Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Join juga server discord Hinagizawa Groups x Fanservice dan leveling disana untuk dapat pdf light novel ini
Linkya: https://discord.gg/TVhNrDa9sk
Chapter 4
Laut, Baju Renang, dan Pasangan Aneh
"Kalau melihat gejalanya, nama penyakitnya adalah gangguan koma kronis."
"Jadi kamu memang tahu soal itu, Keiji."
"Ya," jawab Keiji dengan mudah sambil mengangguk.
Memang pantas, mengingat dia adalah anak seorang dokter. Dalam hal seperti ini, dia benar-benar bisa diandalkan sebagai sumber informasi. Aku diam-diam jadi menilainya lebih tinggi.
"Aku kenal seseorang yang menderita penyakit yang sama. Ngomong-ngomong, katanya penyakit ini akan termasuk dalam daftar penyakit yang akan ditanggung oleh asuransi medis lanjutan. Padahal belum ada metode pengobatan yang efektif juga. Entah itu benar atau tidak. Yah, bisa dibilang ini bukan penyakit yang wajar."
Aku tidak terlalu paham soal sistem asuransi medis lanjutan itu, tapi Keiji berbicara dengan ekspresi serius yang tidak biasa. Entah yang dia maksud dengan "tidak wajar" itu merujuk pada asuransinya, atau pada penyakitnya.
Senin siang, hari terakhir sebelum upacara penutupan sekolah. Di tengah kegaduhan kelas yang bisa diberi slogan “Suasana Gembira Menyambut Liburan Musim Panas”, kami bertiga seperti biasa menyantap roti sambil ngobrol. Sambil Keiji menuduh, “Kenapa kamu diam saja padahal pengakuan cintamu berhasil, hah?” dan Masaomi balik memprotes, “Kenapa kamu seperti membuntuti kencan kita diam-diam, hah?”, kami saling beradu argumen. Tanpa menyebut subjek dan nama penyakitnya secara langsung, aku menjelaskan gejala yang dialami oleh Hibari—dan hasilnya adalah tanggapan Keiji tadi.
"Meski begitu, ternyata Sasuga punya penyakit seperti itu, ya. Kalau sudah diberi tahu hasil tesnya, yah, aku bisa menerima. Tapi wajar juga sih kalau orang-orang salah paham, soalnya dia pasti nggak akan repot-repot jelasin itu ke semua orang. Sekilas kelihatannya kayak orang yang suka mengarang cerita. Jadi nggak heran kalau dia tampak seperti menolak siapa pun dan seakan memancarkan sinyal aneh."
Keiji memang cepat menangkap pembicaraan, baik soal roti maupun topik yang dibicarakan. Berbeda dengan Masaomi yang masih terkejut saat tahu soal penyakit Hibari, Keiji seperti sudah tahu sebelumnya dan langsung bisa memahami situasinya. Melihat dia memahami segalanya tanpa kebingungan sedikit pun, Masaomi sampai merasa sedikit iri.
"Aku nggak pernah bilang siapa orangnya, kan? Aku cuma menyampaikan cerita yang aku dengar."
"Kalau ini cerita tentang orang lain di tengah percakapan seperti ini, justru aku bakal mempertanyakan kewarasanmu. Tapi, yah, ini soal privasi juga. Tenang aja, aku nggak akan menyebarkannya. Toh aku juga nggak dapat untung apa-apa dari itu."
Keiji, seperti biasa, menunjukkan ketajaman instingnya dan mengakhiri pembicaraan. Meski aku percaya padanya, tetap saja ada rasa khawatir kalau-kalau dia akan menyebarkannya jika ada keuntungan yang bisa dia peroleh. Itulah Keiji si brengsek sejati—dan aku langsung menarik kembali penilaianku tadi.
"Lalu kenapa, tanpa alasan yang jelas, kamu jadi mengawasi aku dan Hibari saat berkencan?"
"Hah? Jelaslah karena itu kelihatan seru."
Masaomi sempat berpikir ingin menghajarnya. Bahkan sebagian tubuhnya sudah condong ke depan, tinggal satu dorongan lagi dia akan melompati meja dan mencekik dada Keiji. Wajahnya yang menyeringai itu benar-benar cocok jadi samsak tinju. Masaomi bahkan sempat berpikir untuk melelang wajahnya itu di situs lelang online.
"Harusnya kau sadar! Karena bantuanku, kamu yang awalnya begitu membenci pengakuan cinta akhirnya bisa mewujudkannya. Sekarang kamu punya pacar dan akan menjalani liburan musim panas yang super panas dan penuh cinta! Itu masa depan yang luar biasa, tahu?! Kamu harusnya sujud dan mengucapkan terima kasih, bukan malah menatapku dengan wajah serius seperti itu!"
Keiji membuka tangan lebar-lebar seperti sedang bermain peran di atas panggung sambil berpidato. Jelas dia melakukan itu dengan sengaja untuk memancing Masaomi, dan efeknya memang luar biasa—benar-benar menyebalkan.Melihat warna rambut dalam rambutnya yang berayun seperti kunang-kunang membuat Masaomi bertekad dalam hati untuk suatu saat mencukur habis rambut gondrong itu.
"Padahal kamu pintar, tapi bodohnya luar biasa, Keiji. Karena kamu pakai lengan panjang di musim panas, otakmu mungkin sudah mendidih. Dengar, soal aku dan Hibari pacaran itu satu hal, dan kamu mengawasi kami itu masalah lain!"
"Kalau dari awal kamu cerita terus terang, ini nggak akan jadi masalah, kan?"
"Kenapa aku harus cerita terus terang?"
"Karena sudah jadi kewajiban kamu untuk melapor perkembangan ke sang Cupid. Kamu bahkan dapat informasi soal penyakit Sasuga dari aku, dan rasa ingin tahuku juga terpenuhi. Jadi kita sudah saling untung, kan? Apa lagi yang kamu keluhkan?"
Wajah polosnya seakan benar-benar tidak paham—dan itu malah makin membuat kesal.
"Jangan ikut campur urusan yang nggak perlu! Terlepas dari bagaimana kami mulai pacaran, ke depannya ini sudah jadi urusan kami berdua. Orang luar jangan ikut campur. Jangan merasa paling tahu!"
Masaomi berkata dengan nada keras dan penuh amarah. Mungkin dia terlalu terbawa suasana. Suasana kelas mulai gaduh. Di kelas, Masaomi biasanya seperti latar belakang yang tidak menonjol. Tapi sekarang dia menunjukkan sikap tajam dan tegas, dan jika lawan bicaranya adalah Keiji, suasana jadi makin memanas.
"Aneh juga kamu, biasanya cuma kayak protein hambar gitu, kok sekarang jadi panas begitu. Padahal soal Sasuga bukan hal baru lagi buat kamu."
Keiji mengklik lidahnya dengan kesal. Dia adalah orang yang tidak suka menarik perhatian. Dan makin banyak mata yang memperhatikan, ekspresi tak nyaman di wajahnya makin terlihat jelas. Tapi Masaomi tidak berniat untuk menurunkan senjatanya. Ini bukan hanya soal dirinya—ini juga menyangkut ketenangan Hibari. Dia tidak bisa menerima jika mereka harus terus diawasi.
Suasana memanas dan hampir mencapai titik ledak—namun…
"Tenang dulu kalian berdua. Mungkin kalian cuma salah paham soal inti pembicaraan."
Suara tak terduga yang datang dari Kasuka, yang selama ini hanya tersenyum tenang seperti biasanya, mendadak memecah ketegangan.
"Salah paham?"
"Soal inti pembicaraan?"
"Ya. Mungkin Keiji salah paham. Tapi Masaomi juga salah paham karena mengira Keiji nggak salah paham."
"...Kasuka, coba kamu rapikan dulu penjelasanmu. Jadi maksudmu aku salah paham soal apa?"
Masih dengan senyum polosnya, Kasuka menunjuk Masaomi dengan tegas dan berkata:
"Soalnya, Masaomi itu… sejak awal memang sudah serius, tahu?"
Krak.
Seakan ada bunyi retakan yang terdengar. Entah itu retakan dari kesalahpahaman keras kepala Keiji, atau dari rasa malu Masaomi yang begitu dangkal.
"Ah... ah... baiklah, jadi begitu maksudnya. Ternyata Masaomi-san benar-benar serius, ya."
"Ah... yah, begitu. Itu memang bagian yang belum selesai."
“Jangan bertengkar, ya~,” kata Kasuka sambil tertawa senang, berbanding terbalik dengan ucapannya.
Keduanya perlahan menyingkirkan emosi negatif mereka dan menunjukkan sikap yang bisa menerima. Ucapan Kasuka seperti satu anak panah yang menembus balok es.
Keiji yang masih menganggap ini sebagai permainan hukuman, tidak mengerti kenapa Masaomi sampai seserius itu. Sebaliknya, Masaomi yang berada dalam mode serius, tidak mengerti kenapa Keiji terus bercanda. Jalur yang tak pernah bertemu. Bertengkar itu tidak baik, kan? Menyedihkan, lho? Ayo akur lagi~
Handuk penentu pertandingan yang dilemparkan Kasuka berhasil dengan tepat menunjukkan kesalahpahaman masing-masing pihak. Adalah hal yang wajar kalau keduanya memiliki perbedaan sudut pandang. Keiji masih menganggap Masaomi sebagai badut di panggung, sementara Masaomi sudah melepas peran badutnya dan benar-benar terlibat dalam hubungannya dengan Hibari di luar panggung.
Keiji yang tidak menyadari perubahan posisi itu, dan Masaomi yang tidak menjelaskannya, sama-sama bersalah karena kurang komunikasi.
"...Kau, Kasuka, bisa juga ternyata."
"...Benar juga. Padahal Kasuka, ya Kasuka."
"Ehhehe~ puji aku, puji aku~," ujar Kasuka sambil membusungkan dada dengan bangga.
Makhluk kecil yang tampak polos dan kekanak-kanakan ini kadang mengatakan hal-hal yang bijak, membuatnya tak bisa diremehkan. Karena terlalu senang, dia mulai berputar-putar dengan satu kaki seperti balerina, membuat roknya berkibar. Masaomi dan Keiji pun buru-buru menegur karena terlalu terbuka—sebuah adegan yang khas dan menggemaskan.
Kalau dipikir-pikir, yang selalu meredakan ketegangan antara Keiji yang berwatak keras dan mudah naik darah serta Masaomi yang tampak tenang namun keras kepala di saat-saat penting, adalah Kasuka. Bahwa kelompok kecil mereka tetap seimbang selama hampir setahun ini tidak lepas dari ucapan-ucapan sepele Kasuka yang selalu tepat sasaran. Senyumnya begitu cerah seolah diiringi efek suara “ting~”, dan sambil hanya mengangguk dengan tatapan mata,
"Kalau memang begitu, ya sudah. Soal aku mengawasi dan membocorkan informasi, memang aku sudah keterlaluan. Tapi siapa sangka Yunyun itu benar-benar bisa membuatmu jatuh cinta. Selera yang unik, ya."
"Kalau memang tidak niat minta maaf, bilang saja. Kali ini benar-benar akan ku pukul. ...Yah, aku juga minta maaf. Begitulah keadaannya sekarang. Meskipun awalnya seperti main-main, nyatanya sekarang aku benar-benar serius. Kalau nanti aku perlu bantuan atau ingin konsultasi, aku akan cerita, jadi tolong bantu, ya."
Setelah potensi pertikaian mereda, yang tersisa adalah jabat tangan khas antara dua sahabat karib. Tanpa disadari, perhatian kelas pun sudah mereda ke tingkat “penglihatan pinggir mata.” Tak ada yang lagi mendengarkan percakapan para figuran ini. Semuanya kembali seperti biasa.
"Baiklah. Toh aku memang benar-benar tertarik. Ini bisa jadi contoh kasus yang bagus juga. Dan soal dunia spiritual atau... astral side itu, ya? Jelaskan lebih lanjut, siapa tahu bisa cocok dengan kondisi kenalanku. Mungkin bisa ketemu metode pengobatan yang pas. Tentu saja, aku tidak akan minta gratis. Nih, aku kasih ini."
Keiji mengeluarkan dua lembar tiket lusuh dari sakunya, seolah-olah sedang menunjukkan barang istimewa. Masaomi menerimanya. Di depan tiket itu, terlihat gambar pantai dengan pria dan wanita berbaju renang yang agak buram sedang bermain-main. Di atasnya tertulis besar-besar dalam font mencolok:
"Undangan Pre-Opening Pantai Kastil Bay!!!"
Terdapat empat tanda seru, menunjukkan betapa seriusnya promosi ini. Ketika dibalik:
Satu tiket berlaku untuk satu orang.
Satu porsi yakisoba gratis di kedai "Soleil".
Sewa pelampung dan perahu karet mendapat diskon.
Bawa baju renang sendiri.
Bawa pulang sampah masing-masing.
Minum alkohol mulai usia 20 tahun.
Ciuman mulai usia 18 tahun.
Hal lainnya, lakukan di rumah.
—Terlalu banyak informasi.
Masaomi reflek menanggapi dalam hati. Bagian akhir itu benar-benar terlalu ikut campur.
"Katanya Ayahku dapat dari kenalannya. Tiket ini banyak disebar, jadi mungkin tidak terasa seperti pantai pribadi, tapi setidaknya pasti lebih sepi dari pantai umum. Mumpung liburan musim panas, pergilah. Lihatlah sisi berani dari Sasuga yang tak pernah kamu lihat!"
"Karaktermu berubah. Jangan lupakan kamu itu tipe orang serius. ...Yah, akan kuambil tiket ini."
Masaomi juga lelaki. Melihat Hibari dalam pakaian renang… tentu saja sangat menarik.
"Jadi nanti sekalian saat lihat-lihat baju renang, kumpulkan juga info tentang dunia misterius Sasuga, ya."
"Belum tentu dia mau ikut, tahu. Hibari itu bukan kelinci percobaan. Dan kamu itu, selalu saja memprioritaskan tujuanmu sendiri tanpa peduli apa pun."
Selain itu, pikir Masaomi, ada rasa tak nyaman yang masih tertinggal.
Meski kesimpulannya sama, prosesnya terasa berbeda—ada ketidaksesuaian yang sulit dijelaskan. Keiji melihat Masaomi dengan tatapan seperti karakter saingan dalam drama penuh semangat, lalu berkata:
"Sasuga itu pacarmu, bukan pacarku. Wajar dong aku lebih mementingkan kenalanku. Tapi kalau ternyata informasi itu bisa berguna untuk pengobatan Sasuga, tentu aku akan bantu. Bahkan bisa kuperkenalkan ke Ayahku. Lagipula, kamu sendiri lebih suka pacar cantik biasa daripada pacar cantik yang aneh dan penuh sinyal, kan?"
Masaomi tidak langsung menjawab. Dia mengerti maksud Keiji, tapi cara bicaranya justru menimbulkan penolakan kuat dalam hati. Akibatnya, rasa tidak nyaman yang tadi sempat terlintas malah hilang dari pikirannya.
"Ah~ tapi Masaomi ya… akhirnya kamu begini juga. Jadi tinggal aku sendiri yang menyanyikan lagu musim panas."
"Padahal kamu juga jarang liburan, kan. Siapa sih yang terus-terusan bilang ‘sibuk, sibuk’ kayak radio rusak? Kalau merasa kesepian, ajak Kasuka jalan-jalan aja."
"Mau main~? Mau ke mana~? Lihat bendungan, yuk~? Ayo kita bertiga~ Pasti seru~!"
"Kenapa bendungan…? Kalau ke sana kamu pasti jatuh. Itu sudah kayak pertanda kematian."
"Iya ya~"
Masaomi bingung harus merespons seperti apa. Jujur saja, tidak heran kalau dia sudah jatuh dua atau tiga kali.
"Yah, kalau soal bendungan, nanti lihat situasi aja. Tapi sesekali beri laporan perkembangan, ya, Masaomi... Oops, waktunya hampir habis. Kasuka, bentar, bisa ke sini sebentar?"
"Apa-apa~? Jadi kamu mau ke bendungan juga~?"
Obrolan pun berakhir seperti sudah dijadwalkan.
Keiji melambaikan tangan dengan malas dan kembali ke tempat duduknya sambil memberi isyarat pada Kasuka untuk mendekat. Sementara itu, Kasuka melamun memikirkan bendungan dan menabrak meja teman sekelas, dan Masaomi hanya menatap punggung mereka dengan tatapan kosong. Sambil mengulang-ulang percakapan tadi di dalam kepalanya.
—Penyakit Hibari, bisa disembuhkan.
Ia menelan perasaan yang hendak ia lontarkan, merasakannya mengalir turun melalui tenggorokan hingga ke inti tubuhnya.
—Pacar biasa, ya...
Jadi, yang dimaksud adalah Sasuga Hibari tanpa dunia astralnya.
Kalau Masaomi bertemu dengan Hibari yang seperti itu...
Apakah ia masih akan jatuh cinta padanya seperti sekarang?
"Heh, Kasuka. Jadi Masaomi sekarang punya pacar, ya. Menurutmu gimana?"
Dengan nada seperti biasa dan wajah tanpa ekspresi, Keiji melontarkan pertanyaan itu kepada Kasuka, yang berjalan mengikuti di belakang sambil menatap punggung Masaomi yang tampak tengah memikirkan hal rumit.
"Hmm? Gimana ya? Kalau Masaomi senang, ya bagus saja, menurutku. Kalau kamu sendiri, Keiji?"
"Yah, bisa dibilang sesuai rencana."
Keiji tak menyangkal bahwa ia memang mendorong terjadinya hal itu dengan sedikit unsur hiburan, tapi kalau akhirnya berjalan dengan baik, maka tak ada salahnya. Siapa tahu dia juga bisa melihat wajah konyol sahabatnya yang sedang jatuh cinta.
"Jadi, Keiji turun tangan demi Masaomi, ya. Hebat juga, Keiji."
"Yah, bisa dibilang begitu. Tapi kau tahu, Kasuka… Mungkin kau belum menyadari, tapi kalau Masaomi sekarang sudah punya pacar, artinya waktu yang dia habiskan bersama kita pasti bakal berkurang."
Kasuka membelalakkan mata seperti baru saja dijebak dalam acara kejutan. Mengingat sifatnya, memang agak diragukan apakah ia benar-benar memahami arti dari seorang siswa laki-laki SMA yang kini memiliki pacar. Dan benar saja, reaksinya membuktikannya.
"Begitu, ya… Hmm, ya juga… itu mungkin agak menyedihkan."
Suaranya terdengar lirih, lebih lirih daripada biasanya, dengan ekspresi sedih dan resah yang jarang terlihat dari Kasuka.
"Yah, kalau dibilang ini hal biasa bagi anak SMA, ya begitulah. Mungkin saja nanti kita bertiga nggak sempat pergi bareng ke bendungan lagi. Tapi kalau Masaomi memang benar-benar bahagia dengan hubungan barunya, ya meskipun dia jadi suka pamer, sebagai teman kita harus ikut senang juga."
"Tapi… kita tetap di kelas yang sama, kok. Masih bisa ketemu setiap hari. Meskipun… ke bendungan mungkin memang jadi sulit."
"Kalau kamu lihat gimana dia naksir berat, kamu pasti ngerti. Wajahnya tuh kayak, 'pacarku adalah prioritas utama.' Kalau dia punya waktu luang, yang dia pikirin ya pasti Sasuga. ——Ah, maaf, maaf. Bukan maksudku bikin kamu makin khawatir. Bisa jadi begitu, bisa juga nggak."
Saat Kasuka akhirnya menundukkan kepala, Keiji buru-buru mencoba meredakan suasana. Meski dia orang yang keras dan suka bersikap ketus, kalau sampai membuat seorang cewek menangis di siang bolong seperti ini, reputasinya di kelas akan benar-benar hancur. Itu jelas bukan hal yang dia inginkan.
"Eh, Keiji… Kamu sendiri nggak mau punya pacar?"
"Hah? Kenapa aku harus punya?"
Keiji sempat bingung dengan pertanyaan tak terduga itu. Padahal tadi Kasuka terlihat sedih, tapi kini tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatnya kewalahan.
"Soalnya… kalau Keiji juga punya pacar, kita bertiga benar-benar nggak bisa main bareng lagi. Mungkin nggak bisa bertiga lagi…"
"Hahaha, kamu ini Kasuka… kayak gadis pemalu aja——"
"Kalau begitu, gimana kalau kamu pacaran denganku? Aku sih nggak keberatan kalau Keiji yang jadi pacarku. Tapi tolong, bersikaplah sangat lembut padaku."
Kalimat itu terlontar dari Kasuka dengan tatapan mata yang sangat jujur dan tulus, sampai-sampai Keiji pun jadi canggung. Kalau saja suara Kasuka tidak sekecil itu, mungkin seluruh kelas sudah memperhatikan mereka.
"...Maaf. Sepertinya aku sudah membuatmu terlalu sedih. Jangan pasang wajah serius seperti itu. Dan satu hal lagi, jangan pernah ucapkan kalimat seperti tadi ke orang lain selain aku atau Masaomi. Kami bisa menertawakannya, tapi di luar sana ada banyak orang yang nggak akan segampang itu. Bahkan ada orang-orang jahat yang bisa memanfaatkanmu."
Nyatanya, Kasuka sendiri mungkin tidak tahu, tapi dia cukup populer. Memang banyak yang menganggapnya seperti boneka lucu, tapi juga tak sedikit yang membicarakan hal vulgar di balik wajah polos dan tubuhnya yang menarik. Ada yang bilang ingin 'menaklukkan' dia karena dia terlihat polos dan mudah diatur.
"Baik. Kalau Keiji bilang begitu, aku nggak akan ngomong kayak tadi lagi."
Keiji sendiri sebenarnya yang memulai, tapi jawaban Kasuka yang langsung begitu cepat justru membuat Keiji tak bisa mengikuti irama percakapan. Meskipun agak berbahaya, itu tetap bagian dari keunikan Kasuka.
"Kenapa bisa tiba-tiba muncul ide pacaran denganku?"
"Soalnya… kalau begitu, kita bisa tetap berempat main bareng, termasuk Sasuga-san juga. Kalau dibagi dua-dua, rasanya pas. Soalnya… kalau dibiarkan begini, aku takut kamu juga bakal pergi jauh entah ke mana, Keiji."
Keiji menghela napas pelan dan melepaskan sedikit ketegangan dari bahunya, lalu menepuk kening Kasuka dengan jari telunjuk.
Saat Kasuka protes, "Ih, apaan sih~", Keiji mengabaikannya.
"Jangan khawatir. Saat ini aku belum kepikiran ke arah sana… Aku ini orang tipe serius, tahu? Pacaran atau semacamnya, belum pernah terpikirkan sama sekali."
"Oh, begitu… aku agak lega. Tapi sebenarnya aku pengin Keiji juga bahagia, bukan cuma Masaomi. Kalau kita bisa tetap bertiga seperti dulu, aku bahkan mau bantu kamu sebisa mungkin. Meski aku nggak tahu apa aku bisa."
Keiji kini benar-benar tak sanggup menatap mata Kasuka yang jernih dan polos itu. Dia pun memalingkan wajah.
"──Yah, kalau begitu… mungkin aku bisa bantu sedikit juga. Soalnya, dengan kondisi Masaomi sekarang, dia pasti nggak bakal bisa ambil keputusan sendiri. Anggap saja ini semacam jimat keberuntungan… meskipun nanti kamu lupa, nggak apa-apa. Dengar baik-baik, ya."
Sementara Kasuka memiringkan kepalanya heran, Keiji mulai merangkai kata-katanya. Menanam benih ke masa depan—masa depan yang belum tentu datang, masa depan yang hanya bisa terjadi secara kebetulan.
"Jadi itu ceritanya semacam jimat keberuntungan? Hmm, aku kurang begitu mengerti, tapi itu 'kan demi Masaomi dan Keiji, bukan? Kalau begitu, aku nggak akan melupakannya. Kalau suatu saat hal itu benar-benar terjadi, aku akan memastikan untuk tidak melupakannya."
── Kiiin, koon, kaan, koon.
(Dentang lonceng sekolah berbunyi.)
"Itu sudah kuduga. ——Kau memang Kasuka, kan."
Bisikan terakhir Keiji itu tenggelam oleh suara lonceng dan tak sampai ke telinga Kasuka.
Masaomi jatuh tersungkur di atas pasir.
Liburan musim panas—di bawah terik matahari yang bersinar cemerlang seolah sedang memamerkan deretan gigi putihnya dalam tawa penuh kemenangan.
Hari terakhir bulan Juli. Di tengah musim panas. Di bawah langit yang membara. Pantai berpasir yang menyengat. Kulit cokelat keemasan. Keringat yang memercik. Ombak yang datang dan pergi. Hawa panas, hawa panas, dan hawa panas lagi. Dan—pemandangan penuh warna dari berbagai macam pakaian renang yang memenuhi penglihatan.
Sedikit ramai, sedikit bising, sedikit meriah—pemandangan sempurna dari liburan pantai yang telah lama dinanti. Dengan semua elemen kemenangan terkumpul begini, betapa menyedihkan sosok yang kini berlutut dan menundukkan kepala. Apa yang membuatnya begitu terpuruk? Penyebabnya tak lain adalah gadis yang saat ini tengah "tertidur pulas" di sampingnya.
Sudah bisa ditebak, dia adalah Sasuga Hibari. Pacar Masaomi. Super cantik. Berkulit putih, bertubuh langsing, dengan tangan dan kaki yang jenjang. Masaomi berhasil mengajak Hibari ke pantai dengan memanfaatkan tiket undangan yang didapat dari Keiji. Rencana berjalan lancar—itu bagus.
Cuaca cerah seperti yang diharapkan. Naik kereta dengan hati riang menuju pantai—itu pun bagus.
Bermodalkan pengetahuan dari majalah liburan yang dibaca semalaman, mereka menyewa payung pantai dan ranjang santai, mendirikannya sambil tertawa-tawa—juga bagus. Begitu duduk, Hibari langsung tidur—itu... yah, masih bisa diterima. Masalahnya ada pada penampilan tidur Hibari.
“Kenapa… kenapa dia pakai perlengkapan lengkap begitu? Dia anti buka-bukaan? Mati aja, dewa. Mati aja, Goddammit.”
Tak heran kalau ia sampai mengutuk Dewa. Kencan di pantai, bersama pacar, harusnya berarti event pakaian renang. Masaomi sendiri telah membeli celana renang mencolok bergaya tropis secara dadakan.
Meski bekas luka akibat tugas “Guardian” yang mulai bermunculan di sekujur tubuhnya tak bisa disembunyikan, ia tetap nekat datang ke pantai. Bahkan harus mengorbankan uang untuk pakaian, ikat rambut, dan es krim. Pengeluaran sebelum kencan yang membuat air matanya nyaris mengering. Namun Hibari mengenakan rash guard berlengan panjang dan celana selutut dengan dalih "tak mau terbakar matahari".
Hanya bagian pergelangan kaki sampai tulang kering yang memperlihatkan kulit seputih salju, yang mana bahkan seragam sekolah pun masih lebih memperlihatkan kulit. Masaomi, yang sempat begitu bersemangat, kini hanya bisa menangis dalam hati atas kekejaman ini.
Sudah lima belas menit sejak Hibari terlelap. Biasanya, dia sudah bangun di waktu seperti ini. Lima belas menit yang terasa seperti duduk di atas wajan panas. Seandainya Hibari tidur sambil mengenakan pakaian renang, mungkin lima belas menit ini akan jadi berkah dalam hidup Masaomi—bahkan pantas diberi plakat peringatan berlapis emas.
“Gak mungkin aku tinggal dia buat nyebur ke laut... apalagi buat ke toilet...”
Air mata darah tak cukup membasahi pantai kering ini. Maka seperti biasa, ia membuka aplikasi berita. Ada rasa bersalah karena tetap menatap layar ponsel meski sedang di pantai, tapi tak ada pilihan lain. Dan seperti biasanya, di saat seperti ini tak ada berita menarik. Kasus yang terjadi di dekat rumah pun tak ada perkembangan. Mungkin sudah mulai reda. Meski kabar itu menenangkan, ada juga rasa bosan. Artikel “Bidik Hati Pacar dengan Bikini Seksi!” pun ia geser dengan kesal.
Saat sedang mengetuk layar, akhirnya terdengar suara mengantuk dari sebelahnya.
“Selamat pagi, Hibari. Panas begini pun kamu bisa tidur pulas, ya?”
“...Selamat pagi. Bagiku, tidur seperti ini justru lebih mudah daripada benar-benar tidur biasa.”
Hibari menjawab dengan mata mengerjap pelan, lalu mengibaskan kepala seolah mengusir kantuk.
“...Meski begitu, tetap saja nggak bisa menghindari keringat tidur.”
Sambil berkata begitu, ia mengambil dua ikat rambut dari lengannya dan mengikat rambut panjangnya ke samping kiri dan kanan secara sembarangan. Dua ekor kuncir longgar yang menjuntai ke dada, dan gerakan saat ia menyeka tengkuk dengan handuk terlihat begitu memesona.
“Aku harus jadi lebih kuat lagi.”
Masaomi, yang tadi sempat tenggelam dalam kesedihan, kini terdiam memandangi tengkuk Hibari yang menawan.
“...Apa? Kulitmu?”
“Bukan,” jawab Hibari sambil melotot lembap.
“Meski aku sudah berhasil menghadapi dalang dari para pemimpin Selfie—tapi tetap saja aku tidak bisa menahannya dan dia berhasil kabur. ‘Wind’... namanya memang angin, dan cara dia kabur pun secepat angin. Sejauh yang bisa kulihat, sepertinya dia tidak punya Guardian, tapi dia sendiri sudah cukup berbahaya.”
“Oh, jadi ini soal Astral Side, ya. Kalau bisa kalahin dia, masalah selesai?”
Sejak mereka pacaran, Hibari tak pernah menyembunyikan bahwa dia memprioritaskan Astral Side ketimbang Masaomi. Mau tak mau, Masaomi pun jadi mendengar berbagai cerita tentang dunia itu setelah Hibari bangun dari “dive”. Sekarang dia sudah cukup memahami seluk-beluknya. Meski begitu, tetap ada batas antara "tahu" dan "terlibat langsung", jadi sejauh ini ia masih menganggap semuanya seperti menonton dari pinggir lapangan—atau bisa dibilang, semacam rasa ingin tahu ala gamer.
Kata Hibari, ada bos besar di antara para Selfie. Ia merupakan veteran Astral Side yang telah hidup lama di sana dan berperan sebagai perekrut para diver nakal, menyatukan mereka menjadi geng, dan selalu menghalangi para Meshian, sang penyelamat. Sejenis raja iblis klasik, katanya.
Tampaknya dalam dunia para Astral Diver pun ada tingkatan kekuatan, umumnya ditentukan oleh durasi dive yang bisa mereka lakukan secara terus-menerus. Julukan Hibari sendiri adalah "Empat Cahaya Langit, Peringkat Ketiga", jadi bisa dibilang dia termasuk gamer elit. Masaomi pun cukup paham bahwa mereka yang kuat pasti jadi pemimpin, dan saat ini musuh utama Hibari adalah karakter kuat bernama "Wind"—sumber sakit kepala yang sedang dihadapi.
"Setidaknya, kekacauan besar yang sedang terjadi di wilayah ini akan mereda. Kalau 'Wind' berhasil dikalahkan, jumlah orang yang berniat mengamuk secara terorganisir di dunia spiritual—Astral Side—akan berkurang secara nyata. Tapi..."
Ucapannya tiba-tiba terhenti. Saat Masaomi menoleh untuk melihat apa yang terjadi, ia mendapati Hibari sedang menatap langit dengan ekspresi berpikir dalam.
"Aku merasa... para diver sedang menjadi tidak stabil."
"Kau maksud yang menghilang begitu saja?" tanya Masaomi.
Hibari mengangguk dan menjawab, "Itu juga, tapi bukan hanya itu. Diver lain yang kutemui saat sedang dive—baik itu yang Meshian maupun Selfie—ada yang tiba-tiba menghilang, atau malah tiba-tiba muncul. Jumlah orang yang memiliki 'penyakit' seperti aku ada dalam skala ribuan. Meskipun mereka tidak melakukannya secara bersamaan, dan meskipun ini hanya berdasarkan pengalamanku sendiri... tetap saja, seharusnya mereka tidak begitu sering berpindah antara sadar dan koma. Kau tahu, seperti saat bermain game, biasanya kita logout di saat yang tepat, kan? Kecuali jika koneksi terputus tiba-tiba."
Bagi Masaomi, satu-satunya referensi tentang diver adalah Hibari sendiri, jadi ia selalu membayangkan dive terjadi begitu saja, tiba-tiba. Tapi jika sampai diver sepertinya menyebut "tiba-tiba muncul", mungkin maksudnya adalah mereka muncul kembali padahal seharusnya belum bisa masuk lagi karena masih dalam masa cooldown.
Mekanisme dive memang masih belum dipahami sepenuhnya, tapi mungkin seperti dipaksa login atau logout dalam game.
"Yah... kalau yang menghilang sih, aku masih bisa membayangkannya. Seperti lobi game yang mulai sepi, jumlah pemain berkurang meskipun jumlah pengguna masih banyak, lalu kamu mulai merasa, 'Ah, dunia ini mulai ditinggalkan ya.'"
"Kalau Astral Side ditinggalkan... mungkin itu artinya penyakit ini sembuh, ya. Tapi... entahlah, aku tetap merasa tidak tenang."
Dengan wajah serius yang mirip seperti sedang menahan ketegangan, Hibari mengakhiri ucapannya.
"…Maaf, ya. Apa pembicaraan ini membosankan?"
"Jauh lebih menyenangkan daripada saat kau sedang dive dan aku ditinggal sendirian. Setidaknya sekarang aku bisa bicara denganmu."
Masaomi sengaja berkata dengan nada bercanda, seolah untuk mengusir kekesalan dan kekhawatiran kecil yang mengendap di dalam hatinya. Hibari pun menyipitkan mata dan tersenyum. Ia kembali meminta maaf dengan lirih. Mungkin ia mengira Masaomi kesal atau tersinggung dengan topik pembicaraan tadi. Masaomi merasa harus menanggapi dengan baik dan berkata, setengah semangat:
"Yah, untuk sekarang aku akan belikan minuman dulu, ya. Kamu pasti haus. Mau apa?"
"Kalau begitu... aku mau soda dingin. Yang bikin segar kalau bisa."
Masaomi berpikir, Ternyata dia nggak suka yang panas di pantai, ya, meskipun itu hal sepele.
“Hei, hei,” ujarnya ringan, sangat tidak pantas untuk seorang pelayan yang baru saja menerima perintah dari tuannya. Ia pun berjalan menuju kedai di tepi pantai.
Ketika Masaomi kembali dari kedai pantai “Soleil,” situasinya sudah berubah total.
Siapa tadi yang terlihat begitu girang mendapatkan satu porsi yakisoba gratis? Tentu saja Masaomi. Ia bahkan sampai membesarkan lubang hidungnya saat mencium aroma saus kental yang begitu pekat melapisi mie yang sudah mengembang. Ia terbuai oleh sensasi gunungan nori dan jahe merah yang ia taburkan sendiri. Ia benar-benar terlihat seperti orang tolol yang terlalu santai. Pantai di musim panas identik dengan pertemuan—laki-laki dan perempuan yang lapar akan nafsu dan penuh gaya.
Mereka gesit. Mereka tak ragu. Mereka tak mudah menyerah. Berbeda dari tipe pemalas yang hanya bicara soal diet tapi tidak kunjung bergerak, orang-orang ini berkeliaran di sepanjang pantai, seolah melafalkan mantra aneh: “Karena ini musim panas, karena musim panas.” Mereka mencari petualangan singkat nan menggoda.
Dengan mata tajam seperti pemburu, mereka langsung menerkam kelompok yang hanya terdiri dari laki-laki atau perempuan saja, lalu menyebar rayuan dan memamerkan pesona seperti predator. Mereka menyerang tanpa peduli pada norma sosial. Dengan panas musim sebagai bahan bakarnya, jantung mereka berdegup lebih cerah dan membara daripada kembang api.
"Serius deh, kamu imut banget! Jangan sendirian gitu dong, gabung bareng kami yuk?"
"Kamu bisa jadi ratu pantai ini, sumpah! Kita bikin puncaknya bareng-bareng!"
Saat itu juga, penglihatan tajam Masaomi memastikan bahwa seorang gadis cantik berbikini sedang berdiri sendirian di atas pasir, tanpa perlindungan sedikit pun. Bukan tipe yang terlalu mencolok atau berpakaian terbuka, gadis itu mengenakan bikini two-piece berwarna pastel. Tubuhnya belum bisa disebut montok, tetapi dengan kaki dan tangan yang jenjang, kulit putih bersih tanpa cela, serta wajah begitu rupawan hingga membuat sesama perempuan pun tak bisa menahan decak kagum, penampilannya menampilkan kemurnian yang menjadi nilai tambah tersendiri.
Gadis berbikini itu tampak cemas, matanya menatap ke arah laut, pasir, dan kedai pantai, seolah mencari seseorang. Gerak-geriknya yang canggung dan penuh kecemasan memberi kesan bahwa ia sedang menunggu seseorang yang seharusnya berada di sana. Dengan kata lain, orang itu tidak ada. Tidak ada yang menjaganya saat ini. Tentu saja, para "pemburu musim panas" itu tidak mungkin mengabaikan mangsa seperti itu.
Dengan kata lain—Hibari sedang dikerubungi oleh para lelaki yang mencoba merayunya. Dan saat itu juga, si tolol—Masaomi—masih berada di bawah pengaruh kesimpulan sederhana: "Hibari ganti baju renang? Serius? Wah, ini luar biasa." Bisa dimaklumi. Ia sudah pasrah tidak akan bisa melihat pacarnya dalam balutan bikini hari ini. Dan kini, harapan itu terbalik total: kemenangan mutlak. Namun, bagi seorang remaja laki-laki berusia enam belas tahun, terlalu bersemangat adalah hal yang wajar.
Tetap saja, kesadarannya terhadap bahaya benar-benar rendah.
Dengan satu tangan membawa yakisoba dan tangan lainnya menggenggam dua botol minuman, ia berjalan santai dengan penuh kemenangan. Padahal, kini Hibari masih terus dirayu. Satu ditolak, dua lagi datang. Dua ditolak, tiga berikutnya muncul. Para lelaki itu terus merayunya, mengumbar kata manis, menaksir tubuhnya tanpa malu, bahkan hampir menyeretnya pergi.
"U-um... Maaf, kalian mengganggu," kata Hibari dengan wajah penuh rasa jijik, seakan sedang menatap makhluk aneh yang tak bisa dihancurkan meski sudah ditumbuk berkali-kali.
Melihat ekspresi itu, Masaomi pun tersadar—terkejut seolah tersambar petir. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Siapa yang membuat Hibari yang begitu manis itu menunjukkan wajah seperti itu? Apakah itu bapak-bapak di kedai yang terlalu lambat memasak yakisoba? Atau bapak lain yang memberi minuman yang tidak cukup dingin?
Tidak. Pelakunya adalah bajingan yang meninggalkan Hibari sendirian. Bajingan yang cemberut karena tak bisa melihat Hibari berbikini. Bajingan yang lupa betapa bahagianya bisa pergi ke pantai bersama pacarnya.
Dalam benaknya, Masaomi menarik tuas yang menaikkan satu tingkat giginya—fitur tersembunyi yang ia sebut "gear jantan." Seberapa dingin pun dia biasanya, begitu gear ini menyala, dia siap melawan dewa maupun takdir demi wanita yang ia cintai. Ini adalah mekanisme ajaib yang langsung berhubungan dengan harga diri seorang pacar, yang menentukan sejauh mana dia bisa terlihat keren sebagai pria.
Laki-laki sejati tentu harus punya itu. Tidak ada lagi langkah agung penuh kemenangan. Ia tak peduli lagi pada penampilan. Kini saatnya kembali. Tendang pasir! Bergegas ke sisi Hibari! Semakin dekat, tubuh Hibari dalam bikini makin tampak memesona. Namun, bersamaan dengan itu, dua lelaki berkulit kecokelatan dan berambut pirang—klise para pria “chara”—tampak jelas dalam pandangan. Mereka mungkin sedikit lebih tua dari Masaomi. Satunya berambut gondrong, satunya rambutnya berdiri seperti duri. Gaya rambut mereka memang berbeda, tapi selain itu mereka seperti hasil cetakan pabrik: memperlihatkan gigi putih secara berlebihan, memamerkan otot perut tanpa alasan, dan menatap Hibari dengan pandangan menjijikkan dari kedua sisi.
"Ayolah, jangan segitunya. Kita bakal buat kamu senang banget. Mau jadi tuan putri?"
"Aku sudah bilang, aku di sini bersama seseorang. Tolong jangan ganggu lagi."
"Dia lebih keren dari kita? Padahal ninggalin kamu sendirian gitu aja? Cowok kayak gitu udah jelas gagal, tinggalin aja. Kita lebih baik kok. Kita nggak akan biarin kamu sedih begini."
"Iya, iya, bener tuh! Tenang aja, masih banyak cewek lain juga. Nggak usah takut, kita bukan orang jahat, kok. Malah kita bisa lindungin kamu dari yang bener-bener jahat. Nih—"
Saat si Chara B mencoba meraih lengan Hibari—Masaomi pun menyodorkan kotak yakisoba ke arah mereka.
"──Ha?"
“Bisakah kalian berhenti mengganggu pacarku? —Ah, entah kenapa aku merasa ingin mengatakan itu setidaknya sekali seumur hidup. Jadi, tolong pahami situasinya dan enyahlah dari sini.”
Setelah gear jantan di dalam dirinya aktif, Masaomi tidak lagi mengenal rasa takut terhadap siapa pun. Tugasnya hanya satu: mengintimidasi dengan tenang, tampil percaya diri tanpa gentar, jangan pernah mengalihkan pandangan, arahkan serangan langsung ke titik lemah lawan, dan yang paling penting: lindungi Hibari. Dengan aliran zat kimia otak yang berlebihan, Masaomi menyerahkan kendali tubuhnya sepenuhnya pada satu sistem komando sederhana: Jangan mundur. Apapun yang terjadi.
“Oh, jadi bocah ini cowoknya. Hee...”
Dengan tatapan yang sungguh tidak sopan, si rambut gondrong memeriksa tubuh Masaomi dari kaki hingga kepala. Tatapannya menjalar menyeluruh seolah menyorotinya dengan lampu panggung.
Kemudian, bibirnya membentuk senyum congkak penuh kemenangan.
Si rambut berdiri juga menunjukkan ekspresi yang sama. Masaomi, yang cukup peka, langsung menangkap makna dari sorot mata mereka yang meremehkan seseorang yang baru mereka temui.
— Cuma segini doang, ya?
Kalau hanya sampai di situ, Masaomi mungkin masih bisa tertawa dan membiarkannya. Toh, sebagai anggota klub pulang cepat yang tidak menekuni olahraga atau latihan keras di rumah, tubuhnya memang tidak terlalu kekar. Dia juga tidak pernah berlatih untuk datang ke pantai musim panas ini. Kulitnya putih pucat meskipun tidak gendut. Kalau ada ciri khas, itu hanya sorot matanya yang tajam dan konon cukup dikenal.
“Jadi, cowoknya ngerti situasi kan? Bisa dong ngalah dikit. Kasihan banget tuh cewek secantik itu jalan sama cowok yang ‘gituan’ doang. Malu banget, tahu? Terus itu apa sih, bekas luka aneh gitu. Masa mau ke pantai nggak siap-siap dulu? Setidaknya tanning kek, biar pantes. Lo tuh—nggak nyadar ya kalo kalian tuh nggak selevel?”
Masaomi tak membantah bahwa mereka merasa “bisa menang.” Kalau posisi dibalik, mungkin dia pun tak akan memulai pertengkaran. Namun, bahkan dengan matanya yang kecil dan tajam, ada hal-hal yang tak bisa ia abaikan.
“Hei, kalian dari tadi sudah semena-mena terhadapku dan mengabaikan apa yang aku katakan—!”
“Sudah cukup. ………Ya kan, Noble Lark?”
Hibari, yang tadinya bersiap membalas para pria itu dengan nada tegas, tersentak saat mendengar panggilan dengan “tag” pribadinya. Ia terdiam seketika. Tatapannya menanyakan “apa maksudmu?” tapi Masaomi tidak memberinya penjelasan. Justru karena tidak dijelaskan, efeknya akan lebih besar.
“Apa tuh? Noberu? Apaan coba?”
Karena tidak mengenali istilah itu, si rambut gondrong menatap Masaomi dengan penuh curiga. Masaomi tersenyum tipis. Bagus. Mereka memang hanya orang luar yang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak punya hak untuk berbicara soal “sepadan” atau tidaknya dengan Hibari.
“Di Astral Side, orang bisa dive berkali-kali dalam sehari, kan?”
“‘Asutoraru’…? Maksud lo diving-diving gitu? Eh, jangan cuekin dong!”
Masaomi sepenuhnya mengabaikan mereka dan menatap Hibari.
“Eh? Umm… iya, memang melelahkan, tapi nggak ada batasnya secara khusus.”
Hibari pun terlihat kebingungan, mencoba memahami maksud Masaomi.
“Kalau begitu—kenapa kamu nggak pergi ke sana sekarang, dan beri mereka sedikit ‘kejutan’? Biar mereka kapok dan pulang. Aku rasa sinyal itu penting, lho. Kalau gelombangnya nggak cocok, bisa bikin kacau, kan? Buat gangguan sinyal, ya perlu pendekatan sinyal juga.”
Sambil menatap Hibari lurus-lurus, Masaomi sengaja menghindari penjelasan eksplisit dan menjelaskan dengan nada netral. Dipadu dengan ekspresi wajah datarnya yang khas, reaksi kedua pria itu pun makin jelas: mereka kini benar-benar bingung dan mulai berpikir “nih anak waras nggak, sih?” Efeknya sangat efektif.
“Aku ini juga pelajar biasa, kok. Tapi tetap aja, kadang ada hal-hal yang bikin kesal. Bekas luka di tubuhku ini semacam lambang kehormatan. Kalau diejek terus kabur begitu aja, aku nggak akan bisa terima.”
Baru-baru ini, wali kelasnya sempat menanyakan soal bekas luka itu. Apakah ada masalah di rumah, atau apakah dia terlibat dalam sesuatu di luar sekolah. Meskipun satu per satu terlihat sepele, dalam jumlah banyak tentu mencolok. Dengan kata lain, gurunya cukup memperhatikan dirinya.
Itulah sebabnya Masaomi menjawab dengan tegak dan penuh keyakinan: “Tidak ada satu pun masalah yang harus saya sembunyikan.”
“Masaomi-kun…”
“Sudah, tenang saja. Aku ini ‘Guardian’-mu, kan? Aku akan tetap di sini dan menjagamu… jadi jangan khawatir.”
Mendengar nada suara Masaomi yang serius, Hibari sempat ragu sejenak—namun hanya sebentar.
“Baiklah. Kalau begitu────aku titipkan padamu, ya.”
Ucapnya sambil bersiap untuk dive. Tubuh Hibari yang lemas pun langsung disambut dan dipeluk oleh Masaomi. Meskipun tak disengaja, kontak fisik itu tetap membuat Masaomi merasa harus memberi penjelasan nanti. Merasa napas panas di sekitar lehernya seperti biasa, Masaomi pun diam-diam menikmati momen tersebut.
—Benar-benar terasa menyenangkan. Lembut, wangi… dan pakaian renangnya pun cukup terbuka…
Sentuhan kulit yang begitu memikat hampir membuatnya lupa tujuan awal. Namun tak berselang lama, situasinya pun berubah.
“Aduh!”
“Aaaargh, sakit!”
Tiba-tiba para pria itu menjerit.
Mereka meraba-raba tubuh mereka, menjerit kesakitan, dan mencoba memastikan bagian mana yang terasa nyeri.
Bekas-bekas seperti lebam muncul di tubuh mereka. Mereka menatapnya dengan rasa takut. Kemudian, seolah menyadari sesuatu, mereka menatap Masaomi—lawan yang tadi mereka nilai rendahan, yang juga memiliki tanda-tanda aneh serupa di tubuhnya.
Masaomi, seolah telah menunggu momen itu, pun tersenyum menyeringai dengan percaya diri.
“Makanya kubilang, kalian nggak sepadan. Kalau membuat gadis pejuang kami marah, kalian bakal kena tulah, tahu? Mau coba di bagian mana selanjutnya? Wajah kalian yang kalian bangga-banggakan itu, bagaimana?”
Dengan meniru gaya bicara si pria sok asik itu, Masaomi menyatakan dengan percaya diri bahwa itu adalah ulah mereka.
“A-apaan sih kalian!? Kalian itu apa sih!? Geli banget, sakit tahu!”
Tatapan tajam si rambut gondrong sama sekali tidak mempan. Ketahanan Masaomi terhadap orang berambut gondrong telah diasah oleh Keiji.
“Sebaiknya kalian pergi sebelum rasanya makin sakit. Sebelum tubuh kalian jadi tak bisa disembuhkan dokter.”
Kalimat “darahnya surut” tampaknya benar adanya; ekspresi kedua pria itu langsung memucat, seolah baru saja melihat hantu. Bahkan otot perut mereka yang sebelumnya dipamerkan kini tampak berkedut-kedut. Pertempuran itu berakhir dalam sekejap.
“Cih, brengsek! Ingat muka kami baik-baik, ya!”
“Gah! Pantatku! Jangan di pantat, dong!”
Setelah memastikan bahwa kedua pria itu lari terbirit-birit sambil menjerit-jerit, Masaomi mengangkat tubuh Hibari dan dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur pantai, seperti menidurkan seorang malaikat. Hibari membuka matanya hampir bersamaan dengan itu.
“Hmm… jadi, menurutmu itu tadi sudah cukup?”
“Ya. Mereka langsung kecut kena serangan ‘gelombang aneh’ dari Hibari.”
“Menyebut pacar sendiri dengan ‘gelombang aneh’ itu termasuk luar biasa, lho, Masaomi-kun.”
“Tak masalah, asalkan hanya aku yang bisa menangkap gelombangnya. Namanya juga gelombang, kalau tak sampai, ya tak berarti. Tapi kalau sampai, itu sudah cukup. Kita cukup menyelaraskan frekuensi kita sendiri. Gangguan seperti itu bukan masalah.”
Walau masih terlihat mengantuk, Hibari sedikit tersenyum.
“Begitu ya... Menggunakan Astral Side untuk mengusir pria sok kenal seperti itu... tak pernah terpikir olehku sebelumnya.”
Sebenarnya, strategi yang Masaomi pakai tadi adalah sama seperti yang pernah Hibari gunakan untuk menjauhi dirinya dulu, tapi Masaomi tidak menyebutnya. Kalau dipikir-pikir, melakukan dive di tempat umum itu ibarat pedang bermata dua—membuka diri sepenuhnya. Tanpa seseorang yang bisa dipercaya di sampingnya, itu bukanlah strategi yang bisa dipakai sembarangan. Dibutuhkan seorang “Guardian” agar strategi pengalihan semacam itu bisa berjalan efektif.
Mungkin waktu itu Hibari sudah cukup percaya padanya untuk menunjukkan kelemahannya—sebuah pemikiran penuh percaya diri yang hanya bisa dimiliki oleh seorang pacar. Intinya, hanya Masaomi yang bisa menangkap gelombang Hibari. Itu saja.
“Masaomi-kun itu, kurasa cocok menjadi seorang Diver. Imajinasi sebebas itu adalah senjata, tahu.”
Tentu maksud Hibari bukan penyelam laut sungguhan.
“Aku nggak tahu harus senang atau bingung. Tapi kalau aku bisa melindungimu, maka tak masalah.”
“Anggap saja sebuah kehormatan, ya? Yang bisa membuatku melakukan hal seperti itu, cuma kamu, lho.”
Masaomi tak bisa menahan senyum getirnya.
“Ngomong-ngomong, seberapa ‘menggila’ kamu di sana tadi?”
“Kalau belum terbiasa, mungkin mereka bakal mimpi buruk selama seminggu.”
“…Aku bingung harus kagum atau takut. Gimana bisa kamu lakukan hal seperti itu?”
“Namanya juga dunia mental—Astral Side. Intinya kan pikiran. Kalau kamu yakin bisa, maka senjata yang kuat akan muncul. Kalau kamu pikir bisa menang, maka kamu bisa mengalahkan NPC sebanyak apa pun.”
Ternyata ‘Noble Lark’ sangat luar biasa sadisnya.
Mungkin karena perasaan itu tercermin di wajah Masaomi meskipun dia berusaha tetap datar, Hibari jadi sedikit menjelaskan—kalau lawannya bukan Guardian atau orang terhubung secara emosional, tapi hanya NPC biasa, maka harus dihancurkan sampai tuntas agar tak memengaruhi “dunia nyata.”
Cara Hibari menyampaikan hal itu dengan sedikit nada pembelaan—sungguh menggemaskan.
“Ngomong-ngomong, Hibari. Kenapa tiba-tiba kamu pakai baju renang? …Eh, tapi keren banget sih.”
“Akan lebih membantu kalau kamu memilih untuk bertanya atau memuji saja, jangan keduanya—soalnya waktu kamu ke kedai tadi, kamu terlihat kecewa sekali. Jadi kupikir, mungkin akan menyenangkan kalau aku kasih kejutan. Aku juga nggak sedingin itu sampai mau terus memakai baju lengkap meski di pantai,” katanya sambil bangkit.
Suaranya sedikit manja dan terdengar seperti malu-malu—membuatnya semakin imut. Masaomi pun berubah drastis. Suasana hatinya melesat jauh lebih tinggi dari matahari di atas. Ia tidak sekadar melirik—ia menatap langsung, seperti kamera HD dengan stabilisasi tinggi, menikmati pemandangan Hibari yang duduk meringkuk di atas tempat tidur pantai dengan kaki jenjangnya yang indah. Sebuah hak istimewa pacar yang ia gunakan sepenuhnya tanpa ragu—dan layak diapresiasi. Hidup ini penuh ketidakpastian. Maka dari itu, menikmati momen sekarang adalah keharusan.
Hibari pun tak menunjukkan ketidaksukaan pada tatapan lurus Masaomi yang dalam itu. Malah terlihat geli dan sedikit malu.
“Aku mungkin belum bilang, tapi Astral Side itu pada dasarnya seperti permainan perebutan wilayah.”
“Hmm?”
“Tapi... bisa jadi dunia nyata pun seperti itu.”
Kemudian, sambil menundukkan kepala, menyembunyikan tatapannya di balik rambut yang terikat, Hibari dengan hati-hati mencubit pinggiran celana renang Masaomi dan dengan suara lirih seperti lukisan gadis bangsawan yang anggun,
“Hei, Masaomi-kun. …Aku suka kamu.”
“Eh?”
Otak Masaomi seolah diguncang oleh gelombang keimutan yang dahsyat. Ketika ia kehilangan fokus, Hibari mencubit celana renangnya lebih kuat, lalu mendekatkan wajahnya hingga menyentuh bahu Masaomi.
“Sekarang… tempat ini sudah jadi titik tetapku. …Hehe, bercanda.”
Dan, sebagai pukulan terakhir, Tanpa menjauh, Hibari mengalihkan wajahnya, seperti malu-malu, dan berkata,
“Dan juga… terima kasih, ya. Karena sudah menolongku. …Tadi kamu lumayan keren, tahu.”
Tak perlu dikatakan lagi, bahwa Masaomi benar-benar terpesona oleh sikap manis Hibari itu.
Chapter 5
Pertarungan Penentu — Bertamu ke Rumah Sang Kekasih!
『Sebenarnya, aku tidak terlalu percaya pada Masaomi-kun. Aku pikir, pasti aku sedang ditipu. Tidak mungkin ada seorang laki-laki yang benar-benar bisa menerima diriku apa adanya. Masaomi-kun terlalu biasa, jadi aku tidak bisa memahami maksudmu. Bahkan waktu itu, saat semua orang menganggapku aneh dan menyebutku sebagai gadis delusi, Masaomi-kun hanya berdiri di tempat yang netral dan tenang. Saat membelaku dari hinaan Takei-kun pun, kupikir itu hanya karena dia tidak suka orang membicarakan keburukan orang lain, bukan karena membela aku secara pribadi. Padahal aku hanya menjalani duniaku sendiri. Dunia spiritual, Astral Side, memang ada di sana, dan aku pergi ke sana karena aku bisa—bukan karena aku ingin berkorban demi siapa pun. Aku tidak bilang aku melakukannya demi semua orang. Tapi meskipun aku sedang berusaha menyelamatkan dunia, aku tetap saja disebut orang sakit. Aku tidak bisa berbuat apa-apa soal itu... Aku tidak pernah berbohong. Aku juga tidak pernah mengatakan hal yang salah. Jadi, tolong, percayalah padaku—percaya padaku, ya… Tapi kemudian aku berpikir, mungkin aku yang egois karena tidak bisa percaya pada orang lain. Mungkin orang tidak bisa mempercayaiku karena aku sendiri tidak mau percaya. Tapi Masaomi-kun bilang, tidak apa-apa. Karena hanya Masaomi-kun yang bisa menerima sinyalku. Bahkan bekas luka di tubuhku pun kamu bilang sebagai medali kehormatan. Aku... sangat senang mendengarnya. Karena itu, karena aku mempercayaimu... tolong, teruslah percaya pada aku yang seperti ini, sampai akhir…』
Di perjalanan pulang dari kencan di pantai, Masaomi sedikit mengintip isi hati terdalam dari Hibari. Hibari, yang biasanya mengaku sebagai gadis rumahan, tampaknya terlalu bersemangat saat kencan di pantai tadi. Saat mereka naik kereta pulang, matanya sudah tampak sayu, dan ketika mereka sampai di stasiun terdekat, bahu Masaomi telah berubah menjadi bantal gratis. Pada akhirnya, Masaomi benar-benar harus menggendong Hibari dan mengantarnya pulang ke rumah. Dalam perjalanan itu, Hibari—dalam keadaan setengah tertidur—menggumamkan kata-kata tadi dengan nada yang agak kacau dan terbata.
Masaomi cukup terkejut mengetahui bahwa Hibari ternyata mengetahui tentang kejadian dengan Takei tempo hari. Beberapa bagian dari apa yang ia katakan pun sulit dimengerti. Mungkin, dia sendiri pun tak sadar sudah mengucapkan semua itu.
──Tak apa, pikir Masaomi. Hibari pasti tidak ingin isi hatinya yang sedalam itu terbongkar dengan cara yang seperti kejutan atau semacamnya. Itu hanyalah kelengahan sesaat, sebuah kecelakaan...
Jadi ini adalah siaran dari kanal lain, kanal yang tak biasa, hanya sekali saja, yang hanya bisa ditangkap oleh hati Masaomi—sebuah noise sinyal dari Hibari. Masaomi selama ini menganggap Hibari sebagai gadis yang kuat. Tapi kini ia sadar, itu hanya asumsinya sendiri.
Tak sulit untuk memahaminya jika dibalik ke dirinya sendiri. Hibari hanya seorang gadis SMA kelas dua yang usianya sedikit lebih muda dari Masaomi. Masih hijau, tertutup, tidak menonjol, hidup dalam dunia yang berbeda, dianggap sakit oleh masyarakat, dan terus-menerus harus membuktikan bahwa duniaku ini nyata. Semua itu pasti melelahkan. Ditambah lagi dengan penampilannya yang mencolok, pasti dia semakin sulit menemukan tempat yang nyaman. Itu membuat tekanan padanya semakin berat.
Gadis biasa. Kata-kata yang sepertinya paling jauh dari sosok Hibari. Laki-laki biasa. Kata-kata yang sepertinya paling cocok untuk Masaomi. Tapi bisa jadi justru sebaliknya. Keanehan yang tak mau terlihat sebagai biasa, dan kebiasaan yang tak ingin menjadi aneh.
──Mungkin karena kondisi seperti ini, aku merasa seperti sedang demam.
Masaomi tersenyum pahit, berpikir seperti itu sambil berjalan perlahan-lahan di malam musim panas yang mulai gelap, seolah menjadi seekor siput. Suara napas lembut Hibari yang tertidur dengan tenang dan damai di punggungnya terdengar jelas di telinganya. Setiap kali mereka melewati cahaya lampu jalan, wajah tidur Hibari yang sudah dikenalnya itu tampak bagai malaikat tapi juga sedikit seperti iblis—sangat menawan dan menggoda. Sensasi kehangatan yang mereka rasakan saat tubuh mereka bersentuhan sudah jauh melewati batas ‘panas’; itu benar-benar membakar.
Sentuhan dada Hibari di punggungnya, yang mengikuti ritme napasnya, terus menekan Masaomi dari ‘menempel’ menjadi ‘lebih menempel’ lagi dan lagi—mengacaukan isi kepalanya.
Papan nama keluarga "SASUGA" yang tertulis dengan huruf gaya modis pun, kini sudah terlihat di depan mata.
Untung saja, saat Hibari masih sadar sebelumnya, Masaomi sempat menanyakan secara garis besar lokasi rumahnya. Informasi yang kabur itu ternyata lebih dari cukup.
──Teori "rumah keluarga Hibari kaya raya" ternyata sangat tepat.
Kenyataan bahwa rumah itu benar-benar besar membuat Masaomi kembali ke kesadarannya. Ia tidak terlalu paham soal kondisi perumahan, tapi rumah ini jelas lebih besar dari rumah keluarganya. Ada garasi cukup untuk tiga mobil, empat lantai yang bisa terlihat dengan jelas, dan taman seluas itu bisa dijadikan lokasi pesta BBQ oleh tentara Amerika sembari tertawa, HAHAHA! Dengan mempertimbangkan semua itu, sudah pasti keluarga ini tergolong sangat sejahtera. Rumah ini begitu mencolok hingga mungkin akan segera dikenali oleh seluruh warga sekitar. Tak heran kalau Hibari sangat ‘sasuga’—ya, sangat mengesankan.
Butuh sekitar sepuluh detik bagi Masaomi untuk memberanikan diri menekan bel interkom di gerbang besar rumah itu. Bisa dibayangkan betapa wajahnya yang gugup terekam jelas oleh kamera pengawas.
Bunyi “Piin-pooon” terdengar sama saja di rumah kalangan menengah maupun kalangan atas. Tak disangka, suara santai itu malah terasa akrab dan membuat Masaomi sedikit lega.
『Ya──eh?』
“U-um, saya paham betul bahwa ini mungkin mengejutkan, tapi Hibari-san tertidur sangat lelap seperti yang Ibu lihat sendiri…”
Yang menyambut suara Masaomi melalui interkom adalah suara seorang wanita yang kemungkinan besar adalah ibu Hibari. Sebelum nada curiga muncul dalam suara wanita itu, Masaomi buru-buru menjelaskan keadaannya. Ia sudah menyiapkan kata-kata ini sejak tadi, jadi bisa berbicara tanpa terbata.
Karena ada kamera, wajar jika seorang ibu merasa curiga melihat anak gadisnya di punggung laki-laki asing. Oleh karena itu, Masaomi sengaja menyesuaikan posisinya agar Hibari terlihat di kamera dengan nyaman bersandar di punggungnya—dan sepertinya strateginya berhasil.
『Mohon tunggu sebentar, ya』 suara tenang itu membuat Masaomi merasa lega.
Tak lama kemudian, lampu di area pintu depan menyala dan seorang wanita setengah baya yang tampak ramah muncul dan membukakan pintu.
──Ah, itu pasti ibu Hibari. Tidak salah lagi.
Meskipun suasana yang menyelimuti mereka berbeda, raut wajah wanita itu benar-benar seperti gambaran masa depan Hibari yang menua dengan damai. Masaomi pun tak kuasa menahan anggukan yang dalam. Memang, garis keturunan itu luar biasa.
"Aduh, aduh, Hibari ini... Hm? Dia tertidur pulas, ya? Wah, ini memang kejadian yang langka... Maaf ya, kamu pasti repot, bukan?"
Pandangan wanita itu tertuju pada Hibari yang masih tergendong di punggung Masaomi dan terus menggumam tak jelas seolah mengigau. Karena cahaya lampu teras menyinari dari belakangnya, ekspresi wajah wanita itu tampak tertutupi bayangan dan sulit terbaca. Namun dari nada suaranya, terselip setengah nada keheranan dan setengah candaan.
“Tidak apa-apa. Lagipula, saya yang mengajaknya. Dan, dia tidak berat kok.”
Baru sekarang Masaomi benar-benar menyadari kenyataan bahwa dia sedang berhadapan langsung dengan orang tua Hibari. Ia mulai menyusun serpihan-serpihan kalimat yang ingin ia ucapkan, seperti menyusun balok Jenga yang goyah. Ia mencoba menjawab sebisanya.
Kalimat terakhir itu, tentu saja, hanyalah bualan khas remaja laki-laki. Tapi semoga bisa dianggap sebagai basa-basi yang wajar saja. Sayangnya, kemampuan improvisasi Masaomi sangatlah lemah—dan kini cadangannya pun mulai habis.
“Hari ini dia bilang mau pergi ke pantai dengan pacarnya, sesuatu yang sangat jarang terjadi... Mungkin karena itu dia terlalu gembira, ya. Fufufu... Anak muda memang begitu. Yah, kita tidak perlu bicara lama di sini. Ayo, silakan masuk. Maaf ya, bisa kamu bantu bawa dia sedikit lagi ke dalam?”
Sambil mengucapkan sesuatu yang membuat Masaomi tidak tahu harus menjawab apa, ibu Hibari mendorongnya masuk ke dalam rumah. Dan di saat itulah Masaomi sadar—ternyata Hibari sudah memberi tahu ibunya bahwa dia punya pacar. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya kepercayaan Hibari terhadapnya.
Sebagai perbandingan: Masaomi sendiri? Bayangan tentang wajah Hinata yang dipenuhi rasa canggung dan geli langsung terlintas di kepalanya. Ya, bisa ditebak sendiri bagaimana keadaannya.
“Baik, permisi...” ucap Masaomi dengan suara tegas bak anak klub olahraga, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Bagi Masaomi—yang jarang bergaul, minim pengalaman hidup, dan kini harus bertemu langsung dengan orang tua Hibari untuk pertama kalinya—ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia bicarakan atau lakukan. Jenga dalam pikirannya sudah runtuh total, dan satu-satunya yang bisa ia andalkan hanyalah Hibari, yang saat ini menjadi jembatan di antara mereka.
"...Astaga, tidurnya nyenyak sekali, dengan wajah yang begitu imut pula. Duh..."
Melihat wajah Hibari yang tampak polos dalam tidurnya membuat Masaomi ingin masuk ke dalam mimpinya dan memberikan ceramah panjang-lebar padanya.
“……”
“……”
“Sruput… (menyeruput teh)”
“Sruput… (menyeruput teh)”
“……”
“……”
— Canggung.
Itulah satu-satunya kesan yang dimiliki oleh Kusunoki Masaomi, 16 tahun, saat pertama kali mengunjungi rumah pacarnya.
Setelah dengan susah payah menggendong Hibari sampai ke kamarnya yang berada di lantai tiga dan merebahkannya di atas tempat tidur, Masaomi pun turun kembali ke ruang tamu sekaligus ruang makan di lantai dua. Ibu Hibari, dengan semangat yang agak terlalu akrab, menyuruh Masaomi duduk di sofa layaknya kucing jinak yang baru dipelihara dan berkata, “Sekalian saja, makan malam di sini sebagai ungkapan terima kasih.” Maka duduklah ia di sana, menonton berita sore yang biasanya tidak pernah ia lirik, tapi berita itu hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan tanpa meninggalkan jejak apa pun di otaknya.
Tak lama kemudian, ayah Hibari pulang kerja, melonggarkan dasi, lalu masuk ke ruang tamu. Tatapan mata mereka bertemu secara langsung—seorang pria dengan wajah tegas dalam balutan jas, dan seorang remaja lelaki yang senyum kaku—dan saat Masaomi menyapa, “S-selamat malam,” pria itu hanya menjawab dengan, “Hmm…” yang terdengar seperti sedang mempertimbangkan penilaiannya.
Setelah mengganti pakaian rumah, entah kenapa (meskipun sebenarnya masuk akal juga), ayah Hibari duduk tepat di depan Masaomi, lalu mereka berdua sama-sama menonton berita di televisi sambil menyudutkan pandangannya. Di belakang, suara ibu Hibari yang sedang memasak di dapur terbuka menjadi satu-satunya irama yang mengisi keheningan.
Dari luar, pemandangan ini sangatlah absurd. Awalnya, kucing peliharaan keluarga—kalau tidak salah namanya Mentsuyu—sempat mondar-mandir di sekitar kaki Masaomi. Masaomi pun sempat berniat untuk berpura-pura sibuk dengan si kucing agar tidak harus menatap wajah ayah Hibari. Namun seolah membaca niat buruk itu, si kucing hitam buru-buru keluar dari ruang tamu, meninggalkan Masaomi sendiri, dan Masaomi hanya bisa memandangi punggung si kucing dengan perasaan kecewa.
Canggung. Tidak ada kata lain yang lebih pas dari itu.
Mungkin ayah Hibari pun merasakan hal yang sama, karena yang terdengar hanyalah suara mereka berdua yang terus menyeruput teh dingin. Padahal sofanya jelas-jelas mewah dan mahal—tak ada satu pun kursi seperti itu di rumah Masaomi—tetapi Masaomi sama sekali tidak bisa merasa nyaman. Ia terus bergeser-geser, gelisah dan tak tahu harus bagaimana.
—Dalam situasi seperti ini, seharusnya aku mengatakan sesuatu yang cerdas, bukan?
Masaomi memang remaja laki-laki yang sedang memasuki masa pubertas. Terlepas dari apakah itu bersama Hibari atau bukan, ia bisa membayangkan bahwa jika suatu hari nanti memiliki kekasih yang ingin dinikahinya, sosok "raja terakhir" yang harus dihadapi tak lain adalah ayah sang kekasih.
Dalam berbagai manga, novel, maupun drama, Masaomi pernah melihat representasi "ayah yang memiliki anak perempuan" yang penuh prasangka: melotot kepada anak muda tak dikenal yang berani mendekati putrinya, menyindir dengan tajam, dan kalau perlu, melayangkan tinjunya. Lalu, si pacar sang putri itu biasanya menunjukkan kebijaksanaan atau keberanian, hingga akhirnya berhasil mendapat pengakuan dan kepercayaan si ayah, lalu mereka bersulang, menepuk bahu satu sama lain, dan sang ayah berkata, “Tolong jaga putriku, ya.” Tapi, apakah Masaomi—anak yang datar dan berwajah tanpa ekspresi seperti yang sering digambarkan Hibari—memiliki keberanian dan karisma semacam itu?
Mungkin semenjak bertemu Hibari, Masaomi memang sedikit berubah. Tapi apakah saat inilah momen di mana ia harus menunjukkan "pidato perkenalan pernikahan"-nya yang penuh semangat? Sampai pikiran Masaomi melayang sejauh itu, ia pun buru-buru menarik rem darurat.
—Tunggu dulu, aku bukan datang ke sini untuk melamar, kan!?
Justru karena itulah, ia jadi tidak tahu harus bicara apa. Kalau memang berniat melamar, tinggal bicara soal pernikahan saja. Tapi kenyataannya, ia hanya mengantar Hibari pulang dari kencan. Dan Hibari sendiri sekarang sedang tertidur pulas. Tidak ada buku panduan yang bisa memberi tahu cara menghadapi situasi tak terduga seperti ini. Tiba-tiba, Masaomi membenci karakter seperti En Shuukaku.
Mungkin, pikir Masaomi, ayah Hibari juga sedang merasa seperti itu.
Bayangkan: setelah bekerja keras seharian untuk keluarganya, saat pulang ke rumah, ia menemukan ruang tamunya dikuasai anak remaja asing. Istrinya tampak menerima anak itu dengan ramah, bahkan sedang memasakkan makan malam dengan bersenandung kecil. Putrinya, untungnya, tidak sedang ada di ruangan itu, tetapi jelas ada hubungan antara keduanya. "Apa yang harus kulakukan…?" barangkali begitu isi hatinya.
Ia tidak ingin membuat anaknya kecewa, tetapi bila anak laki-laki ini membawa pengaruh buruk, maka sebagai ayah ia harus mengambil tindakan. Begitu memikirkan itu, Masaomi mulai merasa ada semacam rasa empati yang aneh terhadap ayah Hibari, yang masih terus menyeruput tehnya tanpa mengubah ekspresi.
Ya, pikir Masaomi. Ketidakmampuan membaca ekspresi satu sama lain, ketidakpastian jarak emosional—semua itu ternyata dialami keduanya. Setidaknya, jika Masaomi bisa menjelaskan bahwa ia bukan ancaman, mungkin suasana akan sedikit membaik. Intinya, ini hanya soal mengulur waktu.
Begitu makan malam selesai, atau jika Hibari bangun, situasinya akan membaik. Menjaga percakapan tetap berjalan—itu saja yang harus dilakukan Masaomi. Seharusnya ia bisa.
“Ano…”
“Kamu…”
Kesalahan besar.
Mereka berdua memulai bicara di saat yang sama, dan malah saling mengganggu langkah masing-masing. Pikiran Masaomi langsung blank. Bahaya. Ia tidak terpikir satu pun kalimat.
“Eh, ah, iya. Ada apa ya…?”
“...Kau tidak perlu terlalu tegang. Kalau kau tidak bisa tersenyum kecut sedikit saja, aku pun jadi ikut tegang.”
Seketika wajah ayah Hibari melunak. Perbedaan pengalaman hidup yang besar.
Ternyata, kesan seperti wakil ketua yakuza itu muncul hanya karena wajahnya terlalu tegas. Tapi saat pria itu mengulas senyum getir, kesan itu pun lenyap seketika. Dengan mata sipit yang tampak cerdas dan mulut yang tersenyum ramah, ia terlihat jauh lebih manusiawi. Meski garis rambutnya agak mundur dan kerutan di wajah menandakan usianya, dasar wajahnya tetap tampan dan terawat—pantas saja jika dulu banyak wanita terpikat padanya. Cukup dengan ekspresi ini saja, sudah jelas ia adalah ayah dari Hibari. Memang, darah keturunan itu luar biasa.
“Aku sempat mengira kau cukup percaya diri, tapi ternyata tidak juga ya. Yah, wajar saja.”
“S-saya minta maaf…”
"Tak perlu minta maaf. Kau pacar putriku, bukan? Siapa namamu tadi? Maaf ya. Sepertinya Hibari sering bercerita pada ibunya, tapi tidak banyak pada saya. Padahal dulu dia sangat lengket dengan saya. Setiap saya pulang, hampir setiap hari dia bilang dengan polosnya, ‘Aku pijat bahumu, ya.’”
Nada suaranya terdengar sedikit kesal seperti menyimpan rasa iri, dan itu cukup membuat ketegangan sedikit mereda.
"Nama saya Kusunoki Masaomi... Kami tidak sekelas, tapi kami satu sekolah."
"Begitu ya. Kalau putriku bisa sedekat itu denganmu, kau pasti anak baik."
"Ahaha... Saya tidak terlalu yakin soal itu."
"Kalau begitu, hubungan kalian dimulai dari rasa penasaran atau sekadar main-main?"
Masaomi tersentak, seperti ada aliran dingin menembus ke dalam hatinya.
"T-tidak! Sama sekali bukan! Saya serius... Saya sungguh-sungguh menyukai Hibari-san..."
Entah kenapa, seolah kata-kata ayah Hibari menyentuh sesuatu yang rawan dalam dirinya, membuat nada suaranya sedikit melonjak.
"Muda sekali... Muda dan lurus. Masa remaja memang seperti itu, ya. Saya sudah tidak bisa mengingatnya lagi."
Mungkin karena Masaomi masih terlihat tegang, ayah Hibari tampaknya tidak menyadari kegelisahan Masaomi. Ia hanya mengalihkan pandangan kembali ke televisi, seakan menghindari sinar yang terlalu menyilaukan.
Meskipun ayah Hibari berkata demikian, hanya orang yang pernah muda yang bisa membandingkan masa remajanya dengan remaja sekarang. Masaomi pun berusaha untuk tidak memikirkan kata-katanya dan lebih fokus pada percakapan, mencoba menenangkan diri.
Sebenarnya... gumam Masaomi dalam hati, aku ini sedang mengakui apa, sih? Rasanya aku sedang dipaksa naik ke tiang eksekusi. Apakah aku akan mati karena malu? Apa aku sedang diuji? Diuji apakah cintaku kepada Hibari itu sungguh-sungguh? Apa ini sejenis ujian cinta yang biasa muncul di cerita-cerita?
Kalau sudah sampai berpikir seperti itu, berarti Masaomi memang sudah tidak tenang. Dan dalam ketidaktenangannya itu, ayah Hibari melepaskan kalimat selanjutnya sambil tetap menatap layar televisi—dan kalimat itu mengguncang kewarasan Masaomi seperti air es yang disiramkan ke kepala untuk kedua kalinya:
“Bisa sebegitu setia pada gadis yang sebegitu di luar nalar... hanya remaja yang mungkin sanggup begitu.”
Tidak, ini bukan hanya air dingin. Ini seperti terkubur hidup-hidup di dalam balok es yang tebal. Rasanya seperti baru saja mendengar kata-kata paling kejam dan menyakitkan di dunia.
Terakhir kali Masaomi merasakan keputusasaan sebesar ini adalah saat menjelang masuk SMA, ketika ia mengalami kecelakaan lalu lintas, tak sadarkan diri, dan terbangun di rumah sakit dengan tubuh yang tak bisa dikendalikan. Tidak peduli apa pun yang ia lakukan, semuanya terasa sia-sia, bahkan hidup normal saja terasa mustahil.
Sensasi tak berdaya itulah yang kini muncul kembali. Tapi kali ini, ada satu perbedaan. Dalam sekejap, cahaya lenyap, suara menghilang, suhu pun sirna, dan napas seakan berhenti—namun bagian otak yang paling dalam justru mendidih. Jantungnya berdentum begitu keras hingga terasa akan menerobos keluar dari dada.
Kalaupun emosi punya titik didih, itu tidak berarti apa-apa. Karena tidak seperti cairan yang bisa menguap, gejolak ini justru menjadi bahan bakar bagi amarah yang terus membuncah tanpa henti.
Kalau penyakit yang disebut “mental diver” atau "astral diver" adalah kelainan otak yang memisahkan jiwa dari raga, maka Masaomi yakin, saat ini dirinya sudah sangat mampu menembus ke dunia mental itu—ke Astral Side.
“...Apa, barusan?”
Kalau suara Masaomi masih bisa terdengar normal saat bertanya, itu benar-benar keajaiban.
"Kalau kau pacaran dengan dia, kau pasti tahu juga, bukan? Tentang 'dunia spiritual Astral Side' atau apalah itu yang sering dia bicarakan."
"Itu... ya, tentu saja saya tahu."
"Tapi kau tidak benar-benar mempercayainya, kan? Itu hanya penyakit. Dia cuma terjebak dalam halusinasi, antara sadar dan tidak. Kalau dia cuma tenggelam dalam dunia itu sendirian, mungkin lebih baik. Tapi dia percaya bahwa dunia itu nyata, bahkan mengaku menyelamatkan dunia dari sana... Itu sudah keterlaluan. Apa kau bisa membayangkan bagaimana rasanya, ketika orang tua mendengar putrinya bicara hal seperti itu dengan wajah serius?"
—Kau yang bicara begitu? Kau, yang orang tuanya?
Kata-kata itu hampir keluar dari mulut Masaomi. Tapi ia menahannya. Karena kalau ia lepaskan, kesan yang didapat orang tua Hibari terhadap dirinya akan langsung jatuh bebas ke titik terburuk. Mungkin Masaomi sendiri akan merasa lega setelah mengungkapkannya, tapi bagaimana dengan Hibari?
Bagaimana jika dia tahu bahwa kekasihnya tidak akur dengan orang tuanya, dan itu membuatnya bingung atau sedih? Karena itulah, keinginan untuk marah-marah dan berteriak ia telan dalam-dalam. Ia berhasil menahannya. Andai saja percakapan berhenti di situ… Mungkin ini akan berakhir hanya sebagai kesalahpahaman yang menyedihkan.
"Tahu tidak, kapan semua ini mulai? Seingatku, saat dia masih SD. Waktu itu, karena sedikit kelalaian, dia membentur kepalanya cukup keras dan sempat tak sadarkan diri. Setelah beberapa waktu, barulah dia mulai bicara soal ‘dunia spiritual Astral Side’ dan semacamnya. Kupikir, mungkin ada kerusakan di bagian penting otaknya… Akan sangat membantu kalau kau juga bisa membujuknya agar bisa kembali normal. Sebelum menyelamatkan dunia dalam mimpinya, semoga dia bisa menyelamatkan hati orang tuanya. Kalau tidak, kurasa dia tidak akan sebanding denganmu yang hidup ‘normal’.”
Maafkan aku, sungguh.
Permintaan maaf ayah Hibari yang terdengar tulus itu—justru karena ketulusannya—terasa seperti pedang yang menusuk dalam ke hati Masaomi. Dan lebih menyakitkannya lagi, pedang itu penuh dengan duri yang akan terus melukai setiap kali mencoba mencabutnya.
Meski begitu—meski harus membuat hatinya berlumuran darah—ia tidak ingin berhenti. Di sinilah batas terakhir Kusunoki Masaomi.
"──Jangan main-main."
Suara marah yang dilontarkan dengan tenang itu membuat Ayah Hibari, juga Ibu Hibari yang sedang menyiapkan makan malam, menghentikan gerakannya. Raut wajah mereka menunjukkan rasa curiga, seolah menyadari bahwa Kusunoki Masaomi perlahan sedang menulis ulang posisi mereka terhadap dirinya sebagai "orang asing".
Namun—hal semacam itu tidak lagi penting. Peduli setan.
"Kenapa semua orang tak pernah mencoba melihat dari sudut pandang Hibari? Kenapa tak ada satu pun yang mau mengakui keberadaannya? Dunia pribadi yang dia yakini sebagai ‘nyata’ selalu disangkal, digantikan dengan dunia ‘yang benar’ versi kalian. Dengan dasar apa kalian begitu yakin itu yang benar? Apakah rumus yang hanya bisa dipecahkan oleh jenius lalu dianggap salah? Apakah manusia yang bisa lari seratus meter dalam sembilan detik adalah orang gila? Bukankah itu yang sedang kalian lakukan? Karena kalian tidak bisa merasakannya sendiri, kalian langsung menyimpulkan bahwa itu pasti salah. Kalian seenaknya menarik batas dan menilai apakah kami sepadan atau tidak—jujur saja, itu menjijikkan."
Ini bukan sekadar tindakan ceroboh. Ini sudah jauh melampaui batas kegagalan.
Begitu ia kehilangan kendali, Masaomi jatuh bebas. Seperti anak kecil yang mengamuk karena tak bisa mengungkapkan perasaannya dengan benar, dia hanya bisa mengulang-ulang protes tanpa logika yang jelas: Hibari tidak salah. Jangan menghakimi. Aku percaya padanya. Kalimat-kalimat sepihak seperti orasi demonstrasi politik.
Hibari pernah menyebut Masaomi sebagai anak yang "datar". Dan Masaomi pun cukup menyadari bahwa sejak kecelakaan itu, setidaknya dari luar, ia memang terlihat demikian. Namun itu hanya soal apakah ia menampakkan perasaan di permukaan atau tidak—batinnya sendiri merasa bahwa ia masih merasakan emosi seperti orang lain.
Justru karena itu, tak mungkin baginya untuk melewati situasi ini dengan perasaan datar. Itu seharusnya hal yang wajar. Karena—ia merasa sangat frustrasi.
Begitu pula ketika di pantai. Ia teringat ekspresi orang-orang yang meremehkannya, yang menyatakan bahwa dirinya tidak sepadan dengan Hibari. Tatapan kasihan itu sungguh menyakitkan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, karena Masaomi tahu bahwa itu menyentuh kecemasan yang memang sudah ada di dalam hatinya.
Dulu, ia pun pernah melihat Hibari sebagai sosok yang "berbeda" dan menarik garis pembatas dengannya. Ia pernah berada di pihak yang memberi label seperti itu. Kenyataan tersebut kini terasa seperti noda menjijikkan yang tak bisa hilang dari hidupnya.
Dan kini, untuk menebusnya, ia justru memberontak habis-habisan. Ia ingin menjadi seseorang yang melindungi dunia Hibari, menjadi "guardian" yang setia, dan berusaha keras untuk pantas berdiri di samping Hibari. Ia ingin percaya bahwa dirinya tidak lagi seperti mereka. Ia tidak akan meninggalkan Hibari. Itulah yang berulang kali ia tanamkan dalam diri.
Karena, pada kenyataannya, ia sendiri tidak yakin apakah ia benar-benar percaya pada dunia Hibari. Karena merasa bersalah, ia jadi agresif dan menyerang. Dan justru karena menyadari hal itu, Masaomi merasa geram, malu, dan frustrasi dengan dirinya sendiri.
Perasaan telanjang yang perlahan-lahan keluar dari cangkang pertahanan diri itu, pada akhirnya, terhubung dengan akar yang paling dalam dalam dirinya.
“...Maaf karena kehilangan kendali. Aku minta maaf atas sikap tidak sopanku. Tapi, aku tidak akan menarik kembali ucapanku.”
Tanpa menarik napas dalam sebanyak tiga kali, ia takkan mampu mengucapkannya.
“Hibari bukanlah gadis aneh seperti yang kalian pikirkan. Tak seperti aku, dia mampu menghadapi dirinya sendiri, berpikir matang, bergumul dengan perasaannya, dan tetap bisa menatap ke depan—dia adalah gadis yang luar biasa dan sangat manis. Dia jauh berbeda dengan orang seperti aku, yang bahkan tak bisa berdiri teguh di atas akarnya sendiri…”
Dan ketika ucapan Masaomi itu, yang bercampur antara pergulatan batin dan kekaguman, selesai,
“—Aku benar-benar bersyukur, dari lubuk hati, bahwa kau adalah pemuda yang mampu marah demi Hibari. Meski dia sering bersikap seakan tenang dan dewasa, dia anak yang penuh mimpi dan mudah terhanyut. Tapi tampaknya, setidaknya dia bisa memilih orang dengan baik.”
Ayah Hibari tidak lari, tidak membelokkan pembicaraan. Ia menerima semuanya dengan tulus dan langsung.
“Eh…?”
“Maaf karena telah bersikap seperti sedang menguji. Sungguh, aku minta maaf—Masaomi-kun.”
Nama yang tiba-tiba disebut itu terasa seperti kode untuk orang lain. Kebingungan Masaomi pun langsung terpancar jelas di wajahnya, mulutnya setengah terbuka tak sempat ditutup—dan tepat pada saat itu, dengan tiba-tiba, Ayah Hibari membungkuk sangat dalam. Ia menundukkan kepala dengan tegak, dari pinggang, dalam sebuah permintaan maaf penuh ketulusan.
“Tak apa jika kamu ingin menertawakanku dan menyebutku sebagai orang tua yang kelewat sayang pada anak. Tapi bahkan jika aku melihatnya dengan pandangan yang memihak, putriku adalah gadis yang rupawan. Sebagai ayah, sebagai wali, aku tak akan mengizinkan putriku berkencan dengan lelaki rendahan yang hanya menilai dia dari permukaan.”
“Tentu saja, jika kamu menyukai dia dengan mempertimbangkan segala hal, termasuk penampilan luarnya, aku tidak akan mempermasalahkan,” lanjut Ayah Hibari dengan nada bercanda, ekspresinya kini tampak seperti balon yang perlahan kehilangan udara—santai dan tidak mengancam. Masaomi mulai memahami, bahwa pembicaraan yang seolah-olah penuh dengan bom waktu ini juga merupakan bentuk tekanan besar yang dirasakan oleh sang ayah sendiri, dalam menjalankan perannya.
“Aku juga harus minta maaf pada putriku nanti. Menyebut anak sendiri ‘tidak waras’ mungkin akan membuatnya tidak mau bicara denganku untuk sementara waktu... Yah, aku akan meminta bantuan istriku untuk mengatasi itu.”
Terdengar suara tawa pelan dari arah dapur.
Meskipun mereka berada di dalam rumah, Masaomi merasa angin telah berubah arah. Ia bisa merasakannya dengan jelas. Bukan angin sungguhan, tetapi lebih seperti suatu medan kekuatan tak berbentuk—berwarna kehangatan dan kasih sayang keluarga. Setelah melihat sekilas saja, kekuatan itu begitu nyata, hingga terasa mustahil untuk berpikir bahwa semua ini hanyalah sebuah sandiwara.
Hanya dari suasananya saja, dari atmosfer ini, Masaomi bisa benar-benar merasakan bahwa Hibari dicintai. Meskipun dia adalah gadis yang memiliki dunia uniknya sendiri, yang di sekolah terlihat seperti orang yang terpisah dari dunia sekitarnya, namun di rumah ini, dia adalah anak yang tak diragukan lagi dicintai. Dan menyadari hal itu membuat Masaomi merasa bangga, seolah itu adalah pencapaian pribadinya.
—Meski kamu berpura-pura kuat dan kesepian, ternyata kamu punya sekutu yang lebih kuat dari siapa pun.
Mungkin itulah alasan Hibari tidak pernah benar-benar patah. Itulah sebabnya dia bisa terus menjalani sekolah, kehidupan sehari-hari, dan hubungannya dengan Masaomi. Karena ada orang-orang yang menjaga dan melindungi realitasnya di balik layar.
“Waktu jeda juga sudah cukup. Sebelum makan malam dingin, mari kita mulai. Ya, Ibu?”
“Ya. Aku sudah menunggu akhir pembicaraan ini dari tadi. Kamu anak laki-laki, kan? Pasti makan dengan lahap, ya? Aku menantikannya. Aku akan membangunkan Hibari sekarang.”
Dengan langkah ringan seolah sudah menunggu dari awal, Ibu Hibari pergi meninggalkan dapur. Masaomi menatap punggungnya dengan senyum kecut. Rupanya, makan malam sengaja ditunda demi memberi ruang untuk ‘pertarungan’ antara Ayah Hibari dan dirinya. Dari situ saja sudah cukup jelas bahwa kasih sayang kedua orang tua Hibari sangat besar, dan bahwa ujian yang baru saja ia jalani adalah semacam ritual yang dianggap penting.
—Hei, Hibari. Bahkan tanpa dunia “Astral Side”, dunia di sini juga ternyata cukup menyenangkan, bukan?
Membiarkan dirinya terbawa oleh gelombang perasaan yang menyengat hingga ke ujung hidung, justru terasa menyenangkan.
“Satu hal lagi, Masaomi-kun. Anggap saja ini hanya nasihat.”
“Apa itu?”
“Aku yakin kamu punya alasan tersendiri, tapi... mungkin kamu perlu lebih berusaha mengekspresikan emosimu. Karena diam itu bisa membuat orang yang berhadapan denganmu merasa tidak tenang. Terutama, jika orang itu adalah putriku.”
Ketika nasihat itu datang dari Ayah Hibari yang penuh wibawa, Masaomi tak bisa berkata apa-apa sebagai balasan. Yang bisa ia lakukan hanya tertawa kecil, seperti menutupi rasa sungkan. Meskipun, ia sendiri tidak yakin... apakah dirinya benar-benar sedang tertawa.
“Perawatan untuk penyakitnya memang sedang berjalan, tapi sepertinya putriku sendiri tidak benar-benar ingin sembuh sepenuhnya. Lagipula, penyakit ini pun masih menyisakan banyak bagian yang belum benar-benar bisa dijelaskan secara rinci. Kabarnya penelitian semakin aktif belakangan ini, bahkan ada obat baru yang diumumkan belum lama ini. Tapi tanpa kehendak dari yang bersangkutan, tidak ada yang bisa dilakukan. Jika hanya berupa tidur pingsan selama beberapa puluh menit, aku mencoba membujuk diriku sendiri untuk menganggapnya seperti tidur siang saja. Kami ini tetaplah orang tua, jadi perasaan ingin melihat anak kami hidup ‘normal’ sulit untuk sepenuhnya dihilangkan. Mungkin karena itulah, anak kami bisa melihat niat itu dengan sangat jelas. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada dia. Maka dari itu, kalau kamu, sebagai sekutunya, bisa menopang Hibari agar ia tidak hancur sampai ia bisa mengambil pilihannya sendiri, kami sangat terbantu.”
“...Kalau itu sesuatu yang bisa aku lakukan, maka... aku akan melakukannya dengan senang hati.”
Pada akhirnya, meskipun Hibari dibangunkan secara paksa, selama makan malam pun dia masih dalam kondisi setengah mengantuk, dan Masaomi nyaris tidak sempat berbincang apa pun dengannya. Meski begitu, gadis itu—yang senantiasa diselimuti tatapan penuh kasih dari Ayah dan Ibu Hibari—terlihat sebagai putri yang lebih berbahagia daripada siapa pun. Dan kini, Masaomi telah diangkat menjadi "Guardian"—penjaga yang akan mendukungnya. Peran itu tidak hanya berlaku di dunia nyata, tapi juga di dunia spiritual, Astral Side. Itu tak akan berubah.
Meskipun ia tak bisa merasakan atau memahami dunia Astral Side, Masaomi yakin bahwa ia tetap bisa melakukan sesuatu demi Hibari.
Meski ia tidak bisa merasakannya. Setiap kali ia mengulang kalimat itu dalam benaknya, Masaomi selalu merasakan sensasi kasar yang tertinggal. Ia tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, tapi ia yakin—bahwa mungkin, justru perasaan semacam ini tak akan bisa dirasakan oleh Hibari.
Seperti sesuatu yang penting tertinggal. Sebuah kunci untuk bisa maju. Atau mungkin, sesuatu yang lebih mendasar—syarat utama yang belum terpenuhi.
—Bagaikan permen yang tak kunjung meleleh dalam mulut, ia terus-menerus menggulirkan rasa ganjil itu dalam benaknya. Ada sesuatu yang mengganjal. Ada sesuatu yang terlupakan. Ia merasa demikian.
Di dalam tekad bening seperti bola kaca yang ia genggam—tekad untuk menghadapi semuanya secara langsung, untuk tetap berada di sisi Hibari—terselip setetes tinta hitam. Kekhawatiran yang keruh. Ketidaksesuaian yang mendalam. Atau, mungkin sebuah ketidakjujuran yang selama ini sengaja dihindari.
Mungkin itulah akar, alasan, dan asal mula dari hubungan mereka yang sekarang. Sebuah papan tipis yang menutupi pintu menuju jurang gelap—sekali dibuka, ia akan terseret sepenuhnya ke dalamnya. Dan yang akan menyingkap penutup itu, bukanlah sosok iblis yang licik.
Justru seseorang dengan wajah polos bak malaikat, yang tanpa dosa, melayang ringan dan hadir tepat di sisi jurang tersebut.
Masaomi akan menyadari hal itu... beberapa waktu lagi.
Post a Comment