NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kazukazu no Kokuhaku o Futte Kita Gakkou no Madon'na ni Sotobori o Ume Raremashita Volume 1 Chapter 2

  Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


Chapter 2

Kedatangan Sang Ratu Es


"—Nii-ni... Nen-ne..."


Setelah makan malam dan mandi, tak lama kemudian, Kokoa yang berada di dalam pelukanku mulai mengantuk dan tampak terkantuk-kantuk. Waktu sudah lewat jam delapan malam, jadi memang sudah waktunya dia tidur.


"Ayo kita ke kasur, ya."


"Nn..."


Aku pun berdiri sambil menggendong Kokoa dan membawanya ke kamarku. Setelah menidurkannya di atas ranjang dan menyelimutinya, aku mengelus lembut kepalanya.


"Selamat tidur, Kokoa."


"Selamat... tidur..."


Dia sudah setengah tertidur sepertinya. Lebih baik kubiarkan dia tidur dengan tenang.


"—Suuu... suuu..."


Sekitar lima menit kemudian, terdengar napas kecil dan imut dari Kokoa yang tertidur. Aku pun pelan-pelan keluar dari kamar agar tidak membangunkannya, dan menuju ruang tamu.


"Ibu bilang hari ini pulangnya bakal telat, jadi sebaiknya aku mencuci baju dulu, ya."


Karena Kokoa masih kecil dan tak bisa dibiarkan sendiri, aku biasanya mengerjakan pekerjaan rumah setelah dia tidur. PR juga belum kukerjakan, dan masih banyak hal yang harus dilakukan. Kalau tidak cepat-cepat diselesaikan, waktu tidurku bakal berkurang. Dan ketika aku sedang mengerjakan pekerjaan rumah—


Ding-dong♪


—bel rumah berbunyi. Aku merasa firasat buruk...


Kalau itu ibu, dia tidak akan menekan bel rumah. Dan tak mungkin ada sales datang malam-malam begini. Siapa ya...? Tapi aku langsung tahu saat melihat wajah yang muncul di monitor.


"Selamat malam, bolehkah aku masuk?"


Di monitor, seorang gadis cantik berseragam sekolah muncul dengan ekspresi dingin—Suzumine-san menyampaikan permintaannya dengan tenang.


Tak kusangka dia yang datang. Apa dia tidak datang ke kelas tadi karena ingin bicara denganku tanpa kehadiran Misaki...?


"Ini sudah malam. Gimana kalau besok aja?"


"Orang secerdas kamu pasti tahu alasan kenapa aku sampai repot-repot datang ke sini."


Meskipun dia tidak tersenyum atau marah, ucapan tenangnya membuat bulu kudukku merinding.


"Ini soal Misaki, kan? Kalau begitu, bukankah lebih baik dibicarakan saat Misaki juga ada?"


"Kalau ada dia, pembicaraannya nggak bakal jalan. Atau, harus aku tunggu di sini sampai ibumu pulang?"


Dengan kata lain, dia menyiratkan bahwa dia tidak akan pulang sampai tujuannya tercapai. Aku juga penasaran kenapa dia tahu ibuku tidak ada di rumah... Tapi kalau dia menunggu di luar, aku jelas akan kerepotan.


"Baiklah, aku bukakan..."


Jelas, dia datang dengan persiapan untuk bicara, sementara aku terkejut dengan kedatangannya. Sudah jelas siapa yang berada di posisi lebih unggul. Padahal aku ingin menghindari pertengkaran...


"—Silakan masuk."


"Maaf ya, datang malam-malam begini."


Saat kubuka pintu, Suzumine-san masuk begitu saja seperti biasa. Kalau dia tahu ibuku belum pulang, mestinya dia lebih berhati-hati. Terlebih lagi, dia benci laki-laki.


"Kalau memang merasa bersalah, harusnya datangnya jangan malam-malam begini, kan?"


"Aku habis dari bimbel. Rumahmu jauh dari tempat aku bimbel, tahu? Ini pun aku udah buru-buru ke sini."


Oh, jadi itu sebabnya dia masih berseragam sekolah. Tak kusangka dia sampai sebegitunya hanya untuk bicara. Untungnya, suasananya tidak setegang seperti di sekolah. Setidaknya, auranya sekarang tidak setajam waktu di kelas.


"Adikku lagi tidur, jadi tolong jangan terlalu keras bicara."


"Iya, selama kamu nggak ngelakuin hal aneh, aku juga nggak akan teriak."


Ya, karena dia orang yang tenang, seharusnya memang tidak akan berteriak. Kecuali memang ada alasan kuat. Dalam situasi berdua begini, wajar kalau dia waspada. Justru aneh kalau ada cewek yang nggak hati-hati dalam situasi kayak gini.


"Jadi... kamu datang buat marah-marah?"


Aku langsung ke pokok permasalahan. Kalau kelamaan, ibuku bisa pulang duluan. Maka lebih baik urusannya cepat selesai.


"Marah? Kenapa?"


Tapi Suzumine-san malah terlihat bingung dan memiringkan kepala.

Hah, bukan soal itu...?


"Kukira kamu marah soal Misaki. Sebagai teman masa kecil, pasti ada hal yang mengganjal."


"Aku rasa, aku mulai ngerti bagaimana kamu menilai aku."


Sepertinya ucapanku tadi tidak berkenan di hatinya, karena dia menyipitkan mata dan menatapku tajam. Padahal kurasa aku tidak bilang yang aneh-aneh...


"Aku nggak bermaksud apa-apa. Wajar kok khawatir sama teman masa kecil. Kalau dia pacaran sama cowok yang dibenci banyak orang, tentu kamu bakal kesal, kan?"


Buktinya, teman-teman Misaki memang sempat mengeluhkan soal itu.

Menurutku, itu reaksi yang wajar.


"Aku sih nggak peduli Misaki pacaran sama siapa. Itu hak dia."


Suzumine-san menghela napas seolah lelah. Mungkin dia memang orang yang sangat rasional, jadi tidak terlalu peduli dengan urusan sekitar.


"Aku rasa pendapatmu itu dewasa banget, tapi bukankah agak dingin untuk teman masa kecil?"


"Oh, kamu yang ngomong kayak gitu, ya?"


Entah kenapa, aku merasa mata Suzumine-san mendadak menjadi tajam sesaat. Apa aku mengucapkan sesuatu yang salah…?


“Yah, sudahlah.”


Saat aku masih kebingungan, Suzumine-san kembali menghela napas.

Dia memang terlihat tidak puas, tapi tampaknya untuk sekarang ia memilih untuk tidak membahasnya lebih lanjut.


“Bukan berarti aku takkan menyampaikan pendapat kalau menurutku dia salah, lho? Tapi aku sama sekali tidak menganggap apa yang terjadi kali ini sebagai sebuah kesalahan.”


Dia kembali ke topik pembicaraan dan menatap mataku dengan serius.


“Jadi itu alasanmu tidak datang ke kelas waktu kehebohan pagi tadi. Tapi kalau memang begitu, kenapa repot-repot datang sekarang?”


Kalau dia memang sudah mengerti dan menerima situasinya, tidak ada alasan untuk datang jauh-jauh. Kami juga bukan teman dekat yang biasa ngobrol setiap hari. Tapi—mungkin dia memang menunggu pertanyaan itu dariku, karena dia tersenyum kecil dengan sudut bibir yang terangkat licik.


“Kalian sebenarnya tidak benar-benar pacaran, kan?”


“—!”


Pertanyaan yang dilontarkan tiba-tiba itu membuatku refleks menahan napas sejenak. Keberanian dan ketegasannya inilah kelebihan Suzumine-san. Tapi buat orang yang jadi lawan bicaranya, ini benar-benar menyusahkan.


“Kau yakin bertanya ke orang yang tepat? Kalau mau tahu soal itu, bukankah harusnya kau tanya langsung ke Misaki?”


Aku menatap matanya dengan ekspresi setengah malas, berusaha agar tak memberinya informasi lebih dari yang perlu. Kalau dia hanya sekadar menjebakku, aku harus bisa mengelak dengan baik.


“Aku tidak mau tanya ke Misaki.”


“Kenapa?”


Satu pihak ingin menyembunyikannya, pihak lain tidak mau bertanya—benarkah mereka ini teman masa kecil? Namun—


“Dalam situasi seperti ini, kalau aku yang bertanya, dia pasti akan berbohong. Makanya aku tidak mau membuat dia berbohong. Aku benci kebohongan.”


Ternyata, justru karena dia mengerti Misaki-lah dia tidak menanyakannya langsung.


“Yah, kalau teman masa kecil, biasanya akan bicara jujur, kan?”


Aku sengaja melempar pertanyaan yang mirip dengan yang kutanyakan ke Misaki sebelumnya, karena aku masih merasa ada yang janggal dan ingin tahu bagaimana responnya.


“Boleh aku mengutarakan hipotesisku lebih dulu?”


Namun, alih-alih langsung menjawab, dia malah memintaku untuk mendengarkan teorinya dulu.


“Ya, aku tidak keberatan…”


“Terima kasih.”


Tak terduga, Suzumine-san malah berterima kasih dengan sopan.

Dia memang orang yang serius dan taat aturan.


“Misaki itu punya alasan kenapa dia tidak punya pacar. Tapi sekarang tiba-tiba dia pacaran dengan cowok yang sebelumnya bahkan tidak terlalu dekat dengannya, itu aneh kalau dipikir secara logika.”


Ternyata, Suzumine-san tahu soal trauma Misaki. Dia tidak menjelaskannya secara detail mungkin karena mempertimbangkan kemungkinan aku belum diberitahu Misaki.


Mereka memang sering terlihat bersama di sekolah, jadi tidak aneh kalau dia tahu cukup banyak tentang pergaulan Misaki.


“Lalu?”


Karena dia sepertinya masih ingin bicara, aku mendorongnya untuk melanjutkan.


“Makanya, aku rasa jawabannya ada pada apa yang Misaki katakan di kelas hari ini. Waktu di festival musim panas, Misaki digoda oleh pria tak dikenal, lalu Shirai-kun berpura-pura menjadi pacarnya untuk menolongnya, bukan?”


Mata Suzumine-san memancarkan keyakinan penuh, seolah dia benar-benar yakin dengan teori itu. Sungguh percaya diri yang luar biasa.


“Kalau orang biasa, mungkin iya. Tapi apa kau tidak dengar reputasiku? Aku ini bukan tipe orang yang dengan senang hati terlibat dalam masalah seperti itu.”


Walau dia terlalu tahu banyak soal Misaki, aku tetap berusaha memainkan peran sebagai ‘pacar palsu’ dan menekankan sisi burukku sendiri. Orang-orang di sekolah tahu aku ini penyendiri dan cuek, jadi mereka pasti mengira aku takkan repot-repot menolong orang lain. Namun—


“Kau pasti akan menolongnya.”


Entah kenapa, Suzumine-san tidak mempercayaiku.


“Eh, tentu saja tidak akan, dong…?”


“Hmm?”


Ah, dari nada suaranya, aku tahu. Dia sama sekali tidak percaya.


“Yah, kita tinggalkan dulu soal itu.”


“Jangan asal tinggalkan, dong!?”


Karena dia terlalu gampang melewatinya, aku refleks menimpali.


“Percuma diperdebatkan. Kau tidak akan mengalah, dan aku juga tidak akan mengalah.”


Memang benar, aku tidak berencana untuk mengakuinya. Tapi kenapa dia juga tidak mau mengalah?


Aneh, padahal kami hampir tidak punya interaksi sebelumnya. Waktu ada urusan di sekolah saja, dia selalu bersikap dingin seperti ke murid laki-laki lainnya.


“Kembali ke topik, hubungan palsumu dengan Misaki tanpa sengaja disaksikan banyak murid. Lalu, karena Misaki menerima banyak pertanyaan lewat aplikasi chatting, dia mungkin berpikir seperti ini: kalau dia terus pura-pura jadi pacarmu, dia bisa lepas dari pertunjukan pengakuan cinta yang terus-menerus itu.”


Suzumine-san menyentuh dagunya sambil menyampaikan teorinya dengan percaya diri. Aku hampir saja berkomentar ‘kau detektif, ya?’ tapi karena suasana dia sedang cukup tenang, aku tidak mau menyulut emosi.


“Suzumine-san juga menyebutnya ‘pertunjukan pengakuan cinta’, ya.”


“Karena kenyataannya memang sudah seperti tontonan.”


Dia menjawab dengan tenang. Memang, terdengar seperti dia tidak menganggap ini urusannya sendiri.


“Tidak marah? Teman masa kecilmu jadi tontonan, lho?”


“Jangan alihkan pembicaraan.”


“Bukan, aku serius, kok…”


Tch, ketahuan juga.


“Yah, biar kujawab saja. Memang ada hal yang aku pikirkan soal orang-orang yang cuma menonton dengan senang, tapi para cowok yang menyatakan cinta itu semuanya serius, kan? Tidak mungkin bisa menghentikan mereka.”


Begitu ya, jadi seperti itu…


Memang mudah disalahpahami, tapi ternyata ‘teater pengakuan cinta’ itu hanya menjadi tontonan yang dinikmati orang-orang di sekitar.  Para cowok yang menyatakan cinta pada Misaki semuanya benar-benar serius. Bahkan kapten klub basket yang populer di kalangan cewek pun, mengungkapkan perasaannya dengan sungguh-sungguh.


Itulah sebabnya Suzumine-san memilih untuk memejamkan mata terhadap semua itu. Toh kalau akar masalahnya tak bisa dihentikan, mengusir para penonton penasaran juga bukan hal yang mudah.


“Ternyata, kamu cukup baik juga, ya.”


“Aduh, akhirnya kamu keluar juga tuh kata hatinya.”


Saat aku tanpa sadar mengucapkan kata-kata itu, Suzumine-san langsung menangkapnya dengan tajam dan tersenyum menyeringai. Dan kemudian—


“Aku bisa marah, lho?”


—ucapnya dengan nada suara yang turun beberapa tingkat. Yep, dia kelihatan menyeramkan dalam artian sebenarnya.


“Tapi tadi aku memuji kamu karena kamu baik, lho…”


“Tapi kamu bilang ‘ternyata’, kan? Artinya kamu merasa aku nggak kelihatan seperti orang yang baik, ya nggak?”


Yah, padahal harusnya dia sadar sendiri soal itu… Tapi sebaiknya aku tidak ngomong lebih jauh.


“Lalu, menurutmu dugaanku tadi benar atau tidak?”


Kupikir pembicaraan akan melenceng ke arah lain, tapi rupanya dia masih ingat apa yang kami bahas sebelumnya. Nah, apa yang harus kulakukan sekarang…?


“Kalau aku bilang itu salah, kamu bakal percaya?”


“Kalau kamu bilang dengan yakin, aku akan percaya.”


...Begitu ya. Dari ekspresi wajahnya aku bisa melihat, dia benar-benar berniat untuk percaya. Namun—mata itu juga seolah berkata, “Kalau ternyata kamu bohong, kamu tahu kan akibatnya?”


Kalau sudah ketahuan sampai sejauh ini, aku mungkin bisa saja menceritakannya… tapi ada janji antara aku dan Misaki. Aku tidak boleh melanggarnya.


“Kuserahkan pada imajinasimu saja.”


“...Itu curang.”


Saat aku mengelak dengan jawaban seperti itu, Suzumine-san memasang ekspresi tidak senang. Aku bisa mengerti kenapa dia tidak puas dengan jawabanku.


“Ini urusan antara aku dan Misaki, jadi aku nggak punya kewajiban untuk cerita ke kamu.”


“…”


Suzumine-san menyipitkan matanya dengan kesal dan terdiam.

Karena aku yang berbicara secara logis, dia jadi tidak bisa membantah.


Lagipula, kalau memang dia sudah memutuskan untuk membiarkan Misaki berbuat sesuka hatinya, seharusnya tidak perlu memastikan apakah semuanya itu bohong atau tidak.


“Haa… jadi aku ke sini cuma buang-buang waktu, ya.”


Sepertinya dia sudah menyerah. Syukurlah, tidak jadi ribut aneh-aneh.


“Lalu, kenapa Misaki nggak mau jujur ke kamu?”


“Padahal kamu nggak mau bilang pendapatmu bener atau salah, tapi kamu tetap mau nanya itu?”


“Soalnya aku penasaran.”


Aku memang sudah tahu jawabannya dari sisi Misaki, tapi bukan berarti Suzumine-san juga akan menjawab hal yang sama. Aku ingin tahu apa pendapat dia sebenarnya.


“Haa…”


Dengan ekspresi pasrah, dia menghela napas.


“Misaki itu merasa kalau dia membalas perasaan cowok-cowok yang menyatakan cinta padanya dengan kebohongan, maka dia akan mengkhianati mereka. Karena itu, kalau aku sampai tahu, dia takut aku bakal membencinya.”


“Tapi kalau begitu, kenapa kamu nggak bilang ke dia bahwa kamu nggak marah? Kan kenyataannya kamu memang nggak marah, kan?”


Padahal meski Suzumine-san sadar bahwa Misaki sedang berbohong, dia sama sekali tidak tampak marah. 


Jadi sudah pasti, soal ini memang tidak membuatnya kesal. Kurasa, itu hanya kesalahpahaman dari Misaki saja.


"Misaki sendiri merasa terganggu dengan teater pengakuan cinta itu, jadi kalau dia bicara jujur padaku, tentu saja aku nggak akan marah. Menurutku itu juga solusi yang relatif lebih baik. Tapi ya, meskipun kami teman masa kecil, bukan berarti aku wajib ngomong duluan, dan aku juga nggak berniat memanjakannya sampai sejauh itu."


Kelihatannya, dia berpikir bahwa Misaki harus punya cukup keberanian untuk menyampaikan sendiri. Dia ini punya cara berpikir seperti orang tua atau guru, kah…


Mungkin bagi Suzumine-san, meski seumuran, Misaki itu seperti adik sendiri.


"Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku. Dan maaf, ya, kamu sampai repot-repot datang ke sini."


"Fufu, kamu minta maaf? Aneh juga, ya."


Padahal aku sendiri menyembunyikan jawabanku, tapi karena Suzumine-san sudah menjawab, aku merasa harus minta maaf. Tapi entah kenapa, dia malah menutup mulut dengan tangannya sambil tertawa geli. Sepertinya ini pertama kalinya aku lihat dia tertawa begitu di depan cowok…


"Aku ke sini karena kemauanku sendiri, jadi kamu nggak perlu minta maaf. Lagipula, aku masih punya satu urusan lagi, lho."


"Hah, masih ada lagi…?"


"Jangan pasang muka ogah gitu, dong."


Sepertinya dia tidak suka dengan reaksiku, karena dia menyipitkan mata dengan kesal. Ternyata, dia juga punya sisi yang sesuai dengan usianya.


"Aku nggak mau ibuku salah paham, makanya..."


"Tenang saja, ibumu belum pulang kok."


"Tapi dari tadi aku penasaran, kenapa kamu tahu banyak soal ibuku?"


Karena momen ini pas, aku memutuskan untuk bertanya. Tapi dia malah mendengus sambil mengangkat bahu.


"Orang yang pelit nggak mau ngasih tahu jawaban, ya aku juga nggak akan kasih tahu, dong."


Sepertinya dia sengaja balas dendam. Baik Misaki maupun dia, ternyata sama-sama punya sisi kekanak-kanakan juga…


"Tapi aku bukan pelit, kan...?"


"Buatku, itu sama saja."


"Haa… ya sudah deh, oke oke. Terus, urusan satu lagi itu apa?"


Kurasa, sebelum aku jawab, dia tidak akan cerita. Jadi, aku menyerah saja dan tanya langsung. Aku pun berpikir untuk segera menyuruhnya pulang. Tapi ternyata——


"Soal Misaki, terima kasih ya. Dia memang kadang merepotkan, tapi dia anak baik. Jadi tolong lindungi dia, ya."


Dia mengucapkan terima kasih dengan senyum yang sangat lembut.


"……"


"Kalau begitu, selamat malam."


Setelah mengatakan itu, dia pun pergi dengan ekspresi puas di wajahnya.…Yah, sekarang aku benar-benar nggak ngerti lagi deh…?



"—Nii-ni, gendong."


Keesokan paginya, setelah semua siap untuk berangkat ke taman kanak-kanak, Kokoa merentangkan kedua tangannya di depanku. Karena aku selalu menggendongnya setiap kali mengantar ke taman kanak-kanak, dia memintanya seolah itu sudah hal yang wajar.


"Kokoa, sesekali jalan sendiri, yuk?"


"………"


Saat aku mencoba mengusulkan hal itu, Kokoa menatapku dengan mata berkaca-kaca, seolah diam-diam memohon tanpa berkata apa pun.


Sepertinya, dia ingin digendong. Sebenarnya, akan lebih baik kalau dia berjalan sendiri demi melatih kaki dan tubuhnya...

“Tapi nanti, kalau sudah agak besar, kamu harus jalan sendiri ya?”

Karena dia masih kecil, aku pun memutuskan untuk tetap menggendongnya.

“Hmm...!”

Kokoa tampak senang dan menempelkan pipinya ke pipiku. Lalu dia menggesek-gesekkan pipinya ke arahku. Dia tetap saja manja seperti biasanya. Kami pun keluar rumah dan berjalan kaki menuju taman kanak-kanak. Taman kanak-kanaknya cukup dekat dari rumah, jadi bisa ditempuh dengan jalan kaki.

“—Shien-shiei, selamat pagii~!”

“Ya, selamat pagi Kokoa-chan. Shirai-san juga, selamat pagi.”

TLN : Sebenarnya pengucapan kalimat Kokoa emang kayak anak kecil yang baru bisa ngomong kayak Shienshiei, Gozaimasyu. tapi ada beberapa kata yang gw bikin kayak kalimat orang dewasa karena w bingung gimana nulisnya, jadi mff yh.

Sesampainya di taman kanak-kanak, Sasagawa-sensei menyambut kami dengan senyum hangat.

“Selamat pagi. Hari ini juga, titip adik saya ya.”

“Mohon bantuannyan.”

Saat aku membungkukkan kepala, Kokoa juga ikut menunduk meniru gerakanku. Ini sudah seperti rutinitas pagi kami.

“Sudah saya terima. Shirai-san juga semangat sekolahnya ya.”

“Terima kasih. Kokoa, jadi anak baik ya?”

“Hmm...! Nii-nii, dadah!”

“Dadah.”

Kokoa melambaikan tangan dengan semangat, dan aku membalas lambaian kecil padanya. Lalu aku kembali memandang Sasagawa-sensei.

“……….”

“Eh, ada sesuatu kah?”

Ketika hendak berpamitan dan pergi ke sekolah, aku merasa Sasagawa-sensei sedang menatapku dalam-dalam. Biasanya tidak begini…

“Fufu, saya senang karena ternyata Shirai-san yang menjadi kakaknya.”

“...Hah? Maksudnya apa, ya?”

“Itu urusan saya.”

Dengan senyum penuh makna, Sasagawa-sensei menggeleng pelan.

Aku tidak tahu maksudnya apa. Aku jadi penasaran dan ingin bertanya lebih jauh… tapi sialnya, jadwal kereta sudah dekat. Kalau aku ketinggalan, kereta berikutnya baru datang tiga puluh menit kemudian.

“Maaf, saya harus pergi sekarang karena ada kereta.”

“Baik, hati-hati di jalan ya.”

“Permisi.”

Aku membungkuk ke arah Sasagawa-sensei dan kembali memandang Kokoa. Dia membalas dengan senyum manis dan lambaian kecil.

Hanya karena itu saja, rasanya aku bisa semangat menjalani hari ini.
Dan begitu, dengan diantar oleh adik tersayang dan gurunya, aku pun berjalan menuju stasiun.


"Kenapa dia ada di sini...?"

Sesampainya di stasiun, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku sebagai reaksi spontan. Soalnya—

"Se-selamat pagi, Raito-kun."

Misaki ada di dekat pintu keluar tiket.

Kami tidak pernah janji untuk berangkat sekolah bersama, dan stasiun terdekat kami pun berbeda.

Seingatku, dia biasa berangkat dari stasiun yang dua perhentian lebih jauh dari stasiunku jika dilihat dari arah sekolah. Kalau di dalam kereta sih mungkin saja bertemu, tapi kemungkinan untuk kebetulan bertemu di stasiun seperti ini nyaris nol.

"Menunggu seseorang di sini, ya? Selera yang unik."

"Itu bukan sesuatu yang kamu katakan ke pacarmu, kan...?"

Misaki mendekat sambil tersenyum canggung. Meskipun dia 'pacarku', itu cuma status palsu... jadi aku memutuskan untuk tidak memperpanjangnya.

"Kalau mau berangkat bareng, kenapa nggak bilang dari kemarin aja?"

"Umm..."

Misaki memainkan jarinya, lalu menatapku sesekali dari bawah dengan tatapan ragu.

...Pasti dia bikin ulah lagi.

Saat aku diam dan menunggu, dia akhirnya membuka mulut.

"Jadi, tadi pagi... Hyouka-chan bilang, 'kalian pacaran, tapi nggak berangkat bareng?' gitu..."

"Dan kamu refleks jawab kalau kita janjian ketemu di stasiun ini, ya?"

"Iya..."

Apa nggak apa-apa nih, anak ini? Dia seakan sengaja memikul salib berat atas kehendaknya sendiri.

"Kebiasaan ngelindungi diri pakai bohong, sebaiknya dihentikan deh."

Aku sempat teringat kejadian saat festival, tapi ini situasi yang berbeda. Memang kadang ada situasi di mana kita harus berbohong. Tapi kalau terus-terusan menutupi masalah dengan kebohongan, lama-lama bakal kehilangan kepercayaan dari orang lain.

"...Kamu bener juga. Maaf, ya..."

"Yaa, minta maaf ke aku juga aneh sih... ya sudahlah. Lagipula, kamu nggak janji bareng berangkat sama Suzumine-san, kan?"

"Enggak, rumah kami sebelahan, jadi biasanya emang otomatis bareng aja..."

Kalau begitu, Suzumine-san seharusnya nggak terlalu curiga. Yang aku khawatirkan adalah kalau Misaki ternyata sudah janjian dengan Suzumine-san, tapi juga janjian denganku. Dalam situasi itu, aneh kalau Misaki turun di stasiunku.

Seharusnya dia izin dulu ke Suzumine-san, atau minta aku naik ke kereta yang sama. Tapi kalau memang nggak janji sama Suzumine-san, dan hanya janjian dengan aku, lalu menyesuaikan waktunya dengan kereta yang aku naiki, maka nggak masalah. Mereka biasanya berangkat lebih pagi daripada aku, jadi Misaki mungkin naik satu kereta sebelum yang biasa aku naiki.

...Walau dari sisi efisiensi sih, mungkin Suzumine-san udah curiga juga. Tapi kalau nggak ada bukti, dia nggak akan langsung menuduh bohong.

"Kalau kamu bilang mau jemput aku di rumah, malah lebih masuk akal sih."

"Aku nggak sampai mikir sejauh itu..."

"Yah, nggak apa-apa juga sih. Namanya juga bohong."

Untuk sementara, nanti aku bakal bantu klarifikasi ke Suzumine-san.
Entah kenapa dia cukup tahu tentang kondisi keluargaku, jadi kalau aku bilang aku nganter adikku ke TK, mungkin bisa diterima.

...Masalahnya, gimana caranya ngobrol sampai ke titik itu sama si ratu es itu, ya?

"………"

"Ada apa?"

Setelah melewati gerbang tiket, Misaki menatap wajahku lama-lama, jadi aku bertanya.

"...Kamu lagi mikirin cara buat bantu aku klarifikasi ke Hyouka-chan, kan?"

"...Kok kamu tahu?"

"Soalnya kamu tiba-tiba diam dan kelihatan lagi mikir sesuatu. Jadi aku nebak aja..."

Aku hampir lupa, Misaki itu memang jadi lemot kalau urusannya menyangkut Suzumine-san. Padahal dia ini anak yang pintar juga. Setahuku, nilai akademiknya selalu jadi nomor dua setelah Suzumine-san di angkatan. Kalau soal pelajaran, aku jauh banget dari level Misaki.

"Raito-kun memang baik, ya..."

"Bukan, aku cuma nggak mau cari masalah sama Suzumine-san. Murni kepentinganku sendiri. Bukan karena aku baik."

"...Jangan-jangan, kamu suka sama Hyouka-chan?"

"...Hah?"

Aku diam beberapa detik mencerna kalimat aneh yang baru dia katakan.

"Gak perlu pasang muka serem gitu juga kan..."

"Kenapa tiba-tiba kamu bilang aku suka sama Suzumine-san?"

"Soalnya... Hyouka-chan itu cantik, pintar juga, terus... kalian kan udah saling kenal dari dulu, ya?"

Misaki menatapku dari bawah, seakan-akan ingin membaca ekspresiku.
Mungkin dia lagi mencoba membaca reaksiku. Aku sendiri malah jadi bingung.

"Kenal dari dulu maksudmu, sebelum festival itu?"

Padahal kalau sekelas, ya udah pasti kenal dong...

"Dari sebelum masuk sekolah... eh, bukan ya?"

"Aku baru kenal Suzumine-san setelah masuk SMA, tahu."

"Serius...?"

Kenapa dia jawabnya pakai tanda tanya? 

Apa jangan-jangan aku pernah ketemu Suzumine-san sebelum SMA, dan cuma aku yang nggak ingat? 

Kalau itu benar, dan dia ingat, mungkin itu alasan kenapa dia bersikap dingin padaku. Tapi ya... dia juga dingin ke cowok lain, jadi mungkin aku cuma mikir terlalu jauh.

"Pokoknya intinya, aku nggak suka Suzumine-san. Lagipula, aku juga nggak punya orang yang kusukai."

"Begitu ya... syukurlah..."

Misaki menarik napas lega, lalu meletakkan tangan di dadanya seperti merasa tenang. Jadi begitu...

"Kalau kamu suka sama Hyouka-chan, hubungan kita bakal jadi makin rumit kan..."

Ya, masuk akal. Misaki nggak mungkin suka sama aku. Tapi... dia ini benar-benar bikin bingung.

"—Ah, keretanya datang."

Sembari aku masih mikir apakah selama ini dia bikin para cowok salah paham kayak gini juga, kereta pun tiba. Dan begitu, pembicaraan kami pun berakhir.


"――Raito-kun, hari Sabtu nanti kita bisa kencan, nggak...?"

Saat jam istirahat siang, ketika aku sedang menikmati masakan buatan tangan Misaki, dia menatap wajahku dari bawah sambil bertanya dengan nada malu-malu. Wajahnya dekat sekali...
Ngomong-ngomong, dia sendiri sudah selesai makan. Tentu saja karena aku yang menyuapinya.

"Ini demi meyakinkan orang-orang di sekitar, kan?"

"Iya... aku pikir lebih baik kita kencan di depan umum sejak awal."

Aku bisa mengerti maksud Misaki. Masih banyak orang yang ragu apakah kami benar-benar berpacaran. Kalau mereka melihat kami berkencan, mereka akan lebih cepat percaya. Kalau kami kencan di tempat yang sering didatangi pelajar, pasti ada saja yang melihat. Tapi――

"Maaf, harusnya aku tanya dulu sebelumnya... Nggak apa-apa kan kalau saat kencan nanti, Kokoa ikut juga?"

Sebagai pengganti ibu, aku yang biasanya mengurus Kokoa. Itu tidak berubah meskipun hari libur. Ibuku memang libur kerja saat hari Minggu, tapi karena dia kerja enam hari dalam seminggu—dan itu dari pagi sampai malam—aku ingin dia benar-benar bisa istirahat di hari liburnya. 

Jadi, entah itu hari Sabtu atau Minggu, Kokoa pasti akan ikut. Sebagai pasangan kencan, mungkin itu akan merepotkan, tapi――

"Tentu saja nggak apa-apa. Aku juga ingin ngobrol sama Kokoa-chan."

Misaki mengangguk sambil tersenyum manis. Mungkin bagi Misaki yang suka anak-anak, ini justru hal yang menyenangkan. Kalau cuma lihat dari sisi ini, mungkin kami berdua memang cocok. Meskipun, ya... kami bukan pasangan sungguhan.

"Makasih, Kokoa pasti senang."

"Fufu, tidak masalah. Kokoa-chan itu imut banget soalnya."

"Dia malaikat, soalnya."

"Ahaha, akhirnya kamu bilang dia beneran malaikat."

Biasanya aku menambahkan kata ‘seperti’ atau ‘mirip’ sebelumnya, jadi dia merasa aneh karena kali ini aku menyatakannya langsung. Tapi memang, Kokoa benar-benar malaikat. Siapa pun akan mengerti kalau sudah melihat betapa imutnya dia.

"Karena dia imut, jadi nggak bisa disalahin."

"Padahal Raito-kun kelihatan nggak bisa dimanjain, tapi ke Kokoa-chan kamu manja banget ya."

"Aku rasa itu kurang tepat?"

Nggak sampai ‘manja banget’, aku juga nggak menunjukkan di wajahku.
Tapi mungkin aku memang terlalu memanjakannya.

"Aku juga ingin punya kakak kayak Raito-kun, deh."

"Itu gombalan model baru kah?"

"Aku nggak perlu ngegombalin pacarku sendiri."

Saat aku mencoba menggoda, dia malah membalas dengan senyum santai. Bagian ini memang kelebihan dia. Kalau udah soal Suzumine-san, dia jadi kayak error, mungkin karena ada trauma tertentu? 

Mungkin karena itu juga dia jadi panik dan berperilaku aneh. Tapi aku nggak bisa memastikannya. Soalnya, siapa tahu Suzumine-san lagi nguping dari tempat mana pun.

…Dia kayaknya punya telinga setan, soalnya.

"Aku ngomong serius, tapi kamu malah ngegoda. Nggak baik gitu."

"Maaf, soalnya nggak terdengar kayak kamu serius."

"Parah, deh. Siapa pun pasti ingin punya kakak kayak Raito-kun kalau lihat kamu."

Itu mustahil. Dia pasti tahu gimana aku dibenci di kelas.

"Pujian yang nggak sesuai kenyataan malah bikin aku nggak nyaman."

"Kamu terlalu merendah. Coba deh punya sedikit kepercayaan diri."

Misaki menatap wajahku dengan ekspresi seolah ingin mengeluh sambil seperti hendak menghela napas. Meski begitu, meski ditatap seperti itu, aku juga bingung...

"Itu kalimat yang aneh untuk diucapkan ke seseorang yang dibenci semua orang."

"Berarti semua orang itu salah lihat."

"Dari sudut pandang orang lain, yang dianggap salah lihat itu justru kamu, Misaki."

Faktanya, komentar seperti itu sering banget aku dengar. Kalau satu orang melawan mayoritas, siapa yang benar pasti jelas.

"Aku tuh... lihatnya beda dari mereka! Aku lihat dari dalam, bukan cuma permukaan...!"

Sepertinya dia kesal dengan ucapanku barusan, dan mulai marah sambil cemberut. Menurutku, nggak perlu sampai segitunya juga sih...

"Wajahku jelek tapi hatiku baik, gitu maksudnya?"

"Menafsirkan dengan cara sejahat itu tuh, nggak baik lho...!"

Kenapa dari tadi dia pakai bahasa sopan, ya? Apa itu kebiasaan?

"Ya tapi, kan bisa ditangkap seperti itu juga, kan?"

"Kamu ngerti maksudku, tapi malah sengaja ngambil sisi negatifnya ya!?"

Ah, dia balik lagi ke bahasa santai. Kalau lagi nyeramahin, dia pakai bahasa sopan, ya?

"Yah, kedengarannya memang gitu sih menurutku?"

"Muuh...!"

Kali ini, dia mengembungkan pipinya. Jelas kelihatan dia lagi ngambek, tapi justru kelihatan kekanak-kanakan. Ada kontras dengan biasanya, dan entah kenapa aku merasa dia sedikit imut.

Ya... cuma sedikit sih.

"Jahat itu nggak baik lho...!"

"Iya iya, aku ngerti. Tadi tuh cuma nggak sengaja kelepasan, kan?"

"Kamu tuh nggak ngerti sama sekali...! Kenapa jadi ngomongin 'kata hati' segala sih...!?"

Entah kenapa, aku mulai merasa ini agak menyenangkan.

"Yang aku maksud tuh... orang-orang cuma lihat Raito-kun yang pura-pura menjauh dari semua orang, dan mereka nggak lihat Raito-kun yang sebenarnya perhatian dan suka nolongin orang kalau lagi kesulitan...!"

Mungkin karena aku terlalu memancing, Misaki mendekatkan wajahnya dengan cepat. Sekarang wajah kami sudah sedekat napas saling terasa, tapi dia kelihatan nggak peduli karena lagi marah.

"Aku ini cuma orang yang bersikap beda tergantung siapa lawannya. Aku nggak pernah bersikap baik ke mereka, jadi ya wajar kalau kesan mereka padaku kayak gitu."

"Tapi waktu aku kesulitan, kamu nolongin aku dan bersikap baik, kan...!"

"Kalau kamu merasa aku bersikap baik, itu cuma salah pahammu aja."

Setidaknya, aku nggak pernah merasa sedang bersikap baik. Sikapku ke Kokoa dan ke Misaki jelas berbeda—dan itu bukti yang cukup.

"Kenapa sih kamu sebegitunya nggak mau ngaku...!?"

"Aku cuma ngomong sesuai kenyataan."

"Muuh...!"

Misaki kembali mengembungkan pipinya dengan ekspresi tak puas. Tapi kali ini, lebih menggembung daripada tadi. Kelihatan banget dia benar-benar kesal.

"Nggak perlu sampai kamu marah juga, Misaki..."

Kupikir ini sudah kelewatan, jadi aku mencoba menenangkannya. Aku harus tetap menjaga hubungan baik dengannya. Nggak boleh sampai kami ribut gara-gara hal sepele.

Ya, meskipun kalau dipikir-pikir, yang bakal repot itu lebih ke dia sih.

"Soalnya... Raito-kun itu terlalu merendahkan diri sendiri...!"

"Terus, apa perlunya kamu sampai marah soal itu?"

"…………"

Kali ini aku coba tanya dengan cara lebih lembut, dan Misaki langsung terdiam. Mungkin dia lagi mikir balasan yang cocok. Dan lalu――

"...Kalau dipikir-pikir... iya juga, ya?"

Dengan ekspresi bingung, dia memiringkan kepalanya.

Sepertinya dia sendiri juga nggak yakin kenapa dia marah. Yah...makin kelihatan kalau Misaki itu memang ada sisi natural alias polosnya.

Aku nggak bisa menahan diri untuk berpikir begitu.


"""――Ah..."""

Saat aku kembali ke kelas bersama Misaki, kami berpapasan dengan Suzumine-san di koridor. Biasanya, kami pasti saling cuek dan lewat begitu saja tanpa sepatah kata pun. Tapi sekarang ada Misaki bersamaku. Karena mereka berdua akrab, mungkin mereka akan saling menyapa.

"Apa aku sebaiknya jalan duluan?"

Aku bertanya sambil sedikit menjaga sikap. Siapa tahu mereka ingin ngobrol berdua saja.

"Nggak, nggak apa-apa."

"Benar, kalau memang mau ngobrol ya ngobrol aja di rumah. Toh rumah kami sebelahan, dan kamar kami saling berhadapan lewat jendela."

Sepertinya aku terlalu mikir macam-macam. Kalau kamarnya saling berhadapan seperti itu, berarti mereka bisa ngobrol kapan pun lewat jendela. Kalau begitu, kami bisa langsung kembali ke kelas—eh, tunggu. Ada satu hal yang harus kujelaskan dulu.

"Oh iya, maaf soal tadi pagi. Kamu bareng Misaki ke sekolah, kan?"

"Iya, memangnya kenapa?"

Begitu aku menyebut soal tadi pagi, Suzumine-san menatapku dengan wajah kesal. Bukan karena dia benci topiknya, tapi lebih karena dia nggak mau bicara denganku sama sekali.

"Aku nggak bisa naik kereta sebelum mengantar adikku ke penitipan. Makanya aku minta Misaki buat turun di stasiun itu. Biasanya kalian kan bareng ke sekolah, jadi rasanya aku udah gangguin."

Dengan begini, Misaki nggak akan terlihat seperti berbohong di mata Suzumine-san. Yah, entah dia bakal percaya atau enggak sih.

"Ah, nggak perlu dipikirin. Kami juga nggak pernah janjian atau gimana, cuma kebetulan sering bareng aja."

Itu juga yang Misaki bilang sebelumnya. Kalau mereka berdua memang mikir begitu, berarti nggak masalah. Syukurlah, ternyata dia orang yang bisa diajak ngomong.

"Ngomong-ngomong, bisa nggak kamu jangan ngajak aku bicara di sekolah? Aku nggak suka ngobrol sama cowok."

"…………"

Tarik ucapanku barusan. Ternyata dia tetap dingin. Dingin banget sampai bisa disebut suhu nol mutlak. Kenapa sih aku harus diperlakukan sekeras ini?

"E-eh, kasihan banget Raito-kun...!"

Misaki yang nggak tahan melihat situasinya langsung buru-buru masuk ke pembicaraan. Dan karena suasana mulai memanas, para pengamat yang penasaran pun mulai berkumpul sambil berkata, “Eh, ada apa nih?”

Ini bakal jadi masalah...

"Misaki juga tahu kan, aku benci banget sama cowok."

"Tapi... Raito-kun itu..."

"Nggak ada bedanya. Walaupun dia pacarmu, aku tetap nggak bisa perlakukan dia secara spesial."

Apa, tuh? Dia kayaknya sengaja banget menekankan kata "perlakuan spesial."

Mungkinkah alasan dia bersikap beda di sekolah dan di rumah karena ada sesuatu? Kalau memang begitu, berarti dia bukan marah karena aku lupa sesuatu.

Ya, satu masalah yang bikin pusing bisa dicoret dari daftar. Tapi—masalah yang ada di depan mata belum selesai.

"Meski itu Hyouka-chan sekalipun... kalau kamu nyakitin Raito-kun, aku bisa marah, lho...?"

"Heh...?"

Entah kenapa, mereka berdua mulai saling melempar tatapan tajam, seolah aku nggak ada di situ. Aneh, bukannya mereka ini sahabatan?

"Eh, tunggu. Kenapa kalian jadi ribut gini sih?"

Kalau mereka sampai bertengkar gara-gara aku, nama burukku bakal tambah parah. Pasti langsung muncul rumor kayak, "Raito tuh nyulut Misaki sampai mereka jadi renggang," atau "Suzumine-san yang biasanya sabar akhirnya nggak tahan sama kelakuan Raito."

Padahal sekarang aja aku udah dicap jelek sama lingkungan sekitar.
Kalau makin parah, bisa aja muncul orang yang sampai nyakitin aku beneran.

"Kita nggak ribut, kok..."

"Iya, kami cuma ngobrol biasa aja."

Entah mereka sadar atau tidak tentang kekhawatiranku, tapi mereka berdua memilih buat berpura-pura nggak terjadi apa-apa dalam situasi ini. Meski bagaimana pun kulihat, suasananya jelas tidak baik...

"Misaki, jangan sampai kamu bertengkar dengan orang lain gara-gara aku. Itu nggak baik buat kamu sendiri."

Melihat situasinya, sepertinya Misaki akan langsung menyerang siapa pun yang berkata buruk tentangku. Kalau sampai dia mulai seperti itu, nggak akan ada habisnya. Dan jelas, orang-orang bakal memandang buruk Misaki yang jadi bersikap agresif—sebuah lingkaran setan.
Aku nggak boleh membiarkan dia terlibat dalam pertengkaran yang sia-sia.

"Soalnya... walaupun mereka nggak tahu apa-apa, aku tetap nggak suka kalau ada yang ngomongin kamu jelek-jelek..."

Tapi Misaki tidak mengangguk. Sepertinya dia tidak berniat berjanji padaku.

"Pacar yang membela pacarnya, apa salahnya? Malah, kalau sampai nggak bisa membela, bukankah itu berarti gagal jadi pacar?"

Yang tak terduga, yang membela Misaki justru Suzumine-san. Aku mengerti maksud ucapannya, dan memang dia benar. Tapi... entah kenapa, aku merasa tidak tenang. Yang hampir bertengkar tadi itu mereka berdua, dan aku malah yang mencoba menenangkan.

Tapi entah sejak kapan, situasinya berubah jadi seolah-olah aku yang sedang dihadapi oleh mereka berdua? Tentu saja, Suzumine-san mungkin tidak bermaksud seperti itu. Mungkin dia hanya menghargai pendapat Misaki. Namun tetap saja...

"Tapi bertengkar itu tetap nggak baik, kan?"

"Iya, benar juga. Makanya, supaya nggak ada yang ngomel, kamu yang harus bisa bersikap cerdas, Shirai-kun."

Suzumine-san menyipitkan mata dan tersenyum licik. Apa yang dia katakan memang masuk akal. Lagipula, yang menyebabkan orang-orang berbicara buruk padaku adalah tindakanku sendiri. Tapi tetap saja...

"Kalau kamu disuruh bersikap ramah ke cowok lain gara-gara tekanan dari orang sekitar, kamu bakal nurut?"

"Nggak mungkin lah."

"Sama aja. Aku juga nggak akan berubah."

Pasti dia tahu aku akan membalas seperti itu. Tapi mungkin dia hanya ingin memancing diskusi, atau setidaknya ingin tahu jawabanku.

"Aku tahu kok, sisi baik dari Raito-kun. Jadi kamu nggak usah maksain diri, ya?"

Misaki, seolah mengira ada makna dalam sikapku, kali ini berdiri di pihakku. Aku bersyukur dia mau memahamiku seperti itu—

Tapi sebenarnya, alasan aku menjaga jarak dari orang-orang bukan karena alasan yang rumit. Aku cuma pikir, hubungan setengah-setengah itu malah paling menyusahkan. 

Suatu saat nanti, aku harus menjelaskan itu ke dia.

"Iya iya, jangan mesra-mesraan di depan orang gitu, dong."

"——! B-bukan gitu maksudnya...!"

Suzumine-san menghela napas panjang dengan wajah pasrah sambil menggeleng, dan Misaki langsung panik sambil memerah. Dia benar-benar sedang digoda...

"Kelihatan jelas banget kalau kalian sedang bermesraan."

"Enggak, bukan kayak gitu...!"

"Tapi kamu memanjakan pacarmu, kan?"

"Itu beda cerita, tahu...!"

Yup, suasana berat barusan benar-benar sudah hilang. Sekarang malah tercipta atmosfer khas cewek-cewek yang akrab satu sama lain. Aku merasa jadi orang yang nggak dibutuhkan di sini, jadi mending aku serahkan semuanya ke mereka berdua yang akur itu.

Dengan begitu, aku pun kembali ke kelas sendirian—Namun, Misaki yang sempat kesal karena ditinggal, akhirnya mengomeliku kemudian.


"Raito-kun, pulang bareng yuk?"

Begitu jam pelajaran terakhir selesai dan waktunya pulang tiba, Misaki menghampiriku dengan senyum sambil membawa tasnya. 

Karena itu, seisi kelas langsung menatapku dengan pandangan yang bisa dibilang seperti penuh niat membunuh. Mereka memang nggak kapok.

"Kamu nggak pulang bareng Suzumine-san?"

"Hyouka-chan itu, les di tengah kota—jadi dia harus ke Stasiun Okayama. Arah keretanya beda sama kita."

"Oh, jadi selama ini kalian pisah pas sampai stasiun terdekat dari sekolah, ya?"

Kalau arah pulangnya memang beda dari tengah jalan, nggak ada gunanya juga keluar sekolah bareng.

"Kalau begitu, ayo pulang."

Aku memang harus menjemput Kokoa, tapi itu setelah turun dari kereta. Sampai ke sana, aku masih bisa bareng Misaki. Dan demi meyakinkan orang-orang juga, lebih baik pulang bareng.

Yah, sebenarnya yang lebih aktif bergerak dalam urusan ini adalah Misaki, tapi karena aku melakukan ini demi dia, jadi nggak masalah. Lagipula, ngajak duluan itu bukan gayaku.

Kalau aku yang mulai, justru orang-orang bakal merasa ada yang aneh. Lalu, saat kami berdua sampai di rak sepatu...

"……"

Tanpa bicara sepatah kata pun, Suzumine-san sudah berdiri menunggu sambil menyilangkan lengan. Ini... beda dari yang dikira.

"Misaki?"

"Eh...? Kita nggak janjian, kok..."

Saat aku tanya, Misaki juga terlihat bingung. Sepertinya ini bukan karena dia lupa janji atau semacamnya.

"Kamu mau pulang bareng juga?"

"Kenapa? Nggak boleh?"

Kali ini aku tanya langsung ke Suzumine-san, tapi dia menjawab dengan nada kesal sambil memiringkan kepala. Menurutku nggak perlu segitu kesalnya juga...

"Bukan nggak boleh sih... Tapi, kamu ada yang mau dibicarakan?"

"Kalau nggak ada pembicaraan khusus, aku nggak boleh pulang bareng Misaki?"

Haa... susah banget diajak ngobrol. Makanya aku kurang bisa nyaman bicara sama dia. Mungkin di mata orang lain, aku juga terlihat seperti Suzumine-san....Tapi, setidaknya aku nggak separah ini.

"A-awawa..."

Begitu suasana antara aku dan Suzumine-san jadi agak tegang, Misaki mulai panik dengan ekspresi jelas-jelas kebingungan. Dia juga pasti repot menghadapi kami berdua.

"Gak apa-apa kok. Kalian kan berteman baik. Aku juga nggak akan bilang, 'aku pacarnya, jadi biar aku aja yang pulang bareng,' atau semacamnya."

Aku yakin Suzumine-san punya alasan kenapa ikut pulang bareng. Mungkin dia mau bicara soal sesuatu yang nggak bisa disampaikan di sekolah, jadi dia akan membuka pembicaraan setelah kita pindah tempat.

"Kalau begitu, terima kasih. Misaki, kamu juga nggak apa-apa, kan?"

"U-uh, iya..."

Saat ditatap Suzumine-san, Misaki sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk.

Walaupun nggak tahu alasan kenapa Suzumine-san ikut, aku yakin Misaki sendiri juga nggak keberatan. Kami pun pulang bertiga dalam suasana yang berat.

Karena tak satu pun dari kami bicara, ini jadi pengalaman paling canggung seumur hidupku. Aku nggak menyangka akan ada hari di mana aku merasa tak tahan dengan kecanggungan seperti ini. Saking beratnya suasana. Yang akhirnya memecah keheningan itu adalah—

"Kalau kalian berdua, liburan musim panas rencananya gimana?"

—yang mengejutkan, justru Suzumine-san. Karena kami sedang berjalan ke arah stasiun, tentu saja ada murid lain di sekitar. Tapi tidak banyak. 

Sebagian besar murid masih tertahan karena kegiatan klub, jadi tak ada yang cukup dekat untuk mendengar percakapan kami. Mungkin karena itu, Suzumine-san mulai bicara.

"Gimana ya... Kami belum nentuin rencana apa pun sih."

Sebelum Misaki ngomong sesuatu yang nggak perlu, aku langsung jawab jujur. Soalnya, kalau aku terlambat ngomong, nanti malah muncul rencana-rencana aneh yang nggak aku ingat.

"Padahal sebentar lagi udah masuk liburan musim panas?"

"Aku paham sih maksudmu... Tapi kan liburan panjang. Bisa diputuskan nanti juga."

"……..."

Tatapan tajam Suzumine-san yang menyipitkan mata padaku seolah berkata, "Nih orang... nggak bakal laku pasti..."

Yah, biarin aja. Aku juga memang nggak terlalu niat buat kencan segala.

"Kalau aku pengin main, nanti aku yang ngajak kok, jadi nggak apa-apa."

Misaki tersenyum dan mencoba menenangkan Suzumine-san yang terlihat tidak puas. Memang, selama ini pun kami hanya pergi jalan kalau Misaki yang mengajak, jadi dia tidak bohong.

"Yah... ya udahlah."

"Kedengarannya kayak belum niat gitu..."

Jelas-jelas dia masih kelihatan nggak puas. Dia pasti sudah menyadari kalau kami sebenarnya tidak benar-benar pacaran, dan lagipula itu bukan urusannya, jadi kenapa dia sampai terlihat kesal, aku juga nggak ngerti.

"Misaki, kamu sudah tukeran kontak sama dia, kan?"

"Eh? Iya, tentu aja udah tukeran..."

Misaki mengangguk sambil menunjukkan ekspresi bingung, seperti bertanya, 'Kenapa dia nanya itu?' Aku pun merasakan hal yang sama.
Namun, untuk menjawab kebingungan kami, Suzumine-san menunjukkan tindakannya secara langsung.

"Kalau begitu, aku juga tukeran kontak sama kamu, ya."

Ucapnya sambil mengulurkan ponsel ke arahku. Ya ampun, aku sama sekali nggak ngerti di mana relevansi "kalau begitu" tadi...

"T-tunggu dulu, Hyouka-chan!? Raito-kun itu kan pacarku, tahu!?"

"Aku tahu kok."

Sambil tetap dengan wajah datar dan tanpa ragu, Suzumine-san mengangguk menanggapi Misaki yang panik. Melihat itu, Misaki pun terlihat semakin tidak terima dan membuka suara lagi.

"Kamu mau tukeran kontak sama cowok yang udah punya pacar!? Lagi pula, itu pacarnya teman masa kecilmu sendiri, lho...!"

Misaki berusaha keras untuk menghentikan tindakan Suzumine-san yang dirasa tidak masuk akal. Dan dari sisi sebagai pacar, tentu sikapnya itu benar...

Tapi mengingat aku dan Misaki sebenarnya nggak benar-benar pacaran, rasanya dia nggak perlu sampai seserius itu.

Yah, mungkin ini juga bagian dari akting biar nggak ketahuan.

"Kalau terjadi sesuatu pada Misaki, aku harus bisa menghubungi dia lewat kamu, kan?"

Berbanding terbalik dengan Misaki yang panik, Suzumine-san tetap tenang seperti biasa. Sepertinya dia sudah memperhitungkan reaksi Misaki sebelumnya.

"Tapi..."

"Yah, omongan Suzumine-san ada benarnya juga. Nggak ada salahnya tukar kontak."

Aku memang merasa tidak enak pada Misaki, tapi aku juga tidak ingin harus bertemu langsung setiap kali ingin bicara serius. Aku ingin punya cara untuk berbicara jujur dengannya tanpa harus bertatap muka. Lagi pula, kalau dia sendiri yang mengajukan tukar kontak, pasti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

"Aku ini pacarnya, loh..."

Namun, karena tidak tahu niatku, Misaki pun cemberut dan menggembungkan pipinya. Meski hubungan kami hanya pura-pura, tampaknya dia tetap tidak suka melihat pacarnya tukar kontak dengan gadis lain.

"Tenang saja, dia nggak akan selingkuh kok. Kalau kamu mau, aku juga bisa tunjukin isi chat-nya nanti."

Suzumine-san tersenyum seakan ingin menenangkan Misaki yang sedang merajuk. Ternyata memang benar, selama tidak ada siswa lain di sekitar, dia bisa tersenyum meskipun aku ada di dekatnya.

"Yah, kalau memang begitu..."

Misaki akhirnya mengangguk meski tampak agak enggan. Sepertinya dia menerima alasan kami, meskipun dia tidak bilang kalau dia sepenuhnya percaya dan tidak akan mengecek.

"Kalau begitu, aku duluan ya. Aku ada kereta yang harus aku kejar."

Setelah tukar kontak, mungkin karena urusannya sudah selesai, Suzumine-san berlari kecil meninggalkan kami. Keretanya mungkin lebih awal dari kami, dan waktunya jadi mepet saat sedang tukar kontak tadi. Kalau ketinggalan, kereta berikutnya baru datang dua puluh atau tiga puluh menit kemudian.

"..."

"Jangan lihat aku seperti itu, dong..."

Begitu Suzumine-san pergi, Misaki langsung menatapku dengan pandangan tidak puas tanpa basa-basi. Sepertinya dia benar-benar tidak suka kejadian tadi.

"Aku nggak berniat selingkuh, tapi kita kan sebenarnya nggak pacaran. Jadi kamu nggak perlu sampai semarah itu, kan?"

"Soalnya... rasanya tetap rumit. Dan... kamu tukar kontak segampang itu... apa jangan-jangan kamu suka sama Hyouka-chan?"

"Nggak. Waktu kamu minta tukar kontak juga aku langsung setuju, kan?"

Seingatku, aku nggak pernah nolak permintaan Misaki.

"Tapi waktu itu kamu kelihatan kayak nggak senang."

Ah, jadi itu yang bikin dia kesal sampai sekarang.

"Itu cuma karena aku bingung, bukan karena aku nggak suka."

"Hmm...?"

Misaki menatapku dengan mata setengah menyipit, masih ragu dan curiga. Meski begitu, aku tidak merasa bersalah karena aku memang tidak melakukan apa-apa. Jadi tidak masalah bagiku jika dia mencurigai.

—Akhirnya, sampai kereta datang, Misaki terus menatapku dengan mata penuh curiga. Dan saat kami sedang menunggu kereta, aku menerima pesan pertama dari Suzumine-san.

"Kalian akan pergi ke pantai...?"

Ternyata, kalau aku dan Misaki pergi ke pantai, dia ingin ikut. Kata Misaki, Suzumine-san sebenarnya suka laut, tapi sejak SMP dia tidak pernah pergi karena tidak suka kalau sampai diajak kenalan oleh orang asing. Pantas saja dia sangat peduli dengan rencana liburan musim panas...


"—Soal tadi siang, ya..."

"Hmm?"

Saat sedang terombang-ambing dalam kereta, Misaki tiba-tiba membuka mulutnya dengan wajah serius. Apa dia masih memikirkan soal tukar kontak tadi?

"Kalau diingat-ingat lagi, menurutku Hyouka-chan itu... sepertinya tidak membenci Raito-kun, deh... Soalnya sampai tukar kontak juga, kan..."

Topiknya memang soal kejadian tadi, tapi tampaknya bagian yang ingin dibicarakan Misaki agak berbeda.

"Yah, secara logika sih memang begitu."

Soalnya tidak banyak orang yang mau tukar kontak dengan orang yang tidak mereka sukai. Kecuali memang karena alasan pekerjaan atau urusan penting.

"Meski begitu, aku rasa fakta kalau dia tidak suka laki-laki juga bukan bohong, kan?"

"Itu sih..."

Misaki memalingkan pandangannya dengan canggung. Sepertinya memang benar Suzumine-san tidak suka laki-laki, dan mungkin ada alasan di balik itu.

"Umm... ini sebenarnya rahasia, jadi aku harap kamu bisa jaga, ya..."

"Kalau memang rahasia, bukannya lebih baik kamu nggak usah cerita padaku?"

Aku memang belum tahu dia mau cerita apa, tapi kalau sudah cerita ke orang lain, ya tetap saja namanya bukan rahasia. Lagipula, bisa saja aku tanpa sengaja mengucapkannya, atau reaksiku nanti membuat Suzumine-san tahu bahwa aku tahu sesuatu.

"Aku memang nggak disuruh jaga rahasia secara langsung, sih... Cuma, ini hal yang Hyouka-chan sendiri nggak mau ceritakan ke orang lain..."

"Yah, aku bakal berusaha nggak cerita ke siapa-siapa."

Kalau dia sampai bilang begitu meski aku sudah menolak, berarti Misaki memang ingin menceritakannya. Kalau begitu, aku akan mendengarkan, tapi yang bisa aku janjikan hanya akan berhati-hati, bukan benar-benar tidak akan bocor. Dan kalau dia sampai mau cerita, pasti ini hal yang penting.

"Makasih. Jadi gini... waktu SMP dulu, Hyouka-chan pernah mengalami pengalaman buruk di dalam kereta... dan sejak itu, dia jadi nggak suka laki-laki..."

Pengalaman buruk di dalam kereta—dan itu membuatnya jadi tidak suka laki-laki. Hanya dengan informasi itu saja, sudah bisa ditebak apa yang terjadi.

"...Begitu ya... pantesan aja dia benci banget kalau ada cowok mendekat."

Karena sepertinya dia tak ingin aku menyebutkannya secara langsung, aku hanya menyampaikan pemahamanku secara halus. Toh, kalau secantik Suzumine-san, wajar saja kalau ada yang mengincarnya.

Aku sendiri pernah sekali menyaksikan kejadian seperti itu. Saat itu, si gadis tampak sangat ketakutan... dan dari sana aku mengerti bahwa menjadi korban hal semacam itu memang sangat menakutkan.

Pelakunya waktu itu langsung aku laporkan ke polisi, tapi itu pun pasti tidak bisa langsung menghapus luka yang dialami gadis itu. Luka batin seperti itu tidak akan sembuh begitu saja.

"Iya... Tapi ya, sebenarnya sejak kelas satu, Hyouka-chan sudah menganggap Raito-kun sebagai orang yang baik... maksudku, dia seperti menyadari kalau kamu itu orang yang lembut..."

"Yakin? Padahal waktu kelas satu juga dia bersikap cuek ke aku, sama seperti ke cowok lain, kan?"

Ya, aku memang sadar pasti ada alasannya, kenapa sikapnya begitu.

"Mungkin itu memang cara Hyouka-chan sendiri dalam menghadapi situasi..."

Misaki juga sepertinya berpikiran sama denganku. Soalnya kalau tidak, perbedaan sikapnya di sekolah dan di luar tidak bisa dijelaskan.

"Terus, kenapa kamu sampai berpikir kalau Suzumine-san menganggapku lembut?"

Karena ini Misaki, kemungkinan besar dia cuma salah paham. Tapi tidak ada salahnya dengar alasannya, siapa tahu bisa jadi petunjuk kenapa Suzumine-san bisa bersikap sedikit lebih ramah di luar sekolah.

"Aku juga nggak bisa jelasin dengan baik sih, tapi... waktu kelas satu dulu, aku pernah cerita soal aku digangguin sama beberapa cowok yang nembak aku dan bikin aku nggak nyaman... Nah, waktu itu Hyouka-chan bilang, kalau yang nembaknya itu Raito-kun, mungkin nggak apa-apa buat diterima..."

Misaki melirikku beberapa kali, seolah ingin melihat reaksiku setelah mengatakan sesuatu yang bikin bingung.

"Jadi... maksudnya gimana tuh...?"

"Menurutku, Hyouka-chan memang menilai kamu dengan cukup baik... tapi bukan berarti dia suka sama kamu..."

"Kenapa jawabnya setengah-setengah gitu sih?"

Dan dia juga balik pakai bahasa formal lagi.

"So-soalnya... menurutku, kalau cewek sampai merekomendasikan cowok ke cewek lain, biasanya berarti dia sendiri nggak naksir, kan...?!"

Karena aku menebak dengan tepat, Misaki jadi kelihatan jelas sekali gugupnya.

"Ya, pemahamanmu benar, kan?"

Dia panik seperti itu karena sekarang dia mulai ragu—mungkin sebenarnya perasaan Suzumine-san ke aku tidak sesederhana itu...

Setidaknya, bahkan aku pun bisa mengerti kenapa dia jadi berpikir ulang seperti itu.

“Tapi tadi kamu tiba-tiba nanya kontak dia, kan…? Soalnya menurutku, kalau itu Hyouka-chan, walaupun ada urusan, dia nggak bakal mau tukar kontak dengan cowok yang udah punya pacar… Soalnya dia nggak suka hal-hal yang bisa bikin ribet, kan…”

Apa yang dikatakan Misaki memang masuk akal. Tapi—dia salah paham dalam satu hal. Suzumine-san pasti sudah menyadari bahwa aku dan Misaki tidak sedang pacaran.

Karena itu, anggapan Misaki soal “cowok yang sudah punya pacar” sebenarnya nggak berlaku, dan Suzumine-san juga mungkin tidak merasa masalah. Meski begitu, kalau aku menjelaskan itu sekarang—bisa-bisa Misaki malah membuat kesalahan fatal saat berhadapan langsung dengan Suzumine-san. Sebaiknya tidak kubicarakan sembarangan…

“Mungkin karena itu kamu, Misaki, jadi dianggap nggak masalah sama dia? Dari isi pesannya juga kelihatan kok, dia cuma ingin ke pantai aja, kan?”

“Ya, mungkin memang begitu sih…”

Tapi Misaki masih terlihat terganggu.

Sebagai teman masa kecil, mungkin dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, justru karena dia tahu betul bagaimana sifat Suzumine-san.

“Lagipula nggak ada masalah apa-apa yang benar-benar terjadi, jadi kamu nggak perlu mikirin itu terlalu dalam. Kemungkinan besar kamu cuma terlalu banyak pikiran aja.”

Kalau dilihat dari sikap Suzumine-san, sepertinya tidak akan terjadi drama yang merepotkan.

Dia anak yang cukup pintar, dan sepertiku, sepertinya juga tipe yang tidak suka terlibat dalam hal-hal merepotkan.

“Tapi… kalau ternyata bukan cuma aku yang mikir terlalu jauh… bisa-bisa Hyouka-chan malah beneran dendam ke aku…”

Kalau dipikir secara logika, ya, memang bisa terjadi. Sekalipun mereka teman lama, tetap saja ada batasan atas hal-hal yang bisa dimaafkan. Tapi—

“Kalau memang begitu, seperti yang kamu bilang sendiri, Suzumine-san nggak akan pernah menyarankan kamu untuk dekat denganku, kan? Misalnya pun ini bukan cuma kamu yang salah paham, kenyataannya sekarang ini adalah hasil dari saran dia sendiri. Nggak mungkin dia bakal dendam.”

Entah apa maksud sebenarnya dia waktu bilang begitu, tapi kalau apa yang dia sarankan justru benar-benar terjadi, dia bukan tipe orang yang akan mempermasalahkan itu. Dia anak yang, baik dalam arti positif maupun negatif, cukup cuek soal begituan.

“Be-benarnya juga, ya…! Aku juga… mikirnya begitu, kok…!”

“Iya, jadi nggak usah dipikirin. Malah sebaliknya, jangan sampai kamu ngomong yang aneh-aneh ke dia, ya?”

Kalau soal Misaki, justru itu yang perlu dikhawatirkan. Kalau dia lagi gugup di depan Suzumine-san, dia bisa jadi ceroboh dan ngomong hal yang nggak perlu. Justru karena itulah kemungkinan Suzumine-san marah jadi lebih besar.

“Iya… aku bakal hati-hati…”

Begitu Misaki mengangguk, kereta pun sampai di stasiun tempat aku harus turun. Aku pun berpamitan pada Misaki dan pergi menjemput Kokoa.


0

Post a Comment



close