NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V4 Chapter 4

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 4: Pertempuran Penentu di Selatan


Bagian 1

Saat Leo dan rombongannya meninggalkan ibu kota. 

Gordon, yang telah diperintahkan untuk mengumpulkan pasukan, juga mulai bergerak. 

“Sonia, adakah usulan kedua?”

Sambil menunggang kuda menuju titik kumpul pasukan, Gordon mengajukan pertanyaan kepada Sonia. Pergerakan Leo ternyata di luar dugaan, baik bagi Gordon maupun Sonia. Mereka tidak menyangka Leo akan menyusun rencana berani dengan menyamar sebagai utusan dan melancarkan serangan mendadak. 

Sembilan dari sepuluh kemungkinan, rencana itu bukanlah gagasan Leo sendiri. Itu pasti dirancang oleh seseorang yang lebih curiga terhadap orang lain dan mampu menembus isi hati mereka. Seseorang yang, bisa dibilang, berkepribadian buruk. 

Pasti orang itu kini tengah tersenyum puas di balik Leo. Dan siapa orang itu, Sonia punya dugaan. 

Namun, sekalipun dia tahu, tidak ada yang bisa dilakukan. 

“Intervensi terhadap rencana yang telah disetujui oleh Yang Mulia Kaisar bukanlah tindakan yang bijak. Kita sebaiknya menunggu. Strategi Pangeran Leonard memang cemerlang, tapi pasti tak akan berjalan semudah itu. Di medan perang, keputusan di garis depan yang dihargai. Jika kita mendeteksi sesuatu yang janggal, kita masih bisa bergerak. Untuk saat ini, kita tunggu saja waktunya.” 

“Begitu pasif. Menjengkelkan.” 

“Meski Pangeran Leonard berhasil meraih prestasi, posisi dalam perebutan takhta tidak banyak berubah. Dia hanya akan menggantikan posisi Putri Zandra. Tak akan berdampak pada posisi Anda, Yang Mulia Gordon.” 

“Aku tidak peduli jika harus menerima kerugian. Aku menginginkan prestasi. Itu sebabnya aku mengikuti rencana-rencanamu sampai sejauh ini. Jika pada akhirnya aku tak bisa meraih apa-apa, aku pun tak bisa memberikan contoh pada bawahanku.” 

“Namun, jika Anda menghalanginya, Anda akan berada dalam pengawasan Kaisar. Dalam skenario terburuk, Anda bisa dituntut atas pengkhianatan.” 

“Aku sudah berada dalam pengawasannya. Maka, lebih baik mengambil risiko demi merebut kembali kendali ke tangan kita.” 

Gordon menanggapi pendapat Sonia dengan sikap tegas. Dan sebenarnya, pendapat itu tidak salah. Sonia pun telah mempertimbangkannya. 

Namun, jika mereka gagal, konsekuensi yang harus ditanggung akan sangat besar. Karena itulah Sonia sampai pada kesimpulan bahwa mereka sebaiknya menunggu waktu yang tepat. 

“Jika kita tetap tenang di sini, kita akan dinilai sebagai pihak yang menghormati kaisar. Jika kita dipandang sebagai pangeran yang tahu tempatnya, maka reputasi Anda tidak akan jatuh. Namun jika kita mengambil langkah ekstrem, kita akan dianggap tidak menghormati Kaisar. Dalam kondisi itu, bertahan dalam perebutan takhta akan jauh lebih sulit. Karena pada akhirnya, Kaisar sendiri yang akan menentukan siapa yang menjadi Putra Mahkota.” 

“Hmph... Omong kosong.” 

“Apa maksud Anda?” 

“Aku tidak berniat menjadi Kaisar dengan mengandalkan kekuatan ayahku. Aku akan menjadi Kaisar dengan kekuatanku sendiri. Aku akan memimpin pasukan Kekaisaran dan menyatukan seluruh benua. Aku akan mengukir namaku dalam sejarah sebagai seorang jenderal besar.” 

“Punya ambisi besar memang bukan hal buruk, tapi Anda tidak bisa menang hanya dengan kekuatan. Terutama bila lawannya adalah Pangeran Eric.” 

“Kalau hanya soal perebutan takhta, ya.” 

Setelah berkata begitu, Gordon memacu kudanya lebih cepat, meninggalkan Sonia. 

Sonia, yang menangkap sesuatu yang kelam dalam ucapan dan sorot mata Gordon, berulang kali mencoba menyampaikan nasihat padanya setelah itu. Namun, Gordon tidak pernah mau mendengarkan.


* * *


Di selatan ibu kota kekaisaran. Lebih jauh lagi melintasi dataran luas. Di sanalah Gordon mengumpulkan pasukan pusat Kekaisaran. 

Jumlah pasukannya mencapai tiga puluh ribu. Jika semua berjalan lancar, jumlah itu akan membengkak hingga dua kali lipat. 

“Yang Mulia Pangeran Gordon! Apa kita akan terus duduk diam seperti ini?” 

Orang yang mengajukan keberatan di tenda utama markas adalah seorang pria paruh baya berjanggut. 

Tubuhnya besar, namun perutnya juga menonjol. Tingginya tidak terlalu mencolok, dan penampilannya membuat orang teringat pada sebuah tong. Namanya adalah Adam Galver. 

Dia adalah salah satu jenderal yang ditempatkan di ibu kota, dan dalam pertempuran ini dia menjabat sebagai wakil panglima di bawah komando Gordon. Dia juga merupakan pendukung setia Gordon. 

“Perintah dari Yang Mulia Kaisar adalah untuk berkumpul. Bukan menyerang.” 

“Tapi!” 

Galver tetap bersikeras. Lagi pula, pihak Gordon sendirilah yang mengatur keadaan agar terjadi perang saudara. Namun kini, rencana itu tengah diambang kegagalan akibat aksi Leo dan rekan-rekannya. 

Mengetahui hal itu, Galver tidak bisa menerima begitu saja dan hanya duduk menunggu laporan dari pihak Leo. 

“Tenanglah dulu, Galver. Aku tak bisa bergerak sebelum semua pasukan berkumpul. Karena itu, aku ingin kamu melakukan pengintaian.” 

“Tidak perlu adanya pengintaian! Musuh kita hanyalah kumpulan massa tak terorganisir! Jika kita menyerang sekarang, kita bisa menerobos garis depan dan langsung menghantam wilayah terdalam mereka!” 

Pendapat itu tidak hanya datang dari Galver saja. Banyak perwira militer juga berpikiran serupa. 

Wilayah selatan, terutama kota-kota yang berada di garis depan, memiliki semangat tempur yang rendah dan kekurangan pasukan. Jika diserang, kota-kota itu kemungkinan besar akan menyerah seketika. Dalam kondisi seperti itu, memerintahkan pengintaian saja sudah merupakan penghinaan bagi Galver. 

Namun.

“Jangan keras kepala, Galver. Aku akan memberimu sepuluh ribu pasukan. Pergilah dan lakukan pengintaian ke kota Gels yang akan menjadi garis depan.” 

Itu adalah perintah yang tidak biasa. 

Menggunakan sepertiga pasukan yang telah terkumpul hanya untuk pengintaian adalah sesuatu yang tak lazim. 

Sesaat, Galver ragu akan pendengarannya. Namun segera setelah itu, dia melihat senyuman di wajah Gordon. 

“Jadi, Anda punya rencana, bukan?” 

Wajah Galver dipenuhi harapan. Gordon tak menjawab, hanya mengangguk kecil. 

Melihat hal itu, Galver menjawab dengan penuh semangat. 

“Baik! Baiklah! Saya akan memimpin sepuluh ribu pasukan untuk melakukan pengintaian!” 

“Aku mengandalkanmu. Akan kuberi dua orang untuk menjadi pendampingmu.” 

Setelah mengatakan itu, Gordon memanggil dua orang ke dalam tenda utama. 

Salah satunya adalah penasihat militer Gordon, Sonia. 

Yang lainnya adalah seorang pria jangkung berambut abu-abu. Melihat sosok itu, Galver menyunggingkan senyum sinis. 

“Oh, ini Kolonel Retz. Dengan Anda sebagai pendamping, saya merasa sangat tenang.” 

“Saya juga merasa terhormat bisa mendampingi Jenderal Galver.” 

Retz memberikan hormat tanpa menunjukkan sedikit pun emosi. Dia adalah salah satu pendukung Gordon, komandan pasukan kavaleri, dan dikenal memiliki kemampuan luar biasa. Meskipun berpangkat kolonel, dia sudah menjadi salah satu tangan kanan Gordon. 

Bagi Galver, Retz adalah pria yang mengganggu. Tapi menjadikannya sebagai pembantu malah terasa menyenangkan. 

Sambil memperhatikan interaksi kedua perwira itu, Sonia memandang Gordon lurus-lurus. 

“Pengintaian dengan sepuluh ribu orang? Kamu tahu orang-orang akan mencibirnya, bukan?” 

“Ini hanya pengintaian. Tidak ada salahnya jika kita berhati-hati.” 

“...Jika Anda merencanakan sesuatu, sebaiknya urungkan niat itu. Bertindak gegabah hanya akan membawa kerugian. Jika kita hanya menunggu, mungkin kita tidak akan mendapat peluang, tapi kita juga tidak akan kehilangan apa pun.” 

“Itulah kenapa aku menyebutnya pengintaian.” 

Gordon menjawab sambil mengabaikan kata-kata Sonia. 

Sonia tahu Gordon tak berniat mendengarkannya. Sejak tiba di sini, Gordon tidak lagi menerima saran dari Sonia, bahkan dia tidak lagi diundang ke rapat strategi. 

Penasihat militer yang tidak bisa memberikan rencana yang diinginkan tidak berguna. Begitulah penilaiannya. 

“Ikutlah bersama Galver. Itu demi dirimu dan juga keluargamu.” 

“...Kalau Anda tidak mau menggunakan saya sebagai penasihat militer, bisakah Anda membebaskan keluarga saya? Mungkin saya tidak cocok dengan cara berpikir Anda, tapi saya juga tidak cocok dipaksa mengikuti kehendak Anda. Saya tidak ingin kita berdua hancur bersama.” 

“Aku masih membutuhkanmu sebagai penasihat. Karena itu, aku memberikanmu tugas. Daripada mengeluh, lebih baik kerjakan tugasmu dengan baik.” 

Dengan itu, Gordon memerintahkan Sonia dan Galver meninggalkan tempat. 

Tinggallah Retz seorang diri di dalam tenda. Gordon pun berkata pelan padanya. 

“Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?” 

“Ya! Semuanya telah disiapkan sesuai perintah Anda!” 

Retz menjawab sambil memberi hormat. Gordon mengangguk puas melihat kinerja bawahannya yang dia percayai. 

Lalu dia mengarahkan pandangan ke selatan dan menyeringai. 

“Ini akan menjadi akhir bagi Leonard dan yang lainnya.” 

“Namun, jika rencana ini berhasil, bukankah tak perlu lagi melanjutkan rencana berikutnya?” 

“Aku tidak mau mengambil risiko. Kali ini, keluarga pahlawan juga berada di pihak mereka. Jika pesan kita tidak sampai ke Kruger, kita harus tetap melanjutkan rencana kedua. Serahkan padaku.” 

“Baik. Saya akan melaksanakannya dengan sempurna.” 

“Aku mengandalkanmu. Jika kita bisa merebut kota Gels, selanjutnya tinggal melaju terus. Aku akan menyusul nanti.” 

“Ya! Aku akan membuka jalan untuk Yang Mulia!” 

Dengan penuh percaya diri, Retz menyatakan tekadnya. Melihat itu, Gordon memperlebar senyumnya. 

Hampir seluruh komandan dalam pasukan ini adalah orang-orang dari kubu Gordon. Apa pun yang terjadi, mereka akan patuh padanya. 

“Di selatan, aku akan memastikan perang benar-benar terjadi. Lalu, kuhabisi selatan hingga tak tersisa... Dan berikutnya adalah ibu kota.” 

“Akhirnya tiba juga waktunya.” 

“Ya. Dengan ini, semua pertikaian kekuasaan kecil yang menjengkelkan akan berakhir. Aku akan menjadi Kaisar... Dan Kekaisaran akan menuju penyatuan benua. Setelah menaklukkan benua ini, tujuanku berikutnya adalah seberang lautan. Aku akan menyatukan seluruh dunia atas nama Kekaisaran.” 

“Saya akan mendampingi Anda!” 

Gordon dan Retz menatap masa depan mereka dengan penuh ambisi. 

Namun, masa depan yang mereka lihat itu sebenarnya telah mulai menyimpang dari jalur.


* * *


Pasukan rahasia yang digerakkan oleh Gordon untuk mencari Rebecca. 

Karena bersifat tidak resmi, hanya segelintir orang yang mengetahui keberadaan pasukan ini. Namun, mereka dikenal sebagai salah satu pasukan dengan tingkat keterampilan tertinggi dalam militer Kekaisaran. 

Prajurit-prajurit pilihan dikumpulkan, dan telah melewati pelatihan yang amat berat hingga kini. 

Mereka memilih untuk bekerja sama dengan Gordon karena yakin bahwa seorang kaisar berlatar belakang militer akan memberi peluang lebih besar bagi mereka untuk bersinar. 

Namun, pasukan itu tertahan dalam perjalanan menuju selatan. 

“Sial! Apa yang sedang terjadi ini!?” 

Mayor yang memimpin pasukan tersebut tak dapat mempercayai apa yang tengah terjadi pada mereka. 

Gordon mengirim pasukan rahasia ini ke selatan untuk mengirimkan informasi kepada Kruger. Informasi itu, tentu saja, adalah isi dari rencana Leo. 

Pasukan itu bergerak dalam kelompok sekitar seratus orang. Tapi kini, mereka sudah tidak lagi berfungsi sebagai satu kesatuan. 

“Tak pernah ada laporan soal kabut seperti ini!” 

Penyebabnya adalah kabut yang tiba-tiba muncul. 

Kabut itu membuat mereka tak bisa lagi mengenali orang yang berada di sebelahnya, menyebabkan pasukan rahasia tercerai-berai. 

Meski demikian, sebagai pasukan elit, mereka tetap berusaha melanjutkan perjalanan dengan mengandalkan petunjuk samar yang ada. 

“Ini jelas bukan kabut alami...”

Merasa demikian, sang mayor menyembunyikan keberadaannya dan bergerak dengan penuh kehati-hatian. 

Jika bukan kabut alami, dugaan pertama yang muncul adalah ulah monster. 

Monster yang menciptakan kabut dan memangsa korbannya di dalamnya. Dia belum pernah mendengar jenis seperti itu, namun tak bisa mengabaikan kemungkinan tersebut. 

Tanpa bersuara, sang mayor terus melangkah maju. Sekental apa pun kabutnya, bagi anggota pasukan rahasia, melangkah diam-diam tetap bukan perkara sulit. Dia menilai bahwa anggota lain yang terpisah pun pasti dapat bergerak dengan baik. 

Penilaiannya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. 

Seandainya kabut itu hanya kabut biasa, mungkin dia bisa terus maju tanpa ragu. Namun, kabut yang mereka lihat bukanlah kabut sungguhan. 

“Bagaimana rasanya kabut ilusi itu, Mayor?” 

Terdengar suara dari atas langit, seorang penyihir mengenakan topeng perak dan jubah hitam melayang di udara. Itu adalah Silver. 

Dari tempatnya mengawasi, dia melihat sang mayor berjalan memasuki hutan pegunungan seperti orang yang sedang berjalan dalam tidur. 

Mereka tengah diperlihatkan ilusi berupa kabut tebal, membuat indra orientasi mereka sepenuhnya lumpuh. Sekuat apa pun mereka dilatih, jika kemampuan dasar itu lumpuh, maka semua latihan jadi sia-sia. 

Teriakan terdengar dari berbagai penjuru. Ada yang diserang monster, ada yang jatuh terguling dari lereng gunung. 

Setiap anggota pasukan rahasia itu telah benar-benar terhenti di tempatnya. 

“Sungguh disayangkan, Gordon. Pasukanmu telah musnah.” 

Setelah mengucapkan itu, Silver pun menghilang dari tempatnya. 

Pasukan rahasia yang terperangkap dalam ilusi akan tertahan selama beberapa hari di sana. Bahkan setelah mereka akhirnya sadar, mereka tak akan mampu mencapai Kruger. 

Secepat apa pun mereka bergerak, pada saat itu Leo dan rombongannya sudah lebih dulu tiba di hadapan Kruger. 

Keterlambatan beberapa hari tak mungkin terkejar. 

Dengan demikian, Silver telah menghancurkan rencana pertama Gordon dengan sangat mudah.

 

Bagian 2

Kota Gels adalah salah satu kota terbesar di garis depan selatan. Namun, jika dilihat dari keseluruhan wilayah Kekaisaran, kota ini hanyalah kota kelas menengah, dengan jumlah kesatria sekitar lima ratus. Bahkan jika digabungkan dengan pria-pria yang mampu bertempur, kekuatan tempurnya hanya mencapai sekitar seribu orang. 

Gels yang seperti itu kini tengah ditekan oleh sepuluh ribu pasukan di bawah pimpinan Galver. 

“Fuhahaha! Ksatria-kstaria lemah dari selatan pasti gemetar ketakutan sekarang!” 

Dengan berkata demikian, Galver memandang kota Gels dengan penuh kepuasan. 

Tembok kotanya cukup tinggi, dan gerbangnya pun lumayan besar. Jika saja kekuatan tempur yang memadai telah terkumpul, kota ini bisa menjadi benteng yang menyusahkan. Tapi Galver sudah mengetahui bahwa kekuatan pertahanan kota Gels hanya sekitar seribu jiwa. 

Begitu rencana Gordon dimulai dan pertempuran pecah, kota itu diperkirakan akan jatuh dalam waktu kurang dari satu hari, nyaris sudah pasti. 

“Kolonel Letz. Apa kamu mendengar sesuatu dari Tuan Gordon?” 

“Tidak, tidak ada yang dikatakan. Hanya perintah untuk melakukan pengintaian secara menyeluruh.” 

“Begitu. Berarti mereka bergerak di luar wilayah kendali kita.” 

“Mungkin begitu. Maka dari itu, untuk sekarang mari ikuti perintah saja. Ada sebuah bukit di depan. Dari sana kita bisa melihat seluruh medan pertempuran.” 

“Bagus. Tunjukkan jalannya.” 

Jika Gordon naik takhta sebagai kaisar, para tangan kanannya pun akan ikut naik pangkat. Di antara mereka, hanya sedikit yang akan dianugerahi gelar marsekal. Bagi Galver, Letz adalah pesaingnya. 

Namun sekarang, Letz berada di sisinya. Itu berarti Gordon secara tegas telah mengakui bahwa posisi Galver lebih tinggi. Dalam benaknya, Galver sudah membayangkan dirinya menyandang gelar marsekal. Saat dia tengah menikmati bayangan dirinya di masa depan itulah, Sonia di sampingnya mengusik pikirannya. 

“Jenderal. Bukit itu terlalu dekat dengan Gels. Akan lebih baik jika mengamati dari tempat yang lebih jauh.” 

“Hmph! Lalu kenapa kalau dekat? Apa kamu pikir mereka akan menyerang kita dari sana? Konyol.” 

“Kalau tembakan jarak jauh, tak akan bisa dicegah. Seorang komandan seharusnya bertindak dengan hati-hati.” 

“Bahkan kalau dekat, tetap saja ada jarak dari kota. Kalau memang ada penembak jitu di Gels, aku pasti sudah mendengarnya.” 

“Yang menjadi masalah adalah karena bisa saja memang ada.” 

“Dasar gadis setengah elf... Terlalu pengecut untuk bisa diajak bicara.” 

Menepis kekhawatiran Sonia, Galver mulai menaiki bukit dengan langkah berat. 

Letz menyusul dari belakang. 

Sonia menghela napas dan mengikutinya. Namun, Letz yang berada di depan Sonia tiba-tiba memperlambat langkahnya. Para pengawal pun menyesuaikan langkah mereka. 

Akibatnya, hanya Galver yang mencapai puncak bukit lebih dulu, seorang diri. 

Dan Sonia mendengar suara khas dari sesuatu yang melesat menembus udara, yang segera berubah menjadi suara sesuatu yang menancap keras. 

“Ah...”

Di puncak bukit, sebuah anak panah menancap tepat di tengah kening Galver. 

Tubuh Galver jatuh terhempas ke tanah, lalu perlahan menggelinding menuruni bukit. 

Letz dengan cepat menyambut tubuh itu dan memeriksa kondisinya. 

“Jenderal... Jenderal Galver!” 

Panah itu telah menembus kepala Garber sepenuhnya. Dia tewas seketika. 

Setelah memastikannya, Letz segera memberi perintah kepada seluruh pasukan. 

“Semua unit siaga penuh! Jenderal telah ditembak! Gels menunjukkan tekad untuk melawan!” 

Mendengar itu, Sonia memandangi Letz seakan tak percaya. 

Wajah Letz menampakkan senyum puas, seolah berkata bahwa rencananya telah berhasil. 

“Apa kamu mengirim penembak untuk membunuh rekan sendiri...?”

“Yang menembak adalah musuh.” 

Sambil menjawab, Letz dengan cekatan memerintahkan agar jasad Galver dibersihkan dari lokasi. 

Dan dia pun menyatakan.

“Mulai saat ini aku yang akan mengambil komando. Penasihat militer Sonia, siapkan strategi untuk merebut Gels.” 

“Kalian rela melakukan sejauh ini...? Kamu mengagungkan seorang pemimpin yang memerintahkan perang bahkan dengan mengorbankan sekutu sendiri...?”

“Kami tidak menginginkan ini. Mereka yang memulai duluan. Bahkan membunuh jenderal. Ini situasi yang luar biasa. Maka tindakan berdasarkan penilaian di lapangan diizinkan. Dan keputusan lapangan akan dihormati.” 

Letz berjalan pergi tanpa menunjukkan sedikit pun duka cita. 

Sonia semakin yakin. Gordon sedang menciptakan perang saudara demi ambisinya, dengan memelintir saran-sarannya sendiri menjadi pembenaran. 

Namun kini, Sonia tak memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Dia hanya bisa menatap kota Gels dengan tatapan penuh amarah. 

“Ini keterlaluan...”

Apakah Gordon mengirimkan penembak ke dalam kota Gels? Atau orang dalam Gels-lah yang menyediakannya? 

Bagaimanapun juga, jika kota terbesar di garis depan seperti Gels jatuh, kota-kota lain hanya akan menyerah atau memberikan perlawanan lemah. Setelah itu, pasukan Gordon akan dengan mudah menuju markas utama musuh. 

Leo dan yang lainnya yang berada di pusat musuh pun takkan lolos dengan selamat. 

Jika Gels jatuh, akan muncul perang berkepanjangan yang penuh darah. Yang menyebalkan, bahkan tanpa melakukan apa pun, pasukan Gordon sudah memiliki kekuatan cukup untuk merebut Gels. 

“Aku harus bagaimana...?” 

Kekuasaan ada di tangan Gordon, dan Sonia hampir tak punya wewenang. Gelar penasihat militer untuk jenderal tak lebih dari formalitas, dan Sonia dikeluarkan dari lingkaran pengambil keputusan. 

Namun, meski begitu. 

“Aku harus melakukan sesuatu.” 

Sonia menguatkan dirinya sendiri, meyakini bahwa pasti masih ada yang bisa dia lakukan.


* * *


Kekacauan juga melanda pihak Gels, tempat asal penembakan itu. 

“Apa maksud semua ini, Paman!?”

Pemimpin wilayah Gels, Count Alois von Zimmer, adalah seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Dia memiliki rambut cokelat terang dan mata dengan warna yang sama. Tubuhnya kecil dibandingkan anak seusianya, dan dia sendiri cukup sadar akan hal itu, dia seorang anak laki-laki biasa. 

Tahun lalu, ayahnya wafat. Kini, dengan bantuan ibunya dan pamannya, dia menjalankan tugas sebagai penguasa wilayah. 

Di hadapan Alois berdiri pamannya, diiringi oleh beberapa pengawal. 

“Apa maksudmu?” 

“Jangan pura-pura bodoh! Penembakan terhadap musuh tadi dilakukan atas perintahmu, bukan?” 

“Aku tak tahu apa-apa.” 

“Paman! Tolong jelaskan maksudmu!” 

“Maksud? Kamu belum mengerti juga, bodoh sekali, Alois. Aku telah berpihak pada pasukan Kekaisaran.” 

“Berpihak pada Kekaisaran...? Kalau begitu, kenapa malah menembak mereka?” 

Bagi Alois, perkataan pamannya sungguh tak masuk akal. Sebagian besar bangsawan selatan saat ini memiliki sanak keluarga yang dijadikan sandera oleh Kruger. Ibunya sendiri juga termasuk di antaranya. 

Karena itulah mereka tidak bisa menyerah begitu saja, namun di saat yang sama, mereka juga tak ingin memulai perlawanan aktif. Mereka tahu pasti akan kalah. 

Jika Kruger turun langsung memimpin pasukan penuh, masih ada harapan. Tapi perlawanan dari satu kota kecil? Itu konyol. Karena itu, yang dibutuhkan adalah kehati-hatian. Namun, meski mengaku telah berpihak pada Kekaisaran, pamannya justru menembak jenderal Kekaisaran. Alois sungguh mulai bertanya-tanya apakah pamannya sudah kehilangan akal sehat. 

“Alasannya adalah untuk menciptakan perang. Panglima besar Kekaisaran, Pangeran Gordon, menginginkan perang. Dengan penembakan tadi, kami memberinya alasan. Mereka akan terbakar amarah dan menyerbu kota ini. Maka akan tercipta perang saudara besar-besaran.” 

“Ini gila... Apa gunanya semua itu?” 

“Pangeran Gordon akan meraih kemenangan dan naik takhta menggunakan kekuatan yang telah dia kuasai. Setelah itu, aku akan diberi gelar penguasa suatu wilayah. Itu jauh lebih baik daripada sekarang.” 

Sambil berkata demikian, sang paman tertawa. Melihat senyum yang dipenuhi ambisi itu, Alois menyadari bahwa berkata apa pun padanya takkan ada artinya. Semua sudah tak bisa dibatalkan. 

“Pasukan Kekaisaran akan segera menyerbu. Sampai saat itu tiba, Alois, jangan lakukan apa-apa.” 

“Jangan lakukan apa-apa...? Ini tanah warisan leluhurku! Tanah yang kami jaga bersama rakyatnya!” 

“Mereka bukan rakyatku.” 

Mendengar sang paman berkata demikian dengan nada dingin, Alois menunduk dengan lemah. 

Tak mungkin melawan. Seorang anak, apa yang bisa dia lakukan? 

Sambil menertawakan dirinya sendiri, pandangan Alois tertumbuk pada pedang yang terpasang di samping kursi pemimpin wilayah. Pedang yang diwariskan oleh ayahnya sebelum wafat. Ukurannya masih terlalu besar untuk Alois, dan dia bahkan belum pernah mencabutnya sekalipun. 

Namun, menatap pedang itu, raut wajah Alois berubah dipenuhi tekad. 

Dan dia pun mencabut pedangnya. 

“Apa maksudmu?” 

“Aku adalah Count Zimmer. Penguasa wilayah ini... Aku punya kewajiban untuk melindungi rakyatku!” 

“Kamu berani membangkang pada Kaisar dan masih berbicara soal tanggung jawab? Tanggung jawabmu lenyap saat itu juga!” 

“Meski begitu... Aku punya kebanggaan yang diwariskan! Jangan kira semuanya akan berjalan sesuai keinginanmu!” 

Dengan susah payah mengangkat pedang besar itu, Alois menatap lurus ke arah pamannya. 

Tatapan anak kecil yang telah menetapkan niat itu membuat pamannya sedikit terintimidasi, dan dia segera memberi perintah kepada para pengawal. 

“Cih... Tangkap dia!” 

Namun, tak satu pun pengawal bergerak. Merasa ada yang aneh, sang paman menoleh ke belakang. 

Ternyata, para pengawal telah tertidur di tempat. 

Saat dia berpikir betapa mustahilnya hal itu, rasa kantuk mulai menyerangnya. Kelopak matanya terasa berat. 

“Ini... Sihir...?” 

“Tepat sekali. Untuk saat ini, tidurlah sejenak. Aku ingin berbicara dengan sang pemimpin muda di sana.” 

Suara itu terdengar, dan sang paman jatuh tertidur di tempatnya. 

Kini, hanya satu pria yang berdiri di hadapan Alois. 

“Anda siapa...?” 

“Namaku Silver. Petualang peringkat SS. Jika kamu punya niat untuk menyelesaikan situasi ini, aku akan membantumu.” 

“Silver...? Penjaga Ibu Kota Kekaisaran...? Tapi kenapa Anda di sini...?” 

“Sebagai petualang, aku tak suka jika perang sia-sia memancing monster dan memperburuk keamanan. Mungkin ada yang senang karena pekerjaan bertambah, tapi makin banyak pekerjaan berarti makin banyak korban. Pada akhirnya, kedamaian adalah yang terbaik.” 

Sambil berkata demikian, Silver perlahan mendekat ke Alois. 

Dan dalam sekejap, wujud Silver berubah. 

Sosok misterius berbalut jubah abu-abu hingga ke kepala. Wajahnya tersembunyi dalam tudung, penampilannya mencurigakan dari segala sudut. 

“Namun tentu, sebagai petualang, aku tak bisa terlibat terlalu jauh dalam urusan internal Kekaisaran. Jadi izinkan aku menyamar. Jika kamu tak keberatan, sampai krisis ini selesai, aku akan menjadi bawahanmu.” 

“...Serius? Orang sehebat Anda melakukan ini, apa alasannya?” 

“Saat ini, utusan kaisar tengah menuju tempat Duke Kruger. Tujuannya adalah untuk menyerang secara tiba-tiba dan mengakhiri konflik ini dengan korban seminimal mungkin. Pasukan Kekaisaran ingin memicu perang, dan kami ingin mencegahnya. Sebagian ingin mencegah, dan sebagian lain ingin melindungi rencana itu.” 

“Jadi Anda diminta oleh pihak yang ingin melindunginya...?” 

“Anggap saja begitu. Bagaimana? Kamu terima? Atau tidak?” 

Alois sedikit bimbang atas pilihan sederhana itu. 

Namun, dia segera membuat keputusan. 

“Aku akan menerima bantuanmu.” 

“Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai rapat strategi. Aku... Seorang ahli strategi pengembara. Begitu saja perkenalanku. Untuk namaku, panggil saja... Grau.”

“Abu-abu ya... Sesuai penampilanmu.” 

“Nama yang sederhana justru lebih baik.” 

Dengan itu, Silver menjadi Grau, dan secara resmi menjadi bawahan Count Alois.

 

Bagian 3

Setelah memasuki Gels sebagai ahli strategi pengembara bernama Grau, aku meminta penjelasan kepada pemimpin muda, Alois, mengenai situasi yang sedang terjadi. 

“Untuk permulaan, bisa kamu jelaskan kenapa ketegangan di sini begitu tinggi?” 

“Apakah Anda tidak mengetahuinya?” 

“Aku sedang mengganggu pasukan rahasia yang dikirim oleh pihak militer. Setelah itu, saat aku terbang ke sini, situasinya sudah sangat kacau. Ketika aku datang untuk mencari tahu, itulah yang kulihat barusan.” 

“Begitu ya... Singkatnya, salah satu dari pihak kami menembak dan membunuh jenderal musuh.” 

Jadi ini adalah rencana dua lapis. Agak licik untuk seorang Gordon, tapi terlalu sembrono kalau dari Sonia. Kurasa Gordon mempercayakan hal ini pada bawahannya. Apa gunanya menempatkan seorang ahli strategi di sisinya kalau begitu? 

Namun, dari betapa memaksanya dia mencoba memicu peperangan, terlihat jelas bahwa Gordon sudah mulai mengabaikan pandangan sang ayah terhadap dirinya. 

Apa yang hendak dia lakukan setelah perang dengan selatan berakhir, semuanya mulai terlihat dari tindakan ini. 

“Situasi yang menarik. Yang menyiapkan penembak itu... Pamanmu, ya?” 

“Kemungkinan besar iya.” 

Kalau begitu, kesalahan ada pada pihak kami. 

Karena jenderal mereka dibunuh, maka mereka membalas. Ya, memang agak dipaksakan, tapi kalau dikatakan sebagai keputusan lapangan, maka tak ada yang bisa disanggah. Dan jika kota ini ditembus karena tindakan itu, maka akan terjadi perang besar dengan wilayah selatan. 

Setelah itu takkan ada jalan kembali. Tak ada pilihan lain selain menggempur selatan dengan kekuatan penuh. 

Bagi Gordon, ini adalah skenario terbaik. 

Namun, ceritanya akan berbeda kalau kota ini tidak jatuh. Meski pertempuran terjadi di sini, itu hanyalah bentrokan kecil. Informasi baru akan mencapai markas Kruger setelah beberapa waktu. Saat itu, Leo dan yang lainnya kemungkinan besar sudah sampai dan menyelesaikan segalanya. 

Jika kami bisa bertahan selama beberapa hari dan menahan pertempuran hanya di sini, mungkin semuanya masih bisa dikendalikan. 

Bahkan dari sisi Gordon, dia takkan mengirim kabar ke ibu kota, karena dia tahu perintah penghentian akan langsung diberikan. Sama seperti kami yang tak ingin informasi bocor, pihak sana pun demikian. 

“Pergerakan militer mereka lancar. Mungkin karena sudah sesuai dengan rencana mereka. Artinya, pertempuran tak bisa dihindari. Bagaimana kekuatan pasukan di sini?” 

“Kami punya lima ratus kesatria dan lima ratus prajurit. Totalnya seribu. Tapi... Para prajurit itu tidak benar-benar terlatih...”

“Pasukan dadakan, ya. Lebih baik daripada tidak ada sama sekali... Tapi jika musuh mengirim sepuluh ribu pasukan elit, sementara kita hanya punya seribu pasukan dadakan... Perbedaannya bukan cuma sepuluh kali lipat, tapi jauh lebih besar dari itu.”

Meski dikatakan cukup bertahan selama beberapa hari saja sudah cukup, kenyataannya bertahan selama itu pun hampir mustahil mengingat perbedaan kekuatan yang begitu besar. 

Jika bertarung secara langsung, kota ini akan jatuh dalam sehari. 

“Apakah kita bisa menang...?”

Alois bertanya dengan nada penuh kecemasan. 

Untuk menenangkannya, aku menepuk ringan kepalanya. 

“Kita punya peluang. Tapi tentu saja, akan ada banyak hal yang harus kau lakukan juga.” 

“B-Baik! Aku akan melakukannya!” 

“Bagus. Kalau begitu, pertama-tama, perkenalkan aku kepada para penasihatmu. Kita mulai dari meyakinkan mereka terlebih dahulu.” 

“Siap!” 

Dengan jawaban penuh semangat itu, aku dan Alois pun mulai melangkah.


* * *


“Aku memahami situasinya.” 

Yang menjawab demikian adalah seorang kesatria tua. 

Meski usianya lanjut, sorot matanya masih tajam, dan gerak-geriknya tidak menunjukkan tanda-tanda kelemahan orang tua. Dia memancarkan aura seorang veteran tangguh. Dialah Voigt, kepala pasukan kesatria keluarga Count Zimmer. 

“Jika penembakan itu dilakukan oleh pihak keluarga Zimmer, maka tak ada lagi ruang untuk pembelaan. Sekalipun Tuan Muda Alois menyatakan tidak ada hubungannya, pihak militer tidak akan percaya. Bertarung demi ibu Anda, demi banyak orang di wilayah selatan, itu sangat terpuji. Namun, memelihara pria misterius seperti itu di sisi Anda, bagaimana menurut Anda?” 

Voigt menatapku tajam saat mengatakan itu. 

Begitu pula yang lainnya. Yang berkumpul di ruangan itu adalah para penasihat tua keluarga bangsawan. 

Para pelayan setia yang tidak bersekongkol dengan paman Alois, dan yang selama ini bertugas menjaga tembok kota. 

Bagi mereka, bertarung bersama Alois adalah hal yang wajar. Tapi keberadaanku di tempat ini jelas membuat mereka tidak nyaman. 

“Grau telah menolongku. Aku percaya padanya.” 

“Menolong bukan berarti layak dipercaya.” 

Hm, seperti yang kuduga, begini akhirnya. 

Ini bukan saatnya bertengkar secara internal. Kami harus bersatu menghadapi bahaya. 

“Komandan Kesatria Voigt, boleh bicara sebentar?” 

“Apa yang kamu mau, ahli strategi pengembara?” 

“Bagaimana Anda memandang situasi saat ini?” 

“Ini adalah saat hidup dan matinya keluarga Zimmer.” 

“Ha... Terlalu naif. Terlalu manis, pandangan Anda itu.” 

“Apa!?” 

Mendengar jawabannya, aku menunjuk peta yang terbentang di atas meja untuk keperluan rapat strategi. Gels adalah kota yang berada di garis depan wilayah selatan. Jika kota ini ditembus, maka api perang akan langsung menjalar ke seluruh wilayah garis depan. 

“Jika kota ini jatuh, pasukan Kekaisaran akan langsung menyerbu ke selatan. Api perang akan menyebar ke seluruh wilayah, dan Kekaisaran akan mengalami pelemahan besar. Dan siapa yang akan dikenang sebagai pencetusnya? Tak lain dan tak bukan, keluarga Zimmer. Sekalipun Anda selamat dalam pertempuran ini, sang Kaisar tidak akan ragu untuk menghukum seluruh keluarga.” 

“Itu...”

“Dan sekarang pun, sudah terlambat untuk menyerah. Anda akan dihukum mati karena membunuh jenderal. Keluarga Zimmer sudah berada di tepi jurang kehancuran. Ditambah lagi, para prajurit akan mulai mempertanyakan kenapa mereka harus melawan pasukan Kekaisaran. Ibu sang penguasa dijadikan sandera? Itu masalahnya sendiri. Meyakinkan para prajurit bukanlah hal mudah. Kekuatan kita rapuh, lawan kita kuat. Masalah kita segunung, itulah kenyataan. Dalam situasi seperti itu, bukankah Anda tahu betapa berharganya orang yang bersedia menawarkan bantuan?” 

“...Tetap saja, aku belum bisa langsung mempercayaimu.” 

“Kalau begitu, awasilah aku. Tapi ingat, pasukan Kekaisaran akan menyerang kapan saja.” 

“...Baiklah. Kalau kamu tahu betapa putus asanya keadaan ini, dan tetap berpihak pada kami, berarti kamu yakin punya peluang untuk menang, bukan?” 

Aku mengangguk sebagai jawaban atas kata-kata Voigt. Lalu kuarahkan pandanganku pada seluruh hadirin. 

“Tak ada situasi yang lebih cocok untuk disebut ‘di ambang kehancuran’ daripada ini. Tapi masih ada harapan. Kekaisaran tengah menjalankan operasi rahasia. Dalam beberapa hari, Duke Kruger akan diserang secara tiba-tiba. Yang harus kita lakukan adalah bertahan sampai saat itu.” 

“Aku belum pernah mendengar tentang ini?” 

“Namanya juga rahasia. Baiklah, kembali ke pembahasan. Jika keluarga Zimmer yang di ambang kehancuran bisa bertahan di sini, maka situasi akan berubah. Seribu pasukan bertahan dari sepuluh ribu, dan mencegah pecahnya perang saudara besar-besaran. Dari sudut pandang Kaisar, ini adalah tindakan yang layak dipuji. Ditambah lagi, alasan kita karena sang ibu dijadikan sandera. Apalagi, semua ini berkaitan erat dengan perebutan takhta di ibu kota. Jika kita bisa melewati badai ini, arah angin akan berubah.” 

“...Sejujurnya, aku tak lagi terlalu memikirkan kelangsungan keluarga Zimmer. Yang kupikirkan sekarang adalah bahwa perang saudara ini tidak boleh semakin meluas. Itu keyakinanku. Aku tahu sulit mempercayai Grau, dan ucapannya pun bisa diragukan. Tapi, kita tak punya pilihan lain selain mempercayainya. Toh kalau kita bertarung secara biasa, kita tetap akan kalah.” 

Mendengar kata-kata Alois, para penasihat tampak murung sejenak, namun akhirnya menundukkan kepala mereka, seolah menyerah pada kenyataan. 

Melihat itu, Alois mengalihkan pandangannya kepadaku. 

“Kalau begitu, mohon paparkan rencananya.” 

“Baik. Ketika pasukan Kekaisaran menyerang kota benteng seperti ini, mereka biasanya memusatkan serangan di gerbang utama, lalu melancarkan serangan mendadak ke gerbang yang lemah. Itulah taktik standar mereka. Karena mereka yakin semuanya berjalan sesuai rencana, mereka pasti menggunakan taktik standar ini.” 

“Jadi kita akan membagi kekuatan ke empat gerbang?” 

“Tidak, kita sudah kalah jumlah sepuluh kali lipat. Jika ingin bertahan di gerbang utama, kita tetap harus mengalokasikan banyak pasukan ke sana.” 

Memang, serangan ke gerbang utama biasanya hanya pengalih perhatian. Tapi dalam kasus ini, skala pasukan mereka jauh lebih besar. Pengalih perhatian bisa saja berubah menjadi serangan utama. Mengalihkan pasukan dari sana bukan ide cerdas. 

Voigt menyipitkan matanya mendengar kata-kataku. 

“Jadi kita akan menjebak pasukan penyergap?” 

“Benar sekali. Mereka adalah pasukan reguler, jumlahnya banyak. Kita sedikit dan bukan pasukan terlatih. Mereka pasti meremehkan kita. Bahkan jika mereka berhati-hati, itu tak bisa dihindari. Dan karena itulah mereka akan masuk ke dalam perangkap.” 

Mereka bisa sewaspada apa pun, tapi tetap akan menganggap kota ini hanya wilayah terpencil. Dengan perbedaan kekuatan yang begitu mutlak, mereka takkan bertindak terlalu hati-hati. Tujuan mereka jelas: menaklukkan garis depan selatan secepatnya. Jika itu tercapai, bahkan sang Kaisar tak bisa menghentikannya. Mereka pasti akan menyerang dengan taktik klasik. 

“Tuan Alois. Bisa pinjamkan seratus prajurit?” 

“Dengan seratus orang, kita bisa mengalahkan pasukan penyergap?” 

“Gerbang yang diserang adalah yang paling lemah. Kita tak perlu menjaga semua gerbang, jadi seratus orang cukup. Dan satu lagi.” 

“Apa saja, akan segera kusiapkan.” 

“Tak seberapa, hanya butuh minyak yang biasa digunakan untuk pertahanan. Bisa kuberikan sedikit?” 

“Serangan api, ya. Tapi serangan api biasa takkan cukup untuk mengalahkan pasukan penyergap.” 

“Sudah kupikirkan. Tak perlu khawatir.” 

Aku tersenyum tipis saat mengatakan itu. Meski wajahku tertutup, suasana di ruangan berubah. 

Voigt merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding dan secara refleks mundur selangkah. 

Begitulah, aku pun memulai pertempuranku melawan pasukan Kekaisaran.

 

Bagian 4

Saat para pasukan bersiap untuk menempati posisi mereka, Alois muncul di hadapan para kesatria dan prajurit. 

Para kesatria masih bisa mempertahankan semangat, namun moral para prajurit terlihat jelas sangat rendah. 

Tentu saja, pikirku. Bagi mereka, fakta bahwa ibu sang penguasa dijadikan sandera hanyalah urusan orang lain. Bahkan jika mereka mendengar istilah Koalisi Selatan, itu tak akan membangkitkan rasa memiliki. Mereka adalah rakyat Kekaisaran, dan kesadaran itu masih melekat hingga kini. 

Karena itu, mereka tidak punya semangat untuk bertempur. Dan satu-satunya orang yang bisa mendorong mereka ke medan perang hanyalah satu, Alois. 

“Maaf telah memanggil kalian semua. Aku harus jujur kepada kalian... Jenderal dari pasukan Kekaisaran dibunuh oleh pamanku. Aku sendiri tidak mengetahuinya sebelumnya, tapi aku yakin pasukan Kekaisaran tidak akan percaya itu.” 

“Apa...? Jadi kita akan melawan mereka secara langsung?” 

“Anda bilang kita akan menunggu sampai situasi berubah!” 

“Mereka jumlahnya sepuluh ribu! Tak mungkin kita menang!” 

Keluhan dan kecemasan pun menggema dari mulut para prajurit. 

Alois menerima semuanya dengan tenang, lalu mengangguk besar. 

“Aku telah memutuskan untuk bertarung. Tapi bukan demi Koalisi Selatan. Bukan pula demi Kekaisaran. Aku bertarung demi tanggung jawab yang telah diwariskan turun-temurun. Keluarga Count Zimmer adalah penguasa wilayah ini. Kami punya kewajiban untuk melindungi rakyat. Bahkan jika kita menyerah, pasukan Kekaisaran pasti akan menjarah demi invasi ke selatan. Dan kota ini akan dicap sebagai kota yang menyerah setelah memberontak pada Kaisar. Itu hanya akan membawa kemunduran pada kota ini. Masa depan semacam itu harus kita hindari.” 

Dalam hatinya, dia pasti ingin bertarung demi sang ibu. Bagi bocah berusia dua belas tahun yang telah kehilangan ayahnya, ibunya pasti adalah sosok paling berharga. Meski begitu, Alois tetap bersikap tegar. Karena dia adalah penguasa. 

“Yang Mulia Kaisar telah mengirimkan utusan khusus ke Duke Kruger. Jika utusan itu tiba dan perundingan berhasil, perang tidak akan terjadi. Tapi jika kita membiarkan pasukan lewat sekarang, maka perundingan tidak akan pernah terjadi. Kita hanya perlu bertahan selama beberapa hari! Hanya beberapa hari, dan banyak hal bisa berubah! Jika perundingan dengan utusan gagal, maka Koalisi Selatan tak punya pilihan selain membantu kita. Dan Kaisar sendiri tidak menginginkan perang saudara besar-besaran. Kota yang menunjukkan perlawanan kuat akan ditawari perundingan. Jika saat itu kita menyerah, maka kerugian bisa diminimalkan. Karena itu, aku akan bertarung sekarang.” 

Sambil berkata demikian, Alois menghunus pedang yang diwariskan dari sang ayah. 

Lalu dia bertanya pada para kesatria dan prajurit. 

“Aku takkan menghukum mereka yang memilih pergi. Jika kamu tak bisa mempertaruhkan nyawamu bersamaku, maka pergilah. Maaf, aku penguasa yang tidak bisa diandalkan...”

Sesaat, keheningan menyelimuti tempat itu. 

Di tengah suasana itu, seorang prajurit yang memanggul tombak pun bersuara. 

“Udah lah, nggak usah bertele-tele pakai alasan segala. Kalau kamu cuma bilang, ‘Tolong bantu aku selamatkan ibuku,’ kami udah ngerti, kok.” 

Pria yang kasar dalam bertutur itu, mungkin berusia sekitar empat puluh tahun.

Dia berdiri dengan postur yang jelas menunjukkan bahwa dia bukan tentara biasa. Mungkin dulunya seorang petualang. 

Dari tatapan sekitar, jelas pria itu dihormati. Semua perhatian tertuju padanya. 

“Tuan Yordan...”

“Tuanku, katakan saja isi hatimu. Apa yang ingin kamu lakukan?” 

“...Aku ingin melindungi ibuku... Dan di saat yang sama, aku ingin melindungi kota ini...”

“Kami semua udah lama berutang budi pada ayahmu... Dan sekarang anaknya minta bantuan! Masa kita cuma diem aja? Kami bakal bikin pasukan Kekaisaran itu balik kanan!” 

Kata-kata pria bernama Yordan membuat cahaya menyala di mata para prajurit. 

Semangat mereka yang sempat surut kembali menyala. Mereka kini benar-benar menjadi prajurit. 

“Benar! Ayo kita lawan!” 

“Serahkan saja pada kami!” 

Kepercayaan mereka pada keluarga Count Zimmer telah membuat mereka bangkit sebagai pasukan sejati. Semangat mereka kini bahkan menyaingi para kesatria. Alois menatap ke arahku dengan wajah penuh sukacita. 

Bagus. Dengan ini, kita bisa bertarung. 

“Kalau begitu, aku akan menjelaskan strateginya!” 

Voigt pun ikut dalam arus semangat itu dan menyampaikan seruannya dengan lantang. 

Mendengar itu, semangat pasukan pun melonjak semakin tinggi.


* * *


“Uoooooo!!” 

Teriakan keras menggema dari arah gerbang utama. 

Itu karena barisan depan pasukan Kekaisaran sedang menyerbu, berusaha menjebol gerbang utama. Pasukan pendahulu tidak membawa alat pengepungan berskala besar. Mungkin karena mereka perlu mempertahankan kesan bahwa ini hanyalah pertempuran yang terjadi secara kebetulan.

Karena itu, taktik mereka bersifat klasik, memulai dengan tembakan panah untuk mengalihkan perhatian, lalu menghantam gerbang dengan pemukul benteng dan mencoba menaiki tembok dengan tangga.

Sebagian besar kekuatan musuh dikerahkan ke gerbang utama. Dalam kondisi bertahan dalam istana, biasanya pihak bertahan memiliki keuntungan. Meskipun pasukan Kekaisaran terdiri dari para prajurit elit, bukan berarti mereka memiliki banyak kesatria yang mampu melawan seribu orang sendirian, dan kebanyakan senjata canggih pun telah didistribusikan terlebih dahulu ke pasukan penjaga perbatasan.

Musuh tidak memiliki senjata revolusioner yang bisa membalikkan keadaan. Karena itu, mereka hanya bisa mengandalkan jumlah.

“Hei, Tuan Penasihat! Apa mereka benar-benar akan datang lewat gerbang timur?”

Salah satu dari seratus prajurit di bawah komando saya, Yordan, berkata sambil menatap ke arah luar gerbang timur. 

Gerbang timur memiliki topografi yang unik. Jalan menuju gerbang tersebut berupa tanjakan tunggal.

Itulah sebabnya tempat itu biasanya dianggap paling sulit untuk diserang. Justru karena itulah, saya memperkirakan mereka akan menyerang dari sana.

“Kalau tebakan ini meleset, kita tinggal pindah posisi. Tapi ini tak akan meleset.”

“Darimana datangnya rasa percaya diri seperti itu?” 

“Itu adalah taktik baku militer Kekaisaran. Menyerang gerbang utama, lalu melancarkan serangan kejutan dari titik lain. Dari sudut pandang psikologis, menyerang dari tempat yang tampaknya paling sulit justru paling efektif. Mereka belajar seperti itu.” 

Begitu aku mengatakannya, musuh muncul dari ujung gerbang timur. 

Jumlah mereka kira-kira mendekati seribu. Hanya beberapa pasukan berkuda, sisanya infanteri. Mereka melaju lurus ke arah kami. 

“Akhirnya datang. Lepaskan panah.” 

“Mereka benar-benar datang... Aku sampai kaget...” 

Mengikuti perintahku, beberapa pemanah menembakkan panah. Hanya beberapa saja, karena hanya segelintir dari mereka yang benar-benar terlatih memanah. Tentu saja, itu tidak akan menghentikan musuh. 

Musuh pun tak berpikir bahwa kami benar-benar tanpa penjaga.

Dengan adanya pemanah yang melepaskan panah, mereka semakin yakin bahwa serangan mereka berhasil. Panah-panah itu meluncur ke tengah pasukan penyerbu, menjatuhkan satu orang, yang kemudian menimpa beberapa orang di belakangnya.

Namun mereka tidak berhenti. 

“Majuuuuu!!” 

Dari barisan depan, terdengar teriakan lantang seorang pria, kemungkinan adalah komandan. 

Teriakan itu membuat para pemanah di atas tembok gentar, tapi aku menenangkan mereka dengan suara pelan. 

“Jangan pedulikan. Terus tembak.” 

“B-Baik!” 

“Persiapkan yang di bawah.” 

“Siap, Tuan!” 

Aku memberikan instruksi kepada Yordan, dan para prajurit di bawah mulai menahan gerbang. 

Segera setelah itu, pasukan terdepan dengan pemukul benteng mulai menghantam gerbang. Mereka juga mencoba menaiki tangga, tapi itu berhasil dihalau oleh para pemanah dan prajurit lain. Namun, serangan dengan pemukul benteng tak bisa dicegah. 

“Teruskan! Cepat robohkan gerbang itu!” 

“Aaaaaah, tak bisa kami tahan lagi!” 

Palang gerbang mulai berderit hebat. Para prajurit berusaha menahannya, tapi jelas serangan musuh jauh lebih kuat. Tentu saja, kami sudah sangat memahami hal itu. 

Menilai waktunya sudah tepat, aku memberi isyarat kepada Yordan. 

Seakan sudah tahu apa yang harus dilakukan, Yordan segera memerintahkan prajurit mundur dari gerbang. 

“Kita tak bisa menahannya! Mundur! Lariiii!” 

“Aaaaaaaa!!” 

“Selamatkan diriiiiii!” 

Mundur ini bukan sekadar akting. Hanya beberapa orang saja yang tahu rencana sebenarnya. Jeritan itu nyata.

Justru karena itu, musuh semakin yakin. Bahwa serangan kejutan mereka telah berhasil.

“Bagus! Sekarang rebut kota ini sekaligus!” 

Akhirnya, pemukul benteng berhasil membuka gerbang. Di saat yang sama, Yordan dan yang lain yang sudah bersiap di belakang langsung melemparkan tombak. 

Pasukan yang mencoba menerobos gerbang seketika ditusuk dari berbagai arah, tapi mereka tetap tidak gentar. 

“Abaikan mereka! Terus maju! Serbuuuu!” 

Dengan teriakan komandan, pasukan penyerbu menerobos gerbang timur dan menyerbu ke dalam. 

Tapi, mereka lengah. Di depan gerbang, minyak dalam jumlah besar telah disebar. Karena berlari kencang, mereka tak sempat menghindar dan terpeleset karena minyak itu. 

“A-Apa ini!?” 

“Waaah!” 

“Minyak! Ini minyak!” 

Pemandangan mengerikan pun terjadi di depan gerbang.

Karena mereka berlari dengan semangat, pasukan di belakang terus masuk dan terjebak dalam jebakan minyak ini.

Di tengah kekacauan itu, Yordan muncul dengan tongkat yang sudah dibakar dan mendekat padaku.

“Heh! Penasihat! Boleh aku bakar ini!?” 

“Silakan.” 

“Silakan? Angin sedang bertiup ke arah barat, lho! Kalau meleset bisa-bisa apinya menyebar ke kota!” 

“Tak masalah. Hari ini, pada saat ini... Angin akan berhembus ke timur.” 

“Seriusan!? Kalau gitu aku tanggung jawab, ya!” 

Dengan mengatakan itu, Yordan melemparkan tongkat api ke arah pasukan penyerbu yang terlumuri minyak.

Sekejap kemudian, arah angin berubah ke timur. Api menyentuh minyak, dan ledakan pun terjadi.

Ledakan besar dan gelombang api membumbung tinggi, namun karena angin berhembus ke timur, kobaran itu tak menyentuh kota.

Sebaliknya, api menyusuri jalan menurun dan menyambar sisa pasukan penyerbu yang berbaris memanjang.

Seolah-olah dari dalam gerbang, napas seekor naga meluncur keluar.

Api melahap pasukan penyerbu. Yang selamat hanyalah mereka yang berada paling belakang.

Namun mereka juga sibuk menolong korban yang terbakar dan terluka. Tak ada waktu atau tenaga untuk melanjutkan serangan.

“Wahai para prajurit yang masih hidup! Dengarkan baik-baik! Di kota Gels ini, kini ada penasihat keliling bernama Grau yang berpihak pada kami! Kalian tak akan bisa menaklukkan kota ini! Sampaikan itu pada komandan kalian!”

Dengan begitu, aku tersenyum sambil menyaksikan pasukan penyerbu mundur. 

Melihat itu, Yordan datang mendekat dengan wajah terkejut. 

“Kamu ini... Apa sebenarnya kamu penyihir?” 

“Bukan. Itu semua hasil perhitungan.” 

“Serius...?” 

Sambil berkata begitu, aku menjulurkan lidah di balik kerudungku. Tentu saja itu sihir. 

Tak mungkin arah angin berubah begitu sempurna hanya karena perhitungan. Tapi lebih baik dikenal sebagai penasihat jenius daripada penyihir. Selama orang tak tahu aku menggunakan sihir, aku bisa menyebutnya strategi. Untuk menipu musuh, pertama-tama kamu harus menipu sekutumu. Nantinya, kabar akan menyebar, dan musuh akan mulai takut padaku sendiri.

Dengan begitu, pasukan Kekaisaran terpaksa memikirkan strategi baru. Itu berarti kami mendapat waktu tambahan. Dan mereka akan semakin terburu-buru. Karena waktu tidak berpihak pada mereka.

“Kalau begitu, kita lanjut sesuai rencana.” 

“Siap! Serahkan padaku!”

Yordan pun segera mengumpulkan anak buahnya. Tugas mereka selanjutnya sudah ditentukan. 

Kami harus terus bergerak lebih cepat dari musuh. 

“Baiklah, sekarang, apa yang akan dilakukan pihak sana?” 

Sambil berkata begitu, aku menatap ke arah pasukan Kekaisaran.

 

Bagian 5

Keesokan harinya, pasukan Kekaisaran menyerah pada strategi serangan mendadak dan beralih ke serangan frontal dengan metode konvensional. Itu adalah pilihan yang dianggap paling masuk akal dan layak diambil oleh siapa pun yang memimpin pasukan Kekaisaran.

Pasukan dibagi ke empat arah, mengepung dan menyerang keempat gerbang kota. Dengan begitu, pihak musuh yang berjumlah sedikit harus membagi pasukannya lebih jauh, sehingga setidaknya salah satu titik pasti bisa ditembus, begitulah seharusnya. 

Namun, hasilnya berbeda. 

“Uoooooo!!”

“Rebut gerbangnya!”

Para kesatria dan prajurit Gels mempertahankan tembok kota dengan semangat tinggi.

Hujan panah berjatuhan, batu-batu dijatuhkan dari atas. Semua itu adalah bentuk serangan yang telah diperhitungkan sebelumnya. Namun tetap saja, semua serangan itu mengenai prajurit Kekaisaran secara langsung. 

Ada banyak penyebabnya. Seribu prajurit elit mereka telah dihancurkan nyaris seluruhnya sehari sebelumnya karena rencana mereka terbaca dengan tepat. Dalam serangan itu digunakan api. Dan, pemimpin serangan itu adalah seorang penasihat militer misterius, begitulah rumor yang beredar. 

Rumor-rumor ini menumbuhkan rasa waspada dan kegelisahan dalam hati prajurit Kekaisaran. Sesuatu pasti ada di dekat gerbang kota. Jika musuh menggunakan api, sesuatu yang mengerikan bisa saja terjadi. Kewaspadaan dan rasa takut itu memperlambat gerakan dan mengaburkan penilaian mereka. 

“Pasang alat pendobrak ke gerbang!” 

“Dimengerti!” 

Seorang prajurit maju ke depan mengikuti perintah sang komandan. Namun, begitu sosok gerbang terlihat jelas, bayangan para prajurit yang terbakar parah dan dibawa kembali kemarin terlintas di benaknya, membuatnya bergerak menyimpang ke sisi gerbang, alih-alih menyerbu langsung ke depan.

Namun, dalam waktu yang terbuang karena gerakan yang tak perlu itu, prajurit tersebut menjadi sasaran panah dan tumbang.

Hal itu terjadi di semua gerbang kota. Namun jika hanya sebatas itu, mungkin perbedaannya hanyalah antara prajurit elit dan prajurit biasa. Tidak akan sampai membuat pasukan hancur separah ini.

Penyebab mendasarnya terletak pada pihak Gels. Mereka tak melewatkan satu pun prajurit musuh yang menunjukkan keraguan, tak mengabaikan satu pun perintah komandan musuh. Dengan konsentrasi luar biasa, mereka terus bertindak dengan cara paling efektif. 

Sampai-sampai sulit membedakan siapa sebenarnya pasukan yang lebih terlatih. 

Menghadapi lawan seperti itu, Kekaisaran terus memaksakan serangan frontal. Di tiap gerbang, jumlah korban terus meningkat, dan pada akhirnya, Letz, komandan sementara, menyadari bahwa tidak ada harapan untuk menerobos pertahanan. Dia pun memerintahkan penarikan mundur sementara pasukan.


* * *


“Apa penasihat militer musuh itu monster!?” 

Di dalam tenda komando, Letz membentak sambil menghantam meja dengan marah. Keinginan untuk berteriak bukan hanya dirasakannya sendiri, para komandan yang berkumpul di tempat itu pun merasakannya. Mereka adalah para komandan penyerangan dari masing-masing gerbang, dan telah melakukan segala hal yang bisa dilakukan. Namun hasilnya adalah kekalahan telak. Mereka kehilangan waktu yang berharga, dan juga pasukan. 

Awalnya semua berjalan dengan baik. Tapi entah sejak kapan segalanya mulai berantakan. 

Semua karena satu orang pria. 

“Seperti sihir... Pasukan musuh berbeda total dari kemarin.” 

“Aku belum pernah dengar sihir yang bisa mengubah pemula jadi prajurit elit... Tapi kemenangan kemarin membakar semangat mereka, dan menumbuhkan kepercayaan diri. Mereka telah berubah...”

“Penasihat militer yang bisa membaca arah angin dan mengubah serangan api biasa menjadi napas naga... Ketakutan mulai menyebar di antara pasukan kita.” 

Letz menggigit bibir mendengar ucapan para komandan. 

Menurut rencana awal, mereka seharusnya sudah menaklukkan kota dan melanjutkan langkah berikutnya. Tapi kenyataannya, mereka tak bisa maju selangkah pun dan malah kehilangan banyak prajurit. Utusan dari keluarga Count Zimmer yang menjadi perantara bagi penembak jitu pun menghilang tanpa kabar, dan mengguncang dari dalam pun sudah mustahil. Pilihan Letz semakin menipis. 

Jika mereka tidak berhasil menerobos Gels, bukan hanya rencana Gordon yang akan gagal, tetapi nyawa Letz sendiri pun dalam bahaya. Meski sang jenderal telah terbunuh, perang bukanlah hal yang dikehendaki oleh sang Kaisar. Letz-lah yang membuka pertempuran, dan karena itu dia tak akan luput dari hukuman. 

Bahkan, keseimbangan kekuatan dalam faksi Gordon pun pasti akan berubah. 

Letz mempertaruhkan banyak hal. Karena itulah, dia segera mengambil keputusan yang tegas. 

“Panggil Sonia... Lawan seorang penasihat militer hanya bisa dihadapi dengan penasihat militer.” 

“Anda sungguh mempercayai si setengah elf itu?” 

“Dia bisa saja membawa kehancuran bagi kita semua!” 

“Itu tak akan terjadi. Selama sandera masih di tangan kita, Sonia tak punya pilihan selain patuh.” 

“Namun tetap saja...” 

“Cukup! Keputusan sudah bulat. Bawa dia ke sini sekarang.” 

Seorang prajurit segera dikirim untuk memanggil Sonia, mengikuti perintah Letz. Hingga saat ini, Letz belum pernah menggunakan Sonia. Meskipun dia memerintahkannya untuk merancang strategi, dia tak pernah mengizinkannya mendekat. 

Sebab Letz tahu bahwa Sonia tak hanya meragukan Gordon, tetapi juga dirinya sendiri. Dan dia juga percaya bahwa kota seukuran ini bisa dia taklukkan seorang diri. Tapi kepercayaan itu kini telah runtuh. 

Bersandar pada harga diri yang telah hancur hanya akan membawa kehancuran. Demi masa depannya, Letz memilih untuk mengandalkan Sonia. 

Tak lama kemudian, Sonia masuk ke dalam tenda dengan wajah tidak senang. 

“Anda memanggil saya, bukan?” 

“Musuh memiliki seorang penasihat militer. Aku ingin mendengar strategimu.” 

“Saya rasa saya sudah mengajukannya sebelumnya, bukan?” 

“Strategi bertahan tidak ada gunanya sekarang!” 

Sebelum pertempuran dimulai, Sonia telah mengusulkan strategi pengepungan untuk melemahkan musuh. 

Namun dari sudut pandang faksi Gordon, kota itu harus direbut dalam beberapa hari saja, dan strategi tersebut pun diabaikan. Tapi bagi Sonia, itulah strategi terbaik. 

“Kita kehilangan seribu prajurit di hari pertama, dan jumlah yang sama hari ini. Yang tersisa hanya delapan ribu. Jika tetap memaksa menyerang, hasilnya sudah bisa ditebak. Begitu gagal kemarin, rencana kalian sudah runtuh. Musuh kini bersatu dan membela kota dengan semangat tinggi. Jika saya, saya tidak akan menyerang.” 

“Tapi kita harus menaklukkannya! Kalau kamu mengaku seorang penasihat, keluarkan strategi! Atau kamu tak peduli pada nasib sandera?” 

“...Apa pun yang Anda katakan, jawabannya tidak akan berubah. Jika kalian ingin mencapai tujuan strategis, kalian seharusnya menaklukkan Gels di hari pertama. Atau memulai dari pengepungan dan tak memberi waktu musuh untuk bersatu. Saya sudah membantu sebisa saya.” 

Sonia memberi isyarat jelas bahwa dia telah memberikan strategi, dan keputusan untuk tak menggunakannya bukanlah tanggung jawabnya. Meski begitu, Sonia tahu sejak awal strategi itu tidak akan diterima. 

Strategi serangan mendadak memiliki peluang keberhasilan tinggi. Bahkan menurut penilaian Sonia sendiri. 

Musuh awalnya hanyalah amatiran. Seharusnya begitu. Namun satu orang penasihat militer mengubah segalanya. 

“Penasihat yang mampu mempersatukan rakyat di bawah tuan wilayah dengan kata-kata, dan mengatur pertahanan secara efektif. Gels bukan lagi kota yang mudah direbut. Jika dipaksakan, kita hanya akan menerima serangan balasan yang menyakitkan.” 

“Justru karena itu kita harus memaksakan serangan! Keluarkan strateginya, cepat!” 

Didesak oleh Letz, Sonia menghela napas panjang. Menyerang kota tanpa alat pengepungan hanya akan membawa korban lebih banyak. Kecuali jika mereka memiliki pasukan penyihir, tapi tidak ada alasan pasukan seperti itu akan mengikuti pasukan pengintai biasa. 

Tak ada strategi yang bisa langsung memberi hasil. Namun jika dia tak mengajukan apa pun, nyawa sandera akan terancam. Wajah Gordon terlintas di benaknya. Di balik matanya, Sonia merasa ada cahaya yang samar dan gelap, dan itu adalah sesuatu yang sangat merusak. 

Selama sandera masih ditahan, pilihannya terbatas. Tapi jika pria dengan mata seperti itu memulai perang, tak ada yang tahu apa yang akan dia lakukan. 

Sonia menyesal. Dia merasa telah melakukan sesuatu yang amat bodoh, dia telah memberikan bantuan pada pria yang tak seharusnya dibantu. Bukti paling nyata adalah dia rela membunuh sesama hanya untuk memulai perang. 

Bahkan jika itu hanya demi memenangkan perebutan takhta dengan satu kali pemberontakan, Sonia yakin Gordon akan terus mencari perang bahkan setelah itu. Bahkan jika dia menjadi kaisar, dia akan menggunakan cara yang sama. Yang menunggu hanyalah kobaran perang tanpa akhir. 

Itu harus dicegah. Tapi Sonia juga punya berbagai alasan. 

Dia ingin menyelamatkan sandera. Tapi jika Gordon menjadi kaisar, maka negara akan terus dilanda perang dan rakyat akan menderita, termasuk dirinya. Namun jika dia berhenti memberikan strategi, maka sandera tak akan dibebaskan. 

Sonia memberikan strategi kepada Gordon agar dia sendiri dijadikan target bujukan. Karena Gordon sangat mengandalkannya, maka itu akan membuahkan hasil. Kini, ketika dia disingkirkan, tak ada kandidat takhta lain yang akan menyelamatkan sandera yang disembunyikan Gordon. 

Tiba-tiba, wajah Al terlintas dalam benaknya. Jika itu Al, mungkin ia bisa menolong. Tapi Sonia segera menyadari itu mustahil. Karena saat ini, Sonia justru berada di pihak yang menggagalkan rencana Al. Dia adalah musuh. Dan jika rencananya digagalkan, Al tidak akan punya waktu memikirkan Sonia. 

Sonia termenung sejenak, lalu bertanya. 

“Berapa lama waktu yang tersisa?” 

“Maksimal dua hari. Lewat dari itu, utusan kekaisaran akan tiba di tempat Kruger.” 

Bahkan jika mereka berhasil menembus Gels, jika kepala musuh jatuh, maka perang tidak akan terjadi. 

Musuh sebenarnya yang harus dihadapi bukanlah Gels, tapi waktu. 

Itulah sebabnya Sonia memutuskan untuk mengajukan satu strategi. 

“Kalau begitu, mari kita buat alat pengepungan improvisasi dalam satu hari.” 

“Aku bilang waktunya tidak cukup! Di saat genting seperti ini, kamu malah membuang waktu? Utusannya bisa saja tiba besok!” 

“Itu hanya kemungkinan, bukan? Kita tak punya pilihan selain bertaruh pada kemungkinan itu. Jika kita punya waktu dua hari, maka kita harus memanfaatkannya. Justru aku ingin bertanya, di saat seperti ini, apa kalian masih meremehkan musuh?” 

Balasan Sonia membuat Letz tak bisa berkata apa-apa. Menebang pohon dan membuat beberapa alat pengepungan improvisasi. Dengan itu, mereka bisa mengulur waktu, dan bahkan membuka peluang untuk merebut Gels. Satu-satunya risiko adalah jika pasukan kekaisaran berhasil menembus. 

Namun Sonia memutuskan untuk mempercayai penasihat musuh. 

Dalam situasi normal, musuh akan lengah jika tidak diserang dalam sehari. Tapi jika itu Grau, sang penasihat pengembara, dia tidak akan melakukan kesalahan seperti itu. Dia pasti sedang menyusun siasat. 

Jika dia telah tiba di Gels dalam situasi seperti ini, pasti ada perhitungan bahwa jika mereka bisa bertahan beberapa hari, segalanya akan berubah. 

Sonia membaca pola pikir Grauh, dan menawarkan strategi yang peluangnya lima puluh lima puluh. 

Strategi yang membuka kemungkinan bagi kedua pihak. Yang terbaik bagi Sonia adalah pertempuran yang seimbang, dan bahkan jika Gels diterobos, mereka tidak akan sempat. Strategi itu efektif, tapi Letz akan dianggap tidak kompeten. Jika Leo dan lainnya bertindak tepat, maka pemberontakan bisa dihindari. Dan Gordon, yang menjadi sorotan Kaisar karena pertempuran ini, tak akan mudah mencampakkan Sonia, pion berharganya. 

Namun bagi pasukan kekaisaran, ini juga satu-satunya peluang untuk menang. Jika terlalu berhasil, Gels akan jatuh dan perang saudara pun pecah. 

Semuanya bergantung pada musuh. Bagi Sonia, ini adalah sebuah pertaruhan. 

“Baik... Mulai sekarang juga! Kita akan membuat alat pengepungan!” 

Letz langsung mulai mengeluarkan perintah. Melihatnya, Sonia keluar dari tenda dan mulai berjalan perlahan. 

Tujuannya adalah bukit tempat Galver ditembak. 

Dia akan naik ke sana dan mengamati kondisi Gels. 

Dia tak bisa melihat secara detail, tapi bisa merasakan semangat yang mengalir di dalam kota. Ciri khas dari lawan yang tangguh.

Jika ada waktu, mungkin strategi untuk menggagalkannya bisa digunakan. Namun waktu itu pun tak tersedia. Menyadari dirinya tengah memikirkan hal seperti itu, Sonia tersenyum pahit. Tanpa sadar, dia sudah mulai merancang strategi untuk mengalahkan penasihat militer musuh. 

“Aku penasaran, seperti apa sebenarnya dirimu, Grau? Apa kamu orang yang lembut, atau justru kejam?” 

Sonia mengajukan pertanyaan yang tentu saja tak mungkin didengar siapa pun, lalu menatap tajam ke arah Gels. Dan saat itu, seorang pria naik ke atas tembok kota. Pria itu mengenakan jubah abu-abu yang menutupi hingga ke kepalanya. Dia menoleh ke arah tempat Sonia berada, lalu membungkuk pelan dengan anggun. 

Terkejut oleh tindakan tak terduga itu, Sonia sempat terdiam membeku. Namun pria itu tiba-tiba mengangkat suaranya dengan lantang. 

“Cukup santai kamu di sana, sedang memata-matai musuh rupanya! Penasihat militer dari pihak lawan! Penasihat setengah elf dari Pangeran Gordon, yang berhasil menipu para calon kaisar lainnya! Aku sudah dengar kabarmu! Mari kulihat apa yang akan kamu lakukan dalam situasi ini!” 

“...Kamu tahu sampai sejauh itu, sepertinya kamu cukup informatif juga, ya!” 

“Ya! Aku tahu banyak! Kamu dipaksa berperang karena sandera, bukan? Menyedihkan sekali! Aku turut bersimpati. Pasti berat, menjadi orang yang tak bisa memilih tuan yang dilayani!” 

“...!”

Sonia terbelalak mendengar kata-kata yang begitu mengejutkan. 

Melihat ekspresi itu, Grau tertawa kecil. Lalu, dia berdiri tegak dengan anggun dan menyatakan. 

“Bergeraklah hanya demi para sandera! Serang dengan sekuat tenagamu! Akan kubuat semuanya kembali menjadi abu!” 

“...Baik, akan kuperhitungkan!” 

Sonia mendengar kata-kata Grau dan menatap lurus ke depan. 

Itu adalah sebuah provokasi. Dia diminta untuk tidak lagi menggunakan sandera sebagai alasan, dan bertarung dengan segenap kemampuan. Sebab bahkan dengan seluruh kekuatannya, dia tetap tak akan menang, itulah yang ingin dikatakan Grau. 

Kalau begitu, Sonia akan menerima tantangan itu dengan sepenuh hati. 

Dengan tekad membara, Sonia memasuki tenda militer dan menyuruh pergi prajurit yang sedang menggambar rancangan alat pengepungan. 

“Serahkan. Aku yang akan melakukannya.” 

Jika lawan sampai berani memprovokasi seperti itu, tentu mereka telah mempersiapkan segalanya. Alat pengepungan setengah hati tidak akan cukup untuk menandingi mereka. 

Agar strateginya dianggap efektif, Sonia harus memberikan pukulan telak ke Gels. Dengan kata lain, dia harus menghancurkan rasa percaya diri Grau. 

Sesuai dengan nasihat dari Grau sendiri, Sonia mulai membuat alat pengepungan dengan segenap kemampuannya.

 

Bagian 6

Saat Al sedang memimpin pertempuran pertahanan di Gels sebagai Grau.

Leo dan yang lainnya tiba di pusat kekuasaan Kruger, kota Wumme, jauh lebih cepat dari yang diperkirakan oleh pihak Gordon. 

Alasannya terletak pada kota-kota di selatan yang mereka lewati selama perjalanan. 

“Tak kusangka mereka akan membiarkan kita lewat dengan begitu mudahnya.” 

Leo, yang sempat memperkirakan adanya sedikit gangguan, berbisik pelan sambil melewati gerbang kastil Wumme. 

Di sampingnya, Sebas menjawab sambil memperhatikan keadaan sekitar. 

“Sepertinya tidak banyak yang sungguh-sungguh setia pada Duke Kruger. Wajah rakyat pun tampak tanpa semangat. Rupanya pemberontakan ini bukan kehendak bulat wilayah selatan.” 

“Kalau begitu, berarti kedatangan kita memang ada gunanya.” 

“Hanya datang saja tidak berarti apa-apa, Yang Mulia.” 

Orang yang berkata demikian sembari menyejajarkan kudanya dengan Leo adalah Lars. Di belakang mereka, kereta yang ditumpangi Fine dikawal oleh para prajurit elit Narberitter. Namun kawalan seperti itu tidak bisa terus-menerus menempel. 

“Kita harus menyingkirkan Duke Kruger.” 

“Tentu saja aku mengerti, Kolonel.” 

“Kalau begitu, izinkan saya mengonfirmasi. Setelah kita melewati gerbang utama kastil, kemungkinan besar sang duke akan menyambut kita secara langsung. Saat itulah saat yang paling tepat. Jika kita sudah masuk lebih dalam, besar kemungkinan senjata kita akan dilucuti.” 

“Namun, jika kita menyerang di sana, Nona Fine bisa berada dalam bahaya.” 

“Tak perlu khawatir. Nona Lynfia dan saya akan berada di sana.” 

Sebas menatap Leo saat mengatakan itu. Kepada pandangan itu, yang seolah bertanya “Apakah kamu yakin?”, Sebas mengangguk perlahan. 

Walaupun Narberitter ditugaskan sebagai pengawal, jika terlalu banyak orang berada di sisi utusan kekaisaran saat bertemu langsung dengan duke, mereka pasti akan dicurigai. 

Karena itu, pengawalan terhadap Fine diserahkan kepada orang-orang yang bisa berada di dekatnya secara wajar, seperti Sebas yang menyamar sebagai kepala pelayan. 

“...Baiklah. Kolonel, aku serahkan waktu penyerangan padamu.” 

“Dengan senang hati. Mohon Yang Mulia mundur sedikit dari posisi depan.” 

“Tak perlu bersikap terlalu hati-hati. Aku bisa menjaga diriku sendiri.” 

“...Namun, bila sesuatu terjadi pada Anda, saya tak akan bisa menampakkan diri di hadapan Yang Mulia Pangeran Arnold.” 

“Kolonel, aku tidak datang ke sini untuk dilindungi. Aku datang untuk menangkap Duke Kruger. Jika gagal, justru aku tak akan bisa menatap wajah kakakku.” 

Ditatap langsung oleh Leo, Lars sempat terbelalak, lalu segera menundukkan kepala dan meminta maaf. 

“Maafkan. Itu tadi kekhawatiran yang tidak perlu.” 

“Kolonel Lars, benar begitu. Yang Mulia Leonard berbeda dengan Yang Mulia Arnold, beliau bisa bergerak dengan baik.” 

“Jangan samakan pertempuran dengan ‘bisa bergerak’ seperti sedang olahraga, Sebas.” 

“Tidak banyak bedanya, bukan? Jarang sekali ada saudara kembar dengan perbedaan kemampuan fisik sebesar itu. Beliau sungguh rapuh. Mengangkat pedang saja bisa membuat ototnya sakit, sampai-sampai saya merasa khawatir.” 

“Padahal bisa saja diayunkan pelan, tapi karena ingin terlihat gagah, dia selalu mengayunkannya sekuat tenaga.” 

“Memang beliau itu suka bergaya.” 

“Benar juga. Memang suka bergaya dan pamer. Tapi, pada akhirnya dia menusukkan belati ke tangan kirinya sendiri demi menjaga citranya. Beliau juga punya kehebatan tersendiri.” 

Mendengar penilaian Lars, Leo tersenyum. Dia memang tak pernah merasa senang karena terlibat dalam perebutan takhta. Tapi ada beberapa hal yang membuatnya merasa bersyukur terlibat dalam pertarungan ini. 

Salah satunya adalah karena semakin banyak orang yang mulai menghargai Al. Dahulu Al dikenal pemalas, enggan bergerak, dan lebih suka bermalas-malasan. Tapi begitu dia ikut dalam perebutan takhta, dia mulai bergerak. Dan dari gerakan itulah orang-orang mulai menyadari bahwa gelar “pangeran tak berguna” hanyalah topeng belaka. Itu adalah hal yang sangat membahagiakan bagi Leo. 

“Kamu tampak senang.” 

“Aku senang. Senang melihat kakakku mendapat pengakuan. Dan... Senang karena bisa melakukan sesuatu bersamanya. Kakakku sudah menyiapkan panggung ini untukku. Panggung yang sempurna. Diamengorbankan banyak hal demi menyesuaikannya dengan keinginanku, keinginanku yang ingin meminimalkan korban. Aku senang bisa berdiri di atas panggung ini. Bisa merasakan bahwa kami sedang bertarung bersama sebagai saudara.” 

Ucap Leo, sambil maju dengan kudanya. Di hadapan mereka, berdiri megah gerbang utama kastil Duke Kruger. 

“Aku adalah Pangeran Kedelapan Kekaisaran, Leonard Lakes Ardler! Aku datang mengawal utusan kekaisaran! Buka gerbangnya!” 

Menanggapi permintaan Leo, gerbang utama kastil pun perlahan terbuka sambil mengeluarkan suara berat. 

Leo pun melangkah masuk dengan kudanya. 

Begitu masuk, dia tahu semuanya tak akan bisa diulang lagi, dan tak akan keluar sebelum semuanya berakhir.


* * *


Setelah turun dari kuda, Leo dan yang lainnya dipandu oleh para kesatria. Mereka dibawa ke bawah balkon kastil. 

“Tempat apa ini?” 

“Yah, yah, Pangeran Leonard. Sudah lama tidak bertemu.” 

Mendengar suara itu, Leo sedikit menyipitkan mata. Duke Kruger muncul di balkon. 

Sikap yang terlalu tidak sopan untuk seseorang yang menyambut utusan kekaisaran. 

“Sudah lama tak bertemu, Duke Kruger. Apa maksud dari semua ini?” 

“Ah, ini hanya tindakan pencegahan keamanan kecil saja. Bukan berarti saya mencurigai kalian, tapi nyawa saya juga menjadi incaran. Karena itu, saya ingin agar utusan kekaisaran datang ke sini sendirian.” 

Itu sama saja dengan menyuruhnya masuk ke sarang binatang buas seorang diri. 

Leo mengerutkan kening dan menyampaikan keberatannya. 

“Ini sudah kelewatan tidak sopannya. Silakan datang ke sini untuk memeriksa surat kekaisaran. Isi surat itu sudah seharusnya diperiksa oleh kesatria yang Anda kirim, bukan?” 

“Sayangnya, saya hanya akan mengakui keabsahan surat itu bila dibacakan di sini. Jika tidak suka, silakan pulang saja.” 

“Kalau begitu, biarkan aku ikut masuk.” 

“Utusan kekaisaran saja, seorang diri.” 

Mendengar permintaan Duke Kruger itu, Leo hampir saja meraih pedangnya. Sungguh sikap yang sangat keterlaluan. 

Namun, bagian dari tugas mereka adalah memastikan surat kekaisaran diterima. Jika Duke Kruger menolak memeriksanya, maka pihak Leo akan memperoleh legitimasi. Bila mereka bertindak sekarang, mereka akan dicap sebagai pembunuh yang menyamar sebagai utusan. 

Namun, Fine segera menyetujui permintaan itu. 

“Saya mengerti. Saya akan datang ke sana.” 

“Nona Fine...” 

“Tidak masalah. Duke Kruger tentu tidak akan melakukan apa pun terhadap utusan kekaisaran, bukan?” 

“Tentu saja, Putri Blau Meve.” 

“Kalau begitu, saya merasa tenang. Tugas saya adalah menyampaikan surat kekaisaran dari Yang Mulia Kaisar kepada Duke Kruger. Jika Anda lebih nyaman menerima di sana, maka saya akan datang ke tempat Anda.” 

Sambil berkata demikian, Fine memberi isyarat kepada kesatria dan meminta agar ditunjukkan jalannya. 

Kesatria itu menunjuk ke arah balkon dan mengantarnya ke sana. 

“Salam sejahtera, Blau Meve. Anda lebih cantik bila dilihat dari dekat.” 

“Terima kasih, Duke Kruger. Ini adalah surat dari Yang Mulia Kaisar.” 

“Izinkan saya membacanya.” 

Duke Kruger membuka surat itu dalam kondisi dikelilingi oleh para kesatrianya. 

Tanpa sedikit pun mengubah ekspresi wajahnya, dia membaca surat itu hingga selesai. 

“Begitu. Jadi ini jawaban dari Yang Mulia Kaisar.” 

“Benar.” 

“Sungguh, kejam juga beliau. Menggunakan Anda, yang sangat beliau sayangi, sebagai alat untuk menyatakan perang.” 

“Sayangnya, itu bukan pernyataan perang, Duke Kruger. Atas nama Yang Mulia Kaisar, saya perintahkan Anda untuk segera berlutut dan perintahkan para bangsawan selatan untuk melucuti senjata mereka. Jika Anda tidak mematuhi... Maka Anda akan dihukum.”

“Hahaha! Saya adalah sasaran hukuman, katanya? Dalam situasi ini, apa yang bisa Anda lakukan? Sayangnya, jawaban saya adalah tidak. Saya akan menjadikan Anda sandera dan mengulang kembali negosiasi.” 

“Apa Anda berani menentang perintah Yang Mulia Kaisar?” 

“Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Kaisar... Cahaya kekuasaan beliau tidak berarti apa pun bagi saya. Keluarga Kruger dulunya adalah penguasa sebuah negeri, sebelum akhirnya dianeksasi oleh kekaisaran. Kami ditaklukkan dengan kekerasan dan dipaksa menerima gelar duke. Sejak saat itu, kami tidak pernah melupakan dendam dan kebencian kami. Tak sekalipun saya menganggap pria itu sebagai tuan!” 

“Saya mengerti... Dendam yang telah Anda pendam selama bertahun-tahun. Tapi saya tak tahu seberapa besar dendam itu. Namun satu hal yang pasti, negeri ini dulu memang pernah menjadi kerajaan yang Anda pimpin. Tapi meski telah menjadi bagian dari kekaisaran, rakyat negeri ini tetaplah mereka yang seharusnya Anda lindungi. Namun Anda telah menyiksa rakyat Anda sendiri. Dengan itu saja, Anda sudah tidak layak menjadi raja. Tidak, bahkan tidak layak menjadi bangsawan!” 

“Saya tidak berminat berdiskusi soal raja atau bangsawan dengan Anda. Tapi satu hal yang ingin saya katakan, hanya yang kuat yang layak menjadi raja.” 

“Kalau begitu, berarti Anda memang bukan raja yang sejati. Seorang raja sejati jauh lebih kuat dari yang Anda bayangkan, dan memiliki beragam bawahan yang setia. Seperti ini...”


Di saat itu juga, Sebas muncul tanpa suara di sisi Fine, lalu menebas para kesatria di sekelilingnya dalam sekejap. Pedangnya bahkan mengarah ke Kruger, namun sang duke menggunakan para kesatria sebagai perisai untuk melarikan diri. 

Namun, di bawah, Leo dan pasukannya telah menyusup ke dalam kastil. 

“Tidak akan kubiarkan kamu kabur, Kruger!” 

“Sial! Bunuh mereka semua!” 

Atas perintah Kruger, para kesatria berdiri menghalangi jalan Leo. 

Namun, Lars dan pasukan Narberitter di barisan depan segera menerobos mereka dan membuka jalan bagi Leo. 

“Nona Fine!” 

“Di sini aman! Teruslah maju!” 

“Baik! Anda juga, mohon berhati-hati!” 

Fine, bersama beberapa anggota Narberitter dan Lynfia, segera mundur dari lokasi. 

Dan demikianlah, sebuah perang kecil pun dimulai di dalam kastil Wumme.

 

Bagian 7

“Jangan biarkan dia lolos!” 

Atas perintah Leo, pasukan Narberitter segera mengejar Kruger. 

Namun, sekelompok kesatria memotong jalan mereka dan menghadang. Di tengah bentrokan antara para kesatria dan Narberitter, pandangan Leo dan Kruger saling bertemu. 

“Aku tidak akan pernah membiarkanmu lolos!” 

“Hmph! Pikirmu berapa banyak kesatria yang ada di dalam kastil ini? Meski kamu membawa pasukan elit, kamu takkan bisa merebut kastil ini hanya dengan segelintir orang!” 

“Jangan remehkan kami.” 

Sambil berkata demikian, Lars mengayunkan dua pedangnya, menebas para kesatria tanpa ampun. 

Melihat itu, Kruger segera membalikkan badan dan mulai melarikan diri. 

Leo dan yang lainnya meninggalkan sebagian kecil pasukan untuk menahan musuh, lalu mengejar Kruger melalui jalan yang telah dibuka oleh Lars. 

“Sepertinya dia menuju ke lantai atas.” 

“Mungkin ada sesuatu di sana. Bagaimanapun juga, dia adalah paman dari Kakak Zandra.” 

Saat itu, suara tajam terdengar dari belakang. 

“Musuh dari kiri!” 

“Regu ketiga dan keempat! Tahan mereka!” 

“Siap!” 

Atas instruksi Lars, dua regu segera berpencar untuk menahan musuh. 

Jika mereka berhenti, mereka akan terhimpit oleh jumlah musuh yang lebih besar. Leo dan pasukannya tak punya pilihan lain selain terus maju, meski harus mengorbankan sebagian kekuatan. Meskipun demikian, Leo tetap memandang ke arah para prajurit yang mundur dengan penuh kekhawatiran. 

Salah satu dari mereka kemudian menyampaikan sesuatu pada Leo. 

“Tidak perlu mengkhawatirkan kami. Kami sudah siap menghadapi segalanya di tempat ini.” 

“...Siapa namamu?” 

“Letnan Bernd Lerner.” 

“Aku pernah mendengar nama itu. Kakakku menyebutmu. Katanya kamu orang pertama yang mengajukan diri.” 

“Benar! Saya merasa pantas untuk mempertaruhkan nyawa saya di sini. Mohon tetap menatap ke depan. Kami akan menjaga bagian belakang.” 

“...Baiklah. Aku percayakan punggungku padamu.” 

“Serahkan pada kami.” 

“Semua orang, hati-hati. Aku punya firasat buruk.” 

“Jika Yang Mulia sudah merasa tidak enak, itu sungguh membuat merinding.” 

Ucap Lars, seolah dia sendiri juga merasakan hal yang sama. Dia segera memerintahkan semua orang untuk meningkatkan kewaspadaan. 

Ada sesuatu yang membuat kewaspadaan menjadi lebih penting daripada kecepatan. Lars merasakannya. Dan dia tidak salah. 

Tiba-tiba, suara dan getaran keras terdengar dari lorong di samping tempat Leo dan yang lainnya berada. Suara itu mendekat dengan cepat. 

“Menyebar!”

Atas komando Lars, semua orang segera menjauh dari tempat itu. 

Sesaat kemudian, dinding lorong itu hancur berantakan. 

“Wooooooo!!!!” 

“Apa itu!?” 

“Hati-hati!” 

Prajurit Narberitter segera bersiaga. Lalu, dari balik debu yang mengepul, sosok itu muncul. 

Tingginya sekitar dua setengah meter. Tubuhnya lebar dan memenuhi hampir separuh lorong yang besar itu. 

Yang mengejutkan, sosok itu adalah manusia. Tapi penampilannya lebih mirip monster daripada manusia. 

“Aku tak menyangka mereka memelihara monster,”  ucap Lars, sambil dengan cepat menyelinap ke bawah kaki monster itu dan menebasnya. Serangan itu diikuti oleh tebasan serentak dari para anggota Narberitter di sekitarnya. 

“Wo?” 

“Tidak mempan sama sekali!” 

Meskipun ditusuk oleh banyak pedang, makhluk itu tetap berdiri tanpa terganggu. Lalu dia mengayunkan lengannya dengan kekuatan luar biasa, dan beberapa prajurit di sekitarnya terpental jauh. 

“Dia kebal terhadap rasa sakit! Sasar lehernya!” 

Setelah cepat menganalisis lawan, Leo segera memberikan perintah sambil melaju ke depan. Beberapa prajurit mencoba menghentikannya, namun Leo tetap menerjang maju. 

Makhluk itu kembali mengayunkan lengannya, namun Leo menghindarinya dengan lompatan tinggi. Dia melompat ke atas bahu makhluk itu, dan mencoba menyerang lehernya. Namun lengan makhluk itu bergerak untuk menangkis. 

Namun, sebelum sempat menyerang, lengan itu ditebas oleh Lars. 

“Luar biasa, Kolonel,” ucap Leo sambil menebas leher makhluk itu, memenggalnya. Pertanyaan tentang apa sebenarnya makhluk itu sempat terlintas, namun saat ini belum ada waktu untuk memikirkannya. 

“Yang terluka, mundur! Yang masih sanggup, ikuti aku!” 

Dengan memberi aba-aba, Leo kembali memimpin pasukannya menuju lantai atas kastil.


* * *


Setelah Leo dan yang lainnya menyerbu ke dalam kastil, pengejar juga datang mengincar kelompok Fine. 

Namun, karena Fine dilindungi oleh Lynfia dan para prajurit Narberitter, mereka tidak bisa mendekat. 

“Mohon mundur sedikit.” 

“Oke...” 

Fine menuruti perintah Lynfia dan melangkah sedikit ke belakang. Saat itu, Fine sempat melihat detik-detik ketika seorang kesatria yang hendak menangkapnya ditebas oleh Lynfia. 

Melihat itu, Fine hanya bisa menunjukkan ekspresi pedih tanpa berkata apa-apa. Ini adalah pertarungan hidup dan mati. Dia telah datang ke sini dengan kesadaran penuh akan hal itu. Karena dirinya tak bisa bertarung, orang-orang lain menodai tangan mereka dengan darah demi menggantikan dirinya. Dia takkan pernah bisa mengatakan bahwa mereka harus berhenti hanya karena merasa kasihan kepada lawan. 

Meskipun begitu, dia tetap tak mampu memandang mereka hanya sebagai musuh yang harus disingkirkan. 

“Sudah selesai. Nona Fine?” 

“...”

Fine perlahan berlutut di samping jasad kesatria yang tergeletak. 

Seorang prajurit Narberitter berusaha menghentikannya karena dianggap berbahaya, tapi Lynfia mengangkat tangan untuk menahannya. 

“Aku Fine von Kleinert. Adakah pesan terakhir yang ingin kamu sampaikan?” 

“A... A-Aku... Kesatria yang mengabdi pada keluarga Tarnart...” 

“Hm? Kenapa kamu ada di sini?” 

“Tuan... Dia bilang jika tak menangkapmu... Sanderanya akan dibunuh...”

“...Apakah ada harapan yang ingin kamu sampaikan padaku?” 

“Kumohon... Tuanku...” 

Kesatria itu mengulurkan tangannya ke arah Fine. Saat Fine hendak menyambutnya, nyawa kesatria itu telah lebih dulu sirna. Fine membuka matanya lebar, lalu dengan perlahan menggenggam tangan yang telah membeku itu. 

“Aku mengerti...” 

“Nona Fine. Kita harus segera bergerak.” 

Salah seorang prajurit Narberitter berkata dengan nada cemas. 

Mendengarnya, Fine mengangguk kecil. Lalu dia menatap Lynfia. 

Lynfia, melihat wajah Fine, sempat terkejut sesaat, kemudian tersenyum kecil dan mengangguk. 

“Sesuai perintah Anda, Nona Fine.” 

“Lynfia...” 

“Tugasku hanyalah melindungi Anda. Dan... Saya pribadi menyukai hal yang hendak Anda lakukan.” 

“...Maaf. Terima kasih.” 

Fine pun memandang para prajurit Narberitter yang berdiri di dekatnya. 

Sebagai pengawalnya, mereka adalah prajurit pilihan terbaik dari Narberitter. Bagi mereka, tindakan Fine saat ini adalah sesuatu yang sulit dimengerti di tengah situasi genting seperti ini. 

Tugas mereka adalah mengawal Fine ke tempat yang aman secepat mungkin. Berhenti dan berbicara hanyalah pemborosan waktu. Namun, mereka segera dikejutkan oleh ucapan yang jauh lebih sulit dipahami. 

“Aku... Akan pergi untuk membebaskan para sandera.” 

“Apa?! Anda tidak serius, bukan?!” 

“Sekarang bukan waktunya untuk itu!” 

“Tolong pikirkan kembali keputusan Anda!” 

Semua prajurit menyatakan penolakan. 

Namun, Fine menatap mereka semua dengan tajam dan menyampaikan dengan tegas. 

“Aku sadar ini berbahaya. Tapi sebagai utusan kekaisaran, aku memiliki kewajiban untuk menyelamatkan para bangsawan selatan.” 

“Namun!”

“Aku mengerti alasan kalian melarangku. Kalian mungkin benar. Bahkan mungkin kalian lebih bijak dan rasional daripada aku.” 

Sambil berkata demikian, Fine menyentuh hiasan rambut burung camar biru yang dikenakannya. 

Sejak menerima hiasan ini, dirinya bukan lagi hanya seorang putri bangsawan. 

Dia pernah menolak untuk meninggalkan wilayah kekuasaannya karena tidak ingin memikul tanggung jawab itu. Namun, pada akhirnya dia tetap meninggalkan tanah kelahirannya dan mengikuti Al, meskipun setengahnya dipaksa. 

Ada alasan khusus di balik keputusannya itu. Dia ingin membantu Al. Dia ingin membalas kebaikannya. Hanya itu. 

Saat dulu berlangsung upacara untuk menentukan siapa pemilik hiasan rambut itu, Fine yang dipenuhi kegelisahan nyaris pingsan. Namun seorang pemuda datang dengan ramah, menyapa dan menyemangatinya. 

Kepada Fine, yang kala itu menyembunyikan wajahnya dengan kerudung, pemuda itu berkata dengan santai bahwa sang kaisar hanyalah pria biasa dan tak perlu terlalu gugup. Ucapan yang asal-asalan. Padahal pemuda itu sendiri melarikan diri dari panggung yang hendak dihadapi Fine hanya karena merasa enggan. 

Namun karena itu, Fine mampu mendapatkan hiasan rambut burung camar biru. Sejak saat itu, dia menyimpan perasaan istimewa kepada pemuda itu, Al. Perasaan itu tak pernah berubah. Dia ingin menjadi kekuatan bagi Al. Dan demi itu, dia merasa sanggup melakukan apa saja. Bahkan menjadi Putri Camar Biru, Blau Meve, demi tak mempermalukan Al. 

Selama dia menyentuh hiasan itu, dia merasa mampu melakukan apa saja. Keberanian mengalir tiada henti. 

“Namun, membiarkan hal ini begitu saja hanya karena itu adalah pilihan bijak atau benar, bukanlah prinsipku. Aku datang ke sini untuk menyelamatkan orang. Kalian juga, bukankah seperti itu? Bukankah kalian ikut bergerak karena kata-kata Al? Jika kalian pernah menyebut diri sebagai kesatria, bagaimana bisa kalian mengabaikan kekacauan ini?” 

“...Namun! Jika terjadi sesuatu pada Anda!” 

“Tidak akan terjadi apa-apa. Karena aku dikelilingi oleh para kesatria yang luar biasa.” 

“Apa maksud Anda...?” 

“Kalian adalah pengawal utusan kekaisaran. Itu berarti kalian sekarang adalah kesatria pengawal pribadi. Dan aku percaya kalian punya kekuatan yang setara dengan gelar itu. Aku percaya pada kesatria pilihan Al... Aku takkan terima jika kalian ragu di sini. Kalian adalah Narberitter. Pasukan paling elit di kekaisaran.” 

Mendengar itu, para prajurit saling berpandangan. Dan seolah telah menyerah, mereka mengangguk. 

Karena mereka tak punya lagi kata-kata untuk membantah Fine. 

Secara pribadi pun, mereka tak mampu mengabaikan keadaan ini. Mereka punya kepercayaan diri. Mereka siap mempertaruhkan segalanya untuk melindungi gadis ini. Tapi tetap saja, mereka ingin mengambil langkah paling aman. 

Karena mereka telah dipercaya oleh sang pangeran. 

Namun, jika gadis itu memutuskan untuk melangkah maju, mereka takkan bisa menghentikannya. 

“Kami akan melindungi Anda dengan segenap kekuatan kami. Tapi bila nyawa Anda benar-benar terancam, kami akan memaksa Anda mundur.” 

“Ya. Aku mempercayakan semuanya pada kalian.” 

Fine tersenyum saat mengucapkannya. 

Setelah semuanya disepakati, Lynfia pun angkat bicara. 

“Kalau begitu, ke mana kita akan mencari? Jika kita bisa menemukan mereka secepat mungkin, itu juga bisa membantu pasukan penyerbu. Kita harus segera bertindak.” 

“Tidak masalah. Sebas.” 

Dengan suara penuh keyakinan, Fine memanggil nama Sebas. 

Mendengar itu, Sebas muncul dari belakang Fine. 

“Di sini.” 

“Kamu tahu di mana kemungkinan para sandera berada?” 

“Saya sudah meninjau kastil secara kasar, jadi saya bisa menebaknya.” 

“Kalau begitu, bisakah kamu memandu kami?” 

“Dengan senang hati. Tapi... Anda semakin mirip dengan Tuan Arnold.” 

“Begitukah?” 

“Ya. Sangat mirip.” 

Fine tersenyum bahagia. 

Karena bagi Fine, itu adalah pujian tertinggi yang bisa diterimanya.

 

Bagian 8

Di bagian belakang Kastil Wumme.

Ada sebuah bangunan tambahan yang disiapkan sebagai tempat terpisah.

Di dalamnya, berkumpul para bangsawan selatan yang dijadikan sandera oleh Kruger. 

“Marquis Trout! Bebaskan kami dari sini!” 

Teriak seorang pria berusia awal tiga puluhan.

Masih muda untuk ukuran kepala keluarga bangsawan, pria itu adalah Count Tarnart.

Dia dikenal sebagai bangsawan selatan yang paling condong ke arah kekaisaran. 

Orang yang berdiri di hadapan Count Tarnart adalah seorang pria tambun. Dia adalah Marquis Trout, sekutu dekat Kruger. 

“Masih saja kamu mengatakan itu, Count Tarnart?”

Marquis Trout mengejek dengan tawa melalui hidung, lalu mulai berjalan perlahan.

Di sekelilingnya terdapat beberapa kesatria, mengawasi agar para sandera seperti Count Tarnart yang tak bersenjata tak memberontak. 

“Kaisar telah menetapkan selatan sebagai musuh. Bukankah sekarang saatnya bagi selatan untuk bersatu dan bangkit bersama?” 

“Itu karena dirimu dan Duke Kruger yang memimpin dan menggerakkan organisasi kriminal! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan itu!” 

“Oh, oh. Organisasi kriminal itu melibatkan lebih dari sepertiga bangsawan selatan, kamu tahu? Sebagai sesama bangsawan selatan, bukankah terlalu kejam menganggap itu urusan orang lain?” 

“Jangan mengada-ada! Bukankah sebagian besar dari mereka dipaksa bekerja sama melalui ancaman! Seperti Count Sitterheim, misalnya!” 

Dengan amarah yang meluap, Count Tarnart mendekati Marquis Trout, namun langkahnya segera dihalangi oleh tombak para kesatria.

Dia mengeklik lidahnya dengan kesal dan mundur selangkah, melanjutkan kata-katanya. 

“Jadi, tak akan ada jawaban yang berbeda darimu, ya?” 

“Sudah tentu! Kami tidak akan bergabung dengan Koalisi Selatan! Kami adalah bangsawan kekaisaran!” 

“Hah! Kata-kata yang indah. Tapi tahukah kamu, wilayahmu dan semua bangsawan selatan telah bergabung dalam koalisi itu?” 

“Itu karena kalian menjadikan kami sandera!” 

“Dan siapa yang akan percaya kata-katamu? Saat ini, utusan kaisar telah datang ke kastil ini. Kaisar yang panik menghadapi pemberontakan selatan bahkan bersedia membuka jalur perundingan. Dengan ini, kamu tak ada bedanya dengan kami. Semua bangsawan selatan kini berada dalam satu perahu.” 

Marquis Trout berkata dengan nada penuh kemenangan.

Mendengarnya, wajah Count Tarnart menegang. 

Mayoritas bangsawan yang ada di ruangan ini datang karena undangan palsu dari Kruger, lalu dijadikan sandera. Mereka dikumpulkan dengan alasan ingin berdiskusi demi masa depan selatan.

Mereka kaget dengan ini. Tak ada yang menyangka bahwa niat Kruger adalah benar-benar memberontak melawan kekaisaran. 

“Di mana jaminan bahwa Kaisar hendak berunding? Bagaimana jika yang sebenarnya adalah deklarasi perang?” 

“Kalau begitu, kami tinggal melawan. Kami sudah menghubungi beberapa negara lain.” 

“Kekaisaran punya cukup kekuatan untuk menggagalkannya! Jika pasukan kesatria pengawal turun tangan, wilayah selatan akan jadi tanah hangus!” 

“Sebelum itu, perjanjian damai akan dicapai. Dengan syarat keselamatanku dan Duke Kruger dijamin.” 

Marquis Trout menyeringai dengan wajah jijik. 

Bagi Marquis Trout, Count Tarnart dan yang lainnya hanyalah bidak catur.

Jika perang pecah, dia akan menyerahkan mereka kepada kekaisaran di saat yang tepat demi menyelamatkan dirinya sendiri. Prajurit yang akan berperang pun mayoritas adalah para kesatria dari bangsawan yang dijadikan sandera. 

Tangan Marquis Trout takkan ternoda sama sekali. Cara berpikirnya itu begitu terang-terangan, hingga menimbulkan rasa jijik pada Count Tarnart. 

“Kamu...! Kamu menyebut dirimu bangsawan!?” 

“Tentu saja. Aku ini bangsawan dari garis keturunan terhormat.” 

Marquis Trout menjawab dengan bangga, dan Count Tarnart hendak menerjangnya.

Kesatria kembali menghalangi, namun kali ini bangsawan pria lainnya ikut menerjang para penjaga.

Dalam kekacauan itu, Count Tarnart berhasil merebut pedang dari salah seorang kesatria. 

Namun saat itu pula, beberapa kesatria lain mengarahkan tombak mereka ke arah para bangsawan wanita yang berada di sudut ruangan. 

“K-Kamu berani sekali... Tapi apa kamu tak peduli pada nasib para sandera?” 

Marquis Trout mengangkat tangan dengan sikap mengancam. Jika dia menurunkannya, para kesatria itu akan segera membunuh para wanita itu. Count Tarnart menundukkan pandangannya dengan ekspresi getir. 

Namun. 

“Count Tarnart. Tak perlu memikirkan kami.” 

Yang berkata demikian adalah seorang wanita, tampak sedikit lebih tua dari Count Tarnart. Tatapan matanya tajam, berani menatap lurus Count Tarnart meski berada di ujung tombak. Keberaniannya tampak tak tergoyahkan. 

“Countess Zimmer...” 

“Aku tak mengatakan ini demi kekaisaran... Tapi jika keberadaanku hanya menjadi beban bagi keluarga yang kutinggalkan di wilayahku, aku lebih memilih mati.” 

“Hah! Itu cuma gertakan kosong!” 

“Marquis Trout... Orang sepertimu, yang hanya peduli pada dirinya sendiri, takkan pernah mengerti. Seorang ibu, demi anaknya, bisa menjadi sangat kuat. Kalau mau membunuh, bunuhlah!” 

Sambil berkata demikian, Countess Zimmer melangkah maju ke arah para kesatria. Para kesatria kebingungan, menoleh ke arah Marquis Trout menanti perintah. 

Marquis Trout meringis, pikirannya berpacu. Jika mereka membunuh sekarang, Count Tarnart pasti langsung menyerangnya. 

Tak ingin hal itu terjadi, Marquis Trout memberi isyarat dengan dagu agar Countess Zimmer ditangkap. 

“Bawa dia ke sini!” 

“Lepaskan aku!” 

“Bagaimana, Count Tarnart? Masih mau bertarung?” 

Marquis Trout mencabut belati dan menempatkannya di leher Countess Zimmer. 

Di wajah Count Tarnart, terlihat jelas keraguan. Melihat itu, Countess Zimmer memejamkan mata, menyiapkan diri. Kemudian... 

“Count Tarnart... Lakukanlah.” 

“...Baiklah.” 

Kedua pihak telah menguatkan tekad mereka. Melihat itu, Marquis Trout mundur satu langkah. 

Namun, sembari menunjukkan kegusaran, dia tertawa. 

"”Ha, haha, hahaha! Kalian benar-benar ingin mati, ya? Bodoh sekali! Manusia hidup untuk hidup! Mati demi sesuatu? Tak ada yang bisa kalian lindungi dengan mempertaruhkan nyawa! Kekaisaran takkan menyelamatkan kalian!” 

“Tidak. Yang Mulia Kaisar tidak akan meninggalkan bangsawan yang berhati tulus.” 

Sebuah suara menggema. Dan pada saat yang sama, suara aneh memenuhi seluruh ruangan. 

Semua orang mengernyit mendengarnya. Beberapa bahkan jatuh berlutut. Tiba-tiba mereka diserang rasa kantuk yang amat kuat. Kekuatan sihir itu begitu besar hingga bahkan para kesatria tak mampu menahannya. 

“Ugh... Apa ini...?” 

“Maaf. Sulit mengatur intensitasnya.” 

Seorang gadis melangkah masuk sambil mengayunkan tombak. Para kesatria segera dilumpuhkan, tangan dan kaki mereka ditebas tanpa ampun.  Begitu gadis itu menghentikan gerakan tombaknya, suara yang membawa kantuk pun ikut menghilang. 

“Terima kasih, Lynfia.” 

“Tak perlu. Ini memang tugas saya.” 

Dengan nada biasa seperti biasanya, Lynfia cepat-cepat menarik Countess Zimmer menjauh dari Marquis Trout. 

Melihat sang countess yang terhuyung karena pengaruh sihir kantuk, Lynfia bergumam dengan nada menyesal. 

“Maaf telah menyeret Anda ke dalam ini.” 

Tombak sihir milik Lynfia mengeluarkan nada yang membuai ketika diputar membentuk lingkaran, namun kekuatannya tidak cukup presisi untuk hanya mengenai beberapa orang di ruangan.

Paling tidak, hanya bisa diarahkan ke depan atau difokuskan pada satu orang. Dalam kasus seperti ini, saat semua orang berkumpul di satu ruangan, semua harus menjadi sasaran. Namun berkat itu, para kesatria berhasil dilumpuhkan. 

Di depan Marquis Trout, yang masih belum memahami situasi, seorang gadis berdiri tegak menghadangnya.

“Keuh... Siapa kamu...?” 

“Fine von Kleinert. Aku datang sebagai utusan Yang Mulia Kaisar.” 

“Blau Meve...? Kenapa kamu ada di sini...?” 

“Aku datang untuk menyelamatkan para sandera.” 

“Tak masuk akal... P-Penjaga! Cepat ke sini!” 

“Kalau kamu maksud para penjaga, mereka sedang tertidur. Awalnya aku sempat khawatir karena penjagaan yang sembrono ini.” 

Sambil berkata demikian, Sebas muncul di sisi Fine. Seluruh penjaga di bangunan ini telah dilumpuhkan tanpa suara oleh Sebas. Karena itulah Marquis Trout tak menyadari adanya penyusup hingga Lynfia berhasil melancarkan serangannya secara tiba-tiba. 

“T-Tidak mungkin... D-Duke Kruger tak mungkin membiarkan ini terjadi!” 

“Kalau itu, saat ini beliau sedang terdesak oleh Pangeran Leonard. Memang itu bagian dari rencana kami sejak awal.” 

“Jadi kalian menyamar sebagai utusan dan melakukan serangan mendadak? Itu pengecut!” 

“Ini bukan serangan mendadak. Perintah Yang Mulia Kaisar adalah berlutut. Karena Duke Kruger menolak, maka diberi hukuman. Meski begitu, aku tak akan menyangkal bahwa ini pengecut. Memang benar, ini tindakan pengecut. Tapi jika nyawa bisa diselamatkan karenanya, maka aku bersedia menjadi pengecut berkali-kali. Dan meskipun kami pengecut, kamu itu licik. Jadi aku tak merasa pantas dikritik olehmu.” 

Begitu Fine mengakhiri ucapannya, Lynfia seolah menyatakan bahwa percakapan telah selesai dengan menghantamkan gagang tombaknya ke kepala Marquis Trout, membuatnya jatuh pingsan. 

Setelah itu, Fine menoleh ke arah Count Tarnart dan bangsawan lainnya. 

“Perkenankan aku memperkenalkan diri kembali. Aku datang sebagai utusan Yang Mulia Kaisar. Fine von Kleinert. Maafkan aku karena terlambat datang untuk menyelamatkan kalian.” 

“Y-Yang Mulia... Tak meninggalkan kita...” 

“Sungguh terima kasih...” 

Seorang bangsawan tua yang berada di bagian dalam ruangan mulai menangis tersedu-sedu. 

Fine menatap mereka semua dengan senyum lembut.

Dia menunggu mereka tenang terlebih dahulu, baru mulai menjelaskan situasinya. 

“Ada yang ingin aku minta dari kalian. Di dalam kastil ini masih ada para pengikut kalian. Mereka saat ini memusuhi kami karena kalian dijadikan sandera. Mohon, tolong yakinkan mereka.” 

“Tentu saja.” 

“...Anda Count Tarnart, bukan?” 

“Benar.” 

“Kami... Telah membunuh salah satu kesatriamu. Sesaat sebelum ajal menjemput, dia memberitahu kami bahwa kalian telah dijadikan sandera... Kamu punya bawahan yang setia.” 

Fine tidak meminta maaf. Dia tahu baik Count Tarnart maupun kesatria itu takkan menginginkannya meminta maaf. 

Count Tarnart menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. 

“Kalau begitu, mari segera bergerak. Kita akan pergi ke tempat yang mencolok dan menunjukkan pada kesatria-kesatria kastil bahwa kalian semua dalam keadaan selamat.” 

“Itu tidak masalah, tetapi... Masih ada sandera lain.” 

“Masih ada?” 

“Yang ada di sini hanya setengah dari kami. Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah bangsawan telah dipindahkan ke bagian lain dari kastil.” 

Mendengar kata-kata Count Tarnart, wajah Fine menunjukkan kekhawatiran. Dia menoleh ke arah Lynfia. 

Linfia pun memperlihatkan ekspresi yang sama. 

Tidak mungkin hanya soal pemindahan sandera. Terlalu mencurigakan. 

“Ada sesuatu yang mencurigakan...” 

“...Semoga mereka selamat.” 

“Saat ini kita belum bisa memastikan. Yang terpenting sekarang adalah memberitahukan bahwa kalian di sini dalam keadaan aman. Jika para kesatria dalam kastil mengurangi perlawanan, akan lebih mudah bagi kita mencari yang lainnya.” 

Lynfia menyampaikan sasaran langsung untuk saat ini dan menjelaskannya kepada Fine. 

Fine pun mengangguk setuju. 

Namun rasa gelisah itu tak kunjung sirna. Ada firasat buruk yang tak bisa diabaikan. 

Merasa demikian, Fine menyentuh hiasan rambutnya, memohon keberanian untuk terus melangkah ke depan.

 

Bagian 9

“Para ksatria yang berada di dalam kastil, aku adalah Fine von Kleinert, utusan Yang Mulia Kaisar.” 

Fine berseru demikian dari gerbang utama kastil, mengarah ke dalam kastil. 

Di sampingnya, sebuah alat pengeras suara diletakkan. Alat itu sebenarnya digunakan untuk menyampaikan pengumuman dari kastil ke kota, namun kini telah dikuasai oleh pihak Fine dan digunakan untuk menyerukan pesan ke arah kastil. 

“Saat ini, kami telah berhasil menyelamatkan banyak bangsawan yang sebelumnya dijadikan sandera. Kami akan menyelamatkan sisanya juga. Jika suara ini sampai pada kalian, mohon sarungkan pedang kalian! Tidak ada alasan bagi kita untuk saling bertempur!” 

Tak ada jawaban atas seruan Fine. 

Meski begitu, dia terus berseru. 

“Aku mengerti bahwa kalian bertempur karena dijadikan sandera. Namun sebagai utusan resmi Yang Mulia Kaisar, aku tidak akan menghukum kalian. Tolong, dengarkan suara ini. Jangan mengorbankan diri dalam pertempuran yang bertentangan dengan kehormatan kalian. Yang harus kalian lindungi bukanlah Duke Kruger!” 

Membuka suara berarti mengungkap keberadaan mereka. Seiring seruan Fine, kesatria-kesatria mulai bermunculan dan berkumpul di arah mereka. 

Mereka mengenakan zirah keluarga Duke Kruger. 

Lynfia dan yang lain mengangkat pedang mereka dengan siaga, namun Fine menahan mereka dan berkata, “Jika kalian tetap ingin bertempur, aku takkan menghentikan kalian... Tapi hadapilah kami dengan tekad yang setara. Pikirkan baik-baik makna dari mengangkat senjata terhadap utusan kekaisaran. Yang layak melawan para kesatriaku hanyalah mereka yang tak memiliki sedikit pun keraguan atas keadilan mereka.” 

Para kesatria itu terdiam, tertahan oleh pertanyaan tentang tekad dan keadilan yang dilemparkan pada mereka. Tak semuanya adalah orang jahat. Sebagian besar dari mereka hanyalah kesatria yang mengabdi karena tuannya adalah Duke Kruger. 

Mereka bertarung hanya karena diperintah. Berpikir sendiri berarti mencari celaka, itulah dunia yang mereka jalani. 

Namun, jika pertanyaan itu diajukan secara langsung, mereka tak bisa tak memikirkannya. 

Saat itu, satu kelompok kesatria lainnya datang berlari. 

“Count! Count Tarnart!” 

“Ohh! Kalian!” 

Para kesatria itu adalah pengikut bangsawan yang sebelumnya dijadikan sandera.

Begitu mereka melihat bahwa tuan mereka selamat, mereka menangis dan langsung berlutut. 

Melihat mereka yang meminta maaf berulang kali, para kesatria Kruger pun mulai ragu. 

“Kalau sekarang, mungkin kita bisa menarik mereka ke pihak kita, Nona Fine.” 

“Aku mengerti.” 

Mendengar bisikan Lynfia, Fine mulai berbicara kepada para kesatria itu. 

“Kalian juga, mungkin hanya bertempur karena perintah dari atasan. Namun, jika sekarang kalian menyarungkan pedang dan membantu kami, kalian takkan dikenai hukuman. Tapi bila kalian masih memilih mengangkat senjata, konsekuensinya akan menjalar hingga ke keluarga kalian. Karena saat ini, kalian sedang menentang kekaisaran.” 

Nada bicara Fine terdengar lebih tegas dari biasanya, membuat Lynfia terkejut.

Bukan hanya membujuk, dia bahkan menyisipkan ancaman secara efektif, bukan sifat yang biasa ditunjukkan Fine. 

Lynfia pun teringat akan ucapan Sebas sebelumnya.

Bahwa Fine mulai mirip dengan Tuan Arnold. Mengingat hal itu, Lynfia tersenyum masam. 

“Benar juga. Mungkin kalian berdua semakin mirip.” 

Kalau itu adalah sang pangeran, takkan ragu menggunakan ancaman bila itu cara paling efektif.

Para kesatria pun sebenarnya tak ingin bertarung. Mereka memilih berdiri di sisi Kruger demi melindungi diri dan keluarga. Tapi kini, Kruger berada dalam posisi lemah. Dan yang semacam itu, cenderung mengikuti pihak yang lebih kuat. 

“B-Benarkah kami tidak akan dihukum?” 

“Tentu saja tidak. Tak peduli seberapa besar dosa yang telah kalian lakukan, kalian tidak akan dihukum. Namun tentu saja, kami akan meminta kalian untuk menebusnya dengan perbuatan.” 

Para kesatria mulai gentar mendengar kata-kata Fine. 

Mereka tahu Kruger telah berbuat banyak kejahatan, dan mereka pun terlibat langsung dalam perbuatan itu. 

Fine pun menyadari hal itu. Namun, dia tetap memilih untuk tidak menghukum mereka, karena dia tahu Kruger bukanlah orang yang akan mempercayakan hal-hal penting kepada bawahan rendahan. 

Dan akhirnya, kesatria-kesatria yang semula diam mulai berlutut satu per satu. 

“...Kami akan mematuhi sang utusan.” 

“Aku berterima kasih atas keberanian kalian. Sekarang, bisakah kalian memberitahuku di mana para bangsawan lain yang masih menjadi sandera berada?” 

“Y-Yang kami tahu hanya, mereka dibawa ke ruang bawah tanah kastil. Kami tidak diperbolehkan mendekat ke sana, jadi kami tidak tahu lebih jauh...” 

“Bawah tanah...”

Lynfia bereaksi pada kata-kata yang tidak menyenangkan itu. Anak-anak yang ditahan di Bassau juga berada di bawah tanah. Dan mereka jelas-jelas dijadikan bahan eksperimen. 

Mengingat kenyataan itu, wajah Lynfia berubah masam. 

Karena tempat ini adalah markas besar dari mereka yang memberi perintah atas kejadian itu. 

“Nona Fine. Maaf, tapi sebaiknya kita menunda penyelidikan ke bawah tanah.” 

“Kenapa?” 

“Jika kita hanya melawan kesatria biasa, masih bisa diatasi. Tapi bila yang muncul adalah iblis, kita takkan punya cukup kekuatan. Lebih baik menunggu hingga kastil ini benar-benar kita kuasai.” 

“...Jadi menurutmu kejadian seperti di Bassau bisa terulang?” 

“Saya tak bisa bilang tidak mungkin. Bahkan, bukan hal aneh bila seluruh kastil ini lenyap. Kita sebaiknya menunggu hingga pertarungan di atas selesai.” 

“Saya juga setuju. Kita perlu bersiap kalau-kalau sesuatu keluar dari bawah tanah. Jika tidak ada yang bisa menahannya, Pangeran Leonard dan yang lainnya takkan bisa mundur.” 

Sebas memberi nasihat dari sudut pandang strategi. 

Fine menundukkan pandangannya sejenak. Dia tahu dia sudah bertindak gegabah dan memaksakan kehendak. Karena dua orang ini telah dengan tulus mengikuti kehendaknya, dia tak bisa bersikeras lagi saat mereka menyarankan kehati-hatian. 

“Aku mengerti. Kalau begitu, kita lanjutkan membujuk para kesatria di sini.” 

Fine pun menyatakan keputusannya, lalu kembali menyeru ke arah kastil. Sambil berdoa dalam hati, agar pertempuran ini berakhir secepat mungkin.


* * *


“Cepat!” 

Kruger telah berhasil melarikan diri sampai ke lantai paling atas kastil dan bertahan di sana. 

Satu-satunya harapan Kruger kini bergantung pada obat jenis baru yang dia kembangkan bersama Zandra. 

Agar bisa meminum obat itu sendiri, Kruger mendesak peneliti tua yang tengah mengolahnya. 

“Tolong tunggu sedikit lagi!” 

Pembuatan obat memerlukan waktu. Lagi pula, Kruger sendiri awalnya tidak berniat menggunakannya untuk dirinya. 

Untuk membuat obat itu, mereka telah berkali-kali gagal. Bahkan versi baru ini pun belum bisa dibilang aman. Meski begitu, Kruger tetap mengulurkan tangannya. Demi bertahan hidup. 

Namun, di hadapannya muncul sosok yang menghadang. 

“Haaaaaaaah!!!!” 

Menerobos pintu yang tertutup dengan tebasan, Leo menerjang masuk ke dalam ruangan. 

Kesatria-kesatria segera menghunuskan pedang mereka ke arah Leo, tapi Leo menebas mereka dalam sekejap tanpa sempat mereka menandinginya. 

“Yang Mulia! Itu terlalu berbahaya!” 

Lars memperingatkan Leo yang terlalu nekat menerobos ke depan, tapi Leo tak menggubris. 

Instingnya mengatakan bahwa membiarkan Kruger meminum obat itu akan menjadi kesalahan fatal. Jika itu terjadi, banyak hal akan menjadi sia-sia. Dipandu oleh naluri tersebut, Leo melaju lebih jauh ke depan. 

Seorang diri, dia menerobos barisan para kesatria dan menebas mereka satu per satu dengan pedangnya. 

“Hebat sekali...” 

Salah seorang prajurit Narberitter yang bertarung di luar ruangan tak kuasa menahan decak kagum. Bahkan bagi pasukan elit seperti mereka, Leo yang sekarang terlihat luar biasa. 

Seorang diri menerjang musuh dan menumbangkan semuanya. Seolah-olah dia adalah Putri Jenderal dari cerita-cerita yang sering mereka dengar. Dengan kekaguman itu, para prajurit Narberitter pun memasuki ruangan, mencoba mengurangi jumlah kesatria yang mendekat ke Leo. 

Namun Leo hanya memusatkan pandangannya pada Kruger. 

Segala serangan yang datang dari segala arah dia hindari hanya dengan reaksi naluriah. Leo yang dulu takkan pernah mempertaruhkan diri dalam bahaya seperti itu. Dia pasti akan mencari jalan aman untuk menang. Dia tidak akan bertindak berdasarkan intuisi. 

Tapi sekarang, Leo menyerahkan tubuhnya pada naluri. Bukan berarti dia tak berpikir, dia masih tetap tenang dan memprediksi gerakan lawan selanjutnya sambil menggerakkan tubuhnya secara refleks. 

Itu adalah tindakan paling optimal dan keputusan paling tepat. Sebuah gaya bertarung yang dikembangkan oleh Lize di medan perang untuk melawan jumlah musuh yang besar, dan Leo pun telah menguasainya selama pertempuran di wilayah selatan. 

Gaya bertarung yang memprioritaskan penembusan ini jauh melampaui perkiraan Kruger. 

Dia tahu Leo unggul dalam hal bela diri, namun mengira hanya dalam kemampuan pedang biasa. Tapi kini, Leo memancarkan aura seolah-olah seorang petarung sejati yang bisa menghadapi seribu musuh seorang diri. 

Kruger menyadari bahwa dirinya takkan sempat. Dengan itu, dia mengambil obat jenis baru yang bahkan masih dalam tahap penyempurnaan. 

“Itu belum selesai, Tuan!” 

“Tak masalah meski belum jadi!” 

Baginya, lebih baik menjadi monster dan membalas daripada ditangkap hidup-hidup. 

Itulah yang dipikirnya. Memang tindakan nekat, namun juga keputusan berani menurut caranya sendiri. Melihat itu, Leo pun melangkah ke permainan yang lebih nekat lagi, mempercayai intuisinya. Jika Kruger bersedia meninggalkan keselamatannya, maka Leo pun melakukan hal yang sama. 

Sudah banyak pengorbanan dan bantuan yang dia terima untuk sampai sejauh ini. Jika semua itu lenyap begitu saja, dia takkan bisa kembali menghadap mereka yang menantinya di Ibu Kota Kekaisaran. 

Dengan tekad itu, Leo yang dikelilingi para kesatria, mengangkat pedangnya. 

“Jangan harap kamu berhasil!” 

Lalu dia melemparkan pedang itu ke arah Kruger. 

Pedang itu meluncur lurus, dan dengan tepat mengenai lengan Kruger yang memegang obat, menebasnya hingga putus. 

“Uwaaaaaaaaaah!!!!” 

Kruger menjerit kesakitan, tapi Leo juga tak dalam kondisi aman. Dia kini tanpa senjata di tengah para kesatria bersenjata lengkap. Meskipun dia menghindari tebasan demi tebasan, tanpa senjata untuk menangkis, dia takkan bertahan lama. 

Sebuah pedang melesat ke arah dadanya. 

Leo pun sadar akan bahaya itu. Namun, pedang itu tak pernah sampai ke tubuhnya. 

“Aduh, sungguh tuan yang menyusahkan.” 

Yang berkata demikian sambil menangkis pedang itu adalah Lars. 

Lars menutupi tubuh Leo dengan punggungnya dan dalam sekejap, menebas kepala para kesatria yang mengelilingi mereka. 

“Terima kasih... Kolonel.” 

“Tentu saja. Melindungi Anda adalah tugas kami.” 

Lars tersenyum saat menjawab, lalu menoleh ke Kruger yang masih berteriak. 

“Tangkap dia. Jangan lupa rawat lukanya.” 

“Siap!” 

“Akhirnya kita berhasil...” 

“Itu semua karena keberanian Anda, Yang Mulia. Benar-benar luar biasa.” 

“Aku hanya mengikuti gerakan tubuhku saja.” 

Leo merendah, tapi wajahnya memancarkan rasa puas. 

Kruger, sumber dari semua kekacauan kali ini, telah berhasil ditangkap. Bahkan langkah terakhirnya berhasil dicegah sebelum sempat digunakan. 

“Heh, kamu... Obat itu sebenarnya untuk apa?” 

“T-Tolong... Ampuni saya...”

“Jawab aku!” 

“I-Itu adalah obat vampirisasi! Obat untuk mengubah manusia menjadi vampir dengan menyerap darah vampir!” 

Mendengar itu, wajah Leo mengerut. 

Kata “vampir” langsung membawanya pada kasus di wilayah timur. 

“Jadi, kamu juga dalang di balik insiden di timur?” 

“Ugh... Hahaha... Saya hanya menerima pasokan darah itu... Jangan membuat asumsi sembarangan...”

“Kalau begitu, kalau kami lacak jalur pasokan itu, kita akan tahu siapa pelakunya, kan?” 

“Kalian pikir masih ada waktu untuk itu...?”

“Apa maksudmu...?” 

“Dalam proses mengembangkan obat ini, terbentuk satu ramuan aneh... Hasilnya akan segera muncul...” 

Begitu Kruger selesai berkata... 

Terdengar suara jeritan yang menggema dari bawah kastil. Pertempuran di wilayah selatan belum berakhir.

 

Bagian 10

“Mantra macam apa yang kamu gunakan?” 

Keesokan harinya setelah berhasil menahan gempuran dahsyat dari pasukan Kekaisaran.

Saat aku tengah mengawasi mundurnya pasukan Kekaisaran dari balik tembok kota, Alois tiba-tiba bertanya padaku seperti itu. 

“Yang mana maksudmu?” 

“Yang kemarin. Sejujurnya, aku tidak menyangka kita bisa bertahan.” 

“Hmph... Kalau seorang tuan muda langsung turun tangan dan memberi komando, siapa pun pasti jadi bersemangat.” 

“Itu juga atas perintah Anda. Kuakui itu berdampak, tapi tetap saja, tak masuk akal bisa menghentikan sepuluh ribu tentara musuh begitu saja.” 

“Jadi kamu benar-benar ingin menjadikannya karena sihirku, ya?” 

“Aku hanya ingin tahu fakta sebenarnya.” 

Mendengar itu, aku terdiam sejenak.

Tak masalah kalau aku mengatakannya, tapi terasa terlalu sayang jika harus memberikannya secara cuma-cuma. 

“Hmm... Kalau begitu, mari kubuat jadi teka-teki. Menurutmu, sihir macam apa yang kugunakan?” 

“Kalau aku bisa menebaknya, aku tidak akan bertanya.” 

“Bertanya pada orang lain itu penting. Tapi berpikir sebelum itu juga penting. Gunakan otakmu. Apa yang paling luar biasa dari kita kemarin?” 

Aku menyampaikan itu seperti seorang guru yang menasihati muridnya. Alois pun menuruti dengan jujur dan mulai berpikir keras. Dia menelusuri ingatannya dan mencoba mencari faktor kunci dari kemenangan kemarin.

Tak lama, dia mengangkat dua jari dengan ragu. 

“Ada dua hal... Yang menurutku jadi penyebabnya.” 

“Coba sebutkan.” 

“Yang pertama, pasukan musuh ternyata lebih lemah dari yang kita perkirakan. Yang kedua, pasukan kita ternyata jauh lebih kuat dari dugaan.” 

“Dengan kata lain, menurutmu aku menggunakan dua sihir, memperkuat pasukan kita dan melemahkan pasukan musuh. Benar begitu?” 

“Ya... Menurutku seperti itu.” 

Dia kelihatan belum terlalu yakin, tapi tetap mengangguk. Melihat itu, aku pun mulai mengungkapkan jawabannya. 

“Setengah benar, setengah salah.” 

“Jadi salah satunya benar?” 

“Benar. Aku hanya menggunakan satu sihir, dengan membuat para prajurit tetap waras di tengah panasnya pertempuran. Dengan begitu, mereka bisa tetap tenang menghadapi musuh, menilai situasi dengan jernih, dan mendengarkan perintah dengan baik. Hanya itu sihir yang kugunakan.” 

Tetap tenang. Dalam pertempuran, itu adalah keuntungan yang sangat besar.

Biasanya, jika seseorang tak memiliki kepercayaan tinggi pada dirinya, ia takkan mampu tetap tenang di hadapan musuh.

Terlebih lagi bagi prajurit amatir yang belum pernah merasakan pertempuran sesungguhnya. 

Militer biasanya melatih pasukan dengan keras agar bisa tetap tenang dalam kondisi seperti itu.

Sihirku menjadikan prajurit amatir seolah-olah sudah seperti veteran tempur. 

“Itu saja? Kalau begitu, bagaimana dengan lemahnya pasukan musuh?” 

“Hari sebelumnya, dari gerbang kota keluar semburan api raksasa yang membakar habis seribu prajurit elit mereka. Orang-orang yang selamat melihatnya atau mendengarnya pasti merasa ngeri. Mereka pasti berpikir, mendekati gerbang bisa jadi berarti maut. Mereka juga akan khawatir kalau strategi mereka sudah terbaca. Keraguan seperti itu mengikis ketenangan. Prajurit Kekaisaran memang terlatih, tapi mereka bukan semuanya pejuang luar biasa. Begitu mereka kehilangan ketenangan, mereka tak lagi jadi ancaman berarti.” 

“Hanya karena itu...?” 

“Pertarungan hidup dan mati memang sering ditentukan oleh hal sepele. Pada dasarnya, dalam pengepungan, pihak yang bertahan selalu lebih diuntungkan. Kalau pihak penyerang mulai ragu, hasilnya sudah bisa ditebak.”

“Apakah Anda sengaja menarget pasukan penyergap mereka dengan taktik untuk menciptakan kondisi itu?” 

“Kurang lebih begitu. Kalau mereka menyerang dengan mengikuti teori standar, mudah saja membuat strategi melawannya. Dan karena teori itu sudah dikenal, justru itu bisa menimbulkan ketakutan bagi para prajurit. Karena jika strategi mereka sudah terbaca, maka nyawa merekalah yang jadi taruhannya. Dan para komandan Kekaisaran memang memberi perintah sesuai teori standar. Begitu muncul keraguan, ketenangan hilang, dan tindakan menjadi ceroboh. Para kesatria dan prajurit kita tak menyia-nyiakan celah itu. Hanya itu saja.” 

Kalau hanya bertahan satu hari, itu sudah cukup. Dan dengan begitu mereka menilai kita sebagai lawan yang tangguh. 

Mereka tak punya banyak pilihan untuk menembus pertahanan ini dalam waktu singkat. 

“Kalau begitu, Anda pasti sudah menyiapkan langkah selanjutnya, bukan?” 

“Kenapa kamu pikir begitu?” 

“Karena Anda sudah menanamkan rasa takut sejak menghancurkan pasukan penyergap mereka, dan memanfaatkan itu untuk memimpin kemenangan kemarin. Artinya, Anda juga pasti sudah memasang jebakan pada pertempuran kemarin.” 

“Pandai juga akalmu. Tapi belum cukup.” 

“Maksud Anda?”

“Aku sudah menyiapkan jebakan bahkan sebelum kemarin.” 

Pada hari di mana kami menghancurkan pasukan penyergap mereka. Saat itulah aku sudah mengambil langkah selanjutnya. 

“Jadi jebakan itu sudah disiapkan sebelum kemarin...?” 

Alois terlihat terkejut dan ingin bertanya lebih lanjut, tapi kemudian menyadari sesuatu dan mulai berpikir sendiri. 

Aku merasa sikapnya itu menggemaskan, jadi aku meletakkan tanganku di kepalanya. 

“Kemarin kamu pasti terlalu sibuk untuk menyadarinya. Tapi sebenarnya kamu sudah melihatnya.” 

“Melihatnya...?” 

“Ya. Kamu sudah melihat sesuatu yang tidak ada dalam pertempuran kemarin.” 

Dengan petunjuk itu, Alois memutar otaknya dengan sungguh-sungguh. Ada sesuatu yang hilang, dan seharusnya disadari. Kemarin. Sesuatu yang kami miliki.

Alois mengerutkan kening, namun tiba-tiba matanya membelalak. 

Kurasa dia sudah menyadarinya. 

“Bagaimana?” 

“Kemarin... Aku sama sekali tidak melihat Tuan Yordan...” 

Mendengar jawaban itu, aku tersenyum. 

Kemudian aku menepuk kepalanya pelan, sebagai tanda kerja bagus. 

“Setelah menghadapi lawan yang tangguh, kita tak bisa menggunakan cara lama. Musuh pasti akan mencoba strategi baru dan menyerang dengan seluruh kekuatan. Saat itulah celah terbesar akan muncul. Kalau kita bisa melancarkan serangan mendadak pada saat itu, bahkan pasukan besar pun bisa dipecah. Tapi tentu saja, musuh pun akan waspada. Kita sudah pasti diawasi sekarang. Kalau kita mengirim pasukan secara terang-terangan, mereka pasti mengetahuinya.” 

“Jadi... Saat kita menghancurkan pasukan penyergap itu, Anda sudah mengirim seratus orang keluar?” 

“Komandan Voigt adalah orang yang cakap. Dia tahu bagaimana caranya menyembunyikan pergerakan mereka dengan baik. Bahkan kalau seribu orang jadi sembilan ratus, musuh takkan menyadarinya. Lagi pula, mereka sudah kehilangan seribu orang, jadi perbedaan itu tak terlihat mencolok.” 

“Jadi mereka benar-benar melancarkan serangan mendadak...” 

“Ya. Memang serangan yang mendadak, tapi bukan serangan mendadak yang biasa.” 

Kalau seratus dari mereka hanya menunggu di luar kota, bisa saja ketahuan.

Karena itu, aku memerintahkan mereka untuk bersembunyi. Dan tempat persembunyian mereka adalah desa-desa di sekitar kota. 

Yordan, dengan koneksi yang luas, tentu mengenal banyak orang di desa-desa dekat Gels.

Berkat bantuan mereka, seratus orang itu berhasil menyamar dan membaur di sana. 

“Menurutmu, kenapa musuh terlihat tenang sekarang?” 

“Karena mereka sedang mempersiapkan serangan untuk merebut kota?” 

“Benar. Tapi mereka punya batasan. Pertama adalah waktu. Kedua, status mereka sebagai pasukan pengintai. Itu membuat mereka tak bisa meminta bala bantuan, atau memanggil penyihir hebat. Bagi mereka yang ingin menang dalam waktu singkat, ini adalah kelemahan fatal. Jadi kemungkinan besar, mereka akan memakai siasat licik atau membangun mesin pengepungan.” 

“Mesin pengepungan? Jadi mereka membuat senjata?” 

“Dengan mengerahkan tenaga kerja, itu bisa dilakukan. Bahkan hanya dengan mesin pengepungan sederhana, pertempuran akan jadi lebih mudah bagi mereka. Mereka juga pasti tahu dari cara kita bertahan bahwa kita tidak punya penyihir. Jadi tak masalah membuat alat besar sekalipun.” 

Tapi di situlah titik buta mereka. Karena keinginan untuk cepat menang, mereka pasti melakukan kesalahan. 

“Dan untuk membuat alat besar dan rumit, tenaga kerja tentu dibutuhkan. Dalam situasi seperti ini, pasukan Kekaisaran biasanya menyebar uang ke desa-desa sekitar dan menyewa pekerja.” 

“Jangan bilang...” 

“Seratus orang kita sudah berada di wilayah musuh. Dan musuh takkan menganggap itu ancaman, karena aku hanya menyuruh mereka untuk berpura-pura menjadi warga desa biasa. Paling hanya akan dianggap gangguan kecil. Tapi kalau aku yang datang langsung ke sana?” 

“Tapi, musuh terus mengawasi Anda...” 

“Itu tak masalah. Aku bebas pergi ke mana pun.” 

“Ah...” 

“Bagi mereka, seolah-olah aku muncul begitu saja. Tentu aku takkan bilang pakai sihir. Lalu aku akan mencuri logistik dan alat pengepungan mereka. Setelah itu, permainan selesai. Musuh tak punya pilihan selain mundur. Kalau mereka berhasil menembus kota ini pun, mereka takkan bisa lanjut. Tanpa alat pengepungan, mereka takkan punya cukup waktu.” 

Setelah menjelaskan rencanaku ke depan, aku menatap Alois.

Dia masih anak-anak, tapi juga seorang bangsawan. Aku harus memastikan dia tahu apa yang harus dilakukan. 

“Setelah serangan mendadak itu selesai, aku akan pergi. Aku akan menyingkirkan siapa pun yang mungkin menjadi ancaman bagimu, jadi kamu bisa tenang. Tapi yang paling penting, kamu harus bekerja keras setelah itu.” 

“Aku mengerti... Karena kami telah melawan pasukan Kekaisaran.” 

“Sekarang kamu sedang bersama sang utusan, kan? Andalkan Pangeran Leonard. Begitu Duke Kruger tumbang dan semua sandera dipastikan selamat, pergilah minta maaf langsung pada Kaisar. Akan ada keringanan dari beliau, dan beliau tak sebodoh itu untuk menghukum seorang bangsawan muda yang berhasil menahan sepuluh ribu pasukan Kekaisaran. Beliau tidak akan menjatuhkan hukuman berat padamu.” 

“Aku mengerti... Aku akan melakukannya sesuai arahan.” 

“Bagus. Kalau begitu, mari kita turun. Angin mulai dingin.” 

“Kapan Anda akan berangkat?” 

“Itu rahasia.” 

Setelah mengatakan itu, aku menepuk kepala Alois sekali lagi, lalu kami berdua pun menuruni tembok kota.

 

Bagian 11

Malam hari.

Diam-diam aku melakukan teleportasi menuju markas musuh, lalu bersembunyi di balik bayangan pohon dan memanggil Yordan. 

Berjalanlah terus ke arah timur. Aku ada di dekat pohon besar.

Kata-kataku melayang bersama angin, dikirimkan hanya agar bisa didengar oleh Yordan.

Yordan, yang sepertinya sedang mengobrol santai dengan para warga desa yang telah direkrut, terbelalak mendengar suara mendadak itu. Namun, dia segera berjalan ke arahku dengan sikap tenang. 

“Heh, apa barusan itu, ahli siasat?” 

“Trik sulap, kira-kira begitu. Jadi, bagaimana hasilnya?” 

“Alat pengepungan hampir selesai. Semua orang sudah tersebar di pos masing-masing. Tentu saja, tanpa senjata.” 

“Aku sudah membawa senjatanya. Masih banyak warga desa di sini?” 

“Iya. Mereka baru dibayar sepertiganya. Sisanya dijanjikan besok.” 

“Merepotkan, ya.” 

“Tidak apa-apa. Lagipula orang-orang di sini juga tidak suka dengan tentara yang semena-mena.” 

“Itu kabar baik. Operasi dimulai dua jam lagi. Siapkan semuanya.” 

“Dimengerti. Tapi, penjaga di sini banyak, tahu?” 

“Para penjaga itu hanya mengawasi ke arah luar. Tak masalah.” 

“Kalau kamu yang bilang, baiklah. Akan kukabari semuanya, pesta kembang api akan segera dimulai.” 

Yordan pun pergi.

Dari yang bisa kulihat, tampaknya mereka telah merekrut warga desa dalam jumlah besar. Pasti untuk membangun alat pengepungan yang sangat besar. 

Yah, semakin besar dan rumit alat yang dibangun, semakin besar pula dampaknya saat dihancurkan. 

“Baiklah, mari kita buat pesta kembang api yang meriah.” 

Aku bergumam pelan, lalu meninggalkan tempat itu dengan teleportasi.


* * *


Saat sebagian besar orang telah terlelap, seratus prajurit yang dipimpin Yordan bergerak perlahan di antara pepohonan.

Aku berada di barisan paling depan. 

“Katapel, balista, dan menara pengepungan. Hebat juga bisa membangun semua ini dalam waktu singkat.” 

Masing-masing ada dua unit. Dan strukturnya pun cukup rumit. Sepertinya Sonia yang merancangnya. Dia tampaknya menerima provokasi dan benar-benar membangunnya secara serius. Berkat itu, warga desa berhasil direkrut dan perhatian musuh tertuju ke luar. Namun, jika kami gagal di sini, pandangan itu akan langsung berbalik ke arah kami. Ini bisa jadi taruhan yang sangat berbahaya. 

“Jumlah penjaga memang banyak, ya.” 

“Tapi sepertinya ada sesuatu yang berbeda.” 

Tingkah laku para penjaga tampak tegang. Mungkin atasan mereka datang. 

Dan itu langsung terbukti. Seorang perwira berseragam muncul dari kejauhan. 

“Itu dia...!!”

“Siapa?” 

“Kolonel Letz. Komandan sementara.” 

“Begitu ya. Sampai turun sendiri ke sini.” 

Sepertinya mereka benar-benar terdesak. Dia mungkin tak bisa tenang tanpa melihat langsung kondisi terakhirnya. Ini mungkin harapan terakhir yang tersisa baginya. 

Namun, memperlihatkan diri seperti itu adalah langkah yang buruk. Prajurit yang sudah tertekan malah makin tegang. 

Setelah memastikan alat pengepungan dalam kondisi baik, Letz pergi bersama bawahannya.

Ketika sang komandan menghilang dari pandangan, atmosfer yang menegang pun mulai mencair.

Beberapa prajurit bahkan mulai menguap. Melihat itu, aku melancarkan serangan tambahan. 

Aku membentuk penghalang tidur. Bukan sihir dengan efek kuat, hanya sekadar mengundang kantuk. Tapi bagi yang sudah mengantuk, efeknya cukup besar. 

Mereka berusaha menahan kantuk, tapi jelas hanya berdiri pun sudah sulit. 

“Baiklah, saatnya menyalakan kembang apinya.” 

“A-Apa kita benar-benar akan melakukannya? Mereka dalam keadaan waspada... Dan kita hanya punya perlengkapan begini...” 

Seorang prajurit bergumam dengan cemas.

Senjata yang kuberikan hanyalah belati. Tidak mungkin kami membawa senjata besar untuk seratus orang. Tapi jika hanya untuk membunuh lawan, itu sudah cukup. 

“Mereka waspada terhadap musuh dari luar. Yang mereka tunggu hanyalah laporan dari penjaga luar. Mereka tidak menyangka bahwa posisi mereka akan jadi garis depan. Artinya, meski tampak siaga, sebenarnya mereka lengah.” 

“Lengah...”

“Tenang saja. Kalian sudah berhasil menipu pasukan Kekaisaran. Semua akan berjalan dengan baik. Menanglah, dan mari kita kembali ke Gels sebagai pahlawan. Kalian akan menjadi yang paling berjasa.” 

Mendengar itu, sorot mata mereka yang tadi dipenuhi kecemasan kini kembali dipenuhi tekad. Melihat itu, aku memberi isyarat perlahan dengan tangan agar terus maju. 

Dengan membungkuk, kami terus merayap dalam kegelapan. Meski sudah sedekat itu, para penjaga tak juga sadar. Dan akhirnya, mereka baru menyadarinya ketika belati sudah tertancap di leher mereka. 

Penjaga yang setengah tidur tidak bisa dihitung sebagai penjaga. Dipimpin oleh Yordan, para prajurit terus menyingkirkan penjaga satu per satu. 

Tak butuh waktu lama hingga seluruh penjaga berhasil dieliminasi. Saat memeriksa apakah masih ada yang hidup, aku menemukan seorang penjaga yang tewas dengan mata terbuka. 

Aku mendekat perlahan, lalu menutup matanya. Dia pasti punya keluarga. Mungkin dia pun tidak benar-benar memilih untuk berada di bawah Gordon. Prajurit bawahan tidak bisa memilih atasannya. Tapi merekalah yang selalu jadi korban. Itulah mengapa perebutan takhta ini terasa begitu bodoh. Nyawa rakyat yang seharusnya dilindungi malah menjadi ringan karena pertengkaran antar saudara yang tak berarti. 

“Maafkan aku... Suatu hari nanti aku juga akan datang ke sana, jadi silakan kamu marahi aku saat itu.” 

Setelah mengucapkan itu, aku mulai menuangkan minyak ke seluruh alat pengepungan yang ada. Karena membawa minyak ini, kami tidak bisa membawa senjata besar. Tapi justru minyak inilah yang akan menjerumuskan pasukan Kekaisaran ke jurang keputusasaan. 

Setelah semua alat pengepungan terlumuri minyak, aku memberi perintah terakhir pada Yordan. 

“Sekarang kalian mundur. Aku akan menyalakan api, dan gunakan kekacauan itu untuk kabur.” 

“Bagaimana denganmu, ahli siasat?” 

“Aku masih ada urusan setelah menyalakan apinya.” 

“...Apa itu perlu?” 

“Ya, itu perlu.” 

“Begitu ya... Jangan mati, ya? Kamu adalah penyelamat kami. Suatu hari nanti biarkan aku membalas budi ini.” 

“Aku tunggu balasannya. Akan kutunggu dengan senang hati.” 

Setelah mengatakan itu, aku melepas kepergian mereka. Setelah memastikan mereka telah menjauh, aku menyalakan api pada alat pengepungan. Lalu aku mengundang angin, menyulut dan memperbesar kobaran api itu. 

“Baiklah... Saatnya menyelesaikan tugas terakhir.” 

Dengan menatap api yang melahap seluruh alat pengepungan, aku pun meninggalkan tempat itu.


* * *


“Apa yang terjadi!?”

“Saya tidak tahu! Tiba-tiba saja muncul api!”

“Tidak mungkin api muncul begitu saja! Apa yang dilakukan para penjaga!? Kenapa mereka tidak bisa mendeteksi serangan mendadak musuh!?”

“Tidak ada gerakan dari pihak musuh!”

“Apa katamu!?” 

Markas komando musuh sedang berada dalam kekacauan total.

Di sana, aku membentangkan penghalang tidur yang lebih kuat daripada yang kupakai sebelumnya.

Para prajurit yang berada dalam jangkauan penghalang itu pun mulai terlelap satu per satu. 

“A-Apa...!?” 

“Selamat malam, Kolonel Letz.” 

Sambil melangkah perlahan memasuki markas, aku menyapa Letz.

Kalau dia tetap hidup, bisa jadi dia akan memaksakan serangan balik dan memperparah kerugian.

Orang semacam itu tidak boleh dibiarkan hidup. 

“Siapa kamu...!?”

“Grau... Seorang ahli strategi pengembara.”

“Kamu...! Bajingan! Apa yang telah kamu lakukan!?”

“Hanya sedikit menyisipkan sesuatu ke makanan dan minuman.”

“A-Apa...?” 

Letz melirik ke air di meja markas. Itu sepenuhnya bohong, tapi aku mengangkat bahu seakan memberi jawaban yang benar.

Wajah Letz tampak tegang menahan amarah. Lalu aku menarik belati dari sarungnya, mengarahkannya padanya. 

“Tunggu...! Kalau kamu membunuhku... Pangeran Gordon tidak akan tinggal diam...”

“Lalu kenapa?”

Kamu akan menjadi musuh dari calon kaisar selanjutnya...! Sebaiknya kamu bekerja sama dengan Pangeran. Dia pasti akan memanfaatkan kemampuanmu dengan baik...”

“Tapi kabarnya, dia memperlakukan para ahli strategi dengan buruk, bukan?”

“Itu tidak benar...”

“Kamu buruk sekali berbohong. Orang yang suka menipu dan membuang orang lain tak akan pernah menarik banyak pengikut.”

Ucapku, lalu aku menghujamkan belati ke dada Letz. Kata-kata itu sebenarnya juga berlaku untuk diriku. Karena itu, aku tak bisa berdiri di garis depan. Pembohong tidak layak menjadi pemimpin yang baik. 

“Dengan ini, pasukan Kekaisaran tidak punya pilihan selain mundur. Bukankah begitu, ahli strategi setengah elf?”

“Haa... Haa... Kamu benar-benar melakukannya... Grau!”

“Huh... Bukannya aku sudah bilang akan membakar semuanya menjadi abu?”

Sonia masuk ke markas dengan napas terengah-engah. Kecepatan ini tidak normal. Mungkin begitu api menyala, dia langsung menyerah pada alat pengepungan dan segera datang ke sini, karena menduga inilah sasaran sebenarnya. 

Tebakan yang tepat. 

“Kami terus mengawasi. Tapi tetap saja, pasukan penyergap berhasil masuk... Yang berarti sebelum kami mulai memantau...”

Sonia berjalan ke arahku, tapi tubuhnya goyah dan dia bertumpu pada meja.

Penghalang masih aktif. Artinya, begitu dia masuk ke markas, dia juga terkena efek kantuk dari sihir. 

“Benar. Aku sudah mengirim pasukan penyergap sebelum pengawasan dimulai. Bagaimana caraku datang ke sini, itu rahasia.”

“Ugh... Ini... Penghalang?”

“Tentu saja. Sepertinya seorang setengah elf memang tak mudah ditipu.”

Para elf pada dasarnya memang unggul dalam hal sihir.

Sebagai keturunan mereka, Sonia memiliki ketahanan sihir yang tinggi, serta mereka cukup peka dengan sihir. Walaupun aku sudah memasang penghalang serapi mungkin, dia tetap menyadarinya begitu masuk. 

Kalau dia tahu aku bisa menggunakan sihir, pasti takkan gegabah memasuki ruangan ini.

Ini pun termasuk dalam strategi kemenanganku. 

“Sihir sehalus ini, siapa kamu sebenarnya?”

“Siapa aku? Untuk apa kamu tahu?” 

Aku mengacungkan belati yang berlumur darah ke arah Sonia.

Sonia sempat menunjukkan tanda ingin melawan, tapi langsung memalingkan wajah, seolah menyerah. 

“Kalau kamu ingin membunuhku... Silakan saja...”

“Cepat sekali menyerah. Kamu pasti masih bisa melawan, bukan? Minimal bela diri dasar pasti bisa. Sejujurnya, aku ini tidak kuat secara fisik.”

“Hahaha... Lucu. Kamu ingin aku melawanmu... Tapi sudah cukup.”

“Apa maksudmu?”

“Aku gagal melindungi komandan, gagal menaklukkan kota... Aku pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Dan karena kamulah yang membunuhnya, tidak ada lagi orang untuk disalahkan.”

“Aku membunuhnya karena dia terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup. Kamu seharusnya tidak menjadi orang yang bertanggung jawab, bukan?”

“Itu tak penting... Pangeran Gordon adalah orang yang seperti itu. Dibunuh masih lebih baik... Aku tak sanggup jika keluargaku dijadikan sandera...”

Tak ada semangat dalam mata Sonia. Tidak ada energi. Padahal sebelumnya, dia penuh keyakinan. Itu semua telah sirna.

Pasti karena tekanan dan kelelahan yang luar biasa, hidup di tengah musuh dengan sandera yang harus dilindungi. 

“Kalau aku terus hidup... Aku akan membunuh orang lain lagi... Menyakiti keluargaku lagi... Lebih baik aku mati saja...”

“Itu hanya alasan untuk menyerah.”

“Kamu tak tahu apa-apa...!”

“Aku tahu. Kamu dipaksa mengikuti Pangeran Gordon karena sandera, bukan? Lalu kenapa? Menyesali nasib buruk itu mudah.”

“Aku sudah melakukan apa yang bisa kulakukan...! Aku mencoba agar perang tidak semakin parah! Sambil tetap melindungi sandera! Aku sudah melakukannya... Tapi...”

“Jarang sekali rencana pertama langsung berhasil. Itulah kenapa kamu perlu siapkan rencana kedua. Untuk bisa bangkit dan membalas, kamu harus tetap menatap ke depan dan terus berpikir. Seorang ahli strategi adalah orang yang tidak pernah menyerah, yang terus mencoba mengubah keadaan. Jika kamu langsung menunduk dan menyerah karena kegagalan, maka kamu bukanlah ahli strategi.”

“...!!”

Sonia terjatuh terduduk mendengar kata-kataku.

Memang benar dia gagal. Dan ke depannya, hal yang lebih berat pasti menantinya.

Tapi kalau dia langsung menyerah karena satu kegagalan, dia tak akan pernah bisa melawan arus penderitaan. 

Sonia memang cerdas dan penuh ide, dibesarkan oleh ayah angkat yang disebut sebagai ahli strategi jenius. Tapi, dia kurang pengalaman di medan nyata, dan itu adalah bekal terpenting seorang ahli strategi. 

Ahli strategi setengah elf... Sonia Raspade. Aku telah menyelidikimu. Kamu dibesarkan oleh ayah angkat jeniusmu. Dia kini jadi sandera. Aku paham kenapa kamu patuh pada Gordon. Tapi... Jangan remehkan nyawa yang telah diselamatkan! Ayah angkatmu tak membesarkanmu untuk mati begitu saja! Itu bukan nyawa milikmu seorang! Menganggapnya demikian adalah kesombongan luar biasa!” 

Ucapku sambil mengayunkan belati ke arah Sonia. Sonia menutup wajah dengan kedua tangan secara refleks.

Tapi belatiku hanya menancap ke tanah, melewati wajah dan tangannya. 

“Ah...”

“Kalau kamu ingin mati, aku bisa saja membunuhmu. Tapi itu akan membuat ayah angkatmu terlihat terlalu menyedihkan. Kalau masih ada sedikit saja keinginan untuk hidup, maka berjuanglah.”

“Ugh... Omong kosong...! Aku hanya tak ingin ada yang mati! Tak ingin ada yang terluka karena aku! Tetap saja... Aku...!”

Air mata mengalir dari mata Sonia. Seseorang dijadikan sandera, dan dia mendorong dirinya sendiri terlalu keras hanya untuk melindungi sandera itu. Dia terlalu baik. Jika saja dia bisa lebih egois, mungkin semua ini takkan menyakitinya. 

Seorang ahli strategi yang belum pernah turun langsung ke lapangan, meski cerdas, tetap belum matang.

Biasanya, seseorang mendapatkan pengalaman sedikit demi sedikit. Namun, Sonia dilempar langsung ke medan pertempuran, ke situasi di mana satu komando bisa menentukan hidup matinya seseorang.

Dengan satu perintah, dengan jentikan jarinya, bisa menentukan banyak kematian. Bidak yang kamu letakkan di papan berubah menjadi manusia. Kamu tak bisa menjadi ahli strategi kalau kamu tidak bisa melawan rasa takut itu. 

Sonia dipaksa untuk membuat keputusan itu. Semua ini salah Gordon. 

“Aku hanya ingin hidup dengan tenang!”

“Aku mengerti. Aku kasihan padamu.”

“Kalau begitu, tolong aku...”

Aku tak langsung menjawab. Dari kejauhan, kudengar suara peluit memanggilku.

Aku melewati Sonia tanpa berkata apa-apa. 

“Maaf, tapi aku punya janji. Dan sebelum meminta pertolongan, lakukan dulu apa yang kamu bisa. Jangan langsung berharap pada orang lain. Lakukan dulu yang kamu bisa, sekecil apa pun itu. Maka suatu saat, pemandangan yang kamu lihat akan jadi lebih baik.” 

Setelah berkata begitu, aku keluar dari markas. Dari dalam, terdengar suara tangisan keras. 

Mungkin aku telah memperlakukannya dengan kejam. Mungkin aku seharusnya mengulurkan tangan. 

Tapi sekalipun aku menolong Sonia, aku tak bisa menyelamatkan sandera keluarganya. Aku tak tahu di mana mereka. Dan saat aku mencarinya, bisa jadi pedang Gordon sudah lebih dulu menebas mereka. Sonia pasti juga tak menginginkan itu. 

Kalau Sonia ingin menyelamatkan mereka, dia sendiri harus bangkit. Gordon tidak akan langsung membunuhnya. Selama Sonia tak menyerah, kesempatan untuk menyelamatkan akan datang. 

Dengan buah pikiran itu, aku meninggalkan tempat itu dengan teleportasi.

 

Bagian 12

“Cepat ke luar!”

Lars memerintahkan prajurit Narberitter untuk membawa Kruger pergi, lalu memerintahkan semua orang meninggalkan kastil. Alasannya karena suara teriakan aneh terdengar dari dalam bawah tanah kastil. Merasa instingnya mengatakan ini berbahaya, Lars memilih mundur sebelum sempat memeriksa situasi, dan keputusannya ternyata benar. 

“Hei! Suara teriakan itu apa sebenarnya!?”

“I-Itu...”

Lars menanyai peneliti tua yang tangan dan kakinya diikat. Anehnya, sang ilmuwan tampak bangga. 

“Suara itu adalah teriakan mahakarya yang kami ciptakan!”

“Terserah! Jelaskan saja!”

“Aduh, tolong jangan pukul... Kami membuat berbagai ramuan untuk vampirisasi, tapi darah vampir terlalu kuat hingga gagal. Subjek tumbuh besar dan kuat, tapi kehilangan kemampuan komunikasi, kami menyebutnya subjek gagal.”

“Jadi itu yang kalian lakukan...”

Sesosok monster raksasa yang kami temui di jalan tadi. Memikirkan ini, wajah Lars berubah jadi jijik. Pria itu juga menjadi korbannya.

“Jadi? Apa itu teriakan dari evolusi yang tadi?”

“Itu berbeda! Kami menggunakan sesuatu untuk melawan darah vampir saat eksperimen, hasilnya luar biasa!”

“Jadi apa itu?”

“Darah manusia yang dipengaruhi iblis. Kami mencampurkan darah iblis dan vampir!” 

Semua yang mendengar terdiam. Ide itu jelas gila.

Di antara mereka, Leo bertanya pelan.

“Dari mana kalian dapat darah iblis itu?”

“Saya tidak tahu. Tapi hasilnya menakjubkan! Subjek memang jadi tidak bisa bicara, tapi bentuk fisiknya tetap, dan mampu menginfeksi siapa pun yang digigit!” 

Leo menoleh dari peneliti tua itu.

Vampir memang suka darah, tapi kemampuan membuat yang tergigit berubah jadi vampir adalah mitos untuk menakuti anak-anak. Dia tidak menyangka bahwa itu menjadi nyata. 

Leo menutup matanya, tidak bisa mencerna semua ini. Semakin dia memikirkannya, semakin membuat kepala Leo berdenyut. 

“Mereka kami sebut fiend! Jika fiend ini menyusup ke wilayah musuh, infeksi akan meledak dan seluruh wilayah bisa dikuasai!”

“...Duke Kruger. Siapa yang meminum itu?”

Leo menatap Kruger yang dibawa. Meski kekalahannya jelas, Kruger tampak tenang penuh misteri. 

“Kamu sudah tahu, bukan? Tentu saja kepada para bangsawan selatan! Juga kepada para sandera!”

“...Kamu telah menyalahi tolok ukur kemanusiaan.”

“Hahaha, itu hanya pembelaan diri! Jika fiend itu tidak dibasmi, malapetaka akan meluas ke Kekaisaran! Tapi kalau dibasmi, para bangsawan selatan akan menaruh dendam! Mereka akan jadi ancaman di masa depan, dan Kekaisaran akan hancur karena dendam itu!” 

Kruger tertawa keras. Leo menutup wajahnya dan turun ke tangga kastil. Di depan pintu utama, para kesatria mencoba menahan beberapa subjek gagal yang menolak keluar.

“Semua mundur ke pintu utama! Kolonel, tutup semua jalur dari kastil ke kota!”

“Yang Mulia, Anda harus duluan!”

“Tidak... Kita tak punya waktu.” 

Langkah massal terdengar dari lantai dasar. Terguncang oleh getaran, Leo mendesak Lars.

“Cepat!”

“Dimengerti! Tutup kastilnya!”

Lars memberi perintah, menutup empat gerbang yang menghubungkan kastil dan kota, sementara Leo menetapkan pertahanan di pintu utama. 

“Sia-sia! Semua gerbang bawah tanah sudah dibuka! Banyak monster akan keluar!”

“Diam! Mereka hanya mendekat ke manusia yang bergerak! Kolonel! Jangan biarkan satu pun lolos ke sekitar pintu utama!”

“Dimengerti!” 

Ratusan prajurit Narberitter dan kesatria berkumpul di depan.

“Apakah Nona Fine telah lolos?”

“Jika mereka melompat dari gerbang, mungkin. Tapi mereka tidak akan menunggu semua orang.”

“Mereka yang ingin selamat boleh lari. Tapi kita butuh mereka yang bertahan. Selagi kita di sini, musuh tidak akan sampai ke luar. Fine akan memimpin evakuasi warga.” 

Tidak ada yang memilih kabur. Para kesatria sudah siap mengorbankan nyawa. Mereka bahkan adalah kesatria bangsawan lain yang memilih menebus dosa mereka. Bahkan mereka yang tidak dipilih masih bersama Fine. Sementara itu, fiend tak kunjung keluar, sebaliknya menyerang kesatria Kruger yang tertinggal. 

“Jika kemampuannya seperti itu, semua kesatria yang tersisa di kastil jadi fiend...”

“Duke Kruger, berapa banyak kesatria ada di kastil?”

“Hmph... Sekitar dua ribu.”

“Lima ratus terbunuh, lima ratus berpihak ke sini, jadinya sisa seribu yang jadi fiend. Lalu kemampuan tempurnya?”

“Sedikit meningkat. Darah iblis dan vampir ini mengubahnya...”

“Sedikit peningkatan saja tetap berbahaya.” 

Ini bukan iblis yang merasuki vampir, melainkan darah iblis dan vampir digabung, lalu disuntikkan pada manusia. 

Subjek yang bertahan hidup pun sudah ajaib. Leo membayangkan penolakan dalam dua darah kuat yang bereaksi. 

Dia menatap kastil yang tenang saat seorang pria melangkah keluar. Dia mengenakan pakaian bagus, tampak rapuh seperti sakit, dia sepertinya bangsawan selatan. Namun tatapannya tampak ngeri. Matanya menelungkup putih, hingga membuat bulu kuduk Leo merinding. Namun, fiend itu tidak menyerang Leo dan yang lainnya.

Fiend itu menunggu gerombolan lain keluar, lalu dia memimpin mereka maju. 

“Dia yang jadi pemimpin?”

“B-Belum ada laporan seperti itu!”

Peneliti tua tampak panik. Leo, panik namun tenang, segera menyusun formasi melingkar di depan gerbang utama dengan membelakangi lorong kastil.

Saat para subjek gagal itu datang menerjang, “Tahan di sini!” 

“Yang Mulia! Sebaiknya Anda mundur dulu, setidaknya cuma Yang Mulia yang mundur!” 

“Aku bukan datang untuk mundur!” 

“Tapi! Kita tidak ada cara untuk mengatasi fiend di dalam kastil! Jika kita bentrok langsung, kita juga akan banyak memakan korban!” 

Itu artinya jumlah fiend tak akan berkurang. Dibutuhkan kekuatan tiga kali, atau setidaknya dua kali lipat, untuk memusnahkan mereka. Itulah yang dipikir Lars. Namun pikiran Leo berbeda. 

“Aku punya satu rencana...” 

Kesatria-kesatria di sekelilingnya masih bertarung sengit, tapi sudah terlihat kesulitan. Jika fiend terus menyerbu, korban pasti akan membengkak.

“Menurut tebakanku... Jika darah iblis dan vampir menyatu... Mereka mungkin manusia yang dirasuki iblis.” 

“Benar juga, tapi...” 

“Aku bisa mencoba menggunakan sihir suci untuk memurnikan mereka.” 

Sihir suci untuk membasmi makhluk gelap adalah tingkat tinggi.

 Namun efeknya jelas. 

“Jika seseorang sangat terpengaruh darah iblis, tubuhnya dianggap terkontaminasi... Namun jika darah iblisnya sudah lemah, sihir ini mungkin bisa menyingkirkan darah itu saja, dan menyelamatkan tubuh manusia mereka.” 

“Itu terlalu gegabah! Kita bahkan tak tahu apakah itu bisa dilakukan! Dan seandainya pun berhasil, bagaimana jika hanya darah iblis yang terhapus? Akan lahir banyak makhluk gagal!” 

“Bagaimana menurutmu?” 

Leo menoleh kepada peneliti tua yang berdiri tak jauh darinya. 

Peneliti tua itu tampak enggan menjawab, namun saat Leo meletakkan tangan kanannya pada gagang pedang, dia buru-buru menjawab dengan cepat. 

“S-Saya rasa itu tidak akan terjadi... Karena darah iblis dan darah vampir telah dipadukan, jika darah iblis dihilangkan, mereka seharusnya kembali menjadi manusia... M-Meski begitu, saya pribadi tidak menyarankan untuk mencobanya...” 

“Begitulah katanya.” 

“Tolong jangan bicara seolah itu hal yang sepele... Untuk menyucikan semua fiend di kastil ini, dibutuhkan sihir suci dengan jangkauan luas. Kalau ingatanku benar, satu-satunya yang bisa menggunakan sihir suci tingkat tinggi di sini hanyalah Yang Mulia.” 

“Memang, sejak awal aku berniat melakukannya sendiri.” 

“Itu terlalu sembrono! Sihir suci dengan jangkauan luas hanya bisa digunakan oleh penyihir kelas master! Sudah banyak cerita tentang penyihir yang memaksakan diri di luar kemampuannya dan mati karena kehabisan mana! Aku tidak bisa membiarkan tindakan gegabah seperti itu! Kalau begitu, perintahkan kami saja! Kami pasti bisa memusnahkan mereka!” 

“Menurutku, taruhan ini lebih baik daripada risiko melihat Narberitter berubah menjadi fiend... Jika berhasil, kita bisa menyelamatkan banyak orang. Dan bahkan jika gagal, setidaknya kita bisa melakukan sesuatu terhadap situasi ini.” 

“Kalau gagal, Anda mungkin akan mati! Dan sekalipun tidak mati, Anda akan lumpuh di zona bahaya ini! Mohon pahami betapa pentingnya nyawa Anda! Dengan keberadaan Anda, kami masih bisa menggerakkan para kesatria dan pasukan selatan! Tapi jika Anda tewas di sini, tak akan ada lagi yang mampu mengatasi krisis ini! Apa Anda benar-benar memahaminya?” 

“Aku mengerti maksudmu... Tapi aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan semuanya. Dan jika kita membiarkan satu saja fiend lolos di sini, maka penyebarannya akan menjalar ke seluruh kekaisaran. Bahkan jika aku masih hidup, masalah ini tak akan bisa dihentikan. Kecuali... Sekarang, saat ini juga.” 

Leo sudah sepenuhnya mengabaikan peluang untuk bertahan hidup. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana menghentikan semuanya di sini. Kesadarannya hanya terpusat pada satu hal. Melihat keteguhan itu di mata Leo, Lars menyesali pandangannya yang terlalu naif. 

Dia sempat berpikir bahwa pada akhirnya Leo akan memilih untuk mundur. Namun, di dalam diri Leo, tak ada kata nanti. Yang ada hanyalah lakukan sekarang, atau tidak sama sekali. Melihat tekad itu, Lars menggertakkan giginya dan berseru, “Kalau Anda merasa nyawa Anda dalam bahaya, segera hentikan. Saya akan menyelesaikan semuanya dengan pedang ini!” 

“Terima kasih, Kolonel.” 

“...Yang Mulia mulai mempersiapkan sihir besar! Semua orang fokus pada pertahanan! Jangan biarkan satu goresan pun melukai beliau!” 

Dengan komando Lars, Narberitter dan para kesatria bangkit semangatnya. 

Sambil memandang mereka dengan penuh keyakinan, Leo mulai memusatkan diri untuk mempersiapkan sihir. 

Lars pun menguatkan tekadnya, menggenggam pedang di kedua tangannya. Saat itu, suara seruling menggema. 

Suara itu tak terdengar oleh siapa pun yang ada di sana. Namun, seseorang, entah di mana, benar-benar mendengarnya.

 

Bagian 13

Dengan wujud Grau, Al muncul di langit di atas Wumme, dan melihat situasi di bawahnya dengan kepala sedikit miring. 

“Hm? Apa yang sedang terjadi di sini?” 

Al, yang mengira Fine dalam bahaya, segera mencari keberadaan gadis itu. 

Dia segera menemukannya. Fine berdiri sendiri di atas tembok benteng, memegang seruling di tangannya. 

“Terus terang, aku terkejut. Aku datang dengan niat penuh untuk menyelamatkanmu, tahu.” 

“Tuan Al...” 

Melihat Al dalam wujud Grau, Fine memanggilnya tanpa ragu. Wajahnya tampak seperti hendak menangis. 

“Apa yang terjadi?” 

“Tolong...! Tuan Leo akan mati...!” 

“...Sebas.” 

“Hadir, Tuan.” 

Melihat permohonan tulus dari Fine, Al memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh tentang situasinya. 

Sebaliknya, dia memanggil kepala pelayannya yang kemungkinan besar dapat menjelaskan dengan cepat. 

“Jelaskan.” 

“Baik. Duke Kruger telah mengembangkan ramuan yang menggabungkan darah iblis dan darah vampir. Dengan ramuan itu, setengah dari bangsawan selatan yang dijadikan sandera telah berubah menjadi makhluk yang disebut fiend. Karena fiend tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah korban gigitannya menjadi fiend juga, seribu kesatria yang ada di dalam kastil kini telah berubah menjadi makhluk itu. Saat ini, kastil telah ditutup dan penduduk kota sedang dalam proses evakuasi.” 

“Begitu ya. Lalu, langkah apa yang Leo pilih?” 

“Dia bermaksud menyucikan darah iblis dengan sihir besar, untuk menyelamatkan mereka yang telah menjadi fiend... Namun, sejak tadi sihir besar itu belum bisa dilanjutkan...” 

Fine menjelaskan demikian. Ketika Al memandang Sebas, sang kepala pelayan mengangguk pelan. Al merasa bahwa keputusan itu memang khas Leo. 

Bahkan ketika situasi memungkinkan untuk merasa puas hanya dengan menyelamatkan enam dari sepuluh, Leo selalu mengincar sepuluh. Terutama jika menyangkut nyawa manusia. Dia tak pernah menyerah menyelamatkan satu nyawa pun, selalu berusaha menekan jumlah korban hingga nol. Itulah Leo, pikir Al. Namun. 

“Bodoh... Seharusnya cukup dengan menutup kota dan memerintahkan pasukan perbatasan selatan. Tapi dia tetap memilih untuk menyelamatkan semua orang.” 

“Itu tindakan yang sangat mulia! Tapi... Tuan Leo tak bisa melakukannya seorang diri! Tolong, Tuan Al...” 

“Aku menolak.” 

Satu kata. Ketika Al mengucapkannya, mata Fine terbuka lebar, seolah tak percaya. 

Angin kencang bertiup di atas tembok benteng. Setelah angin itu mereda, Al bergumam pelan. 

“Itu aturan keluarga kami...” 

“Aturan keluarga...?” 

“Lakukan apa yang kamu mau. Tapi tanggung jawabnya ditanggung sendiri. Itu aturan keluarga kami. Leo memiliki pilihan yang lebih baik. Mungkin bukan yang sempurna. Mungkin bukan yang terbaik. Tapi pilihan itu bisa menyelamatkan banyak orang. Jika dia membunuh para bangsawan selatan, mungkin akan muncul kebencian. Jika dia mengorbankan kota ini, mungkin juga akan timbul kebencian. Tapi perang bisa dicegah, dan banyak nyawa bisa diselamatkan. 

“Namun Leo membuang semua itu... Dan memilih menyelamatkan semuanya. Itu tanggung jawab Leo. Ini masalah Leo, dan hanya Leo yang harus menyelesaikannya.” 

“T-Tapi! Selama ini pun...!” 

“Selama ini aku menolongnya sebagai Silver karena lawan yang dia hadapi berada di luar kemampuannya. Vampir, naga, iblis, semuanya bukan manusia, dan butuh kekuatan murni untuk dikalahkan. Tapi sekarang berbeda. Ini adalah situasi yang bisa diatasi jika Leo mau mengorbankan beberapa hal. Kalau para fiend itu memiliki kekuatan luar biasa, mungkin aku akan turun tangan dan memusnahkannya dengan sihir. Tapi kalau hanya selevel itu, Leo masih bisa menutupinya dengan kekuatan pasukan yang dia punya. Jika dia melakukan itu... Mungkin banyak anggota Narberitter akan gugur. Tapi kalau dia memejamkan mata atas itu, maka hasil yang lebih baik bisa diraih. Leo memilih membuang pilihan itu, dan mengejar hasil terbaik, menyelamatkan kawan dan lawan. Dengan kekuatannya sendiri.” 

“Apakah itu... Sesuatu yang salah...? Saat ini, Tuan Leo mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan banyak orang...! Sama seperti yang Anda selalu lakukan!” 

“Itu adalah hal yang wajar, Fine. Jumlah nyawa yang bisa diselamatkan dari tempat aman hanya sedikit. Jika ingin menyelamatkan lebih banyak, kita harus mendekat selangkah demi selangkah ke medan maut. Leo sekarang telah melibatkan para pengikutnya, dan bersama mereka berusaha menyelamatkan banyak nyawa. Karena itu, mempertaruhkan nyawa adalah hal yang wajar.” 

Menyelamatkan seseorang bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi jika itu melibatkan ribuan orang, risikonya pun meningkat drastis. 

Dan karena dia juga mempertaruhkan nyawa bawahannya, Leo wajib mempertaruhkan nyawanya sendiri. Itulah pandangan Al. Jika tak mampu melakukannya, maka seseorang tak layak berdiri di atas orang lain. 

“...Meskipun itu hal yang wajar... Tuan Leo sedang berjuang mati-matian sekarang! Dia butuh bantuan Anda! Tolong...!” 

Fine memohon dengan membungkuk dalam. Itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan. 

Namun kata-kata Al sungguh kejam. 

“Fine... aku tidak bisa menyelamatkan mereka. Dalam sihir kuno tidak ada sihir untuk menyucikan iblis. Sihir suci diciptakan lima ratus tahun lalu, saat Raja Iblis muncul. Jadi wajar jika sihir kuno yang lebih tua tidak memilikinya. Yang bisa kulakukan hanyalah memusnahkan. Kamu ingin aku datang dan berkata ‘Itu mustahil bagimu, hentikan’, lalu mencegah Leo dan membantai orang-orang yang sedang dia coba selamatkan dengan nyawanya sendiri?” 

“Tidak mungkin... Anda pasti bisa menemukan cara...” 

“Aku bukan makhluk serba bisa. Aku tak punya bakat sedikit pun dalam sihir modern. Hasil yang Leo incar, hanya bisa dicapai oleh Leo. Lagipula, meskipun aku bisa melakukan sesuatu, aku tidak akan ikut campur. Jika suatu saat idealisme Leo menyeret para pengikutnya ke dalam penderitaan yang tidak masuk akal, mungkin saat itu aku akan turun tangan. Tapi selama Leo masih berjuang, aku tidak akan turun tangan. Ini adalah masalah dan tanggung jawab Leo seorang.” 

“Tapi... Meskipun begitu...” 

Al memandang Fine dan tersenyum masam. Air mata besar jatuh dari mata Fine. 

Sambil menyeka air mata itu dengan tangan kanannya, Al tertawa kecil. 

“Jangan khawatir. Tak ada yang menyedihkan di sini.” 

“Aku menangis bukan karena sedih... Tapi karena aku tak berdaya...” 

“Kalau begitu tak perlu menangis. Kamu sudah melakukan yang kamu bisa. Aku pun sudah melakukan yang bisa kulakukan. Dan Leo sekarang juga sedang melakukan apa yang bisa dia lakukan. Memang agak memaksakan diri... Tapi lihatlah. Dia itu adikku. Apa pun rintangannya, dia akan melewatinya.” 

Sambil berkata demikian, Al memandangi Leo yang sedang berkonsentrasi pada sihirnya. 

Kemungkinan karena tidak mendapatkan cukup mana, bahkan proses pengucapan mantra pun belum dimulai. Itu adalah gejala klasik dari kekurangan mana. Dalam kondisi seperti itu, biasanya sihir akan segera dihentikan. Karena itu menyangkut hidup dan mati. 

“Memang indah kalau percaya padanya. Tapi tetap saja ini berbahaya.” 

“Kalau dia mati, berarti memang hanya sampai di situ. Tapi... Adikku tidak akan mati.” 

“Tentu sulit bagi Tuan Leonard. Karena orang yang paling dekat dengannya juga yang paling banyak menaruh harapan padanya.” 

“Itu sudah sewajarnya. Aku yang paling tahu seberapa hebat Leo.” 

“Tapi Anda juga tahu kelemahannya, bukan?” 

“Hmph... Benar juga. Kalau begitu, sebagai kakak, aku akan memberi semangat.” 

Setelah berkata demikian, Al menarik napas pelan. Lalu mulai berbicara dengan suara lembut. 

“Leo... Bisa kamu dengar suaraku?”


* * *


“Guh, kuh...”

Leo merasakan kekuatannya mengalir keluar dari seluruh tubuhnya. Dia disiksa oleh sensasi seolah darahnya tengah terkuras, dan mempertahankan kesadarannya semakin sulit. Dengan napas terengah dan keringat mengucur, Leo menundukkan pandangan ke bawah. 

Hanya sedikit, benar-benar hanya sedikit, hatinya mulai goyah. Mungkin ini mustahil. Mungkin dia seharusnya tidak memaksakan diri sejak awal. Kesadarannya yang mulai memudar membuat pikiran-pikiran lemah itu merayap masuk ke dalam benaknya. 

Saat itulah, sebuah suara sampai di telinganya. 

Leo... Bisa kamu dengar suaraku?

“Ka...kak...?” 

Bagi Leo, suara itu terdengar seperti halusinasi. Karena kesadarannya sudah kabur, dia mengira itu hanya suara yang muncul dalam benaknya sendiri. 

Dia menertawakan dirinya dalam hati. Telah membuat keputusan penuh semangat untuk menyelamatkan semuanya, namun tersandung di langkah pertama, dan kini bahkan mendengar halusinasi. 

Namun, suara yang dia anggap halusinasi itu justru menyemangatinya. 

Ada apa? Kenapa kamu menunduk? Apa yang ada di tanah sana?

“Hah... Hah... Pedas sekali, kakak...” 

Aku ini kakakmu, tentu saja. Kamu pasti sudah memutuskan ini tanpa mendengarkan siapa pun di sekitarmu, bukan? Tak peduli berapa banyak kata-kata mereka, kamu tetap berpikir ‘meskipun begitu’, dan membuat keputusan itu. Kamu tidak ingin menyerah pada nyawa, kan? 

“Tak bisa melawanmu, ya... Kakak...” 

Suara itu, suara kakaknya, menembus langsung ke dalam hati Leo seolah membaca pikirannya. Leo hanya bisa tersenyum pahit. Tapi, setidaknya, dia masih punya tenaga untuk tersenyum. Kenapa? Karena dia bisa mendengar suara Al. 

Keputusanmu itu keputusan orang bodoh. Menjalani hidup akan lebih mudah kalau memilih yang stabil. Tak akan pernah ada yang sempurna. Di titik tertentu, kita harus belajar menyerah. 

“Benar juga...” 

Tapi, kamu membuat keputusan itu dengan sadar, bukan? Maka jangan menyerah sekarang. Meski menyakitkan, meski menyiksa, kamu harus menggertakkan gigi dan bertahan. Kamu sudah menyeret banyak orang ke dalam keinginan egoismu. Kamu tidak punya hak untuk menyerah. 

“...Benar... Tapi... Mana-ku tak cukup...” 

Meski hatinya mulai kembali melihat ke depan, masalahnya tidak berubah. 

Mana-nya tidak cukup, dan sihir tidak dapat terbentuk. Namun suara itu tidak memberinya celah. 

Jangan pakai kata ‘tapi’. Bukan soal bisa atau tidak. Ini soal melakukan. Mana-mu tidak cukup? Sudahkah kamu memeras semuanya dari dalam tubuhmu? Kamu masih bisa bicara, bukan? Kamu masih bisa berpikir, bukan? Kalau begitu, itu belum batasmu. Jangan berhenti di garis yang kamu tentukan sendiri. Kamu, seorang pria, sudah memutuskan untuk menyelamatkan semuanya. Maka, tunjukkan bahwa kamu bisa melampaui batas itu! 

Suara yang tak menerima kelemahan itu terus mendesak Leo. Namun, tiap kali mendengarnya, kekuatan kembali mengalir ke tubuh Leo. Api kembali menyala dalam hatinya. Dia bahkan belum memuntahkan darah. Dia masih bisa berdiri. Masih ada cadangan kekuatan di dalam dirinya. 

Itu semua adalah bentuk kelengahan. Leo menyadarinya kembali, lalu mulai melepaskan seluruh mana dalam tubuhnya, dengan niat mengurasnya sampai habis. 

Akan ada orang yang menyebut keputusanmu hanyalah idealisme. Akan ada yang menertawakanmu dan menyebutnya mimpi indah. Mungkin dari seratus orang, tak satu pun akan memilih jalanmu. Tapi kamu adalah orang yang ke seratus satu. Keajaiban hanya menghampiri orang-orang seperti itu. Buktikan kepada semua yang menolak dan menertawakanmu dengan hasilnya! 

“Ya... Akan kulakukan... Aku akan menyelamatkan mereka semua... Aku sudah memutuskan untuk melakukannya...”

Bagus! Sekarang, angkat kepalamu. Orang-orang yang ingin kamu selamatkan, dan mereka yang menantikan uluran tanganmu, tidak ada di bawah kakimu.



Leo perlahan mengangkat wajahnya dan memandang ke depan. Di dekatnya, para anggota Narberitter dan para kesatria tengah bertempur melawan subjek gagal. Dan di kejauhan, di dalam kastil, para fiend yang mengincarnya tengah menanti. Mata mereka memutih, gerak mereka limbung dan tak terkendali, terlihat sangat tidak wajar, seolah tak ada lagi yang bisa diselamatkan dari mereka. 

Namun tetap saja, Leo berpikir. Jika seseorang menyerah hanya karena tak ada yang bisa diselamatkan, dan tak berusaha menyelamatkan siapa pun, maka memang tak akan ada yang bisa diselamatkan. 

Karena tak punya kekuatan. Karena terlalu lemah. Itu tidak bisa jadi alasan. Dia harus tetap menghadapi semuanya. Karena alasan dia datang ke tempat ini, pada akhirnya, semua itu berakar pada keinginan untuk menghadapi kenyataan itu. 

Dia ingin menyelamatkan mereka, maka dia akan menyelamatkannya. Meskipun ada yang berkata bahwa mereka tak bisa diselamatkan, dia ingin menjadi seseorang yang bisa berkata sebaliknya. Dia telah mengejar hal itu sejak lama. Kini saatnya nilai sejati Leo dipertaruhkan. 

“Aku... Aku datang ke sini untuk menyelamatkan orang-orang... Aku datang untuk menghentikan perang... Dan untuk menyelamatkan semuanya...!” 

Sosok fiend justru memberinya kekuatan. Dia membakar semangatnya sendiri dengan tekad untuk menyelamatkan mereka. Tubuhnya yang sudah terlalu dipaksa mulai memberontak, darah terasa naik sampai ke tenggorokan. Tapi Leo menelannya kembali. 

Dia tidak boleh memperlihatkan sisi lemahnya. Dia harus bersikeras, menjaga penampilannya, dan tetap terlihat kuat. 

Menjadi seorang kaisar berarti terus-menerus melakukan itu. Jika sekarang saja dia tak bisa melakukannya, maka tak mungkin dia bisa melakukannya di masa depan. 

“Aku akan menjadi kaisar yang bisa menyelamatkan rakyatnya...! Siapa pun yang tumbang di jalan, akan kuangkat kembali! Sekalipun ada yang bilang itu mustahil... Karena seorang kaisar tak bisa menjadi kaisar tanpa mengejar idealnya!” 

Ya... Kamu pasti bisa. Kamu adalah adikku yang paling kubanggakan. Jangan khawatirkan apa pun yang terjadi setelah ini. Fokus saja pada apa yang ada di depan matamu. Jika kamu sudah mengerahkan segalanya sampai habis, maka aku akan membereskan sisanya, karena aku ini kakakmu.

“Ya...”

Pada saat itu, Leo merasa seolah ada seseorang yang mendorong punggungnya dari belakang. Dengan dorongan semangat itu, Leo segera menyatukan kedua tangannya. 

Dia menggertakkan giginya, lalu mengalirkan seluruh sisa mana yang dimilikinya ke dalam sihir. 

Dan perlahan, cahaya keemasan mulai memenuhi sekeliling Leo. 

“Cahaya penyelamatan turun dari langit...” 

Mantra mulai dilantunkan. 

Melihat sosok Leo seperti itu, Al tersenyum puas. 

“Tuh, kan. Tak perlu khawatir, bukan?” 

“Satu-satunya yang tidak khawatir hanya Anda, Tuan Arnold.” 

Fine menutupi wajahnya dengan kedua tangan, akhirnya merasa lega. 

Sementara itu, Al mengelus kepala Fine dengan lembut, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling secara perlahan. 

“Ada beberapa tikus di sini.” 

“Mungkin dari kelompok penculik manusia.” 

“Kelihatannya mereka berniat mengganggu Leo.” 

Sambil berkata demikian, Al menyeringai. Dia telah berkata untuk tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. 

Fokuslah pada hal yang ada di depan mata, untuk menjaga agar janji itu tetap ditepati, Al mulai bergerak. 

“Fine aku serahkan padamu, Sebas.” 

“Siap.” 

“Tuan Al!” 

“Tunggu sebentar. Aku akan selesaikan ini secepatnya.” 

Setelah mengucapkan itu, Al berpindah tempat dengan sihir teleportasi, demi melindungi sang adik.

 

Bagian 14

Sejak kapan ya? Sejak kapan aku mulai menyadari peranku sebagai seorang kakak? Ibu selalu memperlakukan aku dan Leo dengan setara. Tak sekalipun dia menganggapku sebagai kakak. Aku tidak dibesarkan sebagai seorang kakak. Namun entah sejak kapan, semuanya berubah. Aku mulai bersikap seperti seorang kakak. Kapan tepatnya itu dimulai? Sambil berpikir demikian, aku telah menyelesaikan teleportasiku. 

Di atas salah satu menara tinggi yang berdiri di kota, seorang penyihir tengah membidik Leo. 

Karena itu, tanpa ragu, aku menembus dadanya. Tak ada teknik di baliknya. Hanya sebuah tusukan kasar yang mengandalkan kekuatan sihir. 

Namun, itu sudah cukup. Dengan cara seperti itu, keberadaanku sulit disadari. 

“Ka... Hah...?” 

Penyihir itu terkejut oleh kehadiranku yang tiba-tiba, dan sebelum sempat memahami apa pun, dia menghembuskan napas terakhir. 

Bersamaan dengan itu, aku kembali berteleportasi ke tempat penyihir lainnya. 

“Apa...” 

Mungkin dia tidak pernah menyangka seseorang bisa tiba dengan teleportasi. Tanpa sempat memberikan perlawanan, penyihir itu pun kutusuk dadanya. Penyihir-penyihir lain yang juga tengah membidik Leo dari tempat lain mulai menyadari keanehan ini. Namun gerakanku dengan teleportasi lebih cepat dari respons mereka. 

Aku berpindah dan menusuk dada mereka. Melakukan itu dengan kecepatan tinggi dan berulang-ulang. 

Dalam perpindahan dari satu menara ke menara lainnya, aku tiba-tiba teringat sesuatu. Pernah sekali, aku melihat sosok kakak ideal. 

Orang itu selalu datang menjengukku setiap hari saat aku dipenjara. Tak peduli sesibuk apa pun, dia tetap datang dan menjadi lawan bicaraku. Hanya itu yang dia lakukan. Dia tidak pernah berkata akan membebaskanku. Dia juga tidak membawa apa pun. Karena dia tahu aku tidak menginginkannya. Dia hanya berbicara agar aku tidak merasa kesepian. 

Dan ketika aku akhirnya dibebaskan dari penjara, dia mengelus kepalaku dengan lembut. 

“Sampai di sini pun sudah cukup,” ujarnya. Kata-kata itu membuatku ingin menjadi seperti dia. Kakak yang bisa menerima kegilaan adiknya. Kakak yang bisa menutupi kekurangannya. 

Ya, seperti Leo yang mengagumi seseorang, aku juga punya sosok yang kukagumi. Kakak tertua kami, sang putra mahkota. Aku ingin menjadi kakak seperti dia. 

“Karena kami saudara... Wajar kalau sosok yang kami tuju sama.” 

Sambil bergumam, aku kembali menusuk dada seorang penyihir. 

Darah memercik. Tapi aku tidak merasa kasihan. Mereka ini bukan prajurit yang terjebak dalam perebutan takhta. 

Mereka adalah orang-orang yang dengan sadar memilih untuk berbuat kejahatan, dan kini ingin menambah penderitaan dengan tangan mereka sendiri. 

Mereka seharusnya diadili di bawah hukum, tapi ujung-ujungnya mereka akan dijatuhi hukuman mati. Maka tidak ada salahnya jika aku menghabisi mereka di sini. 

“Hiiiii...!” 

Tersisa dua orang. Salah satunya menjerit ketakutan. Namun aku tidak ragu. Aku menembus dadanya dan langsung berteleportasi. 

Yang terakhir, menyadari seranganku tak terhindarkan, menyerah untuk membalas dan malah mengarahkan kedua tangannya ke arah Leo. Leo yang tengah berkonsentrasi penuh takkan bisa menghindar, dan Narberitter juga sedang terfokus ke depan. Kemungkinan besar, serangan itu tak bisa dicegah. 

Maka aku mencengkeram lengannya dan mematahkannya di tempat. 

“Gyaaaaaa!!!!” 

“Adikku sedang berusaha sekuat tenaga sekarang. Jangan ganggu dia, ya?” 

“A-A-Adikmu...?” 

“Benar-benar merepotkan. Menegur kebodohannya, dan memastikan dia tak gagal... Melakukan keduanya sekaligus, itulah susahnya jadi kakak.” 

“Tak mungkin... Kamu pasti A-Al... Gh...!” 

Dia tak sempat melanjutkan kata-katanya. Aku telah menusuk dadanya. Setelah itu, aku mengawasi tubuh penyihir itu yang roboh seperti boneka tanpa tali, lalu berdiri di tempat itu. Mantra Leo masih terus berlangsung dengan lancar. 

“Demi membawa keselamatan bagi umat manusia, sinar ini adalah belas kasih para dewa, emas yang memancar adalah mukjizat surgawi. Wahai makhluk kegelapan, bertobatlah...”

Mantra itu masih berlanjut. Sebuah sihir dengan tujuh bait, yang disebut sebagai tingkat tertinggi dalam sihir modern. Dilihat dari tingkat kesulitan sihir suci, bahkan lebih tinggi daripada sihir kuno biasa. Sudah pasti, ini adalah sihir suci kelas atas.

Sihir suci yang dikembangkan untuk melawan iblis. Sihir ini tidak memberi ampun pada kekotoran makhluk jahat dan merupakan senjata umat manusia. 

Kenapa Leo bisa menggunakan sihir seperti itu? Kemungkinan besar, dia mempelajarinya setelah insiden di wilayah selatan. Karena pada saat itu, dia sangat berharap bisa menggunakan sihir ini. 

Dia tidak puas dengan hasil apa pun saat itu. Keinginan kuat itulah yang memaksanya untuk mempelajari sihir ini. Tapi, langsung menggunakannya di medan tempur meski baru mempelajarinya, jelas terlalu memaksakan diri. 

Mantranya bahkan hampir terputus. Mungkin organ dalamnya mulai terbebani dan darahnya naik hingga ke tenggorokan. Dia menelannya dengan susah payah, lalu tetap berusaha melanjutkan mantranya. 

Karena itu, aku memutuskan untuk sedikit saja menciptakan lingkungan yang lebih mudah baginya. 

“Wahai Dewa Waktu, aku adalah mereka yang menentang takdirmu. Arus waktu yang Engkau tetapkan tak tergoyahkan. Waktu terus mengalir, tak henti, tak bisa dihalangi. Arus agung waktu terus berlangsung tanpa akhir. Namun aku memberontak melawan aliran itu, dan mencuri secuil masa depan... Deja Vu Clock.” 

Sihir kuno yang memanipulasi waktu umumnya sulit digunakan. Bahkan hampir tak bisa digunakan untuk diri sendiri. Dan jika ditujukan ke orang lain, efeknya pun terbatas. 

Padahal sihir ini menyerap banyak mana, menjadikannya tidak praktis. Namun di antara semua itu, sihir ini masih tergolong cukup berguna. Sihir ini menunjukkan sedikit kemungkinan masa depan kepada orang lain dan memunculkan sensasi deja vu. 

Ini bukan menunjukkan masa depan yang sudah pasti. Hanya memperlihatkan beberapa kemungkinan kecil dari waktu yang sangat dekat ke depan. 

Karena hanya sedetik atau dua detik ke depan, maka cakupan penggunaannya sangat terbatas. 

Namun dalam pertempuran, itu sudah sangat berguna. Deja vu memberi tahu bahwa tindakan tertentu bisa berbahaya. Itu saja sudah cukup untuk menyelamatkan nyawa, untuk membuat seseorang menjadi pahlawan. Seorang prajurit muda melompat ke arah monster raksasa. Tindakan itu berisiko tinggi. Tapi mungkin, baginya itu tidak berbahaya. Entah kemungkinan seperti apa yang dia lihat, tapi dia yakin itulah pilihan terbaik, dan langsung bertindak. 

Dan prajurit itu menancapkan pedangnya ke leher monster raksasa itu, lalu ikut terjatuh bersamanya. 

Dari balik debu dan pasir, dia muncul kembali sambil terguling. 

“Sepertinya dia menepati janjinya. Letnan Lerner.” 

Prajurit muda Letnan Lerner meraih prestasi gemilang. Dia pun meraih pedang lain dan kembali berdiri. Semua orang bertempur demi Leo. Meski tampak seperti tindakan bodoh, mereka tetap mengikutinya. Pasti bukan karena Leo adalah seorang pangeran. 

“Mungkin karena dia adalah orang bodoh yang pantas didukung...”

Ada sebuah kata: naif. Itu cocok dengan Leo. Terlalu jujur, bahkan ketika menyerah adalah pilihan yang lebih cerdas, dia tetap tak bisa mundur. Dan justru karena ketulusan itulah orang-orang berkumpul di sekitarnya. Mungkin karena aku tidak memiliki ketulusan yang sama seperti itu.

Manusia selalu mengagumi apa yang tidak dimilikinya. Mampu melakukan sesuatu yang berbeda dari orang lain juga merupakan kualitas penting seorang penguasa. 

Tugas para bawahanlah untuk menghentikan atau menutupi kekurangan itu dengan baik. Dan Leo memiliki kelapangan hati untuk menyimpan bawahan seperti itu di sisinya. Sama seperti Ayah menempatkan Kanselir di sampingnya. Leo juga pasti akan menemukan seseorang seperti itu. 

Ayo, Leo. Semua orang telah membuka jalan untukmu, hantam mereka. 

“Langit takkan meninggalkan orang-orang yang baik. Cahaya emas ini adalah sinar pembasmi kejahatan. Holy Glitter!!!!” 

Sebuah lingkaran emas muncul mengelilingi kastil, dan dari sana cahaya emas mulai memancar. Itu adalah penghalang. Tujuannya agar tak satu pun makhluk bisa melarikan diri dari cahaya pembasmi yang akan datang. 

Sebuah lingkaran sihir rumit muncul di atas kastil, lalu dari sana jatuh pilar cahaya emas raksasa. Pilar itu menyelimuti seluruh kastil dan mulai menyucikan semuanya. 

Cahayanya perlahan mulai memudar. Jika darah iblis telah mengakar terlalu dalam di dalam tubuh mereka, maka tak ada satu pun yang akan selamat. Semuanya akan lenyap bersama cahaya itu. Namun, ketika sinar keemasan itu memudar, puluhan orang tampak tergeletak di tanah. 

Sorak sorai besar pun meledak. Monster raksasa telah dikalahkan oleh Lars dan yang lainnya, dan bahaya telah berlalu. 

Banyak yang memanggil nama Leo. Dia hendak membalas mereka, tapi mungkin dia sudah mencapai batasnya. 

Leo jatuh terhuyung. Namun, tepat sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Letnan Lerner menangkapnya. 

Setelah melihat itu, aku berteleportasi kembali ke tempat Fine berada. 

“Kelihatannya kita berhasil juga.” 

“Terima kasih kerja kerasnya, Tuan.” 

“Tak terlalu melelahkan, kok. Kali ini aku benar-benar hanya bekerja di balik layar.” 

“Uh... Tuan Al... Saya...” 

“Hm?” 

Fine tampak kesulitan untuk mengutarakan sesuatu. 

Lalu tiba-tiba, dia menundukkan kepala dalam-dalam. 

“Maafkan aku! Aku terlalu banyak bicara dan bertindak semaunya!” 

“Kamu tidak salah. Keputusanmu untuk memanggilku, dan semua yang kamu katakan, tak satu pun yang salah. Aku hanya mengedepankan kepercayaanku secara pribadi kepada adikku dibanding keputusan yang seharusnya kulakukan sebagai penilai besar. Jika akhirnya banyak yang jadi korban, aku tak ada bedanya dengan seorang kriminal. Maaf. Kakak beradik ini memang sama-sama bodoh.” 

Saat aku berkata begitu dan tersenyum pahit, Fine buru-buru mengangkat tangannya, tampak panik, tapi tak tahu harus berkata apa. Mulutnya membuka dan menutup beberapa kali. Melihat itu, aku terkekeh dan berkata, “Tapi kali ini aku memilih untuk percaya pada Leo. Aku mempertimbangkan banyak hal dan yakin bahwa Leo bisa menyelamatkan mereka. Dari sudut pandangmu, mungkin keputusanku tampak berbahaya dan membuatmu khawatir. Maaf. Aku selalu merepotkanmu, ya.” 

“T-Tidak sama sekali! Itu bukan masalah! Kalau ada yang merepotkan, itu justru saya... Maaf karena tidak berguna...” 

Melihat Fine menunduk lesu, aku mengalihkan pandangan pada Sebas. Karena aku tak tahu seperti apa peran yang telah dimainkan Fine. Aku sempat mengira dia melakukan kesalahan besar, tapi Sebas menggeleng pelan. 

“Nona Fine sangat luar biasa. Tak ada seorang pun yang akan menyebut beliau tidak berguna.” 

“Kamu dengar itu?” 

“Itu...” 

“Tak masalah, kan? Setiap orang punya peran masing-masing. Tak ada yang bisa melakukan semuanya sendiri. Aku, kamu, bahkan Leo sekalipun. Karena kita tidak bisa segalanya, kita saling melengkapi. Mungkin kamu tak punya kekuatan bertarung, tapi kamu punya kekuatan lain. Kekuatan yang tak aku miliki. Aku selalu mengandalkanmu, kamu tahu itu?” 

“Tuan Al...”

“Jadi, kali ini aku mau minta tolong satu hal. Uruslah adikku yang bodoh itu yang lagi tidur di sana. Dia menyusahkan, hanya kamu yang bisa kupercayakan. Perjalanan belum selesai sampai pulang. Pastikan kamu membawanya kembali ke ibu kota.” 

“Baik! Saya mengerti!” 

Melihat Fine yang kembali bersemangat, aku tersenyum dan membuka gerbang teleportasi. 

Lalu aku menoleh pada Sebas. Tatapan itu sudah cukup untuk menyampaikan bahwa aku menitipkan Fine padanya. Dan si kepala pelayan serba bisa ini tampaknya langsung mengerti segalanya, karena dia membalas dengan anggukan sopan seolah berkata dengan senang hati dan mengantarku pergi. 

Sungguh orang yang tak punya celah. 

Mungkin lain kali aku akan mencari tahu apa kelemahan Sebas. Sambil memikirkan itu, aku pun berteleportasi kembali ke ibu kota kekaisaran.

 

Bagian 15

“Putri Kekaisaran Kedua, Zandra Lakes Ardler. Aku memerintahkanmu menjalani tahanan rumah tanpa batas waktu. Sampai aku memberikan izin, kamu tidak diizinkan keluar dari kamar di istana harem, juga tidak boleh bertemu siapa pun. Tentu saja, kamu pun tidak diizinkan lagi ikut campur dalam perebutan takhta, itu tidak kuizinkan.” 

Kerusuhan di wilayah selatan telah berakhir. Karena Leo, yang bertugas menumpasnya, telah kembali, proses penyelesaian pasca-konflik pun dimulai. 

Dan tentu saja, orang pertama yang menerima hukuman adalah Zandra. 

“Yang Mulia Kaisar... Memang benar saya adalah keponakan Duke Kruger. Tapi sebelum itu, saya adalah anggota keluarga kekaisaran. Saya tidak berniat memberontak terhadap Kekaisaran. Saya memang tidak menyadari rencana licik Duke Kruger, dan saya minta maaf atas kelalaian saya, tapi saya sama sekali tidak bekerja sama dengannya.” 

“Aku akan mempercayai kata-katamu. Tapi hukumannya tidak berubah. Kamu adalah darah daging Duke Kruger, dan selama ini kamu berdiri di bawah perlindungannya. Fakta itu tidak bisa diubah dengan kata-kata. Dengarkan baik-baik... Ini adalah kata-kata seorang ayah. Hentikan ambisimu pada takhta, Zandra.” 

Bagi Zandra, kata-kata itu hampir seperti vonis mati. 

Di hadapan banyak tokoh penting yang hadir, dia diberitahu bahwa dirinya telah tereliminasi dari perebutan takhta. 

Karena dipenuhi rasa hina, wajah Zandra berubah muram. Dia lalu menatap Ayah dengan tajam dan bertanya, “Apakah... Anda membenci Ibu sedemikian rupa?” 

“Keputusan ini tidak dibuat berdasarkan perasaan pribadi.” 

“Tidak, Ayah. Anda dipengaruhi perasaan pribadi. Anda percaya pada desas-desus memalukan bahwa Ibu membunuh Selir Kedua, bukan? Sejak hari itu, saya tahu Anda tidak lagi menganggap saya sebagai putri Anda!” 

Zandra melangkah maju. 

Para kesatria pengawal di sekitar segera menyentuh gagang pedang mereka, tapi Ayah menahan mereka dengan tangannya. 

“Aku tetap menganggapmu sebagai anakku. Kalau aku membencimu, aku akan mengusirmu.” 

“Betapa munafiknya jawaban itu! Saya tidak pernah melihat kemarahan di matamu terhadap Ibu dan diriku menghilang, sekalipun sedetik! Saya sudah berulang kali mengatakan, bukan Ibu yang membunuh Selir Kedua! Kenapa Anda tidak mau mengerti!?” 

“Zandra. Masalah ini tidak ada hubungannya dengan Selir Kedua.” 

“Kalau Anda benar-benar menganggap saya anak Anda, seharusnya Anda mempercayai perkataan saya! Apakah adil jika keponakan ikut menanggung dosa sang paman?” 

“Zandra... Menjatuhkanmu ke dalam tahanan adalah wujud kasih sayangku.” 

“Itu bukan kasih sayang! Aku telah mempertaruhkan segalanya demi menjadi Putri Mahkota!” 

“...Kamu memang bukan sosok yang pantas menjadi Kaisar. Lupakan ambisimu.” 

Ayah menyampaikan kata-kata itu dengan suara yang diliputi kesedihan. Beratnya jauh berbeda dari kata-kata sebelumnya. 

Beliau menatap Zandra lurus dan berkata, “Seseorang yang hanya bisa memikirkan dirinya sendiri takkan pernah bisa menjadi Kaisar. Seorang Kaisar harus mengutamakan negara terlebih dahulu. Setelahnya itu mengutamakan rakyat. Dirinya sendiri adalah urusan terakhir. Kejahatan Duke Kruger telah diketahui rakyat. Dia mengelola organisasi yang menculik anak-anak dari keluarga rakyat biasa. Itulah faktanya. Tapi kamu tidak mampu memahaminya.” 

“Saya paham itu!” 

“Kalau kamu memang paham... Kenapa kamu hanya membicarakan dirimu sendiri? Harga diri negara, perasaan rakyat. Dari sudut pandang mana pun, tak layak bagimu untuk membidik takhta. Kamu adalah keturunan pemberontak, dan punya hubungan dengan penjahat yang menyiksa rakyat. Sekalipun kamu tidak tahu, fakta bahwa kamu pernah bersekutu dengan penjahat tetaplah benar. Rakyat sudah marah. Maka contoh pun harus diberikan. Aku tidak memenggalmu karena aku ini ayahmu. Ketahuilah itu.” 

“A-A-Ayah... S-Saya...” 

“Pergilah. Aku tak ingin mendengar kata-kata dari orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri.” 

Ayah memberi isyarat pada para kesatria pengawal dengan tangannya. 

Dua orang pengawal menggenggam lengan Zandra. 

Melihat itu, Zandra menatap mereka dengan murka. 

“Berani sekali! Apa kalian tahu siapa aku? Aku ini Putri Kekaisaran! Lepaskan aku!” 

“Maafkan kami, Yang Mulia.” 

“Kuh! Dasar...! Aku takkan memaafkan kalian! Lepaskan! Ayah! Ayah! Ayaaaaaah!” 

Zandra diseret keluar dari ruangan. Hukuman yang dijatuhkan jauh lebih ringan dari yang dibayangkan. Hukuman mati pun sempat terpikirkan. Karena itu, keputusan ini terasa ganjil. Apakah Zandra dan sekutunya merancang sesuatu? 

Namun, tindakan seperti apa yang mampu melunakkan keputusan beliau? 

Pikiran itu tak kunjung menemukan jawaban. Dan saat aku merenungkannya, beliau beranjak ke hukuman berikutnya. 

Dengan napas berat, beliau menyandarkan tubuhnya ke kursi. 

Matanya kemudian tertuju pada Gordon. 

“Setelah melihat Zandra... Ada yang ingin kamu sampaikan, Gordon?” 

“Tidak, Yang Mulia.” 

“Hm... Kamu gagal mengendalikan bawahan sendiri, membiarkan utusan kekaisaran dalam bahaya, dan nyaris menyebabkan perang besar dengan wilayah selatan. Dosa ini tidaklah ringan, kamu tahu itu?” 

“Ya. Semua itu adalah akibat kelemahan saya. Saya akan menerima hukuman dengan penuh tanggung jawab.” 

Gordon yang rendah hati adalah pemandangan yang langka. Tapi sejujurnya, itu mungkin karena dia merasa masih aman. Kericuhan di garis depan terjadi karena seorang jenderal terbunuh. Gordon bisa berdalih bahwa dia tak bisa berbuat apa-apa. 

Bersikap patuh sekarang akan mengurangi hukuman. Mungkin itu yang dipikirkan Gordon. 

Nyatanya, masalah tidak membesar. Kalau saja sampai pecah perang dengan wilayah selatan, hukuman terhadap Gordon pun mungkin tak jadi prioritas. 

“Kamu tampaknya menyesal. Tapi tetap saja, hukuman adalah hukuman. Pergilah ke pasukan penjaga perbatasan utara. Jangan kembali selama dua bulan. Pelajari lagi makna menjaga negara dari garis depan.” 

“...Saya mengerti.” 

Gordon menjawab sambil menggertakkan gigi. 

Dulu, ada pembicaraan tentang pengangkatan Gordon sebagai komandan pasukan perbatasan utara. Tapi karena adanya perebutan takhta dan wilayah utara yang dianggap kurang strategis, dia menolak. Meski begitu, alasan sebenarnya sudah jelas. Dia pasti takut dibanding-bandingkan dengan Kakak Lize yang juga menjabat sebagai komandan perbatasan. 

Bagi Gordon, ini adalah penghinaan. Dikirim ke tempat yang dulu dia tolak, tanpa jabatan komandan pula. 

Dia tidak dikirim ke wilayah selatan karena masih dalam masa pemulihan dan sangat berbahaya. Wilayah barat dan timur berada dekat negara besar, dan Gordon sulit ditempatkan di sana. Maka utara adalah pilihan terbaik, dan juga paling menyakitkan. 

“Hukuman selesai. Semua telah bekerja keras. Berkat bantuan kalian semua, kita berhasil menekan dampaknya seminimal mungkin.” 

Beliau berkata demikian, lalu memberikan ucapan terima kasih kepada semua yang hadir. 

Eric, meskipun tidak ada di ruangan ini, kini sedang berada di negeri lain sebagai Menteri Luar Negeri. Tugasnya adalah mencegah negara lain memanfaatkan ketegangan internal ini. Perannya tidak menonjol, tapi sangat penting dan efektif. 

Leo juga mendapat banyak poin, namun Eric pun tidak kalah. Zandra sudah disingkirkan, Gordon bisa disusul dan disalip, tapi bayang-bayang Eric masih jauh. 

“Terutama untuk Eric yang tak hadir di sini, dan kamu Leonard. Kalian bekerja dengan sangat baik.” 

“Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang pangeran.” 

“Jangan merendah. Kudengar kamu menggunakan sihir besar pada akhirnya. Bagaimana keadaanmu?” 

“Tidak ada masalah, Yang Mulia.” 

“Hm... Arnold juga bekerja keras. Bagus.” 

Ayah memandangku. Mungkin karena urusan Narberitter. 

Aku tersenyum kecut, menggaruk kepala, lalu memantapkan hati dan berkata, “Tidak, tindakanku tidak seberapa. Tapi, kali ini semuanya berjalan cukup lancar. Pada akhirnya tidak terjadi perang, bukan? Jadi bisa dibilang semuanya berhasil.” 

Aku berkata demikian seolah tengah terbawa suasana setelah dipuji. 

Para menteri yang berdiri di sekeliling langsung mengerutkan wajah. Mereka tahu pasti bagaimana reaksi Ayah atas ucapan seperti itu. 

Ayah telah menegaskan pentingnya pandangan rakyat saat menghukum Zandra. Dia paham benar bagaimana rakyat melihat peristiwa ini. 

Dan hasilnya sudah bisa ditebak. 

“Tidak terjadi perang, katamu...? Dasar bodoh! Perang telah terjadi! Meskipun dari sudut pandang kita itu hanya bentrokan kecil, satu kota di garis depan telah dilanda pertempuran! Bagi mereka, itu adalah perang besar! Perang telah terjadi!”

“M-Maafkan saya... Itu adalah kesalahan ucap...” 

“Kamu tidak mengerti apa-apa! Tugas kita adalah menjalankan negara agar rakyat tidak perlu mengalami hal seperti itu! Kalau kamu hanya bisa melihat dari atas, kamu tak ada bedanya dengan Zandra! Mau juga dihukum tahanan, hah? Pikir baik-baik!” 

Sambil menerima teguran keras itu, aku menundukkan wajah. 

Ya, jelas saja dia marah. Tapi dengan ini, penilaian baikku karena menyatukan Narberitter sudah hangus. Meskipun memang perlu dilakukan, aku terlalu banyak bertindak terang-terangan. Aku tak ingin terlihat mencurigakan. Lebih baik dikenal sebagai pangeran yang sembrono. 

Meski begitu, harga yang harus dibayar cukup besar. Ceramah Ayah tak kunjung usai. Sambil terus mendengarkan dengan telinga separuh terbuka, aku hanya bisa berharap semuanya cepat selesai.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close