NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Omoi Tabako o Sutteru Fukenkou-Souna Toshiue Bijin to Dorodoro no Kankei Ni Natte ita Hanashi [LN] Bahasa Indonesia Vol 1 Chapter 1

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 1

Cewek No.25

Kalau kau bekerja di minimarket cukup lama, kau akan mulai hafal wajah-wajah pelanggan yang sering datang. Terutama yang berkesan, makin mudah diingat.

Anak-anak klub baseball yang mampir sepulang latihan dan memborong semua hot snack sambil wajahnya penuh jerawat.

Cowok berkaus kotak-kotak biru-putih yang selalu membeli produk kolaborasi anime, tak peduli dia tahu atau tidak animenya.

Om-om yang datang membeli surat kabar olahraga keesokan harinya setiap kali Hanshin menang, sambil memakai topi dengan logo Giants yang dicoret besar-besaran pakai spidol permanen.

Banyak pelanggan yang berkesan, tapi di antara mereka, ada satu yang benar-benar paling meninggalkan kesan. Orang itu selalu datang saat jadwal kerjaku hampir habis.

Hari itu pun begitu. Menjelang akhir shift, sekitar pukul sepuluh malam. Saat suasana toko sunyi karena tak ada pelanggan lain, pintu otomatis terbuka.

Yang datang adalah seorang perempuan berambut hitam dengan kesan anggun. Ia mengenakan pakaian hitam yang menyingkapkan bahunya. Penampilannya terlihat sedikit lebih tua dariku. Mungkin mahasiswa.

Wajahnya cantik dan terawat, seolah bisa jadi model. Auranya dewasa.

Begitu masuk ke dalam toko, dia berjalan perlahan ke arahku yang berjaga di kasir, tanpa melihat ke rak barang lain sama sekali.

Dia berhenti. Tatapan kami bertemu.

Sambil tersenyum tipis, dia berkata seperti biasa:

"Selamat malam. No.25, satu ya."

No.25.

Aku menoleh ke rak di belakang dan mengambil salah satu merek yang terjejer di sana. Aku sudah hapal tanpa perlu melihat. Dia selalu membeli satu bungkus rokok dengan merek yang sama. Bungkusnya sederhana, dengan warna cerah seperti lampu neon.

Rokok yang biasa dihisap perempuan biasanya tipis dan ringan.

Tapi rokoknya dia berat. Katanya, memberikan sensasi kuat saat dihisap. "Katanya", karena aku sendiri belum pernah merokok. Wajar saja. Aku masih di bawah umur. Jadi satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah membayangkan rasa dan sensasinya.

Aku memindai kode batang rokok itu. Piip. Bunyi peringatan muncul di monitor. Aku mengucapkan kalimat wajib yang sudah otomatis:

"Tolong sentuh tombol verifikasi usia."

"Oke~."

Dia menyentuh tombol yang muncul di layar. Aku membayangkan rokok terselip di antara jari-jarinya yang ramping dan pucat itu.

Setelah kuucapkan harganya, dia mengambil koin dari dompet dan memasukkannya ke dalam mesin pembayaran. Di zaman cashless seperti sekarang, dia masih setia bayar tunai sambil tersenyum.

Setelah pembayaran selesai, struk keluar, tapi dia tak melihatnya sedikit pun. Dia hanya mengambil kotak rokoknya, lalu mengangkatnya untuk menutupi mulut.

Kemudian sambil menyipitkan mata, dia berkata kepadaku:

"Katadzikenō gozaru." (Terima kasih sebanyak-banyaknya – dalam bahasa Jepang kuno)

Dia selalu mengucapkan terima kasih setelah membayar.

Dan kata-kata yang dia ucapkan selalu berbeda setiap kali.

"Terima kasih", "Thanks", "Ookini", "Azassu", "Gocchandesu", "Xiexie", "Shinsha", "Bansha", "Arigatousagi".

Aku tidak tahu apa maksudnya. Mungkin memang tidak ada maksud. Mungkin hanya bagian dari selera humornya sendiri.

Sejauh yang kuketahui, hanya aku yang menyadari hal itu. Dia selalu mengucapkan terima kasih dengan kata-kata berbeda setiap kali.

Tapi aku hanya bisa membalas dengan "Terima kasih banyak" yang biasa.

Karena aku ini hanya pegawai. Karena aku dan dia bukan berada di posisi yang setara. Karena aku juga tak punya humor atau kemampuan bersosialisasi untuk membalas dengan sesuatu yang sepadan.

Setiap kali dia mengucapkan terima kasih, lidahnya tampak sedikit menjulur.

Di sanalah aku melihat kilauan perak.

Sebuah anting tertancap di tengah lidah merahnya.

Kilauan itu membuat mataku terpaku. Seperti serangga yang tertarik pada cahaya.

Dia sering datang saat aku masuk shift. Hampir selalu. Dan selalu membeli satu bungkus rokok merek yang sama.

No.25-san—begitulah aku memanggilnya dalam hati. Hanya ketika dia datang, emosi yang sudah mati dalam diriku terasa hidup kembali.

Kekaguman. Mungkin itu kata yang paling tepat.

Aku tidak tahu apa pun tentangnya. Namanya pun tidak. Apalagi di mana dia tinggal. Satu-satunya yang kutahu hanyalah merek rokok yang dia beli.

Sebenarnya, ada cara untuk mengetahuinya. Aku pernah berpikir untuk mencobanya. Minta dia menunjukkan kartu identitas untuk verifikasi usia.

KTP, kartu asuransi, apa saja. Nama dan alamatnya pasti tercantum di sana. Aku bisa pura-pura melihat demi verifikasi usia. Tapi aku tidak pernah melakukannya. Dan tidak bisa melakukannya.

Meminta verifikasi usia sekarang rasanya aneh dan terlalu terlambat. Dan menggunakan cara licik seperti itu untuk mendapatkan informasi pribadinya membuatku merasa kotor.

Kalau saja aku lebih berani—atau lebih sembrono dan nekat—mungkin aku bisa menyapanya langsung di waktu yang tepat.

Tapi aku tidak punya keberanian itu. Aku juga bukan orang nekat. Aku hanya punya kecerdikan setengah matang yang tidak berguna.

Jadi, aku tidak perlu tahu nama atau alamatnya. Aku sudah cukup puas dengan hanya mengaguminya diam-diam seperti ini.

"Tolong sentuh tombol verifikasi usia." Dan "Terima kasih banyak." Hanya dua kalimat itu yang kami tukarkan.

Merek rokok yang selalu dia beli. Aku membayangkan dia sedang mengisapnya, sesuka hati, dalam pikiranku. Menciptakan sosok dirinya yang ideal dan tenggelam dalam imajinasi.

Itu sudah cukup.

Meskipun kami tak akan pernah benar-benar terlibat. Asalkan aku tetap jadi kasir minimarket, dan dia pelanggan tetap. Asalkan kami bisa bertukar kata-kata dangkal.

Waktu itu, aku masih berpikir begitu.

◆◆◆

Ada orang yang bilang bekerja paruh waktu itu tidak berat sama sekali. Katanya, karena semua rekan kerja baik dan suasananya menyenangkan. Setiap kali aku mendengar itu, rasanya seperti mereka makhluk dari dunia lain.

Bekerja itu menyebalkan. Bukan karena aku tidak cocok dengan pekerjaannya sekarang, tapi karena bekerja itu sendiri adalah penderitaan. Kalau bisa, aku tidak mau bekerja. Aku ingin tidur selamanya. Lalu meninggal diam-diam tanpa bersentuhan dengan siapa pun.

Tapi meskipun begitu, aku tetap kerja paruh waktu di minimarket tiga kali seminggu, dari pukul empat sore sampai sepuluh malam, karena aku harus menafkahi hidupku.

Aku hidup sendiri.

Dari sudut pandang orang lain, anak SMA yang tinggal sendiri mungkin tergolong langka. Setidaknya aku belum pernah bertemu orang yang berada dalam kondisi yang sama denganku.

Aku hidup sendiri karena alasan keluarga.

Orang tuaku ingin aku keluar dari rumah. Aku juga ingin pergi dari rumah. Karena keinginan kami sama, maka kami sepakat dan aku pindah dari rumah. Sesederhana itu.

Aku melihat jam di monitor. Pukul 21:55. Lima menit lagi waktu pulang. Saat bekerja, ini adalah satu-satunya waktu yang membuat semangatku naik.

Begitu pukul 22:00 tepat, aku mencatat waktu pulang dengan kartu absen.

Aku dengan cepat melepas seragam yang kupakai di atas kemeja sekolah, memasukkannya ke tas, dan keluar dari ruang belakang tanpa mengobrol dengan siapa pun. Tapi aku tidak lupa menyapa "Terima kasih atas kerjanya" ke manajer dan rekan kerja lain, cukup agar tidak terkesan dingin.

Aku tidak ingin basa-basi yang tidak perlu. Tapi aku juga tidak ingin memicu kebencian yang tidak perlu.

Keluar lewat pintu belakang, kulihat bulan menggantung di langit malam. Bersinar tajam seperti es. Perasaan lega yang menyenangkan memenuhi diriku saat aku melangkah pulang.

Apartemen tempat aku tinggal berjarak sekitar sepuluh menit berjalan kaki.

Sebuah apartemen reyot berumur lebih dari lima puluh tahun yang berdiri di tengah kegelapan. Biaya sewanya dua puluh delapan ribu yen. Kalau sampai terjadi gempa besar, tempat ini pasti akan jadi puing-puing pertama yang rata dengan tanah.

Menurutku, ada semacam garis batas pada angka tiga puluh ribu yen untuk harga sewa. Begitu melewati batas itu ke bawah, bobroknya bangunan dan segala ketidaknyamanan mulai memperlihatkan taringnya.

Waktu aku memutuskan keluar dari rumah, orang tuaku—ayah tiri yang menikah dengan ibuku—menawarkan diri untuk menanggung biaya sewa. Jadi kalau aku mau, sebenarnya aku bisa tinggal di tempat yang jauh lebih layak.

Orang tuaku kaya. Kalau aku bilang ingin tinggal di apartemen mewah bertingkat tinggi, mungkin saja mereka akan menyetujuinya.

Tapi aku memilih tinggal di sini. Menyewa kamar kecil di apartemen bobrok, satu ruangan berukuran lima tatami dengan kamar mandi dan toilet jadi satu, seharga dua puluh delapan ribu yen.

Aku ingin menjauh dari masyarakat yang "normal". Aku ingin hidup diam-diam di tempat sunyi tanpa ada yang memperhatikanku.

Daripada tinggal di puncak menara tempat semua orang menatap ke atas, aku lebih memilih hidup seperti kutu kayu di sudut gelap yang tak terlihat dari atas.

Aku menaiki tangga apartemen yang besi-besinya sudah memerah karena karat. Suaranya bergema lebih keras dari yang seharusnya. Karena dindingnya tipis, kalau ada penghuni yang sensitif bisa saja mereka kesal.

Tapi itu tak terjadi. Apartemen dua lantai ini hanya punya delapan unit, dan selain aku, nyaris tak ada yang benar-benar tinggal di sini.

Ada unit kosong, ada juga yang disewa hanya untuk dijadikan gudang. Jadi suasananya nyaris tak pernah terasa ada manusia. Berkat itu, aku bisa menikmati hidup yang nyaman.

Aku membuka kunci dan masuk ke kamar. Sempit. Tapi jauh lebih baik daripada terlalu luas. Aku meletakkan tas sekolah, lalu membuka jendela dan melangkah ke balkon. Di hadapanku hanya terbentang tanah kosong.

Ruang yang benar-benar kosong. Penuh dengan kegelapan yang menghampar tanpa batas.

Setiap kali berinteraksi lama dengan orang lain, aku selalu punya kebiasaan untuk berdiri di sini, menikmati angin malam, dan mendinginkan kepalaku yang panas. Kalau tidak, aku tak bisa tidur.

Bersandar pada pagar balkon dengan kedua siku, aku melamun menatap kegelapan yang terbentang di depan sambil memikirkan tentang dia—perempuan yang selalu datang membeli rokok.

"──Selamat malam."

Tiba-tiba seseorang menyapaku dari samping, membuatku terkejut.

Padahal kamar sebelah seingatku belum ada penghuninya sampai beberapa waktu lalu.

Tak ada pembatas di antara balkon, dan jaraknya sangat dekat, seolah kalau mau melompat pun bisa.

Di sanalah seorang perempuan berdiri.

Sesaat aku pikir aku sedang bermimpi.

Bersandar pada pagar balkon, dengan malas menyelipkan rokok di antara jari-jarinya—perempuan berambut hitam itu…

Dialah perempuan yang selalu datang ke toko membeli rokok.

"No.25-san...?"

"No.25?"

"Ah, eh, maksudku..."

"Hm?"

"...Kamu sering beli rokok di toko, kan? Yang No.25 itu. Aku jadi ingat. Tadi itu refleks aja keluar dari mulutku..."


"Hmm, hmm. Begitu ya. Jadi, aku diam-diam diberi julukan 'No.25-san' oleh pegawai minimarket?"

"...Maaf."

"Nggak, nggak. Aku cuma kaget aja. Soalnya tiba-tiba dipanggil pakai nomor. Kupikir identitasku sebagai mantan anak lembaga pemasyarakatan remaja terbongkar atau apa gitu."

"Eh?"

"Soalnya kan, orang-orang yang pernah masuk penjara atau panti rehabilitasi remaja, biasanya dipanggil pakai nomor, kan? Dulu aku juga dipanggil No.25. Makanya aku jadi ngerasa dekat sama merek rokok itu. Bukan karena aku suka rasanya, tapi karena nomornya sama. Jadi ngerasa sayang aja."

"Be-Begitu, ya..."

"Tentu saja aku bercanda, kok."

"Eh?"

"Kau percaya beneran tadi?"

Perempuan itu—No.25-san—melihatku yang terpaku dan terkekeh pelan.

Tampaknya dia cuma ingin menggodaku.

Tapi tetap saja, aku terkejut. Baru saja aku memikirkannya, dan tiba-tiba dia muncul di balkon kamar sebelahku. Kupikir aku sedang berhalusinasi.

"...Apa kamu baru saja pindah ke sini?"

"Iya. Tempat ini dekat dari kampusku, soalnya."

"Tapi, ini apartemen yang benar-benar bobrok, kan? Kalau laki-laki sih mungkin oke-oke aja, tapi perempuan tinggal di sini... rasanya agak bahaya."

"Masa sih? Aku malah suka tempat kayak gini. Kesan tuanya itu punya nuansa tersendiri."

Kalau dia bisa menyebut kebobrokan ini sebagai "nuansa", dia pasti orang yang sangat tangguh.

"Kamu sendiri gimana? Mahasiswa juga?"

"Bukan, aku masih SMA."

"Pantas aja, kelihatan muda. Tinggal di kamar sempit ini sama keluarga ya?"

"Ah, enggak... Aku tinggal sendiri."

"Hmm..." gumam No.25-san sambil diam sejenak.

Hening. Mungkin dia mengira tanpa sengaja menginjak ranjau topik sensitif.

Anak SMA yang hidup sendiri. Rasanya tak masuk akal tanpa alasan keluarga tertentu. Dan biasanya, alasannya bukan hal menyenangkan.

Kupikir dia akan minta maaf. Dan aku tidak suka itu.

Tapi yang dia katakan justru berbeda dari yang kukira:

"Itu... terdengar keren sekali."

"...!"

"Kenapa? Ada yang salah?"

"Enggak, aku cuma... Kupikir kamu bakal merasa kasihan."

"Anak SMA yang berani hidup terpisah dari orang tua dan mandiri—itu luar biasa menurutku. Dulu waktu SMA aku juga ingin melakukan hal yang sama."

No.25-san berkata begitu, lalu menambahkan,

"Ah, tapi kalau begitu, merokok jadi tidak baik, ya. Harus dimatikan."

"Ah, nggak apa-apa, kok."

Dia mungkin merasa tidak enak karena aku masih di bawah umur. Saat dia hendak mematikan rokoknya, aku buru-buru menghentikannya.

"Dari arah anginnya, asapnya nggak akan sampai ke sini. Lagipula rokokmu belum habis. Kalau dimatikan sekarang kan sayang."

"Begitu ya?"

"Iya. Jadi... santai saja."

"Fufu. Kalau begitu, aku tidak akan sungkan."

No.25-san yang tadinya hendak mematikan rokoknya di asbak, kembali menggigitnya di bibir. Ia menghisapnya perlahan, lalu menghembuskan asap ke langit malam. Gerakannya malas, tapi indah.

Alasan kenapa aku menghentikannya tadi... Dua-duanya bohong.

Alasan sebenarnya, aku ingin melihatnya.

Aku sudah beberapa kali membayangkan dalam kepala, seperti apa dia saat sedang merokok. Membentuk gambaran ideal di pikiranku. Tapi kenyataannya, dia jauh lebih menarik dari yang kubayangkan.

Aku terus menatapnya saat ia merokok. Batang rokoknya perlahan memendek, dan nyalanya seperti kembang api senko yang sekarat.

"Sudah waktunya, ya."

Begitu cahaya rokok padam, dia berbisik. Itu adalah tanda kalau percakapan kami akan segera berakhir. Karena aku tidak ingin malam ini selesai.

"Setiap kali beli rokok, kamu selalu cuma satu bungkus, ya. Kenapa begitu?"

"Kamu penasaran?"

"Ya... agak sih."

"Fufu. Begitu ya..."

No.25-san tersenyum dengan makna tersembunyi, lalu berkata:

"Kalau kukatakan ‘karena aku ingin bertemu pegawai toko’, menurut kamu gimana?"

"Eh..."

"Fufu. Ngobrol dengan pegawai toko itu menyenangkan. Karena kita sekarang tetangga, aku senang kalau kamu mau berteman."

No.25-san mengambil kotak rokok dan asbaknya dengan jari-jari rampingnya.

"Kalau begitu, sampai jumpa. Selamat malam."

Dia meninggalkan kata-kata itu dan kembali ke kamarnya.

Kesunyian turun di balkon, menyisakan aku sendirian.

Sampai jumpa.

Bahkan setelah itu, aku masih berdiri di balkon seperti orang linglung. Suhu tubuh dan pikiranku masih terlalu panas untuk kembali masuk ke kamar.

◆◆◆

Kalau terlalu lama tidak bicara, katanya manusia bisa lupa cara mengeluarkan suara.

Itu tidak terjadi saat aku bekerja paruh waktu. Karena pekerjaanku di bidang pelayanan, aku terpaksa harus bicara. Tapi di sekolah, aku merasa bisa benar-benar lupa cara bersuara.

Kenapa? Karena tidak ada satu pun orang yang bisa kuajak bicara.

Aku tidak punya teman di kelas.

Anak-anak populer, tentu saja, punya teman. Tapi bahkan anak yang mengaku introvert pun punya teman. Mereka membentuk kelompok kecil, berkumpul bersama, dan saling terhubung.

Di dalam kelas, ada strata sosial yang jelas. Tapi aku tidak berada di level mana pun. Aku kosong.

Anak-anak populer membicarakan video di PickTok dan Minstagram, sementara anak-anak kuper bersenang-senang membicarakan anime atau game gacha.

Di tengah itu semua, aku hanya duduk sendirian membaca novel di bangkuku.

Aku suka membaca buku.

Karena saat membaca, aku bisa sendirian.

Tapi tidak ada seorang pun di sekitarku yang suka membaca. Setidaknya di kelasku. Aku belum pernah bertemu orang yang bisa diajak bicara soal buku.

Kadang aku berpikir, "Benarkah masih ada orang di dunia ini yang baca novel?"

Sejak datang ke sekolah sampai jam pulang, aku selalu mengurung diri di dunia dalam buku. Biasa bagiku untuk tidak menukar satu kata pun dengan siapa pun sampai keluar dari gerbang sekolah.

Setelah pulang sekolah, aku menuju tempat kerja yang tidak kuinginkan. Memakai seragam hijau yang tidak kusukai. Berdoa terus agar waktu pulang cepat datang, sambil bekerja.

Aku mengubah waktu hidupku yang berharga—waktu yang cuma sekali ini—menjadi seribu seratus yen per jam.

Mau menyenangkan atau menyakitkan, tetap saja satu jam dihargai seribu seratus yen. Tidak ada bedanya.

Dulu, nilai itu penuh penderitaan.

Tapi sekarang, sedikit saja, sesuatu telah berubah.

Sekitar pukul sembilan malam.

Seperti biasa, dia datang ke toko.

Mengenakan pakaian hitam seperti malam musim dingin, dia datang ke kasir tanpa melihat barang lain sama sekali.

"Selamat malam. No.25, satu ya."

Aku pun, seperti biasa, mengambil sebungkus rokok dari rak dan memindainya di mesin kasir. Dia menerima bungkus rokok itu, lalu tersenyum malu kepadaku.

"Spasiba."

Aku tahu, itu artinya ‘terima kasih’. Karena dia selalu mengucapkannya seperti itu.

Tapi itu bahasa apa, ya? Rasanya bahasa dari wilayah utara. Setelah dia pergi, aku masih sempat memikirkannya beberapa saat, lalu akhirnya teringat—bahasa Rusia.

Baru saja aku merasa lega karena bisa mengingatnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang.

"Cewek itu sering ke toko, ya. Cantiknya parah."

Itu suara dari rekan kerjaku, seorang mahasiswa yang masuk shift yang sama denganku.

Rambutnya diwarnai, wajahnya agak bengkak. Katanya sih karena dia terus-menerus ikut pesta minum dan selalu bokek. Entah kenapa, dulu dia menceritakannya padaku dengan nada bangga, padahal aku tidak bertanya.

Dia sering main HP saat kerja, dan menyebut dirinya sebagai kantong alkohol. Katanya, karena tiap hari isinya cuma minum. Dia juga menonton anime populer hanya agar bisa nyambung saat ngobrol dengan cewek, lalu dengan bangga menyebut dirinya otaku.

"Padahal kelihatannya kalem banget, tapi ternyata ngerokok, ya. Keren sih, gap moe gitu. Aku tuh lemah banget sama yang begituan."

Lemah? Gimana dia pikir orang lain melihat dirinya?

Dia seolah yakin semua orang memperhatikannya. Rasa percaya dirinya itu adalah sesuatu yang aku tidak punya. Aku iri... dan jujur saja, juga muak.

"Tapi cewek ngerokok tuh pasti karena pengaruh cowok. 100%. Cewek yang ngerokok dan main pachinko itu pasti pernah diajak sama pacar atau mantan."

"Hmm."

"Dilihat-lihat sih kayak anak kuliahan, tapi nggak pernah kelihatan di kampus, ya. Kalo cewek secantik itu, pasti langsung ngeh kalo ketemu."

"Mungkin aja."

"Gimana kalau aku cek smoking area, terus kalo dia ada di sana, aku sapa aja sekalian. Dukung aku dong, Enocchi?"

Enocchi. Itu sebutan yang dia berikan padaku—karena namaku Enoki Yuito. Julukan itu dia buat sendiri waktu pertama kali kami masuk shift bareng, tanpa minta persetujuan.

Dia selalu membicarakan betapa gilanya pesta minum yang dia ikuti, seberapa banyak orang penting yang dia kenal, dan cewek-cewek yang dia incar—padahal aku nggak pernah bertanya.

Seolah nilai hidupnya hanya ditentukan oleh seberapa luas jaringan relasinya, berapa cewek yang sudah pernah dia ajak tidur, dan nama perusahaan tempat dia sudah dapat kerja.

Aku sendiri tidak keberatan dengan gaya hidupnya. Mungkin dia memang bukan orang jahat. Tapi, saat aku tahu bahwa dia kuliah di universitas terdekat, aku sadar:

"Jadi meskipun aku belajar dan masuk universitas bagus, aku tetap nggak bisa lari dari hal-hal seperti ini."

Baik di sekolah maupun nanti di tempat kerja.

Aku akan terus bertemu orang-orang seperti dia seumur hidupku.

Hari-hari ketika aku satu shift dengannya membuat nilai ¥1100 per jam terasa jauh lebih berat.

Aku butuh waktu lebih lama untuk menenangkan diri dengan angin malam sebelum bisa tidur.

Kata-kata si kantong alkohol tadi kembali terlintas di pikiranku.

Bagaimana kalau No.25-san memang mulai merokok karena pengaruh seorang cowok?

Pikiran itu membuatku tidak nyaman.

Setidaknya... kuharap bukan cowok seperti dia.

Setelah bekerja sampai pukul 10 malam dan mendapatkan ¥6600, aku mampir ke supermarket dekat rumah untuk membeli bento diskon.

Setelah memakan bento yang dingin itu, aku tidak tahu rasanya enak atau tidak.

Lidahku tidak istimewa, jadi sulit membedakan. Tapi aku tahu, isinya tidak mencukupi kebutuhan gizi harian.

Selesai makan, aku pun seperti biasa, pergi ke balkon.

Aku membuka kaleng kopi hitam tanpa gula yang kubeli bersamaan dengan bento.

Sambil menyesap rasa pahitnya, aku memandang ke arah kegelapan di tanah kosong di depanku.

"Selamat malam~. Capek ya, habis kerja?"

No.25-san ada di balkon kamar sebelah.

Dia bersandar di pagar besi, dengan sebatang rokok yang terselip di antara jemari putih dan rampingnya—mungkin baru saja dibeli.

"Kamu juga ke luar buat menikmati angin malam, ya?"

"Iya. Kalau nggak begini, aku susah tidur habis kerja."

"Aku paham. Habis ketemu orang banyak itu melelahkan, ya."

"Kamu juga merasa begitu, No.25-san?"

"Aku nggak suka keramaian. Tempat ramai bikin aku lelah. Makanya aku suka tempat ini. Hampir nggak ada suara dari dunia luar."

Memang tempat ini sangat tenang.

Jauh dari jalan raya dan tidak ada restoran atau tempat nongkrong. Di depan balkon adalah tanah kosong, dan di samping bangunan ini terdapat kuburan.

Aku melirik ke asbak di atas pagar. Beberapa puntung rokok tergeletak dingin di dalamnya, seperti sisa tulang belulang.

"Kamu cukup sering merokok ya dalam sehari."

"Aku nungguin kamu keluar, loh."

"...Serius?"

"Fufu. Siapa tahu, ya?"

No.25-san tersenyum samar, lalu kembali menghisap rokoknya dengan lesu, seperti mengantuk.

Aku jadi ingat ucapan kantong alkohol tadi. Tentang bagaimana perempuan mulai merokok karena cowok.

Kalau aku bersikap seolah bodoh, mungkin aku bisa menanyakannya.

Tapi aku tidak bisa.

Di hadapan dia, aku ingin terlihat pintar. Aku ingin menyembunyikan betapa bodohnya aku sebenarnya.

"Kamu biasanya kerja berapa jam?"

"Enam jam. Dari jam empat sore sampai sepuluh malam."

"Mulainya jam empat? Habis pulang sekolah masih sempat, ya?"

"Sekolahku dekat, soalnya."

"Eh, jangan-jangan... kamu anak SMA Fusen?"

"Iya, benar."

"Berarti... kamu adik kelasku dong."

"Maksudmu... kamu juga?"

"Iya."

Ternyata kami berasal dari sekolah yang sama.

Dia adalah senpai-ku.

"Tempat ini memang pas di antara kampusku dan sekolahmu, ya. Jadi sama-sama strategis buat tinggal."

"Ngomong-ngomong, kamu kuliah di mana?"

Dia pun menyebutkan nama universitas dan fakultasnya.

Seperti yang kuduga—universitas yang sama dengan si kantong alkohol.

Untungnya mereka beda jurusan. Si dia di fakultas sastra, sementara kantong alkohol anak ekonomi. Masih mungkin bertemu di kampus, tapi tidak terlalu sering.

"Kalau fakultas sastra, kamu suka baca buku, ya?"

"Iya. Apalagi novel, aku suka banget."

"Ah, aku juga suka baca novel."

"Benarkah?"

"Karena uangku terbatas, aku biasanya beli buku bekas."

"Aku juga. Kadang pinjam di perpustakaan."

"Biasanya baca yang kayak gimana?"

"Lebih sering baca sastra murni. Kayak Kawakami Mieko, Ogawa Yoko, Murata Sayaka."

"Aku juga suka! Novel ‘Neko o Daite Zou to Oyogu’ bagus banget."

"Yang tentang catur itu, kan? Aku juga suka."

Untuk pertama kalinya, aku bisa bicara tentang hal yang kusukai.

Tentang sesuatu yang tidak diketahui siapa pun di sekolah,

yang kini bisa kubicarakan dengan orang lain.

Ternyata, ada seseorang di dekatku yang menyukai hal yang sama denganku. Itu adalah hal yang sungguh mengejutkan bagiku.

Setelah itu kami mengobrol cukup lama tentang buku. Saat puntung rokok dan abu mulai menumpuk di asbak miliknya, mataku tiba-tiba tertuju pada sesuatu di sudut balkon miliknya.

"Itu kantong sampah, kenapa ditumpuk di situ?"

Beberapa kantong sampah terlihat menggembung dan disusun di sana.

"Oh, itu ya… aku kelupaan buang. Soalnya, pengambilan sampah di sini paginya terlalu cepat. Begitu bangun, truk pengangkutnya udah lewat."

Tempat sampah di apartemen ini tidak memperbolehkan membuang sampah selain pada pagi hari di hari pengambilan. Kalau tempat sampahnya pakai tutup, mungkin bisa ditaruh sejak malam sebelumnya. Tapi di sini, hanya ada jaring penutup, jadi kalau ditaruh malam sebelumnya, pasti langsung diobrak-abrik burung gagak.

Kalau tidak sempat membuang sampah sebelum pukul 10 pagi, truk akan lewat begitu saja. Sampah takkan diangkut.

"Aku itu tipe nokturnal. Lemah di pagi hari. Waktu SMA juga sering telat. Sekarang pun cuma ambil kuliah dari siang ke sore aja."

"Kalau di universitas kan bisa pilih sendiri jadwal kuliahnya, ya."

"Iya, tapi ini bikin aku bingung juga. Kalau terus-terusan gini, nanti kamarku jadi rumah sampah beneran."

"Kalau begitu… biar aku yang buangin, gimana?"

"Eh?"

"Kalau kamu taruh saja di balkon dari malam sebelumnya, besok paginya aku buang sekalian pas berangkat ke sekolah."

"……Boleh, ya?"

"Boleh, kok. Toh aku juga harus buang sampah sendiri."

"Nggak berat, kan?"

"Tambahan satu dua kantong aja, nggak bakal bikin berat kok. Lagi pula, di tempat kerja aku juga biasa bawa barang yang lebih berat."

"Wah, itu sangat membantu."

Dia merapatkan kedua telapak tangannya dan berkata:

"Kalau begitu, mulai besok boleh aku titip, ya?"

"Oke."

Aku menerima kantong sampah yang ada di balkon miliknya. Meski balkon kami tidak berdempetan, cukup dengan merentangkan tangan, aku bisa menerimanya darinya.

Kantongnya transparan. Kalau ingin, aku bisa melihat isinya.

Sampai besok pagi, aku akan menaruhnya dulu di sini.

"Berkat kamu, kamarku sepertinya tidak akan jadi rumah sampah."

No.25-san tersenyum lega.

"Tapi, agak malu juga sih, kalau isi sampahku sampai kelihatan."

"Tenang saja, aku nggak akan melihat."

"Fufu, kamu benar-benar gentleman. Ngomong-ngomong, nanti aku mau kasih sesuatu sebagai ucapan terima kasih."

"Ah, nggak usah repot-repot, kok."

"Aku yang pengen ngasih. Jadi, tolong pikirkan baik-baik ya. Kalau kamu nggak ada permintaan khusus, nanti aku yang pilih sendiri."

"Kalau begitu… baiklah, aku pikirkan."

"Oke. Kalau begitu, selamat malam."

Setelah berkata begitu, dia kembali ke dalam kamarnya.

Sementara aku masih berdiri di balkon, tertiup angin malam, memikirkan ucapan terima kasih seperti apa yang cocok. Tapi sampai akhir pun, aku tidak menemukan jawaban yang pas.

◆◆◆

Hari ini aku tidak ada jadwal kerja paruh waktu.

Sepulang sekolah, saat teman-teman sekelasku pergi ke klub, kerja, atau nongkrong, aku berjalan cepat meninggalkan kelas seorang diri.

Aku tidak punya uang untuk hangout, tidak ada teman, dan tidak tertarik juga.

Jadi setelah mengecek koleksi buku di perpustakaan sekolah, aku langsung pulang.

Begitu keluar dari gedung sekolah, suara lantang klub baseball terdengar dari lapangan, dan suara musik dari klub band juga tidak kalah kerasnya dari dalam gedung.

Keriuhan yang mencerminkan masa muda. Tapi aku justru merasa tidak nyaman. Perasaan terasing. Seolah tempat ini bukan untukku.

Aku melewati deretan pohon menuju gerbang sekolah.

Menjauh dari kebisingan. Seperti biasa, aku tidak bicara sepatah kata pun dengan siapa pun hari ini.

Setelah beberapa saat berjalan melewati kawasan perumahan yang tenang, aku tiba di depan apartemen.

Dan tepat saat sampai di dekatnya, aku melihat sosok yang kukenal berjalan dari arah seberang.

"Halo. Baru pulang sekolah?"

Itu No.25-san.

"Iya. Kamu juga?"

"Aku juga baru pulang dari kampus. Ah, terima kasih ya untuk bantuan buang sampah kemarin."

"Sama sekali bukan masalah. Kalau nanti malam kamu taruh di balkon atau bahkan di depan pintu kamar pun nggak apa-apa. Nanti aku buangin pas berangkat sekolah."

"Itu beneran sangat membantu."

Dia mengangguk lalu, seperti teringat sesuatu:

"Ngomong-ngomong, kamu udah mikirin belum?"

"Mikirin apa?"

"Balasan untuk bantuin buang sampah. Mau dikasih apa."

"Ah, soal itu, ya…Maaf, belum sempat kepikiran."

Bukan karena lupa. Aku sudah memikirkannya.

Tapi belum ketemu jawabannya.

Perasaan malu dan kesadaran diri membuatku sulit memutuskan sesuatu yang terasa pas.

"Kebetulan. Gimana kalau sekarang aja aku traktir sebagai balasannya?"

"Eh?"

"Kopi. Aku traktir, ya."

Tempat yang dia ajak ternyata kafe kecil yang bisa dijangkau dalam waktu sepuluh menit berjalan kaki. Bagian luarnya dipenuhi sulur tanaman merambat, dan interiornya tampak tenang dan nyaman.

Pemiliknya adalah seorang kakek tua yang menjalankan kafe ini sendirian.

Tak ada pelanggan lain selain kami. Suasana di dalam begitu hening, seolah menolak untuk menjadi tempat yang ramai.

Kami duduk di bangku paling dalam. Dia di sisi dekat dinding, aku di sisi dekat pintu masuk.

Tak lama kemudian, si pemilik datang untuk mencatat pesanan.

"Satu kopi blend, ya. Kamu mau yang sama?"

"Iya, saya juga kopi blend."

"Kalau begitu, dua kopi blend, ya."

Setelah si pemilik kembali ke dapur, aku melihat-lihat seisi kafe dan berkata:

"Aku nggak tahu ada kafe kayak gini di sekitar sini."

"Aku suka tempat ini karena suasananya nyaman, dan boleh merokok juga."

Dia berkata begitu sambil meletakkan sebungkus rokok dan korek api di atas meja.

"Boleh aku merokok?"

"Silahkan saja, aku nggak keberatan."

"Terima kasih. Kalau begitu, aku nikmati aja ya."

Dia mengambil sebatang rokok dari bungkusnya, menyelipkannya ke bibir, lalu menyalakannya dengan korek api. Asap yang dihembuskannya ke udara tampak malas dan pelan.

Ini pertama kalinya aku melihatnya merokok dari depan secara langsung.

Saat menyadari aku memandangi dirinya, dia tersenyum kecil.

"Kenapa? Wajahku ada sesuatu, ya?"

"Nggak, cuma baru kali ini ngelihat kamu ngerokok dari depan."

"Ah, iya juga. Biasanya kita ngobrolnya di balkon, ya."

Dulu, saat melihat wajah sampingnya di balkon saat merokok, aku sudah menganggapnya cantik. Tapi saat melihat langsung dari depan seperti ini, dia tak kalah memikat.

Aku bisa terus menatapnya tanpa bosan.

"Oh ya, waktu tadi si kakek ambil pesanan, dia kelihatan agak bingung, ya. Soalnya kamu manggil aku si pegawai toko."

"Fufu, iya juga ya. Mungkin sebaiknya aku panggil kamu kohai-kun saja daripada pegawai-san."

"Bisa jadi."

"Kamu lebih suka dipanggil yang mana? Pegawai toko, kohai-kun, atau ada panggilan lain yang kamu inginkan?"

"Aku sih terserah. Tapi kalau boleh nanya balik, panggilan buatmu gimana? Kalau dipikir-pikir, 'No.25-san' itu agak aneh juga."

"Tapi aku suka, lho, panggilan itu. Kayak cyborg atau manusia buatan. Keren, kan, dipanggil pakai nomor."

"Manusia buatan?"

"Kamu pernah baca Dragon Ball? Aku suka banget sama Android 18. Bahkan setelah menikah, suaminya tetap manggil dia 'Delapan Belas'. Lucu, kan? Padahal dia punya nama asli."

"Benar juga."

"Aku iri sama para android. Mereka nggak menua, penampilan mereka nggak berubah. Bisa tetap sama selamanya."

"Tapi kalau suaminya manusia, dia bakal ditinggal sendiri, dong. Semua orang di sekitarnya bakal pergi satu per satu."

"Tapi justru bagus, kan? Kita bisa menemani orang yang kita sayangi sampai akhir. Orang yang sudah meninggal biasanya dikenang lebih indah. Kenangan buruk dan sisi jeleknya akan terlupakan. Yang tersisa cuma kenangan yang indah, tak membusuk, dan bersih. Menurutku, itu indah."

Mungkin dia ada benarnya. Setidaknya, kalau bisa terus mencintai seseorang, meskipun yang kita ingat itu bukan wujud aslinya.

"Kopinya lama juga ya, nggak datang-datang."

"Soalnya kafe ini cuma dikelola satu orang. Di sini, waktu mengalir lebih lambat dari luar."

"Ah, bukan maksudku ngeluh, kok. Aku cuma cari bahan obrolan. Lagian kalau memang lama, ya nggak apa-apa juga."

"Fufu. Sambil ngobrol aja kita tunggu."

No.25-san berkata begitu sambil mematikan rokok yang sudah seperti ulat karena pendeknya. Lalu, dengan nada santai, dia bertanya:

"Gimana sekolahmu?"

"Maksudnya?"

"Kamu menikmati sekolah?"

"Kalau ditanya senang atau tidak… ya, nggak senang."

Begitu aku menjawab jujur, dia justru tersenyum kecil, seolah merasa lega.

"Begitu ya. Nggak senang, ya. Kamu punya banyak teman?"

"Kelihatannya aku punya banyak teman?"

"Katanya, pelaku kejahatan seksual lebih banyak yang sudah menikah dan punya anak daripada yang jomblo, lho."

"Kamu mungkin mau bilang jangan menilai orang dari penampilan luar, tapi perumpamaanmu terlalu ekstrem sampai aku nggak fokus ke maksudnya."

Yah, aku memang tidak terlihat seperti orang yang pandai bersosialisasi.

Isi dan luarku mungkin sama-sama kusam. Aku tak pandai menampilkan wajah yang lebih baik dari kenyataan.

"Aku nggak punya teman."

"Satupun?"

"Satupun. Bahkan sehari di sekolah tanpa bicara ke siapa pun itu biasa."

"Lagi melakukan semacam challenge hidup menyendiri, ya?"

"Nggak juga. Aku pikir punya teman itu lebih baik daripada tidak punya. Walau kalau terlalu banyak, memang bikin capek. Tapi… aku merasa nggak bisa nyambung. Aku nggak ngerti apa yang dianggap lucu sama anak-anak yang populer, tapi aku juga nggak nyambung sama yang di pinggir.

Katanya hubungan pertemanan cuma bisa bertahan kalau kamu bisa kasih sesuatu ke lawan bicaramu. Tapi aku nggak punya apa-apa buat dikasih. Aku nggak ramah, nggak jago ngomong juga. Dan buat nonton anime populer atau aktif di medsos cuma supaya bisa nyambung ke orang lain… rasanya nggak tulus."

Aku ingin menikmati karya karena memang aku suka.

Bukan karena aku ingin dipahami orang lain.

Memanfaatkan karya demi membangun hubungan sosial terasa seperti bentuk ketidakjujuran.

"Oh, jadi kesimpulannya kamu ini orang yang sangat ribet, ya?"

"Kurasa begitu. Bisa dibilang begitu."

"Tapi kalau dipikir-pikir, nggak punya satu pun teman itu lumayan gawat juga ya."

"Begitukah? Tapi menurutku, nggak masalah, kok."

"Gitu ya?"

"Iya. Justru, jadi lebih gampang buat aku ngajak kamu jalan."

"Jadi karena kamu yang diuntungkan?"

"Fufu. Nggak boleh, ya?"

"Bukan nggak boleh sih, cuma..."

Tepat saat itu, si kakek pemilik kafe datang membawakan dua cangkir kopi blend.

Cangkir diletakkan di depan kami masing-masing.

Uap panas mengepul dari permukaan hitam kopi.

Biasanya aku menambahkan gula, tapi kali ini tidak.

Karena dia juga meminumnya hitam, tanpa gula.

No.25-san mengangkat cangkirnya, lalu menyeruput perlahan. Melihatnya begitu, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Itu… nggak panas, ya?"

"Aku nggak punya lidah kucing, jadi biasa aja."

"Eh, bukan itu maksudku."

"Hm?"

"Maksudku… lidahmu."

"Ah… kamu maksud piercing ini, ya?"

Di tengah lidahnya, terpasang anting logam berwarna perak.

Cahayanya memantul dan tampak seperti bola logam kecil.

Aku sempat berpikir logam itu pasti jadi panas kalau menyentuh cairan panas.

"Nggak panas sama sekali, kok. Mau coba pegang?"

"Eh?"

"Nih."

Dia menjulurkan lidahnya ke arahku. Lidah berwarna merah muda, basah dan mengilap seperti organ tubuh yang terbuka. Di tengahnya, bola logam kecil itu berkilauan.

Rasanya seperti sedang melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilihat. Tapi entah kenapa, aku tak bisa memalingkan pandanganku.

Segala yang ada di sekitarku menghilang dari penglihatan.

Mataku hanya tertuju pada lidah merah itu.

"……Boleh?"

Dia mengangguk pelan, masih dengan lidah terjulur.

Aku melirik ke arah pemilik kafe dan memastikan dia tidak sedang memperhatikan, lalu perlahan menyentuhkan ujung jariku ke lidahnya.

Tidak panas.

Dingin. Tak bernyawa.

Lidahnya jauh lebih hangat.

Lidah yang hangat dan lembap itu terasa jelas menyelimuti ujung jariku, sedangkan piercing perak yang tertanam di tengahnya—dingin, keras, dan tak bernyawa—memancarkan kesan sebagai benda asing yang nyata.

"Tuh, nggak panas kan?"

Memang tidak panas. Tapi seluruh tubuhku malah terasa menghangat setelah menyentuhnya.

Menyentuh piercing di lidah itu rasanya seperti menyentuh sesuatu yang seharusnya tak boleh disentuh. Seolah-olah aku sedang menyentuh alat kelamin perempuan.

Sensasi logam yang tak bernyawa dan suhu lembap dari lidah itu terus melekat di ujung jari dan pikiranku, tak mau hilang.

◆◆◆

Aku tetap sendiri di sekolah, seperti biasa.

Wajar saja, memang begitu adanya.

Aku sendiri tak pernah berusaha mengubah keadaan.

Peristiwa ajaib seperti seorang gadis yang jatuh dari langit tidak terjadi di dunia nyata.

Lagipula, aku memang tidak menginginkan perubahan itu.

Saat istirahat siang, ketika semua orang berkumpul dan makan bersama, aku cepat-cepat meninggalkan kelas.

Aku tidak keberatan sendirian. Tapi duduk sendirian di kelas sambil makan bekal itu cerita lain.

Rasa kesepian dan terasing justru terasa lebih kuat saat berada di tengah keramaian, dibanding saat sendiri di kamar.

Kalau aku makan sendirian di kelas, mungkin ada teman sekelas yang merasa kasihan dan menawarkan diri untuk menemaniku makan.

Mungkin niatnya baik. Tapi aku tak bisa menghindari rasa iba dan belas kasihan yang muncul dari tawaran itu. Akhirnya aku merasa seperti pengemis yang sedang diberi sedekah.

Aku sebenarnya tak menganggap kesendirian sebagai sesuatu yang buruk. Tapi ketika orang lain mulai memperlakukanku seperti itu, aku jadi mulai percaya bahwa sendiri itu salah. Makanya aku selalu makan siang di luar kelas.

Di ujung halaman sekolah, di belakang gedung khusus, ada tempat yang sepi.

Dipenuhi rumput liar, dan naungan atap menciptakan bayangan pekat di sana.

Tempatnya sempit dan sunyi, nyaris tak pernah didatangi siapa pun.

Kalau makan di luar, para siswa biasanya memilih halaman tengah yang cerah, punya pemandangan bagus, dan bangku untuk duduk.

Tapi aku lebih memilih pojok sunyi itu.

Aku duduk di atas beton, membuka bungkus roti isi mi goreng yang kubeli di kantin, dan mulai mengunyah pelan-pelan.

Kalau dibilang enak, ya mungkin enak, tapi juga biasa saja.

Roti kantin memang begini, tak lebih.

"Ah, Enoki-kun, ketemu juga."

Ketika aku hampir menelan gigitan terakhir, tiba-tiba terdengar suara dari balik semak.

Yang muncul adalah wali kelasku.

Akesaka Koharu-sensei.

Rambut pendek, tubuh mungil.

Hari ini mengenakan jaket cokelat terang yang dipadukan dengan celana panjang.

Wajahnya imut, dan usianya pun memang masih muda.

Kalau tidak salah, ini tahun keduanya mengajar.

Teman-teman sekelas memanggilnya dengan sebutan "Koharu-chan".

"Boleh duduk di sini?"

"Tempat ini bukan milikku. Aku juga nggak punya hak untuk melarang."

"Harusnya bilang 'silakan duduk' aja dong... Cara ngomongmu barusan terdengar kayak enggan banget nerima tamu..."

Dan memang benar aku enggan. Setidaknya, aku tidak menyambut kedatangannya dengan senang hati.

Meskipun agak canggung, Koharu-sensei duduk di sebelahku.

Memberi jarak sekitar satu orang.

Dia enggan duduk langsung di tanah, jadi hanya setengah duduk dengan bokong sedikit terangkat, menyender pada dinding, kakinya ditekuk seperti duduk santai saat olahraga.

"Haaah... pelajaran pagi aja udah capek. Masih ada tiga jam lagi di siang hari... belum lagi nanti harus ngurus klub sepulang sekolah..."


Sambil mengeluh, dia membuka bungkus rotinya.

"Dan di hari libur pun aku harus terikat seharian dengan kegiatan klub yang sebenarnya nggak aku suka. Dapat uang cuma tiga ribu yen sehari. Gila nggak sih? Mending kerja part-time aja sekalian."

Seperti sulap bendera dunia yang terus keluar tanpa henti, keluh kesahnya mengalir deras satu per satu. Sepertinya selama ini ia memendam banyak hal dalam tubuh kecilnya itu.

Padahal biasanya Koharu-sensei tidak se-kesal ini. Di kelas, dia selalu tersenyum, hanya mengatakan hal-hal positif. Karena itu, para siswa menganggapnya sebagai guru yang ceria dan menyenangkan. Seharusnya begitu.

Tapi tiap istirahat siang, Koharu-sensei datang ke tempat ini—tempatku—dan meluapkan semua keluh kesahnya.

Ia memperlihatkan sisi dirinya yang tidak pernah ia tunjukkan pada siswa lain.

Awalnya aku mengira itu bentuk simpati.

Bahwa dia peduli padaku yang selalu sendiri, dan ingin menarikku masuk ke dalam lingkaran pertemanan kelas.

Dengan memperlihatkan kelemahan diri, ia berusaha mendapatkan kepercayaanku, agar aku membuka hati.

Karena itu, aku pernah bicara terus terang padanya:

"Kalau Anda cuma sedang bersimpati pada saya, nggak perlu repot-repot."

"Eh?"

"Kalau Anda merasa kasihan sama saya yang nggak punya teman, nggak perlu khawatir. Saya masih bisa bertahan kok, walaupun sendiri."

Aku lebih benci diperlakukan dengan belas kasihan daripada sendirian. Aku tidak pernah menganggap keadaanku ini menyedihkan.

Koharu-sensei tampaknya mengerti maksudku.

Dia lalu menjawab sambil meralat ucapannya:

"Ah... bukan gitu maksudku. Kalau kamu nyaman sendiri, ya nggak apa-apa. Kalau butuh bantuan, aku bakal bantu, tapi kalau kamu sudah oke dengan keadaannya, aku nggak akan ikut campur. Aku juga sebenarnya ingin menyendiri saat makan siang. Tapi nggak ada tempat enak buat sendiri, jadi... kalau kamu nggak keberatan, boleh aku nebeng di sini?"

Bagiku, tempat ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberiku ketenangan.

Tempat yang tak tergantikan. Tapi aku juga nggak punya hak untuk mengusir Koharu-sensei dari sini.

Sejak saat itu, kami kadang menghabiskan waktu istirahat siang bersama.

Meskipun tidak setiap hari.

Kadang aku pergi ke perpustakaan, atau dia sibuk dengan undangan makan dari murid lain, atau ada pertanyaan tentang pelajaran.

"Tapi kenapa sih jadi pembina klub padahal nggak suka?"

"Soalnya mereka maksa banget minta tolong."

"Harusnya nolak aja."

"Yaa... kalau semua segampang itu, orang-orang nggak bakal banyak yang stres. Hidup itu isinya ya hal-hal yang bikin frustasi."

Dia bicara seperti seseorang yang sudah menelan banyak kepahitan.

Sejujurnya, itu bukan sesuatu yang pantas dikatakan seorang wali kelas pada muridnya.

"Guru itu, kebanyakan dari mereka adalah orang yang punya kenangan indah tentang masa sekolah. Mereka nggak merasa malu menghabiskan seluruh hidupnya cuma di lingkungan sekolah. Terus bersikap sombong ke pegawai kafe atau restoran di luar sekolah. Orang-orang kayak gitu mana ngerti gimana rasanya nggak mau jadi pembina klub."

"Koharu-sensei juga begitu, kan?"

"Nggak juga. Aku tuh dulu di kelas malah nggak kelihatan. Biasa-biasa aja. Super nggak menonjol."

"Wah, itu mengejutkan. Di kelas sekarang kan kelihatan ceria, disukai semua siswa. Kupikir dulu pasti juga jadi pusat perhatian."

"Itu semua aku paksain. Aku pura-pura ceria. Soalnya kalau sisi gelapku ketahuan, aku takut anak-anak jadi ngeremehin."

"Ngeremehin?"

"Kalau murid udah ngeremehin gurunya, tamat deh. Nggak bisa ngapa-ngapain."

Ucapannya ini benar-benar bertolak belakang dengan citra dirinya di depan kelas.

"Kenapa sih Sensei jadi guru?"

"Eh, tumben. Kenapa nanyanya tiba-tiba?"

"Katanya dulu nggak punya kenangan indah di sekolah. Tapi kok malah balik ke sekolah sebagai orang dewasa?"

"Hmm... waktu aku jadi murid, aku benci banget sama guru. Soalnya mereka tuh manis banget sama anak-anak populer. Tapi ke anak-anak pendiam atau nggak menonjol, mereka suka nggak peduli, atau malah ikut-ikutan ngejek."

Memang benar. Fenomena itu sering terjadi.

"Aku kesel banget. Makanya aku mikir, kalau jadi guru nanti, aku mau jadi guru yang perhatian juga ke anak-anak pendiam. Mungkin karena dulu aku sendiri nggak punya kenangan indah, jadi sekarang aku pengen bantu anak-anak kayak aku dulu. Tapi pas udah jadi guru... aku malah takut sama anak-anak populer, terus tiap hari jadi penjilat supaya nggak disepelein. Soalnya anak-anak populer itu yang ngatur suasana kelas. Aku jadi ngerti, ngasih perhatian ke anak-anak pendiam tuh nggak ngasih banyak keuntungan."

Koharu-sensei tertawa kecil, seperti mencibir dirinya sendiri.

"Haduh... kalo diri aku yang masih jadi murid lihat aku yang sekarang, pasti bakal kecewa banget. 'Jadi juga kamu kayak guru-guru yang dulu kamu benci, ya' gitu."

"Tapi menurutku, Koharu-sensei udah bagus banget, kok."

"...Kamu beneran mikir gitu?"

"Iya. Meskipun Sensei mungkin berusaha jaga muka di depan anak-anak populer, Sensei tetap memperhatikan yang lainnya juga. Menurutku itu keren."

Aku tak tahu apa penilaian diri Koharu-sensei terhadap dirinya sendiri. Tapi dari semua guru yang aku kenal, dia adalah satu-satunya yang memperlakukan semua murid dengan adil.

Sebenarnya, kalimatku tadi mungkin terlalu sok tahu, mengingat aku cuma murid. Tapi reaksi Koharu-sensei justru tak terduga.

"Uwaa... aku seneng banget... Soalnya Enoki-kun kelihatan bukan tipe yang suka basa-basi."

Dia mengucapkannya pelan, seolah sedang menikmati setiap kata.

"Tapi... kalau Enoki-kun ngadu ke guru lain soal omonganku barusan, aku bisa tamat sih. Aku tadi ngomong yang aneh-aneh, kan? Kayak guru lain cuma tahu enaknya sekolah, atau bersikap seenaknya ke pelayan restoran..."

"Tenang aja. Saya nggak akan bilang ke siapa-siapa. Lagipula saya juga nggak punya siapa-siapa untuk bilang."

"Ya, juga ya. Syukurlah."

Koharu-sensei tampak lega dan tersenyum kecil.

"Yah, karena aku tahu itu makanya aku bisa ngomong lepas juga. Eh, ngomong kayak gini malah bikin kamu nggak nyaman, ya?"

"Sama sekali tidak kok. Aku lebih suka seperti ini daripada harus pura-pura saling menjaga perasaan."

"Tapi Enoki-kun, akhir-akhir ini kamu kelihatan beda ya."

"Beda gimana?"

"Kelihatan lebih bahagia. Ada hal baik yang terjadi?"

"Nggak juga, nggak ada hal spesial…"

Aku cukup kaget. Ternyata Koharu-sensei sangat memperhatikan para muridnya.

Bel tanda akhir istirahat siang berbunyi.

Mendengarnya, Koharu-sensei menghela napas panjang—panjang sekali, seperti berasal dari dasar laut terdalam.

"Haaah... waktu istirahatnya udah habis... Ya udahlah, mari kita hadapi siang ini juga..."

Dengan ekspresi penuh tekad, dia berdiri, lalu menoleh ke arahku.

"Aku duluan ya. Jangan sampai terlambat, Enoki-kun. Dengerin keluhanku lagi nanti, ya!"

Setelah menepuk pipinya pelan, dia mengenakan kembali senyuman dan baju zirah cerianya, lalu berjalan meninggalkan sisi belakang sekolah, menuju kelas.

◆◆◆

Malam di balkon bersama No.25-san masih berlanjut.

Sepulang kerja paruh waktu, saat aku keluar ke balkon untuk mendinginkan tubuh, terkadang aku bertemu dengannya yang sedang merokok di balkon sebelah dengan ekspresi murung.

"Selamat malam~. Kerja bagus ya."

"Selamat malam."

Di dalam minimarket, kami hanya sebatas pelanggan dan pegawai. Tak pernah saling berbicara selain dengan kalimat-kalimat formal yang sudah ditentukan. Tapi di sini, kami adalah tetangga. Kami bisa bicara layaknya orang biasa.

Kami mengobrol ringan selama beberapa saat.

Topiknya benar-benar sepele. Seperti buku yang baru saja kubaca, toko yang baru dikunjungi, atau bahkan skenario "bagaimana kalau kota dipenuhi zombie".

Percakapan seperti asap—hilang keesokan harinya, tanpa bekas. Meski begitu, terkadang kami juga bicara soal sekolah.

"Kamu sudah dapat teman di sekolah?"

"Sama sekali belum. Kalau sampai nggak dapet teman di bulan April, itu udah tanda awal yang buruk. Setelah libur Golden Week, biasanya hubungan antar orang-orang udah kebentuk. Bisa dibilang gamenya udah selesai."

"Tapi, bahkan di inning ke-9 dengan dua out, kadang masih bisa comeback, kan?"

"Mungkin sih. Tapi pemainnya sendiri udah nggak niat naik ke lapangan lagi. Aku udah terlalu terbiasa sendirian."

"Jadi kamu akan tetap jadi si bocah penyendiri, ya?"

"Kelihatannya begitu."

"Fufu. Begitu ya."

Dia kadang-kadang tiba-tiba menanyakanku soal apakah aku sudah punya teman di sekolah, dan setiap kali aku menjawab belum, dia selalu menunjukkan ekspresi sedikit senang—seolah berharap aku tetap sendiri.

Mungkin dia tipe orang yang menemukan rasa manis dalam kesedihan orang lain. Walaupun aku sendiri tak pernah merasa hidupku itu menyedihkan.

"Tapi kamu tetap ke sekolah setiap hari tanpa bolos. Itu hebat, loh."

"Soalnya aku ngerasa kalau sekali aja aku bolos, aku nggak bakal bisa balik lagi. Lagipula, aku nggak punya siapa pun buat minjem catatan pelajaran."

Kalau aku bolos sekali, pasti aku bakal ketinggalan pelajaran. Karena itu, bagaimanapun keadaannya, aku harus tetap berangkat sekolah.

"Ngomong-ngomong, waktu SMA, kamu kayak gimana?"

"Aku itu susah bangun pagi, jadi selalu terlambat masuk sekolah. Sampai-sampai waktu aku datang tepat waktu, gurunya malah kaget."

"Wah, itu parah juga ya."

"Kalau kamu terlambat atau absen sampai delapan kali, kamu kehilangan hak untuk dapat rekomendasi sekolah. Aku kehilangan hak itu waktu baru masuk bulan April tahun pertama."

"April di tahun pertama!? Cepet banget."

"Waktu itu pun katanya aku yang paling cepat. Mungkin sampai sekarang belum ada yang ngalahin. Ya meski pun itu bukan prestasi yang bisa dibanggain."

"Kalau kamu ikut klub olahraga yang ada latihan pagi, pasti kamu langsung dikeluarin ya."

"Fufu, mungkin. Aku pasti langsung dicoret dari daftar."

"Ngomong-ngomong, kamu ikut klub apa waktu itu?"

"Kamu pikir aku gak ikut klub apa?"

"Maksudnya… bukan 'kamu ikut klub apa', tapi 'klub apa yang gak kamu ikuti'?"

"Anggap aja ini kayak Minesweeper. Kalau kamu tebak klub yang aku ikuti dan ternyata benar, kamu meledak. Nah, klub mana menurutmu yang paling aman?"

"……Basket, mungkin? Atau softball juga kelihatannya aman."

"Hmm hmm. Jadi kamu melihat aku seperti itu, ya?"

"Setidaknya kamu kelihatannya bukan tipe anak klub olahraga. Kalau iya, kamu nggak bakal ngerokok sekarang."

"Cuma karena ikut klub olahraga, bukan berarti gak merokok, lho? Waktu masih di bawah umur pun, justru anak-anak dari klub olahraga yang paling banyak ngerokok, kan?"

"Kalau dipikir-pikir, iya juga. Kayak anak-anak baseball atau sepak bola."

"Jadi, yang bener klub apa?"

"Kalau kamu bisa nebak, bakal aku kasih tahu."

"Tapi tadi kamu bilang ini kayak Minesweeper. Kalau nebak dan kena, meledak, kan? Kalau aku meledak, apa yang bakal terjadi?"

"Hmm, mungkin aku bakal tiupin asap rokok ke mukamu."

"Itu ganggu sih, tapi ganggunya tipis banget."

Dia tersenyum tipis, mengetukkan abu rokok dari jarinya ke asbak.

"Tapi, kamu yang rajin kayak gini, kalau deket sama anak nakal kayak aku, bisa jadi terpengaruh buruk, lho."

"Mungkin kamu nganggep aku rajin, tapi sebenernya nggak juga. Waktu SMP aku pernah bolos juga, kok."

"Itu sebelum kamu mulai tinggal sendiri, kan? Kalau bolos, kamu nggak dimarahin orang tua?"

"Aku ngakalinnya. Pura-pura berangkat sekolah pagi-pagi, terus pas jam sekolah selesai aku pulang seolah-olah abis dari sekolah."

"Tapi nanti pihak sekolah kan bisa nelepon ke rumah?"

"Makanya sebelum pergi, aku cabut kabel telepon rumah. Biar gak bisa dihubungi. Kalau hari itu ada pelajaran olahraga, aku kotorin dulu baju olahraganya dikit sebelum pulang."

"Fufu. Kamu cukup licik juga ya."

No.25-san tertawa kecil, tenggorokannya bergetar halus. Meski dia biasanya tampak dewasa, saat itu aku melihat sisi polos layaknya gadis remaja dalam dirinya.

Melihat seseorang tertawa karena ceritaku terasa menyenangkan.

Mungkin itu alasan kenapa banyak orang ingin punya teman.

Setelah itu kami mengobrol lagi tanpa arah, dan entah kenapa topiknya bergeser ke tempat makan siang.

Aku cerita soal tempat di belakang gedung khusus, yang dipenuhi rumput liar dan sepi. Di sanalah aku biasanya makan siang.

"Aku juga sering ke tempat itu dulu."

"Serius?"

"Tempat itu tenang dan gak banyak orang. Buatku, itu kayak pulau tak berpenghuni tempat aku bisa kabur kalau lagi gak pengen ketemu siapa-siapa."

Ternyata dia juga pernah terdampar di "pulau" itu. Aku merasa senang. Seolah ada semacam koneksi di antara kami.

"Buatku, tempat itu sih gak sepenuhnya pulau tak berpenghuni."

"Kenapa?"

"Kadang wali kelasku datang ke situ juga. Dia juga tahu tempat itu. Kadang kami makan siang bareng."

Aku ingat Koharu-sensei. Dia datang ke pulau sepi itu, membuka sisi dirinya yang tak terlihat di kelas, lalu pergi lagi.

"Oh ya? Gurunya perempuan?"

"Iya."

"Masih muda?"

"Katanya baru tahun kedua ngajar."

"……Hmmmmmmm……"

No.25-san menghela napas panjang seperti dengungan nyamuk, sambil menyandarkan pipi ke pagar balkon dan menghembuskan asap rokok.

Wajahnya tampak agak bosan.

"Eh? Apa aku barusan ngomong yang aneh?"

"Nggak juga. Cuma, kukira kamu benar-benar gak punya teman ngobrol. Ternyata kamu gak se-bocchi yang aku pikir."

"Ya tapi aku cuma ngobrol sama dia pas istirahat siang doang. Bukan berarti aku punya teman. Jadi tetap bocchi, sih."

"Tapi bisa makan siang bareng guru muda itu, enak juga ya."

"Kamu lebih suka aku bener-bener bocchi ya?"

"Iya. Aku pengennya kamu tuh beneran gak ngomong sama siapa pun seharian. Tapi tetap pasang wajah tegar kayak 'aku baik-baik aja kok'."

"Apa-apaan sih itu…"

Apa dia tidak terlalu rumit secara emosional? Begitulah pikirku.

Tapi kemudian aku sadar, orang yang tidak serumit itu mungkin tidak akan tinggal di apartemen bobrok seperti ini.

Dan karena aku tinggal di sebelahnya, mungkin aku juga sama rumitnya.

◆◆◆

Seiring waktu tinggal di suatu tempat, wajah-wajah tetangga pun mulai akrab.

Kalau ada wajah asing yang lewat, pandangan akan secara otomatis tertarik padanya—apalagi kalau orang itu menarik.

Sepulang sekolah, karena jadwal shift kerja hari ini agak lebih malam dari biasanya, aku pulang dulu ke rumah. Saat itu, dari ujung jalan di dekat apartemenku, aku melihat seseorang berjalan.

Penampilannya menawan—kalau memakai istilah umum, dia adalah seorang ikemen.

Wajah kecil, mata dan hidung yang tajam, berkesan dingin. Rambut pirang keemasan, diikat rapi ke belakang.

Pakaiannya sederhana: hanya kaus dan jeans. Tapi tetap terlihat sangat cocok dikenakannya.

Pada akhirnya, orang yang berpenampilan menarik akan tetap terlihat cocok meski memakai pakaian seaneh atau sesederhana apa pun. Dunia ini sungguh kejam dalam menegaskan kebenaran itu.

Aku terkejut melihat sosok itu. Tapi aku lebih terkejut lagi saat melihat ke mana dia berjalan—arahnya menuju apartemen bobrok tempatku tinggal.

Apa dia penghuni baru? Seingatku tak pernah melihat dia sebelumnya.

Saat aku memikirkan hal itu, dia menaiki tangga berkarat yang mengarah ke lantai dua, dan berhenti di depan salah satu pintu kamar.

Tepatnya, kamar No.25-san.

Dia menekan bel, lalu pintu terbuka sedikit.

Dalam sekejap, pria tampan dengan kaus itu pun masuk ke dalam kamar.

──Jadi dia kenalan No.25-san.

Hubungan seperti apa yang mereka punya?

Teman kuliah? Rekan kerja di tempat part-time? Atau bahkan adik laki-laki—meski kemungkinan itu kecil. Yang jelas, hubungan mereka cukup dekat sampai dia datang ke rumah.

Pikiran pertamaku langsung tertuju ke kemungkinan "pacar", tapi aku buru-buru mengusirnya. Mungkin karena aku tidak ingin itu menjadi kenyataan.

Tapi jika dipikir logis, kemungkinan itu justru yang paling masuk akal.

No.25-san adalah wanita cantik. Tanya saja pada sepuluh orang, pasti sepuluh-duanya akan bilang dia cantik. Kalau ada yang bilang tidak, mungkin hanya sedang mencoba sok beda sendiri.

Wajar jika banyak orang yang tertarik padanya. Tapi sebanyak apa pun yang mencoba mendekat, mereka tetap takkan bisa menjangkaunya.

Bersinar seperti bintang kecil tetap tak akan bisa menyaingi bulan yang terang.

Meski begitu, pria dengan kaus tadi—hanya dengan satu pandangan saja—terlihat cocok dengannya.

Dia tampak wajar berada di sisinya. Paling tidak, jauh lebih pantas daripada aku.

Setelah berdiri diam sejenak, aku masuk ke kamar sendiri.

Sebelum berangkat kerja, aku ingin membilas tubuhku.

Setelah mandi ringan, aku mengeringkan tubuh dan rambut dengan handuk, lalu membuka kulkas dan meminum sebotol air mineral 500 ml.

Saat itu, suara samar mulai terdengar dari kamar sebelah.

Sepertinya suara orang berbicara. Aku tak bisa menangkap apa yang dibicarakan.

Tapi suasananya terdengar menyenangkan. Dari nada suara mereka saja sudah cukup membuat dadaku terasa tak nyaman.

Kalau saja aku punya televisi, suara mereka bisa kututupi. Tapi aku tak punya. Dan aku juga tak punya kebiasaan mendengarkan musik.

Tanpa alat pengalih perhatian, aku hanya bisa mendengar potongan-potongan percakapan yang tak bisa kupahami isinya.

Padahal seharusnya rumah adalah tempat paling nyaman. Tapi hari ini, entah kenapa rasanya jadi tidak nyaman.

Aku merasa sesak di rumah sendiri.

Aku bahkan berpikir ingin cepat-cepat pergi kerja—sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Aku mengutuk tipisnya dinding apartemen bobrok ini.

Tak lama kemudian, suara tawa dan obrolan menyenangkan itu terhenti.

Yang terdengar kini adalah suara bernuansa lembap. Seperti suara yang ditekan dan ditahan. Seolah terbungkus dalam lapisan panas yang kelam.

Aku tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Lagipula, aku tidak sebegitu tak pedulinya terhadap dia.

Dua anak muda, berduaan di dalam kamar.

Kalau sampai situasi jadi seperti itu, ya wajar saja. Kalau mereka pacaran, justru aneh kalau tidak terjadi. Mungkin itu hal yang sangat normal.

Secara logika, aku bisa memahami semua itu.

Tapi… kenapa rasanya sangat tidak enak?

Kenapa hatiku terasa seperti diremas erat-erat?

Aku memikirkannya cukup lama, dan akhirnya sampai pada satu jawaban yang rasanya masuk akal.

No.25-san ingin aku tetap sendiri. Karena itu, aku juga menginginkan hal yang sama untuk dia. Aku pikir itu hak yang setara.

Tapi kenyataannya, dia punya seseorang.

Seseorang yang datang ke rumahnya di siang bolong. Dia pasti tahu dinding apartemen ini tipis. Tapi tetap saja melakukan itu tanpa pikir panjang.

Aku merasa marah pada ketidakpekaan dan sikap egoisnya.

Dia meminta orang lain untuk tidak punya koneksi, tapi dirinya sendiri malah mencari koneksi.

Sikap yang kontradiktif itu membuatku merasa seolah dikhianati—meskipun aku sadar, aku tak punya hak untuk menuntut apa pun.

Aku meremas botol plastik kosong yang baru saja kuminum hingga penyok, lalu meninggalkan kamar.

Dengan langkah cepat, aku berjalan menyusuri lorong, menuju tempat kerjaku di minimarket.

Yang kupikirkan saat itu hanya satu:

Aku ingin secepatnya pergi dari tempat ini.


Adanya shift kerja hari ini benar-benar menguntungkan.

Selama aku fokus bekerja, aku bisa terhindar dari memikirkan hal-hal yang tidak perlu.

Setelah shift selesai, aku pulang dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya.

Hari ini aku sebenarnya tidak berniat keluar ke balkon. Tapi, kalau tidak segera mengangkat seragam yang dijemur malam ini, bisa-bisa kehujanan besok.

Saat aku sedang buru-buru mengangkat cucian, No.25-san yang sedang merokok di balkon kamar sebelah menyapaku.

"Selamat malam. Mau ngobrol lagi?"

Nada bicaranya ringan, seperti biasa, terdengar malas dan tenang. Tanpa sadar, aku menjawab,

"……Orang itu sudah pulang?"

Sejak tadi di tempat kerja pun pikiranku terus berkecamuk. Seolah-olah penutup pikiran itu tiba-tiba terlepas begitu saja.

"Orang itu?"

"Yang tadi datang main ke kamarmu. Aku lihat dia masuk."

"Ahh."

"Orangnya keren banget, ya."

"Fufu. Iya, kan?"

Dia tersenyum senang, seolah dirinya sendiri yang dipuji. Melihat ekspresi itu, perasaan pahit naik ke tenggorokan, dan tanpa sadar aku berkata,

"Tapi rasanya nggak enak aja sih kalau pacaran dari siang hari gitu. Maksudku, ingat juga ya kalau dinding apartemen ini tipis."

Begitu aku ucapkan itu, rasa sesal langsung menelanku bulat-bulat.

Sial. Aku ngomong apa sih. Aku nggak berniat ngomong begitu, sebenarnya.

"Pacaran, ya?"

"……Soalnya, aku dengar suara dari kamarmu. Suasana kalian… terdengar kayak adegan itu."

Aku sadar nadaku jadi sedikit menyalahkan, dan rasa bersalah dalam diriku semakin menjadi-jadi.

Pahit rasanya. Aku merasa sangat menyedihkan sekarang.

Bukan karena aku ingin menyalahkan. Ini cuma semacam pelampiasan. Justru karena aku sadar itu, aku makin merasa diriku menyedihkan.

"Itu salah paham, kok."

"Eh?"

"Kami tadi cuma nonton film. Mungkin suara adegan panas dari filmnya terdengar sampai ke kamar kamu."

Suara adegan panas dari film?

Aku mencoba mengingat kembali.

Kalau dipikir-pikir, memang suara itu agak berbeda dari suaranya. Tapi karena situasinya seperti itu, aku jadi langsung menyimpulkan sendiri.

"Film itu keseluruhan ceritanya hambar, tapi adegan ‘itu’-nya aja yang tiba-tiba intens banget. Durasinya panjang sampai bikin eneg. Kami nontonnya dengan volume agak besar, jadi ya… sampai kedengaran ke kamarmu, ya."

Setelah berkata begitu, No.25-san melanjutkan dengan sesuatu yang membuatku tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Dan, kalau itu aku, aku nggak bakal bersuara sebanyak itu."

"Lagian, teman yang datang tadi itu cewek, lho."

"Eh?"

Aku tanpa sadar bersuara.

"Ce-cewek?"

"Iya."

"Tapi, dia kelihatan keren banget. Bajunya juga kaos dan celana jeans."

"Dia emang sering berpakaian kayak cowok. Rambutnya selalu diikat. Dada juga nggak ada, jadi sering dikira cowok. Cewek-cewek banyak yang naksir dia."

No.25-san melanjutkan,

"Kalau kamu penasaran, nanti aku kenalin, deh."

Kalau dia sampai bilang begitu, berarti memang cewek beneran, ya.

"Kamu pikir dia pacarku?"

"……Ya, bisa dibilang begitu."

"Pantesan kamu hari ini kelihatan agak bete, ya."

"Aku nggak se-begitu juga, kok." jawabku berusaha menutupi.

"Cuma… gimana ya, aku ngerasa kamu kayak curang aja."

"Curang?"

"Kamu pernah bilang ingin aku tetap sendiri, tapi kamu sendiri tetap berhubungan dengan orang lain."

"Jadi, kamu pengen aku juga tetap sendiri?"

"……Iya. Kalau kamu menuntut itu dari aku."

"Kalau begitu, aku punya teman juga bikin kamu nggak senang, ya?"

"Kalau jujur sih, iya."

"Kamu jujur banget, ya."

No.25-san tertawa kecil, lalu menyandarkan dagu di pagar balkon, dan tanpa rasa bersalah sedikit pun, berkata:

"Aku ini perempuan yang curang. Egois, semaunya sendiri. Aku menuntut banyak dari kamu, padahal aku sendiri nggak bisa menahan diri."

Nada bicaranya ringan seperti berbulu.

Lalu dia menatapku dan bertanya,

"Kamu kecewa?"

"……Nggak juga."

Sikapnya yang terang-terangan malah terasa menyegarkan. Setidaknya, lebih baik daripada berpura-pura. Karena dia tidak berbohong.

"Syukurlah."

No.25-san berbisik pelan, lalu menyalakan rokoknya.

Dalam gelapnya malam, cahaya merah menyala. Dia mengisap perlahan dan menghembuskan asapnya.

Setelah itu, kami ngobrol kosong seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah.

◆◆◆

Daripada perang yang terjadi di negeri jauh,

Daripada skandal uang gelap para politisi,

──buatku, hilangnya onigiri seharga 65 yen dari rak minimarket jauh lebih gawat.

Aku berdiri terpaku di depan rak di sudut supermarket.

Aku datang untuk membeli makan malam.

Onigiri murah yang dulu dijual seharga 65 yen itu kini sudah tak ada. Raknya dipenuhi onigiri seharga seratus yen ke atas.

Onigiri 65 yen itu adalah anugerah dari langit untuk mahasiswa miskin sepertiku.

Sampai-sampai bikin khawatir, ‘apa beneran untung?’

Tapi sekarang, karena dicabut, ya kemungkinan besar memang nggak untung sama sekali.

Bukan cuma onigiri. Telur, deterjen, tisu toilet—semuanya naik harga.

"Tapi tahu… kamu luar biasa…"

Aku mengambil tahu sutra dan memasukkannya ke dalam keranjang.

Tiga bungkus, total 85 yen termasuk pajak. Sekitar 30 yen per porsi.

Dalam hidup sendiri, memastikan asupan gizi adalah hal yang paling penting.

Sayur itu mahal. Dan kalaupun beli, sering tidak habis. Sayur potong bisa habis, tapi kabarnya gizinya tidak terlalu banyak. Katanya hilang dalam proses produksi. Entah benar atau tidak, sejak dengar itu, aku jadi malas beli.

Telur juga mahal. Tetap kubeli, sih, tapi mahal.

Katanya dulu satu pak bisa dibeli dengan seratus yen.

Itu cerita sebelum aku hidup sendiri. Sekarang bisa dua ratus, bahkan mendekati tiga ratus yen. Tiga kali lipat.

Dan karena itu, tahu adalah pahlawan. Murah. Enak. Bergizi. Terbaik. Natto juga bagus. Dengan tahu, natto, dan telur, semuanya masih bisa diatasi.

Aku memang memikirkan soal gizi, tapi bukannya karena ingin hidup lama.

Aku juga tidak punya nyali atau tekad untuk menjalani hidup berandalan seperti para penulis buraiha zaman dulu.

Aku memasukkan telur termurah, tahu, natto, dan nasi kemasan ke dalam keranjang. Juga satu kaleng ikan sarden.

Saat aku sedang berpindah ke bagian daging dan berpikir mau beli ayam, tiba-tiba—

"Halo, Tuan Pegawai."

No.25 muncul, juga membawa keranjang belanja.

Begitu melihatku, dia melambaikan tangan kosongnya dengan santai.

"Halo."

Aku menunduk sedikit.

"Tapi, kalau kamu manggil aku ‘pegawai’ di tempat kayak gini, bisa-bisa dikira aku pegawai supermarket beneran."

"Nanti ditanyain, ‘rak telur di mana?’ gitu, ya."

"Ya, sebenarnya aku bisa tunjukin sih. Aku sering ke sini.

Tapi aku agak kaget juga. Ternyata kamu juga belanja di supermarket, ya."

"Menurutmu aku ini orang kayak gimana, sih?"

"Entah kenapa, kamu kelihatan kayak orang yang nggak punya sisi hidup sehari-hari."

Dia memang sering ke minimarket, tapi yang dibeli cuma satu bungkus rokok. Tidak pernah membeli apa pun selain itu. Dari dirinya, tak tercium aroma kehidupan sehari-hari.

"Kau pikir aku hidup cuma dengan air dan debu? Aku juga belanja seperti orang normal, tahu."

Saat dia berkata begitu, yang ada di dalam keranjang belanjanya cuma satu kaleng berwarna perak yang dilemparkan begitu saja.

"Itu, minuman beralkohol ya?"

"Iya. Aku suka. Highball."

"Kamu merokok dan juga minum alkohol, ya."

"Aku juga suka yang manis-manis, lho."

Biasanya, orang yang suka minum tidak terlalu suka makanan manis, dan sebaliknya. Tapi sepertinya No.25 menikmati keduanya. Cukup jarang.

"Selain itu, kamu nggak beli apa-apa lagi?"

"Maksudmu?"

"Maksudku, kupikir kamu belanja buat makan malam."

Isi keranjangnya hanya satu kaleng alkohol. Tidak ada yang lain. Tak terlihat seperti belanja untuk hidup.

"Hanya alkohol. Rokok dan alkohol saja sudah bikin aku pas-pasan."

"Boleh tanya sesuatu yang agak pribadi? Kamu benar-benar makan dengan layak?"

"Aku makan dengan layak, kok. Sepertinya."

"Boleh aku tanya menu makanmu hari ini?"

"Pagi kopi dan suplemen, siang roti melon, malam belum pasti, tapi mungkin aku akan makan alkohol dan kaleng tuna."

"……Eh, kamu makan kayak gitu setiap hari?"

"Ya, kurang lebih."

"…………"

Aku terdiam. Itu jauh lebih buruk dari yang kubayangkan. Kalau begini, makanan di penjara pasti lebih bergizi.

"Serius deh, kamu harus makan lebih baik. Bisa tumbang, tahu."

"Eh? Tapi aku sehat-sehat saja, kok?"

"Mungkin sekarang iya. Tapi kalau terus begini, bisa tiba-tiba jatuh sakit. Nggak cukup nutrisi. Coba makan natto, itu bagus."

"Natto lengket dan aku nggak suka."

"Kalau begitu, tahu?"

"Rasanya hambar. Harus beli kecap juga."

"Telur bagaimana?"

"Harus dimasak, kan? Aku nggak punya alat masak di rumah."

"Beneran nggak punya sama sekali?"

"Sama sekali."

Sepertinya No.25 memang tidak pernah masak. Aku pikir setidaknya orang akan punya satu alat masak di rumah, bahkan kalau pun jarang digunakan.

"Aku memang nggak begitu suka makan. Rasanya merepotkan. Makan sendirian juga membosankan. Minum suplemen lebih praktis, kan?"

"Jangan-jangan kamu itu orang yang super malas, ya."

"Mungkin."

"Mungkin gimana, udah jelas banget kamu memang begitu. Belakangan kamu bahkan nggak buang kantong sampah ke balkonku lagi."

"Aku tahu harus buang, tapi tiap sadar, aku malah menundanya karena malas," ujarnya seperti membela diri.

Kemungkinan besar kantong itu tetap dibiarkan di kamarnya. Tapi karena dia jarang masak, tak akan ada sampah basah yang bisa menimbulkan bau.

Saat melihat isi keranjang belanjaanku, dia berkata,

"Kamu memikirkan soal nutrisi dengan baik. Hebat, ya. Emangnya kamu pengen panjang umur?"

"Kalau ditanya langsung begitu, rasanya malu juga."

Bukan berarti aku ingin hidup lama, tapi aku juga nggak ingin mati muda. Aku ingin hidup, tapi bukan karena ada alasan kuat yang mendesak untuk terus hidup.

Kalau dipikir-pikir, gaya hidup dia yang cenderung sembrono malah terlihat indah. Seperti bintang jatuh yang paling bersinar sebelum padam. Terlihat bersinar.

Padahal sebenarnya tidak seperti itu.

"Kamu benar-benar harus menjaga pola makanmu. Minimal, makanlah tiga kali sehari dengan benar."

"Fufu. Nggak usah khawatir. Lagipula, kalaupun aku tumbang, aku nggak akan merepotkan kamu."

"Bukan itu maksudku!"

Tanpa sadar, aku membentaknya.

"Bukan soal merepotkan atau nggak. Aku nggak mau kamu tumbang. Aku ingin kamu tetap sehat."

Gaya hidup seperti bintang jatuh yang bersinar terang sesaat sebelum padam, mungkin terlihat indah dari kejauhan. Orang bisa mengagumi dan bilang keren.

Tapi aku tidak senang. Aku tidak ingin dia padam. Aku ingin dia tetap ada di langit malam tanpa terbakar. Seperti Bintang Utara yang terus bersinar tanpa berubah, selalu di tempat yang sama.

Itulah yang kupikirkan. Maka aku pun melontarkannya.

"…Su-sungguh?"

Tiba-tiba dibentak, No.25-san membelalakkan mata. Ini pertama kalinya aku melihat ekspresi terkejut di wajahnya.

Setelah hening sejenak, rasa malu pun menyergap. Aku sudah membentak di dalam toko. Para pelanggan yang lewat melirik kami. Rasanya canggung tak terlukiskan.

"Aku… baru saja dimarahi, ya,"

No.25-san bergumam lirih seperti sedang mencurahkan isi hati, bukan bicara padaku.

"Kalau sampai dimarahi langsung oleh anak laki-laki yang lebih muda, kayaknya aku harus mendengarkan, ya."

Setelah berkata begitu, dia tersenyum tipis dan bertanya,

"Kamu bersedia nemenin aku belanja sedikit lagi?"

Setelah keluar dari supermarket, kami berjalan pulang menuju apartemen.

Matahari sore hampir terbenam, bayangan pekat kota memanjang di atas aspal.

Kami masing-masing membawa kantong belanja. Aku dengan tas kain ramah lingkungan, sedangkan No.25-san membawa kantong plastik ukuran L—yang harus dibayar lima yen.

Kantong plastiknya kini berisi bahan makanan. Kaleng sarden, nasi kemasan, sayur potong. Sebagai gantinya, jumlah kaleng highball berkurang.

"Biar aku bawakan ya."

"Nggak apa-apa nih?"

"Aku yang bikin kamu beli ini semua kan."

Awalnya dia hanya berniat beli alkohol. 6 kaleng highball. Tapi sekarang keranjangnya bertambah dengan kaleng sarden, nasi kemasan, dan sayur potong.

Berat tambahan itu adalah tanggung jawabku. Jadi aku ingin membawanya.

"Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum.

Ucapan terima kasih yang sederhana. Bukan "sankyuu" atau "arigatou". Sepertinya dia hanya memakai gaya seperti itu saat di minimarket.

Sambil membawa kantong belanja di kedua tangan, berjalan di jalanan yang disinari matahari senja, aku berpikir. Kenapa tadi aku sampai membentak begitu. Semakin dipikir, semakin malu.

Sebenarnya, apa pun pola makannya, itu bukan urusanku. Kalau dia sampai tumbang pun, selama tidak merepotkanku, ya tidak masalah.

Tapi entah kenapa…

"Umm… maaf soal tadi. Aku membentak, dan itu di dalam toko pula. Orang-orang sampai melihat…"

No.25-san tampak terkejut sebentar, lalu menggoda.

"Kalau wajahmu diingat orang, nanti kamu jadi malu sendiri ke toko itu lagi."

"……Maaf."

"Tapi, sudah lama aku nggak dimarahi. Aku sering bikin orang geleng-geleng, tapi jarang dimarahi langsung."

"Aku agak lancang, ya."

"Yup, sedikit lancang," katanya bercanda, lalu tersenyum lembut.

"Tapi aku senang kamu peduli. Aku senang kamu nggak ingin aku tumbang."

No.25-san berjalan lebih dulu beberapa langkah, lalu berhenti dan menoleh ke arahku. Saat itu, matahari sudah tenggelam dan malam biru menyelimuti kota.

Dengan kedua tangan bersatu di belakang, dia berkata seperti sedang bernyanyi.

"Ngomong-ngomong, aku juga ingin kamu tetap sehat, lho."

"Karena nggak ada lagi yang bakal buangin sampahmu?"

"Itu juga sih. Tapi kalau kehilangan teman, itu menyedihkan."

Lampu jalan yang menyala lembut menyinari sosoknya. Dia tersenyum tipis. Seperti dugaanku, dia memang cocok dengan malam.

Sambil merasakan berat kantong belanja di kedua tanganku, aku memikirkan hal itu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close