Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 5: Menuju Dungeon
Dungeon pertama kali muncul secara tiba-tiba pada awal tahun 1900-an sebagai gerbang menuju dunia lain.
Manusia bisa keluar-masuk, tetapi cahaya dan gelombang radio tidak dapat melewati portal itu, sehingga batas antara dunia ini dan dungeon tampak seperti kegelapan pekat. Ruang yang terhubung dengan portal itu tidak normal—dimensi lain yang sepenuhnya asing.
Setelah penemuan awal, rasa takut membuat orang-orang menganggap dungeon sebagai Neraka itu sendiri, sumber munculnya iblis, atau tempat paranormal yang bertanggung jawab atas hilangnya banyak orang secara misterius. Namun, ketika diketahui bahwa monster yang terbunuh menjatuhkan permata sihir yang dapat menghasilkan energi, Jepang segera mengerahkan pasukannya ke dungeon, mengutamakan eksplorasi ini dibandingkan perang.
Ekspedisi pertama yang dikirim ke kedalaman dungeon melengkapi tentaranya dengan senapan berbayonet. Saat tim mulai turun, mereka segera menyadari bahwa monster yang menunggu di dalam kebal terhadap peluru. Militer mengalami kerugian besar, dan setelah mencapai kedalaman tertentu, ekspedisi itu terhenti sepenuhnya.
Kegagalan ini tidak menyurutkan keinginan para pemimpin Jepang untuk memperoleh permata sihir demi pembangkitan energi serta sumber daya lain yang mungkin belum ditemukan. Pemerintah menggandakan usahanya dan menginvestasikan dana besar ke dalam penelitian dan pengembangan untuk memungkinkan penaklukan dungeon lebih lanjut. Untuk memperkuat jumlah pasukan, pemerintah merekrut warga sipil biasa yang kemudian menjadi petualang pertama. Negara melatih mereka dan membantu mereka naik level. Pemerintah juga menyusun undang-undang baru, mendirikan institusi pendidikan, melakukan reformasi administrasi, serta membentuk Kementerian Dungeon... Kemudian, mereka meluncurkan ekspedisi kedua dengan mengerahkan seluruh sumber daya negara.
Sementara itu, konflik dan perang saudara menyebabkan pengungsi tersebar ke seluruh dunia saat negara-negara berebut kendali atas dungeon demi mengamankan sumber daya energinya. Beruntung, Jepang tidak perlu bertarung untuk mendapatkan dungeon—hanya ada satu yang muncul di negara ini—dan tidak ada negara lain yang mencoba menginvasi, sehingga Jepang memiliki akses tak terbatas ke sumber dayanya. Permata sihir yang diekstraksi dari dungeon menghilangkan ketergantungan Jepang pada impor energi, dan berbagai perusahaan energi berbasis permata sihir bermunculan, menjadikan Jepang sebagai pengekspor energi bersih. Hal ini memicu lonjakan pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Sampai titik ini, Jepang dan dunia masih mempertahankan bentuk normalitasnya.
Namun, semuanya berubah lima belas tahun yang lalu ketika sebuah perusahaan swasta Prancis mengumumkan keberhasilan mereka dalam menciptakan medan sihir buatan untuk sementara waktu. Sebelumnya, peningkatan fisik yang diperoleh melalui kenaikan level hanya bisa terjadi di dalam dungeon atau dalam radius seratus lima puluh meter dari portal dungeon. Namun, dengan teknologi ini, peningkatan fisik bisa diaktifkan di mana saja.
Dengan ini, dunia memasuki era baru. Sekarang bayangkan sebuah dunia yang dipenuhi manusia super—orang-orang yang kebal terhadap peluru, mampu menebas batu besar dengan satu ayunan pedang, dan bisa berlari ratusan meter dalam hitungan detik. AMF memang membawa manfaat ekonomi, terutama bagi sektor pertanian dan konstruksi. Namun, para teroris, politisi, serta organisasi keagamaan juga dengan cepat memanfaatkan teknologi ini untuk tujuan jahat mereka sendiri. Puncaknya terjadi saat seorang presiden Amerika Serikat dibunuh.
Puluhan pengawalnya yang bersenjata lengkap tidak cukup untuk menjaganya tetap aman. Dunia terkejut saat menyaksikan rekaman mengejutkan di televisi—seorang teroris tunggal menebas presiden dan semua pengawalnya hanya dengan sebuah pedang. Negara dan organisasi di seluruh dunia menyaksikan peristiwa ini dengan saksama dan mengambil inspirasi darinya. Mereka mulai merekrut petualang dan mengirim mereka ke medan perang. Kehadiran petualang sebagai mata-mata dan pembunuh bayaran mengubah parameter peperangan dan diplomasi. Pada saat yang sama, kekuatan tentara bayaran dengan berbagai afiliasi politik dan agama mulai mendominasi, membawa dampak besar bagi keamanan nasional di setiap negara.
PBB mengambil alih pengelolaan dungeon dan memberlakukan langkah-langkah ketat untuk mencegah penyalahgunaan dungeon dan medan sihir. Namun, langkah ini gagal menghentikan gelombang kejahatan yang dilakukan oleh para petualang. Kemungkinan besar, hal ini terjadi karena masih ada dungeon lain yang keberadaannya belum diketahui publik. Otoritas terus-menerus berada dalam posisi terdesak.
* * *
Aku menutup buku panduan petualang, yang berisi banyak informasi berguna tentang sejarah dungeon.
Sebagian besar peristiwa ini terjadi dalam sepuluh tahun terakhir, dan semuanya terdengar mengerikan. Aku memang sempat membaca beberapa informasi ini saat berselancar di internet di rumah, tetapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa seorang presiden AS akan menjadi salah satu korban AMF. Saat bermain permainan, sejarah dunia hanya menjadi latar belakang yang nyaris tak kuperhatikan. Yang lebih penting saat itu adalah menerjang dungeon seperti seorang jagoan atau menaklukkan hati para heroine. Sekarang setelah kupikirkan, aku seharusnya meluangkan waktu untuk memperhatikan detail-detail ini.
“Kalau dipikir-pikir lagi,” aku bergumam, “bukankah salah satu teman sekelasku dalam adalah agen asing permainan?”
Seorang siswi di Kelas E pernah menjadi pemicu dalam cerita DEC, mengawali sebuah event di mana pemain bertarung melawan mata-mata dalam perang lokal. Jika pemain bekerja sama dengannya, mengikuti alur ceritanya, dan menyelesaikan event ini, mereka akan mendapatkan hadiah yang mempermudah eksplorasi dungeon... Namun, aku ingin menjauh sejauh mungkin dari kekacauan semacam itu.
Rentetan pikiran ini membuatku tidak bersemangat, jadi aku menghapusnya dari benakku dan fokus pada penjelajahan dungeon.
Bangunan utama SMA Petualang adalah fasilitas raksasa dengan sepuluh lantai bawah tanah dan delapan belas lantai di atas permukaan. SMP, SMA, dan universitas semuanya menggunakan fasilitas yang sama, yang juga menampung organisasi swasta serta lembaga penelitian. Portal dungeon terletak di lantai pertama gedung sekolah. Di duniaku yang lama, tempat ini berada di dalam sebuah bukit. Namun, di sini, bukit itu telah dikeruk, dan sebuah bangunan kolosal didirikan mengelilingi portal demi memaksimalkan pemanfaatan medan sihir yang sangat berharga. Jelas bahwa pemerintah Jepang tidak suka menyia-nyiakan sumber daya dungeon.
Seseorang juga harus memindai terminal khusus atau Kartu Petualang mereka di beberapa mesin pemindai yang tersebar di alun-alun umum di luar Guild Petualang. Prosesnya mirip dengan gerbang tiket kereta, dan aku bisa menggunakan terminal yang diberikan sekolah kepadaku.
Setiap hari, puluhan ribu orang melewati alun-alun ini, sehingga tempat ini dipenuhi petualang.
“Melihat semua orang ini, rasanya aku berpakaian terlalu sederhana,” gumamku.
Para petualang berpakaian sederhana mengenakan baju kulit ringan. Namun, sesekali ada yang mengenakan zirah mengilap, jubah warna-warni, atau mantel panjang sambil membawa senjata besar. Ini adalah dunia modern, tetapi penghuninya seperti berasal dari dunia fantasi. Dengan pemukul bisbol dan setelan olahraga, aku pasti terlihat seperti amatir... Dan aku jelas yang paling aneh di sini!
Aku melewati gerbang tiket ke dalam gedung, lalu ikut dalam antrean yang bergerak lambat hingga akhirnya tiba di depan portal. Portal itu besar, tingginya sepuluh meter dan selebar itu juga, dengan permukaan hitam pekat karena cahaya tidak bisa menembusnya, pemandangan yang terasa aneh. Begitu aku melangkah masuk, sensasi licin menyelimuti tubuhku, membuatku buru-buru menutup mulut dan menahan napas. Saat bermain permainan, aku tidak pernah merasakan efek ini.
Beberapa detik kemudian, aku muncul di sisi lain portal. Aku berada di sebuah ruangan seluas seratus meter persegi, dengan kabel-kabel tebal yang menghubungkan berbagai sistem komunikasi ke dunia luar di sekelilingnya. Semua kabel itu bersatu dalam satu bundel besar yang mengarah kembali ke portal. Gelombang radio memang tidak bisa menembus portal, tetapi transmisi melalui kabel memungkinkan komunikasi antara dungeon dan dunia luar. Kemungkinan besar, tujuan dari sistem ini adalah agar terminal tetap dapat berfungsi di dalam dungeon.
Ada area istirahat untuk para petualang dan bahkan sebuah toko, tetapi semua kursi sudah ditempati. Tempat ini lebih sibuk dari yang kuduga, membuatku bertanya-tanya apa gunanya beristirahat begitu dekat dengan portal. Mengapa mereka tidak keluar saja jika ingin istirahat?
Masih mengikuti antrean orang, aku berjalan di jalur yang tidak bercabang lagi. Bagian dungeon ini berupa gua besar. Tanahnya datar, tetapi langit-langit dan dinding batunya tidak rata dan bergelombang, seperti tambang batu bara.
Di dalam sini cukup terang, meskipun tidak ada sumber cahaya yang jelas. Dindingnya tidak memancarkan cahaya, sebaliknya, cahaya tampak menembus mereka.
Aku melihat ke sekeliling mencari monster, tetapi tidak menemukan satu pun. Aku menduga para petualang di sekitar telah mengalahkan setiap monster yang muncul. Terlalu banyak orang di sini untuk bisa bertarung dengan baik, jadi aku terus berjalan lebih dalam ke dungeon.
Setelah berjalan selama satu jam, aku berada sekitar dua kilometer dari portal. Aku sengaja menyimpang dari jalur utama yang menuju ke lantai dua, memilih jalur yang lebih sepi. Aku telah melewati beberapa persimpangan, tetapi GPS dan perangkat pemetaan otomatis di terminal sekolah memastikan aku tidak akan tersesat di lantai awal ini.
Setelah sampai sejauh ini, aku menyadari bahwa struktur dungeon ini sama persis seperti dalam permainan. Dengan pengetahuan ini, perjalananku ke dungeon di masa depan akan jauh lebih mudah direncanakan. Namun, aku tidak menyangka akan butuh satu jam untuk sampai ke sini. Terlalu banyak orang di sepanjang jalan, dan aku mengeluh dalam hati membayangkan harus berdesak-desakan seperti ini setiap kali turun ke dungeon.
Saat aku terus berjalan perlahan sambil merancang strategi eksplorasi di masa depan, kabut gelap muncul di hadapanku. Monster akan segera muncul. Kabut itu menghilang, memperlihatkan gumpalan biru muda berdiameter dua puluh sentimeter—slime.
Monster tidak bisa bergerak selama beberapa detik pertama setelah muncul. Memanfaatkan momen itu, aku mengayunkan pemukulku ke arah slime yang tak berdaya, menghancurkannya seperti jeli dan menciptakan hujan gumpalan kecil.
Sepuluh detik kemudian, gumpalan-gumpalan itu menguap menjadi kabut, meninggalkan satu permata sihir seukuran kuku jari. Permata sekecil ini hanya bernilai sekitar sepuluh yen—hasil yang sangat buruk jika dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan. Tapi, dengan betapa ramainya dungeon ini, itu sudah bisa diduga.
Slime memiliki level monster 1, sama denganku, yang berarti aku mendapatkan seratus persen dari jumlah pengalaman yang tersedia. Mengalahkan monster di bawah levelku akan mengurangi pengalaman yang kudapatkan, sedangkan membunuh monster di atas levelku akan memberiku pengalaman bonus—setidaknya, jika sistemnya masih sama seperti dalam permainan.
Aku harus mengalahkan setidaknya seratus monster level 1 untuk naik ke level 2. Awalnya, aku berharap bisa berburu monster dengan cepat dan naik level dalam waktu singkat, tetapi menunggu monster muncul ternyata lebih lama dari perkiraanku.
“Tapi,” gumamku, “ruang slime seharusnya tinggal sedikit lagi.”
Ruang slime yang terletak di timur laut lantai pertama dungeon ini cukup kecil. Jika tiga slime berada di dalam ruangan itu sekaligus, mereka akan bergabung menjadi satu monster besar yang spesial. Ini menguntungkan karena dua alasan: monster yang lebih besar memberikan sepuluh kali lebih banyak pengalaman dibandingkan slime biasa, dan levelnya adalah 2, yang berarti aku akan mendapatkan pengalaman bonus. Sebagian besar panduan strategi DEC merekomendasikan berburu slime gabungan ini di awal permainan.
Aku berjalan lagi selama tiga puluh menit dan akhirnya tiba di luar ruang slime. Beberapa slime berkeliaran di area itu, tanpa ada petualang lain di sekitar, yang berarti mereka bisa bertahan hidup lebih lama.
Slime adalah monster pasif, yang berarti mereka tidak akan menyerang kecuali diserang terlebih dahulu. Aku harus menarik perhatian mereka ke dalam ruangan itu.
Ayo kita coba! pikirku.
Aku menarik aggro dari tiga slime dan melompat ke dalam ruang slime seperti yang sudah kurencanakan.
“Bagus!” seruku. “Mereka mulai bergabung.”
Slime biru muda berkumpul menjadi satu slime besar, dan beberapa detik kemudian, warnanya berubah menjadi biru tua. Sekarang prosesnya lebih cepat. Aku harus lebih berhati-hati dengan yang satu ini, karena slime gabungan adalah monster aktif yang akan menyerang begitu melihat musuh.
Slime biasa hanya memiliki berat sekitar dua atau tiga kilogram, sementara slime gabungan ini mendekati sepuluh kilogram dan ukurannya pun dua kali lebih besar. Monster ini menyerang dengan melompat ke arah perut targetnya dengan kecepatan puluhan kilometer per jam. Serangan langsung akan membuat korbannya meringkuk kesakitan di tanah. Dalam kasusku, lemak perutku mungkin cukup tebal untuk menyerap sebagian besar dampaknya hingga tidak terasa sakit.
Aku tetap waspada, meluangkan waktu untuk mengamati pola serangannya. Untungnya, ia mengikuti pola sederhana yang sama seperti slime gabungan dalam permainan—meluncur lurus ke arah targetnya. Saat ia melakukannya lagi, aku memperkirakan lintasannya, mengubah posisi untuk menghindari serangan, lalu memukulnya dengan pemukul bisbol saat ia melewatiku. Slime biasa akan langsung hancur dengan satu serangan ke intinya, tetapi yang ini membutuhkan setidaknya satu pukulan lagi. Tidak masalah, karena monster ini cukup mudah ditaklukkan. Aku yakin bisa terus melakukannya dan mencapai level 2 sebelum hari berakhir.
* * *
Aku menghabiskan beberapa jam berikutnya berburu slime gabungan di ruang slime, mengambil jeda di antara setiap pertarungan. Selama istirahat, aku berjalan-jalan di sekitar area itu dan tidak menemukan petualang lain yang berburu slime gabungan. Dalam DEC, para pemain sangat suka berburu monster ini karena mudah dikalahkan, tidak seperti monster level 2 lainnya. Mungkin tidak ada yang tahu tentang mereka?
“Woo! Drop langka! Aku beruntung!”
Salah satu monster yang kukalahkan menjatuhkan cincin slime berwarna coklat yang bersinar samar dan bisa memberikan dua poin tambahan ke statistik vitalitas pemakainya. Peningkatan HP-nya hampir tidak terasa, tetapi tetap berguna di level rendah. Meskipun cincin itu terlalu besar untuk masuk ke jari-jariku yang gemuk, barang sihir secara otomatis menyesuaikan ukuran dengan pemakainya begitu dipakai, jadi aku tidak perlu khawatir.
Aku terus memburu slime gabungan, dan setelah membunuh sepuluh ekor, akhirnya aku naik level.
Prosesnya cukup tidak menyenangkan. Seluruh tubuhku terasa panas, seperti habis minum terlalu banyak alkohol, dan aku sempat bertanya-tanya apakah aku sedang jatuh sakit. Namun, sensasi itu segera menghilang, dan tubuhku terasa lebih ringan. Gerakan tangan dan kakiku menjadi lebih lincah. Statistikku mungkin telah meningkat, meskipun aku tidak akan tahu pasti sampai mengeceknya di kantor pengukuran Guild Petualang atau di toko tersembunyi di lantai sepuluh dungeon. Mengukur statistik di kantor pengukuran akan memperbarui datanya di terminalku, jadi aku lebih memilih menghindarinya untuk merahasiakan kenaikan levelku yang cepat. Meskipun begitu, aku ragu ada yang akan peduli jika aku hanya naik satu atau dua level.
“Naik level rasanya luar biasa,” seruku. “Aku merasa tak terkalahkan dan bisa saja ketagihan.” Aku lalu memeriksa waktu di terminalku. “Whoa, ke mana perginya waktu?”
Sudah pukul 19:30. Kakiku terasa lelah dan perutku kosong, jadi aku memutuskan untuk mengakhiri hariku dan buru-buru pulang.
Post a Comment