NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kokou no Denpa Bishoujo To Koi de Tsunagattara Giga Omoi Volume 1 Chapter 4 - Chapter 7

Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Join juga server discord Hinagizawa Groups x Fanservice dan leveling disana untuk dapat pdf  light novel ini

Linkya: https://discord.gg/TVhNrDa9sk


Chapter 4

Laut, Baju Renang, dan Pasangan Aneh


"Kalau melihat gejalanya, nama penyakitnya adalah gangguan koma kronis."


"Jadi kamu memang tahu soal itu, Keiji."


"Ya," jawab Keiji dengan mudah sambil mengangguk.


Memang pantas, mengingat dia adalah anak seorang dokter. Dalam hal seperti ini, dia benar-benar bisa diandalkan sebagai sumber informasi. Aku diam-diam jadi menilainya lebih tinggi.


"Aku kenal seseorang yang menderita penyakit yang sama. Ngomong-ngomong, katanya penyakit ini akan termasuk dalam daftar penyakit yang akan ditanggung oleh asuransi medis lanjutan. Padahal belum ada metode pengobatan yang efektif juga. Entah itu benar atau tidak. Yah, bisa dibilang ini bukan penyakit yang wajar."


Aku tidak terlalu paham soal sistem asuransi medis lanjutan itu, tapi Keiji berbicara dengan ekspresi serius yang tidak biasa. Entah yang dia maksud dengan "tidak wajar" itu merujuk pada asuransinya, atau pada penyakitnya.


Senin siang, hari terakhir sebelum upacara penutupan sekolah. Di tengah kegaduhan kelas yang bisa diberi slogan “Suasana Gembira Menyambut Liburan Musim Panas”, kami bertiga seperti biasa menyantap roti sambil ngobrol. Sambil Keiji menuduh, “Kenapa kamu diam saja padahal pengakuan cintamu berhasil, hah?” dan Masaomi balik memprotes, “Kenapa kamu seperti membuntuti kencan kita diam-diam, hah?”, kami saling beradu argumen. Tanpa menyebut subjek dan nama penyakitnya secara langsung, aku menjelaskan gejala yang dialami oleh Hibari—dan hasilnya adalah tanggapan Keiji tadi.


"Meski begitu, ternyata Sasuga punya penyakit seperti itu, ya. Kalau sudah diberi tahu hasil tesnya, yah, aku bisa menerima. Tapi wajar juga sih kalau orang-orang salah paham, soalnya dia pasti nggak akan repot-repot jelasin itu ke semua orang. Sekilas kelihatannya kayak orang yang suka mengarang cerita. Jadi nggak heran kalau dia tampak seperti menolak siapa pun dan seakan memancarkan sinyal aneh."


Keiji memang cepat menangkap pembicaraan, baik soal roti maupun topik yang dibicarakan. Berbeda dengan Masaomi yang masih terkejut saat tahu soal penyakit Hibari, Keiji seperti sudah tahu sebelumnya dan langsung bisa memahami situasinya. Melihat dia memahami segalanya tanpa kebingungan sedikit pun, Masaomi sampai merasa sedikit iri.


"Aku nggak pernah bilang siapa orangnya, kan? Aku cuma menyampaikan cerita yang aku dengar."


"Kalau ini cerita tentang orang lain di tengah percakapan seperti ini, justru aku bakal mempertanyakan kewarasanmu. Tapi, yah, ini soal privasi juga. Tenang aja, aku nggak akan menyebarkannya. Toh aku juga nggak dapat untung apa-apa dari itu."


Keiji, seperti biasa, menunjukkan ketajaman instingnya dan mengakhiri pembicaraan. Meski aku percaya padanya, tetap saja ada rasa khawatir kalau-kalau dia akan menyebarkannya jika ada keuntungan yang bisa dia peroleh. Itulah Keiji si brengsek sejati—dan aku langsung menarik kembali penilaianku tadi.


"Lalu kenapa, tanpa alasan yang jelas, kamu jadi mengawasi aku dan Hibari saat berkencan?"


"Hah? Jelaslah karena itu kelihatan seru."


Masaomi sempat berpikir ingin menghajarnya. Bahkan sebagian tubuhnya sudah condong ke depan, tinggal satu dorongan lagi dia akan melompati meja dan mencekik dada Keiji. Wajahnya yang menyeringai itu benar-benar cocok jadi samsak tinju. Masaomi bahkan sempat berpikir untuk melelang wajahnya itu di situs lelang online.


"Harusnya kau sadar! Karena bantuanku, kamu yang awalnya begitu membenci pengakuan cinta akhirnya bisa mewujudkannya. Sekarang kamu punya pacar dan akan menjalani liburan musim panas yang super panas dan penuh cinta! Itu masa depan yang luar biasa, tahu?! Kamu harusnya sujud dan mengucapkan terima kasih, bukan malah menatapku dengan wajah serius seperti itu!"


Keiji membuka tangan lebar-lebar seperti sedang bermain peran di atas panggung sambil berpidato. Jelas dia melakukan itu dengan sengaja untuk memancing Masaomi, dan efeknya memang luar biasa—benar-benar menyebalkan.Melihat warna rambut dalam rambutnya yang berayun seperti kunang-kunang membuat Masaomi bertekad dalam hati untuk suatu saat mencukur habis rambut gondrong itu.


"Padahal kamu pintar, tapi bodohnya luar biasa, Keiji. Karena kamu pakai lengan panjang di musim panas, otakmu mungkin sudah mendidih. Dengar, soal aku dan Hibari pacaran itu satu hal, dan kamu mengawasi kami itu masalah lain!"


"Kalau dari awal kamu cerita terus terang, ini nggak akan jadi masalah, kan?"


"Kenapa aku harus cerita terus terang?"


"Karena sudah jadi kewajiban kamu untuk melapor perkembangan ke sang Cupid. Kamu bahkan dapat informasi soal penyakit Sasuga dari aku, dan rasa ingin tahuku juga terpenuhi. Jadi kita sudah saling untung, kan? Apa lagi yang kamu keluhkan?"


Wajah polosnya seakan benar-benar tidak paham—dan itu malah makin membuat kesal.


"Jangan ikut campur urusan yang nggak perlu! Terlepas dari bagaimana kami mulai pacaran, ke depannya ini sudah jadi urusan kami berdua. Orang luar jangan ikut campur. Jangan merasa paling tahu!"


Masaomi berkata dengan nada keras dan penuh amarah. Mungkin dia terlalu terbawa suasana. Suasana kelas mulai gaduh. Di kelas, Masaomi biasanya seperti latar belakang yang tidak menonjol. Tapi sekarang dia menunjukkan sikap tajam dan tegas, dan jika lawan bicaranya adalah Keiji, suasana jadi makin memanas.


"Aneh juga kamu, biasanya cuma kayak protein hambar gitu, kok sekarang jadi panas begitu. Padahal soal Sasuga bukan hal baru lagi buat kamu."


Keiji mengklik lidahnya dengan kesal. Dia adalah orang yang tidak suka menarik perhatian. Dan makin banyak mata yang memperhatikan, ekspresi tak nyaman di wajahnya makin terlihat jelas. Tapi Masaomi tidak berniat untuk menurunkan senjatanya. Ini bukan hanya soal dirinya—ini juga menyangkut ketenangan Hibari. Dia tidak bisa menerima jika mereka harus terus diawasi.


Suasana memanas dan hampir mencapai titik ledak—namun…


"Tenang dulu kalian berdua. Mungkin kalian cuma salah paham soal inti pembicaraan."


Suara tak terduga yang datang dari Kasuka, yang selama ini hanya tersenyum tenang seperti biasanya, mendadak memecah ketegangan.


"Salah paham?"


"Soal inti pembicaraan?"


"Ya. Mungkin Keiji salah paham. Tapi Masaomi juga salah paham karena mengira Keiji nggak salah paham."


"...Kasuka, coba kamu rapikan dulu penjelasanmu. Jadi maksudmu aku salah paham soal apa?"


Masih dengan senyum polosnya, Kasuka menunjuk Masaomi dengan tegas dan berkata:


"Soalnya, Masaomi itu… sejak awal memang sudah serius, tahu?"


Krak.


Seakan ada bunyi retakan yang terdengar. Entah itu retakan dari kesalahpahaman keras kepala Keiji, atau dari rasa malu Masaomi yang begitu dangkal.


"Ah... ah... baiklah, jadi begitu maksudnya. Ternyata Masaomi-san benar-benar serius, ya."


"Ah... yah, begitu. Itu memang bagian yang belum selesai."


“Jangan bertengkar, ya~,” kata Kasuka sambil tertawa senang, berbanding terbalik dengan ucapannya.


Keduanya perlahan menyingkirkan emosi negatif mereka dan menunjukkan sikap yang bisa menerima. Ucapan Kasuka seperti satu anak panah yang menembus balok es.


Keiji yang masih menganggap ini sebagai permainan hukuman, tidak mengerti kenapa Masaomi sampai seserius itu. Sebaliknya, Masaomi yang berada dalam mode serius, tidak mengerti kenapa Keiji terus bercanda. Jalur yang tak pernah bertemu. Bertengkar itu tidak baik, kan? Menyedihkan, lho? Ayo akur lagi~

Handuk penentu pertandingan yang dilemparkan Kasuka berhasil dengan tepat menunjukkan kesalahpahaman masing-masing pihak. Adalah hal yang wajar kalau keduanya memiliki perbedaan sudut pandang. Keiji masih menganggap Masaomi sebagai badut di panggung, sementara Masaomi sudah melepas peran badutnya dan benar-benar terlibat dalam hubungannya dengan Hibari di luar panggung.


Keiji yang tidak menyadari perubahan posisi itu, dan Masaomi yang tidak menjelaskannya, sama-sama bersalah karena kurang komunikasi.


"...Kau, Kasuka, bisa juga ternyata."


"...Benar juga. Padahal Kasuka, ya Kasuka."


"Ehhehe~ puji aku, puji aku~," ujar Kasuka sambil membusungkan dada dengan bangga.


Makhluk kecil yang tampak polos dan kekanak-kanakan ini kadang mengatakan hal-hal yang bijak, membuatnya tak bisa diremehkan. Karena terlalu senang, dia mulai berputar-putar dengan satu kaki seperti balerina, membuat roknya berkibar. Masaomi dan Keiji pun buru-buru menegur karena terlalu terbuka—sebuah adegan yang khas dan menggemaskan.


Kalau dipikir-pikir, yang selalu meredakan ketegangan antara Keiji yang berwatak keras dan mudah naik darah serta Masaomi yang tampak tenang namun keras kepala di saat-saat penting, adalah Kasuka. Bahwa kelompok kecil mereka tetap seimbang selama hampir setahun ini tidak lepas dari ucapan-ucapan sepele Kasuka yang selalu tepat sasaran. Senyumnya begitu cerah seolah diiringi efek suara “ting~”, dan sambil hanya mengangguk dengan tatapan mata,


"Kalau memang begitu, ya sudah. Soal aku mengawasi dan membocorkan informasi, memang aku sudah keterlaluan. Tapi siapa sangka Yunyun itu benar-benar bisa membuatmu jatuh cinta. Selera yang unik, ya."


"Kalau memang tidak niat minta maaf, bilang saja. Kali ini benar-benar akan ku pukul. ...Yah, aku juga minta maaf. Begitulah keadaannya sekarang. Meskipun awalnya seperti main-main, nyatanya sekarang aku benar-benar serius. Kalau nanti aku perlu bantuan atau ingin konsultasi, aku akan cerita, jadi tolong bantu, ya."


Setelah potensi pertikaian mereda, yang tersisa adalah jabat tangan khas antara dua sahabat karib. Tanpa disadari, perhatian kelas pun sudah mereda ke tingkat “penglihatan pinggir mata.” Tak ada yang lagi mendengarkan percakapan para figuran ini. Semuanya kembali seperti biasa.


"Baiklah. Toh aku memang benar-benar tertarik. Ini bisa jadi contoh kasus yang bagus juga. Dan soal dunia spiritual atau... astral side itu, ya? Jelaskan lebih lanjut, siapa tahu bisa cocok dengan kondisi kenalanku. Mungkin bisa ketemu metode pengobatan yang pas. Tentu saja, aku tidak akan minta gratis. Nih, aku kasih ini."


Keiji mengeluarkan dua lembar tiket lusuh dari sakunya, seolah-olah sedang menunjukkan barang istimewa. Masaomi menerimanya. Di depan tiket itu, terlihat gambar pantai dengan pria dan wanita berbaju renang yang agak buram sedang bermain-main. Di atasnya tertulis besar-besar dalam font mencolok:


"Undangan Pre-Opening Pantai Kastil Bay!!!"


Terdapat empat tanda seru, menunjukkan betapa seriusnya promosi ini. Ketika dibalik:


Satu tiket berlaku untuk satu orang.

Satu porsi yakisoba gratis di kedai "Soleil".

Sewa pelampung dan perahu karet mendapat diskon.

Bawa baju renang sendiri.

Bawa pulang sampah masing-masing.

Minum alkohol mulai usia 20 tahun.

Ciuman mulai usia 18 tahun.

Hal lainnya, lakukan di rumah.


—Terlalu banyak informasi.


Masaomi reflek menanggapi dalam hati. Bagian akhir itu benar-benar terlalu ikut campur.


"Katanya Ayahku dapat dari kenalannya. Tiket ini banyak disebar, jadi mungkin tidak terasa seperti pantai pribadi, tapi setidaknya pasti lebih sepi dari pantai umum. Mumpung liburan musim panas, pergilah. Lihatlah sisi berani dari Sasuga yang tak pernah kamu lihat!"


"Karaktermu berubah. Jangan lupakan kamu itu tipe orang serius. ...Yah, akan kuambil tiket ini."


Masaomi juga lelaki. Melihat Hibari dalam pakaian renang… tentu saja sangat menarik.


"Jadi nanti sekalian saat lihat-lihat baju renang, kumpulkan juga info tentang dunia misterius Sasuga, ya."


"Belum tentu dia mau ikut, tahu. Hibari itu bukan kelinci percobaan. Dan kamu itu, selalu saja memprioritaskan tujuanmu sendiri tanpa peduli apa pun."


Selain itu, pikir Masaomi, ada rasa tak nyaman yang masih tertinggal.

Meski kesimpulannya sama, prosesnya terasa berbeda—ada ketidaksesuaian yang sulit dijelaskan. Keiji melihat Masaomi dengan tatapan seperti karakter saingan dalam drama penuh semangat, lalu berkata:


"Sasuga itu pacarmu, bukan pacarku. Wajar dong aku lebih mementingkan kenalanku. Tapi kalau ternyata informasi itu bisa berguna untuk pengobatan Sasuga, tentu aku akan bantu. Bahkan bisa kuperkenalkan ke Ayahku. Lagipula, kamu sendiri lebih suka pacar cantik biasa daripada pacar cantik yang aneh dan penuh sinyal, kan?"


Masaomi tidak langsung menjawab. Dia mengerti maksud Keiji, tapi cara bicaranya justru menimbulkan penolakan kuat dalam hati. Akibatnya, rasa tidak nyaman yang tadi sempat terlintas malah hilang dari pikirannya.


"Ah~ tapi Masaomi ya… akhirnya kamu begini juga. Jadi tinggal aku sendiri yang menyanyikan lagu musim panas."


"Padahal kamu juga jarang liburan, kan. Siapa sih yang terus-terusan bilang ‘sibuk, sibuk’ kayak radio rusak? Kalau merasa kesepian, ajak Kasuka jalan-jalan aja."


"Mau main~? Mau ke mana~? Lihat bendungan, yuk~? Ayo kita bertiga~ Pasti seru~!"


"Kenapa bendungan…? Kalau ke sana kamu pasti jatuh. Itu sudah kayak pertanda kematian."


"Iya ya~"


Masaomi bingung harus merespons seperti apa. Jujur saja, tidak heran kalau dia sudah jatuh dua atau tiga kali.


"Yah, kalau soal bendungan, nanti lihat situasi aja. Tapi sesekali beri laporan perkembangan, ya, Masaomi... Oops, waktunya hampir habis. Kasuka, bentar, bisa ke sini sebentar?"


"Apa-apa~? Jadi kamu mau ke bendungan juga~?"


Obrolan pun berakhir seperti sudah dijadwalkan.


Keiji melambaikan tangan dengan malas dan kembali ke tempat duduknya sambil memberi isyarat pada Kasuka untuk mendekat. Sementara itu, Kasuka melamun memikirkan bendungan dan menabrak meja teman sekelas, dan Masaomi hanya menatap punggung mereka dengan tatapan kosong. Sambil mengulang-ulang percakapan tadi di dalam kepalanya.


—Penyakit Hibari, bisa disembuhkan.


Ia menelan perasaan yang hendak ia lontarkan, merasakannya mengalir turun melalui tenggorokan hingga ke inti tubuhnya.


—Pacar biasa, ya...


Jadi, yang dimaksud adalah Sasuga Hibari tanpa dunia astralnya.

Kalau Masaomi bertemu dengan Hibari yang seperti itu...

Apakah ia masih akan jatuh cinta padanya seperti sekarang?


"Heh, Kasuka. Jadi Masaomi sekarang punya pacar, ya. Menurutmu gimana?"


Dengan nada seperti biasa dan wajah tanpa ekspresi, Keiji melontarkan pertanyaan itu kepada Kasuka, yang berjalan mengikuti di belakang sambil menatap punggung Masaomi yang tampak tengah memikirkan hal rumit.


"Hmm? Gimana ya? Kalau Masaomi senang, ya bagus saja, menurutku. Kalau kamu sendiri, Keiji?"


"Yah, bisa dibilang sesuai rencana."


Keiji tak menyangkal bahwa ia memang mendorong terjadinya hal itu dengan sedikit unsur hiburan, tapi kalau akhirnya berjalan dengan baik, maka tak ada salahnya. Siapa tahu dia juga bisa melihat wajah konyol sahabatnya yang sedang jatuh cinta.


"Jadi, Keiji turun tangan demi Masaomi, ya. Hebat juga, Keiji."


"Yah, bisa dibilang begitu. Tapi kau tahu, Kasuka… Mungkin kau belum menyadari, tapi kalau Masaomi sekarang sudah punya pacar, artinya waktu yang dia habiskan bersama kita pasti bakal berkurang."


Kasuka membelalakkan mata seperti baru saja dijebak dalam acara kejutan. Mengingat sifatnya, memang agak diragukan apakah ia benar-benar memahami arti dari seorang siswa laki-laki SMA yang kini memiliki pacar. Dan benar saja, reaksinya membuktikannya.


"Begitu, ya… Hmm, ya juga… itu mungkin agak menyedihkan."


Suaranya terdengar lirih, lebih lirih daripada biasanya, dengan ekspresi sedih dan resah yang jarang terlihat dari Kasuka.


"Yah, kalau dibilang ini hal biasa bagi anak SMA, ya begitulah. Mungkin saja nanti kita bertiga nggak sempat pergi bareng ke bendungan lagi. Tapi kalau Masaomi memang benar-benar bahagia dengan hubungan barunya, ya meskipun dia jadi suka pamer, sebagai teman kita harus ikut senang juga."


"Tapi… kita tetap di kelas yang sama, kok. Masih bisa ketemu setiap hari. Meskipun… ke bendungan mungkin memang jadi sulit."


"Kalau kamu lihat gimana dia naksir berat, kamu pasti ngerti. Wajahnya tuh kayak, 'pacarku adalah prioritas utama.' Kalau dia punya waktu luang, yang dia pikirin ya pasti Sasuga. ——Ah, maaf, maaf. Bukan maksudku bikin kamu makin khawatir. Bisa jadi begitu, bisa juga nggak."


Saat Kasuka akhirnya menundukkan kepala, Keiji buru-buru mencoba meredakan suasana. Meski dia orang yang keras dan suka bersikap ketus, kalau sampai membuat seorang cewek menangis di siang bolong seperti ini, reputasinya di kelas akan benar-benar hancur. Itu jelas bukan hal yang dia inginkan.


"Eh, Keiji… Kamu sendiri nggak mau punya pacar?"


"Hah? Kenapa aku harus punya?"


Keiji sempat bingung dengan pertanyaan tak terduga itu. Padahal tadi Kasuka terlihat sedih, tapi kini tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatnya kewalahan.


"Soalnya… kalau Keiji juga punya pacar, kita bertiga benar-benar nggak bisa main bareng lagi. Mungkin nggak bisa bertiga lagi…"


"Hahaha, kamu ini Kasuka… kayak gadis pemalu aja——"


"Kalau begitu, gimana kalau kamu pacaran denganku? Aku sih nggak keberatan kalau Keiji yang jadi pacarku. Tapi tolong, bersikaplah sangat lembut padaku."


Kalimat itu terlontar dari Kasuka dengan tatapan mata yang sangat jujur dan tulus, sampai-sampai Keiji pun jadi canggung. Kalau saja suara Kasuka tidak sekecil itu, mungkin seluruh kelas sudah memperhatikan mereka.


"...Maaf. Sepertinya aku sudah membuatmu terlalu sedih. Jangan pasang wajah serius seperti itu. Dan satu hal lagi, jangan pernah ucapkan kalimat seperti tadi ke orang lain selain aku atau Masaomi. Kami bisa menertawakannya, tapi di luar sana ada banyak orang yang nggak akan segampang itu. Bahkan ada orang-orang jahat yang bisa memanfaatkanmu."


Nyatanya, Kasuka sendiri mungkin tidak tahu, tapi dia cukup populer. Memang banyak yang menganggapnya seperti boneka lucu, tapi juga tak sedikit yang membicarakan hal vulgar di balik wajah polos dan tubuhnya yang menarik. Ada yang bilang ingin 'menaklukkan' dia karena dia terlihat polos dan mudah diatur.


"Baik. Kalau Keiji bilang begitu, aku nggak akan ngomong kayak tadi lagi."


Keiji sendiri sebenarnya yang memulai, tapi jawaban Kasuka yang langsung begitu cepat justru membuat Keiji tak bisa mengikuti irama percakapan. Meskipun agak berbahaya, itu tetap bagian dari keunikan Kasuka.


"Kenapa bisa tiba-tiba muncul ide pacaran denganku?"


"Soalnya… kalau begitu, kita bisa tetap berempat main bareng, termasuk Sasuga-san juga. Kalau dibagi dua-dua, rasanya pas. Soalnya… kalau dibiarkan begini, aku takut kamu juga bakal pergi jauh entah ke mana, Keiji."


Keiji menghela napas pelan dan melepaskan sedikit ketegangan dari bahunya, lalu menepuk kening Kasuka dengan jari telunjuk.

Saat Kasuka protes, "Ih, apaan sih~", Keiji mengabaikannya.


"Jangan khawatir. Saat ini aku belum kepikiran ke arah sana… Aku ini orang tipe serius, tahu? Pacaran atau semacamnya, belum pernah terpikirkan sama sekali."


"Oh, begitu… aku agak lega. Tapi sebenarnya aku pengin Keiji juga bahagia, bukan cuma Masaomi. Kalau kita bisa tetap bertiga seperti dulu, aku bahkan mau bantu kamu sebisa mungkin. Meski aku nggak tahu apa aku bisa."


Keiji kini benar-benar tak sanggup menatap mata Kasuka yang jernih dan polos itu. Dia pun memalingkan wajah.


"──Yah, kalau begitu… mungkin aku bisa bantu sedikit juga. Soalnya, dengan kondisi Masaomi sekarang, dia pasti nggak bakal bisa ambil keputusan sendiri. Anggap saja ini semacam jimat keberuntungan… meskipun nanti kamu lupa, nggak apa-apa. Dengar baik-baik, ya."


Sementara Kasuka memiringkan kepalanya heran, Keiji mulai merangkai kata-katanya. Menanam benih ke masa depan—masa depan yang belum tentu datang, masa depan yang hanya bisa terjadi secara kebetulan.


"Jadi itu ceritanya semacam jimat keberuntungan? Hmm, aku kurang begitu mengerti, tapi itu 'kan demi Masaomi dan Keiji, bukan? Kalau begitu, aku nggak akan melupakannya. Kalau suatu saat hal itu benar-benar terjadi, aku akan memastikan untuk tidak melupakannya."


── Kiiin, koon, kaan, koon.


(Dentang lonceng sekolah berbunyi.)


"Itu sudah kuduga. ——Kau memang Kasuka, kan."


Bisikan terakhir Keiji itu tenggelam oleh suara lonceng dan tak sampai ke telinga Kasuka.


Masaomi jatuh tersungkur di atas pasir.


Liburan musim panas—di bawah terik matahari yang bersinar cemerlang seolah sedang memamerkan deretan gigi putihnya dalam tawa penuh kemenangan.


Hari terakhir bulan Juli. Di tengah musim panas. Di bawah langit yang membara. Pantai berpasir yang menyengat. Kulit cokelat keemasan. Keringat yang memercik. Ombak yang datang dan pergi. Hawa panas, hawa panas, dan hawa panas lagi. Dan—pemandangan penuh warna dari berbagai macam pakaian renang yang memenuhi penglihatan.


Sedikit ramai, sedikit bising, sedikit meriah—pemandangan sempurna dari liburan pantai yang telah lama dinanti. Dengan semua elemen kemenangan terkumpul begini, betapa menyedihkan sosok yang kini berlutut dan menundukkan kepala. Apa yang membuatnya begitu terpuruk? Penyebabnya tak lain adalah gadis yang saat ini tengah "tertidur pulas" di sampingnya.


Sudah bisa ditebak, dia adalah Sasuga Hibari. Pacar Masaomi. Super cantik. Berkulit putih, bertubuh langsing, dengan tangan dan kaki yang jenjang. Masaomi berhasil mengajak Hibari ke pantai dengan memanfaatkan tiket undangan yang didapat dari Keiji. Rencana berjalan lancar—itu bagus.


Cuaca cerah seperti yang diharapkan. Naik kereta dengan hati riang menuju pantai—itu pun bagus.


Bermodalkan pengetahuan dari majalah liburan yang dibaca semalaman, mereka menyewa payung pantai dan ranjang santai, mendirikannya sambil tertawa-tawa—juga bagus. Begitu duduk, Hibari langsung tidur—itu... yah, masih bisa diterima. Masalahnya ada pada penampilan tidur Hibari.


“Kenapa… kenapa dia pakai perlengkapan lengkap begitu? Dia anti buka-bukaan? Mati aja, dewa. Mati aja, Goddammit.”


Tak heran kalau ia sampai mengutuk Dewa. Kencan di pantai, bersama pacar, harusnya berarti event pakaian renang. Masaomi sendiri telah membeli celana renang mencolok bergaya tropis secara dadakan. 


Meski bekas luka akibat tugas “Guardian” yang mulai bermunculan di sekujur tubuhnya tak bisa disembunyikan, ia tetap nekat datang ke pantai. Bahkan harus mengorbankan uang untuk pakaian, ikat rambut, dan es krim. Pengeluaran sebelum kencan yang membuat air matanya nyaris mengering. Namun Hibari mengenakan rash guard berlengan panjang dan celana selutut dengan dalih "tak mau terbakar matahari". 


Hanya bagian pergelangan kaki sampai tulang kering yang memperlihatkan kulit seputih salju, yang mana bahkan seragam sekolah pun masih lebih memperlihatkan kulit. Masaomi, yang sempat begitu bersemangat, kini hanya bisa menangis dalam hati atas kekejaman ini.


Sudah lima belas menit sejak Hibari terlelap. Biasanya, dia sudah bangun di waktu seperti ini. Lima belas menit yang terasa seperti duduk di atas wajan panas. Seandainya Hibari tidur sambil mengenakan pakaian renang, mungkin lima belas menit ini akan jadi berkah dalam hidup Masaomi—bahkan pantas diberi plakat peringatan berlapis emas.


“Gak mungkin aku tinggal dia buat nyebur ke laut... apalagi buat ke toilet...”


Air mata darah tak cukup membasahi pantai kering ini. Maka seperti biasa, ia membuka aplikasi berita. Ada rasa bersalah karena tetap menatap layar ponsel meski sedang di pantai, tapi tak ada pilihan lain. Dan seperti biasanya, di saat seperti ini tak ada berita menarik. Kasus yang terjadi di dekat rumah pun tak ada perkembangan. Mungkin sudah mulai reda. Meski kabar itu menenangkan, ada juga rasa bosan. Artikel “Bidik Hati Pacar dengan Bikini Seksi!” pun ia geser dengan kesal.


Saat sedang mengetuk layar, akhirnya terdengar suara mengantuk dari sebelahnya.


“Selamat pagi, Hibari. Panas begini pun kamu bisa tidur pulas, ya?”


“...Selamat pagi. Bagiku, tidur seperti ini justru lebih mudah daripada benar-benar tidur biasa.”


Hibari menjawab dengan mata mengerjap pelan, lalu mengibaskan kepala seolah mengusir kantuk.


“...Meski begitu, tetap saja nggak bisa menghindari keringat tidur.”


Sambil berkata begitu, ia mengambil dua ikat rambut dari lengannya dan mengikat rambut panjangnya ke samping kiri dan kanan secara sembarangan. Dua ekor kuncir longgar yang menjuntai ke dada, dan gerakan saat ia menyeka tengkuk dengan handuk terlihat begitu memesona.


“Aku harus jadi lebih kuat lagi.”


Masaomi, yang tadi sempat tenggelam dalam kesedihan, kini terdiam memandangi tengkuk Hibari yang menawan.


“...Apa? Kulitmu?”


“Bukan,” jawab Hibari sambil melotot lembap.


“Meski aku sudah berhasil menghadapi dalang dari para pemimpin Selfie—tapi tetap saja aku tidak bisa menahannya dan dia berhasil kabur. ‘Wind’... namanya memang angin, dan cara dia kabur pun secepat angin. Sejauh yang bisa kulihat, sepertinya dia tidak punya Guardian, tapi dia sendiri sudah cukup berbahaya.”


“Oh, jadi ini soal Astral Side, ya. Kalau bisa kalahin dia, masalah selesai?”


Sejak mereka pacaran, Hibari tak pernah menyembunyikan bahwa dia memprioritaskan Astral Side ketimbang Masaomi. Mau tak mau, Masaomi pun jadi mendengar berbagai cerita tentang dunia itu setelah Hibari bangun dari “dive”. Sekarang dia sudah cukup memahami seluk-beluknya. Meski begitu, tetap ada batas antara "tahu" dan "terlibat langsung", jadi sejauh ini ia masih menganggap semuanya seperti menonton dari pinggir lapangan—atau bisa dibilang, semacam rasa ingin tahu ala gamer.


Kata Hibari, ada bos besar di antara para Selfie. Ia merupakan veteran Astral Side yang telah hidup lama di sana dan berperan sebagai perekrut para diver nakal, menyatukan mereka menjadi geng, dan selalu menghalangi para Meshian, sang penyelamat. Sejenis raja iblis klasik, katanya.


Tampaknya dalam dunia para Astral Diver pun ada tingkatan kekuatan, umumnya ditentukan oleh durasi dive yang bisa mereka lakukan secara terus-menerus. Julukan Hibari sendiri adalah "Empat Cahaya Langit, Peringkat Ketiga", jadi bisa dibilang dia termasuk gamer elit. Masaomi pun cukup paham bahwa mereka yang kuat pasti jadi pemimpin, dan saat ini musuh utama Hibari adalah karakter kuat bernama "Wind"—sumber sakit kepala yang sedang dihadapi.


"Setidaknya, kekacauan besar yang sedang terjadi di wilayah ini akan mereda. Kalau 'Wind' berhasil dikalahkan, jumlah orang yang berniat mengamuk secara terorganisir di dunia spiritual—Astral Side—akan berkurang secara nyata. Tapi..."


Ucapannya tiba-tiba terhenti. Saat Masaomi menoleh untuk melihat apa yang terjadi, ia mendapati Hibari sedang menatap langit dengan ekspresi berpikir dalam.


"Aku merasa... para diver sedang menjadi tidak stabil."


"Kau maksud yang menghilang begitu saja?" tanya Masaomi.


Hibari mengangguk dan menjawab, "Itu juga, tapi bukan hanya itu. Diver lain yang kutemui saat sedang dive—baik itu yang Meshian maupun Selfie—ada yang tiba-tiba menghilang, atau malah tiba-tiba muncul. Jumlah orang yang memiliki 'penyakit' seperti aku ada dalam skala ribuan. Meskipun mereka tidak melakukannya secara bersamaan, dan meskipun ini hanya berdasarkan pengalamanku sendiri... tetap saja, seharusnya mereka tidak begitu sering berpindah antara sadar dan koma. Kau tahu, seperti saat bermain game, biasanya kita logout di saat yang tepat, kan? Kecuali jika koneksi terputus tiba-tiba."


Bagi Masaomi, satu-satunya referensi tentang diver adalah Hibari sendiri, jadi ia selalu membayangkan dive terjadi begitu saja, tiba-tiba. Tapi jika sampai diver sepertinya menyebut "tiba-tiba muncul", mungkin maksudnya adalah mereka muncul kembali padahal seharusnya belum bisa masuk lagi karena masih dalam masa cooldown. 


Mekanisme dive memang masih belum dipahami sepenuhnya, tapi mungkin seperti dipaksa login atau logout dalam game.


"Yah... kalau yang menghilang sih, aku masih bisa membayangkannya. Seperti lobi game yang mulai sepi, jumlah pemain berkurang meskipun jumlah pengguna masih banyak, lalu kamu mulai merasa, 'Ah, dunia ini mulai ditinggalkan ya.'"


"Kalau Astral Side ditinggalkan... mungkin itu artinya penyakit ini sembuh, ya. Tapi... entahlah, aku tetap merasa tidak tenang."


Dengan wajah serius yang mirip seperti sedang menahan ketegangan, Hibari mengakhiri ucapannya.


"…Maaf, ya. Apa pembicaraan ini membosankan?"


"Jauh lebih menyenangkan daripada saat kau sedang dive dan aku ditinggal sendirian. Setidaknya sekarang aku bisa bicara denganmu."


Masaomi sengaja berkata dengan nada bercanda, seolah untuk mengusir kekesalan dan kekhawatiran kecil yang mengendap di dalam hatinya. Hibari pun menyipitkan mata dan tersenyum. Ia kembali meminta maaf dengan lirih. Mungkin ia mengira Masaomi kesal atau tersinggung dengan topik pembicaraan tadi. Masaomi merasa harus menanggapi dengan baik dan berkata, setengah semangat:


"Yah, untuk sekarang aku akan belikan minuman dulu, ya. Kamu pasti haus. Mau apa?"


"Kalau begitu... aku mau soda dingin. Yang bikin segar kalau bisa."


Masaomi berpikir, Ternyata dia nggak suka yang panas di pantai, ya, meskipun itu hal sepele.


“Hei, hei,” ujarnya ringan, sangat tidak pantas untuk seorang pelayan yang baru saja menerima perintah dari tuannya. Ia pun berjalan menuju kedai di tepi pantai.


Ketika Masaomi kembali dari kedai pantai “Soleil,” situasinya sudah berubah total.


Siapa tadi yang terlihat begitu girang mendapatkan satu porsi yakisoba gratis? Tentu saja Masaomi. Ia bahkan sampai membesarkan lubang hidungnya saat mencium aroma saus kental yang begitu pekat melapisi mie yang sudah mengembang. Ia terbuai oleh sensasi gunungan nori dan jahe merah yang ia taburkan sendiri. Ia benar-benar terlihat seperti orang tolol yang terlalu santai. Pantai di musim panas identik dengan pertemuan—laki-laki dan perempuan yang lapar akan nafsu dan penuh gaya. 


Mereka gesit. Mereka tak ragu. Mereka tak mudah menyerah. Berbeda dari tipe pemalas yang hanya bicara soal diet tapi tidak kunjung bergerak, orang-orang ini berkeliaran di sepanjang pantai, seolah melafalkan mantra aneh: “Karena ini musim panas, karena musim panas.” Mereka mencari petualangan singkat nan menggoda. 


Dengan mata tajam seperti pemburu, mereka langsung menerkam kelompok yang hanya terdiri dari laki-laki atau perempuan saja, lalu menyebar rayuan dan memamerkan pesona seperti predator. Mereka menyerang tanpa peduli pada norma sosial. Dengan panas musim sebagai bahan bakarnya, jantung mereka berdegup lebih cerah dan membara daripada kembang api.


"Serius deh, kamu imut banget! Jangan sendirian gitu dong, gabung bareng kami yuk?"


"Kamu bisa jadi ratu pantai ini, sumpah! Kita bikin puncaknya bareng-bareng!"


Saat itu juga, penglihatan tajam Masaomi memastikan bahwa seorang gadis cantik berbikini sedang berdiri sendirian di atas pasir, tanpa perlindungan sedikit pun. Bukan tipe yang terlalu mencolok atau berpakaian terbuka, gadis itu mengenakan bikini two-piece berwarna pastel. Tubuhnya belum bisa disebut montok, tetapi dengan kaki dan tangan yang jenjang, kulit putih bersih tanpa cela, serta wajah begitu rupawan hingga membuat sesama perempuan pun tak bisa menahan decak kagum, penampilannya menampilkan kemurnian yang menjadi nilai tambah tersendiri.


Gadis berbikini itu tampak cemas, matanya menatap ke arah laut, pasir, dan kedai pantai, seolah mencari seseorang. Gerak-geriknya yang canggung dan penuh kecemasan memberi kesan bahwa ia sedang menunggu seseorang yang seharusnya berada di sana. Dengan kata lain, orang itu tidak ada. Tidak ada yang menjaganya saat ini. Tentu saja, para "pemburu musim panas" itu tidak mungkin mengabaikan mangsa seperti itu.


Dengan kata lain—Hibari sedang dikerubungi oleh para lelaki yang mencoba merayunya. Dan saat itu juga, si tolol—Masaomi—masih berada di bawah pengaruh kesimpulan sederhana: "Hibari ganti baju renang? Serius? Wah, ini luar biasa." Bisa dimaklumi. Ia sudah pasrah tidak akan bisa melihat pacarnya dalam balutan bikini hari ini. Dan kini, harapan itu terbalik total: kemenangan mutlak. Namun, bagi seorang remaja laki-laki berusia enam belas tahun, terlalu bersemangat adalah hal yang wajar.


Tetap saja, kesadarannya terhadap bahaya benar-benar rendah.


Dengan satu tangan membawa yakisoba dan tangan lainnya menggenggam dua botol minuman, ia berjalan santai dengan penuh kemenangan. Padahal, kini Hibari masih terus dirayu. Satu ditolak, dua lagi datang. Dua ditolak, tiga berikutnya muncul. Para lelaki itu terus merayunya, mengumbar kata manis, menaksir tubuhnya tanpa malu, bahkan hampir menyeretnya pergi.


"U-um... Maaf, kalian mengganggu," kata Hibari dengan wajah penuh rasa jijik, seakan sedang menatap makhluk aneh yang tak bisa dihancurkan meski sudah ditumbuk berkali-kali.


Melihat ekspresi itu, Masaomi pun tersadar—terkejut seolah tersambar petir. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Siapa yang membuat Hibari yang begitu manis itu menunjukkan wajah seperti itu? Apakah itu bapak-bapak di kedai yang terlalu lambat memasak yakisoba? Atau bapak lain yang memberi minuman yang tidak cukup dingin?


Tidak. Pelakunya adalah bajingan yang meninggalkan Hibari sendirian. Bajingan yang cemberut karena tak bisa melihat Hibari berbikini. Bajingan yang lupa betapa bahagianya bisa pergi ke pantai bersama pacarnya.


Dalam benaknya, Masaomi menarik tuas yang menaikkan satu tingkat giginya—fitur tersembunyi yang ia sebut "gear jantan." Seberapa dingin pun dia biasanya, begitu gear ini menyala, dia siap melawan dewa maupun takdir demi wanita yang ia cintai. Ini adalah mekanisme ajaib yang langsung berhubungan dengan harga diri seorang pacar, yang menentukan sejauh mana dia bisa terlihat keren sebagai pria.


Laki-laki sejati tentu harus punya itu. Tidak ada lagi langkah agung penuh kemenangan. Ia tak peduli lagi pada penampilan. Kini saatnya kembali. Tendang pasir! Bergegas ke sisi Hibari! Semakin dekat, tubuh Hibari dalam bikini makin tampak memesona. Namun, bersamaan dengan itu, dua lelaki berkulit kecokelatan dan berambut pirang—klise para pria “chara”—tampak jelas dalam pandangan. Mereka mungkin sedikit lebih tua dari Masaomi. Satunya berambut gondrong, satunya rambutnya berdiri seperti duri. Gaya rambut mereka memang berbeda, tapi selain itu mereka seperti hasil cetakan pabrik: memperlihatkan gigi putih secara berlebihan, memamerkan otot perut tanpa alasan, dan menatap Hibari dengan pandangan menjijikkan dari kedua sisi.


"Ayolah, jangan segitunya. Kita bakal buat kamu senang banget. Mau jadi tuan putri?"


"Aku sudah bilang, aku di sini bersama seseorang. Tolong jangan ganggu lagi."


"Dia lebih keren dari kita? Padahal ninggalin kamu sendirian gitu aja? Cowok kayak gitu udah jelas gagal, tinggalin aja. Kita lebih baik kok. Kita nggak akan biarin kamu sedih begini."


"Iya, iya, bener tuh! Tenang aja, masih banyak cewek lain juga. Nggak usah takut, kita bukan orang jahat, kok. Malah kita bisa lindungin kamu dari yang bener-bener jahat. Nih—"


Saat si Chara B mencoba meraih lengan Hibari—Masaomi pun menyodorkan kotak yakisoba ke arah mereka.


"──Ha?"


“Bisakah kalian berhenti mengganggu pacarku? —Ah, entah kenapa aku merasa ingin mengatakan itu setidaknya sekali seumur hidup. Jadi, tolong pahami situasinya dan enyahlah dari sini.”


Setelah gear jantan di dalam dirinya aktif, Masaomi tidak lagi mengenal rasa takut terhadap siapa pun. Tugasnya hanya satu: mengintimidasi dengan tenang, tampil percaya diri tanpa gentar, jangan pernah mengalihkan pandangan, arahkan serangan langsung ke titik lemah lawan, dan yang paling penting: lindungi Hibari. Dengan aliran zat kimia otak yang berlebihan, Masaomi menyerahkan kendali tubuhnya sepenuhnya pada satu sistem komando sederhana: Jangan mundur. Apapun yang terjadi.


“Oh, jadi bocah ini cowoknya. Hee...”


Dengan tatapan yang sungguh tidak sopan, si rambut gondrong memeriksa tubuh Masaomi dari kaki hingga kepala. Tatapannya menjalar menyeluruh seolah menyorotinya dengan lampu panggung.

Kemudian, bibirnya membentuk senyum congkak penuh kemenangan.

Si rambut berdiri juga menunjukkan ekspresi yang sama. Masaomi, yang cukup peka, langsung menangkap makna dari sorot mata mereka yang meremehkan seseorang yang baru mereka temui.


— Cuma segini doang, ya?


Kalau hanya sampai di situ, Masaomi mungkin masih bisa tertawa dan membiarkannya. Toh, sebagai anggota klub pulang cepat yang tidak menekuni olahraga atau latihan keras di rumah, tubuhnya memang tidak terlalu kekar. Dia juga tidak pernah berlatih untuk datang ke pantai musim panas ini. Kulitnya putih pucat meskipun tidak gendut. Kalau ada ciri khas, itu hanya sorot matanya yang tajam dan konon cukup dikenal.


“Jadi, cowoknya ngerti situasi kan? Bisa dong ngalah dikit. Kasihan banget tuh cewek secantik itu jalan sama cowok yang ‘gituan’ doang. Malu banget, tahu? Terus itu apa sih, bekas luka aneh gitu. Masa mau ke pantai nggak siap-siap dulu? Setidaknya tanning kek, biar pantes. Lo tuh—nggak nyadar ya kalo kalian tuh nggak selevel?”


Masaomi tak membantah bahwa mereka merasa “bisa menang.” Kalau posisi dibalik, mungkin dia pun tak akan memulai pertengkaran. Namun, bahkan dengan matanya yang kecil dan tajam, ada hal-hal yang tak bisa ia abaikan.


“Hei, kalian dari tadi sudah semena-mena terhadapku dan mengabaikan apa yang aku katakan—!”


“Sudah cukup. ………Ya kan, Noble Lark?”


Hibari, yang tadinya bersiap membalas para pria itu dengan nada tegas, tersentak saat mendengar panggilan dengan “tag” pribadinya. Ia terdiam seketika. Tatapannya menanyakan “apa maksudmu?” tapi Masaomi tidak memberinya penjelasan. Justru karena tidak dijelaskan, efeknya akan lebih besar.


“Apa tuh? Noberu? Apaan coba?”


Karena tidak mengenali istilah itu, si rambut gondrong menatap Masaomi dengan penuh curiga. Masaomi tersenyum tipis. Bagus. Mereka memang hanya orang luar yang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak punya hak untuk berbicara soal “sepadan” atau tidaknya dengan Hibari.


“Di Astral Side, orang bisa dive berkali-kali dalam sehari, kan?”


“‘Asutoraru’…? Maksud lo diving-diving gitu? Eh, jangan cuekin dong!”


Masaomi sepenuhnya mengabaikan mereka dan menatap Hibari.


“Eh? Umm… iya, memang melelahkan, tapi nggak ada batasnya secara khusus.”


Hibari pun terlihat kebingungan, mencoba memahami maksud Masaomi.


“Kalau begitu—kenapa kamu nggak pergi ke sana sekarang, dan beri mereka sedikit ‘kejutan’? Biar mereka kapok dan pulang. Aku rasa sinyal itu penting, lho. Kalau gelombangnya nggak cocok, bisa bikin kacau, kan? Buat gangguan sinyal, ya perlu pendekatan sinyal juga.”


Sambil menatap Hibari lurus-lurus, Masaomi sengaja menghindari penjelasan eksplisit dan menjelaskan dengan nada netral. Dipadu dengan ekspresi wajah datarnya yang khas, reaksi kedua pria itu pun makin jelas: mereka kini benar-benar bingung dan mulai berpikir “nih anak waras nggak, sih?” Efeknya sangat efektif.


“Aku ini juga pelajar biasa, kok. Tapi tetap aja, kadang ada hal-hal yang bikin kesal. Bekas luka di tubuhku ini semacam lambang kehormatan. Kalau diejek terus kabur begitu aja, aku nggak akan bisa terima.”


Baru-baru ini, wali kelasnya sempat menanyakan soal bekas luka itu. Apakah ada masalah di rumah, atau apakah dia terlibat dalam sesuatu di luar sekolah. Meskipun satu per satu terlihat sepele, dalam jumlah banyak tentu mencolok. Dengan kata lain, gurunya cukup memperhatikan dirinya.


Itulah sebabnya Masaomi menjawab dengan tegak dan penuh keyakinan: “Tidak ada satu pun masalah yang harus saya sembunyikan.”


“Masaomi-kun…”


“Sudah, tenang saja. Aku ini ‘Guardian’-mu, kan? Aku akan tetap di sini dan menjagamu… jadi jangan khawatir.”


Mendengar nada suara Masaomi yang serius, Hibari sempat ragu sejenak—namun hanya sebentar.


“Baiklah. Kalau begitu────aku titipkan padamu, ya.”


Ucapnya sambil bersiap untuk dive. Tubuh Hibari yang lemas pun langsung disambut dan dipeluk oleh Masaomi. Meskipun tak disengaja, kontak fisik itu tetap membuat Masaomi merasa harus memberi penjelasan nanti. Merasa napas panas di sekitar lehernya seperti biasa, Masaomi pun diam-diam menikmati momen tersebut.


—Benar-benar terasa menyenangkan. Lembut, wangi… dan pakaian renangnya pun cukup terbuka…


Sentuhan kulit yang begitu memikat hampir membuatnya lupa tujuan awal. Namun tak berselang lama, situasinya pun berubah.


“Aduh!”

“Aaaargh, sakit!”


Tiba-tiba para pria itu menjerit.


Mereka meraba-raba tubuh mereka, menjerit kesakitan, dan mencoba memastikan bagian mana yang terasa nyeri.


Bekas-bekas seperti lebam muncul di tubuh mereka. Mereka menatapnya dengan rasa takut. Kemudian, seolah menyadari sesuatu, mereka menatap Masaomi—lawan yang tadi mereka nilai rendahan, yang juga memiliki tanda-tanda aneh serupa di tubuhnya.


Masaomi, seolah telah menunggu momen itu, pun tersenyum menyeringai dengan percaya diri.


“Makanya kubilang, kalian nggak sepadan. Kalau membuat gadis pejuang kami marah, kalian bakal kena tulah, tahu? Mau coba di bagian mana selanjutnya? Wajah kalian yang kalian bangga-banggakan itu, bagaimana?”


Dengan meniru gaya bicara si pria sok asik itu, Masaomi menyatakan dengan percaya diri bahwa itu adalah ulah mereka.


“A-apaan sih kalian!? Kalian itu apa sih!? Geli banget, sakit tahu!”


Tatapan tajam si rambut gondrong sama sekali tidak mempan. Ketahanan Masaomi terhadap orang berambut gondrong telah diasah oleh Keiji.


“Sebaiknya kalian pergi sebelum rasanya makin sakit. Sebelum tubuh kalian jadi tak bisa disembuhkan dokter.”


Kalimat “darahnya surut” tampaknya benar adanya; ekspresi kedua pria itu langsung memucat, seolah baru saja melihat hantu. Bahkan otot perut mereka yang sebelumnya dipamerkan kini tampak berkedut-kedut. Pertempuran itu berakhir dalam sekejap.


“Cih, brengsek! Ingat muka kami baik-baik, ya!”


“Gah! Pantatku! Jangan di pantat, dong!”


Setelah memastikan bahwa kedua pria itu lari terbirit-birit sambil menjerit-jerit, Masaomi mengangkat tubuh Hibari dan dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur pantai, seperti menidurkan seorang malaikat. Hibari membuka matanya hampir bersamaan dengan itu.


“Hmm… jadi, menurutmu itu tadi sudah cukup?”


“Ya. Mereka langsung kecut kena serangan ‘gelombang aneh’ dari Hibari.”


“Menyebut pacar sendiri dengan ‘gelombang aneh’ itu termasuk luar biasa, lho, Masaomi-kun.”


“Tak masalah, asalkan hanya aku yang bisa menangkap gelombangnya. Namanya juga gelombang, kalau tak sampai, ya tak berarti. Tapi kalau sampai, itu sudah cukup. Kita cukup menyelaraskan frekuensi kita sendiri. Gangguan seperti itu bukan masalah.”


Walau masih terlihat mengantuk, Hibari sedikit tersenyum.


“Begitu ya... Menggunakan Astral Side untuk mengusir pria sok kenal seperti itu... tak pernah terpikir olehku sebelumnya.”


Sebenarnya, strategi yang Masaomi pakai tadi adalah sama seperti yang pernah Hibari gunakan untuk menjauhi dirinya dulu, tapi Masaomi tidak menyebutnya. Kalau dipikir-pikir, melakukan dive di tempat umum itu ibarat pedang bermata dua—membuka diri sepenuhnya. Tanpa seseorang yang bisa dipercaya di sampingnya, itu bukanlah strategi yang bisa dipakai sembarangan. Dibutuhkan seorang “Guardian” agar strategi pengalihan semacam itu bisa berjalan efektif.


Mungkin waktu itu Hibari sudah cukup percaya padanya untuk menunjukkan kelemahannya—sebuah pemikiran penuh percaya diri yang hanya bisa dimiliki oleh seorang pacar. Intinya, hanya Masaomi yang bisa menangkap gelombang Hibari. Itu saja.


“Masaomi-kun itu, kurasa cocok menjadi seorang Diver. Imajinasi sebebas itu adalah senjata, tahu.”


Tentu maksud Hibari bukan penyelam laut sungguhan.


“Aku nggak tahu harus senang atau bingung. Tapi kalau aku bisa melindungimu, maka tak masalah.”


“Anggap saja sebuah kehormatan, ya? Yang bisa membuatku melakukan hal seperti itu, cuma kamu, lho.”


Masaomi tak bisa menahan senyum getirnya.


“Ngomong-ngomong, seberapa ‘menggila’ kamu di sana tadi?”


“Kalau belum terbiasa, mungkin mereka bakal mimpi buruk selama seminggu.”


“…Aku bingung harus kagum atau takut. Gimana bisa kamu lakukan hal seperti itu?”


“Namanya juga dunia mental—Astral Side. Intinya kan pikiran. Kalau kamu yakin bisa, maka senjata yang kuat akan muncul. Kalau kamu pikir bisa menang, maka kamu bisa mengalahkan NPC sebanyak apa pun.”


Ternyata ‘Noble Lark’ sangat luar biasa sadisnya.


Mungkin karena perasaan itu tercermin di wajah Masaomi meskipun dia berusaha tetap datar, Hibari jadi sedikit menjelaskan—kalau lawannya bukan Guardian atau orang terhubung secara emosional, tapi hanya NPC biasa, maka harus dihancurkan sampai tuntas agar tak memengaruhi “dunia nyata.”


Cara Hibari menyampaikan hal itu dengan sedikit nada pembelaan—sungguh menggemaskan.


“Ngomong-ngomong, Hibari. Kenapa tiba-tiba kamu pakai baju renang? …Eh, tapi keren banget sih.”


“Akan lebih membantu kalau kamu memilih untuk bertanya atau memuji saja, jangan keduanya—soalnya waktu kamu ke kedai tadi, kamu terlihat kecewa sekali. Jadi kupikir, mungkin akan menyenangkan kalau aku kasih kejutan. Aku juga nggak sedingin itu sampai mau terus memakai baju lengkap meski di pantai,” katanya sambil bangkit. 


Suaranya sedikit manja dan terdengar seperti malu-malu—membuatnya semakin imut. Masaomi pun berubah drastis. Suasana hatinya melesat jauh lebih tinggi dari matahari di atas. Ia tidak sekadar melirik—ia menatap langsung, seperti kamera HD dengan stabilisasi tinggi, menikmati pemandangan Hibari yang duduk meringkuk di atas tempat tidur pantai dengan kaki jenjangnya yang indah. Sebuah hak istimewa pacar yang ia gunakan sepenuhnya tanpa ragu—dan layak diapresiasi. Hidup ini penuh ketidakpastian. Maka dari itu, menikmati momen sekarang adalah keharusan.


Hibari pun tak menunjukkan ketidaksukaan pada tatapan lurus Masaomi yang dalam itu. Malah terlihat geli dan sedikit malu.


“Aku mungkin belum bilang, tapi Astral Side itu pada dasarnya seperti permainan perebutan wilayah.”


“Hmm?”


“Tapi... bisa jadi dunia nyata pun seperti itu.”


Kemudian, sambil menundukkan kepala, menyembunyikan tatapannya di balik rambut yang terikat, Hibari dengan hati-hati mencubit pinggiran celana renang Masaomi dan dengan suara lirih seperti lukisan gadis bangsawan yang anggun,


“Hei, Masaomi-kun. …Aku suka kamu.”


“Eh?”


Otak Masaomi seolah diguncang oleh gelombang keimutan yang dahsyat. Ketika ia kehilangan fokus, Hibari mencubit celana renangnya lebih kuat, lalu mendekatkan wajahnya hingga menyentuh bahu Masaomi.


“Sekarang… tempat ini sudah jadi titik tetapku. …Hehe, bercanda.”


Dan, sebagai pukulan terakhir, Tanpa menjauh, Hibari mengalihkan wajahnya, seperti malu-malu, dan berkata,


“Dan juga… terima kasih, ya. Karena sudah menolongku. …Tadi kamu lumayan keren, tahu.”


Tak perlu dikatakan lagi, bahwa Masaomi benar-benar terpesona oleh sikap manis Hibari itu.



Chapter 5

Pertarungan Penentu — Bertamu ke Rumah Sang Kekasih!


『Sebenarnya, aku tidak terlalu percaya pada Masaomi-kun. Aku pikir, pasti aku sedang ditipu. Tidak mungkin ada seorang laki-laki yang benar-benar bisa menerima diriku apa adanya. Masaomi-kun terlalu biasa, jadi aku tidak bisa memahami maksudmu. Bahkan waktu itu, saat semua orang menganggapku aneh dan menyebutku sebagai gadis delusi, Masaomi-kun hanya berdiri di tempat yang netral dan tenang. Saat membelaku dari hinaan Takei-kun pun, kupikir itu hanya karena dia tidak suka orang membicarakan keburukan orang lain, bukan karena membela aku secara pribadi. Padahal aku hanya menjalani duniaku sendiri. Dunia spiritual, Astral Side, memang ada di sana, dan aku pergi ke sana karena aku bisa—bukan karena aku ingin berkorban demi siapa pun. Aku tidak bilang aku melakukannya demi semua orang. Tapi meskipun aku sedang berusaha menyelamatkan dunia, aku tetap saja disebut orang sakit. Aku tidak bisa berbuat apa-apa soal itu... Aku tidak pernah berbohong. Aku juga tidak pernah mengatakan hal yang salah. Jadi, tolong, percayalah padaku—percaya padaku, ya… Tapi kemudian aku berpikir, mungkin aku yang egois karena tidak bisa percaya pada orang lain. Mungkin orang tidak bisa mempercayaiku karena aku sendiri tidak mau percaya. Tapi Masaomi-kun bilang, tidak apa-apa. Karena hanya Masaomi-kun yang bisa menerima sinyalku. Bahkan bekas luka di tubuhku pun kamu bilang sebagai medali kehormatan. Aku... sangat senang mendengarnya. Karena itu, karena aku mempercayaimu... tolong, teruslah percaya pada aku yang seperti ini, sampai akhir…』


Di perjalanan pulang dari kencan di pantai, Masaomi sedikit mengintip isi hati terdalam dari Hibari. Hibari, yang biasanya mengaku sebagai gadis rumahan, tampaknya terlalu bersemangat saat kencan di pantai tadi. Saat mereka naik kereta pulang, matanya sudah tampak sayu, dan ketika mereka sampai di stasiun terdekat, bahu Masaomi telah berubah menjadi bantal gratis. Pada akhirnya, Masaomi benar-benar harus menggendong Hibari dan mengantarnya pulang ke rumah. Dalam perjalanan itu, Hibari—dalam keadaan setengah tertidur—menggumamkan kata-kata tadi dengan nada yang agak kacau dan terbata.


Masaomi cukup terkejut mengetahui bahwa Hibari ternyata mengetahui tentang kejadian dengan Takei tempo hari. Beberapa bagian dari apa yang ia katakan pun sulit dimengerti. Mungkin, dia sendiri pun tak sadar sudah mengucapkan semua itu.


──Tak apa, pikir Masaomi. Hibari pasti tidak ingin isi hatinya yang sedalam itu terbongkar dengan cara yang seperti kejutan atau semacamnya. Itu hanyalah kelengahan sesaat, sebuah kecelakaan... 


Jadi ini adalah siaran dari kanal lain, kanal yang tak biasa, hanya sekali saja, yang hanya bisa ditangkap oleh hati Masaomi—sebuah noise sinyal dari Hibari. Masaomi selama ini menganggap Hibari sebagai gadis yang kuat. Tapi kini ia sadar, itu hanya asumsinya sendiri. 


Tak sulit untuk memahaminya jika dibalik ke dirinya sendiri. Hibari hanya seorang gadis SMA kelas dua yang usianya sedikit lebih muda dari Masaomi. Masih hijau, tertutup, tidak menonjol, hidup dalam dunia yang berbeda, dianggap sakit oleh masyarakat, dan terus-menerus harus membuktikan bahwa duniaku ini nyata. Semua itu pasti melelahkan. Ditambah lagi dengan penampilannya yang mencolok, pasti dia semakin sulit menemukan tempat yang nyaman. Itu membuat tekanan padanya semakin berat.


Gadis biasa. Kata-kata yang sepertinya paling jauh dari sosok Hibari. Laki-laki biasa. Kata-kata yang sepertinya paling cocok untuk Masaomi. Tapi bisa jadi justru sebaliknya. Keanehan yang tak mau terlihat sebagai biasa, dan kebiasaan yang tak ingin menjadi aneh.


──Mungkin karena kondisi seperti ini, aku merasa seperti sedang demam.


Masaomi tersenyum pahit, berpikir seperti itu sambil berjalan perlahan-lahan di malam musim panas yang mulai gelap, seolah menjadi seekor siput. Suara napas lembut Hibari yang tertidur dengan tenang dan damai di punggungnya terdengar jelas di telinganya. Setiap kali mereka melewati cahaya lampu jalan, wajah tidur Hibari yang sudah dikenalnya itu tampak bagai malaikat tapi juga sedikit seperti iblis—sangat menawan dan menggoda. Sensasi kehangatan yang mereka rasakan saat tubuh mereka bersentuhan sudah jauh melewati batas ‘panas’; itu benar-benar membakar.

Sentuhan dada Hibari di punggungnya, yang mengikuti ritme napasnya, terus menekan Masaomi dari ‘menempel’ menjadi ‘lebih menempel’ lagi dan lagi—mengacaukan isi kepalanya.


Papan nama keluarga "SASUGA" yang tertulis dengan huruf gaya modis pun, kini sudah terlihat di depan mata.


Untung saja, saat Hibari masih sadar sebelumnya, Masaomi sempat menanyakan secara garis besar lokasi rumahnya. Informasi yang kabur itu ternyata lebih dari cukup.


──Teori "rumah keluarga Hibari kaya raya" ternyata sangat tepat.

Kenyataan bahwa rumah itu benar-benar besar membuat Masaomi kembali ke kesadarannya. Ia tidak terlalu paham soal kondisi perumahan, tapi rumah ini jelas lebih besar dari rumah keluarganya. Ada garasi cukup untuk tiga mobil, empat lantai yang bisa terlihat dengan jelas, dan taman seluas itu bisa dijadikan lokasi pesta BBQ oleh tentara Amerika sembari tertawa, HAHAHA! Dengan mempertimbangkan semua itu, sudah pasti keluarga ini tergolong sangat sejahtera. Rumah ini begitu mencolok hingga mungkin akan segera dikenali oleh seluruh warga sekitar. Tak heran kalau Hibari sangat ‘sasuga’—ya, sangat mengesankan.


Butuh sekitar sepuluh detik bagi Masaomi untuk memberanikan diri menekan bel interkom di gerbang besar rumah itu. Bisa dibayangkan betapa wajahnya yang gugup terekam jelas oleh kamera pengawas.

Bunyi “Piin-pooon” terdengar sama saja di rumah kalangan menengah maupun kalangan atas. Tak disangka, suara santai itu malah terasa akrab dan membuat Masaomi sedikit lega.


『Ya──eh?』


“U-um, saya paham betul bahwa ini mungkin mengejutkan, tapi Hibari-san tertidur sangat lelap seperti yang Ibu lihat sendiri…”


Yang menyambut suara Masaomi melalui interkom adalah suara seorang wanita yang kemungkinan besar adalah ibu Hibari. Sebelum nada curiga muncul dalam suara wanita itu, Masaomi buru-buru menjelaskan keadaannya. Ia sudah menyiapkan kata-kata ini sejak tadi, jadi bisa berbicara tanpa terbata.


Karena ada kamera, wajar jika seorang ibu merasa curiga melihat anak gadisnya di punggung laki-laki asing. Oleh karena itu, Masaomi sengaja menyesuaikan posisinya agar Hibari terlihat di kamera dengan nyaman bersandar di punggungnya—dan sepertinya strateginya berhasil.


『Mohon tunggu sebentar, ya』 suara tenang itu membuat Masaomi merasa lega.


Tak lama kemudian, lampu di area pintu depan menyala dan seorang wanita setengah baya yang tampak ramah muncul dan membukakan pintu.


──Ah, itu pasti ibu Hibari. Tidak salah lagi.


Meskipun suasana yang menyelimuti mereka berbeda, raut wajah wanita itu benar-benar seperti gambaran masa depan Hibari yang menua dengan damai. Masaomi pun tak kuasa menahan anggukan yang dalam. Memang, garis keturunan itu luar biasa.


"Aduh, aduh, Hibari ini... Hm? Dia tertidur pulas, ya? Wah, ini memang kejadian yang langka... Maaf ya, kamu pasti repot, bukan?"


Pandangan wanita itu tertuju pada Hibari yang masih tergendong di punggung Masaomi dan terus menggumam tak jelas seolah mengigau. Karena cahaya lampu teras menyinari dari belakangnya, ekspresi wajah wanita itu tampak tertutupi bayangan dan sulit terbaca. Namun dari nada suaranya, terselip setengah nada keheranan dan setengah candaan.


“Tidak apa-apa. Lagipula, saya yang mengajaknya. Dan, dia tidak berat kok.”


Baru sekarang Masaomi benar-benar menyadari kenyataan bahwa dia sedang berhadapan langsung dengan orang tua Hibari. Ia mulai menyusun serpihan-serpihan kalimat yang ingin ia ucapkan, seperti menyusun balok Jenga yang goyah. Ia mencoba menjawab sebisanya. 


Kalimat terakhir itu, tentu saja, hanyalah bualan khas remaja laki-laki. Tapi semoga bisa dianggap sebagai basa-basi yang wajar saja. Sayangnya, kemampuan improvisasi Masaomi sangatlah lemah—dan kini cadangannya pun mulai habis.


“Hari ini dia bilang mau pergi ke pantai dengan pacarnya, sesuatu yang sangat jarang terjadi... Mungkin karena itu dia terlalu gembira, ya. Fufufu... Anak muda memang begitu. Yah, kita tidak perlu bicara lama di sini. Ayo, silakan masuk. Maaf ya, bisa kamu bantu bawa dia sedikit lagi ke dalam?”


Sambil mengucapkan sesuatu yang membuat Masaomi tidak tahu harus menjawab apa, ibu Hibari mendorongnya masuk ke dalam rumah. Dan di saat itulah Masaomi sadar—ternyata Hibari sudah memberi tahu ibunya bahwa dia punya pacar. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya kepercayaan Hibari terhadapnya.


Sebagai perbandingan: Masaomi sendiri? Bayangan tentang wajah Hinata yang dipenuhi rasa canggung dan geli langsung terlintas di kepalanya. Ya, bisa ditebak sendiri bagaimana keadaannya.


“Baik, permisi...” ucap Masaomi dengan suara tegas bak anak klub olahraga, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.


Bagi Masaomi—yang jarang bergaul, minim pengalaman hidup, dan kini harus bertemu langsung dengan orang tua Hibari untuk pertama kalinya—ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia bicarakan atau lakukan. Jenga dalam pikirannya sudah runtuh total, dan satu-satunya yang bisa ia andalkan hanyalah Hibari, yang saat ini menjadi jembatan di antara mereka.


"...Astaga, tidurnya nyenyak sekali, dengan wajah yang begitu imut pula. Duh..."


Melihat wajah Hibari yang tampak polos dalam tidurnya membuat Masaomi ingin masuk ke dalam mimpinya dan memberikan ceramah panjang-lebar padanya.


“……”

“……”


“Sruput… (menyeruput teh)”

“Sruput… (menyeruput teh)”


“……”

“……”


— Canggung.


Itulah satu-satunya kesan yang dimiliki oleh Kusunoki Masaomi, 16 tahun, saat pertama kali mengunjungi rumah pacarnya.


Setelah dengan susah payah menggendong Hibari sampai ke kamarnya yang berada di lantai tiga dan merebahkannya di atas tempat tidur, Masaomi pun turun kembali ke ruang tamu sekaligus ruang makan di lantai dua. Ibu Hibari, dengan semangat yang agak terlalu akrab, menyuruh Masaomi duduk di sofa layaknya kucing jinak yang baru dipelihara dan berkata, “Sekalian saja, makan malam di sini sebagai ungkapan terima kasih.” Maka duduklah ia di sana, menonton berita sore yang biasanya tidak pernah ia lirik, tapi berita itu hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan tanpa meninggalkan jejak apa pun di otaknya.


Tak lama kemudian, ayah Hibari pulang kerja, melonggarkan dasi, lalu masuk ke ruang tamu. Tatapan mata mereka bertemu secara langsung—seorang pria dengan wajah tegas dalam balutan jas, dan seorang remaja lelaki yang senyum kaku—dan saat Masaomi menyapa, “S-selamat malam,” pria itu hanya menjawab dengan, “Hmm…” yang terdengar seperti sedang mempertimbangkan penilaiannya.


Setelah mengganti pakaian rumah, entah kenapa (meskipun sebenarnya masuk akal juga), ayah Hibari duduk tepat di depan Masaomi, lalu mereka berdua sama-sama menonton berita di televisi sambil menyudutkan pandangannya. Di belakang, suara ibu Hibari yang sedang memasak di dapur terbuka menjadi satu-satunya irama yang mengisi keheningan.


Dari luar, pemandangan ini sangatlah absurd. Awalnya, kucing peliharaan keluarga—kalau tidak salah namanya Mentsuyu—sempat mondar-mandir di sekitar kaki Masaomi. Masaomi pun sempat berniat untuk berpura-pura sibuk dengan si kucing agar tidak harus menatap wajah ayah Hibari. Namun seolah membaca niat buruk itu, si kucing hitam buru-buru keluar dari ruang tamu, meninggalkan Masaomi sendiri, dan Masaomi hanya bisa memandangi punggung si kucing dengan perasaan kecewa.


Canggung. Tidak ada kata lain yang lebih pas dari itu.


Mungkin ayah Hibari pun merasakan hal yang sama, karena yang terdengar hanyalah suara mereka berdua yang terus menyeruput teh dingin. Padahal sofanya jelas-jelas mewah dan mahal—tak ada satu pun kursi seperti itu di rumah Masaomi—tetapi Masaomi sama sekali tidak bisa merasa nyaman. Ia terus bergeser-geser, gelisah dan tak tahu harus bagaimana.


—Dalam situasi seperti ini, seharusnya aku mengatakan sesuatu yang cerdas, bukan?


Masaomi memang remaja laki-laki yang sedang memasuki masa pubertas. Terlepas dari apakah itu bersama Hibari atau bukan, ia bisa membayangkan bahwa jika suatu hari nanti memiliki kekasih yang ingin dinikahinya, sosok "raja terakhir" yang harus dihadapi tak lain adalah ayah sang kekasih.


Dalam berbagai manga, novel, maupun drama, Masaomi pernah melihat representasi "ayah yang memiliki anak perempuan" yang penuh prasangka: melotot kepada anak muda tak dikenal yang berani mendekati putrinya, menyindir dengan tajam, dan kalau perlu, melayangkan tinjunya. Lalu, si pacar sang putri itu biasanya menunjukkan kebijaksanaan atau keberanian, hingga akhirnya berhasil mendapat pengakuan dan kepercayaan si ayah, lalu mereka bersulang, menepuk bahu satu sama lain, dan sang ayah berkata, “Tolong jaga putriku, ya.” Tapi, apakah Masaomi—anak yang datar dan berwajah tanpa ekspresi seperti yang sering digambarkan Hibari—memiliki keberanian dan karisma semacam itu?


Mungkin semenjak bertemu Hibari, Masaomi memang sedikit berubah. Tapi apakah saat inilah momen di mana ia harus menunjukkan "pidato perkenalan pernikahan"-nya yang penuh semangat? Sampai pikiran Masaomi melayang sejauh itu, ia pun buru-buru menarik rem darurat.


—Tunggu dulu, aku bukan datang ke sini untuk melamar, kan!?

Justru karena itulah, ia jadi tidak tahu harus bicara apa. Kalau memang berniat melamar, tinggal bicara soal pernikahan saja. Tapi kenyataannya, ia hanya mengantar Hibari pulang dari kencan. Dan Hibari sendiri sekarang sedang tertidur pulas. Tidak ada buku panduan yang bisa memberi tahu cara menghadapi situasi tak terduga seperti ini. Tiba-tiba, Masaomi membenci karakter seperti En Shuukaku.


Mungkin, pikir Masaomi, ayah Hibari juga sedang merasa seperti itu.

Bayangkan: setelah bekerja keras seharian untuk keluarganya, saat pulang ke rumah, ia menemukan ruang tamunya dikuasai anak remaja asing. Istrinya tampak menerima anak itu dengan ramah, bahkan sedang memasakkan makan malam dengan bersenandung kecil. Putrinya, untungnya, tidak sedang ada di ruangan itu, tetapi jelas ada hubungan antara keduanya. "Apa yang harus kulakukan…?" barangkali begitu isi hatinya.


Ia tidak ingin membuat anaknya kecewa, tetapi bila anak laki-laki ini membawa pengaruh buruk, maka sebagai ayah ia harus mengambil tindakan. Begitu memikirkan itu, Masaomi mulai merasa ada semacam rasa empati yang aneh terhadap ayah Hibari, yang masih terus menyeruput tehnya tanpa mengubah ekspresi.


Ya, pikir Masaomi. Ketidakmampuan membaca ekspresi satu sama lain, ketidakpastian jarak emosional—semua itu ternyata dialami keduanya. Setidaknya, jika Masaomi bisa menjelaskan bahwa ia bukan ancaman, mungkin suasana akan sedikit membaik. Intinya, ini hanya soal mengulur waktu. 


Begitu makan malam selesai, atau jika Hibari bangun, situasinya akan membaik. Menjaga percakapan tetap berjalan—itu saja yang harus dilakukan Masaomi. Seharusnya ia bisa.


“Ano…”


“Kamu…”


Kesalahan besar.


Mereka berdua memulai bicara di saat yang sama, dan malah saling mengganggu langkah masing-masing. Pikiran Masaomi langsung blank. Bahaya. Ia tidak terpikir satu pun kalimat.


“Eh, ah, iya. Ada apa ya…?”


“...Kau tidak perlu terlalu tegang. Kalau kau tidak bisa tersenyum kecut sedikit saja, aku pun jadi ikut tegang.”


Seketika wajah ayah Hibari melunak. Perbedaan pengalaman hidup yang besar.


Ternyata, kesan seperti wakil ketua yakuza itu muncul hanya karena wajahnya terlalu tegas. Tapi saat pria itu mengulas senyum getir, kesan itu pun lenyap seketika. Dengan mata sipit yang tampak cerdas dan mulut yang tersenyum ramah, ia terlihat jauh lebih manusiawi. Meski garis rambutnya agak mundur dan kerutan di wajah menandakan usianya, dasar wajahnya tetap tampan dan terawat—pantas saja jika dulu banyak wanita terpikat padanya. Cukup dengan ekspresi ini saja, sudah jelas ia adalah ayah dari Hibari. Memang, darah keturunan itu luar biasa.


“Aku sempat mengira kau cukup percaya diri, tapi ternyata tidak juga ya. Yah, wajar saja.”


“S-saya minta maaf…”


"Tak perlu minta maaf. Kau pacar putriku, bukan? Siapa namamu tadi? Maaf ya. Sepertinya Hibari sering bercerita pada ibunya, tapi tidak banyak pada saya. Padahal dulu dia sangat lengket dengan saya. Setiap saya pulang, hampir setiap hari dia bilang dengan polosnya, ‘Aku pijat bahumu, ya.’”


Nada suaranya terdengar sedikit kesal seperti menyimpan rasa iri, dan itu cukup membuat ketegangan sedikit mereda.


"Nama saya Kusunoki Masaomi... Kami tidak sekelas, tapi kami satu sekolah."


"Begitu ya. Kalau putriku bisa sedekat itu denganmu, kau pasti anak baik."


"Ahaha... Saya tidak terlalu yakin soal itu."


"Kalau begitu, hubungan kalian dimulai dari rasa penasaran atau sekadar main-main?"


Masaomi tersentak, seperti ada aliran dingin menembus ke dalam hatinya.


"T-tidak! Sama sekali bukan! Saya serius... Saya sungguh-sungguh menyukai Hibari-san..."


Entah kenapa, seolah kata-kata ayah Hibari menyentuh sesuatu yang rawan dalam dirinya, membuat nada suaranya sedikit melonjak.


"Muda sekali... Muda dan lurus. Masa remaja memang seperti itu, ya. Saya sudah tidak bisa mengingatnya lagi."


Mungkin karena Masaomi masih terlihat tegang, ayah Hibari tampaknya tidak menyadari kegelisahan Masaomi. Ia hanya mengalihkan pandangan kembali ke televisi, seakan menghindari sinar yang terlalu menyilaukan.


Meskipun ayah Hibari berkata demikian, hanya orang yang pernah muda yang bisa membandingkan masa remajanya dengan remaja sekarang. Masaomi pun berusaha untuk tidak memikirkan kata-katanya dan lebih fokus pada percakapan, mencoba menenangkan diri.


Sebenarnya... gumam Masaomi dalam hati, aku ini sedang mengakui apa, sih? Rasanya aku sedang dipaksa naik ke tiang eksekusi. Apakah aku akan mati karena malu? Apa aku sedang diuji? Diuji apakah cintaku kepada Hibari itu sungguh-sungguh? Apa ini sejenis ujian cinta yang biasa muncul di cerita-cerita? 


Kalau sudah sampai berpikir seperti itu, berarti Masaomi memang sudah tidak tenang. Dan dalam ketidaktenangannya itu, ayah Hibari melepaskan kalimat selanjutnya sambil tetap menatap layar televisi—dan kalimat itu mengguncang kewarasan Masaomi seperti air es yang disiramkan ke kepala untuk kedua kalinya:


“Bisa sebegitu setia pada gadis yang sebegitu di luar nalar... hanya remaja yang mungkin sanggup begitu.”


Tidak, ini bukan hanya air dingin. Ini seperti terkubur hidup-hidup di dalam balok es yang tebal. Rasanya seperti baru saja mendengar kata-kata paling kejam dan menyakitkan di dunia.


Terakhir kali Masaomi merasakan keputusasaan sebesar ini adalah saat menjelang masuk SMA, ketika ia mengalami kecelakaan lalu lintas, tak sadarkan diri, dan terbangun di rumah sakit dengan tubuh yang tak bisa dikendalikan. Tidak peduli apa pun yang ia lakukan, semuanya terasa sia-sia, bahkan hidup normal saja terasa mustahil. 


Sensasi tak berdaya itulah yang kini muncul kembali. Tapi kali ini, ada satu perbedaan. Dalam sekejap, cahaya lenyap, suara menghilang, suhu pun sirna, dan napas seakan berhenti—namun bagian otak yang paling dalam justru mendidih. Jantungnya berdentum begitu keras hingga terasa akan menerobos keluar dari dada.


Kalaupun emosi punya titik didih, itu tidak berarti apa-apa. Karena tidak seperti cairan yang bisa menguap, gejolak ini justru menjadi bahan bakar bagi amarah yang terus membuncah tanpa henti.


Kalau penyakit yang disebut “mental diver” atau "astral diver" adalah kelainan otak yang memisahkan jiwa dari raga, maka Masaomi yakin, saat ini dirinya sudah sangat mampu menembus ke dunia mental itu—ke Astral Side.


“...Apa, barusan?”


Kalau suara Masaomi masih bisa terdengar normal saat bertanya, itu benar-benar keajaiban.


"Kalau kau pacaran dengan dia, kau pasti tahu juga, bukan? Tentang 'dunia spiritual Astral Side' atau apalah itu yang sering dia bicarakan."


"Itu... ya, tentu saja saya tahu."


"Tapi kau tidak benar-benar mempercayainya, kan? Itu hanya penyakit. Dia cuma terjebak dalam halusinasi, antara sadar dan tidak. Kalau dia cuma tenggelam dalam dunia itu sendirian, mungkin lebih baik. Tapi dia percaya bahwa dunia itu nyata, bahkan mengaku menyelamatkan dunia dari sana... Itu sudah keterlaluan. Apa kau bisa membayangkan bagaimana rasanya, ketika orang tua mendengar putrinya bicara hal seperti itu dengan wajah serius?"


—Kau yang bicara begitu? Kau, yang orang tuanya?


Kata-kata itu hampir keluar dari mulut Masaomi. Tapi ia menahannya. Karena kalau ia lepaskan, kesan yang didapat orang tua Hibari terhadap dirinya akan langsung jatuh bebas ke titik terburuk. Mungkin Masaomi sendiri akan merasa lega setelah mengungkapkannya, tapi bagaimana dengan Hibari?


Bagaimana jika dia tahu bahwa kekasihnya tidak akur dengan orang tuanya, dan itu membuatnya bingung atau sedih? Karena itulah, keinginan untuk marah-marah dan berteriak ia telan dalam-dalam. Ia berhasil menahannya. Andai saja percakapan berhenti di situ… Mungkin ini akan berakhir hanya sebagai kesalahpahaman yang menyedihkan.


"Tahu tidak, kapan semua ini mulai? Seingatku, saat dia masih SD. Waktu itu, karena sedikit kelalaian, dia membentur kepalanya cukup keras dan sempat tak sadarkan diri. Setelah beberapa waktu, barulah dia mulai bicara soal ‘dunia spiritual Astral Side’ dan semacamnya. Kupikir, mungkin ada kerusakan di bagian penting otaknya… Akan sangat membantu kalau kau juga bisa membujuknya agar bisa kembali normal. Sebelum menyelamatkan dunia dalam mimpinya, semoga dia bisa menyelamatkan hati orang tuanya. Kalau tidak, kurasa dia tidak akan sebanding denganmu yang hidup ‘normal’.”


Maafkan aku, sungguh.


Permintaan maaf ayah Hibari yang terdengar tulus itu—justru karena ketulusannya—terasa seperti pedang yang menusuk dalam ke hati Masaomi. Dan lebih menyakitkannya lagi, pedang itu penuh dengan duri yang akan terus melukai setiap kali mencoba mencabutnya.

Meski begitu—meski harus membuat hatinya berlumuran darah—ia tidak ingin berhenti. Di sinilah batas terakhir Kusunoki Masaomi.


"──Jangan main-main."


Suara marah yang dilontarkan dengan tenang itu membuat Ayah Hibari, juga Ibu Hibari yang sedang menyiapkan makan malam, menghentikan gerakannya. Raut wajah mereka menunjukkan rasa curiga, seolah menyadari bahwa Kusunoki Masaomi perlahan sedang menulis ulang posisi mereka terhadap dirinya sebagai "orang asing".

Namun—hal semacam itu tidak lagi penting. Peduli setan.


"Kenapa semua orang tak pernah mencoba melihat dari sudut pandang Hibari? Kenapa tak ada satu pun yang mau mengakui keberadaannya? Dunia pribadi yang dia yakini sebagai ‘nyata’ selalu disangkal, digantikan dengan dunia ‘yang benar’ versi kalian. Dengan dasar apa kalian begitu yakin itu yang benar? Apakah rumus yang hanya bisa dipecahkan oleh jenius lalu dianggap salah? Apakah manusia yang bisa lari seratus meter dalam sembilan detik adalah orang gila? Bukankah itu yang sedang kalian lakukan? Karena kalian tidak bisa merasakannya sendiri, kalian langsung menyimpulkan bahwa itu pasti salah. Kalian seenaknya menarik batas dan menilai apakah kami sepadan atau tidak—jujur saja, itu menjijikkan."


Ini bukan sekadar tindakan ceroboh. Ini sudah jauh melampaui batas kegagalan.


Begitu ia kehilangan kendali, Masaomi jatuh bebas. Seperti anak kecil yang mengamuk karena tak bisa mengungkapkan perasaannya dengan benar, dia hanya bisa mengulang-ulang protes tanpa logika yang jelas: Hibari tidak salah. Jangan menghakimi. Aku percaya padanya. Kalimat-kalimat sepihak seperti orasi demonstrasi politik.


Hibari pernah menyebut Masaomi sebagai anak yang "datar". Dan Masaomi pun cukup menyadari bahwa sejak kecelakaan itu, setidaknya dari luar, ia memang terlihat demikian. Namun itu hanya soal apakah ia menampakkan perasaan di permukaan atau tidak—batinnya sendiri merasa bahwa ia masih merasakan emosi seperti orang lain.


Justru karena itu, tak mungkin baginya untuk melewati situasi ini dengan perasaan datar. Itu seharusnya hal yang wajar. Karena—ia merasa sangat frustrasi.


Begitu pula ketika di pantai. Ia teringat ekspresi orang-orang yang meremehkannya, yang menyatakan bahwa dirinya tidak sepadan dengan Hibari. Tatapan kasihan itu sungguh menyakitkan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, karena Masaomi tahu bahwa itu menyentuh kecemasan yang memang sudah ada di dalam hatinya.


Dulu, ia pun pernah melihat Hibari sebagai sosok yang "berbeda" dan menarik garis pembatas dengannya. Ia pernah berada di pihak yang memberi label seperti itu. Kenyataan tersebut kini terasa seperti noda menjijikkan yang tak bisa hilang dari hidupnya.


Dan kini, untuk menebusnya, ia justru memberontak habis-habisan. Ia ingin menjadi seseorang yang melindungi dunia Hibari, menjadi "guardian" yang setia, dan berusaha keras untuk pantas berdiri di samping Hibari. Ia ingin percaya bahwa dirinya tidak lagi seperti mereka. Ia tidak akan meninggalkan Hibari. Itulah yang berulang kali ia tanamkan dalam diri.


Karena, pada kenyataannya, ia sendiri tidak yakin apakah ia benar-benar percaya pada dunia Hibari. Karena merasa bersalah, ia jadi agresif dan menyerang. Dan justru karena menyadari hal itu, Masaomi merasa geram, malu, dan frustrasi dengan dirinya sendiri.


Perasaan telanjang yang perlahan-lahan keluar dari cangkang pertahanan diri itu, pada akhirnya, terhubung dengan akar yang paling dalam dalam dirinya.


“...Maaf karena kehilangan kendali. Aku minta maaf atas sikap tidak sopanku. Tapi, aku tidak akan menarik kembali ucapanku.”


Tanpa menarik napas dalam sebanyak tiga kali, ia takkan mampu mengucapkannya.


“Hibari bukanlah gadis aneh seperti yang kalian pikirkan. Tak seperti aku, dia mampu menghadapi dirinya sendiri, berpikir matang, bergumul dengan perasaannya, dan tetap bisa menatap ke depan—dia adalah gadis yang luar biasa dan sangat manis. Dia jauh berbeda dengan orang seperti aku, yang bahkan tak bisa berdiri teguh di atas akarnya sendiri…”


Dan ketika ucapan Masaomi itu, yang bercampur antara pergulatan batin dan kekaguman, selesai,


“—Aku benar-benar bersyukur, dari lubuk hati, bahwa kau adalah pemuda yang mampu marah demi Hibari. Meski dia sering bersikap seakan tenang dan dewasa, dia anak yang penuh mimpi dan mudah terhanyut. Tapi tampaknya, setidaknya dia bisa memilih orang dengan baik.”


Ayah Hibari tidak lari, tidak membelokkan pembicaraan. Ia menerima semuanya dengan tulus dan langsung.


“Eh…?”


“Maaf karena telah bersikap seperti sedang menguji. Sungguh, aku minta maaf—Masaomi-kun.”


Nama yang tiba-tiba disebut itu terasa seperti kode untuk orang lain. Kebingungan Masaomi pun langsung terpancar jelas di wajahnya, mulutnya setengah terbuka tak sempat ditutup—dan tepat pada saat itu, dengan tiba-tiba, Ayah Hibari membungkuk sangat dalam. Ia menundukkan kepala dengan tegak, dari pinggang, dalam sebuah permintaan maaf penuh ketulusan.


“Tak apa jika kamu ingin menertawakanku dan menyebutku sebagai orang tua yang kelewat sayang pada anak. Tapi bahkan jika aku melihatnya dengan pandangan yang memihak, putriku adalah gadis yang rupawan. Sebagai ayah, sebagai wali, aku tak akan mengizinkan putriku berkencan dengan lelaki rendahan yang hanya menilai dia dari permukaan.”


“Tentu saja, jika kamu menyukai dia dengan mempertimbangkan segala hal, termasuk penampilan luarnya, aku tidak akan mempermasalahkan,” lanjut Ayah Hibari dengan nada bercanda, ekspresinya kini tampak seperti balon yang perlahan kehilangan udara—santai dan tidak mengancam. Masaomi mulai memahami, bahwa pembicaraan yang seolah-olah penuh dengan bom waktu ini juga merupakan bentuk tekanan besar yang dirasakan oleh sang ayah sendiri, dalam menjalankan perannya.


“Aku juga harus minta maaf pada putriku nanti. Menyebut anak sendiri ‘tidak waras’ mungkin akan membuatnya tidak mau bicara denganku untuk sementara waktu... Yah, aku akan meminta bantuan istriku untuk mengatasi itu.”


Terdengar suara tawa pelan dari arah dapur.


Meskipun mereka berada di dalam rumah, Masaomi merasa angin telah berubah arah. Ia bisa merasakannya dengan jelas. Bukan angin sungguhan, tetapi lebih seperti suatu medan kekuatan tak berbentuk—berwarna kehangatan dan kasih sayang keluarga. Setelah melihat sekilas saja, kekuatan itu begitu nyata, hingga terasa mustahil untuk berpikir bahwa semua ini hanyalah sebuah sandiwara.


Hanya dari suasananya saja, dari atmosfer ini, Masaomi bisa benar-benar merasakan bahwa Hibari dicintai. Meskipun dia adalah gadis yang memiliki dunia uniknya sendiri, yang di sekolah terlihat seperti orang yang terpisah dari dunia sekitarnya, namun di rumah ini, dia adalah anak yang tak diragukan lagi dicintai. Dan menyadari hal itu membuat Masaomi merasa bangga, seolah itu adalah pencapaian pribadinya.


—Meski kamu berpura-pura kuat dan kesepian, ternyata kamu punya sekutu yang lebih kuat dari siapa pun.


Mungkin itulah alasan Hibari tidak pernah benar-benar patah. Itulah sebabnya dia bisa terus menjalani sekolah, kehidupan sehari-hari, dan hubungannya dengan Masaomi. Karena ada orang-orang yang menjaga dan melindungi realitasnya di balik layar.


“Waktu jeda juga sudah cukup. Sebelum makan malam dingin, mari kita mulai. Ya, Ibu?”


“Ya. Aku sudah menunggu akhir pembicaraan ini dari tadi. Kamu anak laki-laki, kan? Pasti makan dengan lahap, ya? Aku menantikannya. Aku akan membangunkan Hibari sekarang.”


Dengan langkah ringan seolah sudah menunggu dari awal, Ibu Hibari pergi meninggalkan dapur. Masaomi menatap punggungnya dengan senyum kecut. Rupanya, makan malam sengaja ditunda demi memberi ruang untuk ‘pertarungan’ antara Ayah Hibari dan dirinya. Dari situ saja sudah cukup jelas bahwa kasih sayang kedua orang tua Hibari sangat besar, dan bahwa ujian yang baru saja ia jalani adalah semacam ritual yang dianggap penting.


—Hei, Hibari. Bahkan tanpa dunia “Astral Side”, dunia di sini juga ternyata cukup menyenangkan, bukan?


Membiarkan dirinya terbawa oleh gelombang perasaan yang menyengat hingga ke ujung hidung, justru terasa menyenangkan.


“Satu hal lagi, Masaomi-kun. Anggap saja ini hanya nasihat.”


“Apa itu?”


“Aku yakin kamu punya alasan tersendiri, tapi... mungkin kamu perlu lebih berusaha mengekspresikan emosimu. Karena diam itu bisa membuat orang yang berhadapan denganmu merasa tidak tenang. Terutama, jika orang itu adalah putriku.”


Ketika nasihat itu datang dari Ayah Hibari yang penuh wibawa, Masaomi tak bisa berkata apa-apa sebagai balasan. Yang bisa ia lakukan hanya tertawa kecil, seperti menutupi rasa sungkan. Meskipun, ia sendiri tidak yakin... apakah dirinya benar-benar sedang tertawa.


“Perawatan untuk penyakitnya memang sedang berjalan, tapi sepertinya putriku sendiri tidak benar-benar ingin sembuh sepenuhnya. Lagipula, penyakit ini pun masih menyisakan banyak bagian yang belum benar-benar bisa dijelaskan secara rinci. Kabarnya penelitian semakin aktif belakangan ini, bahkan ada obat baru yang diumumkan belum lama ini. Tapi tanpa kehendak dari yang bersangkutan, tidak ada yang bisa dilakukan. Jika hanya berupa tidur pingsan selama beberapa puluh menit, aku mencoba membujuk diriku sendiri untuk menganggapnya seperti tidur siang saja. Kami ini tetaplah orang tua, jadi perasaan ingin melihat anak kami hidup ‘normal’ sulit untuk sepenuhnya dihilangkan. Mungkin karena itulah, anak kami bisa melihat niat itu dengan sangat jelas. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada dia. Maka dari itu, kalau kamu, sebagai sekutunya, bisa menopang Hibari agar ia tidak hancur sampai ia bisa mengambil pilihannya sendiri, kami sangat terbantu.”


“...Kalau itu sesuatu yang bisa aku lakukan, maka... aku akan melakukannya dengan senang hati.”


Pada akhirnya, meskipun Hibari dibangunkan secara paksa, selama makan malam pun dia masih dalam kondisi setengah mengantuk, dan Masaomi nyaris tidak sempat berbincang apa pun dengannya. Meski begitu, gadis itu—yang senantiasa diselimuti tatapan penuh kasih dari Ayah dan Ibu Hibari—terlihat sebagai putri yang lebih berbahagia daripada siapa pun. Dan kini, Masaomi telah diangkat menjadi "Guardian"—penjaga yang akan mendukungnya. Peran itu tidak hanya berlaku di dunia nyata, tapi juga di dunia spiritual, Astral Side. Itu tak akan berubah.


Meskipun ia tak bisa merasakan atau memahami dunia Astral Side, Masaomi yakin bahwa ia tetap bisa melakukan sesuatu demi Hibari.

Meski ia tidak bisa merasakannya. Setiap kali ia mengulang kalimat itu dalam benaknya, Masaomi selalu merasakan sensasi kasar yang tertinggal. Ia tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, tapi ia yakin—bahwa mungkin, justru perasaan semacam ini tak akan bisa dirasakan oleh Hibari.


Seperti sesuatu yang penting tertinggal. Sebuah kunci untuk bisa maju. Atau mungkin, sesuatu yang lebih mendasar—syarat utama yang belum terpenuhi.


—Bagaikan permen yang tak kunjung meleleh dalam mulut, ia terus-menerus menggulirkan rasa ganjil itu dalam benaknya. Ada sesuatu yang mengganjal. Ada sesuatu yang terlupakan. Ia merasa demikian.


Di dalam tekad bening seperti bola kaca yang ia genggam—tekad untuk menghadapi semuanya secara langsung, untuk tetap berada di sisi Hibari—terselip setetes tinta hitam. Kekhawatiran yang keruh. Ketidaksesuaian yang mendalam. Atau, mungkin sebuah ketidakjujuran yang selama ini sengaja dihindari.


Mungkin itulah akar, alasan, dan asal mula dari hubungan mereka yang sekarang. Sebuah papan tipis yang menutupi pintu menuju jurang gelap—sekali dibuka, ia akan terseret sepenuhnya ke dalamnya. Dan yang akan menyingkap penutup itu, bukanlah sosok iblis yang licik.

Justru seseorang dengan wajah polos bak malaikat, yang tanpa dosa, melayang ringan dan hadir tepat di sisi jurang tersebut.


Masaomi akan menyadari hal itu... beberapa waktu lagi.



Chapter 6
Itu Seperti Racun yang Meresap ke dalam Kesucian


"Baiklah, sepertinya sudah saatnya kita menancapkan tiang ini."

"Selama aku masih hidup, jangan harap kau bisa menjadikan tempat ini sebagai wilayahmu dengan mudah!"

"Kau lagi? Sungguh tak pernah bosan, ya..."

Tanpa mendengarkan sampai akhir, Valkyrie mengayunkan tombaknya.

"—Terlalu bernafsu. Sifat egois seperti itu, jangan-jangan kau sebenarnya seorang Ranseisha Selfy, ya?"

"Aku tidak mau mendengarkanmu! 'General'!"

Menyusul seruannya, seorang pria bertopeng mengenakan baju zirah ala barat menerjang ke arah bos.

"Aduh... Untuk saat ini, singkirkan saja 'Guardian' yang mengganggu itu."

Dengan serangan tak kasatmata, pria berzirah itu langsung dilenyapkan. Valkyrie yang tampaknya sangat mempercayainya tampak menggertakkan gigi dengan wajah sedih. Rasanya seperti dada dan perut ini ikut sakit, entah kenapa terasa terlalu ikut terbawa emosi. Sebuah cara keluar panggung yang menyedihkan, pikir Masaomi.
Mimpi ini sudah beberapa kali ia alami.

Bukan mimpi jernih (lucid dream), melainkan sebuah dunia yang ia pahami secara naluriah. Meskipun seharusnya Masaomi tidak pernah berada di sana, tapi narasinya berputar seolah keberadaannya di sana adalah hal yang wajar.

Ah, jadi ini lagi, pikirnya. Nalurinya langsung menyesuaikan diri. Di suatu tempat yang tak dikenalnya, kebanyakan orang yang tak pernah dilihatnya, dengan rupa dan bentuk beragam, bertarung sesuai aturan tertentu. Terdapat dua kubu besar, mereka bertarung dalam bentuk perebutan wilayah—dengan istilah-istilah seperti "markas" atau "tiang" layaknya permainan papan. Kadang terjadi konfrontasi langsung, dan hasilnya selalu berubah tergantung tempat dan waktu. Pertarungan antar wilayah yang terus berulang. Intinya, ini adalah mimpi semacam itu.

Masaomi yang hadir seolah di antara dunia nyata dan mimpi, selalu berada di dekat Valkyrie yang berkaki indah itu, namun ia sendiri tidak eksis di sana. Ia tidak ikut dalam pertempuran, hanya seperti roh gentayangan yang mengamati dari atas, bersama dua matahari yang menggantung di langit. Ia hanya menyaksikan hasilnya.

“'Wind', sungguh kau benar-benar seenaknya...!”

“Itu juga berlaku untukmu, bukan? Di dunia ini, logika dunia nyata tak ada artinya. Yang penting hanyalah seberapa jauh kau bisa mengorbankan diri demi dunia ini. Itu saja. Kau sepertinya tidak mampu.”

Sosok bos berambut biru yang dipanggil “Wind” tidak menunjukkan tanda-tanda akan bertarung. Dengan sikap seolah bisa membunuh kapan saja, ia terang-terangan menantang Valkyrie.

"Wind"—nama itu terdengar familiar, tapi saat bermimpi, biasanya banyak memori yang hilang, jadi Masaomi hanya bisa pasrah pada perasaan "ah, begitulah mimpi ini".

"Kau seakan-akan ingin mengatakan bahwa pikiranku tak sepenuhnya ada di sini."

“Begitukah terdengarnya? Yah, mungkin memang begitu. Aku pikir kau mencemari nama baik para Astral Diver.”

“Apa maksudmu dengan itu?”

“Kau tak memahaminya? Ya, tentu saja. Itulah sebabnya kau hanya bisa ‘jatuh’ sejauh ini. Kau terlalu setengah-setengah. Padahal kau punya kemampuan cukup kuat, tapi hanya bisa sampai di sini. Kau terlihat sangat terikat pada 'Guardian'-mu tadi, bukan? Bahkan, mungkin kau lebih peduli padanya dibanding dunia Astral Side ini.”

Valkyrie mengayunkan rambut perak-birunya dan menatap tajam ke arah “Wind”.

"Benar ya? Tak bisa membantahnya, huh. Sungguh… dangkal sekali."

Dengan wajah bosan, “Wind” mengabaikannya. Tak berusaha menyembunyikan rasa meremehkannya.

“Kau punya sesuatu yang sangat penting di dunia sana, tapi masih campur tangan di sini hanya untuk kesenangan. Itu sendiri sudah merupakan penghinaan terhadap para Astral Diver. Entah apa maknanya bagimu, tapi…”

Tombak panjang yang diangkat Valkyrie kembali terpental oleh kekuatan tak kasatmata. Bahkan Masaomi yang hanya penonton bisa melihat betapa jauhnya perbedaan kekuatan mereka. Jarak yang tak terjangkau.

“Dengan kedalaman selevel itu, masih ingin menghalangi jalanku? Sungguh menggelikan. Cepatlah kembali ke Material Side, patahkan sayapmu oleh beban keterikatan yang remeh, dan remuklah dalam keputusasaan. Tenggelam saja selamanya dalam ‘normalitas’ yang takkan pernah bisa dimiliki seorang Astral Diver.”

“Wind” bahkan tak lagi memandang Valkyrie.

Tanpa menuntaskan serangan, seolah hanya batu pinggir jalan, ia pergi begitu saja dengan raut kesal. Kesadaran Masaomi yang selama ini bersama Valkyrie mulai pudar, seperti melepaskan posisi matahari dan tenggelam dalam kabut senja. Ia sudah hafal perasaan ini. Tanda bahwa mimpi ini akan segera berakhir.

Wujud Valkyrie, yang bisa dikatakan sebagai perwujudan langit itu sendiri, sudah menghilang dalam mimpi. Di ujung pandangannya yang perlahan mengosong, punggung "Wind" terus menjauh.

“…Ah, menjengkelkan. Sungguh menjengkelkan. Apakah karena si bodoh itu semakin mendekat padaku? Jangan sentuh aku sembarangan, dasar pengkhianat. Dunia nyata ini, kenapa isinya semuanya begini… sungguh menjengkelkan!!”

Sosok yang membawa nama angin itu, bagai badai yang brutal, terus mengoyak dunia dan mengaum. Menghancurkan segalanya yang bisa dijangkau. Hingga rasa kesal dan perih dalam hati, bayang-bayang ilusi yang jauh, semuanya lenyap tak bersisa.

Berkali-kali. Tanpa henti.

Sering kali, kebetulan menjadi pemicu dari segalanya. Terlebih jika yang mengalaminya adalah seseorang seperti Kasuka, yang memiliki kebiasaan berkeliaran tanpa tujuan—seorang pemuja prinsip spontanitas. Pertemuan kebetulan itu tidak memiliki niat atau makna apa pun. Hanya semata-mata karena “entah kenapa”, “kebetulan saja”, “karena suasana hati”—syarat-syarat yang samar itu secara tidak sadar bersatu dan membawa mereka pada kejadian tersebut.

Rumah Sakit Universitas Kedokteran Sakuragi—atau lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Kedokteran. Di pelatarannya ada sebuah taman kecil yang terlalu sempit untuk disebut taman umum. Tempat itu dibangun untuk rehabilitasi pasien rawat inap atau sebagai tempat penyegaran pikiran, seperti halaman yang menempel langsung pada bangunan rumah sakit. Ada bangku, mesin penjual otomatis, kantin yang agak jauh, toilet umum, dan jalur pejalan kaki—semua fasilitas yang diperlukan tersedia di sana. Rumputnya dipotong rapi, dan jalan setapaknya dibuat dari beton yang menyerupai batu paving, membentuk lengkungan lembut.

Di sudut halaman itulah Kasuka melihat punggung Keiji. Sudah memasuki awal Agustus, pertengahan libur musim panas. Bahkan di akhir pekan biasa pun, jarang melihat Keiji dengan pakaian kasual. Tapi sosok tinggi berambut cokelat dan lengan panjang itu sudah sangat akrab baginya. Tidak mungkin Kasuka salah orang.

Keiji terlihat baru saja memasuki Rumah Sakit Kedokteran. Kasuka tidak pernah mendengar bahwa Keiji memiliki kondisi kesehatan yang buruk atau rutin berobat. Mungkin ia sedang menjenguk seseorang?
Paling tidak, menyapa adalah hal yang pantas untuk dilakukan, pikir Kasuka. Maka ia berlari kecil mengejarnya ke dalam rumah sakit.

Rumah Sakit Kedokteran itu luas. Saking luasnya, tidak aneh kalau ada orang yang salah sangka bahwa "Kedokteran" pada namanya mengacu pada rumah sakit besar. Karena tempat ini juga merupakan fasilitas penelitian klinis universitas, selain bangunan rawat inap, ada berbagai jenis fasilitas yang dibangun bersamaan. Bahkan pasien yang sering berkunjung pun belum tentu memahami seluruh kompleks rumah sakit. Bisa jadi, bahkan staf rumah sakit pun pernah tersesat di dalamnya.

Apalagi kalau orangnya seperti si bodoh ini—jelas sudah seperti takdir: pasti tersesat.

Kasuka pun segera menyerah dan tersesat. Upaya pengejaran yang amatiran itu tidak bertahan lebih dari lima menit. Bahkan pengantar anak-anak bisa bertahan lebih lama dari itu. Benar-benar menyerah total secepat kilat.

“—Rumah sakit ini rumit sekali, aku pulang saja, ah.”

Niat awal sudah seperti menyerah sendiri. Sekalipun rapat pagi yang asal-asalan pun bisa bertahan sampai sore, fokus Kasuka yang selembut kapas itu tidak bisa bertahan lama. Namun saat itu, dalam penglihatan acak Kasuka yang setengah sadar, ia melihat wajah yang dikenalnya.

"Hah?" gumamnya sambil memiringkan kepala, menatap tempat entah di mana dalam rumah sakit itu. Benar saja, orang itu ada di sana. Entah ia tidak menyadarinya ketika lewat sebelumnya, atau memang orang itu baru saja keluar dari ruang pemeriksaan—itu tidak jelas.
Kemungkinan besar, mungkin, sepertinya, kira-kira, agak-agak, sepertinya tidak salah, ya mungkin begitu.
Langsung berlari. Entah Kasuka mendengar atau tidak peringatan perawat yang menyuruh untuk tidak berlari di rumah sakit. Ia menghindari kakek di kursi roda, pria berwajah letih yang tampak sedang menemani seseorang, anak kecil yang menangis karena takut disuntik, dan menyandung kaki kursi di ruang tunggu, sebelum akhirnya terjatuh tepat di depan targetnya.

Orang yang Kasuka temukan pastilah sangat terkejut. Matanya terbelalak seperti lubang bagel yang sering dimakan Masaomi saat makan siang. Ia melihat si bodoh yang tiba-tiba muncul dari samping.

“Halo! Aku Tachibana Kasuka dari kelas 1-1, temannya Masaomi. Senang bertemu, Sasuga-san!”

“Eh, eeh… kamu, kalau tidak salah…”

Pemilik mata bagel itu—yakni kekasih terhormat Masaomi, Sasuga Hibari—berbicara dengan suara yang seperti tersangkut duri ikan di tenggorokan. Wajar saja, karena ini di rumah sakit. Kasuka pun merasa masuk akal jika kondisi tubuhnya sedang kurang baik.

“Maaf, boleh aku minta ulangi lagi?” pinta Hibari.

Mungkin karena terlalu terkejut, komunikasi mereka tidak berjalan lancar. Maka Kasuka mengetik ulang ucapannya kata demi kata di aplikasi catatan di ponsel, dan menunjukkannya.

“Halo. Senang bertemu... kurasa begitu, ya? Katanya kamu orangnya cukup unik…”

Sasuga Hibari memandangi Kasuka dengan saksama, lalu akhirnya mengangguk seolah mengerti.

“Memang seperti karakter anime… ya mungkin begitu. Maaf, pertanyaan sederhana saja, tapi... bukannya panas memakai pakaian seperti itu?”

"Aaah, Masaomi juga selalu bilang begitu setiap kali lihat aku pakai baju kasual. Memang panas sih, tapi kupikir ini lucu."

Kasuka menunduk melihat pakaiannya sendiri. Blus putih lengan panjang penuh renda, bustier biru muda, rok mini balon warna pink pastel favoritnya, dan stoking selutut motif garis biru tua dan pink—meski sebelahnya salah pakai, jadi hanya pakai stoking polos warna sama. Tapi menurutnya tidak masalah. Sepatunya dihiasi bulu dan sayap warna pink yang lucu, dan tanpa ragu ia merasa tampil sangat menawan. Menurut standar Kasuka, ini sempurna. Maka ia pun menaruh tangan di pinggang dan membusungkan dada dengan bangga.

“Jauh lebih… eh, tidak, lupakan saja. Aku bukan dalam posisi untuk mengomentari gaya orang lain. Memang warnanya cukup mencolok, tapi anehnya, semua itu cocok sekali denganmu.”

Walau masih agak terkejut, Hibari tetap berusaha melanjutkan percakapan. Kasuka langsung merasa bahwa dia orang baik. Menurutnya, di dunia ini ada cukup banyak orang tidak baik dan sejumlah orang baik, dan Sasuga-san ini termasuk yang terakhir.

“Kamu kenapa di sini? Sakit, ya? Ini kan rumah sakit?”

“Ya, ini memang rumah sakit. Masaomi belum bilang? Aku punya beberapa masalah. Jadi ke sini untuk pemeriksaan. Tapi kamu sendiri kenapa di sini?”

"Aku… kurasa aku kurang pintar. Tapi hari ini cuma kebetulan saja ke sini. Aku lihat Keiji, terus aku kejar, tapi pas lagi nyari eh malah hilang. Kamu tahu jalan pulang, Sasuga-san?"

“Keiji… maksudmu Orito-kun? Anak yang agak berandalan itu. Kami pernah beberapa kali bicara. Mungkin dia sedang menjenguk… yang itu. Tapi kamu yakin tidak apa-apa langsung pulang?”

"Yang itu? Aku tidak punya teman hantu, lho. Tapi ya sudah, soalnya sudah tidak ketemu."

“Uh, begitukah… kamu unik sekali, ya. Dalam artian, sangat bertolak belakang dengan aku yang sadar akan segalanya.”

"Ehehe, aku dipuji oleh Sasuga-san! Nanti aku akan pamer ke Masaomi, deh!"

“Bukan berarti aku benar-benar memuji, sih… yah, sudahlah. Meski tidak sepenuh hati, aku cukup mengenal tempat ini. Jadi, kalau kamu tahu nama gedung rawat yang kamu cari, aku bisa mengantarmu. Tapi kalau kamu mau pulang, aku juga akan ke pintu masuk, jadi kita bisa jalan bareng. Bagaimana?”

"Terima kasih! Sasuga-san memang orang baik, ya! Soalnya, kamu pacarnya Masaomi!"

“Syukurlah,” pikir Kasuka dari lubuk hatinya yang paling dalam. Bahwa Masaomi bisa mendapatkan pacar sebaik ini berarti Masaomi bisa menjadi bahagia, dan itu adalah kebahagiaan bagi Kasuka juga. Meski dia sendiri tidak tahu apa sebenarnya arti kebahagiaan, tapi pasti seperti itulah.

“Seperti pemujaan tingkat agama... Masaomi-kun ini sebenarnya siapa, sih…”

Sambil bertukar percakapan seperti itu, mereka mulai berjalan menuju pintu masuk rumah sakit dengan Sasuga Hibari sebagai penuntun.

Sambil memandangi interior rumah sakit yang didominasi warna putih, Kasuka memastikan apakah Keiji akan muncul secara tiba-tiba atau tidak. Gerak-geriknya sangat mencurigakan, seperti ilustrasi yang menjelaskan arti kata "waspada", dan bahkan terdengar suara "celingak-celinguk" jika bisa divisualisasikan. Tapi anehnya, tidak ada satu pun yang menegurnya, mungkin karena mereka mengira dia adalah pasien yang kabur dari salah satu bangsal.

Ucapan Hibari bahwa dia cukup mengenal tempat ini ternyata bukan omong kosong. Dengan langkah tanpa ragu, mereka pun sampai di area yang terasa lebih sepi dari sebelumnya. Melihat papan penunjuk bertuliskan “Lantai 4”, Kasuka baru menyadari mereka sudah sampai lantai empat, dan berkomentar seadanya. Hibari menjelaskan bahwa karena struktur rumah sakit, area dekat lift ramai karena digunakan banyak pasien, sementara sisi tangga jarang digunakan sehingga lebih sepi. Kasuka mengangguk, berpikir masuk akal—pasien yang sakit tentu tidak punya tenaga menaiki tangga ke lantai empat. Memang jarang terlihat pasien yang naik tangga sampai lantai atas.

Di tengah ketenangan itu, Hibari membuka suara, seolah sudah menunggu momen yang tepat.

"Hei, Tachibana-san."

Dia adalah pacar Masaomi yang sangat dihormati. Tidak mungkin Kasuka mengabaikannya.

"Ada apa? Kenapa? Apa kamu menemukan Keiji?"

“Orito-kun sepertinya tidak terlihat, tapi… Tachibana-san, kamu cukup akrab dengan Masaomi-kun, kan?”

"Yup. Masaomi selalu baik padaku. Dia banyak ngajarin hal, dan dia itu keren banget! Kamu juga pasti berpikir begitu, kan, Sasuga-san?"

Mungkin sudah terlalu pasrah menghadapi pujian berlebihan yang seperti banjir bandang, Hibari tidak menanggapi bagian itu dan melanjutkan,

“...Masaomi-kun, pernah bilang sesuatu tentangku padamu?”

Itu pasti pertanyaan yang diutarakan dengan penuh tekad. Bibirnya sedikit bergetar menunggu jawaban, dan mata yang menatap Kasuka pun terlihat gemetar dengan jelas, meskipun nadanya dibuat santai seolah-olah hanya obrolan biasa. Tapi wajahnya tegang seperti tali busur yang ditarik penuh.

Dia mungkin sadar akan sifatnya yang tidak biasa. Meskipun Masaomi menerimanya sebagai pacar, dia tidak tahu bagaimana Masaomi membicarakannya di depan teman-temannya. Itu pasti membuatnya penasaran. Meskipun Kasuka tidak bisa membaca isi hati orang sejauh itu, dia tetap merasa, "Huh, kenapa tiba-tiba jadi serius, ya?"

"Yup. Dia sering bilang kamu imut banget, terus bilang kamu super imut, pokoknya selalu ngomongin betapa imutnya kamu. Dari awal sampai sekarang, dia selalu begitu. Sepertinya Masaomi benar-benar tergila-gila sama kamu, deh."

"…Benarkah? Kalau kamu ngomong sejujur itu… rasanya tidak buruk, ya. Ya ampun, Masaomi-kun, memalukan sekali… Tapi ya, memang tidak buruk. Hmm, tidak buruk sama sekali."

Seperti itulah ekspresi orang yang tersenyum sangat lebar. Sasuga Hibari, yang biasanya terlihat tenang dan dingin, sekarang benar-benar meleleh karena mengetahui bahwa pacarnya memujinya di belakangnya. Adegan ini jelas akan jadi berita utama kalau terjadi di sekolah. Tapi, lawannya adalah Kasuka—ketua besar dalam dunia kebodohan. Meski dia bisa membaca suasana jika lawannya adalah maskot Orix (tim baseball), tapi dia tidak bisa merasakan gejolak batin rumit dari gadis seumurannya. Menyalahkan Kasuka dalam hal ini mungkin kejam, tapi jika bukan dia lawannya, mungkin perbincangan ini tidak akan berubah arah dengan cara seperti ini.

Kasuka memang bodoh, tapi ingatannya tidak buruk—terutama jika itu menyangkut Orix. Maka, peristiwa ini bisa dikatakan sebagai akibat dari benih yang akhirnya tumbuh—sebuah hal yang tidak bisa dihindari.

"Ah, aku baru ingat. Tentang Masaomi dan Sasuga-san… itu, soal jimat keberuntungan!"

"Jimat…?"

Dengan polos, tanpa rasa bersalah, seakan dipandu oleh wahyu dari dewa, Kasuka pun meluncurkan kalimat yang mematikan.

“Awalnya itu, kan… Masaomi mengaku karena hukuman permainan. Aneh ya, dari situ malah beneran jadi pacaran!”

Langkah kaki di belakangnya langsung terhenti.

Dalam jeda sependek waktu pintu otomatis rumah sakit membuka dan menutup, Kasuka belum menyadari apa yang terjadi. Tapi dia mulai sadar karena tidak lagi mendengar respons dari Hibari, dan menoleh ke belakang.

Sasuga Hibari… sedang gemetar.

Meskipun jaraknya hanya beberapa meter, Kasuka bisa melihat jelas bahwa Hibari seperti habis dihantam kenyataan—bergetar hebat seperti orang yang baru saja jatuh dari langit. Suasana menjadi sunyi, seolah malaikat baru saja lewat. Tapi Kasuka tidak bisa menangkap maksud dari keheningan itu.

“Ada apa? Kamu sakit? Kalau mau ke toilet, itu ke sana loh—”

“Apa maksudmu…?”

“Eh? Kalau kamu mual, toiletnya—”

“Bukan itu. Bukan itu, Tachibana-san. Maksudku… soal hukuman permainan tadi.”

“Hmm?” Kasuka memiringkan kepala, lalu kembali mendekat ke arah Hibari yang berhenti di tengah lorong rumah sakit. Karena mereka berdiri di tengah jalan, mereka pun bergeser ke sisi lorong agar tidak mengganggu.

“Jadi maksudmu… Masaomi-kun mengaku padaku karena hukuman permainan… itu benar?”

“Iya, dong. Keiji juga bilang gitu. Oh iya, aku belum jadi ke bendungan. Kamu suka bendungan, nggak, Sasuga-san?”

Pertanyaan yang tulus untuk mencari teman sesama pecinta bendungan itu pun—tidak direspons sama sekali. Saat Kasuka mulai gemetar karena kebenaran yang mengerikan—bahwa mungkin tidak ada orang yang suka bendungan—Sasuga Hibari akhirnya membuka mulut setelah terdiam selama satu menit penuh.

Namun, yang ia katakan bukanlah sesuatu yang Kasuka harapkan.

“...Begitu, ya. Jadi memang begitu. Aku sudah tahu, seharusnya aku tahu dari awal. Tapi kenapa, kenapa aku malah merasa seperti ini…”

Sebenarnya, itu bahkan bukan kalimat yang ditujukan pada Kasuka. Seolah suhu ruangan tiba-tiba turun drastis, tubuh Hibari bergetar hebat seperti sedang memeluk dirinya sendiri. Jelas sekali berbeda dengan ekspresi ceria yang ia perlihatkan sebelumnya.

Meskipun begitu, Hibari masih terlihat berusaha tegar. Mungkin karena itu, Kasuka tanpa sadar mendorongnya lebih jauh—mengatakan hal yang seharusnya tidak dikatakan.

“Benar-benar, itu memang benar, ya?”

Kasuka tidak bisa berbohong. Baik pada Orix maupun pada hal-hal lain, ia secara mendasar tidak tahu cara berbohong. Maka, dorongan terakhir itu pun menjadi nyata.

“Ya. Awalnya dia terus mengeluh, bilang 'nggak mau, nggak suka' berulang kali. Keiji bahkan tertawa waktu cerita soal itu.”

“…Begitu. Kalau kamu, sahabatnya, yang bilang begitu… berarti memang benar. —Itu kejam… sungguh kejam.”

Sasuga Hibari menunduk dan mulai bergumam pada dirinya sendiri. Katanya sejak awal semua ini terasa aneh, terlalu sempurna baginya—hal-hal yang tak dapat dimengerti Kasuka. Jadi, Kasuka memutuskan untuk hanya menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan.

“Soal gelombang otak lah, soal rasa bosan lah… Masaomi itu memang suka membantah, ya. …Kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat. Ini kan rumah sakit, mau periksa dulu?”

“Tidak apa-apa… Ya, aku tidak apa-apa, Tachibana-san. Tidak ada masalah. Sama sekali tidak…”

Dengan suara yang jelas tidak terdengar meyakinkan, ia menyentuh jepit rambutnya seakan menahan sakit kepala. Tapi saat seseorang mengatakan “tidak apa-apa,” Kasuka tidak tahu harus merespons bagaimana.

“Kalau kamu ingin pulang, tinggal turun tangga ini lalu lurus ke arah resepsionis. Setelah itu, kamu sudah bisa pulang.”

“Ya, bisa pulang. Dan, dan…"

“Kalau begitu, aku pamit dulu. —Maaf ya, sudah membuatmu menemani ‘pacar dari hukuman permainan’ seperti aku.”

“Eh? Uh, ya… Aku nggak apa-apa, kok. Lagipula, meskipun Masaomi bilang itu hukuman permainan, aku rasa dari awal dia cukup serius, dan… aku yakin dia benar-benar sayang sama kamu. Soalnya aku belum pernah lihat wajah Masaomi sebahagia itu sebelumnya—eh? Sasuga-san?”

Entah Hibari masih mendengarnya atau tidak, ia berbalik dan berjalan cepat ke arah yang mereka datang, lalu menghilang di balik sudut kOritor rumah sakit. Kalau Kasuka tidak salah dengar, Hibari sempat berkata seperti ini:

“Kalau akhirnya harus merasakan hal seperti ini… lebih baik aku tidak pernah jatuh cinta.”

Di saat seperti ini, Kasuka benar-benar merasa frustrasi karena tidak bisa menyampaikan perasaannya dengan baik. Ia tidak bisa membedakan mana batas yang boleh dilewati dan mana yang tidak. 

Karena itulah suaranya selalu pelan. Saat di sekolah, suara kecilnya sering tidak terdengar sampai harus mengulang—seperti bermain suit yang selalu hasilnya imbang. Yang benar-benar mau mendengarkannya mungkin hanya Masaomi dan yang lainnya.

Sambil memiringkan kepala dan berkata, “Hmm,” ia pun menuruni tangga seperti yang diajarkan Hibari. Meski khawatir pada Hibari, Kasuka merasa anehnya yakin bahwa kata-katanya takkan sampai padanya. Setidaknya, jika ia menyimpang sekarang, sudah pasti ia akan tersesat lagi.

Lagipula, Hibari tadi juga tidak mendengar seluruh ucapannya. Ia tidak sempat menunjukkan layar ponsel berisi pesannya seperti biasa. Hibari pergi begitu saja. Dan kemudian...

“Ah! Keiji!”

Begitu menuruni tangga dan sampai di lantai lobi rumah sakit, Kasuka langsung melihat seseorang yang jauh lebih penting baginya saat ini—Orito Keiji, yang muncul pada waktu yang sangat tepat, seperti sebuah keajaiban. Karena itu, sosok Sasuga Hibari langsung terhapus dari kepalanya dalam sekejap.

“Kasuka? Gila, kamu lagi-lagi pakai pakaian aneh banget. Terus kenapa kamu bisa ada di sini… tsk, balik ke rumah buat ambil barang ketinggalan malah jadi masalah… eh, enggak, bukan apa-apa. Aku ke sini cuma buat kontrol. Nggak lebih dan nggak kurang.”

“Eh? Keiji sakit sampai harus rutin ke rumah sakit? Padahal kamu anak dokter, loh?”

“Dengar ya, Kasuka. Dokter itu sombong, jadi justru gampang sakit. Dan anak dokter itu bukan dokter, oke? Jangan samakan. Lagipula, dokter itu bukan Tuhan. Sungguh, mereka tuh… setengah-setengah banget.”

“Waktu pemeriksaan kesehatan, kamu bilang kamu super sehat dan bisa hidup sampai umur seratus. Kamu juga mengejek Masaomi yang dikit-dikit kurang olahraga dan mulai gendut. Kamu bilang kamu nggak butuh rumah sakit!”

“Kamu, kok bisa ingat kejadian waktu awal musim semi, sih… ya udahlah. Aku jelasin, tapi jangan bilang-bilang ke Masaomi. Itu syaratnya.”

“Oke sip! Aku nggak bakal bilang ke Masaomi~”

Kalau Keiji yang bilang begitu, Kasuka tidak akan protes. Tapi kalau nanti Masaomi memaksanya untuk cerita, gimana ya? Ah, nanti saja dipikir. Begitulah cara Kasuka menghadapi hidup—tanpa pikir panjang.

Keiji menggaruk kepalanya dengan ekspresi agak canggung, lalu mulai berjalan. Di tangan satunya, ia membawa keranjang berisi bunga. Karena waktu Kasuka melihatnya tadi ia belum membawa itu, mungkin dia baru saja pergi untuk mengambil (atau membeli?) bunga tersebut.

“Yasudah deh, let’s go! Ngomong-ngomong soal bendungan, ya—”

Dalam sekejap, tujuan Kasuka berubah arah lagi. Ia mengekor di belakang Keiji layaknya anak-anak itik mengikuti induknya. Selama ia hanya fokus untuk tidak kehilangan jejak Keiji, tidak akan ada ruang bagi hal-hal kecil lainnya. Tentu saja, baik dengan tatapan maupun dengan pikirannya, Kasuka tidak pernah lagi menoleh pada Sasuga Hibari.

Keiji, yang secara kebetulan bertemu dengan Kasuka, membawanya menuju sebuah ruang rawat.

Mereka melewati lobi tempat meja resepsionis berada, tempat Kasuka pertama kali bergabung dengannya, lalu menaiki lift ke lantai tiga. Dari gedung timur, tempat pemeriksaan dan diagnosa dilakukan, mereka berlanjut ke gedung selatan yang lebih banyak dihuni oleh pasien rawat inap. Di sudut yang agak terpencil dari area itu, terdapat sebuah kamar pribadi. Sebuah papan kecil tergantung dari langit-langit bertuliskan: “Ruang Penanganan CCD 2”.

Kasuka tampak tak bisa diam, memutar pandangan ke segala arah dengan gelisah—namun itu hanyalah ekspresi wajah seseorang yang tidak memikirkan apa pun secara khusus. Ia merasa sangat tenang karena benar-benar percaya bahwa selama ia mengikuti Keiji, semuanya akan baik-baik saja.

“...Pokoknya, bersiaplah. Aku tidak bisa jamin ini aman. Kalau terjadi sesuatu, langsung keluar dari ruangan, ya.”

“Bersiap? Aku nggak terlalu paham, tapi kalau Keiji bilang begitu, baiklah.”

Keiji tak bisa menahan tawa pahit yang lolos begitu saja, namun ia juga bersyukur Kasuka tidak mengorek terlalu jauh.

Ia membuka pintu kamar yang sangat familiar baginya hingga ia tahu persis letak pegangan pintunya bahkan tanpa perlu melihat. Ia mempersilakan Kasuka masuk. Di dalam kamar seluas sekitar delapan tatami itu, seorang gadis tengah terbaring di atas ranjang.

Tubuhnya kurus—lebih tepatnya, tampak kurus kering. Ia hanya menutupi bagian bawah tubuhnya, sementara bagian atas dibiarkan terbuka dengan infus menancap di lengannya. Rambutnya kering dan kusut, seolah berminyak, menjuntai tak terurus di atas ranjang seperti ombak kecil. Lengan yang terlihat dari balik lengan baju rumah sakit tampak sangat kurus, dengan pembuluh darah dan otot yang menonjol seperti sulur tanaman di atas kulitnya yang pucat.  Dipadu dengan selang infus yang menjulur, tubuhnya tampak seperti dikurung dalam sangkar dari tangan-tangan raksasa yang mengerikan.

Setiap kali melihat keadaan menyedihkan itu, Keiji merasa seolah dirinya sendiri yang terpenjara. Mengapa ia, yang begitu sehat hingga bisa membanggakan diri akan hidup sampai usia seratus, justru selalu datang ke ruangan ini dengan wajah sepahit itu? Dan mengapa gadis ini, meskipun tubuhnya dilanda penyakit, justru tampak begitu damai dalam tidurnya? Gadis itu memang bernapas dengan agak berat, tapi bahkan setetes keringat pun tak terlihat. Sebaliknya, Keiji berkeringat di dahinya meski ruangan cukup dingin karena AC. Ketegangan itu tak pernah hilang, bahkan setelah berkali-kali ia mengunjungi kamar ini.

“Nagi, ini aku. Keiji. Aku bawa bunga untukmu. Lalu, ini temanku, Kasuka. Tolong bersikap baik padanya, ya. Kasuka, ini Nagi. Adik perempuanku.”

Dengan tatapan, ia memberi isyarat pada Kasuka. Meski tampak terkejut melihat kondisi Nagi, Kasuka tetap menyapa dengan tulus. Tentu saja, Nagi tidak memberi respons. Kasuka tidak tampak tersinggung, namun sebagai kakak sekaligus teman, Keiji merasa sedih. Ia ingin memperkenalkan Nagi bukan dalam keadaan seperti ini, melainkan dalam suasana yang lebih hangat dan ceria. Bukan hanya pada Kasuka, tapi juga pada Masaomi yang tidak ada di tempat.

Keiji menaruh bunga yang ia bawa ke dalam vas, lalu membasahi saputangannya di wastafel untuk mengelap dahi Nagi. Tidak ada maknanya. Ia hanya ingin merasa seolah telah melakukan sesuatu. 

Ia sudah lama menyadari hal itu. Apa pun yang ia lakukan sekarang tidak akan membangunkan Nagi, dan bukan pula tindakan penting untuk mempertahankan hidupnya. Meski begitu, ia terus datang ke rumah sakit hampir setiap hari dan melakukan perawatan semu ini. 

Mungkin semua ini sudah menjadi semacam ritual untuk menenangkan dirinya sendiri. Toh, nyawa Nagi secara harfiah kini bergantung pada infus yang terus mengalirkan nutrisi ke dalam tubuhnya. Nagi yang “tidak berada di sini” bukanlah kesalahan siapa pun. Itu sepenuhnya adalah urusan Nagi sendiri.

“...Yah, seperti yang bisa kamu lihat, adikku sakit. Sekarang sih kelihatannya tenang, tapi sebaiknya kita tidak terlalu lama di sini. Kalau dia kambuh, itu bisa merepotkan sekali.”

Keiji berbicara dengan nada secerah mungkin, berusaha menghibur Kasuka yang tampak tidak tahu harus berbuat apa. Kasuka mengangguk samar, seolah masih belum sepenuhnya memahami situasinya. Keiji sebenarnya ingin bilang bahwa jika kambuh, itu bukan sekadar “merepotkan,” tapi ia pun tak tahu harus menjelaskannya dari mana.

“Kasuka, kamu tahu ‘CCD’ itu apa?”

“Hmm… kamera?”

“Bukan. Itu nama penyakit.”

Kasuka menggeleng polos. Yah, wajar saja. Jika bukan seorang dokter atau orang yang pernah mengalami langsung, mana mungkin tahu arti singkatan itu.

“Kalau ‘Gangguan Koma Kronis’?”

Kali ini, Kasuka tampak berusaha keras mengingat sesuatu. Meski bodoh, ingatan Kasuka tidaklah buruk—sebuah paradoks yang benar-benar nyata. Keiji hanya bisa tertawa pahit sambil berpikir, ini anak benar-benar bikin dokter pusing.

“Penyakit yang diderita oleh Sasuga-san… Bukankah kamu pernah membicarakannya dengan Masaomi?”

“Benar. Ini tentang penyakit Sasuga. Chronic Coma Disorder—disingkat CCD. Itu juga nama penyakit yang diderita oleh adikku, Nagi.”

“Penyakit yang sama? Tapi Sasuga-san tetap bisa datang ke sekolah dengan ceria. Apa bedanya?”

“Bedanya di tingkat keparahan... atau mungkin lebih tepat disebut kedalaman. Seolah-olah mereka menyelam lebih dalam ke dalam diri mereka sendiri. Penyakit ini memiliki tahapan yang luas tergantung seberapa dalam pasien ‘jatuh’ ke dalam dunia yang hanya bisa mereka rasakan. Mulai dari level seperti mimpi jernih yang tidak mengganggu kehidupan sehari-hari, sampai benar-benar terbaring seperti ini. Katanya, makin kuat keyakinan mereka, makin besar keengganan terhadap kenyataan, maka makin dalam pula mereka masuk ke dunia kesepian yang hanya bisa dirasakan oleh para penderita penyakit ini.”

Kasuka mendengarkan penjelasan Keiji dengan wajah antara mengerti dan tidak. Biasanya Keiji tidak akan bicara sejauh ini, namun kali ini ia menyadari bahwa dirinya terlalu banyak bicara—meski begitu, ia membiarkan dorongan itu mengalir. Mungkin, ia memang butuh tempat untuk mencurahkan keluh kesah.

“Penyakit ini disebut ‘kronis’, bukan karena sifatnya tiba-tiba atau akut, tapi karena pada akhirnya si pasien akan terus berada dalam kondisi tak sadarkan diri seperti ini. Tapi kau tahu? Walaupun terlihat seperti ini, dia berjuang mati-matian. Otaknya, lebih tepatnya, masih bekerja dalam mode penuh, bahkan bisa dibilang dalam keadaan ‘tak terbatas’. Seperti trans tinggi seorang pecandu narkoba. Tentu saja, itu memberi beban luar biasa pada otak dan seluruh tubuhnya. Kalau terus seperti ini, tidak ada yang tahu berapa lama dia bisa bertahan. Mungkin setahun lagi, sebulan lagi, atau bahkan besok… Itu sebabnya aku—”

Tepat saat itu, saat kata-katanya mulai dipenuhi emosi, terdengar suara mencicit yang tidak menyenangkan di dalam kamar. Keiji langsung bereaksi.

“Gawat, Kasuka! Cepat keluar!”

Meskipun Keiji berteriak tiba-tiba, Kasuka langsung bergerak cepat. Mungkin karena ia sudah diberi peringatan sebelumnya. Tanpa ragu atau bingung, ia segera menuju pintu keluar kamar. Keiji pun hendak menyusul ketika—

Crash! Sebuah suara pecahan terdengar. Vas bunga yang tadi ditaruh Keiji hancur berantakan, bunga dan airnya membasahi lantai di sekitar meja samping. Lalu muncul berbagai suara aneh: suara logam berderit seakan-akan dilipat paksa, suara gorden yang berkibar liar, dentuman seperti paku raksasa dipukul ke dinding, dan suara seperti raungan rendah dari lantai—semuanya membentuk harmoni kacau yang membuat bulu kuduk merinding.

Keiji hanya bisa mengerutkan wajah, lalu meninggalkan kamar. Tak ada cara untuk mengatasinya jika sudah begini. Sama seperti bencana alam. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu badai reda.

Di luar kamar, Kasuka menatap Keiji dengan cemas. Namun Keiji tahu bahwa fenomena ini hanya terjadi di dalam ruangan itu. Ia meyakinkan Kasuka bahwa selama ia di luar, semuanya akan baik-baik saja. Seperti yang diduga, Kasuka terlihat lega dan kembali tenang.
Setelah suara-suara dari dalam kamar perlahan mereda, Keiji kembali masuk ke dalam.

“…Kau tetap tidak menyukaiku, ya, Nagi.”

Suara yang ia keluarkan penuh dengan perasaan yang ditahan, namun terdengar datar, seolah emosi-emosinya telah terkikis oleh waktu.
Tak perlu melihat lebih detail pun jelas, ruangan itu benar-benar porak-poranda. Satu-satunya yang tetap utuh hanyalah tempat tidur tempat Nagi tidur—seputih bulan purnama yang melayang tenang di tengah kegelapan malam.

Tanpa sepatah kata, Keiji menekan tombol panggil perawat, lalu mulai memunguti pecahan vas dan kaca yang berserakan di lantai.
Seorang perawat yang sudah familiar datang tak lama kemudian, melemparkan pandangan iba, namun tetap diam dan mulai merapikan ruangan. Ia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini.

Di tengah keheningan yang berat seolah gravitasi dilipatgandakan, hanya wajah tidur Nagi yang tetap tenang, seakan melayang dalam kebahagiaan yang tak terganggu.


“Bisa memengaruhi ruang di sekitarnya tanpa menyentuh apa pun—yang biasa disebut PK, ya.”

Setelah urusan selesai, Keiji duduk lemas di bangku yang ada di halaman depan rumah sakit. Ia mengacak-acak rambutnya dengan lesu, lalu mulai berbicara tanpa menyasar siapa pun secara khusus. Tentu saja, satu-satunya yang mendengarkannya hanyalah Kasuka.

“PK itu kekuatan supranatural, kan?”

“Benar. Kamu pernah dengar istilah ‘psikis’ atau ‘psychic’? Psychokinesis, kekuatan telekinetik. Konyol, ya? Kita sedang di rumah sakit, dan aku anak seorang dokter. Tapi adikku, yang juga anak dokter, bisa menggunakan kekuatan telekinetik. Seperti naskah drama murahan. Sungguh... omong kosong yang menyebalkan.”

Kasuka, yang duduk di sebelahnya, sesekali mengangguk sambil mendengarkan penjelasan Keiji.

“Ada yang bilang itu karena otaknya berada dalam kondisi aktivasi abnormal. Masih banyak hal tentang otak manusia yang belum kita ketahui. Sebenarnya, mungkin manusia memang punya kemampuan seperti ini. Tapi karena penggunaannya akan menguras otak hingga habis, biasanya otak dilindungi oleh semacam batas alami. Tapi, penderita CCD seperti Nagi tidak punya batas itu. Dulu, saat dia masih bisa bangun, dia sempat cerita sedikit. Di dunianya sendiri, dia adalah makhluk tak terkalahkan. Tak ada yang bisa menyakitinya. Tak ada yang bisa mengganggunya. Dunia seperti itu terasa begitu menyenangkan baginya. Jauh lebih menyenangkan daripada kenyataan yang penuh penderitaan. Dan kekuatannya yang besar di dunia itu, sekarang mulai menembus ke dunia nyata. Seolah-olah itu adalah balas dendam. Memang, dia tak bisa mengendalikan seluruh dunia, tapi selama dia berada di ruang rawat itu, Nagi benar-benar tak terkalahkan.”

“Wah, jadi dia bisa menjadi versi ideal dirinya sendiri di dalam mimpinya, ya? Kedengarannya menyenangkan. Kalau aku tidur siang bareng, mungkin aku bisa ikut masuk ke dalam mimpi yang sama?”

Keiji hanya tertawa pahit mendengar komentar naif khas Kasuka. Ia lalu menggulung lengan bajunya dan menunjukkan lengannya. Masaomi sering mengejek gaya lengan panjang Keiji sebagai “gaya pegawai kantoran barat”, namun melihat apa yang ada di balik lengan baju itu membuat Kasuka membelalakkan mata.

“Kadang aku terluka karena kaca yang pecah akibat ulah Nagi, atau tertimpa laci yang terbang, atau bahkan terlempar sendiri. Kadang-kadang, entah bagaimana, tiba-tiba sudah ada luka di tubuhku, walau aku tak sedang berada di sana. Setelah lebih dari setahun seperti ini, beginilah jadinya.”

Luka gores, memar, keseleo—meskipun satu per satu hanya luka ringan, namun jika luka yang sama terus berulang, bekasnya tetap akan tertinggal. Seperti bekas riasan untuk sebuah festival tradisional. Penyebabnya hampir semuanya adalah kekuatan PK milik Nagi. Tapi jika luka-luka itu terlihat oleh banyak orang, pasti akan muncul kecurigaan macam-macam, seperti kekerasan dalam rumah tangga, jadi Keiji terpaksa memakai pakaian berlengan panjang. Jadi, ejekan Masaomi sama sekali tidak tepat—tentu saja, Masaomi tidak tahu alasan sebenarnya—dan bukan karena alasan mode. Keiji sendiri merasa gerah. Tapi, tak peduli seberapa panas, atau seberapa tertutup pakaiannya, setiap kali ia masuk ke ruang rawat itu, ia selalu merasakan dingin yang menusuk sampai ke tulang.

Tak bisa disentuh oleh siapa pun—itulah dunia yang Nagi inginkan. Sebuah kamar penuh kekacauan, namun hanya Nagi seorang yang tetap tidur tenang di dalamnya. Dunia tempat tak seorang pun bisa menyakitinya, juga berarti tak seorang pun bisa menyentuhnya. Kesendirian seperti itu, cara hidup yang sedingin itu, adalah “tempat” yang dipilih oleh Nagi. Keiji merasa kasihan. Tapi, Nagi pasti tidak akan mengizinkan rasa kasihan itu.

Nagi mulai benar-benar tak sadarkan diri sejak sedikit sebelum Keiji masuk SMA. Sebelumnya, ia masih sering terbangun, dan sempat beberapa kali bercerita tentang “dunia sana” pada Keiji. Tapi saat itu Keiji sedang menghadapi ujian masuk sekolah, dibebani tekanan dari orang tua, dan sama sekali tidak punya ruang untuk peduli pada perasaan adiknya yang lebih pintar darinya. Ia mengurung diri di kamarnya, menutup semua suara luar.

“Kakak enak, ya. Bisa pura-pura tak tahu, menyimpang dari jalur, lalu nanti ada orang lain yang merapikan jalan itu untuk kakak.”

Keiji tahu sejak awal bahwa dengan otaknya yang seadanya, ia tidak akan bisa memenuhi harapan orang tuanya untuk menjadi dokter.

“Tapi aku... tidak ada siapa pun yang akan datang setelahku. Jadi aku harus melakukannya sendiri, bukan?”

Nagi berkali-kali meminta bantuan Keiji. Tapi Keiji, demi melindungi dirinya sendiri, terus berpura-pura tak melihat. Karena itulah, orang yang mendorong Nagi sampai jatuh ke dalam jurang itu, tak lain adalah Keiji sendiri.

“Ayah, Ibu… dan Kakak juga. Kalian semua hanya memaksakan keinginan kalian dan bertindak seenaknya. Kalau begitu, aku juga berhak bertindak seenaknya, kan?!”

Kata-kata terakhir Nagi masih begitu jelas di ingatan Keiji. Bukan di telinga, bukan di ingatan, bukan di kepala—tapi seperti mencakar bagian terdalam dari diri Keiji, menuduhnya setiap hari, setiap malam.

“Awalnya, aku yang enggan menuruti jalan yang disiapkan orang tua—aku yang kabur dari tanggung jawab. Maka harapan mereka beralih ke Nagi. Padahal Nagi dari kecil sudah sakit-sakitan. Sering tiba-tiba pingsan dan dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Tapi dia pintar, dan punya rasa tanggung jawab yang luar biasa. Mungkin karena itu, dia ingin membuktikan dirinya. Mungkin dia melihat aku yang gagal sebagai contoh buruk, dan ingin menjadi kebalikannya. Ia mengabaikan kehendaknya sendiri, terus-menerus menanggung tekanan harapan, sampai akhirnya hancur karena stres. Karena itulah Nagi menjadi seperti sekarang. Dan aku yakin… itu semua salahku.”

Keiji menghela napas. Ia bahkan tak tahu apakah ini keluhan, penyesalan, atau sekadar alasan. Ia melampiaskan rasa tak berdayanya pada Kasuka, yang ia tahu tak akan mengeluh—seperti memukul samsak yang tak melawan. Ia bahkan merasa dirinya lebih menyedihkan daripada Masaomi, yang sering ia sebut sebagai badut.

“Sejak Nagi menjadi koma, orang tua kami makin tenggelam dalam pekerjaan. Seperti yang tadi kubilang, kalau otaknya terus berada dalam kondisi hiperaktif ini, pada akhirnya otaknya sendiri yang akan rusak, dan dia akan mati muda. Maka mereka sekarang sangat sibuk. Ayahku mendalami riset pengembangan metode penyembuhan. Ibu, yang punya koneksi di perusahaan farmasi, katanya terus mengajukan permintaan pengembangan obat baru. Tapi aku tak tahu, apakah semua itu karena cinta mereka pada anaknya, atau karena mereka tak ingin kehilangan pewaris mereka. Yang jelas, mereka tak lagi memperhitungkan diriku.”

Di rumah, Keiji kini benar-benar diabaikan. Tapi ia tidak keberatan. Bahkan, Keiji sendiri merasa cukup asalkan masih bisa memanfaatkan posisi orang tuanya yang berpengaruh.

Namun, di tengah lautan waktu yang tak terikat dan sia-sia ini, Keiji akhirnya memperoleh kesempatan untuk melihat kembali kondisi keluarganya dengan kepala dingin.

"Akhirnya... akhirnya, ya. Baru setelah semua ini terjadi, aku mulai benar-benar memikirkan Nagi. Menjenguknya, mengajaknya bicara, menghabiskan waktu bersamanya—padahal dulu, saat dia masih sadar, aku tak pernah melakukan hal seperti itu..."

Ucapannya terhenti. Ia kehilangan kata-kata. Ia tidak tahu lagi apa yang harus diungkapkan, dan memilih diam. Dalam sekejap, suaranya seolah terhenti oleh karat, dan ia lupa bagaimana cara mengeluarkan suara. Pada saat yang seakan-akan sudah diperhitungkan dengan tepat, Kasuka pun membuka mulut.

“Jadi... karena sibuk menjenguk Nagi-chan yang sakit, kamu tidak bisa bermain seperti biasa, ya?”

"Ya, mungkin memang seperti itu. Entah aku datang atau tidak, mungkin hasilnya tetap sama..."

“Itu tidak benar.”

Kali ini, suara Kasuka terdengar mantap, penuh keyakinan—hal yang jarang terjadi. Tanpa sadar, Keiji menatap mata Kasuka. Pandangannya tak goyah sedikit pun. Tatapan itu lurus, sangat lurus, seolah menembus langsung ke dalam hati Keiji.

“Bukan begitu. Aku yakin Nagi-chan pasti senang karena kamu mengajaknya bicara.”

"...Bukan berarti aku meminta untuk dihibur, lho?”

“Soalnya, kalau dia benar-benar tidak suka, pasti sejak kamu masuk ke ruangannya, dia sudah langsung mencoba mengusirmu. Memang kalian tidak bisa selalu bersama, tapi... menurutku, Nagi-chan juga sedang berusaha mendekat. Dia juga sedang berusaha.”

Mungkin karena Kasuka sendiri pernah mengalami dicerca oleh niat buruk orang lain, maka ia bisa mengatakan hal seperti itu.
Kasuka tahu betapa frustrasinya saat kata-kata tidak sampai. Ia juga tahu bagaimana rasanya ingin mengulurkan tangan, tapi harus terus menahan diri. Kasuka melindungi dirinya dengan berpura-pura tidak memikirkan apa pun. Nagi melindungi dirinya dengan menolak segalanya. Tak aneh bila ada kesamaan rasa di antara mereka.

Itulah sebabnya, seolah-olah kata-kata Kasuka adalah pesan dari Nagi yang disampaikan lewat perantara, suara itu terasa membakar dada Keiji.

“Begitu ya... Kalau memang begitu, aku senang. Terima kasih, Kasuka.”

Setiap kali menyaksikan serangan Nagi secara langsung, perasaan muram pasti menghantuinya. Bahkan sekarang pun masih sama. Namun Keiji menyadari dengan jelas bahwa dirinya justru banyak tertolong oleh ketulusan dalam kata-kata Kasuka.

Jika benar bahwa Nagi sedang berusaha untuk mendekat dengan cara seperti itu, maka mungkin Keiji pun kini berdiri di sebuah titik persimpangan, di mana ia harus melangkah maju.

Untuk bisa menyembuhkan Nagi, diperlukan pengamatan terhadap berbagai gejala, menganalisisnya, mencoba berbagai metode baru, dan memberikan umpan balik dari hasilnya. Orang tuanya tentu saja sudah melakukan semua itu, namun sering kali penderita CCD ringan bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sedang sakit. Dan meskipun dalam kasus yang berat, belum tentu mereka bersedia bekerja sama dalam riset penyembuhan. Apalagi, seperti Nagi, banyak dari mereka yang menganggap dunia tempat mereka mengurung diri sebagai satu-satunya kebenaran, dan sama sekali tidak peduli pada kenyataan. 

Karena itulah, jika Keiji sendiri bisa mendorong penelitian itu maju dalam bentuk apa pun, maka pada akhirnya, kemungkinan itu bisa menjadi petunjuk untuk menyelamatkan Nagi. Misalnya, dengan cara-cara yang tidak bisa dilakukan secara resmi oleh orang tua mereka karena posisi dan reputasi yang mereka miliki. Misalnya, membantu menyalurkan pasien yang ada di sekitar mereka ke uji klinis obat baru.

Keiji tidak boleh salah menempatkan prioritas. Yang paling utama baginya adalah Nagi. Bahkan orang tuanya pun, selama mereka bisa dijadikan pion untuk memajukan penelitian dengan segala pengaruh yang mereka miliki, itu sudah cukup.

Rekonsiliasi tulus dari hati? Tak diperlukan. Apalagi dengan orang asing, sudah jelas tidak perlu dibicarakan. Penderita CCD selain Nagi hanyalah fondasi, batu ujian, dan bahan penelitian.

“Oh iya, ngomong-ngomong, waktu itu kamu bilang soal jimat, kan? Aku udah cerita ke Sasuga-san soal permainan hukuman itu. Tapi dia malah kelihatan sedih… Menurutmu aku sudah benar? Ini semua demi Masaomi, kan?”

“…Ah, iya. Untuk urusan itu juga—terima kasih. Kamu sudah sangat membantu.”

Bahkan jika itu berarti—harus melibatkan kekasih dari seorang sahabat yang tak tergantikan.



Chapter 7
Jejak Samar yang Mengambang di Udara


"Ooh..."

Entah kenapa, Masaomi merasa seperti tidak bisa menghubungi Hibari akhir-akhir ini. Sambil memandangi hujan rintik-rintik khas musim panas yang makin menambah kelembapan dari balik jendela ruang tamu rumahnya, Masaomi memainkan ponsel di atas sofa dua dudukan dan berpikir demikian.

Tanggal lima belas Agustus. Puncak masa Obon, dan liburan musim panas pun mulai memasuki tahap akhir. Seperti biasa, setiap pagi Masaomi bangun dengan tekad menggebu untuk menendang jauh tugas-tugas liburan musim panas—yang entah peninggalan zaman semester lalu atau penjaga gerbang semester baru—namun niat itu luntur seketika saat mulai menghadapinya, dan ia pun kabur kembali ke ruang tamu. Sebuah tradisi yang sudah ia jalani sejak SD, hingga terasa membosankan.

Dengan pakaian santai berupa kaus T-shirt dan celana pendek, ia berbaring santai layaknya ibu-ibu sosialita di waktu senggang sambil mengunyah Happy Turn. Baginya, Hibari lebih penting daripada tugas, jadi tak ada pilihan lain—meski itu sebenarnya hanya usaha untuk mengalihkan pandangan dari kenyataan pahit yang akan segera menghampiri. Namun meski begitu, ia tetap saja diliputi oleh keraguan samar yang menggantung. 

Akibatnya, rasa dari bubuk misterius yang konon menyumbang 90% kelezatan Happy Turn (menurut Masaomi) pun terasa kurang menggigit.

"Iyaaa..."

Kalau diingat-ingat lagi, pada hari kencan di pantai—yang sekaligus menjadi kunjungan pertamanya ke rumah Hibari—meski sempat terganggu oleh pemutusan sambungan akibat "dive"-nya Hibari, mereka masih saling berbalas pesan. Bahkan, cukup mesra—dengan percakapan manis yang tidak mungkin ditunjukkan pada Keiji maupun Kasuka. Masaomi sering kali membuka kembali pesan-pesan itu dan tersenyum-senyum sendiri dengan ekspresi datar. Mohon dimaafkan.

Namun sejak awal Agustus, entah mengapa, frekuensi balasan dari Hibari mulai menurun drastis. Padahal Hibari bukan tipe gadis yang sibuk dengan kegiatan klub. Bahkan dibandingkan masa sebelum liburan musim panas dimulai, jumlah pesan yang diterima sekarang jauh lebih sedikit. Wajar jika Masaomi merasa cemas.

Bahkan memar-memar di tubuhku juga terasa makin jarang muncul belakangan ini.

Sejak mulai berkencan dengan Hibari, Masaomi memang mulai sering mendapat luka-luka kecil—yang konon merupakan bukti aktivitas "guardian"-nya dari gadis yang dikenal sebagai "Noble Lark" di dunia lain. Tapi, akhir-akhir ini, bukti aktivitas itu—yakni memar seperti bekas gigitan lintah—juga mulai menghilang.

"Aah..."

Soal frekuensi "dive" Hibari memang tidak pasti dan agak sulit dipahami. Jadi kalau ia bilang, "memang ada masa-masa seperti ini," ya Masaomi akan mengangguk saja. Ia juga berusaha menghindari cap sebagai "pacar yang tidak pengertian", jadi tak terlalu memaksakan diri menuntut balasan. Lagipula, Masaomi punya harga diri. Dalam pandangannya, mengeluhkan "kenapa kamu jarang balas pesan" pada pacar adalah tindakan yang terlalu lemah. Itu bukan gayanya. 

Tidak mungkin... Hibari selingkuh? Apa dia mulai memperlakukan aku dengan acuh karena ada pria lain?

Masaomi mencoba menepis bayangan itu. Ia tahu, dirinya terlalu lemah untuk menahan pikiran-pikiran semacam itu. Begitulah, waktu pun berlalu dua minggu tanpa Masaomi berani bertanya langsung. Ia hanya diam-diam cemas di dalam hati.

"Haaah..."

Hari ini pun, Masaomi kembali membuka LINE dan menatap pesan terakhir yang sudah dibaca tapi tak dibalas. Artinya, ponsel tidak ditinggalkan. Juga bukan karena Hibari sedang tidur. Mungkinkah ia sulit menjawab pesan itu? Apa Masaomi mengucapkan sesuatu yang membuatnya tersinggung? Atau, justru karena Masaomi tidak melakukan sesuatu yang seharusnya, hingga Hibari marah dalam diam? Atau ini semua normal-normal saja? Kalau Masaomi sampai berpikir sepanjang ini, berarti harga dirinya memang sangat rapuh.

"Nee, Kakak... bisa nggak berhenti bilang ‘Oh yeah ah huh’ segala? Ganggu waktu teh-barley damai aku, tahu!"

"Kapan aku bilang ‘oh yeah ah huh’?! Aku bukan BUMP juga."

"Akhir-akhir ini kamu sering begitu. Dan... BUMP itu apa?"

Dua kejutan dalam satu waktu.

Masaomi mengerang pelan, terkejut karena ternyata dia memang sering menggumamkan frasa itu—dan karena adiknya, Hinata, tidak tahu siapa itu BUMP. Tinggal di bawah atap yang sama tidak menjamin hal-hal penting akan tersampaikan. Hal remeh malah kadang lebih mudah sampai.

"Ya sudahlah. Ngomong-ngomong, kamu nggak ada latihan hari ini?"

"Iya. Karena hujan, jadi latihan mandiri. Sekalian aja hari ini kujadikan Hari Penyelesaian Tugas."

Berbeda dari Masaomi yang tipe last minute fighter, Hinata termasuk tipe yang menyelesaikan tugas secara terencana. Ia memanfaatkan waktu di sela kegiatan klub untuk mencicil tugas dan kini tinggal menyelesaikan sisa-sisanya.

"Curang banget sih kamu udah mau kelar. Aku aja belum nyentuh satu lembar pun."

"Kamu kan sibuk pacaran dan senyum-senyum sendiri. Jadi yang curang siapa, hayo?"

Logika adik yang rajin sungguh menyakitkan telinga.

"Hmm... kayaknya kamu lagi ada masalah ya? Kalau kamu minta tolong ke Hinata, mungkin aku bisa bantu loh~ gimana~?"

Adik yang menyebalkan.

"Bukan masalah besar. Sana sana, pulang ke kamarmu."

"Ini juga rumahku, tahu."

Sambil menggerutu, Hinata ikut duduk di sofa. Masaomi pun refleks memberikan ruang—sebuah bentuk kekalahan diam-diam.

Sepertinya Hinata baru selesai mandi pagi. Rambutnya harum, beda dengan aroma sampo murahan yang dipakai Masaomi. Dulu, Hinata dan ayah serta Masaomi masih pakai sampo yang sama dan mencuci rambut dengan kasar. Tapi perempuan memang cepat dewasa. Mereka dengan mudahnya melampaui anak laki-laki yang terus saja kekanak-kanakan. Bahkan sebagai kakak, Masaomi pun sulit mengikuti perkembangan adiknya. Apalagi jika perempuannya tinggal di rumah yang berbeda.

"Kamu tuh dari tadi terus-terusan melihat ponsel. Udahlah, cerita aja. Kamu juga tahu, sebanyak apa pun kamu mikir, nggak bakal bisa ngerti isi hati perempuan. Nah tuh, Happy Turn-nya aku ambil ya~"

Masaomi hanya bisa melayangkan protes tanpa suara, sementara Hinata dengan santainya mengambil camilan.

"Nih, biaya konsultasi."

Melihat tawaran yang begitu murah hati, protes yang semula diam-diam pun langsung berubah menjadi penerimaan tanpa kata. Inilah yang disebut sebagai manuver strategis.

Dengan perasaan seperti tengah menyusun ulang pikirannya sendiri, Masaomi mulai menjelaskan interaksinya belakangan ini. Meskipun bagi dirinya maupun Keiji perbedaannya hanya terasa samar, bisa jadi, sebagai sesama perempuan, Hinata akan bisa menangkap sesuatu yang lebih jelas dan menentukan. Maka, demi itu, tak ada salahnya sedikit menurunkan gengsi sebagai kakak demi mendengarkan pendapat sang adik. Yang terpenting di sini adalah Hibari, bukan Keiji. 

Begitulah intinya. 

Hinata, sambil mengayun-ayunkan ekor kuda pendeknya, mendengarkan cerita Masaomi sambil sesekali menyahut dengan "oh yah", "uh huh", dan respons bergaya BUMP lainnya. Hingga akhirnya ia berkata, 

"Ya jelas ada sesuatu dong."

Pernyataan itu ia sampaikan dengan sangat wajar, seakan itu kesimpulan yang tak perlu dipertanyakan.

"Tapi dia memang tipe yang seperti itu dari awal. Mungkin kebetulan saja—"

"Dua minggu itu cukup buat segala hal terjadi, tahu. Bahkan bisa mulai cinta baru juga. Lagipula, kalau pacarnya sendiri—yang jelas nggak perhatian, nggak peka, dan mukanya pun pas-pasan—sudah merasa ada yang beda, ya itu jelas ada masalah."

Karena Hinata menyampaikannya dengan begitu lugas, Masaomi bahkan tak sempat membela diri dengan kalimat "wajah nggak ada hubungannya" yang sudah nyaris terucap.

"Kalau memang ada masalah, kenapa dia nggak cerita aja sih..."

"Bego banget, Kak."

Makian yang keluar tanpa ragu itu terasa menusuk jauh hingga ke dasar organ dalam Masaomi.

"Dia nggak cerita karena dia nggak bisa cerita. Mungkin karena Kakak memang nggak bisa bantu, atau dia nggak mau Kakak khawatir. Atau... bisa jadi Kakak sendiri penyebabnya. Gitu kan?"

"Aku penyebabnya...? Tapi... masa sih?"

"Nggak tahu, tanya aja sana."

Sama sekali tak memberi celah.

"Cepat telepon. Ayo, telepon."

"Tapi dia nggak angkat."

"Telepon aja, pokoknya! Tunjukin kalau kamu peduli! Itu baru pacar! Wajib!"

Meskipun mendengar petuah soal “apa itu pacar sejati” dari anak SMP kelas 3 (yang bahkan belum pernah punya pacar) terasa agak konyol, entah kenapa, ucapan Hinata terdengar meyakinkan.

"Kamu harus bilang kalau kamu khawatir. Soalnya ada hal-hal yang nggak bakal diketahui kalau nggak diucapin."

Tiba-tiba Hinata jadi serius. Dan memang, itu benar. Masaomi tidak pernah benar-benar memahami Hibari, karena tak pernah diberi tahu. Dan kemungkinan besar, ke depannya pun akan selalu seperti itu. Jika itu pun harus diajarkan oleh seorang adik, maka memang Masaomi adalah kakak yang jauh dari sempurna.

"Perempuan itu... ribet banget, ya."

"Nggak ada perempuan yang nggak ribet. Kalau dibilang nggak ribet, itu cuma berarti dia terlalu gampang dan kamu yang enaknya doang. Jangan harap lah."

Pendapat yang begitu masuk akal. Untuk sebuah pencerahan yang datang seiring camilan Happy Turn, ini benar-benar sepadan.

"Ngomong-ngomong, Kak... boleh aku lihat wajah pacarmu?"

"…Buat apa? Apa hubungannya?"

"Nggak usah banyak tanya, kasih lihat aja. Sejak kapan kamu pikir Happy Turn aja cukup buat bayar konsultasi ini?"

Kalau dipikir-pikir, ini benar-benar penipuan. Tapi Masaomi tidak keberatan memperlihatkan pacar yang dibanggakannya.

"Nih. Ini dia, Hibari yang luar biasa."

"Gila... cantik banget... putih! Langsing! Kak, kamu keren juga. Aku jadi agak kagum. Tapi tetap nggak masuk akal."

Melihat foto Hibari dalam balutan bikini yang diambil saat di pantai (dengan izin dari yang bersangkutan), Hinata sampai terlonjak seperti baru kena pukulan uppercut. Masaomi tersenyum puas.

"Terima kasih. Aku pun masih setengah nggak percaya. Rasanya seperti mimpi jadi kenyataan."

"Iya iya iya."

Hinata mengangguk cepat seperti boneka rusak. Masaomi pun menyadari bahwa soal "ketimpangan penampilan" itu bukan hal baru. Sudah terlalu sering ia menyadari hal itu. Tak ada pilihan selain menerimanya.

"Tapi ya... punya pacar cantik itu, biasa aja kan sebenarnya."

"Ih, ngeselin."

Masaomi sadar itu memang menyebalkan, dan mungkin kalimat itu sebaiknya tidak diucapkan.

"Soalnya dari awal aja pacarmu tuh cantiknya nggak masuk akal. Dan Kakak itu, kelihatan banget sok-sokan pengin kelihatan biasa, tapi ujung-ujungnya malah aneh sendiri."

Komentar itu entah kenapa terasa mengena.

Hinata mungkin tidak bermaksud mendalam, tapi ucapannya terasa seperti menohok ke dalam sifat Masaomi yang kontradiktif—terobsesi pada "normal" justru membuatnya menjadi tidak normal. Artinya, anggapan bahwa menjadi tidak biasa adalah hal yang wajar. Dan jika begitu, apa bedanya dengan teori dunia batin milik Hibari—dunia Astral Side?

"Kalau gitu, Kakak harus lebih semangat. Soalnya... pacar secantik itu nggak gampang dapat lagi. Nggak semua orang bisa. Pokoknya jangan sampai kehilangan dia."

"Berlebihan sekali. Tapi... kamu kok semangat banget nyuruh aku ngejar dia?"

"Soalnya..."

Hinata sempat terdiam sejenak, seperti ragu, lalu akhirnya mengangguk mantap dan berkata,

"Karena akhir-akhir ini Kakak kelihatan lebih bahagia."

"Ya, wajar aja sih. Punya pacar, punya teman juga. Semua orang pasti jadi lebih ceria, kan?"

"Bukan itu maksudku," kata Hinata, sambil menggeleng pelan.

"Memang, waktu Kakak ngobrol sama Kei-chan atau Kasuka-chan, kelihatannya juga senang. Tapi kayak... kosong aja. Seperti cuma menjalani hari-hari tanpa makna. Kayak nggak ada naik turun. Datar, hambar. Di rumah juga sama. Sejak kecelakaan itu, Kakak selalu begitu, kan?"

Tapi sejak mempunyai pacar, ada yang berubah—kata Hinata. Sebagai adik kandung yang sudah lama hidup bersama, ia pasti bisa mengenali perubahan itu.

"Kalau kamu bilang begitu... berarti memang begitu, ya. Bahagia, ya..."

"Iya. Makanya, jangan sampai menyerah, apa pun yang terjadi. Karena Kakak yang sekarang—yang sering panik, bingung, dan pucat tiap ada masalah—sejujurnya lebih seru dilihat."

"Kenapa kamu malah bilang begitu di akhir? Padahal barusan kalimatmu bagus."

Karena adiknya terus saja memalingkan muka dengan malu, Masaomi memilih untuk tidak mengomentari lebih jauh—sebagai bentuk kasih sayang seorang kakak.

Sayangnya bagi sebagian besar siswa anggota klub "pulang langsung", SMA Afiliasi Universitas Kedokteran memiliki hari masuk sekolah di tengah liburan musim panas. Sebagai salah satu anggota dari kelompok indoor yang tidak mengabdikan masa mudanya untuk klub, Masaomi setiap tahun selalu merasa kecewa—mengapa harus masuk sekolah padahal ini jelas-jelas libur? 

Namun, khusus musim panas tahun ini, ia justru menganggapnya sebagai suatu keberuntungan. Karena jika ada hari masuk sekolah, maka ia punya kesempatan untuk menemui Hibari di sekolah.

Sejak didorong oleh sang adik, Hinata, Masaomi sudah mencoba lebih aktif menghubungi Hibari. Namun, seperti yang diduga, pesan-pesannya terus diabaikan tanpa balasan. Ia bahkan sampai nekat pergi langsung ke rumah keluarga Sasuga. 

Saat itu, Hinata mengantarnya pergi sambil senyum lebar dan mengacungkan jempol, sementara Masaomi berjalan sambil mengenang betapa bahagianya ia waktu itu saat menggendong Hibari pulang—kenangan yang membuatnya seperti melayang ke langit.

Saat tiba, ia disambut langsung oleh ibu Hibari di depan pintu. Masih tampak muda seperti sebelumnya, ibu Hibari menyambutnya dengan senyum getir.

"Hibari bilang dia nggak mau ketemu, tahu? Padahal sebelumnya wajahnya selalu tampak santai, kayak 'aku bahagia banget~', tapi entah kenapa sekarang dia jadi cemberut terus. ...Kalian bertengkar, ya?"

"Tidak, seharusnya kami tidak bertengkar... sepertinya."

"Berarti anak itu lagi ngambek, ya. Aduh, benar-benar anak yang merepotkan. Tolong jangan ditinggalin, ya."

Melihat sikap ibu Hibari, Masaomi tidak merasakan adanya konflik besar yang serius. Ibu Hibari tampak menganggap semua ini hanya sebagai salah paham atau gejolak emosi khas anak muda, dan sama sekali tidak curiga Masaomi melakukan sesuatu yang buruk. Bahkan ia sempat tertawa kecil dan berkata, "Kalian kan masih muda, wajar kalau kadang bertengkar. Tapi setelah itu ya baikan lagi~", seolah menikmati situasinya.

Akhirnya Masaomi memilih mundur untuk sementara, merasa sedikit lega karena setidaknya tahu bahwa Hibari tidak sedang sakit atau terluka. Lagipula, ia sudah cukup lama mengenal Hibari hingga tahu bahwa memaksakan diri untuk bertemu justru bisa memperburuk keadaan. Kalau Hibari sampai sejauh itu menolak berinteraksi dengannya, mendobrak masuk bukanlah jalan yang bijak.

Itulah sebabnya ia menganggap hari masuk sekolah ini sebagai kesempatan emas. Hibari adalah siswi yang rajin. Kalau dia tidak sakit, seharusnya dia datang ke sekolah. Mungkin setengah dari alasannya hanya karena tak mau dipandang lemah oleh sekitarnya, tapi tetap saja, itu adalah peluang.

Setelah mengikuti pengarahan khas hari masuk sekolah—yang sebagian besar isinya tidak penting—Masaomi segera menyelesaikan homeroom setengah hari itu dan langsung bangkit dari tempat duduk, keluar dari kelasnya. Ia sempat ragu sejenak, apakah akan langsung masuk ke kelas Hibari atau tidak. Tapi memanggil dari luar lewat teman sekelas terasa merepotkan. Dan kalau sampai Hibari sempat kabur saat ia terlalu lama bersikap santai, itu lebih menyusahkan.

Maka, tanpa banyak pikir panjang, ia melangkah masuk ke kelas lain yang terasa cukup asing baginya—dan kemudian,

"Ah... ini dia, si 'telat nyadar' waktu itu."

"Hah?"

Nada suaranya jadi keras dan dingin tanpa sengaja, akibat gabungan rasa kecewa karena tak bertemu Hibari dan kenyataan bahwa yang menyapanya adalah si gadis bernama Kajiura—yang dulu pernah mencerca Hibari.

"Ih, serem amat. Aku salah apa sih? Nggak salah, kan? Kenapa sih kamu harus ngelihatin aku kayak gitu~?"

"Kamu nggak salah. Aku juga nggak ngelihatin apa-apa. Dan aku juga nggak ada urusan sama kamu, jadi minggir sebentar ya, Lupin Tiga."

"Kalau kamu nyari Fujiko-chan tercinta, dia nggak di sini, tahu~? Tapi tetap maksa masuk juga, ya, si telat nyadar?"

Walau nadanya mengejek, Masaomi tak peduli pada sikap gadis itu. Justru, dari ucapannya, ia mendapatkan informasi penting. Ia berhenti sejenak, mengambil napas, lalu dengan suara yang sehalus mungkin bertanya:

"Nggak ada, maksudmu... dia nggak masuk hari ini?"

"Pacar sendiri aja nggak tahu? Duh, parah banget. Kayaknya sih dia bilang nggak enak badan dan langsung ke UKS dari pagi. Entah itu pura-pura sakit atau delusi, nggak tahu juga. Tapi lebih ke nggak enak dilihat sih. Mendingan nggak usah datang sekalian, ya. Bikin bad mood orang aja."

Dari nada dan isi ucapannya, sangat jelas bahwa dia merendahkan Hibari dan, secara tidak langsung, Masaomi juga. Tapi Masaomi tahu—kalau ia marah sekarang, itu tidak akan menyelesaikan apa pun. Justru hanya akan memperburuk citra Hibari. Mungkin inilah saatnya kepribadian "tenang dan datar" yang selama ini disematkan padanya benar-benar berguna. Ia menahan diri sebaik mungkin.

"Soalnya waktu libur kemarin aku lihat kamu jalan mesra banget sama gadis itu, kan? Aku sebel aja, padahal aku sendiri nggak punya pacar. Jadi aku bilang, 'paling juga itu cuma hukuman dari permainan, dia kasihan jadi mau pacaran sama kamu'—dan tahu nggak? Dia langsung ngamuk. Lihat nih lenganku, sampai digenggam kuat banget. Aku kira tulangku mau patah. Udah aneh, pemarah, sekarang main kekerasan juga? Serem banget tuh anak.──Ahahaha, maaf ya. Kamu kan 'sejenis' juga, ya? Maaf deh, mulutku emang agak jahat. Tapi aku nggak ada niat buruk, serius kok, serius."

Fakta bahwa Masaomi berhasil menahan diri untuk tidak menggunakan kekerasan bisa dibilang sebuah keajaiban. Ia hanya bisa menahan diri karena tekad yang kuat bahwa posisi Hibari tidak boleh menjadi lebih buruk dari ini. Ketegaran? Itu sama sekali tidak ada dalam situasi ini.

"Dibercandain, maksudmu soal apa?"

"Soal kamu yang lagi mesra-mesraan sama perempuan itu pas hari libur, aku lihat kebetulan. Sementara aku sendiri nggak punya pacar, terus perempuan yang cuma modal muka doang bisa punya pacar tuh nyebelin banget kan? Makanya aku bilang, ‘Paling juga dia cuma kasihan sama kamu karena kalah taruhan atau hukuman permainan’, gitu.
—Eh, hei! Kamu yang tanya, terus pergi di tengah jalan tuh keterlaluan banget, tahu!"

Sampai di situ saja sudah lebih dari cukup. Atau lebih tepatnya, Masaomi tidak yakin bisa menahan diri lebih jauh dari itu.

Ia segera membuang jauh-jauh dari pikirannya suara-suara bising orang luar yang seolah tak akan berhenti menjelek-jelekkan Hibari, dan langsung menuju ruang UKS secepat mungkin.

Di belakangnya masih terdengar teriakan-teriakan kasar dari monyet bermulut tajam, tapi Masaomi tak peduli sedikit pun. Ia dengan sengaja mengabaikan aturan sekolah yang sudah lama kehilangan maknanya—"dilarang berlari di lorong"—dan berlari secepat tenaga menuju ruang UKS. Namun, setibanya di sana, guru kesehatan memberitahunya bahwa Hibari sudah pulang lebih dulu. Masaomi pun menggertakkan giginya dengan kesal.

Kebencian Kajiura kepada Hibari jelas melampaui sekadar salah paham biasa. Masaomi benar-benar heran bagaimana bisa seseorang mengatai Hibari seperti itu secara langsung di depan pacarnya. Namun, selama berada di sekolah, Hibari biasanya seperti baja—tegar dan tidak mudah goyah. Bagi Hibari yang biasa, cacian semacam itu tidak akan berarti apa-apa.

Kalau itu Hibari yang biasanya. Tapi kenyataannya, Hibari jadi tersulut emosi, bahkan sampai menggunakan kekerasan fisik dengan mencengkeram lengan orang lain. Itu adalah tindakan yang sangat tidak seperti dirinya. Ditambah lagi dengan sikap dinginnya belakangan ini.

Pasti ada sesuatu yang penting yang luput dari perhatian Masaomi.
Namun, ia tidak tahu apa. Dan karena ia juga tidak punya banyak teman atau kenalan untuk ditanyai, tempat untuk mencari jawaban pun sangat terbatas.

Dalam keputusasaan, Masaomi hendak menelepon Keiji—si anak badung keras kepala yang bahkan membolos di hari masuk sekolah.
Tepat saat itu...

"Eh? Masaomi, kirain kamu udah pulang tadi?"

Kasuka muncul di hadapan Masaomi dengan sikap santainya seperti biasa. Entah kenapa, pada saat itu, Kasuka tampak seperti malaikat maut berjubah putih yang akan mengayunkan sabit besar dengan senyum polos.

“Masaomi, wajahmu terlihat sangat menyeramkan.”

Hari masuk sekolah di tengah liburan musim panas yang tidak disertai acara apa pun. Seolah sudah menjadi keharmonisan yang sudah ditentukan, Kasuka yang datang terlambat memutuskan untuk berjalan-jalan keliling sekolah di waktu pulang yang hampir bersamaan dengan kedatangannya. Ia tidak suka jika sampai ke kelas dan ternyata tidak ada siapa-siapa, dan lebih tidak suka lagi jika dimarahi karena terlambat. Mampu cepat beralih dari sesuatu yang sudah terjadi adalah salah satu kebajikan Kasuka.

Saat Kasuka secara kebetulan bertemu Masaomi di dekat ruang UKS, belahan jiwa dari duo Orix yang ia kagumi itu sedang menunjukkan wajah serius sambil hendak menelepon seseorang.

“Keiji bilang hari ini dia bolos terang-terangan, jadi mungkin Masaomi bosan sendirian?”

Kasuka tahu pasti kalau Keiji bolos, maka dia akan ada "di sana." Tapi Masaomi mungkin tidak tahu. Kalau ditanya, Kasuka akan memberitahu, tapi kalau tidak, dia tidak perlu memberitahu—begitulah yang dikatakan Keiji sebelumnya.

“Kalau saja aku bisa melakukan sesuatu juga.”

Berbeda dengan Keiji, Kasuka tidak bisa bertukar argumen tajam dengan Masaomi. Hal itu membuatnya merasa tidak berguna, dan justru karena itulah dua orang dari Orix menjadi objek pemujaannya.

"Kasuka? Kenapa kamu ada di sini──ah, ya, kamu tadi datang terlambat, ya. Sudah seperti pejabat tinggi saja."

"Hehe..." Kasuka mencoba menutupi dengan tawa, tapi Masaomi tidak tertawa sama sekali.

“Persis seperti Sasuga-san yang tadi aku temui di gerbang sekolah.”

Reaksi Masaomi saat itu sangat cepat, sampai-sampai Kasuka yang biasanya santai pun terkejut dan membuka matanya lebar-lebar.

"Kamu bertemu Hibari? Di gerbang sekolah? Kapan? Dia menuju ke mana? Ekspresinya seperti apa?"

Pertanyaannya mengalir tanpa henti, seolah ia akan langsung menerkam. Kasuka yang tidak mengikuti situasi pun merasa harus menjawab sebaik mungkin dan mulai menjelaskan dengan gugup.

"Umm, aku bertemu dengannya saat datang terlambat ke sekolah. Aku tidak melihat jam, tapi sepertinya sekitar dua atau tiga puluh menit yang lalu. Aku sempat menyapanya, tapi sepertinya dia tidak mendengar, jadi dia tidak membalas. Aku juga tidak tahu dia mau pergi ke mana. Tapi..."

"Tapi? Apa pun itu tidak apa. Katakan saja apa yang kamu pikirkan. Kumohon."

“Aku merasa, Sasuga-san seperti sedang menangis.”

"...Begitu ya. Ya, tentu saja. Dibilang orang aneh dan segala macam... Tapi dia juga gadis seusia kita. Tapi... kenapa dia tidak mau bicara padaku?"

“Aku belum pernah melihat Masaomi seputus asa ini.”

Meski terengah-engah karena dibombardir pertanyaan, di sudut pikirannya, Kasuka berpikir demikian. Ketika pertama kali bertemu, Masaomi sudah akrab dengan Keiji, tapi bukan tipe yang ramah atau mudah didekati. Itu masih berlaku sampai sekarang.

Ia nyaris tidak pernah menunjukkan emosi besar, dan tidak pernah membentak. Ia memang suka bicara hal-hal bodoh, tapi matanya tidak pernah benar-benar tertawa. Ia menjalani hari-hari dengan tenang, seolah-olah semua sudah diprogram.

Kesannya, seperti seseorang yang kekurangan emosi alami. Bahkan Keiji yang tampak dingin dan keras kepala sebenarnya lebih penuh emosi—Kasuka pernah melihatnya bertatapan dengan kucing liar selama 20 menit.

Masaomi sendiri pernah ditanya soal kesannya itu dan menjawab, 

"Aku sebenarnya mikir banyak hal di kepala, cuma ribet kalau ditunjukkan ke wajah." 

Dan Kasuka percaya itu. Ia mungkin memang orang yang kaku. Tapi orang seperti itu... kini terlihat sangat panik. Artinya, Masaomi benar-benar peduli pada Hibari.

Padahal dulu katanya hubungan mereka hanya karena hukuman permainan, tapi nyatanya Masaomi benar-benar jatuh cinta. Ya, itu dia. Bicara soal hukuman permainan, ekspresi Hibari waktu itu—

“Waktu aku ketemu Sasuga-san di rumah sakit universitas tempo hari, aku cerita soal kamu yang bilang pacaran karena hukuman permainan. Ekspresinya waktu itu mirip banget.”

Pipi Masaomi tampak menegang, dan seolah disihir menjadi batu, ia membeku di tempat. Matanya tidak tertawa sedikit pun.

"...Tunggu. Tunggu sebentar. Kasuka, apa yang kamu bilang barusan itu benar?"

"Ya. Sasuga-san itu, bahkan wajah sedihnya pun cantik, tapi tetap lebih baik kalau dia tersenyum. Aku ingin dia bahagia."

"Bukan itu!" seru Masaomi sambil menatap Kasuka dengan bahu bergetar. Tatapannya tajam, sampai Kasuka merasa telah melakukan kesalahan besar. Mungkin memang begitu. Masaomi selalu benar, jadi pasti Kasuka yang salah.

"Kamu bilang, awalnya cuma hukuman permainan... Kamu bilang itu ke Hibari? Kapan? Kamu sendiri?"

"Iya... sekitar awal Agustus. Aku bilang kok, tapi aku juga bilang kalau sekarang aku pikir kamu benar-benar menyukainya."

"Waktunya cocok... Dan walau kamu sudah bilang begitu... dia tetap menangis?"

"Aku nggak lihat air matanya langsung, tapi... mungkin dia nggak dengar bagian akhirnya. Wajahnya langsung pucat, terus dia kayak mau menangis dan langsung pulang."

Masaomi mendongak, terdiam. Kasuka pun yakin sepenuhnya: ia telah melakukan kesalahan besar.

"Ma... maaf ya, Masaomi. Aku bilang hal yang nggak seharusnya. Maaf..."

Masaomi terdiam cukup lama, tampak merenung dalam, lalu akhirnya berkata:

"Tidak──tidak apa-apa. Ini bukan salahmu. Yang salah... adalah aku."

Padahal jelas bukan begitu. Kalau Masaomi sampai merasa sakit hati, maka yang salah pasti Kasuka.

"Bukan begitu. Bukan salahmu, Kasuka. Ini sepenuhnya kesalahanku. Jadi jangan dipikirkan. Kamu tidak bersalah."

Suaranya tenang, seperti ketika mereka pertama kali bertemu. Tapi bagi Kasuka, nada itu justru terdengar seperti Masaomi sedang memaksa menahan emosi yang tak terbendung.

“Jadi itu alasannya Hibari menjauh dariku. Sejak saat itu, dia terus memikirkannya—”

“Hei, apakah terjadi sesuatu pada Sasuga-san? Kalau dia menghindarimu, mungkin itu karena aku...”

“Sudah kubilang bukan karena kamu. Kalau memang itu salahmu, sudah kuhajar kamu dari tadi. Tapi sekarang aku justru ingin memukul diriku sendiri.”

“Jangan lakukan itu. Nanti kamu ditertawakan Keiji.”

Mendengar itu, Masaomi menggeram dengan suara benar-benar kesal. Melihat gejolak emosi itu, Kasuka semakin yakin—pada akhirnya, yang bisa menghadapi Masaomi dengan seimbang hanya Keiji. Itu bukan peran Kasuka. Lalu, kalau begitu, siapa yang akan bisa membantu Keiji yang juga tengah dilanda kebingungan…?

Pertanyaan itu sekilas melintas di benak Kasuka, namun jawabannya bukanlah Masaomi. Dan kalau begitu, Kasuka pun tidak tahu jawabannya. Jika hanya Kasuka dan Masaomi, atau hanya Kasuka dan Keiji, semuanya tidak akan berjalan baik.

"Masaomi, bagaimana kalau kamu tanya Keiji saja? Sasuga-san bilang dia pernah bertemu Keiji juga. Mungkin dia tahu sesuatu."

Dan lagi-lagi, Masaomi seperti terkena mantra.

"Tunggu dulu. Kamu bilang, itu waktu kamu ketemu Hibari di rumah sakit, dan Hibari sendiri yang bilang begitu?"

“Ya. Dia bilang dia pernah diajak bicara oleh Keiji sebelumnya. Katanya Keiji nakal orangnya.”

"Aku belum pernah dengar cerita itu. Baik dari Hibari… maupun dari Keiji sendiri."

Begitu ya? Mendengar pertanyaan murni penuh rasa ingin tahu itu, Masaomi mengangguk dalam-dalam dan perlahan. Lalu ia mengajukan satu pertanyaan.

Kasuka tahu jawabannya. Tapi... ia sangat bimbang. Jika Masaomi yang meminta, Kasuka tak akan bisa menolak—itulah dirinya. Namun, untuk pertanyaan ini, Kasuka tak bisa langsung menjawab. Ia bimbang. Bimbang. Teramat sangat bimbang—dan setelah berpikir panjang, akhirnya ia memberi satu jawaban. Ada satu orang lagi yang berdiri di tempat yang sama dengan Masaomi.

Jika keduanya menghadap ke arah yang sama, maka Kasuka tidak akan pernah ragu terhadap apa pun. 

Tapi jika dua orang itu menghadap ke arah yang berbeda... Kasuka tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Bagi Kasuka, itu adalah keraguan yang terlalu alami untuk dihindari. Namun, Masaomi tidak sedang memikirkan Keiji. Ia sedang memikirkan Hibari. Bahkan meskipun Hibari tidak ada di sini, hatinya sepenuhnya tertuju padanya. Dan Keiji pun, kemungkinan besar, juga sedang memikirkan orang lain, bukan Masaomi.

Kalau begitu, mungkin Kasuka—hanya dirinya yang tidak sedang dipikirkan siapa pun—bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh kedua orang itu.


"Hey, Kasuka... tentang yang di rumah sakit... Bisakah kau memberitahuku apa pun yang kau tahu soal Keiji? Lalu kenapa kau berpikir untuk menceritakan soal permainan hukuman itu kepada Hibari?"

Jawaban Kasuka terhadap pertanyaan itu awalnya membuat Masaomi mengira ia salah dengar. Meskipun sekarang ia sudah cukup terbiasa, suara Kasuka memang sehalus namanya, dan jika lengah sedikit saja, suara itu mudah terlewat. 

Maka Masaomi pun berpikir, mungkin tadi dia kurang fokus. Atau mungkin, hatinya sedang lebih kacau dari yang ia sadari. Atau mungkin juga, ia sama sekali tidak membayangkan bahwa akan mendengar jawaban seperti itu. Tapi semua itu hanyalah alasan. Ia sebenarnya mendengarnya. Hanya saja, karena terdengar begitu tidak masuk akal, ia sempat mengira dirinya salah dengar.

Masaomi pun bertanya lagi. Kali ini ia tidak mau memberi celah pada dirinya untuk mencari-cari alasan. Ia benar-benar memasang telinga, agar tidak melewatkan satu kata pun. Dan seperti yang diduga, jawabannya tetap sama.

Sebagai separuh dari Orix, sebagai teman yang dihormati, sebagai semacam wali, bahkan sebagai sosok yang bisa dibilang memiliki kekuasaan mutlak atasnya — Masaomi tidak pernah menyangka bahwa permintaannya akan ditolak oleh Kasuka.

“Aku tidak bisa bilang... karena sudah diminta untuk tutup mulut.”


0

Post a Comment


close