America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 2 Chapter 1
Tanaka Hinagizawa
... menit baca
Dengarkan
Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 1
Hari-Hari yang Terus Menari
Ceritaku dan Seira dimulai kembali dari insiden saling tendang otot bokong.
Meskipun kamu mungkin berpikir, "Apa-apaan ini?", aku sendiri juga sebenarnya enggan mengakuinya—tapi kenyataannya memang begitu.
Pertemuanku kembali dengan Seira, teman masa kecilku yang baru pulang dari Amerika, bukanlah sesuatu yang dramatis, melainkan sesuatu yang benar-benar tak masuk akal—kami berdua terlibat adu tendang bokong hingga berujung pada urusan polisi.
Seira, yang datang ke Jepang untuk homestay, akhirnya tinggal bersamaku di rumah. Selama liburan musim panas, aku terus diajak ke sana kemari—entah untuk pekerjaan modeling-nya, acara cosplay, dan lain-lain.
Aku memang menikmati waktu yang kuhabiskan bersama teman masa kecilku setelah sekian lama... tapi tujuan Seira yang sebenarnya adalah membuatku menemukan alasan untuk kembali menari.
Aku menari mengikuti irama rencana itu... yah, cara mengatakannya agak menyebalkan, tapi berkat itu, aku bisa menyadari perasaanku sendiri dan kembali menekuni dunia tari yang sempat kutinggalkan.
Dan seperti cerita pada umumnya, akhir dari kisah ini tentu diwarnai perpisahan.
Aku mengantar Seira yang telah menyelesaikan masa homestay-nya ke bandara, berjanji akan bertemu lagi seperti dulu, dan melihat punggungnya yang perlahan menjauh dengan perasaan sedih... begitu, seharusnya.
Aku mengira ending-nya akan seperti itu—kami bahkan sudah sampai di momen terakhir. Tapi aku bodoh karena berharap pada perkembangan kisah yang biasa, yang klise, pada teman masa kecil yang menyebalkan ini.
Masa homestay yang seharusnya hanya berlangsung beberapa bulan malah diperpanjang sampai Seira lulus SMA. Hari ini pun, di rumah keluarga Maiori, masih ada sosok teman masa kecil yang kembali dari Amerika itu, tertawa cekikikan sambil menonton anime.
Kadang aku berpikir, apakah hari-hariku bersama Seira ini memang tidak akan pernah terasa dramatis, mulai dari pertemuan hingga perpisahan.
Tapi ya sudahlah. Toh aku memang benar-benar menikmati waktu ini—sehari-hari yang telah menyatu dalam keseharian, bersama Seira.
Aku sudah mendapatkan kembali tarianku. Aku juga telah mendapatkan kembali waktuku bersama Seira.
Sekarang, aku hanya perlu terus menari hari demi hari, demi menjaga kebahagiaan yang sudah menjadi bagian dari hidupku ini.
Karena aku tak ingin cerita kami berakhir dalam air mata.
***
Dan saat ini, Seira basah kuyup.
"Kenapa bisa begini..."
Di depan pintu rumah, Seira berdiri dengan setelan blouse putih dan rok panjang berwarna gelap, seluruh tubuhnya benar-benar basah kuyup.
Rambutnya menggantung berat seperti habis mandi, dan tetesan air yang menetes dari tubuhnya membentuk genangan kecil di kakinya. Sneakers favoritku yang dipakainya juga basah tergenang air, membuat hatiku sedikit terasa murung.
"Ah, tidak, aku kehujanan mendadak. Terlalu telat untuk disebut hujan sore, dan terlalu deras untuk disebut hujan musim gugur. Mungkin lebih tepatnya disebut hujan rintik musim gugur, ya?"
"Yah, terserah sih mau nyebutnya apa juga."
"Tenang saja. Figurine edisi terbatas dari toko event, Magical Girl Ism de Witch: Misi Penyusupan Kasino Kapal Antomane, Ism Brodia, versi bunny style, skala 1/10, versi premium—berhasil kubawa pulang tanpa basah sedikit pun."
"Kok bisa sih kamu ngomong gitu tanpa lidahmu keseleo."
"Fufu, menghafal nama resmi adalah kewajiban seorang penggemar sejati. Kalau kamu benar-benar menyukai sesuatu, kamu nggak akan salah menyebut namanya. Ini adalah bentuk cinta dan keberanian otaku—serta perlindungan terhadap praktik penjualan kembali."
"Soal cinta masih masuk akal, tapi bagian keberaniannya di mana coba."
Seira mengabaikan protesku begitu saja, lalu mengangkat sedikit roknya dan mengeluarkan kotak berisi figurine dari dalamnya.
…Tunggu, dari mana dia ngeluarin itu!?
"Sekarang, kira-kira di mana ya bagusnya memajang ini. Karena ini versi bunny, akan lebih baik kalau bisa melihat pantatnya dari bawah. Berarti harus ditaruh di rak paling atas altar… tapi, kalau lihat susunan sekarang sih…"
Seira menatap figurine itu dengan pipi mengendur dan senyum lebar. Kalau dia nggak lagi basah kuyup, mungkin sekarang dia udah menggosok-gosokkan pipinya ke kotaknya.
Pandangan Seira saat ia serius dengan hal yang ia sukai—aku selalu menyukai itu. Tapi untuk saat ini, aku tidak bisa terbius oleh senyumnya.
Dengan wajah masam, aku menatap Seira dengan sinis. Teman masa kecilku yang baru kembali dari Amerika itu membulatkan matanya, bingung.
"Ruu-kun? Kenapa kamu kelihatan kayak gitu... ah."
Sepertinya dia menangkap sesuatu dari ekspresiku, dan akhirnya menundukkan pandangan ke kakinya.
Barulah dia sadar: hujan yang dibawanya ke dalam rumah telah membasahi sepasang sneakers milikku. Koleksi sneakers adalah salah satu hobiku. Dan yang sekarang basah kuyup karena Seira adalah salah satu edisi terbatas yang kudapat dari undian online.
"Ma-Maaf, Ruu-kun! Aku akan cuci dan keringkan nanti, ya!"
Seira langsung panik, salah paham bahwa itulah alasan aku marah.
Karena dia juga kolektor, dia pasti sangat memahami rasa bersalah karena merusak barang koleksi orang lain.
Dia terlihat cemas, pandangannya tak tentu arah, gerak-geriknya pun bingung dan tidak beraturan. Tetesan air terbang dari ujung rambutnya yang basah.
"Dengar ya…"
Setelah menatapnya sebentar, aku menjepit kedua pipinya dengan tanganku.
"Uhiya?"
"Jangan pulang kehujanan sendirian, itu bahaya."
Pipi Seira yang selembut marshmallow tak sempat kunikmati sepenuhnya, karena kulitnya yang diguyur hujan musim gugur terasa dingin sekali.
"Dibanding figurine yang basah, atau sneakers yang rusak, aku jauh lebih benci kalau kamu sampai sakit. Jagalah dirimu baik-baik."
"…Fugyu…"
Pipi Seira memerah saat dia menatapku dalam-dalam.
Tatapan mata kami bertemu dari jarak sangat dekat. Agak canggung, tapi aku tak mengalihkan pandangan. Aku ingin dia tahu betapa khawatirnya aku.
"Kalau kejadian lagi, berteduhlah dulu. Kalau kamu hubungi aku, aku pasti akan bawain payung."
"...Iya, maaf ya, Ruu-kun. Lain kali aku akan begitu."
"Bagus kalau ngerti."
Aku menepuk pipinya ringan dan melepaskan tanganku.
Seira, yang memegangi pipinya yang memerah, menatapku sambil tersenyum pelan. Senyum lembut itu membuatku merasa lega—seolah semua yang ingin kusampaikan benar-benar sampai padanya.
Namun… mungkin justru karena aku sudah lega, masalah lain yang selama ini kuhindari tiba-tiba muncul ke permukaan.
"…Aduh…"
"Ruu-kun?"
Aku berpaling sambil memaksakan senyum, dan Seira mencondongkan kepalanya, bingung.
Aku melirik ke arahnya, dan yup—dia masih belum sadar soal keadaannya sendiri.
Di hadapanku sekarang adalah gadis cantik yang seluruh tubuhnya basah kuyup.
Blusnya tembus pandang, dan garis pakaian dalam merah samar-samar terlihat.
Gerakan Seira menyibakkan rambut basahnya, ditambah aroma manis yang tercampur bau hujan—semuanya mengganggu insting liarku.
"…Cepat mandi sana."
"Memang mau mandi nih. Tapi kenapa mukamu jadi merah begitu?"
"Bukan apa-apa."
"Bahkan telingamu juga merah loh?"
"Lagi hari merah aja kali."
"Oh begitu. Aku nggak pernah ngalamin sih."
"…Itu karena tadi aku nonton anime yang kamu rekomendasikan. Adegan bertarungnya keren banget, jadi aku terbawa suasana… mukaku jadi memerah karena semangat—"
"Melihat pakaian dalam teman masa kecilmu yang basah karena hujan, bukan alasan buat jadi malu, Ruu-kun. Aku nggak keberatan kok, kalau itu kamu."
Dengan santainya Seira menyela alasan ngibulku barusan.
Wajah kalem itu kini dipenuhi senyum menyebalkan yang sangat khas dirinya. Sikap manisnya beberapa saat lalu lenyap entah ke mana. Sial, semuanya ketahuan.
"…Dasar kau."
"Fufu, kamu tetap polos seperti biasa ya, Ruu-kun. Padahal, bahkan manga anak laki-laki zaman sekarang pun isinya jauh lebih vulgar."
"Udah sana cepet masuk kamar mandi!"
"Ahahaha! Jangan marah dong!"
Seira melempar sepatunya sembarangan dan melesat masuk ke ruang ganti.
Tetesan air berceceran di sepanjang lorong… dan entah kenapa, lantainya sekarang terlihat seperti bekas jejak bekicot raksasa.
Apakah ini berarti aku yang harus membersihkannya?
"…Sial."
Aku menghela napas panjang sambil menatap lorong yang basah kuyup.
Sudah entah keberapa kalinya aku harus membereskan kekacauan yang dibuat Seira.
Mau tak mau, aku pun beranjak mengambil lap kain.
Tapi saat itu—
"Ruu-kun, bisakah kamu ambilkan baju ganti dari kamarku selagi aku mandi?"
Suara Seira terdengar dari ruang ganti.
"…Yah, ya udah, nggak masalah."
"Terima kasih. Piyama biasa ada di laci paling bawah kedua. Dan untuk pakaian dalam, pilih saja sesukamu dari laci keempat."
"…Tunggu, pakaian dalam juga?"
"Itu wajar saja. Masak kau ingin aku mencoba metode hidup sehat tanpa celana dalam di rumah cowok? …Eh, tunggu, sepertinya itu cukup seru juga."
"Jangan nemuin kesenangan di hal aneh gitu. …Maksudku, ya, aku ini juga cowok, tahu."
"Aku tahu kok?"
"Makanya aku ngomong, soalnya kamu kayak nggak nganggep aku cowok."
"Kalau Ruu-kun yang ngendus-ngendus dikit sih aku nggak keberatan, loh?"
"Nggak bakal kulakuin, dasar bodoh."
Sementara kami bercakap, kudengar suara pakaian basah Seira yang berat saat dilepas. Imajinasi manusia memang luar biasa, justru karena aku tidak bisa melihatnya, aku malah membayangkan penampilan teman masa kecilku di balik pintu itu—
"Ruu-kun, jangan-jangan kamu lagi bayangin aku telanjang dan deg-degan ya?"
"Nggak mungkin lah."
Seseorang tolong beri aku penghargaan atas pengendalian diri ini, karena aku berhasil menjawab tanpa suara gemetar.
Sebenarnya aku memang gugup… tapi bukan karena membayangkan hal mesum, oke?
Lalu akhirnya, kudengar suara pintu kamar mandi terbuka. Suara gemericik air yang segar mengalir membuat wajahku panas.
Aku benar-benar merasa Seira tidak menghargai masa pubertasku sama sekali. Dan tolong banget, berhenti meninggalkan pakaian dalammu di ruang ganti, ya. Apa dia sengaja menguji seberapa ‘gentleman’ aku?
"…Haa, udah lah."
Aku menggaruk kepala dengan frustasi.
Kalau aku tidak ambilkan pakaian dalamnya sekarang, dia akan benar-benar keluyuran tanpa pakai celana.
…Itu… gimana ya. Ya pokoknya… itu itu deh. Sulit dijelaskan.
Dengan perasaan tidak jelas yang membuatku resah, aku pun bergegas naik ke lantai dua.
Kamar Seira terletak di ujung lorong—meski dipenuhi dengan figurine dan tapestry ala otaku, aroma manis tetap memenuhi ruangan, mengingatkanku bahwa ini tetap kamar seorang gadis.
"……"
Aku pura-pura tidak sadar akan gejolak aneh dalam hatiku dan menuju ke lemari di sudut ruangan.
Kalau dibilang aku tidak ragu, itu bohong. Yang mau aku ambil adalah pakaian dalam milik teman masa kecilku. Seorang pria normal tak mungkin tidak merasa apa-apa.
"……Tapi, mau gimana lagi."
Aku mengulang kalimat itu seperti semacam pembenaran. Entah aku benar-benar sedang meyakinkan diriku atau cuma membela diri saja, tapi kalau tidak begitu, aku pasti akan terpaku di tempat.
Aku membuka laci kedua dari bawah dan mengambil piyama bermotif bendera Amerika yang sudah sering kulihat. Lalu, aku mengalihkan tanganku ke laci keempat.
Ternyata isinya cukup rapi. Jumlahnya juga banyak, dan karena itu tanganku jadi terhenti.
Mulai dari yang berwarna oranye cerah khas anak-anak, sampai model renda dewasa… aku tidak tahu mana yang bagus atau tidak, tapi hanya membayangkan Seira pernah memakai semua ini sudah cukup bikin mukaku panas.
Kalau aku melihat ke cermin sekarang, mungkin aku akan melihat pria idiot dengan wajah merah padam.
"…Yang ini aja, deh."
Tanganku meraih celana dalam berwarna biru yang tiba-tiba menarik perhatianku.
Bukan karena ada makna khusus. Bukan karena bordir bunganya terlihat cantik dan sepertinya cocok dipakai Seira. Bukan. Sama sekali bukan.
…Oke, aku sendiri ingin menanyakan ke siapa sebenarnya aku sedang membela diri.
Yah, yang penting sekarang tinggal bawa pakaian ini ke ruang ganti.
Dengan tujuan sudah di depan mata, aku akhirnya bisa mengatur napas dan berbalik sambil menggenggam erat pakaian dalam tersebut—
"Baiklah, mumpung Seira-chan lagi keluar, sekalian bersihin kamarnya—"
Lalu aku bertatapan langsung dengan ibuku, yang masuk sambil membawa vacuum cleaner.
"……"
"……"
Mari kita lihat situasinya dari sudut pandang Ibu:
Putranya satu-satunya sedang ada di kamar seorang gadis… sambil mengaduk-aduk laci pakaian dalam.
――Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Keringat dingin membasahi punggungku.
"…………"
Ibu menatapku dengan wajah tanpa ekspresi, lalu menutup pintu tanpa sepatah kata pun.
Sepertinya dia memutuskan untuk berpura-pura tidak melihat apa pun. Atau mungkin… dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah ibu dari pria yang sedang menggenggam pakaian dalam sambil keringat dingin menetes.
…Aku harus klarifikasi nanti.
Sambil menuliskan tugas itu di benakku, aku pun keluar kamar hendak mengantar pakaian Seira ke ruang ganti――
"Hallo? Papa? Jadi gini… kayaknya aku salah dalam mendidik Ruto…"
"Woi tunggu tunggu! jangan langsung ada rapat keluarga dong!"
Ibu, dengan mata berlinang air mata, sedang mengaku dosa lewat telepon di ujung lorong. Lawan bicaranya: Ayah, yang sedang tugas di luar negeri.
Kalau dibiarkan, skandal ini akan tersebar lintas benua.
Demi menjaga nama baik keluarga Maiori, aku pun dengan sekuat tenaga menyuarakan pembelaanku bahwa aku tidak bersalah.
***
Kepada Ayah yang sedang tugas di luar negeri, kuharap Ayah sehat-sehat saja di tengah dinginnya awal musim gugur.
Akan kupercepat isi surat ini dan langsung masuk ke inti:
Terkait telepon dari Ibu beberapa waktu lalu, telah terjadi kesalahpahaman yang amat sangat tidak menguntungkan.
Amerika adalah negeri kebebasan, katanya. Tapi sepertinya sifat itu ikut terbawa oleh siswa pertukaran asing yang kini tinggal di rumah kita. Hasilnya, setiap hari penuh dengan kekacauan.
Masalah yang Ayah dengar adalah salah satu dari kekacauan tersebut. Detailnya akan kudiamkan demi menjaga kehormatanku, harga diriku, dan sisa-sisa martabatku.
Tapi Ayah tak perlu khawatir. Aku tetap sehat dan waras.
Aku juga belajar dengan rajin, dan bahkan sudah kembali menekuni dunia tari seperti yang Ayah harapkan. Aku juga punya teman-teman baik yang bahkan rasanya terlalu berharga buatku.
Jadi, sungguh, tak ada yang perlu Ayah cemaskan.
Putramu hari ini juga menjalani hari-hari dengan semangat dan sehat, tanpa masalah sama sekali.
"Ngomong-ngomong, Maiori. Sepertinya ada pembahasan soal hukuman skors buatmu."
――Yah, pernah ada masa di mana aku benar-benar percaya dengan semua itu.
"……"
Sambil mencoret surat imajiner itu dalam pikiranku, aku menatap realita di hadapanku.
Bukan berarti menatapnya akan menyelesaikan masalah sih, tapi demi ketenangan batin, aku perlu mengakui kenyataan.
Waktu: sepulang sekolah.
Tempat: Ruang pembinaan disiplin.
Ruangan kecil yang remang-remang karena jendela tertutup dan lampunya yang hampir padam, membuat atmosfernya terasa menyesakkan. Tapi penyebab suasana tak nyaman ini bukan itu saja.
"Kalau kau terus diam saja, tidak akan ada kemajuan. Coba jelaskan sesuatu."
Di hadapanku, duduk seorang guru perempuan mengenakan setelan jas rapi tanpa cela.
Wali kelasku, Yaezakura Renka-sensei.
Wajah cantik dan tubuh idealnya bahkan jadi bahan pembicaraan di kalangan siswa, tapi kesan yang lebih kuat dari dirinya adalah sosok wanita dewasa yang sangat disiplin.
Cara jari-jarinya bersilang di atas meja membuatku otomatis memikirkan kata ‘ratu dominan’. Tatapan matanya yang sipit dan tajam seperti obsidian—tajam dan dingin seperti bisa melukai hanya dengan disentuh.
"……Maiori. Kau nggak sedang mikirin hal tidak sopan, kan?"
"Enggak, sama sekali tidak."
Tebakan Renka-sensei membuatku terkejut, tapi aku tetap berusaha menjaga ekspresi. Entah kenapa, akhir-akhir ini banyak orang bisa membaca pikiranku. Apa aku memang se-transparan itu?
"Sudahlah, mari kembali ke topik. Kamu tahu alasan kenapa ada pembahasan skorsing ini?"
"……Soal panggung di festival budaya, kan?"
"Bagus kalau kau sadar. Penyesalan selalu dimulai dari pengakuan terhadap kesalahan sendiri."
Tatapan Yaezakura-sensei tetap tajam saat ia menghela napas pelan.
"Di festival budaya, kau mengambil alih panggung milik Yuzuki. Singkatnya, alasan skorsing adalah itu."
"…Mungkin ini bukan tempatku buat ngomong, tapi bukankah hukuman skorsing itu terlalu berat?"
"Sebagai prinsip, penampilan dadakan tidak diizinkan dalam panggung festival budaya. Isi pertunjukan harus diajukan sebelumnya kepada OSIS dan guru penanggung jawab panggung, dan baru boleh ditampilkan jika sudah disetujui. Itu semua demi mencegah hal-hal berbahaya yang bisa terjadi, atau pelanggaran yang tak disadari—misalnya pernyataan atau aksi yang bisa melukai seseorang secara tidak langsung."
"Itu…"
"Peraturan sekolah bukan dibuat untuk membelenggu kalian. Memang kalian harus menanggung sedikit ketidaknyamanan, tapi inti dari semua itu adalah untuk melindungi kalian. Kalau sesuatu terjadi kepada kalian, sini juga yang akan repot. Aku juga tak berniat menyepelekan hal ini hanya karena tidak ada masalah yang nyata terjadi kali ini. Kalau seorang siswa belum menyadari potensi bahayanya, maka tugas gurulah untuk menyadarkannya. Itulah yang disebut bimbingan."
Penjelasan itu logis dan tak terbantahkan. Bahkan saat aku mencoba membela diri dengan alasan yang lemah, Yaezakura-sensei tetap menjawab dengan konsisten.
Aku benar-benar tidak bisa membantah.
Kami ini masih anak-anak. Dunia yang kami lihat lebih sempit dan dangkal daripada orang dewasa, dan kami juga tidak punya posisi atau kekuatan untuk bertanggung jawab atas kesalahan kami sendiri.
Itulah kenapa sekolah menetapkan aturan untuk melindungi siswanya. Dan aku melanggar aturan itu atas kemauanku sendiri.
Kalau sudah begitu, maka tidak pantas juga jika aku mengeluh saat dihukum.
"Ini semua kulakukan atas keputusanku sendiri. Seira tidak ada hubungannya."
Dengan kata lain, yang harus kulakukan sekarang sangatlah jelas. Bukan soal pengorbanan diri atau semacamnya. Fakta sederhananya: aku yang mengambil alih panggung Seira. Dia tidak perlu ikut menanggung akibatnya.
Apalagi Seira adalah siswa pertukaran pelajar.
Jika dia terlibat masalah di tempat pertukaran, bukan tidak mungkin statusnya sebagai siswa asing akan dicabut. Yang berarti: homestay dibatalkan, dan dia harus kembali ke Amerika.
…Aku tidak mau itu terjadi.
Ingatan masa lalu yang jauh. Kenangan masa kecil. Seorang gadis kecil yang menangis terisak di depan rumahku.
Aku tidak mau mengulangi perpisahan seperti itu lagi.
Aku tidak mau perpisahan seperti itu… lagi.
Begitu hatiku mantap, apa yang harus kulakukan jadi lebih jelas.
Biar aku saja yang menerima bimbingan. Aku pun menguatkan tekad dan menatap lurus ke arah Yaezakura-sensei dengan sikap menantang—namun…
"…Fufu, kau memang menarik ya."
Ekspresi yang ditunjukkan sensei sangat jauh dari yang kubayangkan.
Bibirnya yang dihiasi lipstik tipis membentuk senyum lembut.
"…Sensei?"
"Ah, maaf. Kau bereaksi persis seperti yang kubayangkan."
Sambil melambaikan tangan, sensei dengan sengaja mengubah atmosfer di sekitarnya.
Kalau boleh diibaratkan, seperti es yang baru saja mencair.
Ekspresi wajahnya yang tadi tegang, kini berubah menjadi senyum lembut. Perubahan drastis itu membuatku terdiam, hanya bisa menampilkan raut kebingungan.
"Tenang saja, Maiori. Dalam masalah kali ini, aku berpihak padamu."
"…Berpihak maksudnya?"
"Benar bahwa tugas guru adalah menegakkan aturan… Tapi ada kalanya, seorang guru ingin melanggar aturan demi mendukung keinginan siswanya."
"Eh…?"
"Aku juga melihatnya. Penampilanmu di atas panggung."
Yaezakura-sensei mengeluarkan tablet, mengoperasikannya, lalu memutarnya ke arahku.
Yang ditampilkan adalah momen saat aku naik ke atas panggung festival budaya.
Ketika aku berlari ke arah Seira yang sedang berjongkok, dan mulai menari.
"Hanya dengan melihat wajahmu, aku bisa paham, meski hanya sebatas garis besar, kenapa kau begitu bersungguh-sungguh. Aku tak tahu detilnya, tapi kau ingin menolong Yuzuki, kan?"
"Y-ya, maksudku… itu…"
Mungkin sensei tidak tahu kalau saat itu Seira terluka, tapi nada suaranya seolah mengandung keyakinan tertentu.
Menyadari bahwa aku tak bisa mengelak, aku pun mengangguk kecil.
Saat itu aku bertindak dengan penuh emosi, jadi sekarang saat kenangan itu diungkit, rasanya agak memalukan.
Entah bagaimana reaksi itu ditanggapi, Yaezakura-sensei tersenyum kecil dan terkekeh.
"Tak perlu malu. Ingin menyelamatkan gadis yang kau suka… itu alasan yang bagus untuk seorang lelaki bersikap nekat, bukan?"
"Nggak, maksudku, sensei… aku bukan suka sama Seira dalam artian seperti itu…"
"Jadi, tidak suka?"
"…Suka, sih. Tapi bukan seperti yang sensei maksud… lebih ke arah…"
"Cemen banget, sih. Padahal saat itu kau kelihatan keren banget."
Sensei mengangkat bahu seolah kecewa sambil menatap rekaman diriku yang sedang menari di layar.
Nowa dan yang lainnya juga pernah bilang, kalau kesan diriku saat menari sangat berbeda dari biasanya.
Saat menari, aku memang berusaha mengekspresikan banyak hal lewat ekspresi wajah, tapi… apakah perubahan itu memang sebegitu kentara?
"Yah, lupakan soal itu. Aku masih ada urusan lain, jadi kita langsung masuk ke topik utama."
"Topik utama?"
"Alasan kenapa aku memanggilmu secara khusus."
Sambil berkata begitu, Yaezakura-sensei mengoperasikan tabletnya lagi dan memperlihatkan sebuah halaman web.
Aku ikut menengok layar itu dan membaca tulisan yang tertera. Hmm, apa ini…
"Benar. Meski lokasinya di luar prefektur, festival ini cukup besar dan setiap tahun membuka pendaftaran performer dari kalangan pelajar. Sebagai pengalaman kegiatan relawan, ini cukup berharga dan bisa ditulis di laporan sekolah juga."
"Eh…"
"Terutama karena Sasafu City memiliki hubungan sebagai kota kembar dengan Belle Island City di Negara Bagian New York, Amerika. Setiap tahun, mereka mengundang siswa pertukaran dari Amerika untuk menonton penampilan pelajar Jepang di festival ini. Itu sudah jadi tradisi."
"…Maaf, aku belum bisa menangkap maksudnya?"
"Aku ingin kau ikut tampil di panggung festival ini."
Aku otomatis mengangkat pandangan. Yaezakura-sensei menatapku lurus dengan pandangan serius.
…Sepertinya dia tidak sedang bercanda.
Aku segera mengalihkan kesadaranku ke arah yang lebih serius dan menegakkan punggung.
"Mohon dijelaskan lebih rinci."
"Dalam rapat dewan guru… lebih tepatnya rapat tingkat kelas sebelum diajukan ke bagian bimbingan, aku menyampaikan pendapatku soal hukumanmu. Dalam kasus kali ini, tidak ada pihak yang benar-benar dirugikan. Maka dari itu, sebelum memutuskan skorsing, aku minta agar Maiori diberikan sebuah kesempatan."
"...Kesempatan?"
"Menunjukkan teladan sebagai siswa lewat kegiatan pengabdian masyarakat yang mudah dipahami. Memang ini agak sepihak, tapi kegiatan seperti volunteer yang berkaitan dengan pertukaran pelajar atau hubungan internasional biasanya dipandang baik oleh lingkungan. Kalau siswa dari sekolah kita tampil aktif di festival itu, bisa dijadikan prestasi dan dicantumkan di situs resmi sekolah."
"...Jadi maksudnya, aku disuruh ikut volunteer demi menaikkan citra sekolah?"
"Kalau dikatakan secara blak-blakan, ya, memang begitu."
Dalam hati aku mengeluh, benar-benar blak-blakan, ya.
Tidak seharusnya ada hubungan langsung antara skorsingku dan strategi pencitraan sekolah. Tapi cara memaksakan partisipasi dalam kegiatan sukarela seperti ini… agak kelewatan, menurutku.
"Yah, aku akan ikut. Toh rasanya aku nggak punya hak untuk menolak."
"Itu jawaban yang bagus. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk membatalkan keputusan skorsingmu. Aku juga akan membantu semaksimal mungkin dalam persiapan panggungnya. Kalau ada yang dibutuhkan, bilang saja sebelumnya."
Itu tawaran yang patut disyukuri… tapi entah kenapa, aku merasa ada sedikit kejanggalan.
Meskipun aku murid di kelasnya, apa mungkin ada guru yang akan sejauh ini membantu seorang siswa?
Memberikan kesempatan agar skorsing dibatalkan, mendukung penuh persiapan panggung…
Sejujurnya, aku merasa Yaezakura-sensei terlalu berpihak padaku. Apa ada maksud tertentu di balik semua ini?
Mungkin aku hanya terlalu curiga karena baru saja mendengar soal betapa sepihaknya sistem sekolah ini, tapi tetap saja, aku ingin tahu.
"Kenapa sih, Sensei sampai sebegitu mendukungku?"
Mungkin sedikit tidak sopan, tapi rasa penasaranku lebih besar.
Saat aku bertanya, Yaezakura-sensei menunjukkan raut seolah sedang mempertimbangkan jawabannya.
"Karena membantu murid adalah pekerjaan guru… yah, aku bisa saja jawab seperti itu. Tapi kali ini, biar aku jujur saja. Aku ingin melihat sebuah cerita."
"…Cerita?"
"Itu alasanku menjadi guru. Masa remaja anak-anak adalah masa yang paling bersinar dalam hidup. Dan aku ingin melihatnya dari dekat. Kalau bisa, aku ingin mendukung masa itu dengan kekuatanku sebagai orang dewasa. Aku tak ingin berpura-pura tak melihat usaha anak-anak yang sedang berjuang, meski seringkali mereka membuat kesalahan."
"…Sensei…"
"Maiori. Saat kau berlari ke atas panggung demi menyelamatkan Yuzuki, cerita yang kau ciptakan benar-benar mengesankan. Sampai-sampai aku ingin melihat kelanjutannya. Mungkin aneh jika aku bilang ini sebagai guru, tapi… aku sudah menjadi penggemar cerita milikmu."
"...Penggemar, ya?"
Tatapan hangat yang diarahkan padaku membuatku geli sendiri, sampai aku tanpa sadar menggaruk punggungku. Aku tak bisa memberikan reaksi yang jelas, dan Yaezakura-sensei hanya tersenyum kecil dengan santai.
"Itu sebabnya, ini murni harapan egois dariku. Aku memang ingin membantu muridku, tapi lebih dari itu, aku ingin melihat sesuatu yang menarik darimu."
Kemudian Yaezakura-sensei menepuk pundakku dengan lembut.
"Aku menaruh harapan padamu, Maiori."
"...U-um, itu, maksudnya…"
Kehangatan dari sentuhan di bahuku membuatku gugup, dan hanya kata-kata setengah hati yang keluar dari mulutku.
Namun di dalam dadaku, terasa ada nyala kecil yang hangat.
Selama setengah tahun aku berhenti menari, tak ada seorang pun yang menaruh harapan padaku. Bahkan aku sendiri tidak bisa percaya pada diriku sendiri.
Aku terus hidup dalam waktu yang hampa seperti itu.
Jadi, ini pertama kalinya dalam sekian lama. Ada seseorang yang dengan jelas menyampaikan bahwa mereka menaruh harapan pada duniaku, pada tarianku.
"...Terima kasih."
Suaraku terdengar jauh lebih pelan daripada yang kupikirkan. Justru karena itu, aku merasa semakin malu.
Saat aku melirik ke atas, Yaezakura-sensei mengangkat ponselnya dan menggoyangkannya.
"Kalau begitu, Maiori. Mari tukar kontak. Kau pakai LINE, kan?"
"Eh, apa nggak masalah guru memberikan kontak pribadi ke murid?"
"Akunku dipisah untuk urusan kerja. Lagipula, kalau harus lewat sekolah terus, merepotkan, kan? Apalagi kita bakal sering berkomunikasi secara personal."
Entah kenapa, saat dia mengatakan 'berkomunikasi secara personal dengan guru', terdengar sedikit… mencurigakan.
Mungkin hatiku memang terlalu kotor. Mungkin karena aku berpikir aneh seperti itu, sensei menatapku dengan senyum pasrah seolah berkata ‘ya ampun’.
Dulu aku pikir Yaezakura-sensei adalah orang yang dingin, tapi senyumnya barusan terasa sangat lembut dan manusiawi.
"…Kupikir Sensei itu orangnya dingin."
"Pekerjaan guru bukan untuk disukai oleh murid. Kadang aku harus bicara atau bersikap keras. Tapi bukan berarti aku ingin membuat jarak lebih dari yang perlu. Kalau ada masalah—baik terkait hal ini atau lainnya—kau boleh bicara padaku kapan saja."
Mendengar itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang hangat mengalir ke dalam hatiku.
Memiliki orang dewasa yang bisa diandalkan di dekatmu… Seseorang yang tanpa alasan muluk, bersedia sepenuh hati menopang jalan yang kau tempuh sebagai seorang anak.
Baru sekarang aku sadar betapa berharganya hal itu.
Kalau bukan karena Yaezakura-sensei, aku mungkin tidak akan mendapat kesempatan ini.
Kalaupun hanya aku yang diskors, itu masih bisa diterima. Tapi kalau sampai Seira ikut terseret dan homestay-nya dibatalkan, itu akan jadi kenyataan yang sangat menyedihkan.
…Makanya aku ingin berusaha.
Bukan karena aku percaya diri. Aku bahkan tidak yakin bisa memenuhi harapan itu.
Tapi aku ingin bisa berkata bahwa aku telah memberikan segalanya.
Setelah semua selesai, aku ingin bisa menepuk dadaku dan berkata dengan bangga: aku sudah berusaha sekuat tenaga.
Dengan senyum kecil di bibirku karena api yang menyala dalam hatiku, aku mengangkat ponselku dan mendekatkannya ke ponsel sensei.
Fitur pertukaran kontak lewat aplikasi menyala, dan suara "piron" terdengar ketika informasi kami saling bertukar.
"…Ugh, tidak, tunggu Maiori! Sial, aku belum ganti akunnya—!"
Sensei tiba-tiba jadi panik. Tapi peringatannya sudah terlambat.
Ponselku bergetar. Di layar muncul tulisan "Tambahkan sebagai teman baru?"
Tanpa berpikir panjang, aku menekannya. Dan di layar muncul akun milik Yaezakura-sensei dalam ukuran penuh:
Aku menatap Yaezakura-sensei dengan pandangan seolah sedang melihat sesuatu yang sulit dipercaya.
Sensei langsung memalingkan wajah dengan cepat.
"……Apa itu, Aules-sama?"
"……Seorang VTuber. Karakternya adalah seorang pangeran dari negeri gurun, dikenal karena sikap angkuhnya yang sering meremehkan penonton, tapi dalam siaran game ia menunjukkan emosi yang sangat manusiawi dan jujur, jadi popularitasnya muncul karena kontras itu. Dia adalah streamer terkenal dari agensi besar."
"Eh, aku nggak nanya sejauh itu. VTuber itu apa, sih?"
"VTuber adalah istilah untuk orang yang melakukan siaran menggunakan avatar ilustrasi dengan gerakan yang disinkronkan melalui teknologi seperti Live2D. Ini adalah ujung tombak pasar metaverse masa kini. Bahkan pengaruhnya tidak terbatas pada dunia streaming, tapi juga merambah dunia musik dan event lainnya—"
"Kenapa bisa tahu sedetail itu..."
Sosok wanita cantik berbaju hitam di depanku gemetar halus, berkeringat dingin tak henti-henti.
Aku menatapnya selama beberapa detik.
Dan entah karena pasrah atau apa, wajahnya yang merah padam akhirnya meledak dengan teriakan penuh emosi.
"Si-sial! Mau bagaimana lagi!? Jadi guru itu pekerjaan penuh tekanan! Kalau nggak punya pelampiasan stres, siapa juga yang bisa bertahan!? Memangnya salah kalau seorang kakak perempuan yang biasanya tegas malah menjadikan melempar superchat ke VTuber kesayangannya di malam hari sebagai alasan untuk terus hidup!?"
"Ya, maksudku... bukannya salah sih…"
Tapi… yah. Tolong kembalikan deh. Sesuatu yang tadi menghangatkan hatiku. Cahaya suci itu.
"Sekalian saja, aku jujur sekarang! Salah satu alasan kenapa aku berpihak padamu adalah karena auramu itu sedikit mirip dengan Aules-sama!"
"Eh, tadi katanya penggemar cerita hidupku atau apa gitu ke mana?"
"Dengar baik-baik, Maiori. Jangan bilang siapa-siapa soal ini. Aku ingin tetap mempertahankan image guru cantik yang tegas di ruang kelas maupun ruang guru. Itu posisi yang sangat menguntungkan. Kalau kau berani bocor satu kata saja... ya, mari kita lihat gimana nasib skorsingmu, ya."
"Apa-apaan ini. Karakternya benar-benar hancur berantakan…"
Guru yang tadinya kelihatan sangat bisa diandalkan itu sekarang tidak terlihat seperti orang dewasa yang baik-baik saja.
Sebenarnya aku tak mempermasalahkan hobi seseorang. Tapi caranya menangani krisis dan menutupi aibnya itu… buruk banget.
Aku menarik napas pendek dan kembali ke topik utama.
"Sensei, aku mau memastikan dua hal. Boleh?"
"Kalau soal tinggi dan berat badan Aules-sama, itu rahasia."
"Bisa tolong tinggalkan dunia VTuber sebentar?"
Dan… dia juga nggak ngerti konteksnya, ya ampun.
"Di halaman web ini tertulis kalau panggungnya diadakan untuk menampilkan kebudayaan Jepang kepada pelajar dari Amerika… Tapi yang bisa kulakukan hanya menari. Dan itu pun genre hip-hop. Jelas-jelas itu budaya dari luar."
Apalagi hip-hop berasal dari New York, Amerika Serikat.
Menampilkan budaya Amerika untuk siswa Amerika… ya walaupun mungkin tetap menarik, itu jelas tidak sesuai dengan tujuan acara seperti yang ditulis di informasi perekrutan.
"Aku sudah memikirkan soal itu. Bagaimana kalau kau menari dengan lagu anime seperti saat di festival budaya?"
"...Jadi, tari anison ya."
Anime adalah bagian dari budaya Jepang yang membanggakan. Dan menari mengikuti lagu-lagu dari anime—anison—bisa dianggap sebagai bentuk pertunjukan budaya Jepang… eh, bisa, nggak ya?
Saat aku hampir menerima logika itu, sesuatu mengganjal. Memang, anime Jepang populer di luar negeri, tapi aku sendiri tidak tahu sejauh mana pemahaman mereka. Bahkan aku, sebagai orang Jepang, sebelum bertemu Seira lagi, hampir tidak tahu apa-apa tentang anime.
"…Yah, nanti aku akan tanya Seira saja."
Meskipun aku nggak sampai bilang ‘serahkan pada ahlinya’, Seira yang pernah tinggal di Amerika mungkin bisa paham bagaimana reaksi orang sana.
Setelah menyimpan catatan kecil itu di pikiranku, aku kembali menatap Yaezakura-sensei.
"Satu lagi yang ingin kupastikan."
Dan inilah yang sebenarnya paling penting.
Janji antara aku dan Seira memang sudah mencapai titik penyelesaian lewat penampilan di festival budaya. Tapi masih ada hal lain yang harus kutunaikan. Seseorang yang selama ini terus menungguku. Seseorang yang kusamakan dengan kata ‘partner’.
Dengan suara yang penuh tekad, aku mengajukan pertanyaan.
"Aku ingin menari bersama seseorang. Apa aku boleh mengajaknya?"
***
Saat aku pulang ke rumah, kulihat dua gadis yang kukenal sedang saling baku hantam.
"Hahaha! Rasakan itu, Nowa! Inilah kombinasi baru milik Griemhilde dari update minggu lalu—serangan tengah saat berlari, pukulan kuat, lanjut ke serangan bawah, lalu diangkat dan ditutup dengan ‘pukulan sihir tongkat ajaib’! Total damage-nya 4800 poin!!"
"Gila! Eh, tunggu, HP-ku langsung anjlok!? Padahal jurus jarak jauhnya aja udah bikin pemain lain pada benci! Dan sekarang malah dikasih combo sekuat ini!? Apa yang dipikirin pengembangnya!? Jangan-jangan di antara mereka ada fans garis keras Griemhilde, ya!?"
Biar tidak disalahpahami, ini semua terjadi dalam game.
Di atas ranjangku, Seira dan Nowa sedang duduk sambil asyik mencet-mencet kontroler. Tatapan mereka tertuju ke layar TV di depan.
Di dalam game, karakter wanita penyihir pirang bernama Griemhilde melontarkan serangan sihir brutal pada karakter penari Tiongkok yang menjadi avatar Nowa.
Nowa yang terkejut dengan combo baru itu jadi kehilangan fokus. Kesempatannya untuk membalikkan keadaan pun hilang, dan bar HP-nya pun jatuh ke nol.
Di sampingnya, Seira mengangkat dagu dengan gaya menang dan menghembuskan napas lewat hidung, fufun.
"Enam menang, empat kalah. Aku menang. Tahu artinya?"
Dengan ekspresi setengah enggan, Nowa membuka tangannya perlahan.
Seira tersenyum lebar dan langsung memeluk Nowa dengan kuat. Nowa sampai mengeluarkan suara "Oph!" karena kekuatan pelukannya.
"Tunggu, Seira. Sedikit lebih lembut dong…"
"Fufu, kalau baru begini saja kamu sudah lemah, nanti waktu yang sesungguhnya bisa masalah, lho."
"N—nggak! Jangan—kamu pegang di mana sih, ah…!"
Jari-jari Seira yang cekatan menyusup ke sisi perut Nowa, mengelus lembut bagian yang sensitif itu.
Suara napas yang keluar terdengar agak menggoda, dan wajah malu-malu Nowa dipenuhi ekspresi merah muda yang... entah kenapa, rasanya aku jadi merasa bersalah karena melihatnya.
Ini kamarku, tapi karena ada dua gadis yang saling bercanda seperti itu, suasananya terasa wangi manis entah darimana.
...Iya, ini kamarku, kan?
Karena pemandangan yang begitu mendadak saat aku membuka pintu, aku jadi ragu mau masuk atau tidak.
Mereka tampaknya terlalu fokus bermain sampai tak sadar aku sudah di sini.
Saat aku bingung harus berbuat apa, ponsel di sakuku bergetar.
Kulihat layarnya. Sebuah pesan dari Yuuma masuk.
[――Ruto. Menyelip di antara yuri itu, kejahatan lho]
Wajah temanku yang sempat terbayang di kepala—termasuk senyumnya yang terlalu sempurna—kupilih untuk diabaikan sepenuhnya. Lebih tepatnya, aku menolak bentuk komunikasi apa pun lewat jurus pamungkas bernama baca tapi nggak dibalas alias read tanpa respons.
"Ayo, Nowa. Menyatulah denganku dan jadilah tawanan kenikmatan dan kesenangan."
Entah kenapa, belaian Seira benar-benar tepat sasaran. Wajah Nowa mulai meleleh seperti es krim di musim panas.
Pipinya memerah karena panas tubuhnya yang meningkat. Mungkin tak ingin bersuara, dia menekan bibirnya ke bahu Seira, tapi tetap saja napas berat yang teredam masih lolos keluar, berbunyi afu afu.
Lalu entah karena sudah tak tahan, tubuh Nowa goyah dan bersandar ke Seira sambil berbalik badan. Matanya yang sepenuhnya meleleh seperti keju di atas perapian menatap ke arah pintu—tempat aku sedang berdiri.
Dan seketika, banyak hal terjadi dalam waktu sangat singkat.
Pertama, Nowa melepaskan diri dari lengan Seira dengan gerakan luwes seperti makhluk lunak, meraih bantal yang ada di tempat tidur, lalu melemparkannya dengan tenaga penuh.
Bantal itu menghantam wajahku telak, membuatku jatuh terdorong ke belakang tanpa sempat bereaksi.
Terdengar suaraku sendiri, "Uwoh!?" yang cukup memalukan. Lalu sebelum sempat kuangkat wajah, pintu ditutup brak! di depanku.
Semuanya terjadi dalam waktu satu detik.
Rasanya seperti terkena badai, aku berdiri terpaku dengan ekspresi kosong.
"…Umm?"
Dengan otak yang belum bisa mencerna semua yang baru saja terjadi, aku hanya bisa bergumam seperti itu.
Masih memegang bantal yang tadi menghantam wajahku, aku perlahan membuka kembali pintu—dan di sana, seolah tak pernah terjadi apa-apa, Seira dan Nowa duduk manis di tempat tidur.
"Selamat datang kembali, Ruto. Maaf sudah mengganggu ya."
"...Eh, Nowa. Barusan itu…"
"Barusan? Maksudmu apa?"
Nowa tersenyum cerah, tapi dari dirinya keluar aura gelap seperti kabut hitam tipis.
Di sebelahnya, Seira untuk sekali ini tampak pucat dan canggung. Ia memberikan kontak mata darurat yang terbaca jelas: ‘JA-N-GAN SA-LAH OM-ONG!’
Keringat dingin menetes dari pelipisnya—sepertinya dia melihat sesuatu mengerikan dalam beberapa detik aku tersingkir tadi.
Seira pelan-pelan menggelengkan kepala, dan aku pun ikut mengangguk. Tak ada gunanya menginjak ekor harimau sendiri.
Apapun yang barusan kulihat, akan kuhapus dari ingatan. Walau… agak sayang juga, jujur saja.
"Seira, aku nggak keberatan kau ajak teman ke rumah. Tapi kalau mau pakai kamarku, tolong kabari dulu. Aku juga punya yang namanya privasi."
"Hmm, betul juga. Aku akan lebih hati-hati mulai sekarang. Tapi tenanglah, aku sudah sembunyikan majalah-majalah mesummu yang di bawah ranjang."
Nowa langsung menatapku seolah aku adalah kotoran menjijikkan. Itu tuduhan palsu!
Sebelum aku sempat membela diri, Seira menambahkan:
"Ah, maaf, maksudku tempat aslinya di rak buku, rak kedua dari atas. Ada ruang kecil di balik deretan buku saku itu. Sungguh, pepatah ‘sembunyikan pohon di hutan’ sangat tepat."
".......!"
Tebakan akurat Seira membuat tubuhku membeku kaku.
"...Kau, dari mana kau tahu itu?"
"Fufu. Apa ada hal di kamar Ruu-kun yang tidak kuketahui? Bahkan jumlah noda di langit-langit pun bisa kusebutkan kalau kau mau."
Aku tak mau terlibat dalam omongan menggelikan ini. Meskipun kami teman masa kecil, mengacak-acak kamar orang itu pelanggaran privasi!
Namun sebelum sempat memprotes, sudut mataku menangkap bayangan bergerak.
"Eh, hey, Nowa!"
Nowa melompat dari ranjang seperti kucing dan langsung menuju rak buku, berniat membuktikan kebenaran pernyataan Seira.
Sial! Prioritasku salah. Harusnya aku cegah dia dulu!
"Jangan salah paham, Ruto. Sebagai partner tari, aku perlu mengenalmu luar-dalam. Ini bagian dari proses pembelajaran, tanggung jawab, dan rasa ingin tahu yang tak bisa kuhindari sebagai bentuk dedikasi!"
"Itu terakhir jelas-jelas alasan pribadi, kan!"
Nowa mengabaikan protesku dan menarik keluar deretan buku saku dari rak—sembilan puluh persen di antaranya adalah light novel yang dibawa Seira sendiri.
Bahaya! Di balik itu ada koleksi rahasiaku!
Aku segera bergerak untuk menghentikan Nowa—
"Wah!?"
"Eh!? Kyaa!?"
Langkahku tersandung, dan aku tak sengaja mendorong Nowa sampai kami jatuh berguling bersama.
Tubuh kami berdua terhempas ke lantai. Tumpukan kertas ikut berjatuhan bersuara brak-brak.
Saat penglihatanku kembali fokus, yang kulihat adalah wajah Nowa yang sangat dekat.
"...Ruto…?"
"...Nowa…"
Dia memandangku dari posisi di lantai dengan mata yang mengembun, penuh ekspresi manis yang hampir seperti buah matang.
Wajahnya begitu dekat. Sedikit saja aku bergerak, bibir kami akan saling bersentuhan.
Suaraku bergetar begitu keluar dari tenggorokan. Bahkan aku malu mendengarnya sendiri.
Aku menjauh darinya, tapi panas yang tersisa di tubuh tak kunjung mereda.
Perasaan yang berputar-putar di dalam hati ini… apa, ya namanya? Malu? Gugup? Atau… canggung? Tak satu pun rasanya pas, jadi aku cuma bisa memalingkan wajah dengan canggung.
Keheningan yang serba salah.
Melirik ke arah Nowa, kulihat telinganya merah merona. Mungkin wajahku pun sama merahnya. Saat itulah—
"Ohhh~ ada apa ini, yaaa~?"
Tubuhku tersentak. Dari belakang, wajah teman masa kecilku menyembul.
Mata biru cerahnya menatap tumpukan buku yang berserakan di lantai—dan di antara mereka, ada majalah mode wanita yang menampilkan Seira di sampul depannya.
"Aneh banget, ya~ kenapa dari rak bukunya Ruu-kun muncul majalah fashion untuk cewek? Dan hei, hei, lihat ini! Kok semuanya modelnya sama? Wah, anehnya~. Eh? Hmm? Tunggu deh… perasaan aku sering lihat muka cewek ini di kaca, ya? Hm… siapa ya? Ah! Apa jangan-jangan—Ruu-kun!?"
"…………"
"Yah, tentu saja ini cuma kemungkinan, tapi… misalnya nih, Ruu-kun diam-diam mengoleksi majalah yang memuat teman masa kecilnya sendiri… itu, enggak mungkin, kan? Kan tiap hari juga bisa lihat langsung orangnya? Tapi malah ngumpetin dan sembunyi-sembunyi baca… waduuuh~ misteri nih~! Ini layak masuk daftar tujuh keanehan versi Seira-chan. Misteri terbesar abad ini!"
"………………Nyebelin banget."
Aku membalas senyum Seira yang terangkat di sudut bibir dengan gumaman penuh keluhan.
Aku mencoba mencari kata-kata untuk membela diri, tapi sejak ketahuan mengoleksi majalah yang memuat Seira, segalanya sudah berubah jadi permainan sepihak.
Tidak ada peluang untuk membalik keadaan. Yang bisa kulakukan hanyalah memalingkan wajah yang sudah memerah ini dan berusaha meminimalkan luka harga diriku.
Rasa malu yang membanjiri hatiku… entah karena apa, aku sendiri sudah tak tahu lagi.
Karena itu—atau mungkin bukan karenanya juga sih—aku sama sekali tidak merasa aneh saat melihat ekspresi penuh makna di wajah Nowa, yang sedang memandangi majalah-majalah fashion berserakan di lantai, terutama halaman yang memuat Seira.
***
Jarak antara rumah keluarga Maiori dan rumah keluarga Kurosaki ternyata cukup dekat, tak sampai dua puluh menit berjalan kaki.
Tapi itu bukan berarti aku bisa membiarkan seorang gadis pulang sendirian. Kami berjalan di area perumahan yang masih terang meskipun disebut "malam hari", melewati keluarga-keluarga yang tengah membahas makan malam, sambil aku menjelaskan pada Nowa soal permintaan dari Yaezakura-sensei.
"—Begitu ya. Jadi, kau ingin aku menari bersamamu."
Nowa mengangguk mantap dengan wajah serius. Tapi kupingnya sedikit merah. Entah itu karena warna langit senja, atau karena kejadian "kecil" tadi masih membekas…
Bagaimanapun, bahkan aku tahu kalau menyebutkan soal itu hanya akan membuat suasana jadi canggung.
"Jadi, ehmm… festival momiji itu kapan sih?"
"Di Kota Sasafu. Naik kereta sekitar dua jam dari sini. Festivalnya diadakan tanggal dua puluh Oktober."
Tepatnya, festival berlangsung dua hari: tanggal sembilan belas dan dua puluh, di akhir pekan. Tapi tanggal dua puluh adalah hari di mana panggung utama digelar. Artinya, tenggat waktu untuk menyelesaikan koreografi kami adalah hari itu.
"…Itu minggu depan dong. Dadakan banget."
"Makanya."
Hari ini adalah Jumat, sebelas Oktober. Artinya, waktu kami tinggal kurang dari dua minggu.
Kalau mengingat kami bahkan belum punya gambaran konsep tarian pun, tentu saja persiapannya terasa mepet. Jadi kalau Nowa terlihat agak enggan, aku bisa maklum.
Tapi menurutku, meskipun waktu sempit, ini masih bukan mustahil. Karena—
"Mulai minggu depan kan libur panjang. Kalau kita manfaatkan seluruh waktu itu, rasanya sih masih bisa keburu."
Liburan Souu adalah libur musim gugur yang tradisional di sekolahku, SMA. Meski dibilang tradisional, sebagai murid kelas satu ini akan jadi pengalaman pertamaku juga.
"Jadi maksudmu… semua hari libur itu mau kupakai buat nemenin kamu? Di kasih tahu dadakan kayak gini? Aku juga punya rencana, tahu."
"…Jadi, nggak bisa ya?"
"B-bukan aku bilang nggak bisa! Tapi… kalau kamu minta tolong, bilangnya tuh yang bener."
Dengan latar belakang langit merah senja, Nowa menoleh dan menatapku.
Poni hitam yang terikat kencang dalam bentuk kuda berayun tertiup angin musim gugur, seolah memarahi hatiku yang masih setengah-setengah.
Jangan cuma cari alasan buat nggak bisa. Cari alasan kenapa kamu ingin melakukannya.
Itu pernah dia ajarkan padaku. Bahwa Maiori Ruto adalah tipe penari seperti itu. Aku ingin hidup sesuai ajaran itu. Bukan sekadar mengikuti hasrat, tapi mendengarkan jujur isi hatiku.
Dan ketika kulakukan itu, yang keluar dari mulutku adalah—
"Nowa, maukah kau menari bersamaku?"
"Yah, baiklah. Aku akan menemanimu. Soalnya cuma aku yang tahan sama egoisnya kamu."
Nowa tersenyum seperti anak kucing nakal, dan jantungku berdebar tak karuan.
Kehangatan yang menyebar dari dada ini membuatku ingin terus berada di sampingnya.
Janji untuk menari bersama.
Janji untuk kembali berdansa.
Hal kecil itu saja—melakukannya lagi bersama Nowa—membuatku sangat senang.
"Kalau gitu, Ruto. Ayo kita susun jadwal sekarang. Aku nggak mau setengah-setengah. Kalau mau, sekalian total aja."
"Siap. Aku udah mikirin garis besarnya, sih. Pertama-tama…"
Kami sama-sama menatap layar kalender di ponsel dan menyatukan jadwal.
Bahunya yang menyentuh bahuku terasa akrab. Perasaan rindu atas kedekatan ini membuatku ingin tertawa.
Meskipun aku sendiri yang menjauh duluan, aku nggak mau lagi kehilangan jarak ini.
Di dalam dadaku, api keinginan itu kembali menyala.
"Ayo kita mulai, Nowa. Kamp pelatihan dansa kita dimulai lagi."
Mendengar deklarasiku, Nowa ikut tersenyum.
Dan senyumnya kali ini terasa lebih dekat daripada saat aku berhenti menari dulu. Itu pasti bukan cuma perasaanku saja.
***
POV Nowa
Ada aroma angin yang terasa familiar.
Dalam perjalanan pulang bersama Ruto, aku merasakan bahwa kota ini, yang seharusnya terlihat sama seperti biasa, kini seolah menyambutku dengan kenangan lama.
Sudah berapa lama, ya, sejak terakhir aku bicara soal dansa sambil jalan pulang bareng Ruto?
Dulu waktu SMP, ini adalah hal yang biasa. Tapi sekarang terasa… sangat nostalgik.
Wajah Ruto yang terkena sinar matahari senja sedang menatap lurus ke depan.
Dan dalam tatapan matanya yang tampak menatap masa depan itu… aku merasa, "Akhirnya dia kembali."
Jujur saja… aku merasa sedikit kecewa.
Yang membuat Ruto kembali berdiri bukan aku.
Alasan dia bangkit, keinginannya untuk menari lagi, dan bahkan impian yang ingin dia capai dari atas panggung itu… semuanya bukan tentang aku.
…Yah, bukan berarti aku nggak ada di dalamnya, sih. Tapi aku tahu aku bukan pusat dari semua itu.
Aku tidak jadi pemeran utama dari ceritanya.
Dengan bisikan lirih ke arah senja yang jauh di sana, aku menumpahkan rasa cemburuku…
――Lalu aku tertawa dan berkata: "Emang kenapa?"
Jangan biarkan peranmu ditentukan oleh siapa pun selain dirimu.
Tempatku berdansa adalah pusat dari kisahku sendiri.
Cerita hidupku adalah kisah di mana aku yang mengejar, meraih, dan menggenggam sesuatu.
Dan akulah tokoh utamanya.
"Nowa? Kenapa senyum-senyum?"
"Enggak kok. Cuma silau karena cahaya senja."
Memang silau beneran. Tapi, selain kebenaran itu… aku juga menyembunyikan satu hal lagi.
Hei, Ruto.
Aku tahu aku kelihatan kayak gengsi banget dan nggak bisa jujur, tapi…Sebenarnya, waktu kamu bilang pengen menari bareng aku… aku seneng banget.
Aku bener-bener, bener-bener nggak sabar buat nari bareng kamu lagi.
…Dan perasaan itu cuma bisa kusampaikan di dalam hati.
Aku tersenyum lemah pada diriku sendiri yang tetap saja nggak bisa jujur, lalu menyembunyikan senyum dan isi hatiku itu diam-diam di dalam cahaya senja.
Post a Comment