NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V4 Epilog

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


 Epilog


“Terima kasih atas kerja kerasmu. Kamu tidak lelah, Fine?” 

“Tidak, saya baik-baik saja, Tuan Al.” 

Setelah Ayah menjatuhkan hukuman, aku berada di kamarku bersama Fine. Ayah bilang akan mengadakan pesta besar setelah ini. Leo dan Fine yang baru saja kembali takkan punya waktu untuk beristirahat, dan itu membuatku khawatir. Perjalanan kali ini memang panjang. 

“Dari perjalanan paksa dari ibu kota ke wilayah selatan, ditambah pertempuran dan urusan pasca-konflik di sana, mana mungkin tidak lelah? Tak usah memaksakan diri. Kalau kamu mau istirahat, aku akan bilang pada Ayah.” 

“Terima kasih atas perhatiannya. Tapi saya sungguh baik-baik saja. Lagi pula, saya juga menantikan pestanya.” 

Fine berkata demikian dengan senyum ceria yang polos. Tampaknya dia memang benar-benar baik-baik saja. Kalau aku di posisinya, sudah pasti akan berkata tidak ingin datang ke pesta karena kelelahan. 

“Kamu ini ternyata cukup tangguh juga.” 

“Selama perjalanan, Narberitter memperlakukan saya dengan sangat baik. Perjalanannya juga tidak terasa berat, dan Nona Lynfia selalu menemani saya berbicara, jadi saya tidak merasa bosan. Jadi saya baik-baik saja. Justru... Saya lebih khawatir pada Anda.” 

“Aku? Aku tidak apa-apa. Kali ini aku tidak menggunakan sihir besar atau semacamnya.” 

“Itu mungkin benar, tapi lawan kali ini juga bukan orang biasa, bukan? Bukankah secara mental Anda lebih terkuras dari biasanya?” 

“Yah, memang Sonia cukup merepotkan, tapi tidak sejauh itu.” 

“Bukan itu maksud saya... Saya khawatir karena Anda merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkannya.” 

Fine selalu saja tiba-tiba melontarkan kata-kata yang tajam. Aku jadi curiga apakah dia bisa membaca isi hati seseorang dengan sihir. Padahal aku merasa tidak memperlihatkan apa-apa sejauh itu. 

“...Tentu saja aku merasa bersalah. Dia adalah korban dari perebutan takhta. Seseorang yang seharusnya diselamatkan. Seseorang yang layak menerima uluran tangan. Tapi aku tidak melakukannya. Karena aku tidak memiliki solusi mendasar untuk menyelamatkannya.” 

Selama lokasi para sandera tidak diketahui, Sonia tidak bisa diselamatkan. Karena Sonia tidak akan menginginkan keselamatannya sendiri jika orang lain tetap dalam bahaya. Mungkin, jika aku menggunakan seluruh kekuatanku sebagai Silver, aku bisa menemukan para sandera. Tapi aku tidak punya waktu untuk itu sekarang. 

Ya. Karena aku tidak punya waktu, aku tidak menyelamatkannya. Aku memilih mendahulukan urusanku sendiri, dan meninggalkan korban perebutan takhta. Tentu saja, yang paling salah di sini adalah Gordon yang menjadikannya sandera. Tapi aku yang membiarkannya juga salah. Mungkin, aku bahkan lebih berdosa. 

“Dulu aku bilang bahwa tak ada manusia yang sempurna... Tapi tetap saja, aku ingin menjadi sempurna. Jika aku ingin menyelamatkan seseorang, aku ingin punya kekuatan untuk benar-benar melakukannya.” 

“Itu ciri khas Anda. Tapi menurut saya, yang lebih penting bukanlah memiliki kekuatan, melainkan memiliki tekad. Keinginan untuk menyelamatkan orang lain itu sangat berarti. Tanpa keinginan itu, kekuatan tidak ada artinya. Keinginan itu, saat disatukan dengan orang lain, akan membawa segalanya ke arah yang lebih baik. Jadi teruslah berharap untuk menyelamatkan. Menyerah bukanlah sifat Anda.” 

“...Benar juga.” 

Merasa bersalah itu mudah. Semua orang bisa melakukannya. Tapi hanya karena aku tidak bisa menyelamatkan seseorang, bukan berarti aku boleh terus menunduk. Orang-orang yang ingin kuselamatkan tidak berada di bawah. 

Aku harus terus menatap ke depan, melakukan apa yang bisa kulakukan. Di sepanjang jalan itu, pasti ada kesempatan yang akan datang. 

“Aku tidak akan menyerah untuk menyelamatkan Sonia. Aku tidak boleh menyerah. Mengambil sandera demi takhta, menyeret seorang gadis ke dalam pertarungan yang tidak diinginkannya... Jika aku membiarkan itu dan menyerah, maka aku tidak berbeda dengan Gordon.” 

Berbicara dengan Fine membuat hatiku terasa lebih ringan. Membuatku bisa kembali menatap ke depan. Mungkin karena Fine selalu memperhatikanku dengan baik. Rasanya nyaman, sampai-sampai aku ingin bergantung terus padanya. 

Tapi aku tidak bisa terus bergantung. 

“Sebenarnya aku berniat kabur lebih awal dari pesta... Tapi, kalau kamu masih ada di sana, aku akan tetap tinggal. Meskipun tak banyak yang bisa kulakukan.” 

“Tidak, saya justru sangat terbantu. Lalu, uh... Yah...” 

Fine tampak sedikit ragu dan terdiam. Dia mengatakan sesuatu dengan suara kecil, tapi aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. 

“Hm? Kamu mau minta tolong sesuatu?” 

“Ya... Perihal itu... Saya akan mengenakan gaun untuk pesta...” 

“Ah, benar juga.” 

“Jadi... Yang Mulia Kaisar telah menyiapkan begitu banyak gaun... Dan saya sulit memilihnya... jadi kalau Anda tidak keberatan... Bisakah Anda memilih bersama saya...?” 

Kupikir dia akan meminta sesuatu yang sulit, ternyata hanya itu. Sebagai orang yang selalu penuh perhatian, pasti dia memikirkan gaun mana yang akan menyenangkan hati Ayah. 

“Tentu saja boleh. Sekalian, mau kamu pilihkan juga pakaian untukku?” 

“Tentu!”


Kami pun berdiri dari tempat duduk. Saat itu, Sebas tiba-tiba muncul. 

“Ada sesuatu?” 

“Saya mendengar informasi menarik.” 

“Apa itu?” 

“Sebenarnya, tampaknya Pangeran Pertama dari Kerajaan Perlan sedang berada di ibu kota.” 

“Pangeran Pertama dari Perlan? Aku belum pernah mendengar hal itu.” 

“Sepertinya beliau datang secara diam-diam, dan juga menolak undangan untuk menghadiri pesta. Mengenai alasan kunjungannya...” 

Saat Sebas hendak menjelaskan, aku menghentikannya dengan tanganku. Seorang pangeran asing datang diam-diam ke ibu kota kekaisaran, itu jelas tidak biasa. Pasti ada alasan khusus di baliknya.

Dan masih ada satu hal lagi yang terasa tidak wajar. Hukuman yang dijatuhkan kepada Zandra. Hukuman yang seharusnya lebih berat ternyata berakhir lebih ringan dari perkiraan. Memang, dia telah dinyatakan tersingkir dari perebutan takhta, tapi selama dia masih hidup, masih ada kemungkinan untuk bangkit kembali. 

Kekuatan yang cukup besar untuk mengubah keputusan Ayah. Jika ada pihak luar Kekaisaran yang terlibat, maka semuanya menjadi masuk akal. Terlebih lagi, yang terlibat adalah Pangeran Pertama dari Kerajaan Perlan. Mungkin telah terjadi sebuah kesepakatan yang tak buruk bagi beliau. 

“Biar kutebak. Ini soal mencari calon istri, bukan?” 

“Jawaban yang tepat. Sepertinya secara pribadi, beliau telah mengajukan lamaran kepada Yang Mulia Zandra.” 

“Hmph, langkah yang terlalu mudah ditebak. Jadi akhirnya Zandra memainkan kartu truf yang selama ini tak pernah dia gunakan. Itu menunjukkan seberapa terpojok dirinya sekarang, tapi ini bisa jadi merepotkan.” 

“Apa maksud Anda?” 

“Zandra selalu bersikeras bahwa dia akan menentukan sendiri siapa calon suaminya. Karena dia mengincar takhta, pasangan hidup sangat berpengaruh. Idealnya, dia memilih dari kalangan bangsawan terkemuka dalam Kekaisaran. Tapi sekarang muncul Pangeran Pertama dari kerajaan asing. Itu berarti Zandra berniat meminjam kekuatan kerajaan lain. Dan dari pihak kerajaan, bisa ikut campur urusan Kekaisaran tentu adalah keuntungan besar. Meski begitu, tentu ada risikonya juga.” 

Kalau tidak berisiko, dia pasti sudah memainkannya sejak awal. Begitu dia menerima utang budi, Zandra takkan bisa mengabaikan sang pangeran maupun kerajaan tempatnya berasal. Selain itu, sangat sedikit orang yang akan menerima seorang calon Kaisar yang telah menjadi istri bangsawan asing. 

Pilihan yang tersedia pun jadi terbatas. Tapi bagi Zandra, dibanding menerima hukuman berat dan kehilangan masa depan sepenuhnya, langkah ini mungkin dirasa lebih baik. 

“Mereka mungkin tidak akan langsung menikahkan Zandra. Reputasinya sangat buruk setelah kejadian ini. Begitu situasi mulai tenang, mereka akan memilih waktu yang tepat untuk mengumumkannya... Tapi kalau itu Zandra, dia pasti akan bergerak lebih dulu sebelum itu. Waspadalah.” 

“Baik. Saya mengerti.” 

Setelah menjawab demikian, Sebas pun meninggalkan ruangan. Aku menghela napas pelan dan meletakkan tangan di daun pintu kamar. 

“Yah, ayo pergi.” 

“Tak apa-apa?” 

“Tak masalah. Ini bukan sesuatu yang perlu langsung dikhawatirkan. Kalau ada kesempatan untuk santai, ya dinikmati saja.” 

Karena setelah ini, pertarungan yang lebih sengit pasti akan dimulai. 

Sambil berbisik dalam hati demikian, aku pun melangkah keluar dari kamar bersama Fine.


1

1 comment

  • Gblart
    Gblart
    3/7/25 22:02
    Volume 5 pls. I beg u admin
    Reply



close