Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Chapter 8
Hal yang ingin kusampaikan, hal yang dulu ingin kusampaikan
Sejak kecil, di rumahku sudah menjadi hal yang biasa kalau tidak ada orang yang menyambutku pulang.
Ayah maupun ibu, masing-masing bekerja di perusahaan ternama, katanya mereka dipercaya untuk menangani pekerjaan penting. Rapat, dinas luar kota, urusan dengan luar negeri—bahkan sebagai anak kecil aku bisa merasakan betapa sibuknya mereka. Punggung dua orang itu selalu dipenuhi rasa percaya diri, dan terasa jauh entah ke mana.
Aku memutuskan untuk hidup tanpa mengganggu orangtuaku. Dengan cara berpikir seorang anak kecil, aku merasa sudah cukup mengerti. “Orang dewasa yang hebat” itu sibuk. Mereka tidak punya waktu untuk meladeni rengekan anak. Karena itu, saat aku ingin menangis, ingin tertawa, saat aku merasa senang atau kesepian, semua perasaan itu selalu kupendam sendiri. Lama-lama, aku jadi tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.
Kalau aku “senang”, bagaimana cara menyampaikannya?
Kalau aku “sedih”, kepada siapa aku harus mengadukannya?
Tapi itu tidak masalah. Selama orangtuaku bisa bekerja dengan tenang, bagiku itu yang paling penting. Seiring aku tumbuh besar, terutama ibuku mulai semakin serius mengurus pendidikanku. Piano, kaligrafi, renang, percakapan bahasa Inggris… jadwal sehari-hari lebih padat daripada sekolah. Aku tidak punya waktu untuk bermain, tapi jika kupikir “ibu menaruh harapan padaku,” maka itu bukan hal yang berat.
…Memang bukan hal yang benar-benar ingin kulakukan, tapi ketika aku berhasil dan mendapatkan pujian darinya, itu sudah cukup buatku.
Namun—aku ternyata terlalu serba bisa. Di setiap les, aku selalu bisa menunjukkan hasil yang lumayan, sehingga harapan ibuku makin lama makin tinggi.
“Anak ini punya bakat.”
“Mungkin suatu hari dia akan menjadi seseorang yang besar.”
Setiap kali mendengar ucapan itu, aku merasa bangga, tapi juga sedikit takut. Aku khawatir kalau sebenarnya, tatapan mereka bukanlah untukku, tapi untuk sesuatu yang lain.
Tanpa kusadari, setiap kali satu les berakhir, selalu diganti dengan les yang lain. Aku memang mendapat banyak kesempatan untuk bersinar, tapi di sisi lain, sering juga menjadi sasaran iri hati.
“Apa-apaan, kenapa cuma Kagura yang selalu diperhatikan,” begitu katanya, dan aku dijauhi.
Aku terluka karena menyadari ada duri yang tersembunyi di balik kata-kata manis. Tetapi, agar tidak terlihat lemah, aku berusaha keras untuk tidak menampakkannya di wajah. Akhirnya, teman yang bisa benar-benar kusebut “sahabat” pun tidak ada.
Tidak, mungkin sejak awal memang tidak pernah ada. Hubungan yang kumiliki hanya di permukaan saja, tanpa ada ikatan hati yang sesungguhnya. Lalu, saat aku semakin besar, kali ini aku justru dibenci hanya karena alasan “wajahku bagus.” Tanpa melakukan apa-apa, hanya karena sedikit menonjol, aku dianggap menyebalkan.
…Padahal aku hanya ingin hidup rukun bersama orangtuaku, dengan tenang. Karena itu, aku lama-lama berhenti mencoba mendekati orang lain. Daripada berbicara dengan seseorang, lebih baik aku kabur ke dalam cerita-cerita fiksi.
Itu lebih nyaman, dan segalanya berjalan sesuai keinginanku. Selama aku bisa menekan diriku sendiri dan menjalani hidup tanpa menimbulkan gelombang, itu yang terbaik. Itulah aku—hingga beberapa waktu lalu.
…Yonemine Sumito. Awalnya, bagiku dia hanyalah “cowok yang duduk di sebelahku,” tidak lebih dan tidak kurang. Setelah lama bersekolah di sekolah khusus perempuan, aku baru pertama kali masuk sekolah campuran. Saat mulai sadar bahwa aku cukup menonjol di mata anak laki-laki, aku kebetulan duduk di sebelahnya setelah ada penggantian tempat duduk. Dia tidak bisa dibilang ceria, tapi juga tidak muram. Tidak bergabung dalam kelompok, tapi juga tidak sendirian. Kesan pertamaku: orang yang sulit ditebak. Kami hampir tidak pernah bicara, selain saat kerja kelompok atau urusan kelas.
Saat itu, aku sendiri sedang kewalahan oleh perubahan lingkungan yang tiba-tiba, ditambah kesulitanku dalam berhubungan dengan orang lain. Aku jadi sering larut dalam pikiran sendiri.
Waktu itu, banyak teman sekelas yang berusaha mengajak bicara denganku. Tapi entah sejak kapan, kecuali beberapa orang, mereka semua berhenti mendekatiku. Kudengar dari gosip, katanya karena wajahku jarang berubah ekspresi, jadi mereka mengira aku sebenarnya merasa terganggu.
Itu adalah akibat dari kebiasaanku sejak kecil, menekan perasaan sendiri. Aku tidak bisa memberi reaksi ceria seperti anak muda lain. Aku juga tidak punya keberanian untuk mendekati orang dengan hangat. Aku sendiri agak sadar soal itu, tapi dianggap “tidak suka” jelas menyakitkan. Meskipun begitu, karena dengan begitu interaksi sosial yang kuanggap berat jadi berkurang, aku bisa menjalani hidup dengan lebih tenang.
Hanya ada sedikit keganjilan… yaitu aku tidak bisa terlalu lancar bicara dengan anak laki-laki. Sejak SD dan SMP aku bersekolah di sekolah khusus perempuan, jadi pertemuanku dengan laki-laki nyaris pertama kali di SMA. Itu membuatku mudah gugup. Pihak lawan pun anehnya jadi kikuk dan tegang, membuat suasana semakin sulit untuk berbicara. Meski aku sering membaca novel dan cerita yang menggambarkan hal-hal semacam itu, ketika mengalaminya langsung, ternyata sama sekali tidak berguna. Aku pun tidak punya teman perempuan dekat untuk dimintai saran. Akhirnya, aku hidup dengan menutupi kelemahanku yang penakut itu, dan menghibur diri dengan buku dan cerita.
Sementara itu, Yonemine-kun sering kali tampak seperti menutup telinganya dari suatu suara. Aku sempat khawatir mungkin dia sedang sakit, tapi aku bukan orang yang cukup dekat untuk bertanya. Lagi pula, sering kali dia tampak baik-baik saja, jadi aku tidak pernah menjadikannya bahan pembicaraan.
…Namun, pada suatu hari. Saat aku sedang diganggu dengan kasar oleh sekelompok pria, dan hampir berada dalam bahaya, dia yang menolongku. Hanya dengan kata-kata, dia menghadapi mereka. Aku tidak tahu persis apa yang dia katakan, karena aku terlalu bingung sampai terpaku, tapi aku masih ingat wajah pria-pria itu yang mendadak pucat.
Mereka memang kabur akhirnya, tapi aku berhasil lepas dari situasi berbahaya. Diliputi rasa lega, aku malah menangis tanpa bisa menahannya. Dia tampak bingung menghadapi tangisku yang mendadak, tapi tetap tinggal di sisiku sampai aku tenang.
Dia menenangkan dan mengkhawatirkanku dengan berbagai cara—dan aku sangat merasa tertolong. Setelah itu, ketika aku melihat dia tampak hampir jatuh sakit, secara spontan aku meminta dia untuk datang ke rumahku.
Kalau kupikir sekarang… itu memang ajakan yang sangat berani. Tapi saat itu aku tidak punya ruang untuk memikirkan soal wibawa atau pandangan orang lain. Hanya saja──waktu itu, aku sungguh ingin membantunya. Mungkin… justru aku malah membuatnya kerepotan.
Tapi dia tidak menolak. Dia menerima ajakanku dan diam-diam mengikutiku.
…Saat dia berada di rumahku, untuk pertama kalinya aku bercerita tentang hal-hal yang kusukai. Hal-hal yang selama ini hanya kusimpan dalam hati, kuucapkan dengan kata-kata.
──Aku tidak tahu kenapa bisa bicara begitu… tapi kurasa itu karena sifat anehnya yang membuatku bisa begitu.…Ah, mungkin juga karena ada satu kalimat yang membuatku merasa “dia itu istimewa.”
Saat dia menolongku dari orang-orang yang menggangguku, dia berkata dengan tenang: “Karena wajahmu terlihat ketakutan.” Selama hidupku, belum pernah ada yang mengatakan hal seperti itu padaku. Baik ibu, ayah, kakek-nenek maupun saudara-saudaraku yang sering mengurusku—tak seorang pun pernah mencoba membaca perasaanku lewat ekspresi wajahku.
Sampai aku sempat berpikir konyol, “mungkin dia bisa membaca suara hatiku.” Dan saat itu untuk pertama kalinya, aku merasa ingin benar-benar akrab dengan seseorang. Dialah orang yang membuatku mau melihat ke dalam diriku sendiri, dan sedikit saja, memberiku alasan untuk berubah.…Orang seperti itu.
Tapi waktu itu, ibu mengucapkan sesuatu yang merendahkan. Katanya, “dia mendekatimu dengan niat buruk, hanya ingin mempermainkanmu.” Padahal ibu sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Yonemine-kun… ya, justru karena tidak tahu, maka bisa berkata begitu.
Aku sangat marah waktu itu. Mungkin itu pertama kalinya aku menampakkan emosiku secara begitu terang-terangan. Aku begitu terbawa emosi sampai kacau, tidak tahu harus berbuat apa… dan akhirnya, aku hanya bisa kembali bergantung pada Yonemine-kun.
…Ini tidak boleh terus begini. Selalu bergantung padanya, lalu membiarkan pertengkaran dengan ibu begitu saja. Tapi… di saat seperti ini, aku harus bilang apa? Aku… seharusnya bagaimana?
***
“…Begitu, ya.”
Aku menatap kedua tanganku, sambil memutar kembali monolog Kagura dalam kepalaku. Aku ingin tahu kenapa dia berdiri termenung di tengah hujan, jadi kupinta dia menjelaskannya. Tapi karena dia tidak pandai bicara, ditambah perasaan yang kacau, ada banyak bagian yang kurang jelas, jadi aku melengkapinya dengan telepati.
…Baiklah. Sekarang aku sudah cukup paham alasan Kagura jadi seperti ini. Dan entah bagaimana, aku juga jadi mendengar hal-hal yang berhubungan denganku. Tapi, setidaknya itu membantu membereskan situasi sekarang.
“Aku harus bagaimana…” katanya. Jujur saja, aku juga tidak terlalu tahu. Aku memang seorang telepatis, tapi bukan berarti aku ahli soal hati manusia. Kalau dipikir, aku ini masih pemula, bahkan bisa dibilang amatir. Apalagi, aku tidak punya orangtua. Mana mungkin aku tahu cara mengatasi pertengkaran orangtua dan anak.
…Tapi. Walaupun aku telepatis penuh kekurangan, setidaknya ada satu hal yang bisa kukatakan. Yaitu… perasaan yang dia pendam ini tidak boleh berakhir hanya sebagai monolog.
“…Kagura.”
Aku berdiri. Kagura menatapku dengan mata yang sedikit basah.
“…Ayo, temui ibumu.”
***
Hujan masih terus turun. Aku dan Kagura berjalan berdua di bawah satu payung. Sebenarnya kami punya dua payung, termasuk payung lipat, tapi entah kenapa Kagura tidak mau.
Alhasil, jadilah situasi seperti berduaan di bawah satu payung. Mungkin karena habis bercerita panjang, dia jadi kehilangan semangat, sehingga pikirannya tenang. Tapi entah kenapa, jarak fisik di antara kami terasa lebih dekat, seakan-akan keadaan hatinya tercermin jelas begitu saja.
Sekarang kami sedang berjalan di sekitar sekolah. Rumahku dengan rumah Kagura cukup jauh, jadi kupikir lebih baik memintanya agar ibunya datang menemuinya. Lagipula, ini urusan mendamaikan pertengkaran anak dan ibu.
Sedikit banyak, tidak ada salahnya kalau pihak sana yang datang. Meski ya, aku memang seenaknya.
“…Ah.”
Kami berjalan berdampingan dalam diam. Saat aku tenggelam dalam pikiran yang sepele, Kagura tiba-tiba berhenti. Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat sosok seseorang yang sedang celingukan.
Dia memegang payung tipis, wajahnya tampak cemas, seolah sedang mencari-cari sesuatu. Melihatnya, Kagura berbisik pelan.
“…Ibu.”
Bersamaan dengan suara itu, wanita itu tampak menyadari keberadaan kami.
“Rio! Kamu di mana saja, Ibu khawatir sekali!”
Matanya langsung membesar, memanggil nama Kagura sambil berlari menghampiri.
Sesuai ucapannya, wajahnya jelas-jelas menunjukkan rasa panik. Bahkan lewat telepati pun, aku bisa merasakan emosi cemas yang sangat kuat. Meskipun tidak sekeras wajah datar Kagura… tapi entah kenapa, ekspresi itu terasa mirip.
Ya, mereka memang ibu dan anak, pikirku dalam hati.
“…!”
Saat ibunya mendekat, Kagura refleks mundur, bersembunyi di belakangku. Tubuhnya sedikit bergetar mendengar suara ibunya. Sepertinya dia belum benar-benar siap.
“Kamu… siapa?”
“Namaku Yonemine Sumito. Umm… mungkin bisa dibilang teman Kagura-san.”
Alis wanita itu sempat sedikit bergerak. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya matanya yang mencari sosok Kagura, sementara dia tetap bersembunyi di belakangku tanpa mau bergerak.
“…Bu, tolong tenang dulu.”
Aku berusaha memilih suara yang selembut mungkin. Supaya perlahan bisa kusampaikan bahwa aku tidak punya niat jahat.
“Aku tahu, Anda khawatir karena Kagura-san… karena Rio menghilang. Tapi kumohon, jangan ditarik paksa atau dimarahi. Sekarang, yang dia butuhkan hanya diajak bicara dengan baik.”
“…Apa maksudmu kau mau mengajari aku?”
Wanita itu menatapku tajam, suaranya sedikit mengeras.
Ugh, sepertinya lawan yang cukup sulit.
“Tidak. Aku hanya… seorang teman biasa. Tidak ada maksud untuk sok tahu.”
Aku menegaskan dulu, lalu melanjutkan dengan hati-hati.
“Hanya saja… kalau boleh bilang satu hal, mungkin Anda bisa mencoba lebih mendengarkan apa yang dia ingin sampaikan.”
Aku maju selangkah saat mengucapkannya. Wanita di hadapanku mendongak menatapku.
“Kalau begitu… itu hanya urusan orang luar. Selama ini, sampai kapan pun, aku selalu menomorsatukan Rio.”
“Nomor satu? Benarkah?”
“Itu jelas. Dia satu-satunya putriku. Mana mungkin aku menyerahkannya pada laki-laki asing entah dari mana.”
Tatapannya jadi tajam.
…Eh, tunggu, apa dia kira aku pacarnya? Agak salah paham sih… tapi ini bukan waktunya untuk meluruskan hal itu.
“Selain itu──Rio punya bakat istimewa.”
Wajah ibu Kagura berubah sedikit getir, bercampur rasa tanggung jawab yang berat.
“…Begitu?” aku mendorongnya untuk melanjutkan.
“Anak ini sejak kecil kurang bisa mengekspresikan perasaan. Karena itu, aku ingin dia merasakan banyak hal lewat berbagai pengalaman. Makanya kuberi dia macam-macam les… dan di situlah aku sadar, anak ini punya kemampuan lebih dibanding orang lain. Aku yakin, kelak dia bisa menempuh jalan yang hebat.”
Kata-katanya terdengar dipaksa keluar, tapi aku bisa merasakan jelas itu lahir dari perasaan seorang ibu.
“Kami orangtua yang pernah menyerah pada mimpi kami. Karena itu, kami tidak ingin dia menyesal. Kalau anak ini memang berbakat, kami tidak boleh menghancurkan potensinya. Maka meski harus tegas, meski terlihat keras, kami harus menuntunnya!”
Suaranya makin lama makin emosional, makin keras.
Ya, aku bisa paham. Orangtua pun punya pikirannya sendiri, perasaannya sendiri.
“…Sepertinya aku kebanyakan bicara. Sekarang kau mengerti, kan? Aku selalu menempatkan Rio sebagai yang pertama.”
“Ya… sepertinya begitu.”
“Kalau sudah paham, cepat serahkan Rio──”
“──Tapi!”
Aku memotong dengan suara keras, sengaja.
“Itu, apakah benar-benar pilihan yang lahir dari melihat Rio-san apa adanya?”
“…Apa maksudmu?”
Ekspresi ibunya jadi ragu, sedikit kesal. Aku menarik napas panjang, lalu menatap lurus ke arahnya.
“Kalau demi mengembangkan bakat, dia dipaksa melakukan hal yang tidak dia sukai, perasaannya terus diabaikan──apa menurut Anda itu benar-benar yang terbaik untuknya?”
Awalnya suaraku tenang, tapi perlahan jadi penuh tekanan. Karena aku tahu rasanya. Itulah sebabnya kata-kata ini keluar begitu saja.
Hari-hari yang dingin, teratur, seperti sebuah kurungan. Demi mengembangkan kemampuan, kebebasan, waktu, dan perasaan dikorbankan. Awalnya memang berusaha keras demi memenuhi harapan. Tapi lama-lama jadi kewajiban, jadi tekanan, hingga akhirnya hanya “menjalani” saja. Dan yang tersisa hanyalah hasil yang hampa, bukan milik siapa pun, serta kenyataan bahwa dirimu sendiri tidak lagi ada di sana.
──Itu sebabnya, aku harus mengatakan ini.
“Kalau tumbuh dalam lingkungan di mana segalanya dikontrol ketat, dipaksa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan… meski mungkin berkembang, tapi perasaan sejati tetap terabaikan. Itu hanya… menyakitinya saja!”
Nada keras membuat mata ibunya melebar. Bahunya sedikit bergetar. Dia tidak langsung membalas. Sebaliknya, pandangannya beralih ke arah putrinya.
Kagura… tidak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk, menatap tanah.
“…Kagura itu, sebenarnya sering baca light novel, lho.”
Ibunya menatapku heran.
“Hah?”
Aku mengangkat bahu, lalu melanjutkan dengan tenang.
“Dia suka cerita-cerita romance, kadang juga punya rasa penasaran yang wajar untuk anak seusianya. Mungkin di mata Anda, dia terlihat seperti anak jenius yang rajin dan tekun. Tapi kenyataannya, dia hanya siswi SMA kelas satu biasa.”
Aku menoleh sebentar ke arah Rio yang ada di belakangku, lalu kembali encar tatapan ke ibunya.
“Memang benar, mungkin ekspresinya sulit dibaca. Tapi dia punya perasaannya sendiri, jelas sekali. Jadi jangan hanya menekan perasaannya. Tolong, kenali juga hal-hal yang benar-benar membuatnya bahagia. Jangan cuma melihat bakatnya, tapi lihat juga sisi dirinya sebagai seorang gadis biasa!”
Setelah itu, hening menyelimuti. Suara hujan yang deras seperti mengisi semua celah keheningan itu. Ibunya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu lenyap sebelum sempat keluar. Sebagai gantinya, suara pelan memecah kesunyian.
“…Maaf, Bu.”
“Rio…?”
Suaranya bergetar. Keduanya.
Kagura melangkah maju, akhirnya berdiri berhadapan langsung dengan ibunya.
“Maaf, Bu. Aku… tidak pandai menyampaikan ini. Tapi selama ini aku sedikit tertekan. Les-les itu, semua hal itu… aku berusaha karena kalian menaruh harapan padaku, jadi aku terus menahan diri. Belajar pun, kupikir kalian akan senang… jadi aku lakukan. Tapi itu bukanlah hal yang benar-benar ingin kulakukan.”
Lalu, setelah sejenak terdiam──Rio sedikit menguatkan bibirnya.
"Aku… aku ingin mencoba menulis sebuah kisah."
Seolah ingin meneguhkan tekadnya, Kagura mengepalkan tangannya erat-erat.
"Novel atau semacamnya, mungkin belum bisa dibilang sebesar itu, tapi… aku ingin menjadikan perasaanku dalam sebuah bentuk… itulah yang kupikirkan."
Kata-katanya seperti perasaan yang selama ini tersembunyi jauh di dalam dadanya, perlahan-lahan, hati-hati, namun jelas, ia keluarkan ke luar.
"Maafkan aku. Ini mungkin sesuatu yang egois, tapi… tapi aku ingin Ibu tahu, bahwa inilah diriku."
Ia berkata begitu dengan suara yang bergetar, matanya basah. Sang ibu hanya menatap putrinya, tanpa mengatakan apa pun. Beberapa detik hening berlalu. Setelah itu, akhirnya dari mulut sang ibu meluncur kata-kata yang lirih.
"…Maafkan Ibu, Rio."
Kalimat itu sudah bercampur dengan air mata. Kagura mendongak kaget. Mungkin karena ia mengira akan dimarahi. Di wajahnya tersirat keterkejutan dan kebingungan.
"Ibu seharusnya memperhatikan perasaanmu. Karena kau sulit menunjukkan emosi, Ibu malah sibuk berusaha memaksamu mengikuti arahan… sampai melupakan hal yang sebenarnya jauh lebih penting."
Air mata yang jatuh dari mata sang ibu, menuruni pipinya.
"Memahamimu dengan baik… seharusnya itulah peran seorang orang tua, ya."
Kagura menunduk pelan sambil mengangguk kecil.
"…Aku juga, maafkan aku. Karena aku tidak benar-benar berbicara. Bukan karena aku tidak bisa mengatakannya, tapi karena aku memilih untuk tidak mengatakan."
Itu bukan pengakuan penuh rasa bersalah, dan bukan pula melempar tanggung jawab. Melainkan, kata-kata jujur yang lahir karena ia sudah berani menghadapinya.
Ia melangkah maju satu langkah, lalu menunduk dalam-dalam dengan penuh ketulusan.
"Mulai sekarang, aku akan benar-benar bicara. Jadi Ibu juga… maukah mendengarkan perasaanku?"
Sang ibu sempat menatap putrinya dengan wajah terpaku, lalu akhirnya mengangguk dengan senyum yang bercampur air mata.
"Tentu saja. Mulai sekarang, kita akan memikirkannya bersama. Ibu ingin lebih mengenal dirimu."
Bersamaan dengan itu, sang ibu menjatuhkan payung yang dipegangnya. Payung itu jatuh ke tanah dan menimbulkan bunyi tumpul, bersamaan dengan langkahnya maju mendekati sang putri.
Rio pun melangkah keluar perlahan dari bawah payungnya. Lalu, perlahan, ia merebahkan tubuhnya dalam pelukan ibunya. Di tengah hujan yang dingin, itu adalah pelukan hangat dan tenang, seolah hati mereka akhirnya benar-benar terhubung.
…Akhirnya, mereka bisa maju ke depan.
"Yah, urusan selesai, kurasa."
Suara gumamanku yang pelan itu tersapu hujan, tak sampai pada siapa pun. Aku hanya memiringkan payungku sedikit, lalu meneduhkan keduanya di bawahnya.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter



Post a Comment