NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 5 Chapter 1

Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 1

Tidak Cukup


──Tahun baru yang kulewati bersama Makoto untuk mencari bintang, kini telah berlalu.


Aku kembali ke dunia 3 tahun setelahnya.


“──Meguri, maaf.”


“──Aku benar-benar minta maaf…”


Nito, yang akhirnya bisa kutemui lagi──dia yang selama ini kucari.


Saat kutanya tentang keadaan Makoto, dia menjawab dengan suara bergetar seperti itu.


Seharusnya aku sudah meraih akhir yang bahagia.


Seharusnya aku sudah mengubah akhir yang terburuk, dan berhasil sampai di masa depan yang terbaik.


Namun──


“……Kenapa, memangnya?”


Sebuah firasat yang merayap muncul di dadaku, membuatku merasa pusing. Aku bertanya,


“Ada apa? Ada apa dengannya? Apa yang terjadi dengan Makoto…?”


“……Begini…”


Dan kemudian, dengan wajah pucat pasi, dia memberitahuku.


Tentang Makoto di garis waktu ini.


“──Beberapa waktu sebelum upacara kelulusan… dia menghilang.”


“──Hasil penyelidikannya menunjukkan, mobil keluarganya juga hilang dari rumah…”


“──2 hari yang lalu, mobilnya ditemukan.”


Lalu, seperti sedang mengaku dosa──


“──Di dasar danau.”


“──Mobilnya ditemukan dalam keadaan tenggelam.”


Karena dulu pernah punya hubungan dekat, anggota klub astronomi juga dipanggil polisi untuk dimintai keterangan.


Selain itu, karena muncul di berita dan banyak rumor beredar, Nito dan yang lain akhirnya bisa menebak sedikit tentang kebenarannya.


Keluarga Makoto sendiri sudah lama punya banyak masalah. Masalah yang, meskipun klise, tak perlu dijelaskan lagi.


Pertengkaran di antara suami-istri, kebencian antar keluarga besar, semua saling melemparkan kebencian.


Orang tuanya tertekan sampai mental mereka runtuh, pertengkaran di rumah pun tak pernah berhenti.


Katanya, keadaan rumah mereka yang kacau bahkan sudah lama jadi pembicaraan tetangga.


Bahkan polisi pun pernah turun tangan beberapa kali.


Dan──masalah rumah tangga itu, masalah pribadi yang selama ini membuat Makoto tersiksa,


akhirnya berujung pada kejadian terburuk.


──Bunuh diri bersama, menyeret Makoto ke dalamnya.


“……Kenapa……bisa……?”


Setelah mendengar semua ceritanya.


Setelah mendengar semua yang Nito ketahui.


Aku terduduk di kursi tanpa tenaga.


Dengan tangan gemetar, aku menutupi wajahku.


Gigi bergemeletuk seakan kejang.


“Kenapa……bagaimana, bisa……?”


──Aku sama sekali tak bisa mengerti.


Makoto kehilangan nyawanya.


Aku tak pernah mengalami akhir semacam itu, bahkan setelah berkali-kali mengulang waktu.


Aku tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, aku pun tidak bisa menerimanya.


Dia hanya──berusaha hidup mati-matian di dunia masa lalu itu.


Berjalan di jalannya sendiri, menembus semua rintangan dengan sekuat tenaga.


Bukan hanya aku. Nito juga, Igarashi-san juga, Rokuyou-senpai juga, Makoto juga.


Kami semua sudah berjuang.


Jadi kenapa, akhirnya bisa jadi begini?


Kenapa harus Makoto yang berakhir seperti ini──?


Perasaan yang meledak-ledak memenuhi dadaku.


Marah, geram, sedih, sakit, sepi, dan putus asa.


Tubuhku tiba-tiba terasa panas, dan tanganku menggenggam kuat.


Sesuatu menetes ke celana seragamku.


Meninggalkan bulatan berwarna merah hitam di kain berwarna gelap itu.


──Darah.


Saat kuusap hidungku dengan kepalan tangan, punggung tanganku berlumuran darah segar.


Sepertinya mimisan.


“……Maaf…”


Nito berkata begitu sambil menyodorkan tisu dari sakunya.


Kulihat──dia sendiri sudah berlinang air mata sampai berantakan.


Riasannya luntur, wajahnya kusut berantakan.


Dia jauh lebih perlu tisu daripada aku, sebenarnya.


“Makoto-chan……sampai jadi seperti ini……maaf…….”


Suaranya bergetar pelan.


Mendengar itu──akhirnya aku merasa sedikit tenang.


Aku meraih empat atau lima lembar tisu, lalu mengembalikan sisanya padanya.


“Nito tidak perlu minta maaf.”


Sambil mengusap hidungku, aku berusaha bicara selembut mungkin.


“Lap, air matamu.”


“……Terima kasih.”


Dia mengangguk, lalu mulai menyeka air matanya.


Sesekali terisak, tapi berusaha tetap tegar.


Sambil menatapnya──aku mengambil napas panjang.


Setidaknya, aku sudah mengerti situasinya sekarang.


Aku juga paham, kalau ini adalah situasi yang terburuk sejak aku mulai melakukan perjalanan waktu.


Nito berhasil kuselamatkan, tapi Makoto malah kehilangan nyawanya──


Artinya──itu terjadi karena aku.


Karena pilihanku──dia kehilangan nyawanya──


Semua ini……adalah salahku──


“……Haah……”


Aku menghembuskan napas, menenangkan pikiran.


Kalau dulu, mungkin aku sudah benar-benar kacau sekarang.


Aku pasti sudah menangis sampai meraung, atau bahkan setengah gila.


Tapi──kali ini tidak.


Aku punya pengalaman. Aku pernah memperbaiki masa lalu, pernah berhasil berdiri di samping Nito lagi.


Jadi──


“……Pasti, masih bisa diatasi.”


Setelah mengurus mimisan, aku menatap Nito dan berkata,


“Kalau kita bersama──kita pasti bisa menyelamatkan Makoto melalui perjalanan waktu.”


Hari-hari yang kulalui selama ini terlintas di benakku.


Putus asa ketika Nito menghilang.


Hari-hari yang kuhabiskan mati-matian untuk bisa bersamanya lagi.


Benar──aku sudah sekali berhasil menyelamatkan seseorang dengan perjalanan waktu.


“Di garis waktu masa lalu, aku sekarang masih ada di bulan Januari, kelas 1 SMA.”


Aku berdeham pelan, lalu menyampaikan rencanaku pada Nito.


Dia juga kelihatan sudah sedikit tenang, dan mengangguk, 


“Iya.”


“Makoto menghilang sedikit sebelum kelulusan kita. Artinya, kita masih punya waktu lebih dari 2 tahun.”


Ya, itu artinya.


Kali ini, yang harus diselamatkan bukan lagi Nito, melainkan Makoto.


Batas waktunya adalah sampai hari dia menghilang──kurang lebih 2 tahun dari sekarang.


Kalau begitu──aku pasti bisa melakukannya, pikirku.


Dengan diriku yang sekarang, aku pasti bisa menyelamatkan Makoto.


“Dan──”


Aku tersenyum pada Nito,


“──kali ini, kau juga akan membantuku, kan?”


Sambil menggenggam tangannya, aku menanyakannya.


“Nito di masa lalu juga, kalau tahu situasinya, pasti mau membantuku, kan?”


Sekarang aku sudah berhasil menyelamatkan Nito, aku tidak sendirian lagi.


Untuk menyelamatkan Makoto, dia pasti juga mau meminjamkan kekuatannya.


Bersama Nito, aku pasti bisa memperbaiki masa lalu──


“Jadi, tidak apa-apa.”


Aku menguatkan genggamanku sekali lagi sambil berkata begitu.


“Tenanglah, ayo kita pikirkan baik-baik, Nito.”


Dia menatapku dengan mata terbuka lebar.


Lalu diam menatapku tanpa berkedip──


Eh, kenapa?


Kenapa dia menatapku seperti itu──


“Fu, fufu……”


Tiba-tiba tertawa kecil.


Nito mendadak──menghela tawa pelan.


“Haha, ahahaha!”


“Eh, a-ada apa……?”


Aku meraba-raba wajahku, panik,


“A-ada yang menempel? Darah di tempat aneh atau bagaimana……?”


“T-tidak, bukan itu…….”


Dia menarik napas panjang,


“Soalnya……kamu bicara sangat keren begitu, tapi tisu masih menyumpal di hidung……”


“……Hah?”


Aku baru sadar, lalu menyentuh hidungku.


Benar saja──tisu masih menancap rapat di lubang hidung.


Tanpa sadar, aku memang menjejalkannya untuk menghentikan mimisan.


“Perbedaannya parah sekali, kamu sengaja, ya?”


“Tidak, ini benar-benar tidak sadar…….”


Saking bodohnya, aku sendiri malah ketawa.


“Wah, payah sekali, malah di saat seperti ini……”


“Benar, padahal mau kelihatan keren.”


Tapi, berkat itu, suasana yang membeku karena kabar tentang Makoto sedikit mencair.


Ketegangan yang mengikat ruangan klub pun sedikit mengendur──rasanya begitu.


Kalau begitu, kita pasti bisa.


Kita pasti bisa menyelamatkan Makoto bersama-sama.


“Pasti, kita akan menyelamatkannya.”


Aku menatap lurus pada Nito dan berkata,


“Kita berdua, akan menyelamatkan Makoto.”


Dan Nito, dengan mata yang seolah memantulkan seluruh galaksi, menatapku balik──


lalu mengangguk seperti anak kecil, penuh ketulusan.


“──Iya!”



Pertama──kami memutuskan tetap bertahan di masa depan untuk mengumpulkan informasi.


Kembali ke masa lalu akan dilakukan nanti. 


Di dunia 3 tahun setelah semua berakhir seperti ini, kami perlu memahami situasi terlebih dahulu.


“──Informasi yang kita butuhkan ada dua.”


Kujelaskan kepada Nito, yang sedang menyamar di kafe tempat kami bertemu, lengkap dengan topi, masker, dan kacamata.


“Dua?”


“Iya. ‘Kenapa akhirnya berbeda dari garis waktu yang sebelumnya’, dan ‘bagaimana cara mencegahnya’. Kalau dua hal itu tidak jelas, kembali ke 3 tahun yang lalu hanya akan membuang-buang waktu.”


Di masa depan ini, Nito jauh lebih terkenal daripada di masa mana pun yang pernah kutemui.


Kabarnya bahkan sudah tampil di luar negeri, dan pada akhir tahun kemarin ikut tampil di acara Kōhaku Uta Gassen.


TL/N: NHK Kōhaku Uta Gassen, atau populer dengan singkatan Kōhaku adalah acara musik malam tahun baru yang diproduksi NHK Jepang


Sungguh? Dia benar-benar sudah jadi artis papan atas……


Meski aku sempat berdiri di sampingnya, melihat kesuksesan sebesar itu membuatku sedikit terintimidasi.


“Seperti waktu kita menyelesaikan masalah perjalanan waktu sebelumnya,”


Kutahan rasa canggung dan melanjutkan,


“kita juga harus melacak penyebabnya di masa depan dulu, lalu memperbaikinya di masa lalu.”


“Hmm, benar juga.”


Nito mencatat sesuatu di ponselnya sambil menggigit kue cokelat chip.


Sikapnya yang tenang dan penuh logika terasa sangat bisa diandalkan sekarang.


“Mungkin kita memang harus mengumpulkan informasi sedikit demi sedikit lewat wawancara.”


“Ya, sepertinya memang begitu.”


Aku mengangguk, lalu menghela napas pelan.


Yang harus kami cari sekarang adalah perbedaan dengan sebelumnya.


Apa yang berubah pada Makoto antara masa ujian masuknya hingga akhir tahun kedua SMA?


Kejadian apa yang baru pertama kali muncul dalam rentang waktu itu──


“……Sejujurnya, mungkin ini tidak mudah.”


Aku menyandarkan tubuh ke sandaran kursi sambil menimbang kemungkinan yang muncul.


“Selama ini masalahnya selalu terjadi di sekolah, tapi kali ini mungkin di rumah. Kalau begitu, pasti lebih sulit untuk mengetahuinya……”


“Benar juga……”


Masalah dalam keluarga biasanya tidak mudah muncul ke permukaan.


Apalagi sampai berujung pada bunuh diri bersama, pasti sangat tertutup rapat.


Bahkan penyelidikan polisi pun mungkin tidak akan bisa sepenuhnya mengungkap kebenaran.


Meski begitu──


“Yah, setidaknya kita harus mulai bergerak.”


Kuselesaikan kopi dalam cangkir, lalu berkata,


“Pertama-tama kita coba cari teman-temannya Makoto. Atau teman sekelasnya di SMA Amanuma.”


Itu langkah yang paling masuk akal.


Mengumpulkan petunjuk sedikit demi sedikit dari orang-orang di sekitarnya, lewat usaha kaki.


Kali ini, hanya itu cara untuk memulai.


──begitulah pikirku, sampai kemudian──


“Eh? SMA Amanuma……?”


Tiba-tiba Nito menoleh sambil mengerutkan alis.


“Mau menanyai siswa Amanuma?”


“Ah, ya. Tentu saja.”


Aku mengangguk agak canggung, tak paham maksudnya.


“Soalnya kalau mau tahu keadaan Makoto di sekolah, ya harus tanya teman-temannya, kan? Bisa jadi dia sempat cerita soal keluarganya atau apa……”


Menurutku itu wajar.


Bisa jadi dia pernah bercerita pada teman sekelas atau guru.


Tentu tidak ada jaminan informasinya akan lengkap, tapi itu langkah yang paling masuk akal.


“S-sudah kuduga……begitu ya……”


Namun Nito tampak agak gelisah saat mengangguk.


“Jadi Meguri masih belum tahu……”


“Belum tahu apa?”


Keningku berkerut tanpa sadar, merasa tidak paham.


“Dari tadi apa maksudmu sebenarnya, Nito?”


“Eh, jadi begini…….”


Nito sempat menunduk, seperti memilih kata, lalu menatapku sambil tampak ragu,


“Sebenarnya……Makoto-chan di garis waktu ini──tidak masuk SMA Amanuma…….”


Dengan wajah yang sulit dijelaskan, dia memberitahuku,


“Di masa ini……Makoto-chan masuk di sekolah lain.”



“──Gagal ujian masuk……?”


“Iya……”


Dan──malam itu.


Saat kutanyai Mizuki, adikku sekaligus teman Makoto, ia mengangguk dengan wajah yang hampir menangis.


“Benar. Padahal semua orang bilang Makoto pasti akan lulus di SMA Amanuma, tapi malah gagal……dan akhirnya masuk di sekolah swasta yang agak jauh.”


Lalu, seolah menambahkan, ia berkata,


“……Kamu lupa, ya?”


Ekspresinya tampak heran, suaranya seperti tak percaya.


“Padahal waktu SMP kalian lumayan dekat, kan……”


“……A-ah, i-iya, benar!”


Aku buru-buru mengibaskan tangan, panik.


“T-tentu aku ingat! Tapi kan……baru saja terjadi hal yang besar, pikiranku masih kacau! Jadi kupikir sekalian memastikan lagi……”


“……Begitu.”


Dengan wajah kehilangan semangat, Mizuki mengangguk.


“Aku mengerti kok perasaanmu. Aku sendiri juga benar-benar kaget…….”


Ia duduk di pinggir tempat tidur di kamarku, menitikkan air mata sedikit demi sedikit.


Tubuhnya yang dulu agak berisi sekarang bahkan tampak lebih kurus daripada ingatanku.


Dari pembicaraan dengan Nito sebelumnya, aku sudah tahu ini adalah perubahan yang besar.


Makoto tidak masuk di SMA Amanuma, tapi ke sekolah lain.


Setelah itu, ia seperti menjauh dari Nito, dariku, dari Igarashi-san, dan juga dari Rokuyou-senpai──hubungan kami hampir putus sama sekali.


……Aku benar-benar terkejut.


Bagiku, Makoto adalah adik kelasku di SMA.


Bayangan Makoto yang mengenakan seragam SMA Amanuma sudah menjadi hal yang wajar di pikiranku, bahkan melihatnya dengan pakaian biasa saja terasa aneh.


Lagipula……di garis waktu sebelumnya, sebelum kami berangkat mencari asteroid di Desa Achi, dia sendiri pernah bilang: 


bahwa ia akan mengikuti ujian masuk SMA Amanuma,


bahwa dengan nilai seperti miliknya, kemungkinan untuk lulusnya sangat tinggi.


Bagiku, itu sudah seperti masa depan yang pasti.


Lalu, kenapa?


Kenapa Makoto malah masuk ke sekolah lain……?


“Mungkin, dia sengaja gagal.”


Mizuki menambahkan, melihatku yang kebingungan.


“Dengan nilainya, mustahil dia gagal ujian begitu saja. Kurasa Makoto memang sengaja menahan diri agar tidak lulus.”


“Begitu, ya.”


“Iya. Dia juga sempat bilang sesuatu yang mirip.”


Mizuki menatap jauh, seperti mencoba mengingat,


“Waktu hari kelulusan SMP, dia bilang, ‘ini sudah benar’, ‘ini adalah pilihan yang tepat’……begitu katanya.”


“Pilihan yang tepat…….”


Apa maksudnya pilihan yang tepat? Apa masuk di SMA Amanuma itu pilihan yang salah?


“Waktu itu aku juga tidak paham,” 


lanjut Mizuki, 


“dan setelah dia masuk SMA itu, dia juga kelihatan tidak bahagia…….”


“K-ketika sudah masuk SMA!”


Mendengar itu, aku spontan berdiri dari kursi.


“Mizuki, kau tahu? Kau tahu bagaimana keadaannya setelah masuk sekolah itu……?”


“……Iya.”


Dengan tatapan masih sedikit curiga, Mizuki mendongak menatapku.


“Ya tentu saja aku tahu, kami sering mengobrol lewat telepon kan. Kadang dia juga mampir ke rumah. Walaupun tidak sesering waktu SMP……”


“A-ah, iya……benar juga.”


“Hmm……”


Mizuki menghela napas, menundukkan pandangan dengan sedih.


Biasanya adikku ini bersifat santai dan ceroboh, tapi sekarang wajahnya benar-benar terlihat terpukul.


Aku merasa sesak melihatnya begitu.


Tentu saja……Makoto adalah sahabatnya.


Sama seperti hubungan Nito atau Igarashi-san, mereka saling menyayangi sebagai teman dekat.


Wajar kalau ia tidak bisa bersikap biasa saja setelah mendengar akhir cerita yang tragis ini.


“Cerita tentang Makoto selama SMA……”


Sambil berusaha memahami perasaan Mizuki, aku bertanya dengan hati-hati,


“Boleh diceritakan padaku? Sebisanya saja.”


“……Iya.”


Setelah menggigit bibirnya, Mizuki mulai bercerita, air matanya menetes perlahan.


──seperti yang dikatakan Nito sebelumnya, keluarga Makoto memang sudah lama bermasalah.


──bahkan sejak SMP, konflik di rumahnya tidak pernah benar-benar reda.


──lalu ketika SMA, masalah itu semakin memburuk.


──dan keputusan untuk masuk sekolah swasta yang jauh dari rumah justru memperburuk segalanya.


“Pertama……karena sekolahnya jauh, waktu untuk pergi-pulangnya banyak yang tersita,”


kata Mizuki dengan suara pelan.


“Lalu, di sana itu wajib untuk ikut kegiatan klub. Jadi orang tuanya yang di rumah jadi berduaan lebih sering, jadinya malah makin sering bertengkar.”


“Begitu, ya……”


“Lalu……biaya sekolahnya juga berat. Makoto harus sering kerja paruh waktu, dan pulangnya selalu larut.”


Ia mengusap hidungnya yang memerah,


“Sepertinya……semua itu yang membuatnya akhirnya seperti sekarang. Polisi di kantor Ogikubo juga bilang begitu waktu kami dipanggil…….”


“Begitu……terima kasih.”


Setelah mendengar sampai akhir, aku menyandarkan punggung ke kursi.


“Jadi itu yang sebenarnya terjadi…….”


Itu adalah sisi Makoto yang sama sekali tidak kuketahui.


Padahal di garis waktu sebelumnya, aku bersama dia hampir 2 tahun penuh.


Kami menghabiskan banyak waktu berdua di ruang klub, mengobrol tentang apa saja.


Dia adalah orang yang paling banyak berbicara denganku sepanjang hidupku.


Tapi……


“Kenapa dia sama sekali tidak cerita…….”


Aku mengepalkan tangan, menahan rasa kesal.


“Makoto……kenapa tidak bilang sepatah kata pun…….”


Mungkin memang kondisinya yang berbeda.


Di garis waktu sebelumnya, Makoto bisa masuk di SMA Amanuma, dan situasi rumahnya pun membaik, jadi dia tidak harus merasakan beban seberat itu.


Tetap saja……aku merasa terpukul.


Menyadari bahwa sahabat yang begitu dekat denganku, ternyata membawa luka sedalam itu tanpa pernah kubayangkan.


“……Apa yang seharusnya kulakukan waktu itu……”


Di sampingku, Mizuki bergumam pelan,


“Kalau saja aku bisa melakukan sesuatu……mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini…….”


……Benar juga.


Apa yang sebenarnya bisa kulakukan?


Bagaimana caranya agar akhir seperti ini tidak terjadi?


Itulah yang harus kupikirkan sekarang. Aku tidak boleh hanya larut dalam rasa sedih.


“Terima kasih, Mizuki.”


Aku menepuk pundaknya,


“Terima kasih sudah cerita. Maaf kalau itu mengingatkanmu pada hal yang menyakitkan.”


“Tidak apa-apa.”


Ia menggeleng, lalu berusaha untuk tersenyum tegar.


“Makoto adalah sahabatku. Aku juga……tidak ingin melupakannya.”


“……Benar.”


Aku menarik napas panjang, meneguhkan hati.


Aku tidak boleh melupakan rasa ini.


Sama seperti saat kehilangan Nito dulu,


agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, aku harus terus maju.


Keluar dari kamar Mizuki, aku langsung menelepon Nito.


Dan,


“Aku sudah tahu apa yang harus dilakukan.”


kataku pada Nito di seberang ponsel.


“Besok aku akan kembali ke masa lalu. Kalau kau mau, temani aku──”



“Jadi… apa yang akan kamu lakukan mulai sekarang, Meguri?”


“Ya.”


Keesokan harinya—di ruang klub yang kami datangi menjelang akhir liburan musim semi, aku duduk di depan piano dan mengangguk ke arah Nito.


“Aku akan membuat Makoto masuk ke SMA Amanuma. Dan aku ingin dia bergabung ke dalam klub astronomi ini.”


Itulah tujuan yang kurumuskan setelah mendengar cerita dari Mizuki.


Perbedaan terbesar antara garis waktu sebelumnya dan yang sekarang adalah di situ.


Makoto tidak masuk ke SMA Amanuma. Dia tidak bergabung ke dalam klub astronomi.


Itulah yang kemudian membuat keretakan dalam keluarganya semakin parah.


Karena itu… aku harus menjadikannya murid SMA Amanuma. Dengan begitu, aku bisa menjauhkan dia dari akhir yang tragis.


Itu adalah hal yang harus kulakukan kali ini.


“Tapi… apa itu mungkin?”


Nito berkata dengan wajah yang cemas.


“Kalau kamu kembali ke masa lalu, hanya sekitar 1 bulan yang tersisa kan?”


“Benar.”


Saat aku kembali ke sini, tanggal di masa lalu sudah melewati awal tahun baru.


Kalau aku memainkan piano lagi di sini, kemungkinan besar aku akan kembali ke titik waktu itu.


“Dan ujian masuk SMA Amanuma biasanya diadakan akhir Februari. Artinya, hanya ada waktu 2 bulan. Apa kamu yakin bisa melakukan sesuatu dalam waktu yang sesingkat itu?”


“Peluangnya… tidaklah nol. Nilainya sudah cukup. Masalahnya hanya motivasinya. Kalau aku bisa memberinya alasan yang kuat untuk masuk ke SMA Amanuma… masa depan pasti bisa diubah.”


Sebenarnya, aku sudah menghabiskan 2 tahun bersama dia di SMA Amanuma sebelumnya.


Makoto adalah tipe orang yang mau mendengarkan jika penjelasannya masuk akal.


Jadi masih ada banyak harapan.


…Hanya saja.


“...Mungkin ini kejam.”


Setelah terdiam sesaat, Nito berkata begitu, seolah menyalahkan dirinya sendiri sambil tersenyum getir.


“Memintanya datang ke sekolah ini, di garis waktu ini… dan itu datangnya dari Meguri sendiri… rasanya sangat kejam.”


Dalam ekspresinya terlihat samar rasa bersalah.


Sebuah “dugaan” yang mungkin telah tumbuh di hatinya, meski belum jelas benar.


“...Mungkin memang begitu.”


Aku juga merasakan dugaan yang sama.


Setelah bicara dengan Mizuki, aku menyusun berbagai ingatan dan sampai pada satu perkiraan.


Alasan Makoto menjauhi SMA Amanuma kemungkinan besar…


Dia membuat pilihan itu karena suatu hal…


…Tentu saja, aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti.


Bahkan mungkin cuma perasaanku saja.


Tetapi—aku tidak bisa memikirkan alasan lain mengapa dia mengambil keputusan seperti itu.


“Kalau memang begitu, justru aku tidak bisa membiarkannya.”


Aku meremas bibirku, lalu menegaskan pada Nito.


“Kalau dia tetap hidup, selalu ada jalan untuk mengatasinya. Karena itu, aku ingin menolong Makoto terlebih dahulu…”


──Akhir yang seperti ini tidak boleh dibiarkan terjadi.


Aku tidak boleh mengizinkan diriku menerima masa depan yang seperti ini.


Perasaan itu tidak akan tergoyahkan, apa pun yang terjadi.


“Jadi… aku pasti akan mengubahnya.”


Aku menyatakan tekadku pada Nito.


“Aku akan meraih masa depan di mana aku bisa bersama Makoto, apa pun yang terjadi.”


“...Iya.”


Dengan senyum getir dan wajah yang seakan hendak menangis, Nito mengangguk.


Ia bangkit dari kursi, lalu memelukku erat dari belakang.


“Semangat ya. Salam juga untukku di masa lalu. Aku yakin dia pasti mau membantu.”


Mendengar kata-kata itu, rasa sayang memenuhiku.


Syukur, terima kasih, dan juga perasaan cintaku pada Nito.


Tapi… bukan hanya itu.


“...Selamat tinggal.”


Dengan suara kecil, Nito berbisik.


Sebuah kata perpisahan keluar dari mulut Nito.


Dan saat itu—aku benar-benar menyadari.


Bahwa dengan Nito dari garis waktu ini, aku tidak akan pernah bertemu lagi.


Bahwa gadis yang sekarang kugenggam ini adalah orang yang akan benar-benar berpisah denganku di sini.


Ketika nanti aku kembali ke masa depan, yang ada di sana adalah Nito yang telah menapaki garis waktu lain.


Dia sama sekali bukan lagi orang yang sekarang ada di hadapanku.


Kalau kupikir-pikir… semua perjuangan ini adalah untuk menemuinya.


Nito yang selamat dan hidup sehat di masa depan setelah lulus.


Aku sudah mengulang waktu berkali-kali hanya untuk bertemu gadis ini.


Dan sekarang adalah akhir segalanya.


Waktu perpisahan yang sangat singkat.


Aku meremas tangannya sekali lagi.


Lalu menatap ke atas, di mana cahaya musim semi menembus lembut jendela ruang klub.


Karena itu, aku menahan air mata yang hampir menetes, dan berkata pendek,


“...Aku berangkat.”


Lalu menaruh sepuluh jariku di atas tuts piano.


“Terima kasih, Nito…”

 


Nito pun sedikit melepaskan pelukannya, lalu menatapku dengan mata yang berair, namun menampilkan senyum semekar mungkin, dan berkata──


“──Selamat jalan!”


Post a Comment

Post a Comment

close