NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dare mo ga Urayamu Tonari no Cool Bishoujo, Jitsu wa Nounai Pink Sugiru Vol 1 Chapter 7

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 7

Ingin menjadi seperti apa?

Waktu benar-benar berlalu secepat anak panah, seperti kata pepatah, dan sudah hampir genap seminggu sejak aku membuat kesepakatan dengan Kagura untuk berkumpul di gedung sekolah lama sepulang sekolah.

Kami lebih dulu memulai belajar ketimbang yang lain, namun di masa-masa seperti ini, tampaknya teman-teman di sekitar juga mulai merasakan benih-benih kecemasan tumbuh dalam diri mereka.

Ucapan seperti “Sudah tinggal waktu sesingkat ini!?” atau “Tolong izinkan aku bolos klub, dong…” terdengar dari berbagai arah, masing-masing diliputi rasa panik mereka sendiri.

Kalau dipikir-pikir, belajar dengan bimbingan Kagura benar-benar membawa banyak keuntungan. Berkat itu, hampir semua mata pelajaran bisa kuhadapi dengan persiapan matang. Rasanya seperti, “Kemenangan sudah di tangan, tinggal mandi dan makan malam.”

… Yah, kalau hanya dilihat dari sisi akademis saja.

“Naa, sebenarnya siapa sih itu si Yonemine…!?”

Adegan pun berganti ke jam istirahat. Saat aku kembali ke kelas setelah menyelesaikan rutinitas kecil untuk membunuh waktu, aku mendengar suara seperti itu. Spontan aku bersembunyi di balik pintu dan mengintip dari jendela.

Di salah satu sudut kelas, tampak kerumunan lebih besar dari biasanya. Di tengah kerumunan itu ada… teman satu-satunya yang kumiliki, Masaki.

“Kagura belakangan ini kayaknya dekat banget sama dia, ya?”

“Tadi pas pelajaran, aku lihat mereka ngobrol santai lho! Bahkan sampai menyatukan meja segala!?”

“Masaki, kau kan akrab sama Yonemine. Sebenarnya dia pakai ilmu hipnotis apa, sih?”

… Hm, begitu rupanya.

Sejak awal aku sudah menduga pembicaraan tentang orang sepele macam aku pasti bukan hal yang menyenangkan, dan ternyata benar saja: yang jadi bahan gosip adalah soal hubunganku dengan Kagura.

“Sudah kubilang berkali-kali, aku nggak tahu apa-apa. Menurutku sih, dia cuma orang baik aja.”

Masaki yang ada di pusaran gosip itu menjawab dengan nada agak kesal. Sepertinya dia terus-menerus dicecar pertanyaan tentangku.

Yah, memang dia satu-satunya orang yang bisa dibilang cukup dekat denganku. Jadi kalau ada yang ingin tahu soal aku, otomatis mereka akan mendesak Masaki.

“Ah, nggak mungkin sesederhana itu! Pasti ada sesuatu! Misalnya… dia itu jago banget di ranjang atau semacamnya!”

“Oi, hentikan! Jangan ngawur! Dia bukan pacarnya, kan!?”

“Tapi kemungkinan itu nggak nol juga, kan…”

… Mereka benar-benar bicara semaunya. Entah siapa yang pertama kali menyebarkan gosip aneh, tapi “Yonemine = cowok diam-diam populer” sepertinya sudah mulai mendapat tempat di kalangan tertentu. Semuanya berawal saat Sawari menawariku makan siang secara blak-blakan, lalu makin dipicu dengan hubunganku bersama Kagura belakangan ini. Akhirnya nanti pasti akan meledak besar—tepatnya, ledakan amarah para lelaki.

Padahal aku cuma ingin menjalani hari-hari dengan tenang. Tapi dari luar, entah kenapa aku malah tampak seperti “pria misterius yang jago memikat wanita”.

Siapa coba? Serius, siapa coba yang seperti itu? Yang lebih merepotkan, tipe orang seperti mereka ini punya kebiasaan memutar film khayalan di kepala sendiri. Kenapa mereka sengaja menyakiti diri sendiri, sekaligus membuatku jadi canggung karena imajinasi konyol mereka? Benar-benar situasi “sama-sama rugi” yang konyol.

“Yah, aku juga nggak tahu lagi. Kalau kalian benar-benar penasaran, kenapa nggak langsung tanya si Sumito aja──”

Sebelum kalimat “langsung tanya saja” terlontar, aku buru-buru menjauh dari tempat itu.

Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Masaki berikutnya meski tanpa melihat wajahnya. Dia tipe orang yang selalu memikirkan matang-matang sebelum bicara. Artinya, kalau aku tetap di sana, aku pasti akan terjebak langsung ke dalam situasi bak “medan perang.” Menghindar lebih dulu jelas langkah terbaik untuk meminimalkan kerugian.

… Meskipun, lebih tepatnya itu hanya menunda masalah. Saat kembali ke kelas nanti, jangan-jangan aku malah disambut dengan “pengadilan massal”? Pikiranku sedikit saja digelayuti rasa takut itu.

***

“Maaf, mungkin hari ini aku terlambat lagi.”

Bel berbunyi menandakan jam pulang sekolah. Suasana kelas langsung ramai dengan suara kursi berderak dan obrolan riuh. Di tengah keributan itu, dari bangku sebelahku, terdengar suara pelan yang menyapaku.

Aku menoleh. Kagura tampak sedikit menolehkan tubuhnya ke arahku, dengan wajah yang entah kenapa terlihat agak kikuk.

“Oh, baiklah, aku mengerti. Tapi… kau baik-baik saja?”

“……”

Aku langsung paham maksudnya—dia ingin mengatakan kalau ia akan terlambat datang ke sesi belajar bersama yang sudah jadi kebiasaan kami. Kagura hanya mengangguk kecil, lalu menampilkan ekspresi sedikit sulit.

“Kalau memang mau menolak, lebih baik tolak saja semuanya dari awal.”

Melihat wajahnya seperti itu, aku hanya bisa tersenyum kecut.

… Belakangan ini, Kagura memang terus-menerus menerima gempuran ajakan dari para lelaki. Sayangnya, melihat kedekatannya denganku—seorang pria yang sebenarnya tidak jelas siapa—mereka tampaknya mendapat keberanian aneh: “Kalau dia bisa, aku juga bisa! Malah aku lebih pantas!” Akibatnya, mereka bergantian tampil untuk memamerkan diri di hadapan Kagura. Karena sejak SD dan SMP ia bersekolah di sekolah khusus putri, ia tidak terbiasa menghadapi hal seperti ini. Wajar kalau wajahnya makin sering tampak lesu.

… Yah, meskipun bagiku, “wajah datar tanpa ekspresi khasnya” hanya terlihat sedikit lebih keras. Para lelaki itu tetap saja tidak menyadarinya, dan terus maju menyerang.

“Tidak, aku tidak bisa begitu. … Belakangan ini, aku berubah pikiran.”

Menanggapi senyum kecutku, Kagura mengangkat bahu ringan.

“Mereka itu, bukankah sedang memberanikan diri? Mereka jujur terhadap perasaan mereka sendiri. Kalau begitu, rasanya tidak pantas bagiku untuk menolak mentah-mentah keberanian itu.”

Aku jadi teringat kejadian saat ia pernah ditembak di belakang gedung sekolah lama.

Waktu itu, ia sama sekali tidak menghiraukan lelaki yang sedang kasmaran itu karena pikirannya sibuk dengan hobi anehnya. Tapi sekarang, sepertinya ia mulai berubah cara pandang. Entah bisa disebut “dewasa” atau tidak, aku tidak tahu.

“Menurutku sih, toh akhirnya mereka hanya merepotkanmu. Jadi kau tidak perlu repot-repot berempati begitu.”

“… Yah, kalau nanti benar-benar menyulitkan, barulah aku lakukan itu.”

Kalau dipikir-pikir akulah penyebabnya, rasanya jadi agak tidak enak hati. Tapi kalau aku yang bilang, “Sudahlah hentikan,” bisa-bisa aku malah kena serangan bom cemburu lagi. Lagipula, aku bukan orang sebaik itu untuk rela mengorbankan diri, dan juga bukan tipe manusia yang setega itu. Kalau dia merasa baik-baik saja, maka sebaiknya memang kubiarkan saja.

"Kalau begitu, aku duluan ya… nanti kita ketemu lagi."

"Iya. Sampai nanti."

Dengan hati-hati agar tidak terlalu mencolok, aku mengucapkan salam perpisahan, lalu segera melangkah cepat keluar kelas. Jarak dari kelas menuju gedung lama lumayan jauh: harus turun tangga dari lantai paling atas, keluar ke halaman, lalu berjalan sedikit lagi.

Mungkin terdengar agak berlebihan, tapi selama perjalanan itu aku berusaha memilih rute yang tidak terlalu dilalui orang, supaya tidak menarik perhatian siapa pun.

Ya, lagipula memang sedang agak ramai dibicarakan, jadi waspada sedikit justru pas rasanya. Begitulah yang kupikirkan sambil membiarkan riuh suara siswa lain yang bersiap pulang sekolah terdengar samar di kejauhan, sampai akhirnya—

"Oi, Sumito!"

Bam! Sesuatu menghantam punggungku.

Tak kusangka, ada orang yang bisa mendeteksi teknik penyamaran bayanganku! Segera aku menoleh ke belakang. Yang kulihat adalah seorang laki-laki dengan senyum lebar memperlihatkan gigi putihnya. Tingginya masih pantas disebut anak lelaki ketimbang pria.

"…Apa sih, Masaki."

"Apa sih-apaan, dasar keterlaluan!"

Ia merengut kesal, tapi senyum tetap mengembang di wajahnya. Bahkan dengan semangat yang sama seperti menepuk punggungku tadi, dia kini menyampirkan lengannya di pundakku.

"Ada perlu apa?"

"Perlu apaan, aku cuma lihat kau kabur-kaburan kayak ninja, makanya aku kejar!"

Kemampuanku untuk menyatu dengan keramaian dan lenyap dalam sekejap ternyata bisa terbongkar olehnya.

Boleh juga, orang ini sepertinya bukan lawan sembarangan. Ibarat matahari yang menyilaukan, di bawah sinarnya yang terang, bahkan ulat kecil di balik bayangan pun terlihat jelas.

"Dan lagi… akhir-akhir ini, kau agak susah diajak main, kan?"

"…Begitu ya? Tapi kan kita tetap makan siang bareng, ngobrol juga waktu istirahat."

"Ya, sih… tapi tetep aja."

Masaki menyeringai penuh arti.

Apa-apaan sih dia. Gayanya kayak pacar yang ribet saja.

Setelah puas nyengir sendiri, dia berputar ke depanku, menghadang dengan wajah penuh senyum itu. Lalu—

"Jadi, rumor itu beneran?"

"…Rumor apaan."

"Udah jangan pura-pura bego! Masa kau nggak tahu. Itu kan tentang dirimu sendiri!"

"Nggak tahu. Dan sekalipun tahu, sudah pasti bohong."

"Eh, serius? Masa sih?"

Masaki mendongak dramatis, lalu menatapku tajam penuh selidik. Kurasa ini pasti soal gosip murahan di kelas: bahwa aku mempermainkan Kagura, atau katanya aku punya teknik rayuan aneh, pokoknya kabar-kabar konyol begitu.

Aku juga sudah cukup sering ditekan dengan pertanyaan serupa, jadi wajar kalau dia penasaran sendiri. Padahal jelas-jelas tidak mungkin. Sekalipun langit runtuh, tidak bakal ada yang seperti itu.

"Padahal kupikir ada kemungkinan, lho. Rumor kalau kau sudah meniduri semua siswi sekolah ini."

"…Hah? Apa-apaan itu. Jadi sekarang ada gosip semacam itu beredar?"

"Ya. Memang sih nggak langsung nyebut nama Sumito, tapi jelas banget arahnya ke situ. Gila, ‘si playboy super parah’ katanya. Masa kau beneran nggak tahu?"

"Ya jelas aku nggak tahu! Dan andai pun tahu, mana mungkin benar. Sama sekali nggak ada hubungannya."

Betul-betul gosip yang absurd. Dan anehnya, Masaki malah seolah berharap itu benar. Seandainya pun benar, dunia pasti sudah kebalik tujuh kali.

"Ya, kupikir begitu juga sih. Mustahil banget kalau kau bisa gonta-ganti cewek seenaknya."

"Eh… itu juga kedengarannya agak menyinggung, tahu."

"Kita sama aja lah!"

Bam! Bam! Punggungku ditepuknya lagi, keras sekali. Aku benar-benar tak habis pikir bagaimana dia mengatur tenaganya.

"Jadi, sebenarnya kau ngapain sih? Masa iya nggak ada apa-apa."

Akhirnya dia menanyakan langsung, berusaha kembali serius.

Yah, pada akhirnya pasti ke situ arahnya. Tapi tetap saja aku tidak bisa bilang kalau sebenarnya aku sering bertemu dengan Kagura.

"…Yah, macam-macam lah. Macam-macam."

"Apa sih itu! Malah bikin tambah penasaran!"

Astaga, menyebalkan sekali. Sikapnya benar-benar membuat penasaran. Aku sampai ingin memegangi kepala sendiri. Karena itulah, aku gagal menyadari kehadiran seseorang yang mendekat dari belakang.

"Ah, ketemu juga!"

Suara riang menggema dari arah punggungku. Aku menoleh dengan keringat dingin mengalir. Dan di sana berdiri seorang gadis ceriwis yang sangat kukenal. Orang yang paling tidak ingin kutemui saat ini, bahkan masuk peringkat pertama di daftar itu.

"…T-Tsuyuha."

"Ya ampun, aku nyari-nyari lho. Kau tuh bayangannya tipis banget!"

Teman lama sejak kecil itu sempat memperlihatkan gestur lelah, tapi langsung berubah menudingku dengan tatapan menyipit, ekspresi wajahnya sibuk berganti-ganti.

Kenapa sih dia bisa muncul di sini. Dan kenapa juga pas banget momennya.

"Kalau kau ada di sini… berarti tujuannya ke sana, kan? Mau kencan rahasia, ya? Mau ketemuan romantis, gitu?"

Tsuyuha menyeringai nakal, jelas-jelas bermaksud menggodaku. Dia memang tahu soal hubunganku dengan Kagura, apalagi sebelumnya sempat membuntutiku. Jadi wajar kalau gerak-gerikku sedikit banyak sudah terbaca.

Yah, mau bagaimana lagi. Meskipun tetap menyebalkan. Dan yang lebih parah, dia seolah tanpa sungkan menekan terlalu jauh. Sekalipun itu Tsuyuha, ia pasti paham kalau mengatakan hal semacam itu di depan pihak ketiga seperti Masaki, akan menimbulkan berbagai masalah. Yah, mengingat sifatnya, sangat mungkin juga kalau ia memang sengaja membuat keadaan menjadi rumit……

Namun, aku merasa ada sedikit kejanggalan pada tatapan Tsuyuha. Dan kemudian aku tersadar akan sesuatu.

…Jangan-jangan, dia tidak menyadari keberadaan Masaki? Dari posisinya, Masaki berada tepat di belakangku. Dan karena tinggi badan mereka berdua sama-sama pendek… wajar saja bila tubuhku menghalangi pandangan, membuat Masaki sama sekali tidak terlihat.

…Ini gawat. Sangat gawat. Kalau dari percakapan tadi sampai diketahui bahwa aku terlihat akrab dengan Tsuyuha, sudah pasti akan berakhir buruk. Apalagi, kalau tidak salah, Tsuyuha itu adalah sosok yang Masaki kagumi atau semacamnya. Kalau sampai terlihat aku dekat dengannya… besar kemungkinan akan timbul kesalahpahaman yang merepotkan.

Benar-benar pertemuan yang paling sial. Bagaimana aku bisa melewati keadaan genting ini? Otakku berputar cepat dalam sekejap──

“…Eh, maksudmu apa ya? Atau… sebenarnya siapa, ya?”

Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak kenal. Dengan gaya seolah sama sekali tidak paham, aku mengangkat bahu dan merentangkan kedua tangan.

“Hah? Apa-apaan sih sikapmu itu.”

“Eh, sikap apa maksudnya? Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”

“Serius, kamu jadi membosankan sekali ya, Sumito……”

Tsuyuha menatapku dengan wajah benar-benar bosan. Lebih tepatnya, tatapannya bahkan terkesan sedikit jijik.

Hei, bukannya aku ini tipe orang yang selalu melontarkan lelucon cerdas dan menarik? Seharusnya dari kejanggalan itu dia bisa menyadari, tapi ya… dalam hal yang bisa menguntungkan diriku, instingnya memang tidak pernah tajam.

“Sudahlah, pokoknya cepat ikut. Aku butuh bantuan si lempeng ini juga!”

“Hah──”

Seolah mengalihkan suasana, Tsuyuha tiba-tiba mendekat dan langsung menggenggam tanganku dengan erat.

I-ini gawat. Aku refleks berusaha melepaskannya, tapi ternyata genggamannya jauh lebih kuat dari yang kukira……

“Mulai sekarang aku harus… menyusun kursi di aula untuk rapat wali murid. Klubku yang ditunjuk mengurusnya, jadi tolong bantu, ya.”

“…Tidak mau.”

“Eeh, ayolah~. Apa kamu segitu penginnya selalu bersama kekasih tercinta? Ya, ya, aku mengerti kok. Mungkin ini musim semi pertamamu, jadi kamu sampai terbawa suasana, ya~?”

Sambil berkata begitu, ia menyikut-nyikutku sambil berceloteh. Keringat dingin terus bercucuran tanpa henti.

“Pokoknya kamu harus datang! Kalau tidak, aku bakal bongkar semua rahasiamu!”

Akhirnya, ia melepaskan tanganku dan langsung berlari pergi seperti angin. Tersisa keheningan yang pekat di tempat itu. Dan terasa beban berat menempel di punggungku.

“…Hei, Sumito.”

Suara Masaki memanggilku dengan nada datar yang tidak biasa. Pertanda buruk sudah pasti.

“Tunggu, ini cuma salah paham.”

“Jadi, kamu orangnya seperti itu ya. Kamu bisa akrab sekali dengan Mitome, sampai-sampai hidungmu kembang kempis. Bahkan kalian sempat bergandengan tangan. Ternyata kamu memang begitu, ya.”

“Tolong dengarkan aku dulu. Itu salah paham. Aku tidak seperti itu. Semuanya keliru.”

“Lalu apa? Apa mungkin sekarang kamu memang mau ketemu cewek? Jangan-jangan, gosip itu benar? Jadi begitu, ya. Kamu ternyata tipe orang seperti itu.”

Suaranya datar tanpa ekspresi. Padahal biasanya dia penuh emosi, tapi sekarang suaranya sedingin es. Aku mencoba membela diri, tapi terasa seolah kata-kataku hanya memantul kembali pada dinding. Dengan kaku, aku menoleh ke belakang──

“Woiiii dasar bajingan!!”

Masaki langsung meraih kepalaku dengan setengah histeris.

“Guuh, uwaah, jangan goyang-goyang──”

“Kecewa aku sama kamu!! Kamu sudah berubah!!”

Kepalaku diguncang begitu keras hingga penglihatanku berputar. Rasanya gendang telinga dan keseimbanganku hancur berantakan.

“T-tenang dulu! Ayo kita bicarakan baik-baik…!”

“GRRRAAAHH Anak Bajingannnn!!”

Masaki sama sekali tidak mendengarkan, hanya meluapkan emosinya. Setelah puas mengguncang kepalaku, akhirnya ia terduduk di lantai sambil terengah-engah.

“Haah… haah… sialan.”

Ia kemudian duduk selonjor dengan posisi malas, bahkan mencoret-coret lantai dengan jarinya.

“Padahal wajahmu selalu seolah tidak tertarik pada cewek… ternyata diam-diam kamu main curang……”

“Dengar, bukan begitu maksudku──”

“Curang apanya!! Jangan bohong!!”

Ucapannya begitu berantakan sampai lidahnya sendiri tidak bisa mengikuti. Bahkan perasaan yang bercampur aduk itu sampai menyerupai telepati kacau-balau. Apa dia sebegitu kesalnya hanya karena aku dianggap punya cewek? Padahal kenyataannya tidak ada, kan.

“Selama ini aku masih mikir ‘kayaknya dia oke juga’… tapi ternyata kamu sudah akrab dengan banyak cewek. Haaah…”

“Dengar dulu aku jelaskan──”

“Sudah. Diam. Kali ini aku mengaku kalah. Anggap saja begitu.”

Ia bangkit berdiri, lalu menepuk pundakku dengan wajah pasrah. Namun tiba-tiba matanya berkaca-kaca.

“Ugh, lain kali aku pasti akan balas dendam!!”

Dengan teriakan itu, ia berlari pergi entah ke mana. Balas dendam apa pula itu… aku bahkan tidak tahu kapan aku pernah bertanding dengannya. Tapi entah kenapa, dia menantangku untuk ‘rematch.’

Masalahnya, saat ini semua informasi tentang diriku di mata orang lain pasti bersumber dari Masaki. Jadi secepatnya aku harus mengubah cara pandangnya.

Ah, benar juga, tadi Tsuyuha bilang “datanglah ke aula” ya. Menyusun kursi, atau apalah itu. Jelas sekali, hanya pekerjaan menyebalkan yang ia lemparkan padaku. Seperti biasa, ia tidak pernah peduli pada urusanku, hanya memaksa ini-itu atas nama kerja sama.

Kalau mengikuti alur yang wajar, ini seharusnya jadi perkara yang bisa kuabaikan dengan elegan. Namun, jika sampai menjadikan dia musuh dengan cara yang aneh, itu pun akan merepotkan. Sesekali menunjukkan sikap patuh mungkin akan membuat posisiku lebih mudah ketika saat genting tiba.

Sambil menghitung untung-rugi semacam itu, aku pun berniat untuk sekadar menghubungi. Saat baru saja mengeluarkan ponsel, cahaya notifikasi muncul di layar hitam.

【Maaf, hari ini aku pulang saja】

Pesan singkat dari Kagura.

***

“──Maaf.”

“Y-ya… begitu ya… maaf juga, entah kenapa.”

Sambil memperlihatkan sikap membungkuk khas seorang siswi teladan, laki-laki di depannya—entah teman sekelas atau senior—tersenyum kecut lalu pergi.

Di belakang sekolah saat sore. Setelah punggung yang merunduk itu hilang dari pandangan, gadis itu—Kagura Rio—mengembuskan napas kecil.

“Dengan ini… selesai untuk hari ini.”

Yang ketujuh. Jumlah pengakuan cinta yang ditolak. Bukan total, melainkan hanya untuk hari ini saja. Beberapa hari terakhir, jumlah orang yang menyatakan perasaan padanya meningkat.

Alasannya, dia sendiri tidak tahu. Dia sudah sadar sejak dulu kalau tatapan banyak orang sering tertuju padanya. Jadi kalau mereka kemudian serempak mulai menyatakan perasaan, frekuensi sebesar ini bukan hal aneh. Apa pun pemicunya hingga membuat mereka mengambil satu langkah maju, dia tidak tahu. Namun, bagi Kagura, menerima pengakuan cinta bukanlah hal yang jarang sejak masuk ke SMA campuran ini.

Hanya saja, karena dulu dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi perasaan semacam itu, sering kali ia menolaknya dengan dingin atau bahkan menutup pintu sejak awal. Setelah terbiasa, penolakannya pun menjadi sekadar pekerjaan rutin.…Namun, belakangan. Belakangan ini dia merasa, mungkin ia sebaiknya menanggapi perasaan yang ditujukan kepadanya dengan sedikit lebih tulus. Pemicunya adalah satu kalimat dari seorang pemuda.

"Menurutku, tak apa kalau kau jujur pada perasaanmu sendiri."

Selama ini, Kagura hampir tidak pernah memahami apa itu perasaan dirinya sendiri. Bahkan sekarang pun, ia tidak yakin sudah benar-benar memahaminya. Itu karena selama ini dia tidak pernah berpikir tentang apa yang ingin dia lakukan, apa yang ingin dia capai.…Namun berkat ucapan pemuda itu, ia mulai sedikit menoleh ke dalam dirinya sendiri. Dan seiring dengan itu, ia pun mulai bisa menoleh pada perasaan jujur orang-orang di sekitarnya.

Orang-orang yang mengaku padanya pasti juga melakukannya setelah berani menghadapi perasaan mereka sendiri. Jika dipikir begitu, meskipun ia tidak pandai berbicara dengan laki-laki, rasanya ia harus menanggapi mereka dengan sikap yang lebih lurus daripada sebelumnya.

“…Pergi, ah.”

Dia bergumam, bukan kepada siapa pun. Lagi pula, hari ini ia punya janji belajar dengan orang yang mulai mengubah dirinya. Dia memang sudah memberi kabar akan sedikit terlambat, tapi itu bukan alasan untuk bersantai. Dengan perasaan itu, ia pun melangkahkan kaki. Tepat ketika itu──

──♪♪♪

Nada dering ceria terdengar dari saku. Panggilan masuk.

Saat buru-buru mengecek, di layar terpampang tulisan singkat: ‘Ibu’.

“Ibu, ada apa…?”

Sambil memastikan tidak ada orang di sekitar, ia pun menjawab. Dari seberang, terdengar beberapa pertanyaan singkat. Kagura mengangguk pelan sembari menjawab. Lalu… kata-kata yang menyusul kemudian, tanpa sadar ia ulangi dengan suara lirih.

“…Ada yang ingin dibicarakan?”

Angin bertiup pelan melewati belakang sekolah.

***

Pintu masuk rumah terbuka. Sambil melepas sepatu, dia membuka mulut kecilnya.

“…Aku pulang.”

“Selamat datang. Cepat sekali pulangnya.”

Suara dari ruang tamu terdengar nyaris sama seperti biasanya. Nada yang biasa, intonasi yang biasa. Namun, meskipun begitu, ada sesuatu yang terasa asing. Seolah ada jarak yang halus.

Merasa ada suasana yang berbeda, Rio melangkah menuju ruang tamu sambil masih menggenggam tas.

“Jadi… apa yang ingin Ibu bicarakan?”

Ibunya meletakkan mug di atas meja, lalu menatapnya dari posisi duduk. Tatapan itu, dinginnya tiba-tiba menukik. Dan kata-kata yang menyusul, langsung membuat udara terasa menegang.

“──Akhir-akhir ini, kamu sering bolos les, kan.”

Nada suara terdengar lembut, tetapi di dada terasa seperti tusukan yang makin lama makin menekan.

Benar. Beginilah rasanya ketika harus berhadapan langsung dengan ibu.

“Sepertinya kamu juga semakin jarang ikut kelas pengganti… apa maksudnya?”

“Itu… sedikit…”

Rio tak sadar menggantungkan kata-katanya.

“Sedikit apa? Kamu sendiri yang bilang ingin belajar sungguh-sungguh, jadi Ibu mendaftarkanmu ke les itu. Kalau sudah bilang begitu, Ibu ingin kamu benar-benar melakukannya dengan serius.”

“…Bukan begitu.”

Kata-kata yang ingin disampaikan tersangkut di tenggorokan. Dia tidak tahu apa yang ingin dia bantah. Tapi… tidak. Memang bukan begitu.

“Lalu, akhir-akhir ini kamu juga sering pulang terlambat, kan.”

Tatapan ibunya semakin tajam. Nafas terasa tercekik. Tenggorokan kering.

“Meskipun Ibu sibuk bekerja, Ibu tahu. Sebenarnya kamu di mana dan apa yang kamu lakukan?”

Di mana. Dengan siapa. Sedang apa. Sosok seorang pemuda muncul di benaknya. Namun, seketika itu juga nama itu ia tenggelamkan kembali jauh ke dalam hati. Kalau ia sebutkan, pasti akan ditolak. Dipatahkan. Diremehkan. Begitulah rasanya.

“Jangan-jangan, kamu bergaul dengan teman-teman yang aneh?”

“…Itu salah.”

Kali ini, tekad untuk menyangkal muncul jauh lebih mudah dibandingkan tadi. Namun, ibu tetap tidak peduli.

"Rio belum terbiasa dengan lawan jenis, kan? Kau bahkan tidak akan sadar kalau sedang dipermainkan. Bisa saja dia mendekatimu dengan tujuan yang aneh, tahu?"

"Bukan begitu."

Nada suaranya mengeras. Ucapan sang ibu terdengar bukan sekadar teguran, melainkan campuran kekecewaan dan kekhawatiran.

… Di dalam dada, sesuatu bergejolak tak menentu. Bukan hanya dirinya, bahkan teman yang berharga pun ikut menjadi sasaran, sehingga sedikit rasa tidak puas merembes keluar. Padahal, ibu tidak tahu apa-apa──tidak tahu apa-apa sama sekali. Perasaan itu membesar, mengembang, dan menegang.

"Haa… Kau bilang ingin masuk sekolah campuran, jadi kami izinkan ikut ujian masuk dari sekolah afiliasi. Tapi kalau pada akhirnya kau malah terpengaruh orang yang tidak baik, ibu──"

"Bukan begitu!!"

──Dan akhirnya, emosi itu meledak. Udara ruang tamu bergetar hebat, dan mata ibu terbuka lebar.

"… Bukan begitu, apa maksudmu──"

"Semuanya… semuanya salah. Aku… aku──"

Lebih cepat dari pikiran, emosi sudah naik sampai ke tenggorokan. Kepala terasa kusut dan berantakan.

Apa yang salah? Di mana yang keliru?… Semuanya. Semuanya salah. Tapi, bagaimana harus mengatakannya? Ingin sekali menyampaikan, namun tak menemukan cara.

Tanpa sadar, tangannya mengepal. Bahu bergetar. Apa yang sebenarnya ingin ia lakukan? Apa yang ingin ia sampaikan?

Rio, yang baru saja mulai menyadari adanya kehendak dalam dirinya, masih belum bisa menjawab itu.

──Kalau begitu.

"Rio!?"

Mengabaikan suara ibu yang mencoba menahannya, ia berbalik cepat. Berlari menuju pintu masuk. Sepatu dipasang serampangan, pintu didorong keras hingga udara dingin malam menerpa kulitnya.

Ia tidak tahu apa-apa. Namun──kalau dia. Orang itu, yang pernah mengangkat serpihan perasaan Rio ketika dirinya sendiri bahkan tak memahaminya. Orang itu, yang tanpa sadar telah tumbuh besar dalam dirinya. Membayangkan sosok itu dalam benaknya, ia terus berlari.

Langkah kakinya menghantam aspal. Detak jantung berdentum hingga ke tenggorokan.

Entah sejak kapan, hujan mulai turun. Pandangan mengabur. Apa yang bergoyang samar itu, langitkah, ataukah matanya sendiri? Rambut yang menempel di wajah, dinginnya titik-titik hujan yang menghantam kulit ─ semuanya menjadi kabur. Yang terasa jelas hanyalah dada, yang dipenuhi panas aneh dan berlebihan.

"… Hhh."

Kakinya tersandung, hingga ia terpaksa berhenti.

Begitu sadar, ia sudah berada di jalan asing. Ke mana ia berlari, pun tidak tahu. Sendirian. Kesadaran itu menusuk dadanya. Lebih tajam dan dalam daripada hujan yang dingin, kesepian menghujam.

Kenapa, kenapa sakit sekali. Kenapa aku…

Berkali-kali bertanya pada diri sendiri, jawaban tak kunjung muncul. Namun, saat ia hanya bisa berdiri terdiam ─ tiba-tiba pandangan menggelap. Tetesan hujan berhenti jatuh. Sebuah payung terulur dari atas. Bayangan lembut membentang di kaki.

"… Kau tidak apa-apa?"

Mendengar suara lembut itu, Rio menoleh. Di depannya, dengan napas agak terengah namun tatapan yang tetap sama, berdiri sosok itu.

──Yonemine Sumito.

***

… Rumah. Di apartemen reyotku yang tak pernah berubah. Karena dindingnya tipis, suara air deras bergema ke seluruh ruangan.

Tentu saja bukan aku yang sedang mandi. Dindingnya tidak setipis itu sampai bisa terdengar dari kamar sebelah, dan lagipula kamar-kamar di samping sedang kosong. Dengan kata lain, suara yang mengganggu ini memang berasal dari dalam kamarku sendiri. Dan siapa yang sedang mandi itu──aku benar-benar hanya bisa memegangi kepala.

"… Kenapa bisa jadi begini."

Tidak, sungguh, kenapa sampai seperti ini?

Aku mencoba mengingat dari awal. Meski kalau diingat pun, rasanya hanya membuat semakin gelisah. Sebenarnya tidak ada kejadian rumit yang bisa diceritakan.

Aku hanya mengikuti firasat kecil. Sebuah pesan bertuliskan 【Hari ini aku pulang】.

Entah kenapa, kalimat itu menimbulkan rasa aneh dalam diriku. Aku mengikuti intuisi itu. Walaupun akhirnya harus menolak permintaan kecil dari Tsuyuha, yah, urusan dia bisa diabaikan.

Hasilnya, aku berhasil menemukan Kagura, yang berdiri basah kuyup di tengah hujan.

Sebenarnya, apa yang terjadi padanya?

… Yah, dalam perjalanan pulang ke rumahku tadi, aku sudah tahu jawabannya. Bukan karena dia bisa menjelaskan dengan kata-kata ─ jelas dia tidak dalam kondisi untuk bercerita. Tapi lewat telepati, aku bisa mengerti. Tampaknya, ia baru saja bertengkar dengan ibunya.


Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi dari perasaan yang sempat terbaca, itu jelas berupa keluhan, kemarahan, dan pergulatan batin terhadap ibunya. Karena itu aku menilai demikian.

Sepertinya tipe ibu yang keras dan penuh aturan, jadi bentrokan memang tidak terelakkan. Tapi… apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, aku sama sekali tidak tahu. Kalau pun aku ingin menelusuri lewat telepati, saat itu emosi Kagura sedang campur aduk, dan rasanya dia tidak ingin membicarakannya. Selain itu, memaksa menggali justru tidak bijak, dan jelas tidak efisien.

Yang pasti, dia tampak serba salah, seolah tidak bisa pulang ke rumah. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa begitu saja berkata, "Oh begitu, berat ya, ya sudah, sampai jumpa," lalu meninggalkannya. Dia juga tampaknya tidak punya tempat untuk bersandar.

Karena itu—sebagai jalan keluar terakhir, sungguh benar-benar tidak ada pilihan lain, aku memutuskan untuk mengajaknya masuk ke rumahku. Sungguh, ini murni niat baik seratus persen. Memang sekilas terlihat seperti aku memanfaatkan keadaan untuk membawanya pulang, tapi sungguh tidak demikian.

…Suara air berhenti. Sepertinya dia sudah selesai mandi.

Tentu saja, setelah kehujanan tubuhnya pasti dingin, jadi aku mempersilakannya mandi. Tapi setelah kupikir lagi—atau bahkan tanpa perlu dipikir panjang—situasi ini memang cukup gawat. Karena hanya bersekatkan dinding tipis, di sebelah sana ada teman sekelasku yang sedang telanjang.

Tidak, tidak. Jangan ke arah situ. Mungkin aku terpengaruh oleh pikiran "pink" di kepala Kagura. Aku harus tenang. Aku hanya menolongnya, tidak ada maksud apa pun. Tidak akan ada kelanjutan macam-macam setelah ini.…Tapi kalau ternyata dia tidak bisa pulang malam ini? Apa itu berarti dia harus menginap di rumahku?

Mengingat pulang malam juga berbahaya, bisa saja kami harus melewati malam di bawah satu atap…

Ya, baiklah. Nanti kupikirkan. Kalau perlu, mungkin aku bisa minta tolong pada pemilik kos agar meminjamkan kamar kosong. Oke. Oke. Aku masih tenang.

Saat aku berusaha menenangkan hati, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Tak lama kemudian, Kagura muncul di kamarku.

"Terima kasih… untuk mandinya."

"Ah, i-itu… tidak masalah. Justru aku yang agak khawatir, maksudku—auhh!"

Aku refleks menggigit lidah ketika tak sengaja mengalihkan pandangan ke arahnya. Pemandangan itu sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Wajahnya sedikit memerah, rambut hitamnya yang masih basah berkilau seperti sutra, dan semua itu begitu memanjakan mata. Ditambah lagi, karena memakai pakaian laki-laki, jaket olahraga yang kebesaran justru membuatnya tampak semakin manis, entah bagaimana, justru semakin menonjolkan pesonanya.

Singkatnya, yang berdiri di sana adalah seorang gadis cantik jelita yang pesonanya hampir berlebihan untuk mataku.…Astaga, kenapa aku malah menganalisisnya?

"U-untuk baju ganti ini juga… terima kasih."

"Ah, ya, tentu saja."

Dengan tangan yang tertutup lengan panjang jaket, Kagura menutupi mulutnya sambil membuang pandangan. Kenapa tingkahnya seolah sengaja membuatku salah tingkah? Apa dia memang sengaja? …Tidak mungkin.

Di perjalanan tadi, dia murung sekali, jelas suasana hatinya sedang jatuh. Meskipun setelah mandi mungkin bisa lebih segar, tapi tidak berarti dia bisa langsung bercanda seperti itu. Untuk memastikan, aku mencoba mendengar isi pikirannya lewat telepati…

"Ini… baju laki-laki. Baunya juga… baunya Yonemine-kun terasa begitu dekat. Ukurannya juga… besar sekali…"

Apa-apaan itu!? Apa-apaan yang kau katakan!? (rasanya lidahku hampir tergigit habis).

Sambil wajahnya memerah, Kagura berkata dengan cara yang sulit dimengerti. Aku benar-benar tidak tahu harus mengartikan perasaan itu bagaimana, bahkan lebih tepatnya aku tidak ingin tahu.

Kami pun terjebak dalam keheningan.

"Ya… ya sudahlah. Duduk saja dulu."

"…Baik, terima kasih."

Dengan gerakan kaku, Kagura duduk di tepi ranjang. Memang terdengar agak janggal kalau dikatakan begitu, tapi di kamar sempitku, tempat duduk yang layak memang hanya ranjang. Jadi tidak ada pilihan lain.…Meski aku tidak menyangka dia duduk begitu dekat denganku.

Bau yang sama dengan tubuhku kini tercium dari sebelah. Rasanya aneh, sekaligus membingungkan.

"…Jadi, hari ini, kau benar-benar tidak apa-apa?"

Itu saja yang akhirnya bisa keluar dari mulutku.

Aku sendiri tidak tahu “tidak apa-apa” dalam hal apa. Tapi intinya aku khawatir, untuk semua hal. Mungkin aku bisa berkata dengan lebih baik, tapi ketika berhadapan langsung dengannya, aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan serius. Kagura berkedip pelan, lalu menunduk sedikit.

"Ya. …Aku baik-baik saja. Untuk saat ini."

Cara dia menekankan "untuk saat ini" justru terasa berat. Namun, karena nadanya lebih tenang daripada sebelumnya, mungkin dia sudah sedikit lebih lega. Aku mengalihkan pandangan, jari-jariku mengetuk lutut tanpa arti. Kurasa belum saatnya membahas hal-hal serius.

"Tapi ya, setidaknya wajahmu kelihatan lebih lembut dari sebelumnya. Syukurlah."

"…Begitu, ya?"

"Iya. Karena tadi wajahmu benar-benar seperti akhir dunia."

"A-apa aku sampai sebegitu parah?"

Dia membuka matanya lebar, lalu tersipu malu. Mungkin karena sudah mandi dan hangat, ekspresinya tampak lebih rileks. Otot wajah yang sempat “mati” mungkin kini bangkit kembali.

"…Aku sering dibilang ekspresiku kaku sejak dulu, jadi agak kaget kalau kau bilang begitu."

"Ya sih, memang biasanya wajahmu datar seperti topeng noh, tapi—"

"…Jadi kau memang menganggapku begitu?"

Tatapannya beralih tajam ke arahku.

"T-tidak, maksudku bukan dalam arti buruk. Lebih ke arah ‘cool’. Jadi kalau tiba-tiba kau menunjukkan sisi lain, itu justru lebih menonjol."

"Apa-apaan itu…"

Kagura sedikit manyun, tapi sepertinya merenungkan kata-kataku.

"…Sisi lain yang biasanya tidak aku tunjukkan… apa aku barusan memperlihatkan hal yang seharusnya tidak boleh terlihat…?"

Isi pikirannya terdengar semakin panik. Tapi tenanglah. Karena sebenarnya, kau sudah memperlihatkan semuanya sejak tadi.

…Aku sempat berpikir untuk mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya tidak bisa mengatakannya secara langsung… sebelum itu saja aku sudah terkena semacam guncangan yang terasa seperti pukulan, jadi mana mungkin aku bisa mengatakan apa-apa.

Itu adalah telepati yang dikirimkan olehnya.

“Bufh──”

Udara di dalam mulutku seluruhnya terhembus keluar. Bukanlah suara klise seperti darah dari hidung yang menyembur.

Seperti saat di kelas, isi pikiran miliknya terpancar melalui telepati. Sulit sekali untuk menjelaskan gambaran itu dengan kata-kata. Kalau harus dipaksa menjelaskan, maka batasnya hanya bisa kusebut sebagai… bayangan dari sikap memalukan Kagura yang muncul. Bahkan hanya untuk memikirkannya saja sudah memalukan. Bagian yang seharusnya tidak boleh ditunjukkan itu jelas bukanlah bagian seperti itu, kan!

“Goh, goh, gohon.”

Untuk menutupi semburan tadi, aku berdeham secara berlebihan.

“Apakah… kau baik-baik saja?”

“A, ah, iya, sama sekali tidak masalah.”

Sial, dengan wajah setenang itu dia bisa saja berkhayal tentang hal yang begitu cabul…

Situasi di mana orang yang (dalam khayalan) memperlihatkan penampilan yang menggoda itu kini berada tepat di hadapanku, benar-benar membuat otakku tidak bisa bekerja. Atau mungkin lebih tepat dikatakan justru bekerja terlalu berlebihan. Sebelum kusadari, aku sudah mengucapkan sesuatu yang biasanya tidak akan pernah kukatakan.

“Ya, ya pokoknya. Kalau ada perbedaan seperti itu justru terlihat lebih imut menurutku, dan aku… suka, mungkin…”

Sambil berbicara, aku sendiri tidak mengerti lagi apa yang sedang kukatakan. Bagi orang yang mendengar, ucapan itu bisa terdengar seperti rayuan. Bahkan tanpa harus dilihat dari luar pun, sudah jelas terdengar demikian.

…Yang ingin aku jadikan alasan hanyalah bahwa aku benar-benar sedang gugup. Dan tentang perkataan itu, satu hal yang bisa kupastikan adalah… aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat aneh.

“Apa…!?”

Kagura terengah pendek. Ekspresinya terlihat 90% datar dan 10% terkejut, tetapi kenyataannya adalah──

『Ke, kenapa? Kenapa kau bilang begitu… imut atau suka atau semacam itu… eh, eeh? 』

Pikiran gadis itu benar-benar tersesat, terjerat dalam pusaran kebingungan dan keterkejutan. Ketenangan yang biasanya dia miliki entah ke mana, yang tersisa hanyalah tanda tanya yang berulang-ulang di dalam kepalanya.

Ah, ini gawat. Ini benar-benar gawat. Terlalu canggung sampai-sampai tidak tertahankan. Keheningan menguasai ruangan. Tidak ada televisi, suasana di luar jendela pun hening, yang terdengar hanyalah detak jantungku sendiri dan pikiran kacau milik Kagura.

“…A, aku mandi dulu.”

Tidak tahan lagi. Seperti hendak melarikan diri dari situasi ini, aku pun berdiri. Tanpa berani menoleh ke belakang, aku melangkah menuju kamar mandi di sebelah pintu masuk.

Setelah melewati pintu, aku menarik napas panjang. Namun di situlah aku baru menyadarinya.

…Ya, benar. Kamar mandi ini barusan baru saja dipakai oleh Kagura…

Keset di bawah kakiku masih agak lembap, samar-samar aroma sampo masih tertinggal. Udara di dalamnya terasa berbeda. Tanpa sadar aku berdiri terpaku di tempat itu.

Dilanda rasa canggung yang begitu kuat seolah-olah baru saja melakukan kesalahan besar, aku hanya bisa terpuruk.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close