NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dare mo ga Urayamu Tonari no Cool Bishoujo, Jitsu wa Nounai Pink Sugiru Vol 1 Prologue

 Note : Yang mau PDF bisa joint ke DC Fanservice x Hinagizawa Group

Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Prologue

Aku seorang telepatis, tapi gadis cantik yang dingin di sebelahku pikirannya terlalu Pink, jadi terasa menyiksa

Pintu terbuka, dan suasana kelas pun berubah.

Rambut panjang yang berkilau laksana benang sutra. Tungkai putih bersih yang menjulur dari seragam resmi sekolah. Mata yang tajam seolah diasah, namun sekaligus memiliki pesona sensual, semakin mencuri perhatian di antara wajahnya yang begitu sempurna hingga seakan-akan Tuhan sendiri memberi keringanan khusus dalam menciptakannya.

Seorang gadis yang begitu cocok dengan sebutan "gadis cantik" datang dari arah lorong.

Kelas yang tadinya riuh mendadak diselimuti keheningan. Semua orang menatapnya dengan wajah seolah-olah menahan napas, pandangan mereka terpaku pada sang gadis.

Walau tahun ajaran ini sudah berjalan beberapa waktu, teman-teman sekelasnya masih belum terbiasa dengan aura anggun yang memancar darinya.

"Rio-chan, selamat pagi."

"Pagi juga, Kagu-chan."

Menanggapi kedatangan sang gadis, para siswi akhirnya mengucapkan salam pagi, meski dengan sedikit jeda. Gadis cantik yang dipanggil Rio itu menoleh, rambutnya berayun halus, lalu berkata singkat:

"Ee."

Apakah itu bisa disebut jawaban? Ekspresinya sama sekali tak berubah.

Sepatah kata yang keluar dari wajah setegar baja itu seakan menimbulkan kesan dingin, tetapi entah mengapa masih menyimpan nada yang mampu menggoda hati. Nada suaranya, intonasi yang tertahan, semua itu memancarkan keanggunan khas dirinya.

Para siswi pun mulai mengajaknya bicara layaknya teman akrab. Sementara itu, para siswa hanya bisa memandang dari jauh dengan sikap agak sungkan. Keriuhan kelas perlahan kembali, namun pusat perhatian tetaplah gadis itu.

"Kagura-san benar-benar cantik ya. Kalau dia menyapaku dengan wajah itu, aku pasti tak bisa berkata apa-apa."

"Serius, kecantikannya sudah di atas dewi."

Para siswa berbisik sambil sesekali mencuri pandang ke arah Rio.

Meskipun keberadaannya sudah menjadi bagian dari keseharian, tetap saja ia terlihat begitu istimewa. Namun, Rio sama sekali tak mengindahkan tatapan-tatapan itu.

Ia hanya merespons kata-kata siswi lain seperlunya, lalu berjalan dengan tenang menuju kursinya di baris paling belakang dekat jendela. Ia duduk, lalu mengeluarkan sebuah buku tebal dari tasnya dan membukanya. Bahkan gerakan sederhana itu pun tampak begitu elegan—suatu hal yang sulit dimengerti.

"Ayo, ada yang berani bicara sama dia nggak?"

"Mustahil, itu sudah wilayah suci. Ngeri, bro."

"Kira-kira apa yang sedang dia baca ya…"

"Mungkin buku akademis? Katanya nilai ulangannya kemarin semua sempurna, kan?"

"Parah banget, gila sih. Katanya lagi, dia juga jago banget olahraga."

"Tuhan bukan cuma kasih dia dua anugerah, tapi lima atau enam sekaligus."

Ketika para siswa masih tenggelam dalam rasa kagum, sosok lain muncul dari balik pintu tempat Rio tadi masuk.

──Pintu kembali terbuka. Namun kali ini, suasana kelas tetap sama, tak berubah sedikit pun.

Rambut berantakan dengan helai-helai yang tak jelas arahnya. Satu-satunya yang menonjol hanyalah tinggi badannya yang sedikit di atas rata-rata, meski tetap saja biasa saja. Siluet yang, bahkan bila lewat di jalan, tak akan menarik perhatian siapa pun.

Wajahnya pun tak punya ciri khas, kecuali mungkin sekadar memberi kesan "terlihat baik hati." Dibandingkan dengan Rio, siswa laki-laki itu benar-benar tampak tak mencolok.

"Kagura-chan, hari ini juga cantik banget ya!"

"Pantas aja senior ace dari klub sepak bola jatuh hati padanya… meski katanya akhirnya ditolak sih."

"Eh!? Padahal senior itu kan ganteng banget, ya!?"

Obrolan tetap berkisar pada Rio. Semata-mata karena pesona luar biasa Rio— namun sayangnya, hal itu sekaligus menjadi bukti nyata betapa tidak menonjolnya siswa yang baru masuk itu.

"Standarnya tinggi banget ya… Oh, pagi, Sumito."

Setelah melewati beberapa orang, barulah ada seorang teman dekat yang menyapanya.

"Ou… pagi."

Ia menjawab sambil menahan kantuk, seolah sedang menekan sebuah menguap. Sikap santai semacam itu memang patut ditiru, namun tampaknya pikirannya sedang berada di tempat lain.

"Pagi, Kagura."

Pemuda itu—Sumito—berdiri di samping Rio. Padahal barusan ia menunjukkan betapa tipis keberadaannya, tapi kini justru berhasil menarik semua tatapan seisi kelas. Namun, tak ada jawaban dari gadis di sampingnya.

Beberapa saat hening, lalu akhirnya ia memberi reaksi, meski tanpa menoleh sedikit pun dari buku di tangannya:

"…Pagi."

Sekilas pandang pun tak ia berikan, hanya sepatah kata yang meluncur begitu saja. Tatapan teman sekelas yang semula tertuju pada Sumito, seketika beralih kembali, sambil dalam hati berkata serempak: "Ya, sudah kuduga."

"Yonemine itu berani juga ya, bisa nyapa Kagura dalam keadaan begitu."

"Yah, dia memang agak cuek orangnya."

"Tapi tetap aja, bisa bikin Kagura ngucapin empat huruf ‘selamat pagi’ aja udah setara pahlawan. Wajib kita puji."

Meski kata-kata itu terucap di antara teman sekelas, Sumito tak memperlihatkan tanda-tanda terganggu. Ia duduk dengan tenang di kursi sebelahnya. Namun, di wajahnya tersirat sedikit rasa muram.

(Sungguh… kalian itu enak ya. Bisa tetap tidak tahu hal-hal yang sebenarnya tak ingin diketahui.)

Sumito menoleh sekilas ke arah gadis di sampingnya, yang tengah larut dalam buku di hadapannya.

Benar, sosok itu memang sangat pantas disebut sebagai "bunga di puncak tebing"—indah, tetapi tak terjangkau.


Namun, kesan seperti itu sungguh jauh dari kenyataan bagi dirinya.

Sebab dia tahu.

『…Haa, ternyata memang terlalu erotis. 』

Sebuah bisikan meluncur keluar.

Dingin, tak tersentuh, agung, suci… semua kesan itu langsung hancur seketika oleh suara yang sama sekali tak pantas keluar dari mulutnya—sebuah suara berwarna merah muda.

『Meskipun tubuhku sedang dilecehkan dan dipermainkan oleh banyak orang, aku tidak bisa melawan… ini sangat bagus. Deskripsinya sangat detail, pasti penulisnya berpengalaman… mungkin setiap hari dia bercinta dengan tubuh yang basah kuyup oleh keringat….』

Suaranya semakin panas, tiap kata yang terucap dipenuhi gelora merah muda.

Buku tebal berkulit keras itu, yang oleh semua orang dikira sastra rumit atau karya akademis, nyatanya jelas merupakan buku “seperti itu.” Bahkan bukan yang biasa, melainkan level lanjut.

(Pagi-pagi begini, kenapa sih dia baca yang beginian…)

Sumito memegangi kepalanya.

Bagaimana tidak, di sebelahnya ada gadis cantik dingin yang melontarkan kata-kata cabul dengan lancar, seolah-olah mengalir begitu saja. Namun, tak seorang pun di kelas itu bisa merasakan penderitaan Sumito, dan tentu saja tak ada yang bisa membayangkan bahwa bunga tinggi nan tak tersentuh itu diam-diam menyimpan jurang kontras yang begitu besar. Dan Rio sendiri pun, tidak pernah membayangkan bahwa ada seseorang yang mengetahui hasrat tersembunyi dalam dirinya.

Sebab suara berisik yang menggema itu hanyalah suara yang bisa didengar oleh Sumito seorang—hasil dari kemampuan telepati yang ia miliki.

(Kalau mereka tahu gadis cantik nan dingin ini ternyata membaca novel erotis di pagi hari, kira-kira bagaimana reaksi mereka ya…)

Sekilas pikiran nakal melintas, tapi segera Sumito menepuk pelipisnya, berusaha mengusir bayangan merah muda yang merasuk.

『Lagipula di kelas ini ada puluhan laki-laki… adegan dalam novel ini bahkan bisa direka ulang—』

(Aduh, tolonglah, diam sebentar saja…)

Namun, meskipun ia menolak, arus pikiran cabul dari sang gadis dingin itu tidak berhenti.

Ya… inilah kisah penderitaan seorang telepatis.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close