NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kokou no Denpa Bishoujo To Koi de Tsunagattara Giga Omoi Volume 1 Chapter 1 - Chapter 3

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Join juga server discord Hinagizawa Groups x Fanservice dan leveling disana untuk dapat pdf  light novel ini

Linkya: https://discord.gg/TVhNrDa9sk


Chapter 1

Aku Diperintahkan Untuk Menjadi Guardian Gadis Cantik Penyiar Gelombang Radio


"Aku harus menyelamatkan dunia."


"Itu... maaf, sudah membuatmu meluangkan waktu. Aku akan singkat saja, jadi tolong dengarkan sambil kau menyelamatkan dunia, ya."


Tentu saja ini sudah pasti permainan hukuman.


Kalau bukan begitu, Masaomi tidak akan berdiri diam di depan krematorium kecil di belakang gedung olahraga yang bahkan sudah tidak digunakan lagi, dan tidak akan menghabiskan waktu berharga di hari Jumat sepulang sekolah hanya ditemani suara gagak yang terdengar sial. Ia juga tidak akan menyipitkan mata sipitnya yang sudah terlihat curiga sejak awal, sambil terus menggerak-gerakkan jarinya di atas tangan yang bersilang di dada dengan gelisah.


Dua minggu lagi sudah libur musim panas. Itu musim di mana para siswa SMA bisa menyanyikan lagu kebebasan sepuas-puasnya. Karena itu, meskipun matahari sore terasa menyesakkan, meski rambut acak-acakan sejak siang belum sempat dirapikan, meski kemeja yang sudah menyerap banyak keringat remaja berbau khas seperti aroma gurih yang samar, dan meski hari-hari yang terus berulang ini terasa begitu membosankan hingga rasanya bisa kehilangan kesadaran, semua itu masih bisa ditoleransi.


"Aku sudah lama menyukaimu. Tolong, maukah kau berpacaran denganku?"


Permainan konyol yang bisa diucapkan dalam satu napas seperti ini...

benar-benar tidak bisa dimaafkan.


"──Iya. Yah, baiklah. Kalau kamu sampai bilang sejauh itu."


Penjepit rambut berbentuk sayap berkilau terkena sinar matahari yang miring dari samping, menjadi penegas bahwa persetujuannya bukanlah mimpi belaka. Kekalahan yang semestinya bisa diprediksi dengan tingkat akurasi lebih tinggi dari perkiraan hujan di musim tsuyu (musim hujan Jepang), malah berubah menjadi kekalahan yang makin murni sebagai bencana. Bahkan orang yang merancang skenario ini, Keiji, pasti tak menyangka hasil akhirnya akan seperti ini dibandingkan Masaomi sendiri.


──Apa-apaan itu, kok malah mengangguk. Seharusnya kau tolak saja, itu kan standar dasar.


Tak ada satu pun yang memikirkan isi hati Masaomi. Ia hanya bisa mengutuk ‘gejala pasca’ dalam dirinya sendiri, yang membuat perasaannya hampir tak pernah terlihat lewat ekspresi wajah.


"Kalau kamu sampai bilang sejauh itu... maka kamu akan menjadi Guardian dari aku, Fuka Shiten Sen, peringkat ketiga ─ Noble Lark. Anggap itu sebagai kehormatan, ya?"


"…Se, senang sekali. A-aku senang banget, ini luar biasa sekali, Guardian…"


Masaomi Kusunoki, seorang laki-laki, tidak punya keberanian untuk membalikkan meja pengakuan cintanya sendiri. Semuanya sudah terlambat. 


Sekarang, dia tidak bisa mundur lagi. Kalau bagian dadanya dibelah lurus dengan pisau bedah, pasti jantungnya sedang memegangi kepalanya sambil bergumam "Gawat ini, gimana nih, ini kacau banget", berdetak kencang dengan wajah pucat pasi. Warna pucat itu pasti sudah terbawa aliran darah dan mulai menyebar ke wajah aslinya.


──Aneh. Ini sama sekali bukan sesuatu yang ‘normal’.


Ini jelas-jelas permainan hukuman. Suara gagak benar-benar bising. Tatapan sipit tiga perempatnya tidak bisa dialihkan ke mana pun. Panasnya menyebalkan, poni terasa mengganggu, dan keringatnya bau.

Itulah musim panas di tahun kedua SMA.


Musim panas saat Sasuga Hibari—si aneh nomor satu di angkatan—terus memancarkan aura “yun-yun” seperti memancarkan gelombang radio aneh setiap saat. Dan itulah musim panas yang "elektromagnetik", ketika Kusunoki Masaomi akhirnya memiliki pacar untuk pertama kalinya dalam hidupnya.



Berbicara soal Orito Keiji, dia termasuk tipe yang "keras".


Dengan rambut cokelat yang jelas-jelas melanggar peraturan sekolah, rambut panjang yang menjuntai menjelang musim panas yang gerah, anting merah terang, serta warna dalam rambut bercahaya seperti lampu neon—Kusunoki Masaomi sendiri tidak benar-benar mengerti bagian mana dari penampilan itu yang membuat Keiji disebut sebagai "keras". 


Namun, jika bertanya pada Kasuka, alasannya adalah hal-hal konyol seperti: Keiji tidak pernah mengejar perempuan secara aktif, hanya makan roti France saat beli roti di koperasi, lebih memilih mie goreng kering daripada yang biasa, dan lebih suka kue beras daripada cokelat. 


Kesimpulannya: dia hanya suka hal-hal yang keras.

Keiji yang keras tapi palsu itu, dengan sengaja tetap memakai kemeja lengan panjang bahkan menjelang musim panas. Ia mengayunkan lengannya yang panjang sambil menyeringai dan menyapa Masaomi, tepat setelah jam istirahat siang dimulai.


"Masaomi, aku punya ide menarik."


"Aku sedang sibuk. Nanti saja."


Kebetulan saat itu, Masaomi tengah berjuang menghadapi pemberontakan bulu mata yang membelot terhadap matanya. Dengan mata berlinang air, ia bertekad untuk tidak memaafkan bulu matanya sendiri, sambil mengeluh betapa tidak bergunanya jari-jarinya yang hanya berhasil mengumpulkan kotoran mata.


Keiji yang mencolok secara visual, dan Masaomi yang justru tidak punya ciri mencolok sama sekali, pertama kali duduk bersebelahan saat awal masuk sekolah. Meski kepribadian dan kondisi mereka berbeda, keduanya sama-sama hidup dalam keadaan membosankan, dan entah bagaimana jadi cocok serta sering bersama sejak saat itu.


Memasuki tahun kedua mereka memang tidak lagi duduk berdekatan, tapi Keiji masih suka datang menghampiri untuk sekadar ngobrol dan bercanda. Sejak sekitar pertengahan tahun pertama, Kasuka mulai sering bergabung, dan sejak saat itu, mereka bertiga melakukan banyak hal konyol bersama.


Masaomi berpikir, meskipun tidak pernah ia katakan dengan lantang, kehidupan sekolah yang membosankan ini jadi terasa menyenangkan. Biasa saja—itulah yang menggambarkan kehidupan seorang siswa SMA seperti dirinya.


"Karena bulu matamu terlalu panjang, makanya kejadian seperti ini terjadi. Zaman sekarang, bulu mata juga mending dipotong lima milimeter saja. Pandangan pun jadi lebih terang."

"Justru makin banyak debu masuk, dasar bodoh. ──Oh, tertangkap. Apa-apaan ini, tumbuh sebebas ini. Pantas saja bisa nyolok mata. Kelasnya setara dengan bulu hidung yang tumbuh liar di sudut pandang. Lihat nih, Keiji."


Karena Keiji adalah orang ‘keras’, dia pun menepis bulu mata Masaomi tanpa belas kasihan.


"Si bodoh yang barusan pergi beli makanan di koperasi sekarang akan kembali membawa makan siang kita. Tapi seperti biasa, pasti hanya beli roti France dan bagel polos. Padahal libur musim panas sudah dekat, hidup kita terlalu rutin dan membosankan."


"Yah, namanya juga bodoh. Hidup rutinnya pun tidak perlu diubah. Lagipula, bukankah kita sendiri yang menetapkan apa yang harus dia beli? Kalau dia beli yang lain, itu malah jadi masalah."


Tentu saja ‘si bodoh’ yang dimaksud adalah Kasuka. Karena ia memang bodoh, dia dengan patuh mengikuti aturan aneh yang dibuat Keiji: "Anggota dengan tinggi badan paling pendek harus langsung lari ke koperasi dan beli makan saat bel istirahat berbunyi." 


Awalnya cuma lelucon, tapi karena Kasuka terlihat sangat senang memamerkan hasil buruannya setiap hari dengan wajah penuh senyum, mereka jadi membiarkannya. Kalau dia senang, Masaomi dan Keiji tidak punya alasan untuk protes. Mungkin di kehidupan sebelumnya dia adalah anjing peliharaan yang setia.


Beberapa menit lagi, Kasuka pasti kembali dalam suasana hati yang ceria, seolah-olah sedang mengibaskan ekor.


"Itulah sebabnya, aku berpikir untuk membuat sedikit ‘bumbu’. Temani aku, buat ngusir bosan."


"Hah… yah, terserah. Jadi, mau ngapain?"

Masaomi langsung mengira ini hanyalah ide gila Keiji seperti biasa, dan tidak berniat mendengarkannya serius. Kalau omong kosong ini pun adalah bagian dari rutinitas harian, dan waktu antara ujian akhir semester dengan liburan musim panas pun terasa hampa, maka menjadi mesin penjawab seadanya pun cukup untuk memenuhi tugasnya sebagai teman Keiji.


Dengan pikirannya melayang entah ke mana, ia membayangkan pulang sekolah mampir ke arcade. Hari ini seperti nilai ujiannya yang biasa-biasa saja—rata-rata dan tanpa kesan. Ia memandang kenyataan yang membosankan ini dari sudut pandang yang luas dan bertanya pada dirinya sendiri: apakah ini baik-baik saja? Lalu menjawab sendiri: ini memang seharusnya begitu. Pasti begitu.


Selalu seperti ini. Masaomi hidup dalam rutinitas yang samar dan hampa. Ada saat-saat di mana segalanya terasa ambigu dan nyaris seperti kebohongan. Seolah pondasi dari kehidupan membosankan ini hanya perlu satu milimeter tekanan tambahan untuk retak—dan entah kenapa, ada momen-momen yang menimbulkan rasa cemas yang tak jelas sumbernya, penuh kontradiksi.


Padahal ia sangat mendambakan kehidupan yang biasa saja, tapi tetap saja muncul keinginan untuk menghancurkan semuanya. Dorongan aneh, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya keluar dari tempat ini.

Tangan iblis Keiji menyusup masuk ke dalam kenyataan kosong itu dengan begitu mulus.


"Nyatakan cinta."


"Hah… yah, terserah. Jadi, mau diapain?"


"Aku akan memanggil targetnya. Lalu kau muncul, menyatakan cinta. Sederhana. Kalau berhasil, kau bisa habiskan libur musim panas dengan pacar sambil bermesraan. Kalau gagal, aku bisa tertawa terbahak-bahak. Tidak ada yang rugi. 

Ini adalah formula win-win dari bumbu penyegar kehidupan."


"Haa... yah, terserah sih. Jadi, mau bagaimana?"


"Targetnya adalah Sasuga dari kelas 3. Kedengarannya bagus, kan? Kau sempat membelanya waktu dia diganggu sama Takei tempo hari, kan? Nggak buruk, 'kan? Hahaha, kira-kira kau bakal dibantai dengan cacian seperti apa ya—tidak, kalau berhasil, dia gadis yang luar biasa. Bisa kau banggakan. Yah, aku sudah beres urusan 'nemawashi'—sudah aku sounding juga. Tinggal nanti, sepulang sekolah, di belakang gedung olahraga. Dari dulu sampai sekarang, pengakuan cinta itu memang urusannya tempat sepi, kan. Romantis, kan?"


"Haa... yah, terserah sih... haa?"


Braak! Badannya oleng dan dia mengeluarkan suara sumbang. Teman-teman sekelas yang sedang makan siang dengan santai menoleh ingin tahu. “Ah, nggak ada apa-apa, maaf ya, maaf ganggu waktu makan, hahaha…” gumamnya menutupi keadaan, lalu segera menatap tajam si pelontar pernyataan bombastis—namun,


"Yah, jangan pasang wajah serius gitu dong. Seperti biasa, santai."


Dia menunjukkan ekspresi seperti hasil blender berbagai versi "senyum kaku": (tertawa dipaksakan), (senyum tipis), (senyum menyeringai). Nih orang jelas bukan tipe serius—aku pun menamparnya pelan dalam imajiku. Oh ya, ‘imajinasiku’ tampaknya sedang tersenyum puas sampai mimisan. Bukan saatnya bersenang-senang, lawan dong sedikit!


Masalahnya bukan pada permainan pengakuan cinta itu sendiri—meskipun Masaomi juga tidak sepenuhnya mendukung hal semacam itu, toh cukup dengan menolak saja. Yang jadi masalah justru adalah bagian akhir pembicaraan tadi. Bahkan dalam mode setengah mendengarkan pun, begitu nama itu terdengar, tak bisa diabaikan lagi. 

Ini bukan saatnya menjaga etika.


"Kau… kenapa malah menyasar orang yang jelas-jelas tidak seharusnya dilibatkan dalam permainan semacam ini? Bukan masalah siapa orangnya. Apa otakmu tumbuh jamur karena musim hujan terlalu panjang? Apa yang kau pikirkan, sih?"


"Padahal namanya seperti penyanyi enka, tapi orang-orang menjulukinya ‘orang Jepang yang tak paham bahasa Jepang’ atau ‘Nona Yun-Yun’. Tapi, dia cantik loh? Nilainya juga luar biasa? Katanya keluarganya kaya (katanya)? Bayangkan kalau karena efek tunneling level kuantum kau berhasil menjadikannya pacar—si ‘kasta paling biasa’ kayak kau pun bisa langsung naik dua tingkat! Gokil, ‘kan?"


"Kau sadar nggak sih, di situ kau ngomongin aku yang sudah mati duluan. Dan soal efek tunneling itu atau apalah, intinya kemungkinan berhasilnya nol besar, 'kan?"


"Ya jelas. Kalau sampai berhasil, nanti aku harus melihat kau punya pacar cantik. Mana serunya coba. Rasanya kayak disiksa. Aku bisa jadi super-downer dan nggak sanggup bertahan liburan musim panas nanti."


Ya ampun, betapa keras kepala dan anehnya orang ini.


"Kalau kau pikir aku bakal nurut begitu aja, berarti kau lebih tolol dari yang kukira. Cepat sana bilang, ‘Maaf, salah panggil. Tadi salah kirim,’ lalu minta maaf sama dia, dasar tolol."


"Kadang-kadang si tolol juga bisa dapet jackpot, tahu. Gini saja, hari ini Kasuka gak beli plain bagel. Kalau itu terjadi, Masaomi Kusunoki akan jalan terus dengan rencana pengakuan. Gimana, taruhan? Wahai pelindung keseharian yang damai."


"Konyol. Gak ada untungnya buatku, bukan taruhan yang adil."

"Point taken. Gini aja, kalau si tolol beli bagel seperti biasa, aku yang ngaku. Biar aku yang naik ke kasta bangsawan."


Masaomi menghitung dengan tenang. Meski tidak bisa menandingi Keiji sang ‘keras kepala’ dalam bidang akademik, Masaomi cukup jago matematika. Saking jagonya, dulu saat SMP dia pikir “Teorema Sudut Keliling” ditemukan oleh orang Tiongkok bernama En Shuukaku.


Sudah sekitar setengah tahun Kasuka selalu beli roti saat jam istirahat. Dari semua waktu itu, cuma bisa dihitung jari dia nggak beli plain bagel atau roti France. Kalaupun ada, itu karena kantin tutup sementara atau ada diskon produk baru yang bikin anak-anak yang biasanya bawa bekal pun ikut beli. 


Hari ini? Kantin buka dan tidak ada promo. Dengan kata lain, ini pertarungan yang bisa dimenangkan. En Shuukaku-san pun berkata, “Kau hanya perlu bertarung di medan perang yang bisa kau menangkan, tidak ada gunanya bertarung di tempat kau akan kalah.” —Walaupun embel-embel "kau" atau "bukan kau" itu agak membingungkan, tapi intinya begitu.


Yang terpenting, kalau Keiji benar-benar ditolak dan jatuh mental, itu akan jadi tontonan yang sangat menghibur. Keberhasilan? Tidak mungkin. Seperti yang sudah dijelaskan, Sasuga dari kelas 3 itu konon tidak bisa diajak bicara dalam bahasa Jepang. Tanda kemenangan sudah mengarah kuat padanya. Dan serangan pamungkas pun datang.


“Urusan percintaan kayak gini tuh, malah justru kelihatan banget ‘khas anak SMA biasa’ gitu nggak sih?”


Ucapan itu, yang jelas menargetkan karakter Masaomi, sebenarnya sangat tepat sasaran. Dan Masaomi pun tak bisa melawan kekuatan kata-kata itu. Kata "biasa" saja bisa membuatnya merasa tertarik seolah tersedot secara alami.


“…Oke, aku ikut. Toh keseharian yang membosankan ini nggak akan mudah terguncang.”


Benar. Tak boleh terguncang dengan mudah. 


Kalau tidak, Masaomi akan kembali jatuh ke masa-masa awal masuk sekolah yang begitu absurd itu.


“Fufufu… yah, begitulah. Tapi—”


Graaak! Pintu kelas terbuka, dan Kasuka masuk sambil menjinjing roti di kedua tangannya. Si bodoh yang biasanya selalu ceria itu, untuk pertama kalinya tampak agak merasa bersalah.


Rasanya mirip dengan adegan di game RPG setelah melawan bos terakhir, di mana karakter tiba-tiba mulai mengoceh “Aku sebenarnya adalah—” tanpa adanya foreshadowing sebelumnya. Sebuah firasat buruk menyergap.


“Kau juga tahu, kan? Hidup yang biasa itu, kadang bisa juga terguncang, walau jarang.”


"Maaf ya, aku gak nyangka bakal kehabisan. Nih, aku beliin yang gula merah aja sebagai gantinya."


Kasuka mengulurkan bagel berwarna cokelat gelap yang jelas-jelas bukan plain. Warna itu makin mencolok di tangan Kasuka yang berambut putih. Ah, kalau diisi ham, keju, dan selada pasti kelihatan enak banget, sampai bikin kesal.


Saat Masaomi menatap roti itu lekat-lekat, Kasuka tampak mengecil, mungkin takut dimarahi. Ujung rambutnya yang panjang bergoyang lesu seperti ekor anak anjing yang sedang ketakutan. Ujung rok seragamnya dicubit sambil menatap ke atas, “gak boleh ya?”—dan anehnya, ekspresi itu benar-benar cocok sekali dengan dirinya.

“Ah… nggak usah dipikirin. Aku nggak benci roti ini juga kok. Lagian kalau habis—”


—Habis, ya?


Kata itu tertahan di tenggorokan. Sambil menyerahkan uang receh, Masaomi menatap sekilas ke arah Keiji. Keiji masih menyeringai dari tadi. Masaomi pun langsung paham.


“Kau yang mengatur semua ini, ya?”


“Wah, temanku yang jahat ini memang paham betul, ya.”


Keiji lalu membawa tasnya, menuangkannya ke meja.


Satu, dua, tiga—bertumpuk-tumpuk plain bagel bermunculan. Pasti ibu kantin bingung banget pagi ini, kenapa menu yang biasanya sepi tiba-tiba diborong oleh pemuda berambut panjang kecokelatan.


“Anak dokter, dasar. Memamerkan kekuatan uang, ya. Kau sebegitu inginnya menjadikanku badut?”


“Jelas. Selama itu menguntungkan buatku, kenapa harus ragu? Lagipula, membayar badut sirkus itu hal yang wajar. Itu kewajiban penonton, tahu!”


"Ada apa sih, kenapa tegang gitu?" tanya Kasuka panik. "Gak papa, kok," jawab Keiji sambil mengacungkan jempol. Kasuka, si bodoh yang tak mengerti maksudnya, ikut-ikutan angkat jempol sambil berkata, 

"Oh, syukurlah~".


“Ayo, tunjukkan sisi jantanmu, wahai Mr. Badut. Rantai kejenuhan yang membelenggu keseharian ini harus kita potong sebelum liburan musim panas datang. Nih, makan sepuasmu. Semua plain bagel ini traktiranku.”

Bertiga bertingkah bodoh seperti ini memang membuat kehidupan sekolah terasa menyenangkan—itulah yang dirasakan Masaomi.


“…Yah, baiklah. Toh ini hanya permainan satu kali pakai. Sekadar peran figuran di jalan cerita tiga aliran gaya hidup.”


Sepertinya hari ini akan penuh gejolak—sampai-sampai tak bisa mampir ke arcade pun tak mengherankan.



Fakta sebenarnya adalah bahwa semua ini hanyalah lelucon murahan dari sekelompok anak laki-laki bejat. Terlepas dari kondisi mental Masaomi, menyatakan cinta pada gadis yang bahkan tidak disukai adalah tindakan tercela yang tak bisa dibenarkan. Namun, ketika semuanya terbuka, hasilnya justru sukses. 


Tentu saja, anak laki-laki kelas dua SMA mana pun tidak memiliki keterampilan untuk dengan mudah memulihkan diri dari perbedaan mencolok seperti ini. Memang, ini cerita yang membuat orang berkata, “Sudah pantas, rasakan akibatnya,” sambil menunjuk dengan sinis dari belakang.


“...Eh, ngomong-ngomong, boleh aku tanya sesuatu?”


“Apa? Kita ini sudah resmi jadi pasangan, jadi kamu nggak perlu basa-basi atau sungkan, tahu?”


“Kenapa kamu bilang ‘iya’? Kita bahkan nyaris nggak saling kenal, kan?”


“Memangnya ada undang-undang atau peraturan sekolah yang melarang pacaran kalau belum saling kenal?”


“Ya, sih... nggak ada, tapi...”


“Lagian, kamu yang ngajak pacaran, jadi aku juga mau tanya, kenapa?”


— Karena ini hukuman, tentu saja. (senyum tanpa ekspresi☆)


Tidak mungkin aku bisa mengatakannya. Meskipun hanya badut yang sok tahu, tidak pantas rasanya menunjukkan wajah asliku di depan penonton. Apalagi aku sudah keburu makan tiga buah bagel polos.


“Eh, ya... maksudku, ini musim panas, kan. Musim yang pas buat jalan-jalan bareng pacar cantik, gitu.”


“Begitu ya. Karena musim panas. Kalau masih remaja, memang nggak buruk juga sih yang seperti itu.”


Dan begitulah, usai drama kejutan di jam pulang sekolah, mereka berjalan berdua sepulang sekolah, seolah pasangan sejati. 


Ya, bukan ‘seolah’ lagi—mereka memang pasangan. Tapi di benak Masaomi, rasanya seperti cat yang belum kering—lapisan palsu yang belum menyatu. Dalam pikirannya, semuanya seperti lukisan minyak yang kacau: bercampur aduk, bergumpal, tidak beraturan, dan mengacaukan segalanya. 


Tidak mungkin bisa menikmati momen manis sebagai pasangan baru. Justru, suasananya terasa seperti duel antara pendekar pedang, saling mengukur jarak, siapa yang akan menyerang duluan, hidup atau mati. Ketegangan seperti itu. Tidak masuk akal. 


Karena lawannya adalah Sasuga Hibari, tentu saja. Masaomi melirik diam-diam ke arah gadis yang berjalan di sampingnya. Wajahnya yang cantik tampak bersinar diterpa cahaya matahari senja. Semakin dipandang, semakin terlihat betapa cantiknya dia. Masaomi memang tidak paham soal makeup, tapi wajah itu sudah terlihat sempurna tanpa perlu tambahan apa pun. Tubuhnya tinggi, tak kalah dari Masaomi yang termasuk tinggi untuk ukuran laki-laki. Tangan dan kakinya yang menjulur dari seragam musim panasnya juga jenjang, putih, dan—yang paling penting—posturnya sangat bagus. Sederhana, jelas, dan indah. Ya—cantik. Sangat cantik.


“Menatap seperti itu agak tidak sopan, tahu? Atau menurutmu ada yang aneh dengan wajahku?”


“Tidak, aku cuma berpikir kamu cantik sekali.”


Hibari menatapnya dengan mata terbelalak, tampak terkejut. Tapi kenapa harus terkejut? Dia memang cantik, bukan?


“Soalnya... aku jarang banget, atau bahkan belum pernah, ada yang ngomong kayak gitu langsung ke wajahku.”


“Ah... maaf, ya.”


“Tidak apa-apa. Aku juga nggak merasa tersinggung. Kamu ini pacarku, kan?”


Jadi dia memang sadar dirinya cantik, hanya saja tidak ada yang terang-terangan bilang begitu. Yah, memang seharusnya begitu. Kalau gadis secantik itu sampai bilang “aku nggak percaya diri dengan penampilanku,” dia pasti akan jadi sasaran cemburu para gadis lainnya.


Setelah itu, percakapan mereka pun terhenti. Sayangnya, arah pulang mereka sejalan, dan jarak ke stasiun harus ditempuh dengan berjalan kaki yang cukup jauh. Kenapa harus seperti bayangan malam yang bisu, padahal mereka berdua berjalan beriringan pulang sekolah? 


Tidak masuk akal. En Shuukaku-sensei tidak pernah mengajarkan hal ini. Bahkan Masaomi, si ‘Mister Wajah Datar’ yang jarang menunjukkan emosi, adalah remaja lelaki yang diam-diam mendambakan kisah cinta pertama yang manis dan romantis. 

Sekali lagi, bagian "romantis" itu penting. Tujuan dari sepasang kekasih bukanlah menjadi dua orang yang berjalan diam-diam di malam hari!


“Bikin kacau saja...” Masaomi mendongak dalam hati. Seharusnya aku hanya jadi badut. Tapi sekarang, aku adalah pacarnya. Dan bukan sembarang pacar—aku pacarnya si cantik misterius Sasuga Hibari. 


Tidak salah lagi, ini kenyataan. Tapi...


—Dia bisa bahasa Jepang, kok.


Tolong jangan salahkan Masaomi karena menyadari hal yang kelihatannya sepele ini. Sejak masuk sekolah tahun lalu, Sasuga Hibari sudah terkenal sebagai gadis paling cantik di sekolah. Namun, ia juga dikenal sebagai gadis yang sulit didekati. Karena bersama namanya selalu muncul desas-desus aneh: "Ucapan dan tindakannya eksentrik dan tidak masuk akal, sampai-sampai cowok mana pun akan menyerah begitu saja."


Entah itu karena agama, karena cara berpikir, atau apapun, tapi intinya sama: “Kalau nggak bisa komunikasi, secantik apapun dia, tetap saja rasanya seperti jalan-jalan sama manekin.” Itulah reputasinya sebagai gadis yang sulit diajak bicara. Bahkan kalau ada rumah sakit dekat sekolah pun, kalau tidak bisa berbicara dengan pasiennya, tidak ada yang bisa dilakukan. Gadis seperti itu jelas bukan tipe yang bisa ditangani oleh siswa SMA biasa, pikir Masaomi.


Masaomi sendiri tidak mengikuti kegiatan OSIS ataupun klub, dan tidak pernah berurusan dengan gadis dari kelas lain. Jadi semua kesannya tentang Hibari semata-mata berdasarkan desas-desus. Dan sekarang, gadis yang katanya "tidak mungkin bisa jadi pacar" justru menjadi pacarnya. Tentu saja, dia pun bersiap menghadapi obrolan yang seperti dodgeball, atau serangan gelombang elektromagnetik yang menghancurkan otak—semacam itu.

“...Ternyata kamu biasa saja.”


“Kamu ngomong apa barusan?”


Ups. Sepertinya aku mengucapkannya keras-keras. Tapi sekarang sudah terlanjur. Mungkin ini justru peluang bagus. Dia sering terlihat menyendiri karena reputasinya. Tak banyak yang benar-benar mengenalnya.  Jujur saja, Masaomi memang penasaran. Awalnya dia mengira akan ditolak. Jadi meski nanti hubungan mereka gagal, tidak rugi apapun. 


Lagipula dia tidak kehilangan apa pun hanya karena menyinggung perasaan gadis yang tidak dekat dengannya. Dengan pikiran sepraktis itu, dia memutuskan untuk mengambil langkah menyerang. Tanpa strategi bertahan.


“Eh, maksudku... kamu cantik, sih. Tapi ternyata lebih ‘biasa’ dari yang aku kira.”


“...Kamu juga menganggapku aneh, ya? Kamu kan tahu dan tetap menyatakan cinta?”


“Justru sebaliknya. Aku sudah dengar banyak rumor aneh tentangmu, jadi sekarang malah bingung karena kamu nggak seperti itu. Jujur aja, aku pikir kamu bakal ngomong atau bertindak aneh, kayak tadi misalnya—yang soal ‘Guardian’ itu. Kupikir semuanya bakal kayak gitu.”


“Kamu jujur juga, ya. Bisa ngomong sejujur itu sambil menatap langsung... lumayan juga.”


Nada suaranya terdengar sedikit heran. Tapi dia tidak tampak marah—malah seperti kagum. Masaomi memutuskan untuk melangkah lebih dekat lagi. Dalam duel antar pendekar pedang, ini adalah jarak yang bisa langsung menebas lawan.


“Kamu tahu nggak, gimana omongan orang-orang tentangmu di sekolah?”


Tentu saja, jawab Hibari tanpa mengubah ekspresinya dan mengangguk.


“Soal rumor itu, aku juga tahu. Tapi aku malah merasa itu cukup berguna buat mengusir orang-orang menyebalkan. Kalau dianggap sebagai orang aneh, aku nggak akan diganggu.”


“Oh ya? Jadi itu cuma rumor, ya...”


“—Tapi kenyataannya, aku memang orang aneh.”


Tanpa perlu bersuara, dalam hati Masaomi terguncang oleh serangan tak terduga itu. Tatapan mereka bertemu ketika Hibari, sambil menyentuh jepit rambutnya, bergumam dengan lembut. Sorot matanya jernih tanpa keraguan.


“Rumor-rumor itu sebagian besar benar. Jadi bukan fitnah, tapi penilaian yang adil. Karena itu, aku nggak merasa berhak untuk protes. Kamu setuju kan, wahai Guardian?”


Rasa dingin menjalar di sepanjang tulang punggungnya.


Ekspresi wajah Hibari, yang memanggil Masaomi dengan sebutan "Guardian", tampak begitu dibuat-buat, dan kecantikannya yang berlebihan justru menambah kesan dingin yang tak bernyawa. Namun, tatapan yang sudah terjalin itu tak bisa dipalingkan. Seperti duri mawar yang indah, racun serangga yang memikat, atau pesona seorang wanita yang menakutkan. Mungkin itu adalah rasa penasaran terhadap sesuatu yang menakutkan.


Masaomi berhenti di tengah trotoar. Pemandangan di sekitarnya seakan kehilangan warnanya, menjadi seperti foto sepia, dan hanya Masaomi dan Hibari yang diperbolehkan tetap berwarna. Mobil yang melintas, burung-burung yang terbang di langit, suara percakapan seseorang, bahkan hembusan angin yang tiba-tiba pun tidak mampu mengganggu dunia mereka berdua. Entah karena langkahnya secara tak sadar terikat, atau nalurinya merasa gentar—atau mungkin, ia sekadar terpesona.


Hibari pun berhenti beberapa langkah di depan. Jarak kecil yang terbentuk di antara mereka seolah mencerminkan jarak di dalam hati masing-masing.


"Akan kujelaskan padamu. Gelombang elektromagnetik yang berasal dari diriku sebagai seorang wanita. Jika kau tetap menginginkannya, maka kita bisa kembali menjadi sepasang kekasih. Jika kau tak menginginkannya lagi, itu pun tak masalah. Kekasih yang bisa dibatalkan dengan sistem cooling-off—bukankah itu pendekatan yang cukup konsumen-sentris? Jika menara Jenga itu pasti akan runtuh, maka lebih efisien untuk tidak membangunnya sejak awal."


Itu adalah cara tersenyum yang menyebalkan, seolah ia sudah yakin dengan akhir segalanya sejak awal. Lelucon yang tak bisa ditertawakan. Berkali-kali Masaomi ingin membongkar semuanya dan berkata bahwa ini hanyalah pengakuan palsu. 

Atau, dia sudah mengetahuinya sejak awal. Dengan penampilan seperti itu, siapa tahu apa yang ada dalam dunia para pria tampan atau gadis cantik. Meski perkataannya terdengar aneh, tetap saja orang-orang nekat akan tetap mencoba menyatakan cinta kepadanya, sekadar seperti mencoba ujian masuk universitas sebagai formalitas. 


Jika ia menanggapi setiap pengakuan itu dengan serius, tentu akan melelahkan. Maka sebaiknya ia membuat pengakuan yang tampak seperti khayalan, agar langsung ditolak tanpa menyakiti siapa pun.


Dalam pusaran pikiran yang berantai dan membingungkan, tiba-tiba Masaomi merasa ada sesuatu yang terlepas dari tenggorokannya.


Ia pun paham. Hibari menyebut dirinya sendiri sebagai "denpa"—seseorang yang memiliki dunia sendiri dengan kepekaan yang di luar nalar, terkadang menyajikan penafsiran yang sembrono dan tak masuk akal. Dunia yang tak dapat dipahami dengan akal sehat. Wajar jika orang biasa akan langsung menutup telinga dan berkata, 


"Aku tidak sanggup menghadapi ini."


Mungkin itulah yang membuat reputasi Hibari terbentuk. Dengan sengaja menunjukkan keanehannya, ia menyalakan dupa penolak serangga untuk mengusir orang-orang remeh yang tertarik hanya karena penampilannya.


Dengan menghancurkan pengakuan yang diterimanya, ia membuat harga diri lelaki itu hancur sendiri secara berlebihan. Musim panas akan segera tiba, dan ia bersiap menghadapi serangan serangga yang tergila-gila karena panas. Itulah bentuk pertahanannya.


Kalau begitu, seharusnya Masaomi bisa mengikuti arus kebingungan itu dan segera menjauh. Cinta mereka bisa berakhir di situ juga. Ia bisa mengikuti saran Hibari yang tak menyisakan luka di hati, dan kembali menjadi orang asing seperti sebelumnya.

Selesai sudah tugas sang badut. Seharusnya begitu.


"Aku ini seorang Astral Diver—pengembara roh. Karena itu, jika kita berinteraksi antara alam material dan alam spiritual, aku rasa itu tidak baik untuk kita berdua. Jika terjadi sesuatu di alam spiritual, maka aku sebagai seorang Mesian, penyelamat, harus memprioritaskan itu."


Memang, ini benar-benar sebuah dunia yang layak disebut "denpa."

Masaomi tak bisa menyangkalnya. Sebuah tempat suci yang tak bisa dimasuki sembarangan. Tak mudah dipahami, dan empati yang hanya di permukaan pun akan dengan mudah terbongkar.


Namun—meskipun begitu. Masaomi adalah seorang siswa SMA, belum pernah punya pacar sepanjang hidupnya, dan dia pun merindukan sosok kekasih. Di depannya kini berdiri seorang gadis cantik (sementara ini dianggap sebagai kekasihnya). Dan yang terpenting, kalau dibiarkan begini saja, hidupnya akan kembali membosankan.


Kadang-kadang kehidupan sehari-hari bisa terguncang. Keiji pernah berkata begitu. Ia mengguncang keseharian hidupnya dengan keyakinan membeli semua bagel di toko.


Kalau begitu, jika Masaomi juga membeli semua bagel, barangkali hidupnya akan jadi lebih menggairahkan. Setiap orang punya kemampuan untuk melakukan itu. Yang dibutuhkan hanyalah sedikit keberanian. Bukankah itu tidak jauh berbeda dengan mengungkapkan perasaan kepada seorang gadis?


Sejak kecelakaan setahun lebih yang lalu, Masaomi tak memiliki keberanian itu. Ia memilih untuk hidup dalam kebosanan. Tapi, jika bisa bersenang-senang bersama Keiji dan Kasuka, hidup sekolah yang membosankan pun tetap terasa menyenangkan. Ia masih percaya itu adalah kebenaran.


Namun saat ini, Masaomi seolah tertusuk oleh badai masa pubertas. Ia berpikir, tak ada salahnya memiliki kekasih yang "denpa." Kehidupan yang biasa-biasa saja seperti itu pasti juga ada.


"Menjadi 'Guardian' mungkin menguntungkan bagimu di dunia spiritual. Tapi bagiku, tidak. Jadi, sebaiknya kau tetap tinggal di dunia ini dan mencari kekasih yang lebih cocok. Aku baik-baik saja. Dulu dan nanti, aku akan terus menjalani hidup seorang diri. Karena itu, permainan kekasih ini kita akhiri saja—"


Langkah yang membawa Masaomi keluar dari peran sebagai "penjaga kehidupan sehari-hari" dan menuju "Guardian Hibari." Langkah itu adalah—


"Kalau begitu, besok kita kencan."


"...Eh?"


Hibari menunjukkan ekspresi benar-benar bingung. Bukan seperti orang yang kehilangan sikap karena diracun, tapi benar-benar tak siap menerima jawaban itu. 


Ekspresi tanpa pertahanan itu begitu menggemaskan hingga membuat Masaomi merevisi bayangannya tentang Hibari ke arah yang lebih positif. Rasa dingin yang ia rasakan tadi telah menghilang seketika seperti kabut yang sirna. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Masaomi adalah melontarkan kata-kata yang muncul di pikirannya.


"Maksudku, kita harus bicara banyak hal, tapi ngobrol sambil berdiri seperti ini aneh juga. Ngobrol lewat ponsel juga terasa hambar.Entah kita lanjutkan atau batalkan semua ini, kita tak bisa memutuskan sebelum aku mengenalmu lebih jauh, kan? Jadi, besok kita ketemu lagi dan ngobrol lebih banyak. Kebetulan hari Sabtu juga. Sekarang ini, kau masih statusnya pacarku, kan?"


Berkencan di hari libur... kedengarannya sangat seperti pasangan sungguhan, bukan? Sepertinya aku sempat mengatakannya. Tapi saat kuingat kembali, aku sendiri bahkan tidak terlalu ingat apa saja yang diucapkan oleh Hibari saat itu, atau bagaimana tepatnya aku mengajaknya.


"Kau ini, apa kau tadi mendengarkan perkataanku? Maaf, tapi... kau mengerti bahasa Jepang?"


"Ada yang kamu katakan ya? Maaf, soalnya aku jadi blank lihat pacarku yang super cantik ini, sampai-sampai pikiranku cuma fokus buat ngajak kamu kencan. Kalau nggak keberatan, besok bisa diceritakan lagi? Hari ini aku yakin nggak bakal masuk ke kepala."


Karena saat ini, kepala Masaomi benar-benar dipenuhi dengan bunga-bunga musim pubertas yang tengah mekar. Pacar (P) yang katanya tidak bisa berbahasa Jepang, menyebut pacarnya (L) tidak bisa berbahasa Jepang. Yah, betapa cocoknya mereka, bukan?


"Dari luar sih kamu kelihatan sama sekali nggak terguncang... Tapi ya, pacar, ya. Baiklah, kalau begitu, kita kencan saja. Sepertinya tidak buruk."


"Kalau begitu, tukar kontak, yuk. Pakai LINE, boleh?"


Setengah memaksa, Masaomi mengeluarkan ponselnya dan mengundangnya. Begitu nama "Sasuga Hibari" masuk ke daftar teman, muncul ikon gambar kucing hitam yang memenuhi seluruh bingkai profil.


"Kamu pelihara kucing?"


"Iya. Dia lucu karena terlalu gemuk akibat kurang olahraga. Namanya Mentsuyu. Soalnya warnanya hitam."


"Nama yang... unik, ya. Tapi aku suka gaya kayak gitu."


"…Begitu ya. Terima kasih."


Sambil berbincang ringan seperti itu, mereka pun melanjutkan perjalanan pulang, lalu berpisah di persimpangan jalan. Hibari mengatakan akan belanja makan malam dulu di arah stasiun, jadi mereka berpisah di dekat pintu masuk bekas kawasan pertokoan arcade.


Masaomi menatap punggungnya yang menjauh selama sekitar lima detik, rok seragam dan rambut panjang berkilau itu berkibar saat ia berjalan pergi. Setelah itu, ia mengalihkan pikirannya. Permainan pacaran yang dimulai dari kebohongan itu—apakah akan kembali menjadi kebohongan, atau akan larut menjadi kenyataan—semuanya akan ditentukan esok hari.


──Siapa tahu, semuanya berjalan dengan baik.


Sambil terkejut pada dirinya sendiri yang mulai berharap seperti itu, Masaomi juga tak bisa menutupi kenyataan bahwa hatinya sedikit melambung. Meski Hibari menyebut dirinya orang aneh, ia ternyata bisa diajak berbicara jauh lebih baik daripada yang Masaomi duga. 


Mungkin saja... mungkin saja nanti Masaomi akan berterima kasih pada Keiji karena semua ini. Tiba-tiba, ada notifikasi masuk ke ponsel. Dari Hibari, yang baru saja berpisah dengannya.


Dengan setengah harap dan setengah takut, ia membuka pesan itu.

Suara berdengung seperti tinnitus menggema di dalam kepalanya. Rupanya, suara langkah kebosanan yang pergi bisa sebising ini.


"Sampai jumpa besok, Kusunoki-kun. ──Kamu ini, orang yang aneh, ya."


Kasta kelas: "Si Biasa Aja." ── Naik dua tingkat sekaligus mungkin tak terelakkan.


Diakui sebagai orang aneh oleh gadis paling eksentrik di sekolah... kelihatannya, musim panas yang penuh gejolak benar-benar akan dimulai.



Saat mendengar kalimat “pacar yang muncul karena permainan hukuman”, jika ditanya apa yang dipikirkan oleh orang pada umumnya—


Masaomi saat itu tak akan menyangkal bahwa yang muncul di benaknya adalah perasaan pasrah, seolah bisa meramalkan: "Ah, paling juga cepat putus nanti."


Chapter 2

Pertarungan Serius di Restoran Keluarga


"Eh, aku dengar Kusunoki pernah kecelakaan dan jadi nggak bisa gerak, ya?"


Suatu siang setelah musim semi berlalu, saat istirahat makan siang, seorang teman sekelas bernama Takei—yang sebenarnya tidak begitu akrab dengan Masaomi—mengangkat topik semacam itu secara tiba-tiba. Masaomi memang merasa curiga dengan arah pembicaraan yang tidak biasa ini. Tapi karena sejak tahun lalu sudah beberapa kali orang lain bertanya hal yang sama, ia pun sudah seperti hafal cerita ini seperti cerita rakugo yang sering dibawakan. Mulutnya mulai menjelaskan tanpa dipikir.


"Yah, benar juga. Aku sempat kehilangan kesadaran, dan waktu sadar sudah di rumah sakit. Rasanya, bagian bawah tubuhku nyaris nggak bisa digerakkan."


"Serius? Kayak burung phoenix dong, bangkit dari kematian."


Mungkin maksud Takei adalah ingin menyebut kebangkitan yang ajaib. Tapi karena kalimatnya terdengar seperti pengulangan kata, Masaomi tak tahu harus menanggapi bagaimana.


"Kalau bawah tubuh nggak bisa digerakkin itu, rasanya kayak gimana?"


"Yah, nyusahin, jelas. Rehabilitasi berat, ke kamar mandi aja ribet."


Pada saat itulah Keiji, yang duduk di sebelahnya, ikut bergabung. Mungkin karena biasanya Masaomi tak banyak berbicara dengan siapa pun selain Keiji dan Kasuka, jadi pembicaraan ini menarik perhatiannya. Melihat Keiji datang, Takei terlihat agak canggung, tapi rasa penasarannya masih lebih besar.


"Terus terang aja, itu masih bisa ereksi nggak?"


"Enggak. Nggak ada rasa sama sekali waktu itu."


"Yah, itu sih masalah besar!" kata Takei sambil tertawa berlebihan.

Keiji malah memasang wajah masam, dan diam-diam menyikut Masaomi, menyuruhnya berhenti.


"Nggak bisa Masturbasi sendiri juga, itu udah neraka. Kalau perawat yang cantik ngajarin sih masih mending ya."


"Perawatnya baik sih, tapi nggak sampai segitunya."


"Ini sih benar-benar urusan vitalitas pria!"


Takei tertawa keras seolah menganggap dirinya sangat lucu. Tawa kasarnya bahkan sampai terdengar ke lorong, membuat beberapa siswa yang lewat berhenti karena kaget.


"Udah cukup, Masaomi. Dan kau, Takei—ngomong seenaknya seolah ini urusan orang lain. Ini bukan bahan tertawaan."


Mungkin karena disorot dengan tatapan tajam Keiji yang tampilannya seperti preman, Takei langsung panik. Masaomi sendiri sempat menatap Keiji seakan berkata, “Kau serius sekali,” tapi rupanya Takei sependapat.


"A-apa sih, ngapain jadi serius gitu, Orito. Aku cuma mau, apa ya, mencairkan suasana doang."


"Suasana apaan. Bercanda pakai humor jorok kayak gitu tuh murahan banget. Kau waras gak sih?"


"Wa—waras lah. Masa aku kayak, eh, Sasu—atau siapa gitu."


Masaomi sempat tak mengerti siapa yang dimaksud, tapi lalu sadar: Sasuga Hibari, gadis yang terkenal aneh di sekolah mereka.


"Walau cantik, kalau otaknya nggak waras, tetap aja nggak bisa ereksi. Itu sih kayak boneka. Boneka seks. Suaranya yang kayak dari dunia lain bisa bikin kepala kita ikut rusak."


Meski gadis itu bahkan tidak ada di tempat ini, dan tidak punya hubungan apa pun dengan mereka, Takei terus memaki-maki tanpa henti. Bahkan Masaomi pun mulai mengerutkan dahi.


"Mengejekku sih oke-oke aja, tapi ngomongin perempuan lain yang bahkan nggak ada di sini tuh keliatannya gak keren banget."


Bukan karena merasa kasihan pada Hibari yang terseret dalam omongan ini, tapi mungkin karena masa lalu Masaomi sendiri yang sering diperlakukan seperti barang aneh, ia tanpa pikir panjang merasa perlu membela.


"……Apa, kau serius? Jadi pendukung Sasuga ya? Perempuan itu tuh beneran aneh. Mending kau mundur sebelum tertipu sama mukanya."


Takei terus mengomel tak jelas, sambil menjauh dari tempat itu.


"Apa sih maunya dia dateng ke sini?" gumam Keiji dari samping, benar-benar masuk akal.


"Kau juga Masaomi, ngapain kau ladenin omongan provokatif gitu. Okelah soal Sasuga, tapi kalau sampai bahan candaan itu masa lalumu yang berat, kau berhak marah. Serius."


"Kau terlalu kepikiran, Keiji. Nggak apa-apa, emang gak ada bahan lain buat mengolokku."


"Astaga… malah kau harusnya marah karena dia nyamperin kau cuma buat ngeledek, bukan buat ngobrol."


Keiji terlihat frustrasi karena merasa usahanya sia-sia. Bagi Masaomi, semua ini cuma cerita lama. Lagipula, kalau Takei nggak suka orang seperti Keiji, kemungkinan besar ia juga tak akan mendekati Masaomi lagi.


Ngomong-ngomong, bahkan hingga saat musim panas hampir tiba, Masaomi tetap belum mengerti apa maksud sebenarnya dari Takei saat itu. Namun, nama Sasuga Hibari menjadi tertanam kuat dalam ingatan Masaomi—dan itu adalah satu hal yang tak bisa disangkal.



Dan waktu pun kembali ke masa kini.


"Ya ampun, Kakak ngapain sih bangun pagi-pagi hari Sabtu dan dandan heboh gitu? Kamu pakai narkoba ya?"


Dari pagi, di kamar mandi rumah, adikku Hinata sudah menunjukkan rasa risih yang luar biasa. Padahal kami berbagi hampir semua DNA, tapi cara bicaranya benar-benar keterlaluan, pikir Masaomi sambil melotot pada adik kandungnya.


"Yah, cukup bercandanya. Aku butuh komentar jujur dari perspektif perempuan. Gimana menurutmu, laki-laki kayak gini?"


"Nggak banget. Bahkan buat bercanda pun nggak masuk."


Langsung ditolak mentah-mentah. Tapi Masaomi bukan tipe yang gampang menyerah cuma karena itu. Sebagai kakak dari adik perempuan dengan mulut setajam silet, dia sudah kebal.


"Ayo, berikan hakmu untuk menjelaskan secara rinci. Silakan, Yang Mulia Hinata."


"Pertama, kamu pakai wax kebanyakan. Kelihatan kayak kecoak berminyak, nilai minus satu. Kaos pink mencolok itu? Selera fashion kamu parah banget. Mau tampil di acara amal sambil paduan suara? Minus dua. Kalung tengkorak di zaman sekarang? Emang kamu punk rocker dari tahun berapa? Minus tiga. Dan terakhir, aku emang nggak suka bentuk wajahmu, jadi minus sepuluh."


"Yang terakhir nggak relevan dong. Tapi ya sudahlah, cukup jadi referensi. Kamu boleh pergi sekarang, Yang Mulia Hinata."


"Ini rumah aku juga, tahu! Malah harusnya kamu yang pergi, aku mau ganti baju!"


"Ya ampun, nggak perlu segitunya nutup-nutupin badan kerempengmu itu. Ganti aja sesuka hatimu."


"Hei, jangan ngomong gitu ke gadis SMP yang lagi sensitif! Super minus nilainya. Hah… kenapa sih kamu nggak punya sedikit pun rasa peka. Nanti kalau aku udah masuk masa pertumbuhan dan jadi montok, siap-siap aja kamu sujud di kakiku! Montok, lho! Mati kau!"


Walau ngomong begitu, Hinata langsung buka baju tanpa malu-malu. Masaomi pun jadi khawatir akan masa depan adiknya yang nggak tahu malu begitu. Omong-omong, kalau dia mau ngaku 'montok', nilai mahjong-nya mungkin butuh sepuluh han biar bisa masuk.


Mereka memang sering saling melempar candaan pedas, tapi bukan berarti mereka tidak akur. Sejak dulu, hubungan mereka memang seperti ini. Bagi orang luar mungkin terdengar kasar dan penuh pertengkaran, tapi kalau gampang tersinggung, kau nggak akan bertahan hidup di rumah keluarga Kusunoki. Kalau bikin ribut karena bertengkar, siap-siap aja nggak dapat makan. 

Kalau keterlaluan, bisa-bisa ada upacara formal pemutusan jatah uang saku. Nggak peduli anak itu lagi masa pertumbuhan atau puber, orang tua mereka tidak akan segan-segan.


"Padahal aku kira menata rambut cuma tinggal lihat majalah terus beres, tapi ternyata susah juga ya... Orang-orang yang tiap hari ngelakuin ini, bangunnya jam berapa sih? Masokis apa?"


Yang terpikir langsung adalah Keiji. Selama ini Masaomi beranggapan dia bisa tampil rapi karena keturunan dokter dan apoteker, tapi ternyata menata rambut nggak ada hubungannya sama ilmu kedokteran atau farmasi. Jadi mungkin memang karena bakat alami atau hasil latihan keras. Hebat juga si Keiji itu. Tipe hardcore, atau kalau ditulis pakai kanji: ‘masokis’.


"Yah, namanya juga fashion, harus dipertahankan dengan penuh perjuangan."


Hinata mendengus sombong, seolah baru saja mengucapkan kalimat bijak. Benar-benar adik yang menyedihkan.


"Ribet banget. Apa sih gunanya wax? Buat ngepel lantai?"


"Diam deh, Kak. Bangun image dirimu tuh minimal diem aja. Harga dirimu anjlok, tahu nggak? Udah kayak saham anjlok."


Mungkin mau pergi latihan, Hinata dengan cekatan mengenakan baju olahraga dan celana pendek, lalu mengikat rambut kuncir kudanya yang jadi ciri khasnya. Walau nggak tahu apa-apa soal laki-laki, dia tetap berlagak sok tahu, dan itu bikin Masaomi kesal. Tapi harus diakui, semua komentarnya tadi memang cukup akurat.


Saat Masaomi masih sibuk merapikan diri sambil menggerutu, Hinata mendekat dan mengintip wajah kakaknya.


"Jadi? Kakak mau ketemu gadis, ya? Trus... pengen keliatan tinggi gitu ya?"


"Yah, kurang lebih gitu. Masa iya aku ngelakuin ini semua pagi-pagi hari Sabtu cuma buat iseng?"


"Yah, masuk akal sih," katanya sambil mendesah manja. Suaranya lembek dan menjijikkan.


"Setidaknya, kamu masih punya niat buat tampil rapi. Tambah satu poin. Aku lega tahu kakakku masih punya perasaan normal. Soal siapa perempuannya, nanti aja deh aku korek. Tapi, ternyata kamu bisa juga ya. Aku jadi agak kagum. Kalau begitu..."


Tiba-tiba Hinata menjulurkan tangan, berdiri jinjit, dan mulai menyisir serta menata rambut Masaomi dengan cekatan. Masaomi tahu percuma melawan, jadi dia sedikit menundukkan kepala dan membiarkannya. Toh, kalau dia yang menata rambut sendiri, hasilnya cuma kayak kecoak berminyak. Kalau adiknya yang melakukannya, paling tidak hasilnya nggak akan lebih buruk.


"Yap. Oke juga, Kak. Kamu kan lumayan tinggi juga, jadi selama tampil bersih dan rapi, pasti oke. Baju yang cocok itu lho, kaos putih V-neck yang kamu punya. Iya, yang lehernya nggak melar. Terus padukan sama jaket musim panas yang kamu beli di outlet tempo hari. Bukan yang lengan pendek, yang tujuh per delapan itu. Masa kamu lupa sih? Yang waktu itu kamu ragu banget buat beli, terus aku yang maksain. Apa? Panas? Kalau panas tinggal lepas aja. Fashion tuh harus siap sedia! Untuk celana... pakai chino aja yang aman. Asal potongannya ramping. Yang gombrong itu haram. Sampah banget. Yah, juga jangan terlalu heboh dari awal. Kan kamu bukan mau makan malam di restoran yang pemandangannya kelihatan lampu-lampu malam kota."


Karena nggak punya aksesori, jadi ditiadakan. "Sip, beres!" katanya.

Setelah dipakaikan semua saran dari Hinata, Masaomi melihat dirinya di cermin dan merasa… ya, setidaknya tampak lebih baik dari sebelumnya. Kalau gadis SMP bilang oke, berarti lumayan, kan?


"Karena Kei-chan itu masuk kategori laki-laki ganteng, jadi dia bisa tampil maksimal. Tapi kamu, Kak, ini sudah batas maksimalmu. Kayak Kasuka-chan, dia bisa tampil beda dan nyentrik karena punya bakat dan pengalaman. Tapi kalau Kakak, bukan gaya modis yang perlu ditonjolkan, tapi kesan bersih dan rapi. Mengerti? Kalau mengerti, angguk. Ayo, angguk yang semangat!"

Mengabaikan fakta bahwa dia bisa memanggil teman kakaknya yang baru ditemui sekali dengan akrab memakai akhiran "-chan" seakan-akan itu hal biasa, aku pun mengangguk.

"Iya iya, makasih."

"Terus, jangan lupa cukur jenggot, cek bulu hidung, sikat gigi juga. Bawa sapu tangan, bawa dompet, ayo cepat keluar rumah!"

"Iya iya, aku tahu. Jadi──apa yang kamu inginkan sebagai imbalannya?"

"Haagen-Dazs! Yang edisi terbatas! Uang jajanku bulan ini lagi seret, tapi panas banget dan aku pengen makan es krim!"

"Oke deh. Nanti aku cariin di supermarket sepulangnya."

Paan! Kami saling tos. Kesepakatan berhasil tercapai. Untuk ukuran stylist pribadi, ini harga yang cukup murah.

Meski mulutnya tajam, dia tetap adik yang bisa diandalkan di saat seperti ini. Aku memang tidak punya hasrat apa pun pada tubuh adik kandungku yang kurus itu, tapi kalau dia diam saja, dia sebenarnya cukup cantik. Setidaknya cukup untuk membuatku berpihak padanya karena rasa sayang sebagai kakak.

"Baiklah," gumamku sambil menyemangati diri sendiri. Waktu janjian adalah pukul sepuluh, di depan Stasiun Universitas Medis. Dua stasiun dari sini dengan kereta, dan kami berencana jalan-jalan di area yang cukup ramai di sekitar sana.

Ini akan menjadi kencan pertamaku seumur hidup dengan seorang gadis. Akan bohong kalau aku bilang tidak gugup. Apalagi lawannya adalah Sasuga Hibari, gadis yang dikenal eksentrik.

Justru karena dia Sasuga Hibari lah, aku merasa seperti ini. Aku teringat pada sorot matanya yang hitam dan seakan menyedot siapa pun yang menatapnya. Meski dia mengaku dirinya aneh dan menjaga jarak, sorot matanya tetap lurus dan jujur. Dan seseorang dengan mata seperti itu, tak mungkin bicara sembarangan tanpa alasan. Tidak seperti aku yang tak punya kelebihan dan biasa-biasa saja.

Kalau semuanya berjalan lancar, bisa saja kami jadi sepasang kekasih. Dan dia cantik pula. Punya semangat seperti itu tentu bukan dosa.

"Kalau begitu, aku berangkat dulu. Semangat juga ya buat klubmu. Latihan atletik di luar ruangan di tengah panas kayak gini, apa kamu waras?"

"Aku sudah semangat sejak awal kok. Lagipula aku memang suka lari. Kakak juga jangan sampai ditolak ya!"

"Aku akan berusaha keras supaya kerja keras stylist andal ini tidak sia-sia. Suatu saat nanti, aku juga ingin dengar laporan kencan darimu. Tapi ya, dengan kamu yang hidupnya cuma seputar klub, sepertinya itu masih lama ya."

"Ugh, nyebelin banget. Baru sekali aja kencan udah merasa jadi ahli cinta, ya? Tapi setelah turnamen musim panas selesai, aku pensiun kok, dan bakal cari pacar. ──Yah, lebih baik begitu daripada terus murung dan bergetar. Semangat, deh!"

Demi menjaga wibawa sebagai kakak, aku berusaha tetap memasang ekspresi tenang dan melambaikan tangan. 

Kalau sampai aku ditolak hanya gara-gara girang berlebihan setelah kencan pertama, jelas itu bakal memalukan. Sebagai kakak yang harus lebih dulu mengalami hal ini dibanding adiknya, meningkatkan pengalaman kencan memang bukan hal buruk.

"Eh iya, aku lupa bilang. Lingkaran hitam di bawah matamu tuh kelihatan banget. Ketahuan banget nggak tidur, deh. Pijat aja biar peredaran darah lancar. Terus, pokoknya senyum! Wajah kakak tuh serius banget! Mata kakak sama sekali nggak senyum! Udah kayak tiga lapis putih pucat, bahkan lebih parah!"

Benar-benar adik yang bisa diandalkan.


Kusunoki Masaomi menyukai restoran keluarga.

Kalau diingat kembali, saat masih di kelas rendah SD, Masaomi yang waktu itu sangat pilih-pilih makanan merasa sangat terkesan dengan sistem restoran keluarga yang menyediakan berbagai jenis hidangan Jepang, Barat, maupun Cina dalam satu tempat. Jiwa itu tidak berubah banyak bahkan kini saat dia sudah SMA dan masalah pilih-pilih makannya mulai mereda.

Adik perempuannya yang sekarang mulai punya lidah yang rewel bahkan sampai mengeluh layaknya penonton yang mencemooh pitcher karena sengaja menghindari pemukul kuat, jika diajak makan di restoran keluarga saat sudah lama tidak makan di luar. Tapi suka tetaplah suka.

Sekarang ini, bisa dibilang daya tarik utama restoran keluarga adalah efektivitas biaya dan waktu berkat satu paket minuman bebas isi ulang. Namun, tempat ini juga menawarkan ruang yang cukup privat, cocok untuk bercakap-cakap santai dan menghabiskan waktu dengan nyaman—sebuah lingkungan yang tak mudah ditemukan.

Starbucks? Doutor? Maaf, saya tidak kenal bahasa-bahasa keren seperti itu.

Kalau misalnya ada pasangan remaja yang baru jadian dan ingin membicarakan sesuatu yang serius soal masa depan hubungan mereka, restoran seperti ini adalah tempat yang cukup terjangkau dan cocok.
Apakah ini masuk dalam jalur laki-laki keren atau tidak, itu bukan hal yang bisa dikomentari oleh Masaomi.

"Yah, gawat juga. Nggak nyangka bakal sepanas ini."

"Katanya sih hari ini termasuk hari dengan suhu ekstrem. Musim hujan juga sudah selesai, jadi memang tak bisa dihindari. Tapi tetap saja, ini menyebalkan."

Hanya karena ada AC, tempat ini rasanya sudah layak disebut sebagai tempat suci. Pada pukul sepuluh saat mereka bertemu pun, udara luar sudah begitu menyengat hingga rasanya tak sanggup lagi menengadah ke langit.

Kini, setelah lewat tengah hari, sinar matahari yang membakar menembus jendela dengan kekuatan yang hampir mematikan. Baik untuk kegiatan klub maupun pekerjaan, orang-orang yang dengan sengaja masuk ke dunia panas seperti itu tampak seperti sudah kehilangan akal sehatnya.

Sambil teringat akan adiknya yang beberapa tahun lalu berlari-lari dengan ritme ringan yang menyenangkan, Masaomi memilih untuk tidak banyak bicara hari ini. Toh, hari ini dia juga termasuk dalam golongan orang-orang yang keluar rumah dengan sengaja meski cuaca sangat panas.
Mungkin memang benar bahwa pria dan wanita yang masih sepenuhnya waras tidak akan bisa menjalani kencan. Tempat "pertempuran utama" di pagi hari adalah sebuah pusat perbelanjaan yang terletak dua stasiun dari Stasiun Universitas Medis, tepat di depan Stasiun Kuzuna.

Mereka mencoba menjalani "rencana peningkatan kemampuan bersosialisasi" dengan cara melihat-lihat toko-toko baju remaja perempuan yang biasanya bahkan tak dilirik oleh Masaomi, serta masuk ke toko-toko barang lucu.

Tentu saja, sebagai seorang laki-laki yang jauh dari target pasar toko-toko tersebut, tidak ada satu pun barang di dalamnya yang menarik bagi Masaomi. Satu-satunya barang yang menurutnya bisa dibeli adalah jaket warna biru nila model pasangan, tapi itu pun ditolak keras oleh Hibari yang berkata, “Aku benci warna itu.”

Akhirnya, mereka pulang tanpa membeli apa pun.

Sementara itu, Hibari sendiri terlihat sempat menatap sebuah jepit rambut berhias rumit dengan ekspresi enggan berpisah, tapi karena dia menyukai jepit yang sedang dipakainya sekarang, atau mungkin karena alasan keuangan, dia tidak jadi membelinya.

Masaomi sempat mengintip label harganya dan terkejut, namun itu tetap dirahasiakannya. Itu adalah momen di mana dia sekilas bisa melihat secuil dari perjuangan seorang gadis. Meski demikian, bukan berarti Masaomi pulang dengan tangan kosong.

"Ngomong-ngomong, Sasuga ternyata benar-benar anak orang kaya ya. Toko yang kamu masukin semuanya jual baju dengan harga kayak buat bangsawan. Kamu sering beli yang kayak gitu?"

"Mana mungkin. Kalau aku sering beli, uangku langsung habis. Biasanya aku cuma sering mampir dan lihat-lihat, lalu kalau ada momen penting, baru beli satu pakaian yang benar-benar kupilih."

Hanya saja, bisa membeli "satu pakaian penting" itu sendiri sudah luar biasa. Tapi mungkin pandangan mereka memang berbeda.

Bagi Masaomi, berbelanja adalah tentang mengumpulkan banyak barang murah. Pandangan itu sepertinya tidak akan mudah berubah.

"Berarti pakaian yang kamu pakai sekarang ini adalah hasil seleksi dari pakaian-pakaian penting, ya. Sebuah kehormatan buatku sebagai laki-laki."

"Begitulah. Ini kan kencan pertama. Kalau tidak tampil pantas, rasanya tidak sopan. Aku juga sempat galau di depan cermin, lho. Tahan gak, penampilanku? Hehe~"

Nada bicaranya memang terkesan tinggi hati, tapi tatapannya sedikit menghindar, seakan malu. Melihat sisi tak terduga darinya itu membuat Masaomi merasa diuntungkan meski mereka tidak membawa pulang apa-apa dari kegiatan belanja tadi. Karena itu, ia memutuskan untuk menikmatinya baik-baik. 

Gaun berwarna biru muda yang tipis dan cocok untuk musim panas, dilapisi cardigan putih transparan. Bagian atas perut dihiasi pita biru kecil yang memberi kesan manis namun tidak norak, menciptakan aura bersih dan anggun yang berpadu sempurna dengan paras cantiknya.
Rambut panjangnya yang mungkin terasa panas, diikat satu dan menjuntai seperti aliran air jernih dari benang sutra di punggungnya. 

Warna rambutnya yang agak cokelat terang adalah warna asli, tampaknya. Tapi karena ini Masaomi, dia tidak bisa berkata "kamu cantik" atau "kamu cocok dengan pakaian itu."

Yang bisa keluar dari mulutnya hanyalah komentar seperti, "Kalau warnanya begitu, pasti ribet pas tes warna rambut, ya." Kalau Hinata ada di situ, mungkin dia akan langsung memotong nilainya sepuluh ribu poin. Mari kita turunkan pandangan Mata Kusunoki Masaomi. Bukan karena niat tidak senonoh, melainkan murni didorong oleh keinginan dalam hati yang bernuansa dokumenter untuk lebih mendekati sosok Sasuga Hibari di hari liburnya.

Meski kini tersembunyi di bawah meja dan tak terlihat, kaki putih bak porselen yang terlihat sama terbukanya dengan rok seragam sekolah itu tampak luar biasa mencolok. Panjang! Langsing! Putih! Tiga keunggulan tersebut membuatnya layak mendapat penghargaan. 

Daya hancur penampilan gadis dengan pakaian kasual sungguh luar biasa. Ngomong-ngomong, ini memang terlalu menyimpang, tetapi Masaomi Kusunoki memang seorang penggemar kaki.

“Kalau boleh jujur, itu tetap saja tidak sopan. Akan lebih baik kalau kamu menyembunyikan pandanganmu sedikit, itu akan memberi kesan lebih sopan dan kesatria.”

“Kalau aku juga jujur, apa salahnya menatap pacarku sendiri? Aku hanya menjalankan hak istimewa yang telah kuperoleh. Serius deh, kakimu luar biasa. Aku rasa kamu layak dapat Hadiah Nobel untuk Kaki Tercantik.”

“Apakah itu pujian yang pantas membuatku senang…? Nobel mungkin menangis di dalam kuburnya sekarang.”

Meski disertai helaan napas keheranan, tidak tampak bahwa dia tersinggung.  Setidaknya, melihat bagaimana mereka bisa saling melempar candaan santai seperti ini, tampaknya dinding antara mereka mulai runtuh.

Sasuga Hibari tampaknya adalah tipe yang tenang dan kalem saat berbelanja, tapi dalam kegiatan window shopping tadi, percakapan tetap menjadi kegiatan utama. Bahkan jika Masaomi tak begitu tertarik dengan toko-tokonya, dia merasa tak terlalu bosan karena bisa mengintip sebagian kecil dari keseharian Hibari. Dari fakta bahwa dia ternyata suka hal-hal imut seperti Pooh-san, muncullah ide untuk mampir ke toko barang-barang fancy. Tentu saja, masih ada banyak dinding psikologis yang harus mereka lewati ke depannya.

“Kalau begitu, aku ambil minuman dulu. Mau yang mana?”

“Aku bisa ambil sendiri, itu saja.”

“Biar aku saja yang ambil.”

“...Kalau begitu, tolong teh panas, ya. Terima kasih.”

“Siap laksanakan.”

Tanpa menunggu lama, Masaomi langsung menuju sudut drink bar, menuangkan teh panas untuk Hibari dan cola untuk dirinya sendiri. 

Meski sedang musim panas, Hibari tetap memilih minuman panas—Masaomi yang kurang pengalaman tidak tahu apakah ini hal yang umum di kalangan gadis, atau memang hanya kebiasaan Hibari saja.

Sambil menuangkan cola yang berbunyi psshhh dengan suara khas karbonasi, Masaomi kembali mengingat kejadian pagi tadi. Tak bisa dipungkiri bahwa semuanya mengalir begitu saja seperti suara karbonasi itu. Bahkan sekarang pun masih berlanjut. Mereka adalah pasangan kekasih. Bukan karena gelombang radio, bukan karena medan magnet, bukan karena kekuatan magis. Hanya pasangan biasa.

Sebagian dari dirinya memang mengharapkan kisah seperti ini, namun sebagian lagi merasa, “Bukan begini seharusnya.” Bukan karena bosan, dan bukan pula berharap pada konflik, tapi ada perasaan yang sulit dia pahami sendiri, hanya menyisakan kegelisahan samar. Haruskah dia menyelami lebih jauh?

“Nih, minummu.”

“Terima kasih.”

Dengan gerakan anggun yang menunjukkan latar belakang pendidikannya, Hibari menyesap teh dari cangkir murah itu. Meskipun mereka seumuran, Masaomi sempat merasa ada sisi dewasa dan memesona darinya, membuat hatinya sedikit terguncang.

“Kalau begitu—mari masuk ke inti pembicaraan.”

“Ya. Kalau hanya menunda-nunda, kita hanya akan saling mengintip isi hati.”

Mungkin kalau dia tipe cowok keren yang sudah biasa menghadapi situasi ini, dia bisa saja berkata, “Kalau menyenangkan, tak masalah kalau kita terus saling menebak.” Tapi Masaomi tak cukup berani untuk hal itu.

“Kali ini, aku harap kamu benar-benar mau mendengarku, ya?”

Sikap Hibari sejak awal memang tegak dan anggun, tetapi kini dia menatap Masaomi lurus-lurus dengan keteguhan yang bahkan lebih kuat.  Tenang dan tidak gentar, seolah sedang menonton film yang telah ditontonnya berkali-kali. Kepercayaan diri yang seperti itu, justru terasa sedikit menyebalkan. Masaomi pun memperbaiki posisi duduknya. Dalam hati ia bergumam, “Ayo, katakan saja.”

“Ada dunia spiritual bernama Astral Side.”

Bukan “kau tahu, kan?” atau “pernah dengar?”—pembukaan yang langsung ke pokok pernyataan.

“Aku adalah seorang Astral Diver, yaitu orang yang bisa melepaskan jiwa dari tubuh dan menyelam ke Astral Side untuk menjaga ketertiban di sana. Aku hidup dengan menjadikan dunia itu sebagai pusat kehidupanku. Dari sudut pandangmu, mungkin bisa dibilang ini seperti ‘terpindah ke dunia lain’. Dunia fisik tempat kita berada ini hanyalah kehidupan semu saja. Inti dari diriku ada di dunia sebelah sana, dan aku yang ada di sini bukanlah diriku yang sesungguhnya. Artinya, meskipun aku berkencan denganmu, aku akan selalu mengutamakan dunia spiritual Astral Side, bahkan jika aku sedang sekolah, berkencan, atau mandi. Nah, dengan keadaan seperti ini, apakah kamu tetap ingin berpacaran denganku?”

Hujan istilah khusus mendadak membuat Masaomi kebingungan. Dulu dia pernah membaca novel seperti ini—dimana penjelasan tentang latar dunia dimulai dari awal dengan penuh istilah yang membuat pembaca merasa seperti sedang membaca kamus, dan tiba-tiba cerita sudah selesai tanpa sempat memahami semuanya. Dan kini, wahana Yun-yun Attraction milik Sasuga Hibari telah dibuka. Sekali tertinggal, tak bisa kembali. Otak pun langsung bekerja penuh sejak awal.

“Kalau disederhanakan, kamu punya sesuatu yang lebih penting dan sering kali menyita waktu, jadi kamu tidak akan bisa banyak meluangkan waktu untukku. Tapi kamu tetap ingin tetap pacaran, begitu kan? Begitu saja?”

“Ya. Tapi bukan sesuatu yang aku sukai—melainkan misi, atau takdir, bisa dibilang.”

“Kedengarannya berlebihan, tapi sepertinya memang tidak berlebihan. Karena kamu mengatakannya dengan wajah serius.”

“Ya. Aku sejujur itu, sama sepertimu. Aku benci orang yang suka berbohong.”

“O-oh... kamu tidak suka pembohong, ya.”

“Ada yang ingin kamu katakan?”

“Tidak sama sekali. Lagipula, pembohong hanyalah permulaan dari seorang badut.”

“Kalau kamu mau menyindir bahwa aku ini badut, silakan saja.”

Bukan karena ingin mengejek. Ekspresi Hibari sangat serius. Itu jelas bukan tatapan seperti "Aku akan diam-diam memberitahumu latar cerita novel baru yang kupikirkan semalaman." Yang dibutuhkan bukanlah kritik, kesan, apalagi pendapat—yang dibutuhkan adalah keputusan dari Masaomi.

“Jadi... maksudku, bagaimana caranya pergi ke Dunia Roh—Astral Side, ya?”

“Kalau kamu memusatkan kesadaran, kamu bisa pergi ke sana. Atau, bisa juga terjadi pemanggilan paksa, baik dilakukan atau dialami.”

“Lalu, bagaimana dengan dirimu selama itu? Apakah kamu akan terlempar ke dunia lain dan menghilang begitu saja?”

“Tubuhku tidak bisa pergi ke Dunia Roh—Astral Side. Yang bisa naik ke dimensi lebih tinggi hanyalah bagian spiritual, yaitu kehendak, perasaan, atau hal-hal tak berwujud lainnya. Karena itulah disebut Dunia Roh—Astral Side.”

Begitu, jadi ini benar-benar ‘yun-yun’. Aku hampir saja menyindir kalau mungkin orang-orang yang sedang menonton video di daerah ini menerima gangguan sinyal, tapi untungnya, aku berhasil menahan ucapan itu dan menekannya ke dalam mulut yang setengah terbuka. Dan penjelasan tentang dunia Astral Side itu terus mengalir tanpa henti. 

Kesadaran sebagai seorang Astral Diver atau petualang spiritual, pengetahuan dasar, hingga pertarungan yang mempertaruhkan nasib dunia—mungkin tak banyak orang yang pernah mengalami kencan pertama sambil membicarakan hal-hal seperti ini secara gamblang.

Meskipun kepalaku dihujani udara dari pendingin ruangan yang dinginnya berlebihan, rasa panas masih tersisa. Untuk menerima gelombang sinyal sekuat ini yang bahkan kerja penuh otak pun tak mampu mengejarnya, aku mencoba mendinginkan diri dengan paksa.

Masaomi juga cukup menyukai game dan manga, jadi kalau dipandang sebagai "cerita dengan latar seperti itu", sebenarnya tidak sulit untuk dipahami. 

Bahkan terasa agak nostalgik. Namun tentu saja, semua itu tidak terasa nyata. Seolah-olah ada dunia sejati yang berbeda dari dunia ini—kalau di masa SMP, mungkin aku akan antusias dan langsung naik ke kapal petualangan itu. Tapi di zaman sekarang, aku tidak bisa naik ke kapal yang bahkan tidak punya pendingin udara. Karena itu tidak realistis dan tidak biasa.

“Tapi tetap saja, Dunia Roh—Astral Side, ya.”

“Tidak perlu dipercaya. Aku hanya memberitahumu apa yang aku yakini.”

Dengan gerakan seolah menahan sesuatu, dia menyentuh penjepit rambutnya dan mengucapkan hal itu. Sikap menjauh itu apakah tulus atau hanya basa-basi—Masaomi tidak bisa membacanya dengan pasti. 

Namun, entah mengapa ia merasa wajah Hibari tampak sedikit sedih.
Seolah-olah ia sedang meyakinkan dirinya bahwa "karena tidak dimengerti, maka tidak ada pilihan lain."

Ada istilah “cinta itu buta.” Dunia spiritual dalam diri seseorang, tempat di mana jika kau percaya maka yang hitam pun bisa tampak putih. Sama seperti Hibari yang percaya sepenuhnya pada sisi aneh dirinya, jika Masaomi bisa mempercayai Hibari sepenuhnya, maka benar atau salah dari apa yang mengikutinya mungkin tidak terlalu penting. Dengan berpikir demikian, rasanya ia bisa memandang semuanya dengan lebih sederhana.

“Apa ada cara untuk membuktikannya? Maksudku... soal ‘dive’ atau apalah itu.”

“Tidak ada. ──Tidak, kalau dibilang tidak bisa, sebenarnya bisa... tapi pada akhirnya itu soal kepercayaan.”

“Baiklah, coba saja lakukan.”

Masaomi menjawab tanpa ragu.

Jika memang ada cara, maka apa pun itu, ia harus melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kalau semua ini cuma khayalan di dalam otak, dia angkat tangan. Tapi karena Hibari, yang mengaku benci kebohongan, tidak dengan tegas mengatakan itu tidak mungkin, maka soal jaminan berupa "kepercayaan" adalah tanggung jawab Masaomi sendiri—begitulah pikirnya, hingga ia tiba-tiba merasa aneh di dalam hati.

──Eh, kenapa aku jadi terdengar positif, ya?

Padahal awalnya, ia hanya memikirkan bagaimana cara menyudahi pengakuan palsu ini. Tapi sekarang, dia justru memikirkan cara untuk mempercayai dunia ‘gelombang aneh’ milik Hibari. Ia mencari-cari kredibilitas dari logika yang samar, tidak pasti, dan penuh celah. Hanya karena Hibari berkata begitu. Itu saja alasannya.

──Dari “toh tak mungkin” menjadi “bagaimana caranya supaya mungkin,” ya.

Bagaimanapun hasil akhirnya, di dalam hati terdalamnya, ia yakin bahwa pada akhirnya semua ini tidak penting. Karena semuanya sudah salah sejak awal, maka sekalipun direset, ia hanya akan kembali ke titik semula. Masaomi akan kembali ke dunia yang membosankan dan biasa-biasa saja, sedangkan Hibari akan kembali tenggelam dalam dunia batin dan khayalannya. Keduanya akan menarik garis sejajar yang baru dan mengucapkan selamat tinggal.

Namun, kalau Hibari memang ingin mengungkapkan bahwa semua ini hanyalah bagian dari permainan hukuman, maka dia pasti sudah melakukannya kemarin, setelah sekolah, saat mereka mengobrol berdua. Bahkan Hibari sempat menawarkan jalan keluar istimewa berupa ‘cooling-off’. Dan yang memilih untuk tidak mengakhiri semuanya begitu saja tanpa memberitahukan hal itu kepada Keiji—adalah Masaomi sendiri. 

Maka, ia pun harus terus melanjutkan usahanya sampai akhir. Apalagi Hinata juga sudah sempat memberinya penilaian. Separuh harga diri seorang lelaki terletak pada menepati janji. Separuh sisanya terletak pada penampilan. Dan Masaomi merasa bahwa tekad dan penampilan—adalah dua hal yang sangat cocok dipertaruhkan sebagai bagian dari masa muda di usia remaja.

Itulah yang disebut sebagai seorang siswa SMA pada umumnya.

“Kau ini benar-benar tidak biasa, ya.”

“...Itu menyinggung. Padahal aku ini orang yang paling berusaha menjadi biasa.”

Sungguh pernyataan yang menyebalkan.
Mungkinkah merasa kesal karena disebut tidak biasa itu justru menunjukkan bahwa aku memang tidak biasa? Menjadi ‘biasa’ itu ternyata sulit.

“Biasanya, orang akan mendekat dengan senyum palsu, berkata ingin mendengar ceritaku padahal tidak benar-benar ingin tahu. Lalu saat aku mulai bercerita, mereka akan menunjukkan wajah jijik. Meski sempat berkencan, setelah mendengar ceritaku, mereka akan memegangi kepala, marah-marah karena merasa tertipu, atau pura-pura ke toilet lalu tak pernah kembali. Tapi kemarin dan hari ini, kamu mendengarkan dengan serius seperti ini—hanya dengan itu saja, sudah jelas kamu bukan orang biasa. Apalagi sampai bilang ‘coba buktikan’ ke orang yang jelas-jelas mencurigakan. Itu... benar-benar tidak biasa.”

Riwayat ‘gemilang’ itu kemungkinan besar adalah kisah nyata. Tapi lebih dari sekadar urusan pacar atau keanehan, semua itu terdengar seperti daftar perilaku yang seharusnya tidak dilakukan oleh manusia normal. Sulit dipahami, tapi mungkin itu tadi adalah bentuk pujian?

“Bukan dengan gaya rayuan atau gombalan murahan, tapi dengan cara yang kuno seperti memanggilku dan menyatakan cinta—sejujurnya, kamu adalah orang pertama yang melakukannya padaku. Jadi...”

Hibari terlihat ragu beberapa saat. Namun begitu dia menyadari bahwa Masaomi tidak sedang mengejek atau mempermainkannya, dia menghela napas dalam-dalam yang sarat dengan rasa cemas dan lega secara bergantian.

“Kalau begitu, setelah ini aku mungkin akan terlihat seperti kehilangan kesadaran, tapi jangan khawatir. Mungkin... sekitar sepuluh menit, aku akan kembali. Jadi, cukup diam dan perhatikan saja, ya.”

“Baik, aku mengerti.”

“Satu hal lagi. Ini sangat penting. Karena ini benar-benar soal kepercayaan. Aku melakukan ini karena aku percaya padamu.”

Dengan lirikan mata ke atas dan gerakan ragu seolah menahan diri untuk berbicara, jantung Masaomi berdebar kencang. Tak diragukan lagi, Hibari adalah gadis yang cantik. Namun saat ini, dia terlihat lebih manis daripada cantik. Kalau bisa melihat ekspresi seperti ini, bahkan kegilaan musim panas pun rasanya tidak terlalu buruk.

"Ada apa, tiba-tiba serius begitu?"

“──Selama aku sedang melakukan dive, jangan lakukan hal aneh-aneh ya.”

Begitu ia mengatakan itu dengan senyum tipis yang bahkan bisa membuat iblis pun membeku, tubuh Hibari tiba-tiba terhuyung.

Saat Masaomi masih kebingungan, ia menunduk pelan di atas meja dan tidak bergerak lagi. Rambutnya yang tergerai seperti ekor tampak naik turun perlahan seiring napasnya, seperti seorang atlet yang tengah mengerahkan seluruh tenaga berlari cepat, meskipun wajah tidurnya tetap tenang dan damai. Tentu saja, ia masih bernapas. Seperti yang telah ia katakan sebelumnya, inilah yang disebut sedang dive.

Dari luar, ia terlihat tak berbeda dengan Keiji yang tidur nyenyak secara strategis saat pelajaran klasik, atau Kasuka yang tertidur ringan saat berjemur di bawah sinar matahari. Jika hanya ini yang dijadikan bukti bahwa “dunia spiritual Astral Side” itu ada, bukankah agak sulit dipercaya? Atau, apakah akan muncul bukti lain yang bisa meyakinkan? Dan ada satu lagi hal yang menjadi masalah yang cukup fatal bagi harga diri seorang laki-laki seperti Masaomi.

“Bagaimana kelihatannya di mata orang lain, kalau pacar tidur pulas di restoran keluarga saat sedang kencan? Ini… mungkin bukan hal yang biasa, ya.”

Jangan-jangan, ucapan “aku percaya padamu” tadi adalah bagian dari permainan memalukan ini yang sudah diprediksi olehnya? Tak diragukan lagi, Hibari adalah gadis yang luar biasa. Benar-benar luar biasa, secara harfiah.

Kalau ini adalah waktu istirahat di sekolah, waktu akan berlalu hanya dengan berkedip. Tapi waktu yang dihabiskan hanya dengan “berada di tempat” ternyata terasa cukup panjang. Karena tak mungkin meninggalkan Hibari dalam keadaan seperti ini untuk pergi ke toilet, setelah menyampirkan jaket di bahunya, satu-satunya yang bisa dilakukan Masaomi adalah diam-diam memandangi gadis itu. 

Namun, apa yang sedang dilakukan Hibari dalam kondisi yang disebut 'dive' itu tidak diketahui, dan di dunia luar tempat Masaomi berada, yakni restoran keluarga ini, tidak ada perubahan sedikit pun.

Dengan terpaksa, Masaomi membuka aplikasi berita di ponselnya dan mulai membaca secara acak. Aplikasi itu ia unduh karena bujukan Hinata yang berkata, “Pria yang kompeten selalu mengikuti isu-isu terkini.” Meskipun awalnya enggan, aplikasi itu ternyata cukup berguna untuk menghabiskan waktu seperti ini. 

Disebutkan bahwa tren fashion musim panas tahun ini adalah “Shinobi”! Tunjukkan kesetiaanmu pada si dia lewat pakaian tradisional Jepang! 
Disebutkan juga telah terjadi insiden penganiayaan misterius. Sebuah tragedi di siang bolong yang membuat seorang agen investigasi FBI berkemampuan supernatural turun tangan. 
Disebutkan lagi tentang makanan penutup luar biasa! Sirup di atas sirup—musim panas manis yang bisa bikin mual! 
Disebutkan pula bahwa jumlah penderita CCD meningkat. Para peneliti dari rumah sakit besar memaparkan kecenderungan penyebaran dan obat yang mungkin bisa dikembangkan.
Disebutkan juga: sudah setahun berlalu. Mengejar jejak insiden itu—serial file kasus yang belum terpecahkan, edisi kedua: kecelakaan lalu lintas.

Banyak dari artikel itu terasa lebih seperti kolom gosip ketimbang berita sungguhan. Salah satu lokasi kejadian dari insiden dalam topik kedua adalah Kota Hakibaki, tepat di sebelah Kota Kutsuna. Jika diingat, Keiji dan Kasuka tinggal di daerah sekitar sana, jadi rasanya ini bukan sepenuhnya urusan orang lain. Masaomi berpikir untuk bertanya soal ini nanti. Tapi kalau sudah ditangani oleh agen berkemampuan supernatural, seharusnya tidak ada masalah. Lagipula, dibanding dunia spiritual yang disebut Hibari sebagai “Astral Side”, ini mungkin masih lebih masuk akal. Setidaknya, tidak ada alasan bagi Masaomi untuk ikut campur.

Gambar makanan penutup selanjutnya adalah teror manis yang langsung menghantam lambung: pancake yang tenggelam dalam kolam sirup. Karena biasanya anak perempuan menyukai makanan manis, Masaomi sempat berharap Hibari pun begitu… tapi harapan itu terasa bodoh. Tidak mungkin ia ingin jadi pacar yang mempercepat risiko diabetes pada gadis itu. Lupakan saja.

Kemudian muncul laporan lanjutan tentang kecelakaan lalu lintas yang belum terpecahkan. Disertai ratapan menyayat hati dari keluarga korban, serta foto-foto mereka yang tengah menjalani rehabilitasi akibat efek jangka panjang. Masaomi sendiri pernah dirawat di rumah sakit setelah ditabrak mobil tepat sebelum masuk SMA, jadi membaca ini membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Jika melihat dari waktunya, bukan tidak mungkin wajah Masaomi yang bodoh itu akan muncul di artikel ini. Tapi untungnya, dalam kasus Masaomi, si pelaku tidak melarikan diri setelah menabrak, jadi bisa dibilang masih aman. Meski begitu, bagi Masaomi sendiri, kejadian itu sudah cukup untuk mengguncang pandangan hidupnya dari akar—jadi tetap saja rasanya tidak “aman.”

“──Aduh.”

Tiba-tiba, terasa nyeri di punggung tangan kanannya yang sedang menggenggam ponsel, membuat Masaomi hampir menjatuhkannya. Ia segera menangkapnya kembali. Apakah luka lamanya kambuh karena memikirkan kecelakaan tadi? Atau mungkin ia tak sengaja menyenggol sesuatu di restoran saat berkencan? Saat hendak memeriksa sumber rasa sakit itu dan mengalihkan pandangan dari layar…

“Hmm…”

Suara napas mengandung daya tarik yang langsung mengguncang otak membuat Masaomi refleks menoleh. Saat itu juga, Hibari mulai mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertelungkup. Masaomi melirik ke layar ponselnya—sebelas menit telah berlalu. Mungkin memang sesuai perkiraan.  Hibari memandangi sekeliling seperti anak kecil yang tersesat, lalu dengan susah payah memusatkan pandangannya ke Masaomi. Ia tersenyum kecut sambil mengendurkan pipinya sedikit.

“Setelah selesai dive, rasanya kesadaran jadi kacau. Seperti habis bangun tidur, jadi agak memalukan.”

“Jangan bilang hal yang bikin kamu terdengar seperti pecandu game. Dan memang itu kelihatannya seperti baru bangun tidur, kan.”

“Dan juga… ini, terima kasih. Berkat ini aku nggak kedinginan.”

Hibari menerima jaket musim panas dari Masaomi. Tadinya Masaomi, yang merasa sangat gerah meski sudah kena AC, menyampirkannya ke pundak Hibari sebagai langkah darurat. Ternyata, itu meninggalkan kesan positif. Ia merasa bersyukur pada Hinata yang menyarankan, “Kalau kepanasan, tinggal lepas saja,” dan berpikir akan membelikan dua cup Häagen-Dazs saat pulang nanti.

“Jadi, dari semua ini, apa yang bisa disimpulkan?”

“Kamu ingat waktu aku bilang kalau aku sedang menyelamatkan dunia?”

Itu kejadian kemarin, jadi tentu Masaomi masih mengingatnya. Saat ia hendak menyatakan bahwa pernyataan Hibari adalah hukuman dalam permainan, Hibari memang sempat mengatakan hal itu.

“Di Astral Side, aku melukaimu.”

Hibari mengambil pisau dari antara alat makan di sisi meja, lalu memperagakan gerakan seperti menyayat bagian dari lengan ke telapak tangan.

“Dunia spiritual (astral side) dan dunia nyata (material side) terhubung erat. Jadi, sensasi atau luka yang terjadi di salah satu sisi akan memberikan dampak pada sisi lainnya. Untukmu, luka yang terjadi di sisi spiritual seharusnya memengaruhi tubuh fisik. Apa ada bagian yang terasa sakit?”

Tentu saja ada.

Masaomi buru-buru melihat punggung tangan kanannya. Di sana, muncul bekas luka seperti lecet selebar empat sentimeter. Meskipun tidak berdarah, jelas terlihat bekasnya.

Ia memandang luka itu seakan sedang memeriksa barang bukti. Rasa sakitnya hanya terasa di awal, tapi bekasnya cukup menyeramkan. 

Kalau cuma luka lecet ringan, masih bisa dimaklumi. Tapi bekas seperti luka bakar seperti ini jelas tidak ada dalam ingatannya. Dengan kata lain, pengaruh dari Astral Side yang dialami Hibari muncul dalam bentuk luka di tubuh Masaomi—itu artinya...

“Tapi tunggu dulu. Kamu memang bisa pergi ke Astral Side, tapi aku tidak, kan? Jadi kenapa kamu bisa melukaiku di sana? Lagipula, dari gerakanmu tadi, seharusnya aku terkena luka besar. Tapi ini cuma luka ringan. Yah, bukan berarti aku ingin terluka parah juga sih.”

“Menurut para Diver yang kukenal, kesadaran manusia saling beresonansi di kedalaman alam bawah sadar. Jadi, walaupun tidak melakukan dive, kesadaran manusia tetap eksis di sana. Diver itu seperti karakter utama dalam game, dan orang lain itu seperti NPC—meskipun begitu tetap ada di dalam dunia itu. Dan karena kamu telah menjadi ‘Guardian’, maka hubungan kesadaranku denganmu menjadi lebih kuat. Itu sebabnya dampaknya terhadapmu juga membesar. Kurasa begitu.”

Ia berbicara tentang hal mengerikan dengan wajah serius—bahwa bahkan NPC pun bisa memengaruhi dunia nyata jika dicabik-cabik di dunia spiritual.

“‘Guardian’ itu entitas yang menjadi pasangan dari sang Mesias Penyelamat. Kalau dalam game, mereka seperti shikigami atau makhluk panggilan yang bertugas membantu. Seorang Diver bisa memanggil siapa pun dari dunia nyata menjadi Guardian-nya. Dari pengalamanku, hanya satu orang yang bisa dijadikan Guardian dalam satu waktu, dan tidak harus pacar.”

Masaomi merasa seperti ditolak secara halus, seakan Hibari mengatakan, “Bukan kamu pun bisa.”

“Orang yang dipilih sebagai ‘Guardian’ akan direplikasi secara lebih kuat di sisi astral. Tidak seperti kami, tubuh asli mereka masih bisa bergerak di dunia nyata. Tapi seperti yang kamu lihat, kalau terjadi sesuatu pada Guardian di sisi astral, maka akan ada dampak nyata di sini. Itu sebabnya, biasanya yang dipilih adalah seseorang yang benar-benar bisa dipercaya, atau…”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada seperti sedang menguji:

“…seseorang yang benar-benar tidak penting. Bahkan seseorang yang tak kamu kenal sama sekali pun tak masalah jika hanya akan dijadikan tameng pelindung dari percikan api.”

Apa sebenarnya yang dilakukan Mesias Penyelamat di Astral Side masih belum jelas. Tapi setidaknya, mereka melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan luka—dan Guardian pun tak luput dari risiko itu. Hibari sangat sadar akan hal itu. Dan meski begitu, ia tetap memilih Masaomi sebagai Guardian-nya.

“Jadi ‘tameng pelindung’ itu artinya sebenarnya ‘Guardian’, ya?”

“Setiap orang mengalami reaksi yang berbeda saat kembali ke dunia nyata. Ada yang luka fisiknya sama beratnya, ada juga yang hanya ringan. Katanya sih tergantung seberapa kuat hubungan mental antar keduanya. Bagaimanapun, Guardian yang merasakan dampak lebih kecil dianggap lebih ‘tahan lama’, dan dengan kata lain, lebih unggul. Dalam kasusmu… ya, sejauh ini bisa dibilang cukup unggul.”

“Padahal kamu baru saja menjelaskan sesuatu yang luar biasa, tapi kamu terlalu tenang.”

“Berdasarkan pengalamanku sejauh ini, kamu yang memikirkan hal seperti itu dengan serius juga cukup aneh, tahu? Lagipula, kalau kamu mengira aku berbohong, aku tidak keberatan memperagakannya sekali lagi. Bagaimana kalau kali ini pakai tangan yang satunya?”

Dengan tatapan mata yang tidak bergeser sedetik pun, dia mengucapkan hal itu dengan tenang dan tanpa ragu.  

Aku menelan ludahku. Beberapa kata-kata yang pastinya sudah berkali-kali diterima oleh Hibari, yang entah termasuk pertanyaan atau tudingan, terlintas dalam benakku. Sejujurnya, sebagian dari kata-kata itu nyaris keluar dari mulutku. Namun meskipun begitu, aku berhasil menelannya kembali bersama ludah pahitku. Panas dan beratnya kata-kata itu terasa mengalir begitu saja, jauh lebih membuat dada sesak daripada liputan tentang makanan manis di TV.

Ternyata aku lebih tenang daripada yang kukira. Mungkin karena sudah melepas jaket dan jadi lebih sejuk, atau mungkin karena telah beralih ke sudut pandang yang sedikit lebih objektif setelah membaca berita tadi.

—Aku tidak boleh salah paham.

Yang memintanya untuk membuktikan adalah diriku sendiri. Padahal Hibari sudah memberiku banyak kesempatan untuk “mengakhiri” ini, tapi aku sendiri yang dengan keras kepala menolaknya. Kalau sekarang aku mengeluh hanya karena sedikit kerugian pribadi, bukankah itu terlalu murahan sebagai seorang laki-laki?

Masih banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Saat aku terluka di Dunia Spiritual—Astral Side, tubuhku benar-benar terluka di dunia nyata. Waktunya sangat pas, tidak bisa dibantah.

Kalau begitu, meskipun terdengar mengada-ada, apa yang dikatakan Hibari adalah kebenaran. Fenomena yang begitu sulit dipercaya itu, bagi dia adalah kenyataan. Ekspresi Hibari tidak berubah. Itu wajah yang sudah beberapa kali kulihat sejak kemarin sepulang sekolah sampai hari ini. Senyum kecil yang menyembunyikan nuansa ‘putus asa’ dan ‘akhir.’

Padahal aku merasa hubungan kami mulai membaik, tapi dia malah mendorongku menjauh seperti ini. Seolah berkata, “Kamu juga pasti sama saja, kan?”

“Seperti yang bisa kamu lihat, Dunia Spiritual—Astral Side dan Dunia Nyata—Material Side saling memengaruhi. Ketika masalah di Dunia  Spiritual terselesaikan, itu langsung menyelaraskan Dunia Fisik kita ini. Dengan kata lain, keteraturan di Dunia Spiritual langsung berkaitan dengan keteraturan di Dunia Nyata. Karena itu, dengan menyelamatkan Dunia Spiritual, aku juga menyelamatkan dunia ini—”

Hibari mengangkat tangan halusnya dan mengayunkannya seperti memanggilku. Gerakan tangannya itu seakan-akan memaksaku mengangguk menyetujui kata-katanya, lalu—

“—Tapi itu bisa jadi hanya delusi juga. Karena aku tak punya cara untuk benar-benar membuktikannya padamu.”

Jari-jarinya yang seperti porselen berbalik dan menyusuri penjepit rambutnya. Seolah menjadi tanda perpisahan.

“Kupikir kamu akan menunjukkan ekspresi takut atau jijik, tapi kamu ternyata cukup tenang, ya.”

Sama sekali bukan bercanda. Berhenti main-main. Dia benar-benar keterlaluan. Dasar gila.

“Yah, tapi sekarang kamu tahu kan. Aku ini cuma perempuan seperti itu. Menyebarkan delusi aneh, menyakiti dan mengancammu dengan semacam trik, lalu menakut-nakuti pria yang mendekat agar menjauh dariku—kamu memang yang pertama sampai sejauh ini, tapi sebelumnya sudah banyak laki-laki yang ‘mengembalikan’ aku, lalu menyebarkan berbagai macam omong kosong tentangku. Kamu pun pasti tahu soal itu. Jadi kamu tak perlu repot-repot memilih utang bermasalah seperti aku.”

“Sudahlah, jangan bicara seperti itu.”

“...Maaf. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Itu hanya keluhanku. Lupakan saja.”

Perempuan menjijikkan. Jangan seret aku ke dalam masalahmu. Mau menarik simpati? Apa itu, latar belakangmu dari anime?

—Pasti selama ini, dia sudah berkali-kali diserang dengan hinaan tak berdasar seperti itu dari laki-laki.

“Bukan begitu.”

Aku memotong perkataannya. Dia ini benar-benar tidak mengerti apa-apa. Sasuga Hibari, benar-benar wanita yang luar biasa. Dia tidak tahu sama sekali nilai yang dimiliki dirinya terhadap Kusunoki Masaomi—

“Berhentilah langsung menyimpulkan bahwa tidak akan ada yang mengerti kamu. Dan jangan bilang hal seperti ‘aku sudah sering didekati laki-laki’ lagi. Itu cuma bikin aku cemburu sama pacarku sendiri. Yah, walaupun aku adalah yang pertama untuk hal ini, rasanya tidak terlalu buruk, sih. Sedikit sakit, tapi ya begitulah, kurasa.”

Tatapan Hibari masih tetap mengunci ke arahku—tapi kedipan matanya bertambah tidak wajar, berkedip-kedip cepat. Wajahnya seolah berkata, aku tidak mengerti apa yang sedang kamu katakan.
Kalau boleh, aku ingin bilang dengan suara keras: justru aku yang tidak mengerti kamu.

“Aku ini pacarmu. Kalau pacarku bilang begitu, aku akan percaya. Bukankah kita jalan hari ini, kepanasan sampai rasanya dunia ini marah, demi itu?”

“Itu benar, tapi...”

“Tidak ada ‘tapi’. Kalau aku bilang aku percaya, berarti aku percaya. Memang sih, aku tidak bisa melihat Dunia Spiritual —Astral Side itu, jadi aku tidak bisa ikut merasakan atau bersimpati secara langsung. Tapi itu bukan alasan untuk menolak seluruh dirimu. Kalau Dunia Spiritual adalah intimu—ya sudah, biar bagian dirimu yang lain, yang kamu anggap tidak penting dan ingin kamu buang di dunia nyata ini, jadi bagian yang aku cintai.”

Aku mengatakannya sekaligus, dalam satu tarikan napas. Kalau aku berhenti di tengah, pasti akan terlalu banyak berpikir dan sulit melanjutkan.

“Kenapa...? Aku tidak mengerti. Kenapa kamu sejauh ini peduli padaku? Kita cuma teman sekelas. Kita baru jalan setengah hari, itu saja. Kamu ini aneh. Aneh banget.”

Tuduhan itu sungguh tidak adil. Menurut logikaku, ini adalah kesimpulan yang sepenuhnya normal. Kenapa?

“Karena aku suka penampilanmu. Apa itu tidak cukup jadi alasan?”

“Kalau hanya karena itu—”

“Masih ada alasan lainnya. Ekspresimu yang bahagia waktu bicara soal kucing itu lucu banget, atau walaupun kamu sok cool tapi ternyata punya sisi jahil yang menyenangkan, atau walau wajahmu seolah berkata ‘laki-laki tidak penting’, kamu bisa memerah saat dipandangi serius dan diberi kata-kata manis seperti ini—banyak, sebenarnya.”

“Se-sebagian besar hanya penampilan saja, kan! Kamu sadar kalau sengaja mengucapkan hal-hal yang terdengar gombal, itu artinya kamu punya kepribadian buruk! Aku juga tidak mengerti kenapa kamu bisa menyukaiku, dan lagipula aku tidak, tidak sedang memerah!”

Tentu saja wajahnya memerah. Bahkan mungkin sudah sampai titik di mana uap atau semburan air panas akan menyembur keluar.

“Tuh kan. Kamu itu biasa saja. Hanya karena kamu punya dunia sendiri yang kuat dan kebetulan sangat cantik, selebihnya kamu hanyalah gadis biasa. Tidak ada yang aneh. Aku pun, kamu pun. Kalau begitu, bukankah wajar jika dua orang biasa saja menjadi sepasang kekasih? Kamu benci hal seperti itu lebih dari kebohongan?”

“……”

Hibari memeluk kedua lengannya dan terdiam, sementara pipinya masih memerah. Tak ada yang tahu sudah berapa banyak laki-laki yang menyerah sampai sekarang, tapi mungkin hanya Masaomi sendiri yang mampu bertahan sejauh ini. Perasaan “pengulangan” yang sebelumnya selalu mengelilingi Hibari pun lenyap sepenuhnya, dan untuk pertama kalinya ia menunjukkan ekspresi yang baru. Melihat itu, Masaomi bahkan merasa bangga atas pilihannya.

Bukan berarti Masaomi percaya begitu saja pada semua hal. Seperti yang dikatakan Hibari, bisa jadi bekas luka seperti bekas sengatan itu hanya rekayasa. Atau mungkin Hibari memang benar-benar mempercayai hal itu karena suatu gangguan mental. Segala kemungkinan bisa dikatakan sesuka hati. Namun sejujurnya, Masaomi tidak terlalu tertarik pada kenyataan yang sebenarnya.

Yang menarik baginya adalah bagaimana cara melepaskan diri dari rasa jenuh yang selama ini membelenggunya. Apa yang akan muncul setelah ia membuang kehidupan sehari-hari yang dianggap tak penting, menyerah pada kedamaian yang membosankan, dan kecewa pada harapan yang terlalu mudah runtuh?

Sebagai seseorang yang biasa saja, Masaomi tahu bahwa ia tak bisa mengharapkan perubahan drastis. Tapi membeli semua bagel yang ada di toko, hal seperti itu mungkin masih bisa ia lakukan. Usaha untuk menarik kenyataan yang terasa seperti mimpi—sesuatu yang bisa ia lakukan secara aktif: jatuh cinta pada Sasuga Hibari. Ikut terseret dalam frekuensi “gelombang aneh” milik Hibari.

Dunia Spiritual, Astral Side. Pelintas dunia astral. Sang penyelamat, Mesian. Semakin didengar, semuanya terdengar semakin mengada-ada. Namun Masaomi memiliki Hibari, seorang gadis luar biasa cantik, sebagai kekasihnya. Kalau bicara soal kurangnya kredibilitas, hal itu bahkan mungkin lebih sulit dipercaya. Maka pertanyaannya bukan mana yang lebih masuk akal, tapi mana “kebohongan” yang terasa lebih menyenangkan untuk dipercaya.

Setidaknya, ia tidak ingin menjadi orang yang memandang orang lain hanya dengan prasangka. Ia pernah merasakannya sendiri, dijudge oleh orang lain, dan tahu betapa tidak menyenangkannya hal itu. Masaomi memahami bagaimana rasanya memiliki perasaan bahwa ucapan kita selalu berbeda dari orang lain.

Selain itu, Masaomi berpikir—

Dunia non-nyata yang disebut “Astral Side”, dan misi sebagai seorang Guardian, terasa semakin cocok untuk dirinya sendiri, bukan karena logika cerita atau masuk akalnya premis, tetapi karena sesuatu dalam dirinya merasa demikian. Dunia yang terasa tidak masuk akal ini, seolah menjadi dejavu terbaik yang mampu menggantikan kekosongan yang dulu ia rasakan.

“...Benarkah?”

“Hmm?”

Setelah sekian lama menunduk dan terdiam, Hibari akhirnya membuka suara dengan nada nyaris tak terdengar, membuang semua sikap tenangnya sebelumnya.

“Benarkah… kamu tidak apa-apa dengan aku yang seperti ini? Aku tak berubah, dan tak menjadi biasa—benarkah itu tidak masalah?”

“Iya. Aku lebih suka Sasuga Hibari yang seperti ini. Kamu yang unik dan tak tergantikan, baik di dunia nyata maupun di Astral Side.”

Kalau dipikir-pikir kemudian hari, mungkin itu adalah kata-kata pamungkas. Kata-kata pembunuh. Karena mungkin memang belum pernah ada pria yang sepenuhnya menerima Hibari dengan segala keanehannya. Mungkin, mental Masaomi yang pernah dihancurkan secara total oleh kecelakaan itu justru membantunya.

Tak peduli seberapa “berbeda” atau “tak biasa” orang lain, ia bisa menyerap semua kejutan itu dan menerimanya apa adanya. Orang biasa seperti itulah yang pantas bersanding dengan seseorang yang luar biasa. Hibari pun mungkin berpikir hal yang sama. Karena setelah itu, ia memperlihatkan senyum paling cerah yang belum pernah terlihat sebelumnya, lebih cerah daripada langit musim panas, lalu berkata,

“Kalau begitu, izinkan aku menyatakan kembali... jadilah Guardian-ku, Masaomi-kun.”

“Hei, hei. Bukannya dari kemarin aku sudah menjadi Guardian-mu? Aku juga tidak ingat pernah diberhentikan, lho.”

“──Terima kasih.”

Di saat itulah, bisa dibilang dunia milik Kusunoki Masaomi benar-benar kembali berwarna. Manusia pasti mati suatu hari nanti. Dan manusia bisa mati dengan mudah. Bahkan tanpa alasan besar pun, bisa mati. Kalau begitu, berjuang mati-matian rasanya bodoh. Menjalani hidup sekadarnya sudah cukup—itulah prinsip hidup yang tertanam dalam diri Masaomi sejak ia nyaris kehilangan nyawa pada awal musim semi tahun lalu. Sebuah dunia datar yang dilukis dengan warna monokrom bernama kebosanan.

Tapi bagaimana sekarang? Saat melihat senyum Hibari, waktu yang sempat terhenti bagi Masaomi terasa mulai bergerak kembali. Sensasi panas yang menusuk musim panas ini begitu mencolok sampai otaknya yang masih jet lag dari realitas terasa berputar karena mabuk kebahagiaan.

Detak jantungnya cepat. Telapak tangannya panas. Napasnya dangkal.──Dia, sungguh memesona.

Meski AC mengerahkan seluruh dayanya untuk mendinginkan dunia, panas yang terasa di sudut kecil ini cukup untuk menyebabkan heatstroke pada pelanggan lain. Apalagi mereka yang menjadi pihak utama. Nyatanya, otak Masaomi sendiri terasa mendidih karena panasnya.

Bukan air hangat bernama kebosanan, tapi waktu remaja yang membara dan menyala-nyala.

“Kalau begitu, ayo lanjutkan kencan kita. Aku sudah cukup mabuk karena panas ini. Kalau terus-terusan di dalam ruangan ber-AC, semangat panas ini bisa mereda—benar kan, Hibari?”

“...Iya. Aku juga sekarang sedang ingin keluar.”

Lalu keduanya melangkah ke tengah dunia nyata, menembus fatamorgana yang mengambang di ujung jalan beraspal.


Chapter 3

Tanya Jawab seputar Pemisahan Jiwa


Aku rasa, ungkapan “dalam sekejap mata” benar-benar merujuk pada momen seperti ini. Klakson meraung, suara rem mencicit seperti auman binatang buas, jeritan entah dari siapa, dan benturan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Yang masih bisa kuingat hanyalah potongan-potongan samar dari semua itu. Dalam satu detik saja, pusaran sensasi menerjangku seperti longsoran salju. Lalu, kesadaranku—eksistensiku sendiri—secara perlahan mulai memudar dan menjauh.


Baru setelah aku sadar, aku diberi tahu bahwa aku tertabrak mobil. Namun di tengah kegelapan total yang menyelimutiku, di dalam kehampaan yang seolah bisa menyeretku jatuh ke dalam jurang,

aku—Masaomi—melihat cahaya perak itu dengan jelas.


Cahaya seperti benang laba-laba—tipis, pucat, rapuh. Dorongan naluriah akan rasa haus untuk hidup membuatku secara refleks meraih benang cahaya itu. Seolah aku tahu bahwa aku tidak boleh melepaskannya, aku menggenggamnya erat sekuat tenaga seperti orang yang sedang berjuang melawan maut. Namun benangnya mudah sekali terputus, dan terus menjauh dariku.


Aku mengejarnya. Putus. Mengejar. Putus. Mengejar. Putus. Dalam kejar-kejaran tanpa akhir yang terasa seperti penyiksaan itu, aku merasa mendengar sebuah suara.


— Hei, apa kamu punya sebuah “cita-cita”? —


Apa yang kujawab—atau apakah aku sempat menjawabnya—aku tak ingat. Namun suara itu sangat nyaman, meresap ke dalam diriku, menyatu ke pusat keberadaanku meskipun aku tak lagi bisa merasakan tubuhku. Dan entah kenapa, suara itu menjadi dorongan yang sangat kuat, seolah membangkitkan kembali detak jantungku. Benang cahaya itu, meski terus putus, perlahan membentuk sebuah jalan. Ia mengumpulkan satu per satu pecahan diriku yang hampir tercerai-berai, seakan menuntunku kembali ke dunia tempatku seharusnya pulang.


Seseorang—atau sesuatu—menyokongku dengan lembut, saling merangkul erat, menuntunku menuju sebuah pintu. Kunci yang kugenggam erat dalam tangan ini, aku percaya, akan mewujudkan cita-citaku. Perasaan ringan yang membuat seluruh tubuhku seolah melayang makin menguat.


Suara klik, seperti kunci yang dibuka, terdengar samar bagai ilusi. Lalu derasnya arus informasi menerjang otakku seperti badai. Berbagai pemandangan asing, kenangan, dan emosi yang tak kukenal mengguncangku, seolah mengundangku untuk mendekat. Kekuatan luar biasa yang tak bisa kulawan mengguncangku berkali-kali, tanpa henti.


Aku merasa tak bisa menahan semuanya. Rasanya aku tidak mampu lagi memikul beban sebanyak ini sekaligus. Maka aku pun memalingkan pandangan. Kulepaskan pelan-pelan apa pun yang tadi menopangku. Belum sekarang. Karena itu—sampai jumpa nanti.


Cahaya terang menembus jauh ke dalam pikiranku. Lalu perlahan, kunci itu diletakkan di sana. Cahayanya sirna. Dunia yang terbentang di balik pintu pun berubah, bukan lagi dunia dari cita-citaku, tapi dunia yang berbeda. Dan pada detik berikutnya, kulihat Hinata membuka pintu ruang rawat inap dan berlari masuk sambil menangis keras.


Tachibana Kasuka adalah orang bodoh. Matanya bulat dan berkilau, tubuhnya mungil seolah melewati masa pertumbuhan begitu saja,  rambut bob putih khasnya bahkan lembut hingga ke ujung pelipis, dan ia selalu memiliki aroma segar layaknya baru selesai mandi. Kulitnya pun tidak buruk, dan sikapnya yang mirip anak anjing pun cukup cocok dengannya. Dia memang seorang gadis yang cukup menarik—namun tetap saja, dia bodoh.


Jika ingin berkata dengan lebih sopan, mungkin bisa dikatakan dia jujur yang polos. Tapi itu seperti menyebut kecoa sebagai berkilau—mereka yang berhadapan langsung dengannya hampir pasti berpikir, 

“Apakah orang ini bisa bertahan hidup di masa depan?”


Misalnya ketika badai datang. Ia tidak melakukan tindakan yang terlalu mencolok seperti pergi melihat kondisi sawah di belakang rumah atau mengecek aliran irigasi, yang jelas-jelas seperti penanda bencana. 


Kasuka, sang ahli sejati, akan berpikir seperti ini: Jika hujan dan angin deras, maka tidak masalah jika sudah basah sejak awal, dan mengenakan pakaian yang sedang dicuci untuk kemudian keluar rumah. 


Hasil akhirnya tentu sama—ia akan kebasahan. Namun, melalui trik psikologis yang lihai, tujuan dari keluar rumah itu sendiri telah bergeser, dan dalam waktu tiga puluh menit ia akan kembali pulang—tentu saja sambil membawa flu.


Atau misalnya saat pergi berbelanja. Melupakan apa yang hendak dibeli sudah tentu terjadi. Menyadari bahwa sebenarnya tidak ada kebutuhan untuk berbelanja juga sudah pasti. Bahkan, dompetnya yang memang sejak awal kosong pun bukan hal yang mengherankan. Dan di titik itulah, Kasuka si ahli sejati akan menerima wahyu—“Eh, ngomong-ngomong ini di mana, ya?” Mengapa dia pergi ke tempat yang bahkan tidak dikenalnya? Bodoh yang punya semangat bertindak seperti itu sungguh di luar kendali. 


“Dia sekarang sudah jauh lebih baik,” ujar teman-teman dekatnya yang bisa disebut sebagai teman buruk. 

Bukan berarti ia memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Jika dilihat dari nilai-nilai sekolah, dia bahkan lebih unggul dari Masaomi. Kemampuan berpikirnya pun sebenarnya tidak buruk. 


Hanya saja, entah mengapa, ketika menyangkut dirinya sendiri, ia menjadi sangat sempit cara pandangnya, kurang pertimbangan, dan pengambil keputusannya menjadi sangat lemah—seolah sengaja.


Dengan tempo bicara yang sangat khas dan unik, komunikasi bukanlah hal yang dikuasainya. Oleh sebab itu, saat di SD dan SMP, rambutnya yang mencolok dan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan membuatnya sering menjadi sasaran perlakuan seperti perundungan. 


Namun dirinya sendiri tampaknya tidak merasa demikian. Ia terlihat begitu santai, seakan-akan tidak pernah merasa telah dibully. Titik balik datang saat ia duduk di tahun pertama SMA—sejak mulai bergaul dengan Kusunoki Masaomi dan Orito Keiji.


Kalau seseorang berkata bahwa “pekerjaan orang tua menentukan kualitas anak”, Keiji pasti akan mengerutkan wajahnya. Namun, kenyataannya, posisi sebagai anak dari seorang dokter jelas membuka akses lebih luas terhadap pengetahuan medis. Dalam hal itu, Keiji sangat unggul, dan karena ia tak ragu memanfaatkan pengetahuan keluarganya, ia bisa memberikan semacam “diagnosis” terhadap Kasuka dengan cepat dan tepat.


Itu bukan penyakit. Bahkan, mungkin tidak bisa disebut sebagai gangguan. Namun, jelas ada kelainan pada tulang punggung dari kepribadian Kasuka. Intinya, tanpa tujuan berupa demi orang lain, ia tidak bisa mempertahankan perilaku yang masuk akal. Bisa juga dikatakan bahwa ia tidak memiliki jati diri yang kuat.


Menyadari hal itu lebih cepat dari siapa pun, kedua teman buruknya memberikan motivasi setiap kali mereka ingin melakukan sesuatu—“demi Masaomi”, “demi Keiji”, “demi seseorang”—dengan begitu, mereka bisa menjaga sisi sosial Kasuka tetap berjalan dengan baik. 


Itulah sebabnya ia diperlakukan layaknya seekor anjing. Bukan berarti mereka memperlakukannya sebagai bawahan atau budak. Mereka pun bukan manusia serba bisa, apalagi mereka hanyalah anak-anak seusia. Mereka sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah solusi sesaat demi bisa menjalani kehidupan saat ini.


Meskipun demikian, saat mereka bertiga bersama, posisi masing-masing saling melengkapi, dan yang terpenting, Kasuka benar-benar menaruh rasa hormat yang mirip kekaguman kepada kedua temannya itu. Ia percaya sepenuh hati bahwa ia bisa berjalan lurus karena mereka ada di sisinya. Maka, secara spontan Kasuka menuju stasiun, turun di sana tanpa alasan jelas, dan berdiri di depan taman olahraga yang berada di dekat stasiun tersebut. Saat tanpa sengaja melihat pemandangan itu, ia tidak panik. Masaomi sedang berjalan bersama seorang gadis. Dan gadis itu tak lain adalah Sasuga Hibari.


Seorang bodoh tidak akan terguncang. Yang terguncang karena kejadian tak terduga adalah bodoh kelas dua. Bodoh kelas satu tidak bisa memprediksi apa pun sejak awal, jadi hidupnya memang selalu penuh kejadian tak terduga. Oleh karena itu, tanpa gentar, ia pun tersenyum dengan tenang.


— Hebat sekali, Masaomi. Kau berhasil menaklukkan Sasuga-san, gadis yang penuh rumor itu, dan membuatnya jadi tak bisa hidup tanpa dirimu!


Rasa kagum yang dirasakannya bahkan telah melampaui batas kekaguman biasa. Namun, berbeda dengan rasa ingin tahu atau sindiran setengah bercanda seperti kebanyakan siswa SMA lainnya, Kasuka murni hanya mengagumi. Ia tidak menertawakan atau bergosip. Ia hanya murni berpikir, “Masaomi memang luar biasa.”


Lagi pula, itu Sasuga Hibari—gadis yang terkenal itu—dan sekarang mereka terlihat begitu akrab dari kejauhan, berjalan menyusuri jalur jogging. Masaomi sepertinya tidak pernah memiliki hobi semacam itu, jadi bisa dibayangkan bahwa ia sedang menyesuaikan diri dengan minat Hibari. Kasuka pun semakin meninggikan rasa hormatnya pada Masaomi, yang bisa memposisikan diri sesuai lawan bicaranya.


Perasaan sesak yang terasa di dalam dadanya… mungkin hanya karena udara panas dan jalan kaki yang membuatnya kelelahan.


— Oh iya, minggu lalu Keiji bilang, Masaomi harus menyatakan cinta pada seorang gadis sebagai hukuman dari sebuah permainan, ya.

Ia tidak tahu bahwa gadis itu adalah Sasuga Hibari. Tapi melihat sekarang, mereka memang pasangan yang serasi. Masaomi pria yang baik, dan Hibari gadis yang cantik. Tidak ada kekurangan sama sekali. Hukuman permainan atau bukan, jika hasil akhirnya bagus, maka tidak ada masalah.


Beberapa hari terakhir ini Kasuka memang tidak makan siang bersama Masaomi, tapi saat mereka bertiga berkumpul kembali, ia ingin menanyakan soal Hibari. Siapa tahu, sama seperti dirinya, Hibari juga suka bendungan. Dengan pikiran seperti itu, Kasuka pun membalikkan badan dan kembali ke stasiun, wajahnya tampak cukup puas.


Pertanyaan bodoh seperti “Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?” tidak diperlukan bagi Kasuka. Karena ia memang bodoh. Namun, dengan kebodohannya itu, ia juga memiliki loyalitas. Saat menunggu kereta di peron, ia mengeluarkan ponselnya. Ia tersenyum puas memandangi casing ponsel favoritnya yang terbuat dari foto bidikan air bendungan Kutsuna yang sedang mengalir deras. 


Entah kenapa, setiap kali ia menunjukkannya, Masaomi dan Keiji selalu bereaksi dengan ekspresi “Eeh...”, menutup wajah mereka. Padahal itu adalah barang langka edisi terbatas yang bahkan tidak dipakai dalam kartu bendungan mana pun. Bagi penggemar bendungan seperti Kasuka, itu adalah benda yang tak tergantikan. Seperti casing, yang tak tergantikan.


Lalu ia membuka aplikasi pesan dan menghubungi Keiji—teman penting lainnya, orang yang ia hormati setara dengan Masaomi, salah satu “sayap” dari duo Orix (singkatan dari Orito dan Kusunoki).


Tanpa berlebihan, Kasuka benar-benar percaya bahwa selama Masaomi dan Keiji menunjukkan arah, ia bisa pergi ke mana saja.


— Heii~ Masaomi lagi jalan sama pacarnya, loh! Mereka kelihatan senang banget! Udah kayak couple yang mesra banget loh!


Karena kebodohannya yang murni, Kasuka tidak berniat mengganggu Masaomi. Baginya, itu hal yang sudah seharusnya. Namun, karena kebodohan itulah ia tidak menyadari satu hal:


Orang-orang yang tidak murni tidak akan segan untuk melakukan gangguan tanpa rasa sungkan.


Balasan pun datang.


“Ikuti mereka. Laporkan semua informasi secara rinci padaku. Hanya kau yang bisa melakukannya, Kasuka.”


Bel kereta berbunyi. Kereta tampaknya telah tiba di peron. Namun tanpa menunjukkan sedikit pun rasa sayang untuk meninggalkannya, Kasuka hanya membiarkannya lewat. 


Bagi Kasuka, yang menganggap dibutuhkan sebagai hal tertinggi dalam hidup, tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah Keiji.



Telah berlalu sekitar satu minggu sejak pasangan itu resmi terbentuk—dengan kemunculan yang begitu mengejutkan, menggugah, dan penuh gairah.


Entah itu keajaiban atau ilusi semata, faktanya adalah keduanya masih berstatus sebagai pasangan—namun, jika ditanya sejauh mana perkembangan hubungan mereka...


"Aku sebenarnya nggak terlalu tahu apa yang seharusnya dilakukan pasangan pacaran... Masaomi-kun, kamu paham soal itu?"


"Kenapa kamu pikir aku paham? Tapi, yah, kita kan sedang kencan sekarang. Mau coba pegangan tangan juga?"


"Tidak perlu, terima kasih," jawabnya sopan sambil menolak tawaran itu.


Syukurlah, jadi keringat di telapak tanganku tidak ketahuan.


"Karena kamu cukup berani untuk mendekatiku, kupikir kamu cukup berpengalaman soal beginian."


Stereotip itu harus segera dikoreksi. Entah kenapa, dia terkesan menganggapku seperti playboy. Padahal aku adalah seorang pemuda polos dan murni—dan tidak bisa membiarkan anggapan itu dianggap sebagai lelucon semata.


"Aku mendekatimu justru karena aku tidak berpengalaman. Aku ini pacar level satu. Seperti monster lemah sekelas slime yang nekat melawan bos terakhir di game, yaitu gadis tercantik seangkatan. Ini adalah misi hidup yang penuh air mata dan perjuangan."


Hari ini rambutnya ditata dengan gaya side ponytail di sisi kiri. Ujung ekornya yang panjang dan indah bergetar seperti hendak mengintimidasi.


"Julukan 'gadis tercantik seangkatan' akan kuterima dengan senang hati, tapi menyamakanku dengan bos terakhir itu agak keterlaluan. Aku juga nggak punya pengalaman, tahu. Aku ini seperti rekan yang mabuk-mabukan di bar kota pertama, terus-menerus menunggu munculnya pahlawan yang mungkin atau mungkin tidak akan datang. Jadi, kita berdua harus saling bantu dan naik level bersama, ya?"


"Minum-minum saat di bawah umur itu tindakan yang buruk, tahu."


"Kalau nggak mabuk, aku akan terlalu malu untuk bisa diam di sampingmu. Ini salahmu, Masaomi-kun."


Keduanya setengah tertawa pahit dan setengah tersenyum kecil. Bagaikan bunga musim panas yang mekar karena tersengat panasnya udara, mereka tampak pantas disebut sebagai sepasang kekasih.


Setelah insiden di restoran keluarga, keduanya—Kusunoki Masaomi dan Sasuga Hibari yang kini secara resmi berstatus sebagai pasangan—memutuskan untuk menjalin hubungan secara lebih terbuka dan positif.


Jika sebelumnya interaksi mereka masih diwarnai semacam ketegangan penuh kehati-hatian, kini mereka tampak menggali dan mengenal satu sama lain dalam makna yang berbeda. Untuk hari ini, mereka memilih menghabiskan waktu di luar ruangan, tepatnya di Taman Olahraga Kutsuna yang berada di dalam kota.


Dilihat dari suasana percakapan mereka, meskipun kontak fisik seperti bergandengan tangan atau berpegangan lengan masih sulit dilakukan, jarak emosional di antara keduanya tampaknya mulai sedikit demi sedikit menyusut.


──Namun tetap saja, perbedaan ini cukup mencolok dibandingkan dengan citra Sasuga Hibari di sekolah.

Meskipun bukan orang yang terlalu peka terhadap seluk-beluk perilaku perempuan, bahkan Masaomi bisa menyadari bahwa ada perbedaan yang cukup mencolok. Momen yang menjadi titik balik itu terjadi hanya tiga hari yang lalu...



"Aku ingin memanggil Sasuga-san."


"Percayalah, aku bilang ini demi kebaikanmu—lebih baik jangan dilakukan."


Padahal belum menyampaikan maksudnya pun, tanggapan yang didapat sudah seperti ini—begitu dingin. Dari sini saja sudah cukup untuk mengetahui seperti apa perlakuan terhadap Sasuga Hibari, siswi kelas 2-3, dalam keseharian.


"Mustahil, percuma. Kamu hanya akan dilontarkan kata-kata pedas yang menyakitkan. Kalau kamu cuma tertarik karena penampilan dan rasa ingin tahu, kamu masih bisa mundur sekarang. Anggap saja ini donasi sukarela untukmu yang nekat menghadapi judi tanpa pengembalian dana."


"...Sudahlah, tolong panggilkan saja."


Meskipun dia yang memohon, nada suara Masaomi terasa mulai putus asa, dan dia merasa itu tak terelakkan. Ini adalah jam istirahat siang, di tengah udara panas yang mulai benar-benar terasa dan rasa malas yang datang setelah makan, seperti racun yang menyusup perlahan.


Karena merasa akan terlalu mencolok jika harus datang langsung ke kelas lain, berbicara langsung, dan membawa seseorang keluar, Masaomi berusaha bersikap hati-hati dengan meminta salah satu siswi yang duduk dekat pintu untuk memanggilkan Sasuga Hibari.


Namun yang terjadi, dia bukan hanya tidak melaksanakan permintaan itu, malah memberikan nasihat yang tak diminta.


──Andai saja Hibari sedikit lebih “bangun”, pikir Masaomi dalam hati.

Tentu saja ada alasan di balik aksi mendadak ini.


Bagaimanapun, mereka sudah menjadi sepasang kekasih. Masaomi dan Hibari memang rutin saling berkabar sejak resmi berpacaran, tapi setiap kali mereka bertukar pesan beberapa kali, pasti berakhir dengan Hibari tidak membalas dan menghilang begitu saja. Barulah keesokan paginya, dia akan memberikan jawaban yang sudah menjadi ciri khas: "Aku terjun ke dalam dan langsung ketiduran."


Itu sendiri sebenarnya sudah seperti perjanjian diam-diam. Tak ada gunanya marah. Tapi tetap saja, masalah nyatanya adalah—akses komunikasi ke Hibari menjadi terhambat.


Mereka sebelumnya membahas ide untuk pergi bersama di akhir pekan ini, tapi karena pembicaraan yang selalu terputus seperti pertandingan tenis antara pemain pemula melawan profesional—yang langsung berakhir tanpa rally—perkembangan hubungan pun terasa mandek.


Karena itu, Masaomi memutuskan untuk menemuinya langsung. Namun siapa sangka, bukan di alam spiritual seperti astral side, tetapi di pintu dunia nyata-lah dia malah dihalangi.


"Sikapmu itu, menurutku tidak baik, tahu? Aku bilang semua ini demi kebaikanmu, lho," lanjut siswi itu sambil menguliahi.


Bahkan harus menerima ceramah juga? Kesabaran Masaomi mulai mencapai batas.


"Ya sudah, kalau begitu aku panggil sendiri saja──"


Begitu Masaomi yang kesal mulai melangkah melewati siswi itu, menguatkan kaki untuk maju, tiba-tiba...


"Ara, kita bertemu di tempat seperti ini. Apakah ini bimbingan dari astral side? Atau mungkin kesetiaan dari 'Guardian'?"


Dengan wajah sekeras kaca antipeluru, seorang gadis menyapanya tanpa ekspresi dan nada datar. Wajahnya begitu cantik, dan andai dia tersenyum sedikit saja, pasti akan luar biasa manis—sayang sekali, pikir Masaomi. Persis seperti… Sasuga Hibari. 


Ternyata memang Sasuga Hibari.


"Uh... ekspresimu terlalu datar, sampai-sampai aku butuh waktu satu detik buat sadar. Bahkan dewa pun pasti akan menoleh dua kali."


"Kalau bertemu dewa yang lancang seperti itu, tolong sampaikan padanya: aku memang selalu berwajah seperti ini, Kusunoki-kun."


Nada “Kusunoki-kun”-nya diucapkan dengan penekanan berlebihan, seolah menyalahkan Masaomi. Ekspresinya tak berubah sedikit pun. 


Tak ada senyum di wajah, tak ada kilau di mata, bahkan pipinya tak bergerak. Karena begitu datarnya ekspresi wajahnya, jika tidak fokus, orang bisa benar-benar lupa sedang bicara dengan siapa—seolah otak dibuat bingung.


“Eh? Kalian sudah saling kenal?” tanya gadis lain yang disebut sebagai Kajiura.


"Itu urusan apa untukmu, Kajiura-san? Kalau kamu pikir aku tidak memiliki kenalan di material side, berarti kamu salah besar."


Dengan sikap menantang, Hibari menyentuh jepit rambutnya sambil sengaja menyebut istilah “material side”—dan dengan nada penolakan yang sangat kental, melemparkan pernyataan langsung ke arah Kajiura. Tapi tampaknya itu bukan lawan yang mudah terusik.

Siswi bernama Kajiura itu benar-benar mengabaikan Hibari dan malah berkata,


"Kusunoki-kun, ya? Seperti yang kubilang tadi—jangan sampai salah paham. Dunia ini penuh dengan penampilan yang menipu. Yang penting adalah isi, isi. Kalau lengah, jiwamu bisa diambil, lho."


Ekspresinya seolah ingin berkata, “Lihat? Aku sangat baik dan perhatian.” Kalau boleh jujur, ini cukup menyebalkan.


"Kalau seseorang bisa bicara dan bertindak seenaknya seperti itu, aku yakin 'isi' orang itu pun bisa ditebak kualitasnya."


Sudah terlambat—otaknya pasti sudah dicuci, pikir Kajiura sambil tetap tak mendengarkan, lalu dengan wajah iba seperti menyayangkan seorang korban, ia kembali ke kelas. Bagi Masaomi, gadis figuran itu sudah tidak menarik perhatian lagi, bahkan tidak layak untuk dilirik.


"…Untuk sekarang, gimana kalau ke atap saja?"


"Kalau kamu pilih tempat 'klise' seperti itu, kita malah bakal jadi bahan gosip, tidak apa?"


Hibari berkata demikian sambil melirik ke arah Kajiura yang kini tengah tertawa dan berbincang dengan teman-temannya. Masaomi bisa menebak maksudnya, tapi ia tak ambil pusing.


"Biar saja. Lagipula, semua sudah telanjur. Aku kan sudah pernah menyatakan perasaanku—jadi gosip atau bukan, sama saja sekarang."


"Benar juga. …Sifatmu yang berpikiran simpel seperti itu, aku suka, lho."


Meskipun dia mengatakannya dengan suara pelan dan wajah datar, tetap saja, mendengar kata “suka” secara langsung membuat jantung Masaomi berdetak kencang.


Karena sempat tersenyum jenaka hanya sesaat, tindakan itu terasa seperti sebuah pelanggaran, sehingga Masaomi memalingkan wajahnya. Pipinya terasa hangat, dan ada rasa geli yang aneh.


Keduanya lalu berjalan bersama menuju atap. Mereka melampaui lantai empat gedung kelas, melewati barikade seadanya, dan naik lebih tinggi lagi. Terakhir, mereka membuka kunci pintu menuju atap dan melangkah ke lantai logam yang panas di bawah terik matahari.


Sambil menggigit bagel yang dibawakan Kasuka seperti biasa, mereka membentangkan saputangan di bawah menara air dan duduk berdampingan. 


Hibari tampak terus-menerus memperhatikan bagian bawah roknya, namun akhirnya menyerah, melipat kedua kakinya di atas lantai beton, lalu membuka bekal makan siangnya. Untungnya cuaca cerah terus belakangan ini, jadi jika ada debu pun bisa dibersihkan nanti.


"Atap ini, karena tidak ada penghalang, ternyata cukup berangin."


"Kalau di tempat yang teduh, sebenarnya lumayan enak, kan? Meski suhunya nggak bisa ditolong, aku cukup suka tempat ini."


"Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa punya kunci atap? Bukannya itu tempat terlarang?"


"Ada orang brengsek bernama Orito Keiji, tahu? Brengsek satu ini, ayahnya direktur rumah sakit universitas, dan katanya keluarga mereka nyumbang dana lumayan besar ke SMA ini. Aku nggak bisa jelasin lebih dari itu, tapi ya... intinya, kekuasaan itu berguna, tahu. Kekuasaan."


"Begitu. Kalau begitu, kita harus berterima kasih pada si brengsek itu, ya. Aku juga ingin punya teman nakal seperti itu."


Melihat Hibari—yang penampilannya begitu bersih dan anggun bak lukisan—menyebut teman pacarnya sebagai "brengsek", membuat pipi Masaomi tak sadar tertarik senyum.


"Di sekitarku, terlalu banyak musuh."


"Ah, ya... gadis tadi itu menyebalkan. Siapa namanya, ‘Kekuatan Super Darurat’ atau apalah?"


"Pfft," akhirnya Hibari melepas ekspresi kaku dan tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak tadi.


"Kalau memang tak berniat mengingat, tak usah dipaksakan. Kajiura-san itu agak... khusus. Soalnya, orang yang dia suka pernah menyatakan cinta padaku."


"Turut berduka, deh."


"Meski menyebut itu sebagai 'menyatakan cinta' agak berlebihan... Dia bilang, 'Kamu pasti kesepian karena nggak ada yang mau sama kamu, kan? Aku bersedia kok jadiin kamu pacarku.' Aku benar-benar tak tahu dari mana munculnya kepercayaan diri semacam itu. Dan kenapa juga Kajiura-san bisa menyukai tipe seperti itu? Mungkin karena dia pemain inti tim sepak bola?"


Sebagai anggota tim pulang cepat yang sangat aktif, Masaomi merasa tidak bisa mengomentari hal itu.


"Kalau tak salah, dia teman sekelasmu, kan? Takei-kun?"


"...Turut berduka, deh."


Masaomi tak menyangka akan mendengar nama Takei di sini. Tapi, masuk akal. Jadi itulah alasan di balik nada kesal yang ia dengar di awal semester lalu. Hasilnya sudah bisa ditebak—Hibari pasti telah menghantamnya dengan gelombang kejut beracun khasnya. Dan bagi Kajiura, Hibari adalah "si pencuri kucing menyebalkan" (?), yang tega merebut orang yang ia sukai. Maka dari itu ia bersikap sedingin tadi.


Katanya perempuan adalah musuh perempuan, tapi menyimpan kebencian seperti itu terhadap teman sekelas sendiri... bukankah membuat sesak?


"Dia pasti sering mengeluh soal aku, entah benar entah tidak. Tidak seperti kamu, Kusunoki-kun, yang masih berusaha menjaga perasaanku—benar-benar orang dengan hati sempit."


Apakah Hibari selalu harus menghadapi hujan kebencian seperti itu setiap hari? Padahal di luar cuaca begitu cerah. Hari yang pas untuk mengantuk dengan damai... seperti ekspresi tidur tenangnya saat sedang 'menyelam'.


"Kebanyakan orang memang memilih untuk tidak mencampuri urusan, tapi selalu saja ada tipe yang seperti itu. Makanya, aku tak bisa sembarangan membuka celah. Sebenarnya, dibenci saja sih tak masalah, tapi kalau sampai tersebar rumor aneh, itu yang menyusahkan."


Masaomi tak mengucapkannya secara langsung, tapi kalau bicara soal rumor—dalam istilah Kajiura mungkin ini sudah “telat banget”. Bahkan orang seperti Masaomi dan Keiji yang berasal dari kelas lain pun sudah cukup sering mendengar tentang “gadis aneh pemancar gelombang” bernama Sasuga Hibari.


Tak bisa menunjukkan kelemahan, maka ia menjadi keras kepala.

Karena keras kepala, ia jadi tak punya banyak teman. Karena tak punya banyak teman, orang seenaknya menyebar rumor. Dan sekarang pun, kalau tiba-tiba berubah menjadi lebih terbuka, orang mungkin malah tambah curiga—sebuah lingkaran setan.


"Jadi... sekarang kamu bisa mengerti kenapa aku lebih suka pergi ke Astral Side, kan?"


"Iya. Dunia nyata yang membosankan memang... tetap saja membosankan."


Tanpa gangguan dari suara bising tak berarti, menyebar dan memancarkan gelombang semau hati—menghabiskan waktu tanpa melihat kenyataan mungkin memang diperlukan.


Duduk berdampingan, mengobrol ringan, berbagi bekal buatan sendiri, dan menghabiskan waktu berdua. Masaomi tak merasa bosan, tapi... bagaimana dengan Hibari? Itulah yang tiba-tiba ia pikirkan.


Lalu, bel berbunyi tanda pelajaran siang akan dimulai. Rasa kantuk yang tadi sempat muncul sudah sepenuhnya sirna seperti langit musim panas. Sebagai catatan tambahan—janji penting soal kencan akhir pekan yang seharusnya dibahas malah terlupakan sepenuhnya, dan baru dibahas saat istirahat siang keesokan harinya.


Panggung kembali beralih ke masa kini, di Taman Olahraga Kutsuna.

Ekspresi tanpa emosi seperti mayat hidup yang ditunjukkan Sasuga Hibari saat ditemui di ruang kelas—tanpa warna, tanpa naik turun, layaknya boneka manekin yang digerakkan oleh tenaga mesin dengan suara otomatis yang ditempelkan—kini hanya terasa seperti topeng yang tak cocok lagi.


—Kalau aku hanya melihat sosok seperti itu sebagai teman sekelas, mungkinkah segalanya jadi berbeda?


Mungkin aku tidak akan terpikir untuk menyatakan cinta, meskipun dalam konteks permainan hukuman. Atau, bisa juga berkat siasat jahat milik Keiji, pada akhirnya aku tetap akan sampai ke masa depan yang sama. Hal seperti itu tidak ada gunanya dipikirkan, tapi tetap saja terlintas.


Aku melirik ke arah wajah Sasuga Hibari yang berdiri di sebelahku—entah untuk keberapa kalinya.


“Dari tadi kamu lirik-lirik terus, kenapa? Bukankah kamu pernah bilang, melihat secara terang-terangan itu hak istimewa seorang pacar?”


“Hibari Sasuga memang paling imut dan terbaik.”


Kalau begitu, aku beralih ke mode tatapan langsung. Tentu saja, ini adalah upaya menyembunyikan rasa malu karena sudah ketahuan dari tadi terus mencuri pandang.


“Rasanya aku ingin bilang ‘aku tidak akan tertipu dengan cara itu lagi’, tapi... menyebalkan sekali, aku tetap saja senang mendengarnya. Aku bahkan ingin kamu terus-menerus menjual rayuan murahan seperti itu.”


Apa yang disebut dengan ‘ringan langkah’ mungkin seperti ini. Cara berjalan Hibari terlihat seolah-olah ia sedang mengepakkan sayap.


Sifat asli Sasuga Hibari memiliki ritme yang cukup menyenangkan. Mungkin karena cocok dengan Masaomi, atau entah karena alasan lain, yang jelas ia sangat jauh dari julukan-julukan seperti “ratu anti-sosial” atau “gadis cantik berdarah dingin yang tinggi hati” yang pernah kudengar. Ia menanggapi percakapan dengan respons cepat dan tepat, dan meskipun gaya bicaranya tenang, ia sering berbicara dengan nada santai dan akrab. Mungkin sebenarnya ia adalah seseorang yang hangat dan mudah bergaul.


Kalau saja tidak ada soal dunia “astral” dan topeng tanpa emosi itu, dia pasti sudah sangat populer—Masaomi yakin akan hal itu. Bahkan, dia merasa dirinya pun pasti sudah ikut menjadi salah satu dari pengagum Hibari. Begitu besarnya kesenjangan antara dua sisi dirinya.


Dengan kata lain, Sasuga Hibari yang memancarkan aura “gadis aneh” di sekolah ternyata benar-benar berusaha menahan diri. Bukan karena dia bersikap sopan atau menjaga citra, melainkan karena dia memang terlalu mencolok—wajahnya yang menawan, ditambah rumor tentang cara anehnya menolak cowok, kemungkinan besar membuatnya punya banyak musuh baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. 


Karena ia juga unggul dalam akademik dan penampilan, tak banyak yang berani menyerangnya secara langsung, tapi orang-orang yang tidak peduli tetap bisa menciptakan suasana kesepian dan penuh tekanan. Karena itulah, dia sangat takut jika sewaktu-waktu memperlihatkan kelemahan, maka keseimbangan netral itu akan runtuh.


Kesepian dan kesendirian adalah dua hal yang berbeda. Hibari memang tidak suka didekati secara sembarangan oleh laki-laki, tapi bukan berarti dia senang menyendiri, atau tidak butuh teman bicara. Percakapan yang lancar seperti ini bersama Masaomi—dan bahkan pengetahuannya yang cukup luas soal game—menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar ingin memutuskan hubungan dengan dunia luar. Namun, pendekatan yang ia pilih terlalu ekstrem. Akibatnya, semuanya malah menjauh darinya. 


Dunia “astral” bagi Hibari mungkin adalah sesuatu yang sangat penting dan tak bisa dia lepaskan. Tapi dengan menolak sekelilingnya seperti itu, ia justru memperburuk keadaannya sendiri—begitulah kira-kira.


“Sudah cukup, aku mulai malu. Berhenti menatap dengan wajah serius terus-terusan. Nanti aku tersandung, tahu!”



Laki-laki yang terus menatap diam-diam akhirnya dengan enggan mengalihkan pandangannya ke depan. Dari bahunya, ia merasakan hembusan napas ringan—entah lega atau kecewa, namun terasa menggelitik. Napas pendek yang mengandung emosi, berbeda dengan saat dia sedang "dive" .


Faktanya, meskipun hubungan mereka sebagai sepasang kekasih terus berlanjut seperti ini, tidak ada jaminan bahwa dia benar-benar telah membuka hatinya sepenuhnya. Begitu pula dengan Masaomi. 


Memercayai Sasuga Hibari dan memercayai keberadaan dunia “spiritual” alias Astral Side adalah dua hal yang berbeda. Yang ia yakini adalah bahwa Sasuga Hibari meyakini hal itu. Itulah intinya.


Masaomi menghela napas tanpa mengucap “ya ampun.” Pada akhirnya, jika mereka ingin saling memahami lebih dalam, tidak ada jalan lain selain terus mencoba memahami satu sama lain. Waktu yang mereka habiskan bersama masih terlalu sedikit untuk membangun hal lain, jadi tak ada pilihan selain “masuk ke dalam gua harimau” kalau ingin dapat anak harimau—begitulah ia menguatkan tekadnya secara diam-diam, saat itu juga.


“Masomi-kun memang orangnya datar ya,” ucap Hibari tiba-tiba.


“Kamu juga bilang begitu di sekolah. Aku sendiri nggak tahu itu pujian atau malah sindiran.”


“Maksudku pujian, sih… tapi mungkin setengahnya rasa kesal. Soalnya, kita lagi kencan pertama, cuma berdua, tapi kamu malah pasang wajah serius sambil mikir. Kamu nggak pernah kelihatan senang atau girang, gitu. Jangan-jangan kamu bosan karena aku ini perempuan yang membosankan? Kalau iya, aku ingin kamu bilang terus terang. Aku memang nggak terlalu jago bersosialisasi, jadi kadang mikir jangan-jangan aku nggak menarik.”


Ia mengatakannya seolah mencoba untuk berusaha. Masaomi menoleh sedikit bingung. Apa ini... ngambek? Masaomi bingung—apa benar Sasuga Hibari bisa bersikap seperti ini, dan terhadap orang sekelas dirinya? Astaga, makin bisa dikagumi, nih.


Memang, barusan dia sedang memikirkan banyak hal, tapi bukan karena bosan. Sama sekali tidak. Di dalam hati, ia bahkan sedang menikmati momen “berduaan yang manis” ini sambil merasa dirinya keren. Yang membakar dirinya bukan cuma panas aspal musim panas. Rasanya seperti sakit kepala yang setiap hari menyusup ke otak—sejak pertama kali ia mulai menyadari perasaannya pada Hibari.  Kadang-kadang ia sungguh merasakan nyeri kepala. Ia pikir penyakit ini layak disebut “penyakit Hibari”.


“Wah, ekspresiku nggak kelihatan, ya? Malah jadi sedih. Padahal aku beneran senang banget, lho.”


“Pas kamu nyatain perasaan waktu itu juga gitu. Nggak panik, nggak gugup. Kesan pertamamu benar-benar nggak berubah. Dari sudut pandang perempuan normal, kamu kelihatan kayak udah terbiasa banget.”


Sebenarnya karena waktu itu permainan hukuman dan dia ogah banget... nyaris saja Masaomi menyela dengan jujur, tapi ia menahan diri. Tak perlu menimbulkan keributan. Pengakuan itu akan ia sampaikan di waktu yang tepat nanti.


“Ngomong-ngomong, kesan pertama yang kamu maksud itu apa?”


“Namamu kayak tokoh dari otome game.”


“Kayaknya kesan itu nggak bisa kuubah, ya, sekeras apa pun aku berusaha...”


“Cuma bercanda, kok,” katanya dengan nada yang terdengar tidak seperti bercanda. Sepertinya, itu memang benar kesan pertamanya.


“Lupakan soal otome game. Maksudku, kamu itu kayak orang yang udah muak dengan dunia. Dingin. Seolah apa pun yang terjadi cuma jadi latar pemandangan aja.”


“Yah... mungkin aku memang nggak banyak berekspresi. Tapi dalam kepalaku sih sebenarnya aku banyak mikir. Soalnya, sebelum masuk SMA, aku mengalami hal yang agak berat. Jadi mungkin aku jadi orang yang cenderung memandang hidup dari jauh. Meskipun dengan cara yang beda, aku juga merasa agak terasing kayak kamu, dulu.”


Sekarang, dia bisa menertawakannya dengan cukup tenang. Tapi, rasa asing terhadap kenyataan yang dialaminya waktu itu masih belum sepenuhnya hilang.


“Aku boleh tahu ceritanya? Atau... lebih baik nggak usah ditanya?”


“Kayaknya bukan cerita yang menyenangkan, sih.”


“Aku termasuk tipe pacar yang ingin tahu segalanya. Tapi, aku minta maaf duluan, ya... kalau aku ketiduran di tengah cerita.”


Kalimat “ingin tahu segalanya” itu terdengar sangat intens. Dan bukannya bilang “aku akan tahan agar tidak tertidur,” dia malah bilang “kalau aku tertidur, maaf ya”—sebuah cara antisipasi yang unik.


“Kalau begitu, seperti waktu di restoran keluarga, sekarang juga kencan kita jadi kencan ngobrol, ya. Ayo cari bangku.”


Ternyata, begini pun tak membosankan. Kalau memang ini yang disebut “pacaran,” sepertinya dia sudah menjalani hubungan ini dengan benar. Bisa jadi, Masaomi bahkan sudah mulai terbiasa dengan obrolan tentang dunia Astral Side.


“Oke. Sebenarnya aku ini gadis rumahan, tahu. Kalau nggak pakai sunblock, bisa-bisa aku langsung jadi abu.”


Masaomi merasa bisa memahami. Orang yang sibuk bermain di dunia lain seperti Astral Side, mungkin memang tidak terlalu menikmati dunia nyata. Bisa dibilang, keputusan untuk kencan seperti ini pun termasuk hal yang langka baginya.


“Oh iya, tempat istirahat ada di sana. Di bukit kecil di tengah taman ini. Ada mesin penjual otomatis dan semacam pondok kecil. Memang nggak cantik, tapi lumayan bisa ngelindungin dari matahari.”


“Kamu tahu banget padahal ngaku gadis rumahan. Risetnya mantap.”


“Kawasan ini kayak wilayah kekuasaanku. Tentu saja, di dunia Astral Side maksudnya. Tempat ini cukup penting, soalnya.”


“Wilayah kekuasaan, kayak kucing aja... tapi yah, aku rasa itu masuk akal.”


“Memang begitu adanya.”


Sambil bercakap-cakap, mereka segera pindah ke tempat istirahat dan duduk berdampingan. Kuncir kuda Hibari yang tertiup angin menyentuh pundak Masaomi—sejauh itulah jarak mereka. Sebuah jarak yang khas milik sepasang kekasih.


“Jadi... sebelum masuk SMA, aku sempat mengalami kecelakaan lalu lintas. Nyaris mati, gitu.”


Ia tersenyum getir. Tapi meskipun pahit, itu bukan senyuman yang buruk. Seperti yang sudah diduga oleh Masaomi— Sasuga Hibari, begitu duduk, langsung mencoba untuk “dive”.


Dengan logika tiba-tiba khas mimpi, Masaomi dilanda rasa cemas karena merasa telah melupakan sesuatu. Karena ini mimpi, tidak ada penjelasan mengapa ia melupakan sesuatu, atau mengapa benda itu penting—yang pasti, ia sangat membutuhkannya dan sedang mencarinya mati-matian.


Ia yakin benda itu pernah ada. Ia yakin pernah menyimpannya di suatu tempat. Kenangan yang seharusnya tidak ada itu justru terasa nyata. Dan dalam banyak kasus, benda itu benar-benar ditemukan di tempat yang ia pikirkan. Aneh memang. Tapi begitulah mimpi.


Akhirnya, Masaomi menemukan kunci yang merupakan barang yang ia lupakan, dan dengan praktis ia memasukkannya ke lubang kunci sebuah pintu yang tiba-tiba muncul. Apa pintu itu sebenarnya, tidaklah penting. Ia hanya tahu bahwa ia harus membuka pintu itu.

Di balik pintu itu terbentang taman olahraga Kutsuna—atau lebih tepatnya, sebuah lapangan luas yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, namun diakui oleh pikirannya sebagai taman olahraga Kutsuna.


Dengan ketiadaan rasa waspada khas mimpi, ia melangkah masuk tanpa ragu. Seperti seseorang yang meluncur ke petualangan besar hanya dengan membawa satu koper, kesederhanaan itu memberinya semacam perasaan membumbung yang aneh. Bahkan dunia nyata yang biasanya sulit untuk dilepaskan, kini ditinggalkannya dengan mudah.


Di tengah lapangan terdapat sebuah objek seperti dinding raksasa… atau mungkin batu besar. “Apa memang ada benda seperti ini di sini?” pikirnya, tapi ia segera melupakan pertanyaan itu dan menatap sekeliling. 


Toh, ada dua matahari di langit. Mencoba menerapkan logika dunia nyata di dalam mimpi adalah tindakan sia-sia.


Di sekelilingnya berdiri sosok-sosok manusia yang samar, tidak bergerak sedikit pun. Tapi karena ini mimpi, dan mereka adalah orang yang tidak ia kenal, tidak jadi soal. Kalau ini dalam sebuah permainan, mungkin akan ada narasi seperti, “Ini adalah taman olahraga Kutsuna.” Dunia seperti itu belakangan ini terasa tidak asing lagi—ia merasa pernah mendengarnya, meski pikirannya sulit menyatukan semuanya. Tiba-tiba terdengar suara getaran keras menghantam perut, diikuti cahaya menyilaukan, teriakan, dan ledakan suara.


“Apa-apaan ini, nggak tenang banget,” gumam Masaomi entah dalam hati atau keluar dari mulutnya, sambil menoleh ke arah sumber suara.

Begitu ia menoleh, pemandangan langsung berubah drastis. Yang tadinya berada di atas bukit lapangan, kini tiba-tiba sudah berada di gerbang taman. Di depan matanya, beberapa sosok samar berdiri tegak di tengah lapangan.


“Benar-benar tiba-tiba,” pikirnya. Tapi tetap saja, ia merasa wajar saja—karena ini mimpi. Namun, di ujung pandangannya, ia menangkap sesuatu yang tidak dikenalnya.


“Itu... Valkyrie,” pikir Masaomi. “Gila, ini beneran.”


Terlepas dari dari mana karakter itu berasal, dalam dunia khayalan tidak ada yang benar-benar “asli”. Tapi Valkyrie yang satu ini sesuai dengan bayangan Masaomi: mengepakkan sayap putihnya, tubuhnya anggun dan ramping, tidak sebanding dengan tombak panjang besar yang diayunkannya hanya dengan satu tangan. Ia pernah mendengar orang-orang luar negeri merasa heran melihat gadis cantik dalam anime dan gim mengayunkan senjata besar, bukan pria kekar. Tapi di dunia ini, tidak terasa aneh sama sekali.


Baju zirah biru langit dan tombak peraknya membelah udara. Valkyrie itu terbang, mengejar musuh (?) lain yang bergerak. Sekilas, Valkyrie tampak sangat kuat, mengalahkan lawan-lawannya satu demi satu dengan mudah.


Selain Valkyrie, ada juga karakter-karakter lain berpenampilan fantasi yang turut muncul. Tapi perhatian Masaomi hanya tertuju pada Valkyrie. Soalnya, kaki yang tampak sesekali dari celah roknya sangat indah. Menurut penilaian ahli seperti Masaomi, setara dengan Sasuga Hibari. Untuk ketertarikan sesaat ini, ia mohon dimaafkan. Menengadahkan tangan dengan khidmat.


Ketika ia lengah, pemandangan kembali berubah. Mimpi ini sungguh tidak konsisten. Tapi memang seperti itulah mimpi. Valkyrie yang semula terbang ke sana kemari sambil menyerang, kini berhenti dan berhadapan dengan seseorang. Untuk memperjelas ketegangan, efek suara dramatis diputar keras-keras, seakan berkata, “Ini bagian tegang, diam dan teganglah.” Mimpi ini seolah memaksa penontonnya bereaksi sesuai skenario. Lawan Valkyrie memakai tudung, jadi wajahnya tidak terlihat jelas. Tapi dari sikap berdirinya, sudah jelas ia adalah karakter kuat. Dengan tangan di saku, gayanya seperti bos terakhir. Valkyrie mengatakan sesuatu dan mengarahkan tombaknya. Lawan itu tetap diam, tak bergerak.


Tokoh-tokoh baru mulai berdatangan mendukung Valkyrie. Menghadapi bos, tentu harus membentuk kelompok—begitulah aturan umum dalam gim. Mungkin ini semacam momen puncak di mana para musuh lama bersatu menghadapi satu ancaman. Tepat ketika kelompok itu terbentuk, sang bos perlahan mengeluarkan tangan dari sakunya—dan kemudian, dalam pandangan Masaomi, dalam sekejap seperti angin, ia mengayunkan sesuatu.


Hanya dengan itu, kelompok yang berkumpul di sekitar Valkyrie langsung terpental dan lenyap seolah sulap.


Valkyrie pun tampaknya terkena serangan. Wajahnya tampak menegang kesakitan... atau begitulah yang bisa dilihat. Padahal penglihatan Masaomi biasanya tajam. Kalau sekarang tidak jelas, berarti “kamera mimpi” ini gagal menayangkannya.


Kamera mimpi lalu beralih ke sang bos. Tanpa bergerak banyak, sosok itu tetap berdiri tenang, menunjukkan aura kekuatan yang tidak biasa. Ya, ini memang bos sejati. Sosok yang sudah kenyang pengalaman. Sosok seperti itu hanya bisa disebut "bos." Masaomi merasa seolah bertatapan dengan mata dari balik tudung berwarna biru tua itu.


“Gawat,” pikirnya sambil seluruh tubuhnya gemetar. Tekanan yang diterimanya seolah menghadapi badai topan. Ia merasa mimpinya dihancurkan oleh mimpi orang lain.


Valkyrie menoleh padanya. Ia mengatakan sesuatu—mungkin, “Jangan” atau “Lari.”


Namun sebelum ia bisa memahami apa yang dikatakan, tubuh Masaomi tercerai berai. Secara naluriah ia tahu bahwa bos itu melakukan sesuatu. Ia seperti dipaksa jatuh bebas dari langit, terseret masuk ke dalam gravitasi yang sangat kuat. Seluruh tubuhnya seolah melayang. Ah, pusing... tidak tahan...


Namun anehnya, Masaomi tidak merasa hampa atau kehilangan apa pun. Karena ini hanyalah mimpi milik seseorang.



"Hmm...? Wah, gawat."


Tampaknya, ketika Hibari sedang melakukan dive, Masaomi juga ikut tertidur sambil melamun tanpa sadar. Ketika melihat jam, belum sepuluh menit berlalu, tetapi tubuhnya terasa seperti habis tertidur lelap selama dua jam penuh. Perasaan mabuk karena bahagia itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Rupanya, kebahagiaan pasangan kekasih bisa membuat orang lemas tak berdaya. Kalau dirinya adalah ayam goreng crispy, mungkin sudah disantap tanpa stres.


"Yah, satu-satunya yang agak nyebelin itu... ya rasa sakit ini, sih. Benar-benar mengganggu tidur nyenyak."


Sambil tersenyum pahit, ia mengusap bekas memar baru seperti bekas digigit lintah. Entah pengalaman seperti apa yang sedang dialami Masaomi di dunia spiritual bernama Astral Side itu. Mungkin sekarang dirinya sudah tersayat setipis roti tawar khusus sandwich.


Karena Hibari, seperti biasa, sedang tenggelam dalam dunia Astral Side, Masaomi yang duduk di sebelahnya pun membuka ponsel dan mulai membaca berita. Semakin lama, kegiatan ini terasa semakin wajar, seolah menjadi rutinitas tetap.


"Serius...? Detektif investigasi pengguna kekuatan supernatural gagal total. Dan ini kasusnya nggak pernah beres ya, tiap kali dilihat."


Berita lanjutan tentang kasus penyerangan di Kota Habaki muncul. Tampaknya, pelaku dipengaruhi oleh obat-obatan, dan korban berikutnya ditemukan di kota sebelah, yaitu Kota Misora. Ada komentar ala komentator acara talk show yang menyalahkan FBI habis-habisan. Bahkan, ada orang yang mengaku pakar menyebut kasus ini mungkin cuma kecelakaan medis karena pelaku punya riwayat penyakit tertentu. Intinya, tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.


Kalau ini memang rangkaian kasus beruntun, mungkin sekolah akan segera memberikan peringatan juga. Masaomi harus memperingatkan adiknya juga. “FBI akan datang,” katanya, meski tahu itu malah bisa bikin semangat adiknya naik.


“Hmm...”


Hibari mengeluarkan suara lirih seperti sedang mengigau. Masaomi buru-buru memalingkan pandangannya dari ponsel, tetapi Hibari tampaknya belum bangun. Ia hanya sedikit mengubah posisi tubuh dan kembali bernapas pelan. Dulu ia sempat mengira bahwa napas Hibari saat dive terdengar seperti orang kesulitan bernapas, tetapi sekarang ia sudah terbiasa. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan, kepala Hibari bersandar ke bahu kanan Masaomi. Sepertinya ia benar-benar merasa nyaman. Padahal ada beban dari kepalanya, tetapi anehnya sama sekali tidak terasa berat.


Sensasi geli dan hangat menjalar di sepanjang punggung. Itu karena rambut Hibari yang menyentuh lehernya, atau mungkin aroma manis yang seolah membuat tubuhnya terbuat dari permen. Tapi yang paling dominan adalah dorongan naluri sebagai lelaki normal.


Beberapa kali ia nyaris membelai rambut Hibari atau menyentuh pipinya, tapi setiap kali itu pula ia menarik tangannya kembali. 


Sungguh perilaku mencurigakan. Ia ingat Hibari pernah bilang bahwa ia percaya pada Masaomi. Kalau begitu, ia tidak bisa mengkhianati kepercayaan itu hanya karena terbawa suasana. Pengalamannya dengan perempuan pun belum seberapa.


"...Apa ini yang disebut menggantung secara hidup-hidup?"


Hibari sendiri sudah mengatakan bahwa ia tidak akan berhenti melakukan dive. Waktu untuk dive tidak selalu pasti. Ia bisa melakukannya secara sadar, tapi katanya itu “lumayan melelahkan.” Sebagian besar waktu, ia hanya merasakan dorongan tiba-tiba—seolah pikirannya berkata, “Sekarang saatnya!” Karena sulit menahan dorongan itu, bahkan di kelas pun ia kadang berpura-pura tidur agar bisa dive. Meski hanya sekitar sepuluh menit, tetap saja itu berarti menampilkan kondisi tak berdaya di dunia nyata. 


Gadis ini punya keberanian yang luar biasa.


"Kalau tubuh rileks, memang lebih mudah untuk dive," katanya, menurut catatan di riwayat aplikasi. Kalau itu benar, maka meningkatnya frekuensi dive saat bersama Masaomi bisa jadi semacam barometer kedekatan mereka.


Dari sudut pandang Masaomi, ini berarti ia bisa secara sah bersandar bersama kekasihnya. Dan itu bukan hal yang buruk. Tapi, hangatnya tubuh Hibari yang terasa samar, napasnya yang sedikit berat, serta kelembutan khas perempuan terus menggoda nalurinya. Karena itu, ia harus mengalihkan perhatian dengan membaca berita atau hal-hal serius. Memang, naluri adalah hal yang rumit. Mungkin beginilah kehidupan remaja laki-laki pada umumnya.


Efek sampingnya, sekarang ia merasa jadi lebih paham isu terkini. Sampai-sampai Hinata bisa saja menyindir, "Kamu lagi cari kerja ya?" Sayangnya, tampaknya cinta juga butuh berita sebagai bahan obrolan.


Dengan kepala Hibari bersandar di bahunya, ia bahkan tak bisa mengangkat bahu. Ia hanya menghela napas pelan, lalu mengarahkan pandangannya melewati pagar taman dari bangku istirahat yang letaknya agak tinggi—menatap ke arah parkiran luas di luar taman. Dan kemudian…


“…Itu orang…”


Ia melihat sesuatu yang tampak konyol sedang mondar-mandir di balik bayangan mobil. Entah sedang latihan jadi ninja kekinian atau apa, sosok itu bergerak mondar-mandir di antara mobil-mobil, lalu melirik ke arah pagar—tempat di mana Masaomi dan Hibari berada. Jarak mereka sekitar tiga puluh meter. Berkali-kali melirik ke arah sini, lalu mengetik sesuatu di ponsel. 


Jelas-jelas mencurigakan. Orang mencurigakan yang ingin kelihatan mencurigakan, itu benar-benar bodoh.


“…Dia berani-beraninya pakai kostum aneh begitu…”


Dengan jambang putih mencolok, memakai kaus T warna pastel entah menyala atau tidak, dan celana kulot pendek, penampilannya sangat mencolok. Yang paling aneh adalah aksesori bahu di kausnya yang terlihat seperti bantalan bahu menyatu—aksesori aneh yang bahkan tidak akan kamu temui di zaman kiamat sekalipun, kecuali mungkin di antara para cosplayer ekstrem.


Makhluk yang seperti perwujudan keberagaman itu membuat Masaomi ingin langsung menyerangnya dan bertanya, “Kamu beli itu di mana sih?” Tapi ia menahan diri. Bagaimanapun, ini sedang kencan. Tidak ada waktu untuk menilai fesyen orang asing. Dengan wajah kesal, Masaomi menutup aplikasi berita dan mengirim pesan lewat LINE:


“Kamu sengaja ya? Kamu tahu kan kalau mataku itu tajam?”


Sosok bodoh itu langsung menunjukkan reaksi mencolok. Padahal pesan dikirim lewat aplikasi, tapi dia malah celingak-celinguk seperti paranoid. Masaomi ingin berteriak, “Kamu lagi lawan siapa, sih?”

Dengan helaan napas besar banget yang kali ini benar-benar alami, ia mengirim pesan ke orang lain:


“Dasar tukang intip sialan.”


Dengan begini, maksudnya seharusnya sudah tersampaikan. Karena pelaksana aksinya adalah orang bodoh, maka dalang di baliknya tentu saja adalah si pengguna orang bodoh. Dari dua pengguna orang bodoh yang ada, salah satunya sedang lengket-lengketan dengan pacarnya di tempat ini. Jadi, bisa langsung ditebak siapa dalangnya.


Tak lama kemudian, si bodoh itu kembali mengetik sesuatu di ponselnya dan buru-buru pergi dari tempat itu. Mungkin saja dia mendapat perintah penarikan dari atasannya. Ninja yang tak bisa menyembunyikan diri tak ada harganya—hal itu berlaku bahkan di zaman sekarang.


—Bagaimana mereka bisa tahu, ya?


Faktanya, Masaomi belum memberi tahu kedua orang itu bahwa dia mulai berkencan dengan Hibari. Karena hubungan mereka juga terjalin tanpa pengumuman resmi, ia merasa sulit menentukan waktu yang tepat untuk memberi tahu. Selama hanya dicurigai, itu masih bisa diterima. Tapi tentu saja ia tidak punya niat untuk menyebar luaskannya di sekolah. Lagi pula, Masaomi dan kedua orang itu juga jarang sekali menghabiskan waktu bersama di luar sekolah. Mungkin hal itu terdengar mengejutkan, tapi memang begitu kenyataannya.


Keiji, misalnya, hampir selalu punya urusan keluarga di akhir pekan, sedangkan Kasuka punya sedikit kecenderungan untuk berkeliaran tanpa tujuan. Dan dalam budaya anak laki-laki biasa, kabar seperti "aku punya pacar" jarang sekali disampaikan secara pribadi satu per satu. Mungkin.


Kalau mengingat kejadian tiga hari yang lalu, atau fakta bahwa mereka tiba-tiba tidak makan siang bersama lagi, atau karena mendengar gosip buatan si Kaji-entah-siapa, atau mungkin juga Kasuka melihat mereka berdua secara kebetulan—Masaomi menyimpulkan itu semua kemungkinan penyebabnya. Alasan pastinya tidak begitu penting. Toh, ia memang berniat menceritakan semuanya pada hari Senin, saat masuk sekolah lagi. Kalau membayangkan wajah Keiji yang pasti menyeringai lebar, semangatnya langsung menghilang.


“Ah... nngh?”


Suara manja seperti anak kecil menyentuh telinganya. Seketika, bayangan Keiji yang menyeringai langsung lenyap dari pikirannya. Selamat tinggal, Keiji.


“Selamat pagi, Hibari. Bagaimana dive-mu tadi?”


“Aneh rasanya.”


Mungkin karena masih setengah sadar, nada bicara Hibari terdengar agak kekanak-kanakan. Masaomi nyaris tertawa.


“Tak perlu ditertawakan juga...”


Sepertinya Hibari mulai pulih sedikit demi sedikit, dan berkata begitu dengan nada sedikit merajuk.


“Jadi, yang kamu maksud ‘aneh’ itu?”


“Aku ini kan seorang ‘Mesiah’, penyelamat dunia, kan?”


Kalau dilihat dari kalimatnya saja, itu jelas terdengar mencurigakan. Tapi karena memang itulah kenyataannya, Masaomi menahan diri untuk tidak menyela.


“Orang-orang yang punya tujuan berseberangan denganku dan mencoba mengacaukan Astral Side, kami menyebut mereka ‘Selfi Sang Perusuh Dunia’. Nah, saat kami—tiga orang Mesiah, termasuk aku—mengepung salah satu Selfi itu, dia... menghilang.”


“Menghilang? Maksudmu, Selfi-nya?”


“Bukan,” jawab Hibari, sambil menggeleng pelan di atas bahu Masaomi.


“Yang menghilang adalah salah satu dari Mesiah yang bersamaku. Ia adalah diver yang cukup kuat, dengan tag khusus ‘Fullerene’.”


“Tag khusus... Aku nggak ngerti bagian itu.”


“Maaf ya. Tag khusus itu... ya, semacam nama julukan saja. Aku juga punya.”


“Kalau begitu, tag khusus milikmu, Hibari-san?”


“‘Noble Lark’. Sebenarnya cuma plesetan dari namaku saja. Kalau mau tertawa karena terlalu sederhana, silakan saja.”


Masaomi mencoba memeras otaknya—apa itu ‘Lark’? Tapi karena nilai Bahasa Inggrisnya selalu 2, usahanya hanya membuahkan keringat dingin. Diam-diam, ia membuka aplikasi kamus. Dan ternyata—‘lark’ artinya burung skylark, yang dalam bahasa Jepang disebut hibari. Sementara ‘noble’ artinya mulia atau bangsawan. Jadi, Noble Lark adalah “Hibari yang agung.” Ya, memang plesetan yang cukup sederhana.


“Nama akun di media sosial juga seringnya kayak begitu, kan? Diubah sedikit dari nama asli, atau warna biru sengaja diubah jadi merah, misalnya. Banyak yang seperti itu. Aku rasa para diver lain juga memberi nama mereka sebatas begitu saja... mungkin.”


Hibari mengatakan itu seperti orang yang sedang menutupi rasa malu. Masaomi pun tidak bisa menahan tawa. Tapi Hibari malah meliriknya tajam, seperti tersinggung.


“Tak apa, kalau kamu tak percaya...”


Tapi dari wajahnya, jelas sekali bahwa ia tidak suka ditertawakan—dan ekspresi cemberutnya itu justru sangat menggemaskan.


“Yang jelas, aku pernah dengar kabar soal kejadian seperti ini, tapi aku tak menyangka itu akan terjadi begitu dekat denganku. Karena teman sesama Mesiah itu tiba-tiba terlihat kesakitan, aku juga jadi panik, dan akhirnya si Selfi berhasil lolos.”


Nada bicara Hibari menjadi sedikit lebih bersemangat. Setiap kali ia bicara tentang Astral Side, semangatnya selalu meningkat, seperti anak kecil yang meminta untuk didengarkan: “Dengar, dengar! Jadi begini lho...”


Hal itu terasa menyegarkan dan menyenangkan bagi Masaomi, tapi di sisi lain juga membuatnya merasa minder. Karena ia sendiri tidak punya bahan pembicaraan semenarik itu.


—Yah, mungkin bagi Hibari, kehadiran Masaomi yang mau mendengarkan cerita seperti itu saja sudah cukup membuatnya merasa berharga. Dan kalau memang begitu, maka itu juga bisa dianggap sebagai peran penting yang dimiliki Masaomi. Guardian bukan hanya pelindung secara fisik, tapi juga penjaga hati sang gadis.


Karena itu, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah menjalankan peran itu sebaik-baiknya, dan menyelami dunia Hibari.

Dunia yang belum ia kenal: Astral Side—ia harus memahaminya satu demi satu, seperti mengurai benang kusut.


“Ngomong-ngomong, memangnya ada banyak ya, diver Astral kayak kamu? Bukan cuma kamu?”


“Tentu saja.”


Membutuhkan usaha besar bagi Masaomi untuk tidak mengucapkan 

“Oh... tentu saja, ya...?”


“Cukup banyak orang yang memiliki misi seperti milikku. Dan begitu mereka melakukan dive, mereka akan langsung memahami tujuan keberadaan mereka. Kalau mereka menyetujui tujuan itu, mereka akan menjadi Mesiah. Tapi jika tidak, dan lebih memilih kebebasan, maka mereka akan menjadi Selfi. Meski tentu saja ada beberapa pengecualian.”


“Diver satu sama lain pernah saling berinteraksi di dunia nyata?”


“Tidak,” jawab Hibari tegas.


“Soalnya, kami tak tahu siapa mereka sebenarnya. Kami memanggil satu sama lain dengan tag khusus, bukan nama asli. Dan karena setiap orang bisa mengubah penampilan mereka sesuka hati di Astral Side, hampir tak ada petunjuk. Kalau ada diver yang memanggil Guardian-nya dengan wujud dan kepribadian sama seperti di dunia nyata, dan ternyata si Guardian itu juga kenalan kita... yah, mungkin saja bisa ketahuan. Tapi kemungkinan itu kecil sekali.”


“Kalau begitu, seperti apa tampilanmu di sana, Hibari-san?”


“Seperti gadis pejuang.”


Pacarku adalah seorang gadis pejuang di pikirannya sendiri. —Itu... pernyataan yang cukup menggelegar. Namun, kalau dipikir-pikir, gadis pejuang yang dimaksud sebenarnya adalah Valkyrie. Kalau istilahnya diganti dengan seperti itu, jadi terasa seperti permainan dan lebih mudah dipahami. Kebetulan baru-baru ini aku juga sempat bermimpi tentang hal semacam itu, jadi gambaran itu muncul dengan cukup jelas di kepalaku.


“Jadi, pada dasarnya ini seperti situasi dalam game online, ya?”


“Mungkin begitu juga, Para diver yang mengakses server bersama bernama Astral Side dalam waktu bersamaan, menggunakan avatar kesukaan mereka dan berbagi dunia yang sama—kalau dipikir begitu, ini seperti bermain game sambil tidur. Aku ini... tidak serius, ya.”


Ia berkata seperti bercanda, tapi saat aku melirik ke arahnya, ekspresinya sangat serius.


“Ngomong-ngomong, Hibari-san, ini memang tidak ada hubungannya dengan topik tadi, tapi…”


“Apa?”


“...meskipun sudah bangun, kenapa kepalamu masih kamu taruh di bahuku seperti bantalan?”


“…………kamu keberatan?”


Nada suaranya manja dan sedikit merajuk, seperti peluru permen yang menghantam bagian terdalam otakku dengan manis.


“Bukan keberatan, cuma... penasaran saja.”


Hibari, si gadis penyiar gelombang aneh, tampak berpikir cukup lama kali ini sebelum akhirnya menjawab.


“Aku ingin begini sedikit lebih lama. Tidak masalah, kan? Guardian-ku?”


“──Sebagaimana perintahmu.”


Masaomi pun tersenyum pahit.


—Entah karena berpikir seperti itu atau bukan, yang jelas...


“Satu hal yang perlu aku tambahkan, astral dive atau astral diver secara umum, menurut pandangan masyarakat, dianggap sebagai orang sakit.”


“Pacarku disebut orang sakit itu rasanya kurang menyenangkan, tapi... tunggu.”


Ada satu kata yang mengganjal di benakku.


“Masyarakat? Astral diver itu sesuatu yang diketahui orang banyak, ya?”


Sejauh yang Masaomi tahu, ia sendiri bahkan tidak pernah mendengar istilah itu sebelumnya. Dan teman-teman di sekolah, meskipun kadang mengejek Hibari seolah ia aneh, tidak ada yang pernah mengatakan bahwa ia sakit atau menderita penyakit tertentu. Bahkan gosip semacam itu pun belum pernah ia dengar.


“Ya, memang tidak dijelaskan secara resmi. Bahwa ini adalah penyakit, maksudku. Jadi, dari pandangan orang awam, mungkin hanya dianggap sebagai orang yang punya kebiasaan berkhayal saja. Tapi, jika diperiksa di rumah sakit, akan diberi diagnosis dengan nama penyakit yang jelas. Misalnya... kalau gelombang otakku diukur saat melakukan dive, maka pola gelombangnya akan sangat kacau—tidak seperti biasanya. Tapi bukan seperti kejang yang datang sesekali seperti epilepsi. Pola itu berlangsung terus-menerus selama dive. Namun, begitu aku berhenti dive, tidak ada satu pun anomali yang bisa ditemukan, seberapa pun dalamnya pemeriksaan. Para dokter bahkan bilang, melihat hasil EEG-ku (elektroensefalografi)saat dive itu seperti sedang melihat perangkat yang terganggu sinyal—seolah-olah sedang terkena jamming. Selain itu, otakku masuk dalam kondisi sangat terangsang, meskipun tubuhku tidak bergerak. Jadi katanya, ada beban tertentu yang ditanggung otak meski tubuh diam saja.”


“Aku bisa menjelaskan sejauh ini karena sudah menjalani berbagai pemeriksaan,” tambahnya, seolah merasa perlu membenarkan penjelasannya sendiri.


Padahal, Masaomi merasa tidak sedang menatapnya dengan tatapan penuh kecurigaan. Tapi mungkin Hibari sudah mengantisipasi reaksi seperti itu sebelumnya, karena penjelasannya terasa lancar dan rapi—seperti sudah dipersiapkan.


“Apa nama penyakitnya, kalau boleh tahu?”


Tanpa berusaha menyembunyikan, Hibari menjawab langsung.


“Namanya adalah gangguan koma kronis (Chronic Coma Disorder /CCD). Intinya, dunia kami para astral diver—Astral Side—dianggap sebagai dunia mimpi atau ilusi semata menurut ilmu kedokteran. Menyebalkan, bukan? …Hei, menurutmu bagaimana, Masaomi-kun?”


TLN : CCD dalam cerita fiksi ini bukanlah penyakit nyata yang dikenal dalam dunia medis saat ini, tetapi merupakan penyakit fiktif yang dibuat dalam dunia cerita untuk menjelaskan kondisi para astral diver seperti Hibari. Gejalanya digambarkan sebagai:

Terjadinya pola gelombang otak yang kacau saat dive (tapi tidak seperti epilepsi).

Tidak ada gejala atau kelainan saat tidak dive.

Dianggap sebagai bentuk mimpi atau halusinasi oleh dunia medis.

Nama penyakit ini mungkin dipilih agar terdengar seperti kondisi neurologis nyata.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close