Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 6: Sakit Hati
Aku berjalan gontai di sepanjang jalan menuju rumah setelah menyelesaikan penyerbuan pertamaku di dungeon, berhasil mengalahkan slime gabungan tanpa terlalu banyak usaha. Namun, perjalanan pulang-pergi telah memakan waktu tiga jam berjalan kaki, dan kakiku hampir menyerah.
Sialan, Piggy, pikirku. Kenapa kamu tidak mencoba berolahraga dulu sebelum masuk SMA Petualang? Sebenarnya kamu pikir ini sekolah macam apa?
Aku menyeret tubuhku melewati pintu depan dan melepas sepatu. Tidak ada yang lebih kuinginkan selain merangkak ke tempat tidur, tetapi perutku yang keroncongan menuntut makanan, jadi aku masuk ke ruang keluarga.
Di dalam, seorang pria tampan dengan wajah ramah yang tampak berusia dua puluhan sedang makan. Namun, setelah kuamati lebih dekat, kerutan di sekitar matanya dan beberapa helai uban yang tersembunyi mengungkapkan bahwa dia sudah berusia empat puluhan. Dia adalah ayah Piggy sekaligus pemilik dan pengelola “Toserba Narumi.” Aku sudah menggaliingatan Piggy tentangnya, jadi seharusnya aku bisa mengikuti percakapan tanpa masalah.
“Souta,” panggilnya, “aku dengar kamu turun ke dungeon.” Suaranya terdengar benar-benar tertarik, dan satu alisnya terangkat. Ekspresi wajahnya sama ekspresifnya dengan adik Piggy.
“Ya,” jawabku. “Tapi aku cuma memburu slime.”
“Ayah berharap dulu bisa mencari nafkah sebagai petualang,” katanya dengan nada penuh nostalgia. “Saat kamu di bawah sana, lihat-lihat kalau ada sesuatu yang menarik untuk dipajang di toko.”
Ayah Piggy memiliki pengalaman sebagai petualang saat muda dan saat ini berada di level 4. Sampai sekarang, dia masih pergi ke dungeon bersama teman-temannya dan bahkan pernah mencapai lantai empat. Namun, hasil dari petualangannya tidak cukup untuk menghidupi keluarga, dan dia tidak cukup berbakat untuk naik level lebih jauh atau menjelajahi dungeon lebih dalam.
Dunia petualangan hanya menguntungkan bagi mereka yang punya bakat, katanya dulu. Meski begitu, dia masih merindukan kehidupan seorang petualang, dan semangatnya itulah yang mendorongnya membuka toko kecil yang menjual perlengkapan petualang. Dengan begitu, dia bisa memanfaatkan pengetahuannya tentang dunia petualangan dan menemukan jalannya sendiri.
Sambil menyesap birnya, dia menggerutu memberi nasihat, mengatakan, “Hanya yang terbaik yang bisa mencari nafkah sebagai petualang,” dan “Kamu cukup berbakat untuk masuk SMA Petualang, jadi buat ayah bangga.”
Dia menaruh harapan besar pada Piggy, tetapi meskipun aku memiliki pengalaman dari permainan, aku hanya punya pengetahuan tanpa bakat.
“Aku akan menikmati dungeon dan sekolah dengan caraku sendiri,” kataku. “Dan aku akan membawa pulang harta apa pun yang kutemukan untuk dijual di toko, jadi sisakan tempat di rak.”
“Itu baru jawaban yang ingin kudengar! Targetkan yang tinggi, Nak! Hahaha!”
Aku masih punya dua hari libur dari sekolah, jadi akan ada banyak waktu untuk menjelajahi dungeon. Sambil merencanakan penjelajahan berikutnya dalam pikiranku, tanganku hampir saja mengambil porsi kedua, tetapi aku buru-buru menariknya kembali.
“Kak, bagaimana SMA Petualang?” tanya Kano. Dia duduk di kursi di sebelahku, mendengarkan percakapanku dengan penuh semangat, lalu langsung melontarkan pertanyaan saat mendapat kesempatan untuk mengetahui detail perjalananku.
“Seperti apa?” ulangku. “Fasilitasnya luar biasa.”
“Luar biasa bagaimana?” tanyanya, semakin bersemangat. “Dan bagaimana dengan dungeonnya?”
Aku sebenarnya belum menggunakan fasilitas sekolah sama sekali, karena ini adalah hari pertamaku di dunia ini dan di sekolah. Tentu saja, aku sering menggunakannya saat di dalam permainan.
“Aku belum sempat mendekati fasilitasnya,” kataku. “Kami belum diizinkan menggunakannya sampai selesai orientasi minggu depan. Dan aku baru sekali masuk dungeon, jadi belum banyak yang bisa kuceritakan.”
Adikku mengangguk paham dan berkata, “Aku sudah tidak sabar melihat dungeon. Di kota, aku melihat beberapa orang menawarkan tur dungeon, tapi kamu harus tetap di belakang pemandu. Mereka tidak mengizinkan kita bertarung, dan aku tidak akan belajar apa-apa dari itu.”
Dia ingin memahami dungeon luar dalam untuk membantunya menghadapi ujian masuk SMA Petualang tahun depan.
Saat menyelami ingatan Piggy, aku teringat bahwa ujian masuk mengukur kemampuan akademik, fisik, dan kekuatan terpendam siswa.
Tunggu, kekuatan terpendam? pikirku. Apakah itu seperti kemampuan bawaan atau pekerjaan awal yang unik?
Dalam DEC, pemain bisa mempelajari kemampuan dengan meningkatkan level pekerjaan tertentu. Saat membuat karakter, terkadang sistem secara acak memberikan kemampuan sejak awal permainan. Contohnya adalah kemampuan aneh Glutton milik Piggy yang sudah ada sejak awal. Sementara sebagian besar karakter memulai dengan pekerjaan Newbie, terkadang mereka bisa memulai dengan pekerjaan langka. Namun, pekerjaan ini tidak selalu menguntungkan, karena ada kelemahannya: Mencapai level maksimum 10 sebagai Newbie akan memberikan kemampuan penting. Pekerjaan Newbie unik karena pemain tidak bisa beralih ke pekerjaan itu dari pekerjaan lain.
Aku tidak melihat sekolah terlalu mempertimbangkan kemampuan bawaan atau pekerjaan awal yang berbeda dalam proses seleksinya. Kemampuan bawaan yang bagus hanya memberikan sedikit keuntungan di awal, dan pekerjaan awal yang langka tidak lebih baik atau lebih buruk daripada memulai sebagai Newbie. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahkan jika mereka mempertimbangkan kemampuan bawaan pelamar, aku tidak habis pikir bagaimana Piggy bisa lolos ujian yang begitu ketat dengan keterampilan Glutton yang tidak berguna dan tubuhnya yang sama sekali tidak bugar. Apakah ada rahasia tentang Piggy yang belum kuketahui? Mungkin dia adalah anak jenius.
“Jangan khawatir, Kano, kamu masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri, dan aku baru sehari di sana. Aku akan mencari tahu apa pun yang bisa membantumu dalam ujian nanti.”
“Serius?!”
“Ujian itu semua sudah diatur, kan?” kata ayah kami, melambaikan gelas birnya dengan satu tangan.
“Kamu butuh koneksi di sana.”
“Tapi Kakak bisa masuk, jadi jaringan pertemanan sepertinya tidak sepenting itu,” bantah adikku.
“Itu benar juga! Hahaha!” seru ayah kami, tertawa. Dia lalu menoleh ke ibu dan berkata, “Tuangkan lagi satu gelas, ya?”
“Kamu sudah cukup minum, Sayang,” jawab ibu. “Lagipula, Souta, cepat mandi.” Aku masih ingin makan lebih banyak, tetapi aku menahan diri dan naik ke kamar mandi. Setelahnya, aku merendam tubuh di bak mandi dan memijat kakiku yang lelah agar siap untuk menjelajah dungeon besok. Sambil berendam, pikiranku mengembara, memikirkan dunia ini.
Rasanya aneh memiliki keluarga, karena aku telah sendirian sepanjang hidupku sampai saat ini. Namun, di sini aku merasa sangat nyaman, seolah-olah tempat ini memang milikku. Mungkin ini adalah perasaan Piggy, bukan milikku. Tapi tetap saja, aku ingin yang terbaik untuk mereka.
Selain itu, aku masih belum tahu bagaimana cara kembali ke duniaku. Aku tidak bisa memastikan apakah tubuh asliku masih ada di sana atau bagaimana cara log out. Aku masih belum yakin apakah ini sebuah permainan atau kenyataan. Bisa saja ini dunia virtual yang sangat rumit, tetapi detailnya terlalu mendalam sehingga kemungkinan besar ini adalah dunia nyata. Apakah pengetahuanku tentang permainan cukup untuk membantuku bertahan di sini? Aku berencana kembali ke dungeon besok dan bisa mengumpulkan lebih banyak informasi dengan bereksperimen saat berada di sana.
Aku sadar kemudian bahwa perutku masih kosong. Aku baru saja selesai makan! pikirku. Seberapa luas yang bisa ditampung perutku?
* * *
Aku bangun lebih awal pada hari Sabtu berikutnya. Bagaimanapun, ini adalah hari tersibuk bagi Toserba Narumi.
Orang tuaku masih sibuk mondar-mandir di dalam toko, memeriksa barang dagangan dan menyiapkan kupon untuk dibagikan. Mereka sudah bekerja sejak bangun tidur.
Sementara itu, aku melakukan peregangan di depan rumah dengan mengenakan ransel berisi semua perlengkapan yang kubutuhkan untuk dungeon. Aku memberi perhatian khusus pada kaki-kakiku yang tebal. Mengalami kram di dalam dungeon bisa berakibat fatal. Saat aku tersenyum geli karena terkejut dengan kelenturan tubuh Piggy, suara serak memanggilku dari belakang.
“Pagi, Souta. Apa kabar?”
Aku berbalik dan melihat seorang pria paruh baya dengan wajah keras... Dia adalah Tatsu Hayase, pemilik Perkakas Logam Hayase dan ayah dari Kaoru Hayase.
“Selamat pagi, Pak Tatsu.”
Barang dagangannya mencakup berbagai perlengkapan sehari-hari seperti panci dan pisau dapur hingga senjata dan alat-alat untuk petualang. Dia membuat semuanya sendiri karena keahliannya sebagai pengrajin. Keluarga Hayase dan Narumi telah berteman baik bahkan sebelum Piggy lahir. Tatsu bahkan sering ikut bersama ayah Piggy dan teman-temannya dalam ekspedisi dungeon mereka. Dalam DEC, Tatsu adalah karakter sampingan yang akan membantu pemain jika mereka berteman dengan Kaoru Hayase. Dia pria yang baik, bahkan terhadap Piggy.
“Kaoru sedang berlatih teknik pedangnya di taman,” katanya. “Mengapa kamu tidak bergabung dengannya?”
Dia punya niat baik, tapi dia tidak tahu seberapa besar Kaoru membenciku. Akan terasa tidak sopan jika menolak, jadi aku pun pergi menyapanya.
Taman keluarga Hayase bergaya tradisional Jepang dan lebih kecil dari rata-rata. Bunga-bunga dan pepohonan dari berbagai musim tumbuh di sana, dengan cabang-cabangnya dipangkas secara artistik. Kolam ikan mas di sudut taman menjadi sentuhan yang indah. Melihat taman ini membangkitkan ingatan Piggy tentang Tatsu yang sering merawatnya selama berjam-jam. Jelas, aku mulai terbiasa menggali ingatan Piggy.
Kaoru berdiri di tengah taman yang indah, dengan tekun mengayunkan pedang kayunya. Aku menatapnya dari kejauhan, terpesona. Aku ragu apakah aku harus mengganggunya, tetapi Kaoru sendiri yang lebih dulu membuka pembicaraan.
“Souta?” tanyanya. “Sedikit terlalu pagi untukmu, bukan? Kamu tahu ini akhir pekan, kan?”
“Hai, Kaoru. Aku bertemu Pak Tatsu di luar, jadi kupikir lebih baik mampir dan menyapamu.”
“Begitu,” jawabnya, lalu berhenti sejenak. “Maaf, tapi aku sedang sibuk dan akan segera pergi.”
Piggy biasa memanggilnya “Kaoru,” jadi aku melakukan hal yang sama agar tidak terdengar aneh. Meski begitu, itu tidak membuatnya lebih ramah kepadaku. Sejak menyadari kehadiranku, dia menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Wajah cantiknya, yang beberapa saat lalu begitu tenang, kini tampak kesal.
Aku sudah melakukan apa yang kuharapkan, jadi aku berbalik untuk kabur dan melanjutkan pereganganku. Namun, sebelum aku sempat pergi, suara ceria terdengar.
“Pagi!”
Pak Tatsu mengirimkan lebih banyak tamu ke taman ini. Di antara mereka ada Akagi, dengan postur tegap dan rambut merah menyala yang berkilauan di bawah sinar matahari, memberikan kesan lebih berwibawa daripada siswa SMA biasa. Di belakangnya, Sakurako Sanjou—alias Pinky—berlari kecil dengan rambut ikalnya yang tebal dan gerak-gerik gugup yang menggemaskan. Seorang anak laki-laki lain mengikuti mereka, dan aku mengenalinya sebagai Naoto Tachigi. Dia tampak cerdas dengan kacamata dan rambut gelap panjang sebahu yang dibelah di tengah. Dia adalah teman sekamar Akagi dan karakter berpengaruh dalam cerita utama permainan, berperan sebagai rekan terpercaya sang protagonis.
“Ah, kamu di sini, Kaoru,” kata Akagi.
“Oh, rupanya kamu, Yuuma,” sapa Kaoru dengan senyum lebar dan ceria. “Aku ingin berlatih sedikit sebelum kita pergi ke dungeon.”
Dia tidak terlihat sebahagia itu saat melihatku. Tapi Piggy memang ditakdirkan untuk dibenci, jadi masuk akal. Yang mengejutkanku adalah mereka sudah saling memanggil nama pertama. Pesona tokoh utama Akagi sedang bekerja, mengubah orang asing menjadi teman dalam sekejap.
“Ah?” Setelah keempatnya selesai bertukar sapa, Akagi akhirnya menyadari penyusup yang berdiri canggung di dekat mereka. “Oh, kamu... eh...” katanya, tetapi sepertinya dia lupa namaku. Itu bisa dimaklumi. Bagaimanapun, aku tidak terlalu menonjol setelah upacara penerimaan.
Tachigi mencondongkan tubuh dan berbisik ke telinga Akagi, menunjukkan bahwa setidaknya dia mengenaliku.
“Oh, jadi kamu juga sekelas dengan kami?” tanya Akagi. “Kami akan pergi ke dungeon. Mau ikut?”
Kecenderungannya yang ramah untuk menyambut siapa saja ke dalam kelompoknya mungkin adalah salah satu sumber karismanya. Namun, itu juga menunjukkan bahwa dia terkadang tidak peka terhadap situasi sosial. Kaoru dan Pinky tampak terkejut saat dia mengundangku, tetapi dia tidak menyadarinya sama sekali.
Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan hingga membuat Pinky begitu waspada terhadapku. Mungkin karena penampilanku? Penampilanku yang buruk dan berkeringat? Ya. Tidak perlu dijelaskan lagi.
Tachigi menyadari situasinya dan segera bertindak, berkata, “Kamu membuatnya canggung, Yuuma. Untuk hari ini, lebih baik kita pergi sendiri.” Dia dengan cekatan meredakan ketegangan yang muncul akibat ketidaksensitifan Akagi—satu-satunya kekurangannya—tanpa menyinggung siapa pun.
“Y-Ya!” Pinky menambahkan. “Lagipula, aku hanya membawa bekal untuk empat orang.” Dia memeluk empat tas makan siang bergambar kelinci, yang tampaknya telah ia siapkan sendiri.
Aku memang berencana menjelajahi dungeon sendirian. Dalam kondisiku yang tidak bugar, aku khawatir akan menghambat mereka jika ikut serta. Selain itu, aku ingin melakukan eksperimen untuk menguji seberapa berguna pengetahuanku tentang permainan, yang akan lebih lancar jika kulakukan sendiri.
“Jangan pikirkan aku,” kataku. “Aku juga punya urusanku sendiri. Semoga beruntung!”
“Baiklah kalau begitu,” kata Kaoru. “Aku akan bersiap-siap.”
Keempatnya mulai mengobrol penuh semangat tentang ekspedisi mereka ke dungeon. Kaoru tersenyum cerah bersama yang lain, dengan kebahagiaan yang berbeda dari saat aku datang tadi.
Pemandangan itu membuat hatiku terasa nyeri, dan sebuah suara dalam benakku memohon, Jangan biarkan Kaoru jatuh ke tangan mereka. Jangan menyerah padanya. Emosi ini bukan milikku, menunjukkan bahwa Piggy benar-benar mencintainya. Namun, aku berharap sisa hati Piggy bisa melihat sesuatu dari sudut pandangku.
Pendapat Kaoru tentangku sudah sangat buruk dan kecil kemungkinan akan berubah jika aku mulai bersaing dengannya demi gadis itu melawan protagonis tampan. Aku akan lebih baik melupakan Kaoru dan mencari cinta di tempat lain daripada mengikutinya dan mengganggunya, berharap suatu saat dia akan memperhatikanku. Jalan itu hanya akan membawa kehancuran.
Aku tidak bisa menyangkal bahwa Kaoru adalah gadis yang luar biasa. Dia tidak hanya luar biasa cantik, tetapi juga dikagumi banyak orang karena kepribadiannya yang baik. Namun, kelas di SMA Petualang dipenuhi gadis-gadis cantik dan pria-pria tampan. Karena dunia ini berasal dari sebuah permainan, mereka lebih mengutamakan kemampuan dalam memilih pasangan daripada sekadar penampilan. Strategi terbaikku adalah menemukan gadis baik-baik yang bisa menerima diriku, sambil berusaha keras untuk menjadi lebih bugar dan meningkatkan levelku.
Sosok yang terlintas di benakku adalah gadis yang kelak menjadi ketua OSIS. Dia adalah heroine favoritku dalam permainan, dan gagasan untuk mengejarnya cukup menarik. Singkatnya, dia bijaksana, cantik, kaya raya, dan anggota keluarga bangsawan. Selain itu, dia menginginkan suami yang merupakan petualang hebat, tanpa peduli seperti apa penampilannya, bagaimana sikapnya, atau seberapa rendah status kelahirannya. Dengan kata lain, dia adalah target utama bagi seorang pemburu harta, dan juga harapan terbaik Piggy untuk mendapatkan pasangan meskipun memiliki begitu banyak kekurangan.
Aku belum bertemu dengannya, tetapi aku berharap segera mendapat kesempatan agar otak Piggy bisa melihatnya langsung.
Post a Comment