NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 5 Chapter 5

 Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 5

Crossroad


“──Sekarang keadaannya memang berakhir seperti itu.”


Segera setelah aku memastikan bagaimana akhir Makoto di garis waktu ini, aku kembali ke masa lalu dan langsung melaporkan apa yang kulihat kepada para anggota klub di sana.


Makoto, kali ini juga, menghilang bersama keluarganya.


Setelah itu, mobil mereka ditemukan di dalam danau.


Dengan kata lain──pada akhirnya, sama saja seperti sebelumnya. Kami menghadapi akhir yang buruk lagi.


“Sial… lagi-lagi!”


Rokuyou-senpai menghantamkan kepalan tangannya ke meja dengan wajah pahit.


“Makoto lagi-lagi…”


“Kita sudah berusaha keras, padahal…”


Igarashi-san juga menghela napas dalam di sebelahnya.


“Padahal kurasa kita sudah cukup berbeda dibanding percobaan pertama…”


“…Begitu ya. Jadi kita gagal lagi…”


Nito pun menunduk dengan ekspresi muram, bibirnya tergigit rapat. 


Ekspresi itu terlihat sangat menyakitkan, seolah ia menyalahkan dirinya sendiri.


Pasti, ia merasa bertanggung jawab.


Atas akhir yang harus dihadapi Makoto, Nito menanggung rasa bersalah.


“Hei, Meguri… kita harus bagaimana sekarang?”


Dengan wajah penuh kegelisahan, Nito bertanya padaku.


“Mulai dari sini… apa yang sebaiknya kita lakukan…”


“Haruskah kita ‘mengulang’ setahun ini lagi? Kali ini kita mencoba lebih dekat dengannya…”


“Atau justru, bertahan di garis waktu ini dan berusaha lebih keras juga mungkin?”


Rokuyou-senpai dan Igarashi-san menyuarakan pendapat mereka satu per satu.


Sejujurnya, mereka mungkin berpikir semua ini sudah akan terselesaikan sekarang.


Dalam suara dan ekspresi mereka, selain kebingungan dan rasa tertekan, tampak juga rasa lelah yang tak bisa disembunyikan.


Dan aku──menatap mereka seperti itu, lalu berkata:


“…Mungkin aku sudah menemukan jawabannya.”


“…Hah?”


“Menemukan jawabannya?”


“Maksudmu apa…?”


“Bagaimana seharusnya kita melangkah… akhirnya kurasa aku paham.”


──tiba-tiba, begitu saja, aku merasa seperti semuanya masuk akal.


Apa yang sebenarnya harus kami tuju. Masa depan di mana semuanya bisa terselesaikan.


Aku merasakannya dengan jelas, seperti tertelan bulat-bulat.


Aku tidak tahu alasannya. Aku juga tidak tahu penyebabnya.


Tapi, ada keyakinan kuat bahwa ini pasti benar.


Hanya ada satu jalan yang tersisa bagi kami, terbentang tepat di depan mata.


“…”


“…”


“…”


Nito dan yang lain menatapku dengan mata terbuka lebar.


Wajar saja mereka terkejut. Aku tiba-tiba saja mengatakan hal seperti itu.


“…Kenapa, mendadak begitu yakin?”


Seperti yang kuduga, Nito bertanya dengan hati-hati.


“Bagaimana bisa…?”


“Ah, bukan karena ada sesuatu yang pasti terjadi sih.”


Aku tersenyum sedikit, lalu menatap mereka bertiga.


“Mungkin karena kulihat wajah kalian. Karena kita sudah berkali-kali mengulang bersama, melihat kalian yang semakin berkembang, jadi tiba-tiba terlintas di pikiranku.”


Selama ini kami terus kebingungan, melibatkan banyak orang.


Gagal berkali-kali, merasa frustrasi, terpuruk juga.


Bahkan sempat terpukul ketika tahu akhir di masa depan.


Tapi tetap saja, setelah melewati semua ‘pengulangan’ ini, akhirnya kami sampai di titik ini──


Mungkin karena itulah aku baru bisa menyadarinya sekarang.


Akan jalan terakhir yang tersisa.


Bahwa sekarang kami sudah bisa memilih jalan itu.


Namun──


“Kalau begitu… kita harus bagaimana?”


Nito bertanya hati-hati, seolah takut dengan jawabanku.


“Bagaimana caranya… kita bisa menyelamatkan Makoto-chan?”


Ya──itu masalahnya.


Secara konkret, apa yang harus dilakukan?


Untuk pertanyaan itu, aku terdiam sejenak, lalu berkata:


“Maaf, sebelum membicarakannya… aku butuh sedikit waktu.”


Aku menangkupkan kedua tangan di depan mereka.


“Bagaimana ya, rasanya butuh waktu untuk benar-benar memahaminya. Agar aku sendiri bisa menerimanya dengan utuh.”


Aku merasa, aku butuh ruang untuk itu.


Jawaban yang kucapai memang sederhana dan terus terang.


Justru karena itulah, aku ingin menyampaikannya dengan kata-kataku sendiri, sebagai sebuah harapan, kepada mereka bertiga.


Dan untuk itu──aku benar-benar butuh waktu.


“Jadi… bagaimana kalau kita istirahat dulu?”


“…Istirahat?”


“Iya, coba lupakan dulu soal ‘pengulangan’, dan santai saja. Selama sekitar seminggu.”


Sejak awal ‘pengulangan’, selama setahun ini kami semua hidup dalam ketegangan.


Baik hubungan kami dengan Makoto, maupun hari-hari yang mempertaruhkan masa depan masing-masing.


Tentu saja, mereka pasti lelah.


Karena itu, kami akan beristirahat di sini.


Melepaskan ketegangan di hati dan tubuh, memberi ruang untuk bernapas kembali.


Kurasa… kami semua memang butuh waktu seperti itu.


“…Ah, iya juga.”


“Itu masuk akal…”


Igarashi-san dan Nito berbisik pelan.


“…Oke, kalau begitu kita istirahat!”


Lalu Rokuyou-senpai merespons dengan suara cerah, seolah sudah mantap.


“Jujur saja, aku lelah sekali! Bisa santai di sini, benar-benar membuat lega!”


“Belakangan ini juga hari-harinya mulai hangat, kan.”


“Sepertinya aku juga ingin santai beberapa hari, cuma bengong saja…”


“Baiklah, sudah diputuskan!”


Aku berdiri dari bangku piano tempatku duduk, lalu menyatakan:


“Mulai besok, kita istirahat seminggu penuh! Nikmati waktu masing-masing sebebasnya!”


Hari-hari untuk melakukan apa pun yang disukai.


Kalau dipikir-pikir, di kehidupan SMA pertamaku dulu, aku hanya menghabiskan hari-hari seperti itu terus.


Dan sekarang, untuk pertama kalinya dalam 2 tahun, kami akan menjalani hari tanpa tujuan khusus.


Entah kenapa… itu terasa sangat pas.


Aku sudah terbiasa berjuang, tapi begini rasanya lebih cocok dengan diriku yang sebenarnya.


Makanya, kupikir wajar kalau aku ingin melewati hari-hari seperti ini lagi.


“Oh iya,”


kata Rokuyou-senpai sambil mengangkat tangan pelan.


“Kalau main bersama anggota klub astronomi, boleh tidak?”


“Itu boleh sekali! Bebas mau melakukan apa saja, jangan sungkan untuk bersenang-senang!”


“Oke, paham!”


“Waah, enaknya mau melakukan apa ya…”


“Pergi ke taman hiburan ‘negeri impian’ juga sepertinya seru…”


Dan begitu──kami semua, anggota klub astronomi, memulai libur seminggu.


Libur musim semi yang datang sedikit lebih awal.


Pelajaran tetap berjalan seperti biasa, tapi rasanya seperti kami sudah terbebas dari segalanya.


Sambil menatap halaman sekolah dari balik jendela, aku sadar diriku mulai bersemangat lagi, tanpa bisa ditahan.



Dan──beberapa hari kemudian.


Di sebuah kedai ramen di suatu tempat di Tokyo.


“──Semua topping, full.”


“──Aku, semua sedikit saja…”


Dengan suara mantap, Rokuyou-senpai memesan, sementara aku menyambung pesanan dengan suara kecil.


Di balik counter, para pegawai berotot terlihat cekatan menyiapkan mangkuk ramen besar berisi kuah dan mie, lalu menambahkan topping sesuai pesanan: sayuran dan bawang putih ditumpuk satu per satu.


“Hei, Meguri, kau kelihatan pengecut sekali, ya,”


Rokuyou-senpai menoleh padaku sambil tertawa menantang.


“Padahal ini lot battle, kenapa dari awal sudah nyerah?”


“Yah, aku sendiri tidak yakin akan habis, jujur saja…”


Terhimpit suasana di sekitar, aku meneguk air sambil berdoa dalam hati.


“Tolong izinkan aku mengurangi topping setidaknya…”


“Yah, iya juga. Untuk pemula di ramen jirou-kei, segitu wajar lah sebagai handicap (keringanan).”


Sambil kami bercakap begitu──ramen pun jadi.


Dua mangkuk besar diletakkan di hadapan kami di counter.


“Oke, satu full topping, satu semua sedikit, ya.”


“Terima kasih!”


“U-waah…”


Aku memindahkan mangkuk itu dengan kedua tangan ke meja, dan spontan berkomentar melihat besarnya porsi itu.


Tumpukan kol, tauge, dan daging babi di mangkuk Rokuyou-senpai yang full topping.


Benar-benar seperti gunung, bahkan membentuk siluet menyerupai Gunung Fuji di atas mangkuk. 


Rasanya ini perlu waktu seharian untuk dihabiskan…


Dibanding itu, pesananku “semua sedikit” memang jauh lebih kalem.


Sayur dan bawang putihnya tetap banyak, tapi tidak menumpuk jadi gunung.


Mungkin ini masih bisa habis… kupikir begitu sejenak.


Tapi langsung kusadari.


“…Mie-nya gawat.”


Di balik kuah yang agak keruh dengan lapisan minyak, terlihat mie berukuran seperti udon yang tebal dan banyak sekali.


Jelas volumenya berkali-kali lipat ramen biasa──


“Kalau begitu, ayo makan.”


Dengan suara kecil, Rokuyou-senpai mulai mengarahkan sumpitnya ke tumpukan sayur.


Sepertinya, secara diam-diam lot battle sudah dimulai.


Aku juga buru-buru mengambil sumpit dan sendok, menghadap ke mangkukku sambil berkata “selamat makan!”──


‘──Mau makan ramen tidak?’


Pesan itu dikirim Rokuyou-senpai di hari pertama libur.


Padahal rencananya kami semua mau santai sendiri-sendiri, tapi tiba-tiba dia ngajak begini.


Ternyata orang ini juga lumayan gampang kesepian, ya…


Aku menanggapinya sambil tersenyum,


‘Boleh sekali!’ 


‘Di mana?’


dan hampir tanpa jeda, Rokuyou-senpai langsung membalas,


‘Aku ingin ke ramen jirou-kei.’


‘Mau lot battle dengan Meguri.’


Ramen jirou-kei.


Tipe ramen super besar yang terinspirasi dari Ramen Jirou yang terkenal.


Dan lot battle──sebutan bagi sebagian pecinta ramen porsi besar yang artinya semacam adu cepat makan.


‘Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah benar-benar bertanding denganmu kan?’


‘Dengan Nito pernah bertanding jumlah pengunjung waktu festival budaya, dengan Mone pernah bertanding masak. Jadi di sini sekali saja, ayo kita bertanding!’


…Sejauh mana sebenarnya Senpai ini suka berkompetisi.


Aku cuma bisa ketawa kecil membaca pesannya, lalu setuju.


Beberapa hari kemudian sore, begitulah aku sampai di kedai ramen jirou-kei ini.


Dan──langsung terintimidasi.


“…”


“…”


“…”


Pelanggan di sekeliling kami diam-diam menyantap ramen porsi raksasa mereka.


Aku sendiri berhadapan dengan semangkuk yang rasanya mustahil disebut satu porsi biasa.


Di sampingku, Rokuyou-senpai dengan kecepatan luar biasa menyingkirkan tumpukan sayur.


Semua pemandangan itu benar-benar membuatku tertekan.


Bukan, rasanya memang enak. Ramen-nya benar-benar enak.


Ini pertama kalinya aku coba jirou-kei, dan wajar saja kalau ini populer.


Tapi… tekanan apa ini.


Apa aku benar-benar sanggup menghabiskannya sampai akhir…


“…Tapi jujur, aku tidak menyangka, Senpai.”


Ingin menenangkan diri sedikit, aku mengecek aturan toko dan mulai bicara.


Katanya di toko aslinya Ramen Jirou, dilarang ngobrol, tapi di sini tidak seketat itu, boleh ngobrol sedikit, tertulis di dinding.


“Senpai, aku tidak menyangka akan makan jirou-kei begini.”


Selama ini kami pernah makan bersama berkali-kali, di restoran keluarga, kafe, bahkan di kedai ramen biasa pun pernah.


Tapi ke jirou-kei, aku belum pernah dengar Senpai datang, atau cerita pernah ke sana sendiri…


“Oh, itu gara-gara Azuma suka.”


Sambil menarik mie dari mangkuk, Rokuyou-senpai menjawab santai.


“Waktu menemani dia beberapa kali, lama-lama aku juga ketagihan.”


“Wah, aku tidak menyangka sekali. Azuma-senpai juga suka makan segitu banyak, dan Senpai juga bisa terpengaruh orang lain.”


Azuma-senpai.


Sejak festival budaya, dia menjadi pacar Rokuyou-senpai.


Tubuhnya kecil, tangan dan kakinya pun ramping──aku benar-benar tak menyangka dia suka ramen jirou-kei.


Dan Rokuyou-senpai sendiri.


Sosok yang tidak goyah, tidak terpengaruh, tidak berubah.


Bagian itulah yang membuatku mengaguminya.


Jadi mendengar dia dengan mudahnya terpengaruh oleh pacarnya, rasanya malah lucu dan tak terduga.


“Yah, bukan hal yang aneh kalau aku bisa terpengaruh, kan.”


Sambil menyeruput mie dengan mantap, Rokuyou-senpai berkata.


“Soalnya… aku sendiri sudah dipengaruhi Meguri sampai seperti ini. Hidupku sampai berubah begini.”


──Dipengaruhi olehku.


Mendengar kata-kata itu, sumpitku sempat terhenti.


Apa aku memang memengaruhi Senpai.


Mengubah dirinya.


“Di tahun ketiga SMA yang pertama,”


sambil berkata begitu, Senpai mengambil sesendok kuah dengan sendoknya.


“Aku, katanya waktu itu kacau sekali kan? Kalah dari Nito, jatuh, berantakan.”


“…Iya.”


Aku mengangguk, mengingatnya kembali.


Dia benar-benar kehilangan harapan, wajahnya waktu itu suram, seolah semua semangatnya hilang.


“Itu semua berubah karena kau, Meguri.”


Senpai meminum kuahnya, lalu menatapku lurus-lurus.


“Jadi… terima kasih. Buat semuanya sampai sekarang, terima kasih. Kalau tidak ada kau, aku bahkan tidak tahu kalau diriku bisa berubah seperti sekarang.”


──Bahkan aku tidak tahu kalau aku bisa seperti ini.


Entah kenapa, kata-kata itu terasa meresap dalam dadaku.


“Bisa jadi hal yang paling berharga selama 3 tahun ini adalah… kau ada di sini bersamaku.”


Setelah mengucapkannya, Rokuyou-senpai tertawa lepas.


Saat kusadari, mangkuk di depannya sudah hampir kosong, mie dan sayur pun tinggal sedikit.


“Ah… ingin sekali memberi tahu diriku waktu itu. Waktu aku jatuh, gagal, frustrasi, dan putus asa. Kalau sebenarnya, aku bisa begini juga. Bisa bertanding setara dengan Nito, punya pacar super imut yang bisa membuatku mati rasa saking menggemaskannya…”


Dan──setelah menghabiskan sisa mie dan sayur di mangkuknya, ia menambahkan:


“Dan bahkan… bisa punya teman-teman yang luar biasa seperti kalian!”


Ucapnya dengan nada sedikit membanggakan, seakan menegaskan kemenangannya.


Lot battle pun berakhir dengan kemenangan Rokuyou-senpai.


Aku yang tertinggal sekitar 5 menit di belakangnya, berhasil juga memaksa seluruh mie dan sayuran masuk ke dalam perut.


Saat aku susul keluar dari toko,


“Yo, selamat! Akhirnya habis juga ya,”


Rokuyou-senpai menyapaku sambil tertawa ceria, melihat aku berdiri dengan perut yang hampir meledak.


“Aku kalah dengan Nito, kalah dengan Mone, tapi akhirnya aku dapat satu kemenangan di sini!”


Dan aku──sambil mengusap-usap perut yang rasanya mau pecah,  menyadari inilah rasanya “baptisan” ramen jirou-kei, tetap bisa membalas dengan perasaan yang tak terlalu buruk:


“…Aku menyerah, Senpai!”



“──Hmm, jadi ini Akihabara.”


“──Ya. Dan juga, sudah cukup lama aku tidak ke sini.”


Beberapa hari kemudian sepulang sekolah, di pintu keluar selatan kawasan elektronik Stasiun Akihabara.


Begitu aku dan Igarashi-san melewati gerbang tiket, kami mulai berjalan sambil melirik Sofmap dan Radio Kaikan.


Berbeda dengan Ogikubo, suasana di sini berwarna-warni dan ramai.


Di mana-mana terpampang iklan karakter anime atau karakter game yang familier.


“Wah, ternyata sudah lama ya? Kukira kamu ke sini seminggu sekali.”


“Yah, akhir-akhir ini belanja daring sudah cukup memadai.”


“Itu benar juga.”


“Meski begitu, beberapa kali dalam setahun tetap saja ingin main ke sini.”


Sambil berbicara begitu, aku dan Igarashi-san berjalan menuju suatu toko.


Sore hari di Akihabara pada hari kerja dipenuhi orang-orang yang tampaknya pulang kerja, serta wisatawan asing.


Alasan kami pergi kali ini adalah kabar gembira yang datang dari Chiyoda-sensei.


“Dana klub akan ditambah sementara!”


“Karena Sakamoto berhasil menemukan asteroid!”


“Jadi, kamu sempat bilang ingin membeli teleskop dengan dudukan equatorial, kan? Sepertinya dananya cukup untuk itu.”


Itu sungguh di luar dugaan.


Dana tambahan yang muncul tiba-tiba, bahkan cukup untuk membeli dudukan equatorial bagi teleskop.


Igarashi-san sudah lama menginginkan dudukan equatorial otomatis, jadi ia sangat gembira mendengar kabar itu.


Kami pun segera memutuskan untuk mengunjungi toko perlengkapan astronomi agar mendapat informasi lebih rinci.


Kebetulan toko yang kami tuju terletak di Kanda Sudacho, wilayah Chiyoda.


Konon di sana terdapat berbagai perlengkapan mulai dari teleskop hingga aksesori lain, sehingga aku sendiri juga penasaran ingin melihat-lihat.


Ah, rasanya menyenangkan sekali…


Walaupun belum tentu langsung membeli, berada di antara deretan perlengkapan seperti itu membuatku bersemangat.


Aku bahkan sempat menanyakan beberapa rekomendasi dudukan equatorial kepada Nanamori-san, teman sesama pecinta astronomi di sekolah lain.


Kalau ternyata ada di toko ini, aku ingin mencobanya langsung.


“Oh ya,” 


kata Igarashi-san sambil menatap peta di ponselnya menuju toko, seolah tanpa beban.


“Kamu bilang kemarin mau merenungkan jawabannya, kan?”


“Ah, ya, benar.”


Aku mengangguk, sambil menunjuk ke arah seberang jalan.


“Hmm, sepertinya di belokan sana.”


“Baik. Lalu bagaimana?”


Dia memasukkan ponselnya ke saku, berjalan mengikuti arah yang kutunjuk, lalu bertanya lagi,


“Sudah siap, sekarang?”


“Hmm, begitulah…”


Sambil menyeberangi lampu merah yang mulai berkedip, aku menatap toko tujuan.


Sebuah toko bergaya showroom di salah satu sudut gedung.


Dari balik kaca, tampak sedikit perlengkapan astronomi.


Tidak terlihat kesan terlalu komersial, malah terkesan khas toko spesialis.


Karena ini kali pertama aku masuk toko semacam ini, aku jadi sedikit gugup.


“Mungkin sebentar lagi,” jawabku sambil sedikit berlari.


“Setelah bicara dengan Rokuyou-senpai, rasanya seperti mendapat dorongan semangat.”


“Begitu, ya.”


Kami sampai di trotoar seberang dan mendekati toko.


Dari balik kaca, terlihat deretan teleskop tak terhitung banyaknya…


Aku sudah tidak sabar lagi.


“Ini tokonya?”


“Iya, ayo langsung masuk!”


Kami saling mengangguk, lalu masuk ke dalam.


“Wah!”


“Luar biasa!”


Pemandangan di dalam membuat kami spontan berseru kagum.


Luasnya kira-kira sebesar kafe kecil.


Bagian dalam toko yang sederhana itu dipenuhi deretan teleskop.


Di etalase kaca tertata okuler dan tabung optik.


Di rak-rak, ada berbagai peralatan astronomi yang dikemas rapi layaknya alat peraga di sekolah.


“A-Apa yang harus kita lihat dulu, ya?”


“Tenang dulu, Sakamoto!”


Melihat aku yang tidak sabar, Igarashi-san menepuk punggungku menenangkan.


“Pertama, kita lihat dulu semua yang ada di sini secara garis besar. Setelah itu, kita tanya ke pegawainya.”


“B-Benar juga!”


Kami saling mengangguk, lalu mulai menelusuri teleskop yang paling dekat.


Walaupun tidak langsung beli, hanya sekadar melihat-lihat teleskop dari merek dan harga yang berbeda dengan milik sekolah saja sudah terasa menyenangkan.


“Hei, ini 6 juta yen…?”


“Bukan! Itu 60 juta yen! Sepuluh kali lipat!”


“Uwaaah!!”


“Eh, ini sepertinya merek yang sama dengan punya klub kita. Tapi apa bedanya? Kenapa harganya jauh berbeda…?”


“Itu sih banyak alasannya. Tapi lebih baik nanti kita tanyakan pada pegawainya langsung.”


“Ya juga. Eh, ngomong-ngomong──”


Di sela-sela percakapan itu, Igarashi-san menatap teleskop sambil berkata,


“Kalau tentang pilihanmu, aku akan mendukungnya.”


“Ah, maksudmu dudukan equatorial? Tapi kan kau yang sejak awal menginginkannya.”


“Bukan itu.”


Ia berkata demikian, lalu berpindah ke teleskop di samping,


“Maksudku… tentang masa depan.”


“Ah.”


Masa depan.


Pasti maksudnya tentang jawaban yang belum sempat kusampaikan.


“Bagiku, ini semua sungguh menyenangkan,” 


katanya sambil masih menatap label harga atau tabung teleskop dengan seksama.


“Tahun ini, dan juga tahun sebelumnya, sungguh menyenangkan. Bisa bersama Chika, dapat teman-teman berharga, dan mengalami banyak hal yang tidak biasa.”


“Kalau kau merasa begitu, aku senang mendengarnya.”


“Dan… semua itu, sebenarnya berkatmu, bukan?”


Dia akhirnya menoleh menatapku,


“Kalau bukan karenamu, aku tidak akan pernah melihat masa depan seperti ini.”


“Begitu… ya,” jawabku pelan.


Kalau dipikir-pikir, mungkin benar demikian.


Bukan hal yang pantas disombongkan atau diminta terima kasih, tapi pada akhirnya, semua memang berawal dari tindakanku.


“Itulah kenapa… apa pun pilihan yang akan kamu buat nanti,”


mata Igarashi-san memancarkan tekad yang kuat,


“apa pun yang ingin kamu lakukan, aku akan setuju.”


Lalu dia tersenyum.


“Karena aku percaya padamu, dan pada masa depan yang kamu pilih.”


Senyum itu tampak polos seperti anak kecil, namun di saat yang sama mencerminkan tekad orang dewasa.


Igarashi-san tersenyum begitu tulus, seakan bunga bermekaran di wajahnya.


“Sekalipun… pilihanmu itu sedikit membuatku kesepian.”


“…Terima kasih.”


Aku benar-benar merasa bahagia.


Bahagia karena Igarashi-san menaruh kepercayaan sebesar itu padaku, dan bersedia mendukungku.


Dan tentang “pilihan yang membuatnya kesepian”…


Mungkin, Igarashi-san sudah sedikit menebak jawabanku.


Atau bahkan, sudah memahami jawabanku sepenuhnya.


“Ah, pegawainya sudah datang!”


tiba-tiba Igarashi-san menunjuk kecil ke arah kasir.


Benar saja, di sana sudah berdiri seorang pegawai toko yang sebelumnya tidak terlihat.


“Bagaimana kalau kita langsung berkonsultasi?”


“Ya, ayo!”


Kami saling mengangguk, lalu melangkah menuju bagian dalam toko.


Saat itu, Igarashi-san sempat sekali lagi berbisik pelan padaku,


“Aku adalah… pihak yang selalu mendukungmu, Sakamoto.”



“──Hei, aku… apa aku sudah melakukan kesalahan?”


Nito menyipitkan mata sambil berkata begitu.


“Melakukan ‘pengulangan’… mengubah masa lalu… apa itu memang salah…?”


Cahaya yang memantul di permukaan air bergetar di wajahnya.


Matahari mulai terbenam, dan suasana di sekitar dipenuhi rona cahaya yang lembut.


Melihat raut wajah Nito yang begitu serius, aku menyadari bahwa ia benar-benar menyesali tindakannya.


Jadi begitu… Nito memikirkan hal seperti itu.


Bahkan di tempat seperti ini, dia masih membawa kegelisahan itu…


──Namun, aku…


Di sampingnya, aku justru──


“…pfft, fufu… …fu, fufufu…”


──tertawa.


“…Ahahahahahahahahaha!”


Aku tertawa terbahak-bahak.


Aku berusaha menahannya, tetapi tidak sanggup.


“Eh, h-hey, kamu jahat sekali!!”


Melihat reaksiku, Nito berseru dengan wajah terkejut.


“Aku ini sedang serius memikirkannya! Aku benar-benar mencemaskan semua ini, tahu!”


“Ma-maaf, maaf!”


Nito benar.


Tertawa di hadapan seseorang yang sedang sungguh-sungguh resah jelas keterlaluan.


Terlebih lagi, apa yang dia bicarakan menyangkut ‘pengulangan’—bukanlah hal yang pantas untuk ditertawakan.


“Tapi…”


Aku berguncang menahan tawa sambil berkata,


“Nito… dengan perlengkapan lengkap, pakai kacamata hitam dan telinga tikus… sambil bawa churros dan minuman… lalu mengeluh soal itu…”


Begitu mengucapkannya, aku kembali tertawa terbahak-bahak,


“Siapa pun pasti akan tertawa! Ahahahaha!”


“…fufufu.”


Tertular suasana, akhirnya Nito juga tidak kuasa menahan tawa.


Dia ikut terkekeh pelan.


“Memang… kamu benar juga. Dengan penampilan semeriah ini, lalu…”


Dia menoleh ke sekitar.


Pemandangan kota bergaya Eropa, berbagai wahana di setiap sudut, dan orang-orang yang sedang bersenang-senang di mana-mana.


“Kita… berada di tempat seperti ini, ya.”


──Di negeri impian.


Sekitar 1 jam perjalanan kereta dari pusat Tokyo, di Chiba, kami datang ke tempat yang biasa disebut “negeri impian”.


Awalnya, rencana ini muncul di ruang klub ketika kami sepakat untuk beristirahat sejenak.


Ketika aku mendengar Nito berbisik bahwa dia ingin pergi ke “negeri impian”, akulah yang mengajaknya, “Ayo kita pergi bersama.”


Sejak taman hiburan itu dibuka di pagi hari, Nito sudah bermain dengan penuh semangat dan tampak sangat bersenang-senang.


Dia mengenakan bando telinga tikus, kacamata hitam berbentuk tikus, ember popcorn tergantung di lehernya, dan di tangannya ada churros serta minuman.


Penampilannya bahkan jauh lebih mencolok dan ceria daripada anak-anak kecil di sekitar, benar-benar menikmati waktunya.


…Kalau dipikir-pikir, ini mungkin pertama kalinya aku benar-benar berkencan hanya berdua dengan Nito seperti ini.


Karena pekerjaannya, selama ini kami hanya sempat belanja sebentar di kampung halaman, atau sekadar pergi ke kafe.


Jadi, hari ini aku berniat menikmatinya sepenuhnya, dan aku pun senang melihat Nito bisa bersenang-senang.


“……Meski begitu.”


Aku duduk di sebuah undakan setinggi tempat duduk, lalu, sambil sedikit berpikir, aku membuka mulut.


“Maaf, kupotong pembicaraanmu! Tapi, mumpung kita di sini, ceritakan saja semuanya padaku.”


“Benarkah?”


Nito menjawab dengan nada yang cukup ringan, lalu duduk di sebelahku.


Kemudian, dia meraih lenganku dengan kedua tangannya, memeluknya erat, dan menempelkan pipinya di sana sebentar,


“Terima kasih…”


“Tidak apa-apa.”


“Nah… apa menurutmu aku salah, ya?”


ujarnya, sembari menggigit churros sedikit.


Padahal dalam hatinya pasti cukup berat, tetapi cara bicaranya tetap ringan, membuatku merasa lega karena ternyata membawanya ke tempat ini adalah keputusan yang tepat.


“Aku sudah berkali-kali melakukan ‘pengulangan’, memang sebagian besar untuk diriku sendiri… tapi di satu sisi, kupikir itu juga membawa kebaikan bagi semua orang.”


“Ah, aku paham maksudmu.”


Aku mengangguk, lalu menerima churros yang dia sodorkan padaku dan menggigitnya sedikit.


Aroma kayu manis dan manisnya sirup maple terasa menenangkan.


“Sejujurnya aku juga merasa begitu. Toh pada akhirnya membuat semua orang berbahagia, bukan hanya untuk dirimu sendiri.”


Begitu juga Igarashi-san, dan juga Rokuyou-senpai.


Bahkan terhadap Nito sendiri.


Sebagian dari diriku merasa bangga sudah menyelamatkan mereka.


“Tapi, setelah kita berempat melakukan ‘pengulangan’ ini, kurasa ada bagian di mana kita mengabaikan kehendak mereka, ya. Sembarangan menulis ulang masa lalu, memengaruhi hidup orang lain. Itu mungkin… agak keliru.”


Lalu Nito melanjutkan,


“Misalnya begini, lebih baik mengalami kesengsaraan yang dipilih sendiri daripada diselamatkan orang lain dan dipaksa bahagia, kan?”


“……Benar juga.”


Menurutku tidak aneh jika ada orang yang berpikir begitu.


Kegagalan yang diusahakan sendiri bisa terasa lebih bermakna daripada kesuksesan yang diberikan orang lain.


Aku pun bisa memahami hal itu, dan kehendak semacam itu memang patut dihormati.


“Itulah sebabnya… hmm. Sepertinya tidak baik, ya. Sepertinya kami tidak seharusnya melakukan ini. Begitu aku sempat beristirahat, setelah sekian lama akhirnya bisa bersantai…,”


ujarnya sambil menekankan genggamannya di lenganku, hembusan napasnya menyatu dengan udara musim semi.


“…Aku terus memikirkan itu…”


…Sebenarnya, aku juga pernah memikirkan hal itu.


Saat kami berempat mengulang waktu, menjalani lagi masa SMA, aku beberapa kali merasa ada yang janggal.


Pasti ada bagian yang memang salah.


Pasti ada sikap yang terlalu sombong.


Tetapi… mendengar keraguan itu langsung dari mulut Nito.


Orang yang sangat penting bagiku, mengucapkannya dalam bentuk penyesalan, membuatku berpikir lagi.


“……Meski begitu.”


Aku menggigit churros Nito tanpa izin, lalu menjawab,


“Justru karena itu, ada hal-hal yang bisa kita raih.”


“……Begitukah?”


“Ya. Berkat ‘pengulangan’ dan perjalanan waktu itu, kita jadi bisa menemukan banyak hal, bisa melihat hal-hal yang sebelumnya tidak terlihat.”


Itulah keyakinan yang sangat kuat dalam diriku sekarang.


Aku sudah berubah.


Selama berulang kali mengulang waktu sejak lulus SMA pertama kali, aku berubah banyak.


Aku tak pernah menyangka dulu akan menjadi seperti sekarang.


“Itu semua berkat ‘pengulangan’, berkat Nito yang memulainya. Jadi… meskipun mungkin itu tidak baik, meskipun bukan sesuatu yang layak dibanggakan…,”


aku berdiri, menatap Nito sambil tersenyum,


“Setidaknya… kita boleh saling mengakui hal itu, kan?”


“……Fufufu, mungkin benar juga.”


Nito menghabiskan churrosnya, lalu ikut berdiri.


“Benar juga, mungkin begitu. Kalau kamu bilang begitu, aku juga akan mencoba berpikir begitu.”


“Kan? Aku bahkan sudah lupa seperti apa aku dulu.”


“Aku masih ingat, kok~. Kamu yang dulu lemah sekali.”


“Ahaha, ya tidak apa-apa juga. Nah, selanjutnya kita mau ke mana?”


“Hmm, sebentar…”


sambil berpikir, Nito membuat wajah serius,


“……Beli churros lagi.”


“Eh, lagi?”


“’Eh, lagi’ katamu?”


Nito menaikkan kacamatanya dan menatapku tajam,


“Tadi itu… hampir semua churrosnya kamu makan, tahu!”


…Benar juga!


Baru sekarang kusadari churros tadi memang hampir habis kumakan sendiri.


Nito cuma menggigitnya sekali di awal, sisanya aku yang habiskan…


“Ahhh! Maaf! Kalau begitu, yang berikutnya biar aku yang traktir!”


“Hmm, kalau begitu boleh.”


Nito menyilangkan tangan sambil menyipitkan mata.


“Dan sekalian nanti belikan aku minuman, kue oleh-oleh, dan balon juga, ya.”


“Hanya karena satu churros sampai sebanyak itu…!?”


Sambil tertawa bersama, kami pun berjalan menuju kios makanan ringan terdekat.


──Aku merasa jawabanku kini telah mantap di dalam hatiku.


Dan masa depan itu benar-benar menjadi harapan baru bagiku.



──Malam itu.


Malam sepulang kencan bersama Nito.


Aku… sedang bermimpi di dalam selimutku.


“……Di mana ini?”


Saat tersadar, aku mendapati diriku duduk di kursi di sebuah ruangan entah di mana.


Tempat itu terasa familier.


Perabotan sekolah yang diletakkan di sana, ruangan sempit yang tak terlihat seperti apa pun selain tempat menaruh barang-barang.


Udaranya berdebu, dan karena tidak ada ventilasi, tercium sedikit bau apek.


Di atas meja tergeletak konsol game, dan dari tas di sampingnya menyembul komik.


──Ruangan klub.


Ruang klub astronomi yang sudah sangat kukenal.


Namun entah kenapa, aku merasa tempat ini begitu nostalgia.


Seolah dulu aku memang pernah menghabiskan waktu di ruangan seperti ini.


Tempat yang memang pernah ada tanpa diragukan, tetapi──sekarang sudah hilang, ruang yang tak lagi bisa kugapai.


Jadi aku sadar ini adalah mimpi.


Pemandangan terasa buram, dan tubuhku seperti melayang. Tidak salah lagi, aku sedang bermimpi sekarang……


Dan pada saat itulah,


“──Pe-permisi…….”


bersamaan dengan suara itu, pintu terbuka.


Dan di sana──dia berdiri.


“L-lama tidak bertemu, Senpai. Aku dengar dari Mizuki kalau Senpai ada di sini……”


“……O, oh……”


──Itu adalah Makoto.


Seragamnya memang seragam SMA Amanuma, tetapi rambutnya potongan bob hitam.


Wajahnya yang biasanya terlihat agak masam, sekarang tampak sangat gelisah.


……Sudah berapa lama ya, sejak terakhir kali aku melihatnya seperti ini.


Rasanya sudah seperti kejadian jauh di masa lalu.


Sudah begitu samar dalam ingatan, bahkan aromanya pun tak teringat lagi──


Lalu,


“……Aku ingin masuk ke dalam klub astronomi.”


Makoto di hadapanku berkata begitu.


“Aku ingin bergabung di klub ini, jadi aku datang…….”


Ia menatapku dengan gugup, dan aku baru sadar.


──Ini pertama kalinya.


Tidak salah lagi.


Ini adalah──masa SMA pertamaku.


Hari ketika Makoto pertama kali datang ke ruang klub──itu yang sedang muncul di mimpiku.


“Umm……”


Setelah memahami keadaannya, aku segera menata pikiranku.


Lalu, berusaha memasang ekspresi seorang senior,


“Akutagawa…… kan?”


“Ya, benar. Aku Akutagawa Makoto……”


“Ah, iya ya, kau masuk ke SMA Amanuma.”


“Iya……”


Makoto mengangguk sambil menunduk malu-malu.


“……Selamat datang.”


Jadi aku menyapanya begitu.


“Sejujurnya klub ini bukan klub yang aktif melakukan kegiatan. Kami hanya santai-santai di sini sepulang sekolah……kalau kau tak keberatan dengan itu.”


Makoto mengangkat wajahnya.


Lalu akhirnya sedikit tersenyum,


“Ya…… tentu saja.”


Dengan ekspresi sedikit nakal, ia menambahkan,


“Sebenarnya, aku justru ingin tempat di mana bisa bersantai seperti itu.”


──Benar, memang begitu.


Sore di musim semi, saat baru masuk kelas 2 SMA.


Hubunganku dengan Makoto──berawal dari pemandangan seperti ini, lalu tumbuh perlahan.



Mimpi itu pun berlanjut, melompat-lompat dari satu adegan ke adegan lain.


Tentang kehidupanku dan Makoto di masa SMA pertamaku.


Hari-hari kami yang datar dan tanpa banyak kejutan, terputar layaknya film lama.



“──Eh, Senpai berpacaran dengan Nito!?”


Musim semi di tahun pertama, sepulang sekolah setelah libur Golden Week.


Di ruang klub, saat kami mengobrol, Makoto tiba-tiba berteriak terkejut.


“Dengan Nito, musisi yang terkenal itu!?”


“A-ah…… ya, begitulah.”


Melihat betapa terkejutnya dia, aku jadi sedikit kikuk.


Sambil merasakan getir, aku mengangguk.


“Sungguh……? Wah……”


Sepertinya, dia memang sudah tahu nama Nito sebelumnya.


Makoto meletakkan tangan di dekat mulutnya, lalu bergumam pelan seolah sedang mencerna informasi itu.


“Dengar-dengar dia memang bersekolah di sini, tapi ternyata berpacaran dengan Senpai……”


“Ya, meskipun akhir-akhir ini kami hampir tidak berkomunikasi sih.”


Aku tertawa kecil sambil memegang konsol game, menambahkan,


“Sudah beberapa bulan tidak mengirim pesan, tidak ketemu juga…… rasanya seperti putus perlahan.”


“Kalau begitu, Senpai sekarang juga semacam single, ya?”


“Ya. Eh, ‘juga’, maksudnya Akutagawa-san juga?”


“Ya, aku juga tidak punya pacar.”


Makoto tertawa,


“Sepertinya kita berdua sama-sama menjalani kehidupan SMA yang agak suram, ya.”


Ucapannya terdengar meremehkan, tapi wajahnya sendiri justru terlihat lumayan senang.


Aku pun merasa tidak buruk, dan kembali menatap ke arah layar game.



“──Haah, sebentar lagi aku juga naik ke kelas 2. Sementara Senpai akan jadi siswa kelas 3 yang menghadapi ujian masuk ya.”


“Benar juga.”


Hari itu adalah hari perlombaan olahraga.


Makoto, yang sedang menatap lapangan dari jendela, berkata begitu.


“Masa SMA ternyata cepat berlalu ya.”


“Iya. Kalau begini terus, kita akan jadi orang dewasa dalam sekejap.”


“Eh, serem sekali…”


Sambil mengobrol, aku membalik halaman manga di tanganku.


Kelasku, 2-4, sudah tersingkir di turnamen sepak bola.


Jadinya aku tidak ada kegiatan lagi dan datang ke ruang klub untuk membaca manga seperti ini.


Kabarnya kelas Makoto juga kalah cepat di pertandingan voli.


Dia datang sedikit setelah aku, lalu tampak bosan menonton pertandingan softball dari jendela.


“…Akutagawa-san, kau tidak suka olahraga?”


“Bukan tidak suka, sih.”


“Heh, kupikir kau tidak suka.”


“Ngomong-ngomong, Senpai.”


“Hmm?”


“Senpai mau sampai kapan memanggilku dengan nama keluarga?”


Aku kembali mengangkat wajah dari halaman manga.


“Sudah hampir setahun sejak kita kenal, kan? Sepertinya panggilanmu masih terlalu formal?”


“Ah—ya juga.”


Kalau dipikir, memang begitu.


“Kalau begitu, mulai sekarang aku akan memanggilmu Makoto.”


“Ya, tolong begitu.”


Makoto menanggapi dengan nada datar, lalu kembali menatap pertandingan.


Gerakannya sih sama seperti biasa, tapi entah kenapa, setelah memanggil namanya langsung, jarak di antara kami terasa sedikit lebih dekat.



“Ngomong-ngomong, Senpai.”


“Hm?”


“Ujiannya, tidak apa-apa?”


“Tidak apa-apa, apanya?”


“Maksudku, belajarnya.”


Makoto menghela napas, seperti ibu-ibu yang sedang menasihati, dan berkata,


“Sebentar lagi kan ujian, apa tidak apa-apa kamu santai begini terus sambil jajan bersamaku?”


Itu terjadi di suatu senja, di area perumahan.


Jalanan di Ogikubo tampak agak tua, bangunannya juga pendek-pendek dengan nuansa zaman Showa yang masih terasa, mewarnai pemandangan senja dengan cahaya oranye. 


Aku dan Makoto berjalan pulang pelan-pelan di sana.


“Hmm, ya bagaimana ya…”


Aku bergumam sambil menutupi rasa canggung akibat pertanyaannya yang menusuk.


“Kalau dibilang parah sih ya, parah…”


“Ini sudah mau masuk bulan Oktober, lho.”


Makoto menatapku dengan mata yang penuh rasa kasihan, lalu melanjutkan.


“Aku tidak lihat kamu belajar sama sekali, padahal sebentar lagi ujian. Apa tidak apa-apa? Sekarang malah makan fried chicken dari toserba, bibirmu sampai berminyak begitu.”


“Eh, bibirmu juga berminyak kan.”


“Ya, tapi aku bukan siswa kelas 3.”


“Yah, itu benar sih…”


“Kalau begini terus, kamu akan gagal masuk kuliah lho. Lalu nanti malah sekelas denganku.”


“……Oh, kedengarannya seru juga itu.”


Aku belum pernah terpikirkan sebelumnya, jadi mendengar itu malah membuat semangatku naik.


“Jadi sekelas dengan Makoto, sepertinya menarik juga. Nanti kita tidak perlu pakai bahasa formal, tidak perlu panggil Senpai-Senpai lagi.”


“Yah, memang benar sih. Tapi masa kamu mau buang 1 tahun hidupmu cuma demi hal yang seru seperti itu?”


Makoto tertawa kecil sambil berkata begitu.


Wajahnya diterpa cahaya matahari sore, tampak berpendar oranye.


“Tidak perlu khawatir, nanti kalau mau, aku bisa saja tetap memperlakukanmu seperti teman sekelas kapan pun.”


Lalu sambil berkata begitu, Makoto mengangkat sudut bibirnya yang masih berkilat oleh minyak fried chicken,


“Jadi… berusahalah secukupnya ya, Sakamoto-kun.”


Dengan senyum sedikit nakal, Makoto menambahkan kata-katanya──




Pemandangan itu… aku terus melihatnya berulang kali.


Hari-hari saat aku bersama Makoto.


Musim-musim yang sudah berlalu, dan akhirnya dianggap seolah tidak pernah ada.


Waktu yang dulu kupikir sia-sia, yang tak terhindarkan terasa percuma.


Dan──waktu terus bergulir di dalam mimpi itu.


Sampai akhirnya, sudah mendekati hari kelulusan──


“…n, nnn…”


Aku──terbangun.


Tubuhku yang terbaring di atas ranjang.


Cahaya pagi musim semi yang menyilaukan menembus celah tirai.


Entah sejak kapan, aku bisa tidur pulas rupanya.


“Jadi begitu… hari-hari seperti itu memang ada ya…”


Aku bergumam pelan, lalu bangkit dan merentangkan tubuh lebar-lebar.


Menghirup napas, menghembuskan, mengganti udara di paru-paru.


“Waktu itu… aku benar-benar menjalani hari-hari seperti itu, ya…”


──Rasanya aneh.


Aku merasa akhirnya saatnya telah tiba.


Hari di mana aku akan menceritakan kepada semua orang tentang masa depan yang kupilih.


“…baiklah.”


Aku bangkit dari ranjang dan menyiapkan pakaian.


Setelah mandi dan sarapan, aku akan memulai aktivitas hari ini.


Karena ada tempat yang… bagaimanapun juga, harus kutuju.


Dan akhirnya aku menyadari, bahwa di sana (tempat yang dituju) memang memiliki arti.


Sambil berjalan ke kamar mandi, aku menyalakan ponsel.


Lalu mengirim pesan tertentu kepada anggota klub astronomi.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close