Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 2
Suara Angin yang Baru
Saat masuk SMP, aku diajak masuk kelas dansa oleh seorang kakak laki-laki aneh.
Kakak itu adalah kenalan dari sensei di kelompok balet, dan sepertinya sensei yang mengkhawatirkan aku yang berhenti baletlah yang berkonsultasi padanya.
Lalu kakak itu bilang, "Mau main ke kelas dansaku?" dan mengundangku, tapi aku langsung menolaknya.
Bukan berarti aku merasa itu campur tangan yang tak perlu... tapi hatiku yang baru saja berhenti dari balet terasa kosong, dan aku tidak punya semangat untuk mengisinya dengan hal baru.
Mungkin itu yang disebut tidak punya motivasi, ya?
Aku merasa seburuk apa pun yang kulakukan saat itu, semuanya akan berakhir setengah-setengah, dan ada semacam kecemasan dan firasat yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Tapi kakak aneh itu sangat gigih.
Berapa kali pun aku menolak, dia tetap mengajakku dengan ngotot, bahkan sampai menyapaku saat perjalanan pulang sekolah, sampai-sampai nyaris disangka orang mencurigakan dan hampir dibawa ke kantor polisi.
Aku sempat bingung kenapa dia begitu mati-matian demi aku, tapi entah kenapa aku merasakan semacam kegigihan yang tak mudah menyerah darinya.
Karena itu, aku akhirnya menyerah, dan dengan janji cuma sekali, aku mengintip kelas dansa itu.
Di sana, anak-anak dari SD hingga SMP sedang latihan dansa. Katanya, itu genre hip-hop. Sebuah dunia yang tidak kukenal, karena aku hanya pernah menekuni balet.
"Hei, Ruto, sini sebentar."
Kakak itu memanggil salah satu anak yang sedang latihan... err, maaf kalau ini terdengar kasar, tapi dia terlihat seperti anak laki-laki yang cocok dengan wajah lelah.
"Ada apa, Sensei?"
"Kenalin, ini Kurosaki Nowa. Dia teman baru kita."
Saat diperkenalkan begitu, secara reflek aku langsung menatap tajam.
Aku sama sekali tidak bilang ingin bergabung ke kelas dansa ini. Tapi alasanku menatapnya tajam bukan cuma karena itu, mungkin juga karena aku merasa risih dengan kata "teman baru".
Buatku, teman adalah semua anggota grup balet yang meninggalkanku. Aku tidak bisa menerima atau merasa ada arti dari mendengar kata itu tiba-tiba diganti dengan sesuatu yang baru. Dan karena kenangan buruk yang kembali muncul, aku merasakan rasa jijik yang kuat terhadap ide untuk membuat teman baru.
Entah itu alasan pastinya atau bukan, tapi—
"Aku Maiori Ruto, salam kenal. Kurosaki-san, kamu—"
Plak. Tanpa sadar aku menepis tangan yang dia ulurkan.
"……"
"……"
Saat aku merasa bingung, semuanya sudah terlambat.
Tindakanku yang dipicu oleh sekejap rasa benci, kini malah membuatku dibanjiri keringat dingin.
Ini lebih dari sekadar tidak sopan. Menepis tangan seseorang di pertemuan pertama dengan cara seenaknya jelas menjadikanku gadis aneh.
Aku benar-benar sudah keterlaluan.
"Eh, oh, ehm, anu? Maaf, ya?"
Anak laki-laki itu tampak gelisah dan kebingungan sambil celingak-celinguk. Ya, tentu saja. Kalau aku di posisinya pun, pasti reaksiku juga begitu.
"Itu, ehmm... Aku balik latihan dulu. Tapi kalau ada apa-apa, bilang saja ya."
Dengan senyum canggung, dia kembali ke tempat latihan.
Aku mengulurkan tangan seolah mengejar punggungnya yang menjauh... tapi sebelum tanganku menyentuhnya, kata-kata yang hendak keluar kutelan kembali.
Tidak masalah kalau kami tidak jadi akrab.
Aku tidak butuh teman. Toh kalau pada akhirnya akan pergi, lebih baik tidak usah membuatnya sejak awal. Aku akan hidup sendirian.
Itu pemikiran anak yang keras kepala. Tapi hati kecilku saat itu tidak bisa melakukan apa pun selain menurut pada pikiran yang keras kepala itu, dan aku membuang muka seakan mencoba terlihat tegar.
Di sana, aku bertemu tatapan si kakak aneh yang terlihat kewalahan—
"Aduh, ini bakal merepotkan ya."
Kakak aneh itu mengangkat bahu dan bergumam hal aneh.
Meski begitu…Semakin waktu berlalu, aku semakin bisa menilai betapa buruknya tindakanku.
Anak laki-laki itu... ehm, namanya Maiori, ya?
Meski aku merasa sudah menyerah pada banyak hal, aku tetap merasa bersalah atas apa yang terjadi dengan anak itu.
Menepis tangan yang diulurkan sebagai ajakan berteman.
Dia merasa apa ya? Mungkin saja itu jadi trauma baginya.
Kalau suatu hari nanti aku bisa bertemu lagi dengannya, aku pasti akan minta maaf. Meski aku setengah yakin tidak akan ada kesempatan itu, aku sudah menegaskan tekad itu dalam hati—
"Kurosaki-san, kemarin kenapa nggak datang latihan?"
Dan kami bertemu lagi secara normal. Ternyata kami satu sekolah. Bisa gitu, ya?
"……"
Hari itu adalah tiga hari setelah aku mampir ke kelas dansa. Saat jam istirahat siang.
Maiori-kun datang dari kelas sebelah dengan membawa kotak makan siangnya, dan datang ke mejaku dengan santai, seolah itu hal biasa.
Nada suaranya saat menyapaku pun seperti teman lama. Padahal aku menepis tangannya saat pertama bertemu, kan…? Sampai aku meragukan ingatanku sendiri karena sikapnya yang akrab.
"Eh, maksudku... aku nggak pernah bilang masuk ke kelas dansa itu, kan?"
"Latihan berikutnya hari Minggu, ya. Kalau nggak tahu jalannya, kita janjian di stasiun aja?"
"Dengerin dulu dong."
Ups, tanpa sadar nadaku jadi kasar.
Sambil aku menutup mulut dan menyesalinya, Maiori-kun malah menarik meja dari dekat dan menyatukannya dengan mejaku.
Lalu tanpa ragu, dia meletakkan kotak makan dan mulai makan.
...Apa, sih, jarak yang aneh ini?
Apa aku kena amnesia, dan tanpa sadar ada event yang bikin kami jadi dekat, gitu?
"Hei, waktu itu aku lihat kamu pemanasan, kamu keliatan lentur banget. Kamu pernah olahraga, ya?"
"...Ya, aku dulu sempat balet."
"Balet, ya! Pantes gerakanmu lincah banget. Itu pose-pose yang pas berhenti gitu... ajarin aku nanti, ya."
"Makanya, aku tuh nggak bilang mau masuk kelas dansa itu."
"Eeeh~"
"Jangan ‘eeh’ dong."
Apa, sih. Beneran, ini apaan.
Aku pikir aku nggak butuh teman. Aku sudah memutuskan untuk hidup sendiri.
Pikiran itu pun tercermin jelas dalam sikapku—kata-kata dan gerak-gerikku semuanya dingin seolah membangun tembok terhadap orang lain.
Nyatanya, sejak masuk SMP, aku belum punya satu pun yang bisa disebut teman.
Karena aku sendiri memang tak berniat menjalin pertemanan. Tak mungkin ada orang yang mau bersusah payah berteman dengan cewek merepotkan sepertiku.
"Ngomong-ngomong soal balet, kemarin ada pertunjukan dari grup balet terkenal New York di Tokyo, kan? Kau nonton nggak, Kurosaki-san?"
Namun begitu, orang ini…Maiori-kun menerobos masuk ke wilayahku, seolah tak peduli pada tembok yang kubangun.
Meski aku bersikap dingin, berkata menyakitkan, dia tetap melibatkanku dalam obrolan dengan wajah ceria.
Apa dia bebal? Atau bodoh? Mungkin dua-duanya. Intinya, dia payah dalam membaca suasana. Sama sekali tak terlihat usaha untuk memahami perasaanku.
"…Hei, Maiori-kun."
"Apa?"
"Kamu pasti nggak laku di kalangan cewek, ya."
"Kenapa tiba-tiba maki aku!?"
Padahal tadinya aku ingin minta maaf atas kelakuan kemarin, tapi malah menambahkan kata-kata kasar.
Maiori-kun pun mulai bergumam membela diri.
"Eh, aku juga punya kok teman cewek dekat… cuma ya, dia sekarang lagi di Amerika…"
—alasan yang jujur aja, nggak jelas.
Karena reaksinya yang payah itu, aku tak tahan dan tertawa kecil.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan agar tak ketahuan tertawa, lalu hanya sedikit mengangkat ujung bibir.
…Astaga. Dalam hati aku mendecak pelan.
Padahal aku pikir aku tak butuh teman. Padahal aku sudah memutuskan untuk hidup sendirian.
Menyebalkan… Tapi benar-benar menyebalkan…
Waktu istirahat siang yang biasanya terasa panjang, hari itu terasa sedikit lebih singkat dari biasanya.
***
Libur Souu.
Itulah nama libur khusus yang diterapkan di sekolah kami.
Tanggal pastinya berubah tiap tahun, tapi intinya, minggu ketiga bulan Oktober libur semua.
Dengan menggabungkan Hari Olahraga, Hari Ulang Tahun Sekolah, pengganti festival budaya, serta hari libur pengaturan jam pelajaran, pihak sekolah berhasil menciptakan libur seminggu penuh.
Fleksibilitas seperti ini memang khas sekolah swasta. Di antara siswa, libur ini populer dengan sebutan "Golden Week musim gugur".
"Kalau aja nggak ada PR, ini pasti jadi minggu terbaik."
"Aku setuju banget."
Sambil saling mengeluh, kami mengerjakan soal-soal di buku panduan pelajaran.
Hari ini adalah Sabtu pagi, tanggal 12 Oktober. Kami sedang menaiki kereta ekspres menuju Kota Sasafu.
Kereta pagi itu sepi, bangkunya kosong di mana-mana—dan suasana itu membuatku merasa seperti sedang liburan.
Aku dan Nowa duduk berhadapan di kursi model saling berhadapan.
Kami memang sudah memesan tempat duduk, tapi melihat banyaknya bangku kosong, rasanya jadi seperti usaha yang sia-sia.
"Hey, Ruto, terjemahan kalimat ini bener nggak sih?"
"Hm, bagian mana?"
"Ini. Aku ngerti artinya satu-satu, tapi kalau disusun langsung hasilnya jadi kalimat aneh."
Nowa menunjuk satu kalimat di buku panduan.
Kukunya bersinar cantik, kelihatan ia memakai sedikit cat kuku. Mungkin karena akan bepergian, dia merasa lebih bebas dan ingin sedikit berdandan. Melihat itu membuatku tersenyum kecil.
"...Kenapa?"
"Bukan apa-apa. Jadi, terjemahan bagian itu tuh—"
Tampaknya tatapanku yang terlalu fokus membuatnya merasa risih. Saat dia menatap heran, aku menggeleng ringan dan langsung menjawab pertanyaannya.
Nowa tidak begitu pandai bahasa Inggris, tapi unggul dalam pelajaran sains dan matematika.
Katanya, dia suka karena jawabannya jelas dan tidak ambigu. Mengingat kepribadiannya yang lugas dan tegas, aku rasa itu memang cocok untuknya.
"—Nah, kira-kira begitulah. Kalimat ini bakal terasa masuk akal kalau kamu anggap objeknya sebagai subjek waktu menerjemah."
"Aku paham. Mungkin mending sekalian aku hapalin aja struktur kalimatnya gitu, ya."
Nowa mencatat catatan kecil di pinggir buku panduan yang diletakkan di pangkuannya. Tapi karena kereta agak berguncang, dia menulisnya agak susah.
Memang bukan tempat belajar ideal, tapi alasan kami tetap memaksakan belajar saat perjalanan ini sangat sederhana.
Minggu libur ini akan kami habiskan hampir sepenuhnya untuk menari.
Jadi sebisa mungkin, kami ingin menyelesaikan PR lebih awal. Cuma itu saja alasannya.
Lalu, saat masih mencatat, Nowa mengangkat wajah dan menatapku.
Tatapannya seakan ingin mengatakan sesuatu. Aku pun menatap balik dengan rasa ingin tahu, lalu dia bertanya pelan.
"Ruto, kenapa sih kamu jago banget bahasa Inggris?"
"Kalau dibilang ‘kenapa’... ya, hmm…"
Aku berpura-pura bingung sambil menggaruk kepala, tapi sebenarnya aku tahu jawabannya.
Janji masa kecil—saat aku bersumpah akan pergi ke New York untuk bertemu dengan Seira.
Sejak hari itu, aku mulai belajar bahasa Inggris.
Aku bahkan ikut les percakapan bahasa Inggris.
Sekarang, kupikir kemampuan bahasaku sudah cukup bagus. Tapi aku tak berniat cerita semuanya pada Nowa.
Gimana ya, rasanya agak malu kalau alasanku belajar bahasa Inggris itu karena ingin ketemu Seira.
Untuk mengalihkan pembicaraan, aku membuka kotak makan dan menggigit sandwich.
Ibu menyiapkannya khusus untuk sarapan—isiannya ayam teriyaki dan kol.
Agak berat untuk sarapan, tapi mengingat kami akan langsung menari sesampainya di sana, makanan yang mengenyangkan seperti ini memang lebih baik.
Kupikir ibu pun menyiapkannya dengan pertimbangan itu. Omong-omong, aku sudah memastikan kursi kereta ini boleh dipakai makan.
"Itu buatan Haruko-san, ya?"
"Iya, kenapa?"
"Boleh minta satu gigitan?"
Nowa menutup mata sejenak dan membuka mulutnya tanpa ragu.
Aku pun menyodorkan sandwich ke arahnya. Sempat terpikir soal bekas gigitan tadi, tapi hubungan kami sudah nggak seformal itu.
Nowa juga tak kelihatan peduli. Ia menggigitnya lebar-lebar sambil berkata "Amu" dengan suara semangat.
"Wah, enak banget! Padahal sausnya banyak, tapi rotinya nggak lembek, dan kolnya masih renyah. Sandwich buatan Haruko-san emang luar biasa."
Waktu masih SMP, Ibu sering datang membawakan masakan rumah untuk kami. Itulah kenapa Nowa tahu rasa masakan Ibu.
Entah karena rasa itu membangkitkan nostalgia atau karena ada kenangan menyenangkan yang melekat padanya, Nowa menerima—atau lebih tepatnya merebut—sandwich dari tanganku, lalu memakannya dengan wajah bahagia.
Aku memang berniat membaginya dengannya sejak awal, jadi aku memindahkan kotak makan ke tempat yang lebih mudah dijangkau di sisi jendela.
"Hmm, mungkin aku harus minta diajarin masak sama Haruko-san lagi. Nanti aku izinkan kamu bantu icip juga, jadi bersyukurlah ya."
"…………Oke."
"Hei, kenapa kamu malah memalingkan muka?"
Ibuku, Maiori Haruko, adalah seorang guru kelas memasak.
Aku tahu Nowa pernah beberapa kali ikut kelas memasaknya saat kami SMP, tapi aku lebih suka tidak mengingat masakan yang pernah ia buat. Sampai-sampai Ibu—yang biasanya akan memuji apa pun asal tidak dibuat main-main dengan bahan makanan—waktu itu sampai memasang wajah kecut.
Nowa sempat heran dengan reaksi samar dariku, tapi tampaknya rasa lapar mengalahkan rasa penasaran. Ia menjilat saus dari ujung jarinya, lalu langsung meraih sandwich kedua.
"Pasti enak banget ya hidup di keluarga Maiori, bisa makan makanan enak setiap hari."
"Nggak selalu bagus juga. Soalnya lidahku jadi terbiasa dengan level masakan kayak gini, jadi masakan biasa aja rasanya kayak hambar. Waktu SD, katanya aku sering ngeluh makanan di kantin nggak enak."
"Dilema anak manja, ya. Kamu udah pernah bilang makasih ke Haruko-san? Kayak, ‘terima kasih selalu masakin makanan enak’ gitu."
"Belum sih. Tapi dalam hati aku selalu mikir begitu."
"Kalau begitu, ucapin aja langsung. Haruko-san pasti senang dengarnya."
Percakapan santai kami terus berlanjut di dalam kereta yang perlahan meninggalkan pusat kota Tokyo.
Rasanya sudah lama tidak merasakan keakraban dari jarak sedekat ini. Aku pun diam-diam mengembangkan senyum kecil di bibirku.
Untung saja soal yang sedang kukerjakan adalah soal matematika. Kalau ini soal bahasa Jepang, mungkin aku akan terlalu sibuk menyembunyikan perasaanku sampai-sampai nggak sempat mikir tentang "apa maksud penulisnya".
***
Begitu turun dari peron stasiun, aku mengeluarkan suara pelan, "Oh," karena udara yang terasa begitu segar.
Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan suasana padat di dalam kota, suasana sepi ini terasa aneh. Peron yang terasa retro ini memberi kesan baru, membuat kakiku berhenti tanpa sadar dan mataku menyapu sekeliling.
"Kayak kota mati ya."
"Eh, kamu… bisa nggak sih… milih kata yang lebih halus dikit?"
Aku hanya bisa menatap Nowa dengan ekspresi keheranan.
Memang sih, suasananya nggak bisa dibilang ramai. Tapi udaranya segar, dan pemandangan dari peron menunjukkan hijauan yang menyejukkan. Itu kan juga hal yang bisa dipuji.
Tapi Nowa tampaknya tidak ambil pusing dengan kritikku dan berjalan cepat ke arah pintu keluar. Rambut poninya bergoyang tertiup angin sejuk yang membawa aroma dedaunan dan tanah.
Kalau aku terus melamun, bisa-bisa ditinggal. Jadi aku menyesuaikan ransel di punggungku dan menyusul ke samping Nowa dengan langkah kecil.
Kami keluar dari gerbang tiket dan tiba di depan stasiun. Meski kota ini tidak bisa dibilang ramai, aku menyadari bahwa di banyak sudut terpampang poster Festival Daun Merah.
"Ada perasaan aneh ya, sedikit."
"Iya."
Kami sama-sama mengekspresikan rasa tidak tenang yang sulit dijelaskan.
Kota yang asing. Udara pagi yang agak dingin. Aku tidak tahu apakah bisa menyampaikan perasaan aneh ini dengan kata-kata, tapi rasanya seperti ketegangan sebelum lomba dimulai.
Gugup? Antusias? Entah kenapa, hati terasa bergetar seperti mau melompat, tapi aku tidak tahu harus menyebutnya apa.
Saat aku meletakkan tangan di dada untuk mencoba merasakan debaran itu—tiba-tiba terdengar bunyi klakson.
Menoleh ke arah suara itu, kulihat sebuah mobil terparkir di jalan depan stasiun. Tempat itu tidak bisa dibilang terminal, tapi cukup terbuka untuk menjadi tempat menunggu.
Seorang wanita yang mengenakan setelan jas hitam muncul dari jendela mobil dan memanggil.
"Maiori, Kurosaki, ke sini."
Suara Yaezakura-sensei menggema di udara pagi yang tenang, membuat kami refleks menegakkan punggung. Setelah menyesuaikan posisi ransel, kami berjalan menuju mobil dan menyapa, "Selamat pagi."
"Sudah lama menunggu?"
"Fufu, tidak juga. Aku baru saja tiba."
"Ngomongnya kayak pacar yang keren ya."
Aku menggoda Yaezakura-sensei yang tersenyum kecut. Mungkin karena aku sudah tahu sisi asli beliau, jadi suasana antara kami terasa agak lebih santai.
Nowa, yang tidak tahu hubungan ini, tampak membelalak heran. Ya, kalau aku belum tahu rahasia sensei waktu itu, aku juga akan menganggap beliau sebagai guru yang tegas dan disiplin. Tapi sekarang, dia lebih mirip… kakak cantik yang sedikit menyedihkan tapi bisa diandalkan.
"Naiklah ke belakang. Aku antar ke penginapan."
Sesuai instruksi, aku dan Nowa pun masuk ke kursi belakang.
Mobil melaju dengan suara mesin yang tenang.
Saat di kereta kami terus mengobrol, tapi Nowa kini duduk dengan wajah tegang, mengepalkan tangannya di pangkuan. Meskipun tidak sampai menciptakan suasana canggung, suasana ini tetap terasa agak sepi. Maka aku pun memutuskan membuka percakapan dengan sensei yang duduk di depan.
"Perjalanan ke penginapan kira-kira berapa lama ya?"
"Kurang dari tiga puluh menit. Letaknya agak naik ke bukit sedikit. Lokasi festival juga ada di dekat situ. Kalau sudah sampai, kalian bisa sekalian mampir lihat-lihat."
Setelah mendengar penjelasan itu, perhatianku tertarik oleh pemandangan di luar jendela yang dipenuhi hijau dedaunan.
Kami bahkan belum terlalu jauh dari stasiun, tapi jalan yang kami lewati sudah dikelilingi pepohonan lebat, seakan menyambut kami memasuki wilayah pegunungan
Daun-daun yang rimbun sudah mulai memerah—sekitar separuh dari semuanya. Berdasarkan info yang kutemukan sebelumnya, saat Festival Daun Merah di akhir pekan nanti, pemandangan ini akan berubah sepenuhnya menjadi warna musim gugur.
Pohon-pohon mapel yang menjulang ke langit biru menyerap cahaya matahari pagi dengan riang, dan warnanya yang mulai berubah pun terasa penuh semangat.
Sambil menikmati pemandangan, aku kembali mengajak sensei bicara.
"Terima kasih sudah mencarikan tempat menginap untuk kami."
"Tidak masalah. Sebagai guru, wajar rasanya ingin memenuhi permintaan murid… maksudku, Aules… Ah, maaf. Di luar sekolah begini, aku bisa sedikit mengabaikan aturan. Jadi Kurosaki juga tak perlu terlalu tegang. Anggap saja aku kakakmu."
"Baik!"
"Fufu, mungkin belum bisa langsung santai, ya. Tapi perlahan kamu akan terbiasa."
"Sensei, aku haus. Bawa teh nggak?"
"Minimal bawa sopan santun, tata krama, empati, dan rasa malu dulu deh."
Tapi… barusan dia hampir memanggilku Aules-sama, kan?
Memang, kami tetap murid dan guru. Tapi karena aku sudah tahu celah-celah aneh dari sensei, aku jadi sulit menahan diri untuk tidak melemparkan candaan ringan.
Saat aku masih belum bisa sepenuhnya memahami jarak yang aneh ini, aku menangkap bayangan mata sensei di cermin spion—meski hanya sekilas, entah kenapa tampak lelah.
…Mungkinkah itu gara-gara kami?
Karena kami tampil di panggung atas nama sekolah, posisi kami dianggap sebagai anggota sementara klub dansa. Dan sensei bertugas sebagai pembina sementara.
Pernah kubaca di berita online bahwa pembinaan klub adalah salah satu penyebab utama kesibukan guru. Faktanya, kali ini pun beliau yang mengurus penginapan, jadi pendamping, dan mengurus banyak dokumen lainnya, jadi kami benar-benar membuat beliau repot. Kalau sensei memang terlihat lelah, mungkin itu alasannya.
"...Sensei, kalau ada yang bisa kami bantu, silahkan bilang saja ya."
Awalnya, semua ini bermula dari skorsingku, dan dari sanalah keterlibatan kami di festival ini dimulai. Kalau karena hal itu sensei jadi harus sibuk, aku merasa bersalah meski statusku sebagai murid. Setidaknya, aku ingin bisa meringankan bebannya. Tapi——
"Hmm? Ah, maaf, aku cuma begadang semalam nonton siaran langsung Aules-sama. Jadi sedikit kurang tidur. Dengarkan ini, kemarin komentarku dibaca langsung oleh Aules-sama!"
"...Be-begitu ya."
Wanita cantik bersetelan jas hitam itu tersenyum penuh kebahagiaan.
Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan membuang-buang energi untuk khawatir pada orang ini. Benar-benar buang emosi. Balikin rasa simpati tadi, dong.
"Eh, apaan? Siaran langsung? Aules-sama? Hah?"
"Mm-mm! Nggak usah dipikirin, Kurosaki, bukan hal besar kok."
"Tapi tadi..."
"Seorang wanita yang baik adalah wanita yang menyimpan rahasia. Jadi jangan terlalu menyelidik, ya? Kakak perempuan misterius seperti aku, tidak suka kalau isi hatinya dibongkar."
Dengan jari manis yang menyentuh lembut ke bibirnya, wanita yang hidupnya bergantung pada donasi ke VTuber favorit itu mengucapkan prinsip tentang "wanita ideal".
Nowa yang seketika kehilangan kata-kata hanya bisa memiringkan kepala sambil berkata, "Haah…" Entah kenapa, aku merasa tinggal tunggu waktu sampai topeng sensei benar-benar lepas.
"Wups."
Tampaknya kami sudah masuk jalur pegunungan, karena jalanan mulai berkelok-kelok.
Pemandangan gunung yang hijau lebat ini jauh dari suasana kota besar yang biasa kami lihat. Agak berlebihan memang, tapi rasanya seperti tersesat ke dunia lain.
Tempat asing. Udara yang tak biasa. Mungkin aku akan merasa gugup jika sendirian. Tapi begitu menoleh, ada Nowa di sisiku.
Kami tidak bergandengan tangan atau bertingkah manis seperti pasangan, tapi kurasa kami sedang berjalan ke arah yang sama. Kalau bersama Nowa, aku yakin kami bisa melangkah ke dunia mana pun.
Dengan harapan kecil itu di dalam hati——mobil yang kami tumpangi pun tiba di penginapan tempat kami akan menginap untuk pelatihan.
***
Penginapan yang terletak di tengah gunung itu adalah bangunan kayu tua yang sudah berumur.
Kabarnya, dulunya bangunan ini adalah balai budaya yang hendak dibongkar, tapi akhirnya dibeli dan direnovasi. Dilihat dari bangunannya, mulai dari satu dinding pun, kita bisa merasakan betapa lamanya sejarah tempat ini.
Kalau boleh jujur, tempat ini… sangat reyot.
Tapi entah kenapa, kerusakan itu justru terasa seperti daya tarik tersendiri. Atap yang ditutupi daun dan dinding yang mulai pudar warnanya seakan menyatu dengan alam sekitar. Nuansa terpencil yang dimilikinya justru membangkitkan rasa semangat yang aneh dalam hati.
"Kalau Seira lihat ini, dia pasti bilang ini kayak dungeon rahasia gitu."
"Ah, bisa kebayang."
Kami melewati area parkir berbatu kerikil dan masuk ke dalam penginapan.
Resepsionisnya sepi, hampir tidak terasa ada orang. Tapi ruangan itu bersih sampai ke sudut-sudutnya, jauh lebih terawat dibandingkan kesan luarnya. Setelah berpikir seperti itu, aku merasa sedikit bersalah. Bagaimanapun, kami akan ditampung di tempat ini. Aku harus menjaga sopan santun.
Yaezakura-sensei menyelesaikan urusan pendaftaran dengan cepat dan menyerahkan kunci kamar padaku.
"Maiori, ini kuncinya. Nanti yakan mengantar kalian adalah nyonya pengelola di sini."
"Hah? Sensei sendiri nggak ikut?"
"Aku ada sedikit urusan. Aku akan pergi dengan mobil. Kalau ada apa-apa, hubungi saja."
Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, sensei melambaikan tangan ringan dan keluar dari penginapan.
Apa ya, urusan penting?
Beliau tampak tergesa-gesa, tapi entah ada sesuatu yang darurat atau tidak. Meski penasaran, aku memutuskan tidak menyelidikinya lebih jauh. Bagaimanapun juga, kami sudah merepotkan sensei sampai di hari libur. Aku tidak ingin ikut campur dalam urusan pribadinya.
"Silakan anak-anak, ikuti saya. Akan saya antar ke kamar."
Nyonya pengelola yang terlihat tenang dan ramah menyambut kami dengan senyum lembut.
Sepanjang koridor panjang dengan pemandangan ke luar, beliau terus mengajak kami ngobrol dengan penuh semangat.
"Kalian dari mana?"
"Tempat ini memang nggak ada apa-apanya, ya?"
"Tapi daun musim gugurnya indah lho, jangan lupa lihat ya~"
"Waktu festival mulai, penginapan ini juga agak ramai sedikit~"
"Katanya kalian mau nari ya?"
"Aku juga akan nonton festivalnya, jadi kutunggu-tunggu lho~"
… dan seterusnya. Rasa-rasanya seperti dihujani pertanyaan dari pasukan pemanah.
Nowa, yang biasanya ceplas-ceplos, kini menyembunyikan diri di belakangku sambil hanya memberikan senyum kaku dan anggukan samar. Sepertinya dia memang kurang pandai menghadapi orang asing. Aku jadi teringat, waktu SMP pun dia sering begini.
Kalau dipikir-pikir, Seira termasuk yang jarang. Mereka bisa ngobrol dengan bebas sejak pertama bertemu. Mungkin memang cocok. Atau mungkin juga karena Seira dulu memakai citra model yang tidak disukai Nowa. Yang jelas, melihat Nowa dan Seira bisa akur dan bersama membuatku bahagia. Aku pun tersenyum geli pada diri sendiri karena ternyata aku sesederhana itu.
"Apa sih, Ruto? Kenapa senyum-senyum kayak orang aneh gitu kamu?"
"...Menurutku sih ini senyum yang hangat dan menyenangkan."
"Hah? Apanya yang menyenangkan?"
"Ya, maksudku, si cewek galak yang biasanya bawel itu sekarang jadi kikuk. Jarang banget lihat kamu begini."
"C-cerewet!"
Sepertinya kata-kataku barusan cukup menusuk Nowa. Dengan wajah memerah, dia langsung mencubit pinggangku erat—dan tentu saja, itu sakit.
Aku sempat ingin bilang "gemes banget sih kamu kalau lagi malu", tapi kupikir pinggangku bisa jadi korban lebih lanjut, jadi kuucapkan itu cukup dalam hati saja.
"Ya, ini kamar kalian ya. Silahkan istirahat yang nyaman."
Kamar penginapan yang ditunjukkan oleh nyonya pengelola adalah kamar bergaya Jepang.
Aroma tatami yang menusuk hidung terasa nyaman. Ada meja kayu besar dengan empat kursi lantai di sekelilingnya. Di dekat dinding terdapat televisi, kulkas, dan brankas kecil seperti yang biasa ada di kamar penginapan.
Setelah mengangguk sopan pada nyonya pengelola yang berkata, "Kalau ada apa-apa, panggil saja ya~", kami pun masuk ke kamar.
Nowa menjatuhkan barang bawaannya dengan suara brakk dan menghembuskan napas panjang, seolah ingin meluapkan kelelahan karena perjalanan. Lalu, dengan wajah ceria, dia mulai mengecek keadaan kamar.
"Kamarnya bagus juga ya. Aku suka suasana tradisional Jepang begini."
"Iya. Luas, dan pemandangan dari jendela juga indah... bisa-bisanya kita berdua dapet kamar kayak gini, mewah juga."
"Benar juga. Bahkan setelah membentangkan dua futon pun masih cukup lu——"
Lalu.
Seolah baru menyadari sesuatu dari ucapannya sendiri, Nowa berkedip beberapa kali dan menatap ke arahku. Hm, kenapa?
Tatapan kosong seakan emosinya hilang... karena suasana kamar ini juga, aku jadi merasa seperti sedang ditatap boneka Jepang. Sedikit menyeramkan.
"Tempat ini kamar penginapan, kan? Maksudnya tempat untuk menginap dan tidur."
"Kalau arti lain dari menginap sih aku nggak tahu, tapi ya, benar."
"Kamar untuk dua orang… artinya kamar ini untuk aku dan Ruto, ya?"
"Yah, nggak ada kandidat lain juga sih."
"Jadi, maksudnya apa? Aku dan Ruto akan tinggal di kamar yang sama... artinya, aku dan Ruto akan tinggal di kamar yang sama!?"
"Y-ya, betul…"
Dia menegaskan ulang... atau mungkin lebih dari sekadar klarifikasi, ada tekanan kuat dalam nadanya, sampai-sampai aku cuma bisa mengangguk cepat.
Lalu Nowa membeku sejenak, sebelum akhirnya bahunya gemetar dan dia berteriak:
"Ruto mesum!!"
"Tunggu dulu, aku ngerti maksudmu, tapi aku juga ada pertimb——"
"Ruto mesum!!"
"Bukan berarti kita tidur sekamar dan sekasur juga, aku kan——"
"Ruto mesum!!"
"Gawat, orang ini tipe yang nggak mau mengubah pendapat."
Nowa jadi kayak speaker rusak yang cuma bisa mengulang satu kalimat. Kalau sudah begini, dia nggak bakal mau dengar omongan orang lain.
Bukan berarti aku mau mempercayai mitos kalau 'dipukul bisa sembuh', tapi aku mengetuk pelan pintu geser kamar, dan sambil menunjukkan tindakan nyata, aku menjelaskan pengaturan kamar yang sebenarnya.
"Nih, di sebelah sini ada satu ruangan kecil lagi. Aku bakal tidur di sana."
"Hm… tapi ruangan itu nggak dikunci, kan?"
"Ya... yang itu sih, kau harus percaya padaku."
"Percaya sama pengecut bernama Ruto?"
"Ada kata lain yang bisa kau pakai, kan? Misalnya kejujuran, atau integritas gitu."
Apa aku terlihat nggak bisa diandalkan, ya?
Aku memang sadar wajahku nggak punya wibawa atau aura kuat gitu, tapi dibilang cowok brengsek yang sampai tega nyerang cewek waktu tidur tuh keterlaluan.
Kami saling bertukar pandang dalam keheningan selama beberapa detik, tatapan sinis dari Nowa kulawan dengan ekspresi protes.
Hingga akhirnya Nowa mendengus dan, sepertinya, menerima penjelasanku.
"Baiklah, aku percaya padamu. Nggak ada yang bisa percaya pada cowok menyedihkan yang salah paham antara cuek dan lesu, dan merasa itu keren... selain aku."
"...Terima kasih banyak."
"Dan nggak ada yang bisa percaya pada cowok yang sok santai, tapi sebenernya nggak bisa bersikap cool, dan walau nggak rapi tetap berusaha sekuat tenaga... selain aku."
"Kenapa kau ulang dua kali?"
"Ta-tapi, sisi Ruto yang bodoh, sederhana, manja, tapi bisa serius demi orang lain itu, a-aku... nggak benci, kok. J-jangan salah paham ya!"
"Hah? Aku barusan dipuji?"
Aku benar-benar mengira dia cuma mau ngeledek, jadi nggak nyangka bisa mendapat pujian. Rasanya agak canggung, tapi juga sedikit menyenangkan.
Yang penting, soal tempat tidur sudah beres. Sebenarnya topik itu nggak penting-penting amat. Yang harus kami fokuskan adalah hal lain——
"Kalau gitu, ayo kita mulai. Pelatihan dansa kita."
"Yees!"
Gon! Sebuah suara terdengar. Itu suara tinju kami yang saling bertemu di udara.
Sebuah isyarat, untuk menyatukan niat dan semangat kami. Tapi lebih dari itu——itu juga penanda bahwa kisah kami berdua, aku dan Nowa, kembali mulai menari.
Pelatihan dansa.
Meskipun kedengarannya megah, kenyataannya hanya pelajaran dansa yang dilakukan sambil menginap.
Waktu SMP dulu, aku dan Nowa pernah ikut pelatihan seperti ini di tempat kursus dansa, menjelang lomba. Waktu itu, 'Sensei' yang menyelenggarakannya.
Katanya, bukan cuma latihan dansa, tapi dengan hidup bersama, kita bisa memahami pasangan kita lebih dalam, dan meningkatkan keserasian untuk dansa berpasangan.
"...Sensei, ya."
Aku menyebut nama guru lama kami dengan suara pelan, seolah memanggil dalam hati.
Orangnya biasanya nggak bisa diandalkan, berantakan, dan malas, tapi saat menari dia benar-benar keren. Seorang penari yang sangat ku kagumi.
Sejak berhenti menari, aku sudah lama nggak menghubunginya. Tapi sekarang rasanya ingin mengirim pesan.
...Aku mulai menari lagi, lho.
"...Nggak, bukan sekarang."
Aku menggelengkan kepala pelan, dan memikirkan apa yang harus diprioritaskan.
Tanpa perlu ditanya, jawabannya jelas: persiapan untuk dansa.
Lagu dan koreografi belum diputuskan, dan waktuku terbatas—untuk menghafal gerakannya, dan kemudian melatihnya sampai benar-benar melekat di tubuh.
Terutama dalam pair dance, kekompakan dengan pasangan bisa dibilang adalah segalanya. Jika ada gerakan yang tidak sinkron, atau bahkan hanya sedikit ketidaksesuaian dalam sudut tangan dan kaki, akan terasa janggal di mata penonton. Latihan berulang tentu saja wajib, dan untuk mencapai tingkat keterampilan itu juga memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Ditambah lagi, aku sudah bolos menari selama setengah tahun. Untuk mengembalikan intuisi menari—gerakan yang terbentuk dari tubuh sebagai penari—tentu juga akan memakan waktu.
Dengan kata lain, tak ada waktu untuk bersantai.
Tinggal satu minggu lagi sampai naik ke atas panggung.
Kesempatan ini pun baru bisa didapatkan setelah meminta bantuan Yaezakura-sensei. Untuk bisa menari—untuk bisa menari bersama Nowa, dan agar aku bisa tertawa di sampingnya—waktu yang kami habiskan di pelatihan ini tak boleh disia-siakan, bahkan sedetik pun.
***
"Jadi, pertama-tama, aku pikir kita mulai dengan nonton anime dulu."
"Kenapa jadinya begitu!?"
Kesimpulan yang sepenuhnya mengkhianati pengantar serius tadi membuat Nowa tak tahan untuk berteriak.
Dia sudah berganti pakaian menjadi baju olahraga yang ringan, siap untuk bergerak. Jadi mungkin pernyataanku barusan terasa seperti menyiram air dingin pada semangat yang sudah menyala.
Tapi tunggu dulu. Bukan berarti aku ngelantur atau iseng waktu bilang begitu.
"Nowa, kau tahu kan kalau kita bakal menari dengan lagu anisong—lagu anime. Aku sudah bilang sebelumnya."
"Y-ya, aku dengar sih, tapi..."
"Anisong itu bukan sekadar lagu yang diputar dalam anime. Di dalamnya ada melodi, harmoni, ritme, lirik... dan semuanya dipenuhi oleh nuansa dunia anime itu sendiri."
Aku juga bukan orang yang sangat ahli dalam anisong. Aku mulai menyadari daya tariknya juga karena pengaruh dari Seira, yang memperkenalkanku pada dunia anime.
Tapi aku yakin, waktu bukan satu-satunya syarat untuk menyukai sesuatu.
Pesan yang tersampaikan lewat lirik, atau semangat khas yang terkandung dalam beat dan ritmenya—semuanya adalah unsur penting yang membantu orang larut lebih dalam ke dunia anime. Sebaliknya, bagi orang yang tidak tahu latarnya, perasaan yang dirasakan dari lagu yang sama bisa jadi sangat berbeda.
"Itulah kenapa, kalau kita ingin menari dengan lagu anisong, kita harus lebih dari sekadar hafal lagu itu. Kita juga harus tahu anime asalnya."
Salah satu aspek penting dalam kemampuan menari adalah ekspresi.
Kemampuan menyampaikan emosi dan perasaan melalui gerakan. Ada lagu-lagu yang mengandung cerita, dan dalam tarian, penari bisa menjadi perwakilan dari komposer dan penulis lirik untuk mengekspresikan makna lagu tersebut.
Hal ini lebih terasa lagi dalam anisong.
Di dalam lagu ada cerita, dalam cerita ada karakter, dan karakter itu menumpahkan perasaan dan pikiran mereka ke dalam lirik, yang kemudian mengalir dalam suara dan irama.
Karena itu, agar bisa mengekspresikan anisong lewat tarian, kita perlu memahami karakter yang hidup dalam cerita tersebut—dengan kata lain, memahami animenya.
"...Kalau dibilang begitu, ya, masuk akal sih. Memahami lagu tugas juga bagian dari latihan."
Mungkin karena dulu pernah belajar balet, Nowa bisa menerima penjelasanku dengan cukup mudah.
Aku juga nggak tahu secara detail, tapi yang pernah kudengar, dalam balet, penting sekali untuk bisa memasuki peran.
Mengetahui emosi, kepribadian, dan latar belakang tokoh yang diperankan, lalu menyampaikannya lewat gerakan dan tarian.
"Terus, kalau nonton anime, mau nonton yang mana? Soalnya kau juga nggak terlalu ahli soal anime, kan?"
"Benar. Itu sebabnya, aku sudah menyiapkan seorang pengajar khusus yang ahli soal anime."
"Pengajar khusus...?"
Tepat saat Nowa mengulang kata-kataku dengan bingung, aku menjentikkan jari "pat!"
Lalu, pintu geser kamar terbuka dengan kencang—dan dua orang masuk dari sana.
"Salam kenal. Aku Yuzuki, yang bertugas memilih anime-nya."
"Aku asisten, Kotomiya."
"Eh!? Kalian berdua ini siapa tiba-tiba muncul gitu aja!?"
Orang-orang yang muncul dari balik pintu geser itu adalah Seira dan Yuuma.
Mereka mengangkat kacamata palsu mereka dengan gaya dramatis yang berkilauan sesuai dengan dialog mereka. Sepertinya mereka berdua memang tipe yang serius soal "memasuki peran".
Melihat Nowa yang kebingungan karena kemunculan mendadak kedua temanku itu, aku menambahkan penjelasan secara halus.
"Kalau soal anime, orang yang paling tahu di sekitarku ya mereka berdua ini. Waktu aku jelasin situasinya ke mereka, mereka langsung setuju. Dan kelihatannya mereka juga akan ikut serta dalam pelatihan ini."
"Fufu, kalau itu permintaan dari Ruu-kun, menolak tentu bukanlah sebuah pilihan. Bersiaplah, Nowa. Di bawah kekuatan doktrin milikku, dalam semalam saja kau akan jadi otaku sejati yang bisa mengenali seiyuu hanya dari suara karakter!"
"Itu udah bukan kekuatan doktrin, tapi udah level misionaris!"
"Kalau ngomongin pelatihan, pastinya anime sport ala shounen itu wajib. Perkembangan karakter utama yang membuat pembaca merasakan emosi adalah salah satu poin tertinggi. Sebagai otaku, mana mungkin aku melewatkan itu."
"Eh, tunggu… mereka ke sini cuma buat otaku-an, kan!?"
Seira dan Yuuma memang tampak seperti datang cuma buat nambah teman otaku, tapi semangat dan inisiatif mereka memang patut diacungi jempol.
Begitu membuang kacamata palsu mereka, mereka langsung bergerak cekatan menyambungkan kabel dan laptop ke TV kamar. Gerakan mereka cepat dan efisien—kayak teknisi profesional yang datang pasang peralatan rumah tangga.
"Hei, Ruto… apa mereka bakal baik-baik aja? Mereka berdua itu kayaknya bakal muterin anime favorit mereka sendiri tanpa mikirin yang lain…"
Nowa bertanya dengan nada khawatir.
Tapi, kekhawatiran itu langsung dijawab oleh Seira dan Yuuma yang sambil bekerja mulai menyebutkan alasan mereka satu per satu.
"Aku sudah dengar dari Ruu-kun. Karena akan tampil di panggung internasional, maka akan lebih baik kalau kita pilih anime yang juga populer di luar negeri, kan? Aku sudah menelusuri sosial media wilayah target—anime dan lagu yang sedang ramai, bahkan sampai tingkat popularitasnya, sudah aku telusuri."
"Dan juga, karena Kurosaki-san sepertinya belum terlalu akrab dengan anime, aku sengaja pilih yang mudah dimengerti. Judul-judul yang butuh pengetahuan otaku atau fantasi yang terlalu dalam aku coret. Aku lebih fokus ke romcom, anime olahraga, atau yang berlatar dunia modern."
"Gila, otaku-otaku ini mikirnya matang banget!?"
Nowa tampak terkejut, tapi aku sendiri tidak merasa itu hal yang luar biasa.
Seira dan Yuuma memang punya kepribadian yang unik, tapi mereka tidak pernah memaksakan hobi mereka ke orang lain. Waktu aku mulai nonton anime juga, mereka pelan-pelan menyesuaikan rekomendasinya dengan seleraku.
"Hei… kenapa sih kalian berdua sampai niat banget kayak gini…?"
Walau sedikit terintimidasi oleh energi keduanya, Nowa memberanikan diri bertanya.
Itu adalah pertanyaan yang dulu juga pernah aku tanyakan. Maka aku yakin jawabannya pasti sama.
Seira dan Yuuma menoleh sambil menatap dengan mata berbinar-binar, lalu berseru:
"Karena kami suka anime, tentu saja!!"
Keinginan untuk berbagi hal yang disukai.
Bisa ngobrol tentang anime favorit dengan teman—itu hal yang luar biasa menyenangkan. Tak perlu alasan rumit. Tak perlu dalih yang terlihat keren. Cukup karena ingin menikmatinya bersama, dan itu saja sudah cukup jadi alasan.
Menjadi seseorang yang bisa meneriakkan "aku suka ini!" dengan lantang—itulah yang membuat Seira dan Yuuma selalu terlihat bersinar di mataku. Aku bangga bisa menyebut mereka sebagai temanku.
Nowa terdiam sesaat, lalu tertawa kecil, seolah tak bisa menahan diri.
"…Aduh, kalian ini bener-bener nggak berubah, ya."
Nada suaranya memang terdengar pasrah, tapi senyum di bibirnya tampak hangat.
Mungkin Nowa juga merasakan hal yang sama denganku. Ketulusan mereka yang mencintai sesuatu dengan sepenuh hati—meski kelihatan polos dan sederhana—justru karena itulah mereka begitu bersinar. Kita bisa jadi iri, bahkan ingin ikut bersinar seperti mereka.
Entah dia benar-benar berpikir sejauh itu atau tidak, Nowa tersenyum lembut dan mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih ya, Seira, Yuuma. Udah datang buat bantu kami."
Mata Seira dan Yuuma membelalak bingung.
Mungkin karena bagi mereka, ini adalah hal yang wajar. Sampai-sampai merasa tidak perlu diberi ucapan terima kasih. Dan karena mereka berpikir seperti itu—aku pun merasa makin bangga bisa punya teman seperti mereka.
"Baik, semua sudah siap. Kita mulai dari anime populer terbaru. Nanti kalau udah kelihatan seleramu, kita bisa lanjut ke judul-judul lama dalam genre yang sama."
Aku nggak tahu seluk-beluk strategi penyebaran anime, tapi aku percaya dengan pendekatan Seira. Kami semua duduk di empat kursi lesehan yang telah disiapkan. Perasaan tegang dan semangat yang sama seperti sebelum film dimulai mulai menyelimuti ruangan—rasa bahwa "sesuatu akan dimulai".
Mungkin karena ingin mengalihkan rasa gugup itu, Nowa bertanya ke Seira yang duduk di sebelahnya sambil Yuuma masih sibuk di depan laptop.
"Eh, Seira. Sejak kapan kamu ngumpet di balik pintu tadi?"
"Sejak satu jam yang lalu. Aku naik kereta paling pagi dan datang duluan ke penginapan. Begitu menjelaskan ke ibu pengurus penginapan, aku langsung dikasih kunci kamar."
"...Uhh, buat apa...?"
"Untuk menciptakan kesan tak terduga. Namanya juga surprise. Senang nggak?"
"...Kamu segitunya cuma buat itu!?"
Nada bicara Nowa benar-benar terdengar tercengang.
Dan aku sepenuhnya setuju.
Sebenarnya aku juga berpikir kami bakal ke tempat pelatihan bareng-bareng pagi ini, tapi pas bangun, aku malah nemu catatan di meja ruang tamu:
[Aku pergi duluan. Pengen bikin Nowa kaget]
Padahal biasanya dia susah banget bangun pagi, tapi demi hal beginian dia bisa-bisanya jadi super aktif. Ya ampun, coba kalau setiap hari dia bisa bangun segesit itu...
"Udah, udah, dengerin! Sebentar lagi mulai tuh!"
Dengan perasaan campur aduk, kami akhirnya mengalihkan perhatian pada anime yang akan diputar. Mencoba tidak mempertanyakan logika di balik tingkah Seira, karena itu percuma.
***
[Akting itu, pada akhirnya, semua tergantung apakah kau bisa masuk ke dalam peran atau tidak.]
Gadis yang menjadi andalan grup teater itu tersenyum mencemooh sambil memandang ke bawah seorang anak laki-laki.
[Artinya, seberapa jauh kau bisa membuang dirimu sendiri. Kau yang masih kekanak-kanakan dan tidak bisa membuang idealisme picisan itu... tidak akan pernah sampai ke tempatku.]
Dengan kata-kata yang kejam, ia menertawakan anak laki-laki yang baru saja gagal audisi.
Ia sengaja memilih kata-kata yang menusuk.
Apakah ini akhir? Apakah dia akan menyerah?
Bahkan sang gadis sendiri tak tahu pasti apa yang ia harapkan dari kata-kata yang melintas di benaknya.
[Di lain waktu, aku akan buatmu menangis.]
Anak laki-laki yang hampir menangis itu menatap mata si gadis tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun, lalu berkata seperti itu.
Bahwa suatu hari nanti ia akan sampai ke tempat itu.
Bahwa ia akan berdiri di sisinya.
Dengan sorot mata tajam seperti binatang buas, ia menyatakan kepercayaannya tanpa membuang sedikit pun dari idealisme yang ia miliki.
[Heh…]
Nada mencibir itu hanya akting, semacam topeng untuk menyembunyikan isi hati si gadis.
Sebenarnya, ia merasa sangat bahagia sampai ingin menangis.
Karena ia tahu—anak laki-laki itu berjuang demi dirinya.
Ia adalah gadis yang disebut sebagai seorang jenius.
Orang-orang hanya mampu menandai batas antara mereka dan dirinya, hanya mampu menatapnya dari bawah. Namun di tempat sunyi dan sepi itu, hanya anak laki-laki itulah yang berusaha mencapainya.
Dengan tekad keras seperti bersumpah untuk tidak membiarkannya sendirian.
Dan kini pun, anak itu masih terus bertarung di medan perang yang disebut panggung musikal ini.
Ia ingin memujinya. Ia ingin mengaguminya. Ia ingin memeluk tubuh itu dan mengucapkan terima kasih.
[Kamu benar-benar nggak punya bakat akting, ya]
Namun, yang keluar dari mulutnya justru selalu bertolak belakang dengan isi hatinya.
Ia jengkel dengan dirinya sendiri yang tidak bisa menggunakan bakat aktingnya saat berhadapan dengan anak itu.
[Kalau kamu memang bisa, coba aja, dasar bodoh]
Dengan lidah menjulur nakal, ia mengucapkan kata-kata itu.
Non-Gifted Musical.
Kisah tentang anak laki-laki yang tidak diberkahi bakat dan gadis yang hanya diberkahi bakat. Bersama-sama, mereka mencari arti bakat yang sejati di atas panggung yang sama.
"Ee-eh!? Hah!? Nggak mungkin, seriusan!?"
Teriakan Nowa yang nyaris seperti jeritan menggema menyusul adegan musikal di dalam anime yang mereka tonton.
Rasa keterlibatannya begitu besar. Selain karena ceritanya memang bagus, bisa jadi tema teater dalam cerita itu terasa sangat dekat dengan Nowa yang pernah menekuni balet secara serius. Tanpa sadar, ia sudah memeluk bantal di pangkuannya erat-erat sambil menonton dengan penuh konsentrasi.
"Hii, hii, fiuuuuh──"
Dan di sampingku, Seira menutupi mulutnya dengan tangannya sambil melakukan pernapasan ala Lamaze, teknik yang biasa dipakai ibu hamil untuk meredakan sakit saat melahirkan. Wajahnya yang naik-turun seiring bahunya yang bergetar menampakkan ekspresi pahit yang aneh.
"Kau ngapain sih? Mau melahirkan anak?"
"Kalau Ruu-kun menginginkannya, aku tak keberatan. Tapi sekarang aku sedang menahan gejolak dalam diriku. Kalau tidak kututup mulutku, aku bisa nggak sengaja kasih spoiler… ahh, aku ingin segera membahas kesannya!"
Jadi intinya, ini cuma kebiasaan ribet khas otaku aja, ya.
Sementara itu, di sebelahnya, Yuuma menutup mata dengan lembut dan menahan air mata yang menggenang. Sepertinya dia tipe otaku yang lebih tenang dan menghayati. Ternyata memang banyak tipe otaku, ya.
Anime yang sedang kami tonton sekarang adalah Non-Gifted Musical.
Berlatar dunia teater, anime ini menggambarkan pertumbuhan anak-anak yang bermimpi menjadi aktor musikal papan atas. Meskipun tayang dua tahun lalu, karena versi film layar lebarnya akan dirilis bulan depan di bioskop seluruh negeri, anime ini kembali ramai dibicarakan.
"Eh, udah tamat!? Seira, cepet putar episode selanjutnya!"
"Serahkan padaku, Nowa. Saat ini aku gemetar karena bahagia melihat temanku jatuh cinta pada konten favoritku. Kalau bisa, aku ingin menatap wajah imutmu itu lebih lama──"
"Udah, putar aja!"
Anime pun memasuki klimaks, dengan cerita yang semakin memuncak menjelang akhir.
Rasa antisipasi itu tak hanya dirasakan Nowa—aku pun sama. Kami melewati ending lagu dan langsung menonton episode terakhir.
Cerita ini bukan tentang pengumpulan petunjuk atau twist cerita indah yang ditata rapi.
Melainkan pertarungan jiwa yang saling berbenturan antara anak laki-laki dan perempuan di atas panggung.
Sampai-sampai merinding. Jantungku berdebar-debar. Aku bahkan kaget dengan betapa terlibatnya aku secara emosional.
Beberapa bulan lalu, aku takkan pernah menyangka bisa sebegitu tergugah oleh anime.
Kalau bukan karena pertemuanku dengan Seira, aku takkan pernah masuk ke dunia ini.
Dalam hati, aku diam-diam berterima kasih pada teman masa kecilku yang telah mengenalkanku pada dunia yang belum kukenal ini, dan menaruh perasaanku pada panggung akhir yang kini tengah diperjuangkan oleh para tokoh utama.
Saat kita benar-benar fokus, waktu seolah berjalan begitu cepat—dan akhirnya, episode terakhir pun berakhir begitu saja. Yang tersisa hanyalah layar hitam di TV.
Tak ada yang bersuara.
Mungkin karena kami tahu, kata-kata yang tak perlu hanya akan menodai kehangatan indah yang masih tersisa di dalam dada.
Rasa yang meluap itu… entah bagaimana caranya menyalurkan, membuat dada terasa sesak.
"Mmmhhhh~~!"
Beberapa saat kemudian──
Nowa menyandarkan punggung ke sandaran kursi lesehan, menatap ke langit-langit, dan bergumam.
"……………………Gila, bagus banget"
Sepertinya itu kalimat yang ditunggu-tunggu.
Seira, yang sejak tadi mengamati kami semua dalam diam, tiba-tiba matanya berkilau terang.
"Tentu saja, kan! Tapi tahu nggak, kehebatan anime ini bukan cuma di permukaannya! Lihat struktur ceritanya! Semua petunjuk yang ditanam hingga episode terakhir, semuanya sengaja dihancurkan di adegan akting terakhir! Ini dianggap sebagai metafora dari dorongan hati sang tokoh utama yang membuang naskah yang telah ditentukan dan memilih untuk mengikuti kata hatinya—yang sekaligus merupakan deklarasi perang terhadap sang heroine yang mulai menapaki jalan hidupnya sendiri──"
"Oke, oke, cukup! Satu-satu aja ngomongnya! Jangan deket-deket juga!"
Nowa panik mendorong Seira yang mendekat sambil berbinar-binar. Tapi aku malah tersenyum.
Melihat mata Seira yang berbinar saat membicarakan hal yang ia sukai, membuatku sadar—aku suka melihat mata itu.
Mungkin karena senyumku terlihat terlalu jelas, Seira yang sedang bercanda dengan Nowa pun menoleh dan berkata:
"Ruu-kun, kenapa kau kelihatan mesum sambil menatap gadis SMA secara langsung?"
"Ekspresimu jahat banget. Aku cuma berpikir kau terlihat… bersinar"
"Karena paha indahku?"
"Bukan itu maksudku"
Aku nggak cukup berani untuk bilang "karena matamu cantik", tapi aku juga nggak mau disangka mesum.
Meskipun Seira memang suka pakaian santai dan suka buka-bukaan di rumah, itu nggak ada hubungannya dengan situasi ini. Jadi tolong jangan sengaja nyetel ulang celana pendekmu di depanku. Aku cowok juga punya batas kesabaran.
Saat aku berusaha sekuat tenaga mengalihkan pandangan dari pahanya yang terlalu terekspos, entah kenapa tatapanku malah bertemu dengan mata Nowa yang mendadak cemberut.
"Hei, kalian ngapain sih, tiba-tiba mesra-mesraan"
"Nggak, nggak mesra-mesraan juga"
Nowa mendengus dengan kesal dan membuang muka.
Sementara di sampingku, Yuuma mengangguk-angguk dan bilang.
"Sepertinya kau mulai berkembang jadi tokoh utama romcom dengan baik."
Aku makin nggak paham arah pembicaraan.
Mengabaikan semua reaksi aneh itu, aku memaksa mengembalikan fokus pada topik utama.
"Jadi gimana, Nowa?"
"Gimana apanya?"
"Kita jadi pakai anime ini buat pentas kita, nggak?"
Lebih tepatnya, pakai lagu anime ini.
"……"
Nowa menatap kembali ke arah televisi.
Layar itu kini hitam, tapi mungkin di sana ia sedang memutar ulang semua adegan yang membekas dalam ingatannya.
Sunyi sejenak.
Sebuah daun kecil terbawa angin masuk dari jendela yang terbuka, dan melayang perlahan ke atas meja.
"Iya, aku pilih yang ini"
Suara itu akhirnya keluar dari mulut Nowa.
Lembut, tenang, namun penuh keyakinan dan semangat.
"Aku benar-benar bisa memahami perasaan anak-anak itu. Keinginan untuk tetap berada di sisi seseorang, dan rasa takut akan kesepian… Aku mengerti betul perasaan seperti itu"
Ia menempelkan tangan ke dadanya, menggenggam erat seolah menahan sesuatu.
Mata yang menyiratkan tekad untuk terbang tinggi itu, kini menatap lurus padaku.
"Makanya aku ingin menyampaikan perasaan mereka. Dengan duniaku. Dengan tarianku, aku ingin mengekspresikan isi hati mereka"
"…Iya, aku mengerti"
Mendengar suara itu, merasakan isi hatinya, aku langsung mengangguk.
Lalu menoleh ke arah Seira dan Yuuma, yang juga mengangguk mantap.
"Aku pikir itu pilihan yang bagus. ‘Non-Gifted’ juga punya basis penggemar yang kuat di luar negeri. Bahkan waktu tayang dulu, sempat jadi pembahasan di sekolahku di New York"
"Lagu utamanya judulnya ‘My music is My dance’... Kalau dipakai untuk hal non-komersial mungkin nggak masalah, tapi buat festival kita nanti, sebaiknya aku cek dulu peraturannya. Biar aku yang urus. Kalian fokus latihan aja"
"Makasih"
Dengan tulus aku berterima kasih atas dukungan teman-temanku.
Lalu kembali menatap Nowa.
Senyumnya menyiratkan sebuah permulaan.
Poni ekor kudanya yang tertiup angin musim gugur dari jendela itu tampak seperti ajakan menuju kisah baru──dan aku pun ikut tersenyum, memperlihatkan gigiku sambil berkata:
"Kalau gitu… ayo kita lakukan"
Post a Comment