Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 2
Kameleon Aneh
Dunia terus berputar bahkan di luar pandangan kita.
Selama ini aku tidak peduli apa yang terjadi di luar sana. Aku tidak punya teman, dan semua itu terasa seperti tidak ada hubungannya denganku. Tapi hari ini berbeda.
"Orang itu tadi ada di tempat merokok di kampus."
Si pemabuk alkohol datang menghampiriku yang sedang berjaga di kasir setelah pelanggan pergi, dan berkata begitu dengan nada sedikit bangga, sambil mengabaikan tugasnya menata rak.
Aku sempat bingung apa maksudnya, lalu dia menunjukkan ekspresi jengkel seolah berkata "lemot amat" dan melanjutkan dengan setengah tertawa.
"Kamu tahu, cewek cantik yang sering beli rokok di toko. Kau bilang mungkin satu kampus, kan?"
Aku langsung sadar dia bicara soal nomor dua puluh lima. Dan saat itu juga, dadaku terasa gelisah.
"Awalnya kupikir nggak pernah lihat dia, ternyata karena kita beda kampus. Kampus kita kan dibagi dua, dipisah jalan raya. Aku anak ekonomi, dia anak sastra. Jadi dia kuliah di kampus seberang."
"Kamu sengaja ke kampus seberang buat nyari dia?"
"Aku ada waktu luang sebelum kelas berikutnya. Kupikir, siapa tahu dia di sana. Terus kucek tempat merokok. Eh, beneran ketemu. Sekali lihat langsung tahu."
"Kamu tahu dia anak sastra dari mana?"
"Hah?"
"Maksudku, kamu tadi bilang dia anak sastra."
"Oh, iya iya. Itu dari obrolan aja sih. Tapi kalau dipikir-pikir, dia memang kelihatan kayak anak sastra. Punya aura misterius gitu. Aku bilang aku kerja part time di minimarket tempat dia beli rokok, dan dia bilang dia ingat aku. Katanya suka novel, jadi aku juga bilang aku suka baca buku."
"Kamu suka baca?"
"Suka, dong. Kaget ya? Tapi aku banyak baca, lho."
"Baca apa biasanya?"
"Buku bisnis. Aku punya kenalan yang CEO. Dia nulis buku juga. Terbitnya dari Tsubagari Publishing. Kamu tahu?"
"Maaf, nggak tahu."
"Pantes. Enocchi kayaknya bukan tipe yang baca buku bisnis."
"Hmm…"
"Obrolannya ngalir enak sih, tapi terus temannya nyela gitu. Kayak di acara jabat tangan idol—langsung ditarik pergi. Sayang banget. Padahal tinggal dikit lagi aku bisa dapet kontaknya Hazuki-san."
"Hazuki-san?"
"Namanya. Hazuki Rui, katanya."
Begitu nama itu keluar dari mulut si pemabuk, rasa pahit muncul dalam diriku.
Aku bahkan tak tahu nama lengkapnya. Bagiku, dia adalah ‘nomor dua puluh lima’. Mendengar namanya dari orang lain seperti itu membuatku sangat tidak nyaman.
"Tapi nggak apa. Aku bisa ketemu dia lagi di tempat merokok. Dia juga pasti masih bakal datang ke toko. Kesempatannya masih banyak."
Setelah mengatakan itu, si pemabuk menambahkan,
"Nanti kalau dia datang ke toko, biar aku aja yang jaga kasir, ya. Enocchi, oke?"
"……Yah, gimana ya."
Aku menghindari menjawab secara tegas.
"Soalnya kalau kamu lagi di rak, nanti malah bikin dia nunggu. Kalau pelanggan lain juga antri, dia mungkin ke kasirku, kan?"
"Makanya kamu tinggal bilang ‘oke deh’ gitu aja. Nggak asik banget, sih. Gitu-gitu kamu nggak bakal laku, tahu?"
Bukan soal asik atau enggak. Ya, aku memang nggak asik, tapi bukan itu intinya. Aku cuma nggak mau bilang "oke" begitu saja.
Aku tidak bisa menolak secara terang-terangan, tapi aku juga tidak mau tunduk pada si pemabuk. Harga diriku tak bisa menerima itu.
Setelah itu pun dia terus bercerita tentang betapa dia diandalkan di lingkaran kampus, tentang kakak tingkatnya yang tinggal di apartemen mewah, tentang kerja sambilannya di perusahaan milik kerabat yang penghasilannya selevel gaji fresh graduate, dan bahwa dia bisa saja berhenti dari kerja di toko ini kapan pun, tapi ditahan oleh manajer.
Hari itu, nomor dua puluh lima tidak datang membeli rokok. Untuk hari ini saja, aku bersyukur akan hal itu. Aku tidak ingin melihat dia berbincang akrab dengan si pemabuk.
Kadang aku lupa mengunci pintu rumah.
Kalau berangkat kuliah sih pasti kucek berulang kali. Tapi setelah pulang, kadang aku lupa menguncinya. Hari ini pun begitu. Aku baru sadar saat hampir tengah malam.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Aku yang baru selesai mandi dan sudah siap tidur terkejut. Karena hanya pakai baju tidur dan benar-benar lengah.
Pikiran pertamaku: perampok. Mau masuk dan mencuri. Tapi lalu kupikir, masa iya ada perampok datang ke apartemen bobrok begini? Banyak tempat lain yang lebih layak dijarah. Ngapain juga masuk ke kamar yang jelas-jelas nggak punya barang berharga?
Kesimpulannya: itu bukan perampok.
Tamu tak diundang itu adalah nomor dua puluh lima-san. Dia memakai pakaian kasual dan membawa kantong plastik dari toko.
"Eh, Tuan pegawai?"
Wajahnya yang sedikit memerah menatapku, duduk di depan meja ruang tamu. Ia memasang ekspresi bingung.
"Kenapa Tuan pegawai ada di kamarku?"
"Eh?"
Dia melihat-lihat sekeliling. Tata letaknya memang mirip, tapi furniturnya pasti berbeda. "Eh, eh?"
Lalu dia menatapku lagi dan bertanya,
"Jangan-jangan… ini kamar kamu?"
"Iya."
"Berarti… ini bukan kamarku?"
"Kamarmu itu di sebelah."
"…………"
Dia mengangkat tangan ke dagunya, berpikir sejenak, lalu berkata,
"Aku salah masuk kamar, ya."
"Sepertinya begitu."
Dengan malu-malu, dia tersenyum. Pipi merah, mata sedikit sayu. Suasana tubuhnya pun tampak melayang-layang entah ke mana.
"Kamu mabuk, ya?"
"Tadi ada acara minum bareng anak seminar."
Oh, jadi itu alasan dia tidak datang ke toko hari ini.
"Makan dan minum sepuasnya. Dosen yang bayarin semua."
"Makanya kamu mabuk berat," kataku sambil melirik isi kantong plastiknya, lalu kaget.
"Tapi kenapa kamu masih beli alkohol lagi?"
"Aku mau minum lagi sendirian di rumah. Tapi, ini pas banget."
Dia berkata begitu sambil menaruh kantong plastik berisi kaleng highball di atas meja depanku.
"Tuan pegawai, temani aku minum, ya?"
"Aku nggak bisa minum, tapi kalau kamu nggak keberatan ayo aja sih…"
"Fufu. Gak masalah~"
Dengan senyum mengembang, dua puluh lima–eh, maksudku, Rui-san—duduk di sampingku. Jarak kami dekat. Kalau aku sedikit memiringkan tubuhku, bahu kami mungkin akan bersentuhan.
Di balik bau alkohol dan sisa aroma bar sake, tercium wangi tubuhnya yang menyenangkan.
Dia mengambil satu kaleng highball dari kantong plastik dan membukanya. Kashuu—suara menyenangkan itu menggema di kamar sempitku.
Rui-san meminum highball itu dengan kedua tangan, seolah membungkusnya dengan lembut. Saat merokok, dia terlihat keren. Tapi ketika minum seperti ini, dia terlihat manis.
"Aku ambilkan camilan ya, buat teman minum?"
"Boleh?"
"Hanya minum alkohol saja tidak baik untuk tubuh, kan?" ucapku sambil berdiri dan membuka lemari dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan camilan. Tapi aku bukan peminum, dan jelas bukan orang kaya. Jadi aku tidak punya camilan yang layak.
"Tahu dingin nggak apa-apa?"
"Nggak masalah sama sekali."
Aku mengambil satu dari tiga tahu sutra yang tersedia, meletakkannya di piring, lalu menambahkan jahe dan daun bawang sebagai pelengkap, sebelum meneteskan sedikit mentsuyu dan minyak wijen.
"Nih."
"Terima kasih. Kamu perhatian sekali ya, seperti butler," kata Rui-san sambil tersenyum.
"Kalau begitu, Rui-san adalah nona bangsawan ya."
Kurasa akan menyenangkan bisa ‘melayani’ seseorang seperti dia. Seperti pelayan yang selalu dibuat kewalahan oleh perintah seenaknya dari majikannya.
Setelah dia mulai menyantap tahu dingin itu, aku melemparkan pertanyaan.
"Seminarmu itu seminar apa?"
"Seminar sastra kreatif. Kami menulis cerita, membacanya, lalu saling mengkritik. Dibanding seminar lain, kelihatannya paling ringan."
"Jadi kamu menulis cerita?"
"Ya, kalau ada tugas. Paling-paling cuma cerita pendek sih."
"Tapi itu keren. Jenis cerita seperti apa yang kamu tulis?"
"Macam-macam. Kisah cinta, cerita semacam autobiografi... atau cerita di mana para anggota zemi terbunuh satu per satu."
"Yang terakhir itu, gimana reaksi mereka?"
"Pada suka banget. Tapi ya, itu kan candaan internal."
Tapi kalau aku yang menulis cerita seperti itu, pasti nggak akan diterima. Rui-san sepertinya cukup populer di dalam seminarnya.
"Kamu sendiri gimana? Sudah dapat teman?"
"Nggak sama sekali. Nggak ada yang berubah."
"Begitu ya. Bagus kalau begitu."
Mendengar jawabanku, Rui-san tampak puas sambil meneguk highball-nya. Dia lalu menyelipkan kata-kata saat sedang mabuk itu.
"Namamu Rui, ya."
"Apa?"
"Nama dua puluh lima-san."
"Emangnya aku pernah nyebutin namaku ke kamu?"
"Aku dengar dari orang yang jadwal shift-nya sama. Katanya dia satu kampus denganmu dan sempat ngobrol di tempat merokok."
"Shift yang sama...?"
"Kamu nggak ingat? Rambutnya dicat cokelat. Katanya dia suka baca buku."
"…Ah, aku ingat," ucapnya pelan setelah hening lama. Aku sedikit lega karena dia nggak langsung ingat.
"Katanya obrolan kalian seru, lho."
"Ya?"
"Itu katanya sih."
"Hmm," gumam Rui-san tanpa banyak antusias.
"Kalau kamu dengar itu, gimana perasaanmu?"
"Maksudnya?"
"Namaku. Kamu pengen dengar langsung dari aku?"
"…Ya, mungkin."
Yang jelas, aku nggak ingin dengar dari si pemabuk itu. Rasanya seperti bagian penting dari dirinya diinjak-injak sembarangan. Itu yang kurasakan.
"Tapi dia nggak tahu, kan? Namaku yang satu lagi."
"Namamu yang satu lagi?"
"Dua puluh lima-san."
Rui-san tersenyum lembut saat mengatakan itu.
"Aku cukup suka nama panggilan itu. Kamu yang ngasih, kan? Nggak ada orang lain yang manggil aku begitu."
"Tapi aku sudah tahu nama aslimu. Rasanya aneh kalau masih manggil begitu. Mulai sekarang, harus manggil apa ya? Hazuki-san?"
"Aku lebih suka dipanggil pakai nama depan."
"…Rui-san."
Rui-san—Hazuki Rui—tersenyum lembut. Nama "dua puluh lima-san" yang tadinya terasa asing dan tak bernyawa kini punya warna.
"Kalau begitu, sekarang giliranku ya."
"Maksudnya?"
"Namamu. Cuma aku doang yang diketahui namanya, nggak adil dong."
"Ini bukan nama rahasia, kok."
Aku tertawa kecut, lalu menyambung:
"Enoki. Enoki Yuito."
"Enoki-kun."
Untuk pertama kalinya, dia menyebut namaku.
"Atau Yuito-kun. Kamu lebih suka yang mana?"
"Bebas aja, sih."
"Kalau gitu, aku pilih Yuito-kun ya. Soalnya Enoki-kun mungkin udah dipakai orang lain. Aku juga lebih suka pakai nama depan."
Setelah itu Rui-san tersenyum kecil.
"Lucu juga ya, kita ini sudah sering ngobrol sebagai tetangga, tapi baru sekarang tahu nama masing-masing."
Dua puluh lima-san dan si penjaga toko.
Sekarang, kami punya satu nama lagi untuk menyebut satu sama lain.
Rui-san saat ini mabuk berat, tapi aku berharap saat dia bangun besok pagi, dia masih ingat semua ini.
◆◆◆
Pagi hari.
Sinar matahari menembus kamar, dan kesadaranku perlahan bangkit. Aku mengangkat tubuh bagian atas dari tempat tidur sambil mengusir kantuk.
Pagi yang biasa. Kamar yang biasa. Tapi ada satu pemandangan yang terasa berbeda.
Di atas karpet di depan meja—yang sedikit tergilas kaki ranjang—Rui-san tergeletak di sana. Tidur nyenyak sambil meringkuk seperti ulat.
Ingatanku dari semalam kembali.
Setelah pesta minum seminar, Rui-san datang ke kamarku dan lanjut minum. Dia mabuk berat dan tertidur begitu saja tanpa pulang ke kamarnya.
Aku ingin membangunkannya, tapi nggak tega. Wajah tidur itu terlihat begitu damai. Jadi aku biarkan saja. Kupikir dia akan bangun dan pulang sendiri. Tapi ternyata, sampai pagi pun dia belum bangun.
Dari atas tempat tidur, aku menatap wajah tidurnya.
Ingatanku semakin jelas.
Semalam, dia menciumku.
Dalam keadaan mabuk berat, kami mengobrol tanpa arah. Aku bahkan sudah lupa apa yang kami bicarakan.
Tapi setiap kali dia bicara, aku selalu teralihkan oleh anting lidah yang terlihat samar-samar. Rui-san sadar aku terus memandanginya. Dan dia berkata:
"Kamu tertarik sama tindikan ini, ya?"
Sambil memegang kaleng highball di tangannya, dia bertanya dengan senyum samar di wajahnya. Jantungku berdetak keras, duk, seakan melompat tinggi.
"Aku perhatiin kamu terus, tahu. Saat aku datang ke minimarket beli rokok juga. Kamu berusaha keras menyembunyikannya biar nggak ketahuan, tapi kelihatan kok."
"…Kamu menyadarinya?"
"Iya. Dari awal. Makanya aku sengaja memperlihatkannya."
Memang, aku tertarik pada tindik lidahnya.
Setiap kali dia datang membeli rokok dan mengucapkan terima kasih, kilau perak itu selalu terlihat sekilas. Dan entah kenapa, aku merasakan ada sesuatu yang kelam dari situ.
"Mm, kamu mau lihat lebih dekat?"
Rui-san terkekeh pelan, lalu menghadapku, dan menjulurkan lidahnya. Di tengah lidahnya yang berwarna merah muda pucat, tertanam sebuah tindik perak berkilau.
Melihat itu langsung di hadapanku membuatku terhenyak.
Di dalam warna merah yang basah dan licin, terpancar kilau perak. Itu terlihat sangat erotis. Aku merasa seperti sedang melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh kulihat.
Namun, aku tidak bisa memalingkan pandangan. Seolah terpesona, mataku terpaku.
Saat aku masih tak bergerak, Rui-san perlahan mendekat.
Bahu kami bersentuhan. Aroma harum dari tubuhnya menyentuh hidungku. Ada juga aroma samar dari rokok. Napasnya yang lembap terdengar dekat sekali.
Dia sudah masuk ke dalam jarak pribadi, tapi aku tetap tak bisa bergerak. Seluruh tubuhku seperti terkena kelumpuhan.
Dan sebelum aku menyadarinya, bibirku sudah direnggut olehnya.
Seperti seekor laba-laba yang menerkam serangga yang terjerat di jaringnya, dia menelanku.
Lidahnya menyusup masuk ke dalam mulutku. Permukaan lidah kami saling menempel, saling berlilitan. Hangat. Licin. Bergerak-gerak seperti makhluk hidup.
Meski biasanya dia tampak tenang seperti boneka porselen yang sempurna, lidahnya menyimpan panas yang luar biasa. Panas itu terasa begitu hidup, membuatku sadar kalau dia benar-benar ada di hadapanku.
Kami saling melahap. Begitu hebat sampai-sampai aku nyaris tak bisa bernapas. Aku merasa seperti akan tenggelam. Panas dari tubuh kami menyatu, seakan akan meleleh menjadi satu.
Lidahnya yang licin seperti siput terus menari. Dan di sana, aku merasakan benda asing yang keras—tindik. Aku menyentuh tindik itu dengan lidahku. Rasanya dingin dan hambar. Seperti permen tanpa rasa.
Entah berapa lama aku larut dalam itu. Aku terus menjilati tindik itu, seperti tak bisa berpikir apa-apa lagi. Otakku seperti mati rasa.
Berapa lama waktu telah berlalu, aku tak tahu. Saat kesadaranku yang tumpul mulai pulih, Rui-san melepas ciuman itu dengan ekspresi puas, lalu berkata dengan senyum menggoda:
"Tindiknya, kamu suka?"
Barulah saat itu aku kembali ke dunia nyata.
Yang bisa kulakukan hanya mengangguk kecil. Otakku terlalu mati rasa untuk bicara. Seolah pusat bahasaku ikut meleleh.
"…Fufu. Begitu ya."
Rui-san tersenyum tipis, dan ekspresinya terlihat jauh lebih dewasa dariku. Dia terlihat sangat cantik.
Tidak ada hal lebih dari itu yang terjadi malam itu.
Rui-san merebahkan diri di lantai dan mulai terlelap seperti baterainya habis, sementara aku sendiri tidak tahu bagaimana melangkah lebih jauh dari itu.
Jadi semuanya berhenti sampai di sana.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Rui-san hingga melakukan semua itu. Mungkin besok saat dia bangun, dia tidak mengingat apa-apa.
Tapi setidaknya aku mengingatnya. Tidak mungkin bisa melupakannya.
Panas itu… sentuhan itu… telah terpaku dalam ingatanku.
Setelah itu, aku keluar ke balkon dan membiarkan diriku terkena angin malam untuk beberapa saat.
Untuk mendinginkan kepala. Karena aku merasa tidak akan bisa tidur kalau tidak begitu.
◆◆◆
Setelah selesai mengulang-ulang kenangan malam tadi…
Saat aku sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah, aku merasakan ada pergerakan di belakangku.
"Mm… selamat pagi."
Rui-san yang baru bangun melakukan peregangan besar-besaran sambil menatap ke arahku.
"Maaf ya, aku sampai ketiduran. Akhirnya malah nginep, ya."
"Mau ku buatkan kopi? Cuma kopi instan sih."
"Terima kasih banyak."
Aku menuju dapur dan mulai merebus air. Memasukkan bubuk kopi instan ke dalam cangkir. Lalu menuangkan air panas ke atasnya—selesai.
"Gula sama susu kebetulan lagi habis, jadi hitam semua ya."
"Tidak apa-apa. Aku nggak masalah."
"Dan, itu cangkirnya, belum pernah dipakai, kok."
Itu cangkir gratisan dari kampanye suatu produk.
"Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku, sebenarnya nggak terlalu mempermasalahkan hal-hal seperti itu."
"Yang mempermasalahkan justru aku."
Rui-san menerima cangkirnya, lalu menyesap kopi pelan-pelan.
Mungkin dia belum sepenuhnya sadar, karena matanya masih sayu. Rambutnya kusut karena tidur, dan itu membuatnya terlihat sedikit kekanak-kanakan.
Tapi aku masih ingat jelas—ekspresi menggoda dan berbahaya dari ‘pemangsa’ yang kulihat semalam.
"Semalam menyenangkan, ya."
Aku terkejut saat dia tiba-tiba membicarakan kejadian tadi malam.
"…Kamu ingat? Kupikir kamu udah lupa."
"Aku ingat semuanya. Nama kamu. Obrolan kita soal seminar. Ciuman panas kita."
Rui-san mengatakannya tanpa beban, dengan polos.
Ternyata dia juga masih mengingat kejadian itu. Bukan cuma mimpi bagiku saja.
Tapi kalau begitu, apa maksudnya? Hanya karena pengaruh alkohol? Atau ada maksud lain?
Aku tidak bisa menanyakannya langsung. Tidak tahu bagaimana cara memulainya.
"Jangan-jangan, itu ciuman pertama kamu, ya?"
"…Kalau iya, kenapa?"
"Enggak kok. Aku cuma merasa… senang aja."
Rui-san menyandarkan dagu di atas tangan di meja, lalu tersenyum manis padaku.
Sementara aku begitu gelisah di dalam, dia terlihat tenang sekali. Ekspresinya damai… seperti permukaan laut yang tak berombak.
Dia punya kepercayaan diri. Dia dewasa. Dia terasa jauh dariku.
Aku tak sanggup menatapnya langsung, dan memalingkan pandangan ke arah jam dinding. Jarumnya menunjuk pukul delapan.
"…Aku harus pergi."
Bisa-bisa terlambat.
"Aku berangkat duluan. Nanti tolong kunci pintunya, ya. Ini kuncinya. Kunci cadangan. Balikin aja kapan-kapan pas kita ketemu lagi. Aku pergi dulu."
Saat aku membalikkan badan dan hendak melangkah pergi ke pintu keluar—celana seragamku ditarik dari bawah.
Aku menoleh. Yang menarik ujung celanaku… adalah Rui-san.
"Setelah ini, ayo jalan bareng."
"Eh?"
"Hari ini aku libur. Mata kuliahku yang tadi batal, jadi aku benar-benar kosong hari ini."
"Tapi aku ada sekolah seperti biasa."
"Kalau begitu, bolos aja."
"Eh, ngomongnya kok santai banget…"
Aku mundur setengah langkah.
"Kenapa nggak ajak temenmu aja? Temen-temenmu, gitu."
"Temen-temenku nggak bisa hari ini. Jadwalnya nggak cocok."
"Kamu bisa menghabiskan waktu sendirian, kan? Baca buku, nonton film…"
"Iya, sih. Tapi hari ini aku nggak mood buat itu."
Rui-san berkata begitu, lalu menatapku dari bawah dan tersenyum manis.
"Hari ini aku pengin main bareng sama Yuito-kun."
"Meski kamu bilang begitu…"
Hatiku mulai goyah.
"Kalau aku bolos, nanti aku jadi nggak bisa ngikutin pelajaran…"
"Kalau cuma sehari, nggak bakal apa-apa kok."
"Kalau kita keluyuran siang-siang gini, nanti bisa disangka bolos dan dipanggil guru BK…"
"Selama kamu nggak pakai seragam, gak bakal ketahuan, kok."
"Tapi…"
"Kamu suka sekolah, ya?" tanyanya. Bukan marah, bukan menyindir. Seperti benar-benar ingin tahu saja.
Aku tidak suka sekolah. Apalagi merasa bahagia di sana pun tidak. Rasanya menyesakkan. Apalagi hari ini. Soalnya ada pelajaran olahraga sepak bola.
Bukan berarti aku benci olahraga. Aku bahkan cukup atletis. Tapi aku tidak pandai dalam kegiatan kelompok.
Setiap akhir pelajaran, kami selalu mengadakan pertandingan. Tim dibagi dua dan anggota tim ditentukan lewat suit oleh anak-anak klub sepak bola.
Biasanya, yang diambil duluan adalah anak-anak populer. Selain karena mereka teman dekat para pemain klub, mereka juga sudah saling tahu kemampuannya. Jadi, anak-anak seperti aku yang penyendiri, selalu tersisa di akhir.
Melihat satu per satu teman sekelas dipilih dan keluar dari barisan, rasanya seperti diberitahu kalau aku ini tidak dibutuhkan. Seperti orang tak kasat mata.
Aku harus menunggu dipanggil terakhir dengan perasaan canggung seperti barang rusak. Itu menyakitkan.
"Kalau kamu ikut aku, aku jamin harimu bakal lebih menyenangkan daripada ke sekolah."
Rui-san mengangkat jari telunjuknya ke arahku dan tersenyum ceria.
Hatiku goyah lagi. Antara sekolah atau pergi jalan dengan Rui-san. Aku menimbang keduanya di dalam hati.
"Coba bayangkan, kalau besok ada meteor jatuh dan dunia kiamat… kamu pilih yang mana? Sekolah atau main sama aku?"
"Kalau gitu…..Jelas aku gak bakal ke sekolah, sih."
"Jawabannya udah jelas, kan?......Yuk, jalani hidup tanpa penyesalan."
"Tapi… kenyataannya, gak ada meteor jatuh kan. Dunia juga gak kiamat. Kalau aku terus-menerus milih hidup tanpa penyesalan kayak gitu, bisa jadi aku malah menyesal di kemudian hari."
"Mungkin saja."
Dia tidak membantah.
Tapi… sambil berbicara begitu, hatiku sudah makin condong ke arah bermain dengannya. Meski aku belum cukup nekat untuk membuat keputusan penuh. Jadi, aku serahkan pada takdir.
Aku memberikan sebuah usulan.
"…Kalau gitu, gini aja. Kita suit. Kalau aku menang, aku tetap ke sekolah. Tapi kalau Rui-san menang, aku nemenin kamu hari ini."
"Fufu. Oke juga."
Rui-san menyambut tantanganku. Ia merenggangkan jari-jarinya dan berkata, "Tapi aku ini kuat, lho?"
Sambil berhadapan dengannya, aku bertanya-tanya dalam hati—sebenarnya aku menginginkan hasil yang mana? Kalau aku menang, apa aku bisa benar-benar senang?
Mungkin seharusnya aturannya dibalik. Kalau aku menang, aku justru pergi main dengan Rui-san, bukan ke sekolah.
Tapi kalau begitu, artinya dari awal aku sendiri memang tak menginginkan pergi ke sekolah. Dan kalau begitu, untuk apa juga repot-repot suit?
Dengan pikiran seperti itu, aku dan dia mengangkat tangan bersamaan dan mengeluarkan pilihan kami.
◆◆◆
Kami berjalan menyusuri jalan, dan dari arah berlawanan, beberapa siswa berseragam datang. Semuanya memakai seragam sekolahku.
Semakin dekat, kami berpapasan. Mereka berjalan ke arah sekolah, sementara aku justru melangkah ke arah sebaliknya, mengenakan pakaian biasa, bukan seragam. Di sampingku ada Rui-san.
Hasil suit tadi, Rui-san menang.
Aku mengeluarkan batu, dan dia kertas. Jankenpon. Begitu memastikan kemenangannya, Rui-san tersenyum menang dengan gaya khasnya.
"Kan udah kubilang? Aku ini kuat."
Begitulah, akhirnya aku memutuskan untuk menghabiskan hari ini bersama Rui-san.
Dia kembali ke apartemennya sebentar, mandi dan ganti baju. Setelah itu, aku yang juga telah berganti dari seragam ke pakaian santai, berangkat keluar bersamanya.
"Bagaimana? Rasanya bolos sekolah setelah sekian lama?"
"Belum terasa sih. Secara teknis, bolosnya baru dihitung setelah homeroom pagi dimulai."
"Masih sempat balik sekarang, lho?"
"Aku malas ganti seragam lagi. Lagi pula, aku sudah janji. Aku nggak akan menarik kata-kataku sekarang."
Mendengar itu, Rui-san tersenyum pelan.
"Kalau begitu, ayo nikmati hari ini sepenuhnya."
Mungkin karena waktu sekolah sudah lewat, jalan yang biasanya ramai jadi sepi total.
Jalanan yang sudah sangat aku kenal, tapi entah kenapa hari ini terasa berbeda.
Setelah beberapa saat berjalan, kami tiba di sebuah kafe. Tempat yang pernah kudatangi sebelumnya juga. Hari ini ada dua pelanggan lain di dalam. Tapi suasananya tetap tenang.
Kami memesan menu sarapan. Kopi, roti panggang, dan telur rebus. Rui-san memilih paket yang disertai panekuk.
"Aku sering ke sini, tapi baru pertama kali makan pagi di sini. Soalnya aku nggak pernah bisa bangun sepagi ini."
Rui-san tersenyum.
"Berkat ketiduran di kamarmu, ya."
"Jam segini tuh nggak bisa dibilang pagi banget, kan? Ini baru jam delapan setengah."
"Bagiku, jam delapan setengah itu udah pagi buta."
Rui-san memang bilang dia nggak kuat bangun pagi. Waktu SMA pun dia sering terlambat. Katanya, dia bahkan tidak ambil kuliah pagi di universitas.
Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku melihat Rui-san di pagi hari. Biasanya kami bertemu malam. Saat dia beli rokok di minimarket. Atau saat kami mengobrol di balkon.
"Selama ini aku belum pernah lihat kamu keluar rumah di bawah sinar matahari, sampai aku sempat mikir jangan-jangan kamu vampir."
"Yah… kalau jantungku ditusuk pakai pasak sih, aku bisa mati."
"Itu sih manusia juga mati."
Sambil ngobrol yang nggak penting begitu, kami menyantap sarapan yang diantar.
Sesekali aku melirik ponsel. Jam homeroom sudah lewat. Hari ini resmi aku membolos.
Aku membayangkan ruang kelas tanpa diriku.
Semua siswa hadir. Tapi hanya kursiku yang kosong.
Mungkin seseorang akan menyadarinya sebentar. "Oh, dia nggak masuk, ya." Tapi cuma itu. Detik berikutnya semua kembali ke urusan masing-masing.
Tak ada yang benar-benar khawatir. Hubunganku dengan mereka tak sedekat itu.
Entah aku masuk atau tidak, kelas akan tetap berjalan seperti biasa. Kehadiranku atau ketidakhadiranku tak mengubah apapun. Memikirkan itu, rasa bersalahku pun lenyap.
"Apa yang akan kita lakukan setelah ini?"
"Nonton film, yuk."
"Film?"
"Ada bioskop kecil di daerah pertokoan beberapa stasiun dari sini. Mereka biasanya mutar film-film kecil yang nggak ditayangin di bioskop besar. Dari dulu aku penasaran, tapi ragu karena sendirian itu canggung."
"Dan sekarang kamu ngajak aku jadi teman nontonnya, begitu?"
"Mau coba nggak?"
"Boleh aja sih."
Kami menunggu sampai Rui-san selesai merokok satu batang, lalu berangkat.
Setelah sarapan selesai dan kami meninggalkan kafe, kami naik kereta dan berpindah beberapa stasiun. Mungkin karena sudah lewat jam sibuk, keretanya cukup kosong. Kami makin menjauh dari sekolah. Juga dari rumah.
Kami turun di stasiun tujuan.
Begitu melewati gerbang keluar, pemandangan asing terbentang. Sebenarnya masih dalam jarak jalan kaki dari rumah, tapi karena tak pernah ada alasan untuk ke sini, aku belum pernah datang sebelumnya. Dan hari ini, aku punya alasannya.
Kami menyusuri lorong panjang pusat perbelanjaan beratap kaca. Panjangnya seolah tak berujung.
Di salah satu sudut pusat perbelanjaan itu, ada bioskop kecil.
Di depannya terpajang papan judul-judul film yang sedang tayang. Tak satu pun aku kenal. Padahal aku merasa cukup sering nonton film. Rupanya ini benar-benar di luar arus utama.
"Kamu sudah pilih mau nonton yang mana?"
"Hm… gimana kalau yang ini?"
Rui-san menunjuk satu. Kelihatannya film drama remaja. Judulnya "Bakemono no Seishun" — Kehidupan Remaja Sang Monster. Aku belum pernah dengar.
"Kalau begitu, itu saja."
Kami menuju loket dan hendak membeli tiket. Harga untuk pelajar seribu yen. Murah. Tapi bagi dompet mahasiswa sepertiku, tetap terasa mahal.
"Aku yang traktir. Kan aku yang ngajak," kata Rui-san, hendak membayar tiketku.
Tapi aku menolaknya.
"Biar aku yang bayar sendiri."
"Padahal nggak usah segan begitu."
"Bukan soal segan…..Soalnya kalau aku ditraktir, terus filmnya nggak seru, rasanya aku nggak bisa bilang ‘nggak seru’. Nonton pakai uang orang tapi ngeluh tuh rasanya kurang enak. Jadi, lebih baik aku bayar sendiri dari awal."
"Fufu. Apa sih prinsipmu itu," ujar Rui-san sambil tertawa.
"Kamu sering nggak dibilang terlalu serius sama orang?"
"...Nggak pernah. Soalnya aku nggak punya hubungan sedekat itu dengan orang yang mau bilang aku begitu."
"Oh iya, bener juga."
"Maaf, ya."
"Enggak kok. Kalau begitu, kita bayar masing-masing aja, ya."
Aku mengeluarkan seribu yen, dan Rui-san yang sudah kuliah membayar seribu lima ratus yen. Kami menerima tiket, lalu masuk ke dalam bioskop.
Tempatnya kecil. Sekitar enam puluh kursi. Mungkin karena ini pertunjukan paling pagi, tidak ada penonton lain. Kami serasa menyewa seluruh studio.
"Kamu biasanya duduk di bagian mana kalau nonton di bioskop, Yuito-kun?"
"Jarang banget sih ke bioskop… tapi biasanya aku duduk di barisan depan."
"Nggak sakit leher tuh?"
"Sakit sih. Tapi biasanya barisan depan kosong. Jadi aku bisa nonton tanpa harus mikirin orang lain."
"Kamu, memang terganggu ya sama keberadaan orang lain?"
"Aku nggak suka merasakan keberadaan orang lain saat film diputar. Tujuanku ke bioskop kan buat kabur dari kenyataan, tapi malah ditarik balik ke dunia nyata, rasanya ganggu aja."
"Kalau begitu, kamu nggak bisa memaafkan orang yang main HP di tengah film ya?"
"Nggak bisa."
"Kalau orang yang pergi saat credit roll belum selesai?"
"Itu juga nggak bisa. Kalau suatu hari aku jadi orang kaya, aku bakal beli semua kursi di sekelilingku—atas, bawah, kiri, kanan—setiap kali nonton film."
"Lucu juga. Kamu bener-bener nggak kepikiran buat nonton sama orang lain, ya. Itu khas Yuito-kun banget."
"Kalau Rui-san sendiri, nggak keganggu sama orang sekitar?"
"Aku juga bakalan keganggu kalau ada yang makan popcorn pas film lagi diputar. Kalau pas adegan komedi atau bagian yang ringan sih masih oke. Tapi kadang ada juga yang ngunyah pas adegan serius. Di tengah keheningan penuh ketegangan, tiba-tiba bunyi kriuk-kriuk…"
"Yah, itu sih nyebelin."
"Pernah sekali, pas adegan klimaks banget, ada yang masih nyemilin popcorn. Aku sampai kepikiran, 'Dia nahan popcorn itu hampir dua jam, ya?' dan malah ketawa sendiri."
Rui-san tertawa, lalu melanjutkan,
"Tapi ya, kita juga nggak bisa protes. Soalnya itu tindakan yang dibolehkan bioskop. Dan mereka pun nyumbang pemasukan buat bioskop lewat camilan itu."
"Kalo Rui-san duduknya di mana biasanya?"
"Aku pilih baris tengah bagian belakang. Soalnya paling enak buat nonton."
"Tapi bukannya di situ rame?"
"Kalau ambil jam tayang pagi banget atau tengah malam, pasti sepi. Dan aku juga nggak nonton film yang terlalu populer sih."
Dia menambahkan, "Keuntungan jadi mahasiswa yang punya jadwal fleksibel."
Aku cukup iri mendengarnya.
"Ini sistemnya bebas pilih tempat duduk, ya. Duduk di mana, nih?"
"Hmm… gimana kalau duduk di depan aja?"
"Padahal bioskopnya kosong? Kamu kan biasanya duduk di tengah-belakang. Nggak masalah?"
"Aku cuma pengen tahu pemandangan kayak apa yang biasanya kamu lihat saat nonton."
Aku tercekat.
Rui-san berjalan lebih dulu dan duduk di kursi depan-tengah. Beberapa detik kemudian, aku pun duduk di sampingnya.
Di sebelahku ada orang lain. Biasanya aku nggak suka itu. Tapi hari ini, rasanya nggak buruk juga. Mungkin ini pertama kalinya aku nonton film bareng seseorang.
Tak lama kemudian, lampu dipadamkan dan suara bel berbunyi. Dalam sekejap, kesadaranku terlempar dari dunia nyata ke dunia cerita.
Film pun dimulai.
Sekitar seratus menit, kami menyaksikan film itu.
Sesuai yang tertulis di papan luar, film itu adalah film remaja.
Tokohnya adalah seorang siswa SMA yang punya kemampuan untuk berubah menjadi orang lain. Karena merasa terasing di kelas, dia sering menjahili teman-teman sekelasnya dengan menyamar menjadi orang yang mereka benci atau kagumi.
Suatu hari, dia jatuh cinta pada seorang gadis dari kelas sebelah. Gadis itu satu-satunya yang pernah bersikap baik padanya, bahkan saat dia dalam wujud aslinya yang biasa saja. Tapi dia tak tahu harus bagaimana untuk mendekatinya sebagai dirinya sendiri.
Maka, dia pun menyamar jadi cowok paling populer di kelasnya. Lewat wujud itu, dia mulai membangun hubungan dengan si gadis. Dan memang, sebagai orang lain, dia bisa lebih mudah berbicara.
Namun, keadaannya memburuk.
Gadis itu mulai benar-benar menyukai cowok populer yang disamarkan tadi. Semua kenangan dan kedekatan yang selama ini tokoh utama bangun sebagai orang lain, malah membuat cowok asli itu makin disukai.
Setiap kali dia menyamar dan berbicara dengannya, dia hanya menaikkan reputasi si cowok lain. Ketika dia mencoba berbicara sebagai dirinya sendiri, dia tidak bisa. Karena selama ini dia terlalu banyak hidup sebagai orang lain, sehingga hidupnya sendiri kosong tanpa identitas.
Dalam putus asa, dia sempat berniat merusak reputasi si cowok populer itu. Agar gadis itu kecewa dan menjauhinya. Tapi akhirnya dia tak sanggup. Dia tidak ingin melihat gadis itu sedih.
Di situlah dia untuk pertama kalinya menyadari apa itu cinta.
Dia sadar bahwa yang bisa membuat gadis itu bahagia bukan dirinya, melainkan orang yang telah dia tiru. Maka dia mundur dan menyerahkan gadis itu pada orang yang lebih pantas.
Dan bersamaan dengan keputusannya untuk hidup sebagai dirinya sendiri, kekuatannya untuk berubah wujud pun hilang.
Begitulah cerita film itu.
Setelah film selesai, kami keluar dari bioskop dan masuk ke sebuah kafe di dekat situ. Begitu kami duduk dan kopi datang, Rui-san membuka percakapan.
"Gimana filmnya menurutmu?"
"Entahlah, aku kurang bisa nerima si tokoh utamanya. Dia terlalu ragu-ragu, penuh pikiran sendiri. Terus, visualnya juga terlalu gelap sepanjang waktu."
Lalu aku melanjutkan kritikku.
Tokohnya, gaya penyutradaraannya, alurnya. Aku mengutarakan semuanya. Meski ada bagian yang aku suka, pendapatku secara keseluruhan lebih condong ke negatif.
"Jadi kamu melihatnya dari sudut pandang itu, ya."
"Kalau Rui-san sendiri gimana?"
"Aku suka, kok."
Rui-san menyandarkan pipinya di tangan dan tersenyum.
"Aku merasa sayang banget sama si tokoh utamanya. Dia memang kikuk dan menyedihkan, tapi justru karena itu aku bisa menyayanginya."
Begitu mendengar itu, aku merasa tersadar. Wajahku panas, seperti sadar kalau aku menjawab soal dengan jawaban yang salah.
"Maaf, ya…"
"Hah?"
"Karena aku menjatuhkan film yang Rui-san suka."
Aku dilanda kecemasan, seolah telah menginjak perasaan penting miliknya.
"Tapi bukankah kita tadi udah sepakat bayar masing-masing?"
"Tapi tetap aja… rasanya aku seharusnya sepemikiran sama kamu."
"Kalau seseorang cuma bisa mengiyakan seratus persen semua hal yang kita katakan, bukankah malah membosankan?"
Rui-san tersenyum dan berkata,
"Aku suka, lho, dengar orang cerita tentang hal yang mereka sukai. Tapi aku juga suka dengar orang cerita tentang hal yang mereka benci. Soalnya kebencian itu sering kali mencerminkan nilai-nilai terdalam seseorang. Dan dari situ aku bisa tahu sudut pandang yang nggak kumiliki. Jadi aku senang dengar pendapat Yuito-kun tadi."
Ia menatapku lurus-lurus, menyipitkan mata sedikit sambil menyandarkan dagu di tangan—seperti sedang menyanyikan sesuatu dengan nada lembut.
"Bagus deh, aku ngajak kamu nonton."
Tak ada rasa kecewa darinya. Bahkan terlihat puas dan senang. Itu membuatku lega.
"Ngomong-ngomong, waktu nonton tadi aku sempat mikir. Tokoh utama di film tadi, mirip kamu, ya."
"Mirip?"
"Iya. Canggung, agak murung. Pura-pura nggak peduli, padahal dasarnya baik hati dan jujur."
"Jadi Rui-san melihatku seperti itu…?"
Perasaanku jadi rumit. Tapi aku paham sekarang kenapa aku nggak bisa menerima si tokoh utama. Karena dia mirip denganku.
Aku tidak suka diriku sendiri. Kalau bisa, aku ingin lari dari diriku. Tapi…
Aku teringat. Rui-san tadi bilang dia suka tokoh utama itu. Meskipun kikuk dan menyedihkan, dia tetap menyayanginya.
Aku mengingat kata-katanya.
Dan mencoba menebak maksud sebenarnya di balik itu.
Meskipun aku tahu, aku tak akan pernah tahu jawabannya.
Karena sudah waktunya makan siang, kami memutuskan untuk makan di kafe itu juga.
Aku memesan napolitan, dan Rui-san memesan mont blanc toast. Di atas roti panggangnya, ada krim kastanye yang melimpah.
Hanya dengan melihatnya saja rasanya sudah bikin eneg.
Setelah menghabiskan mont blanc toast-nya, Rui-san mengeluarkan sebungkus rokok. Kafe ini memperbolehkan merokok. Setelah meminta izin padaku, ia menyalakan rokoknya.
"Rokok itu… enak ya?"
Aku tiba-tiba bertanya, seperti orang bego yang baru kenal dunia.
"Mau coba?"
"Enggak ah, aku kan masih di bawah umur."
"Yuito-kun sekarang umur berapa?"
"Bulan lalu baru genap tujuh belas."
"Wah, selamat ya."
"Makasih."
"Dirayain besar-besaran nggak?"
"Enggak juga. Tahu-tahu udah lewat aja. Nggak ada juga yang ngucapin selamat atau semacamnya."
"Orang yang ulang tahunnya jatuh di masa seperti ini mungkin memang jarang dirayain. Soalnya tahun ajaran baru juga belum lama dimulai."
"Kalo Rui-san sendiri, kapan ulang tahunnya?"
"Desember. Padahal namaku Hazuki."
TLN: "Hazuki" secara harfiah berarti "bulan daun", nama tradisional Jepang untuk bulan Agustus
"Maunya lahir bulan Agustus, ya?"
"Hmm… gimana ya. Kalau Hazuki tapi lahirnya bulan Agustus, kesannya agak cari perhatian, nggak sih? Kayak orang tua sengaja nargetin bulan itu waktu nyusun rencana."
"Kamu mikirnya terlalu jauh, deh. Tapi aku rasa, ulang tahun bulan Desember cocok buat Rui-san."
"Karena kelihatan nggak sehat?"
"Emang nggak sehat, kan? Merokok terus, minum juga, makan mont blanc toast buat makan siang. Nggak ada satupun yang sehat."
"Fufu. Sakitnya tuh di telinga."
Rui-san bilang begitu, tapi sama sekali tak terlihat terganggu.
"Kalau begitu, tiga tahun lagi ya."
"Hah?"
"Sampai Yuito-kun bisa merokok juga."
Setelah menekan puntung rokoknya ke asbak, Rui-san menyandarkan dagunya di tangan sambil tersenyum lembut. Ekspresinya lebih dewasa dariku.
"Nanti waktu kamu udah dua puluh, kita merokok bareng di balkon apartemen. Aku bakal ajarin kamu gimana rasanya rokok."
"Itu…" Aku sempat terdiam sejenak sebelum menjawab, "kedengarannya menyenangkan."
"Kan?"
"Tapi, tiga tahun lagi kamu masih mau tinggal di apartemen tua itu?"
"Kenapa nggak?"
"Bukan maksudnya begitu. Aku juga nggak punya hak buat ngatur kamu."
"Yah, bisa aja bangunannya roboh kalau gempa besar datang."
"Sebelum itu terjadi, bisa-bisa Rui-san duluan yang tumbang."
"Kalau begitu, aku harus mulai jaga kesehatan, ya."
Meski bilang begitu, Rui-san tetap tenang menyalakan rokok berikutnya. Ia menghisap dalam-dalam lalu menghembuskannya sambil menunjukkan senyum lesu yang memabukkan.
Merokok jelas-jelas buruk bagi tubuh. Kalau mau sehat, seharusnya ia berhenti sekarang juga. Tapi anehnya, aku sama sekali tak ingin ia berhenti.
Bau udara setiap kali Rui-san merokok. Jari-jarinya yang ramping dan putih. Raut wajahnya yang terlihat letih.
Semuanya membuatku tak bisa melepaskan pandangan.
Setelah keluar dari kafe, kami berjalan santai tanpa tujuan.
Berjalan-jalan di kota asing tanpa arah. Mau sampai ke suatu tempat atau tidak, tak jadi soal. Waktu berlalu begitu saja, dan itu terasa nyaman.
Sampai akhirnya, Rui-san berhenti di depan sebuah toko. Sebuah toko buku bekas kecil.
Di luar toko, ada rak jualan dengan novel-novel tua yang dijual sepuluh yen per buku. Di dalam toko yang sempit, rak-rak penuh sesak dengan buku bekas.
Entah kenapa, kami berdua seperti sama-sama terseret masuk.
Kalau sedang di luar dan melihat toko buku, aku pasti masuk meski cuma lihat-lihat. Tampaknya Rui-san juga punya kebiasaan yang sama.
Kami membongkar rak obralan di luar, lalu masuk ke dalam toko.
Seorang kakek pemilik toko duduk di kursi bagian belakang. Ia sempat melirik ke arah kami sebentar, lalu kembali menyesuaikan kacamatanya dan fokus pada koran di tangan.
"Aku suka toko buku bekas," kata Rui-san sambil memegang sebuah buku dari rak.
"Karena harganya murah?"
"Itu juga sih alasannya. Kalau bisa nemu buku baru yang langsung dijual murah di sini, rasanya kayak nemu harta karun."
Dengan nada sedikit kekanak-kanakan, ia melanjutkan:
"Kadang buku bekas itu masih ada jejak pemilik sebelumnya. Ada yang nyoret-nyoret di halaman, atau ngasih highlight ke kalimat yang mereka suka. Kalau aku nemu yang begitu, aku jadi merasa, ‘Oh, ada orang lain juga yang menikmati buku ini,’ rasanya kayak nemu cahaya di kegelapan."
"Kamu sendiri suka nyoret-nyoret ya?"
"Kadang aku tempelin post-it, tapi nulis langsung sih jarang. Tapi aku pernah punya keinginan nyoret-nyoret buku misteri sebelum dijual ke toko bekas."
"Misalnya ngasih highlight ke nama pelaku dan jadi spoiler gitu?"
"Nggak. Justru aku pengen nulis kalau orang yang bukan pelakunya itu pelakunya. Jadi orang yang baca bakal punya prasangka sejak awal. Pas sampai ke bagian pengungkapan, mereka pasti bakal kaget banget."
Mendengar Rui-san yang begitu antusias menjelaskan idenya itu, aku tak bisa menahan tawa.
"Kamu punya watak yang seru, ya."
"Sering dibilang begitu."
Padahal biasanya ia terlihat dewasa, tapi kadang bisa bicara hal konyol seperti ini. Dia benar-benar orang yang sulit ditebak.
"Tapi kalau begitu, kamu nggak bisa lihat reaksi orang yang baca dong?"
"Benar juga. Jadi, mungkin harus kuberikan ke teman atau kenalan aja ya."
"Kayaknya hubungan kalian bakal rusak setelahnya, deh."
Setelah itu, kami masing-masing berpencar melihat-lihat isi toko.
Aroma khas buku bekas mengisi ruangan. Aku tak membencinya.
Saat aku mengalihkan pandangan dari rak buku, aku melihat Rui-san sudah berdiri di depan kasir. Dia sedang membeli sesuatu. Aku jadi penasaran dan bertanya setelah kami keluar dari toko.
"Ini novel favoritku sepanjang masa."
Rui-san mengangkat buku yang baru ia beli.
Aku belum pernah dengar judulnya.
"Pertama kali aku baca waktu SMP dulu, dan sejak itu udah berkali-kali kubaca ulang. Padahal biasanya aku jarang banget baca ulang buku, tapi khusus yang ini, aku sampai hafal paragraf-paragrafnya. Waktu pindah ke apartemen sekarang pun, buku ini ikut kubawa."
"Pasti punya kenangan khusus, ya. Tapi, kalau sudah punya, kenapa beli lagi?"
"Itu rahasia untuk nanti."
Sambil tersenyum penuh misteri, Rui-san meletakkan jari telunjuk ke bibirnya.
Jawabannya baru kuketahui saat kami sudah pulang ke apartemen. Saat hendak berpisah di lorong lantai dua, ia memanggilku.
Ia memintaku menunggu sebentar. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamarnya dan menyodorkan sebuah buku padaku.
"Nih, buat kamu."
Itu adalah buku yang sama seperti yang ia beli tadi.
Tapi aku tahu, ini bukan buku yang tadi ia beli di toko. Ini buku yang sudah ia miliki sejak lama.
"Untukku?"
"Memang agak telat, tapi ini hadiah ulang tahun."
Rui-san tersenyum lembut.
"Bukan hadiah mahal sih. Tapi aku yakin kamu bisa menikmatinya."
"Nggak, makasih banyak. Aku senang banget kok."
Dan itu bukan basa-basi. Aku benar-benar senang.
"Omong-omong, di buku itu nggak ada coretan kok, jadi tenang saja."
Rui-san terlihat sedikit malu. Sepertinya dia sengaja mengaitkan dengan obrolan kami tadi.
Mendengar itu, aku ingin membantah dalam hati. Tidak, justru akan lebih menyenangkan kalau ada coretan dan penanda.
Apa yang Rui-san pikirkan, hal-hal yang dia rasakan, kalimat-kalimat yang dia sukai.
Lewat catatan tangan dan coretan, aku ingin menyentuh pemikiran dan kepekaan miliknya.
Meskipun hanya sedikit.
Aku ingin lebih mengenal Rui-san.
◆◆◆
Pagi hari keesokan harinya. Aku kembali masuk sekolah setelah satu hari bolos.
Karena bolos kemarin, aku merasa sedikit bersalah saat hendak melangkah masuk ke kelas. Rasanya seperti ada lapisan tebal yang memisahkan antara pintu masuk dan lorong.
Tapi ternyata, yang merasa begitu cuma aku.
Kelas tetap berjalan seperti biasa, seolah tak ada yang terjadi.
Tak ada yang menegurku karena bolos, juga tak ada yang menunjukkan kekhawatiran.
Tugas atau pelajaran yang tertinggal pun cepat tertutupi.
Bolos satu hari saja nyatanya tidak terlalu berdampak.
Saat istirahat siang, setelah membeli sandwich katsu dari koperasi sekolah, aku menuju ke bagian belakang gedung khusus.
Tempat yang sepi, jalannya sempit dan penuh rumput liar.
Dan di sana sudah ada seseorang lebih dulu.
"Haaahhh…"
Dengan punggung bersandar di dinding gedung dan pantat hanya sedikit menyentuh lantai, Koharu-sensei menghela napas panjang.
"Oh, Enoki-kun. Kamu datang juga."
"Nggak ada tempat lain buat pergi kan."
Aku duduk agak menjauh darinya.
"Kelihatannya kamu habis menghela napas besar barusan."
"Ya, begitulah. Soalnya aku sudah jadi orang dewasa. Sekali dua kali menghela napas itu wajar."
Aku langsung merasa makin ogah masuk ke dunia kerja.
Sebenarnya aku tidak berniat menggali lebih dalam. Tapi tatapan sensei beberapa kali melirik ke arahku dengan mata penuh harap.
Sorot matanya jelas berkata: ‘Tolong dengarkan ceritaku.’ Meski aku bukan cenayang, sepuluh dari sepuluh orang pasti bisa menangkap maksud itu.
Akhirnya aku menyerah dan bertanya.
"…Dapat tugas merepotkan dari guru lain lagi?"
"Oh, kamu mau dengerin?"
"Yah, asal cuma dengerin aja."
"Sebenarnya, sekarang ini aku lagi dapat curhat dari murid."
"Oke."
"Dan ya, masalahnya agak rumit juga… intinya sih, soal cinta."
"Soal cinta?"
"Yup. Jadi dia suka sama seorang cowok dan pengen tahu gimana caranya bisa lebih dekat. Dia minta saran dariku. Aku senang dia mau percaya dan mengandalkanku, jadi aku berusaha kasih beberapa saran."
"Bagus dong."
"Masalahnya, aku nggak punya pengalaman cinta sama sekali."
"…Oh."
Aku menanggapi dengan nada datar, karena bingung harus bereaksi seperti apa. Kata-kataku tidak memberi kesan apa-apa.
"Begitu, ya."
"Nggak punya. Bener-bener nol. Nihil. Kosong."
"Bukannya nggak apa-apa?"
"Mungkin dari sudut pandang kamu oke-oke aja. Tapi dari sudut pandang murid yang curhat, itu kan nggak bagus tau. Nasihat dari orang yang nggak pernah pacaran itu cuma teori doang."
"Murid itu tahu nggak, kalau sensei nggak punya pengalaman cinta?"
"Enggak tahu. Malah, dia ngira aku ini banyak pengalaman."
Di kelas, Koharu-sensei adalah guru yang ceria dan populer di kalangan murid.
Wajar saja kalau orang berpikir kehidupan masa mudanya juga menyenangkan dan pastinya punya pengalaman cinta yang cukup.
"Kalau gitu, kenapa nggak jujur aja?"
"Nggak bisa dong. Kalau ketahuan umur 23 tapi belum pernah pacaran, anak-anak populer di kelas bakal langsung meremehkan aku."
"Emangnya mereka bakal sejahat itu?"
"Pasti bakal gitu."
"Mungkin mereka malah bilang, Ih, sensei polos banget, lucu, gitu. Kalau cewek bilang cewek lain ‘lucu’, itu artinya dia lagi nganggap lawannya di bawah dia."
Dia mengucapkannya dengan keyakinan tinggi, penuh prasangka.
"Dengerin ya, jadi guru tuh bahaya kalau sampai diremehin murid. Supaya kelas bisa berjalan lancar, lebih baik dianggap punya pengalaman dan populer."
Itu sudah pernah dia bilang sebelumnya.
Pasti sudah jadi keyakinan yang mengakar dalam dirinya.
"Tapi ya, pura-pura punya pengalaman cinta padahal sebenarnya nggak ada, terus ngasih saran… rasanya kayak bohongin dia. Jadi aku merasa bersalah."
"Makanya kamu sampai menghela napas tadi. Tapi, ya, itu bukan kayak bohongin. Kamu memang sedang bohongin dia."
"Ugh… Tapi, nasihatku berguna lho. Anak yang curhat waktu itu malah beneran bisa jadian sama gebetannya."
"Kalau begitu kan bagus."
"Tapi waktu dia laporan bilang, ‘Sensei, aku jadian!’, aku jadi agak nggak enak. Kayak, ‘Loh, dia udah ngelangkahin aku, ya.’ Terus, sekarang dia nanya, ‘Sensei, kapan waktu yang tepat buat ciuman?’ Mana aku tahu, aku aja belum pernah. Aku bahkan masih di level sebelum itu!"
Koharu-sensei menggerutu kesal.
Aku jadi bertanya-tanya, kira-kira apa reaksi murid-murid kalau melihat gurunya seperti ini?
Lalu tiba-tiba dia membidikku.
"Enoki-kun, kamu pernah nggak? Ciuman sama seseorang."
"…Perlu dijawab, ya?"
"Ehhh, aku aja udah cerita terus terang, masa kamu nggak mau? Ayo dong, bilang."
"Kamu sendiri yang curhat semaunya…"
"Oh iya, aku kasih tahu dulu. Ciuman masa kecil nggak dihitung ya. Harus yang setelah masuk SMP."
"…Haah."
"Terus gimana? Pernah? Nggak, kan? Enoki-kun pasti bakal bilang belum pernah, biar aku bisa merasa tenang, kan?"
Dia seperti hendak memaksaku bilang belum pernah.
Sebuah batu dilempar ke dalam kolam kenangan.
Ingatanku pun terguncang. Malam itu muncul di benakku—saat Rui-san yang mabuk tiba-tiba menciumku dan memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.
"Ya… gitu deh, kira-kira."
"Hah? Itu apa maksudnya? Serius? Jangan-jangan… kamu udah pernah?!"
Koharu-sensei langsung menangkap reaksiku yang setengah hati.
"Wah! Seriusan?! Kapan?! Sama siapa?! Di mana?! Di tempat kerja part time, ya?!"
Dia terus melontarkan pertanyaan seperti tembakan senapan.
"Enggak bakal aku ceritain, hal kayak gitu. Lagi pula, aku juga nggak bilang udah pernah."
Saat aku mencoba menghindar,
"Jangan becanda dong~. Anak SMA zaman sekarang udah terlalu maju, ya~? Walau angka kelahiran anjlok banget, tapi urusan kayak gitu tetap jalan terus gitu~?"
Koharu-sensei mengomel setengah frustasi. Sama sekali nggak mendengarkan.
"Sensei, habis minum ya?"
"Enggak. Aku sadar kok. Soalnya aku punya aturan, hari libur nggak boleh minum sebelum jam tiga sore."
"Lumayan cepat juga mulai minumnya, ya…"
Aku pikir, setidaknya tunggu sampai sore beneran deh. Jadi makin terasa seberapa besar stres dari pekerjaan guru.
"Ngomong-ngomong, Enoki-kun, kenapa kamu nggak masuk kemarin?"
"…Tiba-tiba banget."
"Aku sengaja nggak nanya dari awal. Takut kamu nggak nyaman. Jadi aku tunggu waktu yang pas."
"Aku kurang enak badan aja."
"Oh, begitu. Tapi ya, setidaknya kasih kabar dong."
"Maaf…"
"Kamu tinggal sendiri, kan?"
"Iya."
"Justru karena itu. Kalau kamu bolos tanpa kabar, aku jadi khawatir. Takutnya kamu jatuh pingsan atau kenapa-napa gitu."
"Mulai sekarang bakal aku usahain kasih kabar."
"Hmm. Asal ngerti, itu udah cukup."
Koharu-sensei akhirnya menghentikan tegurannya.
"Pelajarannya gimana? Ada yang ketinggalan gara-gara nggak masuk?"
"Nggak kok. Masih bisa dikejar."
"Ya, kamu kan memang termasuk yang nilainya bagus."
Lalu pandangannya tertuju pada buku saku yang mengintip dari saku celana seragamku.
"Itu buku apa?"
"Kalau sensei nggak ada di sini, aku tadinya mau baca ini."
"Kamu emang suka baca waktu istirahat, ya."
"Yah, lumayan sih… Tapi sensei perhatian juga, ya."
"Aku wali kelasmu, tahu."
Koharu-sensei bicara sambil bersikap bercanda.
"Tapi bukunya kelihatan udah agak lusuh. Kayaknya sering dibaca, ya. Kamu udah baca berkali-kali?"
"Itu buku pemberian seseorang."
"Oh begitu. Seru, nggak?"
"Seru… ya, mungkin begitu."
"Jawabanmu ngambang banget. Jangan-jangan, nggak seru?"
"Bukan nggak seru juga…Kayaknya waktu baca, aku nggak terlalu mikirin seru atau nggaknya."
"Tapi kamu sayang sama buku itu, kan?"
"Hah?"
"Lihat dari ekspresi kamu waktu baca. Entah kenapa, aku ngerasa buku itu penting buat kamu."
Perkataannya menusuk tepat di inti. Aku tanpa sadar menoleh padanya.
Sensei yang tadinya melihat ke angkasa sekarang menatap ke arahku sambil bertopang dagu di atas lututnya. "Salah ya?" tanyanya seolah minta konfirmasi.
Dia benar-benar memperhatikan. Sampai level yang bikin aku malu sendiri.
"...Iya, kayaknya begitu."
Aku merasa apa yang tak bisa aku jelaskan sendiri, telah dijelaskan oleh sensei.
Buku itu bukan soal seru atau tidak. Bahkan kalau pun ternyata buku itu membosankan, nilainya tidak akan berubah. Karena seperti kata sensei, buku ini adalah sesuatu yang berharga.
Karena ini adalah buku favorit Rui-san.
Buku yang telah dia baca berulang kali.
Di waktu-waktu luang, aku menyempatkan membaca buku saku pemberian Rui-san.
Di jam istirahat sekolah.
Di waktu istirahat saat kerja part-time.
Di malam sebelum tidur.
Waktu-waktu kosong dan membosankan bisa terisi berkat kisah dalam buku itu.
Dari halaman-halamannya tercium samar aroma rokok.
Rui-san pasti membacanya sambil merokok.
Sambil membalik halaman yang seperti telah diasapi, aku membayangkan dirinya.
Kedai kopi kecil seperti tempat persembunyian.
Di atas meja ada kotak rokok dan asbak. Lalu secangkir kopi.
Jari-jari putih dan ramping milik Rui-san membalik halaman dengan tenang.
Suara halus kertas itu menggema di dalam kedai.
Lima hari setelah Rui-san memberiku buku itu.
Malam hari setelah pulang kerja, di balkon.
Di sela obrolan seperti biasa, aku memberi tahu bahwa aku sudah selesai membacanya.
"Cepat juga, ya."
"Aku cuma punya waktu luang doang."
Padahal sebenarnya, aku sudah selesai membacanya keesokan harinya setelah menerimanya.
Tapi rasanya aneh kalau langsung bilang begitu. Terlalu terburu-buru, seolah aku terlalu antusias. Makanya aku sengaja menunggu beberapa hari.
Itu cuma kesadaran diri yang berlebihan.
"Aku senang. Boleh minta pendapatmu?"
Namun Rui-san tak tahu apa-apa soal kelebihan kesadaranku itu. Dengan wajah polos dan suara jernih, dia menanyakan pendapatku tentang buku tersebut.
Aku pun menyampaikan pendapatku. Apa yang aku pikirkan dan rasakan setelah membacanya. Bagaimana jaringan perasaanku menangkap kisah dalam buku itu.
Setelah selesai bicara, aku tersadar.
Ternyata, aku sedang berusaha memamerkan kepekaanku. Ingin dianggap baik olehnya—perasaan itu keluar tanpa bisa kutahan.
Begitu sadar akan itu, aku dilanda rasa jijik terhadap diri sendiri.
Aku mencoba memanfaatkan karya itu untuk keuntunganku sendiri. Padahal itu adalah perbuatan yang paling layak dibenci.
"Begitu ya. Jadi itulah yang kamu rasakan, Yuito-kun."
Apakah Rui-san menyadari keburukanku ini? Ataukah dia sudah tahu tapi sengaja tidak menunjukkannya?
Sebagian dari diriku ingin agar dia tak menyadarinya. Tapi sebagian lagi berharap dia menyadarinya.
"Fufu. Senang bisa mendengar pendapatmu."
"Kamu kelihatan senang, ya."
"Mereka bilang, mendengar pendapat orang setelah membaca buku yang kamu suka… lebih menyenangkan dari seks, lho."
Kata seks yang tiba-tiba keluar membuatku terkejut.
Itu bukan kata yang sering muncul di percakapan sehari-hari. Tapi tidak terdengar dibuat-buat dari mulutnya.
Kata itu terdengar alami, seolah memang bagian dari dirinya. Kalau aku yang mengucapkannya, pasti tidak akan sekeren itu.
"Aku sih nggak tahu. Nggak punya perbandingan."
"Mau coba?"
Hah—kata itu hampir keluar dari mulutku. Mungkin memang sudah keluar.
"Coba kasih aku buku favoritmu, Yuito-kun. Nanti aku akan membacanya dan memberi pendapat. Biar aku nggak jadi satu-satunya yang menikmati hal menyenangkan ini."
"Ah…"
Kali ini aku benar-benar bersuara.
Mungkin aku merasa lega.
Reaksi dan ekspresiku saat itu agak tidak sesuai dengan suasana sebelumnya.
"Apa aku barusan ngomong yang aneh?"
"Nggak."
"Kamu kira maksudku yang satunya, ya?"
Dia menebak dengan tepat, dan aku hanya bisa mengelak dengan ucapan seperti, "Bukan gitu" atau "Nggak juga."
"Tapi, ada buku yang belum pernah aku baca juga, kok."
"Di dunia ini ada berapa banyak buku, coba?"
Benar juga.
"Kalau gitu, nanti aku akan kasih satu."
"Aku tunggu, ya."
Aku butuh waktu untuk memikirkan… buku mana yang akan kuberikan padanya.
Di sela percakapan, Rui-san mengeluarkan ponselnya. Dia memeriksa layarnya. Mungkin ada pesan masuk. Tapi dalam waktu kurang dari satu menit, dia sudah menutupnya kembali.
"Ponselnya ganti, ya?"
Ponsel itu berbeda dari yang biasa dia gunakan.
"Iya. Soalnya sempat jatuh dan jadi nggak bisa dipakai. Kalau cuma retak sedikit sih masih bisa dipakai terus, tapi…"
"Waktu beli, nggak ikut layanan garansi perbaikan, ya?"
"Enggak. Soalnya dijelasin macem-macem dan jadi males dengerinnya. Lagipula…"
"Lagipula?"
"Barang-barang yang disarankan sama pegawai toko tuh… biasanya malah nggak penting, kan."
"Bener juga."
Aku tanpa sadar tertawa. Dalam hal itu, aku sepakat dengannya.
"Tapi, ganti ponsel tuh ribet, ya. Harus transfer data dan lain-lain."
"Betul. Karena malas, aku sempat biarin aja. Terus dimarahin sama temanku. Katanya kalau gitu, nanti nggak bisa hubungin aku gutu."
"Maksudnya, teman yang pernah ke apartemen dulu?"
"Iya, dia."
Rambut emas, wajah rupawan. Orang yang dulu sempat aku kira pacarnya. Sampai sekarang pun, aku masih nggak yakin. Seperti kucing Schrödinger.
"Dia tahu alamat rumahku, jadi nggak masalah. Tapi kalau bukan dia, dan aku gagal transfer akun line, mungkin ada banyak orang yang hubungannya langsung putus."
"Segitunya, ya?"
"Teman sekali pun biasanya nggak tahu alamat rumah atau nomor telepon kita. Begitu lulus sekolah atau berhenti kerja, kita jadi nggak punya cara buat hubungin mereka. Lagipula, aku nggak main media sosial."
"Ngomong-ngomong, aku baru kepikiran sekarang. Kita belum pernah tukaran kontak, ya."
"Benar juga. Aku sih tahu alamatmu, tapi…"
"Kita udah ngobrol sebanyak ini, bahkan pergi main bareng juga, tapi anehnya belum tukeran kontak."
Kita berdua sama-sama nggak pernah mengusulkan sebelumnya.
Kalau mau bicara, cukup ngobrol di balkon malam hari. Kadang memang nggak bisa ketemu, tapi itu juga nggak masalah. Nggak perlu terus-terusan terhubung.
Cukup saat sama-sama ingin, baru saling menyapa. Mungkin kita berdua memang sama-sama berpikir seperti itu. Atau setidaknya aku mengira Rui-san juga berpikir begitu.
"Sekalian saja, gimana kalau sekarang kita tukeran kontak?"
"Nggak apa-apa?"
"Biar lebih gampang juga kalau mau ngajak main."
Rui-san tersenyum, lalu menambahkan,
"Dan juga, siapa tahu nanti apartemen kita roboh, atau tiba-tiba salah satu dari kita pindah. Kalau nggak tukeran kontak, nanti nggak bisa saling hubungi, kan?"
Dia bilang sambil bercanda, tapi sebenarnya itu bukan hal yang mustahil. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Sama seperti kenyataan bahwa aku dan Rui-san sekarang bisa berbicara seperti ini.
"Benar juga. Aku jadi bisa kirim pendapat soal buku yang aku baca juga."
Aku menambahkan itu untuk menyembunyikan rasa maluku. Tapi aku juga senang, karena ternyata Rui-san juga ingin mempertahankan hubungan ini.
Dan apa yang kukatakan bukan sekadar alasan.
Kalau harus menyampaikan pendapat secara langsung, aku kesulitan mengungkapkannya dengan benar. Aku orangnya nggak pandai bicara, dan sebelum bisa menyampaikan apa yang sebenarnya ingin aku katakan, emosi lain malah lebih dulu muncul dan mengganggu.
Tapi lewat tulisan, aku merasa bisa menyampaikan semuanya dengan lebih baik.
Begitu masuk ke kamar, aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Aku membuka aplikasi line dan mencoba menambahkan teman. Tapi jariku berhenti.
"Ada apa?"
"Eh, aku nggak tahu cara nambah temannya…"
"Fufu. Tinggal pencet di sini, kok."
Dia mengajarkanku caranya.
Aku langsung jadi contoh hidup betapa sedikitnya teman yang kupunya. Wajahku memanas saat mengikuti instruksinya. Akhirnya, proses pendaftaran pun selesai.
Nama Rui-san kini muncul di daftar temanku yang hanya terdiri dari beberapa orang. Daftar itu tadinya cuma berisi orang tuaku dan beberapa rekan kerja paruh waktu.
Ikon Rui-san masih ikon bawaan sistem.
Bayangan orang berwarna abu-abu. Di bawahnya tertulis "Hazuki Rui".
Latar belakangnya pun masih standar. Di antara ikon-ikon lain yang sudah diubah jadi foto diri, binatang peliharaan, atau pemandangan, ikon miliknya tampak menonjol dengan aura aneh tersendiri.
Tapi aku juga tak bisa bicara banyak. Karena──Begitu melihat ikon milikku, Rui-san langsung tertawa.
"Ternyata kita sama ya, ikon kita seragam."
Ikon milikku juga masih yang bawaan.
Bayangan orang berwarna abu-abu. Di bawahnya tertulis "Enoki Yuito."
Latar belakangnya juga belum diubah, tentu saja.
"Aku agak menduga kamu memang belum ganti ikon. Ternyata benar."
Rui-san terlihat senang. Karena dugaannya benar. Karena sosokku yang ia bayangkan sesuai dengan kenyataan.
Ikon kami memang serupa. Tapi alasan di baliknya pasti berbeda.
Rui-san mungkin hanya tidak peduli. Dia tidak merasa perlu menonjolkan dirinya lewat ikon. Tidak terjebak pada hasrat ingin diakui. Dia bebas.
Sementara aku, terlalu peduli pada bagaimana orang lain melihatku. Aku tidak bisa memilih ikon karena takut dinilai dari situ. Aku tidak bebas.
"Tapi dengan ini, kita bisa saling menghubungi kapan pun."
Rui-san mengangkat ponselnya dan tersenyum padaku.
"Aku akan ajak kamu main setiap hari. Sampai kamu bosan."
"Kalau begitu, aku harus pelajari juga cara ngeblokir orang."
"Fufu. Dingin sekali, ya."
Tentu saja itu hanya bercanda. Tak mungkin dia benar-benar mengajakku main setiap hari. Aku dan Rui-san adalah tipe orang yang butuh waktu sendiri.
Tapi, sampai sekarang, setiap ada notifikasi di line, aku cuma merasa malas.
Karena isinya pasti cuma dari orang tua atau pekerjaan. Nggak ada yang menyenangkan.
Tapi mulai sekarang──
Mungkin aku bisa membuka notifikasi dengan harapan di dada. Aku merasa begitu.
◆◆◆
Pesan pertama darinya datang tiga hari setelah kami tukaran kontak. Tapi itu bukan ajakan untuk bermain.
[Aku punya naskah yang ingin kuberi untuk Yuito-kun baca]
Naskah yang ingin dibaca. Aku nggak tahu maksudnya apa, tapi karena itu permintaan dari Rui-san, aku langsung setuju.
Malam itu, saat aku keluar ke balkon, Rui-san menyerahkan setumpuk kertas padaku. Sekitar lima puluh halaman, dicetak dan dijepit dengan klip di pojok kanan atas.
"Ini naskah yang kamu maksud?"
"Iya."
"Bukan novel komersil, ya?"
"Itu tulisan aku sendiri. Di kelas seminar, kami diberi tugas untuk menulis cerita pendek. Sebelum menyerahkannya, aku ingin dengar pendapat Yukito-kun."
"Apa nggak apa-apa kasih ke aku?"
"Aku percaya dengan mata Yuito-kun. Jadi, tolong beri aku pendapat jujurmu. Bacanya juga kapan kamu sempat aja, nggak usah buru-buru."
"Baiklah. Kalau begitu, aku terima."
Aku menerima tugas itu secara resmi.
"Semoga kamu bisa mengkritik habis-habisan ya."
Rui-san tersenyum sambil bercanda.
Rui-san bilang aku cukup membacanya sebelum hari pengumpulan. Tapi aku memutuskan untuk langsung membacanya keesokan harinya.
Bagaimanapun juga, dia pasti butuh waktu untuk memperbaiki naskah setelah mendengar pendapatku. Dan lebih dari itu, aku sendiri memang ingin segera membaca karya yang ditulis oleh Rui-san.
Di kamar, aku duduk di depan meja dan menghadapi tumpukan naskah sebanyak lima puluh halaman. Sebelum mulai membaca, aku sudah mandi dan mempersiapkan diriku sebaik mungkin.
Karena ini adalah karya yang ditulis dengan sungguh-sungguh oleh Rui-san, aku pun ingin membacanya dengan sungguh-sungguh.
Aku menarik napas dalam.
Mulai membaca kalimat pertama. Menyelam ke dalam lautan kata. Dunia yang cerah terbentang di hadapanku. Dunia itu memancarkan cahaya yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku begitu tenggelam sampai lupa bernapas.
Saat sadar, aku sudah mencapai akhir cerita. Begitu cepat.
Setelah membaca, aku terdiam. Duri-duri dari sisa cerita masih menusuk dan tak bisa kulepaskan. Aku benar-benar berharap cerita ini tak berakhir. Sesuatu yang panas muncul dari dasar dadaku.
Tanpa sadar, aku mulai mengetik pesan di line.
Penerimanya adalah Rui-san. Aku menulis bahwa aku sudah selesai membaca dan ingin menyampaikan pendapatku. Bukan lewat pesan, tapi langsung, secara tatap muka.
Balasan darinya datang dengan cepat.
Begitu aku keluar ke balkon, Rui-san sudah lebih dulu di sana. Dia melambaikan tangan sambil menghisap rokok.
"Cepat sekali, ya."
"Memangnya aku punya kegiatan lain?"
Rui-san tertawa kecil, lalu bertanya.
"Bagaimana? Pendapatmu?"
"Menarik….benar-benar menarik. Bisa dibilang salah satu karya terbaik yang pernah aku baca."
Sebenarnya, sebelum membaca naskah itu, aku sempat merasa takut.
Bagaimana kalau naskah yang ditulis Rui-san ternyata membosankan? Bagaimana kalau ternyata orang yang selama ini kukira menarik, ternyata biasa saja? Aku takut tahu kenyataan itu.
Tapi semua kekhawatiran itu tak terbukti.
Alur ceritanya sendiri sederhana.
Namun deskripsinya luar biasa.
Segar, belum ternoda, dan begitu indah.
Dia tidak meminjam kata-kata orang lain, tapi menggunakan kata-katanya sendiri untuk menggambarkan dunia. Aku benar-benar tersentuh. Tak kusangka ada orang yang bisa melihat dunia seperti ini.
"Kalau dipuji langsung begitu, aku jadi malu."
Rui-san menghembuskan asap rokok dan tersenyum canggung. Dia mengetuk abu rokok ke asbak, lalu berkata dengan pelan.
"Sebenarnya, cerpen itu sudah aku serahkan."
"Eh?"
"Dan teman-teman sekelas benar-benar mengkritiknya habis-habisan. Katanya, deskripsinya terlalu dibuat-buat. Alurnya diabaikan."
Jadi, naskah itu sudah diserahkan. Bahkan sudah dikritik dengan keras. Dan naskah seperti itu yang dia tunjukkan padaku.
Rui-san lalu menjelaskan alasannya.
"Sebenarnya aku cukup percaya diri saat menulisnya. Karena itu aku ingin tahu pendapat jujur Yuito-kun setelah semua kritik itu."
Lalu dia menatapku dan bertanya.
"Setelah tahu naskah itu dikritik seperti itu, apa kamu masih merasa cerita ini menarik?"
"Itu cuma karena orang-orang itu nggak tahu cara menilai cerita bagus. Cerita ini menarik. Apa pun kata orang. Aku jamin itu."
Aku bisa mengatakannya tanpa ragu.
Bukan karena yang menulisnya adalah Rui-san. Tapi murni karena aku benar-benar tersedot sebagai pembaca. Ini adalah salah satu yang terbaik yang pernah kubaca.
Karena itulah, aku bisa mengatakannya tanpa takut.
"Aku suka cerita ini. Cerita yang ditulis Rui-san."
"…………"
Rui-san terlihat tertegun. Dia memegang rokok di antara jarinya, matanya sedikit membelalak.
Melihat ekspresinya, aku buru-buru menyadari diri.
"A-ah, maaf. Aku jadi terlalu bersemangat."
"Tidak."
Rui-san menggeleng pelan. Lalu menggigit rokoknya, dan tersenyum dengan tenang.
"Mendengar itu dari Yuito-kun, rasanya jadi percaya diri. Karena aku tahu kamu bukan tipe yang basa-basi."
Dulu Rui-san pernah bilang, dia benci orang yang hanya memberi pujian 100%.
Dan dia tahu aku bukan orang seperti itu. Itulah kenapa, pendapatku mungkin berarti sesuatu baginya.
Tentu saja, aku hanya menyampaikan perasaan jujurku. Tapi kalau itu bisa sedikit membantu dirinya, aku merasa senang.
◆◆◆
[Aku lagi senggang nunggu kuliah berikutnya. Mau main ke kampus nggak?]
Pesan itu dikirimkan Rui-san saat siang di hari biasa.
Biasanya aku masih di sekolah. Tapi sekarang sedang masa ujian akhir. Ujian hanya sampai siang, jadi aku punya waktu luang di sore hari.
Lagipula hari ini aku juga tidak ada jadwal kerja paruh waktu. Maka aku memutuskan untuk menerima ajakannya.
[Oke, aku ke sana sekarang]
[Senangnya. Aku tunggu, ya]
Setelah membalas pesan itu, aku ganti baju dari seragam ke pakaian biasa dan meninggalkan apartemen.
Kampus tempat Rui-san kuliah hanya berjarak sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari apartemen. Tak jauh beda dari jarak ke sekolahku.
Aku sudah sering lewat di depannya, tapi ini pertama kalinya aku masuk ke dalam.
Aku menyusup ke kerumunan mahasiswa dan berjalan menuju gerbang utama.
Di depan gerbang, berdiri seorang satpam. Saat melewatinya, aku merasa tegang. Takut dipanggil. Tubuhku kaku. Aku membayangkan berbagai kemungkinan, dan tanpa sadar langkahku jadi makin cepat.
Tapi kalau jalan cepat, malah mencurigakan. Aku berusaha berjalan seperti biasa. Melewati depan satpam. Tak dipanggil.
Begitu dia tak lagi terlihat di belakangku, aku terus berjalan sambil menahan keinginan untuk menoleh. Baru setelah membelok di tikungan, aku menoleh ke belakang. Tak ada siapa pun. Hanya ada mahasiswa. Akhirnya, aku berhasil masuk tanpa masalah.
Pemandangan di dalam kampus sangat mengesankan.
Bangunan-bangunan megah berdiri berderet, dan semuanya tampak terang dan terbuka.
Ada kafe. Ada teras. Bahkan ada food truck.
Seperti taman hiburan.
Di tengah kemegahan itu, tempat janjian kami—area merokok—sangat kontras.
Terletak di lorong sempit antara gedung dan gedung, tempat itu terasa suram.
Tak terkena cahaya matahari. Gelap. Dipagari dengan partisi. Seolah memang sengaja disembunyikan agar tak terlihat.
Ada beberapa orang duduk di bangku kusam. Mahasiswa, staf, bahkan tukang bangunan.
Tak ada percakapan. Semua sibuk dengan rokok dan ponsel. Punggung mereka membungkuk. Mata mereka kehilangan cahaya. Tempat itu seolah berada di dunia lain, terpisah dari hiruk-pikuk kampus.
Di bangku paling ujung, duduklah Rui-san.
Di antara para perokok elektrik dan rokok pemanas, dia satu-satunya yang menggigit rokok biasa, menatap kosong ke kejauhan.
Duduk menyilangkan kaki di bangku, bersandar dengan dagu di tangan, dia terlihat murung. Matanya begitu dingin, sampai membuat yang melihatnya menggigil.
Dia memancarkan aura yang membuat orang segan mendekat.
Tak ada yang mencoba menyapanya. Mereka hanya mengintip dari jauh. Seolah ada penghalang kuat yang tak bisa ditembus mengelilinginya.
Aku pun tak bisa langsung menyapanya. Karena memang terasa sulit didekati. Tapi bukan cuma karena itu. Aku tak ingin menghancurkan ketenangan sunyi yang sedang ada di depanku.
"…………Ah."
Dia yang lebih dulu menyadari kehadiranku. Begitu wajahnya mencair, ekspresinya langsung menjadi cerah dan dia melambaikan tangan ke arahku.
"Halo. Kamu datang juga, ya."
"Yah, aku lagi nganggur, sih."
"Apa kamu sudah berdiri di sana sejak tadi sampai aku sadar?"
"Entahlah, rasanya... susah buat menyapamu, soalnya Rui-san kelihatan mengusir semua orang dengan auramu yang tajam."
"Begitukah?"
"Rasanya kayak, ‘Mendekat akan ditebas’, gitu."
"Segitu samuraianya aku?"
"Kamu nggak sadar?"
Aku terkekeh kecil, lalu tiba-tiba teringat akan si pemabuk itu.
Rekan kerjaku di minimarket yang kuliah di universitas yang sama dengan Rui-san.
Katanya dia pernah mencoba menyapa Rui-san di area merokok. Keberanian yang luar biasa. Atau mungkin dia sekadar tidak peka sampai-sampai tidak menyadari keberadaan ‘penghalang’ itu. Aku lebih condong ke yang kedua.
"Kalau aku yang mengundangmu, mana mungkin aku menebasmu."
Tatapan dingin yang tadi terlihat di matanya kini sudah lenyap.
"Kamu sudah makan siang?"
"Belum."
Karena sebelum sempat makan, dia lebih dulu mengirim pesan.
"Aku juga belum. Mumpung begini, ayo makan bareng yuk."
"Boleh juga."
Rui-san berdiri dan mematikan rokoknya di asbak. Di dalam asbak yang dipenuhi air itu, puntung-puntung rokok mengambang seperti bangkai.
"Gak apa-apa?"
"Apa?"
"Rokokmu tadi masih lumayan panjang."
"Aku nggak mau bikin Yuito-kun nunggu lama. Dan lagi, aku juga udah lapar."
Kami meninggalkan tempat merokok yang suram itu dan keluar ke jalan utama.
Rui-san membawaku ke sebuah kafe di dalam kampus.
Kafenya memakai nama berbahasa Inggris yang trendi, dan untungnya interiornya memang sesuai dengan kesan yang ditampilkan nama itu. Warnanya kalem tapi terang—jenis ketenangan yang justru membuatku tidak tenang.
"Sepi juga, ya."
Kukira tempat ini bakal padat, tapi nyatanya hanya ada beberapa orang saja.
"Jam makan siang sudah lewat. Sekarang juga masih waktu kuliah. Kalau pas jam istirahat sih, tempat ini luar biasa padat. Aku gak mau ke sini waktu itu."
Tampaknya benar-benar ramai di waktu istirahat.
"Pesen makanannya di sana, ya."
"Ngomong-ngomong, ini gak masalah, ya? Soalnya aku bukan mahasiswa sini."
"Selama kamu nggak bilang siapa dirimu, gak masalah sih. Bahkan kadang-kadang ada kakek tetangga yang mampir buat minum teh."
"Itu cukup... santai, ya."
"Atau bisa dibilang, terlalu longgar juga."
Aku memesan semangkuk loco moco, dan Rui-san memilih french toast. Kami mengambil makanan kami masing-masing di atas nampan lalu berjalan ke tempat duduk yang agak ke dalam.
"Kamu pesan loco moco, ya."
"Soalnya aku belum pernah makan. Di kantin sekolah juga gak ada menu beginian, lagi pula, nama ‘loco moco’ kedengarannya menarik aja."
Mendengarnya, Rui-san tertawa pelan.
"Aku bilang sesuatu yang aneh, ya?"
"Enggak. Aku cuma mikir kamu lucu aja."
Sambil berkata begitu, Rui-san mulai memotong french toast-nya dengan pisau dan garpu. Roti panggangnya terlihat lembut dan disiram banyak madu, juga diberi krim kocok.
Kelihatannya tidak sehat. Cukup melihat saja sudah terasa eneg. Tapi makanan itu seolah merangkum kenikmatan instan sesaat.
Aku menyuap loco moco ke dalam mulut. Di atas nasi putih, ada hamburger dan telur ceplok, disiram saus demi-glace.
Rasanya sesuai penampilannya. Tidak lebih, tidak kurang. Standar. Tapi dengan harga yang terjangkau, menurutku itu sudah sangat layak.
"Ujiannya gimana?"
"Masih ada satu lagi besok. Tapi sejauh ini sih, lumayan lancar."
"Jadi, gak ada nilai merah, kan?"
"Kecuali kalau aku lupa nulis nama."
"Itu kabar baik. Ngomong-ngomong, pelajaran apa yang paling kamu kuasai?"
"Bahasa Jepang. Yang paling lemah itu matematika sama sains."
"Anak sastra banget, ya."
"Kalau kamu gimana, Rui-san?"
"Aku juga jago Bahasa Jepang. Sama Bahasa Inggris juga, yang paling lemah itu sejarah Jepang dan biologi."
"Kamu gak bisa pelajaran hafalan?"
"Sebaliknya, aku lumayan jago."
"Terus, kenapa dua itu?"
"Soalnya ujian dua mata pelajaran itu sering dijadwalkan jam pertama."
"Oh, jadi gak kebangun, ya."
"Makanya aku beberapa kali kena nilai merah."
"Pas bangun dan lihat jam, kamu gak panik?"
"Kalau masih bisa kejar sih, mungkin aku panik. Tapi karena udah telat banget, ya aku mandi dulu terus santai-santai aja berangkatnya."
"Kamu... besar juga nyalimu."
Kalau aku, mungkin bakal panik. Lalu bingung harus ngapain. Meski tahu ujung-ujungnya gak bisa diapa-apakan juga.
Aku gak akan bisa sepasrah Rui-san.
"Pelajaranmu selanjutnya jam berapa?"
"Jam 15:40."
"Berarti masih ada satu jam, ya."
"Mari kita ngobrol sampai saat itu."
Setelah selesai makan, kami mengobrol santai. Obrolan ringan yang tak berarti, yang bisa hilang hanya dengan hembusan angin. Bukan sesuatu yang penting atau produktif. Topik obrolannya pun sama seperti yang biasa kami bicarakan di balkon atau kafe.
Hanya saja, tempatnya berbeda.
Kafe cerah yang dipenuhi cahaya matahari ini menjadi tempat berkumpul mahasiswa-mahasiswa yang terlihat modis. Dan kurasa aku tidak termasuk ke dalam gambar besar itu.
Aku merasa tidak nyaman, dan pasti dari luar pun aku terlihat canggung. Tapi Rui-san berbeda.
Dia cocok di tempat seperti area merokok yang suram, dan juga terlihat wajar di tempat secerah ini. Di manapun dia berada, dirinya tetap utuh.
"Rui-san, waktunya gak apa-apa?"
Setelah kami cukup lama mengobrol, aku menanyakan hal itu. Jam yang tergantung di dinding di belakang bahunya sudah menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh.
"Kalau gak cepat-cepat, kamu bisa telat, lho."
"Oh, udah jam segini, ya."
Rui-san menghidupkan layar ponselnya dan memeriksa jam. Kupikir dia akan berdiri, tapi ternyata tidak.
Dia mematikan layar dan meletakkan ponselnya menghadap ke bawah.
"Eh, kuliahmu..."
"Hari ini aku bolos aja."
"Hah?"
"Soalnya lebih menyenangkan ngobrol sama Yuito-kun daripada ikut kuliah."
Dia menyandarkan dagunya di atas kedua tangan yang bertumpu di meja, tersenyum.
"Kalau bisa memilih, jelas pilih yang menyenangkan, kan? Benar nggak?"
"Tapi... gak apa-apa? Soal SKS dan semacamnya."
"Pasti bisa diatur. Tenang aja."
Dia mengatakannya dengan ringan. Dia menunjukkan keberaniannya dengan cara yang sangat khas.
"Jadi, kamu mau menemaniku sedikit lebih lama?"
"...Yah, ya sudahlah."
Sebenarnya aku berniat pulang dan belajar untuk ujian besok. Tapi, ya sudahlah.
Seperti yang Rui-san bilang. Kalau sama-sama menghabiskan waktu, jelas lebih baik memilih yang menyenangkan.
Layar ponsel menunjukkan waktu lewat sedikit dari pukul empat sore.
Setelah keluar dari kafe, kami berjalan mengelilingi kampus. Mungkin karena jam kuliah kelima sudah dimulai, suasana kampus jadi tenang dan sepi.
"Sekalian saja, bagaimana kalau aku ajak kamu keliling kampus? Hitung-hitung semacam kunjungan lapangan juga."
Aku mengikuti Rui-san yang memanduku melihat-lihat isi kampus. Toko perlengkapan, perpustakaan, area merokok, kafe. Fasilitasnya lengkap. Rasanya benar-benar dunia yang berbeda dibandingkan dengan SMA.
"Tempat ini biasanya dipakai buat kegiatan klub atau komunitas kampus."
Di depan sebuah gedung di ujung area kampus, Rui-san menjelaskan.
"Ngomong-ngomong, Rui-san ikut klub atau komunitas apa?"
"Kamu penasaran, ya?"
"Kalau dibilang nggak penasaran, itu bohong."
"Dulu aku sempat muncul sebentar di klub studi film."
"Kamu pakai kata ‘dulu’, berarti sekarang udah nggak ikut?"
"Begitulah. Bukan karena ada masalah sih. Tapi aku merasa nggak ada alasan lagi buat terus datang. Suatu hari, aku menyadari sesuatu."
"Menyadari apa?"
"Kalau ternyata nggak ada orang di sana yang benar-benar suka film."
Tatapan Rui-san terlihat dingin saat berkata begitu.
Kalau mereka sampai membentuk klub studi film, pastinya setiap anggotanya menyukai film, kan? Kalau ditanya, sepuluh dari sepuluh orang pasti bilang mereka suka film.
Tapi tampaknya, tidak demikian di mata Rui-san.
Mungkin dari jumlah film yang ditonton, atau dari pengetahuan yang mereka punya—aku tidak tahu. Yang pasti, itu jadi alasan mengapa Rui-san menjauh.
Setelah kami selesai mengelilingi area kampus, kami masuk ke gedung Fakultas Sastra. Kami membuka pintu ruang kelas kosong yang tidak sedang digunakan.
Di dalam ruangan yang sepi itu agak redup, dan udara terasa sedikit dingin.
Rui-san menyalakan lampu dengan menekan saklar di dekat pintu.
"Ini tempat kuliah fakultas sastra. Luas, kan?"
Kursi-kursi di dalam ruangan tersusun menyerupai bentuk mangkuk besar.
Ruang kuliah yang sangat ‘kampus’ sekali.
"Jadi Rui-san biasanya kuliah di sini?"
"Tidak selalu di sini sih, tapi biasanya iya. Oh ya, tidak seperti di SMA, di sini tempat duduknya bebas."
"Wah, asik juga."
"Baiklah, sekarang aku punya pertanyaan. Menurutmu, aku biasanya duduk di bagian mana?"
Rui-san menaruh jari telunjuk di dekat bibirnya.
"Tempat duduk bebas, kan?"
"Sebagian besar mahasiswa biasanya tetap duduk di posisi yang sama setiap kali kuliah. Aku juga. Nah, menurutmu aku duduk di depan? Tengah? Atau belakang?"
"...Mungkin baris kedua dari belakang?"
"Kenapa kamu pikir begitu?"
"Orang yang bolos kuliah seperti kamu pasti nggak duduk di depan. Tapi di baris paling belakang juga kayaknya nggak nyaman. Jadi pilih aman: baris kedua dari belakang."
"Dan kamu juga mikirnya gampang kabur dari kelas ya."
"Yap."
"Fufu. Sayang sekali. Salah. Yang benar itu... aku duduk di depan."
"...Itu di luar dugaanku."
Kupikir justru bagian depan yang paling tidak mungkin. Tapi kalau dipikir-pikir, ini kan kuliah. Kita bisa memilih kelas yang memang kita minati.
"Emang kuliahnya semenarik itu?"
"Enggak juga……tapi kalau duduk di belakang, seringnya terdengar bisik-bisik orang."
"Bisik-bisik?"
"Bukan yang berisik sih. Kalau duduknya cukup jauh, nggak akan kedengaran. Dosennya juga biasanya nggak negur. Tapi ya, kalau duduk di belakang, suara-suara itu pasti terdengar. Mau nggak mau aku jadi tahu mereka lagi ngomongin apa.
Daripada harus memilih antara kuliah yang membosankan dan bisik-bisik yang lebih membosankan, aku memilih fokus di depan saja."
"Jadi bahkan di fakultas sastra pun masih ada juga, ya, orang begitu. Meskipun udah belajar dan berhasil masuk universitas bagus. Tetap saja, orang-orang seperti itu tetap ada."
"Ada di mana-mana, kok. Bahkan kalau kamu masuk Universitas Tokyo. Bahkan setelah lulus dan kerja di perusahaan besar. Kepintaran nggak ada hubungannya dengan sifat kayak gitu."
Ucapan itu membuatku teringat. Tentang si pemabuk itu. Dan orang-orang sejenis yang pernah kutemui sebelumnya.
Setelah beberapa saat di dalam ruangan, kami mematikan lampu dan keluar dari kelas kosong itu.
Kulihat layar ponsel. Waktu sudah hampir menunjukkan jam akhir kuliah. Sebelum kampus kembali ramai, kami mulai berjalan hendak pergi.
"Eh, bukannya itu Rui-san?"
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang menyapa dengan santai.
Aku tidak mengenali pakaiannya, tapi aku kenal wajah itu.
Si pemabuk itu.
Oh iya, aku baru sadar. Ini kampus tempat Fakultas Ekonomi berada. Tadi aku memilih jalan pintas ke arah apartemen, dan malah kena sial.
"Nggak nyangka ketemu di kampus, ya. Kukira kamu itu peri yang tinggal di area merokok, soalnya selalu nongkrong di situ."
"Eh, umm..."
"Wah, jangan-jangan kamu lupa namaku? Jahat banget, lho. Aku ini Sakurada. Gimana bisa kamu lupa cowok paling tampan sejagat ini?"
Setelah tertawa santai, akhirnya dia menyadari keberadaanku. Dan begitu sadar, ekspresinya langsung seperti burung merpati yang kena ketapel.
"Eh? Seriusan? Kenapa kamu bareng sama Enocchi?"
"Dia tetanggaku. Di apartemen."
"Ohh, jadi Enocchi tinggal sendirian, ya?"
"...Iya."
"Hmm~ jangan-jangan, kamu pindah ke sebelahnya Rui-san karena tahu alamatnya duluan, ya? Kamu tahu gak, stalking itu tindakan kriminal, lho?"
"Gak, aku gak ngelakuin itu."
"Woy, bercanda, bro. Santai aja, ini cuma gaya ngomong. Kalau kamu seriusin, aku malah kayak orang gagal lucu dong."
Setelah berkata begitu, si pemabuk mendekat ke arahku dan menepuk punggungku. Lalu ia berbalik menghadap ke Rui-san dengan senyum di wajahnya dan melanjutkan.
"Maaf ya, Rui-san. Cowok ini ngebosenin banget."
"Tidak juga."
"Dia tuh, waktu kerja juga sering bikin kesalahan. Aku yang selalu nutupin. Waktu itu malah dia bikin masalah gede banget──"
Si pemabuk mulai menceritakan kesalahan-kesalahanku saat kerja sambilan. Tentang betapa tidak mampunya aku bekerja. Dan betapa dia, katanya, selalu menutupinya.
Yang terakhir itu bohong. Tapi yang pertama bukan.
Memang benar aku bukan pekerja yang handal. Aku sering bikin kesalahan dan bikin kesal pelanggan maupun rekan kerja.
Justru karena itu aku nggak mau Rui-san tahu. Di depan orang ini saja, aku ingin menyembunyikan sisi menyedihkan dari diriku.
Berhenti. Tolong, jangan bicara lagi.
Aku hanya bisa berdiri diam mendengarkan ketika si pemabuk terus bercerita sambil tertawa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti mengikis diriku sedikit demi sedikit.
Aku tidak berani menatap wajah Rui-san.
"Ngomong-ngomong, musim panas nanti ada program magang, kan? Rui-san sekarang tahun ketiga ya? Udah tahu mau ke mana?"
Akhirnya, setelah puas dengan dirinya sendiri, si pemabuk mengganti topik.
"Belum. Saat ini sih masih belum."
"Serius? Aku sih masih tahun kedua, tapi udah daftar magang, lho. Namanya──" katanya sambil menyebutkan nama perusahaan top di industrinya.
Aku bukan ahli dalam hal itu. Tapi dia sendiri yang menyebutnya sebagai perusahaan papan atas.
"Di sana ada senior dari komunitasku. Jadi aku bisa masuk lewat kenalan. Aku ini kan orangnya punya banyak koneksi."
Lalu dia mulai mengoceh lagi, tanpa henti.
Dengan berbagai cara, kalimat berbelit-belit, dan gaya bicara percaya diri, ujung-ujungnya yang ingin dia sampaikan cuma satu: betapa hebat dan suksesnya dia.
Dan memang, si pemabuk itu orang yang pintar.
Di tempat kerja, dia dipercaya manajer. Untuk magang, dia dapat tempat di perusahaan top. Meski tiap hari dia hura-hura, dia tetap tak pernah gagal dalam perkuliahan.
Mungkin nanti, dia juga akan menjalani pencarian kerja dengan lancar. Bukan cuma itu. Mungkin seluruh hidupnya pun akan berjalan mulus.
Sifat dasarnya, kemampuan bawaannya—semuanya cocok untuk hidup di dunia ini. Dia punya potensi untuk meraih posisi atas di masyarakat. Setidaknya jauh lebih punya potensi dibanding aku.
Begitu topiknya berubah, aku baru bisa melirik ke arah Rui-san.
Tatapan mata Rui-san sama seperti saat di area merokok. Kosong, dingin. Sekilas tampak biasa saja, tapi aku bisa melihatnya. Ia sedang menjaga ekspresi, tapi sorot matanya tak bisa berbohong.
Si pemabuk itu tidak menyadari hal itu. Ia terus saja bicara.
Tiba-tiba aku teringat.
Waktu kulihat mata Rui-san yang dingin saat di tempat merokok, aku pikir itu pemandangan langka. Tatapan yang tidak biasa. Tapi mungkin aku keliru.
Mata seperti itu justru adalah mata aslinya.
Rui-san memang selalu menatap dunia dengan cara seperti itu. Menjalani hari-hari dengan rasa bosan dan kekecewaan.
"Anu…..boleh aku pergi sekarang?"
Akhirnya, seolah sudah muak, Rui-san membuka mulut.
"Wah, maaf ya, jadi kepanjangan. Oh iya, akhir pekan ini ada pesta, lho. Kalau kamu mau, datang aja. Senior yang tadi kusebut juga akan datang. Aku kenalin deh. Aku yakin kamu bakal disukai, Rui-san."
"Tidak, terima kasih. Aku pass."
Rui-san menolak ajakan itu, lalu menoleh ke arahku.
"Yuk, pulang, Yuito-kun."
Ia pun mulai melangkah, meninggalkan si pemabuk sendirian.
Aku pun segera mengikutinya.
Tapi saat itu juga—Rui-san yang sudah mulai melangkah tiba-tiba berhenti, seolah baru teringat sesuatu.
Ia berbalik.
"Sakurada-san, ya?"
"Y-ya!"
"Aku rasa kamu salah paham soal satu hal, jadi biar aku luruskan."
Rui-san menatapnya sambil tersenyum. Senyum lembut seperti angin malam, tapi dingin dan tajam seperti bulan sabit.
Dengan ekspresi seperti itu, dia berkata pada si pemabuk:
"Yuito-kun itu orang yang menarik, lho. Setidaknya, jauh lebih menarik daripada kamu."
"Eh..."
"Kalau begitu, sampai jumpa."
Meninggalkan si pemabuk yang terdiam dengan wajah terpukul, Rui-san benar-benar berbalik dan berjalan pergi.
Si pemabuk tidak mengejar.
Setelah melewati gerbang, kami meninggalkan area kampus.
Sambil berjalan, aku mencoba berkata sesuatu demi mengganti suasana. Tapi akhirnya tak mampu.
Begitu aku mengucapkan satu kata pun, kurasa semuanya akan runtuh.
Aku tak sanggup menahan semuanya—
Dihina di depan Rui-san.
Dilindungi olehnya.
Semua itu terasa menyakitkan.
Mungkin karena menyadari isi hatiku—
"Cerita kegagalanmu tadi lucu, lho, Yuito-kun."
Setelah keheningan panjang, tiba-tiba sebuah kalimat meluncur begitu saja. Itu suara Rui-san.
"……Sejujurnya, aku nggak mau kamu tahu."
"Tapi waktu aku dilayani kamu di tempat kerja, kamu terlihat biasa-biasa saja, kan?"
"Soalnya kamu cuma beli satu bungkus rokok setiap kali."
Itu jelas bukan situasi yang memungkinkan untuk melakukan kesalahan.
"Buatku sih, aku merasa lega."
"Lega?"
"Soalnya aku jadi tahu, kalau di sekolah maupun tempat kerja, Yuito-kun itu orang yang terasing."
"Bukannya aku sengaja jadi begitu, lho."
"Begitu ya?"
"Aku sebenarnya berusaha untuk menyesuaikan diri. Aku menyapa orang, dan kalau diajak bicara, aku jawab. Awalnya sih biasanya berjalan cukup baik. Tapi makin lama, mulai kelihatan aslinya. Di tempat kerja pun aku gak becus, dan tahu-tahu aku udah terasing dari kelompok."
Selama ini selalu begitu.
Waktu SD, SMP, bahkan sekarang di SMA pun sama. Juga di tempat kerja. Awalnya berjalan baik, tapi lama-lama aku selalu jadi sesuatu yang dihindari orang.
Meski mencoba berpura-pura, kalau cukup waktu berlalu, pasti ketahuan juga.
"Orang-orang di dunia ini pandai menyesuaikan warna diri mereka dengan sekitar. Seperti bunglon. Aku juga berusaha melakukan hal yang sama, tapi tetap nggak bisa. Warnaku selalu berbeda. Tapi itu bukan warna yang indah. Pasti warnaku itu… menyeramkan."
Makanya, orang lain bisa mengenalinya. Mereka tahu dan mulai menjauh. Menganggapku bukan bagian dari mereka. Seolah-olah aku bukan dari spesies yang sama.
"Yuito-kun ingin punya warna yang sama seperti orang lain?"
"Dulu sih begitu. Tapi sekarang… aku udah nggak lagi. Aku rasa aku nggak akan bisa jadi seperti mereka, dan sekalipun bisa, aku cuma bakal merasa lelah."
"Fufu. Jujur juga, ya."
"……Menurutmu, itu buruk?"
"Hmm, siapa tahu, ya?"
Lalu, Rui-san melanjutkan,
"Tapi, kalau kamu punya warna yang menyeramkan, itu justru membantu buatku. Karena aku bisa langsung mengenalimu dari kerumunan."
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
Post a Comment