NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dare mo ga Urayamu Tonari no Cool Bishoujo, Jitsu wa Nounai Pink Sugiru Vol 1 Chapter 4

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 4

Tidak mungkin tidak terjadi apa-apa.

"Ini rumahku."

Di sebuah kawasan apartemen, hanya beberapa menit berjalan kaki dari pusat keramaian. Sambil menunjuk pada salah satu bangunan tinggi yang menjulang di antara deretan apartemen itu, Kagura berkata demikian.

"Besar sekali…"

Jadi, rumah Kagura memang rumah orang kaya, ya…

Ya, memang sejak awal aku sudah agak menduganya—ia lulusan sekolah khusus putri, tampak seperti seorang nona dari keluarga berada. Tapi tetap saja, kalau diperlihatkan langsung seperti ini, rasanya beda.

"Ke sini, ikut aku."

Aku pun tanpa berkata apa-apa mengikuti di belakangnya. Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam apartemen menara. Tidak, mungkin sekadar masuk saja aku pernah, tapi aku belum pernah benar-benar bertamu ke dalamnya.

Di dalam lift yang tampak luar biasa bersih dan rapi. Salah satu tombol dari deretan panjang yang belum pernah kulihat sebelumnya menyala merah, lalu beberapa detik hening. Selama itu pula, aku sesekali melirik ekspresi Kagura—namun ia tampak sama sekali tidak terganggu.…Tiba-tiba aku merasa hanya diriku yang panik dan itu malah terasa konyol—atau tepatnya, menyedihkan.

Tidak, kalau dia tidak mempermasalahkannya, aku juga tidak perlu tegang berlebihan. Kalau begitu, yang perlu kulakukan hanyalah bersikap tenang selayaknya tamu. Memangnya kenapa kalau ini rumah seorang perempuan. Ya. Betul.

Setelah aku memaksa diriku untuk menerima keadaan yang agak misterius ini, akhirnya terdengar bunyi ringan "ting" dan lift pun berhenti. Koridor dalamnya begitu sunyi, menghadirkan kesan tenang. Kalau dibandingkan dengan lorong luar apartemen reyotku yang lantainya hampir jebol, rasanya sampai membuatku terharu.

"Disini."

Kagura memasukkan kunci ke salah satu pintu, lalu terdengar bunyi klik dari kunci elektronik yang terbuka.

Sekejap, aroma lembut yang harum pun menyebar. Bagian dalamnya jauh lebih luas daripada yang kubayangkan, dengan interior simpel bergaya modern, didominasi warna putih dan kayu. Ruangannya lapang, tanpa dekorasi berlebihan, namun tetap menghadirkan suasana yang menenangkan.

"Silakan, sepatumu taruh di rak itu."

"Ah, iya. Permisi…"

Atas arahan Kagura, aku dibawa masuk ke ruang tamu.

Luas sekali. Kurasa ukurannya setidaknya dua kali lipat dari kamarku.

"Silakan bersikap bebas. Mau minum apa?"

"Eh, kalau begitu, air saja."

Kagura menuju dapur.

Meski disuruh santai, jelas aku tidak bisa. Sugesti yang barusan kubangun—bahwa aku tidak akan gugup hanya karena ini rumah perempuan—langsung hancur diterjang kenyataan bahwa aku sedang berada di rumah seorang selebritas kaya raya.

…Untuk sementara, aku memutuskan duduk di sofa yang terletak megah di ruang tamu. Bantalan dudukannya tidak terlalu empuk, namun menenggelamkan tubuh dengan pas, seakan membungkusnya. Ini jelas barang mewah. Tipe furnitur seperti ini sama sekali tidak ada di rumahku. Dan kini, aku semakin merasa tidak tenang. Mataku yang gugup mulai berkeliling ruangan.

Pertama, jendela besar yang terbuka lebar. Sepertinya dari sini bisa melihat seluruh kawasan sekitar. Mungkin saja apartemen kumuh tempat tinggalku juga terlihat dari sini. Dari ketinggian, terlihat orang dan kendaraan yang berlalu-lalang, dan jauh di sana, samar-samar tampak bayangan Gunung Fuji. Kalau ada yang mengatakan, "manusia bagaikan semut," dari pemandangan ini memang terasa masuk akal. Meskipun maksudnya agak berbeda.

…Dan tanpa ragu, ini pasti lantai tinggi, bagian atas dari apartemen menara ini. Aku tidak sempat melihat jelas angka-angkanya tadi, tapi seingatku Kagura menekan tombol yang posisinya di bagian akhir dari deretan panjang itu. Jadi inilah pemandangan para orang kaya…

Aku sampai merasa sedikit pusing. Mungkin karena benar-benar terhantam oleh kekuatan uang. Pandangan mataku beralih dari jendela, mengikuti detail interior satu per satu. Rasanya sudah tidak perlu lagi menekankan betapa jauhnya perbedaan dengan rumahku. Karena tempat ini terlalu rapi, aku sempat berpikir apakah mereka mempekerjakan pembantu rumah tangga.

Kemudian, mataku berhenti pada sudut ruang tamu. Ada sebuah rak pajangan putih yang seakan memang dibuat untuk dipamerkan. Entah kenapa, aku mendekat dan melongok isinya dari balik kaca.

Berjejer piagam penghargaan, semua dibingkai rapi. Di bawahnya, ada piala berkilau yang memantulkan cahaya. Bahkan medali pun ada. Kalau diperhatikan, tertulis di antaranya: "Juara Emas Lomba Piano ○○", "Juara Lomba Pidato Bahasa Inggris", "Peringkat Lomba Renang Junior Nasional" … Hanya membacanya saja membuat pundakku terasa kaku.

Kesannya mirip dengan lemari piala klub ekstrakurikuler yang sering ada di lobi sekolah. Bedanya hanya satu…seluruh prestasi yang dipamerkan di sana, semuanya berasal dari satu orang saja.

"…Jadi, kau melihatnya."

Aku sontak menoleh cepat ke arah suara dari belakang. Kalau ini sebuah cerita suspense, mungkin aku sudah ditikam di sini—begitu datarnya intonasi suaranya.

Tentu saja, kenyataannya tidak akan sejauh itu. Tapi di belakangku berdiri Kagura dengan ekspresi yang agak tak puas. Meski begitu, itu pun hanya perubahan ekspresi tipis menurut ukuran dirinya.

"Ma-maaf, aku hanya sedikit penasaran…"

"…Tidak apa-apa. Aku juga tidak menyembunyikannya."

Dengan suara lirih seakan sedang mengeluh, Kagura berjalan mendekat tanpa mengubah raut wajahnya.

Di atas nampan, ada dua gelas berisi air. Ia meletakkan satu di depanku, lalu duduk di sofa.

"Semua ini… milikmu, Kagura?"

"…Ya, kurang lebih."

Benar saja, jika diperhatikan dengan saksama, di setiap piala yang berkilau itu, nama "Kagura Rio" terukir dengan jelas. Ada yang tulisannya indah, ada juga yang terlalu indah sampai justru sulit terbaca. Namun, yang jelas, nama Kagura berderet begitu banyak hingga nyaris membuatku mengalami semacam gestalt collapse.

"Hebat sekali. Tidak, maksudku ini benar-benar luar biasa."

"Itu semua sudah lama terjadi."

"Sudah lama atau tidak, tidak banyak orang yang bisa mengoleksi piala sebanyak ini, kan."

Aku sendiri bahkan belum pernah sekalipun meraih juara pertama lomba lari. Lagi pula, meskipun Kagura bilang itu masa lalu, beberapa piala terlihat berasal dari masa SMP kelas tiga—artinya masih cukup baru.

"Piano, percakapan bahasa Inggris, renang, basket, kaligrafi… ini semua hasil dari les?"

"Ya. Di sini memang tidak ada, tapi aku juga sempat ikut ikebana dan judo."

"Apa-apaan itu. Benar-benar paket serba ada, ya…"

"Selain itu, aku juga pernah ambil kursus Sassen dan kelas Hornussen."

"Tunggu dulu, apa pula itu?"

Sassen dan Nussen. Tiba-tiba muncul istilah yang rasanya tidak akan pernah kudengar lagi seumur hidup.

"Oh, kau tidak tahu rupanya. Sassen itu sederhananya seperti

permainan pedang-pedangan, sedangkan Hornussen itu olahraga gabungan antara bisbol dan golf."

Jangan bilang "sedangkan" dengan begitu enteng…

Dalam hidup normal, tidak akan ada kesempatan untuk tahu hal-hal seperti itu. Bahkan dalam hidupku yang penuh keanehan, aku tetap tidak mungkin tahu soal itu.

"Aku punya jadwal untuk semuanya setiap minggu, jadi buku agendaku selalu penuh."

"…Ya, jelas saja."

Kalau sampai ikut les aneh-aneh semacam itu, wajar saja jadwalnya super padat. Dia menyampaikannya dengan nada datar seolah sedang bercanda, tapi jujur saja aku hanya bisa tersenyum kecut. Aku bahkan tidak bisa membayangkan betapa sibuknya ia dulu.

"Sekarang kau sudah tidak melakukannya?"

"Ya. Sejak masuk SMA."

"Itu… semuanya?"

Saat kutanyakan, Kagura mengangguk tanpa suara. Jadi Sassen dan Hornussen juga akhirnya disingkirkan. Padahal aku tadi sempat penasaran.

"Begitu, ya. Padahal dengan bakat sebesar ini dan piala sebanyak ini, rasanya agak sayang juga kalau berhenti."

Aku menatap sederetan prestasi yang luar biasa itu, lalu berkata pelan. Namun—

"Itu semua bukan sesuatu yang benar-benar kuinginkan."

Ucapannya itu terasa jauh lebih berat daripada yang kuduga.

Aku refleks menoleh ke arahnya. Tanpa perlu telepati sekalipun, aku bisa merasakan isi hatinya.

…Kalau itu hasil les, berarti besar kemungkinan karena keinginan orang tuanya. Dan dari yang kudengar sejauh ini, orang tua Kagura memang tipe yang sangat mementingkan pendidikan. Artinya, ada sisi paksaan di balik semua ini. Banyak bakat dan prestasi memang hebat, tapi jika dicapai tanpa kehendak pribadi, nilainya tak sebesar kelihatannya.

Aku merasa sedikit iba pada Kagura. Dan aku pun menyesali ucapanku barusan tentang "sayang sekali".

"Sebagai gantinya, aku diminta untuk fokus belajar. Bahkan hari ini sebenarnya hari untuk kursus."

Tiba-tiba saja, ia mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan.

"Eh!? Itu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa. Bisa diganti di lain waktu."

Ia mengatakannya dengan tenang, tapi apakah memang sesederhana itu? Aku tidak begitu paham dunia kursus atau bimbingan belajar, jadi sulit bagiku untuk menilai…

Tapi jangan-jangan ini salahku. Walaupun memang ada keributan di pusat kota tadi, akhirnya aku ikut terbawa sampai ke rumahnya. Kalau gara-gara aku ia jadi harus membolos kursus, bukankah itu keterlaluan?

"Maaf. Apa ini ada hubungannya denganku…?"

"Tidak, bukan begitu. Memang dari awal aku sedang tidak mood. Jadi jangan dipikirkan."

Melihat wajahku yang kaget, Kagura sedikit mengalihkan pandangan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa.

Sekilas terlihat jelas ketegangan di bahunya sedikit mengendur. Itu bukan kebohongan, tapi juga bukan berarti ia benar-benar tidak peduli. Yang kurasakan lewat telepati, bersamaan dengan sakit kepalanya, adalah perasaan seperti itu.

"Meski begitu… apa kau tidak akan dimarahi orang tuamu?"

Selama ini kesanku, baik ayah maupun ibunya, pasti cukup keras.

"…Yah, sesekali tidak apa-apa, kan?"

Ujarannya masih dengan wajah datar khasnya. Jawaban itu memang agak berbeda dari pertanyaanku. Tapi dalam sekejap, seolah ada bayangan gadis remaja seusianya yang sesungguhnya, muncul dari balik sikap kaku itu.

***

Sudah satu putaran jarum jam semenjak aku tiba di rumah Kagura.

Tepatnya, satu putaran lebih seperempat. Meski begitu, suasana aneh dan tak terlukiskan ini masih bertahan di rumah seorang teman sekelas yang sebelumnya hampir tak pernah mengobrol denganku.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sana waktu itu, Yonemine-kun?"

Sambil memainkan gelas kosong di tangannya, Kagura membuka percakapan.

"Ah, ya. Tadi aku memang ada urusan di perpustakaan."

"Perpustakaan… Jadi, Yonemine-kun suka membaca buku, ya?"

"Sedikit. Tidak bisa dibilang banyak, tapi aku membaca juga."

Sebenarnya, alasan kepergianku ke perpustakaan kali ini bukan untuk membaca, tapi tidak ada gunanya aku meluruskan. Lagi pula, membaca memang sudah jadi semacam jawaban darurat kalau ada yang bertanya tentang hobiku.

"Benarkah? Aku agak terkejut. Soalnya kupikir kau tidak tertarik, karena di kelas bahasa Jepang kau selalu kelihatan tidur."

…Itu kan gara-gara kau. Setiap kali kau mengutip tokoh atau dialog dari pelajaran bahasa Jepang, tiba-tiba kau menjadikannya bahan untuk berimajinasi aneh yang penuh warna merah muda. Mau tidak mau, otakku memilih untuk mati sejenak.

Di pihakku sendiri, aku justru merasa Kagura seharusnya minta maaf pada Melos—yang dalam khayalannya berakhir dengan Serynuntius direbut oleh raja kejam nan tiran.

"Kalau begitu, Kagura sendiri tipe yang cukup gemar membaca? Soalnya kulihat saat pelajaran atau pagi-pagi, kau sering membuka buku."

Bukan bermaksud melampiaskan dendam kesumat soal khayalannya, tapi aku balik melontarkan pertanyaan. Separuh rasa ingin tahu, separuh ingin menggodanya—tentang bagaimana ia akan menjelaskan novel mesum itu.

"Ya. Mungkin dibanding orang lain, aku lebih banyak membaca."

Kagura menjawab tenang, tanpa sedikit pun terlihat gelisah. Pikirannya pun tidak menunjukkan hal aneh. Semuanya tampak normal.

Aku justru merasa agak dikecewakan.

"…Kalau begitu, kau biasanya baca genre apa?"

"Macam-macam, sih… Tapi sekarang, mungkin lebih banyak yang bergenre percintaan."

Ia menjawab sambil menatap ke arah kosong.

…Rasanya agak mendekati ranah pribadi, jadi aku refleks sedikit bersiap diri.

"Itu agak mengejutkan. Kesan yang kudapat darimu lebih kaku."

"Ya, wajar. Tapi bukan berarti aku hanya membaca yang berat-berat. Meski kadang aku memang membacanya juga."

"Hee~. Kupikir kau membaca jenis buku yang bikin kepala pening hanya dengan membolak-balik halaman, atau yang setiap lembar membuatmu harus buka kamus tiga kali."

Aku sengaja menyuarakan dugaan yang mungkin memang dipendam oleh teman sekelas lainnya.

"…Sebenarnya, kau ini menganggapku apa?"

Kagura menampakkan wajah yang sedikit jengah.

Mungkin memang, terutama di kalangan laki-laki, ia terlalu diagungkan secara berlebihan. Wajar, bila seseorang selalu berperan sebagai bunga yang tampak begitu agung. Menurutku pribadi sih, ia cuma "makhluk merah muda di kepalanya," tapi tak perlu kuceritakan sekarang.

"Oh ya. Seingatku, buku yang sedang kubaca ada di tas sekolahku."

Ucapnya sambil bangkit berdiri.

…Eh, jangan-jangan yang ia maksud adalah novel erotis itu?

Aku spontan bersiap dalam hati. Kalau memang dibawa di tas sekolah, bukankah itu berarti… begitu? Benar-benar gila, apa dia mau membuka-buka isi hatinya semudah itu di depan orang lain? Padahal bukunya, seingatku, setiap halaman terasa seperti akan membuat komite etika berlari keluar.

Kagura pun menemukan apa yang ia cari, lalu mengeluarkannya dari tas. Dan yang ia sodorkan kepadaku, membuatku tercekat— Sebuah buku saku bergambar ilustrasi. Sampulnya menampilkan seorang gadis manis, berdiri di samping seorang pemuda tampan. Namun, tidak ada ilustrasi yang berbau cabul atau berlebihan. Tidak ada tubuh telanjang, tidak ada sesuatu yang tumpah ruah. Malah lebih mirip sampul manga atau ilustrasi ringan.

"Ini… semacam light novel, ya?"

"Benar. Tapi isinya tidak bisa dibilang ringan."

Sambil mengusap sampulnya dengan jari, Kagura menjawab dengan nada yang sedikit bersemangat.

"Awalnya kupikir hanya kisah percintaan biasa. Tapi begitu kubaca… aku terseret. Proses sang tokoh utama menghadapi ingatan yang hilang, cara hubungan antar manusia terjalin perlahan… entah bagaimana, semuanya begitu membekas di hati saat kubaca."

Ucapannya makin cepat. Emosi terbawa, kata-katanya mengalir deras.

Bukan sepenuhnya ekspresif, tapi dibanding biasanya—saat ia jarang memperlihatkan perasaan—ini terasa begitu baru.

"…Ah, maaf. Aku terlalu bersemangat."

Ia batuk kecil, lalu segera merapikan ekspresi seakan tak terjadi apa-apa. Namun, rona merah tipis yang membekas di pipinya jelas bukan ilusi.

Otot wajah yang biasanya tak tergoyahkan bahkan oleh fantasi merah muda, kini luluh hanya karena antusiasme akan sebuah buku. Rasanya aneh, tapi juga menarik.

"Aku tidak terlalu sering membaca hal semacam itu, tapi kalau seseru yang kau bilang, terdengar menarik juga."

"Ya. Aku jamin, sama sekali tidak akan menyesal membacanya."

"Hee~. Sampai segitunya? Jadi bikin penasaran, nih."

Entah kenapa aku mengatakan itu begitu saja, dan Kagura menoleh dengan sedikit condongkan kepala.

"Kalau penasaran, mau coba baca? Aku punya semua serinya."

"Eh, sekarang?"

"Iya, sekarang. Bisa langsung kuambil… atau tunggu."

Ia hendak berdiri, lalu terhenti.

"Lebih cepat kalau kau ikut saja. Lokasinya agak acak, jadi akan lebih mudah kalau kau ikut. Tidak apa-apa?"

"…Eh, ke mana? Apa kau punya ruang baca khusus?"

"Tidak, tidak sebesar itu. Hanya kamarku. Di sana ada rak buku, semua koleksiku ada di situ."

"Heh… eh?"

Ia mengucapkannya begitu saja, tanpa beban sedikit pun. Kata "kamarku" meluncur begitu polos, sampai pikiranku macet sejenak.

Apa kamar seorang gadis seusianya memang bisa semudah itu dibuka untuk orang lain? Rumahku sendiri sih memang selalu gampang dimasuki, tapi kamar gadis remaja, bukankah biasanya jauh lebih terlindung? Bukan karena aku punya niat aneh, tapi tetap saja.

"Yakin tidak apa-apa? Maksudku… segala sesuatunya."

"Hm? Ya. Tidak masalah. Kamarku juga sedang rapi, jadi aman."

Hah… ternyata memang sifat alaminya. Kalau ini hasil buatan, malah lebih membingungkan. Tak kusangka otak Kagura bisa sampai pada kesimpulan macam itu.

"Ayo, sini. Ini kamarku."

"O-oh…"

Kagura menuntunku ke ruang pribadinya.

Entah kenapa, matanya terlihat lebih bersinar daripada biasanya. Sikapnya yang begitu antusias, jelas karena ia bersemangat bisa membicarakan buku favoritnya.…Kurasa, pada hal-hal yang ia sukai, Kagura memang tipe yang sangat jujur. Meskipun itu sebenarnya sudah jelas, kalau mengingat isi kepalanya yang selalu merah muda.

***

"Uhm, seingatku ada di sini…"

Di depanku, Kagura sedang mencari sesuatu di rak buku sambil menelusuri punggung buku dengan jarinya.

Singkatnya, aku sekarang berada di kamar pribadinya.…Jadi ini yang disebut kamar anak perempuan, ya. Meski begitu, bukan berarti ada sesuatu yang berkilauan atau spesial.

Seperti biasa, ruangannya memang luas, tapi tampak bergaya minimalis, hanya berisi hal-hal yang benar-benar perlu. Kalau mengingat ucapan Kagura sebelumnya tentang “tidak ingin menonjol,” hal ini tidaklah aneh. Namun, ada juga sesuatu di ruangan ini yang cukup mencuri perhatian.

Itu adalah rak buku besar yang dipenuhi oleh banyak sekali buku. Tingginya lebih dari tinggi badanku, dengan lebar kurang lebih seukuran rentangan tanganku. Rak sebesar itu terpasang dalam jumlah cukup banyak. Luar biasa.

Yang menakjubkan bukan hanya ukuran raknya, melainkan juga semangat dan daya beli untuk mengisinya dengan begitu banyak buku. Tadi Kagura bilang, "cuma sedikit," tapi jelas ini sama sekali bukan sedikit.

"Kelihatannya kamu lebih kutu buku daripada yang aku bayangkan…"

"Iya. Yah… soalnya waktu kecil aku dilarang main di luar, jadi satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah membaca."

"…Ah, tapi tadi aku sempat lihat ada piano besar sekali di ruang tamu, itu bagaimana?"

Dilarang main di luar, ya…

Aku juga kurang lebih begitu sih, tapi kalau situasinya mirip denganku, mungkin itu topik yang agak sensitif. Jadi aku segera mengganti pembicaraan.

Ketika masuk ke kamar Kagura, aku sempat melihat sebuah grand piano mewah yang benar-benar mendominasi ruangan.

"Itu dibeli ibuku dengan penuh semangat. Kalau tidak salah saat aku berusia lima tahun… agak berlebihan, kan?"

Bagiku, semua barang di rumah ini memang terlihat berlebihan. Lagipula, apa benda semacam itu bisa dibeli hanya karena “bersemangat”?

"…Jadi, kamu memang memainkannya?"

"Sekarang tidak terlalu. Aku sudah berhenti."

Sayang sekali. Dalam dua arti.

Aku rasa harga piano itu jelas bukan puluhan juta saja… Membiarkannya hanya jadi dekorasi raksasa jelas terlalu mubazir.

Selain itu, dengan bakat yang bahkan bisa membuatnya lolos kompetisi, tidak dimanfaatkan lagi—dari sudut pandangku yang sama sekali tak punya bakat, itu benar-benar keputusan yang berani.

"Kamu tidak suka les, ya?"

Tadi dia juga mengatakan bahwa pelajaran piano dan les-les lain bukanlah sesuatu yang dia inginkan. Merasa terbebani oleh kemampuan yang dimiliki tanpa keinginan sendiri—aku cukup bisa memahami perasaan itu.

"…Entahlah."

Masih menghadap rak buku, dia sedikit menunduk dan terdiam. Dalam situasi seperti ini, telepati lebih fasih berbicara. Aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

"Ah, ketemu."

Setelah sejenak hening, ia membuka mulut. Kagura menunjuk ke satu bagian rak. Buku-buku di sana tertutup sampul pelindung yang rapi, disusun dengan teratur, namun terlihat jelas punggung bukunya sudah agak tumpul di ujungnya, bahkan sedikit usang. Pasti sudah sering sekali dibaca berulang-ulang.

"Ini seri yang tadi kamu sebut?"

"Benar. Judulnya Vampir di Sebelah."

Sampulnya menampilkan ilustrasi seorang gadis cantik berambut putih dan bermata merah—benar-benar desain yang klise.

"Rasanya aku pernah dengar judul itu sebelumnya."

"Mungkin karena belakangan ini sedang banyak diadaptasi ke media lain. Tapi itu bukti kalau seri ini memang populer dan menarik. Sekilas memang terlihat ringan, tapi semakin dibaca, ceritanya makin mengejutkan—"

Dia masuk ke mode fasih berbicara. Otot wajahnya tetap datar seperti biasa, tetapi nada bicaranya penuh semangat.

Kalau bisa berbicara sejauh ini, justru aku jadi iri. Dari penjelasannya dan keterangan di sampul belakang buku, kurang lebih ceritanya seperti ini:

[Sejenis makhluk bernama vampir, yang selama ini dianggap hanya fiksi, ternyata benar-benar ada. Mereka hidup di dunia modern dan berkonflik dengan manusia. Suatu ketika, seorang siswa SMA laki-laki mengetahui bahwa gadis yang tinggal di sebelah rumahnya ternyata seorang vampir, dan sejak itu mereka terikat dalam hubungan yang aneh. Seiring waktu, mereka saling mengenal, saling mendekat, dan akhirnya saling jatuh cinta. Ya, ini adalah kisah cinta terlarang antara dua ras yang saling bermusuhan.]

Kira-kira seperti itulah.

Memang sedikit unik, tapi klise juga. Namun, justru cerita klise biasanya lebih mudah diterima banyak orang. Dari cara Kagura bercerita, sepertinya ada juga perkembangan yang tidak terduga.

"Pantas juga… jadi totalnya ada berapa jilid?"

"Sampai sekarang ada empat belas jilid. Bulan depan terbit jilid kelima belas."

"Wah, lumayan panjang juga ya."

Awalnya kupikir hanya semacam cerita sekali habis. Novel erotis yang sempat dia sebut lewat telepati waktu itu juga panjang sekali, sepertinya memang dia suka cerita-cerita panjang.

"Kalau sebanyak itu, pasti butuh perjuangan untuk membacanya."

"Memang akan sulit kalau baru mulai sekarang… tapi paling tidak, cobalah sampai jilid delapan."

"Sampai jilid delapan?"

"Iya. Di jilid itu, tokoh utama berubah jadi kepala terpenggal karena kekuatan vampir. Lalu, untuk mengembalikannya, sang heroin harus menggunakan kepalanya sebagai bola untuk melawan musuh dalam pertandingan sepak bola—"

"…Eh, apa tadi?"

"Tokoh utama jadi kepala terpenggal karena vampir."

"Ya, setelah itu."

"Heroin menendang kepalanya dalam pertandingan untuk menyelamatkannya. Musuh mengadakan turnamen dengan taruhan kebangkitan orang mati—"

Apa-apaan cerita itu. Jauh lebih gila dari sekadar “sedikit unik.” Rasanya seperti tersapu badai dan terlempar entah ke mana. Kagura mendadak menutup mulut dengan tangannya, wajahnya seolah tersadar.

"…Ah, maaf. Apa ini terlalu spoiler?"

Sepertinya baru saja dia menyadarinya. Suaranya tiba-tiba melemah.

"A-anu, ini bukan sekadar spoiler… lebih kayak lemparan liar spoiler gitu…"

"Uh! A-aku minta maaf. Selama ini aku tidak pernah punya teman untuk membicarakan karya ini, jadi aku terbawa suasana…"

"Ya… nggak apa-apa kok. Malah aku jadi makin tertarik."

"Begitu…? Tapi soalnya bagian itu sangat berkaitan dengan masa lalu karakter utama dan benar-benar mengejutkan, jadi kupikir lebih baik kalau kamu membacanya sendiri untuk pertama kali…"

Jadi segitu pentingnya ya, pertandingan sepak bola kepala manusia. Padahal terdengarnya seperti usaha terakhir dari penulis yang sudah kehabisan ide. Dan informasi itu sendiri juga rasanya sudah spoiler, tapi anehnya malah membuatku ingin tahu lebih jauh.

"Tapi, ya, kalau kamu memang penasaran, bagaimana kalau kupinjamkan bukunya?"

"Boleh juga, sih. Cuma… sebentar lagi ada festival olahraga dan ujian, jadi mungkin aku tidak akan sempat membacanya."

Semua kegiatan itu menumpuk di akhir bulan. Belajar dan persiapan—pukulan ganda. Sampai-sampai teman sekelas sering menggerutu, "Yang bikin jadwal sekolah ini pasti iblis."

"Ah… memang juga. Selain itu, karya ini lebih bagus kalau dibaca sekaligus, jadi kalau kupinjamkan sedikit demi sedikit rasanya kurang pas…"

Kagura menyilangkan tangan sambil merenung.

Benar juga, kalau jalan ceritanya seperti yang ia ceritakan, akan susah dimengerti kalau tidak dibaca sekaligus. Tapi jelas aku tidak mungkin bisa meminjam sekaligus sebanyak itu.

Kalau dipinjam satu per satu, entah berapa lama baru selesai. Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba Kagura membuka lipatan tangannya, seolah mendapatkan ide.

"Ah, iya! Bagaimana kalau kamu datang lagi ke rumahku nanti?"

"…Eh?"

Karena ucapannya terlalu ringan, aku hanya bisa balik bertanya.

"Soalnya kalau begitu kamu tidak perlu repot membawa semuanya, dan kalau penasaran dengan kelanjutannya, bisa langsung baca di situ, kan?"

Ia berbicara seakan-akan menemukan ide cemerlang. Apa dia serius?

Sejak tadi ucapannya seperti tanpa sadar terlalu polos. Semua kesan yang selama ini kupunya tentang Kagura mulai runtuh.

"Ta-tapi itu agak…"

"Kenapa? Orang tuaku sering tidak ada di rumah, jadi kamu tidak perlu sungkan."

"Bukan soal itu… justru karena itu masalahnya…"

Kagura memiringkan kepala. Wajahnya seakan berkata: memangnya ada yang salah?

"Maksudku begini… kalau seorang cowok sering main ke rumah cewek, lalu berduaan di kamar, itu kan… yah, bisa menimbulkan salah paham."

Aku berusaha mencari kata-kata, tapi kepalaku seolah korslet dan tidak bisa menemukan istilah yang tepat.

"Salah paham?"

Ia mengulang kata-kataku dengan nada bingung.

"Ya, maksudnya… dari luar, orang bisa mengira kita pacaran atau semacamnya…"

Sambil menundukkan kepala, aku terbata-bata menjelaskan hal yang memalukan ini. Aku merasa sangat menyedihkan. Tapi ternyata penjelasanku berhasil.

"…Ah."

Kali ini dia bersuara pendek, tapi jelas. Wajahnya perlahan memerah. Sepertinya pemahamannya baru saja meledak di kepalanya.

『Benar juga. Kalau cowok main ke rumah cewek… itu jelas-jelas kesannya mesum, kan!? Sudah pasti kelihatan mesum, kan!? 』

…Sepertinya akhirnya tersampaikan juga.

Itu suara hati Kagura. Seperti biasa. Benar-benar seperti biasanya. Jadi, selama ini dia sama sekali tidak sadar? Padahal ucapannya sejak tadi nyaris menggoda, dan pikirannya jelas-jelas selalu ‘pink’. Ekspresinya tidak banyak berubah, tapi siapa pun bisa melihat dia sedang merah padam.

"Tu-tunggu, bukan begitu maksudku! I-ini cuma soal pinjam buku kok, bukan apa-apa lagi, sungguh…!"

Ia melambaikan tangan dengan panik. Jelas sekali dia sedang gugup. Jarang sekali perkataan dan suara hatinya selaras begini.

『Lagipula, kalau kupikir-pikir… bahkan saat ini aku juga sudah mengajaknya masuk rumah. Bukankah itu juga terasa… mesum banget!? Aku bilang ‘orang tua nggak ada’ atau ‘rumahku dekat kok’… itu jelas-jelas terdengar seperti mengundang, kan!? 』

Oh, jadi dari situ kesadarannya baru muncul. Selama ini dia bahkan tidak menyadarinya. Kalau lawannya bukan aku, mungkin sudah ada yang salah paham dari tadi. Makin kelihatan betapa berbahayanya dia.

Di situasi lain, dengan orang lain, dia bisa saja benar-benar dalam masalah besar. Mungkin justru pikiran ‘pink’ berlebihan yang selalu ia tunjukkan itu adalah semacam mekanisme pertahanan diri…

『Kalau kupikir lagi dengan tenang… semua ucapanku hari ini mengundang salah paham, kan? Tadi saat kita duduk di sofa ngobrol, jaraknya dekat sekali… itu hampir mirip pillow talk, kan? 』

Kagura masih terbawa gelisah. Padahal sofa jelas bukan bantal. Dan

ini bukan habis sesuatu juga.

"Katamu supaya tenang… tapi sama sekali tidak tenang, kan."

『Kalau tadi kita tetap duduk bersama, mungkin bahu atau tangan kita bersentuhan tanpa sengaja, lalu suasananya berubah… setelah itu masuk ke kamar bersama… eh, tunggu. Apa sekarang justru kita sedang dalam situasi itu? Berarti setelah ini aku dan Yonemine-kun akan──』

"A-ah, maaf, maaf, maaf. Aku juga terlalu kepikiran. Ya, bukan begitu, kan."

Karena arah imajinasinya hampir mengarah padaku, aku berusaha sebisa mungkin terdengar tenang ketika menyela.

『Memang Yonemine-kun kelihatannya tidak tertarik pada hal-hal seperti itu… tapi sebaliknya, bisa jadi justru lumayan agresif atau penuh gairah. Kalau ada perbedaan seperti itu… mungkin malah jadi lebih membara.』

Tidak ada. Kalau sudah kukatakan tidak, lalu kamu tetap begitu, itu artinya apa pun bisa dijadikan alasan. Atau mungkin memang begitu. Namanya juga imajinasi.

"Begini, coba kita tenang dulu. Ya? Tarik napas dalam. Oke, tarik… hembuskan."

"E-eh, i-iya."

Kagura mengikuti dengan gerakan dadanya yang naik-turun agak dangkal.

『…Tapi, kenapa kamu bisa setenang itu? Sekarang, setelah alurnya tadi, seorang laki-laki datang ke rumah seorang perempuan, duduk rapat di sofa, lalu bilang ‘ayo tarik napas dalam’… apa itu mungkin semacam tanda memulai foreplay!?』

Dia sama sekali tidak tenang!

『Soalnya, kupikir ada yang bilang begitu… tarik napas dulu, bikin rileks, lalu pelan-pelan ciptakan suasana… pernah kubaca entah di mana…』

"Heeei, sadar!"

Plak! Aku menepuk tangan untuk menyadarkan Kagura. Kalau imajinasinya dibiarkan mengalir terus, aku benar-benar tak akan sanggup menahannya.

"──!! …Maaf. Aku agak… kehilangan kendali barusan."

Kagura membelalakkan mata, lalu kembali meringkuk kecil. Meski dia bilang ‘agak kehilangan kendali’, jelas-jelas jauh lebih parah dari sekadar agak. Tapi ya, pada akhirnya, arus deras birahi itu mereda. Setidaknya untuk sementara. Ia mengangkat bahu dengan canggung.

"…Biasanya. Biasanya aku tidak seperti ini. Maksudku, aku tidak biasa bicara gegabah seperti tadi."

"Yah, memang, kalau melihat keseharianmu, rasanya tidak mungkin begitu sih."

…Walau, kalau melihat keseharian isi kepalanya, aku justru ingin bertanya-tanya juga.

Bagaimanapun, aku tahu bahwa berhadapan dengan laki-laki di dunia nyata bukanlah hal yang membuatnya nyaman.

"Jarang sekali aku mengundang orang ke rumah… apalagi lawan jenis,

itu benar-benar tidak pernah…"

Kata Kagura sambil memainkan jarinya dengan gelisah. Sikapnya yang biasanya tenang seakan hilang, sekarang ia benar-benar terlihat malu.

"Y-ya… aku juga, bukan berarti terbiasa dengan hal ini."

Aku mengucapkannya hanya untuk sedikit mengurangi rasa canggung. Sejujurnya, aku pun tidak terlalu sadar dengan apa yang kuucapkan.

"…!"

Bahunya sedikit bergetar.

"J-jadi… maksudmu, kita sama saja… sama-sama tidak terbiasa, begitu?"

『Itu berarti… sama-sama pertama kali? Lalu… siapa yang harus memimpin situasi ini…? Atau, harusnya mulai dari mandi dulu…?』

Aku tidak akan menanggapi lagi. Tidak akan, tapi… sepertinya aku sudah menggali lubang untuk diri sendiri. Kenapa dia jadi terlihat agak bersemangat, sih.

Kesunyian yang berat menyelimuti ruangan. Dia mungkin masih terus terbawa suasana, sementara aku justru merasa perutku melilit karena gugup.

"Ah~ jadi… ada buku lain yang kau rekomendasikan? Mendadak aku ingin baca buku, nih."

Aku berdiri dan melangkah ke rak buku dengan gerakan agak dipaksakan. Sekadar mencoba mengalihkan suasana, atau lebih tepatnya melawan arus.

『…Ah, itu bagian kategori R18.』

"A-apaa!?"

Mendengar itu, aku langsung meloncat mundur dari rak buku. Benar-benar tidak bisa lengah!

Yah, ini kamarnya Kagura, jadi wajar kalau ada begituan…asal jangan sampai tiba-tiba ada mainan yang muncul, itu saja sudah cukup. Entah ada atau tidak, sih. Dan kenapa dia bisa dengan entengnya menyebut kategori R18, itu yang paling bikin aku tidak tenang.

…Pokoknya, situasi jadi makin canggung. Aku pun tidak cukup kuat untuk tetap terlihat tenang dalam kondisi begini. Kagura sendiri jelas malu, matanya tidak fokus, gerak-geriknya penuh kegelisahan.

Meski ia bisa membaca novel erotis di kelas dengan santai, dalam keadaan nyata begini, rasa malunya tetap muncul. Apa yang harus kulakukan sekarang…adn saat itulah──

♪〜〜〜

Nada dering. Mode getar. Dari ponsel Kagura. Ia kaget, buru-buru meraih ponsel.

"Ah, i-ini… Mama…?"

Beberapa detik menatap layar, lalu ekspresi Kagura perlahan surut. Ia menghela napas pelan, lalu berbicara lirih.

"…Iya, aku mengerti. Ya, tidak apa-apa. Hati-hati di jalan pulang."

Setelah menutup telepon, ia memandangku dengan wajah minta maaf.

"Maaf… Mama ternyata selesai kerja lebih cepat. Sebentar lagi

beliau akan pulang."

"Ah, begitu… kalau begitu aku juga sebaiknya pulang sekarang."

Sambil berkata begitu, aku berdiri. Betapa kebetulan yang menyelamatkan. Terima kasih, Ibu Kagura. Lagipula, bertahan lebih lama dalam suasana seperti ini hanya akan semakin canggung. Mungkin justru ini waktu yang paling tepat untuk mengakhiri kunjungan.

Sejak tadi aku menilai rendah, sejak pembicaraan tentang lesnya, tapi sekarang aku harus mengangkat penilaian itu satu tingkat.

"Kalau begitu, terima kasih untuk hari ini."

Aku menoleh sambil mengenakan sepatu di pintu masuk. Apakah karena kegelisahan tadi masih tersisa, Kagura tetap mengalihkan pandangan, meski wajahnya terlihat seakan ingin mengatakan sesuatu.

“Eh, eeh. Bagaimana, sakit kepalanya sudah membaik?”

“Ah~ iya. Berkatmu sudah lumayan.”

“Begitu… begitu. Kalau begitu, syukurlah.”

Baru kuingat, dia datang ke sini dengan alasan seperti merawatku. Saat kusadari, rasa nyeri tumpul akibat telepati sudah menghilang.

Meski di penghujungnya, kepalaku terasa sakit dalam arti yang lain.

“Ehm, soal buku itu, lain kali saja ya.”

“Ya, benar. Lain waktu saja. Kalau begitu—”

Hanya dengan salam perpisahan seadanya, tanganku sudah menyentuh gagang pintu… saat itu juga.

“Ah, anu!”

Suara yang terdengar agak tinggi dilemparkan ke arah punggungku. Aku menoleh sekilas dari balik bahu. Kagura menatap ke arahku dengan sorot mata yang sedikit ragu.

“Aku sebenarnya harusnya langsung mengatakannya, tapi… terima kasih banyak untuk hari ini, sudah menolongku.”

Dengan nada yang agak malu-malu, Kagura mengucapkannya.

Sempat aku bertanya-tanya maksudnya apa, tapi oh, itu rupanya. Soal tadi dengan orang yang mencoba menggoda. Karena ia benar-benar berantakan waktu itu, memang aku belum sempat menerima kata terima kasih darinya. Meskipun, aku juga tidak merasa membutuhkannya. Dia benar-benar orang yang terlalu tertib.

“Ah, sama-sama. Tapi lain kali, hati-hati ya. …Dalam banyak hal!”

Ya, benar-benar dalam banyak hal. Hanya itu yang kuucapkan sebelum membuka pintu dan keluar dari kamar.

Seakan mengantarku, Kagura melambaikan tangan kecilnya sampai akhir. Sampai pintu benar-benar menutup. Dan tepat sebelum terdengar suara kunci berputar—

『…Lain kali, sebaiknya aku menata tempat tidur lebih dulu, ya.』

…Hei, jangan ucapkan hal aneh di akhir seperti itu.

***

Matahari mulai condong. Meskipun musim panas sudah terasa mendekat, pada jam-jam seperti ini udara masih sedikit dingin. Akhir dari satu hari. Dengan memikirkan hal sepele itu, aku menenangkan

diri. Benar-benar hari yang riuh…

Tak pernah kuduga hari ini akan begitu membuatku berputar-putar. Dan juga, hari ini cukup banyak mengubah kesanku tentang Kagura.

Aku masih tidak berniat mengubah pandanganku bahwa dia itu “alien berotak merah muda.” Tapi kupikir tadinya dia orang yang lebih dingin. Kukira sifatnya lebih mekanis, ternyata dia tetaplah manusia yang memiliki emosi, yang punya kegelisahan, dan yang punya hobi seperti orang lain.

Meski punya telepati… atau justru karena itu, menilai sifat orang lain hanya dari prasangka adalah kebiasaan buruk. Mungkin untuk saat ini belum bisa kukoreksi, tapi sebaiknya cepat-cepat kuhentikan.…namun, memikirkan bahwa “pembaruan” kesan itu menghabiskan hari liburku, aku jadi agak murung. Padahal tujuan hari ini bukan itu.

…Ah, baru kuingat. Ketika menoleh kembali pada kejadian sepanjang hari, aku mendadak teringat sesuatu. Aku buru-buru mengeluarkan ponsel, dan di sana tertera deretan panggilan tak terjawab.

Pengirimnya adalah—Mitome Tsuyuha.

A-astaga. Aku benar-benar lupa dengan keberadaannya. Tepatnya, dengan barang-barang titipannya. Katanya sih ada pakaian di dalamnya. Aku tinggalkan waktu berusaha menolong Kagura… apa jangan-jangan sampai sekarang masih terlantar?

Butiran keringat dingin mengalir. Dengan hati-hati kutelepon balik, dan langsung tersambung.

“Halo?”

“…Kau tidak ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?”

Dari seberang, Tsuyuha terdengar dengan nada penuh ketidakpuasan.

Suaranya agak rendah, berat. Wah, ini jelas-jelas sedang marah.

“Eehm, pertama-tama, maaf. Barang-barangmu benar-benar terbengkalai.”

“…Haaah.”

Sebuah helaan napas yang sama sekali tidak berusaha menutupi kemarahan.

Ya, ini dia benar-benar marah. Padahal, sejak awal dia yang memaksakan titipan itu kepadaku, aku sama sekali tidak menyetujuinya. Jadi bukankah aku tidak salah?

Aku ingin mengeluarkan bantahan itu, tapi kurasa hanya akan menambah api. Mengucapkan sesuatu yang akan mengikis kepercayaannya padaku juga tidak bijak.

“…Maafkan aku.”

“Yah… tidak apa-apa sih. Tapi bagaimana kau akan bertanggung jawab?”

Nada suaranya tajam. Tanggung jawab? Seperti preman saja.

“B-bagaimana kalau lain kali aku menggantinya, boleh?”

“…Baiklah. Aku mengerti.”

Sampai-sampai ia menunjukkan sikap tidak ramah sedari awal sampai akhir, membuatku merasa tak nyaman. Kalau tahu begini, seharusnya aku paksa saja dia bawa sendiri. Kalau barangnya kotor pun, aku toh tidak akan rugi.…Tapi ya sudahlah, selama bisa diselesaikan dengan damai, itu sudah cukup.

Sambil tetap berhati-hati memperhatikan suaranya di seberang, aku membatin demikian.

“—Lalu, bagaimana di rumah Kagura-chan?”

“…Apa?”

“Entah kenapa ya, kelihatannya seru sekali. Katanya kau menolong Kagura-chan waktu dia diganggu? Lalu kau menenangkannya saat dia menangis? Dan akhirnya, kau sampai masuk ke rumahnya? Waaah! Sumito-kun memang tak bisa dianggap remeh ya! Sumito, benar-benar tak bisa disembunyikan!”

Sekejap, nadanya berubah jadi ceria. Lidahnya berputar lebih lincah dari biasanya, bahkan semakin berisik. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang ia katakan, dan jujur saja, tidak mau mengerti.

Apa sih yang sedang dikatakan orang ini? Apa sih maksudnya orang ini?

"Kenapa kamu bisa tahu itu……"

"Kenapa lagi, ya karena aku lihat semuanya dari awal sampai akhir. Dari mulai Sumito yang kelihatan super keren ngalahin para preman, sampai Sumito masuk ke apartemen super mahal itu."

"Eh, ha? Terus barang-barangmu?"

"Sudah aku ambil, kok. Tapi, karena kamu tetap meninggalkannya begitu saja, kamu tetap harus ganti rugi ya. Aku sudah dapat jaminannya, lho."

Orang ini……Orang ini benar-benar (penuh amarah).

Amarah merambat naik di leherku. Aku bisa merasakan pembuluh darah mulai berdenyut dan menonjol. Selama ini aku mengira ungkapan “pembuluh darah bisa pecah karena marah” itu hanya hiperbola, tapi ternyata memang ada sensasinya di dunia nyata.

"Terus, gimana rasanya? Kamu ditawarin teh? Kalian ciuman? Atau malah udah tidur bareng?"

"Aku hajar juga kamu, ya!"

"Iya iya, Sumito-kun lagi malu tuh〜."

Tangan kananku hampir saja menghantamkan ponsel ke tanah, tapi aku menahannya dengan tangan kiri sekuat tenaga.

Fuuuh. Tenang dulu. Yang harus dihajar itu bukan ponselnya, tapi perempuan itu. Kalau aku asal bertindak sekarang, yang ada uangku lenyap begitu saja. Aku harus lebih hati-hati dan mengorek keterangan dari orang ini……

"Yah, pokoknya cerita lebih lengkapnya nanti pas kita ketemu lagi ya! Daaah!"

"Eh, oi!"

……Terputus. Yang tersisa di gendang telingaku hanya bunyi elektronik tut yang hampa dan menyebalkan.

Entah karena amarah, atau karena rasa malu. Tubuhku memanas dari dalam, terbakar oleh emosi yang sulit dibedakan. Dan panas itu sama sekali bukan sensasi menyenangkan, justru semacam rasa yang membuatku ingin segera membersihkannya dari tubuh.

……Ah, sudahlah. Mulai sekarang, aku tidak akan pernah lagi menuruti perkataan orang itu. Itulah tekad yang kuikrarkan di bawah langit senja.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close