NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dare mo ga Urayamu Tonari no Cool Bishoujo, Jitsu wa Nounai Pink Sugiru Vol 1 Chapter 5

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 5

Entah kenapa aku terhubung dengan gadis cantik yang dingin (maknanya dangkal)

Liburan usai, dan tibalah pelajaran jam keempat. Kelas diselimuti keheningan.

Aku mengedarkan pandangan ke depan, lalu melirik ke kanan. Setiap orang yang masuk dalam pandangan mataku, semuanya terkapar di atas meja seakan mati. Kelas kami sebenarnya cukup rajin, jadi pemandangan seperti ini jarang terjadi.

“Karena itu, bagian ini dengan baik menggambarkan perasaan Hikaru Genji—”

Suara penjelasan wali kelas kami yang berdiri di depan kelas bergema hampa. Menghadapi kerumunan yang sudah kehabisan tenaga, entah bagaimana beliau masih bisa bersemangat untuk mengajar.

Ya, memang itu pekerjaannya, jadi kalau tidak dilakukan pun kami yang akan repot. Lagipula, kalau boleh dikatakan agak berlebihan, keadaan ini sebagian juga karena dirinya.

Soalnya, di kelas beliau ini, kapan pun jamnya, korban yang “tumbang” selalu bermunculan. Bahkan saat homeroom pun ada saja yang terkapar. Dan bukan sekadar mengantuk sambil mengangguk, melainkan tidur nyenyak sungguhan, tidur non-REM.

Belakangan aku mulai curiga, jangan-jangan beliau sebenarnya adalah shinigami atau semacamnya. Ucapan beliau pun kadang terdengar cukup berbahaya.

『Ahh… Haruskah aku mencekik habis anak-anak ini semua…?』

Secara lahiriah tampak ramah, murah senyum, dan lembut. Namun batinnya terasa bergolak penuh amarah, seakan setiap pembuluh darah siap meledak kapan saja.

Tidak salah lagi, itu telepati sang guru. Kupikir, bukannya memegang kapur, beliau lebih cocok mengayunkan cambuk di medan pertempuran. Diam-diam bahkan beredar desas-desus kalau dulu beliau adalah ketua geng sukeban.

…Ya, walau desas-desus itu hanya ada di kepalaku.

『Tapi coba pikir deh. Aku ini riset materi sampai tengah malam, tahu nggak? Saat kalian semua enak-enakan tidur. Eh giliran masuk kelas, kalian malah nempel di meja kayak mayat nggak bergerak sama sekali. Apa-apaan itu? Bullying model baru?』

Ah, ternyata beliau memang betul-betul menjalankan perannya sebagai guru. Ada sedikit kesungguhan yang bisa kurasakan dari punggungnya saat menulis di papan, membuatku jadi sulit berkata apa-apa.

『Apa-apaan sih, katanya pembelajaran harus mendekatkan diri ke siswa. Kalau aku mendekat ya yang kulihat kalian tidur semua! Malah bikin mental aku hancur! Terus si ketua guru bilang lagi, ‘Wah, pelajaran ibu tenang sekali ya, bagus.’ Tenang apanya, itu semua mati! Haruskah kubenamkan kalian semua ke dalam tanah sekalian!?』

Sekilas aku merasa ada tato naga ala yakuza yang muncul di punggungnya. Tolong hentikan ancaman untuk “membenamkan ke tanah” dengan nada seperti itu. Terlalu nyata, menakutkan. Dan berhentilah membayangkan membakar satu-satunya rambut yang tersisa di kepala si ketua guru. Kasihan dia.

『Hah… sial. Aku kan jadi guru di sekolah ini demi meneladani guruku dulu. Tapi kenapa aku nggak bisa sebaik beliau, ya…?』

Selesai melontarkan rentetan sumpah serapah, tiba-tiba beliau menatap jauh, seakan sedang bernostalgia.

Gurunya sang guru, mungkin? Kalau tidak salah, beliau memang lulusan sekolah kami. Sekarang jadi semakin terasa kalau latar belakangnya mirip karakter di manga yankee.

Aku jadi penasaran, kira-kira beban masa lalu apa yang tersembunyi di balik punggung yang seakan menyimpan naga itu—

“…Yonemine-kun, sudah mengerjakan latihan?”

“Eh, ah, belum…”

Mendadak dipanggil namaku, aku sampai memekik kaget. Rupanya penjelasan sudah selesai, dan waktunya mengerjakan latihan. Guru menoleh ke arahku dengan senyum manis.

『Hah, bahkan yang masih bangun pun ternyata setengah mati. Ahh… apa pelajaranku memang membosankan ya. Kudengar di pelajaran lain kalian serius semua. Jadi memang aku yang jelek. Apa sebaiknya semua kubenamkan ke tanah, dan aku ikut terkubur sekalian?』

Senyum luar, hati menciut. Aku jadi merasa bersalah.

Tapi kalau isi hatinya itu sampai keluar, mungkin seluruh siswa akan langsung berubah jadi model teladan. Walau sepertinya bagian “pelatihan kepatuhan” sekolah juga bakal kebobolan besar.

…Akhirnya, dengan sedikit rasa bersalah dan bayangan tanah yang dingin, aku menundukkan pandangan.

***

Dengan tanda lonceng, para murid seketika terbangun.

Jam pelajaran keempat berakhir, waktunya istirahat siang. Semua orang bergerak menuju tujuan masing-masing dengan tergesa, sedangkan aku biasanya tetap duduk di bangkuku beberapa saat.

Entah menunggu suasana tenang, atau menunggu Masaki memanggilku. Namun hari ini, kemungkinan kedua tidak ada. Aku menyalakan ponsel, membuka aplikasi chat. Di sana ada satu pesan tak terjawab.

【Bosan banget gara-gara sakit】

Pengirim: Miyaoi Masaki.

Ya, hari ini dia tidak masuk sekolah karena sakit. Padahal biasanya dia orang yang selalu segar bugar, meski tiap hari pakai kaus oblong dan celana pendek. Cukup jarang juga dia sampai absen.

【Tidurlah】

Kutulis singkat begitu, dan langsung muncul tanda dibaca.

【Ih, dingin amat!】

【Apa sih. Tidur aja sana】

【Masa nggak ada rasa peduli gitu sama teman yang lagi sakit!?】

【Kupikir, ternyata orang bodoh juga bisa sakit】

【Keterlaluan!】

【Maksudku, justru aku senang】

【Eh iya, nanti pinjemin catatan ya. Sebagai imbalan, kukirim foto melon yang kubawa dari ibuku waktu jenguk】

Terkirimlah foto sepotong melon matang yang tampak sangat lezat.

Apa-apaan sih orang ini. Enak saja dapat buah mahal begitu. Apakah

semuanya orang kaya, sih?

【Traktir di kantin】

【Kalau udon polos sih masih bisa……】

【Dapat melon tapi pelit sekali】

【Rasakan beratnya tiga ratus yen termasuk pajak!】

Hmm, sepertinya memang sudah mulai pulih. Memang anak-anak itu cepat sembuh rupanya.

Untuk sementara, setelah percakapan di chat mereda, aku menutup ponselku. Nah, kalau sudah begini, aku jadi tidak ada pekerjaan. Selama ini, ada kalanya Masaki tidak ada karena kegiatan klub.

Biasanya, di saat seperti itu aku pergi mencari tempat nyaman untuk menyendiri, tapi entah kenapa hari ini aku tidak begitu bersemangat melakukannya.

Untuk sementara, kupikir paling tidak aku perlu mengisi perut, jadi aku hendak berdiri.

Saat itulah.

"……Hei."

Terdengar sebuah bisikan dengan suara seakan sudah dipersiapkan sejak tadi. Sesaat aku tidak tahu kepada siapa itu ditujukan, jadi tetap hendak berdiri, tapi akhirnya aku menoleh ke arah suara itu. Di sana ada Kagura, dengan ekspresi yang agak sulit dijelaskan.

Yah, sebenarnya wajahnya memang selalu terlihat seperti itu, tapi kali ini terasa sedikit lebih tegang. Tangannya yang kanan seakan hendak menepuk bahuku, namun berhenti menggantung di udara, menunjukkan keragu-raguan yang jelas.

Apa aku memang sebegitu sulit diajak bicara? Sedikit membuatku ciut juga.……walau sebenarnya aku sendiri juga sedang dalam keadaan hati yang tidak biasa.

"Eh—ada apa ya, Kagura-san?"

"……Kenapa kamu jadi agak formal begitu sih?"

"Ah, nggak juga, cuma… lagi pengin saja."

"Apa itu, benar?"

Karena menjawabnya terburu-buru, jadi terdengar aneh, dan Kagura pun balik bicara dengan nada heran. Tapi yah, aku pun tidak bisa menampik kalau aku juga agak gugup.

……Tidak mungkin kami berdua melupakan kejadian akhir pekan lalu.

Mendadak ada "kunjungan ke rumah" yang terjadi, dan kemudian bubar dengan suasana yang sulit dijelaskan.

Karena itu, aku tidak tahu harus bertatap muka dengan perasaan seperti apa. Bahkan hari ini pun, sampai barusan kami sama sekali belum berbicara. Wajar saja kalau akhirnya jadi begini.

『Padahal waktu itu kamu kelihatan lebih akrab, kok tiba-tiba jadi dingin……Apa jangan-jangan, setelah sekali "melakukan itu" kamu langsung buang……itu yang disebut "sekali pakai lalu ditinggal", ya?』

"Kan kita sama sekali belum melakukan itu!!"

"Eh?"

"……nggak, nggak ada apa-apa."

Tanpa sadar aku membalas begitu saja. Mana bisa aku diam saja kalau

diserang dengan semacam delusi—atau lebih tepatnya, delusi yang menyerangku begitu. Tapi begitu aku bantah, jadinya aku terlihat seperti orang aneh yang tiba-tiba teriak sendiri, dan itu menyebalkan sekali.

Yah, setidaknya dia masih bersikap seperti biasanya. Walau kepalanya penuh pikiran mesum, yang itu sih jelas tidak membantu.

"Jadi, ada perlu apa?"

"……Umm, soal waktu itu. Aku ingin membicarakannya lebih baik."

Ternyata langsung mengangkat topik itu. Memang masuk akal, mengingat hanya itu satu-satunya titik singgung kami belakangan ini. Tapi masalahnya, waktu itu terlalu banyak hal terjadi. Jadi aku sendiri tidak tahu maksudnya yang mana. Lagi pula aku saat itu juga panik, jadi tidak banyak yang kuingat. Atau tepatnya, mungkin aku tidak mau mengingatnya.

Untuk menyambung pembicaraan, kucoba menelusuri ingatanku. Tentu saja, lewat telepati—maksudku, mencoba membaca ingatan Kagura.

"Eh, soal buku yang kamu perkenalkan itu, ya?"

Begitu aku berkata begitu, Kagura langsung mendongak, dan wajahnya sedikit tampak cerah.

Benar juga, waktu itu memang mengalir ke arah aku meminjam novel ringan kesukaannya.

"Betul. Soalnya kemarin kita hampir tidak sempat membicarakannya, jadi aku ingin membahasnya lagi."

"Eh, judulnya ‘Vampir di Sebelah itu, ya?"

"Iya. Dan hari ini aku sudah bawa volume kedua, jadi aku ingin kamu membacanya."

"Itu sih persiapanmu matang sekali……"

Aku tersenyum kecut melihat Kagura yang sedikit condong ke depan. Dia hanya mengerucutkan bibir lalu mengangkat bahu. Berhubung aku mulai terbiasa dengan ekspresinya—dan juga sedikit bisa "membaca pikirannya", aku tahu, itu sebenarnya tanda dia merasa malu.

"Soalnya…… sampai sekarang, aku hampir tidak punya orang yang bisa diajak bicara soal ini."

"Diajak bicara sampai sejauh itu ya…… entah aku bisa sampai level itu apa tidak."

"Tidak perlu dibesar-besarkan. Aku cuma…… ingin berbagi apa yang kusukai, itu saja."

Kagura mengatakan itu dengan raut malu-malu.

Hmm, begitu ya.

Tidak masalah apakah aku benar-benar memahami isinya secara sempurna atau tidak. Yang terpenting, mungkin adalah ada seseorang yang mau menampung keinginannya untuk berbagi cerita. Kalau sepopuler dia, kurasa cukup dengan sekali bilang saja, banyak orang akan ikut membicarakannya.

"……Lalu, kalau kamu tidak keberatan."

Saat aku sedang asyik berpikir sendiri, Kagura menatapku dengan ekspresi seakan ingin menyampaikan sesuatu.

Setelah jeda sejenak, dia mengalihkan pandangan. Kemudian—

"Hari ini, mau makan siang bersama?"

Dengan tatapan penuh tekad, ia kembali menatapku.

"Ah~…… iya sih……"

Yah, dia baru saja melemparkan pertanyaan yang cukup sulit.

Aku jadi menggantung jawabanku.

Sebab, kalau "seorang tokoh latar" seperti aku terlihat sedang berbincang dengan "bunga di puncak tebing", pasti akan terlihat sebagai pemandangan yang cukup langka di mata orang sekitar. Aku rasa percakapan kami tidak terdengar jelas oleh orang lain, tapi dari jarak dan suasana antara kami, mungkin orang-orang bisa menangkap bahwa kami sedang berbicara. Buktinya sekarang saja, tatapan-tatapan terus saja melirik ke arah ini.

Ya, sebagian besar memang tertuju pada Kagura, tapi kira-kira satu dari sepuluh tatapan juga mengarah padaku. Prinsipku adalah hidup tanpa menonjol. Aku tidak berniat bersikap kasar pada dia, tapi kalau sampai menimbulkan gosip yang aneh, itu akan merepotkan.

Bagaimana sebaiknya aku menjawab permintaan gadis ini… sedang kupikirkan ketika—

"Yo—Yonemine-kun!!!"

Suara yang nyaring bergema memenuhi seluruh kelas. Semua orang segera menoleh ke arah sumber suara itu. Lalu, setelah mendengar namaku disebut, tatapan-tatapan itu beralih kepadaku.

"…Hah?"

Suara bodoh keluar begitu saja dari mulutku. Saat menoleh, di sana

berdiri seorang gadis yang sporty, dengan senyum sebagai ciri khasnya, dan entah kenapa sepertinya menyukaiku.

──Sawari Mahiru.

"E-eh, itu, maksudku… aku ingin sekali lagi makan siang bersama, kalau bisa…"

Wajah Sawari memerah habis-habisan, terlihat jelas bagai direbus. Tangannya gelisah, kadang memainkan rambutnya, gerak-geriknya serba canggung. Tapi yang lebih parah adalah kekacauan yang berkecamuk dalam pikirannya:

『Aaaaah! Aku terlalu gugup sampai suaraku jadi keras banget… tapi tadi dia terlihat akrab dengan Rio-chan, jadi aku makin gugup, apa aku nekat menyela ya, tapi… jangan-jangan Yonemine-kun sudah dekat sama Kagura-chan, tidak mungkin, kan, tapi… aku panik, pasti terlihat aneh banget, ya ampun, malu sekali──』

Entah "lebih keras dari yang kupikir" itu seberapa, tapi kenyataannya suaranya benar-benar terlalu keras. Akibatnya, semua sorot mata sekarang menancap padaku. Seandainya tatapan bisa terlihat, tubuhku pasti sudah seperti landak: ditusuk dari segala arah.

Lebih buruk lagi, aku bisa merasakan tatapan-tatapan itu perlahan berubah, dipenuhi kecemburuan dan kebencian.…Orang misterius yang tadi tampak akrab bercakap dengan Kagura, dan sekarang mendapat ajakan makan siang dari Sawari Mahiru.

Ya, wajar kalau jadi bahan kecaman. Aku sudah bisa menebaknya.

"…Pindah tempat, yuk."

Dengan senyum selembut mungkin, aku hanya bisa mengeluarkan kata-kata itu.

***

"Jadi, ruang kelas lama seperti ini ya. Aku baru pertama kali ke sini selain saat tur sekolah dulu."

Sawari yang berjalan di sampingku tampak bersemangat, matanya celingak-celinguk penuh rasa ingin tahu.

"Begitu, ya. Aku kira kamu sudah terbiasa, soalnya ruang ini sering dipakai buat gudang kegiatan klub."

"Basket semua perlengkapannya disimpan di gedung olahraga, lho~. Kalau tidak salah, yang pakai ruang kelas lama ini klub seni rupa, klub fotografi, pokoknya klub-klub budaya."

"Oh, begitu ya…"

Aku bahkan tidak tahu informasi itu. Padahal tadi sok-sokan bergaya seperti orang yang sudah biasa di sini. Malu sekali.

『Ehehe, aku bisa jalan bareng Yonemine-kun. Lagi pula dia bahkan menunjukkan tempat spesialnya… bukankah ini kemajuan besar!?』

Tanpa tahu rasa maluku, Sawari terlihat berseri-seri penuh kebahagiaan. Dia memang terlihat seperti orang yang selalu bersenang-senang. Bukan berarti aku sama sekali tidak senang… hanya saja aku tidak bisa merasa sebebas itu.

Yah, kalau dipikir-pikir, kalau aku tetap bertahan di kelas tadi, mungkin sekarang lambungku sudah meledak karena stres.

──Atas saranku, kami datang ke ruang kelas lama. Satu-satunya tempat tenang, jauh dari "telepati". Tapi sekarang, ini lebih sebagai tempat berlindung dari tekanan diam-diam yang menyambar dari segala arah. Kalau tetap tinggal di sana, kehidupan sekolahku pasti hancur jadi abu. Meskipun begitu, melarikan diri ke sini bukan berarti masalahnya selesai. Membayangkan saat nanti kembali ke kelas saja, kepalaku sudah terasa berat. Sungguh, bagaimana bisa jadi begini…

"Yonemine-kun, kamu sering ke sini ya?"

Sambil aku tenggelam dalam pikiran, Sawari menoleh dan mengintip wajahku. Dengan kata lain, biang kerok A dari situasi ini.

"Hm? Yah… kalau Masaki tidak ada karena latihan klub hari Rabu, biasanya aku ke sini."

"Ah, begitu. Memang tempatnya terasa tenang, cocok buat makan siang ya."

Sawari mengangguk-angguk seolah setuju. Padahal sebenarnya berdebu, dan tidak terlalu cocok untuk makan siang.

"Jadi, kamu biasanya ke sini bareng teman-temanmu?"

"Eh? Tidak, aku sendirian."

"Eh, kenapa?"

"Eh, kenapa?"

"Aku pikir kamu sesekali makan bareng teman yang lain."

Mendengar pertanyaannya yang polos, aku malah refleks mengulang. Kenapa dia bertanya begitu… tapi, benar juga.

Sawari adalah tipe orang yang seperti hidup langsung dari lagu "Aku ingin punya seratus teman". Dia pasti tidak terbiasa makan sendirian. Dengan penampilan dan kepribadiannya yang ramah, mana mungkin ada orang yang membiarkannya sendirian.

"…Bukan tidak mau, lebih karena aku ingin melewatkan waktu dengan tenang."

"Oooh, begitu ya?"

Sawari mengangguk, meski terlihat tidak sepenuhnya mengerti.

Ya… aku tidak mungkin menjelaskan bahwa aku ingin menjauh karena telepati. Tidak perlu dimengerti juga, dan aku bukan tipe yang suka membicarakan masalah pribadiku panjang lebar. Namun dari sikapnya, aku jadi khawatir: apa jangan-jangan tanpa sadar dia sudah "menikam" sebagian orang hanya dengan kepribadiannya yang seperti ini…

Aku merasakan suatu cahaya yang seolah-olah bisa menelan bulat segala suasana muram sekaligus. Manusia yang tampak bersinar itu, pada dasarnya, memiliki semacam daya serang hanya dengan keberadaannya.

『…Tapi, begitu ya. Kalau hari Rabu kamu sendirian, itu berarti… hari itu kita bisa berdua saja, kan──』

— Saat itu, mata Sawari berkilat. Itu adalah tatapan seseorang yang baru saja menemukan ide bagus.

Eh, tunggu, maksudku “tampak bersinar” bukan dalam arti yang seperti itu. Dan lagi, janganlah membawa perkara yang bisa bikin perutku semakin sakit, seperti soal “berdua saja.”

Untuk mengalihkan diri dari kenyataan, aku spontan membuang pandanganku ke arah yang berlawanan dari Sawari. Arah pandanganku jatuh pada ranjau darat lainnya. Di sana ada Kagura, yang berjalan agak sedikit di belakang sambil menyesuaikan langkahnya.

“Uhm, Kagura, kamu tidak keberatan, kan, di sini? Memang agak berdebu, sih.”

“…Iya. Menurutku tempat ini tenang, jadi baik untuk duduk santai. Lagi pula, aku sudah beberapa kali datang ke sini.”

Kalau dipikir-pikir, belum lama ini Kagura sempat ditembak di sini, ya.

Tepatnya di belakang gedung sekolah, tapi mungkin memang sudah beberapa kali ia masuk ke sini.

“Ya, sebenarnya tempat ini sih area terlarang, jadi seharusnya kita tidak boleh masuk.”

“Eh, iya, kan!? Tadi aku sempat mikir, karena kamu masuk begitu saja, apa memang tidak apa-apa!”

Aku bergumam begitu, lalu Sawari bereaksi agak berlebihan.

“Ya, mungkin sebenarnya memang tidak terlalu aman. Kalau ketahuan, kita pasti dimarahi. Tapi, selama ini tidak pernah ketahuan, jadi dari sisi itu aman-aman saja, sih.”

“Eh, jadi kamu itu sebenarnya cukup nekat juga, ya, Yo…Yonemine-kun!?”

Kalau dipikirkan baik-baik, dia kan ikut klub, ya. Kalau melakukan hal sembrono seperti ini, bukankah bisa berpengaruh pada kegiatannya? Aku agak terlambat menyadari kalau aku kurang mempertimbangkan hal itu, jadi sedikit menyesal.

Ya, meskipun pada akhirnya, dia memang kelihatan tipe yang akan tetap ikut sekalipun aku larang.

“…Yonemine-kun ternyata orangnya agak jahat juga, ya.”

Kagura berbisik lirih. Nada suaranya tenang, pelan. Namun aku merasa ada sedikit kilau aneh yang bergelombang di dalam matanya.

Lalu.

『Suara mudah bergema… sepi… pandangan tidak begitu jelas… artinya, ruang ini cocok untuk berbagai macam perbuatan. Hm, pantas saja. Yonemine-kun, memilih tempat seperti ini untuk mengarahkan secara alami, hebat juga…』

Merinding. Tatapan Kagura yang tertuju padaku terasa seperti merayap pelan di sepanjang punggungku. Meskipun tidak terucap, seakan-akan suara hatinya tercampur dengan desahan nyata yang menembus sampai ke telingaku.

『Selain itu, lantai kayu ini punya tingkat kekerasan yang pas kalau untuk menjatuhkan orang. Ada garis abu-abu yang masih bisa diputar-balikan kalau ketahuan. Ada pula perlengkapan yang bisa dipakai untuk ganti baju atau membungkam mulut. Jangan-jangan, alasanmu mengajakku makan siang sebenarnya hanya dalih, dan tempat ini kau pakai untuk “memakan” berbagai gadis… Jadi begitu, rupanya kamu ini lumayan pemain ulung.』

Tidak, tidak, tidak. Aku tidak pernah begitu. Aku bukan pemain ulung. Sama sekali bukan.

Aku hanya mencari tempat yang tenang, aku sama sekali tidak pernah mempertimbangkan soal kerasnya lantai bekas gedung sekolah. Dan siapa juga yang bakal mempertimbangkan hal-hal seperti itu!?

“Uhm, maksudku, kalau dibilang jahat pun, ya paling sebatas masuk ke area terlarang. Aku tidak merencanakan apa-apa. Jadi… tolong jangan salah paham…”

Aku mencoba menjelaskan dengan suara yang sengaja kubuat terdengar tulus.

Kagura memiringkan kepalanya sedikit, menatapku. Mungkin karena aku benar-benar sedang membela diri gara-gara “telepati”-nya, jadi kalau hanya dilihat dari luar, reaksiku memang bisa terlihat agak berlebihan.

“…Hmm, kalau untuk ukuran alasan, mungkin sekitar enam puluh poin.”

“Eh, ketat sekali penilaiannya.”

“Soalnya terlalu jelas. Kalau ketahuan, memangnya kamu mau bilang begitu pada guru?”

“U-uhm… Mungkin harus mulai dari sujud minta maaf dulu, ya…”

“Rasanya itu malah berbalik jadi bumerang, sih.”

Aku mencoba bercanda, tapi Kagura tetap menanggapi dengan wajah serius. Namun, pipinya sedikit—sungguh sedikit sekali—mengendur. Itu jelas sebuah senyuman.

“Yah, saat itu nanti tinggal benar-benar menyesal saja. …Lagipula, Yonemine-kun punya ‘catatan’ juga, kan?”

『…“Catatan” berupa pernah masuk ke kamar gadis, lalu berduaan di dalamnya, itu lho.』

Ia bergumam pelan sekali, hampir tidak terdengar, tapi sayangnya aku mendengarnya dengan jelas. Nada suaranya melalui “telepati” terdengar malu-malu.

Hei, menyebut itu sebagai “catatan” terlalu berlebihan! Aku masuk karena kamu yang menyambutku, kan!? Meskipun, ya… kalau ditanya kenapa aku tetap masuk walau tahu itu kamar seorang gadis, aku memang tidak bisa membantah.

“Uh, a-ah… Kalau begitu ayo kita masuk ke kelas saja! Kita sudah cukup jauh masuk, jadi kayaknya tidak akan ketahuan orang lain lagi, kan!?”

Sawari tiba-tiba menyela dengan suara keras, seakan mencoba memutus pembicaraan. Sambil berkata begitu, dia bergantian melihat ke arahku dan Kagura dengan senyum canggung yang agak tegang. Dia bahkan mendekat begitu rapat hingga hampir menyentuh bahuku. Dari dalam pikirannya, gelombang emosi mengalir sangat kuat.

『Yonemine-kun ternyata bisa mengobrol dengan Rio-chan… Dan kelihatannya akrab, lagi… Jangan-jangan mereka punya hubungan khusus!?』

Apa memang aneh kalau aku ngobrol dengannya?

Padahal, kalau kupikir lagi, aku sendiri sampai beberapa waktu lalu juga menganggap Kagura seperti makhluk asing yang tidak akan menjawab meski diajak bicara. Sosok di luar jangkauan manusia, semacam makhluk tanpa bahasa bersama. Jadi, aku bisa mengerti perasaan Sawari.

Ya, aku memang tidak bisa berkata apa-apa.

『Tetapi… Yonemine-kun, ternyata cukup akrab dengan Sawari-san juga. Wajahnya polos, tapi ternyata playboy, ya…? Setelah aku, targetnya adalah gadis itu dengan dada besar… Jadi Yonemine-kun ini penyuka payudara besar rupanya.』

Dan mendengar itu dari Kagura pun seperti biasa, apa sih yang dikatakan orang ini. Seperti setiap kali, aku benar-benar merasa otaknya perlu diperiksa ulang.

Aku itu tidak digerakkan oleh dorongan hewani semacam itu. Jangan setiap saat dibawa ke arah yang konyol. Dan hentikan pula membawa-bawa asumsi aneh seolah aku melihat Kagura sebagai mangsa.

…Haa. Sungguh. Mereka berdua sama-sama salah paham. Daya imajinasi mereka benar-benar membuatku tak habis pikir, sekaligus sedikit kagum.

"…Ah, ini. Di sini. Ini ruang kelas yang biasanya kupakai."

Sambil tersenyum kecut, aku sengaja memotong pembicaraan dan menunjuk pintu kelas di dekatku.

Mereka yang sedang larut dalam imajinasi yang terlalu jauh melenceng itu, kuajak setidaknya masuk ke ruang yang bisa membuat suasana lebih tenang.

Engsel pintu yang sudah tua berderit pelan. Aroma khas bangunan lama, kayu yang sedikit lembap, tercium samar-samar. Ruang sunyi tanpa siapa pun. Cahaya lembut yang masuk dari jendela membuat butiran debu di udara tampak mengambang.

"Waah~ suasananya kerasa banget ya…!"

Sawari berujar dengan nada takjub, matanya berkeliling penuh minat. Ia berjalan ke bagian dalam kelas, jemarinya menelusuri permukaan meja kayu yang sudah lama terpakai. Gerakan itu pun tampak mengandung sedikit ketegangan.

Kagura juga masuk tanpa berkata apa-apa, lalu di suatu momen melintas tepat di sampingku. Saat berpapasan, aroma manis samar tercium di hidungku. Entah itu wangi sampo, atau mungkin pelembut pakaian. Bagaimanapun juga, itu membuatku jadi gugup tanpa alasan.

"Aku kira bakal lebih berdebu, tapi ternyata lebih bersih dari

perkiraan."

"Ya, walau sudah jarang dipakai, tapi bukan berarti ini bangunan terbengkalai… masih ada orang yang keluar-masuk."

Lagi pula aku sendiri yang sering memakainya.

"Oh begitu~ Kalau tempatnya sesunyi ini, kayaknya enak juga kalau sesekali datang ke sini."

『Kalau bisa makan berdua di sini, atau ngobrol santai, pasti seru banget.』

…Eh? Apa jangan-jangan tempat tenangku mulai terancam?

Alisku refleks ingin mengernyit mendengar ucapan Sawari.

"Tapi sebaiknya jangan terlalu keras bicara ya. Suara gampang terdengar keluar di gedung ini."

Sambil berkata begitu, aku pun duduk di kursi biasanya.

Dekat jendela, cahaya masuknya pas, angin juga mengalir enak. Tempat favoritku. Sungguh spot terbaikku, tak mungkin kurelakan begitu saja.

"Ah, iya! Baik, akan hati-hati!"

Sawari menegakkan punggung dan memberi salam gaya hormat. Gerakan konyol tapi entah kenapa terlihat imut. Meski begitu, jelas ia masih agak tegang. Sementara Kagura— Ia sudah duduk diam di kursi sebelahku.

Yah, memang sehari-hari juga duduk di samping, jadi bisa dibilang posisi tetap. Tapi tetap saja aku agak kaget karena ia melakukannya

begitu wajar.

"…Memang tempat ini enak juga."

Dengan dagu disangga tangan, Kagura menatap langit biru di luar jendela. Sikapnya tenang, anggun, penuh aura keren… tapi—

『Kalau bercinta di tempat terbuka begini, pasti rasa bersalahnya luar biasa…』

Isi kepalanya begini. Ah, benar-benar, dasar… teramat parah.

"Ya, kalau kamu menyukainya, baguslah."

"U-um, iya. Tempat ini tenang, anginnya juga sejuk…"

Sambil pura-pura menikmati angin, sebenarnya isi hati Sawari seperti ini:

『A-aku duduk di mana yang benar ya!? Kursi sebelah sudah diambil… ya, bukan diambil sih… tapi Rio-chan kok keliatan terlalu natural, kuat banget!?』

Pikiran kalutnya seakan langsung terdengar di kepalaku.

Aku heran, apa memang tiap hal kecil mesti begitu dibikin panik. Tapi ya sudahlah, mungkin itu perasaan yang tak bisa kumengerti. Akhirnya Sawari duduk di kursi depan, lalu menoleh ke arahku sambil mengeluarkan kotak bekalnya.

"Yonemine-kun, lagi-lagi cuma roti manis ya…"

"Hm? Yah, Siswa miskin tak punya banyak pilihan…"

Ia menoleh pada apa yang ada di mejaku sambil berkomentar.

Di atas meja hanya ada Danish cokelat dari minimarket dan jus sayuran.

Benar-benar menu makan siang seadanya, tapi karena ada jus sayur, nutrisinya masih lumayan. Kemarin aku sempat dikritik soal gizi, jadi ini sudah ada perbaikan.

"…Ngomong-ngomong, kamu memang tinggal sendirian?"

"Iya. Pernah aku bilang, kah?"

"Aku pernah dengar waktu kamu bicara dengan Miyaoi-kun. Maaf ya, kedengarannya seperti aku menguping."

Kagura mengangkat bahu sedikit.

Wajar saja, duduknya memang bersebelahan. Aku sendiri toh sering—atau lebih tepatnya dipaksa—mendengar isi kepalanya yang penuh hal pink itu.

"Eh, kamu tinggal sendirian!? Hebat ya!"

"…Nggak juga. Aku lemah banget dalam urusan rumah. Lihat saja, makan siangku begini."

"Nggak, nggak. Bisa ngurus sendiri aja udah hebat! Pulang sekolah masih harus ngerjain pekerjaan rumah, aku sih nggak sanggup."

"Benarkah begitu ya."

"Tentu saja begitu!"

Sawari kan ikut klub, wajar kalau merasa begitu. Tapi aku hampir seperti pengangguran, jadi ya sudah terbiasa dalam beberapa bulan. Bukan sesuatu yang perlu dipuji sebenarnya… tapi kalau dipuji ya tak buruk juga.

"Tapi ya, bisa hidup bebas tanpa harus peduli pengawasan orang lain, itu agak membuatku iri."

"…Eh, itu…"

Kagura menundukkan wajah sedikit, bulu matanya meneduhkan matanya.

Aku sempat terdiam. Aku tahu, orang tuanya sangat menuntut soal pendidikan, banyak hal yang dipaksakan padanya. Aku bingung bagaimana harus menanggapi.

『Soalnya aku bisa menikmati buku atau audio semacam itu kapan pun aku mau. Kalau sudah menumpuk, aku juga bisa melampiaskannya kapan saja aku mau.』

Oh, jadi maksudnya itu. Berlawanan dengan ekspresinya, dalam hati Kagura sama sekali tidak senonoh.

Apa dia sebenarnya cukup tebal muka? Apakah dia itu sosok yang rapuh atau justru pemberani… tidak, mungkin pikirannya memang sedang didominasi hal-hal mesum saja.

"Yah, menurutku sih… pulang ke rumah lalu ada seseorang yang menunggu itu rasanya lebih baik."

Aku ingin cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, tapi sekaligus aku benar-benar berpikir seperti itu. Memang aku tidak pernah menjalani kehidupan semacam itu, jadi aku tidak tahu pasti, tapi kupikir setidaknya tidak akan se-menyedihkan seperti sekarang.

"…Begitukah rasanya?"

"Ya, kurasa begitu, bukan?"

『…Kalau begitu, Yone¬mine-kun ingin seseorang yang menyambutnya di rumah, ya? Kalau begitu, bagaimana kalau aku berkata, ‘Mau mandi dulu? Mau makan dulu? Atau mau… aku dulu’?』

Ia melirik ke arahku dari samping. Dan entah kenapa, dia malah membayangkan dirinya sendiri mengenakan celemek… kenapa dia tampak agak serius begitu!? Dan kenapa seolah-olah dia berpikir aku memang mengharapkan dia berkata begitu!? Hentikan rasa seolah kita "sepemikiran" itu!!

Aku merasa kalau aku sampai menatap matanya, itu sama saja dengan kalah. Maka aku pun segera menggigit roti di hadapanku. Yang penting sekarang adalah memutus aliran bayangan aneh yang muncul di benak.

Aku mencoba memusatkan pikiran pada rasa gandum yang memenuhi mulutku…

──♪♪♪

Saat itu, ponsel seseorang berbunyi. Nada dering yang imut, pirorin pirorin.

"Ah, maaf ya. Itu punyaku!"

Sumber suara datang dari Sawari. Dengan tergesa ia memberi isyarat permisi kepadaku, lalu meraih ponselnya. Dan kemudian,

『Mahiru! Kamu di mana sekarang!?』

"Uwah, suaramu kenceng banget!"

Suara yang keluar dari ponsel begitu nyaring. Padahal bukan mode pengeras suara, tapi sekeras apa volume itu!?

"Mo–mohon maaf… ada apa, Tomoka?"

Yang menelepon adalah sahabat karib sekaligus fans garis keras Sawari: Sonoda Tomoka.

Suatu volume suara yang tidak biasanya—benar-benar berbeda dari kesehariannya yang selalu tampak tenang. Sawari buru-buru menjauhkan ponsel sedikit dari telinganya, lalu dengan canggung menjawab. Di seberang, Tomoka berdeham sekali.

『Ada apa, tanyamu… ya jelas. Hari ini kan harus mengumpulkan buku catatan klub. Sudah kamu tulis dengan benar?』

"Eh, hari ini ya!? Aku… aku nggak lupa, kok! Tapi kan masih ada waktu sampai pulang sekolah, jadi aman. Aku bakal nulis super cepat kok!"

『Itu mah sama aja nggak bakal selesai. Kamu bakal dimarahi senpai lagi.』

"Ughh… tapi kali ini aku pasti bisa kok. Begitu jam istirahat habis, aku langsung nulis!"

『Kalau begitu… sekarang kamu di mana? Atau lebih tepatnya, kamu sedang sama siapa?』

Seketika nada suaranya berubah—bahkan bukan sekali, melainkan dua kali lipat lebih tajam. Mendadak berubah begitu, sampai-sampai aku merasa sedikit sakit di perut. Sementara itu, Sawari menoleh sekilas padaku.

"Eh, sekarang? Sekarang aku lagi sama Yonemine-kun──"

『……HA???』

Ya, seperti sudah kuduga. Sebuah "ha?" yang begitu mengintimidasi, seolah-olah ditambah tanda dakuten, terlontar dari seberang.

『Yonemine?? Hah?? Kalian lagi bareng??』

"U–uuh, iya…! T-tapi bukan cuma berdua, sebenarnya Rio-chan juga──"

『Haaaaaaah…』

Sebuah desahan panjang, kelam, nyaris seperti geraman terdengar dari seberang. Ia memutus kalimat Sawari begitu saja, seakan tidak sudi mendengarkan alasan apa pun.

『Sungguh… aku kira itu semua cuma salah lihat orang. Tapi ternyata… si laki-laki figuran itu berhasil menjeratnya saat aku lengah…』

"T–Tomoka?"

Hi–hiiih.

Meskipun orangnya tidak ada di sini, aku merasa seakan ada sebilah pisau licin yang diletakkan di leherku. Ini fitnah. Aku sungguh tidak melakukan apa-apa!! Dan kenyataannya, tidak pernah sekalipun aku yang memulai sesuatu!!

Aku ingin sekali berteriak membela diri, tapi percuma. Ini ibarat sidang pengadilan sihir—hukuman sudah diputuskan dan tidak akan berubah.

Begitu Tomoka selesai melontarkan kutukan-kutukannya, nadanya mendadak berubah menjadi dingin.

『Datang ke sini.』

"Eh?"

『Datang sekarang juga. Segera. Tanpa penundaan. Dalam tiga detik kamu harus siap.』

"Uh, maksudmu itu gimana──"

『Kalau tidak, semua foto memalukan Mahiru di masa lalu akan aku sebarkan ke seluruh anggota klub!!』

"Eh!? T–tunggu dulu Tomoka──!!"

Tut. Panggilan berakhir. Dalam dua arti, benar-benar "diputus."

Nada tuu-tuu terdengar, sementara Sawari menatap layar ponselnya dengan wajah tertegun.

"Kenapa ya Tomoka…? Rasanya sikapnya tadi aneh sekali…"

Iya, betul. Kenapa ya…?

Aku cuma bisa tersenyum pahit dengan tatapan kosong ke kejauhan. Aku merasa sangat enggan untuk kembali ke kelas. Aku yakin kalau kembali, nasibku akan tamat.

"Ehh… maaf ya. Sepertinya aku harus pergi dulu karena hal itu…"

『Ish, Tomoka ini… padahal aku sudah hampir bisa makin dekat dengan Yonemine-kun!』

Dengan kata-kata bernada menyesal, Sawari bangkit dari tempat duduknya.

"Aku mengerti. Tolong jangan sampaikan salamku pada Sonoda."

"Ahaha, apa itu!"

Atas jawabanku, Sawari tertawa kecil. Padahal aku sama sekali tidak bercanda, itu tulus dari hatiku. Aku tidak ingin persoalan makin rumit hanya gara-gara cerita tentangku.

"Kalau begitu aku berangkat dulu! Lain kali, ayo makan bersama lagi ya, lain kali!"

Dengan meninggalkan kata-kata itu, Sawari keluar dari kelas seperti angin. Semoga saja semuanya bisa selesai dengan damai…

『Foto memalukan Sawari-san… kira-kira seperti apa, ya. 』

Kupikir Kagura diam terus, ternyata ia malah melamun tentang sesuatu yang sama sekali tidak penting.

Hei, bisakah jangan membayangkan Sawari dengan pakaian dan pose yang menutupi mata serta menonjolkan dadanya? "Memalukan" itu, jelas-jelas bukan yang seperti itu.

***

Kelas di gedung sekolah lama yang ditinggalkan Sawari kembali dipenuhi keheningan seperti biasanya. Aku masih belum terbiasa berada hanya berdua dengan Kagura.

"Yonemine-kun, kamu akrab dengan Sawari-san, ya."

Ketika aku sedang diliputi sedikit kebingungan atas situasi ini, Kagura tiba-tiba berkata begitu.

"Ah, tidak juga, tidak sampai bisa dibilang akrab…"

"Begitu? Padahal kelihatannya kalian dekat."

"Soalnya dia sering mengajakku bicara. Mungkin itu sebabnya."

Pada dasarnya, aku sendiri masih sulit mengukur jarak antara kami. Aku tidak tahu kenapa dia begitu menyukaiku, apalagi bagaimana caranya supaya semua ini tidak berubah jadi masalah. Mungkin untuk yang terakhir, aku memang sudah separuh jalan buntu…

"…Kalau begitu, kamu belum pernah pergi ke rumahnya Sawari-san?"

"Uhuk! Uhek!"

Aku refleks terbatuk, remah roti tersangkut di tempat yang aneh. Apa-apaan yang dia katakan barusan!?

"T-tentu saja tidak ada! Kau kira aku ini siapa?"

"Seorang laki-laki yang suka main ke rumah teman sekelas perempuannya?"

"Itu tuduhan paling buruk!"

Kalau hanya melihat faktanya memang begitu, tapi kalau dipotong seperti itu jelas terlalu jahat.

"Itu kan, semacam… kecelakaan yang tidak disengaja!"

"Tidak, itu bukan kebetulan. Karena akulah yang mengajakmu."

"Itu berarti kecelakaan berubah jadi insiden, tapi tetap saja posisiku waktu itu pasif!"

Kalau sudah tahu, jangan memberi kesan yang buruk seperti itu!

"Haa… toh aku juga tidak akan ke sana lagi. Jadi, bisakah kau berhenti menggodaku?"

"Oh? Jadi tidak akan ada lagi?"

"…Eh?"

Sambil meneguk jus sayur dengan sedotan, Kagura berkata begitu sambil sedikit memiringkan kepala dengan wajah bingung.

"…Soalnya aku masih ingin membicarakan soal ‘Nari-Vam’."

Ucapnya dengan menundukkan bahu dan pandangan sedikit ke bawah.

Nari…? Ah, itu ya. Mungkin singkatan dari ‘Tonari no Vampire’ (Vampir di Sebelah). Tapi kenapa dia terdengar agak kecewa begitu.

"…Jadi itu alasanmu ingin makan siang bareng?"

"Ya. …Aku tidak menyangka Sawari-san juga ikut, sih."

"Kenapa tatapanmu begitu? Apa memang tidak boleh kalau ada Sawari?"

"Bukan tidak boleh, tapi… kalau tidak berdua, aku jadi tidak bisa terlalu leluasa membicarakan hal itu."

"Kenapa memangnya? Toh tidak masalah kalau diceritakan. Siapa tahu Sawari juga jadi ikut membaca."

"Mustahil! Mana mungkin Sawari-san…"

Dengan cara yang agak tidak cocok dengan dirinya, Kagura berkata lirih, suaranya melemah di ujung. Mungkin memang dia tidak ingin membicarakan hobinya itu di depan orang lain. Padahal kalaupun soal hobi menulis novel erotis masih wajar disembunyikan, kalau cuma yang ini, bukankah tidak masalah? Lagipula, setahuku, karya itu bukanlah sesuatu yang terlalu ekstrem.

"Kalau begitu, kenapa hanya denganku tidak apa-apa?"

"Itu… karena…"

Mendadak aku bertanya begitu, Kagura terdiam dan memalingkan pandangan.…mungkin karena aku cuma dianggap tokoh figuran yang tidak menonjol, jadi apa pun yang dia ceritakan tidak akan masalah.

‘Tonari no Vampire’—yang masuk kategori light novel. Aku sendiri sempat terkejut ketika tahu. Kalau orang lain sampai tahu, bisa saja jadi ribut, mengingat banyak yang sudah mulai menyanjungnya berlebihan.

Ada sebagian orang yang karena terpesona oleh kesan misteriusnya, sampai menganggap Kagura itu sosok luar biasa: semacam pemegang kebenaran tersembunyi atau peneliti jiwa yang mendalam. Padahal kenyataannya, ia hanyalah manusia biasa yang penuh kegelisahan. Dalam arti itu, mungkin karena posisiku yang terlalu netral, maka dia merasa bisa lebih bebas berbicara denganku.

Sampai aku merasa masuk akal dengan penjelasan itu, baru kusadari bahwa Kagura menutup mulutnya dengan tangan, pipinya sedikit memerah. Lalu ia membuka mulut dengan ragu.

"Karena… Yonemine-kun sudah pernah melihat sisi diriku yang tidak pernah kulihatkan pada orang lain…"

"Uhok! Uhuk!!"

Aku terbatuk hebat.

Hei, cara bicaramu itu!! Kata-katanya sungguh menimbulkan

kesalahpahaman, apalagi dengan sikap malu-malunya.

Yang ia maksud dengan "sisi yang tidak pernah diperlihatkan" itu, mungkin wajah menangisnya, atau sikapnya yang begitu antusias dengan sesuatu—sisi Kagura yang membuatku terkejut tempo hari.

Memang, jika dibandingkan wajah datar bak topeng yang ia tunjukkan sehari-hari, itu jelas sisi yang tidak ditunjukkan pada orang lain. Tapi kenapa harus memakai ungkapan yang menimbulkan nuansa aneh begitu…

"Po-pokoknya, soal buku itu… aku ingin membicarakannya berdua saja. Makanya aku sempat berpikir, bagaimana kalau kau datang ke rumahku. Soalnya kalau waktu makan siang, seperti hari ini, bisa saja ada orang lain yang ikut."

"Ya… soal kali ini, memang salahku juga. Soalnya aku juga diajak Sawari… tapi bukankah lebih baik kalau kita membicarakannya di sekolah saja? Kalau hanya meminjam, toh bisa lewat situ—"

"Aku sudah bilang waktu itu, kan? Aku ingin kamu membacanya sesegera mungkin, dan aku juga ingin mendengar kesanmu selagi masih segar."

"Ya ampun, ini kan bukan makanan laut."

Yah, aku bisa memahami kalau ada tata cara tertentu dalam membaca seri lanjutan. Tapi itu bukan berarti aku mau dia datang ke rumah. Apalagi sekarang bukan lagi masa-masa ketika dia menunjukkan kepolosan yang aneh waktu itu. Jadi kenapa dia begitu bersemangat kali ini?

『Lagipula, aku sudah repot-repot merapikan tempat tidur setiap hari…』

Kenapa dia begitu bersemangat???

Aku memilih untuk tidak memikirkan alasan di balik kebiasaan itu, tapi tetap saja, bagaimana bisa pikirannya sampai pada hal-hal yang bikin geleng kepala begitu?

Jarang ada orang yang sedemikian sulit ditebak meski seandainya aku bisa membaca pikirannya.

"Lagipula, tanpa harus datang ke rumah pun, kita bisa pakai ponsel, kan."

Kagura kembali menunjukkan ekspresi heran.

"…Ah. Memang ada cara itu ya."

"Eh, jangan bilang kau bahkan tidak kepikiran."

"Soalnya, ponsel biasanya kupakai hanya untuk membaca atau mendengarkan musik."

"Padahal fungsi asli ponsel itu ya buat telepon…"

Yah, aku sendiri juga jarang memakai ponsel untuk berkomunikasi. Memang tidak ada orang yang perlu kuhubungi.

"Kalau begitu ya sudah. Kita bisa pakai itu. Toh ada grup kelas, kamu bisa tambahkan aku dari sana."

"Baiklah—"

Aku pun mengeluarkan ponsel dan hendak membuka aplikasi pesan, ketika—

"…Umm, sebenarnya, bolehkah kita tukar kontak sekarang saja?"

Kagura mengatakannya dengan suara yang agak ragu. Ia memegang ponsel dengan kedua tangan, menyatukan ujung jari kakinya, lalu menatap ke arahku. Tatapannya sempat berputar-putar, kemudian berhenti tepat padaku.

"Soalnya, aku jarang sekali bertukar kontak langsung dengan orang lain, jadi… aku agak mengaguminya."

"…O-oh, begitu ya."

Nada bicaranya yang tiba-tiba formal membuatku sedikit gugup.

…Padahal kupikir Kagura sering sekali diminta tukar kontak oleh orang lain.

Aku berusaha mengingat cara menambahkan teman lewat aplikasi itu, lalu menampilkan kode QR. Kagura dengan hati-hati mengarahkan ponselnya ke arah layar.

"Dengan ini, sudah berhasil, kan?"

"Ya, sepertinya begitu."

Saat kucek, daftar akun di aplikasiku sudah bertambah satu nama baru. Profil polos dengan ikon bawaan dan hanya bertuliskan “Kagura”.

Justru karena polos, itu terasa sangat Kagura—seolah mencerminkan sifatnya yang sama sekali tidak tertarik pada media sosial.

Bisa dibilang, profilnya setara polosnya dengan akunku sendiri yang hanya punya ikon standar dengan tulisan "YONEMINE".

"Kalau kupikir-pikir, ini pertama kalinya aku tukar kontak dengan anak perempuan di kelas. Lagipula, selain Masaki, aku hampir tidak pernah berhubungan dengan siapa pun."

Aku mengucapkannya tanpa maksud tertentu, hanya sekadar menyampaikan fakta. Memang kontak di ponselku cuma Masaki dan ibu kos, jadi wajar saja.

"…Kebetulan ya. Aku juga, ini pertama kalinya tukar kontak dengan anak laki-laki."

"Eh, begitu ya."

Kalau dipikir lagi, wajar juga. Kagura jelas belum terbiasa dengan laki-laki, dan dulu pun dia sekolah di akademi khusus perempuan. Jadi tidak aneh.

『Yonemine-kun adalah “yang pertama” bagiku. Dan aku pun “yang pertama” bagi Yonemine-kun. Kalau begitu ini berarti hampir saja—』

"Benar. Karena sama-sama pertama, ayo kita akrab ya?"

Kagura berkata begitu sambil menutupi mulut dengan ponselnya, matanya menyipit nakal. Cara dia menekankan kata-katanya jelas menimbulkan kesalahpahaman.

Aku tidak tahu apa kelanjutan dari "hampir saja—", tapi bisa kupastikan itu bukan hal yang baik. Aku berusaha menahan wajahku agar tidak kaku, lalu menampilkan senyum hambar. Dan saat itulah—

"────"

"────────"

Terdengar suara dari luar kelas. Nada bicaranya jelas, seolah saling menanggapi. Itu pasti suara orang. Sebelum sadar, aku merasa suara itu semakin mendekat.

"Ada orang yang datang, bukan?"

Begitu aku berkata, Kagura pun ikut menajamkan pendengaran dan diam.

Bukan salah dengar. Ada langkah kaki yang jelas-jelas semakin mendekat. Bahkan terdengar lebih dari satu orang. Dari adanya percakapan, bisa dipastikan jumlahnya setidaknya dua.

"…Gawat, sepertinya mereka menuju ke sini."

"Kalau ternyata guru, ini bisa jadi masalah besar…"

Aku berbisik begitu, Kagura pun menahan napas sambil sedikit merapat ke arahku.

Memang, ini bisa jadi repot. Kalau guru yang datang, pasti kami akan ditegur karena menggunakan ruang kelas kosong tanpa izin. Tapi yang lebih berbahaya, kalau yang datang itu murid lain, bisa timbul kesalahpahaman yang besar.

Dari yang kudengar, Kagura cukup dikenal bahkan di luar angkatannya. Kalau sampai tersebar kabar bahwa aku berduaan dengannya dalam situasi seperti ini, gosip miring pasti tak terhindarkan. Apalagi sekarang pun kondisi kami sudah cukup mencurigakan.

"Ke-kita sembunyi dulu. Lebih baik menyingkir dan membiarkan mereka lewat."

"Tapi… di kelas ini, tidak ada tempat untuk bersembunyi…"

Tatapan Kagura menyapu ruangan mencari tempat. Memang benar. Seperti yang terlihat, ini adalah ruang kelas kosong yang sudah tua.

Hanya ada beberapa meja dan kursi berdebu, tanpa gorden maupun partisi. Kalau aku mencoba bersembunyi di bawah meja, itu hanya akan membuatku terlihat mencurigakan, bahkan bisa dilaporkan sebagai penyusup. Bagaimanapun juga, itu sama sekali tidak bisa dijadikan alasan yang masuk akal.

"……Kuh."

Aku gelisah sambil menoleh ke sekeliling. Sesuatu, sesuatu yang bisa dipakai untuk bersembunyi──。

"……Hei, itu apa?"

Saat aku panik dan memutar pandangan, tiba-tiba Kagura berbisik. Mengikuti arah yang ia tunjuk, mataku menangkap sebuah benda di sudut kelas.

Jika tujuannya adalah untuk bersembunyi, maka benda itu bisa dibilang pilihan paling tepat di ruangan ini. Sebuah loker pembersih kosong ada di sana. Tapi, ini……

Apa benar tidak ada pilihan lain?

Aku mendekat lalu membuka bagian dalamnya. Memang ada beberapa sapu yang sudah hampir rusak, tapi untuk bersembunyi satu orang, itu masih cukup. Namun kalau dua orang sekaligus, ceritanya berbeda.

Ruang sempit itu mungkin hanya bisa menampung dua orang bertubuh tinggi rata-rata, dengan sisa ruang sebesar kepalan tangan.

"Ya─ri─so──chi ga──?"

"i──mi──shi,──machi──i"

……Namun, suara langkah mendekat. Dari nada suaranya, ini sepertinya bukan guru. Kemungkinan besar siswi. Kalau begitu, risiko timbulnya kesalahpahaman akan menyebar dalam sekejap. Kalau sampai ketahuan, kehidupan sekolahku pasti akan hancur lebur.

"Yah, tapi tetap saja!!"

"……Yonemine-kun, kita harus cepat."

"Tunggu…… tunggu sebentar. Pasti ada ide lain. Kalau dipikirkan dengan tenang, pasti akan ada jalan keluar."

Aku benar-benar memegangi kepala, sementara Kagura berbicara dengan nada sedikit cemas. Tapi untuk berkata, "Baik! Mari kita bersembunyi bersama!" — aku tidak punya cukup keberanian untuk itu. Lagipula, kalau hanya Kagura yang masuk ke dalam loker, tidak akan jadi masalah.

Paling-paling, aku hanya terlihat seperti sedang makan sendirian di ruang kosong. Tidak perlu sampai berdua memaksakan diri masuk ke ruang sempit itu──。

"──Sudah cukup!"

"!? "

Tiba-tiba, lenganku ditarik dengan kuat. Karena aku tidak bersiap sama sekali, tubuhku dengan mudah terbawa. Dan sebelum aku sadar, aku sudah terjepit di dalam loker sempit itu.

Tak lama kemudian, Kagura juga masuk dengan terburu-buru. Pintu besi berdecit pelan saat menutup, dan seketika pandangan tertutup kegelapan.

"Maaf, tadi rasanya mereka sudah sangat dekat……"

"Ah, i-itu…… tidak apa-apa."

Dengan bisikan Kagura, aku menyadari situasinya. Sepertinya aku dipaksa masuk oleh Kagura. Dia cukup berani juga. Atau mungkin

tubuhku yang terlalu lemah untuk menolak.

Di dalam loker tua itu, sedikit berdebu. Sempit, gelap. Dan…… dekat. Sangat berdesakan. Tubuhku dan Kagura hampir sepenuhnya bersentuhan. Dadanya menempel pada dadaku, jarak kami hampir nol.

Tidak ada ruang untuk bergerak. Napas kami bercampur, memenuhi ruang sempit itu dengan hawa panas.

"Umm, Kagura, sepertinya ini agak berbahaya……"

"……Sst. Diamlah. Mereka sebentar lagi sampai."

Wajah Kagura terlihat sangat tenang ketika mengatakannya.

Meski begitu, jelas sekali bahwa itu hanya penampilan luar.

Situasi seperti ini…… mana mungkin dia tidak gugup.

『I-ini terlalu dekat…… badan kami menempel…… d-dekat sekali, dekat, dekat! Jantungku berisik sekali, nanti ketahuan, suaranya pasti ketahuan……!』

Suaranya dalam hati terdengar panik, perasaannya meluap-luap. Pikiran dan detak jantungnya berlari liar, begitu jelas terasa. Sebenarnya aku juga bisa merasakannya langsung. Karena detak jantung Kagura berdentum sangat cepat, jelas terasa di dadaku.

『H-hah? Yonemine-kun, meski kelihatan ramping, tapi begitu menempel begini, tubuhnya benar-benar laki-laki…… Kalau dia mendorongku, aku pasti tidak akan bisa melawan……』

Seperti terlihat, pikirannya sudah melayang jauh. Dari kecepatan detak jantung dan isi pikirannya, dia jelas sangat panik.

Tentu saja aku juga tidak bisa tenang. Dengan posisi seperti ini, kalau salah bergerak sedikit saja── bisa menyentuh bagian yang tidak seharusnya.

『Eh, a-apa ini. Rasanya ada yang keras…… J-jangan-jangan──』

"Ah, maaf. Mungkin ponsel di saku celanaku yang menyentuhmu. Maaf sekali, tapi sepertinya itu memang ponselku."

"Ah, i-itu…… baiklah. Tidak apa-apa."

Lidahku berputar begitu cepat, bahkan aku sendiri heran. Cepatlah lewat, sebelum muncul salah paham yang lebih aneh……。


Selama ini aku tidak pernah percaya pada Tuhan, tapi kali ini saja aku panjatkan doa, lalu aku memejamkan mata. Tak lama kemudian, dari luar loker terdengar suara garaaaan pintu bergeser.

***

──Gishi, gishi, terdengar derit lantai koridor.

Tiga pasang langkah kaki. Suara riang bernuansa ceria khas anak perempuan bergema di gedung sekolah lama.

"Makanya aku bilang, bukankah itu cuma salah lihat saja?"

"Ah tidak. Semua orang bilang mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri, jadi sudah pasti tidak salah."

"Katanya, Kagura-san punya simpanan!"

"……Tetap saja, bukankah itu hanya salah paham?"

"Bukan! Aku sendiri melihat mereka keluar kelas bersama!"

Dengan penuh keyakinan, seorang gadis membantah. Namun temannya hanya berkata dengan nada lelah.

"Hanya kebetulan mereka keluar berbarengan, kan? Lagipula, Kagura-san itu sama sekali tidak kelihatan tertarik soal cinta."

"Itu justru poinnya!"

"Ya, andaikan pun benar…… kenapa disebut simpanan, bukan pacar?"

"Hm, bagus kau tanya itu! Ini bukti yang paling menentukan…… Sebenarnya, Kagura-san juga keluar bersama Sawari-chan!"

"Eh, Sawari-san? Bukankah dia juga gadis cantik?"

"Dan ada yang dari kelas mereka bersaksi, katanya Sawari-san dengan suara lantang mengajak, ‘Ayo makan bareng!’ Nah, bukankah itu berarti mereka berbagi seorang lelaki──hubungan simpanan!?"

"Astaga…… otakmu penuh bunga. Itu paling cuma pertemuan antar sesama gadis cantik, kan?"

Percakapan itu semakin melantur ke arah aneh, hingga gadis berwatak kalem itu benar-benar terdengar putus asa.

"Aduh, keras kepala sekali…… Bagaimana menurutmu, Micchan?"

"Eh, aku~?"

Menyadari tak mungkin membuat kawannya berhenti, ia pun mengoper pembicaraan pada temannya yang lain.

"Kan kamu sering disamakan dengan mereka berdua! Apa tidak tahu sesuatu?"

"Eh~ aku sebenarnya jarang bicara dengan keduanya sih~"

Dengan nada santai dan berlarut-larut, gadis itu berpikir sebentar, lalu menyeringai kecil dan berucap dengan nada menggoda:

"Kalau ditanya ada atau tidak…… kupikir ‘ada’."

"Tuh kan!? Benar kan memang ada!"

"Benarkah begitu yaa…"

Di tengah percakapan itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka berhenti. Pandangan matanya tertuju pada salah satu pintu kelas,

yang tampak lebih tua dan reyot dari yang lain.

Pintu itu sedikit terbuka.

"Hmhm. Pintu kelas ini terbuka sedikit."

"Ah, kebetulan saja itu."

"Bukan. Lihat, hanya pintu ini yang bebas dari debu. Artinya baru saja ada orang keluar-masuk."

"Kenapa sih jeli di bagian aneh-aneh begitu."

Salah seorang dari mereka meraih gagang pintu itu perlahan, lalu tanpa ragu mendorongnya terbuka.

"Eiyaa! Permisi!!"

Suara lantang itu segera terserap dalam ruang kosong.

"……Tuh kan, tidak ada siapa-siapa."

"Aneh ya, padahal kupikir…"

Yang terlihat hanyalah meja dan kursi berdebu. Ruang kelas tua yang gelap tanpa lampu neon.

"Lagipula, masuk ke gedung lama ini kan dilarang. Kagura-san dan Sawari-san itu kelihatannya anak yang taat aturan, rasanya kecil kemungkinan mereka mau datang ke sini."

"Aduh, tapi karena ada lelaki yang mampu memikat dua gadis tercantik di angkatan, hal sepele seperti melanggar aturan bukan masalah besar!"

"Itu kau sudah menganggapnya pasti ada, kan."

"Kurasa mereka masih bersembunyi di sini. Ayo, kalian juga cari!"

Ia menepuk tangan pan pan memberi aba-aba, membuat dua temannya mulai mencari di seluruh ruang kelas. Di antara mereka, seorang gadis──yang paling kecil posturnya──melangkah perlahan ke arah belakang kelas. Tanpa menimbulkan suara langkah, ia berhenti tepat di depan loker. Lalu berdiri terpaku.

"……"

Kedua temannya masih sibuk menoleh ke sana kemari, tak menyadari apa pun. Hanya gadis itu yang menatap lurus ke loker. Bibinya sedikit terangkat.

"Kufufu"

Tawa samar itu terlalu kecil untuk terdengar siapa pun.

"Micchan, bagaimana? Ada yang kau temukan?"

Dengan bahu terangkat pura-pura biasa saja, ia perlahan menjauh dari loker. Tanpa berkata apa pun, tanpa memberi isyarat apa pun.

"Hehehe, nggak ada kok~ Kayaknya memang bukan di sini~"

"Uh, apa betul begitu ya……"

"Ayo pindah ke kelas lain dulu."

"Ya, masuk akal!"

"Padahal, lebih baik dibiarkan saja ya."

Dengan langkah ringan, mereka akhirnya pergi. Tak butuh waktu lama, kesunyian kembali menyelimuti ruang kelas tua itu. Pintu masih terbuka. Di depan loker, tak ada lagi bayangan siapa pun.

***

……Mereka, sudah pergi?

Di dalam loker, aku menahan napas sekecil mungkin sambil memasang telinga. Aku mencoba merasakan keberadaan orang lain, tapi tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Suara percakapan maupun langkah kaki juga sudah tak terdengar lagi. Sepertinya aku berhasil selamat.

"…Tadi nyaris ketahuan," gumamku.

"Me… mereka sudah pergi?"

Suara pelan itu datang dari Kagura.

Berbisik sedekat ini, sampai terasa hembusan napasnya, membuat tenggorokanku hampir tersendat. Aku baru sadar, akibat ketegangan tadi aku benar-benar lupa—sekarang kami berada dalam jarak super dekat.

"Sepertinya begitu. Nampaknya kita berhasil lolos dari bahaya," kataku sambil berusaha terdengar tenang, lalu melaporkan situasi saat ini.

Ahh, benar-benar berbahaya. Waktu ada satu orang yang berdiri tepat di depan loker, aku sungguh mengira semuanya sudah berakhir. Untung saja dia pergi begitu saja, mungkin karena berubah pikiran.

Tadi mereka menyebut-nyebut Kagura, lalu Sawari juga. Apa hari ini kabar itu sudah begitu meluas? Dari suara mereka, tampaknya bukan anak sekelas pun. Apakah pada akhirnya identitasku juga bakal terbongkar? ……Apa aku harus berhenti sekolah saja ya.

Kalau memikirkan gosip itu, rasanya kepalaku benar-benar ingin kupegang erat. Sementara aku sibuk murung, Kagura berkata:

"Syukurlah, jadi kita selamat."

『Kalau saja tadi ketahuan… apa yang akan terjadi ya…? Bisa jadi mereka mengancam, lalu memaksaku melakukan pertunjukan memalukan di depan umum bersama Yonemine-kun──』

Tidak mungkin! Dan jangan asal menyeret-nyeret aku ke dalam imajinasimu yang gila itu. Aku benar-benar tidak tahu harus berekspresi seperti apa mendengar itu.

"Ya, kalau begitu syukur kita──nh…!"

Tiba-tiba tubuh Kagura bergetar kecil.

Eh? Suara aneh apa barusan. Nadanya terlalu sensual, apalagi setelah telepati sebelumnya, membuat kewaspadaanku langsung terpacu.

"U-um, sepertinya ponselmu yang bergetar, Yonemine-kun."

"Oh… begitu rupanya."

Ternyata benda keras di saku celanaku yang bergetar. Biasanya ponselku jarang sekali berbunyi, tapi kenapa harus di saat seperti ini?

"Untuk saat ini… sebaiknya kita keluar dulu."

Aku mengangguk pada usul Kagura, lalu pelan-pelan mendorong pintu loker. Perlahan aku menjulurkan kepala, memeriksa keadaan sekitar.

Tak ada siapa pun. Koridor juga sepi tanpa bayangan orang.

Benar-benar aman, kan? Aku meluruskan badan yang kaku sambil menghirup udara luar. Ah, sesak sekali rasanya. Ya, sesak dalam berbagai arti.

Sambil membuang napas panjang seperti melepas beban, aku mengeluarkan ponsel dari saku. Saat mengecek notifikasi, hanya ada satu pesan dengan nama yang familiar.

…Perasaan aneh, semacam dejavu. Bersamaan dengan itu, firasat buruk mencuat. Dengan ragu aku membuka pesannya. Di sana tertulis singkat:

【Yonemine-kun, sepertinya kau sedang bersenang-senang ya】

Apa? Maksudnya apa ini……? Jangan-jangan… tidak mungkin, kan……

Aku ingin menyangkal kenyataan yang mulai muncul di benak, tapi otakku malah bergerak sendiri, membuktikan kebenaran itu. Gadis yang tadi berdiri lama di depan loker itu──

Yang berbeda reaksinya dari teman-temannya, hanya terdiam sambil menatap──“Micchan”. Bukankah itu sebenarnya Mitome Tsuyuha?

Selain itu, aku merasa dia terus-menerus menatap ke arah loker. Hanya menatap, tanpa bergerak, tanpa berkata apa pun. Jangan-jangan, dia melakukan itu karena──

"Karena dia bisa melihat…?"

Jantungku langsung melompat kencang.

Kemampuan Tsuyuha──dia bisa menembus apa pun, menatap menembus pakaian atau benda: clairvoyance. Dan dialah yang berdiri diam di luar loker tadi. Tak bersuara, hanya menatap. Kalau begitu… bukan tidak mungkin──

Dia melihat semuanya!? Aku dan Kagura, dalam posisi saling menempel begitu rapat!?

"U-ughghhh……"

Hanya suara erangan tak jelas yang keluar dari mulutku. Sementara aku nyaris runtuh oleh kenyataan itu, layar ponselku meredup kembali, kembali ke kegelapan seakan-akan tak terjadi apa-apa.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close