebagai teman sekelas biasa.

Bahkan saat kami diam-diam bertemu pun, aku sudah berhati-hati agar tidak ketahuan.

“Kok tiba-tiba tanya begitu? Memang sih, kami SMP dan SMA-nya bareng, jadi kalau ketemu ya ngobrol biasa… Tapi ya nggak sampai sedekat itu. Lagipula, dia juga sekarang sedang kena masalah besar.”

Aku berusaha menjawab dengan nada seolah-olah aku tenang dan tidak merasa bersalah.

Balasan darinya pun cepat datang.

“Iya juga ya. Selama ini memang nggak kelihatan sih. Kamu tahu hubungan aku sama dia juga. Nggak mungkin kamu tega mengkhianati aku, kan? Aku bisa percaya kamu, kan?”

Sepertinya, dia sedang sangat tidak stabil karena Kondo-kun ditangkap. Setahuku, dia juga sudah diusir dari rumah dan hidup sendiri sekarang. Pasti satu-satunya yang tersisa untuknya hanyalah dia.

“Tentu saja. Aku nggak sekejam itu, kok. Aku sama Kondo-kun cuma teman sekelas. Aku nggak bohong.”

Padahal bahkan saat mereka masih pacaran, aku sudah punya hubungan dengan dia.

Tapi Eri tidak pernah sadar. Atau mungkin lebih tepatnya, dia sengaja tidak mau menyadari. Karena hanya Kondo-kun satu-satunya tempat dia bergantung. Dia memaksa dirinya untuk percaya. Karena itu, dia cocok sekali jadi mainanku.

“Terima kasih, ya. Maaf banget tadi nanya aneh-aneh. Maaf, sungguh. Aku percaya sama kamu.”

Sambil menatap pesan yang hanya manis di permukaan itu, aku membalas dengan stiker ringan. Mungkin dia bisa kugunakan sebagai kunci untuk membalikkan keadaan. Kalau terdesak, aku bahkan bisa menyalahkan semua keburukan ini padanya. Toh, dia punya hubungan paling dekat dengan Kondo-kun.

Sepertinya... cahaya harapan mulai terlihat.

“Terima kasih, Ikenobu Eri. Kamu memang mainan yang sangat berguna.”

Aku tersenyum licik. Lalu mulai menyusun rencana bagaimana cara menjebak dan menimpakan semua kesalahan padanya.

**

—POV Ikenobu Eri—

“Aku percaya sama kamu, Tachibana-san... ya?”

Waktu seolah membeku. Dalam keheningan yang dingin dan kesepian, detik-detik berlalu tanpa makna.

Aku menggenggam ponselku begitu kuat hingga seakan ingin menghancurkannya. Seluruh tubuhku gemetar hebat.

**

—POV Ichijou Ai—

Setibanya di rumah, aku langsung membaca laporan yang dikirim oleh Kuroi.

Seperti yang kuduga, asal mula retaknya hubungan antara Endou-san dan Ikenobu-san juga karena Ketua Tachibana. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Semua orang yang terlibat dalam kasus-kasus ini, pasti punya hubungan dengan dia. Tapi dia sendiri selalu hanya terlihat sebagai pengamat dari kejauhan.

Tapi sekarang, si pengamat sekaligus kandidat dalang itu sudah mulai terpojok. Kalau dia sudah kehilangan ketenangannya...

“Perlahan-lahan kurung dari luar, tekan secara rasional dan logis sampai dia kehilangan kendali. Itu strategi terbaik.”

Saat seseorang panik, mereka akan mengira keputusan buruk sebagai solusi brilian. Kalau banyak orang di sekitar juga sudah tidak waras, kegilaan akan menular dengan cepat.

Orang yang panik mudah sekali diarahkan ke jalan yang kuinginkan.

Tapi saat aku berpikir seperti itu, aku merasa jijik pada diriku sendiri. Aku jadi sama saja seperti orang yang paling kubenci—seseorang yang memanipulasi orang lain demi menguntungkan dirinya sendiri.

Namun, kalau bakat menjijikkan ini memang sudah diwariskan padaku... maka untuk saat ini, aku akan menggunakannya sebaik mungkin.

Kalau itu bisa menjadi cara untuk melindungi orang yang paling penting bagiku.

Perangkapnya sudah dipasang. Dan besok... perangkap itu akan meledak.


Chapter 153 – Di Kantor Polisi

—POV Ikenobu Eri—

Keesokan harinya. Aku datang ke kantor polisi tepat pada waktu yang sudah ditentukan.

“Ikenobu-san!”

Detektif swasta itu segera menyapaku. Aku merasa sedikit lega. Bagaimana kalau dia tidak datang? Bagaimana kalau semua ini bohong? Karena ini harapan terakhirku, perasaanku dipenuhi rasa cemas sejak kemarin.

“Hari ini saya mohon bantuannya.”

Aku membungkuk dengan penuh hormat semampuku.

“Tentu saja. Mari ikut saya. Kita masuk dari pintu belakang.”

Dengan langkah yang sudah terbiasa, ia berjalan menuju pintu belakang kantor polisi. Beberapa polisi yang melihat kami segera memberi hormat dan menyambut kami.

Setelah itu, mereka kembali ke tugasnya masing-masing seolah tidak terjadi apa-apa.

Detektif itu melangkah ke ruang pertemuan tahanan dengan lancar, seperti orang yang memang sudah terbiasa, padahal dia bukan polisi.

“Saya adalah mantan anggota kepolisian. Karena itu, saya bisa melakukan hal-hal seperti ini.”

Dia menjawab rasa penasaranku, seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.

“Tolong tunggu sebentar di sini. Kondo-kun akan segera datang.”

Pak Aoyama berkata begitu, lalu berdiri menunggu di bagian belakang ruangan.

Aku duduk gelisah, menunggu kedatangannya. Sekitar lima menit kemudian, pintu di balik kaca pemisah terbuka.

Kondo-kun perlahan masuk ke dalam. Padahal belum lama berpisah, tapi wajahnya terlihat sangat letih.

“Eri!? Kenapa kamu di sini? Kamu datang menjengukku?”

Sepertinya dia tidak tahu bahwa aku akan datang. Ia masuk sambil menunduk, tapi begitu melihatku, wajahnya langsung bersinar cerah. Imut sekali. Akhirnya... aku bisa bertemu lagi. Dengan orang yang kucintai.

“Iya. Ada orang baik yang membantuku, jadi aku bisa dapat izin khusus untuk bertemu.”

“Begitu ya... Terima kasih. Aku benar-benar senang. Selama ini aku merasa sangat kesepian...”

Nada suaranya terdengar lebih rendah hati dari biasanya, membuatku sedikit terharu.

“Kamu nggak apa-apa? Diperlakukan dengan kasar nggak?”

“Kasarnya parah. Padahal aku ini orang terpilih, tapi polisi memperlakukanku seperti penjahat!”

Kasihan sekali. Kondo-kun yang biasanya begitu percaya diri sekarang tampak kecil dan rapuh.

Harga dirinya pasti hancur, dan sekarang dia kehilangan jati dirinya.

“Nggak apa-apa. Meskipun seluruh dunia jadi musuhmu, aku akan tetap ada di pihakmu.”

Kami saling mengulurkan tangan dari balik kaca. Aku ingin merasakan kehangatannya, tapi yang kurasakan hanya dingin yang tak bernyawa.

“Iya, betul. Aku kan punya bakat di dunia sepak bola. Setelah keluar dari sini, aku pasti bisa kembali main sepak bola lagi...”

Dengan nada putus asa, ia mulai bicara cepat seolah sedang menggantungkan segalanya pada harapan terakhirnya.

“Iya, benar...”

Tapi aku tahu kenyataannya. Maka, aku hanya bisa menjawab dengan suara lemah.

“Kenapa, Eri? Kamu juga tahu kan bakatku di sepak bola?”

Dia terlihat sangat menyedihkan. Aku tak sanggup menjawab.

Tiba-tiba, detektif itu ikut campur dalam pembicaraan dan menyampaikan kebenaran dengan paksa.

“Biar aku saja yang menjelaskan.”

“Siapa kamu, hah!?”

“Kondo-kun. Klub sepak bola akan dibubarkan. Rekomendasi beasiswamu juga sudah resmi dicabut... Dan kamu kemungkinan besar akan dikeluarkan dari sekolah. Artinya, kamu tidak akan bisa kembali ke dunia sepak bola.”

Wajahnya langsung berubah seperti kehilangan seluruh dunia.

“Hah? Bohong. Nggak mungkin. Aku ini calon permata sepak bola Jepang, loh!”

“Sudah waktunya kamu menghadapi kenyataan.”

Detektif itu menghela napas panjang dan keluar dari ruangan.

“BOHONG, BOHONG, BOHOOOOONGGGGGGGGGGGG!!!”

Suara teriakannya menggema di ruang pertemuan yang sempit.

Aku tidak tahan melihatnya seperti itu, jadi aku pun berkata:

“Kondo-kun... Aku juga sudah kehilangan segalanya. Kamu juga kan? Jadi... maukah kamu mati bersamaku?”

Dengan suara dingin dan penuh keputusasaan yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya, aku tersenyum padanya. Dan dia menatapku seolah sedang melihat hantu.


Chapter 154 – Eri dan Kondo

—POV Kondo—

“Kamu bilang apa, Eri? Jangan bercanda soal hal kayak gitu...”

Tapi matanya tidak tertawa. Tatapannya dingin seolah cahaya di matanya telah padam. Aku bisa merasakan bahwa dia benar-benar telah kehilangan harapan.

“Bercanda? Mana mungkin aku bercanda soal ini. Aku sudah menyerahkan segalanya padamu—keluarga, teman, masa depan. Dan kamu juga, sudah kehilangan keluargamu, bakat masa depanmu, bahkan sekolahmu. Kita benar-benar pasangan yang sepadan, kan? Karena kita berdua... sudah tak punya apa-apa lagi.”

“Salah! Aku belum kehilangan segalanya. Aku masih punya bakat bermain sepak bola! Memang sih, kata pengacara semuanya sudah selesai... tapi aku masih punya sesuatu untuk kuandalkan! Aku nggak bisa berakhir di tempat kayak gini! Aku... aku... aku gak akan pernah mengakui kalau hidupku berakhir di sini!”

Leher Eri bergoyang seperti mainan yang rusak.

“Begitu ya... Tapi tahu nggak, Kondo-kun? Dengan masalah sebesar ini, emangnya masih ada yang mau main bola sama kamu? Sepak bola itu nggak bisa dimainin sendirian, lho. Kamu tuh belum ngerti betapa kerasnya kenyataan. Mulai sekarang, kamu harus hidup dalam kesepian selamanya. Sama sepertiku. Kita berdua sudah jatuh ke dunia yang gelap, dunia tempat kita hanya bisa menunggu kematian dalam kesendirian. Kamu yang selama ini hidup di dunia yang begitu gemerlap... nggak akan mampu hidup seperti itu. Jadi, begitu kamu keluar dari sini... yuk kita mati bareng. Lebih baik semuanya berakhir di sini saja.”

Suaranya datar dan dingin, tanpa emosi. Meski ada sekat kaca di antara kami, tubuhku mulai gemetar karena rasa takut.

“Jangan asal ngomong! Aku masih punya banyak hal. Aku beda dari kamu!”

Aku memaksakan suara keluar meski tubuhku gemetar. Tapi dia hanya tersenyum sinis.

“Contohnya?”

Eri seolah berubah menjadi perwujudan dari semua kecemasan tentang masa depanku. Aku harus menyangkal dengan keras...

“Masih banyak cewek yang suka sama aku! Bukan cuma kamu! Jangan samakan diriku dengan kamu yang cuma punya aku doang. Aku nggak bisa mati!”

Suaraku membahana, menggema dalam ruangan. Seharusnya, cewek biasa akan terkejut. Tapi Eri malah tertawa seakan mengejek.

“Oh ya? Kamu kan punya banyak cewek dekat, seperti Tachibana-san dan Amada-san, misalnya.”

Aku tidak tahu kenapa dia menyebut dua nama itu. Selama ini, karena Eri adalah gadis yang ‘nyaman dimanfaatkan’, aku sengaja tidak pernah menyebut nama-nama perempuan lain. Tapi kenapa...

“Kenapa kamu tahu nama mereka...?”

Setelah mendengarku, Eri tersenyum manis dengan kulitnya yang pucat seperti mayat dan berbisik:

“Sekarang semuanya sudah tersambung.”

“Aku tahu semuanya. Dari waktu kita masih pacaran, kamu sudah selingkuh dengan Tachibana-san. Aku juga tahu kamu cuma menganggapku cewek pelarian, sementara yang kamu cinta sebenarnya itu Amada Miyuki, kan?”

“Hei, Eri! Siapa yang bilang soal Tachibana? Dari mana kamu tahu itu?”

Soal Miyuki masih bisa dimaklumi karena dia cukup populer di sekolah. Tapi Tachibana...?

“Ternyata kamu nggak menyangkal.”

Dia tersenyum dengan penuh kemarahan dan berdiri hendak meninggalkan ruangan.

Aku menyadari bahwa aku baru saja menggali kuburku sendiri. Aku buru-buru mencoba membela diri.

“Bukan begitu! Aku nggak tahu siapa yang ngasih tahu kamu, tapi aku sama Tachibana nggak kayak gitu. Percayalah!”

“Sudah cukup, Kondo-kun. Aku sudah tahu semuanya.”

Dia menoleh ke belakang, gerakannya kaku seperti robot yang kehilangan emosi.

“Aku nggak akan pernah memaafkanmu.”

Dengan suara penuh dendam, dia meninggalkan ruangan.

**

—POV Kuroi—

Sebenarnya, aku sudah memasang alat penyadap di baju Ikenobu Eri. Karena kupikir dia tak akan bicara jujur jika aku ada di sana, aku sengaja keluar sebentar. Tapi aku tak menyangka pembicaraan mereka akan sampai ke rencana bunuh diri.

Dalam rencana Ojou-sama, tujuan awalnya hanya untuk mengganggu stabilitas mental Kondo secara tidak langsung melalui Eri, sambil menyelidiki hubungan mereka. Tapi semuanya berjalan jauh lebih baik dari yang direncanakan.

Untuk berjaga-jaga, aku segera menginstruksikan anak buah yang menunggu di luar untuk memperketat pengawasan terhadap Ikenobu Eri. Meski kemungkinan dia bunuh diri rendah, lebih baik tetap waspada.

“Dengan ini, tebakan Ojou-sama hampir bisa dipastikan benar... Kondo dan Tachibana memang memiliki hubungan.”


Chapter 155 – Miyuki dan Kenangan

—POV Miyuki—

Waktu terus berjalan tanpa bisa mati, tanpa bisa meminta maaf, hanya menunggu kapan hukuman akan dijatuhkan kepadaku. Tak ada lagi harapan. Kebahagiaan itu sudah aku hancurkan sendiri. Di rumah pun tak ada siapa-siapa. Kesepian perlahan menggerogoti hati. Aku bahkan putus asa karena tak bisa lagi lari dari penderitaan ini.

Semuanya salahku, jadi aku tak bisa menyalahkan siapa pun. Tapi perasaan putus asa ini terus menindih hati hingga terasa remuk.

Aku mengurung diri di kamar dan memandangi sekeliling tanpa tujuan. Sisa-sisa kebahagiaan dulu kini terasa seperti senjata yang menusuk ke dalam hatiku.

Di kamarku, ada begitu banyak kenangan bersama Eiji:

Kartu remi yang dulu sering kami mainkan.

Foto purikura pertama yang kami ambil bersama.

Foto-foto saat upacara masuk sekolah, wisuda, dan studi tur.

Hadiah Natal yang saling kami tukar saat mulai pacaran.

Kaleng lucu bekas permen yang ia berikan saat White Day.

Semua itu harus dibuang. Kenangan-kenangan indah yang dulu membuatku bahagia kini hanya menyiksaku. Aku membuka laci meja.

Di sana, masih tergeletak benda yang menjadi simbol dosaku sejak hari itu.

"Hadiah ulang tahun yang seharusnya kuberikan pada Eiji… Tapi akhirnya, aku tak pernah bisa memberikannya."

Melihatnya saja sudah membuat air mata tumpah. Kenapa hari itu aku mengucapkan kata-kata sekejam itu?

Seharusnya akulah yang dimarahi. Tapi ketika Eiji terkejut dan hanya memegang pundakku, aku malah menuduhnya yang bukan-bukan. Padahal dia pria yang begitu lembut… Semua itu kulakukan demi menyelamatkan diri sendiri.

Barulah setelah kehilangan dia, aku menyadari betapa besar arti keberadaannya. Rasa kehilangan itu semakin lama semakin besar. Sampai kapan perasaan ini akan terus membesar? Sakitnya seperti setengah dari diriku dicabut paksa. Hatiku menjerit.

Aku membuka buku harian. Buku rahasia yang selalu kutulis sebelum aku mulai berselingkuh. Begitu aku berselingkuh, aku tak lagi mampu menulis di sana.

Aku yakin... saat itu aku memilih untuk lari.

Ada catatan hari ketika Eiji menyatakan cintanya padaku. Terlihat bekas sering dibuka dan dibaca berulang kali.

Seharusnya… itu adalah hari yang terus aku kenang dengan bahagia.

Hari itu ditulis oleh seorang gadis yang sedang diliputi harapan dan mimpi, mabuk dalam kebahagiaan cinta.

[Isi Buku Harian]

Eiji menyatakan cinta padaku. Akhirnya kami resmi pacaran. Aku bahagia sekali. Aku ingin hidup bersama dia selamanya. Kalau begitu, pasti aku akan selalu bahagia. Setelah lulus SMA, jadi orang dewasa, bahkan ketika aku sudah jadi nenek pun, hari ini akan tetap menjadi hari yang istimewa. Aku tak akan pernah melupakan hari ini.

Aku ingin terus, terus, menghabiskan hari-hari penuh keceriaan bersamanya.

Membaca tulisan yang seakan menghukum diri dari masa lalu itu terasa sangat menyakitkan. Aku menangis tanpa bisa berhenti.

Dulu aku percaya bahwa harapan itu pasti akan terwujud dengan sendirinya.

Tapi kenyataannya tidak begitu. Kalau saja aku tidak menghancurkan kebahagiaan itu dengan tanganku sendiri, harapan itu pasti bisa jadi kenyataan.

Hari setelah kami jadian, dan hari-hari setelahnya, aku hidup dalam kebahagiaan. Pertama kali berangkat sekolah sebagai pasangan. Pertama kali pulang bareng. Pertama kali belajar untuk ujian bersama.

Hari-hari biasa seperti itu pun terasa begitu bersinar.

Kenapa aku bisa melupakan semua itu? Bodoh sekali diriku…

Saat aku sedang menangis tersedu, bel rumah tiba-tiba berbunyi.

Sepertinya... ada seseorang yang datang.


Chapter 156 – Miyuki dan Eri

Aku mengintip ke interkom dengan rasa takut. Di sana berdiri seorang perempuan dengan kulit yang pucat seperti orang sakit dan tatapan kosong di matanya.

Aku mengenali wajah itu. Kakak kelas perempuan dari tahun ketiga. Aku pernah dengar dari Kondo bahwa dia adalah mantan pacarnya. Tapi kenapa dia ada di sini? Bagaimana dia tahu alamat rumahku? Rasa takut menyergapku.

“Tolong bukakan pintunya. Aku mau bicara soal Kondo-kun. Tolong, bukakan pintunya. Dasar perempuan jalang. Kau sudah merebut dia dariku. Kenapa dia memilihmu, bukan aku yang telah menyerahkan segalanya padanya?”

Aku merasa takut. Dia mengetuk pintu dengan suara keras.

“Tolong berhenti, aku takut…”

Aku hanya bisa mengeluarkan suara lirih lewat interkom. Begitu mendengar suaraku, dia jatuh terduduk dan menangis di depan pintu.

“Pada akhirnya, kau pun sama sepertiku. Aku dengar kau mengkhianati sahabat masa kecilmu dan memilih Kondo-kun. Kita sama. Sama. Sama. Tapi kau lebih parah dariku. Kau menuduh sahabat masa kecilmu tanpa bukti dan menyebabkan dia di-bully. Kejam… kejam… kejam…”

Dia mengulang-ulang kata-kata itu sambil bergoyang di depan pintu dan tersenyum padaku. Rasanya ada sesuatu dalam dirinya yang telah rusak… atau mungkin, telah dihancurkan.

“Aku selalu membencimu. Aku sudah menyerahkan segalanya, tapi justru kamu yang tiba-tiba muncul dan mendapat kasih sayangnya. Kenapa harus kamu? Aku selalu bertanya-tanya. Tapi sekarang… aku mengerti semuanya.”

Karena sikapnya yang luar biasa aneh, aku tanpa sadar bertanya lanjut.

“Apa yang kamu mengerti?”

Begitu mendengar itu, dia tersenyum senang.

“Bahwa kau pun sama denganku. Pada akhirnya, kita cuma mainan. Dipermainkan dan dibuang kalau sudah bosan. Semua sudah ditentukan oleh penulis skenario.”

“Apa maksudmu?”

“Hehe, kau belum mengerti, kan? Tapi tak apa. Kau akan segera mengerti. Dosa yang telah kau lakukan akan menghantuimu perlahan. Hatimu akan terkikis pelan-pelan, dan saat kau sadar, kau sudah berada di tempat yang tak bisa kau kembalikan lagi. Kau akan menderita terus. Aku ini adalah dirimu beberapa tahun ke depan. Lihat baik-baik. Inilah akhir menyedihkan kita. Ini juga bentuk balas dendamku padamu.”

Keheningan berat menyelimuti. Dia menunduk, menarik napas panjang, lalu pergi. Tanpa berkata apa-apa.

“Tunggu!”

Aku reflek berlari ke arah pintu. Tapi sudah terlambat. Beberapa ibu-ibu tetangga memandangku dengan tatapan aneh. Mereka menutup mulut mereka, tapi tampak seperti sedang mengejekku. Aku buru-buru kembali masuk ke dalam rumah.

**

—POV Ichijou Ai—

Sepulang sekolah, aku memeriksa laporan yang telah dirangkum oleh Kuroi.

Seperti yang kuduga, Kondo memang terhubung dengan Ketua Klub Tachibana.

“Kuroi, bagaimana kondisi Ikebe-san? Kurasa dia cukup tertekan secara mental.”

“Sudah kami tangani. Dia dalam pengawasan ketat. Tadi barusan, dia sempat bertemu dengan Amada Miyuki.”

Aku membaca laporan mengenai hal itu juga. Dari isinya, sepertinya Eri sudah dipenuhi dendam hingga tak mampu berpikir jernih. Tapi kalau Kuroi bilang tidak masalah, maka aku percaya dia akan menangani semuanya dengan baik.

“Lalu, bagaimana dengan penyelidikan polisi?”

Kuroi dulunya pejabat tinggi kepolisian. Dia punya banyak koneksi.

“Anggota dewan Kondo sepertinya memilih bungkam. Kondisinya tertekan dan mulai melontarkan pernyataan yang tidak jelas. Ia bahkan takut kalau dirinya akan dibunuh.”

Siapa juga yang mau membunuhmu? Aku menghela napas.

“Waktu kita bertemu terakhir pun, dia memang terlihat rapuh saat berada di posisi bertahan. Bagaimana dengan putranya, anggota klub sepak bola itu?”

“Saat ini, pihak sekolah sedang menyelidiki siapa saja siswa yang terlibat. Ada satu data mencurigakan di ponselnya, dan sedang diperiksa oleh ahli forensik digital. Tampaknya, dia berusaha menghapus data itu dan menyembunyikannya.”

“Pasti itu bukti penting yang menunjukkan hubungan antara Kondo dan Ketua Klub Tachibana.”

Mendengar ucapanku, Kuroi mengangguk pelan.

“Saya sudah minta mantan bawahan saya untuk segera memberi kabar jika ada perkembangan. Saya akan terus melaporkan.”

“Terima kasih. Aku serahkan padamu.”

Namun, Kuroi ragu-ragu sebelum berkata,

“Tapi, Nona. Anda benar-benar ingin terus seperti ini? Anda sudah melangkah di jalan yang berbahaya. Jika Ayah Anda mengetahui semua ini…”

Disebutnya Ayah membuat wajahku mengeras.

“Aku tahu… Tapi aku sudah siap. Aku siap untuk menghadapi Ayah.”

Kasus Eiji-senpai juga belum selesai. Cepat atau lambat, aku harus bertemu Ayah.

Aku… tidak akan lari lagi.


Chapter 157 – Perdana Menteri & Dimulainya Penghakiman (Ichijou Ai)

—POV Sekjen Ugaki—

Aku dipanggil oleh Perdana Menteri dan masuk ke kantor resmi pemerintah.

“Ugaki-kun. Maaf sudah memanggilmu mendadak.”

Ucapan yang jarang terdengar darinya. Suaranya terdengar lelah. Ya, tentu saja. Skandal yang melibatkan Anggota Dewan Kondo terus mencuat setiap hari, dan kini beredar rumor bahwa aliran dana gelap dari kasus itu mengalir ke pusat pemerintahan. Minggu depan, bisa jadi majalah mingguan akan meledakkan berita eksklusif.

Terlebih lagi, kasus perundungan yang dipicu oleh anak Kondo juga semakin besar. Di masyarakat internet yang sensitif terhadap isu perundungan, tersebarnya rekaman suara dan video yang vulgar membuat kasus ini bukannya mereda, malah semakin membara. Ditambah lagi dengan skandal politik.

Ini tampaknya tidak akan segera berakhir.

“Anda kelihatan sangat lelah, Tuan Perdana Menteri.”

Aku sendiri tertawa dalam hati. Kata-kata itu begitu palsu.

“Ya, benar. Masalah Kondo ini menyulitkanku. Kalau sampai keluar berita palsu tanpa dasar, pemilu lokal mendatang bisa terkena dampaknya. Kalau itu terjadi, posisiku bisa terguncang.”

Dengan kata lain, dia mengakui ada yang disembunyikan. Atau dia memang mempercayai aku sepenuhnya? Atau hanya gertakan?

“Saya juga berpikir kita harus segera memadamkan kasus ini.”

Perdana Menteri mendengus seolah mencemooh. Seolah berkata, “Kamu sendiri yang mencuri perhatian saat konferensi pers kemarin, bukan?”

“Tolong bantu aku. Hanya kamu harapanku. Kalau perlu dana, aku tak keberatan menyebarkan dana rahasia.”

Sungguh tak tahu malu. Walau sikapnya menjengkelkan, dia tetap memaksaku dengan permintaan seenaknya.

“Baik. Saya akan berupaya semampu saya.”

Dia menuangkan wiski dari decanter lalu menyerahkannya padaku.

Aku menghirup aromanya. Tercium aroma kuat dari kayu ek Mizunara dan tong anggur. Ini pasti wiski single malt produksi dalam negeri.

“Ini dari Kyoto, ya?”

Dia tersenyum bangga.

“Itu daerah pemilihanku. Hebat kau bisa tahu.”

Aku memandangnya dengan dingin saat dia menuang es batu ke dalam gelasnya. Melakukan itu akan menghilangkan rasa khas dari tong anggur. Sungguh pria yang tak mengerti rasa.

Meski pertemuan ini membosankan, aku menemukan hal menarik: pria kecil di hadapanku ini benar-benar panik.

Masih ada nilai guna dari Anggota Dewan Kondo.

**

—POV Ichijou Ai—

Aku membaca laporan dan menghela napas. Rasanya seperti melihat konsentrasi dari kejahatan manusia yang paling gelap.

Jika hanya dilihat dari bukti-bukti situasional, pelaku utama kasus ini adalah Kondo dari klub sepak bola, dan dalangnya adalah Ketua Klub Sastra, Tachibana.

Namun, aku tak mengerti apa motif Tachibana memicu dua insiden ini. Apakah karena iri? Atau hanya iseng?

Apa layak menginjak-injak kehidupan orang lain hanya karena itu?

Bahkan perasaan suka yang paling murni pun diabaikan. Aku bisa merasakan dinginnya hati yang menganggap orang lain bukan manusia.

“Nona, semuanya sudah siap.”

“Terima kasih.”

Kuroi menyerahkan ponsel padaku.

“Nomor Tachibana sudah saya masukkan. Tinggal tekan tombol panggil, nanti akan terhubung secara anonim.”

Aku menarik napas panjang. Orang itu adalah seseorang yang telah menghancurkan naskah penting milik Senpaiku. Justru karena itu, aku harus tetap tenang saat menghubunginya.

Dengan perlahan, aku menekan tombol panggil.


Chapter 158 – Ai vs Tachibana

—POV Ketua Klub Sastra Tachibana—

Sudah beberapa kali ponselku berdering dari tadi.

Setiap kali kulihat, selalu “nomor tidak dikenal”. Karena terus-menerus berdering, aku merasa takut dan terus mengabaikannya. Sempat terlintas untuk mengaktifkan fitur penolakan nomor tak dikenal, tapi firasatku mencegahnya.

“Apa yang harus kulakukan...?”

Kalau misalnya panggilan ini terkait soal keterlibatanku dengan Kondo dan yang lainnya, mengabaikannya bisa jadi langkah buruk. Bisa saja ini dari pihak kepolisian.

Atau mungkin pengkhianat dari klub sastra? Seseorang telah menyadarinya? Mungkin Eiji? Atau Amada Miyuki?

Yang jelas, aku tahu bahwa orang di balik telepon ini punya niat bermusuhan. Dengan tangan gemetar, aku menjawab panggilan itu.

“Selamat malam, Tachibana-san. Maaf mengganggu tiba-tiba.”

Sebuah suara perempuan terdengar.

Sangat sopan. Tapi ada ketegangan jelas dalam suaranya yang seolah sedang berjaga-jaga terhadapku.

“Siapa kamu?”

“Saya tidak bisa memberitahukannya. Tapi ada sesuatu yang harus saya sampaikan.”

“Seenaknya saja. Aku tutup, ya. Dari mana kamu tahu nomorku?”

Meski aku bersikap tegas dan menekan, dia tetap bicara dengan tenang dan dingin.

“Kalau begitu, sebelum Anda menutup telepon, izinkan saya mengatakan satu hal. Saya... ‘tahu segalanya’.”

Jantungku berdetak kencang. Rasanya waktu berhenti. Aku sulit bernapas.

Apa yang dia tahu? Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia jelas menyampaikan hal ini dengan cara yang dramatis. Tapi jika percakapan ini sedang direkam, aku harus sangat berhati-hati.

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”

“Baik. Kalau begitu, izinkan saya berbicara sepihak. Kami telah mendapatkan bukti bahwa Anda berhubungan dengan Kondo. Dalam kasus perundungan terhadap Aono Eiji, Anda adalah dalang utamanya. Benar, kan?”

Bagaimana dia tahu bahwa aku dan Kondo punya hubungan? Bukti? Omong kosong. Tidak mungkin. Mustahil ada bukti. Dengan hampir marah, aku berusaha tetap tenang.

“Apa maksudmu? Tuduhan itu tidak berdasar. Tidak mungkin aku sengaja mengganggu adik kelas yang kusayangi. Memang, kami semua lemah dan tidak bisa percaya padanya. Tapi bukan berarti aku pelakunya. Itu semua perbuatan Kondo dan Amada Miyuki saja!”

Suaraku bergetar karena ketakutan.

“Begitu, ya. Kalau saya bilang saya juga tahu tentang Endou-san dan Ikenobu-san?”

Sebuah serangan datang dari arah tak terduga.

Kenapa nama-nama itu muncul? Apakah ini teman SMP? Tidak, seharusnya hanya Ikenobu yang satu sekolah denganku. Lalu, siapa sebenarnya wanita di seberang telepon ini?

“Mereka teman SMP-ku, tapi kenapa kamu menyebut mereka tiba-tiba? Siapa kamu sebenarnya? Jangan asal tuduh aku. Semuanya tidak benar!”

Aku hanya bisa menyangkal. Menolak semuanya dan terus menghindar.

“Kenapa Anda melakukan semua itu? Karena iri? Karena penasaran? Atau karena ingin merasa lebih unggul? Anda menginjak-injak perasaan tulus seseorang dan menghancurkan masa depan seorang adik kelas yang penuh bakat…”

Kata-katanya seperti malaikat maut yang melihat segala sesuatu.

“Sudah kubilang, itu bukan aku!!”

“Sepertinya kita memang takkan bisa saling memahami. Tapi... syukurlah.”

“Begitu, ya. Aku juga berpikir begitu. Sungguh wanita menyebalkan. Kalau memang aku pelakunya, tunjukkan buktinya!”

“Baik. Aku akan menghakimimu. Apa pun yang terjadi.”

“Silakan coba saja. Tapi menurutku, itu usaha sia-sia.”

Aku sungguh ingin membanting ponsel ke tempat tidur.

“...Sungguh menyedihkan. Kau tidak sebanding dengan Aono Eiji.”

Kata-kata yang paling tak ingin kudengar diucapkan tepat di akhir sebelum telepon terputus.

Setelah panggilan berakhir, darahku mendidih.

“Diam! Aku itu...!”

Aku menarik keluar piagam penghargaan dari lomba sastra yang selama ini kuanggap lambang dari bakatku—lalu merobeknya dengan kasar.

Dan setelah melakukannya, yang tersisa hanyalah penyesalan tak terhingga.

Seakan aku baru saja menaiki tangga menuju tiang gantungan, rasa putus asa menelanku bulat-bulat.


Chapter 159 – Niat Tersembunyi Para Perempuan

—POV Ichijou Ai—

“Haa…”

Begitu telepon berakhir, aku tak bisa menahan diri untuk menghela napas.

Tapi lewat percakapan itu, aku jadi bisa memahami karakter asli Ketua Klub Sastra Tachibana.

Seseorang yang sangat percaya pada bakatnya sendiri. Dan sekarang aku tahu, dia telah kehilangan keyakinan itu. Karena itulah dia begitu agresif.

Kurasa dia benar-benar merasa iri pada bakat Aono Eiji. Itulah kenapa provokasiku berhasil.

“Kau tidak sebanding dengan Aono Eiji.”

Itu bukan hanya provokasi. Itu adalah isi hatiku. Aku bahkan sempat meminta buletin klub sastra dan membaca karya-karyanya.

Memang, ceritanya menarik. Tapi tetap saja, ia belum bisa menandingi Eiji. Dan aku tahu, dia pasti menyadarinya juga. Karena itu dia terlihat terguncang.

“Dengan ini, pasti dia akan mulai bergerak. Perketat pengawasannya.”

Kuroi mengangguk. Mengingat penyelidikan sudah mulai merambah ke klub sastra, pasti dia sedang panik. Dan kini, setelah kebenaran disodorkan langsung ke wajahnya oleh seseorang misterius yang nyaris mengetahui semuanya, dia tak punya pilihan selain mengambil tindakan.

Dengan kata lain, dia akan terpaksa bergerak. Ini seperti menancapkan pasak di jantung pertahanan musuh. Sekarang, kendali sepenuhnya ada di tanganku. Tachibana, yang selama ini bermain peran sebagai dalang dan menonton dari kejauhan, kini akhirnya kehilangan kendali.

**

—POV Ketua Klub Sastra Tachibana—

Aku tak bisa tidur.

Kenapa bisa ketahuan? Dan kenapa oleh perempuan asing yang bahkan tak kukenal? Siapa sebenarnya dia?

Apa yang harus kulakukan sekarang? Kalau semua terbongkar, aku pun akan tamat.

“Yang paling mencurigakan adalah pengkhianat dari klub sastra, kan? Tapi selain itu, mungkin Ikenobu Eri? Amada Miyuki? Atau mungkin salah satu siswi yang hampir kena hukuman akibat kasus ini? Aku tidak tahu. Makin kupikirkan, makin menakutkan rasanya.”

Tapi tidak, aku akan baik-baik saja. Satu-satunya bukti yang bisa memberatkanku adalah percakapan pesan dengan Kondo. Tapi aku sudah menghapusnya. Tidak bisa dipulihkan. Jadi tidak mungkin aku akan tertangkap.

Meski begitu, kenapa aku masih merasa ketakutan seperti ini?

“Tidak apa-apa. Aku sudah membuang Kondo. Semua kesalahan bisa kusalahkan padanya. Kalau klub sastra mulai diselidiki, aku tinggal korbankan seseorang. Aku kan tidak langsung terlibat. Jadi pasti bisa lolos. Lagipula, ada perempuan lain di klub sastra yang lebih dekat dengan Kondo daripada aku. Demi menyelamatkan diri, aku bisa manfaatkan dia. Aku juga pernah menyuruhnya untuk menjebak Amada Miyuki agar mendekati Kondo. Semua itu bisa jadi senjata. Toh, tak ada bukti. Aku bisa putar balik semuanya.”

Dengan suara bergetar, aku terus mengulang kata-kata itu, seolah menenangkan diriku sendiri.

Malam-malam tanpa tidur ini… akan terus berlanjut.

**

—POV Ikenobu Eri—

Sekarang aku tahu segalanya. Memang tak ada bukti. Tapi aku tidak membutuhkannya.

Aku sudah kehilangan segalanya, jadi tidak ada lagi yang kutakuti.

Kondo juga… akan kehilangan segalanya, termasuk sepak bola. Kalau begitu, akulah yang harus membebaskannya. Dia takkan sanggup menghadapi neraka setelah ini…

Kalau begitu, aku harus mengakhiri semuanya. Itulah wujud cintaku.

Dan perempuan itu juga—yang dengan sengaja dan jelas-jelas menghancurkan hubunganku dengan Kazuki.

Dia telah merusak masa depan cerahnya. Maka dia harus menerima balasan yang setimpal.

Saatnya bersiap. Bersiap untuk mengakhiri semuanya…


Chapter 160 – Ketua Klub yang Terpojok

—Sudut Pandang Ketua Klub Sastra Tachibana—

Akhirnya aku hampir tidak tidur semalam.

Bahkan untuk bangun saja terasa sulit, tapi aku tetap memaksakan diri untuk bersiap ke sekolah. Hari ini aku harus masuk. Kalau tidak, anggota klub bisa tercerai-berai.

Itulah sebabnya, meski harus memaksa diri, aku tetap harus bergerak.

Aku menelan sarapan seadanya, lalu berangkat ke sekolah. Di luar, hujan rintik-rintik turun.

“Apa yang harus kulakukan? Pertama, ke ruang klub... Tidak, itu tidak bisa. Setelah menerima telepon aneh itu, bisa saja ruang klub sudah dipasangi alat penyadap. Bahkan mungkin sudah ada pengkhianat di dalam klub. Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah tidak bisa mempercayai siapa pun…”

Jantungku berdegup tak karuan.

Saat sudah hampir sampai di gerbang sekolah, aku mengalami anemia dan jatuh pingsan.

Tidak boleh berhenti. Aku tidak bisa membiarkan semuanya berakhir di sini.

“To...long…”

Tanpa sadar, kata-kata lemah keluar dari mulutku, memohon bantuan.

“Kau tidak apa-apa?”

Terdengar suara seorang siswa laki-laki.

“Ya…”

Penglihatanku kabur, aku tidak bisa melihat siapa dia.

“Akan kubawa ke UKS. Ada yang bisa bantu...?”

Terdengar suara beberapa siswa dan guru yang mendekat. Aku diangkat ke atas tandu, dan kesadaranku menghilang.

**

—UKS—

Langit-langit putih dan bau obat-obatan.

“Kau tidak apa-apa?”

Suara guru UKS terdengar jelas.

Sepertinya aku ada di UKS.

Aku hampir menutup mata lagi, tapi segera teringat situasi yang sedang kuhadapi, lalu terlonjak bangun.

“Sekarang jam berapa?”

Menanggapi pertanyaanku, guru Mitsui menjawab dengan suara lembut, “Hampir jam berakhir pelajaran pertama. Sepertinya kau pingsan karena anemia. Istirahatlah dulu sebentar.”

Aku langsung merasa ngeri.

Aku telah melakukan kesalahan. Tadi aku berencana menegaskan kendaliku atas anggota klub sastra sebelum aktivitas sekolah dimulai. Tapi sekarang semuanya kacau. Rasa cemas mulai menyelimuti pikiranku.

“Maaf ya. Aku akan hubungi wali kelasmu, jadi tolong tetap istirahat di sini sebentar, ya.”

Setelah berkata begitu, beliau meninggalkan ruangan, meninggalkanku sendirian di atas ranjang UKS.

“Apa yang harus kulakukan… Tidak, sekarang semua pelajaran sudah dimulai, dan aku nyaris tidak punya pilihan tersisa. Aku juga tidak bisa memanggil mereka secara paksa—itu akan mencurigakan.”

“Dalam kondisi ini, aku hanya bisa fokus pada penyelidikan terhadap diriku sendiri dan mencoba menebus semuanya nanti saat pulang sekolah.”

Aku memaksakan diri untuk berpikir positif, tapi tubuhku terus gemetar karena ketakutan. Apa yang sedang kulakukan? Betapa memalukannya. Seolah aku sendiri mengakui kalau aku tak punya bakat.

Aku melihat siluet seseorang di balik tirai UKS. Siapa itu?

Aku refleks siaga.

“Permisi. Aku tadi lupa buku pelajaran di sini, jadi aku ambil dulu. Eh, guru UKS-nya nggak ada ya…”

Dan yang muncul adalah siswa laki-laki yang paling tidak ingin kutemui.

Aku sempat ingin bersembunyi, tapi tak ada tempat untuk menyembunyikan diri.

Dia—orang yang telah merebut semua yang kuinginkan—melihatku, lalu terpaku.

“Ketua Klub…?”

“Eiji-kun…?”

Pertemuan yang tak terduga itu membuat pikiran kami kacau, dan kami hanya bisa berdiri membeku di tempat.


Previous Chapter | Next Chapter

2

2 comments

  • Feldway
    Feldway
    28/6/25 22:52
    Emang ni wn ada genre psikologis nya
    Reply
  • Jio
    Jio
    28/6/25 01:37
    Ngeri ngeri kek baca novel thriller gw saking serunya
    Reply



close