Penerjemah: Randika Rabbani
Proffreader: Randika Rabbani
Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation
Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR
Chapter 4 - Gadis yang Punya Ritme Sendiri
Senin pagi, aku bertemu lagi dengan Yuzuriha di kereta yang sama dalam perjalanan ke kampus. Gaya rambutnya sedikit berubah. Poninya tertata rapi, dan rambut belakangnya yang kemarin terlihat kusam juga sudah ditata dengan indah.
Kacamatanya pun sudah berganti dengan bingkai modis berlensa tipis. Pakaiannya juga serasi, gaun manis dipadu kardigan dengan desain ceria. Secara keseluruhan dia terlihat manis dan cantik. Kesan kusamnya hilang sama sekali.
"Yuzuriha, potong rambut?"
Berbeda dari kemarin, dia sudah menjadi gadis gemerlap yang memberikan kesan ceria.
"Ah, kelihatan ya? Sebenarnya kemarin aku pergi ke Harajuku sama Ayashiro-san! Dia merekomendasikan salon, terus memilihkannya baju yang cocok untukku di toko baju bekas. Ayashiro-san benar-benar orang yang baik dan hebat!"
Dia benar-benar peduli ya.
Bertolak belakang dengan penampilan Jirai-kei nya, gadis itu terus menerus menumpuk poin gap moe.
Gadis yang mengerikan!
"Baguslah kalau begitu! Un. Memang kau jadi benar-benar terlihat ceria. Un un. Tapi hati-hati ya. .….Anak-anak sejurusan pasti akan kalap mencarimu nanti."
Di jurusan ini, semua cowok pasti berpikir tentang anak ini, 『Dia ini heroine tipe gadis sederhana yang kecantikannya hanya aku yang tahu!』. Tapi perkembangan seperti di lihgt novel itu tidak ada lho. Kenyataannya hari Sabtu kemarin dia hampir saja dimangsa oleh cowok sok keren itu. Kenyataan memang sungguh tidak adil.
"Aman kok. Selama aku punya foto ini yang kudapat dari Ayashiro-san!"
Dia memamerkan foto yang diambil di tempat biliar tempo hari padaku. Kalau dilihat secara objektif dalam kea-daan sadar, foto itu hanya terlihat seperti pria berwajah sangar yang dikelilingi wanita.
"Tolong jangan bilang 'kedua'! Kumohon! Bilang saja teman! Tolonglah!"
"Eeh? Gimana ya? Aku jadi bingung? Ufufu."
Yuzuriha yang tersenyum cerah seperti anak usil itu sudah tidak punya aura negatif lagi. Itu adalah senyum yang indah.
Lalu kami pun tiba di Stasiun Komaba Koudai Mae, melewati gerbang tiket, dan keluar stasiun.
Kampus Komaba letaknya persis di depan stasiun, tapi aku malah menyadari keberadaan orang nomor satu dan dua yang paling tidak ingin kutemui di kios lotre depan stasiun.
"Aah~ meleset lagi!"
'Istri'-ku membeli lotre gosok, dan mendapat kupon zonk. Dia memang hobi membeli lotre. Yah, meskipun setelah pacaran denganku beberapa lama, entah kenapa dia berhenti total.
"Ahaha! Ririse memang benar-benar sial soal lotre ya. Lihat ini! Aku dapat dua ribu yen!"
"Eeh curang! Mouu! Hiroto ini selalu aja menang ya! Jangan-jangan kamu menyedot keberuntunganku!?"
"Tidak begitu kok. Makanya hari ini ayo kita pergi ke kantin mahasiswa yang mahal itu pakai uang ini! Kutraktir."
"Waai! Aku memang pengen ke sana. Jadi nggak sabar... Lho eh? Tokiwa-kun? Yahhoo~"
Aku yang sedang diam-diam melewatinya dari samping agar bisa ke kampus, malah ketahuan oleh 'istri'-ku. 'Istri'-ku menyapa dengan riang, tapi teman masa kecil tipe pria selingkuhannya, Hagiri, hanya mengerutkan kening dengan tidak senang. Aku hanya mengangguk, lalu berjalan terus ke kampus bersama Yuzuriha.
"Ah, tunggu sebentar!"
Begitu masuk ke dalam kampus, 'istri'-ku langsung menyusul ke sebelahku. Makanya aku reflek berhenti melangkah. Ah, apa aku yang merupakan ATM berjalan bernama kehidupan pernikahan ini tidak bisa menolak perintah 'istri'-ku?
Kebiasaan yang sudah mendarah daging ini kubenci. Ditambah lagi Hagiri juga ikut sebagai satu paket di belakang 'istri'-ku, jadi rasa benciku bukan hanya berlipat ganda, tapi mungkin jadi kuadrat.
"Apa?"
'Istri'-ku hari ini juga berpakaian ceria. Pakaian gaya 'pure bitch' (terlihat polos tapi menggoda) dengan kemeja rajut berwarna cerah dan rok flare. Payudara besarnya yang berbentuk bagus menyembul dari kemeja rajutnya, daya hancurnya luar biasa. Para perjaka bukan hanya bisa langsung KO, tapi mati seketika.
"Bukan apa, tapi! Kan bisa sapa aku baik-baik! Rasanya sedih tahu kalau dilewati begitu aja!"
'Istri'-ku marah sambil cemberut. Ini wajahnya saat belum marah parah. Tepatnya, ini wajahnya saat aku lupa membuang sampah. Setelah ini yang menyebalkan. Dia akan menyindir terus-menerus. Lagian kemarin-marin aku sudah menolaknya habis-habisan, tapi dia menyapaku lagi.
Ingatannya benar-benar sependek burung. Bagaimana dia bisa masuk universitas kami itu misteri sekali.
"Nee nee, Tokiwa-kun katanya kamu itu pemalu? Tapi entah kenapa kelihatannya selalu bareng gadis cantik ya."
'Istri'-ku menatap Yuzuriha yang ada di sebelahku dengan penuh minat.
"Manis sekali ya! Aku Igarashi Ririse! Satu jurusan Arsitektur sama Tokiwa-kun! Kamu jurusan apa?"
'Istri'-ku memperkenalkan diri pada Yuzuriha dengan senyum lebar dan sok akrab. Dia selalu seenaknya masuk ke ruang pribadi orang lain.
Yuzuriha sedikit terkejut dan bersembunyi di belakangku. Dia mencengkeram ujung jaketku erat-erat. Kaum gelap memang takut pada cahaya kaum populer. Habisnya memang terasa menakutkan. Tapi Yuzuriha berhasil memberanikan diri dan bersuara.
"Aku… Kouyou Yuzuriha dari Fakultas Sains Jurusan Matematika..."
Kemajuan luar biasa! Dia memperkenalkan dirinya! Aku ingin memeluknya dengan erat karena usahanya itu!
"Jurusan Matematika ya. Hebat! Pintar dong! Aku dulu benci banget matematika, jadi aku hormat! Limit itu nggak masuk akal kan! Ahaha!"
Tapi batasnya hanya sampai di situ. Mata Yuzuriha berputar-putar. Mungkin dia tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin karena itu, entah kenapa Yuzuriha mengeluarkan smartphone-nya.
"Aku! Yang kedua!"
Dia memamerkan foto yang tempo hari pada 'istri'-ku. 'Istri'-ku melihat foto itu, melebarkan matanya, lalu memiring-kan kepala. Dan Hagiri tampak terkejut.
"Kedua...? Baseball? Kalau anak ini di posisi kedua, berarti Tokiwa-kun yang foto bareng itu posisi pertama? Pitcher? Catcher?"
'Istri'-ku sepertinya tidak paham arti 'kedua'. Kurasa wajar kalau orang zaman sekarang tidak tahu.
"Arti 'kedua' nanti cari saja di internet... Itu foto kenang-kenangan hari Sabtu kemarin kok. Kami main biliard. Si Ayashiro itu juga ada. Yuzuriha ini teman baruku."
Kenapa aku jadi terdengar seperti mencari alasan begini ya. Padahal seharusnya aku tidak peduli apa pun pikiran 'istri'-ku tentangku.
"Biliard! Waa kayaknya seru! Lain kali kalau main ajak aku juga ya!"
"Kalau ada kesempatan ya."
Dalam tata bahasa introvert, kesempatan itu tidak akan pernah datang. Lagipula kalau 'istri'-ku main biliard, kadang dia sok jago mencoba melakukan hal aneh lalu gagal, dan merobek karpet meja dengan stik, jadi aku tidak mau main bersama dengannya.
"Kutunggu ya! Ufufu."
"Sudahlah Ririse! Sudah kubilang kan! Jangan berhubu-ngan dengannya!"
Hagiri yang sedari tadi diam akhirnya menyela. Dia sedikit menatapku tajam.
"Ternyata kau orang yang cerdik ya. Tidak kusangka kau sudah membangun koneksi dengan Kouyou Yuzuriha dari Jurusan Matematika!"
"Haa? Apa? Koneksi?"
Apa sih maksud orang ini. Aku memiringkan kepala. Yuzuriha juga memiringkan kepala dengan heran.
"Berani-beraninya kau membangun hubungan dengan Kouyou-san, padahal tempo hari kau menghalangi kesempa-tan masa depan Ririse! Apa kau tidak punya malu?"
"Aku tetap tidak paham ucapanmu. Sama sekali tidak paham. Sepaham aku dengan Teorema Terakhir Fermat lah."
Dan sebanyak apa pun keluhanku padanya tidak akan pernah cukup.
"Kanata-san! Teorema Terakhir Fermat itu udah dibukti-kan lho!"
"Eh? Begitu ya? Jurusan Matematika hebat."
Berkat koreksi Yuzuriha, aku jadi sedikit lebih pintar.
"Sepertinya kau pintar sekali menipu Kouyou-san ya. Bagaimana bisa kau akrab dengan orang sambil menyembu-nyikan ambisi rendahmu itu? Kau benar-benar orang yang tidak baik ya."
Hagiri menatapku dengan tatapan menghina. Padahal seharusnya kaulah orang yang pantas dihina.
"Makanya aku bilang aku tidak paham maksudmu?"
Aku pun mulai kesal. Saat itulah. 'Istri'-ku angkat bicara.
"Nee Hiroto. Apa Kouyou-san itu terkenal? Ngomong-ngomong waktu upacara masuk, kamu nunjukin foto Kouyou-san padaku kan. Katamu, kalau ketemu sapa dia."
Hari upacara masuk. Dia ini sudah membentuk kelompok. Kelompok itu masih ada sampai sekarang. Bahkan katanya pengaruhnya semakin besar di antara mahasiswa tahun pertama. Sampai ada orang-orang yang menyindir menyebut-nya 『BEM』 saking berpengaruhnya.
(TL/N : Badan Eksekutif Mahasiswa)
"Un. Kouyou-san itu terkenal di bidang tertentu lho. Pernah dengar mata uang elektronik?"
"Uang apa itu? Uang yang diisi ulang di kartu magnetik langganan transportasi?"
Benar juga, saat itu mata uang elektronik memang belum terkenal di kalangan orang awam ya. Kalau beli dari sekarang, apa bisa jadi kaya raya ya?
"Bukan. Ini sistem mata uang baru yang mengaplikasikan teknologi blockchain tipe P2P."
"Pee-two-pee? Mesin game?"
'Istri'-ku, bahkan saat mata uang elektronik sudah terkenal pun, tidak terlalu menunjukkan minat. Atau lebih tepatnya, anehnya dia tipe yang tidak terlalu terobsesi pada uang itu sendiri.
Sejak awal pacaran pun dia tipe yang selalu patungan dengan cermat. Tipe yang membaginya sampai level satu yen terakhir, jadi malah merepotkan. Dan dia juga tidak pernah minta hadiah mahal. Tapi semua mantan pacarnya berpeng-hasilan lebih tinggi dariku. Sepertinya dia suka pria berpeng-hasilan tinggi.
"Makanya kubilang bukan. Nanti kujelaskan baik-baik! Pokoknya Kouyou-san itu hebat. Untuk mendapatkan mata uang elektronik, mining itu wajib. Tapi itu butuh perhitungan dalam jumlah besar. Biaya listrik komputer itu tidak main-main. Penggunaan listriknya juga memberi dampak buruk pada pemanasan global. Kouyou-san adalah hacker jenius yang mengembangkan algoritma kompresi perhitungan itu sebesar 3% dan merilisnya gratis ke seluruh dunia! Dia orang hebat yang berkontribusi pada dunia!"
Aku juga sangat terkejut, bukan hanya sedikit. Ternyata Yuzuriha adalah orang yang luar biasa.
"Hee, Kouyou-san ternyata pintar komputer ya. Ngomong-ngomong ibuku bilang pajak konsumsi zaman dulu itu 3%! Katanya susah menghitungnya!"
'Istri'-ku sama sekali tidak mendengarkan cerita Hagiri. Bicara hal sulit pada wanita ini memang tidak ada gunanya. Semuanya pasti diabaikan. Padahal dia penyiar wanita, tapi saat nonton program berita atau informasi bersama, dia wanita yang bilang membosankan lalu ganti channel.
Berita yang dia jelaskan sendiri pun besoknya sudah lupa. Bagaimana dia bisa jadi penyiar wanita ya. Apa dunia ini pada akhirnya hanya soal muka?
"Yuzuriha hebat ya. Melakukan hal seperti itu."
"Pria itu... ingin kuhajar rasanya..."
Entah kenapa Yuzuriha bergumam hal yang berbahaya sambil melihat ke arah Hagiri. Dia menunduk dengan mata yang sangat gelap. Wah, masuk mode negatif lagi.
"Kenapa? Yuzuriha, entah kenapa, kelihatannya lemas."
"Aku benci algoritma itu. Lagipula kegunaannya tidak penting. Mata uang elektronik P2P itu pada akhirnya hanyalah sekadar menciptakan ulang sistem mata uang yang sudah ada di dunia nyata ke dalam ruang elektronik kan. Mata uang kan udah ada di mana-mana, jadi repot-repot menciptakan ulang itu bukannya sia-sia?"
"Yah, kalau dibilang begitu mungkin benar juga ya."
Mata uang elektronik, bahkan di masa depan pun pada akhirnya hanya salah satu aset investasi, dan sulit dikatakan sudah menyebar luas sebagai sistem pembayaran. Mungkin akan berbeda jika semakin meluas ke depannya, tapi saat ini hanyalah mainan judi. Toh pada akhirnya semua orang menukarnya ke dollar juga kan.
"Lagipula itu, bukan aku buat karena ingin membuatnya. Dulu di pelajaran studi terpadu SMA ada tugas memikirkan dan menjalankan ide untuk mengatasi pemanasan global sedikit saja. Itu praktik kelompok, tapi.…. aku dipasrahkan begitu aja oleh teman-teman kelompok untuk memikirkan idenya... Aku dengar penambangan mata uang elektronik itu pemborosan listrik, jadi aku buat saja seadanya. Ternyata jadi sedikit terkenal di internet dan dipuji guru sekolah,... lalu aku dibenci oleh anak-anak lain... padahal aku sudah berusaha keras..."
Apa ya, rasanya semua yang dilakukannya jadi serba salah... terlalu kasihan sampai ingin melindunginya.
"Kouyou-san! Jangan berhubungan dengan pria itu!"
Hagiri pun mendekat ke samping Yuzuriha. Yuzuriha terlonjak kaget.
"Orang berbakat luar biasa sepertimu cenderung diman-faatkan oleh orang jahat. Seperti pria itu! Pasti dia mencoba merayumu dengan kata-kata manis untuk menipumu! Andal-kan aku! Akan kuselamatkan kau darinya!"
Kok aku jadi seperti orang jahat ya? Kenapa sih pria ini selalu mengabaikan kesalahannya sendiri dan mencaci makiku?
"Bergabunglah dengan kelompokku! Aku bisa sediakan fasilitas untuk mengembangkan bakatmu! Aku bisa sediakan materi dan uang sebanyak apa pun! Aku juga punya koneksi ke venture capital universitas! Ayo ubah dunia bersamaku dengan bakat itu!"
Entah kenapa dia berbicara penuh semangat. Mata Hagiri berkilauan aneh. Mata seperti presiden direktur perusahaan yang 'kekeluargaan'.
"Ahaha... maaf ya, Hiroto ini kalau sudah bersemangat suka jadi kekanakan begitu. Maafkan dia."
'Istri'-ku menjulurkan lidahnya sedikit, lalu menyatukan kedua tangannya di depanku sebagai permintaan maaf sete-ngah bercanda. 'Istri'-ku sudah masuk mode mengabaikan ucapan Hagiri rupanya.
Kalau gadis-gadis lain di dunia mendengar percakapan tadi, mungkin akan bilang, "Orang ini, mimpinya besar dan hebat!" atau semacamnya. Tapi Yuzuriha sama sekali tidak tertarik ya. Padahal tadi itu ajakan mendirikan venture dengan mengandalkan bakat Yuzuriha lho. Memang benar sih di masa depan pria ini jadi presiden direktur venture meskipun lulusan kedokteran. Ternyata dia sudah aktif bergerak sejak masa ini ya. Ambisinya itu melampaui rasa jijik, malah mungkin muncul rasa kagum.
Yah, tapi kalau kupikir dia berselingkuh dengan 'istri'-ku karena status tinggi dan uang yang didapatnya itu, tetap saja aku hanya bisa marah.
"Ano... maaf. Aku tidak tertarik dengan hal semacam itu."
Yuzuriha berkata dingin setelah mendengar perkataan Hagiri. Tapi Hagiri masih terus membujuk.
"Kouyou-san. Minat itu sesuatu yang datang belakangan lho. Teknologimu bisa mengubah dunia. Kalau begitu banyak orang akan jadi bahagia."
"Haa... Begitu ya... Bahagia ya?"
"Benar. Aku ingin jadi orang yang bisa menyediakan apa yang kurang di dunia ini. Aku ingin menciptakan sesuatu yang bisa melengkapi apa yang kurang di dunia ini dan menyedia-kannya untuk dunia. Aku ingin menciptakan nilai baru di dunia ini, dan menciptakan banyak kebahagiaan."
Dia mengumbar kata-kata manis yang membuat mual dan menyebalkan. Lagian, bukankah dia yang merebut 'istri'-ku, membuatku kekurangan kasih sayang, dan menghan-curkan kebahagiaanku? Ucapan dan perbuatannya benar-benar berbeda.
"Haa.…. tolong sudahi. Aku tidak tertarik. Jadi silakan lakukan dengan orang lain."
Yuzuriha menolak tawaran Hagiri. Perasaan jahat sih, tapi aku merasa senang. Yuzuriha tidak memihak Hagiri. Itu sangat menyenangkan.
"Jangan-jangan kamu sudah dihasut oleh pria itu ya? Atau mungkin sudah dipaksa menandatangani kontrak atau semacamnya? Aku bisa siapkan pengacara."
"...Kontrak tidak diperlukan. Antara aku dan Kanata-san bukan ada kontrak tapi kebaikan. .….Sudah cukup. Sudah cukup. Nilai mimpimu tidak ada hubungannya denganku. Tapi aku mengerti kalau berhubungan denganmu berarti aku akan berpisah dari Kanata-san. Hanya itu yang kupahami. Makanya aku katakan ini."
Yuzuriha pun menarik napasnya dalam-dalam. Lalu dia berteriak keras.
"Tidak mau! Ini bukan urusanku! Aku tidak suka kamu!... Ehem! Kalau kamu terus mengajak dengan memaksa, aku akan menghajarmu. Akan kuhajar sekuat tenaga."
Itu adalah penolakan yang jelas. Sambil menatap lurus ke mata Hagiri, Yuzuriha menolak dengan sorot mata yang kuat. Yah, kalau dilihat baik-baik kakinya gemetar sih, dan tangan yang mencengkeram punggungku juga gemetar.
"Tapi bakatmu..."
Hagiri masih mencoba terus membujuk. Tapi Yuzuriha segera memotongnya dan berkata.
"Kamu hanya melihat bakatku saja. Itu lebih menjijikkan daripada orang yang hanya melihat payudaraku saja. Jangan bicara padaku lagi!"
Lalu Yuzuriha pun langsung bersembunyi di belakangku. Kerja bagus. Mulai dari sini adalah tugasku.
"Sudah paham kan? Tidak semua orang akan mengikuti-mu. Menyerahlah soal Yuzuriha."
Hagiri menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ditolak oleh perempuan seperti ini mungkin baru pertama kali dalam hidupnya. Itu pasti akan menjadi kenangan yang memalukan. Hanya perbuatan perempuanlah yang bisa melukai hati laki-laki secara mendalam.
"...Baiklah. Hari ini cukup sampai di sini. Ririse. Ayo pergi. Berada di dekat orang ini bisa ketularan hal yang tidak baik."
Lalu Hagiri pun membalikkan badan dan pergi menuju gedung kuliah tempat kelasnya mungkin berada.
"Yuzuriha. Kau hebat sekali. Hebat, hebat!"
Aku pun mengelus lembut kepala Yuzuriha.
Yuzuriha juga tersenyum.
"Ehehe. Aku udah berusaha keras!"
Lalu beberapa saat kemudian.
"Kalau begitu gedung kuliahku di sebelah sana! Sampai jumpa!"
"Sampai nanti!"
Aku dan Yuzuriha saling melambai dan berpisah. Lalu aku berjalan sendirian menuju gedung kuliah dengan langkah ringan penuh kepuasan.…. kukira begitu, tapi suara yang kukenal baik terdengar dari sebelahku.
"Kalau begitu, ayo pergi bersama! Mungkin ini pertama kalinya! Pergi ke ruang kuliah bersama teman sejurusan gini! Biasanya aku selalu sama Hiroto sih. Kayaknya seru! Ufufu."
"Ha!? Kenapa kau ada di sini! Bukannya kau pergi sama Hagiri!? Dari alur pembicaraan tadi harusnya kau ikut Hagiri kan!?"
"Eh? Kan aku dan Tokiwa-kun satu jurusan dan kelasnya sama. Hiroto itu di Kedokteran. Dan juga memang kelas kami berbeda kok."
BENAR JUGA!
Apa aku bodoh!? 'Istri'-ku dan aku memang satu jurusan. Apa-apaan ini. Alur yang konyol ini. Saat aku tanpa sengaja melihat ke arah perginya Hagiri, Hagiri sedang berhenti mela-ngkah dan menatap ke sini dengan ekspresi bodoh mulutnya ternganga. Kau juga merasakannya ya, Hagiri. Sama-sama dipermainkan oleh sikap santainya 'istri'-ku...
"Dah, Hiroto! Jangan lupa traktir makan siangnya yaa~! Kalau begitu, ayo pergi, Tokiwa-kun! Ayo cepetan biar dapat tempat duduk yang bagus!"
'Istri'-ku menarik tanganku dan mulai berjalan.
Benar-benar santai. Tapi karena aku melihat wajah kesal Hagiri, kupikir khusus hari ini saja tidak apa-apa terbawa oleh arusnya.
Akhirnya aku terbawa sampai ke ruang kuliah sambil ditarik tangannya oleh 'istri'-ku.
"Boleh lepaskan tanganku sekarang?"
"Eeh? Boleh aja, tapi kamu nggak akan kabur kan?"
'Istri'-ku memiringkan kepalanya dengan manis.
"...Tidak akan kabur kok."
Setelah aku berkata begitu, dia mungkin merasa lega, dia tersenyum lalu melepaskan tanganku.
"Nah, mau duduk di mana ya. Di mana ya yang bagus. Fufufu."
Hanya memilih tempat duduk saja dia terlihat sangat senang. Selalu cuek dan tersenyum. Sisi itu tidak berubah. Yah, tapi mungkin saat awal pacaran dulu tidak begitu ya.
Dia punya atmosfer misterius dan sulit ditebak apa yang dipikirkannya. Tapi saat kusadar dia sudah jadi wanita bodoh yang ceroboh.
"Kenapa kau terlihat sangat senang?" kataku
"Aku, waktu SMA dulu selalu duduk di sisi koridor yang dekat guru, bukan tempat duduk yang menyenangkan! Maka-nya bisa duduk di mana aja sesuka hati gini di universitas itu rasanya menyenangkan."
"Oh begitu. Yah, makanya orang penyendiri jadi makin penyendiri sih. Kalau tidak punya teman terpaksa mengikuti kuliah sendirian terus."
Hal umum di universitas.
Penyendiri cenderung duduk di depan, orang populer cenderung berkelompok duduk di belakang.
"Memang benar sih ya. Tapi kan kita udah berteman, jadi nggak perlu duduk sendirian lagi kan! Syukurlah ya Tokiwa-kun! Kamu bukan penyendiri lagi!"
"Aku sama teman masa kecilmu itu sangat sangat super tidak akrab lho?"
Secara tersirat aku bilang kita bukan teman. Tapi.
"Eh? Apa hubungannya kalau Hiroto dan Tokiwa-kun nggak akur denganku?"
Malah bagaimana bisa dia berpikir tidak ada hubungan-nya itu yang sangat misterius. Sudahlah, berhenti berpikir.
Hanya selama kuliah ini saja aku akan menemani 'istri'-ku, lalu nanti akan kuserahkan dia pada teman-teman sejurusan atau kelompok perempuan. Untuk sementara aku duduk di kursi paling belakang dekat jendela yang kosong. 'Istri'-ku juga duduk di sebelahku dan menatap ke luar jendela dengan ceria.
"Kampus universitas kita ini indah ya…. Banyak pohon jadi kesannya lembut."
"Yah. Tapi luasnya diluar nalar dan pindah-pindah jadi merepotkan."
"Iya kaan~! Apa aku bawa sepeda aja ya? Repot jalan kaki ke lapangan kalau mau latihan klub!"
'Istri'-ku masuk klub pemandu sorak. Katanya sudah sejak SMA. Di SMA dia ikut kejuaraan nasional, dan katanya juga mendukung teman masa kecil tipe pria selingkuhannya yang ikut kejuaraan nasional sepak bola.
Tentu saja aku tidak pernah didukung olehnya dengan pakaian pemandu sorak. Saat seks permainan malam hari aku minta dia memakai baju pemandu sorak, dia menolak dengan wajah datar seperti topeng Noh. Mungkin kenangan masa muda itu penting ya. Aku yang introvert ini kurang paham betapa berharganya kegiatan klub.
"Oh begitu. Klub pemandu sorak memang berat ya."
Jawabanku jadi asal-asalan secara alami. Aku mengenal 'istri'-ku dengan baik.
Tidak ada topik baru yang perlu dibicarakan lagi. Percakapan akan menyusut secara alami. Harusnya begitu.
"Are? Kenapa kamu tahu aku masuk klub pemandu sorak? Padahal aku baru menyerahkan formulirnya hari Jumat?"
Sialan!? Aku keceplosan mengatakan hal yang kuketahui! Gawat, harus mengelak!
"Aa, i-itu..."
"Kalau itu sih semua anak laki-laki tahu! Riri kan super terkenal!"
Terdengar suara perempuan. Saat aku menoleh ke arah suara itu, ada seorang gadis di sana. Dia memakai Jaket varsity, celana pendek jeans. Rambutnya dicepol gaya odango di belakang, gadis yang terlihat ceria. Parasnya tergolong cantik. Dan aku kenal baik wanita ini.
"Yahhoo~ Tomoee! Kenapa kamu ada di sini? Kan beda jurusan."
"Kamu ini linglung ya, Riri. Kelas ini kan mata kuliah umum Fakultas Teknik. Bukan cuma Jurusan Arsitektur aja, kami dari Jurusan Bioteknologi juga ikut!"
Wanita yang dipanggil Tomoe itu duduk di sebelah 'istri'-ku. Lalu dia menatapku dengan tatapan curiga.
"Siapa? Kelihatannya kayak preman yang kelihatannya berbahaya?"
"Mou, bilang preman itu keterlaluan tau! Ini Tokiwa-kun! Teman baruku dari jurusan yang sama!"
Menurutku persahabatan antara pria dan wanita itu tidak mungkin terjalin. Terutama dengan 'istri'-ku, benar-benar mustahil. Sayangnya meskipun sudah mati sekali pun sepertinya tetap mustahil.
"Tapi kelihatannya memang seperti preman sih. Maaf ya Tokiwa-kun! Aku ini suka ceplas-ceplos kalau bicara!"
"Tomoe itu tipe blak-blakan sih ya! Maafin dia ya Tokiwa-kun. Dia ini sahabatku yang berharga!"
Ini jadi agak merepotkan. Tidak kusangka aku harus berinteraksi dengan sahabat 'istri'-ku. Di dunia putaran pertama, aku membenci wanita ini hampir setara dengan si pria selingkuhannya.
"Aku Mashiba Tomoe. Panggil aja Tomoe."
"Salam kenal, Mashiba-san."
Aku benci tipe cewek blak-blakan. Aku benci sikap sok akrab yang mereka paksakan. Makanya aku sama sekali tidak akan memanggilnya dengan nama panggilannya.
"Kenapa? Aah~ jangan-jangan kamu malu ngobrol sama cewek ya? Ahaha. Kelihatannya sangar tapi ada sisi manisnya juga ya."
Bukan, aku hanya benci kau saja. Enak sekali kalau bisa bilang begitu. Alasan membenci tipe blak-blakan itu banyak sekali. Termasuk sikapnya yang suka menggoda orang seperti ini.
"Tapi aneh ya. Mungkin ini pertama kalinya aku lihat Riri ada di sebelah cowok selain Hiro!"
Sebaliknya, aku sudah sering melihat pria selain diriku berada di sebelah 'istri'-ku? Mantan pacarnya bisa membentuk satu tim sepak bola. Dan tentu saja aku cadangan. Si pria selingkuhan pasti kaptennya. Aku benar-benar ingin pindah ke bangku penonton saja rasanya.
"Tapi sebaiknya kamu jangan salah paham ya! Tidak ada pria yang bisa mengalahkan teman masa kecil Riri tahu! Jadi teman mungkin bisa, tapi jadi pacar itu mustahil! Di SMA aku sudah lihat sampai bosan cowok-cowok yang ditolak mentah-mentah dan hancur lebur setelah nembak dia! Ahaha!"
'Istri'-ku yang kukenal, kalau ditembak biasanya akan menerima pacaran dulu. Meskipun dia terkenal hubungannya sama sekali tidak pernah bertahan lama. Semuanya berakhir karena diputuskan sepihak oleh 'istri'-ku.
"Mou! Hentikan dong, Tomoe! Nanti aku kelihatan kayak cewek dingin! Aku kan cuma nggak paham soal cinta, nggak bisa membayangkan pacaran atau apa, makanya kepaksa nolak!"
"Bukan begitu kan. Di hatimu selalu ada Hiro makanya cowok lain tidak bisa masuk. Begitu kan. Cewek itu cuma bisa mencintai satu pria tahu! Apalagi Riri yang cuma setia memikirkan Hiro aja!"
Aku sama sekali tidak sependapat dengan Mashiba.
Jangankan setia, 'istri'-ku sudah berselingkuh. Ditambah lagi, salah satu hal yang bikin kesal soal 'istri'-ku adalah, setelah pulang berhubungan seks dengan si pria selingkuhan, dia biasa saja berhubungan seks denganku juga.
Wanita yang setia tidak akan melakukan hal seperti itu. Bagian itunya benar-benar tidak kumengerti. Dan aku benci tipe cewek blak-blakan. Terutama caranya bicara seolah kata-kata tanpa dasar itu adalah fakta dan kata-kata bijak sambil berlagak seperti 『wanita yang mengerti』. Mashiba sama sekali tidak mengerti soal 'istri'-ku.
"Aku tidak berniat jadi pacar atau suaminya kok. Mashiba-san, yang kau pikirkan itu kekhawatiran yang tidak perlu."
"Tapi kamu berteman dekat dengan Riri, terus kalau beruntung ingin melakukan hal mesum kan!? Yang namanya cari kesempatan itu? Kyahaha!"
"Tidak semua orang otaknya cuma mikirin cinta atau seks terus sepertimu tahu."
"Apa? Maksudmu aku cewek gila cinta? Bikin kesal tahu?"
Dia memang gila cinta kok. Setidaknya di dunia putaran pertama. Wanita ini, setelah perselingkuhan 'istri'-ku terbong-kar, terus menerus berkata padaku, 『Kasihan Riri, jadi perbai-ki hubungan kalian. Sebenarnya kamu cinta dia kan? Bisa memaafkan perempuan itu baru namanya laki-laki sejati!』.
Menurutku orang dewasa menyebut 'gadis kecil' itu memalukan! Ngomong-ngomong, 'istri'-ku menyadari kalau aku benar-benar kesal karena Mashiba terus menerus membuntuti dan mencoba membujukku, akhirnya malah memutuskan hubungan dengan Mashiba.
Ikut campur dan memperumit situasi dengan mengabai-kan orang yang bersangkutan adalah aib dari tipe blak-blakan itu sendiri.
"Tomoe! Hentikan! Kali ini Tomoe yang tidak baik! Tokiwa-kun itu orang baik! Jangan meragukan niat baiknya! Minta maaf!"
'Istri'-ku marah, meskipun nadanya tenang tapi serius. Level kemarahannya ini termasuk cukup tinggi. Tepatnya, sama seriusnya seperti saat Mashiba datang ke kamar tempat kami tinggal bersama sebelum menikah di putaran pertama, lalu mabuk dan keceplosan dengan lancarnya mulai membicarakan mantan-mantan pacar 'istri'-ku, membuat 'istri'-ku marah. Mungkin menyadari hal itu, Mashiba langsung ciut. Tapi dia tidak minta maaf. Karena dia tipe blak-blakan.
"Yah, aku juga tadi terlalu memprovokasi. Tenanglah. Aku tidak peduli kok."
Aku menegur 'istri'-ku yang menatap tajam Mashiba.
"Kalau Tokiwa-kun tidak peduli sih tidak apa-apa..."
Suasana canggung mengalir di antara kami bertiga. Ini kesempatan. Bagaimana kalau aku pergi dengan alasan ini?
"Yah, kalau aku ada, kalian berdua jadi canggung kan. Aku keluar sebentar cari angin, selagi itu kalian berdamai-lah..."
"Tokiwa-kun! Aku hari ini bawa kopi di termos lho, mau minum?"
Ah, rencana kabur 'cari angin'-ku digagalkan secara halus. Dia menarik ujung jaketku erat-erat sambil tersenyum.
Wanita ini, jadi makin pintar!
"Kalau dipikir-pikir, haus tadi hanya perasaanku saja. Haa... Kalian berdua sudah berteman berapa lama?"
Aku tahu berapa lama mereka berteman, tapi sengaja bertanya. Dengan begini aku ingin mengeluarkan topik pembicaraan agar keluar dari suasana canggung ini.
"Dari SMP! Sekolah kami berbeda sih tapi kelas bimbel kami sama, terus sekolah tujuan kami juga sama makanya jadi akrab! Kami lulus ujian masuk SMA yang sama, tiga tahun sekelas terus, sering main bertiga sama Hiroto juga! Ufufu."
Kapan pun di mana pun selalu bersama si pria seling-kuhan itu! Harusnya kelasnya dipisah saja. Benar-benar terasa seperti pasangan takdir ya.
"Benar. Riri, aku, dan Hiro itu sahabat. Tidak ada tempat untuk orang baru masuk ya."
Mashiba dengan bangga memamerkan kekokohan persa-habatan mereka. Tapi setelah Golden Week nanti 'istri'-ku dan si pria selingkuhan itu akan jadi pacaran kan.
Memang tidak ada orang baru yang masuk sih, tapi orang yang sudah ada bisa saja terusir.
"Masa sih? Bukankah lingkaran pertemanan itu pasti meluas ya? Hiroto aja sejak masuk kuliah tiap hari berisik soal koneksi! Koneksi! terus. Ah iya bener juga! Makan siang hari ini Hiroto yang traktir lho, kalian berdua mau ikut? Ayo kita kerubuti uang hadiah menang lotre Hiroto!"
'Istri'-ku memasang tampang bangga seolah baru saja menemukan ide bagus. Tapi kan tadi si pria selingkuhan paling hanya dapat sekitar dua ribu yen. Untuk makan di kantin mahal itu pasti tidak akan cukup.
Lagipula apa dia benar-benar tidak paham, atau pura-pura tidak tahu kalau aku dan Hagiri itu tidak akur.
Seharusnya bagi si pria selingkuhan itu adalah kencan makan siang. Tapi dia seenaknya menghancurkannya dengan mengajak orang lain, bukankah malah 'istri'-ku yang lebih blak-blakan ya?
"Eh.… tadinya kalian berdua saja... mau makan siang berdua?"
Terlihat sedikit mendung di raut wajah Mashiba. 'Istri'-ku sepertinya tidak sadar dan terus bicara.
"Un. Tadi pagi, di kios lotre depan Stasiun, kami tarik lotre, tapi cuma Hiroto yang menang... jahat kan!? Kenapa ya aku selalu tidak pernah dapat? Sedih tau."
"...Are...? Jangan-jangan hari ini kalian berangkat bareng naik kereta?"
"Un. Iya. Rumah kami kan sebelahan. Akhir-akhir ini Hiroto baru beli mobil jadi tadi dia anter aku sampai stasiun lokal! Nyaman bangeeet! Fufufu."
'Istri'-ku bercerita dengan nada biasa saja dan terlihat senang. Mashiba mendengarkannya sambil tersenyum, tapi entah kenapa terlihat kaku dan sedih.
"O-oh begitu ya... A... haha..."
Aku bisa melihat dengan jelas kalau dia terlihat sangat murung. Tapi 'istri'-ku sepertinya sama sekali tidak sadar. Dua sahabatnya pagi-pagi kencan naik mobil ala orang populer. Dan satu sahabat lainnya ditinggal sendirian. Ditinggalkan! Kasihan! Yah, serius kasihan sih.
"Aku tidak ikut. Kalian bertiga saja."
Tentu saja aku sama sekali tidak mau lihat wajahnya si pria selingkuhan jadi tidak mungkin ikut.
"Eeh! Tokiwa-kun nggak ikut! Katanya menu mahal di sana enak lho!"
"Sudah pernah ke sana jadi tidak apa-apa."
Ngomong-ngomong, makanannya memang enak. Lain kali, ajak Yuzuriha ke sana ah.
"Ah begitu ya. Uun. Padahal sudah kuajak ya. Tomoe. Aku batalin deh traktir makan siang dari Hiroto."
Haa? Apa-apaan sih wanita ini? Pikirannya benar-benar tidak terbaca!
"Eh? Riri. Kamu ada janji dengan Hiro kan?"
"Bukan janji yang penting-penting banget kok. Lagipula kau dengar kan tadi kata Tokiwa-kun? Orang yang diajak nggak datang, tapi kalau aku pergi makan siang rasanya seperti anak jahat kan? Seperti mengucilkan teman!"
Aku tidak tahu harus mulai komentar dari mana. Sudah tidak mau mikir apa-apa lagi.
"Tapi kesal juga kalau uangnya jadi uang jajan Hiroto, jadi Tomoe aja yang pergi ya! Nanti ceritain menunya apa aja ya! Ufufu."
"Eh….. u….. un, aku dan Hiro berdua aja ya….. Baiklah. Nanti aku bilang ke Hiro. Tapi Riri gimana makan siangnya?"
Pipi Mashiba terlihat sedikit memerah. Sebaliknya 'istri'-ku tersenyum santai.
"Humm? Nanti aja dipikirin kalau udah waktunya!"
Seenaknya sekali! Rasanya ingin memegangi kepala.
Tapi bel peringatan berbunyi dan dosen pengajar mata kuliah ini masuk ke ruang kuliah. Beginilah pertemuan kami bertiga berakhir dengan canggung dan tidak jelas.
Post a Comment