NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 5 Chapter 4

 Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 4 - Musim Semi Ke-N


Kelopak bunga sakura memenuhi pandanganku.


Aroma bunga yang menyengat memenuhi udara, angin hangat musim semi membelai kulitku.


──Pemandangan ini terasa familiar.


Sensasi seperti ini, aku jelas pernah mengalaminya sebelumnya.


Ya, itu waktu… ketika aku pertama kali mengalami perjalanan waktu.


Saat pertama kali memainkan piano bersama Makoto di ruang klub, dan kembali ke hari upacara masuk sekolah 3 tahun yang lalu──


…Artinya, ini…


Kenyataan bahwa aku ada di sini berarti…


*Dokk


Saat itu──sesuatu menghantam dadaku cukup keras.


“──Ah, maaf!”


Terdengar suara yang kukenal.


“Kelopak bunga sakuranya banyak sekali, jadi aku tidak bisa lihat ke depan…”


──Itu suara yang sangat akrab.


Suara gadis yang begitu berarti, yang pernah kupilih untuk berada di sampingku.


Angin mereda, badai kelopak bunga sakura pun berhenti.


Kelopak-kelopak bunga perlahan jatuh di sekitar kakiku, membuka kembali pandangan──


Dan di depanku──dia berdiri di sana.


Seorang gadis berambut hitam panjang, menahannya dengan tangan, menampilkan senyum di wajahnya yang cerah dan cantik.


Lalu──


“Salam kenal. Aku, Nito Chika…”


Dengan wajah yang sedikit malu-malu, dia, Nito, berbicara padaku.


Pemandangan yang pernah kulihat, kata-kata yang pernah kudengar.


Kemudian dia sedikit menunjukkan ekspresi cemas,


“Kamu… masih ingat aku, tidak?”


Wajahnya terlihat takut, seolah sedang memastikan apakah benar-benar berhasil kembali atau tidak.


Karena itu, aku berusaha menampakkan wajah selembut mungkin,


“Tentu saja aku ingat.”


dan menatapnya sambil mengangguk dalam-dalam.


“Kamu adalah pacarku yang sangat berharga, Nito.”


“…Syukurlah.”


Dia menghela napas panjang, lalu menggenggam tanganku erat.


“Berhasil juga, ya… kita benar-benar berhasil…”


──Berhasil.


Ya──tidak salah lagi.


──Ini adalah 1 tahun yang lalu.


Aku dan Nito, pada hari itu, 1 tahun yang lalu, kami berhasil kembali ke hari upacara masuk sekolah kami──


Sambil tetap saling berpegangan tangan, kami menoleh ke sekitar.


Kami berdiri di dekat gerbang utama sekolah.


Gerbang tua berlumut khas sekolah negeri, dengan area parkir sederhana di dekatnya.


Di sekitar, para siswa berseragam yang sama berkumpul, ditemani oleh orang tua mereka yang tampak seperti wali murid.


Keriuhan yang penuh kegembiraan, mirip suasana festival──


“Kalau begitu, dua orang lainnya juga──”


“──Chikaaa!”


Tepat pada saat itu, suara lantang memanggil dari arah lain.


Suara ceria bernada tinggi, seperti berayun di udara.


Sedikit lebih muda dari Nito, terdengar penuh percaya diri.


Lalu,


“Mone!”


Nito memanggilnya, dan di saat bersamaan──seorang gadis muncul dari kerumunan.


Dengan mata bulat seperti anak anjing, tubuh agak mungil, dan meski ini hari pertama masuk sekolah, seragamnya sudah sedikit berantakan.


Dia adalah anggota penting klub astronomi kami, Igarashi Mone──


“Hei, ini… berhasil, kan!?”


Igarashi-san meraih tangan Nito, tubuhnya bergetar penuh semangat.


“Kita benar-benar kembali, kan!? Ke hari upacara masuk sekolah!”


“Ya… benar.”


“Wah, jadi ini yang namanya ‘mengulang’… ternyata sungguhan, ya…”


Sambil berkata begitu, Igarashi-san menunduk menatap tubuhnya sendiri.


Baru saja beberapa waktu yang lalu, di masa setahun kemudian, tubuhnya tampak sedikit lebih dewasa.


Tapi sekarang, dia mengenakan seragam barunya,


“Seragamnya masih baru, sepatu loafers-nya juga masih keras… wah, ini sungguhan, ya…”


“Awalnya memang bikin kaget, kan.”


Aku tersenyum pada reaksinya yang polos dan lucu.


“Rambut juga tiba-tiba berubah panjang-pendek.”


“Iya… rasanya aneh sekali… haaah…”


Sambil berkeliling menatap sekitar, dia berbisik,


“Jadi ini… 1 tahun yang lalu… kita, benar-benar kembali ke sini…”


“──Yoo, para siswa baru!”


Tiba-tiba──terdengar suara berat dan mantap dari belakang.


“Selamat datang di sekolah.”


Kami menoleh, melihat sosok berambut pendek dengan wajah tegas.


Wajah percaya diri, tubuh berpostur tegap.


──Rokuyou-senpai.


“Kelihatannya kalian bertiga akrab sekali, ya. Bolehkan aku ikutan.”


Satu-satunya anggota senior klub astronomi kami.


Dia juga ikut ‘mengulang’ bersama kami, anggota terakhir.


Sepertinya dia juga berhasil──kembali ke 1 tahun yang lalu.


“…Terima kasih, Senpai.”


Aku membalas senyumnya sambil menjawab,


“Senpai sampai repot-repot menyambut kami di tahun ajaran baru begini.”


“Ah, tidak masalah.”


Rokuyou-senpai tertawa nakal,


“Soalnya rasanya aneh, seperti baru ketemu kalian barusan. Padahal harusnya ini pertemuan pertama.”


“Ahaha, iya juga.”


“Aku juga merasa seperti itu, Senpai!”


Nito dan Igarashi-san menimpali sambil tertawa.


Percakapan santai itu membuat dadaku terasa hangat.


Mengulang masa SMA bersama anggota seperti ini, bukan hanya aku sendiri, bukan hanya aku dan Nito, tapi juga bersama teman-teman ini.


Pasti bisa.


Dengan mereka semua, kami pasti bisa meraih masa depan di mana semuanya tersenyum.


“Oh iya, apa kalian… tertarik untuk ikut klub?”


tanya Senpai, sambil menunjuk ke arah gedung sekolah, ruang klub kami.


“Sekarang ini klub astronomi sedang asik, loh. Ruangannya bisa kita pakai sesuka hati.”


“Oh, kedengarannya menarik.”


“Aku mau masuk!”


“Aku sih pass, mau masuk klub teh.”


“Eh, masuk klub astronomi saja dong!”


Sambil tertawa seperti itu, kami berempat kembali menatap gedung sekolah itu sekali lagi.



Setelah itu──kami berempat berkumpul untuk membicarakan rencana ke depan.


Segera setelah upacara masuk selesai, kami datang ke sebuah restoran keluarga.


“Sebenarnya lebih enak membicarakan ini di ruang klub, sih.”


Aku tanpa sadar berkomentar sambil memegang gelas minuman.


“Soalnya ya… sudah sangat kebiasaan mengobrol di sana, rasanya sudah nempel.”


“Ya ya, tidak apa-apa kok.”


Nito tersenyum sambil sedikit mengernyit.


“Kita baru masuk sekolah, kan. Kalau tiba-tiba berkumpul di ruang klub, nanti malah dicurigain.”


Rambutnya kali ini panjang lagi setelah sekian lama, membuatku merasa agak nostalgia.


Katanya sendiri sih, dia sudah terbiasa dengan gaya pendek, jadi akan segera dipotong lagi, mungkin hari ini adalah kesempatan terakhir untuk melihatnya seperti ini.


Tetap saja, aku jadi teringat bagaimana dulu aku jatuh cinta pada Nito dengan rambut yang seperti ini.


“Jadi, soal ke depannya kan?”


Igarashi-san mengambil alih pembicaraan dariku.


“Soal bagaimana kita menghadapi acara-acara yang akan terjadi nanti. Mau itu perekrutan anggota, atau festival budaya, kita semua sudah tahu kurang lebih apa yang akan terjadi… tinggal bagaimana kita bertindak di situ.”


“Benar.”


“Hmm, mau bagaimana ya…”


Ya, itulah masalahnya.


1 tahun penuh yang akan kita lalui berempat, lagi.


Di putaran pertama saja sudah banyak hal yang terjadi, jadi kali ini kami harus memikirkan bagaimana menghadapi setiap peristiwa itu.


Untuk itu, aku ingin kita menyatukan pandangan sejak awal.


“Yang paling mendasar, ini benar-benar hal yang utama,”


aku membuka pembicaraan dengan nada tegas.


“Aku ingin kita selalu mengingat prioritas untuk menyelamatkan Makoto.”


Bagaimanapun, itulah yang terpenting bagiku.


Mencapai masa depan di mana Makoto bisa selamat.


Artinya──kita harus memastikan dia masuk ke SMA Amanuma, dan mengambil langkah-langkah untuk menuju itu.


“Kurasa semua tindakan kita nantinya akan berdampak pada pilihan Makoto. Cara kita bicara padanya, suasana di ruang klub juga. Tentu aku tidak mau hidup hanya demi Makoto semata, tapi… menyelamatkan dia tetap harus selalu ada di pikiran.”


“Ya, itu memang yang utama.”


Nito mengangguk mantap.


“Aku juga setuju, tidak ada bantahan.”


“Tentu, kita lakukan itu.”


“Ya.”


Igarashi-san dan Rokuyou-senpai juga mengiyakan.


“…Tapi,”


Igarashi-san menatapku dengan sedikit cemas,


“Makoto tidak masuk SMA waktu itu… gara-gara hubunganmu dengan Chika, kan? Maksudku… dia tidak tahan melihat kalian berdua begitu dekat.”


Wajahnya menunjukkan jelas rasa khawatir.


Wajah yang biasanya terkesan tegas itu, kini terlihat penuh kepedulian.


“Karena kamu dan Chika sudah resmi pacaran, dan saling memahami perasaan, melihat itu mungkin menyakitkan buat Makoto…”


“Ya, memang begitu.”


Aku mengangguk jujur, mengakuinya.


“Dia sendiri juga sudah bilang seperti itu… walaupun sampai sekarang aku sendiri masih sulit percaya dia punya perasaan seperti itu padaku.”


Sulit rasanya membayangkan Makoto benar-benar menyukaiku, tapi──itulah faktanya.


Makoto terluka melihat hubunganku dengan Nito, dan akhirnya menolak masuk ke SMA Amanuma.


“Jadi mungkin…,”


Rokuyou-senpai mengerutkan kening,


“Apa kalian… berencana untuk tidak pacaran? Maksudnya, kalian mau jaga jarak demi dia?”


Nada suaranya terdengar agak kesal.


Itu wajar.


Memang kalau mau benar-benar memastikan Makoto selamat, cara yang paling pasti adalah menjaga jarak dengan Nito, seperti di garis waktu di mana hubungan kami belum terlalu dekat.


Tapi,


“…Tidak, kami tidak berniat seperti itu.”


Aku menggeleng pelan, lalu meneguk sedikit cola tanpa kalori di gelasku.


Rasanya sudah encer karena es, meninggalkan rasa manis palsu di lidah.


“Kurasa… itu malah akan terasa tidak jujur. Hubungan kami sudah sedekat ini, tidak mungkin untuk mundur lagi.”


Berbohong pada perasaan sendiri, tidak akan bertahan lama.


Makoto mungkin akan tahu kebenarannya suatu saat, dan aku maupun Nito akan tetap terluka.


Itu bukan penyelesaian yang kami inginkan.


Jadi, kami harus mencari cara lain.


“Syukurlah…”


Suara lega itu datang dari sebelahku──Nito.


Dia merebahkan setengah badannya di atas meja, lalu menatapku dengan ekspresi yang benar-benar lega.


“Aku sempat takut… kamu mau putus. Maksudnya, demi Makoto, kamu mau balikin hubungan kita ke orang asing lagi…”


“Ah, iya ya, memang wajar kau berpikir seperti itu.”


Aku menunduk menatapnya sambil tersenyum kecil.


“Aku mengerti kok kau khawatir… maaf. Tapi intinya, tidak, aku tidak mau putus. Kita akan tetap bersama, dan sama-sama cari cara agar Makoto bisa masuk ke SMA Amanuma.”


“Tapi… apa kamu sudah kepikiran cara pastinya?”


Igarashi-san menimpali,


“Kamu kan pasti tetap mau dekat dengan Makoto di garis waktu ini? Apalagi urusan pencarian asteroid, kalian pasti bersama lagi kan?”


Memang, itu rencanaku.


Di masa SMA pertamaku, aku hampir tidak pernah berinteraksi dengan Makoto.


Baru setelah dia masuk SMA-lah, kami mulai dekat.


Dengan kata lain──kalau setahun ini aku sama sekali tidak mendekatinya, kemungkinan besar Makoto otomatis akan masuk ke SMA Amanuma.


Kalau mau aman, itu bisa jadi pilihan.


Tapi… aku tidak ingin menghapus kenangan kami di Desa Achi, saat mencari asteroid bersamanya.


Hari-hari saat kami berburu asteroid adalah memori yang tak tergantikan bagiku.


Itu adalah sesuatu yang sangat berharga, yang tak ingin kuanggap tidak pernah terjadi.


Meskipun kalau begitu, akan perlu penyesuaian ekstra agar Makoto tidak merasa sakit hati──


“Sebenarnya… kupikir tidak sesulit itu,”


aku akhirnya mengutarakan perhitunganku dengan jujur.


“Maksudku… ya, waktu itu kan jujur saja, aku lumayan mesra di depan Makoto. Bahkan waktu pencarian asteroid, aku sering sekali menunjukkan betapa dekatnya aku dengan Nito…”


Memang kalau diingat-ingat, benar begitu.


Pertama kali Makoto ketemu Nito pun di kafe, sebelum festival budaya, waktu kami membicarakan soal perjalanan waktu.


Saat itu… Makoto melihat sendiri kedekatan kami.


Padahal di pengulangan pertama, aku selalu berinteraksi hanya berdua dengannya.


Sekarang, Makoto sudah tahu aku pacaran dengan Nito, dan dia sempat bilang,


“──Tapi, cuma berdua saja. Kalau aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan Senpai… mungkin masa depan itu juga tidak buruk…”


Sejak saat itu──mungkin dia sudah merasa berat hati.


Perasaan itu belum terlalu jelas waktu itu, tapi garis menuju akhir yang buruk, garis yang membuatnya menolak SMA Amanuma, sudah mulai terbentuk──


“Ah… iya juga, ya…”


Nito menunduk,


“Kalau diingat-ingat… aku jadi seperti menyakiti Makoto sekali…”


“Tidak, itu wajar kok,”


“Chika juga, pasti berusaha keras, kan.”


Rokuyou-senpai dan Igarashi-san menenangkan Nito yang tampak muram.


Memang, waktu itu tak bisa disalahkan siapa pun.


Waktu itu, justru Nito-lah yang lebih terpojok. Kalau itu demi menemukan cara untuk bertahan hidup, dia pasti tak sempat memikirkan cara-cara yang baik atau buruk.


Karena itu… apa yang terjadi saat itu, mau bagaimana lagi.


Apa yang Nito lakukan waktu itu, sama sekali bukan hal yang kejam atau salah.


“…Iya, terima kasih.”


Dia berkata pelan, seperti berbisik, lalu mengangguk.


“Kalau begitu, kali ini kita harus hati-hati. Jangan sampai menunjukkan hubungan kita terlalu jelas di depan Makoto-chan. Kita tidak akan berbohong, tapi juga sebisa mungkin tidak mengatakan hal-hal yang bisa menyakiti dia.”


“Benar. Lalu sambil melihat situasi, kita pikirkan langkah-langkahnya dengan fleksibel.”


Kurasa itulah yang paling baik pada akhirnya.


Berlaku seolah-olah kami tidak dekat, hanya karena ingin menjaga perasaannya, itu mungkin malah terasa menghina bagi Makoto.


Faktanya, dia pernah bilang sendiri.


“Aku tidak mau dikasihani seperti itu,” katanya.


Jadi… aku ingin bisa mencari hubungan yang lebih baik dengannya.


Di garis waktu ini, aku ingin menemukan hubungan baru antara aku, Nito, dan Makoto.


“Kalau begitu, soal Makoto-chan, mari kita lakukan seperti itu.”


“Lalu soal acara lain juga, kita harus serius menjalaninya.”


“Kalau aku, untuk live konser ya langsung turun panggung tanpa latihan,”


Begitu urusan tentang Makoto sedikit selesai, kami berpindah membicarakan hal-hal lain.


Ada banyak hal yang akan terjadi. Mulai dari mengumpulkan anggota klub, membuat video pertama, pindahnya Nito, kencan dengan Mitsuya-san, lalu festival budaya.


Dan tentu saja—pencarian asteroid.


Tentu, hal-hal kecil akan kami diskusikan nanti sambil berjalan. Tetapi secara garis besar, sikap kami sudah jelas.


“──Aku tidak ingin terlalu memanfaatkan pengetahuan dari pertama kali, untuk dapat keuntungan.”


“──Benar. Karena itu aku juga sebisa mungkin hanya memakai lagu-lagu yang muncul di pikiranku pada percobaan pertama.”


“──Festival budaya! Kali ini kita harus menang! Dan, lomba masak lawan Mone juga!”


Sambil bersemangat begitu, kami menyatukan arah tujuan kami.


Pertama, jangan terlalu memanfaatkan informasi yang kami dapat dari pengulangan sebelumnya.


Banyak hal yang sudah kami ketahui cara untuk menghadapinya.


Misalnya, seleksi masuk ‘Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang’.


Atau pertunjukan apa yang diadakan di festival budaya.


Atau bagaimana kelanjutan kencan dengan Mitsuya-san.


Di momen-momen seperti itu—kami tidak ingin memakai pengetahuan di awal seenaknya.


Di hadapan orang-orang yang benar-benar baru menjalani waktu ini, kami ingin sebisa mungkin menghindari segala trik curang.


Setidaknya, di hati, kami ingin menyambutnya seperti pertama kali.


Berikutnya—orang-orang yang pernah membantu kami.


Chiyoda-sensei, Minase-san. Nishigami, Takashima, Okita.


Lalu… Mitsuya-san, Azuma-senpai, dan Nanamori-san juga.


Kami sepakat untuk tetap berhubungan baik dengan mereka kali ini.


Mereka yang bersama kami di kehidupan SMA pertama.


Kami tidak ingin melupakan rasa terima kasih itu, dan rasanya menyedihkan kalau sekarang tiba-tiba jadi orang asing.


Kalau tidak memaksa, kami ingin tetap berinteraksi dengan mereka.


Dan terakhir──


“Di atas semua itu… ayo kita jalani 1 tahun ini sebaik mungkin.”


Aku mengatakan itu, pada semua orang di sana, juga pada diriku sendiri.


“Kita memang punya tujuan, tapi tetap saja ini adalah 1 tahun yang penting di hidup kita.”


Aku tidak mau melupakan itu.


Memang, menyelamatkan Makoto adalah prioritas utama.


Untuk itu kami sudah memutuskan meninggalkan 1 tahun sebelumnya, dan memulai lagi dari awal.


Tapi… tidak peduli berapa kali pun kami mengulanginya, yang dimulai ini tetap masa SMA yang tak tergantikan.


Menjalani hari-hari dengan sepenuh hati.


Bertemu dengan banyak orang dan banyak hal, dan terus berubah.


Aku juga ingin merasakannya dengan baik.


“…Mari jalani kehidupan SMA yang baik, ya.”


Karena itu aku berkata pada anggota klub astronomi.


Pada tiga orang di depanku, yang bisa dibilang berbagi takdir denganku.


“Kali ini juga… berhasil atau gagal, kita jadikan ini masa SMA yang berharga.”



Dan begitu—hari-hari pengulangan kami pun dimulai lagi, penuh keributan dan kesibukan yang membuat kepala berputar──


***

POV: Nito Chika


“──Ah, pada akhirnya jadi begini juga ya.”


“──Iya sungguh…”


Kami, Nito Chika dan Sakamoto Meguri, saling bercakap begitu—tepat pada tanggal 1 Mei.


Lewat tengah malam, di rumahku sendiri.


Larut malam, hanya ada aku dan dia di rumah.


Kami duduk bersebelahan di kursi, sesekali bertukar kata pelan-pelan.


Kalau dilihat hanya sepotong saja… rasanya seperti situasi yang bikin deg-degan.


Berduaan dengan laki-laki yang kusuka, di tengah malam.


Apa pun yang terjadi, tidak ada yang akan tahu.


Kalau dalam keadaan seperti ini… rasanya tidak aneh kalau sesuatu terjadi, kan?


Seolah hubungan kami aman melangkah maju begitu saja… kan?


Tapi──


“Eh? File voice-over-nya mana? Narasi dari Rokuyou-senpai.”


“Ehm, untuk bagian suara sudah aku kumpulkan di folder ini sih…”


“Ah… tapi sepertinya ini masih kurang.”


──Kami sedang bekerja.


Laptop yang Meguri bawa dari rumahnya.


Kami menatap layar kecil itu sama-sama, tekun mengedit video.


Untuk catatan aktivitas klub.


Hal yang juga sempat jadi masalah di tahun pertama, kami ulangi lagi sekarang.


Dan lagi-lagi──di tenggat terakhir.


Berdua dengan Meguri, di kamarku, siap-siap lembur semalaman…


“Fuuuh…”


“Mataku perih sekali…”


“Iya…”


Kami sama-sama bergumam dengan suara rendah.


“Mau beli obat tetes mata?”


“Apoteknya sudah tutup kan…”


“Benar juga…”


Suara kami berdua sudah serak.


Karena lelah, pikirannya melambat, ritme percakapan juga tersendat-sendat.


Padahal tadinya kami tidak mau mengulangi kesalahan seperti ini.


Bukan sengaja meniru keadaan di percobaan pertama.


Kami benar-benar mau melakukannya dengan lebih baik kali ini…


Faktanya, syarat keberlangsungan klub—yaitu mencari anggota—sudah selesai secepat kilat.


Aku, Meguri, Mone, dan Rokuyou-senpai.


Kami sudah punya empat orang sejak awal, jadi tidak khawatir kekurangan anggota minimal.


Memang, sempat mencoba merekrut tambahan anggota lain, tapi akhirnya tidak dapat siapa-siapa.


Yah, tidak masalah, jadi kami lanjut fokus menyelesaikan video.


Lalu, begitu kami mau mengunggah data video yang sudah selesai ke situs—laptopku mengalami crash.


File mentahnya yang tersimpan di cloud masih aman, tapi data video finalnya lenyap entah ke mana.


“──Ah! Laptopku kan memang rusak hari ini!”


“──Aaaaah! Benar sekali!!!”


“──Kita benar-benar lupa…!”


Semua anggota klub langsung memegang kepala.


Padahal kami sudah pernah mengalaminya satu kali, laptopku rusak di tanggal ini.


Tapi—kami benar-benar lupa.


Empat orang ini santai saja membuat video sambil bilang “kali ini gampang sekali” atau “sepertinya terlalu curang kalau begini” dan semacamnya.


“──B-b-bagaimana sekarang!?”


“──Di rumahku ada laptop!”


“──Kalau begitu, cepat mulai mengedit di sana!”


Dan—akhirnya jadi begini lagi.


Sama persis seperti di tahun pertama, terpaksa mengedit video sambil begadang.


“…Yah, mungkin beginilah jadinya ya.”


Meguri bergumam sambil mengklik-klik mouse.


“Aku kira hari-harinya akan benar-benar berbeda dengan sebelumnya, dan sepertinya kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama… tapi ternyata tidak segampang itu juga. Seperti di cerita paralel begitu, jalannya suka ketarik balik, atau semacamnya…”


“Aah…”


Kata-kata Meguri membuatku teringat semua ‘pengulangan’ yang pernah kulewati.


“Ya… macam-macam sih ya…”


“Heh?”


“Kadang memang berubah total. Contohnya, beberapa kali belakangan ini aku baru bisa dekat denganmu, Meguri. Sebelumnya, kita bahkan nyaris tidak pernah mengobrol, seperti orang asing.”


“Oh, iya ya, kau pernah cerita juga…”


“Tapi memang, ada juga kejadian yang hampir selalu muncul, setiap kali. Contohnya, apapun yang terjadi, Azuma-senpai selalu tampil di festival budaya dan membuat suasana pecah sekali.”


Azuma Kirara-senpai.


Seorang kakak kelas di SMA Amanuma, yang sering mengunggah video dance di platform short video.


Wajahnya imut, gerakannya keren, sampai terkenal di dalam dan luar negeri.


Tapi aslinya, dia itu tipe yang anak olahraga sekali (sedikit berandalan) dan semangatnya luar biasa.


Di ‘pengulangan’ sebelumnya, aku benar-benar bertanding langsung dengan dia, dan nyaris kalah karena penampilan live-nya terlalu keren.


Waktu itu, aku benar-benar merasa akan kalah.


Meguri juga sepertinya sadar akan ketangguhan Azuma-senpai,


“Hebat! Tangguh sekali orang itu!”


Katanya sambil mengangkat wajah dari laptop, kelihatan senang.


“Memang cocok sih, orang seperti dia pasti akan membuat suasana live entah bagaimana caranya, di kondisi apa pun…”


“Iya kan, hebat sekali dia…”


Ngomong-ngomong… ada juga ‘pengulangan’ di mana Azuma-senpai pacaran dengan Rokuyou-senpai, tapi itu rahasiaku sendiri untuk sekarang.


Lalu,


“Ya, tapi banyak juga hal yang berubah kok.”


Aku bilang begitu, sambil menatap Meguri.


Entah sejak kapan, dia berhenti mengetik, seolah kelelahan.


“Yang paling penting, kita sendiri sudah beda dari sebelumnya kan…”


Aku menatap wajahnya dari samping.


Mulutnya yang sedikit rileks karena lelah.


Pipinya yang mulus dengan warna kulit yang bisa membuat iri.


Wajahnya lumayan rupawan padahal dia sendiri tidak sadar sama sekali──


Ya, hubungan kami sudah berubah.


Sekarang, Meguri ada di sisiku.


Bukan cuma secara fisik.


Dia sungguh mau berada di sampingku, menemaniku yang dulu selalu sendirian.


Berdiri di sebelahku dengan kakinya sendiri.


Karena itu… di garis waktu ini, aku merasa pasti bisa menikmati musik dengan bahagia.


Bukan lagi terpojok seperti sebelumnya.


Aku yakin bisa menikmati bernyanyi, menikmati menciptakan lagu──


“Hmm, ya, benar juga…”


Meguri menjawab sambil meregangkan badannya, tidak sadar kalau aku menatapnya.


“Ya, aku juga senang kok…”


Suaranya sangat pelan, hampir seperti sedang bicara sendiri.


Makanya aku mencondongkan tubuh, mendekat padanya—lalu cepat-cepat mengecup pipinya.


Pipinya yang halus dan lembut seperti anak kecil itu──


“!?”


Meguri langsung menoleh padaku seperti terkejut.


Matanya membulat, pipinya merah merona.


Melihat dia begitu,


“…Ayo kita semangat bersama-sama ya.”


Aku bilang, sambil ikut merasa malu sendiri.


“Akan ada hal yang berat juga ke depannya… tapi kita akan menghadapi itu bersama-sama ya.”


***


POV: Igarashi Mone


“──Baiklah, ini pertandingan balas dendam!”


Tepat di depanku—Igarashi Mone ini—Rokuyou-senpai, mengenakan ekspresi ganas, mengucapkan kata-kata itu.


Di depanku, yang sedang memakai apron rumah tangga seperti biasa, dia tampak benar-benar bersemangat.


“Waktu duel masak sebelumnya… kari rempah andalanku kalah telak dengan masakan rumah Mone… kehebatan rasa yang lahir dari pengalaman sehari-hari, tidak bisa disaingi oleh masakanku yang cuma belajar kilat…”


Sambil menahan rasa frustrasi, Senpai menggigit bibir.


Ekspresi wajahnya tampak benar-benar mengingat kembali pahitnya kekalahan waktu itu.


Tapi—begitu ia menegakkan wajah, ia menunjukku lurus-lurus dengan mantap,


“Tapi sejak saat itu aku juga sudah banyak berkembang! Kali ini, aku pasti menang!”


Dengan wajahnya yang sangar, ditambah tubuhnya yang berotot, dia malah terlihat seperti tokoh dari manga anak berandalan.


Kalau gadis lain yang menghadapi dia, mungkin akan sedikit gentar melihat auranya.


Tapi──


“Fufufu…”


Aku membalas dengan senyum percaya diri.


“Wah, berapi-api sekali. Yah, silakan saja berusaha semampunya, ya…”


──Dapur keluarga Rokuyou.


Sudah lama sejak terakhir aku ke sini, dan tempat ini tetap luar biasa mewah seperti dulu.


Bahkan kalau dua anak SMA sekaligus masak di sini, tidak akan berbahaya karena luasnya.


Ada dua bak cuci, dan lima tungku kompor.


Dapur keluarga Igarashi di rumahku jauh lebih sempit, jadi bisa masak di tempat seperti ini benar-benar membuatku bersemangat.


…Yah, kali ini pun aku akan tetap sederhana.


Menghadapi dia dengan masakan sehari-hari seperti biasa.


“Baiklah, kedua peserta sudah sangat bersemangat!”


Sakamoto, yang berperan sebagai komentator, menatap kami berdua sambil berkata begitu.


“Pertarungan kali ini akan berakhir seperti apa, ya?”


“Mone sepertinya sudah menyiapkan rencana beberapa hari lalu khusus untuk hari ini,”


ucap Chika dengan gaya sok komentator juga.


“Sebaliknya, Rokuyou-senpai pun sudah menyiapkan peralatan dan bahan-bahan yang cukup banyak. Ini pasti seru sekali──”


──Rokuyou Haruki VS Igarashi Mone, duel masak.


Pertarungan yang dulu juga pernah diadakan di tahun pertama SMA, sekarang akan terjadi lagi.


Meskipun, latar belakangnya kali ini cukup berbeda.


Tujuannya pun berbeda, sekarang juga ada Chika di sini, jadi maknanya sama sekali tidak sama dengan waktu itu.


──Waktu itu, aku menantang duel masak dengan Senpai sebagai bagian dari pencarian mimpiku.


Aku ingin melepaskan ketergantunganku pada Chika.


Ingin bisa berdiri sendiri, menemukan mimpi yang membuatku bersemangat bersama Sakamoto.


Di antara banyak hobi yang kucoba, karena memang aku suka memasak sejak dulu, aku sempat mempertimbangkan menjadikannya mimpi, lalu berdiskusi dengan Sakamoto.


Entah bagaimana, Rokuyou-senpai malah menantangku—dan akhirnya jadi duel masak.


Tapi sekarang──


“Chika… Aku akan membuat masakan yang bisa bikin kamu semangat lagi, ya!”


Aku menoleh pada Chika, yang sedang main-main jadi komentator, sambil bilang begitu.


“Aku mau membuat makanan yang bisa menghapus lelahmu karena pindahan!”


“Iya, aku tunggu, ya!”


Chika langsung kembali lagi jadi dirinya yang ceria seperti biasa, sambil melambai dan tersenyum.


“Semangat ya, Mone!”


──Chika yang sedang lelah karena urusan pindahan.


Dari rumah orang tuanya di Ogikubo, dia sedang bersiap pindah ke asrama agensi.


Sekolah, kerja, dan beres-beres kamar semuanya menumpuk, sampai-sampai kelihatan jelas kalau dia mulai kelelahan.


Melihat dia begitu, aku pun sempat bilang,


“Mau aku bawakan camilan atau apa begitu?”


Waktu di ruang klub, aku menawarkannya.


“Pasti kamu lapar waktu beres-beres, kan? Mau aku bawa makanan sambil bantuin?”


“Eh, aku senang sekali! Datang ya! Sepertinya seru kalau mengerjakannya bersama-sama!”


Mata Chika langsung berbinar mendengar itu.


“……Heh.”


Saat itulah—Rokuyou-senpai mengeluarkan suara rendah.


“Membawakan makanan untuk orang yang sedang pindahan, ya…”


Dia menyilangkan tangan, mengelus dagu, dan menatap kami dengan gaya seperti koki profesional.


“Eh, Senpai juga mau ikut bawain makanan?”


“Wah, silakan sekali! Bersama-sama saja!”


“Yah… itu juga boleh sih, tapi…”


Ucapnya, lalu menyeringai,


“……Bagaimana kalau kita bertanding?”


Dengan suara rendah, seolah menantangku.


“Siapa yang bisa membuat Nito paling senang dengan makanannya, itu yang menang?”


“Eh, kenapa mendadak sekali…”


Aku jadi bingung dengan perkembangan yang tiba-tiba itu.


“Apa tidak bisa langsung dimakan saja, begitu?”


“Ya, soalnya akhir-akhir ini aku mulai rajin masak lagi. Dan, waktu itu aku kalah telak dengan Mone kan? Waktu duel masak di musim ini juga.”


“Ah, iya… benar juga.”


“Maka dari itu──”


Senpai berdiri dari kursinya,


“──Ayo kita adakan pertandingan balas dendam!”


Dengan nada layaknya rival karakter anime, dia mengucapkannya padaku.


“Mone──mari kita duel masak denganku sekali lagi!”


Dan akhirnya, hari ini.


Kami pun berkumpul di rumah Rokuyou, dan mulai menyiapkan makanan untuk Chika bersama-sama.


…tapi, kalau dipikir-pikir dengan tenang, bukannya aneh?


Sebenarnya ini kan cuma makanan untuk disantap di sela-sela pindahan, kenapa malah berubah jadi acara masak besar-besaran begini.


Konsep awalnya benar-benar hilang, kan…


Yah, setelah pertarungan ini selesai, rencananya kami berempat akan langsung ke rumah Chika buat bantu beres-beres pindahan.


Lebih cepat kelar, lebih cepat bisa mulai bantuin.


“──Kalau begitu, apa kedua peserta sudah siap?”


Begitu aku dan Rokuyou-senpai selesai menyiapkan bahan-bahan dan peralatan masak, Sakamoto yang bertindak sebagai wasit pun berkata:


“Oke!”


“Di sini juga siap!”


“Kalau begitu, mari kita mulai… masak dimulai!”


Dan tepat di saat suara Sakamoto terdengar, aku dan Senpai mulai membuat makanan untuk dibawa sebagai bekal.



“──Baiklah, sekarang saatnya aku umumkan hasil penilaiannya.”


Dan begitu proses memasak selesai, setelah kami semua mencicipi masakan masing-masing dan sempat berdiskusi sebentar, tibalah waktu pengumuman hasil.


“Pemenang duel masak antara Igarashi-san dan Rokuyou-senpai adalah…”


Sakamoto sengaja menahan ucapannya sejenak…


“──Dengan suara bulat, kemenangan jatuh kepada Igarashi-san!”


“Ya! Tentu saja!”


“A-apa-apaan itu!? Kenapa aku kalah!?”


Rokuyou-senpai langsung protes keras pada Sakamoto.


“Masakanku kali ini enak, kan!? Bukankah itu cocok dengan situasi pindahan!?”


“Ya, memang enak kok.”


Chika menjawab dengan suara tenang, mengangguk pelan.


“Dan memang rasanya juga cocok untuk suasana pindahan.”


“Ya kan!?”


Senpai tampak benar-benar tidak terima.


Dia sampai berapi-api saat menyuarakan keberatannya.


“Tapi… kenapa? Kenapa aku tetap kalah!?”


“Itu karena…”


Chika mengerutkan alis, tampak agak kesulitan menjawab,


“──Waktu sedang sibuk pindahan, makan soba buatan tangan sendiri itu malah merepotkan…”


Kami menatap Rokuyou-senpai, yang mengenakan pakaian kerja tradisional lengkap dengan ikat kepala.


Dia benar-benar tampil seperti tukang soba profesional.


──Ya, kali ini Rokuyou-senpai benar-benar membuat soba sendiri dari nol, lalu menyajikannya sebagai ‘Soba Pindahan’ untuk Chika.


Proses memasaknya… luar biasa.


Dia menuang tepung ke mangkuk besar, menambahkan air, mengaduk, kemudian menggiling adonan jadi lembaran tipis dan memotongnya dengan pisau jadi helai-helai soba.


Gerakannya cekatan, dan wajahnya benar-benar seperti tukang soba sejati.


Memang, rasanya juga enak.


Meski sepanjang makan dia terus mengoceh “Coba makan pakai garam” atau “Jangan digigit di tengah jalan!” sampai membuat berisik, tapi ya, sobanya memang enak sesuai usaha yang dia keluarkan.


Namun,


“Kan waktu pindahan, seluruh ruangan penuh dengan kardus.”


Nito ikut menimpali sambil melirik peralatan soba yang bertebaran di dapur.


“Jadi tidak bisa santai makan sambil menikmati begitu. Dan kalau boleh memilih, kami lebih senang makanan yang bisa langsung mengenyangkan.”


“…Begitu ya…”


Rokuyou-senpai menunduk, bahunya merosot jatuh.


“Jadi… kurang cocok dengan situasinya, ya…”


──Oh, ngomong-ngomong.


Masakan yang kubuat adalah set onigiri, tamagoyaki (telur gulung), dan kaarage (ayam goreng).


Bahkan, kaarage dan tamagoyaki-nya itu sisa makan malam kemarin.


Yang kubuat di tempat cuma onigirinya.


Karena memang ‘kesan bekal’ seperti itu yang cocok.


Mengenyangkan, memulihkan tenaga, cocok sekali buat dibawa ke tempat pindahan.


Dan sepertinya Sakamoto dan Chika juga merasakan hal yang sama, karena mereka memujinya habis-habisan.


Kalau dipikir-pikir, ini cara menang yang sama persis seperti waktu duel pertama kami.


Senpai datang dengan masakan spesial, aku menang dengan masakan yang praktis.


Sudah waktunya mungkin Senpai belajar, kalau masakan bukan cuma soal hobi, tapi juga soal bagaimana bisa membuat orang senang dalam keseharian.


Saat aku memikirkan itu…


“…Aku tidak akan menyerah lho.”


Tiba-tiba Rokuyou-senpai berkata pelan, dengan suara dalam.


Lalu dia mendongak dengan cepat──


“Aku… aku tetap tidak akan menyerah begitu saja lho, Mone!”


Seperti rival di anime, dia mendeklarasikan tekadnya.


“Mulai sekarang, aku akan terus menantangmu untuk duel masak! Bersiaplah!”


“…Iya iya…”


Aku tertawa kecil, merasa kalau itu sebenarnya tidak buruk juga.


Duel masak berkali-kali dengan Rokuyou-senpai, Chika dan Sakamoto ikut menemani kami.


Ya… meskipun ini berbeda jauh dari tahun lalu, hari-hari seperti ini tidak buruk juga.


Sambil berpikir begitu, aku melepas apron.


“Tapi serius… kita sudah terlalu larut, tahu.”


Aku menegur semua orang.


“Kita kan masih harus bantuin pindahan, sekarang sudah hampir jam 3 sore.”


“…Ah, benar juga!”


Rokuyou-senpai melirik jam dinding dan buru-buru melepas ikat kepalanya.


“M-maaf Nito! Aku keasyikan membuat soba!”


“Ayo kita cepat berangkat!”


“Kalau tidak, kita tidak akan sempat membereskan rak buku hari ini…”


Sakamoto dan Chika juga buru-buru bangkit dan mulai bersiap.


Sambil menatap mereka, aku kembali berpikir, Kalau mengulang waktu dan menjalani setahun lagi bersama mereka… ternyata memang menyenangkan juga.


***


POV: Rokuyou Haruki 


“──Nah, kira-kira bagaimana hasilnya, ya…”


Setelah Festival Langit Biru selesai. Di pusat komunitas.


Aku, Rokuyou Haruki, sedang menunggu Meguri menyelesaikan perhitungan jumlah pengunjung.


“Wah, deg-degan sekali…”


“Sepertinya tadi pertarungannya cukup ketat, ya!?”


“kalau perasaanku sih, kurasa kita menang…”


Suara-suara seperti itu terdengar dari para staf panggung sukarelawan di sekitarku.


Suasana pun mulai terasa gelisah, sampai-sampai bisa kurasakan di kulit.


Sebenarnya aku sendiri juga sama saja.


Jantungku berdegup kencang, tetapi aku berusaha menampakkan wajah tenang sambil menunggu laporan dari Meguri.


──Festival budaya yang kedua kalinya.


Di acara yang terulang kembali karena ‘pengulangan’ ini, aku dan Nito kembali bertarung.


Dia menjadi penanggung jawab panggung utama, sekaligus tampil sebagai bintang penutup di sana.


Sedangkan aku mengurus panggung sukarelawan bersama Meguri dan Mone.


Sama seperti sebelumnya, kami kembali bersaing soal jumlah pengunjung maupun jumlah penonton daring.


Kali ini pun, aku mendapat perintah dari ayahku: “Kalahkan panggung utama.”


Sementara di pihak Nito, ia mempertaruhkan kesempatan debut major di atas panggung festival ini, dan tampil sepenuh hati.


Karena itu──beberapa bulan yang lalu:


“──Akhirnya, ujung-ujungnya tetap jadi pertarungan antara aku dan Nito lagi, ya.”


“──Ya, benar.”


Di ruang rapat tempat para panitia festival budaya berkumpul untuk pertama kalinya,


kami sempat saling menyebut begitu, lalu sekali lagi menyalakan api pertempuran.


“──Kali ini, aku benar-benar akan menjatuhkanmu.”


“──Akan kutunjukkan perbedaan level kita.”


Bisa bicara seperti ini lagi dengan Nito, rasanya membuatku senang bukan main.


Sama seperti waktu duel masak dengan Mone, mungkin memang dasarnya aku ini suka bertanding dengan orang lain.


Saat aku teringat soal itu,


“Hey, Haruki~”


Tiba-tiba, seorang gadis di sampingku menyapaku.


“Mau taruhan denganku, tidak?”


Saat kulihat──itu adalah Azuma.


Azuma Kirara.


Gadis penari berambut kuncir kembar ini, juga tampil sebagai bintang penutup di panggung sukarelawan kali ini, dan ikut memeriahkan suasana.


Dengan tangan bersilang, sambil menatap ke arah Meguri, dia bertanya padaku begitu saja.


Aku sudah cukup lama mengenalnya.


Sebagai teman, kami sudah beberapa kali bercakap. Sejak festival budaya dimulai pun, jarak kami jadi makin dekat.


Karena lebih cepat meminta kerja sama para pengisi acara dibanding waktu ‘pengulangan’ sebelumnya, hubungan kami pun berjalan lebih lancar.


Para pengisi acara bersatu penuh semangat untukku, dan di antara mereka, Azuma berperan seperti seorang pemimpin yang memandu keseluruhan panggung sukarelawan.


Karena itu──sekarang dia sudah jadi semacam kawan seperjuangan bagiku.


“Wah, taruhan apa?”


Aku bertanya padanya dengan nada agak antusias.


Soalnya di waktu festival sebelumnya, dia tidak pernah mengusulkan taruhan semacam ini.


Jadi apa sebenarnya yang mau dia pasang taruhan?


“Haruki juga, pasti yakin kan kalau panggung sukarelawan akan menang?”


“Ya, tentu saja.”


“Aku juga.”


Azuma mengangguk mantap sambil tersenyum puas.


“Aku yakin sekali kita akan mengalahkan Nito. Soalnya penampilan kita kali ini benar-benar luar biasa. Semua orang sangat keren.”


“Ya, setuju.”


Benar-benar panggung yang hebat.


Energi para pengisi acara dan stafnya terasa sampai ke penonton.


Penonton pun tampak jauh lebih semarak daripada festival budaya sebelumnya.


Iya, pasti menang.


Sebagai pemimpin panggung sukarelawan, aku benar-benar yakin akan hal itu.


“Kalau begitu…”


Azuma menatapku sambil sedikit membungkuk ke depan.


“Menurutmu, menangnya selisih berapa orang?”


“…Selisih, ya?”


“Iya. Kalau aku rasa, sebenarnya tipis. Mungkin menang selisih 50 orang saja.”


“Heh…”


Entah bagaimana, aku mulai paham arah pembicaraannya.


Jadi, dia ingin bertaruh pada prediksi.


Hasilnya nanti akan diumumkan oleh Meguri, dan kami menebak jarak selisih kemenangannya, lalu siapa yang paling dekat tebakannya akan menang taruhan.


Karena itu aku berkata,


“Pasti selisih 100.”


Aku menegakkan dada, sengaja bicara dengan percaya diri.


“Pasti selisih segitu kita menang.”


Aku sengaja bilang begitu.


Karena para pengisi acara sudah mempertaruhkan banyak hal, dan menampilkan panggung terbaik mereka.


Baik sebagai ketua panitia, maupun sebagai pribadi, aku tidak akan pernah cukup berterima kasih pada mereka.


Jadi, demi menghargai semua itu, sebagai ucapan terima kasih juga, aku ingin memprediksi setinggi itu.


“Penampilan kalian memang sehebat itu.”


“Ahaha, gaya sekali, sih~”


Azuma tertawa renyah, suaranya seperti lonceng kecil berdenting.


“Tapi 100 orang itu, sepertinya terlalu nekat?”


“Tidak, menurutku itu realistis.”


“Ya sudah… kalau begitu…”


Dia membersihkan tenggorokannya sedikit, lalu bilang,


“Kalau begitu selisih 50 dan 100 orang, nanti yang paling dekat dengan hasil aslinya yang menang taruhannya, ya.”


“Boleh. Lalu hadiahnya apa?”


“Hmm, kalau Haruki yang menang, aku akan traktir makan siang seminggu penuh.”


“Wah, mantap tuh. Terima kasih.”


“Kalau aku yang menang…”


Azuma mengalihkan pandangan ke arah Meguri, lalu berkata padaku,


“…kamu akan berpacaran denganku.”


“Oke.”


“…Eh?”


Dia mendadak bersuara heran.


Padahal dia sendiri yang mengusulkan, tapi reaksinya malah gugup.


“Eh, kenapa jawabannya cepat sekali. Padahal aku juga tidak pernah menyatakan perasaanku sebelumnya…”


“Hmm, ya. Tapi sebenarnya aku sudah agak menduga, sih. Selama masa persiapan Festival Langit Biru, kita sering bersama juga.”


“…Benarkah?”


Azuma menatapku seperti ingin memastikan jawabanku.


Melihat ekspresinya yang langka itu, rasanya aku hampir tertawa.


Biasanya, dia selalu menampilkan dua sisi: “penari imut yang hobi otaku,” dan “gadis galak yang berani.”


Kedua sisi itu sama-sama berakar pada karakter yang kokoh, dan jarang sekali dia terlihat panik atau kehilangan ketenangan.


Bahkan Azuma, yang biasanya begitu percaya diri, kalau soal begini ternyata bisa gugup juga layaknya gadis seumurannya.


“…Sebenarnya sudah kepikiran sih, mungkin akan begini.”


“Ya. Soalnya kita sering bersama juga.”


“Begitu ya…”


Faktanya, selama masa persiapan festival ini, Azuma selalu ada di sisiku.


Bersama-sama memikirkan cara untuk menarik penonton, merancang penampilan panggung, dan menyemangati para pengisi acara.


Di tengah semua itu──aku cepat sadar kalau Azuma menaruh perasaan khusus padaku.


Dan aku sendiri, juga mulai merasakan hal yang serupa.


Sepertinya kalau bersamanya, aku bisa menjalani hubungan sebagai kekasih dengan cukup bahagia──


“…Kalau begitu, sudah sepakat ya.”


Dengan sedikit canggung, Azuma menegaskan,


“Kalau Haruki yang menang, aku akan traktir makan siang seminggu. Kalau aku yang menang, kita akan berpacaran.”


“Ya. Meski rasanya hadiahnya kurang seimbang.”


“Itu benar juga, haha.”


“Kenapa nilai diriku sebagai pacar seperti sama saja dengan makan siang gratis.”


“Ya, tapi kan Haruki juga dapat pacar, lumayan kan.”


“Kalau dipikir, iya juga sih.”


Dan pada saat kami sedang bercakap begitu──


“──Aaaaahhhhh!!!”


Tiba-tiba suara teriak menggema.


Semua orang langsung menoleh──


suara itu datang dari Meguri, yang sedang menghitung hasil di depan laptop.


“Hei, ada apa itu!”


Refleks, aku berlari mendekat.


“Hei Meguri, kenapa teriak kencang begitu?”


Meguri membelalakkan mata sambil memegangi kepala.


Yah, kadang orang ini memang suka teriak aneh kalau panik.


Tapi tetap saja, ada apa kali ini?


“Ha-hasilnya…”


Di tengah sorotan semua orang, Meguri bicara,


“Su-sudah keluar, tapi…”


“Ya?”


Mendengar itu, semua langsung menelan ludah serempak.


Keheningan seperti ruang hampa memenuhi ruangan.


Lalu, Meguri membuka mulut dengan sangat hati-hati──


“Panggung utama, 8.921 orang… panggung sukarelawan, 8.912 orang…”


──Panggung utama, 8.921 orang.


──Panggung sukarelawan, 8.912 orang.


Kalah…


Panggung sukarelawan kalah lagi dari panggung utama.


Sekeliling mendadak senyap.


Semua orang menunduk, berusaha menerima kenyataan.


…Sebenarnya, ini tidak jauh dari dugaanku.


Walaupun barusan aku berkoar di depan Azuma, realitanya jumlah penonton di lapangan nyaris sama saja.


Kalau begitu, yang menentukan hasil adalah jumlah penonton daring, dan di situ jelas Nito punya daya tarik yang jauh lebih kuat.


Jadi──kemungkinan kalah telak sebenarnya selalu ada.


Aku sudah menyiapkan diri kalau akhirnya tetap kalah.


Tapi,


“…Selisih 9 orang?”


Meguri menyebutkan angka itu.


Selisih antara panggung utama dan panggung sukarelawan.


Dari total ribuan penonton, angka 9 itu rasanya seperti sekadar selisih yang tak berarti.


“Cuma… 9 orang…”


Aku mengulanginya pelan.


Dan di dadaku, muncul dorongan yang tak bisa kubendung──


“──Aaaah! Sialaaaan!!”


Tanpa sadar aku berteriak.


Berlutut di tempat, menggenggam tinju, dan menumpahkan semua emosiku begitu saja.


“Serius cuma selisih 9 orang!? Itu tipis sekali! Sedikit lagi padahal!”


Sedikit lagi──


Kalau saja ada beberapa kelompok penonton tambahan datang ke panggung sukarelawan, hasilnya pasti lain.


Fakta itu lebih mengejutkan daripada sekadar menyesakkan.


Dengan selisih tipis itu, aku kalah lagi dari Nito.


“Argh serius!? Siaaal, kampreeeet!!”


Tapi──anehnya aku tidak merasa terlalu buruk.


Bahkan ada perasaan lega.


Kami sudah berjuang sepenuh hati.


Hasilnya, meskipun kami hanya sekelompok amatir, kami berhasil menarik hampir 9.000 penonton.


Itu jelas sebuah pencapaian yang luar biasa.


Waktu festival pertama, kalau tidak salah, panggung sukarelawan cuma sekitar 5.000 penonton, sedangkan panggung utama mendekati 8.000.


Kalah telak.


Tapi sekarang, cuma selisih 9 orang.


Dan keduanya berhasil meningkatkan jumlah penonton.


Memikirkan itu──bulu kudukku merinding.


Seluruh tubuhku terasa bergetar.


Dan mungkin terbawa semangatku──


“──Uwaah! Nyesek sekali!”


“──Benar-benar sangat tipis hasilnya!”


“──Wah, kalau tahu begini, aku ajak nenekku nonton juga!”


Suara-suara serupa bermunculan di sekitarku.


Ada yang menyesali, ada yang menghentak-hentakan kaki, bahkan ada yang rebahan tengkurap di lantai saking pasrahnya.


Tapi──


“──Tapi ini sebenarnya kemenangan juga, kan!?”


“──Ya, aku juga pikir begitu! Lawannya kan level profesional!”


“──Dan cuma selisih 9 orang… itu hampir menang!”


Tak ada rasa putus asa di antara mereka.


Sebaliknya, suasana justru semakin semangat.


Saking dramatisnya hasil ini, orang-orang malah terpacu karenanya.


Hanya satu hal yang sungguh jadi masalah──masa depanku.


Ayah sudah memerintahkanku agar memenangkan panggung sukarelawan dari panggung utama.


Kalau tidak, dia tidak akan mengizinkanku merintis usaha sendiri.


Sama seperti festival sebelumnya, itulah alasan kenapa aku berjuang mengangkat panggung sukarelawan kali ini, dan kenapa semua orang ikut membantuku.


Hanya saja… kali ini, setelah ayahku menonton penampilan panggungnya, ia akhirnya bisa menerima.


Ia memutuskan untuk mengizinkanku mendirikan usaha sendiri.


Karena itu──aku segera memberi tahu semua orang secara singkat.


Bahwa kekhawatiranku sudah teratasi.


Bahwa ayahku sudah mau memahami keinginanku.


Hanya saja, aku sengaja tidak bilang kalau sebelumnya sempat berniat “ya sudah, coba saja bekerja dulu” atau “sekali saja belajar dulu.”


Entah kenapa… setelah melewati Festival Langit Biru yang kedua ini, setelah sekali lagi memimpin proyek panggung sukarelawan bersama semua orang, hatiku mulai berubah sedikit demi sedikit.


Soal wirausaha… rasanya tidak apa-apa langsung mencoba saja.


Mumpung masih muda, mungkin tidak masalah melakukan tantangan yang kelihatan nekat, pikirku…


“──Jadi… begitu,”


Setelah aku selesai berbicara, Azuma di sampingku berbisik pelan.


“Di atas panggung, kita memang kalah. Kalah dengan Nito, rasanya sakit sekali… tapi…”


Ia mendongak menatapku,


“Taruhan kita… aku yang menang kan?”


Dengan sedikit tegang, dia mencondongkan kepala.


“Angkanya, lebih dekat dengan prediksiku, kan…?”


“Ya.”


Memang benar kata Azuma.


Aku sempat menebak akan menang dengan selisih 100 orang, sedangkan Azuma menebak menang dengan selisih 50 orang.


Kami berdua sama-sama tidak terpikir “akan kalah,” tetapi tebakan Azuma lebih mendekati hasil akhirnya.


Artinya, taruhan dimenangkan oleh Azuma.


“Kalau begitu…”


Azuma menundukkan pandangan,


“Kamu… mau jadi pacarku, kan?”


Dengan suara pelan, seperti ragu, dia bertanya begitu.


“Kamu mau menepati janji kita, kan?”


“Ya.”


Aku mengangguk mantap, lalu tersenyum ke arah Azuma.


“Mohon bantuannya untuk ke depannya, Azuma!”


***


POV: Sakamoto Meguri 


Festival Langit Biru—sebelum panggung sukarelawan kalah tipis dari panggung utama.


Beberapa waktu setelah masa persiapan dimulai──


Aku, Sakamoto Meguri, sedang berhadapan dengan seorang gadis di kamarku.


“A-ada… apa ya, sebenarnya…?”


Gadis di depanku merapikan rambut hitamnya yang pendek dengan raut cemas.


Tubuhnya kecil, bibirnya terkatup rapat dengan sikap waspada.


Wajahnya tampak seperti kucing liar yang sulit dijinakkan, dengan mata sipit panjang yang tajam──


Itulah Makoto.


Akutagawa Makoto.


Dialah kunci dari garis waktu ini, meski sekarang hanyalah siswi SMP biasa.


Aku sedang berhadapan dengannya──


Sebenarnya, di dunia ini kami sudah beberapa kali bertemu.


Saat datang bermain bersama Mizuki, kami sempat bercakap singkat dan menjadi saling mengenal.


Dan──hari ini.


Di saat memasuki masa persiapan festival budaya ini, aku berniat menyampaikan satu hal kepadanya.


“……”


Padahal sebelumnya aku sudah melakukan hal yang hampir sama.


Di garis waktu sebelumnya pun aku sudah berbicara soal ini, tetapi tetap saja ini membuatku tegang.


Bahkan, mungkin sekarang lebih menegangkan daripada yang pertama kali.


Tapi… ya, wajar saja.


Melihatnya yang gelisah di hadapanku, aku mencoba menata pikiranku.


Di garis waktu ini──semuanya bergantung pada bagaimana hubunganku dengan Makoto akan berubah.


Apakah dia akan berakhir dalam tragedi atau tidak, tergantung seberapa dekat hubungan kami nantinya.


Jadi, di sinilah titik penentuan dari garis waktu ini.


Kesempatan kedua kami berempat untuk memperbaiki segalanya, baru benar-benar dimulai dari sini──


Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara mantap,


“Aku… datang dari masa depan.”


Aku menatap Makoto di depanku sambil mengucapkannya jelas.


“Aku datang dari 3 tahun ke depan. Dari masa depan di mana kau jadi junior-ku.”


Mata Makoto terbelalak mendengar itu.


Mulutnya terbuka, terlihat sama sekali tidak mengerti──


“……Hah? Apa… maksudnya itu…?”


Dia bertanya padaku dengan wajah yang benar-benar tercengang.


“Dari masa depan? Maksudmu… bagaimana…?”


Seperti rencana, aku memang berniat menjelaskan padanya di saat ini.


Bahwa aku melakukan perjalanan waktu.


Bahwa di masa depan, aku dan Makoto adalah seorang senior dan junior──


…Sejujurnya, kenyataannya jauh lebih rumit dari itu.


Tepatnya, aku tidak langsung datang dari 3 tahun ke depan.


Aku sempat menghabiskan 3 tahun di sana, lalu melompat waktu lagi setelah 1 tahun berjalan, hingga kembali ke sini.


Selain itu, di masa depan Makoto pun sebenarnya tidak sempat menjadi junior-ku—jadi ada bagian yang sedikit menyimpang dari kebenaran.


Tapi untuk sekarang, aku sengaja melewatkan detail itu.


Yang terpenting adalah membuat Makoto memahami kerangka besarnya.


Bahwa aku datang dengan melompati waktu—dan dia mau mempercayainya. Itu prioritas utamaku.


“……eh, eh, eh. Tunggu, tunggu. Ini seperti… semacam penawaran agama atau bagaimana, ya?”


Makoto menanggapi dengan reaksi yang persis sama seperti di garis waktu sebelumnya.


“Kalau begitu maaf, aku sedang sibuk. Permisi, aku pamit dulu…”


“──VTuber Akuta Makoto, Mako Channel……”


Aku langsung menimpali—sama seperti sebelumnya.


Menyebut rahasia yang hanya diketahui oleh Makoto sendiri──


“VTuber bertema iblis yang datang ke dunia manusia. Kontennya kebanyakan obrolan santai… dan penontonnya disebut ‘para iblis kecil’ (koakuma-tachi)…”


Seketika ekspresi Makoto berubah drastis.


Telinganya memerah, matanya melebar.


“K-k-k-ke… kenapa kamu bisa tahu itu!?”


Aku melanjutkan tanpa memberi kesempatan,


“Kalau ada konsultasi cinta di siaranmu, kau akan langsung bersemangat, tapi kalau topik dewasa muncul kau akan kelihatan sangat panik. Lalu ketahuan juga kalau kau sebenarnya cukup paham istilah-istilah cabul, sampai fansmu bilang kau adalah iblis mesum yang malu-malu──”


“──S-stop! Berhenti!”


Makoto yang kebingungan buru-buru menutup mulutku dengan tangannya.


“Berhenti! Aku percaya! Aku percaya, jadi tolong jangan dibicarakan lagi!”


Bagus… berarti sekarang dia mau mendengarkan ceritaku.


Mau membuka telinga untuk cerita anehku dengan sedikit rasa percaya.


Aku berdeham kecil, lalu mulai menjelaskan.


Hampir sama persis seperti di waktu sebelumnya—soal perjalanan waktu ini──


“──Jadi… begitu, ya…”


Setelah mendengarkannya sampai akhir, Makoto duduk di tepi ranjang sambil menatap kosong dengan ekspresi seolah otaknya bekerja keras.


“Untuk menyelamatkan teman-temanmu. Kamu ingin memperbaiki masa lalu…”


Ada satu hal yang sengaja kuubah dari penjelasan kali ini dibanding yang lalu.


Yaitu alasan kenapa aku memulai perjalanan waktu ini.


Kalau dulu aku berkata “untuk menyelamatkan Nito”, sekarang aku bilang “untuk menyelamatkan teman-teman di klub”.


Agar tidak hanya Nito, tapi juga Rokuyou-senpai dan Igarashi-san, itulah kenapa aku melakukan semua ini.


Aku sempat merasa bersalah karena berbohong.


Makoto adalah teman pentingku, dan kalau bisa aku mau jujur padanya.


Tapi… aku tidak mau membuatnya merasa cemas berlebihan tentang kedekatanku dengan Nito.


Tidak perlu membuatnya sakit hati dengan hal yang belum tentu terjadi.


Jadi kupilih untuk menutupi sedikit fakta ini.


…Lagipula memang Rokuyou-senpai dan Igarashi-san juga berhasil kuselamatkan.


Bisa dibilang bohong demi kebaikan, dan masih bisa dimaklumi… kurasa.


“Kalau dipikir-pikir… aku bisa membayangkan jadi juniornya Sakamoto-senpai.”


Makoto akhirnya menunjukkan sedikit senyum tipis.


“Soalnya, aku memang berencana untuk masuk ke SMA Amanuma. Syukurlah, berarti aku diterima nanti, ya?”


“Ya, pasti keterima kok.”


Aku mengangguk dan tersenyum padanya.


“Secara nilai juga kau sudah aman kan? Tidak perlu khawatir.”


“Kalau dari nilai sih, ya… benar. Tapi, tetap saja deg-degan. Ini kan masa depan hidupku.”


“Ya… itu juga benar sih.”


──Makoto memang berencana untuk masuk ke SMA Amanuma.


Benar juga, di tahap ini dia masih berpikir seperti anak SMP pada umumnya.


Jujur, aku sempat ragu untuk mendekatinya.


Karena sebenarnya kalau aku membiarkannya saja, dia pasti akan masuk ke SMA Amanuma dengan lancar.


Artinya… mendekatkan diri begini, justru bisa menjadi awal tragedi itu sendiri.


Tapi meski begitu──


“……”


Melihat wajah Makoto yang sedang berpikir, aku teringat pada momen di Desa Achi.


Kali ini pun, aku berniat ikut berburu asteroid di sana.


Dan aku ingin… Makoto juga ikut bersamaku di sana.


Aku ingin menghadapi saat itu berdua dengannya, bagaimanapun caranya.


Jadi, kalau akhirnya bisa menghindari masa depan buruknya, maka semua risiko ini layak dijalani.


“Dari masa depan, ya…”


Makoto menunduk seakan mencoba mencernanya.


“Senpai, kamu datang dari 3 tahun ke depan…”


Lalu ia menatapku lagi, dan berkata,


“……Maaf, rasanya aku belum bisa benar-benar memahami semuanya. Rasanya masih tidak nyata…”


Dia menambahkan lebih pelan, sambil tersenyum kecil──


Untuk pertama kalinya di garis waktu ini, kurasa aku melihat Makoto tersenyum.


“…Tapi, mungkin memang ada hal-hal yang seperti itu, ya. Aku… mulai merasa mungkin aku bisa percaya.”



Setelah festival budaya berakhir, aku masih sesekali berinteraksi dengan Makoto.


Kalau dia datang main ke rumah, kami sempat ngobrol sebentar, dan kami juga saling bertukar pesan lewat LINE. 


Hubungan kami terasa agak santai, seperti senior dan junior pada umumnya.


Hanya saja──sejujurnya, bahkan sampai di titik ini, masih ada hal yang belum benar-benar kutentukan.


Yaitu soal perasaan Makoto terhadapku.


“……Haah.”


Di kamar, pada malam hari.


Sambil menatap meja belajarku, aku memikirkan hal itu.


Di putaran waktu sebelumnya, Makoto akhirnya menaruh perasaan cinta padaku.


Dan sejujurnya──meski agak memalukan untuk diakui──rasanya perasaan itu cukup besar.


Sampai-sampai dia pernah bilang, “Bagaimanapun cara kita bertemu, aku pasti akan tetap jatuh cinta padamu,” dan akhirnya itu pun jadi salah satu alasan dia memilih jalur pendidikannya.


Kalau begitu…… kali ini, bagaimana aku harus bersikap padanya?


Haruskah aku menjaga jarak agar dia tidak jatuh cinta──?


“Hmm……”


Aku mendesah pelan, menatap buku di depanku.


Buku latihan yang baru kubeli di toko buku tadi sore—kumpulan soal untuk Ujian Sertifikasi Astronomi.


Tapi tetap saja pikiranku kembali ke soal hubunganku dengan Makoto.


──Sepertinya akan sulit kalau aku memaksa mengambil jarak.


Lagipula, waktu kami mencari asteroid di Desa Achi dulu, itu juga bisa berjalan lancar karena hubungan kami sudah dekat.


Bekerja sama dan menginap beberapa malam bersama bukan hal yang bisa kulakukan dengan orang yang hubungannya dingin denganku.


Kalau aku ingin mencarinya bersama Makoto lagi, berarti kedekatan kami harus tetap terjaga.


Dan sebelum itu──


“……Rasanya, membohongi perasaanku sendiri juga tidak enak.”


Entah kenapa──akhir-akhir ini aku mulai merasa begitu.


“Walaupun aku sudah tahu hasilnya dari pengalaman ‘pengulangan’ sebelumnya, bukan berarti aku harus mengubah tindakanku terlalu jauh……”


Tentu saja, semua tergantung pada batasnya.


Kalau aku tidak berbohong sama sekali, mungkin malah semua akan berantakan.


Pada dasarnya kemampuan untuk mengulang waktu ini sendiri sudah semacam kecurangan.


Tapi…… kalau kelewatan menutupi kebenaran, rasanya tujuanku juga bisa jadi kabur.


Masa depan yang benar-benar ingin kucapai, justru akan menjauh setiap kali aku berbohong terlalu banyak.


Jadi,


“……Ya, kurasa yang terbaik tetap menyeimbangkannya.”


Untuk saat ini, aku memutuskan untuk mengambil sikap yang netral.


“Sambil melihat situasi, aku pikirkan secara perlahan……”


Saat memikirkan itu──aku merasa diriku punya ruang berpikir yang lebih lapang dibanding dulu.


Bahkan bisa tertawa kecil sendiri, menyadari bahwa sekarang aku ternyata sudah cukup dewasa untuk menimbang segalanya dengan tenang seperti ini.



Setelah itu──hari seleksi masuk Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang di Desa Achi pun semakin dekat.


Aku dan Makoto mulai mempersiapkan diri untuk pencarian asteroid.


Berbeda dengan sebelumnya, kali ini akulah yang mengajak Makoto bergabung ke klub.


Dulu, Makoto sudah memiliki perasaan padaku, jadi dia sendiri yang memutuskan ikut.


Tapi sekarang, rasa sukanya belum begitu dalam.


Makanya aku tidak menunggu dia yang mengajukan diri, dan langsung bertanya, “Mau ikut bersama?”


Awalnya aku agak khawatir apakah dia mau atau tidak, tapi ternyata dia langsung mengiyakannya tanpa ragu.


Lalu, seperti sebelumnya, dia mulai datang ke ruang klub SMA Amanuma untuk belajar bersama setiap hari.


Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan observasi bintang, produksi video yang dipimpin Makoto, dan interaksi dengan Nanamori-san juga dimulai.


Ada satu hal yang berbeda dibanding waktu lalu──


“──Eh, Makoto-chan ternyata pintar sekali, ya……”


“──Nito-senpai juga, nilainya pasti bagus kan?”


“──Ya lumayan sih, tapi waktu SMP aku tidak sampai segitu hebat.”


Yakni hubungan antara Nito dan Makoto.


Dulu mereka sering bercanda sambil saling menyinggung, bahkan terkadang sampai bertengkar kecil tanpa alasan yang jelas.


Tapi sekarang, suasananya berubah.


Nito mendekatinya dengan sikap seperti seorang kakak perempuan yang lembut, sementara Makoto juga kelihatan sedikit mengaguminya.


Percakapan mereka pun lebih damai, terlihat seperti saudara perempuan yang akur,


“──Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya. Kamu juga masih ada ujian masuk nanti.”


“──Justru itu adalah kalimat yang cocok buat Nito-senpai. Kegiatan musikmu juga sibuk, kan?”


“──Yah, itu sih karena aku memang suka, jadi tidak masalah.”


Melihat kedekatan mereka sekarang, aku merasa sedikit optimis.


Kalau hubungan mereka tetap hangat seperti ini, mungkin masa depan juga akan berubah ke arah yang lebih baik.



Lalu──Kelompok Penelitian di Desa Achi pun resmi dimulai.


Setelah menghabiskan 5 hari 4 malam berburu bintang bersama, aku dan Makoto──


“──P-permisi, numpang lewat…”


Datang berkunjung ke ruang ganti konser tour Nagoya milik Nito.


Ruangan sebesar ruang kelas itu dipenuhi staf, para pemain, dan orang-orang dewasa lain yang sibuk berlalu-lalang.


Di sudut paling dalam──Nito yang sudah bersiap dengan kostum panggung dan riasannya berdiri menunggu kami.


Begitu melihat kami datang, dia tersenyum lebar.


“……O-oh!”


Aku mengangkat tangan menyapanya, lalu cepat-cepat menghampirinya.


Meski ini sudah kedua kalinya, tetap saja rasanya menegangkan datang ke tempat seperti ini.


Orang-orang dewasa dengan setelan jas, para artis lain dengan kostum mencolok……


Buatku yang cuma anak SMA biasa, rasanya benar-benar membuat tubuhku kaku.


……Atau entahlah.


Ada juga tatapan penuh rasa ingin tahu yang agak menusuk.


Terutama dari para anggota band yang sepertinya memperhatikanku terus.


Ya wajar juga sih.


Pacarnya sang vokalis yang datang ke ruang ganti sebelum pentas, membawa seorang gadis lain lagi di belakangnya, pasti mereka berpikir, “Eh, itu bagaimana ceritanya?”


“Lelah ya? Terima kasih banyak, sudah mau datang sampai ke sini sebelum tampil.”


Aku berdiri di depannya dan langsung menyapa begitu.


“Tidak apa-apa! Aku yang ingin ketemu kalian berdua, kok!”


Dia berdiri dari kursinya, menatap kami dengan senyum sumringah.


“Terima kasih ya, Meguri, juga Akutagawa-san, sudah datang!”


“Tidak, justru kami yang berterima kasih sudah diundang……”


“Jangan tegang begitu dong.”


Ucapnya sambil menatapku dan Makoto bergantian.


“Aku senang sekali. Hari ini, santai saja nikmati pertunjukannya, ya.”


“Ya, aku benar-benar tidak sabar menunggu.”


“Aku juga, deg-degan sekali sekarang.”


Lalu──Nito mengambil jeda sejenak, dan berkata,


“……Oh iya, kalian berdua juga pasti lelah, ya.”


Dia berganti topik dengan tenang.


“Kalian sudah berusaha keras mengamati, kan?”


“Ah, terima kasih. Kami sudah berusaha sebaik mungkin.”


“Ya, kami benar-benar sudah mengerahkan semua kemampuan.”


“…Bagaimana, hasilnya?”


Dengan suara yang nyaris tercekat karena gugup, Nito bertanya pada kami.


“Bintangnya… berhasil kalian temukan?”


Mendengar kata-kata itu—aku merasa, akhirnya saatnya tiba.


Saat untuk melaporkan hasil kami pada Nito.


Di ‘pengulangan’ sebelumnya, aku harus menyampaikan kenyataan yang menyakitkan.


Bahwa kami sama sekali tidak menemukan asteroid baru, tidak ada satu pun objek yang jadi kandidat.


Tapi justru karena itulah, aku dan Nito bisa tetap berdiri berdampingan.


Tak diragukan lagi, itu menjadi titik balik bagiku dan Nito.


Dan kali ini. Kali ini, aku dan Makoto──


“Jadi begini…”


Sambil bicara, aku merogoh tas.


Tas yang kukalungkan di bahu. Dari sana, aku mengambil map bening, lalu beberapa lembar kertas.


Yang tercetak di atasnya adalah—sekumpulan titik yang tak terhitung jumlahnya.


Titik-titik hitam yang tersusun acak di atas kertas putih.


Di sekelilingnya, hanya ada keterangan tanggal dan arah pandang yang ditulis sederhana.


Dan di antara titik-titik itu, ada satu titik yang dilingkari dengan pulpen merah.


“Ini… adalah kandidat objek yang kami temukan di malam pertama.”


Sambil menunjuknya, aku memberitahu Nito.


“…Eh?”


“Lalu yang ini dan ini…”


Aku menunjukkan dua lembar kertas berikutnya padanya.


“Dua kandidat objek yang kami temukan di hari terakhir.”


“…T-tidak mungkin…”


──Tiga.


Kami menemukan tiga yang jadi kandidat objek.


Itulah hasil dari Kelompok Penelitian Astronomi Desa Langit Berbintang kali ini.


Sejujurnya, tak ada yang menyangka bisa berhasil sejauh ini.


Bahkan staf seperti Nagashino-san, Kanashino-san, dan Nokishita-san ikut bersemangat sekali.


“──Aku tidak menyangka, di kegiatan pertama sudah sebanyak ini…!”


“──Dengan jumlah ini, kemungkinan besar kalian akan dapat kode sementara!”


“──Bisa jadi akan diakui sebagai objek baru!”


Tentu saja Makoto juga tampak puas sekali.


“──Kita berhasil, ya.”


Setelah pengamatan terakhir selesai, dia bilang begitu dengan wajah yang kelelahan, matanya berat mengantuk.


“──Kita berhasil mendapatkan hasil, aku dan Senpai…”


Dan sekarang──


Nito yang mendengar hasilnya dari kami.


Mengetahui akhir cerita yang berbeda dari ‘pengulangan’ pertama.


“…S-sungguh luar biasa…”


Dia mulai menangis deras, suaranya bergetar menahan rasa haru.


“Meguri… Makoto-chan… kalian hebat…”


“Yah, meski begitu, kami belum dapat kode sementaranya,”


kataku, mencoba tetap berhati-hati sambil sedikit tertawa.


“Masih mungkin ternyata ini semua adalah objek yang sudah dikenal. Jadi, terlalu senang sekarang juga agak menakutkan.”


“Meski begitu, tetap saja…”


Nito menatap kami berdua, matanya menyipit lembut, penuh kasih.


“Kalian sudah berusaha keras, benar-benar dengan sepenuh hati…”


Lalu──


“Selamat…”


Dengan suara yang penuh getaran, dia mengucapkannya pada kami.


“──Selamat ya, kalian berdua… sungguh-sungguh selamat!”



Setelah live Nito selesai, kami kembali ke Tokyo.


Dalam perjalanan dari stasiun terdekat rumahku, Stasiun Ogikubo, menuju rumah Makoto──


“Itu pengalaman yang luar biasa, ya.”


“Iya, benar.”


“Dapat hasil juga, dan live-nya Nito-senpai sangat keren.”


“Benar, rasanya 5 hari ini benar-benar yang terbaik.”


Kami berbincang begitu sambil berjalan di jalanan perumahan malam yang agak redup.


Berbeda dengan waktu sebelumnya, perasaan bahagia yang meluap ini begitu jelas.


Segalanya terasa berjalan mulus, benar-benar memuaskan.


Maka—aku mendongak menatap langit.


Menghitung jumlah bintang yang jauh lebih sedikit dibanding di Desa Achi, aku berpikir dengan mantap:


──Dengan ini, tidak apa-apa.


Makoto pasti akan masuk ke SMA Amanuma.


Masa depan yang menyedihkan, pasti bisa dihindari──


Berbeda dengan ‘pengulangan’ pertama, kali ini Makoto belum sempat menembakku.


Kalaupun dia masih punya rasa padaku, perasaan itu jauh lebih stabil.


Dia juga tidak terlalu dekat secara khusus dengan Nito, dan pastinya tidak merasa tersakiti karenaku.


Artinya, tidak ada alasan bagi Makoto untuk menghindar dari kami──


Dan lebih dari itu…


“Rasanya tidak akan pernah kulupakan seumur hidup…”


“Iya.”


“Benar-benar kenangan masa muda yang berharga…”


“Mungkin, ini akan jadi kenangan terindahku.”


Kami saling berbagi kata-kata itu.


Dan—di dalam hati, aku menyadari sebuah rasa yang jelas.


──Persahabatan.


Ya. Kali ini, kami berhasil menjadi teman dekat yang berharga.


Lewat kegiatan pencarian bintang ini.


Dengan hasil besar yang kami capai, terjalinlah persahabatan yang istimewa.


Perasaan hangat yang kupunya pada Makoto, rasa percaya itu, memang bukan cinta, tetapi perasaan yang sangat menenangkan.


Aku merasa sangat wajar, bahwa nanti pun kami pasti akan menghadapi banyak hal bersama lagi.


…Ah, inilah jawabannya.


Inilah hubungan yang seharusnya terjalin antara aku dan Makoto.


Masa depan yang kucari di dalam ‘pengulangan’ ini.


Itulah jarak yang pas—sebagai teman.


“──Sampai sini.”


“…Iya.”


Saat aku berpikir begitu, Makoto berkata padaku.


Ketika menoleh ke arahnya, di sana berdiri sebuah rumah satu lantai.


Rumah biasa, kelihatan masih baru, tidak terlalu tua.


Di gerbang depannya terpasang papan nama bertuliskan Egawa—rumah Makoto.


Tempat yang sudah beberapa kali kukunjungi, pusat dari semua “masalah” Makoto selama ini.


Tapi, sekarang aku merasa pasti akan baik-baik saja.


Dunia Makoto sudah terbuka, sudah ada banyak orang dan tempat yang mau menerimanya.


Karena itu, aku ingin dia bebas menikmati hidupnya sekarang.


Dan aku, ingin terus menatap Makoto seperti itu di sisinya.


“Senpai…”


Dengan punggung menghadap pintu rumahnya, Makoto berbalik ke arahku.


Lalu—dia menatapku sambil tersenyum penuh keakraban.


Dengan ekspresi paling lembut yang pernah kulihat darinya, dia membuka mulut dan berkata,


“Untuk selama ini… terima kasih banyak.”




“Eh, eh, kenapa tiba-tiba jadi resmi begitu?”


Nada bicaranya membuatku agak terusik, tapi entah kenapa aku tetap menanggapinya sambil tertawa santai.


“Bukankah kita sudah cukup saling berterima kasih? Dari Desa Achi sampai ke sini, sudah sangat berkali-kali malah.”


Sungguh, aku sendiri sampai tidak tahu berapa kali kami saling bilang terima kasih.


Kalau dipikir-pikir, rasanya sudah cukup untuk beberapa tahun ke depan.


Mengulangnya lagi terus-terusan rasanya malah bikin canggung.


“Lagipula… ‘untuk selama ini’ maksudnya apa?”


Karena Makoto terdiam, aku melanjutkan,


“Kita kan masih akan berteman baik ke depannya. Makanya cukup bilang, sampai ketemu lagi.”


Persahabatan kami pasti akan berlanjut.


Baik setelah masuk SMA, maupun nanti kalau sudah dewasa.


Tidak ada salahnya menutup satu bab, tapi aku sendiri sudah ingin menatap masa depan.


“…jadi, kalau boleh dibilang…”


Setelah sedikit berpikir, aku kembali menatap Makoto,


“Mulai sekarang juga, aku mohon kerja samanya.”


Kusampaikan kata-kata itu sambil menaruh seluruh perasaanku selama ini ke dalam suaraku.


“Nanti setelah kita masuk SMA, aku juga senang kalau kau masih tetap menganggapku sebagai kakak kelas.”


Aku ingin tetap berjalan di jalur masa depan ini.


Setelah perjuangan panjang di banyak pengulangan, aku ingin melihat apa yang akan datang selanjutnya.


──Namun.


“…Maaf.”


Makoto mengucapkan itu—lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam di depanku.


Dan kemudian──


“Aku pikir… kita sudahi saja di sini. Aku ingin menjadikan ini pertemuan terakhir kita.”


“…Eh?”


Suara itu akhirnya bisa keluar dariku, setelah jeda yang cukup panjang.


“Su… sudahi… kenapa…?”


Kata-kata itu hanya meluncur begitu saja tanpa menyangkut di pikiranku.


Aku mengerti apa yang dia katakan, tapi tetap saja tidak bisa kupercaya.


“Aku benar-benar… minta maaf.”


Dengan wajah yang seolah berusaha menahan sesuatu, dia tersenyum sambil hampir menangis, dan berkata,


“Kamu sudah sangat baik padaku, aku juga dapat banyak kenangan berharga. Tapi… maaf. Aku merasa, tidak mau lagi terus berada di dekatmu.”


“…kenapa?”


Suara serakku menahan emosi, lalu Makoto menoleh sedikit,


“Senpai… pacaran dengan Nito-senpai, ya kan?”


Dengan suara kecil, dia menanyakannya.


“Memang tidak pernah bilang langsung, tapi kalian memang sudah jadi pasangan, kan?”


“…Iya.”


Karena kaget, aku langsung mengakuinya begitu saja.


Hal yang selama ini memang tidak kusampaikan padanya secara terus terang.


Sebetulnya aku ingin Makoto tidak tahu.


Tapi,


“Kenapa… kamu bisa tahu?”


Aku menelan ludah, dan bertanya.


“Kita sudah berusaha agar orang di sekitar tidak curiga…”


“Kalau diperhatikan, kelihatan kok. Kalau benar-benar memperhatikan Senpai, ya mau tidak mau pasti kelihatan.”


Makoto berkata begitu sambil tertawa getir.


“Kalau dilihat, kelihatan sekali kalau kalian berdua punya ikatan yang dalam. Sudah lama saling kenal, sudah melalui banyak hal bersama. Di kelasku juga ada pasangan, tapi… hubungan Sakimoto-senpai dan Nito-senpai itu berbeda.”


Tatapan Makoto menembusku lurus.


“Yang ada di antara kalian… bukan cuma cinta, tapi rasa percaya yang jauh lebih dalam. Sudah terlalu stabil, terlalu menyatu. Makanya… aku putuskan cukup sampai di sini.”


“…Kenapa sampai harus begitu?”


Aku terlalu kalut, sampai bisa bertanya seperti orang bodoh.


“Kenapa hal itu bisa jadi alasanmu untuk harus menjauh…”


Padahal sudah tahu jawabannya, tetap saja ingin mendengarnya langsung darinya.


“Kurasa…”


Makoto menunduk, menatap ke arah kakinya,


“Kalau begini terus… aku pasti akan jatuh cinta pada Senpai.”


Nada bicaranya seperti orang yang sedang mengakui dosa,


“Tidak, mungkin ini juga cuma alasan saja. Bisa jadi… sebenarnya aku sudah jatuh cinta. Karena rasanya… sesak sekali.”


Makoto tertawa, seolah mengejek dirinya sendiri,


“Kalau memikirkan Senpai dengan Nito-senpai, rasanya aku tidak bisa bernapas…”


“…Kalau begitu,”


Aku memberanikan diri menanyakannya,


“Apa kau… tidak mau bergabung ke dalam klub astronomi?”


“Iya.”


“Lalu… lalu! Sekolahnya bagaimana…?”


Aku menatapnya penuh harap,


“Kau… akan tetap masuk ke SMA Amanuma, kan?”


“…Maaf.”


Entah kenapa, Makoto menampakkan wajah bersalah lalu meminta maaf.


“Itu juga… aku minta maaf.”


“Jadi kau mau ke sekolah lain…?”


“…”


Makoto tidak menjawab.


Teman berhargaku itu tidak mau mengatakan apa yang akan dilakukannya.


Di bawah langit dengan bintang yang jauh lebih sedikit dibanding Desa Achi, takdirku dan Makoto berpisah seperti itu—bercabang ke arah yang berbeda.



Cahaya berwarna merah muda memenuhi seluruh pandanganku.


Kelopak cahaya seperti bunga sakura berputar di sekeliling tubuhku.


Lalu perlahan melambat, dan pemandangan di depanku kembali muncul──


“…Ah.”


Aku memahami situasinya.


Setelah semua yang terjadi dengan Makoto, aku kembali ke masa depan 3 tahun kemudian.


Masa depan tempat kami semua melewati pengulangan waktu, pemandangan setelah kami lulus.


Tempatku berdiri adalah ruang klub yang sudah akrab.


Klub astronomi yang dulunya hanya sebatas kelompok penelitian, kini sudah naik tingkat menjadi klub resmi, penuh dengan peralatan bagus dan jejak kegiatan kami.


“…Selamat datang kembali.”


Nito ada di sana, duduk di depan piano di sampingku.


Wajahnya sedikit lebih dewasa daripada saat pertama masuk SMA, menatapku dengan cemas.


Dan,


“…Untuk sekarang, selamat ya.”


“Selamat sudah berjuang…”


Di belakangnya berdiri Rokuyou-senpai dan Igarashi-san.


Tapi—Makoto tidak ada di sana.


Di antara teman-teman klub astronomi yang sudah biasa kulihat, sosok yang selama ini kucari tidak tampak.


Itu artinya…


“Gagal, ya.”


Aku bergumam.


“Di ‘pengulangan’ ini juga… gagal lagi ya.”


Tidak ada yang bisa langsung menanggapi ucapanku, dan suaraku menghilang begitu saja di dalam ruangan klub yang sempit itu──

 
Post a Comment

Post a Comment

close