Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Bab 1: Perintah Resmi Gencatan Senjata
Bagian 1
Pesta tanpa seorang pun untuk diajak bicara adalah sesuatu yang sangat membosankan.
Sudah kira-kira sebulan berlalu sejak pemberontakan Duke Kruger. Karena insiden itu melibatkan banyak bangsawan, butuh waktu lama untuk menyelesaikan urusan di wilayah selatan.
Setelah Leo dan Fine berhasil kembali ke ibu kota Kekaisaran tanpa cedera, dan urusan pasca-konflik sebagian besar telah terselesaikan, Ayahanda mengadakan sebuah pesta di istana untuk merayakan selesainya kekacauan di Selatan. Semua orang yang berjasa telah diundang, namun tak ada seorang pun yang kukenal berada di sisiku. Mereka semua dikelilingi oleh orang-orang.
Aku bersandar di dinding, hanya menunggu Ayahanda pergi lebih dulu. Karena selama Ayahanda belum meninggalkan ruangan, aku pun tidak bisa meninggalkannya.
Saat aku sedang memikirkan hal itu, Ayahanda tiba-tiba berdiri sambil membawa gelas.
“Aku berterima kasih kepada kalian yang telah berkumpul malam ini. Para pahlawan yang telah menyelesaikan kekacauan di Selatan akan mendapatkan penghargaan yang layak di kemudian hari, namun malam ini, izinkan aku menggantinya dengan persembahan gelas ini.”
Setelah berkata demikian, Ayahanda menyuruh semua peserta pesta mengangkat gelas. Lalu dia mulai berbicara.
“Semua orang sempat bersiap untuk menghadapi perang besar-besaran melawan Selatan. Di tengah ketegangan itu, dengan keberanian luar biasa, dia maju menyebut dirinya sebagai utusan Kekaisaran, Putri Camar Biru kita, Blau Meve! Fine von Kleinert. Gelas pertama, aku persembahkan untuknya! Mari bersulang!”
“Bersulang untuk Putri Camar Biru!”
“Bersulang untuk Nona Fine!”
Seluruh hadirin di aula pesta mengangkat gelas mereka.
Nama Fine dan teriakan “bersulang” terus bergema di seluruh ruangan.
“Yang berikutnya layak kita persembahkan adalah para prajurit penuh kebanggaan. Serangan mendadak oleh pasukan kecil. Misi yang sangat berbahaya. Tak ada yang bisa melaksanakannya selain mereka! Pasukan elit kebanggaan militer kekaisaran kita! Mari kita persembahkan untuk Narberitter. Bersulang!”
“Untuk para Kesatria Luka!”
“Bersulang untuk Narberitter!”
Reputasi Narberitter benar-benar berubah karena peristiwa ini. Semua orang kembali menyadari bahwa mereka adalah kesatria sejati, meski status mereka adalah prajurit. Satu-satunya ordo kesatria dalam militer kekaisaran. Mulai sekarang, mereka akan dihormati lebih dari sebelumnya.
Dan yang terakhir pasti adalah Leo. Setelah itu, Ayahanda seharusnya meninggalkan ruangan.
Begitulah pikiranku yang melayang-layang. Namun, sesuatu yang sedikit di luar dugaan terjadi.
“Dan terakhir, aku persembahkan kepada putra-putraku! Serangan mendadak oleh pasukan kecil! Rencana itu diajukannya sendiri dan dilaksanakan dengan sempurna oleh Leonard! Di akhir, dia menyelamatkan para bangsawan selatan dengan sihir besar! Tidak ada kata lain selain luar biasa!”
“Benar-benar luar biasa! Pangeran Leonard membuat kami terus-menerus terkesan!”
“Kalau begini, bisa jadi Pangeran Leonard adalah yang paling dekat dengan posisi putra mahkota!”
Semua orang mulai berbicara dengan riang. Namun, pembicaraan Ayahanda belum selesai.
Ternyata masih ada kelanjutannya.
“Dan, putraku yang satu lagi, yang telah mendukung Leonard. Arnold, yang berhasil meyakinkan Narberitter yang sulit diajak kerja sama, dan membuat mereka bersedia ikut serta. Dia juga layak mendapatkan gelas bersulang ini.”
“Eh...?”
Aku sama sekali tak menyangka namaku akan disebut, dan suara bodoh pun keluar dari mulutku.
Namun beliau menatap lurus padaku. Sorot matanya bukan sorot mata seseorang yang sedang bercanda.
“T-Tunggu, Ayahanda? Aku tidak pantas...”
“Bahkan kalau kuberikan hadiah, kamu pasti tak akan mau menerimanya. Maka, terimalah setidaknya bersulang ini. Narberitter datang menemuiku. Ketika aku memuji mereka, mereka semua menjawab serempak. ‘Kami bertarung demi Pangeran Arnold,’ begitu kata mereka. Bisa membuat mereka berkata seperti itu sungguh luar biasa. Perhatianmu terhadap adikmu telah mengeluarkan seluruh kekuatan mereka. Itu adalah pencapaian yang tak kalah dari Leonard.”
Setelah mengatakan itu, beliau mengangkat gelasnya lebih tinggi dari sebelumnya.
Lalu dengan suara yang menggema di seluruh aula pesta, beliau menyatakan, “Mari kita bersulang! Untuk para pangeran kekaisaran kita! Kalian telah melakukan hal hebat! Putra-putraku! Aku sangat bangga! Sampaikan ke seluruh penjuru negeri! Apa pun kata orang, pencapaian terbesar dalam peristiwa ini adalah milik dua orang ini! Bersulang untuk Pangeran Kembar Hitam kebanggaan kekaisaran kita!!”
Setelah Ayahanda, semua orang pun mengangkat suara mereka dan meneriakkan “Untuk Pangeran Kembar Hitam!”
Setelah itu, nama aku dan Leo pun diteriakkan silih berganti.
“Untuk Pangeran Leonard!”
“Untuk Pangeran Arnold!”
“Untuk Pangeran Kembar Hitam kekaisaran!”
“Bersulang!”
“Hidup Kekaisaran!!”
Tidak, tolong hentikan. Pesta tanpa seseorang untuk diajak bicara memang membosankan, tapi pesta di mana aku menjadi pusat perhatian justru sangat membuatku tak nyaman. Para putri bangsawan yang sebelumnya tampak tak tertarik padaku kini mulai mendekat. Bangsawan pria yang bahkan namanya tak kuketahui mulai berbicara denganku seperti teman lama.
Saat aku bergerak menjauh, seolah melarikan diri, aku berpapasan dengan Leo yang tampak sedang beristirahat.
“Hai, Kakak. Kerja bagus.”
“Ya, kamu juga. Maaf, tapi aku minta maaf sebelumnya.”
“Eh?”
Setelah berkata begitu, aku mengacak-acak rambut Leo yang ditata rapi, lalu menjadikannya umpan dan dengan cepat meninggalkan ruang pesta.
Aku tak sanggup berlama-lama di sana.
“Hei! Kakak! Eh! Bukan, aku ini bukan Kakak! Aku Leonard!”
“Maaf, Leo! Maafkan aku! Ada beberapa situasi yang bahkan aku tak bisa selesaikan!”
Dengan mengatakan itu pelan, aku menyerahkan segalanya pada adikku dan meninggalkan tempat itu.
Bagian 2
Setelah pertempuran melawan Duke Kruger, pasukan dan para pejabat yang diutus oleh Ayahanda telah memasuki wilayah selatan, dan perlahan tapi pasti keadaan mulai kembali stabil.
Dan justru karena ketenangan itu telah kembali, masalah baru pun muncul ke permukaan.
Gerbang utama ibu kota Kekaisaran. Yang melintasinya adalah sekelompok orang berpakaian abu-abu yang menunggang kuda. Aku mendekat dengan wujudku sebagai Grau.
“Teruskan saja berjalan.”
“Ya... Sudah lama tidak berjumpa, Grau.”
“Ya, Alois.”
Kelompok berpakaian abu-abu itu adalah Alois dan rombongannya. Ibunya, yang sebelumnya dijadikan sandera, telah dikembalikan ke wilayahnya, dan sekarang dia datang untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Ayahanda. Penampilannya yang menyamar seperti ini bertujuan untuk menjaga keselamatannya.
Alois telah menggagalkan rencana Gordon dan Kruger, dua kekuatan besar. Selain itu, dia juga dikenal sebagai penguasa muda yang berhasil mengusir sepuluh ribu tentara kekaisaran hanya dengan seribu pasukan. Dia menjadi sorotan, dan karena itu, ada banyak alasan bagi orang lain untuk mengincarnya.
“Bagaimana keadaan ibumu?”
“Baik, syukurlah, berkat bantuan kalian.”
“Aku tidak melakukan apa-apa. Yang menyelamatkan ibumu adalah Pangeran Leonard dan yang lainnya.”
“Aku bisa bertemu dengan ibuku dengan selamat karenamu, Grau.”
Alois tersenyum hangat di balik tudung kepalanya saat mengucapkan itu. Aku membalasnya dengan senyum getir, lalu masuk ke topik utama. Meski begitu, ini adalah urusan yang bisa diselesaikan dengan cepat.
“Alois, posisi dan keadaanmu saat ini sangatlah rumit. Kamu tidak akan dijatuhi hukuman, tapi bisa saja dimanfaatkan secara politis.”
“Ya... Tapi aku sudah siap. Wilayahku dan Selatan berhasil kulindungi. Jika aku menginginkan lebih dari itu, mungkin aku akan mendapatkan kutukan.”
Tatapan mata Alois saat mengatakan itu dipenuhi dengan tekad. Sepertinya dia telah menetapkan tekadnya sebelum datang ke sini. Meski aku mengatakan dia tidak akan dihukum, tak ada jaminan pasti. Bisa saja dia dijatuhi hukuman mati. Bila dia sudah siap untuk itu, maka apa pun yang terjadi nanti takkan menggoyahkannya.
Luar biasa. Di usianya yang masih belia, dia telah memiliki keberanian seperti itu. Saat aku seusianya, apakah aku bisa siap untuk mati? Tidak, bahkan sekarang pun belum tentu aku siap. Dalam hal ini, Alois jauh lebih unggul dariku. Dan karena itulah, dia layak untuk diselamatkan.
“Untukmu yang seperti itu, aku sudah menyiapkan sebuah hadiah.”
“Hadiah?”
“Semuanya tergantung padamu. Jika kamu menjadi dirimu sendiri, aku yakin semuanya akan berjalan ke arah yang baik.”
“Aku mengerti... Kalau begitu, aku akan mengikuti kata hatiku.”
“Lakukanlah.”
Setelah menyampaikan itu, aku meninggalkan tempat tersebut.
Sudah banyak mata yang mengawasi Alois dari kejauhan. Ada kesatria yang ditugaskan sebagai pengawal, dan ada juga para pembunuh yang menunggu celah untuk menyerang. Sebagian dari mereka mulai membuntutiku, tapi aku segera masuk ke gang sempit dan berpindah tempat dengan sihir teleportasi.
Tempat yang kutuju adalah sebuah kamar penginapan yang menghadap ke jalan utama. Di sana, Sebas sudah menunggu.
“Selamat datang kembali.”
“Ya. Bagaimana? Apa targetnya?”
“Sesuai dengan yang direncanakan.”
Sambil berkata begitu, aku menatap ke luar jendela. Di jalan utama, banyak kereta dan kuda berlalu-lalang. Di pinggir jalan, ada sebuah kereta yang tampak sederhana namun kokoh.
“Seperti biasa, Kanselir memang tidak suka menonjolkan diri.”
“Itulah sifat beliau, tampaknya.”
Orang yang berada di dalam kereta itu adalah Kanselir Franz. Dia dikenal sebagai seseorang yang sangat menyayangi istrinya. Saat dia sibuk bekerja, dia selalu menebusnya dengan memberikan hadiah. Saat ini, dia sedang menyuruh pengawalnya untuk membeli hadiah itu. Jika dia pergi sendiri, itu akan terlalu menarik perhatian.
Sambil meminta maaf dalam hati pada Franz, aku menjentikkan jari ringan. Akibatnya, kuda yang menarik kereta Franz mulai mengamuk.
Tali kekangnya pun terlepas, dan kereta itu pun melaju tak terkendali.
“Maafkan aku, Kanselir...”
“Tidak ada pilihan lain. Ini cara terbaik untuk membuat Kanselir berpihak pada Tuan Alois.”
“Aku tahu, tetap saja, aku merasa bersalah. Meskipun aku sendiri yang melakukannya.”
Terjebak dalam kereta yang lepas kendali, itu pasti membuat jantung serasa melompat. Yah, ini adalah insiden yang disengaja, dan arah lari kuda telah diatur dengan penghalang sihir agar tak membahayakan sekitar. Tak akan ada korban dalam kejadian ini. Meski mungkin Franz akan jadi trauma naik kereta setelah ini, seharusnya dia akan baik-baik saja.
Kereta yang lepas kendali itu semakin cepat melaju. Kudanya dalam kondisi panik, dan tak ada pengawal yang bisa mengendalikannya. Franz pun tidak punya cara untuk menghentikannya.
Kalaupun terjadi sesuatu, bisa dicegah dengan sihir, tapi tampaknya itu tidak perlu dilakukan.
“Dia luar biasa untuk seusianya.”
Sebas menyampaikan pujian. Pandangannya tertuju pada Alois yang sedang menunggang kuda sejajar dengan kereta Franz.
“Menurutmu, bagaimana dia akan menolong?”
“Yang paling pasti adalah menyelamatkan Kanselir saja. Jika dia bekerja sama dengan para kesatria yang mengejarnya, itu tidak akan sulit. Tapi...”
“Kuda yang lepas kendali bisa saja melukai orang di sekitar.”
“Ya. Yang terbaik adalah menenangkan kudanya. Tapi mendekati kuda yang sedang panik dengan kuda lain itu berbahaya. Dalam kondisi terburuk, kudanya sendiri juga bisa ikut panik dan menjatuhkannya.”
“Itu memang berisiko... Tapi dia adalah orang yang pernah mengangkat pedangnya melawan sepuluh ribu pasukan kekaisaran. Keputusan sebesar itu bukanlah hal yang sulit baginya.”
Memang benar ada bantuan dari Silver saat itu. Dia pasti terdorong oleh hal itu juga. Tapi tetap saja, Alois memilih untuk mengangkat pedangnya melawan kekuatan sepuluh kali lipat darinya. Dia tidak melarikan diri, tapi memilih untuk melindungi wilayah dan rakyatnya sebagai seorang penguasa. Dan sebagai bangsawan kekaisaran, dia memilih untuk melindungi seluruh rakyat.
Seorang anak berusia dua belas tahun berani membuat keputusan seperti itu.
“Kalau Leo menjadi Kaisar suatu hari nanti, dia pasti akan menjadi menteri yang baik.”
“Kekaisaran ini sangat luas. Seorang kaisar tak bisa mengelolanya sendirian. Bangsawan yang bisa dipercaya akan sangat dibutuhkan.”
Aku mengangguk setuju. Wilayah selatan telah kehilangan salah satu bangsawan besarnya. Wilayahnya pasti akan dibagi ulang. Namun, tidak bisa disangkal bahwa Selatan kini kehilangan sosok sentral.
Tapi Alois adalah sosok yang pantas menjadi pusat Selatan. Dia telah membuktikan kemampuannya. Meskipun masih banyak yang harus dipelajari, dia adalah sosok yang menjanjikan di masa depan.
Kalau dilihat, tampaknya Alois memilih untuk menenangkan kudanya. Sambil menunggangi kudanya dengan kecepatan tinggi, dia mencoba menenangkan kuda penarik kereta Franz.
Beberapa saat kemudian, kuda-kuda itu mulai melambat. Hewan sangat peka terhadap rasa takut. Jika mereka bisa tenang, berarti Alois pun telah tenang.
“Dengan ini, Alois akan baik-baik saja. Kanselir memang bukan orang yang mudah terbawa emosi, tapi dia punya pandangan jauh ke depan. Jika dia yakin Alois punya masa depan cerah, dia pasti akan menghentikan Ayahanda jika Ayahanda berniat menghukumnya.”
“Aku rasa Yang Mulia Kaisar pun tak akan menjatuhkan hukuman padanya.”
“Itu juga benar. Dalam situasi seperti ini, kalau Alois dihukum, wilayah selatan akan kembali kacau. Tapi sejujurnya, ada alasan lain kenapa aku ingin membuat Alois bertemu dengan Kanselir.”
“Alasan seperti apa?”
“Kalau Kanselir melihat potensi masa depan dalam diri Alois, dia pasti akan ingin membawanya ke istana, dekat dengan Kaisar. Kalau begitu, Alois bisa belajar banyak dan juga akan punya kesempatan untuk lebih dekat dengan Leo. Semuanya saling menguntungkan.”
“Jika Alois terlihat disukai oleh Kaisar, para bangsawan lain pun akan mulai mendekatinya. Akan ada keuntungan politik juga.”
“Memikirkan hal seperti itu, kepribadianmu memang buruk, ya?”
“Kalau tidak punya kepribadian buruk, mana bisa menjadi kepala pelayan. Lagipula, kalau Anda sendiri tak bisa memikirkan rencana sekecil itu, saya harus mulai lebih sering menegur Anda.”
“...”
Aku menatap Sebas tajam tanpa berkata apa pun. Tapi dia sama sekali tak terlihat terpengaruh.
Benar-benar, dia tak tahu bagaimana caranya menghormati tuannya.
“Aku bisa punya pikiran licik seperti itu karena pengaruhmu. Pasti itu sebabnya.”
“Sungguh suatu kehormatan bagi saya.”
Aku kembali menatap Sebas dengan kesal, tapi tak ada gunanya. Melawan Sebas hanya buang-buang tenaga.
“Ayo pergi. Urusannya sudah selesai. Karena Ayahanda, aku jadi pusat perhatian dan susah bergerak belakangan ini.”
“Julukan Pangeran Kembar Hitam memang sangat efektif. Sekadar mengucapkannya saja sudah meningkatkan reputasimu. Yang Mulia Kaisar benar-benar telah membuat langkah yang brilian.”
“Itu cuma merepotkanku.”
Sambil terus berbincang seperti itu, kami meninggalkan penginapan. Kedatangan Alois adalah bukti bahwa wilayah selatan telah tenang. Selama wilayah selatan belum tenang, kami sibuk menyelesaikan berbagai urusan. Tapi setelah ini, kesibukan kami akan kembali datang dengan wajah yang berbeda.
Bagian 3
Hari setelah Alois datang.
Aku, Leo, dan Eric dipanggil oleh Ayahanda. Tepat saat aku hendak keluar untuk berjalan-jalan, panggilan itu datang dan membuatku menghela napas panjang sambil melangkah di koridor.
Saat itu, seseorang memanggilku.
“Pangeran Arnold.”
“Ada apa, Kanselir?”
Yang menyapaku adalah Franz. Kalau kami bertiga dipanggil, kemungkinan besar Franz juga dipanggil. Karena tujuan kami sama, aku dan Franz pun berjalan berdampingan.
“Anda juga dipanggil oleh Yang Mulia Kaisar, ya?”
“Iya. Padahal aku baru mau pergi bersenang-senang.”
“Itu memang nasib yang kurang baik. Tapi sebaiknya bersenang-senang pun jangan berlebihan. Terutama jika melibatkan orang tua sebagai bagian dari permainan, itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan.”
Sambil mengatakan itu, Franz menatapku dengan sorot mata seolah menegur dengan halus.
Memang sepatutnya dia menjadi Kanselir. Tajam sekali.
“Maksudmu apa? Aku ini justru orang yang menghormati yang lebih tua, tahu?”
“Tak perlu berpura-pura. Jika itu dilakukan oleh Pangeran Eric, rasanya terlalu lemah. Tapi jika oleh Pangeran Leonard, terlalu licik. Anda pasti ingin memanfaatkan kontak antara saya dan Count Zimmer, bukan?”
Sebagai penasihat sejak masa muda Ayahanda, tentu saja dia bisa menebak siapa yang mungkin akan bergerak dalam situasi seperti ini.
Franz adalah seorang Kanselir. Biasanya orang akan berpikir dua kali sebelum mencoba melakukan sesuatu terhadapnya. Dan dari antara semua kandidat takhta, hanya aku yang akan melakukan tindakan separuh hati seperti membuat kerusuhan kecil terhadap kereta milik Franz di ibu kota.
“Lalu, kalaupun aku memang melakukan sesuatu?”
“Hanya memperingatkan Anda. Hal seperti itu sebaiknya Anda hindari untuk saat ini.”
“Untuk saat ini?”
“Benar. Anda sudah bisa menebak, bukan? Bahwa Anda mencoba mendekatkan saya dengan Count Zimmer, lalu menggunakan Count itu untuk menjalin hubungan dengan para bangsawan lain, itulah niat yang terlihat. Tapi saya menyadari maksud itu dan melaporkannya kepada Yang Mulia Kaisar, yang kemudian berdampak pada turunnya penilaian terhadap Anda. Sampai di situ saja, semua itu pasti sudah Anda perhitungkan sejak awal, bukan? Apalagi setelah Anda mulai disebut sebagai salah satu dari Pangeran Kembar Hitam, Anda semakin menonjol.”
“...”
Ada yang mengatakan bahwa prestasi terbesar Kaisar adalah menjadikan Franz sebagai Kanselir. Dan mungkin itu tidak salah. Dia adalah tangan kanan Ayahanda, dan tiang utama yang menopang Kekaisaran. Seorang pria hebat yang menjadi fondasi negara. Tak heran, pemikiran remaja sepertiku bisa dibaca habis olehnya.
“Aku menyerah. Jadi? Apa maksud dari ‘untuk saat ini’ itu?”
Sambil mengangkat kedua tangan seolah menyerah, aku bertanya. Franz tidak terlihat terkejut. Dia tidak sedang mencoba menggertak. Ini adalah nasihat yang diberikan setelah dia benar-benar memahami situasi.
“Itu akan dijelaskan oleh Yang Mulia Kaisar nanti.”
Setelah mengatakannya, Franz menundukkan kepala lalu melangkah lebih dulu. Tapi seolah baru teringat sesuatu, dia menghentikan langkah dan menoleh padaku.
“Ngomong-ngomong... Sesaat setelah masuk ke ibu kota, tampaknya seseorang berkerudung abu-abu mendekati Count Zimmer. Mungkin itu adalah Grau, si penasihat yang membantu Count Zimmer. Tak lama setelah itu, keretaku pun mendadak lepas kendali... Apa itu hanya kebetulan, ya?”
“Itu baru aku dengar.”
Aku berpura-pura terkejut. Harusnya aktingku tak terlihat mencurigakan sedikit pun. Melihat itu, Franz tersenyum ringan.
“Begitu, ya. Mungkin aku hanya terlalu curiga. Meskipun perhatian tertuju pada Count Zimmer yang berhasil mengusir sepuluh ribu pasukan Kekaisaran, katanya Grau justru mampu membaca semua gerakan mereka. Aku sempat berpikir kalau mungkin saja itu dilakukan oleh orang dalam yang sangat paham dengan taktik militer Kekaisaran.”
“Aku tak tahu apa-apa soal taktik militer Kekaisaran.”
“Benar juga. Anda memang dikenal malas belajar. Sepertinya aku cuma terlalu mencurigai sesuatu. Mohon maaf.”
Franz melanjutkan langkahnya seperti biasa. Orang ini benar-benar menakutkan. Kalau penasihat seperti ini berada di pihak Ayahanda sejak beliau masih jadi pangeran, tentu saja Ayahanda bisa keluar sebagai pemenang dalam perebutan takhta.
Dengan hanya sedikit petunjuk, dia langsung mengarah padaku.
“Memang benar terlalu menonjol itu menyusahkan...”
Semakin menonjol, semakin banyak pengawasan. Dan semakin banyak pengawasan, semakin sulit untuk bergerak di balik layar. Aku ingin menjatuhkan sedikit reputasiku agar kembali diremehkan. Tapi Franz sudah memperingatkan agar jangan melakukan itu sekarang.
“Apakah ini akan membawa masalah lagi?”
Dengan firasat buruk mulai menyusup, aku pun melanjutkan langkah menuju tempat Ayahanda menunggu.
* * *
“Sebuah kehormatan untuk bertemu Yang Mulia Kaisar untuk pertama kalinya. Nama saya Alois von Zimmer,” ujar Alois sambil berlutut di hadapan Ayahanda. Mendengar itu, Ayahanda pun membuka suara.
“Terima kasih telah datang, Count Zimmer. Jadi, kamu ke sini untuk memberikan penjelasan, benar begitu?”
“Benar. Keluarga Count Zimmer berkonflik dengan militer kekaisaran karena dipaksa, kami dijadikan sandera. Kami tidak pernah berniat memberontak pada Yang Mulia. Mohon ampun.”
Hal seperti itu tentu Ayahanda sudah memahaminya. Namun, ada nilai tersendiri ketika seseorang datang langsung untuk menyampaikan penjelasan. Terlebih lagi, akan lebih cepat jika mendengar langsung dari yang bersangkutan.
“Aku akan percaya kata-katamu. Namun, aku mendengar bahwa keluarga Count Zimmer yang membunuh komandan pasukan kekaisaran. Bagaimana kamu menjelaskan itu?”
“Saya tidak bisa memberikan alasan yang layak... Perbuatan itu dilakukan oleh paman saya. Jika yang dikatakannya benar, maka dia melakukan penembakan berdasarkan permintaan dari pihak militer.”
Alis Ayahanda sedikit bergerak. Sepertinya laporan tertulis sudah dia terima. Sebelum datang, Alois memang telah mengirimkan penjelasan dalam bentuk dokumen kepada Ayahanda.
Namun mendengarnya langsung tentu berbeda dibandingkan hanya membacanya.
“Dengan kata lain... Ada pihak dalam militer yang berkhianat?”
“Kalau kata-kata paman saya bisa dipercaya... Meski begitu, yang dia katakan terlalu mengada-ada. Saya pikir ada kemungkinan bahwa Duke Kruger ada di balik semua ini.”
Alois sengaja tidak menyebut nama Gordon. Kalau menyebut Gordon di sini, yang akan terjadi hanyalah kemarahan Gordon yang tertuju padanya. Lebih baik menyalahkan Kruger yang sudah tertangkap. Itu lebih aman bagi Alois.
Lagipula, Ayahanda pasti bisa menyimpulkan sendiri. Memang benar, jika Gordon yang melakukannya, sangat mungkin dia menginginkan perang. Perkataan dan tindak-tanduknya selama ini mendukung hal itu. Tentu saja, bisa jadi Kruger memang pelakunya. Tapi bukan berarti Gordon akan langsung dihukum karena dugaan itu.
Namun cukup dengan menanamkan keraguan. Itu sudah cukup. Alois tak punya alasan untuk secara langsung menyerang Gordon dan menciptakan musuh besar. Kalau berbicara soal tanggung jawab, bisa jadi kesalahan justru ditimpakan padanya karena tak mampu menghentikan tindakan pamannya. Maka dari itu, menyamarkan beberapa hal justru lebih menguntungkan bagi semua pihak.
“Mengambil sandera, lalu memaksa seorang Count yang tidak bisa bertindak agar turun tangan. Kruger memang bisa melakukan hal seperti itu. Baiklah. Jika hanya melihat hasil akhirnya, pasukan kekaisaran berhasil ditahan, dan berkat itu serangan mendadak berhasil. Dengan kata lain, kamu bisa dikatakan telah berjasa untuk Kekaisaran. Kerja bagus, Count Zimmer.”
“Terima kasih atas kemurahan hatinya.”
“Mengangkat pedang melawan pasukan kekaisaran juga tidak bisa dihindari. Peristiwa ini akan kami anggap selesai.”
Dalam keadaan saat ini, tak mungkin Ayahanda menghukum Alois. Ayahanda ingin perkara ini dianggap selesai, dan tentu saja Alois juga tidak ingin dikenai hukuman. Yang paling penting, situasi politik sudah cukup rumit. Menyalahkan Kruger adalah jalan yang paling aman.
“Tinggallah di istana untuk sementara waktu. Di sini berkumpul banyak tokoh berbakat dari kekaisaran. Pasti akan banyak yang bisa kamu pelajari.”
“Baik, saya akan menjalankan perintah.”
Setelah itu, Ayahanda mempersilakan Alois untuk pergi. Yang tersisa di ruangan hanyalah Ayahanda, Franz, aku, Leo, dan Eric. Tak diragukan lagi, pembicaraan selanjutnya berkaitan dengan perebutan takhta.
“Kalian tahu mengapa kalian diminta untuk tetap di sini?”
“Apakah ini tentang suksesi takhta?”
“Benar. Perebutan takhta adalah ajang untuk menentukan siapa yang akan memimpin kekaisaran selanjutnya. Kalau memang bisa melahirkan kaisar yang kuat, kerugian kecil pun bisa ditoleransi. Tapi kali ini sudah keterlaluan. Karena persaingan kekuasaan, sampai menyebabkan kerusuhan? Itu tidak bisa diterima!”
Ayahanda menatap tajam ke arah kami dengan wajah serius.
Yah, wajar saja beliau marah. Perebutan takhta seharusnya tidak sampai merugikan kekaisaran. Tapi kali ini sudah melewati batas.
“Kalian boleh bersaing. Tapi jika tidak bisa memikirkan kepentingan negara yang kalian pimpin, maka kalian tidak layak duduk di atas takhta. Camkan baik-baik. Perebutan takhta ini adalah demi kepentingan kekaisaran. Negara adalah yang utama.”
“Saya mengerti.”
“Saya akan mengingatnya.”
Eric dan Leo menundukkan kepala secara serempak. Sementara aku, aku bersikap tak acuh seperti biasanya, karena aku merasa aku bukanlah kandidat pewaris takhta. Tapi kemudian Ayahanda menatapku tajam.
“Arnold... Kamu mengerti?”
“Saya paham. Tapi saya tidak menginginkan takhta. Lagipula, para pihak yang bertindak agresif tidak ada di sini, jadi kenapa harus menyalahkan kami?”
“Apa jaminannya kamu tidak akan menjadi salah satu dari mereka suatu hari nanti?”
“Tak ada jaminan.”
“Begitulah. Kalau sudah paham, jawab dengan jelas.”
“Baik, baik. Saya mengerti.”
Aku menundukkan kepala secara formal, dan Ayahanda menghela napas. Lalu dia bersandar dalam-dalam ke singgasananya, dan melanjutkan.
“Untuk sementara, hentikan dulu perebutan takhta. Ulang tahunku akan segera tiba. Dan itu berarti, perayaan dua puluh lima tahun aku naik takhta juga akan segera tiba. Kalian mengerti betapa bodohnya jika bertengkar pada saat seperti itu, bukan?”
“Tentu saja.”
“Bagus. Akan diadakan perayaan besar untuk memperingatinya. Aku juga akan mengundang para tamu penting dari luar negeri. Kalian, anak-anakku, akan menjadi tuan rumah bagi mereka. Sampai tugas itu selesai, perebutan takhta harus dihentikan. Aku pun takkan memikirkannya. Jika aku melihat ada gelagat lain, kalian tahu akibatnya.”
Eric dan Leo menunduk tanpa sepatah kata pun. Tapi hanya aku yang tidak menunduk. Karena aku menyadari maksud tersembunyi di balik keputusan Ayahanda.
Jadi itulah tujuan dari memberiku gelar menjengkelkan sebagai salah satu dari Pangeran Kembar Hitam. Dengan meningkatkan posisiku, aku bisa dijadikan wajah perjamuan kehormatan. Kalau aku hanya dikenal sebagai pangeran buangan, negara tamu mungkin merasa diremehkan. Tapi jika aku dianggap sejajar dengan Leo, maka tidak akan ada yang memandang rendah.
Saat aku mengerutkan dahi karena menyadari hal itu, Ayahanda tersenyum sinis dan memberi peringatan tambahan.
“Untuk sementara, bersikaplah tenang. Dan jangan kamu jatuhkan reputasimu sendiri. Itu akan dianggap sebagai tindakan yang meremehkan kepentingan negara.”
Pria ini... Benar-benar licik. Tatapannya seakan berkata, “Kena kamu.” Sekarang aku mengerti mengapa Franz juga memperingatkanku sebelumnya. Semua ini sudah terhubung.
Sial. Berarti aku harus menjaga citra sebagai Pangeran Kembar Hitam untuk sementara waktu.
“Jaga martabatmu dalam setiap tindakan. Mengerti, Arnold?”
“...Ya. Saya mengerti.”
Aku menjawab sambil menahan amarah, dan Ayahanda tertawa dengan puas.
Meski perebutan takhta dihentikan untuk sementara, bagiku ini adalah awal dari medan perang yang lain. Selama ini, aku hidup seenaknya dan reputasiku merosot karena memang aku tak melakukan apa pun. Bukan karena niat.
Namun kini itu dilarang. Artinya, aku tidak boleh lagi menjalani hidupku seperti biasanya.
Brengsek. Padahal aku ingin membuat Leo menjadi Kaisar supaya aku tak perlu repot, tapi kenapa jadi begini...?
Dengan rasa lelah luar biasa, aku merasa sedang mengalami keputusasaan terburuk dalam beberapa waktu terakhir.
Dan saat perbincangan hampir selesai, Eric bertanya sesuatu yang tak perlu kepada Ayahanda.
“Yang Mulia, boleh saya bertanya satu hal?”
“Apa itu?”
“Saya mendengar kabar bahwa Putra Mahkota kerajaan telah melamar Zandra. Apa yang akan Anda lakukan?”
“Masalah itu ditangguhkan. Kita akan mengungkap kejahatan Kruger dan menghukumnya lebih dulu. Jika kita langsung mengirim Zandra ke kerajaan, bisa dianggap sebagai cara untuk menyingkirkan masalah. Pihak kerajaan pun setuju dengan itu. Meski begitu, tampaknya sang Putra Mahkota benar-benar ingin menjadikan Zandra sebagai istrinya.”
“...Mungkin ada motif tersembunyi di baliknya.”
“Meski ada, kita tidak punya alasan untuk menolak. Mereka sendiri ingin menerima Zandra, yang selama ini kita sulit tangani. Hubungan dengan kerajaan selama beberapa tahun terakhir agak tegang. Ini adalah kesempatan bagus untuk memperbaikinya.”
“Kalau Yang Mulia menganggap itu baik, saya tak keberatan.”
Dengan itu, Eric menutup pembicaraan.
Aku tak tahu isi hati Ayahanda sebenarnya, tapi dari sudut pandang Kekaisaran, lamaran itu adalah kabar baik.
“Topik ini tidak perlu dibicarakan lebih lanjut. Meski Zandra akan dinikahkan, tetap butuh waktu. Untuk sementara, dia akan tetap menjalani masa tahanan dalam istana.”
Setelah mengatakan itu, Ayahanda berdiri dari singgasana. Itu berarti pertemuan telah usai.
Sungguh. Ini benar-benar jadi masalah besar.
Bagian 4
“Gencatan senjata sementara...?”
“Iya, walaupun belum ditentukan kapan akan dimulai kembali.”
Keesokan harinya, aku menceritakan kejadian kemarin kepada Fine di dalam kamarku.
Sambil menuangkan teh, Fine bertanya dengan ekspresi heran.
“Apakah itu hanya alasan yang dikemukakan secara resmi saja?”
“Tidak, ini benar-benar gencatan senjata. Siapa pun yang bergerak sekarang akan dianggap gugur dari perebutan takhta. Kalau pun ada yang ingin bergerak di balik layar, mereka harus melakukannya dengan sangat cerdik, tapi di sisi Ayahanda ada sang Kanselir. Aku tak yakin ada yang bisa menipunya.”
“Benar juga. Pangeran Eric pun pasti sudah paham soal itu. Sepertinya perebutan takhta akan ditangguhkan untuk sementara waktu.”
“Begitu ya. Itu hal yang sangat bagus!”
Sambil berkata demikian, Fine menyerahkan secangkir teh padaku dengan senyum di wajahnya.
Setelah memberikan secangkir lagi kepada Sebas, dia menerimanya sambil mengucapkan terima kasih, lalu meminumnya dengan anggun.
“Ini teh dari daun baru, ya?”
“Benar. Ini saya dapatkan dari Serikat Dagang Ras Campuran beberapa waktu lalu. Bagaimana rasanya?”
“Tidak ada yang perlu dikritik. Aromanya pun menenangkan hati.”
“Itu dia! Saya harap bisa membuat kita rileks.”
“Pertimbangan yang sangat cermat.”
Dengan mengatakan itu, Sebas memuji Fine tanpa ragu. Merasa agak berlebihan, aku pun ikut meminum tehnya.
Rasanya memang enak. Tapi tidak membuatku merasa rileks. Hanya terasa bahwa aromanya berbeda dari biasanya. Mungkin karena aku tidak benar-benar berniat menikmati aromanya.
“Bagaimana menurut Anda?”
“Enak.”
“Jawaban yang hambar. Lagipula sekarang saatnya gencatan senjata, kenapa tidak melakukan sesuatu yang Anda sukai?”
“Kalau begitu, aku tidur saja.”
“Anda mendapat perintah untuk menjaga martabat, bukan?”
“Aku akan tidur sambil menjaga martabat. Justru kalau aku keluar kamar, martabatku bisa jatuh. Walaupun memang kadang aku sengaja menjatuhkannya, tapi biasanya, hanya dengan bersikap biasa saja reputasiku sudah jatuh. Lebih baik tidak keluar kamar.”
“Itu pemikiran seorang manusia gagal. Kalau Anda terus bersembunyi di dalam kamar, reputasi Anda akan jatuh karena itu juga.”
“Aku tidak peduli. Sebarkan saja rumor bahwa aku sedang mengurus dokumen atau semacamnya.”
“Itu pun ada batasnya. Lagi pula, Yang Mulia Kaisar juga mengawasi. Saya tetap menyarankan agar Anda keluar.”
“Tidak mau.”
Aku memalingkan wajah sambil menyeruput teh.
Melihat sikapku, Sebas menghela napas.
“Begitu ya. Kalau begitu tak ada pilihan. Saya ada urusan, jadi akan pergi sebentar. Mohon izin?”
“Eh? Sebas?”
“Tak masalah. Cepatlah pergi.”
“Baik, kalau begitu, saya mohon bantuan Anda.”
Entah kenapa, Sebas mengucapkan itu seolah-olah sedang menitipkan sesuatu padaku, lalu menghilang dari ruangan.
Karena kepala pelayan cerewet itu pergi, aku menguap besar dan membenamkan wajah ke atas meja. Bahkan pergi ke tempat tidur terasa merepotkan. Aku berniat tidur siang di sini saja, saat tiba-tiba...
“Um, Tuan Al?”
“Ada apa?”
“Saya sebenarnya, saya punya rencana pergi keluar sebentar...”
“Oh, jangan khawatir. Silakan saja.”
“Bukan itu maksud saya... Sebenarnya pengawal saya adalah Sebas, dan...”
“...Apa?”
Tanpa sadar, aku mendongakkan kepala.
Dan aku langsung menyadari arti sebenarnya dari “mohon bantuan Anda” yang tadi dikatakan Sebas.
“Dasar kepala pelayan itu... Dia benar-benar ingin memaksaku keluar.”
“Kalau Tuan Al tidak berkenan, saya bisa meminta orang lain...”
“Aku hanya mempercayakan pengawalanmu kepada orang yang benar-benar bisa kupercaya. Kalau Sebas tidak ada, maka aku sendiri yang akan pergi. Lagipula, Lynfia sedang bersama Leo.”
Aku mencoba mengingat siapa saja yang bisa diminta menjadi pengawal. Tapi semuanya sepertinya sedang sibuk. Hanya aku yang kosong. Sebas pasti sudah memperhitungkan ini sebelum menghilang.
Astaga, dia benar-benar terlalu cakap.
“Jadi... Anda akan ikut dengan saya?”
“Kalau kamu tidak keberatan.”
“Tentu saja tidak! Saya akan segera berganti pakaian!”
Fine pun dengan langkah cepat keluar dari kamar. Tinggal sendiri, aku sempat berpikir untuk berganti pakaian, tapi langsung mengusir pikiran itu.
Bahkan mengganti baju pun terasa merepotkan. Dalam momen seperti ini, aku benar-benar menyadari betapa malasnya diriku.
“Aku ini memang tak berguna ya...”
Sambil menghela napas, aku mengucapkannya. Bahkan setelah menyadari bahwa aku ini orang tak berguna pun, aku tidak merasa malu atau terganggu. Mungkin itu tandanya aku sudah tak bisa diselamatkan.
Yah, meskipun aku seperti ini, aku tetap tidak bisa mengabaikan tugas mengawal Fine. Meski perebutan takhta sedang jeda, bukan berarti semua masalah selesai. Masih banyak urusan lain yang harus dihadapi.
“Hah... Setidaknya untuk hari ini, aku akan berusaha.”
Dengan tekad setipis itu, aku pun bangkit dari tempat duduk.
* * *
“Silakan.”
“Terima kasih banyak, Nona Fine.”
“Tidak, tidak apa-apa. Hati-hati ya, masih panas.”
“Nona Fine, aku juga mau!”
“Ya, aku tahu. Tapi jangan terburu-buru ya.”
Sambil membalas dengan senyum, Fine menuangkan sup panas ke piring dan menyerahkannya pada seorang anak.
Di sisinya, para anggota Serikat Dagang Ras Campuran membagikan roti dan salad. Ini adalah daerah terluar ibu kota kekaisaran.
Hari ini, jadwal Fine adalah mengadakan dapur umum di sini. Awalnya, acara ini berskala kecil dan diadakan oleh Serikat Ras Campuran, namun sejak Fine bergabung, skalanya jadi jauh lebih besar. Karena Fine sendiri yang membagikan makanan langsung, orang-orang yang datang pun meningkat drastis. Yah, mereka yang bukan penduduk daerah terluar akan langsung disingkirkan oleh para beastman penjaga dari serikat tersebut.
“Ini dia.”
Dengan suara seperti kakek tua, aku menurunkan kotak besar berisi roti ke tanah.
Banyaknya orang berarti banyak pula makanan yang dibutuhkan. Bagi serikat dagang biasa, menyediakan makanan sebanyak ini pasti sulit. Tapi Serikat Ras Campuran kini sedang meraup untung besar berkat nama Fine, jadi mereka bisa melakukannya.
Kalau hanya mencari untung, reputasi mereka mungkin akan memburuk. Tapi karena mereka juga mengadakan kegiatan sosial seperti ini, justru citra mereka semakin baik. Mereka dikenal sebagai serikat yang mendukung kegiatan amal Fine, dan reputasi Fine sendiri pun terus meningkat.
“Luar biasa juga.”
Aku menggumam sambil berjalan ke arah kereta yang berhenti tak jauh dari sana untuk mengambil kotak berikutnya.
Masih banyak kotak di dalam kereta. Karena aku sudah keluar dari kamar, aku tak bisa hanya berdiri melamun. Lagipula aku diperintahkan untuk menjaga martabat. Itulah alasan mengapa aku bilang akan membantu dan mulai mengangkut kotak-kotak ini, tapi ternyata pekerjaan ini lebih berat dari yang kukira.
Bagiku yang lemah fisik, membawa satu kotak saja sudah menyiksa. Sementara itu, para anggota serikat membawa dua hingga tiga kotak sekaligus. Menyedihkan, tapi inilah perbedaan antara manusia dan ras campuran. Atau mungkin, hanya perbedaan antara orang sehat dan pria kurus sepertiku.
“Pinggangku sakit...”
“Yang Mulia, bagaimana kalau Anda istirahat saja?”
Seorang beastman bertubuh besar menyapaku. Dia adalah pria dari ras harimau, dengan telinga dan ekor yang khas.
Ototnya sangat mengesankan, dan dia mengangkat dua hingga tiga kotak dengan mudah.
“Apa aku mengganggu?”
“Tidak juga, tapi kehadiran Anda tidak membuat banyak perbedaan.”
“Begitu ya. Kalau begitu, aku boleh tetap di sini, kan?”
“Boleh saja. Tapi akan jadi masalah kalau Anda sampai tumbang.”
“Aku tidak sebodoh itu. Kalau sudah tak kuat, aku akan istirahat. Tenang saja.”
“Baiklah.”
Si pria harimau tersenyum lebar dan kembali mengangkut kotak. Aku pun melanjutkan pekerjaanku dengan kecepatanku sendiri, tanpa memaksakan diri.
Lambat laun, matahari mulai tenggelam dan kegiatan dapur umum pun selesai.
Saat semuanya selesai, lenganku sudah tak bisa diangkat lagi.
“Haa... Lenganku sakit...”
“Tuan Al... Anda tidak apa-apa?”
Ketika aku beristirahat di bak kereta yang sudah kosong, Fine muncul dengan ekspresi cemas.
Wajahnya memang sedikit lelah, tapi tampak penuh semangat. Berbeda sekali dengan wajahku yang kelelahan.
“Aku jelas tidak baik-baik saja...”
“Saya minta maaf... Ini semua karena Anda ikut dengan saya.”
“Tak perlu minta maaf. Aku sendiri yang bilang mau ikut.”
Saat aku mengucapkan itu, terdengar suara tawa yang menyebalkan dari luar.
Aku melongok sebentar ke luar dan melihat sekelompok pemuda nakal nongkrong di sana.
“Lihat tuh, pangeran ampas hari ini!”
“Lihat! Dia bahkan gak bisa angkut satu kotak dengan benar! Kacau banget!”
“Ngapain juga dia datang? Gak ada yang undang, tahu!”
“Benar! Yang penting itu Nona Fine aja yang datang! Kalau harus pilih, Pangeran Leonard masih mending!”
Mereka bicara seenaknya.
Yah, memang benar aku tak berguna, jadi aku tidak bisa membantah.
Fine menatap mereka tajam, lalu melangkah maju, hendak menegur mereka.
“Biarkan saja, Fine.”
“Tapi...”
“Tak perlu. Tak ada gunanya menanggapi. Apa yang mereka katakan tidak salah.”
“Tapi Anda sudah berusaha keras!”
“Itu tak berarti kalau aku rakyat biasa. Tapi aku anggota keluarga kekaisaran. Aku harus membawa manfaat bagi rakyat. Kalau aku belum bisa melaksanakan tugas itu, maka wajar saja kalau ada yang mengkritik.”
“Itu tidak benar! Tuan Al...”
“Aku belum melakukan apa pun demi kekaisaran. Betul, kan?”
Aku mengatakan itu untuk meredam emosi Fine yang mulai memuncak.
Dia menunjukkan ekspresi seolah hendak menangis. Aku tak ingin melihat wajah seperti itu.
“Karena perebutan takhta, kekacauan terjadi di berbagai wilayah. Distribusi barang terganggu, harga melonjak. Upah tak naik, tapi harga kebutuhan naik. Rakyat makin menderita. Kita bilang ingin membantu rakyat dengan menjadikan Leo sebagai kaisar, tapi nyatanya rakyat jugalah yang menanggung beban dari perebutan takhta ini. Mereka hanya butuh tempat melampiaskan. Dan aku, si pangeran ampas, adalah target yang cocok. Kalau hanya itu yang bisa menenangkan mereka, ya sudahlah.”
“Itu berarti Anda tidak mendapatkan apa-apa...”
“Tidak juga. Aku punya kamu. Itu saja sudah cukup.”
Aku tak menambah orang yang tahu rahasiaku karena tak merasa perlu. Memang, kalau jumlah orang yang tahu bertambah, pergerakanku jadi lebih leluasa, tapi risiko bocor juga meningkat.
Kalau aku sudah di ambang kehancuran mental, mungkin aku akan butuh orang tambahan. Tapi sekarang, aku tidak merasa perlu.
Orang yang secara kebetulan jadi tahu rahasiaku malah jadi sosok yang paling memahami diriku.
“Saya hanya ingin... Lebih banyak orang mengakui Anda.”
“Secara terbuka, aku cuma melakukan hal-hal kecil. Dan orang yang hanya melakukan hal kecil, hanya akan mendapatkan hal kecil sebagai balasannya.”
“Meski begitu...”
“Tak apa. Karena bahkan hal kecil pun akan kembali padaku dengan tulus.”
Aku tersenyum saat mengatakan itu.
Di hadapan para preman tadi, kini berdiri para beastman bertubuh kekar, dipimpin oleh pria harimau tadi.
“Wah, kalian ini lagi cerita yang seru ya?”
“A-Apa? Nggak, kami cuma...”
“Memang benar pangeran itu tak banyak membantu. Tapi dia tetap datang dan ikut bekerja. Lalu kalian? Apa yang kalian lakukan? Membandingkan orang yang bekerja dengan yang tidak, bahkan anak kecil pun tahu siapa yang lebih terhormat.”
“Apa-apaan kamu!”
“Yuk, ikut kami sebentar ke markas. Ini perintah dari pimpinan kami. Kami tidak membiarkan orang yang mengejek rekan kami begitu saja. Kalau kalian bisa tertawa, maka kalian juga harus bisa bekerja.”
“Oi! Lepaskan! Ini keterlaluan!”
“Kalian masih lebih beruntung daripada ditangkap karena menghina keluarga kekaisaran.”
“Memangnya salah menertawakan si pangeran ampas!?”
“Bukan berarti kalian dilarang tertawa. Tapi kalau kalian tertawa, kalian juga harus menunjukkan bahwa kalian pantas melakukannya. Menertawakan seseorang tanpa berbuat apa-apa, itu yang tidak bisa kami terima.”
Setelah itu, para preman dibawa pergi oleh para beastman bertubuh kekar.
Kasihan juga, mungkin mereka akan diberi pekerjaan berat. Tapi karena ini Serikat Dagang Ras Campuran, mereka pasti akan dibayar dengan wajar. Dari penampilan mereka, sepertinya mereka pun tidak punya pekerjaan tetap.
“Tuh, buktinya hal kecil pun kembali padaku.”
“Ya, tapi seharusnya tidak ada yang mengejek Anda sejak awal.”
Fine mengerucutkan bibirnya, tampak kesal. Jarang-jarang dia menunjukkan rasa jengkel seperti itu.
Aku tersenyum pahit, lalu bangkit berdiri.
“Yah, waktunya pulang. Aku benar-benar lelah.”
“Baik. Oh, Tuan Al. Sebenarnya, Nona Yuria memberitahu saya tentang restoran enak di dekat sini...”
Fine mengatakannya seolah baru teringat. Tapi aku bisa menebak apa maksudnya. Dia tak langsung mengatakannya, mungkin karena tahu aku sedang lelah.
“Kalau begitu, pas banget. Kalau kosong habis ini, bagaimana kalau kita makan di sana?”
“Eh, ah, ya! Dengan senang hati!”
Melihat Fine menjawab dengan wajah penuh suka cita, aku menghela napas dalam hati. Jujur, lenganku sangat pegal. Duduk dengan anggun dan makan pun terasa berat.
Tapi, aku sudah melangkah keluar bersama seorang wanita. Jadi, sampai akhir pun, aku akan menjaga citra ini.
Dengan niat itu, aku pun berjalan menuju restoran bersama Fine.
Bagian 5
Setelah makan, aku sempat berpikir sejenak sebelum mengajukan pertanyaan kepada Fine.
“Fine... Kamu tidak masalah dengan anak-anak, kan?”
“Eh... A-Apa maksudnya anak sendiri?”
Fine malah balik bertanya dengan ekspresi tegang. Sepertinya dia benar-benar salah paham.
“Bukan, bukan. Maksudku, apa kamu oke berada di sekitar anak-anak kecil yang ribut dan ramai?”
“Ah, begitu...! Kalau itu, tidak masalah! Ah, tapi maksudku bukan berarti aku tidak bisa menghadapi anak sendiri, ya!”
“Aku mengerti. Kalau begitu, boleh kita mampir sebentar?”
“Eh... Mampir?”
“Iya. Aku pikir ingin mengunjungi tempat yang kutahu dulu lama sekali.”
Sambil berkata begitu, aku memberi tahu Fine tujuan kami berikutnya.
* * *
Ibu kota kekaisaran dibangun mengelilingi Istana Pedang Kekaisaran di pusatnya, membentuk kota besar berbentuk lingkaran.
Tempat yang kami tuju terletak di lapisan terluar. Di sana berdiri sebuah dojo kecil untuk latihan pedang.
“Tempat ini?”
“Ini dojo milik seorang petualang yang sudah kukenal sejak lama. Dia mengajarkan ilmu pedang secara gratis kepada anak-anak di lapisan terluar.”
“Gratis?”
“Kamu pasti sudah mengerti dari kegiatan dapur umum, banyak orang di lapisan terluar ini kesulitan uang. Cara tercepat keluar dari kemiskinan adalah menjadi kuat. Tapi mereka tak punya uang untuk belajar ilmu pedang. Jadi, orang-orang yang berasal dari lapisan terluar, seperti dia, mengajarkan banyak hal secara cuma-cuma.”
Sambil menjelaskan, aku melongok ke dalam dojo lewat jendela. Fine pun ikut mengintip bersamaku. Di dalam...
“Hiyaaaah!”
“Acchaaa!”
“Uwooooh!”
“Teiyyy!”
“Dasar bodoh! Hei! Sudah cukup! Jangan berlebihan hanya karena senjatanya terbuat dari kayu lunak!”
“...Perundungan?”
“Tidak, sepertinya dia cuma sedang dijadikan mainan oleh anak-anak...”
Di dalam dojo, seorang pria tengah dihujani serangan dari beberapa anak. Rambutnya cokelat terang, mata dengan warna serupa. Ada bekas luka dari pipi hingga leher, wajahnya agak sangar, tapi kesan itu sirna ketika melihat bagaimana anak-anak menindih dan menyerangnya tanpa ampun. Namanya adalah Gai. Seorang teman masa kecil yang dulu sering bermain denganku.
Sekarang, dia bekerja sebagai petualang, dan di waktu luangnya, dia membantu anak-anak di lapisan terluar seperti ini.
“Guru! Ada orang di luar!”
“Hah! Mana mungkin aku tertipu dengan trik murahan seperti itu! Aku tidak akan melihat!”
“Ah, lihat tuh, dia pasang muka kaget! Pasti kenalan guru, deh!”
“Itu ekspresi kecewa karena kebodohanmu, guru!”
“Aku tidak bodoh!”
“Kalau begitu, coba lihat!”
“Dasar brengsek kalian... Baiklah! Akan kulihat!”
Gai akhirnya menoleh ke arah kami, dan pandangan kami bertemu. Dia membelalakkan mata, terkejut. Anak-anak di belakangnya tersenyum penuh kemenangan.
Aku menghela napas panjang, lalu Gai langsung dihantam dari belakang oleh anak-anak.
“Sekarang, serbu dia!”
“Dia beneran lihat!”
“Benar-benar bodoh!”
“Guwaaaah! Hei! Dia itu tamu sungguhan! Tunggu! Tenang dulu!”
“Hehe... Sepertinya menyenangkan.”
“Menyenangkan, ya...”
Yah, mungkin memang tidak menyenangkan, tapi juga tidak buruk. Kalau hanya sehari, masih bisa ditoleransi. Tapi menghadapi anak-anak super aktif seperti itu hampir setiap hari, pasti melelahkan. Akhirnya, Gai berhasil menenangkan anak-anaknya dengan beberapa jitakan di kepala, lalu berjalan mendekati kami.
“Yo! Al! Lama nggak ketemu, ya!”
“Iya, kamu kelihatan sehat, Gai. Tapi... Kamu yakin? Tadi kamu seperti mau mati.”
“Aku baik-baik saja. Jangan remehkan anak-anak dari lapisan terluar!”
“Kalau kamu bilang begitu, ya terserah.”
Anak-anak itu mungkin usianya sedikit lebih muda dari Christa. Masa-masa paling aktif.
Yang terlihat di dojo hanya anak laki-laki. Mungkin anak perempuan berlatih di tempat lain.
“Tapi, tiba-tiba sekali. Ada apa?”
“Aku hanya penasaran bagaimana kabarmu. Kita sudah lama tidak bertemu, jadi aku sedikit khawatir. Dan sekaligus sekalian memantau daerah ini.”
“Masih sama seperti dulu ya! Tidak seperti kalian para bangsawan, kami ini kuat. Kami nggak bakal mati semudah itu!”
Sambil berkata begitu, Gai memperlihatkan lengannya. Lengan seorang yang rutin mengayunkan pedang, lengan yang kuat, ramping, dan penuh otot yang padat.
Bekas lukanya juga bertambah. Meskipun dia adalah petualang peringkat B, dan mungkin sebentar lagi bisa naik ke A, tapi bukan berarti dia sangat kuat. Dia pasti menjalani pertarungan yang sulit dan berbahaya.
“Kelihatannya begitu. Aku lega mendengarnya. Tapi, ini seharusnya dojo ilmu pedang, bukan? Tadi itu cuma main-main?”
“Tidak masalah! Awalnya cukup begitu saja. Menyerang orang berarti dibalas. Dibalas itu sakit. Cukup tahu itu dulu. Tidak semua anak akan jadi petualang. Anak yang punya bakat atau mimpi akan mulai berpikir sendiri. Saat itu tiba, baru aku ajarkan hal yang lebih dalam.”
“Seperti kamu, ya?”
“Betul! Jangan remehkan anak-anak dari lapisan terluar! Kami tak butuh gerakan mewah seperti para bangsawan. Yang harus kami ajarkan pada anak-anak adalah, menyerang orang itu berarti dibalas. Dan balasan itu sakit. Kalau sudah tahu itu, mereka tak akan sembarangan menyerang orang. Rasa sakit itu harus dikenali sejak dini. Kalau tidak, mereka akan jadi seperti bangsawan keji yang dulu suka mengganggumu.”
“Geed, ya... Dia memang contoh sempurna dari orang yang tumbuh tanpa pernah merasakan sakit.”
Saat aku tersenyum kecut, Gai mengisyaratkan dengan matanya agar aku memperkenalkan Fine. Aku hanya bergumam “Oh,” lalu menutup mulut Gai dengan tanganku, dan memberi isyarat kepada Fine untuk membuka tudung dan memperlihatkan wajahnya.
“Baik.”
“Mmmhh! Mmmm!”
“Ya, ya. Diamlah. Kalau kamu teriak, artinya penyamaran kami sia-sia.”
Seperti yang kuduga, Gai hendak berteriak karena terkejut. Mungkin ingin meneriakkan “Putri Camar Biru, Blau Meve!”
“Apa... Kamu bawa masalah apa kali ini, hah...”
“Aku tidak membawa masalah apa-apa. Aku hanya berjalan-jalan bersama Fine, melihat-lihat keadaan ibu kota.”
“Jalan-jalan bareng Putri Camar Biru!? Sombong amat kamu, Al! Tak bisa dimaafkan!”
“Huh, ngg... Susah napas...”
“Diam! Rasakan kutukan dari semua pria di ibu kota!”
“M-Menyerah...”
“Um... Tuan Al akan pingsan kalau begitu...”
“Ah, ya. Tapi tidak apa-apa. Orang ini selalu di ambang maut, jadi sebenarnya dia cukup tangguh.”
Dengan wajah yang langsung berubah ramah, Gai melepaskan tangannya dari leherku.
Dasar bajingan ini... Sok ngomong manis begitu. Saat aku sedang berpikir begitu, salah satu anak muncul dari dalam dojo.
Entah apa yang terpikir olehnya, anak itu berlari ke arah Fine dan langsung memeluknya.
“Waaah, kakak cantiiik!”
“Hei! Kamu! Aku iri, tahu!”
“Ehehe! Harumnya enak! Kak, kakak ini pacarnya guru, ya?”
“Hmm, siapa tahu ya?”
Dipeluk seperti itu, Fine sama sekali tidak menunjukkan wajah keberatan. Sambil tersenyum, dia membelai rambut si anak. Mungkin karena senang melihat senyum itu, si anak pun makin manja dan memeluk Fine lebih erat.
Melihat itu, Gai menggertakkan gigi penuh iri.
“Iri sama anak kecil, huh...”
“Diam! Mana mungkin kamu paham perasaanku!”
“Ayo ke sini!”
“Kyaa! Eh...”
“Tidak apa. Temani saja mereka bermain.”
“B-Baik!”
Sepertinya Fine juga tidak keberatan. Dia pun segera masuk ke dojo dan mulai akrab dengan anak-anak. Mereka langsung menempel dan memeluknya penuh semangat, hingga Gai mulai gemetar antara cemburu dan takut.
“Aaaaah... Gimana ini... Kalau nggak kucegah, aku bisa dihukum pancung... Tapi aku juga pengin terus lihat Nona Fine tersenyum pada anak-anak... Aaaah... Gimana ini... Iri banget...”
“Pilih salah satu, iri atau khawatir dengan nyawamu.”
“Kalau harus pilih, jelas nyawa. Aku nggak mau dipancung.”
“Kamu sadar tadi kamu sempat mencekik leher seorang pangeran, kan?”
“Kalau itu, tak masalah. Kalau aku dituduh tak sopan pada bangsawan, yang pertama ditangkap pasti Elna. Jadi aman.”
“Logika macam apa itu...”
Yah, karena dia masih bisa bersikap bebas seperti ini, hubungan kami masih bertahan sampai sekarang. Waktu kecil mungkin bisa biasa saja, tapi begitu dewasa, semua orang mulai sadar akan posisi. Meski mereka mengejek, seorang pangeran tetaplah pangeran. Banyak yang akhirnya menjaga jarak. Tapi Gai tetap di sini, dan itu sangat berarti.
“Ah, jadi ingat. Elna itu rival yang hebat.”
“Kamu kalah sekitar dua ratus kali, kamu tahu? Menyebutnya ‘rival’ agak dipaksakan.”
“Cuma seratus sembilan puluh tujuh! Jangan dilebih-lebihkan!”
“Serius banget ngoreksi angka...”
Waktu kecil, Gai adalah semacam jagoan nakal dari lapisan terluar. Sering datang ke wilayah tengah dan bikin ulah. Di sanalah dia bertemu aku dan Elna. Kalau tidak salah, pertama kali kami bertemu saat aku menyembunyikannya setelah dia mencuri roti dari toko. Lalu Elna mengetahuinya dan kami berdua dihajar habis-habisan.
Sejak saat itu, Gai mulai menganggap Elna sebagai rival, dan terus menantangnya meski selalu kalah. Tapi pengalaman itulah yang membuatnya kuat. Memang benar bahwa warga lapisan terluar punya ketangguhan luar biasa. Mereka tidak pernah menyerah.
Gai adalah seorang pengungsi. Kedua orang tuanya juga begitu, dan dia tumbuh di tengah diskriminasi. Mungkin dari situlah datang semangat perlawanan dalam dirinya. Tapi meski begitu, dia tak pernah kehilangan sisi lembut sebagai manusia. Sampai sekarang, dia hidup seperti itu.
Meski sudah cukup sukses sebagai petualang, dia masih terus memikirkan kaum miskin di lapisan terluar ibu kota. Karena itulah aku tak bisa memutus hubunganku dengannya.
Sambil memikirkan semua itu, aku tersenyum pahit. Di dalam dojo, Fine terlihat sangat menikmati waktunya bermain bersama anak-anak. Aku bersyukur telah mengajaknya ke sini.
“Oh ya. Salah satu muridku sekarang sedang berada di istana. Kalau kamu bertemu dengannya, tolong sampaikan salamku.”
“Muridmu?”
“Anak yang sangat berbakat. Aku merekomendasikannya untuk ikut pelatihan kesatria di istana. Seharusnya sekarang dia sedang menjalani pelatihan sambil tinggal di sana.”
“Oh ya? Anak seperti apa dia?”
“Perempuan, dan cerewet. Sangat cerewet. Kamu akan langsung tahu kalau bertemu. Pokoknya, cerewet.”
“...Aku rasa aku tahu siapa yang kamu maksud. Boleh aku tahu namanya?”
“Namanya Rita.”
“...Oh. Jadi dia muridmu.”
Kalau Rita memang murid Gai, aku bisa mengerti kenapa dia begitu lurus. Soal penculikan Christa, tidak ada informasi resmi yang disebarkan karena Ayahanda melarangnya. Jadi Gai pasti tidak tahu keterlibatan Rita. Dan aku tidak bisa menceritakannya. Tapi, setidaknya aku bisa mengucapkan terima kasih.
“Aku harus berterima kasih padamu. Terima kasih.”
“Apa, tiba-tiba banget.”
“Anak itu... Akan jadi ksatria yang hebat.”
“Tentu saja! Dia murid kebanggaanku, tahu!”
Sambil berkata begitu, Gai menepuk dadanya bangga, lalu tersenyum lebar penuh semangat.
Bagian 6
Sebuah kediaman besar berdiri di wilayah paling prestisius di ibu kota kekaisaran. Di salah satu ruangannya, Geed sedang merasakan ketidaknyamanan yang amat sangat.
“Geed... Apa yang telah Ayahanda katakan padamu?”
“A-Ayahanda... I-Itu...”
“Jawab pertanyaanku. Apa yang Ayahanda katakan?”
Kepala keluarga Duke Holtzwart, keluarga bangsawan tertua kedua dalam sejarah Kekaisaran, Rolf von Holtzwart, berdiri di hadapannya. Dia adalah pria paruh baya bertubuh tinggi dengan rambut coklat panjang, memancarkan aura tenang, namun dengan sorot mata dingin yang menusuk Geed.
Sampai baru-baru ini, Rolf berada di wilayah selatan sebagai wakil kaum bangsawan ibu kota, membantu proses pemulihan. Setelah urusan di sana selesai, dia kembali ke ibu kota dan segera mulai mengusut masalah yang selama ini dia tunda, yaitu Geed.
“B-Bergabung dengan faksi Leonard...”
“Panggil dengan sebutan yang benar.”
“B-Bergabung dengan faksi Yang Mulia Pangeran Leonard...”
“Benar. Ayahanda ingin keluarga Duke Holtzwart bergabung dengan faksi Pangeran Leonard yang sedang naik daun. Tujuannya agar keluarga ini tetap berpengaruh tak peduli siapa yang menang. Dan apa yang kamu lakukan?”
Setelah berkata demikian, Rolf menatap Geed, meminta penjelasan. Geed menunduk ketakutan, lalu menggeleng.
“T-Terpaksa! Itu semua karena Arnold tiba-tiba marah dan tak mau mendengarkan! Semuanya salah dia!”
“Geed... Jangan buat Ayahanda semakin kecewa. Jawab saja dengan jujur. Apa yang sebenarnya kamu lakukan?”
Nada suara Rolf tetap lembut dan tenang, tapi tekanan di baliknya tak bisa diabaikan. Geed menggigil dan mengalihkan pandangan sambil menjawab, “A-Aku... membuat Arnold marah...”
“Yang Mulia Pangeran, katakan itu dengan benar. Kenapa kamu belum juga belajar?”
“Dia itu hanya pangeran ampas! Tak punya kelebihan, pemalas, dan sejak dulu selalu di bawahku! Tak pantas disebut pangeran!”
“Lalu? Pangeran yang tak punya kelebihan itu, yang dulu berada di bawahmu, hanya dengan satu tatapan membuatmu jatuh terduduk ketakutan?”
“Itu... A-Aku tak menyangka dia akan marah seperti itu!”
“Menyerang orang lain adalah tindakan yang berbahaya. Selalu ada kemungkinan akan dibalas. Karena itu, kalau ingin menyerang, kamu harus siap menerima serangan balik. Namun, kamu bahkan tidak mempersiapkan itu saat menyerang seorang pangeran, yang jelas-jelas berada di atasmu. Hanya bisa disebut tindakan bodoh.”
“B-Bodoh...? Maksud Ayahanda aku bodoh...?”
Geed memandang Rolf dengan mata tajam, marah karena harga dirinya terluka. Namun begitu Rolf menyipitkan matanya, Geed langsung mengalihkan pandangannya, tak mampu melawan. Dia menendang lantai beberapa kali dengan penuh frustrasi.
“Ayahanda tahu kamu sering mengganggu Pangeran Arnold. Mungkin karena kamu tertekan oleh pendidikan yang keras setiap hari, lalu menumpahkan amarah padanya. Ayahanda mengerti jika kamu kesal pada pangeran yang terlihat bebas. Bahkan menjadikannya sasaran untuk melepas stres pun masih bisa dimaklumi. Tapi tahukah kamu kenapa Ayahanda tidak menghentikanmu waktu itu?”
“K-Karena... Dia bukan pangeran yang penting...?”
“Semakin bodoh saja kamu ini. Ayahanda ingin kamu belajar. Menjadikannya pelajaran bahwa menyerang orang lain akan membawa balasan. Tapi kamu tak pernah punya kesempatan untuk belajar itu. Karena Pangeran Arnold tidak pernah membalas. Itu sangat mengecewakan bagi Ayahanda. Lalu kalian tumbuh dewasa. Kamu membawa pengikut, dan Ayahanda kira kamu sudah cukup dewasa. Tapi ternyata tidak. Kamu bahkan lebih kekanak-kanakan dan bodoh dari yang Ayahanda bayangkan.”
“A-Aku ini sudah dewasa!”
“Kalau kamu memang dewasa, maka setidaknya bersikaplah dengan layak. Kamu berhadapan dengan putra Yang Mulia Kaisar. Ini bukan permainan anak-anak, tapi urusan antar orang dewasa. Dan itu menuntut sopan santun. Kamu tidak menunjukkan itu, dan akhirnya mendapat balasannya. Dan pada saat yang paling penting, kamu menerima balasan itu. Kalau kamu menyalahkan Pangeran Arnold sepenuhnya, ya, mungkin kamu benar. Jika sejak kecil kamu sudah pernah kena batunya, hal ini tidak akan terjadi. Karena Pangeran Arnold sudah dewasa sejak kecil, kamu pun tumbuh besar hanya secara fisik, tanpa pernah benar-benar matang. Sangat mengecewakan.”
Nada bicara Rolf seolah memuji Arnold, dan Geed menggertakkan gigi karena marah.
Dia tak bisa terima bahwa dirinya dihina, sementara Arnold malah dipuji.
“Dewasa, ya!? Bagian mana yang dewasa!? Dia tidak pernah melakukan apa pun sejak dulu!”
“Betul. Dan kamu melakukan segalanya.”
“Ya! Aku berusaha keras, sedangkan dia tidak!”
“Itulah hasilnya. Kamu gagal memenuhi tugas Ayahanda dan mempermalukan dirimu sendiri di hadapan banyak bangsawan. Sementara Pangeran Arnold, tanpa usaha pun, berhasil. Bagi Ayahanda, orang malas yang bijak lebih baik daripada orang rajin yang bodoh. Bagaimana menurutmu?”
Geed yang tak tahan lagi, mengayunkan tangannya hendak merusak sesuatu.
Saat itu, suara yang tajam muncul.
“Jangan bergerak.”
“!!!!”
Geed pun meredam amarahnya ketika mendengar suara Rolf. Rolf kemudian berkata lembut namun menyakitkan, “Pendidikanmu Ayahanda serahkan pada ibumu. Karena dia begitu menyayangimu. Maka Ayahanda tak banyak campur tangan. Tapi sepertinya itu keputusan yang keliru. Kembalilah ke kamarmu. Kamu butuh waktu untuk mendinginkan kepala.”
“A-Ayahanda! Aku...”
“Ayahanda tak suka mengulang hal yang sama. Karena perbuatanmu, Putri Zandra jatuh, dan Pangeran Leonard naik. Kerugian yang kamu bawa pada keluarga kita lebih besar dari yang kamu bayangkan.”
Geed terdiam, lalu pergi meninggalkan ruangan dengan langkah kasar, penuh amarah. Dari luar terdengar suara benda pecah. Mendengarnya, Rolf menghela napas dalam-dalam.
“Permisi. Ayahanda, boleh aku masuk?”
“Masuklah, Reiner.”
Yang masuk kali ini adalah seorang pemuda yang sedikit lebih muda dari Geed. Sama-sama tinggi, tapi tubuhnya lebih atletis dan dia berpakaian jauh lebih sederhana. Dengan senyum segar, dia tampak seperti anak ideal dari keluarga bangsawan, dan layak disebut sebagai anak Rolf.
Namanya adalah Reiner von Holtzwart. Tahun ini dia berusia enam belas. Anak kedua dari keluarga Duke Holtzwart, dan dianggap sebagai pewaris yang akan menjadi kepala keluarga berikutnya. Karena Reiner tidak terlalu mirip ibunya, dia tidak dimanjakan seperti Geed. Maka, Rolf sendiri yang mengarahkan pendidikannya. Hasilnya, kedua kakak-beradik ini memiliki kepribadian yang sangat berbeda.
“Kakak tampak sedang marah tadi?”
“Sudah biasa.”
“Tapi kali ini lebih dari biasanya. Dia tadi berteriak-teriak menyalahkan Pangeran Arnold.”
“Benar-benar... Dia hanya menuai apa yang dia tabur. Ini semua salahnya sendiri. Tapi memang, yang menyuruhnya adalah Ayahanda. Maka Ayahanda juga harus bertanggung jawab. Situasi ini harus diselesaikan.”
Faksi Leo kini mulai masuk dalam perebutan takhta. Rencana awalnya adalah mengirim Geed untuk membangun hubungan dengan faksi tersebut. Tapi itu malah berakhir dengan kemarahan. Jelas sekali bahwa Leo sangat mempercayai Al. Membuat Al marah berarti memperburuk hubungan dengan Leo.
“Jujur saja, Ayahanda. Selama kakak masih ada, bergabung dengan Pangeran Leonard hampir mustahil.”
“Ayahanda juga berpikir begitu. Pangeran Arnold mungkin bukan tipe yang menyimpan dendam, tapi dia selalu menahan diri terhadap Geed selama ini. Sampai akhirnya Geed mengatakan sesuatu yang benar-benar membuatnya marah. Hubungan itu tak mungkin diperbaiki.”
“Aku pun tidak bisa mewakili kita ke sana. Kalau begitu, apa rencananya?”
“Jika perlu,. kita harus menghancurkan mereka. Jika Pangeran Leonard menjadi Kaisar, kita takkan lagi memiliki pengaruh seperti dulu. Sebagai salah satu keluarga bangsawan tertua, kita akan tetap dihormati, tapi kekuasaan akan dijauhkan dari kita. Rencana untuk mencegah itu telah gagal.”
“Memang. Dan kupikir ini akan jadi sulit.”
Rolf mengangguk atas kata-kata Reiner. Keduanya tahu, dan menyadari sepenuhnya, betapa tajamnya tatapan Al kepada Geed.
Banyak orang mengira bahwa saat itu Al tiba-tiba marah dan Geed hanya terkejut, namun pendapat keduanya berbeda.
Itu jelas merupakan tatapan dari seseorang yang memiliki kekuatan. Jika dugaan mereka benar, maka yang akan menjadi musuh adalah sang pangeran pahlawan yang tengah berada dalam puncak kejayaan, dan pangeran cerdas yang selama bertahun-tahun menyembunyikan taringnya. Kalau bisa, mereka tidak ingin berhadapan langsung. Namun, putra bodoh mereka telah mengambil langkah pertama menuju permusuhan itu.
“Aku seharusnya campur tangan terhadap Geed jauh lebih awal...”
“Dia hanya pandai memberikan jawaban manis saat dibutuhkan. Bahkan aku pun terkejut. Untuk datang meminta bantuan tapi malah bersikap arogan, dia pasti tidak waras. Itu memang sifatnya. Tidak bisa diubah.”
“Menurutmu, apakah mungkin menang dengan membawa beban seperti Geed?”
“Segala sesuatu bisa dimanfaatkan. Kalau keadaan mendesak, kita bisa memutus hubungan dengannya. Kalau Ibu menentang dan ingin berpisah, maka biarkan saja. Ayahanda bisa menikah lagi dengan bangsawan lain.”
“Itu juga benar. Sangat masuk akal. Mungkin kita bisa memanfaatkan kecenderungan Geed untuk membuat masalah. Kalau kita sudah lebih dulu memutus hubungan, kita tidak akan terkena dampaknya.”
Sambil memikirkan hal itu, Rolf dan Reiner pun tertawa.
Senyuman yang mengiringi siasat licik mereka, adalah senyuman yang dingin tanpa sedikit pun kehangatan.
Bagian 7
Meskipun sedang dalam masa gencatan senjata, bukan berarti aku bisa berdiam diri. Namun, aku juga tak bisa bergerak secara terbuka. Karena itu, meskipun terasa merepotkan, aku memutuskan untuk mulai memeriksa tumpukan dokumen yang telah lama menumpuk belakangan ini.
Semua dokumen itu memuat hal-hal penting, namun di pojok atas masing-masing dokumen terdapat tanda merah.
Itu menandakan bahwa masalah dalam dokumen tersebut telah terselesaikan. Belakangan ini aku sangat sibuk, dan Fine telah dengan giat bergerak menggantikan diriku. Bisa dibilang, dokumen-dokumen ini adalah hasil kerja keras Fine.
“Tehnya sudah siap~”
“Terima kasih.”
Fine menyajikan teh sambil tersenyum manis, lengkap dengan camilan. Dia tak pernah menyerahkan tugas ini kepada Sebas.
Sebas pun kini tak lagi bersikeras melakukannya sendiri, dan dengan tenang menerima teh dari Fine.
“Hmm? Fine. Masalah yang satu ini belum selesai, ya?”
“Ah, itu tentang kasus pencurian, ya. Maafkan saya. Setelah saya selidiki, saya pikir akan lebih baik jika tidak diselesaikan...”
“Lebih baik tidak diselesaikan?”
“Biar saya yang jelaskan,” kata Sebas sambil menyesap teh dengan anggun, lalu mulai menjelaskan.
Singkatnya, sejumlah pedagang meminta bantuan untuk menangani pencuri.
Namun setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata para pedagang itu adalah pedagang curang yang sudah banyak dikritik dari berbagai pihak.
Lalu pada saat mereka mengalami pencurian, secara kebetulan harta benda tersebar di kalangan masyarakat kelas luar.
Bahkan, menurut saksi mata, si pencuri tampaknya bertubuh kecil seperti anak-anak. Tapi meskipun begitu, baik pasukan penjaga ibu kota maupun pasukan keamanan tidak berhasil menangkapnya.
Karena itu, para pedagang itu mencoba meminta bantuan faksi Leonard, dengan imbalan tertentu.
“Seorang pencuri baik hati yang bahkan pasukan penjaga kota dan pengawal pun kesulitan menangkapnya. Kalau ditangkap, hanya akan menimbulkan kebencian rakyat dan memakan banyak tenaga. Maka dari itu, saya menyarankan agar penanganannya ditunda.”
“Begitu, ya. Sepertinya orang ini menarik.”
Pasukan penjaga ibu kota dan pengawal bukanlah orang-orang bodoh. Meskipun pihak yang terlibat adalah pedagang curang, mereka takkan membiarkan pencurian begitu saja. Kalau mereka sudah benar-benar mencoba menangkapnya dan masih gagal, berarti si pencuri sangatlah terlatih.
“Berasal dari kelompok pembunuh bayaran, mungkin?”
“Saya rasa tidak. Dari kondisi TKP dan kesaksian, saat mencuri barang dia menggunakan cara yang sangat kasar. Itu bukan cara kerja pembunuh bayaran. Malah, lebih seperti...”
“Petualang?”
“Benar. Gaya yang kasar dan langsung. Jika dibilang petualang peringkat tinggi, saya bisa percaya.”
Namun, aku belum pernah dengar ada petualang peringkat tinggi yang masih anak-anak.
Meski begitu, yang pasti adalah bahwa dia berhasil menghindari pencarian dari pasukan penjaga ibu kota dan pengawal keamanan.
“Kasus penculikan Christa benar-benar membuka mataku. Sumber daya manusia kita terlalu terbatas. CHrista akan mendapatkan pengawalan dari kesatria istana untuk sementara waktu, tapi aku juga ingin memiliki pengawal yang bergerak sesuai perintah kita.”
“Apakah Anda berniat merekrut si pencuri dermawan itu?”
“Benar. Aku butuh seseorang yang bisa bergerak bebas. Idealnya, seseorang yang cukup kuat untuk melawan pembunuh bayaran dan juga bisa bergerak secepat mereka.”
“Bukankah itu terlalu menuntut?”
“Aku juga pikir begitu. Tapi orang ini nyaris memenuhi kriteria. Jika berhasil direkrut, itu akan sangat memperkuat kekuatan kita.”
“Lalu bagaimana Anda akan menangkapnya?”
Aku mengangkat satu jari merespon pertanyaan Fine.
“Ada orang yang sedang bosan dan sangat cocok untuk ini.”
Setelah berkata begitu, aku pun langsung mulai bergerak.
* * *
“Benar-benar, menarikku keluar secara tiba-tiba begini...”
Yang mengeluh dengan kata-kata itu adalah Elna, yang mengenakan tudung yang tertarik dalam-dalam.
Masa tahanan rumah Elna sudah lama dicabut. Namun, keputusan tetaplah keputusan. Elna belum bisa kembali bergabung dengan Kesatria Pengawal. Tapi jika dia bukan seorang Kesatria Pengawal, berarti dia adalah personel bebas. Tidak ada masalah jika meminta bantuannya untuk menangkap pencuri dermawan yang mengacaukan ibu kota. Tidak akan ada yang memprotes.
“Sayangnya kami kekurangan orang. Terutama orang-orang berbakat tidak bisa dibiarkan menganggur.”
“Tapi tetap saja, membantu mengangkut barang milik pedagang curang itu...”
“Tenang saja. Setelah ini mereka akan dilenyapkan.”
“Benarkah?”
“Sebas sudah menyusup ke dalam serikat dagang mereka. Begitu dia mendapatkan bukti, dia akan menyerahkannya ke patroli.”
“Kalau begitu tidak apa-apa.”
Dengan ekspresi lega, Elna memandangi gerobak. Kami sedang mengangkut barang yang seharusnya diangkut oleh para pedagang curang itu. Di sekitar kami sudah dijaga ketat oleh Elna dan pasukan pengawal dari pihak kami. Para pedagang juga menawarkan penjaga, tapi kami menolaknya.
Keberadaan mereka hanya akan merepotkan. Kalau mereka adalah pedagang papan atas ibu kota, mereka mungkin akan memaksa menyisipkan penjaga mereka, tapi kali ini hanya pedagang kelas menengah.
Mereka menyerahkan barang kepada kami dengan patuh. Sepertinya bisnis mereka mulai runtuh setelah kehilangan banyak barang. Yah, barang itu juga mereka peroleh dengan cara licik, jadi mereka menerima balasan yang pantas.
Aku berdiri di atas gerobak, berpura-pura menjadi pedagang.
“Baiklah... Berangkat! Dengarkan! Jangan sampai barang dirampas! Lindungi meski harus mati! Barang adalah segalanya!”
Sambil berakting seperti pedagang keji, aku melaju di malam ibu kota.
Kami akan mengangkut barang-barang ini dari gudang ke toko, dan dalam perjalanan itulah kami akan diserang. Sebenarnya bisa saja dipindahkan siang hari, tapi membawa barang mencurigakan di siang hari sangatlah berisiko.
Itulah sebabnya kami terus melaju melewati kota di malam hari.
“Berjaga! Jangan tertidur! Tidur berarti tidak dibayar!”
“Haa... Perlu ya semua ini?”
“Terlihat jahat, bukan?”
“Yah, bagi orang yang tak tahu, cukup meyakinkan.”
Aku mengangguk puas mendengar komentar Elna. Kalau begitu tidak masalah. Kalau terlihat mencurigakan, pencurinya tidak akan muncul.
Saat aku memikirkan hal itu, dua penjaga yang berjalan di depan tiba-tiba tumbang.
“Sudah datang, ya.”
“Kali ini pedagangnya masih muda, ya? Bocah, kalau tak mau terluka, tinggalkan barangnya.”
Yang muncul adalah seorang pria bertubuh kecil mengenakan tudung dan membawa tombak. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang pria. Namun, tubuhnya sekitar satu meter. Tombaknya lebih panjang dari tubuhnya.
Kalau dilihat dari fisiknya, dia anak-anak, tapi nada bicaranya seperti orang dewasa. Ada yang aneh dari ini.
“Jadi kamu yang belakangan ini mencuri barang-barang kami?”
“Barang ‘kami’, ya? Lelucon macam apa itu? Pencuri sebenarnya adalah kalian. Aku hanya mengambil kembali milik kami.”
“Barang ini diperoleh secara legal.”
“Begitu, ya. Kalau begitu, aku takkan bicara banyak. Aku akan merebutnya!”
Pria itu melompat ke arahku. Tapi Elna segera menghadangnya dan menahan serangan tajamnya dengan pedang.
“Hoo? Bisa menahan tombakku, ya?”
“Sudah lama aku tidak menerima serangan setajam ini. Cocok untuk mengasah kembali naluri tempurku.”
Sambil berkata begitu, Elna mulai melancarkan serangan bertubi-tubi untuk memukul mundur lawannya.
Penjaga lain hendak ikut campur, tapi Elna segera mencegah mereka.
“Jangan ganggu! Jangan masuk!”
“Kamu cukup tangguh juga, nona. Aku suka itu. Kalau aku diganggu oleh pecundang, mood-ku pasti rusak.”
Sambil berkata begitu, si pria kembali bersiap dengan tombaknya, lalu berucap pelan.
“Aku tak bisa menahan diri. Jangan mati, ya.”
“Itu seharusnya ucapanku. Jangan mati. Aku akan kecewa kalau kamu tewas.”
“Hmph... Omong kosong!”
Pertarungan super cepat pun dimulai.
Hembusan angin dari tiap serangan bahkan merusak bangunan di sekitar. Elna benar-benar serius. Siapa sebenarnya pria itu? Meski bertubuh kecil, dia menutupi kekurangannya dengan tombak dan bertarung setara dengan Elna. Seorang dwarf, mungkin? Tapi terlalu kecil. Saat aku berpikir begitu, Elna melancarkan tusukan.
Namun pria itu menghindar dengan gerakan licin, lalu tiba-tiba mengarahkannya padaku.
“Maaf ya, ini bukan duel. Yaaaahhhh!”
Tombak pria itu mengarah padaku.
Namun Elna sudah memperkirakannya dan langsung melakukan sapuan kaki.
“Kurang ajar!”
“Apa!?”
Elna menyerangnya saat keseimbangannya terganggu. Pria itu mencoba menahan dengan tombak, tapi terlempar jauh hingga menabrak tumpukan jerami.
“Mengesankan.”
“Tak juga. Rasanya ada yang aneh.”
“Aneh?”
“Aku diremehkan. Dia bertarung sambil menggunakan penyangga di dalam sepatunya.”
Kami melihat dua batang kayu tergeletak di dekat pria itu. Jadi, dia bertarung dengan Elna sambil berdiri di atas itu? Dan, dia bahkan lebih pendek tanpa itu?
Saat aku mencerna itu, pria itu keluar dari tumpukan jerami. Tapi penampilannya jauh dari yang kami duga.
“Hebat juga kamu, nona...”
“...”
“...”
“Apa? Kenapa kalian diam?”
Sepertinya dia belum sadar. Tudungnya telah terlepas, dan penyangganya hilang. Wujud aslinya pun terungkap sepenuhnya.
Dia berdiri di sana.
“Anak beruang?”
“Ugh! Sial!”
Dia masih bisa bicara seperti biasa, tapi wujudnya benar-benar seperti anak beruang. Bulu cokelat dan mata bundar hitam. Penampilannya seperti boneka.
Pria itu buru-buru mengenakan kembali tudungnya, tapi sudah terlambat.
Tudung yang dia kenakan bersama penyangga kini terlalu besar, dan penampilannya sama sekali tidak menakutkan.
“Tch! Tak ada pilihan! Hari ini aku mundur!”
“Ah! Berhenti kamu!”
“Jangan kejar.”
Saat aku menahan Elna, dia menatapku dengan tidak puas.
Sepertinya dia ingin menyelesaikan duel itu, tapi kami sudah mencapai tujuan kami.
Identitasnya memang mengejutkan, tapi sudah terbongkar. Sisanya tinggal mencarinya.
Melihat bagaimana dia menyebarkan uang dan barang ke luar lapisan kota, kami bisa menduga di mana dia bersembunyi.
“Untuk sekarang, kita kembali. Bawa yang pingsan ke atas gerobak.”
Aku pun memberi perintah. Elna masih menatapku kesal, lalu menatap arah kepergian pria itu.
Pertarungan barusan pasti telah membakar semangat pejuangnya.
“Kalau ketemu lagi, izinkan aku bertarung ulang.”
“Itu tergantung dia.”
Dengan percakapan itu, kami pun melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan malam di ibu kota.
Bagian 8
Lapisan terluar ibu kota Kekaisaran. Aku datang ke dojo milik Gai di sana bersama Fine.
“Yo, Gai.”
“Oh, Al! Dan juga, selamat datang, Nona Fine! Silakan, masuk!”
Karena perlakuannya terlalu berbeda antara kami, aku menarik napas sambil menahan senyum kaku dan melangkah masuk ke dalam dojo.
Di dalam, tak tampak ada anak-anak.
“Hari ini libur?”
“Enggak, anak-anak tadi masih di sini, tapi aku menyuruh mereka pulang lebih awal.”
“Kenapa?”
“Akhir-akhir ini ada seseorang yang mengaku sebagai pencuri dermawan dan membagikan barang-barang. Ya, itu sih nggak masalah, tapi karena barang-barang yang dibagikan itu, mulai banyak orang-orang tak sopan mondar-mandir. Bahaya, jadi aku suruh anak-anak pulang cepat.”
“Begitu ya. Pas sekali. Kami datang untuk mencari si pencuri dermawan itu. Ada petunjuk?”
“Nggak tahu.”
Begitu jawab Gai sambil memalingkan pandangan. Ini pasti dia tahu sesuatu.
Aku menghela napas kecil, lalu memberitahu Gai informasi rahasia.
“Tadi malam. Sebas membawa pulang bukti kejahatan para pedagang curang dan menyerahkannya ke patroli. Mereka akan segera ditangkap. Tapi setelah itu giliran si pencuri dermawan. Siapa pun dia, mencuri tetap mencuri. Kalau tidak dilindungi, dia akan ditangkap.”
“…Jadi, kamu bukan datang untuk menangkapnya?”
“Apakah aku terlihat seperti orang yang menjunjung tinggi keadilan?”
“Yah, nggak juga sih.”
Gai menggaruk kepalanya, lalu duduk bersila di tempat. Setelah berpikir sejenak, dia memandangku.
“Para pedagang curang itu merampas berbagai hal dari warga luar. Mereka memanfaatkan perebutan takhta antara para saudagar besar untuk mengeruk keuntungan. Di tengah itu semua, pencuri dermawan mengambil kembali barang dan uang yang dirampas dengan cara ilegal. Bagi warga luar, dia adalah pahlawan.”
“Aku paham. Aku tidak berniat memperlakukannya semena-mena.”
“Tuan Al hanya ingin meminta bantuannya. Tolong, beri tahu kami. Di mana dia berada?”
“...Aku tidak tahu lokasi pastinya, tapi ada satu tempat yang mencurigakan.”
“Di mana itu?”
“Sebuah rumah kosong yang belum lama ini jadi tempat anak-anak mengantarkan makanan sesekali.”
“Begitu ya. Bisakah kamu tunjukkan tempatnya?”
“Tidak masalah. Tapi sekarang warga luar sangat menantikan barang-barang dari pencuri dermawan itu. Kalau kita tak mengalihkan perhatian mereka, bisa-bisa mereka jadi beringas.”
“Itu bukan masalah.”
Aku pun menoleh ke arah Fine. Fine mengangguk penuh keyakinan.
Gai, yang belum memahami apa-apa, hanya melongo bingung. Tapi kami tidak memedulikannya dan segera melangkah keluar.
* * *
“Semua warga, mohon jangan dorong-dorongan ya! Persediaan makanan cukup banyak!”
Dengan mengenakan celemek, Fine berdiri di hadapan kerumunan besar warga luar lapisan ibu kota.
Di sekeliling Fine, ada para petugas dan penjaga dari Serikat Dagang Ras Campuran. Selain itu, juga ada beberapa kesatria.
“Kalau ada pembagian makanan, perhatian warga pasti teralihkan. Apalagi kalau ada Nona Fine.”
“Padahal bukan karena itu aku mengajaknya ke sini.”
“Eh? Bukan, ya?”
“Ini cuma bentuk kompensasi. Para pedagang busuk itu telah menipu, bahkan mengancam warga miskin ibu kota demi merampas harta mereka. Sekarang kita sudah tahu itu, jadi kita harus menebusnya.”
“Negara yang seharusnya menebusnya, kenapa kalian malah yang melakukannya?”
“Tenang saja. Biayanya ditanggung oleh Serikat Dagang Ras Campuran. Sekalian jadi bahan promosi bahwa Leo berpihak pada rakyat. Anggap saja ini biaya operasional. Lagipula, kalau minta bantuan dari istana, mereka butuh waktu buat bergerak.”
“Begitu ya. Jadi dua-duanya sama-sama untung.”
“Betul. Dan dompetku pun nggak kena dampaknya.”
Sambil berkata begitu, aku dan Gai menuju rumah kosong yang sudah kami incar sebelumnya.
Tak lama, sebuah gubuk reyot dari kayu pun terlihat.
“Aku masuk duluan, ya.”
“Hati-hati. Dia bisa bertarung seimbang dengan Elna. Walau kita ke sini bukan untuk bertarung sih.”
Untuk menghindari kecurigaan, hanya aku dan Gai yang datang. Elna mungkin bakal bilang ini sembrono, tapi kalau membuat si pencuri waspada, malah merusak rencana. Lagi pula, aku cukup yakin aku bisa menanganinya.
“Sepertinya nggak ada orang.”
“Nggak ada?”
Mendengar Gai, aku masuk ke dalam rumah. Meski jelas ada bekas aktivitas manusia, dan menyebutnya tidak ada orang bukan salah, karena memang tidak ada manusia di dalamnya. Namun, tetap saja.
“...”
“...”
Di atas rak, diletakkan sebuah boneka anak beruang.
Bulu cokelat dan mata bulat hitamnya benar-benar terlihat seperti boneka.
Tapi, setelah kejadian kemarin, mana bisa aku tertipu. Aku bicara pada si pencuri dermawan.
“Sudahlah, ini jelas tak mungkin. Menyerahlah.”
“...”
“Aku lihat kamu tetap ngotot berpura-pura jadi boneka, ya?”
“H-Hei... Al. Kamu nggak apa-apa? Ngobrol sama boneka tiba-tiba gitu...”
Aku melotot ke arah Gai yang entah kenapa malah mencemaskan aku. Melihat situasinya dan tidak bisa menangkap maksudku, sungguh menyebalkan.
“Diam dulu.”
“Eh? O-Oke... Kamu lagi pengin ngobrol sama diri sendiri, ya...”
Dia salah paham, tapi tak masalah. Toh nanti dia sendiri juga bakal kaget. Aku memandangi seisi ruangan. Kalau si beruang tetap pura-pura jadi boneka, aku juga punya cara sendiri.
“Sepertinya tadi kamu mau makan, ya? Sayang kalau dibiarkan, jadi aku makan saja, ya.”
Aku ambil roti yang ada di atas meja, lalu menggigitnya sambil memamerkan gerakanku ke arah boneka itu.
Rotinya bukan roti mewah, tapi makan sambil pamer ke orang lain, atau dalam hal ini, boneka, rasanya lumayan menyenangkan.
Sepertinya ekspresi si beruang sedikit berubah. Kurasa dia marah. Bagus, teruskan seperti ini.
“Perkenalkan, aku Al. Arnold Lakes Ardler. Pangeran ketujuh kekaisaran ini. Kemarin aku berpura-pura jadi umpan untuk menangkapmu.”
“A-Al... Kamu masih waras?”
“Diam. Jangan ganggu.”
“...Oke. Perkenalan itu memang penting, ya.”
Gai sekarang menatapku seperti menatap orang yang sudah tak tertolong lagi.
Sialan dia...
Aku hampir saja menegurnya, tapi sekarang targetku bukan Gai. Aku kembali menatap si boneka beruang.
“Pedagang jahat yang kamu hadapi sudah ditangkap. Setelah penyelidikan mencapai titik tertentu, giliranmu yang akan ditangkap. Siapa pun korbannya, mencuri tetaplah kejahatan. Karena itu, aku datang untuk merekrutmu. Bekerja samalah denganku. Jika begitu, aku akan melindungimu.”
“Ah, begitu rupanya. Latihan pemanasan sebelum menghadapi pencuri dermawan, ya. Maaf, aku mengira kamu orang yang agak menyebalkan.”
“Diam. Aku sedang bicara dengannya.”
“Maaf... Ya, sungguh, maafkan aku...”
Mengabaikan Gai yang menatapku dengan pandangan seperti melihat orang tak tertolong, aku hanya fokus pada anak beruang itu.
Tak salah lagi, ini pelakunya. Semoga dia tertarik dengan tawaranku tadi. Aku belum pernah mendengar ada ras beastman yang benar-benar mirip boneka beruang seperti ini. Pasti ada alasannya dia seperti ini. Mungkin karena itu dia sangat waspada. Aku harus buat dia percaya.
Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan agar dia mau membuka diri?
Saat aku tengah berpikir keras, pintu terbuka. Fine muncul dan mengintip dari balik pintu.
“Tuan Al, Gai. Apa kalian menemukan pencuri dermawannya?"”
“Nggak, sepertinya dia sedang tidak di tempat.”
Selagi Fine dan Gai bertukar kata, hanya dalam sekejap.
Saat aku kembali memandang rak itu, si boneka beruang sudah tidak ada di sana.
Sial! Dia kabur lewat pintu yang dibuka Fine.
Saat aku hendak memandang ke arah Fine, sesuatu yang tak terduga terjadi.
“Seorang gadis cantik... Rasanya ini takdir kita bertemu di sini. Boleh aku tahu namamu, Nona?”
“Astaga, betapa lucunya kamu. Namaku Fine von Kleinert, senang bertemu denganmu.”
Fine membalasnya dengan senyum, seolah tak ada yang aneh. Tapi itu jelas bukan reaksi yang normal. Yang seharusnya dikatakan adalah...
“Beruang itu bisa bicara!?”
“Sudah kubilang, dia pencuri dermawan itu.”
“Jadi itu sungguhan... Maaf, aku sempat berpikir untuk memberi tahu Leo.”
“Kamu ini... Ya sudahlah. Sekarang fokus ke dia.”
“Siapa namamu?”
“Namaku Siegmund Eisler. Teman-temanku memanggilku Sieg. Kuharap Nona Fine juga mau memanggilku begitu.”
Mendengar namanya, ekspresi aku dan Gai langsung berubah.
Kami saling berpandangan. Kalau kami berdua merasa begitu, berarti ini bukan kesalahpahaman.
“Kalau tidak salah, ada petualang peringkat S yang namanya sama, ya?”
“Iya. Di antara seluruh petualang di daratan ini, dia dikenal sebagai pengguna tombak terkuat, Siegmund.”
“Hoo? Kalau kalian tahu namaku, berarti kalian juga petualang? Kalau tahu siapa aku, sebaiknya kalian mundur. Sekarang aku sedang bersenang-senang ngobrol dengan Nona Fine.”
Dengan nada tegas dan penuh percaya diri, Sieg menatap Fine sambil tersenyum.
Aku pernah mendengarnya, tusukannya begitu cepat hingga dikatakan tak mungkin dihindari. Seorang petarung ulung yang dikenal tak terkalahkan dalam pertarungan satu lawan satu meski dia petualang.
Dalam hal teknik murni, konon dia masuk lima besar dari semua petualang yang ada.
Namun, ada satu rumor lain yang juga kuingat.
“Kalau tidak salah, Sieg itu terkenal sebagai lelaki hidung belang yang suka mendekati banyak wanita. Tapi katanya sejak enam bulan lalu, dia menghilang tanpa kabar. Dan bukannya dia itu manusia...?”
“Mungkin ini juga ada hubungannya dengan kegemarannya pada wanita.”
Tidak mungkin manusia bisa berubah menjadi anak beruang secara alami. Kalau dia memang orangnya, berarti dia berubah wujud karena sihir atau obat. Tapi aku tidak bisa membayangkan dia dengan sukarela berubah jadi anak beruang, pasti ada masalah dengan perempuan.
Sambil memikirkan itu, aku menginjak Sieg yang berusaha memeluk Fine.
“Fughaa!”
“Heh, tukang rayu. Jawab dulu pertanyaanku yang tadi.”
“Apa-apaan kamu, bocah! Menginjak beruang kecil seimut ini... Kamu tidak punya belas kasihan, ya!”
“Toh aslinya manusia juga.”
“Dengar itu, Nona Fine! Dia menyiksaku~”
Sambil berpura-pura menangis, Sieg kembali mencoba memeluk Fine, tapi aku segera memasangkan kalung yang kubawa ke lehernya.
Itu barang simpanan kakekku. Kecuali jika aku sendiri yang memakai kuncinya, kalung itu tidak bisa dilepas.
“Apa-apaan ini! Penampilanku yang menggemaskan jadi rusak! Lepaskan!”
“Itu alat sihir. Tanpa kunci khusus, tidak akan bisa dilepas. Sebenarnya aku tidak ingin menggunakannya, tapi tak ada pilihan lain.”
“Hah! Jadi apa masalahnya! Kamu lupa mengikat rantai! Kalau begitu aku kabur saja, dan selesai urusannya!”
Dengan berkata begitu, Sieg kabur keluar. Lari dengan dua kaki dalam bentuk anak beruang terlihat konyol, tapi dia cukup cepat, terus menjauh dariku.
“Dan? Apa efek alat sihir itu?”
“Bentar lagi juga kelihatan.”
Dari yang tadinya berlari dengan dua kaki, Sieg kini beralih ke empat kaki. Gerakannya pun jadi lambat. Mungkin terlihat bercanda bagi orang lain, tapi itulah efek kalung itu. Semakin jauh dari pemilik kunci, tubuhnya akan terasa makin berat.
Beberapa saat kemudian, Sieg pun menyerah dan kembali dengan bahu merosot lesu.
“Mau bekerja sama dengan kami? Lebih baik daripada ditangkap, kan?”
“Ya... Aku akan bekerja sama...”
“Tapi, Tuan Al. Kalau dia bertugas sebagai pengawal, bukankah kalung itu akan mengganggu? Lagipula, kasihan juga kelihatannya.”
“Kalung itu bisa diatur jaraknya sesuai kehendak pemilik kunci. Dan jangan kasihan padanya. Dia ini benar-benar bajingan.”
“Kenapa kamu memutuskan begitu! Padahal aku sudah bersusah payah membantu warga lapisan luar meski terperangkap dalam tubuh seperti ini!”
“Oh ya? Kalau begitu, itu apa?”
Aku menunjuk sudut ruangan yang ditutup kain.
Sejak sebelum ke sini, aku sudah tahu. Meski hasil curian Sieg telah dibagikan ke warga luar, ada uang yang jumlahnya tak cocok. Ada lebih banyak uang yang hilang dibanding yang tersebar.
Aku menarik kain penutup itu. Di baliknya, tersembunyi tumpukan uang.
“Kalau uang itu diambil dari orang-orang yang ditindas, bukankah seharusnya dikembalikan semuanya?”
“Eheh... Begini, pahlawan keadilan juga butuh penghasilan, bukan?”
Melihat Sieg yang mengalihkan pandangan, aku menghela napas.
Lalu bersama Gai, kami menyita uang itu. Saat itulah Sieg memeluk kakiku.
“Ampun! Uang itu mau kupakai untuk minta bantuan ke sang putri negeri ini agar menghapus kutukanku! Tolong! Anggap saja ini menyelamatkanku!”
“Putri? Maksudmu Zandra?”
“Iya, itu dia! Putri berambut hijau. Yang cantik tapi kelihatan galak.”
“Kalau begitu, lupakan saja. Dia memang suka penelitian sihir terlarang, tapi tidak suka menolong orang. Kamu hanya akan dimanfaatkan, atau dijadikan bahan eksperimen. Lagipula, dia sedang dalam masa tahanan.”
“Ngeri juga ya... Tapi kamu tahu banyak juga. Jangan-jangan kamu beneran pangeran?”
“Iya, memang. Bukannya tadi sudah kubilang?”
“Ya... Tapi auramu nggak ada sama sekali, kukira ngibul.”
Entah kenapa, meski sudah biasa, mendengar itu dari mulut dia bikin kesal luar biasa.
Sambil menahan emosi, aku mengangkat Sieg.
Hoh, empuk juga ternyata.
“Jangan! Aku tidak suka dipeluk laki-laki!”
“Mau bagaimana lagi. Kalau aku jalan sambil menarik anak beruang pakai kalung, bisa dikira macam-macam. Untuk sementara, kamu berpura-pura jadi boneka. Kita bicara di istana.”
“Jangan! Ah! Nona Fine! Jangan dielus-elus begitu!”
“Bulunya lembut sekali, ya~”
“Wow, serius. Rasanya mantap banget!”
“Berhenti! Laki-laki jangan sentuh! Hanya gadis cantik yang boleh! Stop!”
Setelah dimanja oleh Fine dan Gai, Sieg akhirnya terkulai lemas.
Karena sensasinya benar-benar luar biasa, aku pun memutuskan untuk nanti membiarkan Christa dan Rita ikut merasakannya, sambil menaikkan Sieg ke dalam kereta.
Bagian 9
“Kamarmu lumayan juga, ya. Memang pantas untuk seorang pangeran.”
“Terima kasih banyak. Nah, sekarang, bisa kamu ceritakan kenapa bisa jadi seperti ini?”
Sementara Fine mulai menyiapkan teh, aku langsung menanyakan hal yang menjadi pokok pembicaraan.
Menanggapi itu, Sieg menundukkan wajahnya dengan ekspresi serius, lalu mulai bicara.
“Awal mula semuanya sekitar setengah tahun yang lalu. Waktu itu aku bertemu dengan seorang wanita di dalam hutan.”
“Pantas saja. Salahmu sendiri.”
“Aku belum jelaskan apa pun!”
“Tidak perlu dijelaskan, aku sudah tahu! Kamu pasti menggoda dia, kan?”
“Belum sempat! Sebelum sempat mendekat, aku sudah dijadikan begini!”
Sieg memukul meja dengan penuh kekesalan. Dari sikapnya itu, rasa frustrasinya tampak sangat nyata.
Sungguh, seberapa parah sih dia tergila-gila pada perempuan?
“Haa... Jadi? Kamu dikutuk oleh wanita itu?”
“Bukan. Oleh adiknya...”
“Yah, kalau ada pria cabul mendekati kakaknya, adik mana pun pasti akan mencoba melindungi.”
“Itu juga salah! Waktu aku diberi minum ramuan aneh dan berubah jadi seperti ini, aku juga berpikir begitu! Tapi adiknya malah bilang ‘yang ini lebih lucu’! Karena alasan seaneh itu, aku diubah jadi anak beruang menggemaskan begini!”
Sieg mulai menangis dengan lantang, tapi entah kenapa, dengan dia mengatakan “menggemaskan”, kupikir dia sebenarnya agak menyukai penampilannya sekarang.
Tapi mengubah seseorang jadi anak beruang cuma karena dianggap lucu? Apa-apaan adiknya itu?
“Di hutan mana itu terjadi?”
“Itu... Rahasia. Karena itu permintaan dari sebuah misi.”
Sieg mengalihkan pandangannya. Yah, sebagai petualang peringkat tinggi, dia tahu bagaimana menjaga rahasia klien. Banyak permintaan yang memang melibatkan kerahasiaan.
Meski tukang rayu, urusan profesional tetap dijaga.
“Tehnya sudah siap~”
“Oooh! Teh buatan Nona Fine! Terima kasih!”
“Kamu bisa minum?”
“Jelas bisa! Aku masih bisa makan juga. Yang berubah cuma penampilan saja.”
“Jadi bukan boneka ya?”
“Hanya kelihatan seperti boneka saja. Aww panas! Fuuuh fuuuh...”
Saat hendak meminum teh, Sieg meringis dan buru-buru meniupnya. Aku pun mencoba mencicipi, dan ternyata tidak terlalu panas. Mungkin indera pengecapnya juga ikut berubah jadi seperti beruang. Bisa jadi itu menyusahkan.
“Aku akan mencoba cari tahu soal cara mengembalikan tubuhmu.”
“Hah? Kamu punya petunjuk?”
“Mungkin Silver tahu sesuatu.”
“...Kamu kenal Silver?”
Sieg berhenti meniup tehnya dan menatapku dengan ekspresi terkejut.
Bukan hanya kenal, sebenarnya aku sendiri adalah Silver. Tapi tentu saja aku tidak bisa mengakuinya, jadi aku menghindar dengan jawaban samar.
“Ya, begitulah. Dia membantu aku dan adikku dalam banyak hal. Aku akan coba tanyakan padanya. Tapi jangan berharap banyak. Kalau ini masalah ramuan aneh, sepertinya bukan bidangnya Silver.”
“Itu pun sudah sangat membantu! Kalau si petualang bertopeng itu yang mencari, pasti ada kemungkinan berhasil!”
“Kalau begitu, Sieg. Aku pastikan dulu. Kami akan melindungimu, dan menghubungi Silver untuk mencari cara mengembalikan tubuhmu. Sebagai gantinya, kamu bantu kami. Setuju?”
“Setuju! Aku tidak keberatan. Nah, kalau begitu, tolong lepas kalung ini sekarang!”
Sieg menunjuk kalung di lehernya. Tapi aku tidak berniat melepasnya.
“Tidak bisa.”
“Kenapa!?”
“Itu untuk memastikan kamu tidak melakukan hal aneh.”
“Tidak adil! Nona Fine~!”
Sambil memanggil Fine, Sieg melompat ke arahnya. Fine bahkan sudah bersiap menyambutnya, namun di tengah jalan Sieg malah jatuh lurus ke bawah.
“Guhee...”
“Itulah alasan kenapa kalung itu diperlukan.”
“Tidak apa-apa, Sieg?”
“Ugh... Sial...”
Aku langsung menambah berat pada kalung itu, membuat Sieg menghantam lantai dengan keras.
Dengan susah payah mengangkat wajahnya, Sieg menatapku tajam lalu menunjukkan giginya seperti binatang buas.
“Kalau begitu, aku akan paksa ambil kuncinya! Serahkan!”
Sambil berkata begitu, Sieg berlari mendekat dan langsung menempel erat di lenganku.
Lebih tepat disebut mirip koala daripada beruang.
“Bagaimana? Kalah kamu?”
“Apa maksudmu?”
“...Eh? Tidak terasa berat ya?”
“Hanya berat untukmu. Aku memang merasakan beban, tapi karena tubuhmu ringan, tidak terasa apa-apa.”
Sambil berkata begitu, aku terus menambah beratnya. Rasanya seperti anak kecil menggantung di lenganku. Sieg terus menempel, namun tubuhnya perlahan meluncur turun.
Dengan sekuat tenaga dia mencengkeram lenganku, tapi lengannya mulai gemetar. Sepertinya sudah mendekati batas.
“Dasar... Jangan kira kamu sudah menang! Suatu saat nanti aku akan rebut kembali kuncinya dan... Aw!”
Sebelum selesai bicara, cengkeramannya terlepas, dan dia jatuh ke lantai dalam posisi telungkup.
Meski berusaha bangkit, aku menambah berat lagi sebagai pukulan terakhir.
“Ada yang mau kamu katakan?”
“Maaf... Tolong dikurangi beratnya...”
“Bagus.”
Setelah kukurangi beratnya, Sieg langsung melompat ke arahku.
“Kena kamu!”
“Justru kamu yang kena.”
“AAAAAAGUBAAH!”
Karena melompat, dia jatuh dari tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya dan menghantam lantai dengan keras. Kali ini, dia benar-benar terdiam.
“Kalau kami butuh bantuan, kami akan memanggilmu. Sampai saat itu, tetap diam.”
“...Ya...”
Setelah percakapan itu, aku kembali menyelesaikan tumpukan dokumen. Sementara itu, Sieg merayap perlahan kembali ke kursinya.
Namun saat dia mencoba mengintip ke dalam rok Fine, aku menaikkan beban kalungnya hingga tiga kali lipat. Mendengar dia menjerit bahwa tubuhnya akan remuk, aku putuskan untuk membiarkannya begitu saja sebagai hukuman.
Meski sekarang tubuhnya adalah anak beruang, dia tetaplah petualang peringkat S. Tak diragukan lagi dia adalah kekuatan besar. Tapi sekaligus, aku telah menarik seseorang yang merepotkan.
Yah, selama aku tidak salah memanfaatkannya, tidak akan jadi masalah.
Dengan pemikiran itu, aku menyesap teh buatan Fine yang harum dan hangat.
Bagian 10
“Nak, bukankah aku dipanggil ke sini karena ada pekerjaan?”
“Iya, makanya aku kasih kamu pekerjaan, kan?”
“Ku-chan! Beruang ini bisa bicara, lho!”
“Rasanya enak disentuh... Nyaman banget.”
“Jadi pekerjaanmu itu menjaga anak-anak?”
Dengan ekspresi agak menyeramkan khas beruang, Sieg memprotes.
Tapi melihat dirinya dipermainkan oleh Rita dan Christa, rasanya tidak ada kesan menyeramkan sedikit pun.
Kebetulan Rita dan Christa datang berkunjung, jadi aku menyerahkan Sieg sebagai teman bermain mereka.
Tampaknya Sieg tidak menyukai semua perempuan tanpa pandang bulu, khususnya anak-anak tidak masuk dalam jangkauan ketertarikannya. Karena itu, meski disentuh oleh Christa dan Rita, dia hanya terlihat terganggu. Tidak marah berarti dia juga tidak membenci anak-anak.
“Hei, anak-anak. Aku ini sebenarnya manusia, tahu?”
“Oooh! Rita juga mau jadi beruang!”
“Tapi sekarang kamu beruang...”
“Dengarkan dulu dong!”
Ditarik-tarik, dielus-elus, Sieg mencoba menjelaskan dengan sungguh-sungguh, tapi kedua gadis kecil itu sama sekali tak memperhatikannya.
Wajar saja, mereka anak-anak. Beruang kecil yang bisa bicara, tampak lucu, dan empuk saat disentuh, tentu saja ingin mereka pegang terus.
“Aku akan selesai sebentar lagi. Temani mereka sampai itu.”
“Pekerjaan ya... Bukannya kamu itu dikenal sebagai Pangeran Sisa? Katanya pangeran payah yang tidak punya semangat dan kemampuan. Eh! Jangan tarik bersamaan! Aaaaargh, terbelah nih...”
“Rumornya tidak salah. Tapi belakangan ini banyak yang harus kulakukan. Aku tidak bisa terus-menerus malas.”
“Jadi bukan karena tak bisa, tapi karena tak mau? Hidupmu enak juga ya.”
“Namanya juga pangeran. Bahkan kalau tak melakukan apa-apa pun, tidak akan ada masalah. Toh sudah dilahirkan dalam posisi nyaman, jadi kenapa tidak memanfaatkannya sepenuhnya?”
Sambil berbicara, aku mulai menyerap informasi yang dibawa oleh Sebas.
Kebanyakan informasinya tidak penting, tapi terkadang informasi kecil bisa berguna. Justru karena kami tak bisa bergerak secara terang-terangan, informasi kecil harus diperhatikan.
“Berjuang habis-habisan demi menjadikan adikmu sebagai kaisar. Saudara yang hebat, ya. Oi! Jangan sentuh mataku! Jangan di mata!”
“Aku tidak berjuang habis-habisan. Cuma menunjukkan semangat secukupnya. Soalnya kalau orang lain menang, bisa-bisa aku dihukum mati.”
“Kenapa tak kabur saja? Kamu pasti punya banyak cara.”
“Kalau aku sendiri, mungkin akan kabur.”
Aku menoleh ke Christa dan Rita. Kalau harus kabur, aku juga harus membawa anak-anak ini. Kekuatan kami bertambah, begitu pula orang yang harus dilindungi. Kabur sudah bukan pilihan realistis lagi.
“Begitu ya... Kamu ini terlalu lembut.”
“Terserah kamu mau bilang apa.”
“Yah, aku tak membencinya sih. Tapi ingat baik-baik. Kalau kamu menyerahkan pekerjaan padaku, aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Jangan protes nanti, oke?”
Ucapannya terdengar keren, tapi karena kedua telinganya sedang ditarik-tarik oleh Christa dan Rita hingga wajahnya memanjang aneh, kesan kerennya hilang sama sekali. Benar-benar pemandangan yang lucu.
“Ya, aku serahkan padamu. Aku yang akan bertanggung jawab, jadi lakukan sesukamu. Selama hasilnya ada, aku tak akan banyak bicara.”
“Itu bagus. Aku akan kerjakan sesukaku. Hei! Berhenti tarik-tarik telingaku! Kalau bisa tangan atau kaki saja!”
“Hanya saja, jangan buat masalah dengan perempuan, ya?”
“Dengan penampilanku sekarang, itu agak susah. Tapi, hei, aku ini Sieg. Bisa saja ada satu atau dua wanita yang jatuh cinta padaku. Tapi itu bukan salahku, kan?”
Sambil berkata begitu, Sieg digantung di udara dengan kedua tangannya ditarik, seakan merasa bangga.
Yah, kurasa tak akan ada perempuan yang jatuh cinta pada Sieg dalam bentuknya sekarang.
“Aku tidak khawatir soal itu. Nah, sudah selesai. Christa, Rita, mau main apa?”
“Mau main dengan Sieg...”
“Rita mau main petak umpet! Sieg jadi penjaganya, ya!”
“Baiklah! Aku akan menyelesaikannya secepat... Eh! Beratnya bertambah, curang!”
“Hadapi mereka dengan lembut, mereka itu anak-anak.”
‘Ngomong-ngomong, kamu juga kabur kan! Curang juga tuh!”
Mengabaikan Sieg yang tertempel di lantai karena berat badan yang ditambah, aku pun lari bersama Christa dan Rita.
Bagian 11
“Pemandian air panas?”
“Ya. Bagaimana kalau kita semua pergi bersama?”
Itu adalah usulan yang sangat tiba-tiba. Setelah kegiatan distribusi logistik dan penangkapan Sieg, tubuhku terasa nyeri di berbagai tempat karena terus-menerus keluar dalam beberapa hari ini, dan Elna tiba-tiba mengusulkan perjalanan ke pemandian.
Tempatnya adalah Heilung, penginapan pemandian air panas tua dekat ibu kota kekaisaran. Dikenal luas karena digunakan oleh kaisar dan para prajurit terkenal sejak lama, tempat ini diyakini mampu menyembuhkan luka dan menghilangkan kelelahan.
Namun, sejujurnya aku tidak ingin pergi. Alasan pertama, itu merepotkan. Terus terang saja, aku lelah dan tidak sedang ingin keluar. Kenapa aku harus merasa lelah untuk menghilangkan lelah?
Alasan lainnya, aku curiga kenapa Elna mengusulkan hal ini di waktu seperti ini. Terasa seperti ada maksud tersembunyi di baliknya.
Saat aku memikirkan hal itu, Elna menghela napas seolah bisa membaca pikiranku.
“Aku tidak punya niat terselubung apa pun, kok.”
“Kalau begitu kenapa mendadak mengajak pergi?”
“Ibu bilang, karena belakangan ini kamu sudah berusaha keras, jadi pergilah ke pemandian dan istirahatlah. Lagipula, aku sendiri jarang punya kesempatan untuk pergi karena pekerjaan sebagai kesatria pengawal.”
Walau hukuman penahanan Elna sudah dicabut, belum ada kepastian kapan dia akan kembali menjadi kesatria pengawal.
Ayahanda mungkin ingin menyelidiki lebih lanjut tanggung jawab Elna karena gagal melindungi Christa, sehingga dia dicopot dari posisinya. Dan meskipun ingin mengembalikan Elna, tidak mungkin melakukannya tanpa alasan yang jelas.
Namun dengan ulang tahun ke-25 penobatan kaisar yang semakin dekat, tak ada lagi waktu untuk membiarkan Elna berleha-leha. Sebentar lagi akan keluar perintah untuk memanggilnya kembali sebagai kesatria pengawal. Jika itu terjadi, dia akan kembali sibuk.
Jadi, masuk akal untuk beristirahat sekarang selagi masih bisa. Tapi tetap saja.
“Kalau begitu, biarkan aku sendiri... Jujur saja, aku tak punya tenaga untuk keluar.”
“Menyedihkan sekali.”
Elna menghela napas dan duduk di kursi dalam ruangan, menyilangkan kaki dan menatapku.
“Mungkin kamu tidak mau pergi, tapi bagaimana dengan yang lain?”
“Tidak perlu aku ikut hanya untuk ke pemandian, kan?”
“Memang tidak perlu, tapi pasti ada yang ingin kamu ikut.”
“Siapa?”
“Entahlah, siapa ya?”
Elna menanggapi dengan wajah polos. Apa maksud dari percaya diri yang aneh itu? Biasanya dia akan memaksaku dengan keras. Tapi kali ini tidak. Kenapa?
Perasaan tak enak mulai muncul. Saat aku berpikir begitu, pintu kamar terbuka.
“Kakak! Kalau ke pemandian, aku juga mau ikut!”
Leo masuk dengan semangat membara, senyum di wajahnya bahkan lebih cerah dari biasanya. Benar-benar bersemangat.
Aku langsung menghela napas dan memandang Elna. Dia menghindari tatapanku.
“...Leo. Aku belum bilang aku mau pergi, lho.”
“Eh? Tapi aku sudah mengajak Christa dan Nona Fine juga, loh.”
“Kenapa kamu begitu...”
Aku menutupi wajah karena tak habis pikir. Leo memang suka kegiatan ramai-ramai semacam ini, seperti bepergian bersama semua orang.
Sejak kecil dia selalu bermimpi pergi liburan keluarga. Tapi itu hanya mimpi. Karena jika kaisar, permaisuri, dan para pangeran bepergian, butuh pengawalan besar-besaran. Ini tak akan jadi perjalanan santai keluarga.
Saat dewasa, perebutan takhta membuat waktu seperti itu tak tersedia. Mungkin sekarang dia melihat ini sebagai kesempatan mewujudkan mimpinya.
“Lalu bagaimana dengan komando pasukan penjaga ibu kota?”
“Satu hari tidak masalah. Aku kan jenderal kehormatan.”
“Kita sedang dalam perebutan kekuasaan. Meski sekarang masa tenang...”
“Pangeran Eric akan meninggalkan ibu kota siang ini. Dia Menteri Luar Negeri. Kubu Pangeran Gordon juga tidak akan bergerak. Pekerjaan lain sudah ditangani Marie.”
“...”
Sial, semua kondisinya malah mendukung.
Leo pergi ke pemandian air panas dalam keadaan seperti ini akan memberi kesan baik. Tidak melakukan apa pun saat bisa bertindak berarti menyiratkan bahwa dia tidak ingin menentang kehendak Ayahanda. Dalam konteks perebutan takhta, ini langkah yang cerdas. Tapi tetap saja, itu bukan alasan aku harus ikut.
“Kalau memang sebegitunya ingin pergi, kamu dan Elna saja yang pergi.”
“Aku tak bisa meninggalkan kakak sendiri.”
“Justru tinggalkan aku, tolong.”
“Akhir-akhir ini kakak tak pernah istirahat, kan? Sekali-kali santai bersama orang terdekat, yuk.”
“Dengar ya... Justru karena aku ingin istirahat, aku tidak mau pergi.”
Saat perdebatan jalan di tempat, Fine muncul bersama Lynfia. Mereka juga tampak senang bukan main.
“Tuan Al! Anda akan pergi ke pemandian? Saya juga ingin ikut!”
“Bukan, maksudku aku belum bilang akan...”
“Tuh, Nona Fine juga semangat, kan?”
Leo menekanku dengan pilihan. Leo, Fine, dan Elna, tiga orang ini ternyata sudah sepakat.
Aku menatap Lynfia, satu-satunya harapan terakhirku.
“Kalau ini soal pemulihan, saya setuju. Mungkin sekarang Anda merasa terlalu lelah untuk bergerak, tapi dengan pemandian air panas akan membantu menghilangkan rasa lelah itu.”
“Bahkan kamu juga, Lynfia...”
Kupikir kamu akan memihakku...
Aku menjatuhkan bahu dengan kecewa, tapi masih belum mau menyerah. Pemulihan? Aku belum separah itu. Aku hanya kelelahan biasa. Tidur pun sudah cukup.
Bisa jadi malah makin capek karena pergi ke pemandian.
“Aku tidak mau pergi.”
“Jangan begitu...”
“Kak, ini demi kakak sendiri, lho.”
Bohong. Wajahmu jelas menunjukkan bahwa kamu yang ingin pergi, Leo.
Saat aku mencibir karena kesal, tamu baru datang lagi.
“Kakak Al... Pemandian...”
Dari luar pintu, Christa mengintip dan menatapku lekat-lekat.
Dari sorot matanya, jelas dia ingin ikut.
Lalu di belakang Christa, Rita juga mengintip wajahnya.
“Rita juga mau ikut! Kakak Al, ayo ikut.”
“Bahkan Rita juga... Kalau semua ikut, harus atur jadwalnya...”
“Serahkan pada saya. Semuanya sudah saya atur.”
“...”
Sebas muncul tanpa suara dan malah mengumumkan bahwa semuanya sudah beres.
Kenapa? Padahal aku tuannya...
Biasanya aku terbantu dengan kehebatannya, tapi kali ini dia malah jadi masalah.
Aku menatap Sebas dengan tajam, tapi dia tak terganggu sedikit pun. Bahkan...
“Kalau Tuan Arnold tidak ikut, bisa jadi gosip di ibu kota. Seolah-olah Pangeran Leonard pergi diam-diam bersama Nona Elna dan Nona Fine. Bisa menghancurkan citra Pangeran Leonard.”
“Aku ikut pun, gosipnya tetap sama, kan?”
“Karena semua orang tahu bahwa Tuan Arnold, Pangeran Leonard, dan Nona Elna adalah teman masa kecil. Lalu Nona Fine ikut, juga Putri Christa dan temannya. Itu akan dianggap sebagai perjalanan keluarga yang ideal.”
Logika macam apa itu? Warga ibu kota bisa puas dengan penjelasan seperti itu?
Para gadis yang mengidolakan Leo, para pria yang mengagumi Fine, mereka akan mundur hanya karena aku ikut?
“Kalau kita bilang ini demi pemulihan Anda, semuanya beres. Artinya, kehadiran Anda sangat penting.”
“Kenapa kalian semua bersikeras agar aku ikut...”
“Persaingan takhta makin ketat. Baik Anda maupun Pangeran Leonard telah banyak berkorban. Luka dan kelelahan juga menumpuk. Sekarang waktunya beristirahat dengan sungguh-sungguh.”
“Haa... Baiklah, baiklah. Aku ikut, oke? Ikut.”
“Benarkah? Asyik!”
Leo bersorak gembira seperti anak kecil, dan ikut bersenang-senang bersama Christa dan Rita.
Seberapa besar sebenarnya keinginannya pergi, orang ini?
“Yang akan pergi adalah aku, Leo, Elna, Fine, Lynfia, Christa, Rita, dan Sebas. Delapan orang. Dengan sebanyak ini, kita tidak butuh pengawal.”
“Hei, hei! Jangan lupakan aku, bocah!”
Dengan seringai lebar di wajahnya, Sieg masuk ke ruangan.
“Pemandian air panas... Tempat impian bagi kaum lelaki! Di balik dinding itu terbentang taman penuh pesona! Haruskah kita maju, atau mundur? Di sanalah nyali pria diuji! Pertama kali memang menegangkan, tapi tenang saja! Aku, Sieg yang agung, akan mewujudkan impianmu! Bocah! Ikuti aku!”
“Kamu jaga rumah.”
“Apa!?”
Sieg yang tengah larut dalam dramanya sendiri ditarik kembali ke realitas, wajahnya dipenuhi keterkejutan.
Yang membuatku terkejut justru adalah keterkejutannya itu. Maksudku, sudah jelas aku tak mungkin mengajak seorang tukang intip ikut serta.
“Kamu pasti akan mengintip. Tadi saja sudah menyatakannya dengan gamblang.”
“A-Aku tidak akan mengintip! Barusan itu cuma perumpamaan tentang betapa butuh keberanian untuk masuk air panas, tahu!”
Perumpamaan macam apa itu. Jelas-jelas tadi dia sedang menyatakan niatnya untuk mengintip.
“Apa pun alasanmu, percuma saja. Kamu jaga rumah.”
“Hei! Itu keterlaluan! Apa kamu tidak punya sedikit pun rasa kasihan sebagai sesama lelaki!?”
“Tidak ada. Sedikit pun.”
“Kamu kejam! Jangan-jangan kamu sendiri yang berencana mengintip! Berpura-pura tak ingin ikut, padahal diam-diam sudah merencanakan semuanya! Tak akan kubiarkan kamu nikmati itu sendirian! Kulit halus para wanita adalah harta bersama seluruh pria di dunia!”
Sambil berteriak, Sieg meloncat ke arahku. Tapi pada saat itu juga, aku menambah beban pada kalung lehernya dan dia langsung jatuh ke lantai.
“Aaarrgh!!”
“Menjaga rumah ini demi keselamatanmu juga. Kalau nekat mengintip, Elna akan menebasmu.”
“A-A-Apa kamu kira aku, seorang pahlawan sejati, akan gentar dan membiarkan itu terjadi!? Bawa aku bersamamu... T-Tolong... Bawa aku juga...”
“Sikapmu mulia, tapi tetap saja, tidak bisa.”
“Apa-apaan! Ajak aku! Aku juga mau! Aku mau ikut!”
Sambil terus merengek, Sieg berguling-guling di lantai seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan.
Perbedaannya, anak kecil tidak berusaha mengintip ke bawah rok Fine saat berguling.
Untung saja sebelum berhasil mendekat, dia sudah dipantulkan oleh Lynfia.
“Kalau begitu sudah diputuskan. Kalau mau berangkat, ayo cepat. Kereta sudah siap, kan?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu, berangkat.”
“Dasar kalian... Ingat ini, bocah. Meskipun kamu meninggalkanku, akan muncul Sieg yang kedua, bahkan ketiga...”
“Tenang saja. Sieg kedua dan ketiga juga akan ditebas Elna.”
Dengan itu, kami pun meninggalkan tempat itu dan menuju ke penginapan pemandian air panas tua, Heilung.
Bagian 12
“Ahh... Airnya enak sekali.”
Setelah tiba di Heilung, kami pun dibagi ke kamar pria dan wanita. Karena tujuan utama adalah berendam, aku dan Leo segera menuju pemandian.
Sumber air panas Heilung terletak di lereng gunung, dan airnya dialirkan ke tempat ini dari sana. Konon, air panas ini memiliki khasiat menyembuhkan luka dan kelelahan, dan tempat ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di Kekaisaran. Dan saat ini, tempat itu kami sewa secara eksklusif. Bukan karena kebetulan tidak ada tamu lain, tapi karena Keluarga Pahlawan menyewanya untuk sehari penuh. Pasti ulahnya Anna.
Yah, berkat itu aku tak perlu cemas akan hal-hal tak perlu dan bisa menikmati waktu dengan tenang. Aku harus berterima kasih atas hal itu.
“Senang kan akhirnya ikut?”
Kata Leo seraya ikut merendamkan tubuhnya ke dalam air. Tak seperti aku, tubuhnya yang terlatih terlihat kokoh dengan luka-luka kecil di sana-sini, dan ada luka besar di bahunya, bekas tusukan saat bertarung melawan iblis di wilayah selatan. Dia menyiramkan air panas ke luka itu.
“Kakak juga rendam tangan kirimu dengan benar ya? Konon katanya bisa menghilangkan nyeri.”
“Tidak masalah. Sudah terendam kok.”
Sambil berkata demikian, aku menenggelamkan tubuhku lebih dalam. Rasa lelah yang menumpuk belakangan ini perlahan-lahan larut bersama air hangat ini.
Ahh, rasanya nyaman sekali...
“Sebas juga seharusnya ikut berendam.”
“Katanya dia berjaga di luar. Mungkin nanti dia akan masuk begitu kita selesai.”
“Begitu ya. Kalau begitu, aku akan naik duluan. Kakak juga jangan sampai pingsan karena kelamaan ya?”
“Iya, aku tahu.”
Leo pun keluar dari air, dan aku memejamkan mata dalam kesunyian.
Efek pemulihannya mungkin memang nyata. Aku bisa merasakan aliran sihir dari dalam air. Mungkin bahkan energi sihirku juga ikut pulih. Karena akhir-akhir ini aku terus menggunakan sihir, tubuhku tidak kunjung kembali ke kondisi sempurna.
Sampai sekarang aku masih bisa bertahan, tapi nanti mungkin tidak semudah itu. Jika benar-benar harus bersaing dengan Eric, maka gerak-gerik di balik layar pun harus lebih hati-hati.
Mungkin itulah maksud Sebas membawaku kemari.
“Huff...”
Aku mengembuskan napas dalam-dalam, mengalirkan juga kegelisahanku bersamanya. Untuk sekarang, aku akan berhenti berpikir. Biarkan tubuhku larut dalam air dan waktu yang berlalu. Saat tengah menikmati pemandian dalam ketenangan seperti itu, suara dari samping terdengar.
“Kakak Al! Kakak Leo!”
Suaranya Rita. Aku sempat ragu untuk menjawab, tapi mengabaikannya juga kasihan. Jadi aku menjawab saja.
“Leo sudah naik duluan.”
“Eh, di sana bagaimana rasanya?”
“Pasti tidak jauh beda dengan di sana. Katanya tergantung waktu, sisi ini bisa jadi pemandian wanita juga.”
Air panas dialirkan dari sumbernya ke sisi pria dulu, baru menyebar ke sisi wanita di sebelahnya. Mungkin karena itu, sisi pria ini sedikit lebih panas. Tapi bedanya hanya itu.
“Hei! Rita! Bilas tubuhmu dulu sebelum masuk!”
“Ehh! Aku sudah tidak sabar ingin masuk!”
“Tidak boleh! Bilas dulu!”
Elna menegur Rita dengan suara tinggi.
Sepertinya para wanita akhirnya mulai masuk. Rupanya mereka cukup lama bersantai di kamar. Tapi karena tempat ini disewa pribadi, mungkin mereka merasa tak perlu terburu-buru.
“Yang Mulia, airnya tidak terlalu panas?”
“Tidak... Aku baik-baik saja.”
Terdengar suara Fine dan Christa dari arah lain. Mungkin Fine sedang mencuci rambut Christa. Dari nadanya, Fine terdengar bahagia, jadi sepertinya dia tidak merasa terbebani merawat anak-anak. Aku sempat merasa bersalah telah membebankan Rita dan Christa padanya, tapi rupanya itu hanya kekhawatiranku saja.
Sambil mendengarkan suara-suara itu, aku membuka mata dan memandangi langit. Senja telah datang, dan langit yang mulai gelap menunjukkan warna-warna yang memukau. Mungkin karena sedang berendam, langit itu tampak lebih istimewa.
Aneh memang. Sebelum datang aku malas, tapi begitu masuk ke air, aku merasa bersyukur telah datang. Bahkan rasanya aku bisa hidup di air ini selamanya. Saking nyamannya.
Saat sedang tenggelam dalam pemikiran kosong itu, tiba-tiba aku mendengar suara aneh.
“Chu-pii.”
“Chu-pii...?”
Aku menurunkan pandangan dari langit.
Seekor binatang mirip penguin berbulu hitam ada di dekatku. Ukurannya kecil, dan penampilannya seperti penguin, walau tampak sedikit gemuk. Mungkin peliharaan seseorang. Ia bahkan memakai pakaian yang terlihat mewah.
Tapi bukan itu masalahnya.
“Hei... Kamu... Tongkat itu kamu dapat dari mana...?”
Masalahnya adalah binatang mirip penguin itu membawa tongkat yang tampak seperti alat sihir.
Kalau ingatanku benar, itu adalah alat sihir yang berkaitan dengan air. Dan seingatku, benda itu seharusnya tidak ada di sini.
Penguin itu menunjuk ke arah lereng gunung.
“Dari sana kamu mengambilnya...?”
“Chupii.”
Dengan suara seakan membenarkan, ia mengangguk.
Di sana adalah sumber air panas. Biasanya ada alat pengatur volume air, agar tidak mengalir terlalu banyak. Jangan-jangan...
“Itu alat pengatur airnya, ya...?”
“Chupii.”
Tepat setelah aku berkata begitu, suara gemuruh keras terdengar dari lereng.
Sial!
Aku berdiri seketika, mencoba keluar dari pemandian. Tapi karena licin, aku kehilangan keseimbangan dan langsung dihantam arus air deras yang tiba-tiba datang.
Air membanjiriku, membuatku kehilangan arah dan keseimbangan. Namun dengan susah payah, aku berhasil mengangkat kepala di permukaan air.
“Puhahh... Haah... Haah...”
Aku benar-benar nyaris mati...
Mungkinkah aku dikutuk oleh takdir dalam hal pemandian? Pertama, tenggelam karena Elna. Sekarang, hampir mati gara-gara binatang aneh.
“Sial... Sial benar...”
Aku berusaha bangkit dan keluar dari pemandian.
Namun saat itu aku menyadari, ada sesuatu yang aneh pada pemandangan sekitarku.
Perbedaannya kecil. Aliran air datang dari arah yang sedikit lebih jauh dari sebelumnya. Tapi hal yang lebih mengganggu adalah tempat aku berada sekarang seharusnya terpisah dengan papan kayu, dan sisi itu adalah...
“Aaahh...”
Sebuah jeritan lirih menggema di telingaku.
Ternyata saat aku terseret air, papan pembatas hancur.
Ya, aku sekarang berada di pemandian wanita.
Tepat di depanku berdiri Elna, tanpa sehelai benang pun. Di belakangnya ada Fine, Christa, dan Rita yang juga telanjang. Di antara mereka, Lynfia berdiri dengan pedang di tangan, tampaknya berusaha melindungi mereka. Tapi dalam situasi seperti ini, pedang bukanlah pilihan yang tepat, seharusnya pakai handuk.
Tubuh Fine yang montok, bentuk tubuh Lynfia yang proporsional, serta kulit putih mereka yang menyilaukan, semuanya terlihat jelas.
Pedang yang terlalu ramping untuk digunakan sebagai penutup. Begitu pula dengan Elna di depanku.
Meski berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, itu jelas tidak cukup.
Dada Elna memang mengecewakan seperti biasa, tapi tubuh bagian bawahnya ramping dan indah, menampilkan lekuk feminin yang memikat. Walau untuk melihatnya harus mengorbankan nyawa.
“Al...? Ada yang ingin kamu katakan sebelum ajal menjemput...?”
“Begini... Elna, lekukan ramping di bagian bawah tubuhmu itu luar biasa. Lynfia sangat seimbang dari atas ke bawah, sungguh luar biasa. Sementara Fine punya perpaduan sempurna antara dada besar dan pinggang ramping.”
Begitu aku mengucapkannya, ketiganya serempak memerah dan buru-buru menutupi tubuh mereka lebih erat lagi.
Berbohong atau mencoba membela diri hanya akan sia-sia. Nasibku sudah ditentukan, jadi kupikir lebih baik menyampaikan pendapatku sejujurnya.
Penilaian jujur dari pria mungkin berguna bagi mereka di masa depan. Sebagai ganti dari pemandangan luar biasa yang telah kulihat, aku rasa ini adalah bentuk pengorbanan yang sepadan.
Christa dan Rita tentu saja tidak bisa aku nilai. Yah, kalau Kakak Trau, mungkin dia sudah menangis terharu, tapi aku tidak punya selera seperti itu.
“Setelah menerobos masuk ke pemandian wanita, cuma itu yang bisa kamu katakan?”
“Aku tidak akan cari-cari alasan. Memang sepenuhnya kebetulan... Tapi sungguh, pemandangan yang indah. Terima kasih banyak.”
Begitu aku menundukkan kepala dengan hormat, sebuah hantaman keras terasa di kepala, dan aku langsung dijeburkan ke dalam air dengan kekuatan penuh.
Dalam satu pukulan, kesadaranku mulai menghilang. Entah kenapa aku merasa seolah pernah mengalami hal serupa sebelumnya, dan sambil memikirkan itu, aku perlahan-lahan melepaskan kesadaranku.
Dalam proses itu, sepertinya aku mendengar suara binatang mirip penguin itu.
Ya, benar... Makhluk itu, begitu kutemui lagi, akan kubakar dia utuh-utuh.
Dengan tekad itu dalam hati, aku pun tenggelam ke dasar.
Bagian 13
Paviliun terpisah milik Heilung. Tempat yang seharusnya disewa penuh atas nama Keluarga Pahlawan itu kini dipenuhi oleh para kesatria pengawal. Tentu saja bukan untuk berlibur.
Orang yang harus mereka lindungi saat ini sedang menginap di paviliun itu.
“Yang Mulia, saya telah membawa teman Anda.”
Sambil menundukkan kepala dengan hormat, seorang kesatria pengawal memasuki ruangan.
Di lengannya, dia menggendong seekor hewan yang menyerupai penguin berbulu hitam. Mungkin karena lelah, hewan itu tertidur nyenyak.
Padahal ia adalah biang keladi dari insiden penguapan air panas di pemandian utama penginapan ini, yang menyebabkan seorang pangeran kekaisaran nyaris tenggelam, namun kini ia tampak sangat damai.
“Oh! Temanku telah kembali!”
Suara riang yang ceria bergema di dalam ruangan. Mendengar suara itu, hewan mirip penguin itu pun membuka matanya dan mendekati sang pemilik suara. Lalu orang itu mengangkat penguin kecil tersebut ke pelukannya.
“Kamu ke mana saja? Jangan-jangan kamu bermain sendiri tanpa mengajak aku?”
“Chupii.”
“Begitu ya, begitu ya! Tak mengapa! Aku ini berhati luas! Aku maafkan!”
Ucap pemilik suara sambil menurunkan penguin kecil itu, lalu mengalihkan pandangan ke kesatria pengawal yang membawanya.
Sang kesatria tampak sedikit tegang. Sosok yang dia sebut sebagai “Yang Mulia” adalah tamu negara yang diundang secara rahasia. Itulah sebabnya orang itu pun menginap di penginapan yang telah disewa penuh oleh Keluarga Pahlawan. Fakta bahwa peliharaannya sempat kabur merupakan sebuah kelalaian dari pihak pengawal.
Jika sampai membuat marah, bisa menjadi kerugian besar bagi Kekaisaran. Sebagai kesatria pengawal, itu adalah aib yang tak boleh terjadi. Penyesalan menyelimuti hatinya. Namun, sosok pemilik suara justru berkata dengan suara cerah, “Kamu sudah membawanya kembali dengan baik! Terima kasih, Kesatria Pengawal!”
“A-Apakah Anda tidak marah...?”
“Temanku telah kembali ke pelukanku dengan selamat. Bukankah itu sudah cukup? Tapi, ya... Kalau kamu memang merasa bersalah, kuharap aku tidak terus-terusan dikurung di ruangan sempit begini?”
“Untuk itu, kami sungguh minta maaf. Keberadaan Yang Mulia adalah rahasia tertinggi. Mohon bersabar hingga kita tiba di ibu kota kekaisaran.”
“Kalau begitu, setibanya di ibu kota aku boleh berjalan-jalan ke luar?”
“Itu... Saya tidak bisa menjawabnya.”
Mendengar jawaban sang kesatria, orang itu hanya tertawa. Dia sudah menduga akan mendapat jawaban seperti itu.
Dan dengan itu, percakapan pun selesai. Sosok itu lalu mulai bermain dengan penguin kecil di dalam ruangan.
Meski dia tampak menikmati waktu itu, tetap saja ada rasa kurang bebas dalam dirinya.
“Ngomong-ngomong, barusan aku mendengar suara riuh dari luar?”
“Pangeran Ketujuh, Pangeran Kedelapan, dan Putri Ketiga telah datang bersama rombongan mereka.”
“Begitu rupanya. Jadi yang membuatku harus berdesakan di tempat sempit ini adalah para keluarga kekaisaran itu.”
“Y-Yang Mulia...”
Kesatria itu panik, menyadari dirinya telah bicara terlalu banyak. Namun sang pemilik suara hanya tertawa melihatnya.
“Jangan panik. Aku takkan melakukan apa pun. Bukankah aku sudah bilang? Aku ini berhati luas!”
Sambil berkata begitu, sosok itu membusungkan dada dengan bangga. Penampilannya seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dia benar-benar tulus, namun sang kesatria hanya bisa merasa khawatir. Dia pun memilih untuk tidak berkata apa-apa lagi. Karena jika terus berbicara dengan orang ini, hatinya tak akan kuat menanggungnya.
Sambil berkata “Mohon izin”, kesatria itu mundur keluar dari ruangan.
“Fuuuh...”
“Bagaimana? Apa beliau tampak marah?”
“Tidak, sepertinya suasana hatinya sedang bagus. Seperti yang beliau katakan sendiri, tampaknya beliau memang berhati besar. Untunglah.”
“Yah, bagaimanapun juga, dia adalah Perisai Kontradiksi yang dibanggakan oleh seluruh benua. Kalau dia orang yang mudah marah, tubuh kita takkan bertahan.”
“Benar sekali. Kuharap dia tetap tenang seperti sekarang.”
Dengan begitu, para kesatria pengawal pun kembali ke tugas penjagaan mereka.
Previous Chapter | Next Chapter
Post a Comment