NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saiaku no Avalon Volume 1 Chapter 4

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 4: Latar


Setelah hari pertama sekolah berakhir, aku pergi menuju kamarku.  

Aku berjalan ke arah asrama yang terhubung dengan area sekolah, tempat sebagian besar siswa tinggal, karena mereka datang dari berbagai belahan dunia untuk bersekolah di sini. Aku membayangkan bahwa aku tidak akan menjadi pengecualian, jadi aku menjadikannya tujuan. Aku telah terjun ke dunia DEC tanpa peringatan, dan aku butuh waktu sendirian untuk menenangkan diri serta memahami apa yang sebenarnya terjadi.  

Namun, aku tidak menemukan nama Narumi dalam daftar kamar di pintu masuk asrama, jadi aku bertanya pada salah satu staf asrama.  

“Narumi, bukan?” tanya wanita itu. “Kamu tidak terdaftar di sini. Berarti kamu pasti tinggal di luar dan pulang pergi.”  

Ternyata aku tinggal di rumah. “Err, ya... Benar. Bisakah Anda memberi tahu alamatku? Sepertinya aku lupa.”  

Dia menyerahkan salah satu brosur pengenalan sekolah kepadaku dan menyebutkan alamatnya. Aku juga sempat mendengar dia bergumam pelan, “Padahal dia masih anak-anak,” sambil menatap tubuhku dengan ekspresi iba.  

Aku membuka brosur itu dan menemukan peta daerah sekitar. Nama-nama tempat yang tertera di sana tampak tak asing. Saat itu, aku teringat bahwa latar DEC adalah versi realitas alternatif dari Jepang modern.  

Ingatan dari kehidupanku sebelumnya saat mengunjungi daerah ini mengatakan bahwa seharusnya aku melihat jalanan perumahan yang tenang serta taman-taman indah dengan pemandangan pegunungan dan laut. Namun, dari dalam area sekolah, pandanganku justru terhalang oleh gedung-gedung tinggi dan kompleks apartemen.  

Aku tidak mungkin menemukan alasan dari perbedaan ini hanya dengan memikirkannya sekarang, jadi aku mengucapkan terima kasih kepada wanita itu dan pergi menuju alamat yang disebutkannya sebagai rumahku.


* * *


Aku melewati gerbang sekolah yang besar dan kokoh, hanya untuk mendapati diriku tiba di tengah distrik perbelanjaan yang ramai. Jalan di depan sekolah dipenuhi hotel, pusat perbelanjaan, dan kompleks komersial yang berjejer rapi. Pemandangan ini tidak akan terasa asing di Jepangnya aku kalau saja bukan karena orang-orangnya.  

Beberapa mengenakan baju zirah, yang lain membawa senjata besar, dan semuanya jelas berasal dari dunia DEC. Sambil berjalan, aku menatap bangunan dan para pejalan kaki, hingga beberapa menit kemudian aku tiba di rumahku.  

Lantai pertama rumah itu adalah sebuah toko, dengan papan nama besar di atas pintu bertuliskan “Toko Serba Ada Narumi.” Plakat di depan pintu juga bertuliskan “Narumi,” dengan karakter yang sama seperti nama keluarga Piggy, jadi ini memang tempat yang kucari. Aku tidak tahu kalau keluarga Piggy menjalankan sebuah toko kelontong. Ada mobil yang terparkir di luar, jadi bisa dipastikan aku tidak tinggal sendirian.  

Apa aku boleh masuk? Aku penasaran. Rasanya tidak benar begitu saja masuk ke rumah orang lain. Tunggu sebentar... Aku mengenal tempat ini.  

Sebuah potongan ingatan Piggy muncul ke permukaan. Saat kembali menatap bangunan itu, aku merasakan secercah rekognisi dan kehangatan yang familier. Tentu saja, bagi Piggy, ini memang rumahnya.  

Setelah beberapa saat berdiri melamun di depan rumah, seorang wanita berusia empat puluhan muncul dari dalam toko, mengenakan celemek.  

“Oh, rupanya kamu, Souta,” panggilnya. “Kupikir tadi ada seseorang yang mencurigakan.”  

Wajahnya lembut, tubuhnya ramping, begitu berbeda dengan tubuh Piggy yang besar hingga aku berpikir kami pasti tidak memiliki hubungan darah. Namun, ingatan Piggy memberitahuku bahwa wanita cantik paruh baya ini adalah ibuku!  

“Umm... Aku pulang,” kataku.  

“Halo, Kak!” suara lain menyapaku dengan ceria. “Selamat datang.” Seorang gadis keluar dari dalam toko sambil mengikat rambut panjangnya. Dia mengenakan hoodie besar, wajahnya masih terlihat muda, mungkin masih di bangku SMP atau tahun-tahun akhir sekolah dasar. Dia sangat imut... dan baru saja memanggilku “Kak,” tapi tidak mungkin dia adik kandung Piggy, kan?!  

“Apa yang kamu tatap?” tanyanya bingung.


“Oh, uhh, tidak ada apa-apa.”  

Aku baru saja menemukan salah satu misteri paling aneh di dunia ini: di dalam rumah yang dihuni oleh keturunan indah ini, lahirlah seekor keledai... atau mungkin babi. Aku memasuki rumah dalam keadaan linglung, pikiranku dipenuhi dengan ketidakmungkinan tentang keluargaku.  

Ibu dan adik perempuanku berdiri di depan kulkas, membicarakan makan malam malam ini tanpa memperhatikanku. Aku mencoba mencari di dalam ingatan apakah aku tahu di mana kamarku berada. Naik ke lantai atas, kamar kedua dari belakang. Perlahan-lahan aku mulai memahami cara mengakses ingatan Piggy. Prosesnya berbeda dari mengingat ingatanku sendiri. Aku harus membayangkan pikirannya sebagai sesuatu yang terpisah dari milikku dan menatap ke dalamnya—itulah sebabnya upaya sebelumnya gagal. Sebagian besar waktu, dasar dari pemikiranku masih berasal dari diriku sendiri, dan ingatan yang muncul paling mudah adalah yang serupa dengan yang kumiliki di dunia lamaku.

Kadang-kadang, emosi Piggy bangkit begitu saja, terutama saat aku berbicara dengan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya, seperti keluarganya atau Kaoru Hayase. Mengenali emosi-emosi ini cukup mudah karena perbedaannya sangat jelas dibandingkan dengan milikku. Misalnya, saat pertama kali memikirkan Kaoru Hayase, aku mulai merasa cemas, dan saat melihat ibu serta adik Piggy, aku merasakan kenyamanan yang hangat. Aku tidak punya keluarga, dan tentu saja tidak punya pacar cantik, jadi lonjakan emosi tiba-tiba seperti ini membuatku bingung. Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.  

Hubungan emosional ini menunjukkan bahwa aku tidak sekadar mengambil alih tubuh Piggy. Aku telah menyatu dengannya—kesadaranku hidup berdampingan dengan ingatan dan emosinya. Atau setidaknya, itulah hipotesisku. Aku berharap ada cara untuk keluar dari tubuh Piggy dan membiarkan bocah malang itu kembali menjalani hidupnya tanpa kehadiran parasit asing dari dunia lain ini. Meskipun begitu, para pengembang DEC adalah pihak yang sebenarnya harus disalahkan atas semua ini, bukan aku.  

Bagaimanapun juga, ada beberapa hal yang harus kutemukan untuk mengatasi tantangan di dunia ini, terlepas dari apakah aku akan menghabiskan sisa hidupku sebagai Piggy atau kembali ke duniaku sendiri. Aku berpikir tentang hal apa yang harus kuselidiki terlebih dahulu.  

Aku sampai di kamar Piggy, yang terletak di sisi timur laut rumah, jauh dari matahari, sehingga suasana di dalamnya gelap. Saat aku masuk, lantai kayu berderit pelan, entah karena sudah tua atau karena bobot tubuhku yang terlalu berat. Aku melihat ke sekeliling ruangan sambil menarik ingatan Piggy, dan semuanya terasa akrab. Sebenarnya, aku merasa luar biasa nyaman. Baru kali ini aku menyadari betapa tegangnya aku selama ini, terlempar begitu saja ke dunia asing tanpa petunjuk tentang apa yang harus dilakukan. Aku melempar tas sekolah ke tempat tidur dan menarik napas lega, tetapi kemudian aku memperhatikan sesuatu.  

Menjijikkan! pikirku. Kamar ini benar-benar berantakan!  

Meskipun aku merasa tidak ada yang aneh, lantainya dipenuhi pakaian bekas dan bungkus permen yang berserakan. Ada pula tumpukan buku dan komik yang menumpuk dalam keadaan berantakan. Tempat ini seperti tempat pembuangan sampah. Aku memutuskan untuk menyalakan TV sambil membereskan ruangan. Aku harus melakukan sesuatu tentang kekacauan ini.  

Di layar, seorang pria paruh baya bertubuh besar muncul, berbicara dari podium dalam sidang parlemen. Teks di bagian bawah layar mencantumkan namanya dan menjelaskan bahwa dia adalah anggota majelis tinggi sekaligus seorang Count .  

Seorang Count, ya? pikirku.  

Latar DEC memang didasarkan pada Jepang, tetapi tidak identik dengannya. Sistem politik, hubungan internasional, dan cara pandang masyarakat terhadap dunia sangat berbeda dibandingkan dengan Jepang modern yang demokratis. Rezim politik yang bersifat otoriter-militeristik dan keberadaan aristokrasi lebih mirip dengan Kekaisaran Jepang sebelum perang.  

Sistem politiknya terdiri dari majelis tinggi yang disebut Dewan Bangsawan, yang hanya bisa diikuti oleh kaum bangsawan, dan majelis rendah bernama Dewan Rakyat, yang terbuka bagi rakyat biasa. Para bangsawan tidak memerintah wilayah-wilayah feodal seperti di masa lalu, tetapi gelar mereka tetap membawa hak istimewa dan keuntungan politik, seperti kekebalan hukum serta kewenangan tertentu. Besarnya kewenangan tergantung pada seberapa tinggi gelar bangsawan yang mereka miliki.  

Beberapa siswa di sekolah ini berasal dari kalangan bangsawan atau merupakan pengikut keluarga bangsawan, biasanya keturunan dari kelas samurai yang telah punah. Aku harus berhati-hati dalam berinteraksi dengan mereka. Meskipun, aku cukup yakin hukum lama yang mengizinkan kelas atas untuk menebas siapa pun yang menyinggung mereka sudah tidak berlaku lagi sekarang.  

Keluarga Narumi... jelas rakyat biasa.  

Setelah melakukan sedikit riset, aku menemukan bahwa dunia ini mencerminkan sejarah Jepang hingga awal era Meiji, yaitu saat dungeon pertama kali muncul. Aku menggunakan buku teks dan terminal untuk mencari nama-nama panglima perang di zaman Sengoku serta Shogun dari Keshogunan Tokugawa, dan semuanya tampak sesuai. Restorasi Meiji juga tampaknya berjalan seperti yang kukenal. Setelah dungeon muncul, jalannya sejarah dunia ini menyimpang drastis dari yang kuingat. Nama-nama keluarga kekaisaran dan politisi setelah Kaisar Meiji berbeda dari Jepang yang kukenal. Aku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang berhubungan dengan dungeon yang menyebabkan perubahan dalam garis penerus, atau apakah Jepang sebelum era Meiji hanya menjadi inspirasi bagi dunia ini tetapi sebenarnya adalah negara yang berbeda. Kemungkinan kedua terasa lebih masuk akal bagiku, tetapi aku perlu melakukan lebih banyak penelitian untuk memastikannya.  

Aku mengganti saluran. Sebuah siaran berita mengumumkan bahwa seorang petualang yang gagal telah menjadi teroris dan menculik seorang politisi. Hukum dan ketertiban tampaknya jauh lebih lemah di sini dibandingkan dengan Jepang modern.  

Peningkatan fisik petualang seharusnya hanya berlaku di dalam medan sihir. Namun, sekitar lima belas tahun yang lalu, para ilmuwan berhasil menciptakan medan sihir buatan. Sejak saat itu, semakin banyak aksi kekerasan yang dilakukan oleh para petualang kecewa yang telah naik level begitu tinggi hingga peluru pun tidak bisa menembus tubuh mereka. Beberapa organisasi teroris merekrut petualang buronan sebagai tenaga tempur untuk mendukung agenda politik mereka. Sebagai tanggapan, pemerintah menginvestasikan lebih banyak sumber daya untuk menciptakan petualang baru dan menugaskan mereka untuk melawan ancaman tersebut. Kabarnya, badan diplomasi dan intelijen dipenuhi agen rahasia dengan kekuatan manusia super. Hidup Zaman Petualang! Hip hip... Tidak? Baiklah.  

Detektor medan sihir di stadion olahraga memeriksa pemain dari peningkatan sihir, memungkinkan dunia olahraga membanggakan keadilannya. Itu masuk akal. Bayangkan jika seseorang yang bisa mengalahkan naga raksasa ikut bermain sepak bola. Sebenarnya, aku akan menonton itu.  

Aku mematikan televisi dan mengambil koran dari lantai. Tanggalnya... empat tahun lebih awal dari yang seharusnya. Aku membandingkannya dengan tanggal di terminalku dan menemukan bahwa koran itu baru terbit kemarin. DEC pertama kali dirilis empat tahun yang lalu. Mungkin fakta itu ada hubungannya.  

Aku membuka halaman ekonomi, berharap bisa mengambil keuntungan dari pasar saham jika dunia ini benar-benar tertinggal empat tahun. Aku mengenali beberapa nama, tetapi ekonominya didominasi oleh sistem zaibatsu . Nama-nama yang sama muncul di hampir semua perusahaan yang memiliki kendali atas perekonomian. Indeks Nikkei di sini juga berbeda dari yang kuingat, jadi pengetahuanku tentang Jepang satunya tidak akan berguna. Aku beralih ke halaman komik strip empat panel... Oh, lihat, mereka punya Boko, the Li’l Rascal, sadarku.

Setelah itu, aku duduk di depan PC di kamar dan mulai menjelajahi internet. Situs berita dan platform berbagi video tampak hampir identik dengan yang kukenal.  

Saat terus berselancar, aku menyadari sesuatu yang aneh. Situs-situs dengan model glamor yang berpose mengenakan lingerie muncul dalam hasil pencarian, tetapi aku tidak menemukan satu pun gambar telanjang. Mungkin ada kebijakan sensor yang ketat di sini? Pembatasan terhadap pemikiran dan kebebasan seperti ini seharusnya merugikan perkembangan suatu negara, tetapi mungkin aku salah.  

Semua hal ini membuatku semakin yakin bahwa negara ini adalah versi alternatif dari Jepang, hasil dari kelanjutan sistem politik Jepang pra-perang. Berdasarkan ini, titik perbedaannya terjadi antara tahun 1910-an dan 1930-an.  

Jepang di dunia ini telah menghindari kekalahan telak dalam Perang Dunia Kedua, meskipun wilayahnya tetap sama dengan yang ada di realitasku. Tidak jelas mengapa Kekaisaran melepaskan wilayah-wilayahnya meskipun tidak pernah menyerah tanpa syarat. Saat masih bermain permainan, aku bisa mengabaikan detail ini sebagai fiksi belaka. Namun, sekarang aku benar-benar tinggal di sini, aku tidak bisa lagi bersikap acuh tak acuh.  

Awalnya, aku merasa antusias membaca bagaimana dungeon telah mengubah sejarah Jepang alternatif ini. Rasanya seperti membaca artikel behind-the-scenes dari DEC. Masalahnya, permainan ini sekarang adalah realitaku, dan yang kupelajari menunjukkan bahwa Jepang versi ini tidak stabil dan penuh masalah. Seberapa amankah dunia yang memiliki kelompok manusia super fanatik yang berkeliaran bebas? Guild Petualang memang mengawasi semua petualang aktif, tetapi para teroris dan petualang yang gagal merusak lanskap politik serta ketertiban umum Yang lebih buruk lagi, keberadaan aristokrasi dalam sistem hukum membuatku meragukan kondisi hak-hak sipil. Aku tidak bisa terjebak dalam pemikiran bahwa konsep kebebasan sipil, pengadilan yang adil, dan kepolisian yang dapat dipercaya dari Jepangnya aku berlaku juga di masyarakat ini. Aku harus segera menyesuaikan kembali prasangkaku.  

Aku juga harus mengingat bahwa ini adalah dunia DEC, yang berarti berbagai peristiwa atau alur cerita bisa terjadi di SMA Petualang atau di mana saja di dunia ini. Event Kariya yang familier dari adegan pembukaan permainan sudah dimulai, berjalan seperti dalam permainan, dan ini adalah bukti nyata bahwa peristiwa-peristiwa dalam DEC bisa menjadi kenyataan. Meskipun hasil event ini tidak berpengaruh padaku, ada event lain dalam permainan yang lebih mengkhawatirkan. Pertempuran melawan dinas rahasia, perang skala penuh antanegara, pemusnahan seluruh lantai dungeon... Banyak peristiwa bencana terjadi dalam cerita DEC. Aku tidak yakin bisa selamat dari salah satu pun. Sayangnya, aku sekelas dengan protagonis, yang secara alami cenderung terlibat dalam segalanya. Dalam permainan, pemain bisa menghindari event-event tertentu, tetapi cerita utama mungkin tidak bisa dihindari.  

Sebagai pemain, semakin berisiko suatu event, semakin seru permainan itu terasa. Namun, bagi seseorang yang benar-benar hidup di dunia ini, semua itu hanya membawa masalah. Aku harus segera mulai menyerbu dungeon dan naik level agar siap menghadapi peristiwa-peristiwa itu jika terjadi. Sekolah diliburkan selama dua hari ke depan, dan tidak ada tugas yang diberikan. Aku punya banyak waktu untuk melakukan penyerbuan dan memanfaatkan kesempatan bersenang-senang di dungeon.  

Setelah memikirkannya selama satu jam, aku akhirnya menyelesaikan pekerjaan bersih-bersih di kamar. Aku telah mengumpulkan sampah ke dalam kantong, mengikatnya dengan tali, dan menumpuknya di sudut ruangan. Untuk sementara, aku akan membiarkannya di sana dan membuangnya di lain waktu.  

Saat sedang membersihkan, aku menemukan sesuatu yang bertuliskan “Nuptial Grimoire” tetapi tidak tahu apa itu. Benda itu terlihat seperti kertas berwarna biasa, tetapi kata “grimoire” menyiratkan bahwa ada sihir yang tertanam di dalamnya. Penasaran, aku menggali ingatan Piggy dan mengetahui bahwa buku itu adalah janji tertulis untuk menikahi Kaoru Hayase yang mereka buat saat masih kecil. Tidak ada yang terdengar magis dari hal itu. Anak kecil sering berjanji akan menikah saat dewasa. Meski begitu, pemikiran itu cukup menggemaskan. Buku ini mungkin memiliki nilai sentimental bagi Piggy, jadi aku memutuskan untuk menyimpannya dan meletakkannya di bagian belakang laci.


* * *


Pekerjaan bersih-bersih hampir selesai, dan sekarang sudah sedikit lewat tengah hari. Masih banyak waktu tersisa dalam sehari, jadi aku berencana pergi ke dungeon.  

Tapi sebelum itu, aku ingin makan sesuatu. Perutku sudah menggeram tanpa henti sejak tadi. Dalam ingatan Piggy, dia melahap sarapan dalam porsi besar pagi ini, tapi aku tetap merasa sangat kelaparan sampai takut akan pingsan. Aku curiga kemampuan Glutton Piggy bertanggung jawab atas rasa lapar abnormal ini. Dan, pada akhirnya, juga atas obesitasku. Aku tidak bisa mengandalkan tubuh gemuk Piggy untuk bertahan dalam eksplorasi dungeon yang mendalam, jadi berdiet adalah keharusan, dan aku perlu mengurangi porsi makan. Tapi...  

Ini terlalu banyak, pikirku, menatap gunungan makanan di atas piring di depanku. Paling tidak, ada dua ribu kilokalori di sini. Lebih buruk lagi, hampir semuanya adalah makanan gorengan atau kaya karbohidrat, dengan sedikit sekali sayuran. Seseorang jelas sedang mencoba membuatku semakin gemuk.  

“Maaf, tapi mulai sekarang, bisa tidak mengurangi porsi makananku?” tanyaku. Rasanya tidak sopan mengajukan permintaan ini setelah ibuku bersusah payah menyiapkan makan siang, tapi aku tidak akan pernah bisa mengendalikan berat badanku jika terus makan seperti ini setiap hari.  

“Tapi, Souta, ayam goreng dengan korokke itu favoritmu!” seru ibuku, meletakkan tangan di pipinya dengan khawatir. “Apa kamu kena flu?” 

Mataku hampir berlinang melihat makanan itu, dan perutku menjerit memintaku menghabiskannya. Dibutuhkan seluruh tekad yang kumiliki untuk menahan diri.  

“Soalnya,” kataku, “aku ingin diet. Aku ingin lebih banyak makan sayuran.” 

“Kamu bisa makan sayuran sekarang?” tanya adikku, alisnya yang sudah melengkung alami semakin terangkat. “Sejak kapan?” 

Khawatir telah membuat kesalahan, aku buru-buru menggali ingatan Piggy. Ternyata, dia benar-benar membenci sayuran. Bahkan buah pun tidak disentuhnya! Aku harus mengarang alasan agar tidak menimbulkan kecurigaan.  

“Sekarang aku sudah masuk SMA Petualang,” kataku, “aku pikir aku harus mengubah kebiasaanku.” 

“Kamu memang agak gemuk,” kata ibuku, “jadi masuk akal juga.” 

Aku tersenyum setuju, berusaha keras untuk tidak berkomentar. Dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, beratku dengan mudah melebihi seratus kilogram. Mungkin bahkan mendekati seratus dua puluh. Aku ingin berteriak bahwa aku sudah jauh melampaui batas “agak gemuk.” 

“Aku rasa kakak sudah terlihat sempurna seperti sekarang!” kata adikku.  

Lalu dia menatapku dan bertanya, “Kakak benar-benar mau pergi ke dungeon sekarang?” 

Aku mengangguk. “Aku tidak sabar untuk naik level.” 

“Hmmm,” gumamnya. Dia adalah gadis muda dengan poni pendek, ekspresinya sangat terbuka, dan dia sangat imut sampai aku mempertanyakan garis keturunan Piggy. Namanya Kano Narumi, siswi kelas tiga SMP yang bercita-cita masuk SMA Petualang bersamaku, kakaknya. Untuk mencapai tujuan itu, dia membantu di sekolah bela diri dan bekerja keras dalam persiapan ujian.  

Dia bergumam sesuatu sambil menundukkan kepala. Apa dia mencurigaiku?  

“Kak, ajak aku juga,” katanya.  

“Apa?” ujarku. “Nggak bisa. Kamu masih SMP.” 

“Jangan egois, Kano,” ibu kami ikut menyela.  

“Tapi aku mau ikut!” rengeknya.  

Anak-anak di bawah lima belas tahun tidak diperbolehkan masuk dungeon, dan hukum melarang siswa SMP untuk memasukinya. Pemerintah membatasi akses berdasarkan usia demi mencegah bahaya yang tidak perlu. Monster di dua lantai pertama dungeon memang cukup lemah hingga anak SMP pun mungkin bisa mengalahkannya, tetapi itu tidak menjamin keselamatan mereka.  

Dulu, usia minimum adalah delapan belas tahun, tetapi berubah menjadi lima belas setelah ditemukannya AMF , medan sihir buatan. Karena penjahat menyalahgunakan teknologi ini dan mengacaukan stabilitas negara, pemerintah menerapkan reformasi untuk menurunkan batas usia, dengan harapan meningkatkan jumlah petualang terlatih dan memperluas keahlian mereka.  

Meski begitu, Kano masih di bawah lima belas tahun dan masih SMP, jadi kecil kemungkinan dia akan mendapat izin masuk dungeon.  

Aku memperhatikan ibu yang sedang menasihati anaknya, sementara sang anak berusaha mendapatkan keinginannya. Pemandangan ini terasa menghangatkan hati tetapi juga jauh bagiku, seseorang yang tidak memiliki keluarga. Tentu, aku punya keluarga saat masih kecil, tetapi nyaris tidak bisa mengingat mereka. Saat melihat ibu dan adik Piggy, aku mencoba mengingat apakah keluargaku sendiri dulu juga berinteraksi seperti ini.  

Aku ingin melindungi mereka berdua dengan cara apa pun, untuk membantu mereka mencapai impian mereka—demi Piggy. Dia sangat menyayangi mereka, dan aku merasa ini bisa menjadi caraku menebus fakta bahwa aku telah mengambil alih hidupnya. Secara normal, Kano tidak akan bisa masuk dungeon, tetapi ada beberapa jalan rahasia yang bisa membawanya ke dalam. Selama aku memberinya barang untuk kabur jika keadaan memburuk, seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.  

“Untuk sekarang, kamu belum bisa ikut. Tapi kalau kamu jadi gadis baik, suatu hari nanti aku akan membawamu bersamaku.” 

“Yay! Janji, ya?” 

Begitu mendengar janjiku, Kano langsung melompat kegirangan dan berlari ke kamarnya sambil bersenandung, penuh semangat.  

Kemudian, ibu Piggy pergi untuk mengurus toko.  

Aku menghela napas lega saat melihat mereka pergi, yakin bahwa mereka tidak mencurigai aku adalah seorang penyusup. Mereka pasti menyadari Piggy bertindak sedikit berbeda dari biasanya. Namun, aku tidak bisa mengaku bahwa aku telah bertukar tempat dengan anak dan saudara mereka. Mereka pasti akan menganggapku gila, jadi aku berencana menyimpan rahasia ini selamanya. Agar bisa menjalani hidup di sini dan menghindari tekanan yang tidak perlu pada keluarga Piggy, aku harus benar-benar memahami siapa dirinya, bagaimana dia bertindak, bagaimana suaranya, serta semua kebiasaan kecil dan keunikannya.

Tapi aku telah menghabiskan begitu banyak waktu sendirian hingga aku tersandung dalam memahami isyarat sosial dan keterampilan berinteraksi dengan orang lain. Tetap saja sebagian diriku adalah Piggy. Ingatan dan perasaannya terkadang muncul begitu saja, entah aku memanggilnya atau tidak. Aku adalah Piggy 2.0, dan situasi ini terasa aneh.  

Kehidupan keluarganya juga menimbulkan pertanyaan bagiku. Dari yang kulihat, Piggy berhubungan baik dengan mereka, dan keluarganya tidak tampak memiliki kekhawatiran tentang keadaannya. Lalu, mengapa dia memulai sekolah dengan begitu tidak percaya diri? Apa yang membuat kepribadiannya menjadi begitu destruktif? Obsesinya terhadap Kaoru Hayase jelas merupakan akar masalahnya, tetapi pasti ada lebih dari itu. Para pengembang permainan menciptakan Piggy agar dibenci oleh para pemain, jadi latar belakangnya terlalu minim untuk bisa menarik kesimpulan apa pun. Rencana terbaikku adalah tetap berhati-hati. Aku tidak akan menonjol di sekolah atau berinteraksi dengan Kaoru Hayase lebih dari yang diperlukan.  

Aku menghabiskan makan siangku yang kecil—bahkan pengemis pun mungkin akan menolak makanan semiskin ini, apalagi seorang raja. Lalu, aku mengambil setelan olahraga SMP Piggy dari laci, berganti pakaian, dan mulai mengumpulkan perlengkapan untuk penjelajahan dungeon. Setelan itu terasa ketat di bagian dada dan pahaku, jadi aku menyimpulkan bahwa Piggy telah bertambah gemuk sejak SMP. Sungguh anak ini.  

Aku mengambil ranselku, tempat aku menyimpan beberapa permata sihir. Saat menuruni tangga, aku melihat ibuku sedang menggeledah sesuatu di dekat kasir toko.  

“Aku pergi ke dungeon,” kataku padanya. “Nanti aku pulang.”  

“Kamu tidak membawa apa-apa?” tanyanya. “Kamu tidak bisa pergi dengan tangan kosong.”  

“Aku membawa pemukul yang kutemukan di kamarku. Itu sudah cukup untuk hari ini, karena aku hanya akan ke lantai pertama.”  

Pemukul itu sudah lebih dari cukup. Selain monster tersembunyi yang sesekali muncul dalam kondisi tertentu, satu-satunya monster di lantai pertama dungeon adalah slime.  

Aku akan bisa mengakses program penyewaan senjata sekolah setelah menyelesaikan sesi orientasi, jadi jika ada yang menarik perhatianku, aku bisa meminjamnya nanti. Prioritasku adalah menjadi cukup kuat untuk melindungi diri sendiri dan keluarga Piggy dari krisis yang menanti di masa depan. Jalan yang harus kutempuh masih panjang, tetapi aku siap untuk melaluinya.


* * *


Aku meninggalkan rumah dan menuju sekolah serta dungeon di bawahnya. Aku memutuskan untuk berlari kecil ke sana, menjadikannya bagian dari rencana latihanku. Lemak di tubuhku berguncang ke kiri dan kanan setiap kali aku menggerakkan kaki, tetapi kecepatanku nyaris tidak lebih cepat dari para pejalan kaki di jalan. Sekolah hanya berjarak beberapa menit berjalan kaki dari rumahku, tetapi paru-paruku sudah menyerah dalam setengah waktu itu, dan keringat membasahi kulitku. Aku memilih berjalan untuk sisa perjalanan, takut akan pingsan karena kelelahan begitu masuk dungeon. Tubuhku sepertinya tidak terbiasa dengan aktivitas fisik mendadak.  

Saat melihat sekeliling, aku dikejutkan oleh banyaknya orang yang berlalu-lalang. Aku mengingat tempat ini sebagai kota taman yang damai di duniaku yang lama, dipenuhi area perumahan dan taman-taman. Namun di sini, para petualang dan pekerja yang terlibat dalam berbagai industri dungeon telah mendongkrak populasi hingga lebih dari delapan ratus ribu orang, mengubah kota ini menjadi pusat ekonomi raksasa. Mereka tidak punya tempat lain untuk pergi; ini adalah satu-satunya dungeon di Jepang.  

Harga properti di kota ini juga meroket. Seseorang bisa menemukan apartemen satu kamar di pusat Tokyo dengan harga lebih murah dibandingkan di sini. Bahkan rumah kecil di gang belakang seperti milik keluarga Narumi pun bernilai sangat tinggi. 

Di mana pun aku melihat, ada penjual makanan atau camilan, pikirku sambil memindai toko-toko di sekitar. Aku harus melawan godaan ini. 

Aku mencoba mengingat cara memasuki dungeon, karena proses standarnya sangat rumit dan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Calon petualang harus mendaftar, menjalani wawancara, mengikuti kursus, dan akhirnya lulus ujian tertulis. Namun, siswa SMA Petualang sudah melewati proses seleksi ketat dari pemerintah. Kami bisa langsung mencetak Kartu Tanda Petualang hanya dengan menunjukkan terminal kami kepada staf.  

Maka dari itu, aku memutuskan untuk mampir ke Guild Petualang terlebih dahulu.


* * *


Guild Petualang adalah elemen yang umum dalam fiksi fantasi, dan guild di dunia ini menjalankan sebagian besar fungsi yang sudah tak asing lagi. Orang-orang bisa datang ke sini untuk mendaftar sebagai petualang, membeli, menjual, serta menyimpan barang, menerima misi, atau mengajukan misi baru.  

Namun, ada beberapa perbedaan penting. Pertama, guild ini adalah organisasi raksasa dengan lebih dari sepuluh juta petualang terdaftar di seluruh dunia. Lalu lintas pengunjung di gedung guild melebihi sepuluh ribu orang setiap harinya. Kantor mereka juga menampung toko-toko yang dikelola oleh bisnis swasta dan fasilitas umum, sehingga banyak orang biasa yang memanfaatkan layanan yang disediakan. Perbedaan lain adalah bahwa guild di dunia ini mengelola perawatan serta pengobatan petualang yang terluka, tidak peduli apakah mereka terluka di dalam dungeon atau tidak. Guild juga berfungsi sebagai semacam pasukan polisi atau militer, mengirim petualang berpangkat tinggi yang telah disetujui oleh guild untuk menyelesaikan perselisihan antar petualang. Untuk menampung semua layanan tambahan ini, Guild Petualang menempati gedung pencakar langit modern dengan lebih dari empat puluh lantai.  

Saat aku tiba di pintu masuk guild, aku terdiam dan menatap kagum ke atas, mengagumi ketinggian bangunan itu.  

“Dari jendela kelas saja sudah terlihat besar, tapi melihatnya dari dekat...” gumamku. Menyadari bahwa aku menghalangi jalan, aku segera melangkah maju dan masuk ke dalam.  

Bagian dalamnya cukup luas untuk menampung ratusan orang tanpa terasa sesak. Lantainya terbuat dari marmer, dengan wallpaper efek bata modern. Di sebelah kiri terdapat deretan loket layanan pelanggan seperti di bank; di sebelah kanan, banyak orang berlalu-lalang, sibuk menggunakan eskalator dan lift. Dalam permainan, NPC  sesekali memulai pertarungan dengan protagonis. Untungnya, guild sedang relatif sepi pada jam segini, dan aku tidak melihat petualang berwajah menyeramkan. Aku memindai deretan loket, mencari yang menangani pendaftaran baru. Setelah menemukannya, aku berjalan mendekat.  

“Selamat sore,” sapa wanita di balik meja dengan senyum cerah. “Ada yang bisa saya bantu?” Sikap profesionalnya benar-benar sempurna. Aku sempat khawatir staf di sini akan mengikuti stereotip fantasi, yaitu meremehkan petualang berdasarkan penampilan atau peringkat mereka.  

“Saya ingin mendaftar sebagai petualang.” 

“Saya melihat Anda adalah siswa SMA Petualang,” katanya setelah sekilas melihat terminal di lenganku. “Bisa tuliskan nama dan kode ID terminal Anda di sini?” 

Dia menyerahkan formulir kepadaku, dan aku menyesuaikan terminal di lenganku untuk menemukan kode ID.  

“Ini Kartu Tanda Petualang Anda,” jelasnya. “Biaya pendaftaran telah dibebaskan karena Anda adalah siswa SMA Petualang. Anda akan memulai dengan kelas petualang peringkat sembilan. Anda bisa merujuk ke buku panduan ini untuk pertanyaan tentang petualang, tetapi silakan kembali ke sini jika ada yang tidak Anda mengerti.”

Sekarang aku bisa memasuki dungeon dengan memindai Kartu Petualang atau terminalku di mesin yang berada di portal dungeon. Kartu ini juga diterima sebagai identitas pribadi, jadi aku menyimpannya dengan aman di dalam ransel bersama buku panduan untuk dibaca nanti.  

Dengan ini, aku siap menuju portal dungeon, dan aku hampir tidak bisa menahan rasa bersemangatku.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close