NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kasshoku Musume no Latina-san ni Ore no Karada ga Nerawa re te Iru V1 Chapter 7 - 13

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


Chapter 7 - Bisa Kena Nih

==============================================


"……Ngomong-ngomong, dari mana kau tahu alamat rumahku, Lati?"


Aku bertanya pada Lati saat kami berjalan menuju kamarku.


"Katagiri yang memberitahuku."


"Ah, iya. Waktu SMP dulu, kalau aku sakit atau lupa membawa pulang lembar tugas, dia sering mengantarkannya ke rumah."


Bukan cuma aku, tapi dia melakukan itu untuk seluruh kelas. Katanya, itu sudah sewajarnya dilakukan sebagai ketua kelas, tapi jelas itu merepotkan. Aku masih bingung apakah harus menghormatinya atau merasa heran dengan kesungguhannya yang luar biasa.


"Ooh! Jadi ini kamar Makoto, ya? Ada banyak sekali manga dan novel!"


Begitu masuk ke kamarku, itu adalah hal pertama yang dikatakan Lati.

Memang, hampir semua uang jajanku habis untuk membeli manga dan light novel yang kini tertata rapi di rak.


Tentu saja, di luar itu, ada koleksi manga 'khusus' yang tersembunyi di dalam laci meja dan di dalam smartphonku. Aku harus memastikan itu tetap aman dari deteksi.


"Sayangnya, aku dapat tugas tambahan dari guru matematika. Jadi aku harus mengerjakannya sekarang."


"Oh, begitu."


"Maaf, ya."


"Tidak apa-apa! Bisa bersama Makoto saja sudah membuatku senang."


Lati tersenyum cerah saat mengatakan itu.


"…Oh, begitu."


Aku sedikit gugup mendengar kata-kata yang begitu tulus.


"Kalau kau bosan, ambil saja buku dari rak dan baca sesuka hatimu."


"Baiklah! Semua ini terlihat menarik!"


Setelah berkata demikian, Lati mengambil sebuah manga dari rak, lalu membaringkan diri di tempat tidurku untuk membacanya.


(Ayo, saatnya mengerjakan tugas.)


Aku pun membuka buku soal dan mulai mengerjakan tugas.


□□


"Ohh! Ini alurnya menegangkan sekali!"


Lati tampaknya benar-benar menikmati manganya. Sementara itu, aku cukup terkejut karena ternyata aku bisa tetap fokus pada tugas matematika meski Lati ada di dekatku.


(Mengejutkan, aku bisa berkonsentrasi meski Lati ada di sini!)


Biasanya, kalau melihat Lati, naluri laki-lakiku langsung bergejolak seperti menghadapi musuh bebuyutan. Tapi kali ini, entah kenapa, aku bisa tetap tenang.


(Ah, mungkin ini karena rasa nyaman.)


Ada teori yang mengatakan bahwa dorongan seksual pria meningkat dalam situasi genting, sementara wanita justru meningkat saat merasa aman.


Ini karena pria, saat menghadapi bahaya, memiliki naluri untuk menyebarkan keturunannya secepat mungkin, sementara wanita memprioritaskan lingkungan yang aman untuk melahirkan.


Jadi, dibandingkan dengan suasana sekolah yang terbuka, kamar pribadiku adalah tempat yang aman, dan karena itu dorongan seksualku jadi lebih terkendali.


(Lati juga sudah begitu santai di sini, ya…)


Seolah-olah ini adalah rumahnya sendiri, ia terlihat begitu nyaman.

Kalau dia malah tegang, aku juga bakal ikut tegang, jadi sikapnya ini cukup membantu.


(...Tapi tetap saja, kalau sudah nggak ngerti, ya tetap nggak ngerti.)


Aku mulai mandek di soal ketiga. Hah, dulu di SMP, aku nggak pernah mengalami kesulitan seperti ini. Aku bisa menyelesaikan PR dengan cepat, lalu masih punya waktu untuk latihan basket.Lalu—


"Makoto-chan! Ibu mau pergi belanja sebentar, ya!"


Terdengar suara ibuku dari lantai bawah.


"Oke!"


Aku menjawabnya santai. 


Ibuku kalau pergi ke supermarket, walau niatnya cuma beli satu-dua barang, biasanya baru pulang setelah lebih dari satu jam. Dia tidak boros atau suka membeli barang yang nggak perlu, tapi katanya, melihat-lihat barang itu menyenangkan baginya.


Aku sendiri nggak ngerti sama sekali kenapa itu bisa menyenangkan.


(Hm… Jadi aku bakal berdua saja dengan Lati di rumah untuk sementara, ya…)


Lalu, aku menyadari sesuatu yang sangat serius. Sesuatu yang benar-benar tidak boleh aku sadari.


(……Tunggu, kalau kupikir-pikir… Kalau aku mau, aku bisa beneran 'ngelakuin' sama Lati sekarang!?)


"Hn? Ada apa?"


Lati mengangkat wajahnya dari manga dan menatapku, melihatku yang tiba-tiba membeku seperti patung.


"Ah, nggak, nggak ada apa-apa."


"Oh, begitu?"


Lati kembali membaca manga.


(…Ini gawat. Situasinya benar-benar sudah siap.)


Berduaan di kamar. Tempat tidur ada di dekatku. Orang tua tidak akan pulang dalam waktu dekat. Dan yang lebih penting, kalau aku mengajak, Lati pasti tidak akan menolak. Aku mungkin masih punya moral yang lebih ketat dibanding Katagiri, yang berprinsip bahwa ‘siswa SMA harus menjauhi hubungan seksual.’ Tapi di sisi lain, aku juga tidak sepenuhnya menolak.


(…Sial, kenapa malah jadi kepikiran begini!?)


Barusan aku bisa tenang, tapi sekarang dorongan seksualku mulai bangkit kembali. Tolonglah, tetap tenang.


Jika ini adalah hubungan cinta biasa antara dua siswa SMA, mungkin tidak akan jadi masalah besar.


Tapi ini Lati yang kita bicarakan! Begitu aku melakukan sesuatu dengannya, masa depanku bisa langsung berubah, atau lebih buruk lagi—hidupku bisa tamat!


(Aku harus bertahan…!)


Apa pun itu, selama ini aku sudah berhasil melewati berbagai godaan yang dilancarkan oleh Latina. Memang, ada kalanya aku selamat hanya karena kebetulan ada sesuatu yang menghentikannya, tapi tetap saja.


“Oh, jadi begini caranya ya!”


Untungnya, saat ini Latina sedang asyik membaca manga. Kalau begini, aku masih bisa bertahan...


“Eeh, volume berikutnya ada di mana ya?”


Latina mengulurkan tangannya ke rak buku. Karena itu, dia jadi membelakangiku sambil berlutut di atas tempat tidur....Pasti rasanya luar biasa kalau aku menenggelamkan wajahku di pantat cokelat montok itu.


(Hah!? Tidak, tidak boleh!)


Sial!!


Justru karena dia tidak menggoda, sikapnya yang tidak waspada ini jadi kelihatan sangat erotis!! Bagian lain dari diriku sudah benar-benar siap bertarung, menyiapkan diri di balik celana sambil berkata, 


"Yang Mulia, aku siap berangkat kapan saja!"


Kumohon, menghilanglah sebentar.


(Aku tidak boleh melihat Latina!)


Aku mengalihkan pandangan ke buku soal. 


Konsentrasi. 


Setidaknya, saat ini Latina tidak sedang memelukku seperti biasanya. Jadi, kalau aku tidak melihatnya, tidak akan ada masalah.


Aku pun mencoba mengerjakan soal...


(Tidak bisa, aku tetap tidak paham soal ini!)


Lalu...Gairahku malah semakin meningkat.


(Sial, aku lupa! Aku selalu jadi begini setiap kali menemukan soal yang tidak bisa kupecahkan!)


Setiap kali aku belajar di rumah dan menemukan soal sulit, aku pasti akan melakukan ‘itu’. Akhirnya, aku tidak pernah bisa benar-benar menyelesaikan tugas.


Karena itu, darah pun semakin terkonsentrasi ke bawah. Tanpa sadar, aku melirik ke arah Latina.Di atas ranjang, tubuhnya yang begitu menggoda terbujur dengan santai.


Gunung kembar besar yang seperti menentang gravitasi, pinggul besar yang menekan kasur hingga sedikit berubah bentuk, dan garis pinggangnya yang melengkung seperti jam pasir. Lengan dan kakinya yang panjang, hingga model profesional pun pasti akan minder melihatnya.


Tubuh ini...


Kalau aku mau, aku bisa melakukan apa pun yang kumau saat ini juga.

Aku bisa meremas tubuh Latina sepuas hati, dan memasukkan punyaku ke dalam ‘wilayah tak tersentuh’ yang belum pernah dijamah siapa pun, lalu menggerakkan pinggulku sesuka hati.


—Kenapa aku membayangkannya dengan resolusi setinggi ini!?

Sial, hentikan! Aku benar-benar akan ingin melakukannya kalau begini!! Kalau aku sampai melakukannya, hidupku tamat!! Bagian lain dari diriku sudah mulai bergoyang sendiri di balik celana, seakan bernyanyi, 


"Hidup manusia hanya lima puluh tahun, dibandingkan dengan alam semesta yang abadi~."


Kau bukan Oda Nobunaga, dasar tolol!!


(A-Aku harus ke toilet, lalu melakukan ‘itu’ dulu!)


TLN : Belajarnya belajar ng*ocok


Aku tidak akan bisa bertahan kalau begini terus. Namun, tepat ketika aku memutuskan itu—


“Makoto~.”


Tiba-tiba, Latina sudah berada di belakangku dan menepuk pundakku.


(Sial! Apa dia menyadari kalau aku sudah di ambang batas!?!?)


Habis aku! 


Kondisiku sudah seperti bendungan yang hanya butuh satu tetesan air lagi untuk jebol. Kalau dalam situasi ini Latina tiba-tiba melakukan body touch seperti biasanya—atau lebih tepatnya, body attack—aku pasti akan kehilangan akal dalam sekejap.


Keringat dingin mulai mengalir di dahiku. Namun, Latina malah mengatakan sesuatu yang tidak kuduga.


“Kau kesulitan mengerjakan tugasnya?”


“Hah? Oh, eh... Yah, ada beberapa soal yang sulit kupahami.”


Ternyata, dia hanya khawatir karena aku tidak banyak menulis sejak tadi. Gadis yang baik...


Sial, aku jadi merasa bersalah karena tadi cuma mikirin hal mesum.


“Begitu ya”


Latina berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata,


"Kalau begitu, aku juga akan membantu. Kita bagi dua, lalu tinggal salin jawabannya saja!"


"Hah? Eh, itu boleh dilakukan?"


"Ada masalah?"


"Ya, maksudku... menyalin jawaban tanpa mencoba mengerjakannya sendiri dari awal, dan bahkan meminta separuhnya dikerjakan olehmu... entahlah, rasanya seperti sesuatu yang tidak boleh dilakukan."


Entah kenapa, aku merasa ini bukan ide yang baik. Lagipula, tugas ini diberikan karena nilai-nilainya memang sudah jelek. Kalau aku tidak berusaha memecahkannya sendiri dan belajar, bukankah itu sama saja tidak ada gunanya? 


Namun, Latina menunjuk soal yang tadi sudah kucoba kerjakan tapi tidak berhasil.


"Bagian ini menggunakan materi yang sudah kita pelajari sebelumnya."


"…Sepertinya begitu."


"Tapi, Makoto belum memahami materi yang dipelajari sebelumnya. Jadi, mencoba mengerjakan ini sekarang hanya akan membuang-buang waktu."


"Ugh... yah, memang sih."


Memang benar.


Tadi aku sempat mencoba membaca kembali buku pelajaran untuk memahami soal ini, tapi tetap tidak mengerti. Bahkan aku sendiri sadar kalau belum memahami konsep dasarnya.


"Kalau begitu, lebih baik kita cepat menyelesaikannya dan gunakan waktunya untuk belajar bagian yang belum kau mengerti."


"……"


"Ada apa?"


"Nggak, cuma... Lati, kau itu hebat ya."


"?"


Latina hanya menatapku dengan kepala sedikit miring, seolah tidak mengerti maksudku.


"Kau tidak terikat oleh cara berpikir biasa... yah, sih, kau memang tidak tahu cara berpikir kami sejak awal, jadi itu wajar."


Latina biasanya ceria dan agak ceroboh, tapi terkadang dia mengatakan hal-hal yang benar-benar masuk akal seperti ini. Mungkin karena dia berasal dari dunia yang berbeda—dunia yang lebih keras, di mana hidup dan mati ada di depan mata, dan basa-basi tidak ada artinya. Atau mungkin ini memang sifat alaminya.


Aku tidak tahu.


Tapi bagiku, yang pikirannya tidak sefleksibel itu... aku hanya bisa mengaguminya.


"Baiklah, kalau begitu aku akan minta bantuanmu. Maaf ya, Lati, tolong kerjakan separuhnya."


"Kita ini suami istri, jadi tidak usah sungkan~!"


"Eh, kita bukan suami istri, tahu? Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membalas budi?"


Aku bukan tipe orang yang bisa menerima bantuan begitu saja tanpa melakukan apa pun sebagai balasan.


"Oh, kalau begitu..."


Tiba-tiba.


"Yokkoi-sho."


Latina mulai melepas pakaiannya satu per satu.


"KENAPA!?"


Dalam sekejap, dia sudah melepas semuanya, sampai hanya menyisakan tubuh polosnya. Aku terdiam, terpaku oleh pemandangan tubuh cokelat eksotis yang benar-benar tanpa sehelai benang pun.

Antara terpesona oleh keindahannya, terkejut, dan panik, otakku hampir berhenti bekerja. Dengan ekspresi penuh percaya diri, Latina pun berkata,


"Sebagai balasannya, bayar di muka dengan tubuhmu!!"


"Permintaannya terlalu langsung, woy!?"


Seolah tidak peduli dengan kebingunganku, Latina semakin mendekat, masih dalam keadaan telanjang bulat.


"Ayo, ayo, Makoto juga telanjang~"


"Tunggu, hentikan!! Lagipula, kalau pria yang bilang, 'Aku bantuin tugas, tapi kau harus tidur denganku,' itu bisa langsung masuk penjara!!"


"Tapi aku ini gadis cantik, jadi mungkin tidak akan ditangkap~"


"Ini ketidakadilan gender yang luar biasa!?"


"Ngomong-ngomong, dari tadi punyamu juga sudah semangat sekali, kan~?"


Sambil berkata begitu, Latina melirik ke arah celanaku yang sudah menegang maksimal.


(Sial!! Jadi dia sadar dari tadi!?)


Ini buruk!!


Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, kalau dalam situasi ini Latina mulai menyentuhku seperti biasanya—atau lebih tepatnya, melakukan body attack—maka kesadaranku akan langsung menghilang dalam sekejap!


"Fufufu..."

Latina terus mendekat perlahan, langkah demi langkah.

(T-tidak ada celah... Mata itu seperti pemburu yang sedang mengincar mangsanya.)

Sial, aku tamat. Selamat tinggal berbagai kemungkinan dalam hidupku. Namun, tepat pada saat itu—

Terdengar suara pintu depan terbuka dengan keras.

(Cepat sekali... Apa Ibu sudah pulang? Aku selamat!!)

Namun—

"Permisi, aku masuk, Itou-kun."

Yang muncul bukan ibuku, melainkan Katagiri, si ketua kelas berkacamata.

"KENAPA!?"

□□

"Permisi, aku masuk, Itou-kun."

Aku terpaku mendengar suara Katagiri dari arah pintu depan.

(...Tunggu, kenapa Katagiri ada di rumahku?)

Apalagi, dia masuk begitu saja tanpa mengetuk. Memang sih, kami sudah saling kenal sejak tahun pertama SMP, tapi ini bukan cerita romcom di mana kami saling memiliki kunci cadangan rumah satu sama lain. Kami tidak sedekat itu.

(...Tapi tetap saja, dalam situasi ini, kedatangannya adalah berkah.)

Aku segera berkata pada Latina, yang masih telanjang bulat dan mendekatiku.

"Lati, Katagiri datang. Kita hentikan dulu, ayo pakai baju."

Namun, Latina sama sekali tidak menunjukkan niat untuk berpakaian.

"Mari kita minta dia tunggu sebentar. Tidak apa-apa, mungkin hanya butuh satu ronde saja dan kita selesai."

Dia bahkan semakin mendekat.

"Ruangan ini tidak punya kedap suara yang bagus, tahu!?"

"Aku naik, ya~"

Aku mendengar suara Katagiri melepas sepatunya dan naik ke dalam rumah.

"Itou-kun ada di kamarnya, bukan?"

Lalu, suara langkah menaiki tangga terdengar semakin mendekat.

(...Sial, ini bahaya.)

Aku sedang berada di kamarku bersama seorang gadis telanjang.
Jika Katagiri melihat ini, dia pasti akan berteriak histeris dan membuat keributan besar.

TOK TOK

Pintu diketuk.

"Itou-kun, kau ada di dalam, kan?"

"A-ah, iya."

"Aku buka, ya."

"T-tunggu sebentar!"

Namun, sebelum aku sempat menghentikannya, gagang pintu sudah diputar. Tepat di depan mataku, Latina masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun.

Sial!! Kalau sudah begini...!!

"Lati, cepat ke sini!"

"Ouh?"

Aku langsung menarik tangan Latina dan menyembunyikannya di bawah meja. Sayangnya, tidak ada tempat lain untuk bersembunyi di kamarku. Sekalian, aku juga menyapu pakaian Latina dengan kakiku dan menyeretnya ke bawah meja.

(Semoga cukup waktu!!)

Setelah itu, aku duduk kembali di kursi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Klik.

Pintu terbuka.

"…Huh?"

Seperti biasa, Katagiri muncul dengan seragam sekolah, kacamata, dan rambutnya yang diikat ponytail. Wajahnya tetap cemberut seperti biasa, tapi kontras dengan sikapnya yang kaku, dadanya terlihat cukup lembut dan menggoda.

"Y-yo, Katagiri."

"Kau belajar di rumah? Apa kau akhirnya mulai hidup dengan lebih bertanggung jawab?"

"Hahaha, yah, bagaimanapun aku ini siswa sekolah unggulan, jadi setidaknya harus berusaha sedikit."

S-selamat.

Aku menghela napas lega sambil menyeka keringat dingin di dahiku.
Dari posisi Katagiri yang berdiri di pintu, bagian bawah meja tidak terlihat.

Saat ini, di bawah meja ada Latina yang masih telanjang bulat. Tapi kalau tidak terlihat, maka tidak ada masalah.

"S-sudah, jadi ada urusan apa?"

"Bukan urusan apa-apa, ini soal tugas bahasa Jepang. Kau meninggalkan print-nya di meja."

Katagiri mengeluarkan lembar tugas dari tasnya dan menyerahkannya padaku.

"Di jalan aku bertemu dengan ibumu, jadi dia meminjamkan kunci rumah ini. Seperti biasa, beliau orang yang tenang dan menyenangkan."

Begitu rupanya.

Yah, Katagiri memang punya kesan baik di mata orang tua. Sejak SMP, ibuku sangat percaya padanya. Faktor lainnya mungkin karena lingkungan di sini tidak seketat kota besar, dan ibuku juga cukup santai dalam hal seperti ini. Kepercayaan itulah yang membuatnya bisa memberikan kunci rumah tanpa ragu.

Aku menerima print dari Katagiri sambil berkata,

"Oh, begitu ya. Terima kasih, kau boleh pulang sekarang."

"Hei, sikap macam apa itu setelah aku repot-repot membawakannya?"
Katagiri cemberut.

"Ah, maaf, itu memang kurang sopan. Jadi, kau boleh pulang sekarang."

"Ya, memang urusanku hanya ini, jadi aku akan pulang."

"Bagus, silakan pulang."

"Kenapa kau begitu ingin aku cepat pergi!?"

Aku tahu ini sikap yang kurang ajar, tapi sejujurnya, aku benar-benar ingin dia segera pergi.

"…Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?"

Katagiri menatapku dengan mata penuh kecurigaan.

"H-hahaha, apa maksudmu? Katagiri, memulai sesuatu dengan kecurigaan itu tidak baik, tahu. Prinsip presumption of guilt adalah penyebab utama dari banyak kasus wrongful conviction."

"…Wrongful conviction, ya. Kau benar, itu pemikiran yang salah."

"Itu dia… dan jangan angkat tanganmu untuk menamparku!"

Aku buru-buru menghentikan Katagiri, yang sudah mengangkat tangan seolah siap menampar pipiku.

"Jadi ya, tidak ada apa-apa di sini. Aku hanya ingin fokus belajar, jadi lebih baik kau pulang—"

Saat itu juga.

(…Eii!)

Tiba-tiba, di bawah meja, Latina menyentuh 'diriku yang lain' dengan jari telunjuknya.

"Hyo-wan!?"

Sentuhannya ringan, tapi karena aku tadi sudah hampir mencapai batas, tubuhku masih sangat sensitif. Ditambah lagi, fakta bahwa Latina yang telanjang menyentuhnya membuat sensasi itu langsung menembus ke otakku, menghasilkan suara aneh dari mulutku.

"Hyo-wan?"

"Ti-tidak, tidak ada apa-apa!"

Aku melirik ke bawah meja dan berbisik kecil.

(…Hei, Latina, apa yang kau lakukan!?")

(Soalnya, itu ada di depan mataku, jadi aku… reflek.)

Reflek!?

Sial, Katagiri jadi semakin curiga!!

"Err, aku cuma kesemutan, hahaha."

"…Kalau begitu, yang ada di lantai itu apa?"

…Lantai? Aku mengikuti arah pandangan Katagiri dan—

Di sana, tergeletak celana dalam Latina yang tertinggal di lantai.
S-sial!? Saat tadi aku menyapu pakaiannya dengan kakiku ke bawah meja, aku ternyata melewatkan satu!

"E-eh, itu…"

Sial, aku harus mencari alasan!

Bilang ini milik ibuku? Tidak masuk akal, kenapa bisa ada di kamarku?
Mengaku kalau itu koleksi pribadiku? Itu bakal menghancurkan reputasiku.

Brengsek, harus bagaimana!?

(…Open Sesame.)

Sementara aku masih panik, Latina perlahan menarik resleting celanaku dari bawah meja.

Rudalku pun langsung terpapar udara luar dengan keras dan tegang.

(……OIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!?)

(Seperti yang kuduga, sungguh luar biasa deesu~)

Dengan mata berbinar penuh kegembiraan, Latina menatap Rudalku.

"…Dari tadi pandanganmu sering mengarah ke bawah, ya. Aku masuk sebentar."

Katagiri melangkah masuk ke kamarku dari lorong.

"Ti-tidak, itu cuma perasaanmu saja!! Nih, aku mau fokus belajar, jadi cepat keluar! Aduh, kalau gara-gara Katagiri aku nggak bisa fokus dan dapat nilai merah, bisa repot nih~"

"…Begitu ya. Itu memang keterlaluan. Haruskah aku melakukan seppuku?"

"Nggak, hargailah nyawamu sedikit lebih baik. Cukup pulang dengan normal saja."

Oke, seperti yang kuduga, cara bicara yang memicu rasa bersalah memang sangat efektif. Meski aku merasa sedikit bersalah karena menggunakan cara licik ini. Tapi, dengan ini aku bisa melewati situasi ini…

(Fuu~)

Latina menghembuskan napas ke arah Rudalku.

(Ooooooooooooooooooooooooooooooon!!)

TLN : Woilah cik berasa gelinya ke gw e :v

Sensasi yang jauh lebih erotis dari sebelumnya menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku refleks menengadah dengan kuat. Dan akibat dorongan itu…

BAM!!

Aku terjatuh ke belakang bersama kursi.

"Fuu, tempat sempit itu bikin sesak, aku nggak suka deesu~"

Sambil berkata begitu, Latina yang telanjang bulat merangkak keluar dari bawah meja. Dan dari posisiku yang tergeletak telentang, burungku yang sudah mengeras maksimal menyembul dari celana.

"……"

Katagiri membeku dengan mulut ternganga.

"…Tunggu, ini bukan seperti yang kau pikirkan…"

"K-Kau menyuruhnya melakukan pelayanan f◯la di bawah meja!?"

Yah, memang kelihatannya begitu…

"Sambil berbicara denganku, kau terus menggempur tenggorokannya dan berkata, 'Ayo, ayo, kalau tersedak, bakal ketahuan, lho~?'—kau menggunakan kata-kata kasar untuk memuaskan nafsu superioritas dan hasrat dominanmu! Tak tahu malu!!"

"Aku juga merasa aneh kalau kau bisa membayangkan sejauh itu dalam sekejap!?"

Dan untuk meluruskan kesalahpahaman ini, aku butuh waktu tiga hari dengan total lebih dari sepuluh jam penjelasan. Kalau Latina tidak membantuku, aku pasti takkan bisa menyelesaikan PR-ku.

Akhir pekan yang sibuk, memang.


Chapter 8 - Master
==============================================

Saat istirahat siang, aku dipanggil ke belakang gedung gym.

Kalau ini ajakan dari seorang gadis, tentu saja hatiku akan berdebar penuh harapan. Sayangnya, yang menungguku di sana adalah seorang siswa laki-laki.

"…Jadi, ada apa kau memanggilku?"

Aku menatap anak itu dari bawah. Meskipun kami seangkatan, aku harus mendongak untuk bisa menatap matanya.

Sakuraba Seiya.

Orang yang memiliki hubungan pahit denganku.

Kabarnya dia adalah blasteran dari seseorang asal negara Nordik atau semacamnya. Meski masih kelas satu SMA, tinggi badannya sudah lebih dari 190 cm. Sekilas tubuhnya tampak ramping, tapi sebenarnya, di baliknya tersembunyi otot-otot kuat dan lentur bagaikan anyaman serat logam.

Ditambah lagi, wajahnya juga tampan dengan bulu mata panjang dan hidung mancung, serta selalu menempati peringkat atas dalam akademik.

Bajingan yang terlalu sempurna ini… adalah penyebab aku keluar dari klub basket. Baru saja aku bergabung dengan klub, aku sudah kalah telak dalam 1-on-1 melawan monster ini. Dan yang lebih menyakitkan, dia bahkan belum pernah serius bermain basket selain saat pelajaran olahraga.

"……"

Sakuraba menatapku dari atas dengan diam.

(Jujur saja, berdiri di hadapannya seperti ini saja sudah membuatku teringat kejadian waktu itu dan bikin mual. Jadi kalau ada yang mau dibicarakan, cepatlah—)

"…Itou-kun."

Akhirnya, dia buka suara. Dan sialnya, suaranya juga terdengar bagus.
Lalu, pria jangkung itu mulai merunduk… menurunkan kepalanya hingga sejajar denganku… lalu lebih rendah lagi… Hingga akhirnya, dia menempelkan dahinya ke tanah.

"Tolong izinkan aku memanggilmu ‘Master’!!"

Di hadapanku, dia memperlihatkan dogeza yang begitu sempurna.

"…Hah?"

□□

Aku masih ingat dengan jelas.

Di SMP, aku cukup dikenal sebagai pemain berbakat. Namun, begitu masuk SMA, aku langsung merasakan perbedaan bakat yang begitu kejam.

Aku, yang selama ini hidup untuk basket, tidak bisa berbuat apa-apa melawan orang yang bahkan belum pernah bermain dengan serius.

Aku hanya bisa bertumpu pada lantai dengan tangan dan lututku, menatap ke atas ke arah jenius yang berdiri tegak, menatapku dari atas dengan tatapan tanpa emosi…



(…Kenapa si jenius ini sekarang menggosokkan dahinya ke tanah di depanku?)

Aku tidak bisa merasakan apa pun selain kebingungan.

"Eh, eh… kenapa tiba-tiba begini, Sakuraba?"

"Tolong ajari aku, Master!!!!"

"Untuk sekarang, angkat dulu kepalamu."

"Aku bersujud seperti ini, Master!!"

"Kalau benar-benar ingin menjadikanku Master, dengarkan dulu perkataanku…"

"Maaf, maaf, maaf!! Tolong ampuni aku!!"

Sakuraba terus menggesekkan kepalanya ke tanah seakan-akan ingin menggali lubang dengan dahinya.

"Aku mengampunimu, oke!? Lagian, aku juga gak menyalahkanmu!"

Aku tidak tahu dia ingin menjadikanku Master dalam hal apa, tapi yang jelas ini sudah mulai terasa merepotkan…

"Terima kasih banyak!! Seperti yang diharapkan dari Master, hatimu benar-benar lapang!!"

Dengan cepat, Sakuraba mengangkat kepalanya dari tanah. Sial, mukanya tetap tampan. Nyebelin banget.

"Lalu, apa yang ingin kau pelajari dariku?"

Baik itu basket maupun akademik, aku rasa tidak ada satu pun yang bisa kuajarkan padanya. Namun, jawaban yang keluar dari mulut Sakuraba benar-benar di luar dugaanku.

"Cewek!!"

Suaranya menggema lantang.

"…Hah? Cewek?"

Sesaat, aku mengira ada yang salah dengan pendengaranku. Tapi ternyata tidak.

"Padahal, hampir setiap hari kau dapat surat cinta atau ditembak oleh cewek?"

"Iya."

"Kau benar-benar ingin belajar dari aku, seorang cowok cupu yang belum pernah punya pacar dan masih perjaka? …Eh, kenapa aku malah ngomong gitu!?"

"Maaf, maaf, maaf!!"

Sakuraba kembali menggosokkan wajahnya ke tanah.

"Udah, udah! Gak perlu sampai sujud segala!"

"Terima kasih!!"

Begitu aku mengatakannya, dia langsung mengangkat wajah dan tersenyum cerah.

(…Orang ini sebenarnya mentalnya baja, ya?)

Aku memegang daguku dan berpikir sejenak.

"Tapi, serius. Aku benar-benar gak ngerti. Dari tampilan luar, kau pasti kelihatan seperti cowok yang punya banyak pengalaman dengan cewek."

"Enggak, aku masih perjaka."

"Serius?"

"Iya. Aku bahkan belum pernah punya pacar."

"Hah?"

Aku hanya bisa mengeluarkan suara penuh keterkejutan dan rasa tidak percaya.

"Kau sepopuler itu, tapi belum pernah pacaran? Aku bahkan dengar kau baru saja ditembak oleh cewek tercantik di kelas dua."

"Yah, begitulah… Sejauh ini, aku menolak semuanya."

"Jangan-jangan… kau suka sesama jenis? Atau mungkin sudah punya gebetan?"

"Nggak, aku suka cewek."

"Lalu, kenapa?"

"Aku suka cewek… tapi aku buruk dalam berinteraksi dengan mereka. Aku gak tahu harus bersikap seperti apa. Aku tumbuh dengan satu orang tua, dan saudara-saudaraku semua laki-laki."

"Oh, begitu…"

Aku mulai memahami maksudnya. Anak laki-laki seusia kami biasanya memang canggung dalam berinteraksi dengan cewek. Termasuk aku sendiri.

"…Aku benci dibenci orang."

Sakuraba berkata dengan nada serius.

"Begitu ada cewek di depanku, aku langsung kepikiran 'Jangan sampai keceplosan ngomong sesuatu yang salah atau bikin mereka ilfeel.' Aku jadi tegang dan rasanya pengen muntah."

"Ngerti, ngerti. Sebagai sesama cowok, aku bisa paham perasaan itu."

"Hanya saja, kalau setampan dirimu, sedikit kesalahan pun masih bisa dimaafkan karena dianggap sebagai daya tarik, kan?"

"Kalau ngobrol lebih dari dua menit dengan cewek, aku 100% bakal muntah."

"Itu beneran muntah!? Bukan cuma kiasan!?"

Gila, seriusan nih orang. Aku juga bukan tipe yang jago berurusan dengan cewek, tapi sampai muntah sih enggak.

"Lagian, kalau kau benci dibenci orang, bukannya menolak ajakan kencan juga bisa bikin mereka benci padamu?"

Mendengar pertanyaanku yang cukup sederhana, Sakuraba mengibaskan tangannya santai.

"Kau ngomong apa, sih? Kalau aku sampai begini hanya karena memikirkan kemungkinan dibenci, maka kalau aku benar-benar pacaran lalu nanti dibenci, aku mungkin bakal mati, tahu? Makanya aku lebih memilih menolak dengan sopan biar kerusakannya bisa diminimalkan."

"…Apa yang baru saja kau katakan?"

Aku nggak bisa menentukan apakah dia pengecut atau justru pemberani… Tapi setidaknya, daripada membiarkan sesuatu berlarut-larut, lebih baik langsung menolak dengan tegas.

"Itu satu hal. Tapi kenapa harus aku?"

Kalau di klub basket, pasti ada banyak anggota yang sudah punya pacar.

"Aku dengar dari anak kelas kita. Katanya, Master setiap hari dikelilingi cewek-cewek dengan dada terbesar di sekolah dan melakukan berbagai hal mesum."

"NGGAK ADA!! Aku masih perjaka, tahu!?"

Dari mana asal rumor absurd itu!?

"…Seriusan? Kalau begitu, kabar bahwa kau setiap hari menenggelamkan wajahmu ke dada cewek di kelas, atau memasukkan tangan ke dalam baju mereka di depan umum juga bohong?"

"Itu jelas…"

Aku hendak menyangkal, tapi tiba-tiba teringat kejadian di mana Latina selalu memelukku setiap hari, dan bagaimana Katagiri pernah memaksaku memasukkan tanganku ke dalam bajunya.

(Oh… itu memang pernah terjadi…)

Sekarang aku paham… Latina dan Katagiri memang memiliki dada terbesar di sekolah. Dan saat itu juga—

"Makkotooo!! Kau ada di sini rupanya!!"

Begitu istirahat makan siang dimulai, Latina tampaknya mencari-cari aku yang langsung menghilang dari kelas. Begitu melihatku, dia langsung melompat ke arahku.

"Uwoah!?"

Seperti biasa, aku tidak punya waktu untuk menghindar dan langsung ditindih olehnya.

"Aku sudah kenyang setelah makan siang. Sekarang waktunya latihan fisik untuk reproduksi!"

"Kenapa kamu ngajakin bikin anak dengan nada ceria begitu!?"

Latina meraih seragamku dan mencoba melepasnya, sementara aku mati-matian menahannya. Melihat interaksi yang sudah menjadi rutinitas ini—

"Su-sungguh luar biasa…"

Mata Sakuraba bersinar penuh kekaguman.

"Memang benar, hanya Master yang bisa menolongku! Tolong!! Tolong bantu aku agar bisa kencan dengan cewek dengan normal!!"

Sekali lagi, Sakuraba menggosokkan wajah tampannya ke tanah.

□□

"Baiklah. Mulai sekarang, kita akan mengadakan 'Pelatihan Mengatasi Fobia Cewek: Edisi Sakuraba Seiya'!"

"Hore!! Master memang nomor satu di Jepang!!"

Sepulang sekolah, kami datang ke ruang kelas kosong. Aku berdiri di atas podium, sementara Sakuraba duduk di kursinya dan bertepuk tangan.

"Woaaah!! Tepuk tangan!!"

"Kenapa aku juga harus ikut, sih…?"

Karena bantuan dari seorang cewek akan berguna dalam pelatihan ini, aku meminta Latina dan Katagiri untuk bekerja sama. Keduanya sekarang duduk dan menatapku.

"Yah, anggap saja ini misi menyelamatkan pemuda yang sedang mengalami masalah di masa pubertas."

Aku menenangkan Katagiri yang terlihat kurang senang.

"Ngomong-ngomong, Itou-kun kelihatan sangat bersemangat, ya? Sampai mengajak kami segala."

"Eh? Ti-tidak juga. Ini cuma karena sesama anggota klub basket dulu…"

Itu bohong. Sebenarnya, aku cukup menikmati ini. 

Sakuraba, yang telah mengalahkanku tanpa ampun di basket dan seharusnya jauh lebih unggul dariku, kini berlutut dan memanggilku "Master."

Jujur saja, rasanya cukup memuaskan.
Tak bisa dipungkiri, aku merasa cukup berkuasa. Tapi ya sudahlah.
Kalau aku bisa merasa senang sekaligus membantu orang lain, itu win-win solution, kan?

"…Jadi, besok kau ada janji kencan, kan?"

Aku bertanya pada Sakuraba.

"Iya."

"Lho, bukannya biasanya kau selalu menolak karena takut dibenci cewek? Kenapa sekarang malah menerimanya? Karena ceweknya cantik banget?"

"Yah, dia memang cantik sih… Tapi dia bilang, 'Kalau kau nggak bilang iya, aku akan membunuhmu.'"

TLN : TF, Yandere gitu? Malang banget nasibmu, nak.

"Kayaknya cewek yang kayak gitu justru lebih baik ditolak, deh?"

Tapi ya sudah. Kalau janji sudah dibuat, membatalkannya sekarang malah bakal lebih menyiksa bagi Sakuraba yang benci dibenci orang.
Makanya dia meminta bantuanku.

"Baiklah, kita latihan simulasi dulu. Latina, bisa bantu?"

"Haaai!! Sepertinya ini bakal seru!!"

Latina dengan semangat mengangkat tangan dan berdiri, lalu maju ke depan kelas.

"Pertama, kita mulai dari momen pertemuan. Sakuraba, coba bayangkan kau baru tiba di tempat kencan dan sapa Latina sebagai pacarmu."

"Siap!!"

Sakuraba berdiri dengan penuh semangat dan keluar dari kelas sejenak.

(Oke, kalau dengan metode ini, aku bisa menggunakan pengetahuanku dari internet untuk memberikan saran tanpa ketahuan kurang pengalaman.)

Kalau aku hanya memberikan teori dalam bentuk pelajaran biasa, mereka pasti akan menyadari betapa tipisnya pengalaman dan pengetahuanku.

Jadi, ini adalah ide yang cukup brilian.

"Baiklah, ayo mulai!"

Saat aku mengatakan itu, pintu kelas terbuka dengan suara berderit, dan Sakuraba masuk.

"Kemari, kemari desu!!"

Latina, yang berperan sebagai pasangan kencan, berpura-pura menjadi orang yang pertama kali melihat Sakuraba dan melambaikan tangan dengan senyum.

Saat itu juga. Aku merasakan sedikit rasa nyeri mencubit di dadaku.
Ketika melihatnya dengan saksama, Sakuraba benar-benar seorang pria tampan dengan perpaduan postur tubuh yang luar biasa dan wajah yang rupawan.

Bagaimana jika dengan melakukan kencan simulasi ini, Latina mulai menyukai Sakuraba?

Tidak, tidak, aku sendiri yang menolak Latina karena merasa tanggung jawab menjalin hubungan dengannya terlalu berat.

Aku tidak dalam posisi untuk mengkhawatirkan hal seperti itu.
Sakuraba berjalan dengan langkah panjangnya dan berdiri di depan Latina.

"Selamat pagi desu!! Cuaca cerah, ya!"

"Uweeehhhhhhhhhhhhhh!!"

Sakuraba muntah dengan deras layaknya bendungan yang membuka pintu air.

"Langsung muntah!?"

Aku segera berlari ke arah Sakuraba.

"Ti-tidak apa-apa, Master... Gebo gebo gebo"

Jelas dia sama sekali tidak baik-baik saja.

"Tunggu, tunggu, terlalu cepat! Setidaknya tahan dua menit, kan!?"

"Aku... aku menatap matanya..."

"Hanya karena itu!? Saat berbicara, kontak mata pasti terjadi, kan!?"

"Aku nggak mungkin bisa menatap mata cewek saat bicara... Biasanya aku cuma melihat ke langit-langit atau lantai..."

"Sikapmu buruk banget!? Kalau kau bukan cowok ganteng, kau pasti sudah dibenci cewek-cewek seperti kecoak!"

"Aku nggak mau dibenci... Gebo gebo gebo"

Yah, pokoknya, ini nggak akan bisa lanjut kalau begini.

"Kita harus membiasakan diri dulu. Mulai lagi dari awal!"

"O-oke..."

Meskipun tubuhnya masih lemah, Sakuraba berdiri dengan patuh dan bersiap lagi.

"Kau nggak apa-apa desu ka?"

Namun, Latina yang khawatir, menepuk pundaknya dengan lembut.

"Ce-ce-ce-ce... Cewek menyentuhku... Uweeeeehhhhhh!!"

Dia kembali muntah ke lantai.

(...Jalan masih panjang.)

□□

Begitulah, latihan simulasi kencan dimulai.

"Selamat pagi, Sakuraba-kun."

"...Hahh, hahh... Se-selamat pagi."

Pada percobaan ke-20, akhirnya dia berhasil melakukan kontak mata dan menyapa. Sebagai catatan, pemeran wanita berganti setiap kali, dan kali ini Katagiri yang menjadi pasangan.

"Heh, akhirnya Sakuraba mulai terbiasa."

Aku menghela napas lega, tapi—

"Nggak, ini cuma karena aku udah kehabisan isi perut buat dimuntahkan."

Sakuraba berkata dengan wajah pucat, tetapi dengan ekspresi penuh kebanggaan seakan telah mencapai sesuatu yang besar.

"O-oh begitu..."

Yah, yang penting kita bisa lanjut ke tahap berikutnya.

"Baiklah, selanjutnya adalah percakapan."

"Pe-percakapan? Baik, aku mengerti!"

Setelah berpikir sebentar, Sakuraba pun membuka mulutnya.

"Cu-cuacanya cerah, ya..."

"Iya, memang cerah."

"..."

"..."

Keheningan canggung melanda. Sakuraba berdiri dari kursinya dengan tiba-tiba.

"Master, maaf... Aku akan lompat dari atap sekarang."

"Tunggu, tunggu!? Jangan gegabah!?"

Aku buru-buru menangkapnya. Sial, tubuhnya besar, jadi dia lumayan kuat juga.

"Keheningan itu menakutkan... Situasi canggung... Menakutkan..."

Dia bergumam dengan mata yang mulai berputar-putar.

"Untuk saat ini, jangan pakai obrolan tentang cuaca. Itu susah dikembangkan. Dalam situasi seperti ini..."

Sejujurnya, aku juga nggak punya pengalaman kencan, jadi aku hanya mengandalkan pengetahuan dari internet.

"Yah, pertama-tama, coba puji lawan bicaramu. Kalau dipuji di awal, dia pasti lebih rileks."

"Jadi... memuji lawan bicara, ya..."

"Oke, ayo coba!"

"Oke, siap!"

Dengan penuh semangat, Sakuraba kembali menghadap Katagiri.

"Katagiri-san!"

"Ada apa?"

"Hari ini, oppai-mu tetap super gede, ya!!"

"Tunggu, tunggu!?"

Bersamaan dengan teriakanku—

PAAAKKK!

Katagiri menampar wajah Sakuraba tanpa ampun.

"Tamparan tanpa belas kasihan!?"

Sakuraba yang tubuhnya sudah lemah akibat terlalu banyak muntah langsung terpental dan jatuh ke lantai.

"...Mati saja kau, kecoak busuk."

Katagiri menatapnya dengan pandangan dingin seperti es mutlak.

Yah, memang bisa jadi begitu. 

Aku menoleh ke arah Sakuraba yang terkapar di lantai.

"Heh, maksudnya apa tadi? Dari semua hal yang bisa dipuji, kenapa justru itu yang kau pilih?"

"Hah? Memangnya ada bagian lain dari cewek yang bisa dipuji?"

Dengan wajah polos, Sakuraba melontarkan pernyataan bodoh yang luar biasa.

"Jelas ada! Bisa dari pakaian, gaya rambut, kondisi kulit, kalau dia pakai kuteks, bisa juga kukunya."

"…Hebat. Seperti yang diharapkan dari master yang telah melewati ratusan pertempuran."

Sakuraba menatapku dengan mata berbinar, penuh kekaguman. Tidak, hal kayak gini bahkan anak SMP zaman sekarang juga tahu dari internet, tahu?

"Eh, tapi, misalnya pakaian, Katagiri sekarang kan pakai seragam?"

"Itu juga masih bisa dikomentari. 'Kalau diperhatikan lagi, seragam sekolah kita kelihatan cocok banget sama kamu dan jadi makin manis.' Di dalam sekolah, semua orang pakai seragam, jadi mungkin kelihatan biasa aja. Tapi kalau di luar sekolah, seragam bisa kelihatan sebagai bagian dari fashion, kan?"

"Be-begitu… ini pelajaran yang berharga."

"…Itou-kun, kata-katamu terdengar seperti sudah sangat terbiasa memuji wanita, ya?"

Katagiri menatapku dengan pandangan sedikit curiga.

"M-Mungkin karena nilai bahasaku bagus. Kosakata, iya, kosakata! Hahaha~"

Tentu saja, aku tidak akan memberitahunya bahwa itu adalah kesan yang muncul di kepalaku ketika melihat Latina mengenakan seragamnya saat dia tiba-tiba muncul di rumahku beberapa hari yang lalu.

"Sudahlah, ayo lanjut ke tahap berikutnya."

Aku bertepuk tangan untuk mengalihkan perhatian.

"Kalau begitu, sekarang giliranku, desu?"

Latina mengajukan diri, tapi…

"Ah, mungkin lebih baik Katagiri saja yang jadi lawannya untuk tahap ini."

"Kenapa begitu?"

Sakuraba memiringkan kepalanya.

"Karena kalau dia mengatakan sesuatu yang tidak sopan, dia bakal ditampar lagi seperti tadi. Dengan begitu, dia pasti akan lebih berhati-hati."

"K-Kau benar-benar kejam, Master…"

Tamparan tadi cukup kuat, pasti sakit. Tapi melihat kelakuan Sakuraba, aku yakin tanpa metode tegas seperti ini, dia tidak akan bisa diperbaiki.

"Baiklah, sekarang kita lanjut dengan latihan obrolan di kafe. Anggap saja kalian masuk ke kafe, duduk berhadapan, dan berbincang."

Aku menggeser kursi dan meja untuk menyerupai suasana di dalam kafe. Tentu saja, tidak ada kopi sungguhan, tapi ini sudah cukup untuk simulasi. Sakuraba menyentuh dagunya dan mulai bergumam, 

"Duduk berhadapan dan ngobrol… Sepertinya aku harus bicara soal cuaca lagi…"

"Kau sudah merasakan neraka dengan cara itu tadi, bukan?"

Memori jangka pendeknya buruk sekali, tidak mencerminkan nilai akademiknya yang tinggi sama sekali.

"Seperti yang sudah kubilang, intinya adalah memberikan topik yang memudahkan lawan bicara untuk berbicara tentang dirinya sendiri. Sekarang, coba praktikkan."

"Siap!!"

Sakuraba, seperti biasa, menjawab dengan penuh semangat.
Katagiri juga, meskipun terlihat enggan, tetap mengikuti latihan ini.

"Baiklah, mulai."

Sakuraba berpura-pura membuka pintu toko dengan gerakan pantomim. Lalu, saat sampai di kursinya, dengan gerakan alami, dia menarik kursi untuk Katagiri.

"Terima kasih."

Katagiri duduk, dan Sakuraba membalasnya dengan senyum lembut.

(…Oh, lumayan juga.)

Yang barusan dia lakukan dikenal sebagai "perlakuan layaknya seorang putri".

Aku sendiri tidak terlalu mengerti efeknya, tapi berdasarkan apa yang kubaca, gadis-gadis biasanya senang diperlakukan seperti ini.
Jika dia melakukannya secara alami, mungkin dia memang punya sisi gentleman yang tersembunyi.

Setelah Katagiri duduk, Sakuraba juga menarik kursinya dan ikut duduk.

(Tadi dia sempat melakukan kesalahan fatal, tapi kalau soal obrolan, mungkin dia bisa…)

"Ngomong-ngomong, Katagiri-san."

Nada suaranya santai, tidak ada kesan kaku sama sekali.

"Ada apa?"

"Katagiri-san masih perawan, bukan?"

"KENAPA JADI KE SITU!?"

MEKYAARI!!

Pukulan straight Katagiri yang penuh tenaga menghantam wajah tampan Sakuraba.

"GUHHEI!?"

Sakuraba terlempar bersama kursinya, terjatuh ke belakang.

"…Itou-kun. Demi keadilan, aku akan memotong tangan dan kakinya. Setuju?"

"SERAM BANGET!? T-Tenang dulu!"

Katagiri menatap Sakuraba dengan tatapan lebih dingin daripada sebelumnya. Aku mengerti perasaannya, tapi…

Aku melihat Sakuraba yang sedang menyeka hidungnya dengan tisu, darah mengalir akibat pukulan barusan.

"Serius, kenapa selalu pilihan topik yang seperti ini?"

"Ya, aku pikir obrolan yang sedikit cabul bisa membuat hubungan jadi lebih akrab…"

"KAU ITU PENAKUT, TAPI BEGITU MULAI, MALAH JADI EKSTREM!?"

(…Yah, kalau kubiarkan begini dan langsung melepasnya untuk kencan sungguhan, pasti bakal jadi bencana.)

Jadi, aku memutuskan untuk melanjutkan latihan sampai setidaknya dia bisa berbicara dengan normal.

□□

Tiga puluh menit kemudian.

"Ini di luar dugaan…"

Aku bergumam, menatap Sakuraba yang masih terus berlatih kencan dengan Katagiri. Wajahnya bengkak seperti habis bertanding dalam pertandingan tinju.

"…Nggak nyangka bakal separah ini."

Selama tiga puluh menit terakhir, setiap kali dia membuka mulut, dia selalu mengeluarkan kata-kata yang membuat lawan bicaranya merasa tidak nyaman. Dan setiap kali itu terjadi, dia langsung ditampar oleh Katagiri. Inilah hasilnya.

"Kalau sudah sampai level begini, kau bisa dibilang jenius dalam membuat cewek merasa kesal…"

"Aku merasa terhormat!!"

"Itu bukan pujian sama sekali."

Aku ralat. Bukan cuma cewek, dia juga bisa bikin cowok kesal dengan baik.

"Tapi dengan kondisi begini, gimana nanti kencan besok, ya…"

"Benar juga… Jujur aja, aku sama sekali nggak punya rasa percaya diri."

Aku dan Sakuraba sama-sama menyilangkan tangan, berpikir keras.

"Ah, aku tahu!"

Sakuraba menepukkan tangannya.

"Aku punya ide bagus!"

"Serius?"

"Iya, jadi begini…"

□□

Dan keesokan harinya—

"Waktu janjian sebentar lagi, ya…"

Sakuraba Seiya tiba di tempat yang telah disepakati untuk kencan.
Demi memastikan dia tidak telat, dia sudah sampai di sana tiga puluh menit lebih awal. Pakaiannya juga dipilih dengan baik—perpaduan antara gaya kasual dan formal dalam warna monokrom yang seimbang.

"Hari ini mohon bimbingannya, Master!!"

"Eh, kenapa jadi begini!?"

Benar.

Aku ikut datang ke tempat kencannya. Kemarin, Sakuraba bilang dia punya ide bagus dan meminta aku datang ke tempat ini tanpa menjelaskan apa pun. Begitu aku sampai, ternyata ini adalah lokasi kencannya.

"Kalau ada Master menemaniku selama kencan, aku jadi lebih tenang!"

"Kau bahkan berencana menyeretku selama kencan berlangsung!?"

Dasar, ini benar-benar nggak bisa dibiarkan.

"…Aku pulang."

"Eh!? Tunggu, jangan gitu dong, Master!!"

Sakuraba langsung memeluk pinggangku ketika aku berbalik hendak pergi.

"Aku bakal mati kalau sendirian!! Apa Master tega melihatku mati!?"

"Jujur aja, sekarang aku sedikit nggak keberatan kalau kau mati."

"Kejam banget!?"

Saat itu juga—

"Oh? Kau datang lebih awal. Bagus, kuapresiasi itu."

Terdengar suara seorang gadis yang familiar.

Sosok dengan tubuh tinggi semampai seperti model, wajah yang cantik, serta tatapan tajam yang terlihat kuat.

Rambut semi-panjang yang diwarnai pirang dengan gaya bergelombang, pakaian kasual yang jelas lebih pendek dari seragam sekolah, serta anting-anting yang mencolok.

Sosok yang dikenal sebagai "Ratu" di angkatan kami—Kenjouin Asuka.

Jadi lawan kencanmu dia, hah…


Chapter 9 - Kencan
==============================================

Kenjouin yang muncul di tempat janjian dengan pakaian kasualnya berkata dengan angkuh sambil menyibakkan rambutnya.

"Aku sempat ingin membunuhmu saat kau menolak ajakanku pertama kali. Tapi karena kau tidak membiarkan satu detik pun waktuku terbuang sia-sia, aku akan memberimu sedikit penghargaan atas sikapmu yang terpuji ini."

"U-uh, baik!!"

Aku melihat wajah Sakuraba yang langsung berdiri tegap karena gugup.

"Memang pantas untuk jadi pacarku."

(…Masih tetap saja sok banget, ya.)

Jujur saja, aku sendiri tidak terlalu ingin terlibat dengan Kenjouin.
Dari cara dia bersikap saja, sudah jelas bahwa dia menganggap dirinya sebagai manusia istimewa di antara para "bersinar" seperti dirinya, sementara yang lain hanyalah orang-orang rendahan.

"…Lalu, terlepas dari semua itu."

Kenjouin mengalihkan pandangannya.

…Ke arahku.

"Kenapa di sini ada karakter figuran?"

"Justru aku yang ingin tahu."
"Perkenalkan! Ini adalah master jiwaku yang menemani kencan hari ini, Itou Makoto-san!!"

Si tolol Sakuraba memperkenalkanku dengan penuh semangat. Kenjouin memandangku dengan tatapan seolah melihat kecoa yang muncul di rumahnya.

"…Apa kau sudah gila?"

"Aku juga berpikir begitu."

"Ya ampun!! Hari ini kita bertiga bersenang-senang, ya!!"

Si tolol besar Sakuraba berkata begitu dengan ceria.

(…Nggak, nggak, ini gawat. Kenjouin pasti bakal ngamuk.)

Aku melirik Kenjouin dengan rasa takut. Lihat, alisnya mulai bergerak-gerak. Tapi, di luar dugaanku—

"…Haaah."

Kenjouin menghela napas panjang.

"Ya sudahlah. Lebih dari itu, Sakuraba-kun, wajahmu bengkak, ya."

"Eh? Ah, iya, ada sedikit insiden kemarin."

Bekas tamparan brutal dari Katagiri kemarin masih terlihat jelas di wajahnya. Kenjouin melihat itu, lalu mengeluarkan tisu basah beraroma segar dari tas bermerek miliknya.

Kemudian, dia menempelkannya ke pipi bengkak Sakuraba.

"Ini bisa sedikit meredakan bengkaknya. Pakailah."

"…T-terima kasih banyak!"

Sakuraba menerima tisu basah itu.

"…Heh, nggak nyangka."

Aku bergumam tanpa sadar karena terkesan.

"Apa yang tidak kau sangka, bocah figuran?"

"Ya, kau lebih toleran dari yang kuduga. Maksudku, kalau seseorang menerima ajakan kencanmu, lalu tiba-tiba membawa orang lain tanpa izin di hari H, itu kan keterlaluan. Tapi kau cuma menghela napas saja… Aku sedikit mengubah pandanganku terhadapmu."

"Seharusnya, dalam kondisi normal, aku sudah menghajarnya di tempat."

Kenjouin mengangkat bahunya.

"Tapi, wajahnya terlalu tampan dan spesifikasinya terlalu tinggi. Jika aku bisa memilikinya, aku akan menjadi sosok yang makin diidamkan oleh semua orang… Fufufu."

Dia memasang ekspresi jahat yang luar biasa saat mengatakan itu.

"Baiklah, aku cabut perkataanku tadi."

Orang ini masih tetap melihat orang lain sebagai aksesori.

"Tapi kau yakin? Dia ini jenius dalam hal kurangnya kepekaan."

"Hmph. Makanya, kau ini figuran yang tidak tahu apa-apa… Dengar baik-baik. Aku hanya melihat laki-laki dari wajah, uang, dan spesifikasinya."

"Kau benar-benar berkata hal paling rendah dengan sangat percaya diri, ya."

"Itulah sebabnya, selama dia memiliki semua itu, aku bisa mentoleransi sedikit sikap tak sopannya. Jadi apa masalahnya kalau dia membawa temannya di hari kencan? Asalkan aku bisa berjalan bersama pria setampan dan sespesifik dia, itu harga yang murah untuk dibayar."

Kenjouin berkata dengan penuh keyakinan.

"Wow… Kalau sudah sampai segitunya, aku malah salut."

Bukan sebagai manusia, tentu saja.

"…Wah, Kenjouin-san lebih baik dari yang kuduga, ya."

Sementara itu, Sakuraba dengan santai mendinginkan pipinya yang bengkak dengan tisu basah yang ia terima.

"Oh? Ngomong-ngomong, kau nggak muntah, ya? Apa latihan kemarin membuahkan hasil?"

"Ah, bukan. Aku tetap tegang luar biasa, tapi karena nggak makan apa pun sejak tadi malam, nggak ada yang bisa dimuntahin."

"Jangan sampai kau pingsan di tengah jalan, ya…"

Yah, bagaimanapun juga, melihat dia melakukan semacam "persiapan" seperti ini, kurasa dia memang serius menghadapi kencan kali ini.
Meskipun, setelah menyeretku ke sini, normalnya dia sudah tidak memenuhi syarat lagi, sih…

"Baiklah, kita berangkat. Berdiri di sini terlalu lama melelahkan."

Kenjouin berkata sambil menatap Sakuraba.

"Ah, iya… Uhm…"

Dia melirik ke segala arah, lalu tampaknya bingung harus mengatakan apa. Pada akhirnya, dia malah menatapku meminta bantuan.

(…Pertama-tama, puji dulu lawan kencanmu.)

Aku berbisik padanya.

(…O-oh, benar juga. Terima kasih atas sarannya. Kalau nggak salah, aku harus memuji pakaiannya.)

"Uhm, Kenjouin-san. Soal pakaian yang kau pakai hari ini…"

"Oh? Ada apa?"

Kenjouin sengaja berpose agar keseluruhan koordinasi pakaiannya terlihat lebih jelas. Benar-benar perempuan yang suka pamer.

Dia bahkan tanpa malu-malu menunjukkan ekspresi,  
"Silakan puji aku sesukamu, buat aku merasa senang"—

"Tampilannya kayak cewek sugar baby!!"

TLN : Jujur boleh, tapi jangan tabrak-tabrak masuk juga bujang

"Apa kau ini bodoh!?"

Aku langsung menegur Sakuraba, mencengkeram tengkuknya, lalu menariknya lebih dekat untuk berbicara.

(…Apa yang ada di pikiranmu sampai bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu!? Kau sengaja, ya? Ini sudah bukan kecelakaan lagi, kan?)

(Eh!? Tapi pakaian yang terlihat seperti cewek sugar baby itu kan imut!)

Sakuraba menjawab dengan wajah polos, sama sekali tanpa rasa bersalah.

Yah, kalau dipikir-pikir, pakaian seperti itu memang dipilih karena terlihat menarik, jadi ada benarnya juga… Tapi tetap saja, mengatakan hal itu langsung pada orangnya…

Aku melirik ke arah Kenjouin dengan hati-hati.

"…Sungguh cara memuji yang unik."

Meskipun ada urat biru muncul di dahinya, ia tetap tersenyum.
Sungguh luar biasa. Dia benar-benar menahannya.

◇◇

Begitulah awal dari kencan Sakuraba dan Kenjouin.

Mereka berjalan beriringan menuju kafe terkenal, sementara aku, yang hanya bertugas menemani, menjaga jarak sekitar dua langkah di belakang mereka.

Sejujurnya, aku ingin pulang saja. Tapi kalau dipikir-pikir, dalam hidupku, aku belum pernah melihat yang namanya kencan secara langsung, selain di fiksi.

Jadi, mungkin ini kesempatan bagus untuk belajar. Lagipula, Kenjouin sendiri sudah mengizinkannya.

"Tetap saja… pasangan ini memang mencolok banget, ya."

Orang-orang yang mereka lewati menoleh, memperhatikan pasangan pria tampan dan wanita cantik ini.

"Haaah… Rasanya luar biasa. Aku benar-benar hidup…!"

Kenjouin terlihat benar-benar menikmati perhatian dan tatapan iri yang tertuju padanya.

Aku ingin sekali berkata, "Apa kau yakin itu hal yang pantas untuk dinikmati sebagai manusia?" tapi melihatnya begitu bahagia dari lubuk hatinya, aku urungkan niatku.

Sementara itu, Sakuraba…

"Haaah… huuu…"

Berkeringat deras, napasnya terengah-engah seolah baru menyelesaikan maraton.

"Apa dia bakal bertahan sepanjang hari ini…?"

Karena aku yang memberikan saran padanya, aku sedikit khawatir. Tapi ada hal yang lebih mendesak yang harus kusampaikan pada Sakuraba. Aku mendekatinya dan berbisik di telinganya.

(…Dengar, Sakuraba. Apa pun yang terjadi, jangan sekali-kali membahas soal ukuran dada Kenjouin.)

Ya. Meskipun Kenjouin sedang bersikap sangat toleran terhadap Sakuraba karena spesifikasinya yang tinggi, aku yakin jika ada komentar soal dadanya, semua toleransi itu akan lenyap seketika.

(…Kalau aku menyebutnya, apa yang akan terjadi?)

(Kepalamu mungkin akan meledak.)

(Apa!? Itu gimana caranya!?)

(Pokoknya jangan coba-coba! Kau ini bisa saja tanpa sadar mengucapkan sesuatu yang bikin perempuan marah. Jadi, hati-hati!)

(M-mengerti! Akan kuingat baik-baik!)

Sambil mengobrol begitu, akhirnya mereka sampai di kafe tujuan.
Bangunan kayu dengan atmosfer klasik serta dekorasi antik menciptakan suasana yang terlihat sangat stylish. Sakuraba dan Kenjouin duduk berhadapan di dekat jendela, sementara aku mengambil tempat terpisah untuk mengamati mereka. Seorang pelayan mahasiswa datang untuk mencatat pesanan.

"Aku pesan set kue ini."

Kenjouin menunjuk menu dengan jari yang kukunya dihiasi cat kuku.

"Eh, aku cukup kopi saja."

"Oh? Karena kau pemain basket, kau menghindari makanan seperti ini, ya?"

"Eh? Ah, ya, semacam itulah."

"Sungguh disiplin yang mengagumkan."

Kenjouin entah bagaimana salah paham dan mengartikan hal itu secara positif.

(…Padahal kenyataannya, dia cuma takut muntah kalau makan.)

"Aku juga harus mencontohnya sedikit, nih."

Kenjouin menghela napas kecil.
Sakuraba menatap wajah Kenjouin dan berkata:

"Oh… kalau dipikir-pikir, memang sih."

…Aku merasa firasat buruk.

"Waktu pertama kali lihat, dagumu nggak setebal ini."

Dengan senyum cerah bak pangeran tampan, dia menjatuhkan bom itu.
…Tadi katanya sudah "akan mengingatnya baik-baik," tapi hasilnya begini?

"Oh… benarkah? Sepertinya memang perlu menjaga pola makan."

Kenjouin jelas sempat kesal, tapi dia tetap tersenyum elegan. Aku berdiri dan berbisik ke telinga Kenjouin.

(…Hei, Kenjouin. Aku bilang ini demi kebaikanmu. Mending sudahi saja. Dia pasti akan terus berulah. Sakuraba ini dewa ketidakpekaan yang berjalan.)

(Diamlah, pria figuran. Tidak masalah. Barang mahal memang membutuhkan harga yang tinggi.)

Dia benar-benar menganggap Sakuraba sebagai aksesori. Ya sudahlah. Kalau dia mau bertahan, itu urusannya. Tapi aku tak akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi nanti…

Dan seperti yang sudah kuduga. Setelah itu, Sakuraba terus saja mengulang kesalahan demi kesalahan. Misalnya, saat Kenjouin membeli crepes di kios pinggir jalan.

"Mm~! Enak sekali!"

Sepertinya dia sangat menyukai makanan manis, karena wajahnya yang biasanya angkuh berubah menjadi ekspresi polos yang sesuai dengan usianya. Kalau dia selalu seperti ini, dia pasti akan lebih imut, pikirku dalam hati.

"Ah, Kenjouin-san. Di sudut bibirmu…"

Sakuraba berkata begitu sambil mengulurkan tangan ke wajah Kenjouin.

(…Oh, ini pasti momen di mana dia menyentuh krim di bibirnya, lalu menjilat jarinya sendiri. Adegan klasik itu!)

Suara dan wajah Sakuraba saat melakukannya pasti akan terlihat keren.

"Eh?"

Mungkin karena memikirkan hal yang sama denganku, wajah Kenjouin sedikit memerah.

(…Hm? Tapi di mulut Kenjouin nggak ada krim, kan?)

Lalu tangan Sakuraba berhenti di tengah jalan.

"Oh, kupikir itu noda cokelat, ternyata cuma kerutan kecil. Nggak ada masalah, kok!"

Sakuraba tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya. Iritasi. Satu urat biru muncul di wajah Kenjouin yang tetap tersenyum.


Lalu, saat mereka sedang memilih pakaian di toko busana dalam pusat perbelanjaan…

"…Oh, yang ini bagus juga," kata Kenjouin sambil mengambil sebuah sweater berwarna ungu.

"Kamu suka warna ini?" tanyaku.

"Ya, aku suka ungu karena terlihat elegan."

"Aku juga suka! Kelihatan dewasa!" ujar Sakuraba.

"Wah, seleramu bagus karena bisa memahami keindahan warna ini."

"Iya! Soalnya banyak nenek-nenek di lingkungan rumahku yang pakai warna ini, jadi terasa akrab!"

Irritasi. Irritasi.

Kali ini, dua urat biru muncul di dahi Kenjouin.

Kemudian, saat mereka beristirahat di area istirahat pusat perbelanjaan…

"Aku mau ke toilet sebentar," kata Kenjouin sambil berdiri.

"Kamu mau panggilan alam, ya? Hati-hati di jalan!"

Sakuraba mengucapkannya dengan senyum lebar.

Irritasi. Irritasi. Irritasi.

(Urat biru di wajah Kenjouin sudah terlalu banyak sampai mirip plum kering…)

Dan begitulah.

Sakuraba Seiya, pria yang dicintai oleh Dewa Tanpa Perasaan, terus membuat Kenjouin kesal.

Kalau sudah begini, rasanya seperti seni tersendiri.

□□

"Haa… Haa… Haa…!!"

Kenjouin duduk di bangku taman, menghembuskan napas seperti kipas pendingin laptop yang kepanasan, berusaha menenangkan diri dari rasa kesal.

…Sepertinya ini sangat buruk bagi kesehatannya.

"Makanya aku sudah bilang," ujarku dengan nada pasrah.

"Haa!! A-aku harus bersabar, Asuka. Ini adalah ujian demi mendapatkan wajah tampan itu!"

"Kamu benar-benar cuma lihat wajahnya, ya…"

Kupikir dia akan lebih bahagia jika menilai seseorang dari hal lain juga… Di sisi lain, Sakuraba malah…

"Oke! Aku bisa nge-date sama cewek dengan cukup baik! Aku berhasil! Aku mulai mendapatkan ritmenya…!!"

Dia mengepalkan tangannya dengan penuh semangat.

Dari sudut pandang orang lain, jelas sekali kalau Kenjouin sedang menahan diri dengan susah payah, tapi Sakuraba sama sekali tidak menyadarinya.

"Um, Kenjouin-san! Boleh kita pergi ke tempat itu selanjutnya?"

Dengan sedikit kepercayaan diri yang mulai tumbuh, Sakuraba mengusulkan tempat tujuan. Yang dia tunjuk adalah fasilitas hiburan olahraga terkenal, "Spo Houdai."

□□

"Spo Houdai" adalah fasilitas olahraga hiburan yang tersebar di seluruh negeri. Cukup dengan membayar tiket masuk, pengunjung bisa menikmati berbagai macam olahraga seperti baseball, basket, futsal, badminton, mini bowling, tenis, dan lainnya.

Jika merasa lelah, ada juga area istirahat dengan koleksi manga serta ruang karaoke, sehingga tempat ini sangat populer. Aku, Sakuraba, dan Kenjouin memilih salah satu area di sana:

Batting center yang terletak di atap gedung.

"Oraa!!"

Aku mengayunkan tongkat pemukul logam sekuat tenaga ke arah bola yang meluncur.

Swoosh!!

Tapi ayunanku meleset total, hanya mengenai udara kosong.

"…Padahal kecepatannya cuma 90 km/jam, tapi susah banget kena…"

Kalaupun kena, hasil pukulanku buruk—entah terpeleset atau hanya menghasilkan bola yang melambung aneh.

"Kalau dipikir-pikir, pemain baseball profesional bisa memukul bola yang kecepatannya 150 km/jam… Itu gila banget."

Menggunakan tongkat panjang, berat, dan tipis untuk memukul bola kecil yang meluncur cepat. Makin kupikirkan, makin terasa bahwa batting itu keterampilan yang luar biasa sulit. Namun…

"Hup."

Klak!

Dari kandang sebelah, terdengar suara bola yang berhasil dipukul.
Ternyata Kenjouin. Dia memukul bola dengan kecepatan 100 km/jam dan berhasil mengarahkannya ke depan dengan baik, berkali-kali.

"…Fuu."

Setelah menyelesaikan satu sesi permainan, Kenjouin keluar dari kandang batting.

"Kamu jago juga. Pernah main baseball sebelumnya?"

"Tidak, ini pertama kalinya. Tapi, kalau menggunakan teknik tenis, lumayan bisa memukul,".

"Oh, iya. Kamu kan atlet tenis dan sudah jadi ace sejak tahun pertama…"

"Fufufu, maaf ya kalau aku terlalu berbakat, Tuan Figuran."

Kenjouin menutup mulutnya dengan tangan sambil tertawa mengejekku.

"Keh... Ternyata aku tetap nggak suka sama kamu."

Saat itu juga—

BBAAAAMMMM!!

Suara pukulan yang luar biasa menggema di seluruh tempat.
Itu berasal dari kandang batting yang dimasuki Sakuraba.

"Haa... Pertama kali main, tapi seru juga. Susah sih," katanya dengan ekspresi serius sambil kembali memasang posisi siap memukul.

Setelah itu, dengan ayunan yang tajam dan cepat, ia terus menghasilkan pukulan yang nyaris semuanya adalah home run. Kecepatan bolanya? 150 km/jam. Setara dengan pemain baseball profesional.

"…Memang luar biasa. Keren sekali," gumam Kenjouin sambil memperhatikan Sakuraba.

Bahkan Kenjouin, yang biasanya hanya menilai orang dari wajah, tampaknya benar-benar terkesan dengan kemampuan atletik dan konsentrasi Sakuraba.

Yah, dia sendiri juga seorang atlet, sampai-sampai menjadi ace di klub tenis. Jadi, pasti dia bisa memahami betapa luar biasanya kemampuan Sakuraba.

"Jujur, aku juga setuju. Gila, gimana caranya dengan tubuh segede itu dia bisa bergerak sehalus dan seluwes itu?"

Aku semakin menyadari betapa monster-nya Sakuraba.

"…Jenius, ya."

Memang ada orang seperti itu. Mau tak mau, aku harus mengakui…

"Haa, seru banget!"

Sakuraba akhirnya selesai bermain dan keluar dari kandang batting.
"Sakuraba-kun, tadi kamu keren banget," kata Kenjouin dengan tulus.

"S-segitu, ya? Makasih… ehe," jawab Sakuraba, menggaruk kepalanya dengan wajah sedikit memerah.

(Oho… suasananya bagus nih.)

Sepertinya ini pertama kalinya dalam kencan mereka hari ini suasananya terasa romantis.

"E-eh, itu… Aku beli minuman buat kita semua, deh. Ada ukuran M dan L, kalian mau yang mana?"

Mungkin karena nggak terbiasa dengan atmosfer seperti ini, Sakuraba buru-buru mengusulkan sesuatu. Melihat itu, aku merasa ini… cukup manis, seperti adegan khas masa muda.

"Aku L aja."

"Kalau aku M, nggak mau terlalu banyak biar perutku nggak dingin."

"Oke! Siap laksanakan!"

Sakuraba menempelkan tangannya ke dahi dalam pose hormat, lalu berlari kecil ke arah kios penjual minuman. Saat melihatnya pergi, aku berkata pada Kenjouin,

"…Kalian sebenarnya cocok juga, ya."

"Tentu saja. Memang Sakuraba-kun lebih unggul dalam hal spesifikasi, tapi aku juga masuk dalam jajaran teratas dalam hal wajah dan kemampuan."

"Bukan itu maksudku. Secara kepribadian. Kayaknya cuma kamu yang bisa tahan dengan betapa kurang ajarnya dia."

"Itu sih benar. Aku memaafkannya karena dia tampan."

"Justru cara berpikir kayak gitu yang bikin kalian cocok, menurutku."

"Hmph, rendahnya spesifikasimu tidak menghalangimu untuk sok tahu, ya," balas Kenjouin dengan tajam seperti biasa.

Tapi…

"Yah, tapi... Dia itu super tampan, tapi justru karena kepribadiannya begitu, jadi nggak gampang direbut cewek lain. Kalau kami pacaran, mungkin aku bisa bantu dengan membuatkannya bekal biar kesehatannya sebagai atlet tetap terjaga."

"…Ini semacam tsundere, ya?"

"Fufu, terserah bagaimana kamu menafsirkannya."

Kenjouin tertawa setelah mengatakannya. Tawa yang nakal, sedikit menggoda, dan… manis serta memikat. kah.

"Lagipula, dia itu punya potensi buat jadi bintang NBA di masa depan. Kalau itu terjadi, aku bisa hidup sebagai super selebriti... Ghehehe, penthouse di puncak apartemen mewah New York, melihat rakyat jelata dari atas... Gufufufu…"

Seperti yang diduga, Kenjouin tetaplah Kenjouin.

"Jadi ini bukan karena kamu suka sama dia, ya…"

"Tentu saja tidak! Aku hanya peduli pada diriku sendiri!!"

Dengan gaya angkuh, Kenjouin menyilangkan tangannya dan berkata dengan penuh percaya diri.

"Udah kubeliin minuman nih~"

Tepat saat itu, Sakuraba datang membawa nampan berisi tiga minuman. Sepertinya dia sudah mulai rileks, terlihat dari langkah kecilnya yang ceria saat mendekat. Dia tampak seperti anjing setia yang berlari-lari kecil, berharap mendapatkan pujian dari majikannya.

"Eh, ukuran M ternyata kecil banget ya. Beneran cukup nggak?"

(Yah, meskipun Kenjouin punya niat tersembunyi, setidaknya Sakuraba sekarang sudah bisa lebih santai di depan cewek. Sepertinya kencan ini berjalan cukup lanc—)

"Ah, tapi kecil di sini bukan maksudnya dada Kenjouin-san, lho!! Meskipun memang kecil sih... Ah."

"Oi, dasar idiot."

TLN : Santay bro santay, pelan pelan pak supir 

Dalam sekejap, tubuh ramping Kenjouin bergerak dengan gesit.
Tanpa peduli pada minuman yang sedang dipegang Sakuraba, dia mengayunkan lengannya, mengunci kepala Sakuraba dari belakang—

GOSYAAAA!!

—dan melepaskan tendangan lutut yang menghantam wajahnya dengan sekuat tenaga.

"GWABOH!!"

Sakuraba jatuh tersungkur ke lantai, minuman dan es berhamburan ke mana-mana.

"…Mampus saja!!"

Setelah berkata begitu, Kenjouin langsung pergi begitu saja.

□□

"Masih hidup, nggak?"

Aku menatap Sakuraba yang tergeletak di lantai, hidungnya terus mengeluarkan darah.

"…Kayaknya aku beneran dibenci, ya? Barusan dia marah banget soalnya…"

"Aku iri sama ketebalan mentalmu, bisa berharap masih ada kemungkinan dia nggak benci sama kamu setelah itu."

"Ugh… Aku pengen mati…"

Sakuraba menggeleng lemas ke samping dengan wajah setengah menangis. Saat itu juga—

"Hm...? Eh, bukannya itu cewek Master, ya?"

"Hah?"

Mengikuti arah pandang Sakuraba, aku melihat ke sana. Di dekat lapangan futsal—

"Heh, ada masalah, onee-chan?"

"Aku tidak ada masalah, tapi aku pikir ini aneh."

Entah kenapa, Latina sedang dikelilingi oleh beberapa pria bertubuh besar.


Chapter 10 - Yang Terbaik
==============================================

Sepertinya Latina sedang berselisih soal siapa yang berhak menggunakan lapangan futsal.

"Waktu kalian sudah dua puluh menit. Sekarang giliran anak-anak ini, kan?"

Di belakang Latina, berdiri anak-anak yang tampak seperti siswa kelas satu SMP, terlihat agak ragu-ragu dan canggung. Aturan di fasilitas ini menyatakan bahwa setiap kelompok hanya boleh bermain selama dua puluh menit. Jika ada kelompok lain yang menunggu, mereka harus bergantian. Namun, para pria di lapangan itu...

"Hah? Nggak peduli! Kami ini tim sepak bola SMA Akamine yang terkenal, tahu!?"

Dengan postur tubuh besar dan pakaian agak mencolok, awalnya mereka terlihat seperti orang dewasa atau mahasiswa, tapi ternyata mereka juga masih SMA.

"Dasar pecundang payah, minggirlah dan minum air keran sampai kami puas bermain!"

Saat pemimpin mereka mengucapkan itu, anggota lainnya tertawa dengan suara kasar dan tak berkelas. Seorang pegawai wanita memperhatikan kejadian itu dari kejauhan dengan wajah cemas. Wajar saja, pasti cukup menakutkan menegur orang-orang seperti mereka. Namun, Latina sama sekali tidak terlihat takut. Dengan ekspresi heran, dia berkata,

"Itu... apakah ada hubungannya?"

"Hah?"

"Di negara ini, apakah ada undang-undang atau peraturan yang menyatakan bahwa orang yang pandai bermain sepak bola mendapatkan hak istimewa?"

"Apa? Hak istimewa? Peraturan? Umm..."

Pemimpin tim terlihat kebingungan, tampaknya tak mengerti apa yang Latina maksud.

"Keparat! Sekolah kami memang jago di sepak bola nasional, tapi nilai akademik kami cuma 29! Jangan pakai kata-kata sulit!"

"Iya, benar! Kami nggak bisa ngerti kalau terlalu rumit!"

Anggota tim sepak bola Akamine High malah dengan bangga meneriakkan sesuatu yang sama sekali tidak patut dibanggakan.
Sementara itu, pemimpinnya, yang mendapat dukungan dari anak buahnya, kembali percaya diri dan berkata,

"Ya sudah, lupakan omong kosong itu! Yang kuat berkuasa, yang lemah minggir. Begitulah dunia ini. Tapi, kamu boleh main bareng kami. Soalnya setelah kulihat lebih dekat, kamu cantik banget, tahu?"

Dia mengulurkan tangan ke arah Latina. Tanpa sadar, tubuhku langsung bergerak. Aku melompati pagar pembatas, berlari menuju lapangan futsal secepat mungkin, lalu...

"Hei, tunggu dulu."

Aku menangkap tangannya dengan erat dan menghentikannya.

"Sial! Sakit! Hah!? Siapa lo!?"

(Wah... serem banget mukanya!? Sama sekali nggak kelihatan kayak anak SMA!)

Sebagai anggota klub olahraga dari sekolah penuh berandalan, mereka punya rambut diwarnai, alis dicukur, dan bahkan memakai kalung tengkorak. Dengan tubuh besar mereka, kalau dilihat dari dekat, mereka lebih mirip preman daripada siswa SMA.

"Oh! Makoto!! Kebetulan sekali ketemu di sini!"

Latina menyambutku dengan wajah ceria. Situasinya cukup tegang, tapi mungkin dibandingkan mengejar binatang buas di hutan, ini bukan masalah besar baginya. Saat itu...

"Lebih baik kalian mundur."

Suara itu datang dari belakangku. Ternyata, entah sejak kapan, Sakuraba sudah berdiri di sana.

"Kalau kalian jadi sombong hanya karena lebih jago, orang-orang bakal membenci kalian."

Suara dan ekspresi seriusnya membuatku terkejut. Di sisi lain, anggota klub sepak bola itu tampak sedikit gentar melihat pria bertubuh lebih dari 190 cm itu.

"Tch! Sial, kenapa ada lagi yang ikut campur!?"

"Iya, benar! Ini bukan urusan kalian!"

Mereka membalas dengan geram.

"Kalau kalian benar-benar percaya yang kuat berhak menguasai, ayo buktikan."

Sakuraba menunjuk ke lapangan futsal.

"Kita tentukan lewat pertandingan futsal."

□□

...Dan begitulah, gara-gara tantangan dari Sakuraba, tiba-tiba kami harus bertanding futsal lima lawan lima.

"Serius? Aku juga harus main!?"

Aku mengeluh sambil mengenakan rompi tim.

"Tentu saja! Dengan Master di tim kita, kita pasti menang!"

Sakuraba tersenyum percaya diri dan mengacungkan jempol ke arahku.

"...Aku nggak pernah main sepak bola, tahu?"

"Aku juga hampir nggak pernah main, jadi nggak masalah!"

"Jangan samakan aku denganmu..."

Sakuraba tiba-tiba melirik ke arah Latina.

"Ngomong-ngomong, cewek Master itu luar biasa juga, ya."

Latina sedang mencoba mengenakan rompi tim, tapi...

"Sedikit sempit, ya~."

Rompi itu meregang sangat ketat di tubuhnya, sampai-sampai nomor yang tertera di kainnya hampir tidak terbaca. Tim lawan juga mulai ribut.

"Hei, lihat itu..."

"Sial, ini nggak main-main..."

"Di sekolah khusus pria seperti kita, kalau ketabrak sesuatu seperti itu, bisa-bisa kita pingsan keluar darah!"

"Kita harus hati-hati!"

"Monster..."

Mereka bereaksi seolah-olah kami membawa pemain asing dari liga profesional, padahal mereka hanya terfokus pada satu hal tertentu...
Di tengah sorotan mata semua orang, Latina menoleh ke arahku dan—

"Makoto~!!"

Seperti biasa, dia langsung memelukku erat.

"Hauun!?"

Hari ini aku belum merasakan sensasi lembut itu, jadi aku tanpa sadar mengeluarkan suara aneh.

"Eh, kita sebentar lagi mau bertanding, kenapa kau tiba-tiba begini!?"

"Yah, aku baru sadar kalau hari ini belum melakukannya..."

"Itu semacam kewajiban buatmu?"

Melihat interaksiku dengan Latina, pemimpin tim lawan berkata:

"…Oi, oi, jangan-jangan, kau pacaran sama cewek berkulit cokelat itu?"

Ekspresinya seakan tidak percaya.

"Eh? Tidak, aku tidak bisa bilang kalau kami pacaran…"

"Aku berencana punya setidaknya delapan anak!!"

Seperti biasa, Latina mengucapkan sesuatu yang mencengangkan.

"Hah!? Latina!!"

GUKUN!!

Para anggota klub sepak bola langsung jatuh berlutut.

"O-Oi, dengar itu?"

"Kami ini anak sekolah khusus pria yang setiap hari hanya hidup untuk sepak bola dan bahkan tidak punya waktu untuk mencari pacar…"

"Dan sementara itu, si bajingan ini sudah menikmati tubuh seorang wanita cantik yang luar biasa seperti itu…?"

"Sial!! Sial!!"

"Dendam!! Aku dendam pada pria itu, juga pada dunia ini!!"

"Kita ini… untuk apa setiap hari bekerja keras dalam latihan berat!?"

"…Umm, mungkin untuk memenangkan kejuaraan nasional?"

Mereka menatapku dengan mata penuh rasa iri, cemburu, dan kebencian, membuatku berkeringat dingin.

"Hahaha! Sekarang kalian sadar perbedaan kasta kita, kan!?"

Entah kenapa, Sakuraba berdiri dengan tangan di pinggang sambil tertawa sombong. Ah, aku punya firasat buruk kalau dia akan mengatakan sesuatu yang lebih buruk lagi.

"Master masih punya satu lagi wanita berdada besar dengan ukuran lebih dari 90 cm, dan dia menikmati keduanya setiap hari! Kalau kalian mau memohon ampun, sekaranglah waktunya!!"

"Heh? Oi, dasar idiot!"

Aku langsung melihat ke arah anggota klub sepak bola dengan wajah pucat.

"…Oi, kalian dengar itu?"

"Dia sudah punya pacar berdada besar seperti itu, dan sekarang kita tahu dia main dua kaki?"

"Itu, kan, yang disebut ketimpangan sosial, kan?"

"Tak bisa dimaafkan… tak bisa dimaafkan…"

"AKU AKAN MEMBUNUHNYA… AKU AKAN MEMBUNUHNYA…!!"

Tatapan mereka kini penuh dengan niat membunuh yang jelas.

"Ehh… boleh aku nggak ikut main?"

"Apa yang kau bicarakan? Kalau Master tidak ikut, peluang kita menang bakal anjlok!"

"Kenapa kau begitu percaya padaku?"

Aku kan orang yang pernah kalah telak darimu sampai mengalami trauma…

□□

Dan begitulah, pertandingan futsal lima lawan lima pun dimulai.
Lawan kami adalah lima anggota klub sepak bola. Sementara di pihak kami, ada aku, Sakuraba, Latina, dan dua anak SMP.

“””""MATILAHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!"“”””

Begitu pertandingan dimulai, aku yang menggiring bola langsung dihujani tackle dan charge yang jelas-jelas mengincar tubuhku, bukan bolanya.

"Setahuku, sepak bola bukan permainan seperti ini, kan!?"

Aku berusaha menyelamatkan bola dan mengoper ke Latina.

"Guh!!"

Tentu saja, aku kena hantam dan terlempar ke belakang. Tanpa wasit, mereka bisa melakukan sesuka hati.

(…Tapi setidaknya aku berhasil menyelamatkan bolanya.)

Saat Latina menerima bola, salah satu lawan langsung menghadangnya.

"…Heh, kau nggak akan lolos, cewek cokelat!"

Sebagai pemain dari sekolah unggulan, refleksnya sangat cepat.
Tapi kemudian…

BOING!!

Bola matanya terpaku pada bagian tubuh Latina yang mendorong bibs (rompi tim) ke atas.

"…Sial, gede banget."

Dan di saat itulah, Latina dengan gesit menggiring bola melewati lawannya.

"Sial!? Saat aku teralihkan perhatiannya oleh itu!?"

Aku bisa mengerti perasaan lawan. Latina dengan dribel indahnya berhasil membawa bola hingga ke depan gawang.

"Jangan harap!!"

Salah satu lawan yang mengejarnya dari belakang mencoba melakukan sliding tackle.

"Otto~"

Namun Latina dengan mudah menghindarinya dan…

"Eii!!"

Menendang bola ke arah gawang dengan gerakan lembut. Sayangnya, bola membentur tiang gawang dan meleset.

"Ooh!! Hampir saja!!"

Latina berkata dengan ekspresi gembira.

"…Latina, kau ternyata lumayan jago bermain sepak bola, ya?"

"Saat di Brasil, aku sering bermain untuk bersenang-senang."

Pantas saja, ternyata dia punya pengalaman bermain di Amerika Selatan. Itu jauh lebih meyakinkan dari yang aku kira.

(…Meyakinkan sih, tapi…)

Aku melirik ke arah lawan.

"Itu tadi cukup berbahaya."

"Kita harus menugaskan satu orang khusus untuk menjaganya."

"Lalu, untuk serangan, kita bisa menggunakan formasi ‘head-on’ karena ada ruang vertikal yang bisa dimanfaatkan."

Sang pemimpin tim lawan dengan tenang menganalisis permainan sambil mengambil bola yang tadi gagal masuk.

"…Mereka memang pemain dari sekolah unggulan, ya."

Meskipun kami unggul jumlah, kekuatan fisik mereka saat bertabrakan cukup besar hingga aku terpental, dan mereka bisa mengejar serta melakukan sliding pada Latina dalam waktu singkat setelah dikejutkan olehnya.

Kalau bukan karena itu, kami pasti sudah mencetak satu gol.
Jujur saja, mereka lebih kuat dan lebih terampil. Aku menoleh ke arah Sakuraba yang berdiri di sampingku.

"…Hei, ini sudah terlambat untuk ditanyakan, tapi apa nggak masalah kita memulai pertandingan ini?"

"Kenapa memangnya?"

"Ya, kalau kita kalah, berarti kita harus mengakui bahwa mereka bisa menguasai lapangan ini."

"Oh, itu toh."

Sakuraba mengatakan itu sebelum berlari. Dengan langkah ringan namun penuh tenaga, tubuh besarnya bergerak dengan kelincahan luar biasa.

Dalam sekejap, dia merebut bola dari pemain lawan, melewati tiga pemain bertahan dengan mudah.

"Lihat ini," 

Saat melewati pemain ketiga, dia melambungkan bola ke udara dan dengan gerakan overhead kick yang sempurna, dia mengarahkannya ke gawang.

"Tenang aja, Master. Kita bakal menang dengan mudah," kata Sakuraba dengan ekspresi percaya diri.

"…!?"

Pemimpin lawan hanya bisa terdiam dengan mulut menganga.

"…Haha, dasar jenius," gumamku setengah pasrah.

□□

Sakuraba benar-benar terlalu mendominasi. Hampir sendirian, dia merebut bola dari lawan dan mencetak gol tanpa kesulitan. Lawan bukanlah tim yang lemah. Bahkan bagi orang awam dalam sepak bola, mereka terlihat tangguh, seperti yang diharapkan dari sekolah unggulan.

Namun, di hadapan Sakuraba, mereka sama sekali tak berdaya. Pada akhirnya, hingga babak pertama berakhir, kami menang telak dengan skor 5-0.

"Kalau ada Master, rasanya jauh lebih tenang!" kata Sakuraba dengan senyum lebar.

"Padahal hampir semua gol tadi dicetak olehmu sendiri," sahutku sambil melirik papan skor.

"…Serius, ini bikin frustasi."

Aku secara refleks menggumamkan itu. Aku jadi teringat bagaimana Sakuraba menghajarku habis-habisan di hari pertama klub.

"Baiklah, mari lanjutkan babak kedua dengan semangat—"

Namun saat itu juga…

Bam!

Sakuraba tiba-tiba jatuh.

"Oi, kau kenapa!?"

"…Ha…"

"Apa?"

"Aku kelaparan…"

Guuuuuuuuuuu!!

Suara perutnya bergemuruh begitu keras hingga bergema di seluruh atap.

(Ah, aku lupa… Dia belum makan sejak siang kemarin!!)

"Aku… sudah sampai batasnya…"

"Hei, hei, gimana ini? Tanpamu, kekuatan kita bakal turun drastis!"

"…Nggak masalah. Ada Master di sini," katanya sambil tersenyum.

"Kenapa sih kepercayaanmu padaku begitu tinggi?"

"Apa yang kau bicarakan? Aku tahu betul… Master itu sangat kuat," katanya mantap.

"Tapi aku nggak pernah menang satu kali pun lawanmu di 1v1…"

"Benar sekali! Kalau Makoto ada, kita pasti bisa menang!"

Tiba-tiba Latina memelukku dari belakang.

"Kau juga, Latina!?"

Ditambah lagi, karena Latina sedikit berkeringat, aroma tubuhnya jadi lebih kuat, dan situasi ini malah terasa semakin menggoda…

"…Umm, kalian baik-baik saja?"

Anak-anak SMP di tim kami menatap kami dengan wajah cemas.

"Ah, ya, ya. Baiklah, aku akan melakukan sebisaku."

□□

Dengan demikian, babak kedua dimulai.

Sakuraba berbaring di bangku cadangan, menikmati energy bar yang dibelinya dari mesin penjual otomatis.

"Uwah, ini enak banget. Rasanya masuk ke seluruh tubuhku~"

"…Santai banget, kau," desahku.

Aku kembali fokus pada pertandingan. Lawan memang tim sepak bola unggulan, tapi ini futsal, di mana gawangnya lebih kecil.

Tiga anak SMP yang bermain di tim kami juga cukup berpengalaman, jadi mereka bisa berkontribusi.

Latina juga cukup berbakat.

(Ah… Jangan-jangan aku yang paling nggak berguna di sini?)

Ya sudahlah, biar bagaimana pun juga…

Kami masih unggul lima gol. Rasanya tidak mungkin mereka bisa mengejar dalam waktu singkat.

Saat aku berpikir seperti itu…

"Oke, babak kedua dimulai!"

Begitu wasit tak resmi memberi tanda mulai dengan bola di kaki lawan…

"Hop!"

"Ya!"

"Sini!"

Para pemain lawan bergerak cepat di sekitar lapangan dengan sang pemimpin sebagai pusatnya, memperlihatkan operan-operan indah yang terjalin dengan sempurna.

"…!?!"

Kami berlima dibuat kewalahan dan sama sekali tak bisa mengimbangi mereka.

"Oraa!!"

Begitu ada celah, mereka langsung mengirimkan umpan ke ruang kosong, dan dalam sekejap bola sudah masuk ke gawang kami. Para anggota klub sepak bola saling ber-high five.

"Baik, kalau si monster itu nggak ada, mereka bukan apa-apa."

"Tinggal cetak lima gol lagi dan kita bisa membalikkan keadaan."

…Mereka memang kuat.

Begitu berhadapan langsung seperti ini, aku makin terkejut dengan perbedaan kemampuan kami yang begitu besar.

(…Ya, memang begini jadinya.)

Aku menatap langit-langit sambil berpikir.

(Tentu saja. Sakuraba itu cuma pengecualian yang benar-benar jenius. Kalau orang biasa seperti aku bertanding di olahraga yang hampir nggak pernah aku mainkan, wajar saja kalau aku nggak bisa berbuat apa-apa.)

Aku jadi semakin menyadari betapa luar biasanya Sakuraba, yang tadi hampir mengalahkan mereka sendirian.

(Inilah perbedaannya. Perbedaan antara seorang jenius dan orang biasa yang bukan jenius… yah, toh kalau kalah di pertandingan ini aku juga nggak bakal mati…)

Ya, ini semua hanyalah pertarungan yang Sakuraba mulai sendiri.
Aku memang kasihan pada anak-anak SMP yang ikut bermain, tapi kalau kalah, mereka bisa saja bermain di tempat lain sampai para pemain klub sepak bola ini bosan dan pergi.

Kalau dipikir dengan tenang… memang begitulah adanya.

…Tapi.

"Entah kenapa… rasanya tetap menyebalkan."

Sakuraba bisa mendominasi mereka sendirian seperti itu. Sementara aku? Hanya jadi sasaran empuk dan tak bisa melakukan apa pun.

Aku tahu aku hanya orang biasa… tapi tetap saja…

Saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, seseorang menepuk bahuku dari belakang.

Latina.

"Aku menunggu momen kerennya, ya," katanya dengan senyum.

"Haa… harapan yang berat," desahku panjang.

Lalu.

"Baiklah!!"

Aku mengumpulkan semangatku.

"Kalau begitu, aku akan melawan sekuat tenaga, dasar brengsek!"

Pertandingan pun dimulai kembali.

Kami memulai dengan bola di pihak kami, tetapi dalam waktu singkat anak SMP yang membawa bola langsung kehilangan penguasaannya.
Lawan kembali mengatur serangan mereka dengan operan-operan rapi dan menawan.

Namun.

"Oraa!!"

Aku langsung melompat menyerang pemain yang menerima operan.

"Hah, apa-apaan itu?"

Namun, bagaimanapun juga, aku hanyalah seorang amatir.
Dengan satu operan sederhana, aku dengan mudah dilewati.
…Tapi.

"Ohh!!"

Aku segera berbalik ke arah bola dikirimkan dan kembali menyerang.

"Wah!"

Lagi-lagi aku dilewati dengan satu operan. Namun.

"Belum selesai!!"

"Sialan, nih orang ngeyel banget!?"

Aku tetap mengejarnya dan memberikan tekanan kepada lawan yang sedang menguasai bola.

Sebanyak apa pun kontak fisik yang berlebihan yang kulakukan, tidak akan ada wasit yang menegur karena memang tidak ada wasit di sini. Itu sangat menguntungkan.

Aku membenturkan tubuhku dengan keras untuk mengacaukan keseimbangan lawan.

Ya, inilah caraku melakukan perlawanan terakhir.

Sebuah strategi sederhana: "Pokoknya langsung serang siapa pun yang membawa bola."

Tentu saja, dengan cara kasar seperti ini, aku tidak akan bisa menghentikan klub sepak bola yang tangguh sepenuhnya.

"Ah, maaf."

Umpan terakhir yang dikirimkan oleh pemimpin mereka ke ruang kosong sedikit meleset, membuat mereka gagal mengeksekusi tembakan.

"…Hah, hah… bagaimana, dasar brengsek? Kalau terus menempel, 
setidaknya aku bisa memaksa kalian melakukan kesalahan."

"Dasar merepotkan… Tapi lihat dirimu, sudah ngos-ngosan, kan?"

"Siapa peduli? Kalau kami bisa mempertahankan keunggulan empat poin ini, kami yang menang."

Waktu terus berjalan.

"…Hah, hah, hah, hah… Uwek."

Keringat mengucur dari seluruh tubuhku seperti air terjun. Aku hampir muntah, tetapi tetap bertahan.

"Oryaa!!"

"Sial!! Sialan, lu ngotot banget!! Sebenarnya gimana sih stamina lu!?"

Pemimpin lawan mengumpat dengan kesal.

"Hahaha… Aku memang jago lari jarak jauh… Sisanya cuma masalah tekad…"

"Tekad?"

"Hanya karena aku bukan jenius, bukan berarti aku ingin menyerah begitu saja… Itu kelihatan menyedihkan, bukan…?"

Aku menatap papan skor.

Dua menit tersisa.

Selisih satu poin.

Aku akan mempertahankannya, dengan segala cara.

□□

"…Memang, sih. Master itu yang terbaik."

Sakuraba Seiya bergumam sambil berbaring di bangku cadangan, memperhatikan Itou yang berusaha mati-matian menghadang lawan meski tubuhnya sudah kelelahan.

Ia masih mengingatnya dengan jelas.
■■

Hari pertama ia mengunjungi klub basket, setelah dipaksa masuk oleh para senior yang terkesan dengan tinggi badannya. Sejak kecil, Sakuraba adalah seorang jenius yang luar biasa dalam olahraga.

Apa pun cabangnya, sejak pertama kali mencoba, ia sudah jauh lebih hebat dibanding orang lain. Namun, karena ia menyukai kompetisi yang serius, ia membenci ide bermain sambil menahan diri.

Akibatnya, setiap orang yang bermain dengannya selalu dibuat kalah telak oleh selisih yang sangat besar. Tentu saja, siapa yang bisa menikmati kekalahan seperti itu?

"Yes!! Aku menang lagi! Yuk, sekali lagi!"

"…Bertanding denganmu benar-benar membosankan."

"…Eh?"

Setelah itu, tak ada lagi yang mau melawannya. Sakuraba tidak suka dibenci. Itulah sebabnya, baik di SD maupun SMP, ia tidak pernah bergabung dengan klub olahraga mana pun.

Bahkan ketika ia akhirnya pergi ke klub basket di SMA karena dipaksa, hanya butuh sepuluh menit baginya untuk melampaui semua anggota klub—termasuk para senior—dalam keterampilan bermain.
Dalam pertandingan one-on-one dengan seorang pemain baru yang konon cukup terkenal di SMP, ia menang telak.

Benar-benar telak.

Dalam pertandingan hingga lima poin, ia meraih semua poin tanpa berkeringat sedikit pun, sementara lawannya bahkan tak bisa mencetak satu pun.

"…Hah… Hah… Hah… Ini… nggak mungkin…"

Pemain itu berlutut, menundukkan kepala dalam keputusasaan.
Sakuraba menatapnya dari atas.

"…"

Para senior dan rekan satu timnya, yang awalnya bersemangat dengan pemain baru berbakat, hanya bisa terdiam melihat kenyataan bahwa seorang pemula yang baru pertama kali bermain basket bisa mengalahkan seorang pemain berpengalaman secepat itu.

Itu hal yang wajar.

Meski mereka tidak dipermalukan secara langsung, mereka melihat bagaimana waktu dan usaha yang mereka curahkan untuk olahraga ini diinjak-injak begitu saja.

(…Ah, aku melakukannya lagi.)

Mungkin sebaiknya aku tidak bergabung dengan klub ini… Saat ia mulai berpikir begitu—

"…Jangan bercanda…! Sekali lagi!! Ayo kita tanding lagi!!"

Orang itu… Itou Makoto, berkata begitu.

"…Hah? Serius?"

"Jelas! Jangan bercanda! Aku nggak bisa terima! Aku cuma belum panas!!"

…Setelah itu, Itou terus menantang Sakuraba berkali-kali.

Meski pada akhirnya ia tidak pernah berhasil mencetak satu poin pun, melihat Itou yang terus bangkit dan menyerang dengan segenap tenaga—meskipun sudah babak belur—terasa sangat menyenangkan bagi Sakuraba.

■■

"Piii!!"

Bunyi timer yang disetel berbunyi di lapangan futsal.

Skor akhir: 5-4.

Itou dan timnya berhasil mempertahankan keunggulan mereka.

"Yess!! …Astaga, capek banget!!"

Setelah melakukan pose kemenangan, Itou langsung terjatuh ke tanah, terengah-engah kelelahan.

"…Serius nih?"

Para anggota klub sepak bola hanya bisa melongo, tak percaya.
Sakuraba, yang menyaksikan semua itu, tersenyum dan bergumam pelan.

"…Master, cepatlah kembali ke klub basket. Aku menunggumu."


Chapter 11 - Mendengar Alasannya
==============================================

"Aduh, seluruh tubuhku sakit."

Setelah pertandingan futsal selesai, aku berpisah dengan Sakuraba dan yang lainnya, lalu berjalan pulang.

"Maaf ya, Lati. Aku pinjam bahumu."

Kami berhasil mempertahankan keunggulan yang dibuat oleh Sakuraba dan meraih kemenangan. Tapi sayangnya, tubuhku sekarang mengalami nyeri otot yang luar biasa dan kelelahan parah, sampai-sampai aku kesulitan berjalan sendiri. Akhirnya, aku harus bersandar pada Latina untuk bisa pulang.

"Dan ini, aku benar-benar basah kuyup oleh keringat."

"Tidak apa-apa~ Jangan khawatir~"

Latina berjalan sambil menopangku, tanpa menunjukkan ekspresi jijik sedikit pun. Malah, dia terlihat lebih ceria dari biasanya, tersenyum lebar.

"Lebih dari itu, kau tadi sangat keren, Makoto!!"

"…Aku rasa, itu bukan cara bertarung yang keren."

Bagaimanapun juga, pertandinganku tadi sama sekali tidak memiliki kesan elegan. Itu lebih mirip perjuangan mati-matian yang kotor. Jika bukan karena keunggulan besar yang diberikan oleh Sakuraba, kami pasti sudah kalah.

"Tidak, itu tidak benar! Aku merasa bangga telah memilihmu sebagai pria yang kucintai!!"

"…Terima kasih."

Saat dipuji secara langsung seperti ini, rasanya agak canggung. Entah kenapa, aku merasa pujian itu terlalu berlebihan untukku.

Ngomong-ngomong, karena Latina sedang menopangku, tubuhku bisa merasakan sensasi dirinya dengan sangat jelas. Bahkan di saat tubuhku kelelahan seperti ini, bagian lain dari diriku justru masih sangat aktif.

Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, akhirnya aku sampai di rumah. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Aku pulang~ …Oh, hari ini ibu sedang pergi menemui ayah, ya?"

Benar. Hari ini adalah salah satu hari dalam sebulan ketika ibuku pergi mengunjungi ayah yang sedang dinas di luar kota. Sekarang mungkin mereka sedang menikmati makan malam yang lezat bersama.

"Aku butuh mandi secepatnya…"

"Aku tidak terlalu berkeringat, jadi silakan kau duluan~"

Karena Latina berkata begitu, aku memutuskan untuk menerima tawarannya dan langsung masuk ke kamar mandi.

□□

"…Haaah."

Aku keluar dari kamar mandi, mengeringkan wajah dengan handuk sambil berjalan di lorong.

Seluruh tubuhku masih terasa sakit, tapi setidaknya aku merasa segar setelah berkeringat begitu banyak.

"Tapi aneh juga, Latina tidak mencoba masuk ke kamar mandi bersamaku."

Dengan sifat Latina yang seperti itu, aku pikir dia akan mengatakan sesuatu seperti, "Mari kita mandi bersama tanpa busana!" lalu menempelkan tubuhnya padaku.

Ya, kalau itu terjadi, aku pasti tidak akan bisa menahan diri…
Sambil memikirkan hal itu, aku membuka pintu ruang tamu.
Begitu pintu terbuka, aroma makanan yang lezat langsung menyeruak ke dalam hidungku.

"Air mandinya enak, Makoto?"

Latina berdiri di depan meja, mengenakan celemek. Di atas meja, sudah tersaji makanan yang tertata rapi dan segelas air dingin.

"Kau memasak untukku?"

"Kupikir kau pasti lapar."

"Iya, aku memang lapar. Terima kasih."

Aku duduk di kursi.

Dia benar-benar gadis yang baik dan penuh perhatian…

"…Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak memakai apa pun di balik celemek itu?"

"Karena aku ingin menjadi makanan penutup untukmu. Tapi kalau kau mau, aku juga bisa menjadi hidangan pembuka?"

"Kalau bisa, aku ingin menikmati keduanya… eh, maksudku, aku menolak tawaran itu!"

Tolonglah, jangan lakukan ini. Latina, dengan kulit eksotisnya yang kecokelatan, dada besar, dan pinggul montok, sekarang hanya mengenakan celemek. Apalagi, dari belakang, aku bisa melihat pinggulnya yang berayun-ayun saat ia bergerak.

Sial. Aku baru saja relaksasi di kamar mandi, tapi sekarang bagian lain dari tubuhku malah semakin tegang.


"Yah, untuk sekarang, makan dulu. Lagipula, sudah susah payah dibuatkan makanan."

Aku mengambil sumpit. Di atas piring, tersaji udon campur dengan daging.

"…Daging ini, jangan-jangan burung gagak lagi seperti waktu itu?"

"Ini daging biasa dari kulkas, kok?"

"O-oh, begitu ya."

Aku menyeruput mie dengan hati-hati.

"…Oh, enak."

"Syukurlah!!"

Latina tersenyum senang.

(…Jadi dia bisa masak makanan biasa juga, ya.)

Kupikir dia akan menyajikan masakan liar seperti sebelumnya—hasil berburu binatang dan sayuran liar yang dipetik di alam. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dia sudah cukup lama tinggal di Jepang.

Tidak aneh kalau dia sudah belajar beberapa masakan rumahan.
Rasanya juga cukup sesuai dengan seleraku. Karena aku memang lapar, aku pun makan dengan lahap dan dalam sekejap makanan itu habis.

"Puh… Enak banget. Terima kasih atas makanannya."

Saat aku mengucapkan itu, Latina bertepuk tangan dengan wajah ceria.

"Begitu ya! Kalau begitu, selanjutnya adalah itu, kan?"

"Itu?"

"Toh!!"

"Uwah!?"

Tiba-tiba, Latina melompat ke arahku dan menjatuhkanku ke lantai.
Dia kemudian duduk di atas tubuhku dengan posisi menunggangi.

(…Sial!! Aku lengah karena sudah dibuat kenyang dengan makanan enak!!)

"Fufufu~"

Latina tersenyum seperti pemburu yang baru saja menangkap mangsanya.

(Gawat, tubuhku terlalu lelah untuk melawan!)

Ditambah lagi, dia memakai celemek tanpa pakaian di dalamnya—sesuatu yang tepat sasaran dengan fetasku. Dari samping, kulit cokelatnya yang montok terlihat jelas. Dan bagian lain dari tubuhku, yang tadi sudah tenang setelah mandi, kini malah kembali bersemangat.

"Walaupun tangan dan kaki tak bisa bergerak, aku masih sanggup bertarung… Ayo datang!!"

Dia tampak begitu siap, penuh semangat dan keyakinan.

"Kalau begitu, aku mulai, ya~"

Latina mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku bisa membayangkan tangan itu akan menyeretku ke dalam pusaran kenikmatan, menghancurkan akal sehatku sepenuhnya.
Apakah ini akhir dari segalanya!?

Atau begitulah yang kupikirkan, sampai…

Guh!

Tangan Latina malah menyentuh otot bahuku.

"Enak, kan?"

"Eh… A-ah, iya…?"

Rasanya memang enak, tapi lebih ke arah melemaskan otot.

"…Pijat?"

"Iya, tentu saja. Memangnya kau kira apa?"

"Tidak, tidak ada apa-apa…"

Aku hanya bisa diam dan menerima pijatan itu. Dia dengan telaten memijat otot-otot di bagian depan tubuhku dari atas ke bawah, lalu menyuruhku tengkurap dan mulai memijat bagian belakang.

…Ah, benar-benar meresap ke dalam tubuh yang kelelahan ini.

"Tapi… maaf, ya. Dari tadi kau yang masak, kau juga yang mijat, padahal kau sendiri pasti lelah setelah pertandingan."

"Menyambut suami yang pulang dalam keadaan lelah adalah tugas penting seorang istri."

Latina tersenyum dan mengacungkan jempol. Aku menatapnya dalam diam.

"…?"

"…Ah, tidak, tidak ada apa-apa."

(Tak mungkin aku bisa bilang… Kalau menikah dengan Latina, apakah dia akan selalu merawatku seperti ini setiap kali aku pulang kerja?)

Kalau aku mengatakannya, aku pasti langsung diterkam olehnya. Dan jujur saja, rasanya agak memalukan memikirkan hal itu. Mungkin karena aku membayangkan masa depan seperti itu, tiba-tiba aku jadi ingin menanyakan sesuatu.

"Hei… Lati."

Aku bertanya sambil tetap tengkurap, menikmati pijatannya.

"Ada apa?"

"Kau bilang mau punya setidaknya delapan anak, kan? Kenapa sebanyak itu?"

"Hmm… Apa seseorang butuh alasan untuk ingin memiliki keturunan?"

"Yah… Kalau dari sudut pandang biologis, memang wajar sih."

Sebagai makhluk hidup, meninggalkan keturunan adalah bagian dari naluri dasar—seperti makan atau tidur, sesuatu yang wajar adanya.

"Tapi kalau ditanya apakah aku punya alasan tertentu, sebenarnya ada, sih."

Latina terus memijat sambil melanjutkan kata-katanya.

"Suku kami… sekarang hanya tersisa aku dan saudara-saudaraku."

Mataku melebar mendengar pengakuan tak terduga itu.

"Saat kami pergi ke Amerika, suku kami tertimpa bencana… dan semuanya meninggal."

"…Itu pasti berat bagimu."

"Iya… Aku menyayangi ayah, ibu… dan semua orang di suku kami."

Latina menutup matanya, meletakkan tangan di dada, seakan mengenang masa lalu.

"Aku lahir sebagai bagian dari suku Oquhanga, anak dari ayah dan ibu yang hebat. Itu adalah kebanggaanku."

"Sekarang, aku adalah satu-satunya penerus dari garis keturunan yang telah diwariskan selama berabad-abad. Aku ingin mempertahankan darah itu, dan membiarkannya terus mengalir di dunia ini."

Setelah mengatakan itu dengan penuh emosi, Latina kemudian kembali tersenyum ceria seperti biasa.

"Selain itu, keluarga besar pasti menyenangkan, kan!?"

Begitulah dia mengatakannya.

"……"

Setelah mendengar perasaan Latina seperti itu, aku pun...

(…Nggak, ini berat banget!!)

Yang pertama terlintas di pikiranku hanyalah itu. Seriusan!?
Tanggung jawabnya jauh lebih besar dari yang kubayangkan, bahkan sampai seratus juta kali lipat!?

Bagi Latina, memiliki anak adalah tindakan yang sangat penting untuk memastikan kelangsungan darah sukunya. Dan entah kenapa, akulah yang dipilih sebagai pasangannya.

"…Bukankah aku ini kurang cocok? Gimanapun juga, rasanya aku nggak cukup kuat untuk itu."

Tanpa sadar, aku mengungkapkan pikiranku.

"Tenang saja, sperma Makoto ada, kok?"

"Bukan itu maksudku… Eh, tunggu dulu. Kok kamu tahu itu sebagai fakta?"

"Soalnya, setelah Makoto keluar dari toilet, ada yang ketinggalan, jadi aku cek pakai alat observasi. Mereka berenang dengan sangat lincah, lho."

"Itu pelanggaran privasi yang keterlaluan banget!?"

Kalau dipikir-pikir, ini kayaknya bisa dituntut, nggak sih!?
Ya, meskipun aku nggak akan nuntut sih!! Tapi, terlepas dari itu...

"Aku ini… masih anak ingusan yang nggak bisa apa-apa. Aku nggak ngerti kenapa kamu berekspektasi setinggi itu dariku."

Aku mengatakannya dengan jujur.

"Aku pikir nggak masalah, kok."

"Kamu bilang aku punya keberanian karena dulu aku pernah menolongmu. Tapi waktu itu aku cuma kebetulan berhasil nolongin karena nekat aja."

Namun...

"Kamu menangis waktu itu."

"Eh?"

"Ingat nggak? Awal bulan April, Makoto main basket di aula, kan?"

Tentu saja, aku ingat. Mana mungkin aku bisa lupa? Saat itu, aku bertanding melawan Sakuraba yang masih pemula dalam basket, dan kalah telak tanpa ampun. Hari di mana kepercayaan diriku yang tipis dan kekanak-kanakan itu hancur berkeping-keping.

"…Kenapa kamu bisa tahu soal itu?"

"Sebenarnya…"

Menurut Latina...

Hari itu, bertepatan dengan ujian seleksi untuk bisa menjadi murid pertukaran di sekolah kami. Setelah ujian selesai, karena itu pertama kalinya Latina melihat sekolah Jepang, dia diam-diam berjalan-jalan untuk melihat-lihat berbagai tempat. Lalu, secara kebetulan, dia melihat pertandinganku melawan Sakuraba di aula.

Aku yang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan bakat luar biasa, dihancurkan habis-habisan. Aku yang tidak mau mengakui kekalahan, terus menantangnya lagi dan lagi, tapi tidak bisa mencetak satu poin pun, hanya terjatuh ke lantai secara menyedihkan karena perbedaan kekuatan.

"Makoto menangis dengan sungguh-sungguh waktu itu."

Ya.

Aku menantang Sakuraba berkali-kali, tidak bisa melawannya sama sekali, kalah, dan menangis.

Aku masih ingat betul.

Aku merasa sangat tidak berdaya, menyedihkan, dan frustrasi, sampai-sampai aku menangis sejadi-jadinya di depan semua orang.

Itu pasti adalah momen paling memalukan dan tidak keren dalam hidupku. Sejujurnya, aku ingin melupakan kejadian itu selamanya.
Namun...

"Pria yang hanya bisa tertawa setelah kalah, setidaknya buatku, nggak ada harganya."

Latina berkata seperti itu.

"Soalnya, sehebat apa pun seseorang, dalam hidup pasti akan ada banyak rintangan. Dan pada saat itu, yang paling penting adalah memiliki tekad untuk berkata, 'Aku nggak akan tinggal diam seperti ini.'"

Dengan suara lembut tapi penuh keyakinan, Latina melanjutkan.

"Makoto yang waktu itu menangis karena merasa frustrasi, suatu hari pasti akan menjadi pria yang keren dan bisa diandalkan."

"……"

"Aku yakin akan hal itu."

Setelah berkata begitu, Latina turun dari tubuhku.

"…Baiklah, selesai."

"A-ah, makasih…"

Aku berdiri dan mencoba menggerakkan tubuhku.

"Wow, jauh lebih enakan sekarang… Pijatanmu jago banget, ya."

"Ini adalah teknik rahasia suku kami. Semua rasa lelah akan langsung menghilang!"

Latina berkata sambil memasang ekspresi bangga.

Di dahinya terlihat keringat, tapi aku bisa merasakan bahwa dia benar-benar senang karena berhasil menghilangkan rasa lelahku.
Jadi begitu, Anak seperti ini, anak sebaik ini, menaruh harapan padaku...?

"…Hei, Lati. Soal kita pacaran..."

"Kalau begitu, saatnya menyantap hidangan utama~"

Zrup!!

Tiba-tiba, Latina menarik celanaku beserta celana dalamnya ke bawah.

"Ha!?"

"Oh, halo di sana, Makoto yang satunya~"

Latina menatap itu yang kini terlihat jelas.

"Apa yang tiba-tiba kau lakukan!?"

"Sejak tadi sudah siap sedia, jadi kupikir lebih baik menanggapi harapannya..."

"Jadi dari tadi kau sadar juga ya!!!"

Aku pun buru-buru menarik celana sambil lari menghindari Latina yang mengejarku ke sana kemari.


Chapter 12 - Pria Yang Keren dan Bisa Diandalkan
==============================================

Malam itu.

Aku duduk menghadap meja. Di atasnya, ada buku referensi dan buku pelajaran yang digunakan di sekolah.

"Kapan terakhir kali aku duduk di depan meja bukan untuk sekadar mengerjakan PR dengan cara mengelabui guru...?"

Ya, yang akan aku lakukan sekarang bukanlah mengerjakan tugas yang diberikan sekolah, melainkan belajar dengan usahaku sendiri—benar-benar belajar mandiri.

Sebelumnya, aku selalu kewalahan hanya untuk mengikuti pelajaran di sekolah unggulan ini. Pekerjaan rumah saja sudah cukup membuatku keteteran. Tapi beberapa waktu lalu, Lati mengajariku sesuatu.

"Kalau tidak mengerti, cukup salin jawabannya, lalu ulangi dari bagian yang tidak kamu pahami."

Sekarang, kurang lebih tiga minggu tersisa sebelum ujian akhir semester. Aku sudah menyalin jawaban untuk semua tugas yang kemungkinan besar akan diberikan, mencari informasi dari internet, dan menyelesaikannya lebih dulu.

... Yah, meskipun begitu, tugas sekolah di SMA unggulan di daerah terpencil ini begitu banyak. Bahkan hanya menyalinnya pun sudah menyita waktu sebanyak ini.

"Artinya, sisa waktuku bisa kumanfaatkan untuk fokus belajar sungguhan."

Aku memejamkan mata.

—"Makoto yang menangis penuh penyesalan waktu itu... Suatu saat pasti akan menjadi pria yang keren dan bisa diandalkan."

Suara Latina bergema dalam benakku. Entah kenapa, muncul perasaan percaya diri yang tidak beralasan di dalam diriku.

Aku menggenggam pena.

"…Ya. Aku akan menjadi pria yang keren dan bisa diandalkan!!"

Dengan semangat membara, aku mulai membuka buku referensi dan mulai belajar...

□□

Dua jam kemudian.

Terdengar suara pop dari tisu yang dilempar ke tempat sampah.

(... Aku benar-benar melakukannya.)

Aku menundukkan kepala dengan lesu, duduk dengan tubuh bagian bawah masih terbuka.

Ya, seperti yang kalian bayangkan.

Aku memang membuka buku referensi, tapi langsung merasa pusing, lalu berakhir dengan perasaan yang menggebu-gebu dan akhirnya menghabiskan dua jam untuk—ah sudahlah.

"Ini terlalu memalukan... Apa-apaan, si monyet ini..."

Aku benar-benar kecewa dengan diriku sendiri. Sial, otakku hanya berisi nafsu saja.

"Tidak boleh begini... Aku lelah dan mulai mengantuk... Apa yang harus kulakukan..."

Rasa kantuk yang kuat menyerang, dan akhirnya aku merebahkan diri di tempat tidur. Ah... Sial, kasurnya terasa begitu nyaman...

Dan begitulah, aku masih belum bisa lepas dari ancaman tinggal kelas.

□□

"…Hei, Sakuraba. Bisa ajarin aku belajar?"

Pagi itu, aku datang ke kelas sebelah. Aku sudah tidak peduli dengan rasa malu lagi. Karena itu, aku memutuskan untuk meminta tolong pada satu-satunya orang yang kukenal dan bisa diandalkan dalam hal belajar.

Sejujurnya, meminta tolong pada pria ini benar-benar melukai harga diriku. Tapi, aku sudah membantunya dengan urusan kencan kemarin, jadi anggap saja ini transaksi yang setimpal.

"Belajar? Boleh, kok, Master."

Sakuraba menerima permintaanku tanpa ragu sedikit pun. Oh ya, dia sedang membawa sebuah buku di tangannya. Sampulnya terlihat simpel tapi punya kesan intelektual. Judulnya: Tractatus Logico-Philosophicus, karya Wittgenstein.

Seperti yang diharapkan dari seseorang yang selalu masuk peringkat sepuluh besar dalam ujian. Meskipun kelihatannya tolol dalam kehidupan sehari-hari, ternyata dia membaca buku yang sulit dan bernuansa akademik seperti ini...

(... Atau begitu kupikir, sampai aku sadar dia cuma menukar sampul bukunya!! Itu yang dia baca malah novel ringan penuh gadis moe!!)

Aku melihat sekilas halaman yang sedang dia baca, dan ada ilustrasi gadis kecil bergaya loli dengan rok tersingkap. Yah, aku bisa mengerti kalau dia tidak mau terlihat aneh di depan teman-temannya, tapi sampai segitunya...

"Aaah, jadi yang mau kau tanyakan itu matematika, ya?"

Aku membuka halaman yang termasuk dalam cakupan ujian dan menyerahkannya pada Sakuraba.

"Oh, matematika? Aku juga belum belajar bagian ujian kali ini. Pelajaran di kelas terlalu membosankan, jadi aku tidak terlalu mendengarkannya."

"Hah? Serius? Kalau begitu, mungkin lebih baik kita bahas mata pelajaran lain saja."

Seriusan? Dia tidak mendengarkan pelajaran, tapi tetap bisa mendapat nilai setinggi itu? Ternyata dia memang cukup rajin belajar sendiri, ya. Aku jadi agak kagum.

"Gak masalah, kok. Sini, pinjam bukunya."

Sakuraba mengulurkan tangan, dan aku pun menyerahkan buku itu kepadanya. Dia lalu membuka halaman ujian dan mulai membaliknya dengan kecepatan yang luar biasa.

Zzzzhhh

Dalam hitungan detik, dia sudah selesai membaca semua halaman cakupan ujian.

"Ya, sekarang kau boleh bertanya apa saja."

Sakuraba menyerahkan kembali buku itu kepadaku dengan ekspresi tenang.

"Apa!?"

Aku spontan berseru.

Apa-apaan itu? Ini bukan manga, tahu!?

Aku masih tidak percaya, jadi aku memutuskan untuk mengetesnya.

"…Kalau begitu, soal nomor dua di halaman 49?"

"Oh, itu? Jawabannya didapat dengan memasukkan nilai dari soal pertama. Hasilnya, B = 3,4."

Dia menjawab tanpa melihat buku.

"... Seriusan?"

Kalau bisa kayak gitu, jelas dia nggak perlu dengerin pelajaran dan cukup belajar sedikit sehari sebelum ujian. Sementara aku harus bersusah payah begini, rasanya nggak adil banget...

"Aku beneran nggak suka sama kau..."

"Eh!? Kok gitu!?"

Tapi, tenang... Memang bikin kesal, tapi aku harus menahannya.
Faktanya, Sakuraba memang pintar. Jadi lebih baik aku memanfaatkannya untuk belajar. Bodoh atau jenius, yang penting tahu cara menggunakannya.

"Jadi, aku mau nanya. Kenapa di bagian ini harus substitusi jawaban sebelumnya? Aku nggak ngerti alasannya."

Begitu aku bertanya...

"......Entahlah? Aku juga nggak tahu."

Sakuraba malah memiringkan kepala dengan tampang bloonnya, seolah ada tanda tanya besar di atas kepalanya.

"Lah, kenapa!? kau baru aja ngerjainnya tadi, kan!?"

"Oh, aku cuma inget semua isi buku teks kayak foto aja. Jadi aku nggak paham logikanya. Makanya aku nggak bisa menerapkannya ke soal lain. Kalau angka-angkanya diubah drastis atau muncul soal yang nggak ada di buku, aku langsung nyerah."

"Jadi gitu ya..."

Kalau dia juga bisa paham konsepnya, pasti dia selalu ranking satu di sekolah.

(Artinya, percuma juga kalau aku belajar sama dia.)

Intinya, nggak ada bedanya sama baca buku teks sendiri. Karena Sakuraba sendiri nggak ngerti, dia nggak bakal bisa ngajarin aku.

"...Hah, aku kecewa sama kau."

"Lho, kok makin turun sih tingkat kesukaanmu ke aku!?"

□□

"Haaah... Kalau bukan Sakuraba, kira-kira siapa yang bisa bantu aku 
belajar ya..."

Aku kembali ke kelasku, duduk di kursi, dan menatap ruangan sebelum homeroom dimulai. Sebenarnya aku bukan tipe yang nggak punya teman, tapi aku juga nggak punya sahabat yang akrab sampai main ke rumah.

Dulu aku punya teman dekat di klub, tapi sejak aku berhenti ikut klub, hubungan sosialku jadi sekadar kenal semua orang di kelas.
Yah, kalau mau cari yang paling sering ngobrol denganku, mungkin Satou.

Tapi dia juga kayaknya lebih sering baca novel ringan di kelas ketimbang belajar, dan nilainya nyaris pas-pasan...

(Hmm... Ada lagi nggak ya, orang yang bisa kuandalkan buat belajar?)
Ah, gimana kalau Katagiri?

Nilainya memang nggak terlalu bagus, tapi justru karena dia pernah kesulitan belajar dan sekarang bisa bertahan di peringkat menengah ke bawah, mungkin dia bisa mengajar dengan baik.

Aku melirik ke arah Katagiri.

“Fushuu!! Fushuu!! Ujian akhir tinggal sebulan lagi... Kali ini... Kali ini aku harus lepas dari daftar 50 terbawah...!!”

Dia mengenakan ikat kepala bertuliskan "Victory or HARAKIRI", matanya merah karena kurang tidur, dan sedang menatap buku referensinya dengan penuh tekad.

"...Kayaknya nggak enak kalau ganggu dia sekarang."

Aku pun diam-diam memberi semangat untuk teman masa SMP-ku itu dalam hati.

(Ada siapa lagi ya...? Oh, gimana kalau Kenjouin?)

Aku sempat ngobrol sedikit dengannya waktu kencan kemarin.
Nilainya sangat bagus, dan dia kelihatan cukup perhatian. Kalau aku minta tolong, mungkin dia mau membantu.

Saat aku melihat ke arah Kenjouin, salah satu temannya kebetulan sedang bertanya padanya.

"Heeey, Assuu~ Aku nggak ngerti bagian ini, ajarin dong~?"

‘Assuu’ adalah panggilan untuk Kenjouin Asuka. Gadis yang bertanya itu tampak cantik, cocok dengan tipe teman yang suka dikumpulkan Kenjouin.

TLN : Sesuai ama kelakuannya 

Kenjouin pun menerima buku teksnya tanpa ragu.

"Hah? Ikumi, masa segini aja kamu nggak bisa sih~?"

Dia tersenyum lebar, tampak sangat menikmati momen ini.

"Iyaaa, soalnya aku tuh bodoh~ Makanya ajarin aku lagi, yaa~"

"Haaah, nggak ada pilihan lain, deh. Aku tuh sering banget ditanyain soal kayak gini, lho. Susah banget, deh~"

Dengan ekspresi yang sangat lebay, Kenjouin mengangkat bahunya.
Ekspresinya seolah-olah ada tulisan besar di wajahnya: "MANTAP BANGET NIH RASANYA BISA NGEDEPANIN ORANG!!!"

(...Aku nggak mau belajar sama dia.)

Mungkin sih, kalau ada yang nggak keberatan dimanipulasi egonya, mereka bisa belajar dengan nyaman. Saat aku sedang berpikir begitu—

"Makoto, ada yang bisa kubantu?"

Tahu-tahu, di sebelahku, Lati sudah menatapku dengan matanya yang jernih.

(Ah, iya. Lati memang jago dalam semua mata pelajaran kecuali bahasa Jepang.)

"Sebenernya sih... Eh, nggak. Nggak ada apa-apa."

Aku hampir mengatakannya, tapi langsung menahan diri.
Rasanya nggak keren. Baru saja aku dibilang "cowok yang bisa diandalkan," tapi sekarang malah minta bantuan ke orang yang bilang itu? Lebih dari itu, kalau bisa menyelesaikan masalah nilai burukku sendiri, aku bisa pamer ke Lati dan kelihatan keren! Tapi...

"......(menatap dalam-dalam)"

"A-apa sih...?"

Tatapan matanya yang besar dan menggemaskan bikin aku ingin langsung mengalihkan pandangan. Jujur aja, badan Lati memang sangat menonjol, tapi wajahnya sendiri juga 100% sesuai dengan tipe idealku.

"Kalau ada masalah, bilang aja."

"Bukan apa-apa."

"Aku sedih kalau nggak bisa membantu Makoto."

Dia berkata begitu dengan ekspresi yang benar-benar tampak sedikit sedih....Itu agak curang, sih...

"Ah, ya sudah, aku mengerti. Dari dulu juga aku udah bilang, masalahnya ini soal belajar. Ujian sebentar lagi, tapi aku sama sekali nggak ada kemajuan."

"Oh, begitu ya!"

Dengan gerakan besar mengangkat kedua tangan, Lati menunjukkan bahwa dia paham.

…Setiap gerakannya selalu kelihatan menggemaskan, ya.

"Kalau begitu, biar aku yang mengajarimu!! Aku suka belajar, kok!!"

"Aku udah menduga kau bakal bilang begitu, sih…"

Aku menempelkan tangan ke dahiku dan berpikir sejenak. Yah, daripada keras kepala karena gengsi terus akhirnya benar-benar tinggal kelas, lebih baik aku minta tolong saja. Lagipula, kalau aku belajar dari Lati dan dapat nilai bagus, dia pasti bakal memujiku dengan tulus.

…Tapi tunggu, ini nggak jadi kayak anak yang dimanja ibu yang kelewat baik gitu, kan? Aku baik-baik saja, kan?

"Ya udah… tolong bantu aku."

"Baik!! Serahkan pada Lati-sensei!!"

□□

Dan begitulah, sepulang sekolah hari itu. Aku langsung pergi ke rumah Lati untuk belajar bersamanya…

"Baiklah, Sekolah di Rumah Lati-sensei dimulai!!"

"Tunggu sebentar, kenapa bajumu kayak gitu!?"

Bajunya berupa kemeja tipis dengan kancing terbuka sampai sekitar tombol ketiga, rok ketat super pendek berwarna hitam yang bahkan nggak bisa menutupi seluruh pantatnya, serta stoking super tipis yang sama sekali nggak ada gunanya buat menghangatkan tubuh. Ditambah lagi, dia pakai kacamata gaya.

Singkatnya, dia sedang memakai kostum khas "guru perempuan seksi" yang sering muncul di manga dewasa.

"Katanya, kalau anak laki-laki diajari oleh perempuan dengan baju seperti ini, semangat belajarnya bakal meningkat drastis! Itu yang Satou bilang!!"

Satou lagi!? Seleranya cocok banget sama aku!!

"Kau nggak suka, Makoto?"

Lati bertanya dengan ekspresi sedikit sedih.

"Bukan, bukan! Aku suka banget, tapi… bukan itu masalahnya!!"

".....?"

Lati hanya menatapku dengan kepala sedikit miring, seolah tak mengerti maksudku.

(…Sial, aku nggak bisa ngomong. Aku nggak bisa bilang kalau dengan pakaian itu, aku bakal lebih fokus ke tubuh Lati daripada pelajarannya!!)


Kalau aku bilang gitu, aku pasti bakal langsung ditindih di tempat.

"…Tapi tunggu, ini cuma soal aku yang harus menahan diri."

Aku menegaskan tekadku dalam hati.

Cewek ini pernah bilang aku "cowok keren yang bisa diandalkan"…
Kalau sekarang aku nggak bisa jaga harga diriku, kapan lagi aku bisa membuktikan itu?

Aku menampar pipiku sendiri dengan keras. Plak!!


"Baik, ayo mulai!! Pertama, kita kerjakan matematika."

"Semangat, ya!!"

Lati mengacungkan jempol sambil menyemangatiku. Dengan gerakan itu saja, bagian dadanya yang mengintip dari sela kemeja ikut bergetar…

Jangan lihat… Jangan lihat… Hapus dari pikiran… Namu Amida Butsu.

Aku mulai mengerjakan soal di buku referensi untuk ujian. Soal pertama… Ah, ini yang harus diselesaikan dengan sistem persamaan dulu untuk mencari nilai tertentu. Tapi… tahi lalat di dadanya Lati itu lumayan menggoda juga, ya.

(Tunggu, bukan itu! Fokus, fokus!!)

Aku mengembalikan pandanganku dari belahan dadanya ke buku catatan. Baiklah, persamaan pertama adalah 2x + 3y + 9 = 6y, jadi…

"Oh? Makoto, ini bukan soal lingkaran, lho?"

"Hah? Maksudnya apa?"

Aku melihat ke buku catatan, dan di sana tertulis:
2π + 3π + 9 = 6おπ

(…Sial, tanpa sadar aku mengganti semua simbol jadi π!!)

Aku pun menunduk dalam keputusasaan.

□□

Dan begitulah, aku tetap melanjutkan belajar meski pikiranku berkali-kali teralihkan oleh "Big Thunder Mountain" yang berguncang tepat di depan mataku.

Suara gesekan pensil memenuhi ruangan saat aku menulis di buku catatan. Walau sulit berkonsentrasi, setidaknya dengan bantuan Lati, aku bisa belajar jauh lebih efektif daripada kalau melakukannya sendiri.

Walaupun setengah dari energi otakku harus kuhabiskan untuk menahan diri agar tidak tergoda oleh keseksiannya, harus kuakui satu hal—Lati memang pandai mengajar.

"…Kau memang luar biasa, Lati."

Aku tanpa sadar menggumamkan itu.

"Apa maksudnya?"

"Kau ini, seorang asing yang mengajar orang Jepang pakai bahasa Jepang. Aku sendiri sudah belajar bahasa Inggris selama tiga tahun di SMP, tapi percakapan sederhana pun masih susah."

"Aku memang suka Jepang!! ‘Orang yang menyukai sesuatu akan lebih mahir melakukannya!!’"

"Yang benar ‘terlatih’, bukan ‘mahir’. Hampir benar."

Meski sesekali ada kesalahan, Lati sudah sangat fasih berbahasa Jepang.

"Katanya bahasa Jepang itu salah satu bahasa tersulit di dunia, kan? Bahkan kami yang orang Jepang pun kadang kesulitan dengan tata bahasanya, apalagi pelajaran sastra klasik. Bagaimana kau bisa menguasainya?"

"Awalnya, aku hanya menghafalkan banyak teks bahasa Jepang dengan cara membacanya keras-keras!!"

Sambil berbicara, Lati mengeluarkan beberapa buku dari tas kulitnya yang entah terbuat dari hewan apa. Ada buku bacaan ringan untuk anak SD, novel fantasi untuk remaja, dan satu buku tebal yang terlihat cukup sulit.

"Awalnya aku sama sekali tidak mengerti isinya, tapi setelah membacanya keras-keras berkali-kali sampai paham, akhirnya aku bisa berbicara."

"Wah. Jadi kau mengulanginya sepuluh atau dua puluh kali, ya?"

Aku pernah mendengar kalau kunci belajar adalah mengulanginya terus-menerus. Namun, jawaban Lati jauh di luar dugaanku.

"Tidak, mungkin sekitar lima puluh kali!"

"Lima puluh kali!? Serius!?"

Aku tahu Lati tidak mungkin berbohong soal ini, tapi tetap saja mengejutkan.

"Lima puluh kali, ya…"

"Sebagian besar hal akan bisa dikuasai kalau kita mengulanginya sebanyak itu!!"

Lati membuka salah satu bukunya dengan gerakan luwes, memperlihatkan halaman-halaman yang sudah bolak-balik dia baca.
Sampulnya sudah lusuh, memperlihatkan seberapa besar usaha yang telah dia lakukan. Saat itu, aku menyadari sesuatu.

(…Oh, mungkin aku juga bisa menghafal bagian yang sulit kalau mengulanginya sebanyak itu?)

Dulu, saat ujian di SMP, aku memang mengulang soal beberapa kali, tapi tidak sampai sebanyak itu. Aku pikir sudah berusaha keras, tapi dibandingkan Lati, jelas usahaku masih kurang jauh.

"Oh, iya. Makoto, mulai besok aku harus pulang ke Brasil selama satu minggu."

Lati tiba-tiba menepuk tangannya seolah baru teringat.

"Oh, begitu ya."

"Maaf, aku tidak bisa membantumu belajar selama itu."

"Ah, nggak apa-apa. Lagipula aku belajar gratis dari—hmm, mungkin aku akan mencoba mengulang soal ujian sampai lima puluh kali sebelum kau kembali."

Aku menyelipkan jari di halaman buku yang berisi materi ujian.

"Hmm, tapi jumlahnya cukup banyak… Aku bisa nggak, ya?"

Saat aku mulai ragu, Lati menatapku dengan senyum cerah dan mengacungkan jempolnya.

"Kau pasti bisa, Makoto!!"

Melihat senyumnya itu, entah kenapa aku merasa benar-benar bisa melakukannya.

"Baik… kalau begitu, ayo mulai!!"

"Semangat yang luar biasa!! Berjuanglah, Makoto!!"

□□

Keesokan harinya.

"Satu minggu berarti sekitar tujuh kali per hari, ya…"

Hari ini hari Sabtu tanpa kelas tambahan. Sejak pagi, aku sudah duduk di meja belajar. Berbeda dari kemarin, sekarang aku sendirian karena Lati sudah pergi ke Brasil.

…Yah, setidaknya sekarang aku tidak terganggu oleh godaan dari dadanya, bokongnya, atau wajahnya.

"Baiklah, mari mulai!"

Aku membuka buku teks matematika dan mulai membacanya.

"…Ugh."

Dan seperti yang sudah kuduga, aku langsung menemui kebuntuan.
Bahkan, hal-hal yang kupikir sudah kupahami setelah diajari oleh Lati kemarin ternyata tidak sepenuhnya kupahami, atau bahkan sudah kulupakan sepenuhnya. Ini benar-benar berantakan.

Sial… Aku mulai merasa terangsang lagi.

—Tuan, di sinilah hamba akan maju.

Tanah Muramaro di bawah selangkanganku mulai ingin bertindak sendiri.

(Tidak, tidak, tidak! Aku harus menahan diri!)

Aku menutup mata dan mencoba berkonsentrasi.

"Kamu pasti bisa, Makoto!!"

Senyum dan suara Lati terlintas di pikiranku.

"Baiklah."

Lalu aku melanjutkan membaca buku teks dalam diam. Bukan hanya bagian yang masuk dalam cakupan ujian, tetapi juga bagian sebelum itu yang diperlukan untuk memahami materi ujian kali ini.

(Ugh, sial. Aku benar-benar tidak paham…)

Tapi untuk saat ini, yang penting adalah terus maju. Aku tidak perlu langsung paham. Kalau dipikir-pikir, aku bisa menembak dan menggiring bola basket dengan baik bukan karena latihan sekali dua kali, tapi karena melakukannya berkali-kali. Mungkin belajar juga seperti itu.

Alih-alih langsung mencoba mengerjakan soal, aku mulai dengan membaca soal, jawabannya, dan penjelasannya.

(Aku benar-benar tidak mengerti apa-apa sampai kepalaku terasa kosong… Mungkin kalau kubaca dengan suara keras, setidaknya aku bisa terus maju tanpa berhenti.)

Akhirnya, aku seperti membaca doa yang sama sekali tidak kupahami, tapi aku terus melanjutkannya. Setelah beberapa jam berlalu…

"…Akhirnya selesai membaca satu putaran."

Aku menghela napas panjang dan bersandar ke kursi.

"Jujur, rasanya aku tidak memahami apa pun… Dan aku benar-benar lelah…"

Tapi ini baru satu kali membaca.

"Aku harus melakukan ini enam kali lagi hari ini? Serius?"
Rasanya seperti berdiri di depan jalan yang panjang tanpa akhir.

"…Tapi, tetap saja, aku harus melakukannya. Aku sudah bilang pada Lati kalau aku akan melakukannya."

Jadi, meskipun aku tidak mengerti apa pun, aku terus membaca sampai malam tiba. Pada akhirnya, aku berhasil menyelesaikan tujuh putaran seperti yang telah kutargetkan. Namun, keesokan harinya…

Setelah bangun siang akibat kelelahan, aku menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan sebelum akhirnya memulai belajar. Saat itulah aku dibuat terkejut.

"…Serius? Aku sama sekali tidak ingat dan tetap tidak mengerti."

Padahal aku sudah melakukan sebanyak itu kemarin…

"Tapi aku harus tetap melakukannya…"

Aku mencoba kembali membaca buku teks.

"Ugh…"

Tapi rasanya begitu menyiksa. Apakah ini benar-benar ada gunanya?
Mungkin ada cara yang lebih efektif? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.

Dan aku pun menyadari sesuatu yang sangat sederhana. Belajar itu sulit kalau kita tidak mengerti. Saat SMP, aku merasa sudah cukup belajar, tapi sebenarnya aku hanya mengerjakan hal-hal yang sudah sedikit kumengerti sejak awal.

Saat kita paham dan bisa mengerjakan sesuatu, semuanya terasa lancar dan menyenangkan. Mungkin karena itulah aku dulu berpikir kalau aku sudah cukup belajar.

Tapi… aku mungkin belum pernah benar-benar "belajar" dalam arti yang sesungguhnya—berjuang memahami sesuatu yang awalnya tidak kumengerti sama sekali.

"Sudah, aku istirahat sebentar… Mungkin hari ini cukup satu kali putaran, dan besok aku lanjut lagi."

Begitulah pikiranku saat itu—sangat naif.

"…Oh, sial, besok kan sudah hari Senin."

Aku baru sadar kalau keesokan harinya adalah hari sekolah. Dengan kata lain, aku tidak bisa menghabiskan waktu seharian penuh untuk belajar seperti di akhir pekan.

Memang, di sekolah kami tetap mempelajari materi ujian, tetapi karena aku belum memahami konsep dasar sebelumnya, semua yang dijelaskan guru terdengar seperti mantra yang tidak kumengerti.

"…Baik, sampai di sini dulu pelajarannya. Aku sudah menyiapkan lembar tugas tambahan. Kumpulkan hari Jumat, ya."

"Serius…?"

Dan di atas semua itu, ada PR tambahan. Yah, hal seperti ini sebenarnya sudah biasa.

(Tapi ini di luar dugaanku…)

Aku menyesali betapa cerobohnya aku dalam merencanakan semuanya. Dan akhirnya, malam pun tiba.

"Ini buruk… Sangat buruk…"

Begitu sampai di rumah, aku langsung membuka buku teks.
Karena hanya melakukan satu putaran kemarin, sekarang aku harus mengejar ketertinggalan dengan melakukan setidaknya delapan putaran per hari.

Aku tidak punya waktu sama sekali.

(Aku sudah janji pada Lati kalau aku akan melakukannya…)

Kalau aku menyerah sekarang, itu akan sangat memalukan. Dengan pemikiran itu, aku mencoba kembali membaca buku teks.

"Ugh…"

Tetap saja, aku tidak mengerti.

Meski ada beberapa bagian yang mulai kupahami, aku sudah terlalu sering melihat materi yang sama, sampai-sampai aku merasa bosan.
Dan yang lebih buruk, aku masih belum benar-benar memahaminya.
Aku secara refleks menutup buku teks dan mengambil ponselku.

Aku membuka game sosial di ponselku. Meskipun aku pemain gratisan, aku tetap rajin mengumpulkan bonus login, sehingga aku bisa bertahan di pertandingan peringkat dalam game favoritku ini. Seperti biasa, aku mengklaim bonus login, menghabiskan stamina, dan meningkatkan level karakternya…

"…Eh, apa yang kulakukan!?"

Kenapa aku malah menghindari kenyataan dengan begitu alami? Sekarang bukan waktunya untuk ini! Aku harus belajar! Aku langsung mematikan ponsel dan membuka buku teks. Namun, rasa tidak suka itu tetap ada. Apakah ini benar-benar ada gunanya? Bukankah ada cara yang lebih efektif?

Sementara aku berjuang seperti ini, pasti orang seperti Sakuraba sudah menghafal seluruh materi ujian dalam sekejap dan akan mendapatkan nilai terbaik di kelas lagi.

Sama seperti saat bermain basket.

Dulu di SMP, aku selalu datang lebih awal untuk latihan dan menjadi pemain terbaik di tim. Tapi meskipun aku berlatih keras, selalu ada orang yang sejak awal bisa melakukannya dengan mudah, seolah itu hanya permainan bagi mereka.

Tapi… aku bukan orang seperti itu.

"…Aku…"

Lima jam kemudian.

Tumpukan tisu menumpuk di tempat sampah.

"…/(^o^)"

Dengan ponsel yang masih menampilkan manga erotis di tanganku, aku terduduk lesu dalam keadaan setengah telanjang.

□□

"Akuuu pulanggg!! Makoto!!"

Sabtu pagi.

Seperti yang dikatakannya, Lati akhirnya kembali dari Brasil. Ia tersenyum cerah seperti matahari, seperti biasanya.

"…Oh, selamat datang."

Tapi hari ini, aku tak sanggup menatap wajahnya. Lati meletakkan kantong kulit yang dibawanya ke lantai dan berkata,

"Aku membawa banyak oleh-oleh!! Yang ini, cukup menghirupnya sekali, dan kau bisa tetap bersemangat semalaman!! Oh iya, Makoto, bagaimana belajarnya?"

"…"

"Makoto…?"

"…Aku gagal."

Aku menundukkan kepala saat mengatakannya.

"Pada akhirnya, aku hanya belajar dengan serius di hari pertama… Bukannya lima puluh kali, sepuluh kali saja aku tidak melakukannya…"

"…Oh, begitu ya…"

Lati menurunkan nada suaranya. Mungkin dia kecewa… Aku sudah berjanji padanya, tapi inilah hasilnya. Namun, Lati berkata,

"Kalau begitu, kita mulai lagi dari sekarang! Masih ada waktu sebelum ujian!!"

Nada suaranya kembali ceria seperti biasa.

"Tidak… Itu tidak mungkin…"

"Makoto pasti bisa!!"

Ia mengacungkan jempolnya.

"Itu tidak mungkin, Lati!!"

Aku secara refleks berteriak. Suaraku menggema di seluruh ruangan, membuat Lati terdiam.

"…Saat SMP, aku bisa melakukan banyak hal lebih baik dari orang lain. Aku sedikit lebih berbakat, cukup berusaha sedikit lebih keras, dan aku bisa lebih baik dari mereka… Itu membuatku ingin berusaha lebih lagi…"

Tanpa diminta, aku mulai berbicara.

"Tapi… sejak masuk SMA, semuanya berubah. Aku hanya menghadapi hal-hal yang tidak bisa kulakukan… dan itu membuatku kehilangan motivasi… Aku bukan seorang jenius, tapi aku juga tidak punya mental baja untuk menghadapi kegagalan…"

Lalu, aku berkata,

"Jangan salah paham, Lati… Aku bukan pria keren dan bisa diandalkan seperti yang kau kira…"

Betapa menyedihkannya aku. Aku sendiri merasa jijik. Namun…

"Tidak apa-apa. Saat keadaan mendesak, Makoto pasti bisa berusaha."

Lati tersenyum lembut sambil menatapku. Tatapannya begitu tenang, seolah ia benar-benar percaya padaku. Kenapa…?

Kenapa kau begitu percaya padaku…?

"…"

Aku tidak sanggup menatap balik matanya…

"…Maaf, pulanglah dulu hari ini."

Akhirnya, aku hanya bisa mengatakannya.

"Baiklah, kalau begitu, aku akan datang lagi besok!"

"Tak perlu… Aku hanya seperti ini, Lati…"


Chapter 13 - Demi Seseorang
==============================================

"Aah, sial!! Apa yang aku katakan kemarin? Itu kan cuma ngambek nggak jelas!!"

Keesokan harinya, aku menggaruk-garuk kepalaku dengan kasar di dalam kamarku.cAku hanya melampiaskan rasa benci pada diri sendiri karena nggak bisa melakukan apa yang sudah aku katakan akan kulakukan… ke Lati.

Kayak anak kecil saja aku ini.

"…Sudah siang, ya."

Hari ini hari Minggu. Satu hari libur penuh.

"Lati belum datang…"

Padahal kemarin dia datang pagi-pagi sekali. Biasanya, kalau dia bilang mau datang, dia akan langsung muncul.

(Jadi, dia benar-benar sudah muak… ya?)

Ya, wajar saja.

Kalau aku jadi dia, aku juga bakal meninggalkan orang kayak aku—yang nggak punya bakat atau tekad, tapi malah marah-marah ke orang yang sudah bersikap baik padaku.

Itu sih, sudah sepantasnya. Dari awal, hubungan kami ini memang terbangun dari kesalahpahaman besar tentang aku yang katanya pria hebat… Sekarang kesalahpahaman itu sudah terpecahkan. Hanya itu saja.

Jadi, aku nggak perlu terlalu memikirkannya, kan? Jangan terlalu terpuruk, Itou Makoto. Bukan itu yang harus kamu pikirkan sekarang.
Ancaman tinggal kelas masih tetap ada!!

Fokus ke belajar!!

Dengan pikiran seperti itu, aku pun mencoba duduk di meja dan belajar, setidaknya hanya untuk formalitas… tapi aku malah kepikiran Lati terus.

"…Aaaah, iya!! Memang sih, selama ini aku kesulitan, tapi aku suka digangguin sama Lati!! Kenapa aku malah bilang dia nggak usah datang?! Aku nyesel banget sekarang!! Bego! Aku bego banget!!"

Saat aku sedang berteriak seperti orang bodoh, tiba-tiba… Terdengar suara gagang pintu yang berputar.

(Hah? Bukannya sekarang cuma aku sendirian di rumah? Ibu sedang keluar…)

Jangan-jangan pencuri?! Tapi ternyata…

"…Maaf, aku telat… Makoto…"

Lati masuk ke dalam kamar dengan wajah pucat, hampir merangkak di lantai.

"Lati!? Eh, kenapa kamu!?"

Aku buru-buru berlari menghampirinya. Biasanya dia selalu penuh energi, tapi sekarang wajahnya benar-benar pucat.

"T-Tunggu, aku panggil dokter—"

Saat aku mencoba mengambil ponsel, Lati tiba-tiba meraih lenganku dan menghentikanku.

"Nggak perlu… Ini biasa terjadi…"

"Biasa!? Kamu punya penyakit!?"

Ini mengejutkan. Aku kira dia itu tipe orang yang sehat banget. Tapi ternyata…

"Aku… lagi menstruasi…"

"Hah?"

Sebagai seseorang yang bahkan hampir nggak punya teman perempuan, aku sama sekali nggak mengira dia akan mengatakan itu.

"Menstruasi sampai separah ini?"

"…Menstruasiku memang sangat berat… Aah, sakit…!!"

Lati memegangi perutnya dan mulai menggeliat kesakitan.

"L-Lati!? Kamu baik-baik saja!?"

"Aku baik-baik saja… Rasanya kayak C. Ronaldo sedang latihan tendangan bebas di dalam perutku, tapi aku baik-baik saja…"

"Itu jelas nggak baik-baik saja!? Pokoknya, tiduran dulu!! Pakai tempat tidurku!!"

□□

Aku mengangkat tubuh Lati dan membaringkannya di kasur. Lalu, aku segera berlari ke apotek terdekat dan membeli beberapa barang yang katanya bisa membantu saat menstruasi.

(Ternyata, tergantung orangnya… Tapi yang paling penting adalah menghangatkan tubuh dan mengonsumsi zat besi, ya…?)

Aku menempelkan koyo hangat di perut dan punggung Lati melalui bajunya.

"Maaf… Aku jadi nggak bisa bantu kamu belajar…"

"Udah, nggak usah dipikirin."

Aku membuka kotak jus kaya zat besi yang baru kubeli, memasukkan sedotan, lalu menyerahkannya ke Lati.

"Nih."

"…Terima kasih."

Sambil tetap berbaring, Lati memegang sedotan dengan bibirnya dan mulai menyeruput jus itu perlahan.

"Enak…"

Dia masih kelihatan kesakitan, tapi wajahnya sudah jauh lebih baik dari tadi. Setidaknya… mungkin untuk sementara aku bisa merasa sedikit lega?

"Haaah, kaget banget tadi…"

Sebagai seseorang yang nggak punya saudara perempuan dan sama sekali nggak berpengalaman soal perempuan, ini benar-benar pertama kalinya aku menghadapi situasi seperti ini.

Aku pun mengambil ponsel dan mencari informasi lebih lanjut.
Sepertinya, kondisi Lati ini disebut dismenore—menstruasi yang sangat menyakitkan.

"Gejala utama meliputi nyeri hebat di perut bagian bawah dan sakit pinggang. Selain itu, bisa disertai perut kembung, mual, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, diare, mudah tersinggung, bahkan depresi…"

"Ini terjadi setiap bulan…? Pasti berat banget, ya."

Dari tempat tidurnya, Lati bergumam pelan.

"Katanya… orang yang mengalami menstruasi berat seperti ini… mungkin punya penyakit di rahim mereka…"

"Serius!?"

Bagi Lati, yang sangat ingin punya banyak anak, ini jelas masalah besar.

"…Aku sudah pernah menjalani pemeriksaan… Sepertinya tidak ada penyakit… Bahkan, katanya tubuhku sangat sehat."

"Syukurlah."

Aku menghela napas lega. Tapi kemudian…

"…Tapi tetap saja, aku merasa cemas."

Lati berkata pelan.

"…Setiap kali menstruasiku terasa seberat ini… aku jadi takut. Takut kalau mungkin… tubuhku sebenarnya nggak bisa melahirkan anak…"

Gadis yang selalu ceria dan optimis… Sekarang terlihat begitu rapuh dan ketakutan.

"Lati…"

Aku… Melihat Lati seperti ini…

"Hei, ada yang bisa kulakukan untukmu?"

Saat aku bertanya begitu…

"Tolong usap perutku…"

Lati mengatakannya dengan suara lirih.

"Oke."

Aku duduk di samping tempat tidur dan mulai mengusap perut Lati dari atas selimut. Kalau dipikir-pikir, aku sedang menyentuh tubuh Lati—meskipun dari atas selimut—yang katanya memiliki ‘super body’ itu…

Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan hal itu. Yang terpenting adalah membuat Lati merasa lebih nyaman, walau hanya sedikit.

"…Hangat…"

Dengan ekspresi lembut, Lati tersenyum. Rasanya… dia terlihat lebih manis dari biasanya. Setelah sekitar sepuluh menit mengusap perutnya, Lati mulai tertidur dengan napas yang teratur.

"…Sepertinya dia sudah lebih baik."

Aku terus mengusap perutnya selama satu jam lagi, lalu merapikan selimut yang menyelimuti tubuhnya. Aku menatap Lati yang masih tidur dengan ekspresi sedikit kesakitan. Dan saat itu, aku sadar akan sesuatu yang sebenarnya sangat wajar.

(Seberapa pun ceria dan kuatnya dia terlihat… Seberapa sering pun dia tersenyum… Lati tetaplah gadis berusia enam belas tahun, sama sepertiku.)

Dia juga punya ketakutan tentang masa depannya. Saat tubuhnya lemah seperti ini, perasaan itu mungkin terasa semakin berat.
Dan perempuan… secara alami harus menghadapi ini secara rutin seumur hidup mereka.

"…Yah, karena itu, seorang pria harus bisa diandalkan di saat seperti ini."

Entah aku akan membangun keluarga besar dengan Lati atau tidak, itu urusan nanti… Tapi jika suatu hari aku mencintai seseorang dan berjalan bersama dengannya…


"Ahh, nggak mau ngerjain ini."

Sambil menggerutu, aku mengambil buku pelajaran dan buku referensi dari meja belajar, lalu membawanya ke meja bundar dan membukanya.

"Memang benci banget, ya."

Dalam seminggu terakhir, aku benar-benar menyadarinya. Melihat bagian yang masih belum kumengerti, meskipun sudah beberapa kali mencoba, rasanya menyakitkan. Aku tahu ini penting, tapi saat merasa "nggak bisa", keinginan untuk menyerah pun muncul.

Aku mulai membaca buku pelajaran.

(...Ugh, tetap nggak paham. Kalau begini, harus mulai dari awal.)

Aku membuka buku pelajaran dari awal, bagian yang bahkan lebih lama dari cakupan ujian. Lalu…

(Eh, bagian ini sekarang aku bisa ngerti?)

Bagian awal yang sudah lama tak kubaca ternyata mulai kupahami.
Bukan bagian yang sudah kubaca berulang kali hampir sepuluh kali, tapi memang bagian dasar inilah yang diperlukan untuk memahami materi ujian kali ini.

Tanpa kusadari, pemahamanku tampaknya berkembang. Dan bukan hanya satu bagian saja—saat aku terus membaca kembali buku pelajaran, semakin banyak bagian yang mulai terasa lebih masuk akal.
…Ya, meskipun masih banyak juga yang belum aku pahami.

"…Tapi aku nggak akan berhenti. Setidaknya sampai aku mencapai lima puluh kali seperti yang dilakukan Lati…"

Aku bisa mengeluh setelah itu.

Agar tidak membangunkan Lati, aku menggumamkan bacaan kecil-kecil. Dengan begitu, aku bisa memaksa otakku yang ingin berhenti berpikir untuk terus bekerja.

Aku pun terus membaca ulang buku pelajaran berkali-kali.


Hangat… Dalam tidurnya, Latina Olabomiwa merasakan kehangatan yang lembut menyelimuti tubuhnya.

Sakit kepala dan mualnya masih ada. Perutnya juga masih terasa seperti dipukul berkali-kali. Tapi tetap saja, ada kehangatan yang menenangkan dirinya.

Di antara kesadarannya yang samar, Lati melihat… punggung ayahnya.
Di rumah beratap jerami, di depan api unggun, ia berbaring sambil menatap punggung besar sang ayah.

"…Sudah bangun, Lati?"

Suara berat yang beresonansi hingga paru-paru itu terdengar. Ayahnya memiliki tubuh yang berotot dan kuat, benar-benar seorang pria yang hidup berdampingan dengan alam liar.

Wajahnya tampak seperti binatang buas yang cerdas dan ganas, tapi tatapan matanya selalu lembut.

"Papa masih kerja…?"

Ayahnya sedang mencampur tanaman obat untuk membuat ramuan.

"Hari ini ibumu sedang sakit. Saat seperti ini adalah waktunya pria untuk berperan."

Hari ini, ayahnya sudah pergi berburu sejak pagi, menghadiri pertemuan suku, memasak sebagai pengganti ibu, dan juga merawat mereka.

Di suku Lati, biasanya para perempuanlah yang lebih banyak bekerja, kecuali dalam hal berburu atau berperang.

Ayahnya pun biasanya menghabiskan waktu dengan bernyanyi, menari, atau membaca puisi dalam bahasa suku mereka. Tapi, saat keadaan mendesak seperti ini… ia menjadi seseorang yang sangat bisa diandalkan.

Lati sangat menyukai ayahnya yang seperti itu.

"…Aku ingin menikah dengan seseorang seperti Papa di masa depan."

Saat Lati berkata begitu, ayahnya menyipitkan mata dengan sedikit ekspresi bahagia.

"Kalau begitu… pilihlah pria yang bisa berjuang untuk seseorang."

Sambil terus meracik obat, ayahnya melanjutkan,

"Akan ada hari di mana kau menyadari betapa luar biasanya memiliki pria seperti itu di sisimu, terutama saat kau sedang kesulitan."

Itu adalah kenangan tentang ayahnya yang sudah tiada. Sekarang Lati berumur enam belas tahun dan tinggal di Jepang. Ia tak bisa lagi bertemu ayahnya. Tapi hanya dengan mengingatnya, hatinya terasa hangat.

(…Aku merindukan Papa.)

Lati membuka mata di dalam selimut.

Perutnya terasa hangat, mungkin karena Makoto telah menempelkan kairo dan mengusapnya. Dengan samar, ia mengintip ke depan…

Di sana, Makoto sedang duduk di sampingnya, berjuang dengan buku pelajaran dan buku referensi.

"Aduh, lupa lagi… harus baca penjelasannya ulang… Hahh, andai ingatanku sebaik Sakuraba, ya…"

Meskipun mengeluh, Makoto tetap melanjutkan belajarnya. Dan punggung Makoto, entah kenapa… terasa mirip dengan ayahnya.

(…Nggak apa-apa. Itu punggung yang keren dan bisa diandalkan.)

Agar tak mengganggu konsentrasi Makoto, Lati berbisik kecil. Lalu, ia terus menatap punggung itu…


0

Post a Comment



close