NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dare mo ga Urayamu Tonari no Cool Bishoujo, Jitsu wa Nounai Pink Sugiru Vol 1 Chapter 2

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 2

Bagaimana Kabar Hatimu?

"Aduh… seperti biasa rame banget, ya…"

Kafetaria dipenuhi manusia dan aroma makanan.

Sepertinya ini sudah pertengahan jam istirahat siang, tapi karena jumlah siswa di sekolah ini memang banyak, antrean panjang masih belum juga surut. Suara dentingan peralatan masak bercampur dengan riuhnya obrolan para siswa. Dan bagiku, semua itu ditambah lagi dengan ‘suara pikiran’ yang ikut terdengar. Bukan sekadar ramai, tapi benar-benar bising sampai-sampai bikin kepala pusing.

Mencari Masaki di tempat sesesak ini jelas merepotkan—lebih tepatnya menyebalkan. Aku sempat terpikir untuk menyerah saja dan langsung cari tempat duduk kosong…namun, di tengah kerumunan itu, telingaku seakan menangkap sebuah getaran samar.

『Ah, itu Yonemine-kun, kan…』

Bukan suara sungguhan. Itu adalah suara hati.

Biasanya aku memblokir pikiran sekitar agar tidak terdengar seperti derau, tapi jelas saja kalau ada yang menyebut namaku, aku otomatis merespons. Dan nada manis yang agak berbunga-bunga itu… rasanya aku bisa menebak siapa pemiliknya.

"Ah, oh—oi, Sumitooo!"

Aku menoleh, dan benar saja. Suara lantang yang memanggil namaku datang dari Masaki. Dia melambaikan tangan dengan heboh, seolah sedang jadi penonton bayaran di acara televisi. Jujur saja, aku ingin pura-pura tidak kenal. Terlalu mencolok. Buruknya lagi, mencolok dengan cara yang salah. Tapi aku urungkan niat itu. Karena kulihat ada seseorang yang duduk di meja yang sama dengannya.

"…Ah, maaf. Aku agak telat."

"Iya, serius telat banget! Aku udah kelar makan, tau!"

"Padahal baru sepuluh menit, kan."

Masaki mengangkat mangkuk kosongnya seperti piala. Anak SD, apa?

"Hebat, kan! Dalam waktu sesingkat itu aku berhasil melahap Ultimate Guts Set Meal! "

"Itu apaan, namanya aneh banget."

"Serius nggak tahu? Isinya lengkap semua yang bikin stamina naik, kayak hati ayam, daging sapi, dan macem-macem. Katanya porsi monster gitu, banyak yang nyerah di tengah jalan. Tapi aku habis! …Sekarang sih, rasanya mau muntah."

"…Kamu itu emang tolol, Masaki."

Ia meringis sambil memegangi perutnya.

Aku hanya bisa menghela napas. Kelakuan kekanak-kanakan begini sudah jadi sifat bawaannya, jadi aku malas menanggapi. Perhatianku pun beralih pada orang-orang yang duduk bersamanya.

"Oh iya, aku bawa temen duduk, nggak apa-apa kan?"

Masaki melirik mereka, lalu menatapku.

"Eh, maaf ya! Aku numpang dulu."

"Tempatnya penuh banget, jadi kami gabung, nggak apa-apa kan?"

Suara riang seorang gadis. Terdengar rendah namun hangat.

Sawari Mahiru.

Sonoda Tomoka.

Keduanya teman sekelas kami, sekaligus anggota klub yang sama. Mereka memang akrab, selalu terlihat berdua.

Di kelas, posisi mereka termasuk pusat perhatian. Terutama Sawari—ia sering disejajarkan dengan Kagura dalam hal kecantikan, bahkan ada yang lebih menyukainya karena sifatnya yang supel dan terbuka.

Sedangkan Sonoda, sifatnya lebih serius dan tegas, seperti penyeimbang sekaligus pengawas bagi Mahiru yang cenderung bebas dan ceria.

…Sejujurnya, aku jarang bicara dengan mereka. Bukan karena ada masalah, hanya saja lingkaran pergaulan kami berbeda jauh. Tapi walau begitu, berkat kemampuanku, aku tahu cukup banyak tentang keadaan mereka. Dan justru karena itu, kesan yang mereka tinggalkan terasa cukup kuat.

"Oh… nggak apa-apa kok. Memang lagi rame banget."

"Yeay! Makasih ya, Yonemine-kun!"

Aku berusaha tetap tenang, lalu duduk di kursi kosong. Mahiru langsung mencondongkan tubuh, mendekat ke arahku.

"Yonemine-kun, hari ini kamu kebagian jadi piket, ya?"

"Iya. Katanya harus ngangkut bahan buat homeroom."

"Eh—sayang banget! Biasanya cepet selesai, tapi justru hari ini yang paling ribet!"

Kepang rambutnya ikut bergoyang ceria ketika ia merajuk. Tampak berlebihan, tapi mungkin itu memang sifatnya. Atau mungkin… ada sesuatu yang membuat perasaannya lebih bergejolak.

"Ya wajar aja. Kan sebentar lagi ada acara kayak festival olahraga. Jadi homeroom yang biasanya santai, sekarang mulai padat."

"Ah, iya juga! Waktu orientasi siswa baru juga udah disinggung sih. Nggak nyangka waktunya udah deket. Aku nggak sabar banget!"

"Mahiru kan emang dari dulu suka heboh. Jangan sampai kelewat semangat di acara besar pertama ini, ya."

"Eh!? Aku nggak segitunya kok!"

Pipi Mahiru memerah karena digoda Sonoda. Dari interaksi kecil ini saja sudah kelihatan betapa akrabnya mereka. Namun bagiku yang bisa mendengar suara hati, perhatian mereka ternyata mengarah ke sesuatu yang berbeda…

『Hehehe… seneng banget bisa ngobrol sama Yonemine-kun! Ini pasti langkah maju besar, kan!? 』

Pikiran yang begitu jelas terdengar. Itu tanpa ragu adalah milik Sawari Mahiru.

Ya… entah bagaimana, sepertinya dia memang menyukaiku.

Alasannya aku tidak tahu. Kedengarannya klise, tapi sungguh aku tidak merasa pernah melakukan sesuatu yang bisa membuatnya jatuh hati.

Entah sejak kapan perasaannya tumbuh, tapi tiba-tiba saja aku sadar, panah perhatiannya sudah mengarah ke sini. Dan jujur, aku sendiri bingung harus menanggapinya bagaimana.

"Aku pasti akan jadi juara pertama di lomba lari."

"Kayak anak kecil aja."

"Apa katamu!? Kau bisa ngomong begitu karena kau belum pernah merasakan genggaman mahkota itu! Siapa pun yang bisa sampai ke puncak, dialah yang jadi nomor satu di angkatan selama setahun penuh!"

…Bukankah justru pola pikir itu yang kekanak-kanakan?

Saat aku dan Masaki asyik bercakap, aku sadar Sawari sedang melirik ke arah kami.

"Yonemine-kun, kamu biasanya main olahraga juga nggak?"

"Hm? Uhh… aku sih nggak terlalu suka bergerak."

"Yah, kan kamu anak klub pulang sekolah, ya? Sebenarnya bakatmu nggak jelek, cuma sial terus. Waktu itu aja, bola nyangkut pas di mukamu, kan?"

"Eh!? Kamu baik-baik saja waktu itu!?"

Masaki terkekeh puas, sementara Sawari tampak berlebihan dalam rasa khawatirnya.

Rasanya memang ada kejadian seperti itu, mungkin sekitar satu-dua minggu lalu. Memang tidak sampai cedera serius, tapi sempat bikin meringis. Selain itu, aku memang sering sekali mengalami nasib sial seperti itu.

"Mungkin aku memang ditakdirkan hidup di bawah nasib buruk, ya…"

Aku berkata sambil setengah bercanda, setengah mengejek diri sendiri—tentang betapa buruknya peruntunganku setiap kali urusan olahraga, dan juga, tentang situasiku sekarang.

Kalau aku bilang begini, mungkin ada sekelompok orang yang bakal ngamuk, berteriak, "Kamu masih bisa makan siang bareng Sawari Mahiru yang cantik, masih bisa disukai sama dia, terus kamu bilang itu sial? Dasar mimpi siang bolong!!"

Ya, memang benar, dia cantik. Menurutku secara pribadi dia memang manis, dan secara objektif pun semua orang mengakui kecantikannya. Tapi, kenapa aku masih merasa sial walau diperlakukan seperti itu? Karena cinta itu seringkali menyeret orang ke dalam medan pertempuran.

『Sialan! Muka pas-pasan ini berani-beraninya ngerayu Mahiruku…!!』

…Dia marah. Marah besar. Tepat di depan aku, di sebelah Sawari, ada Hanya. Padahal penampilannya kalem banget: kacamata, rambut hitam pendek, gaya ala murid teladan. Tapi isi hatinya seperti badai.

Sonoda Tomoka sedang menumpahkan rasa benci, amarah, dan sumpah serapahnya ke arahku. Katanya dia teman masa kecil Sawari. Aku tidak tahu detailnya, tapi yang jelas mereka sudah lama dekat.

Masalahnya, dari waktu yang panjang itu tumbuhlah sebuah "ikatan persahabatan" yang… entah bagaimana jadinya malah terpelintir ke arah yang merepotkan. Makanya, perhatian Sawari padaku justru membuatnya sangat tidak senang.

『Ah, mata ketemu! Uwaaah, jadi grogi! Pasti dia mikir aku jadi aneh barusan…』

『Hei, kenapa ngelirik bidadariku? Mau kuhabisin? Atau mau dihabisi, hah?』

Sawari, yang kebetulan menatapku (sialnya), langsung panik dan memainkan makanannya dengan kikuk. Sementara itu, Sonoda menggenggam sumpit di tangan kiri yang bergetar pelan.

Isi hati mereka yang terdengar ke arahku benar-benar kontras. Rasanya kepalaku sudah mau pusing. Padahal aku bahkan belum makan apa-apa. Urusan Kagura tadi saja sudah cukup bikin kenyang, sekarang ditambah ini.

Aku berusaha keras menahan diri agar tidak mendesah panjang penuh rasa lelah, lalu membuka bungkus roti yang kubawa. Kemudian aku menggigit roti isi yang kering itu.

"Eh, Sumito… kamu makan roti manis lagi?"

"Iya, kenapa? Murah, praktis, enak. Itu makanan terkuat di sekolah ini."

Tidak menerima bantahan. Di kantin sekolah kami, banyak dijual roti manis kemasan, mirip dengan yang ada di toko-toko. Pilihan rasanya banyak, tapi harganya seragam: seratus yen.

Bagi siswa biasa yang hidup pas-pasan sepertiku, ini benar-benar penyelamat. Kalau malam terpaksa belajar dengan lilin, aku bisa saja menimbun stok roti ini dan bertahan dengan itu pagi, siang, malam. Saking berharganya, roti ini adalah garis hidupku. Katanya sekolah juga menjual roti buatan sendiri, dan cukup populer di kalangan siswa. Tapi maaf, bagiku itu sama sekali tidak menarik. Tiga ratus yen termasuk pajak? Itu terlalu mahal buatku.

Sementara semua orang berdesakan membeli, aku dengan tenang sudah menyiapkan tiga senjata pamungkas: melonpan, karepan, dan roti isi selai. Itu sudah jadi rutinitasku.

"Ya sih, enak memang enak… tapi kalau makan itu terus, nanti gizimu nggak seimbang, lho?"

Jangan sok nasihati aku soal gizi, padahal kamu sendiri sanggup menghabiskan "Menu Ultimate Guts"—makanan paling gila dan tidak sehat di sekolah ini.

"Eh, tapi aku juga sering kok cuma makan roti manis. Jadi menurutku nggak masalah."

Aneh, Sonoda tiba-tiba membelaku.

Ini sungguh mengejutkan. Sejak semester ini dimulai—lebih tepatnya, sejak Sawari mulai menunjukkan perhatian padaku—Sonoda tidak pernah berhenti menumpahkan amarahnya padaku. Apa mungkin dia mulai mengakuiku?

…Tentu saja tidak. Mana mungkin dia berubah secepat itu.

『Iya, makan terus aja. Biar gizimu hancur lalu mati sekalian.』

Seram. Tajam. Jangan bilang itu dengan wajah yang setenang itu, dong. Sudah sering dibilang, fanatik itu memang suka kelewat agresif, tidak peduli bidangnya siapa pun.

"Tapi, tapi, Miyaoi-kun benar lho. Kalau makan itu terus, memang tidak baik buat kesehatan!"

Aku yang sedang terintimidasi oleh sorot mata Sonoda di balik kacamata—mata yang tajam bagai pisau—terdengar suara Sawari menimpali. Pipi menggembung, alis terangkat, wajah cemberutnya mungkin terlihat imut bagi sebagian orang.

"Betul tuh. Harusnya makan bekal bergizi dan penuh kasih sayang, kayak punyanya Mahiru~"

Sonoda dengan cepat berbalik arah, mendukung ucapan Sawari.

Benar-benar cepat berubah. Kalau bukan aku yang mendengarkan isi hatinya, pasti tidak ada yang sadar.

"Ja-jangan bilang soal kasih sayang segala, deh!"

Sawari, yang digoda Sonoda, memprotes dengan wajah merah di ujung telinganya.

『Mo-mou Tomoka! Kalau begini nanti Yonemine-kun bisa salah paham, kan!』

Di dalam hatinya, Sawari menutupi wajah dengan kedua tangan sambil mengguncang tubuhnya ke kanan dan kiri.

Ya… aku sama sekali tidak akan berpikir aneh begitu kok.

"Eh, jadi Sawari bikin bekal sendiri?"

"Ya, sejak sekitar kelas dua SMP, setiap hari."

"Wah, bener-bener tinggi banget kemampuan perempuannya ya. Bangun pagi buat masak, kalau aku sih nggak mungkin bisa."

"Aku juga bikin untuk adik laki-lakiku yang kelas satu SMP, jadi kalau sudah terbiasa ternyata gampang kok."

Sawari berkata begitu dengan wajah yang tampak lumayan puas.

Memang sih, bikin bekal sendiri itu luar biasa. Aku saja belum pernah berdiri di dapur sama sekali.

"Oh, begitu ya. Kayaknya sekali-kali pengin coba deh."

Daripada cuma diam tidak ikut obrolan, aku sambil mengunyah roti berkomentar begitu. Seketika, sorot mata Sawari berubah.

"Itu dia! Coba beneran kamu cicipin deh! Aku juga pengin denger pendapat cowok, soalnya adikku juga cowok kan!"

Sawari mendorong kotak bekalnya ke arahku. Isinya sayuran, tamagoyaki, karaage, dan sedikit nimono. Jelas-jelas ini bekal yang seimbang, baik dari segi gizi maupun warna. Jujur saja, aku terkesan.

『Ha? Ha? Ha? Bekalnya dikasih ke dia? Kalau sampai gitu, mending aku yang habisin semua sendiri deh.』

Namun tatapan Sonoda benar-benar mengerikan. Seperti mata predator yang siap menerkam mangsa. Padahal idenya datang dari Sawari, tapi kenapa aku yang jadi terancam begini?

Jadi agak bingung bagaimana harus menyikapinya… tapi menolak kebaikannya juga rasanya jahat. Dan kalau aku menolak, bisa-bisa malah muncul masalah lain.

"Kalau begitu… aku coba ya. Itadakimasu."

"Silakan!"

Begitu aku bilang begitu, Sawari tersenyum lebar.

Aku mengambil sepotong tamagoyaki kuning dari bekalnya. Lalu langsung memasukkannya ke mulut—

…apa-apaan ini, asin banget!? Maksudku, benar-benar asin! Ke mana perginya rasa lembut telur!?

Rasa mengejutkan yang menimpa lidahku membuat tubuhku menegang sejenak.

『Cowok kan biasanya suka rasa yang kuat, jadi mungkin dia juga suka asin-asin gini…? Lagian aku ganti gula dengan garam dan kecap, jadi pasti nggak salah!』


Sawari tampak menyilangkan tangan dengan penuh percaya diri. Padahal jelas itu salah, bukan? Memang ada sih orang yang bilang kalau laki-laki suka makanan asin, tapi jumlahnya tidak banyak.

Lagi pula, menyamakan "rasa kuat" dengan "asin" juga agak aneh. Dan menurutku, membuat tamagoyaki tanpa gula itu jelas tidak bisa diterima. Karena terlalu asin, aku segera menelannya tanpa benar-benar mengunyah dengan baik. Melihat itu, mata Sawari berubah, seolah menuntut sebuah penilaian.

『Bagaimana kalau ternyata tidak cocok dengan selera Yonemine-kun… Tapi kan sudah susah payah kubuat, jadi kalau dia bilang enak aku pasti akan sangat senang…』

Kenapa sih dia harus berkata dengan nada setulus itu?

Aku jadi serba salah mau menjawab bagaimana. Apalagi di sampingnya, sang pengawal pribadi itu…

『…Bilang enak. Bilang enak. Kamu sudah makan, jadi bilang enak.』

Menakutkan. Seperti sebuah kutukan. Tapi dari ekspresi itu, seolah-olah Sonoda sudah tahu kalau masakan Sawari memang tidak enak. Namun kenyataannya, Sawari tetap menawarkan padaku dengan tulus. Berarti sebenarnya dia orang yang cukup baik. Ya, setidaknya terhadap Sawari sendiri.

"…Enak, kok."

Meski merasa seperti baru saja mengalami sensor ketat dalam berbicara, aku memaksa lidahku yang masih terasa asin untuk mengucapkan itu.

"Benarkah!? Syukurlah…!"

Sawari tersenyum lega. Aku pun diam-diam mengusap keringat dingin.

…Kalau senyumnya bisa muncul hanya dengan begini, ya sudah, tidak masalah. Murah harganya.

『Huft, kalau sampai dibilang tidak enak tadi, aku sudah akan memukul kepalamu dengan baki sebanyak dua puluh miliar kali.』

…Kalau demi keselamatan nyawaku, ya sudah, benar-benar murah harganya. Sorotan mata Sonoda begitu menakutkan. Rasanya aku bisa saja ditebas dari belakang kapan pun juga.

『Tapi tetap saja, apa boleh sampai berbagi bekal begitu? Gimana ya cara bikin dia bayar ganti rugi…』

『Ehehe, yay. Aku bakal bikin lagi deh! Oh iya, kali ini sekalian kubuatkan bekal untuk Yonemine-kun juga──』

Dua perasaan yang benar-benar berlawanan kembali diarahkan padaku secara bersamaan. Dalam arti tertentu, keduanya benar-benar kompak. Akibatnya, batinku sampai banjir keringat dingin.

"Maaf, aku baru ingat ada urusan mendadak. Atau lebih tepatnya, memang ada. Atau… kurasa ada."

Karena tidak tahan lagi dengan suasana itu, aku mendadak berdiri dari kursi. Tentu saja, ketiga pasang mata langsung membelalak menatapku. Tapi aku benar-benar tidak sanggup bertahan lebih lama.

"Eh, begitu…?"

"Ya, semacam itu, hmm."

"Yonemine-kun juga pasti punya urusannya sendiri, kan? Jadi ayo, jangan pasang wajah sesedih itu."

"Ha!? A-aku tidak seperti itu──!!"

Alasan yang kugunakan memang sangat dipaksakan, tapi beruntung aku mendapat "dukungan" dari Sonoda yang dengan penuh dendam mengalirkan pesan, 『Cepat pergi, sepuluh detik lagi kau harus pergi.』Rasanya ingin bilang, "Kamu benci aku sampai segitunya, ya?" Tapi sudahlah, kali ini aku ikuti saja alurnya.

Sambil melirik Sawari yang melambaikan tangan kecilnya, aku pun buru-buru meninggalkan tempat itu.

Tak lama setelah itu, terdengar suara, "Boleh aku coba juga? Itadakimasu. Wah, asin sekali!" — sebuah ucapan tanpa perasaan layaknya adegan tiga panel dalam komik. Lalu segera disusul oleh suara plak! yang terdengar begitu renyah, seperti suara tamparan yang pas sekali. Aku pura-pura tidak mendengar dan tetap melangkah keluar dari kantin.

***

Karena keluar dari kantin tanpa sempat makan dengan baik, waktu istirahatku masih sangat banyak tersisa.

Aku bisa saja kembali ke kelas, tapi toh aku tidak punya teman dekat yang bisa kusapa sembarangan.

Selain itu, kursiku kemungkinan besar masih diduduki oleh orang lain. Kalau aku masuk tanpa memperhatikan timing yang tepat, dijamin suasananya bakal canggung dengan "penghuni" sementara itu. Karena itu, untuk mengisi waktu hingga momen yang pas, aku berkeliling dulu di dalam sekolah, sampai akhirnya tiba di gedung lama.

Sekolah ini sudah berdiri cukup lama, dan dalam perjalanannya sempat dilakukan perluasan dengan membangun gedung baru. Karena gedung baru terbuat dari beton yang kokoh dan bisa menampung banyak murid, gedung lama yang kecil dan terbuat dari kayu pun akhirnya menjadi tempat yang tersisih. Meski begitu, gedung lama ini masih dipakai untuk ruang-ruang praktikum tertentu, hanya saja jumlah orang yang masuk jauh lebih sedikit. Dan bagi diriku, tempat ini adalah surga yang penuh ketenangan. Menjauh dari hiruk-pikuk keramaian, satu-satunya tempat di mana aku bisa benar-benar bersantai tanpa terganggu mungkin hanya di sini.

Sebenarnya, di gedung baru juga ada perpustakaan besar yang relatif tenang. Tapi di sana justru suara batin orang-orang terlalu mencolok.

Entah karena terlalu hanyut dalam bacaan atau apalah, sering kali ada orang yang tiba-tiba berteriak-teriak dalam hati. Itulah sebabnya, dengan kemampuanku sebagai seorang telepatis—yang justru merepotkan—tempat ini adalah lokasi paling ideal bagiku. Dan sekarang, di lantai dua gedung lama, di kelas ketiga setelah belokan tangga, aku duduk di deretan tengah dekat jendela sambil memakan sisa rotiku dengan pelan.

Sudah beberapa lama sejak aku menemukan tempat persembunyian ini, dan sejauh ini, posisi itu adalah yang terbaik. Meski kusebut sebagai gedung yang "tersisih" karena adanya gedung baru, kenyataannya sinar matahari di sini masih cukup bagus.

Tempat yang cocok sekali untuk berjemur dengan santai. Pasti para pendahulu yang pernah duduk di kursi ini juga mengincar hangatnya sinar matahari yang menenangkan, sampai-sampai terjadi "perang kursi" untuk mendapatkannya.

Ya, itu hanya dugaanku saja sih. Karena sebagai telepatis yang bahkan tidak pandai mengendalikan kemampuannya, aku jelas tidak mungkin bisa membaca "ingatan yang tertinggal" pada benda mati seperti kursi.

Aku menghabiskan roti kare yang kubawa. Meski hanya roti manis murahan yang dijual di pasaran, nyatanya rasanya tidak bisa diremehkan. Kombinasi rasa gurih dengan bumbu rempah pilihan yang memenuhi lidah, berpadu dengan tekstur kulit roti yang renyah, terasa seperti hasil kerja keras para pengembangnya. Hanya dengan membayangkannya saja, aku hampir meneteskan air mata haru.…Atau jangan-jangan, air mataku keluar karena kepedasan? Apa-apaan ini, pedas sekali! Rasanya terlalu menyengat!

Sambil hampir menangis, aku menoleh pada bungkus roti kare itu. Ternyata bukan produk biasa yang sering kubeli, melainkan versi "super pedas".

Kenapa sih sampai ada produk aneh seperti ini? Dan kenapa pula dijual di kantin sekolah!? Parahnya lagi, hari ini aku tidak membawa minuman apa pun yang bisa meredakan pedasnya.

Akhirnya, aku pun buru-buru berlari ke arah keran air di luar kelas. Air di keran gedung sekolah lama ini semuanya terasa seperti berbau klorin dan tidak enak. Selain itu, tekanan airnya juga agak terlalu kuat. Karena itu aku sebenarnya tidak begitu suka, tapi demi menghilangkan rasa sakit ini, aku tak punya pilihan lain.

Aku memutar keran, lalu berkumur dengan rakus. Setelah sekitar beberapa puluh detik menahan rasa klorin di lidah, barulah rasa sakit itu mereda. Sepertinya aku tidak akan makan roti kari lagi untuk beberapa minggu ke depan...

Sambil mengusap mulut dengan tangan, aku tanpa tujuan menatap keluar jendela yang terpasang di sisi tempat wastafel itu. Saat itulah aku menyadari ada sosok seseorang di luar sana. Aku sedikit mencondongkan tubuh dari arah bak cuci, menyipitkan mata, dan mulai bisa mengenali siapa itu.

"...Ugh, itu Kagura."

Kata ugh itu meluncur begitu saja dari mulutku, tapi memang benar, di sana berdiri sosok Kagura Rio sendiri. Ia bersandar pada sebuah pohon, seakan menunggu sesuatu, tubuhnya setengah tersembunyi dalam bayangan. Apa yang sedang dia lakukan?

Saat aku terus memperhatikannya, seorang laki-laki tiba-tiba berjalan menghampiri Kagura. Sambil melirik ke sekeliling dengan gelisah seolah takut dilihat orang, ia berhenti tepat di hadapan Kagura.

Aku langsung paham. Ini jelas-jelas situasi menuju pengakuan cinta.

Ya, kalau dipikir-pikir, dengan level kecantikan Kagura, hal seperti ini memang tidak aneh. Hanya saja, bukankah biasanya hal begini dilakukan setelah jam sekolah berakhir?

Sepertinya mereka tidak sekelas. Aku jadi heran, dengan perasaan seperti apa dia akan menjalani pelajaran siang nanti setelah ini.

Ya, meski itu bukan urusanku, tetap saja situasi pengakuan semacam ini membuatku cukup penasaran, jadi aku membuka sedikit jendela untuk menguping. Mungkin aku juga ingin tahu bagaimana reaksi Kagura—yang biasanya otaknya dipenuhi pikiran merah muda—saat menerima pernyataan cinta tulus seperti itu.

"K-Ka-Kagura-san... a-aku... aku sudah lama menyukaimu!"

Dengan sangat gugup, si laki-laki itu berhasil mengucapkan isi hatinya. Klasik sekali. Sungguh klasik. Tapi ya, dalam hal begini, sering kali memang yang terbaik adalah menyampaikan perasaan secara langsung.

Meskipun aku sendiri juga tidak benar-benar tahu.

Setelah mendengar ungkapan murni itu, wajah Kagura tampak sedikit berubah sesaat. Namun, pada akhirnya, itu hanya sekadar ilusi.

Karena ekspresi aslinya yang terlalu datar, sedikit saja pergeseran sudah terlihat seolah-olah sesuatu yang besar. Pada dasarnya wajahnya tetap tak tergoyahkan, dan kalimat yang keluar pun terdengar datar.

"Maaf."

Itu adalah jawaban yang sangat cepat. Begitu cepat, hingga terlihat jelas bahwa ia bahkan tidak butuh waktu untuk mempertimbangkan menerima atau menolak.

Si laki-laki itu terdiam dengan mulut terbuka, lalu setelah menelan kenyataan pahit itu, ia tersenyum lemah.

"Ya... aku juga sadar kok," katanya, lalu berjalan pergi dengan langkah gontai.

Ternyata sesingkat ini, ya. Aku tidak begitu paham soal urusan suka-tidak suka, tapi... yah, turut berduka cita saja. Aku salut dengan keberanian laki-laki itu.

『...Haa, lagi-lagi.』

Terdengar suara hati Kagura, diiringi sebuah helaan napas. Nada suaranya seolah-olah ia benar-benar bosan dengan semua ini. Ia baru saja menolak seorang laki-laki, tapi sama sekali tak ada rasa bersalah ataupun iba.

Ya, kalau dipikir lebih jauh, wajah Kagura memang benar-benar kelas atas. Bukan mustahil kalau pengakuan seperti ini sudah sering ia terima. Dengan seberapa besar orang-orang mengaguminya, tak aneh kalau hampir tiap minggu ada saja yang menyatakan cinta. Kalau begitu, wajar saja kalau ia bisa menolak seseorang dalam hitungan detik tanpa rasa apa pun.

...Itu dunia yang benar-benar asing bagiku. Aku sendiri lebih suka menjalani hidup sebagai orang biasa, jadi aku sama sekali tak punya niat masuk ke dunia semacam itu. Sementara aku bergumam dalam hati, Kagura kembali mengumbar isi pikirannya.

『Karena ini, waktu istirahatku jadi terbuang lagi. Aku tidak sempat baca kelanjutan "Panduan Rahasia Cinta Terlarang♡ Musim Birahi Si Kucing Genit — Edisi Sampingan."』

...Oh, ternyata maksudnya itu.

Tidak, maksudku—itu sungguh di luar dugaan. Tapi ya, memang begitulah dia. Itulah Kagura.

『Adegan waktu telinga si kucing berkedut saat dia mendorong pasangannya ke ranjang... harusnya dari situ langsung ke adegan utama, tapi aku keburu berhenti baca. Padahal adegan itu terus terngiang di kepalaku... rasanya seperti ditinggalkan di tengah permainan.』

Kamu sendiri yang berhenti, jadi jangan sebut itu permainan ditinggalkan!

Kasihan sekali laki-laki tadi. Bukan hanya pengakuannya ditolak mentah-mentah, tapi juga perasaan yang ia tujukan ternyata jatuh pada orang seperti ini!

『Selain itu, aku juga penasaran bagaimana ceritanya nanti akan berhubungan dengan Perang Malam antara Manusia dan Kucing di cerita utama. Katanya secara kronologis berada di volume 31, tapi bagaimana nanti sampai ke volume terbaru, volume 47...』

TLN : Kok jadi keinget pembahasan Rokujoma di GCWA yak

Astaga, panjang sekali seri itu! Padahal judulnya sudah terdengar seperti lelucon sejak awal. Apa mungkin aku saja yang tidak tahu, dan sebenarnya seri itu sudah mendapat penghargaan sastra bergengsi?

Bagaimana kalau ternyata itu pemenang Penghargaan Naoki tahun ini?

『Tapi ya... tetap saja rasanya tidak pantas kalau aku baca buku bergambar itu terang-terangan di kelas...』

Lucu juga, mendengar itu keluar dari mulut orang yang terkenal suka membaca novel erotis terang-terangan saat homeroom pagi.

Kalau begitu, sebenarnya seberapa ekstrem isi novel itu?

『Ah, benar juga. Kalau di toilet pasti bisa. Kalau sampai aku terlalu bergairah pun, di toilet aku bisa langsung me—』

Tidak! Aku tidak akan biarkan kau mengucapkannya! Barusan kau mau mengucapkan apa!?

Benar-benar, pola pikir orang ini... terlalu berlebihan. Ini bukan hal yang bisa kudengar santai.

...Haa. Mendengarkan hal-hal semacam ini terus benar-benar melelahkan. Mungkin lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini...

Tepat saat aku berpikir begitu—

──♪♪♪

Nada dering ceria berbunyi dari saku celanaku.

Di gedung sekolah lama yang hening ini, suara itu terdengar sangat keras. Biasanya aku tidak pernah mendapat pesan atau panggilan sama sekali. Tapi kenapa harus sekarang, di saat seperti ini...!?

"...?"

『...Ada orang di sana?』

Sosok Kagura terlihat menoleh ke sekeliling dengan tatapan penuh curiga. Aku buru-buru berjongkok untuk bersembunyi.

Nyaris saja ketahuan! Entah karena bangunan ini sudah tua atau bagaimana, suara langkah benar-benar mudah terdengar di sini.

Sambil merasa cemas, aku mengecek siapa pengirim pesan itu dengan sedikit jengkel.

【Minggu ini boleh aku main ke tempatmu?】

Pengirimnya adalah seorang kenalan lama. Aku mengalihkan pandangan dari riwayat obrolan yang tanpa basa-basi, lalu membalas singkat.

【Apa-apaan, aku sedang tidak bisa sekarang】

【Hah? Apa pantas memperlakukan satu-satunya temanmu dengan kasar begitu?】

【Bukan teman】

【Keluarga, kan ♡】

【Berisik】

【Kalau begitu aku datang yaー】

Aku segera menutup ponsel. Hanya kupasang reaksi ikon marah, lalu kubiarkan terbaca tanpa jawaban.

Menghadapi orang itu cukup sampai sebatas ini saja. Kalau coba ditanggapi serius, hanya akan menguras energi percuma. Bagaimanapun, orang itu tidak pernah mau mendengar apa yang kukatakan.

Kumasukkan lagi ponsel ke saku. Namun di saat itu juga, gelombang pikiran Kagura kembali merembes masuk padaku.

『Hah. Jangan-jangan…… selama ini aku selalu diperhatikan? Semua hal yang kulakukan di sekolah, baik itu begini maupun begitu, sebenarnya sudah ketahuan…… Lalu aku akan didesak dengan foto-foto itu sambil ditertawakan, "Ini kan Kagura-san?"』

Tiba-tiba muncul bayangan pria bertubuh kekar berotot dengan wajah termosaik yang mendekati Kagura.

Hei, di sekolah kita tidak ada lelaki segarang itu! Lagipula, jadi kau benar-benar melakukan hal-hal aneh yang kalau diungkit bisa jadi kayak adegan murahan di doujinshi begitu? Dari ucapan berbahayanya tadi juga, jangan-jangan orang ini lebih gila dari yang kukira.

Ja–jangan-jangan dia seorang exhibitionist……? Aku tidak mau tiba-tiba diwawancarai sebagai "siswa A" di berita nanti, terima kasih.

Sambil menekan pelipis, aku mengecek jam. Waktu istirahat hampir habis.……Baiklah, lebih baik aku kembali ke kelas. Tidak ada gunanya terus bersembunyi di sini.

Aku bergegas meninggalkan tempat itu. Namun lagi-lagi ponselku bergetar. Sambil terus melangkah cepat, aku membuka pesan itu.

【Oh iya, ngomong-ngomong. Si gadis cantik dan dingin yang waktu itu disebut Sumito. Celananya hitam loh!】

Pesan dari orang yang sama. Terkirim bersamaan dengan stiker beruang imut.

Isinya sungguh keterlaluan. Konyol sekali. Dari mana pula dia tahu soal pakaian dalamnya? Dia bahkan tidak sekelas dengan Kagura, apalagi punya hubungan langsung dengannya. Jadi, mustahil bisa memastikan hal seperti itu.

Ya, seharusnya aku bisa langsung menertawakannya.……Namun, masalahnya, pada dirinya memang mungkin saja. Bisa-bisa saja terjadi. Apalagi setelah terkontaminasi oleh khayalan mesum Kagura barusan, gambaran itu jadi muncul jelas sekali di benakku.

Apa jangan-jangan aku sudah mulai terinfeksi oleh aura merah mudanya? Dan… memang benar, orang itu sungguh tidak tahu malu.

Aku pun batuk keras-keras, lalu membalas singkat: 【Enyahlah】.

***

Kyuuk, kyuuk—suara lantai berderit terdengar nyaring. Karena bangunan ini sudah tua, setiap kali banyak orang berlari, lantainya ikut bergetar.

Pelajaran siang hari ini adalah olahraga. Saat ini, pertandingan basket sedang berlangsung dengan empat tim yang bergantian. Pertandingan pertama: tim dengan rompi fluoresen melawan tim tanpa tanda.

"Heiheihei!! Sini, sini, sini!"

Meski belum terbiasa, aku melemparkan bola ke arah suara berisik itu. Lemparanku melenceng sedikit ke kiri, lintasannya pun agak melambung. Tapi penerimanya berhasil menangkap dengan baik.

"Hup!"

Yang menerima adalah Masaki. Dengan tangkas ia langsung menggiring bola, melewati lawan dengan dribel yang mulus. Lalu menembak dengan gerakan yang mengalir indah. Suara span! terdengar, bola masuk sempurna ke ring. Rasanya pantas diberi efek suara semacam itu.

"Pertandingan selesai! Tim rompi menang!"

Peluit berbunyi, tanda hasil pertandingan ditetapkan.

"Yeeah! Buzzer beater, bro!"

"Jangan pamer jadi atlet gitu dong!"

"Oi, oi, mainmu terlalu individual, bagi-bagi bola juga lah〜"

Masaki hanya menyeringai kecil sambil menerima omelan penuh keakraban dari rekan-rekan setim. Padahal, dia bahkan bukan anggota klub basket. Namun aku pernah dengar dia mengalahkan senior dalam duel one-on-one. Bahkan kabarnya dia juga jago dalam sepak bola dan bisbol.

Sepertinya memang sejak awal dia adalah orang dengan bakat fisik luar biasa.

"Sumito, umpannya bagus tadi!"

"Ah, iya…"

Dia mengangkat tangannya seolah ingin tos denganku. Tapi sebelum aku sempat mengulurkan tangan, dia malah menggoyang-goyangkan tanganku begitu saja. Lalu lari lagi ke arah teman-temannya.

……Memang anak yang menyilaukan.

Karena giliran tim lain, sekarang kami dapat waktu istirahat sebentar. Aku pergi ke keran di luar untuk minum dan mengatur napas, lalu kembali ke dalam aula. Sesampainya di sana, kulihat ada kerumunan terbentuk.

"Apa yang mereka lakukan?"

Beberapa murid laki-laki berdesakan, seolah mengamati sesuatu dengan penuh perhatian.

Ingat, meski pelajaran olahraga dibagi antara laki-laki dan perempuan, tempatnya tetap berbagi. Saat ini, aula basket dipisah dengan jaring besar yang tergantung di langit-langit.

……Oh, aku paham. Dengan kata lain, kerumunan ini adalah sekelompok murid mesum yang ingin mengintip olahraga para siswi.

"Wah, gila ini…"

"Surga ternyata ada di sini…"

"Hari ini juga buahnya ranum sekali ya〜!"

Alih-alih disimpan dalam hati, komentar rendahan itu malah dilontarkan dengan lantang, membuat mereka semakin bersemangat. Pelajaran olahraga siswi rupanya juga basket.


Itulah sebabnya ada gerakan berlari dan melompat, dan bila melakukan gerakan seperti itu, tentu saja para lelaki monyet itu jadi sangat bersemangat. Betapa polosnya makhluk bernama laki-laki.

Tadi aku sempat merasa kasihan pada para pria karena kesucian mereka akan direnggut oleh Kagura, tapi ternyata otak mereka sama saja, penuh dengan pikiran merah muda.

"Wow, memang Kagura-san cantik sekali, ya."

"Berapa tinggi proporsinya, sih… lebih tinggi dari aku."

"Macam-macam juga, sih."

Yang paling menyita perhatian tentu saja adalah keberadaan Kagura. Dengan gerakan yang anggun, ia mengendalikan bola seolah sedang menari. Bahkan keringat yang berhamburan darinya berkilau seperti permata, benar-benar memancarkan aura seorang wanita cantik alami.

"Oh."

Tanpa sadar suara keluar dari mulutku. Kagura, dengan gerakan yang lincah, berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang.

"Kagura-san, bagus sekali~!"

"Seperti biasa, Kagu-chan memang luar biasa!"

Gadis-gadis di timnya bersorak dengan senyum penuh pujian. Para pria juga tampak sangat bersemangat. Namun di tengah semua itu, ekspresi Kagura sama sekali tidak berubah.

...Kalau dilihat begini, sulit dipercaya kalau tadi di sekolah dia sempat memikirkan sesuatu yang tidak baik. Dalam situasi seperti ini, orang bisa saja menduga bahwa dalam keseharian, seorang penjahat bisa saja berbaur tanpa terlihat mencurigakan.

"Rio-chan, bagus sekali~! Kamu hebat banget! Masuk klub basket, dong!"

Salah satu temannya... Sawari Mahiru, berlari menghampiri Kagura sambil menampilkan senyum lebar. Melihat interaksi itu, entah kenapa para pria kembali heboh.

"…Tidak, aku sebenarnya tidak begitu tertarik."

"Eh~ sayang sekali! Kalau Rio-chan masuk, pasti langsung jadi ace!"

Sawari dengan gerakan yang agak berlebihan tampak benar-benar menyesal. Tapi memang benar, Kagura sepertinya bisa bersinar di klub apa pun, bukan hanya basket. Tinggi badannya oke, kemampuan fisiknya bagus, penampilannya pun memikat. Tidak diragukan lagi, tiap klub olahraga pasti ingin merekrutnya. Kenapa dia malah memilih jadi anggota klub pulang sekolah, ya?

"Oi, Mahiru~!"

"Ah, iya aku ke sana! Rio-chan, tolong bantu lagi nanti ya~!"

Dipanggil oleh teman sekelasnya, Sawari pun melambaikan tangan sambil berkata "sampai jumpa" lalu meninggalkan Kagura.

Saat itu tiba-tiba ia melirik ke arah sini.

『Yonemine-kun sedang melihat… Kali ini aku pasti akan menunjukkan sesuatu yang hebat! Tidak boleh hanya Rio-chan yang mencuri momen indah! 』

Ia tampak membara dengan semangat juang. Sambil aku membayangkan sebuah skenario konyol: ia tiba-tiba berteriak "Wah, Sawari-san keren! Aku suka kamu! Pacaran sama aku!"

Entah kenapa, gadis itu pun otaknya agak aneh. Kalau dia terlalu

menonjol begitu, aku khawatir para pria akan iri dan dendam padanya.

Saat aku hampir kehilangan kata-kata karena ulahnya, ada satu orang lagi yang membuatku lebih terheran.

Kagura, sambil mengusap keringat, menatap punggung Sawari yang berjalan menjauh. Dengan mata sipit khasnya dan ekspresi dingin yang biasa, sekilas tampak seperti gerakan yang sarat makna. Kalau ini monolog dalam manga atau anime, pasti akan diisyaratkan sebagai awal pertarungan sengit. Namun dalam kenyataan, tentu saja hal itu tidak akan terjadi.

『Tapi memang ya, Sawari-san itu payudaranya besar. Rasanya ingin meremasnya dari belakang. 』

...Jangan-jangan sebenarnya dia ini jiwa seorang om-om?

Dalam pikiranku, tersimpan sosok tersangka Kagura yang menyeringai sambil menggerakkan tangannya ke depan seperti hendak meraba.

Dan membuat Sawari dalam imajinasinya mengeluarkan suara manja "ya~ng." Hentikan itu!

『Tadi waktu dia kipas-kipas pakai baju, ada beberapa momen 'mengintip'. Apa dia tidak sadar? Itu terlalu sensual. Kalau dengan aset seperti itu dia benar-benar masuk klub basket, kasihan lawannya. Meski sama-sama perempuan, hal seperti itu bisa bikin hati ikut 'tegang', kan. 』

Apa itu "hati tegang"? Jangan ciptakan konsep aneh-aneh. Kalau begitu, para gadis lain harus berbagi ruang ganti dengan orang seperti ini? Aku benar-benar berharap negara membuat hukum khusus untuk mengadili makhluk macam dia.

"Heh, ngelihatin apa, kau?"

"Aduh!"

Saat aku sedang menatap Kagura dengan pandangan dingin, tiba-tiba kepalaku ditepak dari belakang.

Cepat-cepat aku menoleh, dan ternyata di sana ada Masaki dengan botol minum di tangannya.

"Waduh, waduh. Sumito yang biasanya sok cool juga ternyata lemah kalau lihat cewek bergerak, ya?"

"Bukannya gitu."

Aku menjawab ketus pada ejekannya yang khas. Masaki lalu menggenggam jaring kasar lapangan basket dan melirik ke arah tim cewek. Kemudian dengan senyum nakal ia melirik ke arahku.

"Yah, pada akhirnya incarannya pasti salah satu dari Tiga Gadis Tercantik, kan?"

"…Hah? Apa itu?"

"Serius nggak tahu?

── Si Cantik Dingin: Kagura Rio

── Si Gadis Murni: Sawari Mahiru

── Mungkin Suka Sama Aku: Mitome Tsuyuha

...Itulah tiga gadis tercantik yang mewakili angkatan kita!"

Masaki mengacungkan jari satu per satu, menjelaskan dengan penuh keyakinan. Aku benar-benar tidak tahu soal itu. Apa-apaan sih itu. Nama julukan begitu pun aku tidak pernah dengar. Kurasa itu hanya kebiasaan anak lelaki yang suka berlebihan saja.

"…Haa."

"Kenapa muka kau kayak nggak minat banget gitu!"

"Memang aku nggak minat."

"Jangan bohong! Itu masalah abadi yang harus dikejar para lelaki, tahu!"

"Itu cuma nafsu birahi yang dikemas dengan kata-kata keren, kan."

Masaki menggelengkan kepala dengan wajah seolah benar-benar kecewa.

Jadi konsep itu seserius itu di kalangan mereka, ya? Aku hampir tidak pernah dengar. Mungkin karena aku juga tidak punya banyak teman, jadi jarang diajak bicara soal hal begitu.

"Kalau aku sih, tetap tim Mitome, deh."

"Siapa yang nanya. Lagi pula dia beda kelas."

Masaki berkata sambil menyilangkan tangan. Padahal setahuku, mereka tidak begitu banyak berhubungan. Klub pun berbeda.

"Iya, tapi pesonanya itu loh. Agak genit, suka mendekat tanpa sungkan, terus senyumnya nakal kayak setan kecil…"

Masaki bicara cepat, semangat sekali. Kupikir dia anak yang polos dan belum paham soal begituan, ternyata tidak juga. …Tapi dari tiga orang itu, pilihannya jatuh pada Mitome Tsuyuha, ya.

"...Hei, jangan sampai nanti kamu terjebak sama cewek yang aneh."

Aku berkata begitu sambil menepuk keningnya. Masaki langsung menjatuhkan botol minum dan protes keras sambil manyun.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close