NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V6 Chapter 2

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Bab 2: Tombak dan Perisai

Bagian 1

“Damai juga, ya.”

“Tak kusangka itu keluar dari mulut seseorang yang nyaris mati belum lama ini.”

Aku menggumam sambil memandangi kota dari atas kastel, lalu disindir oleh Sebas.

Sudah beberapa hari berlalu sejak kami pergi ke pemandian air panas.

Pada akhirnya, aku nyaris tenggelam. Pengalaman nyaris mati untuk kedua kalinya dalam hidupku. Meskipun, sekitar tujuh puluh persen kesalahan ada padaku, jadi tak bisa disalahkan juga. Ada yang bilang dilihat pun tak akan berkurang apa-apa, tapi yang berhak memutuskan itu adalah pihak perempuan.

Sejak kejadian itu, ketiga gadis itu memang sedikit menjaga jarak, tapi perlahan-lahan suasana kembali seperti biasa. Aku sungguh bersyukur.

Yang lebih melegakan lagi, mungkin karena merasa kasihan melihat aku hampir tenggelam, tak ada seorang pun yang mencoba mengajakku keluar lagi. Berkat itu, beberapa hari terakhir terasa sangat damai.

“Yah, aku cuma pingsan di dalam air. Lagipula, masuk ke pemandian wanita yang ada sang pahlawan di dalamnya dan bisa keluar hidup-hidup saja sudah untung. Kalau bukan aku, mungkin sudah dipenggal.”

“Pernyataan yang cukup masuk akal.”

“Lagipula, yang kumaksud dengan damai bukan hanya tentang diriku.”

Aku berkata sambil menyipitkan mata memandangi kota di bawah sana.

Sejak pemberontakan Duke Kruger, suasana di ibu kota kekaisaran memang tampak muram, tapi kini perlahan mulai hidup kembali. Jaringan distribusi yang sempat lumpuh juga mulai pulih, dan arus barang serta manusia mulai bergerak kembali.

“Karena kerusuhan yang terjadi berturut-turut, Kekaisaran sempat terpukul cukup keras. Bahkan sebelum sempat benar-benar pulih, masalah berikutnya sudah muncul, yang akhirnya berdampak pada kehidupan rakyat. Dalam situasi seperti itu, kurasa perjanjian gencatan senjata dalam perebutan takhta adalah keputusan yang baik.”

“Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kita juga kehilangan momentum karena itu.”

Aku menghela napas mendengar perkataan Sebas. Memang benar. Leo telah menyelesaikan semua kerusuhan berturut-turut itu. Namanya semakin harum, dan jumlah pengikutnya pun terus bertambah. Lalu tiba-tiba, gencatan senjata terjadi.

Saat itulah seharusnya kami mulai mengejar Eric. Waktunya benar-benar tidak tepat.

“Momentumnya memang hilang. Tapi kita juga tidak sedang menghadapi lawan yang bisa dikalahkan hanya dengan mengandalkan semangat. Jika Eric tahu kita akan menyerang, bisa saja dia sengaja menciptakan situasi ini dengan menyebar wacana bahwa perebutan takhta telah membebani kehidupan rakyat. Kalau sampai itu terjadi, kita akan tampak seperti pihak yang jahat. Sejak awal, kita selalu berada di posisi pihak yang aktif dalam setiap konflik.”

“Kalau itu Pangeran Eric, memang mungkin saja. Di permukaan dia selalu bersikap seolah menomorsatukan Kekaisaran, tapi tak pernah benar-benar memperlihatkan maksudnya. Mungkin itu juga karena dia punya kekuatan cukup besar, sehingga bisa tenang menghadapi apa pun. Tapi dia juga tak pernah secara aktif menumpas pihak lawan. Justru karena itulah perebutan takhta makin sengit.”

Sebas benar. Sebagai pihak dengan kekuatan terbesar, jika Eric mau, dia bisa saja menghancurkan pihak lain sejak awal dan menghentikan perebutan takhta ini. Gordon dan Zandra pun awalnya bukan lawan seimbang baginya. Termasuk kami.

Tapi entah kenapa, Eric tidak pernah mematahkan tunas itu sejak awal. Dia selalu menjaga keunggulannya, dan hanya membalas bila diserang. Hampir tak pernah dia memulai serangan sendiri.

Penonton terkuat. Itulah kesan yang melekat pada Eric.

“Aku memang tak tahu apa maksud sebenarnya dari orang itu, tapi jelas dia bukan lawan yang mudah. Jika kami sampai bertarung dengannya secara langsung, perebutan takhta akan kembali memanas. Maka sebelum itu terjadi, waktu pemulihan seperti ini tidaklah buruk. Kalau Leo melihat rakyat menderita, dia pasti akan berhenti bergerak. Dan aku ingin menghindari hal itu.”

“Jadi, Anda tidak akan bergerak selama masa ini?”

“Benar. Kami tidak akan mulai lebih dulu.”

Ayahanda secara langsung melarang kami untuk bergerak. Meski begitu, kalau tidak ketahuan, masih ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Tapi kalau sampai merusak ketertiban, maka tak ada artinya juga.

Sampai peringatan dua puluh lima tahun penobatan berlalu dengan aman dan perebutan takhta dibuka kembali, permainan di balik layar pun ditangguhkan.

Tentu, bukan berarti aku akan benar-benar diam.

“Lalu? Hanya karena aku bersantai, bukan berarti kamu juga ikut bermalas-malasan, kan? Ada informasi berguna yang kamu dapat?”

“Ya, saya memiliki beberapa informasi yang menarik.”

Mengumpulkan informasi adalah tugas Sebas. Selama masa gencatan senjata, dia terus bergerak dan mengumpulkan berbagai data.

Dari sisi kekuatan, kami kalah dibanding Eric. Bahkan bila dibandingkan dengan Gordon. Sekarang saat kami kehilangan momentum, satu-satunya cara untuk bertahan adalah mengantisipasi pergerakan lawan lewat informasi.

“Beri tahu aku.”

“Pertama, tentang Heilung yang kita kunjungi tempo hari. Seharusnya seluruh tempat telah disewa secara eksklusif, namun tampaknya ada tamu lain di paviliun terpisah.”

“Apa? Padahal itu disewa oleh Keluarga Pahlawan, bukan?”

Itu cukup menantang. Karena pihak yang menyewa tempat itu adalah kami para keluarga kekaisaran, aku, Leo, dan Christa, ditambah dengan Fine, kesayangan Ayahanda, serta Elna, penerus Keluarga Pahlawan. Kalau sampai diketahui publik, reputasi Heilung akan hancur.

“Benar. Tamu itu ternyata adalah para kesatria pengawal. Lebih tepatnya, Pasukan Pengawal Kedua yang menjaga paviliun.”

“Pasukan Kedua, ya?”

Di antara ketiga pasukan pengawal utama, komandan dari Pasukan Pertama hingga Ketiga adalah orang-orang yang sangat kuat. Itulah sebabnya mereka biasanya hanya diberi tugas penting. Apalagi sekarang Elna tidak ada, jadi dua yang tersisa menjadi sangat vital.

“Tak mungkin mereka ada di sana hanya untuk bersantai. Dan juga bukan untuk menjaga kita.”

“Betul. Mereka benar-benar menjaga paviliun secara penuh.”

“Kalau begitu, pasti ada orang penting di sana sampai-sampai harus menggunakan Pasukan Kedua. Ini jadi mencurigakan.”

Entah itu pejabat kekaisaran atau tokoh penting dari luar negeri. Yang jelas, kalau mereka menginap di sana, tujuannya pasti ibu kota atau sekitarnya. Melihat dikawal seperti itu, mungkin mereka datang untuk menemui Ayahanda.

Dengan pengamanan total dan tak ada informasi bocor ke luar, bisa dipastikan itu kunjungan rahasia. Tokoh yang tak boleh diketahui siapa pun.

“Saya masih akan terus menggali informasi lebih lanjut tentang ini.”

“Lanjutkan. Lalu, ada hal lain?”

“Masih ada satu lagi. Cukup menyulitkan. Apakah Anda tahu tentang Perjanjian Camar?”

“Tidak. Tapi karena namanya camar, pasti ada hubungannya dengan Fine, kan?”

“Benar. Perjanjian Camar adalah semacam kesepakatan terhormat antar bangsawan pria di Kekaisaran. Semacam perjanjian non-agresi. Intinya, tak boleh ada yang mendahului mendekati Fine.”

“Jadi mereka sempat membuat perjanjian seperti itu... Sungguh orang-orang yang terlalu santai hidupnya.”

“Mungkin memang terlihat remeh. Tapi coba bayangkan jika mereka semua secara bersamaan melamar Fine. Bisa kacau.”

“Itu memang masuk akal.”

Kalau para bangsawan di ibu kota langsung menyerbu Fine ketika dia datang, mungkin dia akan ketakutan dan langsung pulang ke wilayahnya sendiri. Dalam artian itu, perjanjian tersebut cukup berguna.

“Berkat perjanjian ini, sejauh ini tak ada bangsawan yang mengajukan lamaran langsung atau terlalu memaksa mengatur perjodohan. Namun, kini perjanjian itu mulai goyah.”

“Kenapa?”

“Penyebabnya Anda sendiri. Reputasi Anda yang membaik akhir-akhir ini justru menjadi bumerang. Kalau itu Tuan Leonard, mereka bisa terima. Tapi kalau sampai Fine dimiliki oleh Anda, banyak dari mereka yang tak bisa menerimanya. Kebanggaan mereka terusik.”

“Betapa bodohnya...”

Aku bergumam tulus dari lubuk hati.

Kalau benar-benar mencintai Fine, seharusnya bahkan Leo pun bukan alasan untuk menyerah. Tapi kenyataannya, mereka hanya mengincar nilai tambah dari Fine. Dia adalah putri bangsawan tinggi, wanita tercantik di kekaisaran, dan kesayangan Kaisar. Maka kalau yang menikahinya adalah orang seperti aku, mereka tidak bisa terima. Mereka yang merasa di atas tiba-tiba harus melihat seseorang yang mereka anggap rendah mendapatkan segalanya. Itu yang membuat mereka sakit hati.

“Dulu mereka tak menganggap Anda ancaman. Tapi sekarang, bukan tak mungkin Anda dan Fine bertunangan. Meski kebanyakan orang menganggap Tuan Leonard sebagai kandidat utama.”

“Dan karena itu mereka tak bisa diam. Kalau Leo tak apa, tapi kalau pangeran gagal sepertiku yang dapat, mereka merasa terhina. Sungguh tak masuk akal.”

“Benar. Saya berharap mereka bisa belajar dari Duke Reinfeld.”

“Betul. Contohlah orang yang tak pernah menyerah itu.”

Aku bergumam, agak kesal.

Kalau memang benar-benar mencintai Fine dan tak pernah ingin menyerah, mungkin aku akan mendukung mereka. Tapi orang-orang yang hanya bersembunyi di balik perjanjian lalu mundur karena alasan sepele tidak pantas didukung.

“Lalu, siapa yang jadi penggeraknya?”

“Baru satu orang yang secara resmi keluar dari perjanjian itu. Namanya Marquis Laurenz von Weitling.”

“Marquis Weitling...?”

Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku mendengar nama yang tak bisa dibilang tak berkaitan denganku.

Tak kusangka dia pernah ikut perjanjian itu.

“Sekarang setelah keluar, besar kemungkinan dia akan mulai mendekati Fine. Dan mungkin akan meminta audiensi langsung dengan Yang Mulia Kaisar.”

“Itu wajar. Bagaimanapun, dia adalah kepala keluarga Marquis Weitling.”

Laurenz von Weitling adalah bangsawan muda berusia dua puluh tahun yang kini memimpin salah satu keluarga paling terhormat di Kekaisaran. Wajah tampannya juga membuatnya jadi pusat perhatian di kalangan bangsawan.

Namun yang lebih penting, adalah dua kakaknya.

“Kakak pertamanya menikah dengan keluarga kekaisaran. Kakak keduanya adalah Komandan Kesatria Pengawal dan pemimpin Pasukan Pertama. Pengaruh keluarga ini luar biasa.”

Yang paling bermasalah adalah kakak pertamanya. Dia menikah dengan Putra Mahkota yang kini telah tiada.

Dengan kata lain, dia adalah istri dari kakak tertuaku. Berarti juga iparku.

“Ini akan menjadi rumit...”

“Di permukaan tidak ada kaitan dengan perebutan takhta, jadi Yang Mulia Kaisar tak bisa ikut campur.”

“Dari nada bicaramu, seolah ini berkaitan dengan perebutan takhta.”

“Dalam perjanjian itu, juga terdapat nama Reiner dari keluarga Duke Holtzwart. Konon, dia cukup dekat dengan Marquis Weitling.”

“Oh, adiknya Geed, ya. Tidak seperti kakaknya, dia cukup cerdas.”

Kemungkinan besar ini bukan atas arahan Eric, tapi keputusan keluarga Holtzwart sendiri.

Tampaknya perdamaian di Kekaisaran akan tetap terjaga, tapi hari-hariku yang damai mungkin sudah berakhir.


Bagian 2

Jika membicarakan seseorang, maka orang itu akan muncul, kata-kata itu terlintas di kepalaku.

Saat aku berjalan bersama Fine di dalam kastel, seorang pria tampan berpostur tinggi mendekat. Seorang bangsawan yang berambut pirang dan bermata biru. Di tangannya, dia membawa seikat bunga dengan warna biru yang serasi.

Wajahnya pernah kulihat sebelumnya, meski belum pernah berbincang dengannya. Tapi aku bisa mengerti mengapa dia selalu menjadi pusat perhatian di kalangan sosial. Hanya dengan berjalan saja, dia mencuri perhatian.

Pria bangsawan itu adalah Marquis Laurenz von Weitling.

“Senang bertemu dengan Anda, Nona Fine. Nama saya Laurenz von Weitling. Karena saya mendengar Anda menyukai bunga, saya membawakan bunga untuk Anda. Warna biru ini sangat cocok dengan Anda.”

Sambil berkata begitu, Laurenz tersenyum dan menyerahkan buket bunga itu kepada Fine.

Dalam sekejap aku sadar, aku tidak menyukai pria ini.

Dia tipe orang yang tidak bisa menjaga jarak dengan orang lain atau membaca situasi. Sepertinya dia orang yang polos, dan justru karena itu sifatnya jadi lebih mengganggu. Pandangannya sempit, dan pikirannya cenderung sepihak.

Fine tampak terdiam sejenak oleh tindakan Laurenz. Aku mengerti alasannya.

Di dalam kastel ini, dia mengabaikan keberadaanku sebagai pangeran, dan malah memberikan hadiah kepada Fine yang berdiri di sisiku. Perilaku seperti itu terlalu tidak sopan hingga membuatku terdiam.

“...Marquis Weitling. Saya tidak berniat menerima apa pun dari seseorang yang berlaku tidak sopan terhadap Yang Mulia.”

Dengan berkata demikian, Fine membungkuk dan melewati sisi Laurenz.

Sepertinya dia tidak menyangka bunganya akan ditolak. Laurenz tampak terperangah.

Mungkin selama hidupnya, segala sesuatunya selalu berjalan lancar. Orang-orang selalu menyesuaikan diri dengannya, dan dia tidak pernah perlu melakukannya. Sesuai dengan rumor, dia memang orang yang cakap.

Karena itu, dia terbiasa dimaafkan atas segala hal. Mungkin ini pertama kalinya dia ditolak oleh seorang wanita. Wajahnya benar-benar menunjukkan keterkejutan. Seolah ini adalah kegagalan pertamanya.

Laurenz menatap ke arahku. Di balik tatapan itu, terlihat warna kecemburuan yang pekat.

“...Apakah Anda memerintahkannya untuk mengatakan itu?”

“Asumsi yang cukup kasar.”

Berbicara tentang kurang ajar, Geed juga begitu, tapi setidaknya Geed sadar saat merendahkanku. Sedangkan Laurenz berbeda. Dia merendahkanku seolah itu hal yang alami baginya, tanpa sadar melakukannya. Bahkan jika kutanya langsung padanya, mungkin dia akan menyangkal. Tapi dari sikap dan suasananya, jelas dia memandang rendah diriku.

Dia tampak jauh lebih seperti keluarga kekaisaran dibandingkan aku. Tapi pada akhirnya, dia hanyalah seorang marquis. Dan itu terlihat sebagai bentuk kesombongan.

“Fine adalah orang yang baik. Dia tidak akan bersikap seperti itu padaku tanpa alasan.”

“Berani juga kamu bicara seperti itu, padahal kamu sendiri tidak benar-benar mengenalnya. Lagi pula, yang dia katakan tadi tidak salah. Bukankah seharusnya kamu minimal menyapa dulu padaku, meski hanya formalitas?”

“Kamu akan puas hanya dengan sapaan?”

“Aku tidak menuntutnya. Tapi melihat dari posisiku dan posisimu, itu hal yang wajar.”

“Aku mengabdi pada Yang Mulia Kaisar, bukan padamu. Jika seseorang pantas untuk dihormati, aku akan menghormatinya. Tapi kamu bukan orang seperti itu.”

“Begitu, ya? Yah, aku tidak terlalu peduli juga.”

Setelah berkata begitu, aku berniat melewati sisi Laurenz. Tapi saat aku melangkah, dia berkata, “Aku tidak bisa membiarkan Nona Fine bersamamu. Jika dia berada di sisimu, dia pasti akan merasa tidak nyaman.”

“Betapa egoisnya. Kamu boleh saja merasa penilaianmu paling benar, tapi ingatlah bahwa Fine juga punya kehendaknya sendiri.”

Setelah mengatakan itu, aku mengakhiri percakapanku dengan Laurenz dan melangkah di sepanjang koridor. Tak lama, aku melihat sosok Fine. Wajahnya tampak sedikit muram.

“Maafkan saya. Karena saya, Anda jadi mengalami hal yang tidak menyenangkan...”

“Itu bukan salahmu. Tapi... Marquis Weitling memang orang yang merepotkan.”

Geed memang menyebalkan, tapi tidak sampai merepotkan. Kemampuannya rendah, dan pengaruhnya terhadap sekitar pun lemah. Tapi Laurenz memiliki keduanya.

Mungkin sebenarnya dia adalah orang yang lebih waras, namun sekarang dia digerakkan oleh rasa cemburu. Dan laki-laki yang bertindak karena cemburu, jarang membawa hasil yang baik.

“Semoga saja dia tidak melakukan hal bodoh.”

“Marquis Weitling berasal dari salah satu keluarga bangsawan paling bergengsi. Tapi, apakah mereka tidak mengajarkannya bagaimana bersikap terhadap keluarga kekaisaran?”

“Mereka mengajarkannya. Dan dia pasti akan bersikap sopan kepada Leo. Tapi aku adalah pengecualian.”

“Tak mungkin...”

“Itu bukan hal yang aneh. Bagi para bangsawan muda di ibu kota kekaisaran, aku memang seperti itu. Sejak kecil, mereka sudah meremehkanku. Sekarang, sudah terlambat bagi mereka untuk menunjukkan rasa hormat.”

Meski begitu, keluarga kekaisaran tetaplah keluarga kekaisaran. Aku hanya berharap mereka tidak akan secara terang-terangan menantangku.

Dengan pikiran itu, aku kembali ke kamarku bersama Fine.


Bagian 3

Beberapa hari kemudian. Aku sedang mendengarkan laporan dari Sebas mengenai situasi di ibu kota kekaisaran di dalam kamar pribadiku.

“Bagaimana situasi para bangsawan muda di ibu kota?”

“Dimulai dari Marquis Weitling, banyak yang mengumumkan pengunduran diri dari Perjanjian Camar. Belum ada gerakan besar sejauh ini, tetapi kediaman keluarga Marquis Weitling telah menjadi tempat berkumpul banyak bangsawan. Sepertinya, tak lama lagi akan ada pergerakan.”

“Maksudmu ini semua salahku?”

“Saya tidak mengatakan begitu, namun Anda seharusnya lebih berusaha untuk tidak menciptakan musuh. Sebagian besar bangsawan muda yang tergabung dalam Perjanjian Camar tidak turut serta dalam perebutan takhta. Itu karena mereka masih terlalu muda untuk menjadi kepala keluarga, atau hanya menjabat sebagai pewaris. Jika mereka semua berpihak pada lawan, situasinya akan jadi rumit.”

“Mereka adalah orang-orang yang tidak menyukaiku, bukan? Justru akan lebih merepotkan kalau mereka menjadi sekutu.”

Orang-orang yang suka mengomentari setiap langkahku lebih baik tidak ada. Lagipula, alasan mereka belum terlibat dalam perebutan takhta adalah karena pengaruh politik mereka yang masih lemah. Laurenz memang telah mewarisi gelar Marquis Weitling, tetapi itu hanya karena ayahnya jatuh sakit. Bukan karena dia telah membuktikan dirinya dengan prestasi yang pantas.

Banyak orang tua yang sengaja menjauhkan anak-anak mereka dari perebutan takhta. Menjaga netralitas dan menaiki kuda pemenang adalah jalan paling aman. Jika tidak, maka diperlukan kekuatan politik yang cukup untuk menilai dan membimbing calon pemenang. Dan itu bukanlah hal yang mudah dilakukan.

“Itulah sebabnya saya katakan Anda seharusnya berusaha untuk tidak menciptakan musuh.”

“Katanya aku ini ahli dalam menyulut emosi orang lain. Sudah sifatku. Terima saja.”

“Haa... Padahal Anda hanya perlu mengatakan bahwa Anda berada di sisi Nona Fine sebagai pengganti Tuan Leonard, bukan?”

Seperti yang dikatakan Sebas, jika aku mengatakan bahwa kehadiranku di sisi Fine hanyalah sebagai pengganti Leo, maka mungkin jumlah orang yang memusuhiku akan berkurang. Tapi kalau aku mengatakannya, aku takkan bisa membela diri ketika mereka menyuruhku untuk menjauh.

“Cukup dengan ocehanmu. Aku tidak berniat mengubah situasi yang kumiliki sekarang.”

“Saya mengerti. Jika Anda sudah menetapkan tekad seperti itu, maka saya takkan mengatakan apa pun lagi.”

Keberadaanku di sisi Fine, aku menyukainya. Karena itu, jika seseorang ingin mengubahnya, maka Laurenz dan yang lain akan aku singkirkan. Sekalipun itu membuatku dirugikan dalam perebutan takhta, aku tidak akan mundur.

“Kalau begitu, laporan berikutnya. Tampaknya guild petualang mulai bergerak secara mandiri.”

“Guild petualang?”

Itu hal yang langka. Mereka bergerak tanpa sepengetahuan Silver. Ini bukanlah rencana dari cabang ibu kota. Pasti pihak atas yang terlibat.

“Ya. Dan tampaknya, kekaisaran juga turut terlibat dalam pergerakan itu.”

“Kekaisaran juga, ya...”

Dengan kata lain, ayahku turut campur di dalamnya. Mereka menyisihkan Silver, apa yang sedang direncanakan?

“Masalah mulai menumpuk. Para bangsawan muda bergerak dengan gelagat mencurigakan, dan ayahku merancang sesuatu bersama guild petualang. Melihat seberapa ketat informasi ditutupi, sudah pasti orang-orang penting dari pusat turut terlibat.”

“Mungkin saja tokoh penting yang dikawal oleh Pasukan Kesatria Pengawal Kedua di pemandian air panas berkaitan dengan hal itu.”

“Mungkin saja. Guild petualang hanya bergerak jika menyangkut monster. Jika mereka melakukan manuver besar, seharusnya mereka mengerahkan petualang peringkat SS. Dan tidak menghubungi Silver yang berada di dalam wilayah kekaisaran terasa sangat janggal.”

“Ada firasat akan terjadi sesuatu yang merepotkan.”

“Itu sudah biasa.”

Aku menghela napas dan menyandarkan tubuh ke kursi. Mungkin sudah waktunya untuk mulai bergerak secara diam-diam.


Bagian 4

Keesokan harinya. Aku berada di cabang ibu kota sebagai Silver, setelah menyelesaikan permintaan yang sudah dijadwalkan sejak sebelumnya.

“Terima kasih atas kerja kerasnya, Tuan Silver. Misi telah selesai.”

“Ada misi berikutnya?”

Aku bertanya seperti itu, yang jarang kulakukan. Itu karena cabang ibu kota tidak menunjukkan misi berikutnya. Padahal biasanya akan ada tumpukan misi yang menunggu.

Itu karena aku menerima permintaan, bahkan jika bukan permintaan pribadi.

Meski aku adalah petualang berperingkat tinggi, ada banyak misi yang terasa berlebihan jika ditugaskan kepada petualang SS. Misi seperti itu banyak di cabang ibu kota. Dan aku biasanya yang menerimanya. Karena bukan permintaan yang secara khusus memintaku, biaya permintaannya pun tidak terlalu tinggi.

Namun, kali ini tidak ada satu pun permintaan seperti itu yang muncul.

“U-Umm... Saat ini tidak ada.”

Emma, resepsionis yang biasa menanganiku, menjawab begitu sambil memalingkan pandangannya. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya.

Bahkan staf guild yang lain pun tampaknya menghindariku. Yah, ini bukan pertama kalinya terjadi, tapi rasanya ada yang berbeda dari biasanya.

“Begitu. Kalau begitu, beri tahu aku kalau ada misi.”

Mengatakan itu, aku meninggalkan tempat itu. Memaksa Emma dan yang lainnya untuk bicara tidak akan ada gunanya, hanya akan membuat mereka kesulitan.

Ini pasti ada hubungannya dengan pergerakan mandiri yang disebutkan Sebas sebelumnya. Sepertinya aku harus mulai menyelidikinya.

* * *

Beberapa hari kemudian. Aku tengah menggali informasi mengenai guild petualang.

Tepatnya, yang menggali adalah Sebas. Dari informasi yang dia peroleh, aku mengetahui bahwa ada seseorang yang menarik berada di ibu kota, dan karena itu, aku pun berpindah sebagai Silver langsung ke hadapan orang itu.

“Hei, jangan muncul tiba-tiba... Bisa bikin jantung copot, tahu?”

Orang itu sedang menikmati secangkir teh dengan anggun ketika aku tiba melalui sihir teleportasi. Meski begitu, dia tidak sampai menumpahkan tehnya, hanya secara alami mengulurkan tangan ke pedang di dekatnya.

Namun, saat menyadari itu aku, dia menghela napas panjang, tampak tak habis pikir. Padahal aku juga ingin menghela napas karena tingkahnya.

“Kalau tak mau aku muncul tiba-tiba, jangan coba-coba bergerak secara diam-diam di belakangku.”

“Seperti biasa, telingamu peka sekali. Padahal kami bekerja sama dengan Kekaisaran dan bergerak dengan sangat rahasia, lho?”

“Ibu kota ini adalah taman bermainku.”

Aku menatap pria itu, Clyde Schauer, wakil ketua Guild Petualang pusat, dan mengatakan itu padanya.

Pria paruh baya yang masih berwibawa dengan rambut hitam dan mata biru,. Salah satu petinggi guild dan mantan petualang peringkat S, seorang veteran yang tangguh.

Hanya dengan kenyataan bahwa tokoh besar sepertinya masuk ke ibu kota secara diam-diam saja sudah luar biasa. Tapi yang lebih luar biasa adalah informasi itu tidak sampai padaku sebagai Silver.

“Jadi... Mau cerita?”

“Toh kamu pasti sudah tahu sebagian besar. Kalau tidak, kamu nggak akan langsung datang mencariku.”

“Meski begitu, tetap ceritakan.”

Didesak olehnya, Clyde mengangkat bahu, menghabiskan teh yang masih tersisa, dan berdiri.

Dia berjalan menuju sudut ruangan, di mana tergantung peta benua.

“Kamu tahu bahwa ulang tahun penobatan kaisar yang ke-25 akan segera tiba, bukan?”

“Ya. Aku juga tahu bahwa tamu-tamu kehormatan dari negara lain akan diundang.”

“Kalau begitu, pembicaraan ini akan cepat. Jika tamu dari luar negeri akan datang, berarti kita harus menjamin jalur perjalanan yang aman bagi mereka.”

Sambil berkata demikian, Clyde menggunakan sarung pedangnya untuk menunjuk garis-garis di sepanjang perbatasan Kekaisaran.

Perbatasan Kekaisaran yang luas, berada di tengah-tengah benua.

Tentu saja di sana ada pasukan kekaisaran dan sistem pertahanan yang kuat. Tapi mereka adalah pasukan militer yang khusus menangani manusia. Urusan monster bukan keahlian mereka.

“Jadi kalian bekerja sama dengan Kekaisaran untuk membasmi monster di sekitar perbatasan?”

“Guild petualang adalah organisasi netral. Kami tidak bergerak hanya demi satu negara... Tapi kenyataan bahwa kami bisa membasmi monster dengan dukungan penuh dari Kekaisaran, itu adalah peluang yang menggoda.”

“Itu sebabnya kalian bergerak diam-diam?”

“Itu salah satu alasannya. Tapi bukan hanya itu. Kamu ingat insiden di wilayah timur Kekaisaran yang kamu campuri?”

“Tentu. Insiden dengan dua saudara vampir yang mengamuk, bukan?”

“Benar. Masalahnya adalah seruling yang mereka gunakan, Hameln. Ini rahasia, tapi seruling itu sekarang ada di tangan markas pusat guild petualang.”

“Jadi memang tidak bisa diserahkan ke Kekaisaran, ya?”

Seruling pemanggil monster. Dua vampir itu memang menggunakannya, dan mereka ternyata berhubungan dengan salah satu pangeran kekaisaran. Tak ada orang waras yang akan menyerahkan benda berbahaya itu ke tangan Kekaisaran.

Itu adalah keputusan yang tepat.

“Dalam penyelidikan mengenai Hameln melalui naskah-naskah kuno... Hameln tak hanya memanggil monster, tapi juga memiliki efek mengaktifkan mereka.”

“Mengaktifkan?”

“Itu berarti bisa membangunkan monster yang sedang dalam keadaan dorman. Dan monster seperti itu sangat peka terhadap perubahan di luar. Ketika monster kuat di wilayah timur terbangun, monster-monster dorman lainnya di sekitar Kekaisaran juga mulai memasuki masa aktif.”

“Tapi kenapa aku belum menerima informasi seperti itu?”

Monster bukan makhluk yang efisien. Seperti naga dan monster raksasa lainnya, banyak dari mereka yang memasuki masa tidur panjang demi mempertahankan tubuh besar mereka. Dan monster semacam itu biasanya adalah monster kelas atas.

Bahwa monster-monster itu mulai bergerak, namun aku, satu-satunya petualang peringkat SS di Kekaisaran, tidak diberi tahu, sungguh mencurigakan.

“Itu disengaja. Informasi itu sengaja tidak diberikan kepada para petualang Kekaisaran.”

“...Apa maksudnya?”

“Jangan keluarkan suara mengerikan seperti itu. Banyak orang tidak senang kalau hanya petualang SS yang menonjol. Kualitas petualang Kekaisaran tidak terlalu tinggi. Jika monster peringkat tinggi muncul, yang akan langsung bergerak tentu dirimu. Dan mereka ingin menghindari itu.”

“Jadi ini adalah perebutan kekuasaan di dalam petinggi guild petualang... Betapa bodohnya.”

“Jangan bilang begitu. Dalam sebuah organisasi, wajar untuk menghindari situasi di mana satu orang mendominasi. Jika semuanya diserahkan padamu, mungkin kami harus menetapkan peringkat SSS hanya untukmu.”

“Aku tidak tertarik.”

“Aku tahu. Aku sudah katakan itu pada mereka. Tapi tetap saja, semakin banyak orang di atas yang tidak suka karena Silver semakin kuat dan tak bisa dikendalikan. Apalagi petualang SS kebanyakan adalah pembuat masalah. Kalau sampai kamu yang relatif tenang juga jadi sulit dikendalikan, mereka akan kerepotan.”

Clyde mengatakan itu sambil tertawa kecil, merasa geli. Tapi aku tidak tertawa sama sekali.

Dikelompokkan bersama para pembuat masalah lain hanya karena statusku sangat mengganggu, dan dianggap akan besar kepala jika mencetak prestasi juga menyebalkan. Lebih dari segalanya.

“Petualang seharusnya ada untuk melindungi rakyat. Menggunakan aku untuk menyelesaikan masalah lebih cepat, bukankah itu seharusnya jadi tujuan guild?”

“Tepat sekali. Ucapanmu menusuk. Tapi kami tidak tinggal diam juga. Sebagai pengganti, beberapa petualang peringkat S dan tim mereka sudah dikirim ke Kekaisaran. Petinggi guild berharap salah satu dari mereka bisa menjadi SS yang baru.”

“Kalau mereka bisa menuntaskan misinya, aku tidak masalah. Tapi menurutmu, apakah mereka bisa melakukannya?”

“Cukup sulit. Karena itu kami juga mengandalkan bantuan dari Kekaisaran. Untungnya, Kekaisaran punya Keluarga Pahlawan.”

“Jadi mereka akan menggunakan wanita pahlawan itu... Yah, dari segi kemampuan memang tidak masalah. Tapi, apakah monster yang muncul benar-benar membutuhkan kekuatan sebesar itu?”

“Yang pasti adalah... Saat ini kami sedang membatasi aktivitasnya dengan suatu metode tertentu, tapi... Menurut orang yang menerapkannya, metode ini tampaknya tidak akan bertahan lama.”

 Sambil berkata begitu, Clyde berjalan kembali ke kursinya dan mulai menuang teh yang baru.

Sikapnya jelas menunjukkan bahwa pembicaraan ini sudah selesai.

“Tidak bisakah aku dilibatkan?”

“Akan kulakukan jika memang bisa. Tapi kesepakatan antara Kekaisaran dan guild tidak membolehkan permintaan dikirimkan padamu.”

“Begitu... Baiklah, pertanyaan terakhir. Monster yang sampai memerlukan kekuatan seorang pahlawan dengan pedang sucinya dan bisa dibatasi. Siapa orang yang bisa melakukannya?”

Jika Elna diperlukan, berarti monster itu jelas berada di atas peringkat S.

Dan membatasi monster semacam itu adalah hal yang luar biasa sulit. Bahkan aku, jika harus menyegel dengan penghalang, akan kesulitan menjaga segel itu bertahan satu hari saja.

Clyde tampak berpikir sejenak. Sepertinya dia ragu apakah harus memberitahuku atau tidak.

“Kalau tidak mau bilang, aku akan mencari tahu sendiri.”

“Oke, oke, jangan bertindak sesukamu. Kalau kamu bertindak seenaknya, aku yang kena batunya.”

Sambil menghela napas dalam, Clyde menyeruput tehnya dan menyebutkan nama sebuah negara yang tak terduga.

“Negara kecil di semenanjung ujung timur. Negara yang dilindungi oleh penghalang, bahkan Kekaisaran tak bisa menyentuhnya, Negeri Hitam. Negara damai tempat manusia dan beastman hidup berdampingan, Negeri Pertapa Mizuho. Pernah dengar?”

“Tentu saja. Mereka yang hidup di negara ini pasti pernah mendengarnya.”

“Ya, masuk akal. Karena Selir Keenam berasal dari sana. Jadi kamu juga tahu bahwa di negara itu ada keberadaan yang setara Keluarga Pahlawan di Kekaisaran?”

“Ya... Asal-usul nama Negeri Pertama. Keluarga penjaga negara yang menciptakan dan menjaga penghalang pelindung yang kuat. Keturunan keluarga itu hampir tidak pernah melahirkan laki-laki, sehingga yang mewarisi garis keturunan adalah para perempuan. Mereka disebut Putri Pertapa dan dihormati.”

“Benar. Dan kami telah meminta kerja sama salah satu Putri Pertapa itu. Kekaisaran dan guild sepakat bersama. Bagi pihak mereka, kekacauan di Kekaisaran bisa berarti kesempatan bagi Negara Kekaisaran untuk mencaplok wilayah mereka. Jadi mereka menyambut permintaan kami dengan tangan terbuka.”

“Jadi... Di negara ini sekarang ada sang Pahlawan dan sang Putri Pertapa?”

“Tepat.”

Clyde mengatakan itu seolah bukan masalah besar, tapi bagi warga Kekaisaran, ini seperti bencana.

Pahlawan dan Putri Pertapa akan selalu dibandingkan. Yang satu adalah tombak terkuat, yang lain adalah perisai terkuat.

Perpaduan mewah penuh yang kontradiksi. Dan rakyat pun akan bersuka cita membicarakannya. Masalahnya, pemilik pedang suci saat ini adalah seseorang yang sangat peka terhadap hal-hal semacam itu dan tidak suka kalah. Mudah-mudahan dia tidak menimbulkan masalah...

Sambil memikirkan hal itu, aku pun meninggalkan tempat itu.


Bagian 5

Hari itu, aku turun ke kota kastel untuk melampiaskan kekesalan yang menumpuk belakangan ini.

Karena perebutan takhta sedang dalam masa gencatan senjata, segala tindakan yang bisa dianggap sebagai perluasan kekuasaan sangatlah berbahaya. Namun, sebatas menyapa tidak akan menjadi masalah.

Leo memanfaatkan celah itu dengan cermat dan terus menjadwalkan kunjungan ke para bangsawan. Dia dengan lihai mempersiapkan diri untuk perebutan takhta.

Namun, dia tidak bisa melakukan gerakan besar secara diam-diam. Paling jauh hanya pengumpulan informasi, dan hal itu cukup ditangani oleh Sebas. Baik sebagai Arnold maupun sebagai Silver, aku tidak bisa bergerak sekarang. Tak ada yang bisa kulakukan.

Karena itulah, aku mengajak seorang kenalan dan turun ke kota.

“Aku lagi ada misi, loh?”

“Ah, paling juga permintaan sepele, kan? Ayo ikut saja.”

“Jangan ngaco! Menumpas monster kelas rendah itu kerjaan yang menguntungkan, tahu! Gara-gara kamu aku melewatkannya!”

“Sebagai gantinya aku sudah mentraktirmu makan! Jangan rewel soal hal sepele!”

“Untuk jadi petualang peringkat A, kepercayaan dari guild itu penting! Aku mengumpulkan poin dengan menyelesaikan tugas-tugas kecil dengan tekun! Mana cukup cuma makan-makan!”

Begitu katanya sambil menggerutu saat kami makan di sebuah restoran.

Aku menculik Gai saat dia hendak masuk ke cabang ibu kota guild dan menyeretnya ke sini. Jalan-jalan sendiri juga tidak masalah, tapi sesekali bersenang-senang dengan teman pria juga menyegarkan pikiran.

“Ini tidak sebanding!”

Gai memesan lebih banyak makanan lagi sambil ngomel. Sepertinya dia ingin balas dendam dengan makan banyak. Tapi, dengan jumlah makanan sebanyak itu, rasanya traktiran ini sudah lebih dari cukup.

“Kalau makanan masih belum cukup, kamu mau aku ganti dengan apa?”

“Aku bukan tipe orang yang bisa dibujuk dengan barang!”

“Oh, begitu. Padahal aku berencana membelikanmu pedang bagus.”

“Ya sudah, kalau begitu aku ikut!”

Sikapnya langsung berubah drastis. Aku tak bisa menahan rasa kagum.

Dia menghabiskan hidangan tambahan yang baru datang dengan cepat, lalu berdiri seolah sudah siap.

“Pedang itu tidak akan kabur, tahu?”

“Jangan bodoh! Siapa tahu ada pedang sihir baru yang masuk ke toko!”

“Pedang sihir, ya.”

Pedang sihir, seperti namanya, adalah senjata yang mengandung sihir. Ada yang bisa berubah bentuk seperti pedang milik Lynfia, ada juga yang memiliki elemen api, es, dan sebagainya.

Kalau berhasil didapat dan dikuasai, kekuatan pemiliknya akan meningkat secara signifikan.

Gai saat ini adalah petualang peringkat B, tapi sudah mulai mendekati A. Jika berhasil naik peringkat, cakupan misi yang bisa diambil akan bertambah. Itu berarti bahaya juga akan meningkat.

Ini memang waktu yang tepat untuk memperbarui perlengkapannya.

“Aku mau yang itu loh! Pedang yang meningkatkan kemampuan fisik!”

“Pilihan yang sangat mudah dimengerti.”

Pedang jenis itu memperkuat kemampuan fisik pemiliknya. Karena itu, hanya dengan menggenggamnya saja seseorang bisa menjadi lebih kuat. Memang susah membayangkan Gai bisa menggunakan pedang sihir tipe perubahan bentuk.

Pedang sihir yang kompleks seperti itu harus digunakan dengan cerdas sesuai situasi. Lynfia mampu menguasainya karena dia memang berbakat. Gai, kalaupun memilikinya, pasti hanya akan menggunakannya sebagai pedang biasa. Itu sama saja menyia-nyiakan harta.

“Kalau begitu, ayo kita cari dulu.”

“Siap!”

Dengan penuh semangat, Gai melangkah keluar dari restoran.

Aku membayar tagihan, lalu menyusul keluar sedikit terlambat. Tapi begitu sampai di luar, sosok Gai sudah tidak ada.

“Hmm? Hei, Gai!”

“Bodoh! Jangan teriak-teriak! Cepat kemari!”

Di samping restoran, di balik papan toko, Gai sedang bersembunyi.

Apa dia tiba-tiba hobi bermain petak umpet di usianya sekarang?

“Kamu ngapain?”

“Jelas sedang bersembunyi! Nggak lihat aku?”

“Dari siapa coba kamu sembunyi...”

“Dari bidadari penyembuh hatiku...”

...Sepertinya dia sudah rusak.

Karena ucapannya yang aneh, aku refleks langsung menghajarnya satu kali.

Dia hanya bisa mengerutkan dahi dengan wajah penuh tanda tanya, tidak tahu kenapa dia dipukul.

Tampaknya dia belum benar-benar rusak. Kalau memang rusak, harusnya bisa sembuh setelah dipukul.

“Kamu ternyata masih normal... Sayang sekali.”

“Eh, kamu sedang mengejekku? Dan ini semua salahmu! Aku kehilangan waktu berhargaku!”

Setelah mengatakan itu, dia mengintip dari ujung papan ke arah sebuah toko yang sedikit menjauh.

Dari luar, dia benar-benar terlihat seperti orang mencurigakan. Kalau sampai ditangkap, aku tidak akan membelanya.

Apa yang sebenarnya dia lakukan?

“Ah... Hari ini dia juga cantik...”

“Perempuan, ya?”

Gai, seperti pria pada umumnya, memang suka perempuan. Tapi setahuku dia bukan tipe orang yang cuma bisa memandangi dari jauh.

Ada yang aneh.

Karena dia sedang dalam kondisi terpana, percuma diajak bicara. Maka aku juga ikut mengintip.

Yang ada di sana adalah.

“Hmm? Jangan-jangan kamu sedang melihat Marie?”

“Marie? Jadi kamu kenal dia!?”

“Yang pakai seragam pelayan itu, kan?”

“Ya! Wanita bagaikan malaikat itu! Jadi namanya Marie... Nama yang sangat cocok...”

Jujur saja, aku merasa sangat geli dari dalam hati.

Wajahnya begitu lemah tak berdaya.

Kalau dia mendekati perempuan dengan ekspresi seperti itu, siapa pun pasti akan merasa jijik.

“...Jangan-jangan, kamu jatuh cinta?”

“Ahh... Dia cantik sekali... Melihatnyasaja sudah cukup membuatku semangat seharian, tidak, seminggu penuh...”

“Dasar murahan.”

“Tidak murah! Ini pertama kalinya aku merasa seperti ini... Hatiku telah dicuri oleh wanita itu... Sungguh berdosanya aku...”

Sepertinya ini benar-benar cinta pada pandangan pertama. Tapi hanya berani melihat dari jauh dan tak berani menyapa. Yah, itu memang khas dirinya.

“Hei, Gai.”

“Apa? Aku sedang sibuk sekarang.”

“Mau kukenalkan dengannya? Tapi tanpa pedang, ya.”

“A-A-Apa...!?”

Dia terperanjat dengan wajah kaget.

Memangnya mengagetkan, ya? Aku tahu namanya, jadi mengenalkannya juga bukan masalah. Lagipula, aku ini pangeran.

“Kalau tidak perlu pedang...”

“Aku gak perlu itu! Tolong kenalkan aku! Siapa dia sebenarnya?”

“Ah... Dia pelayannya Leo.”

“Dia itu... Menyebalkan... Aku akan hajar dia nanti.”

Setelah menggumamkan sesuatu yang agak berbahaya, Gai tiba-tiba meraih tanganku.

Lalu.

“...Asal kamu bisa mengenalkanku saja cukup. Sisanya biar aku yang urus. Jadi tolong, bantu aku!”

“Baiklah. Dia sendiri tidak terlalu senang padaku, jadi akan kubiarkan kalian berdua.”

“Serius!?”

Aduh. Tidak perlu segitu senangnya juga.

Tampaknya kali ini dia memang benar-benar jatuh cinta. Yah, Marie memang bukan hanya pelayan Leo, tapi juga jadi penghubung penting dalam kekuatan faksi kami.

Seleranya tak buruk. Tapi apakah dia bisa disukai balik, itu yang tidak kutahu.

“Ayo, kita pergi.”

“T-Tunggu! Aku belum siap secara mental!”

“Siapa yang peduli, cepat ikut.”

Mengatakan itu, aku menarik Gai bersamaku menuju tempat Marie.

“Oh, Tuan Arnold. Sungguh kebetulan.”

“Hai, Marie. Lagi belanja, ya?”

“Kurang lebih begitu. Tuan Arnold keluar bersama teman hari ini?”

“Iya. Ini Gai. Teman masa kecilku, Leo, dan Elna.”

Setelah aku memperkenalkannya, Marie membungkuk hormat ke arah Gai.

Mungkin karena tahu dia adalah teman masa kecil Leo, dia menganggapnya sosok yang layak dihormati.

“Saya adalah Marie Vilke, pelayan pribadi Tuan Leonard.”

“N-Namaku Gai! Seorang petualang!”

Gai menjawab terbata-bata sambil menunduk. Wajahnya merah padam.

Aku jadi bisa membayangkan betapa repotnya kelanjutannya nanti.

Maaf, Gai, tapi kurasa peluangmu sangat kecil.

Marie selalu tanpa ekspresi, dan sangat dingin layaknya es.

Untuk mendekatinya, kamu butuh emosi yang sangat kuat, atau harus menjadi seseorang yang dia sukai. Dan sejauh ini, satu-satunya pria yang dia sukai adalah Leo.

Gai, kalau dilihat-lihat, lebih mirip denganku. Gaya hidupnya santai dan cenderung sembrono. Sosok khas petualang, seperti yang dibayangkan kebanyakan orang.

Kalau dilihat dari semua sisi itu, rasanya memang sulit. Meskipun aku yang mengatur pertemuan ini, tidak akan ada kesempatan kedua.

Satu-satunya harapan kecil adalah fakta bahwa Gai sering membantu merawat anak-anak.

Aku tidak tahu kalau Marie suka anak-anak atau tidak, tapi jika dia memakan umpannya, mungkin ada peluang.

Kalau tidak bisa mengajaknya berkencan, mungkin bisa mengajaknya untuk melihat-lihat saja.

Tapi tentu saja, itu hanya jika Marie bersedia. Saat ini, dia adalah tipe orang yang sudah menikah dengan pekerjaannya. Dia hidup demi tugasnya. Apakah dia bisa tertarik pada laki-laki? Itu masih jadi tanda tanya.

Yah, dia bilang akan usahakan sendiri. Maka biarlah dia berusaha sendiri.

“Marie, boleh bicara sebentar?”

“Ada apa?”

Aku memanggil Marie ke tempat agak terpisah dari Gai.

Dia menatapku dengan ekspresi sedikit curiga. Mungkin mengira aku punya rencana licik. Yah, dia tidak salah.

“Sebenarnya, Gai itu adalah gurunya Rita. Aku belum memberitahunya.”

“Rita, calon kesatria itu? Jadi begitu. Berarti dia penyelamat hidup Yang Mulia Putri Christa.”

“Benar. Aku tadinya ingin membelikannya pedang sebagai tanda terima kasih, tapi keburu ada urusan. Bisa tolong kamu belikan gantinya?”

“Kalau itu perintah, saya akan melaksanakannya.”

“Kalau begitu, kutitipkan. Perlakukan dia dengan ramah, ya.”

Aku menyerahkan kantong uang kepada Marie, lalu kembali ke arah Gai.

Dia masih saja merah wajahnya.

“Sekarang kalian berdua bisa pergi beli pedang. Uangnya sudah kutitipkan pada Marie. Minta dia yang pilihkan.”

“Sampai beliin pedang... Kamu ini dewa, ya...?”

“Betul. Sembah aku sepuasnya.”

Setelah berkata begitu, aku pun meninggalkan mereka berdua dan mengganti rencanaku hari itu dengan berjalan-jalan keliling ibu kota.


Bagian 6

Setelah berpisah dengan Gai, saat aku berjalan-jalan sendirian di ibu kota kekaisaran, aku mengalami pertemuan yang tak terduga. Benar-benar tak terduga, tapi sangat menguntungkan.

“Tak kusangka mendapat hasil seperti ini.”

“Chupii.”

Sambil berkata demikian, aku menangkap erat seekor penguin hitam yang pernah kutemui sebelumnya dengan kedua tanganku.

Tak pernah kubayangkan bisa menemukannya di ibu kota. Sialnya, ia sedang berjalan santai tanpa waspada.

“Yah, aku penasaran, penguin itu enak nggak, ya?”

“Chupii.”

Mungkin merasa nyawanya terancam, tubuh gemuknya mulai menggeliat keras, tapi tidak mungkin bisa lepas dari genggamanku hanya dengan itu.

Kalau kubawa ke restoran dan diminta untuk diolah, bisa jadi santapan yang menarik.

Pasti ada orang yang akan menganggap ini kejam. Tapi aku hampir dibunuh oleh makhluk ini. Itu lebih kejam, bukan? Secara teknis, dia telah melakukan percobaan pembunuhan. Layak dikategorikan sebagai monster.

Sambil memikirkan itu, aku mulai mempertimbangkan restoran mana yang bisa menerimanya tanpa menolak dan bisa memasaknya dengan enak. Tapi karena ini penguin, pilihannya terbatas.

“Hmm... Mungkin pilihan yang terbaik dibawa pulang ke istana?”

Rasanya paling aman kalau kubawa ke koki pribadi di kastel.

Tapi saat aku berpikir begitu.

“Heiiii! Apa yang kamu lakukan pada Enta milikku!”

Teriakan nyaring terdengar dari belakang.

Saat aku menoleh, ada seorang gadis kecil bertubuh mungil mengenakan tudung hitam menutupi wajahnya. Dia berdiri tegap, menunjukku dengan penuh wibawa.

“Aku sedang memikirkan tempat terbaik untuk memasaknya.”

“Apa!? Kamu berniat memakan makhluk selucu itu!?”

“Lucu...?”

Mendengar ucapannya, aku kembali menatap penguin yang sedang kugenggam.

“Chu... Chupii...”

Ia menatapku seperti hewan peliharaan yang manja, tapi perutnya yang buncit benar-benar mengurangi kadar kelucuan itu. Dan wajahnya sendiri sebenarnya tidak terlalu imut. Bahkan jika aku berusaha memaklumi, aku tetap tak bisa menyebutnya lucu.

“Ini tidak lucu sama sekali.”

“Apa! Kamu tidak bisa melihat betapa menggemaskannya dia!? Hmph! Orang-orang Kekaisaran memang bermasalah dalam hal estetika, ya?”

Langsung menyalahkan seluruh Kekaisaran, anak ini benar-benar sombong.

Tapi jujur saja, aku tidak membenci sikap terus terang semacam ini. Meski begitu, soal melepaskan penguin ini tetap urusan lain.

“Setiap orang punya selera yang berbeda. Omong-omong, ini peliharaanmu?”

“Jangan bilang peliharaan! Enta adalah temanku!”

“Chupii!”

Gadis itu berteriak penuh keberatan, dan penguin itu juga ikut-ikutan bersuara.

Tapi itu semua tak ada artinya bagiku.

“Kalau begitu, kamu salah memilih teman.”

“Ahh!! Hei! Jangan bawa Enta pergi!”

“Chupii!”

“Diam! Dia hampir membunuhku! Aku tidak akan tenang sebelum kumasak dia!”

“Hampir membunuhmu...? Betapa lemahnya dirimu, hampir dibunuh oleh Enta.”

Dengan nada seolah berkata bahwa aku bohong, gadis itu mengejekku. Aku mulai kesal dan mencoba membawa Enta pergi, tapi dia langsung menarik lenganku untuk menahanku.

“Jangan bawa dia! Ini penculikan!”

“Ini penumpasan monster.”

“Monster!? Penghinaan macam apa ini! Enta itu seekor burung walet!”

“...Hah?”

“Hmm?”

Aku membeku karena kata-katanya barusan.

Melihat reaksiku, dia pun terdiam. Keheningan berlangsung sejenak, lalu aku bergumam.

“Walet...?”

“Kenapa? Kamu baru sadar? Dari mana pun kamu melihatnya, Enta ini jelas seekor burung walet!”

“Tidak tidak tidak, dari mana pun kamu lihat ini jelas penguin.”

“Salah! Enta adalah burung walet!”

“Ini jelas penguin! Kamu pikir makhluk ini bisa terbang!?”

“Enta itu burung walet yang terlalu gemuk jadi tidak bisa terbang! Dulu dia langsing!”

“Mana mungkin bisa gitu!!”

Masalahnya bukan gemuk atau kurus. Burung walet tidak berjalan seperti penguin. Setidaknya yang aku tahu, mereka tidak berperilaku seperti ini.

Namun, gadis ini menolak mengakui kenyataan.

“Hmph! Kalau aku bilang dia burung walet, maka dia burung walet! Aku yang paling mengenal Enta!”

“Chupii!”

“Haa... Ya sudah. Baiklah.”

“Ohh, akhirnya kamu mengerti!”

“Iya. Burung walet yang tak bisa terbang itu aib. Memakannya adalah cara terbaik untuk menebus harga dirinya.”

“Apa!?”

Terlalu terkejut, gadis itu melepaskan lenganku. Aku memanfaatkan celah itu dan langsung berlari ke arah kastel. Tapi baru beberapa langkah, aku tiba-tiba menabrak sesuatu tak terlihat dan terjatuh seperti menabrak tembok.

Sial, ini penghalang yang cepat dan kuat. Kalau sudah terpasang sebelumnya, aku pasti bisa merasakannya. Ini berarti dia memasangnya barusan.

“Duh, hidungku...”

“Haha! Inilah hukuman bagi orang jahat! Kembalilah padaku Enta!”

“Chupii!”

Enta yang lepas dari genggamanku langsung berlari ke arah gadis itu, lalu digendongnya dengan penuh kasih.

Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau dia lepas, kejadian sebelumnya bisa terulang di ibu kota.

Kalau dia usil lagi, nyawaku bisa melayang. Meskipun tidak kumakan, aku harus menangkapnya sekarang juga.

“Hmph... Baiklah. Mari bersepakat.”

“Bersepakat?”

“...Sebagai gantinya, akan kuberikan hewan yang lebih lucu. Beruang kecil yang bisa bicara dan sangat kuat.”

Sebenarnya bukan beruang, tapi dari penampilannya bisa dibilang mirip.

Kuserahkan saja dulu. Kalau nanti kabur, itu bukan tanggung jawabku.

“B-Beruang yang bisa bicara!? Aneh sekali! Apa dia imut!?”

“Anak-anak menyukainya.”

“Wah... T-Tapi! Kasih sayangku pada Enta tidak bisa digoyahkan oleh hal seperti itu!”

“Oh ya? Kalau begitu akan kuberikan ke orang lain saja, deh.”

“Uuh... T-Tapi... Kalau kamu benar-benar memaksa, hanya untuk satu hari saja, aku bisa setuju bertukar! Tapi tak boleh dimakan!”

Entah kenapa nada bicaranya masih sok tinggi. Aku menghela napas dan dengan enggan mendekat, seolah mengalah. Kumaksudkan untuk menyelesaikan negosiasi, dan perlahan kuulurkan tangan ke Enta.

“Agh! Penguinnya menggigitku!”

“Chupii!”

“E-Enta... Kamu sampai segitunya menolak? Maafkan aku, aku tidak mengerti perasaanmu. Baiklah! Urusannya batal!”

Gadis itu langsung kabur membawa Enta.

Tapi setelah berlari agak jauh, dia berhenti dan menoleh seolah baru teringat sesuatu.

“Oh iya! Wajahmu sudah kuingat! Kamu yang hendak memakan temanku! Akan kubalas berkali-kali lipat! Ingat itu baik-baik!”

Dengan gaya angkuh seperti saat pertama muncul, dia menunjukku dan mengumumkan pembalasan.

Aku mengibaskan tanganku yang masih sakit akibat gigitan itu sambil menjawab, “Silakan saja umumkan perang, tapi kamu tahu aku tinggal di mana?”

“Hm? Oh, itu juga benar. Sebutkan namamu! Aku akan datang membalas!”

Kamu kira ada orang waras yang akan menyebutkan namanya pada orang yang berencana membalas dendam? Yah, mengingat dia bisa salah mengira penguin sebagai burung walet, sepertinya dia memang polos dan lugu. Cocok dengan istilah “murni dan cerah tanpa noda”.

“Namaku tak penting. Tapi tempat tinggalku akan kuberitahu.”

“Ohh? Jujur sekali! Sungguh mulia hatimu! Ini pasti karena perbuatanku yang penuh kebaikan!”

“Kenapa itu jadi karena perbuatanmu... Ya sudahlah. Aku tinggal di sana.”

Aku menunjuk ke arah kastel yang terlihat dari kejauhan.

Melihat itu, tubuh gadis itu mundur sejenak dengan ekspresi kaget. Tapi aku tetap berkata, “Kalau bisa datang, cobalah.”

“Tantangan diterima! Siap-siap menyesal!”

Setelah berkata begitu, gadis itu pun lari menjauh. Melihatnya, aku menghela napas panjang dan bergumam pelan, “Ikuti dia diam-diam dan cari tahu tempat tinggalnya. Hampir pasti dia adalah Putri Pertapa. Kalau kita sudah terlibat dengannya, semuanya akan lebih mudah nantinya.”

“Siap.”

Setelah memerintahkan Sebas, aku pun perlahan kembali ke kastel.

Sungguh, pertemuan yang aneh. Tapi cukup menguntungkan. Hanya saja.

“Jangan sampai Elna bertemu dengannya.”

Itu saja yang kutanam dalam benakku, lalu aku pun kembali ke istana.


Bagian 7

“Maafkan saya, saya kehilangan jejaknya.”

“Begitu ya...”

Mendengar laporan Sebas, dalam hati aku benar-benar terkejut. Sulit dipercaya ada seseorang yang bisa lolos dari pengintaian Sebas. Pasti ada sesuatu yang membuatnya terpaksa menghentikan pengejaran.

“Apa kamu tak bisa mendekat karena ada penghalang?”

“Tidak. Awalnya saya bisa mendekat, tapi sejak titik tertentu saya kehilangan arah, dan lingkungan sekitar terlihat seperti labirin. Saya menilai pengejaran lebih lanjut akan berbahaya dan memutuskan untuk mundur saat itu juga.”

“Itu keputusan yang bagus. Kalau sampai terperangkap dalam labirin, makin kamu masuk, makin sesuai dengan keinginan lawan.”

“Itu karena kekurangan saya, Tuan. Namun... Putri Pertapa itu memang melampaui desas-desus yang beredar. Sudah lama rasanya sejak saya terakhir kali tak bisa berbuat apa-apa.”

Setelah membungkuk dalam, Sebas mengatakannya begitu. Sebas hampir tak pernah menyerah dalam misi, sekuat atau secerdik apa pun lawan, dia selalu menemukan cara. Fakta bahwa dia sampai mengakui kekalahan dan memuji lawan adalah hal yang sangat langka.

“Memang pantas disebut perisai terkuat. Tapi tampaknya bukan hanya soal penghalang yang kokoh. Dalam hal pertahanan, dia bisa menyesuaikan diri dengan sangat fleksibel. Tak heran kalau dia disandingkan dengan Keluarga Pahlawan.”

“Benar. Memang sulit... Tapi setidaknya sekarang kita sudah yakin.”

“Ya. Tak diragukan lagi, dia adalah Putri Pertapa.”

Identitasnya sudah bisa dipastikan. Jika penguin itu adalah peliharaannya, maka orang yang dijaga oleh Pasukan Pengawal Kedua di pemandian waktu itu pastilah dia.

“Jadi Ayahanda juga telah bergerak di balik layar. Menggaet guild petualang dan memanggil Putri Pertapa dari Timur Jauh itu benar-benar manuver yang luar biasa.”

“Itulah sebabnya beliau adalah Yang Mulia Kaisar.”

“Meski begitu, akan lebih mudah kalau beliau menyerahkan semuanya pada Silver saja.”

Tanpa melakukan langkah rumit, seandainya semua diserahkan pada Silver, maka takkan terjadi hal yang merepotkan.

Meski begitu, yang memimpin inisiatif kali ini sepertinya adalah pihak guild petualang, dan kemungkinan mereka telah sepakat sejak awal untuk tidak melibatkan Silver dalam kerja sama ini.

Betapapun kuatnya Kekaisaran, dalam urusan monster, guild petualang lah ahlinya. Fakta bahwa mereka bisa segera mendeteksi bahwa efek Hameln telah membuat monster aktif kembali, adalah bukti keunggulan informasi guild.

“Kelihatannya memang ada banyak hal di dalam markas pusat guild.”

“Alasan mereka bilang Silver akan jadi sombong kalau terlalu banyak berprestasi, sungguh alasan yang menggelikan. Pasti ada seseorang yang menggerakkan ini dari balik layar.”

“Mungkin tak perlu berpikir sejauh itu. Siapa pun yang ada di baliknya, ujung-ujungnya situasi ini tetap menguntungkan bagi kita. Kalau rencana antara Guild dan Kekaisaran berhasil, dan Elna serta para petualang peringkat S bisa menyelesaikan masalah, kita bisa menghemat tenaga. Tapi kalau gagal, toh Silver yang akan diminta turun tangan untuk membereskan semuanya.”

Benar. Tujuan Kekaisaran adalah menjamin jalur aman menjelang upacara penobatan. Sedangkan tujuan Guild adalah membasmi monster yang mulai aktif dan mencari kandidat baru untuk peringkat SS. Kalau para petualang peringkat S gagal, permintaan itu pasti akan jatuh ke tangan Silver.

Jika kerusakan terus bertambah, maka pihak yang disalahkan adalah para petinggi Guild yang menolak menggunakan tenaga yang tersedia. Mungkin Clyde diam-diam memang mengincar situasi itu. Tapi tak semua berjalan sesuai rencana.

“Orang-orang yang membenci Silver mendapat prestasi hanyalah minoritas. Mungkin para petualang peringkat S merasa kesempatan promosi mereka terancam, tapi toh jumlah peringkat SS tidak dibatasi. Tak ada alasan kuat untuk membenci. Kalau pun ada yang resah, mungkin justru dari pihak atas atau jajarannya.”

“Menurut penjelasan Tuan Clyde, pihak atas guild tidak menyukai jika situasi ini menjadi sulit dikendalikan. Namun, jika berbicara secara horizontal, berarti ini menyangkut orang-orang yang setara kedudukannya.”

“...Mungkin para pembuat masalah itu mulai menekan markas pusat. Kalau Silver berhasil membasmi monster kelas S secara berturut-turut dalam waktu singkat, wacana menaikkannya ke peringkat SSS akan terdengar masuk akal. Dan dari sudut pandang para peringkat SS lainnya, itu jelas tak menyenangkan.”

Konyol sekali. Tapi memang itulah para pembuat masalah di peringkat SS. Mereka terobsesi pada hal-hal remeh seperti itu.

“Kalau mereka ikut campur, urusannya jadi makin ribet. Tak satu pun dari mereka itu orang normal.”

“Seakan-akan Anda sendiri bukan termasuk mereka.”

“Apa maksudmu? Hanya aku yang normal.”

“Sayangnya, saya yakin keempat lainnya juga berpikir seperti itu.”

“Betapa besarnya kesalahpahaman mereka.”

Orang-orang itu adalah puncak dari ketidaksesuaian sosial.

Menganggap diri mereka sebagai orang yang normal adalah kesalahpahaman yang luar biasa besar.

Saat aku mendengus geli, Sebas hanya bisa menghela napas kecil, entah karena prihatin atau lelah.

* * *

Hari berikutnya. Aku tiba-tiba dipanggil oleh Ibu. Entah kenapa, dengan syarat aku harus datang sendirian.

Ada apa ini? Aku berpikir sambil menuju ke tempat Ibu seperti yang diperintahkan, seorang diri.

“Permisi.”

Dengan nada santai seperti biasa, aku membuka pintu kamar Ibu dan masuk ke dalam.

Namun, ada satu hal yang berbeda dari biasanya.

“Ugh!”

Entah kenapa, ada tali yang dipasang tepat di depan pintu.

Karena aku tak punya refleks sebaik itu untuk menghindar, aku pun tersandung dan terjatuh dengan spektakuler.

Dan, sama seperti kemarin, hidungku lagi-lagi menghantam lantai dengan keras.

Di tengah derita itu, suara yang familiar dan sebuah pekikan juga ikut terdengar di telingaku.

“Bagus! Kerja bagus, Enta!”

“Chupii!”

Ketika kulihat ke arah kanan, di sana ada Enta dan gadis kecil dari kemarin yang sedang memegang tali. Gadis itu masih mengenakan tudung seperti sebelumnya.

Sambil menekan hidungku yang sakit, aku melotot ke arah mereka, dan si gadis membuka mulut dengan sikap penuh kemenangan.

“Hehe! Bagaimana itu! Kamu lihat sendiri, kan!”

“Chupii!”

Mungkin karena terlalu sering bersama pemiliknya, si penguin juga ikut menunjukkan ekspresi penuh kemenangan ke arahku.

Saking jengkelnya aku, tanpa sepatah kata pun, aku bangkit, memeluk penguin itu, dan berjalan ke arah jendela.

“Waahh! Mau kamu apakan itu!?”

“Tenang saja. Kalau benar dia seekor burung walet, maka saat berada dalam ancaman, dia akan ingat bagaimana untuk terbang.”

“Chu, chupii...”

“B-Berhenti! Jangan perlakukan dia sekejam itu! Enta itu burung walet yang tak bisa terbang!”

“Itulah sebabnya aku akan membantunya mengingat sensasi langit yang luas! Lepaskan aku!”

Aku mengangkat Enta tinggi-tinggi, siap untuk melemparkannya, tapi si gadis mencengkeram lenganku dengan keras, berusaha menghentikanku.

Meski berusaha menyingkirkannya dan kembali hendak melempar penguin itu dari jendela, dia terus memelukku dan berteriak.

“Berhenti! Lepaskan Enta sekarang juga!”

“Diam! Sekarang akan kubuktikan kalau dia penguin, jadi lihat baik-baik!”

“Chupii!”

“Enta itu burung walet! Hanya saja dia tidak bisa terbang!”

“Burung walet yang tak bisa terbang bukanlah burung walet!”

“Berhentiii!! Apa kamu tidak punya hati untuk mencintai binatang!?”

“Siapa yang bisa mencintai makhluk jahat seperti ini!?”

Setelah adu mulut panjang itu, kami berdua akhirnya kelelahan dan hanya bisa saling menatap tajam sambil terengah-engah.

Benar-benar kebuntuan.

Dan di tengah kebuntuan itu, akhirnya pihak ketiga pun angkat bicara.

“Tehnya sudah siap.”

“Oh! Terima kasih, Mitsuba. Tapi aku masih harus menyelamatkan temanku dari bocah kejam ini. Tehnya nanti saja. Oh, dan jangan lupa kue manisnya juga!”

“Baik. Tapi, Al, jangan terlalu mengganggu Yang Mulia , ya.”

“Aku tidak menggangunya. Aku sedang memberi pelajaran.”

“Itu malah lebih buruk! Sungguh keterlaluan!”

Begitu katanya sambil memeluk lengan kiriku dan merebut kembali Enta secara paksa.

Sebelum aku sempat membalas, dia sudah bersembunyi di belakang Ibu.

“Hehe! Bagaimana itu! Menyerah saja!!”

“Menyerah pada apanya?”

“Sepertinya kamu belum mengerti, ya. Kalau begitu, biar kujelaskan! Aku adalah gadis tercantik yang pernah disebut-sebut di negeri timur jauh, Mizuho! Aku adalah Putri Pertapa, Orihime Kuon!!”

Sambil berkata begitu, si gadis melepas tudungnya dan memperlihatkan wajah aslinya.

Rambut hitam panjang dan mata keemasan. Wajah gadis itu benar-benar cantik bak boneka. Tapi rasanya tak ada pengrajin boneka yang mampu membuat wajah seperti itu. Senyum penuh percaya diri yang hampir meledak karena semangat. Dia benar-benar gadis yang polos dan ceria.

Di atas kepalanya tumbuh sepasang telinga rubah kecil, dan jika dilihat lebih teliti, di belakangnya juga menjuntai sebuah ekor.

Klan Putri Pertapa dikenal sebagai Rubah Suci, sejenis beastman. Berbeda dari beastman biasa yang biasanya lemah dalam sihir, mereka justru kuat secara magis dan telah lama melindungi Negeri Mizuho dengan kekuatan tersebut, sebuah keluarga bangsawan bergengsi.

Dari segi status, mereka setara dengan Keluarga Pahlawan. Di negeri lain pun mereka diperlakukan selevel keluarga kerajaan.

Mengingat dia baru saja mengaku sebagai Putri Pertapa, dia mungkin berharap aku akan terkejut.

Orihime terus mencuri pandang, ingin tahu reaksiku. Tapi aku menanggapinya dengan datar.

“Ah, aku tahu.”

“Hah? Eh...? Aneh... Aku kan Putri Pertapa!”

“Makanya, aku bilang aku tahu.”

“S-Sejak kapan kamu tahu?”

“Sejak kamu memakai penghalang kemarin.”

“H-Hah!? Jadi kamu memang sudah tahu...”

Orihime terlihat lemas, pundaknya turun, telinganya juga ikut merunduk, dan dengan langkah gontai dia duduk di kursi. Ibu pun menyajikan teh dengan gerakan yang sudah terbiasa.

“Aku tadinya ingin melihatmu terkejut... Mitsuba! Ini tidak menyenangkan!”

“Anak ini memang seperti itu sejak kecil.”

“Meskipun begitu... Kalau memang keluarga kekaisaran, setidaknya berikan reaksi yang lebih dramatis! Belajarlah membaca situasi. Itu bagian dari etiket, bukan!?”

“Aku tidak tahu etiket semacam itu.”

Aku juga ikut duduk dan menerima teh dari Ibu.

Tenggorokanku benar-benar kering karena urusan dengan gadis ini.

Serius, kalau dia memang Putri Pertapa, tidakkah seharusnya dia sedikit lebih anggun?

Tapi setelah kupikir-pikir, bahkan gadis dari Keluarga Pahlawan pun tak punya sisi keanggunan, jadi mungkin ini memang tak bisa diharapkan.


“Al, aku perkenalkan secara resmi ya. Ini Yang Mulia Orihime Kuon, Putri Pertapa dari Negeri Pertapa Mizuho, kampung halamanku.”

“Benar! Aku sangat dihormati di kampung halaman ibumu! Kamu tahu apa maksudnya, kan?”

“Aku sama sekali tak tahu.”

“Itu artinya aku lebih penting darimu! Karena aku Putri Pertapa!”

“...”

Aku bingung harus menjawab apa, jadi aku melirik ke arah Ibu, tapi dia tampak tak peduli. Mungkin memang sia-sia mencoba bersikap wajar pada makhluk seperti ini.

Sekarang aku yakin sepenuhnya, dia ini benar-benar seorang tiran kecil. Singkatnya, gadis manja dan egois.

“Yang Mulia, ini putra sulung saya, Arnold. Apakah benar dia yang Anda cari?”

“Benar sekali!”

“Kalau boleh tahu, bagaimana Anda mendeskripsikannya sebelumnya?”

“Aku diberitahu bahwa orang yang kucari adalah pria berambut hitam yang tinggal di istana dan kejam. Jadi kupikir, pasti dia.”

“Betapa menyakitkan...”

“Keji, bukan!? Kamu menyiksa Enta dan aku! Dasar pangeran jahat! Kamu masih ingat ancamanku akan membalas dendam, kan!? Ah, lengan bajuku!”

Orihime membanting cangkir tehnya ke meja dan langsung menunjuk ke arahku dengan penuh semangat.

Namun, karena benturan saat dibanting, teh tumpah dan lengan bajunya jadi basah.

Dia menjerit secara berlebihan karena hal itu, dan setelah dilap oleh Ibu, dia kembali menata diri lalu kembali menunjuk ke arahku.

“Aku akan membalas dendam padamu!”

“Oh? Apa yang akan kamu lakukan?”

“Dengar dan terkejutlah! Lalu menangislah dalam kebahagiaan! Arnold! Aku mengangkatmu sebagai pendamping pribadiku!”

Kalau mau disebut pernyataan mengejutkan, memang cukup mengejutkan, tapi aku tidak terlalu terkejut.

Entah kenapa, aku merasa ini adalah hal yang memang mungkin dia ucapkan.

Namun, pendamping pribadi...?

“Padahal karena status keluarga kekaisaran, secara hierarki seharusnya pihak kekaisaran lebih tinggi darimu.”

“Aku ini tamu kehormatan! Sudah sepantasnya keluarga kekaisaran menyambutku! Kamu harus menghiburku sepuasnya!”

Begitulah kata Orihime sambil menggoyang-goyangkan ekornya.


Bagian 8

“Ayo! Hibur aku!”

Ucap Orihime sambil duduk di sofa, menggoyang-goyangkan kakinya dengan semangat yang ceria, telinganya terus bergerak-gerak menandakan antusiasme.

Saat ini, aku dan Orihime berada di paviliun terpisah yang berada di bagian pinggir istana dalam. Tempat itu dijaga oleh Pasukan Kesatria Kedua dan untuk sementara dijadikan tempat tinggal Orihime.

Tampaknya hal itu baru diputuskan hari ini. Hingga kemarin, dia tinggal di tempat lain.

Karena dia keluar jalan-jalan bersama Enta tanpa izin, melewati pengawasan Pasukan Kesatria Kedua, maka dia dipindahkan ke sini. Itu keputusan yang sangat masuk akal.

Orihime memang tamu kehormatan, tapi bukan tamu yang diumumkan secara terbuka. Jika identitas aslinya diketahui, pasti akan menimbulkan kekacauan. Kebetulan aku tahu tentang keberadaan sang Putri Pertapa, jadi tidak masalah, tapi kalau orang lain yang tahu, pasti akan kacau.

“Belum tentu aku jadi pendampingmu, kan?”

“Akulah yang menginginkannya. Bukankah itu sudah cukup?”

“Sayangnya, ini wilayah Kekaisaran.”

Kalau di negaranya, mungkin keinginannya saja sudah cukup, tapi di sini kehendak Kaisar adalah yang utama.

Aku sampai ke sini karena situasi, tapi sekarang ini Kapten Pasukan Kedua sedang menemui Kanselir. Karena aku yang menyuruhnya.

Tak mungkin aku memanggil Ayahanda secara langsung. Tapi begitu situasi dijelaskan, Kanselir pasti akan datang. Sampai saat itu, aku belum secara resmi menjadi pendamping.

“Begitu ya... Membosankan sekali...”

Ucap Orihime dengan nada kecewa, bahunya merosot dan telinganya terkulai. Sungguh gadis yang mudah dibaca.

“Arnold tidak ingin membuat kita bersenang-senang, ya, Enta.”

“Chupii...”

Enta mengeluarkan suara kecil di atas pangkuan Orihime dan perlahan menutup matanya.

Tampaknya dia mulai mengantuk. Orihime pun menyadarinya dan mulai mengelusnya dengan lembut.

Tak lama, Enta menggulungkan tubuhnya di atas pangkuan Orihime dan mulai terlelap dengan napas lembut.

“Penguin yang santai sekali.”

“Dia burung walet. Jangan paksa aku mengulanginya...”

Jawab Orihime sembari menguap kecil. Sepertinya dia ikut tertular rasa kantuk dari Enta.

Dia berusaha membuka matanya beberapa kali, tapi akhirnya kelopak matanya tampak berat. Dan kemudian.

“Hmm... Arnold. Mendekatlah ke sini.”

“Apa? Kamu butuh teman mengobrol?”

“Ya, anggap saja itu.”

Orihime menepuk lembut tempat di sampingnya dan memanggilku.

Kalau dia mau tidur, ya silakan saja. Tapi tak bisa kutolak permintaannya begitu saja.

Paling tidak, aku bisa menemaninya mengobrol. Maka aku pun duduk di samping Orihime.

Sambil berpikir topik apa yang harus kubicarakan, tiba-tiba aku merasakan sesuatu di atas kakiku.

“...Hei.”

“Hmm, tempat tidur yang lumayan nyaman. Sebagai bantal, kamu cukup layak.”

Tanpa kusadari, Orihime sudah berbaring di sofa dan menjadikan kakiku sebagai bantal.

Sungguh seenaknya. Padahal aku ini seorang pangeran.

“Hei... Kamu tahu apa itu etiket diplomatik?”

“Etiket yang dihormati di tempat yang pantas. Tapi aku ini kehadiran yang tak resmi. Aku bebas bertindak sesuka hati. Hanya saja, satu kekurangannya adalah wajahmu yang bodoh terus terlihat di mataku. Tapi ya, tidak terlalu buruk."

Dia mencari posisi yang nyaman, dan akhirnya tersenyum puas saat menemukan posisi terbaik dengan menatap ke langit-langit. Benar-benar seenaknya seperti anjing atau kucing. Yang menyebalkan, dia bahkan masuk akal saat berbicara.

Memang benar, karena statusnya tak resmi, apa pun yang dilakukan Orihime tak akan menimbulkan masalah. Kecuali dia bersikap tidak sopan pada Kaisar, tentu saja.

Tapi terhadapku, tindakan sesukanya itu tak akan jadi masalah. Bagaimanapun, Kekaisaran-lah yang memintanya datang.

Kemungkinan besar, Kanselir juga akan memintaku menerima peran sebagai pendamping. Aku tak bisa membuat Orihime kesal sekarang.

Rencana bersama dengan guild petualang sedang berjalan, tapi pergerakan monster sulit diprediksi.

Kalau terjadi sesuatu, keberadaan Orihime bisa memberi perlindungan dengan penghalang terbaik. Tak ada orang lain yang bisa diandalkan sepertinya.

“Haa... Kamu begini juga di negerimu?”

“Mana mungkin. Di Mizuho tak ada yang bisa bersikap akrab padaku. Walau ada yang dekat, mereka tetap menjaga jarak. Karena aku adalah Putri Pertapa,” ucap Orihime sambil menampakkan ekspresi sedih.

Kemudian matanya tertuju pada Enta yang sedang melingkar di atas tubuhnya.

“Yang bisa kusebut teman hanyalah Enta. Di Mizuho, status Putri Pertapa benar-benar di atas segalanya... Tidak seperti hubungan Kekaisaran dan Keluarga Pahlawan. Bagi Kekaisaran, Keluarga Pahlawan adalah kartu truf, tapi bukan sandaran utama. Tapi Mizuho berbeda. Karena negeri kecil, kami tak bisa menandingi kekaisaran besar tanpa penghalang dari sang Putri Pertapa. Mizuho tak bisa berdiri tanpa bergantung pada Putri Pertapa.”

“Lalu kenapa Putri Pertapa yang begitu penting datang ke Kekaisaran? Bukankah itu berisiko?”

“Kalau terjadi apa-apa padaku, anggota lain dari klan Rubah Suci akan menggantikan peran Putri Pertapa. Semua Rubah Suci memiliki kemampuan membuat penghalang yang luar biasa. Karena ada jaminan itulah aku diutus. Tapi memang, ini juga keinginanku.”

“Keinginanmu sendiri?”

“Aku ingin melihat dunia luar. Aku ingin berinteraksi dengan orang-orang dari negeri lain. Dan ini kesempatan yang langka. Aku ingin melihat ibu kota Kekaisaran yang sering dibicarakan orang... Meski, ya, kesan pertamaku tidak terlalu bagus.”

Jadi begitu. Karena itu dia kabur keluar. Tapi di saat itu pula dia terpisah dari Enta dan akhirnya harus mencarinya. Cukup ceroboh, tapi juga menyedihkan.

Mungkin dia tak benar-benar sendiri, tapi jelas kesepian.

“...Kamu kesepian, ya?”

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mendengarnya, Orihime tampak sedikit terkejut, lalu menjawab sambil tersipu malu.

“Ya, aku kesepian.”

“Begitu, ya...”

“Itulah sebabnya, waktu bersamamu tidak buruk. Kamu bersikap santai padaku. Padahal kamu tahu aku ini Putri Pertapa, kenapa tidak mengubah sikapmu?”

“Aku hanya tidak ingin memperlakukan orang lain seperti yang aku benci jika diperlakukan begitu.”

Waktu kecil, teman-teman dari kalangan rakyat biasa yang dulu bermain denganku mulai menjauh setelah mereka tahu statusku. Itu menyakitkan. Menyedihkan.

Tapi aku sangat menghargai Gai, satu-satunya yang tetap bersikap sama padaku.

Karena pengalaman itu, aku tidak mengubah sikapku terhadap orang lain hanya karena status mereka kecuali terpaksa. Tentu, aku akan melakukannya jika memang perlu.

“Begitu ya... Kalau begitu, bersikaplah lebih santai padaku. Kalau aku tak bisa keluar, setidaknya izinkan aku bicara dengan seseorang yang membuatku nyaman.”

“Itu sebabnya kamu menjadikanku pendamping?”

“Aku menunjukmu jadi pendamping hanya karena terbawa suasana.”

“Karena suasana, ya...”

“Ya, suasana. Fwaaah... Aku mulai mengantuk. Arnold, elus aku,” ucap Orihime sambil memejamkan mata dan sedikit mengangkat kepala.

Elus dia...? Dia bukan anak kecil. Memang Orihime bertingkah seperti anak-anak, tapi secara penampilan, dia seperti gadis berusia lima belas atau enam belas tahun. Mengelus kepala gadis seusia itu rasanya agak canggung.

Ketika aku masih ragu-ragu, Orihime membuka sebelah matanya dan menunjukkan ekspresi tak puas, lalu mengubah raut wajahnya menjadi muram dengan telinganya terkulai lemas.

Melihat itu, rasa bersalah dalam diriku mulai terusik, dan aku pun menggerakkan tangan. Begitu melihatnya, Orihime menunjukkan raut wajah penuh harap, seolah menanti-nanti.

Ekor dan telinganya bergerak penuh semangat.

Meskipun diharapkan seperti itu, tetap saja ini agak merepotkan...

“Haa...”

Sambil menghela napas, aku perlahan mengelus kepala Orihime.

Telinganya bergerak-gerak kecil, dan wajah Orihime dipenuhi senyum puas.

“Umu! Tidak buruk! Lanjutkan!”

“Lanjut, katanya... Jangan bilang kamu benar-benar mau tidur di sini?”

“Tentu saja. Ayo, elus terus!”

Sambil berkata begitu, Orihime kembali menggoyang-goyangkan ekornya.

Dengan pasrah aku terus mengelusnya, dan Orihime pun menunjukkan senyum nyaman. Perlahan, matanya tertutup, dan dia mulai tertidur dengan napas yang tenang.

“Benar-benar tidur, ya...”

Setelah memastikan dia benar-benar terlelap, aku menghentikan tanganku. Tapi Orihime, dalam tidurnya, mengerutkan alisnya seolah tidak senang. Jangan-jangan dia sebenarnya belum tidur...

Dengan pasrah, aku kembali mengelus kepalanya.

Saat itulah, Kanselir Franz masuk ke dalam ruangan dengan langkah tenang.

Mungkin memahami situasinya, Franz mendekat padaku dan berbisik pelan.

“Yang Mulia, mohon maaf.”

“Tidak perlu minta maaf. Ini hanya kemauan dia saja.”

“Kalau Anda berkata begitu, saya sangat berterima kasih. Sepertinya beliau juga cukup menyukai Anda. Bisakah Anda memenuhi permintaannya?”

“Sebagai pendamping, ya...”

Bagaimana pun juga, ini jelas akan melelahkan, dan jaraknya terlalu dekat. Awalnya kupikir ada keuntungan bila punya hubungan dengannya, tapi kalau sampai jadi pendamping, jaraknya justru terlalu dekat. Bergantung pada situasinya, bisa-bisa malah jadi rumit...

Namun wajah Orihime yang jujur mengaku kesepian tadi terlintas di benakku.

Kalau aku menolak jadi pendamping, dia pasti akan menunjukkan wajah sedih seperti tadi. Dan aku tidak suka melihatnya seperti itu.

“Yah, kalau itu memang keinginan Putri Pertapa, sebaiknya aku penuhi saja.”

“Terima kasih banyak. Tapi kalau boleh tahu, sejak kapan Anda punya hubungan dengan beliau?”

“Kemarin. Berawal dari urusan si penguin ini. Untung saja yang dia temui itu aku.”

“Kalau begitu... Boleh saya tahu kenapa Anda sudah tahu lebih dulu tentang keberadaan Putri Pertapa?”

Penjelasan tentang kejadian kemarin sebenarnya sudah aku berikan kepada Kapten Pasukan Kesatria Kedua. Termasuk soal aku yang memang sudah tahu keberadaan Putri Pertapa.

Franz pun tentu penasaran soal itu. Dan memang aku sengaja menyampaikannya.

“Aku mendengarnya dari Silver.”

“Dari Silver...? Mengapa dia menyampaikannya kepada Anda?”

“Jangan berpura-pura. Kamu pasti tahu kalau Silver ikut mendukung aku dan Leo. Walaupun memang dia pria yang sulit ditebak. Kadang membantu, kadang tidak. Tapi justru karena dia seorang petualang SS, dia bisa bermain dengan cerdik.”

Franz pasti punya jaringan informasinya sendiri. Jadi dia pasti tahu Silver kadang berpihak kepada kami.

Meski begitu, Silver tidak secara terbuka menyatakan diri sebagai sekutu. Dia hanya membantu ketika merasa perlu.

Petualang SS yang ikut campur dalam perebutan takhta jelas hal yang berbahaya. Tapi selama hanya membantu dalam batas tertentu, bisa ditoleransi.

“Memang benar. Saya sudah menyadarinya. Tapi pria itu bukan tipe yang suka membantu dengan aktif, bukan?”

“Tapi kali ini berbeda. Informasi itu dia sampaikan dengan cepat. Kurasa dia cukup kesal karena dikesampingkan.”

“Itu karena perjanjian dengan guild...”

“Begitu, ya. Tapi dari sudut pandang Silver, tentu saja itu menyebalkan. Yang selama ini melindungi Kekaisaran dari monster itu dia. Kekaisaran punya banyak utang budi padanya. Kalau kepercayaan itu sampai rusak, aku rasa itu kesalahan besar.”

“...Kekaisaran ini terlalu luas. Kita harus segera lepas dari ketergantungan terhadap Silver.”

Aku paham maksud Franz. Guild tidak punya kekuatan untuk memaksa petualang. Sebagian besar hanya berupa permintaan. Karena itu, petualang jarang berkumpul di tempat yang kurang populer. Dan beberapa waktu terakhir, wilayah yang kurang populer itu adalah wilayah kekaisaran.

Tempat yang damai, aman, dan jarang ada monster. Tapi sekarang keadaan mulai berubah. Kekaisaran pasti berharap, setelah insiden ini selesai, ada petualang peringkat S yang menetap di sini.

Sekuat apa pun Silver, dia tidak akan sanggup menjaga seluruh kekaisaran sendirian.

“Aku mengerti. Jadi Ayahanda juga sependapat?”

“Ya. Karena itulah, kami mohon agar Anda menjaga hubungan baik dengan Silver.”

“Sayangnya, ini lebih ke arah sepihak. Tapi... Sepertinya Silver cukup menyukai Leo. Kalau ingin mendekatinya, gunakan Leo.”

“Semoga tidak sampai seperti itu... Tapi kalau kami benar-benar harus mengandalkan Silver, maka kami akan meminta bantuan Pangeran Leonard.”

Setelah mengatakan itu, Franz menyampaikan beberapa hal lagi, lalu meninggalkan ruangan. Dengan begitu, setidaknya jalur komunikasi dengan Silver sudah terbuka. Ini bisa jadi keuntungan bagi Leo, dan juga sebagai langkah antisipasi kalau situasi memburuk.

Masalahnya sekarang, aku sudah menjadi pendamping Orihime. Padahal orangnya sedang tidur dengan nyaman.

“Wajah tidurmu benar-benar bebas dari beban hidup, ya.”

Dengan kesal, aku menjentikkan dahinya. Dia mengerutkan alis dalam tidurnya, membuatku sedikit merasa puas.

Setelah itu, aku terus mengelus kepala Orihime sampai dia terbangun.


Bagian 9

“Ayo, Enta!”

“Chupii!”

Dengan semangat tinggi, Orihime melemparkan bola kecil, menyuruh Enta untuk mengambilnya.

Meski seekor penguin, Enta sangat cerdas. Dengan lincah ia mengambil bola itu dan membawanya kembali ke Orihime.

Orihime pun bersorak-sorai kegirangan melihat itu.

“Oooh! Anak yang baik! Enta, kamu hebat! Pintar sekali!”

“Chupii.”

Jujur saja, berisik sekali.

Ya, memang bukan hal baru kalau dia berisik. Tapi masalahnya bukan itu.

“Ada yang ingin kutanyakan.”

“Hm? Apa itu?”

“Jangan ‘apa itu’? Kenapa kamu ada di kamarku?”

“Karena kamu ada di sini, tentu saja.”

Orihime menjawab seolah itu hal yang paling wajar di dunia.

Tapi sama sekali tidak wajar.

“Kamar ini bukan kamarmu. Apa kamu tidak sadar bahwa kamu ini keberadaan tidak resmi?”

“Kalau itu saja, tenang saja. Aku sudah dapat izin.”

“Izin dari siapa...?”

“Dari Kanselir. Aku bilang bosan di kamar yang sama terus, jadi minta dipindahkan ke kamarmu.”

“Dan dia mengizinkannya...?”

“Tentu, bukan tanpa syarat. Aku harus memasang penghalang di sekitar kamar ini. Aku sudah pasang penghalang penolak manusia dan penghalang pertahanan yang kuat di depan pintu. Orang-orang secara alami enggan mendekat karena penghalang itu, dan kalau pun mereka mendekat, mereka tak akan bisa membuka pintunya. Jadi semuanya aman!”

“Tidak ada yang aman di situ... Kalau sampai ketahuan kamar seorang pangeran dikurung penghalang, pasti jadi heboh besar.”

“Karena tidak bisa langsung dibuka, aku akan kabur dari jendela menggunakan penghalang sebagai pijakan. Sempurna, bukan?”

“Lalu kalau ada kehebohan, bagaimana?”

“Aku tak tahu. Urus saja sendiri.”

Dia benar-benar mengatakannya...

Bisa-bisanya dia sebebas ini bertingkah. Sungguh luar biasa.

“Haa...”

“Jangan menghela napas saat bersama denganku. Apa aku membosankan sampai kamu begitu?”

“Bukan membosankan, tapi melelahkan...”

“Itu tak bisa dihindari. Kamu adalah pendampingku, bukan?”

Sambil berkata begitu, Orihime malah memasang wajah bangga.

Maksudku justru, kamu itu terlalu merepotkan sampai bikin lelah...

Orihime memang benar-benar bebas. Mau main, dia main. Mau tidur, dia tidur. Apa pun yang dia pikirkan, langsung dilakukan. Kalau aku marah, dia langsung jadi murung.

Katanya harus menghormati dia sebagai Putri Pertapa, tapi kalau aku menjauh karena hormat itu, dia malah minta diperhatikan.

Sekarang aku mulai berpikir dia ini kucing atau anjing.

Kalau aku ucapkan, pasti dia marah.

Sambil berpikir begitu, aku memandang Orihime dengan tatapan lelah. Dia kembali bermain bola.

Bola dilempar, Enta mengambil, dan saat kembali, Orihime memujinya secara berlebihan sambil membelai-belainya.

Aku benar-benar tak mengerti apa yang menyenangkan dari ini semua.

Lagi pula, kenapa harus di kamarku?

Pikiran yang tidak penting seperti itu tiba-tiba muncul. Lalu aku sadar, berharap ada alasan logis dari tingkah Orihime adalah kesalahan.

“Hm? Ada apa, Arnold?”

“Bukan apa-apa.”

“Hmm? Ooh! Jadi begitu!”

Saat aku memegangi kepalaku yang mulai sakit, Orihime tampak seolah menyadari sesuatu. Tapi itu pasti hanya kesalahpahaman.

Aku sudah cukup mengenalnya untuk tahu itu.

“Jadi dari tadi kamu terus menatap karena begitu, ya. Maaf, maaf. Aku ini memang kurang sensitif.”

“Ya, bagian itu benar.”

“Tapi sekarang aku paham! Kamu juga ingin ikut main, kan? Tapi malu untuk bilang! Dasar imut sekali kamu ini!”

“Tidak. Sama sekali tidak begitu."”

“Jangan malu-malu begitu. Aku ini tidak kejam. Kalau kamu memang mau, aku bisa membiarkanmu melempar bolanya!”

Orihime menyilangkan tangan dan dengan bangga mengangkat dagu, tersenyum penuh kemenangan.

Kenapa bisa begitu percaya diri dalam menyimpulkan hal yang salah?

Benar-benar luar biasa.

“Bukan itu maksudku...”

“Tak usah sungkan!”

Kata Orihime sambil menunjukkan bola ke arahku.

Di belakangnya, ekornya berayun-ayun semangat, dan matanya bersinar penuh harapan.

Jelas maksudnya, dia ingin diajak bermain.

“...”

“Nih, ini menyenangkan loh!”

Orihime mendesakku untuk ikut bermain bola. Tapi karena aku benar-benar tidak mengerti letak kesenangannya, aku tetap diam.

Lalu, telinganya menunduk, dan wajahnya langsung murung.

“Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Aku tidak akan memaksa. Aku akan main dengan Enta saja...”

Dengan ekspresi sangat kecewa, Orihime kembali bermain dengan Enta. Tapi lemparan bolanya lemah, dan saat Enta mengembalikannya, dia hanya membelainya sedikit.

Melihat dia benar-benar kehilangan semangat seperti itu, aku jadi merasa bersalah, padahal aku tidak melakukan apa pun.

“Baiklah, baiklah... Aku main. Aku main, oke?”

“Benarkah!? Hehe! Dari awal bilang saja kalau kamu mau main! Dasar merepotkan!”

Orihime dengan gembira menyerahkan bola ke tanganku.

Lalu, sambil mengayun-ayunkan ekornya, dia menunggu aku bergerak.

“Jadi aku melemparnya?”

“Umu! Kamu yang melempar. Aku akan menangkapnya sebelum menyentuh lantai! Hanya itu saja!”

Orihime mulai mendesakku agar segera melempar.

Aku tetap tak mengerti apa yang menyenangkan dari ini, tapi dengan pasrah aku melempar bola asal-asalan. Orihime langsung bereaksi dan bergerak ke titik jatuh bola.

“Hmm? Kalau cuma lemparan selemah itu, tidak menyenangkan.”

“...Kamu serius?”

Reaksinya seperti predator. Dia berpindah tempat dalam sekejap. Memang sih dia beastman, jadi tak mengejutkan. Tapi memanfaatkan gerakan seperti itu hanya untuk main-main, itu yang mengejutkan.

Orihime pun menuntut aku melempar lebih cepat, lalu melempar bola ke arahku.

Kalau sudah begini, aku tak bisa main-main. Kali ini, aku benar-benar serius. Aku melempar bola sekuat mungkin ke arah tembok. Dengan pantulan itu, dia tidak akan bisa menangkapnya, pikirku.

Tapi sebelum bola menyentuh dinding, dia sudah menangkapnya dengan mudah.

“Umu! Yang tadi cukup bagus!”

“...Tch.”

“Barusan kamu menggerutu, ya?”

“Tidak. Hanya perasaanmu saja.”

“Masa sih? Aku merasa seperti mendengarnya...”

Sambil memiringkan kepala, Orihime melempar bola kembali.

Kali ini, aku benar-benar tersinggung. Lemparanku yang serius ditangkap begitu saja...

Mungkin ini warisan dari Ayahanda, tapi aku memang tipe orang yang tak tahan pada mereka yang terlalu santai. Kalau dia benar-benar ingin bersenang-senang, akan kubalas dengan cara yang sama. Biar dia kesal karena gagal menangkap.

Lihat! Ini lemparan terbaikku!

Dengan semangat itu, aku melempar bola ke arah yang benar-benar berbeda, bukan ke arahnya. Lemparan itu terlalu keras untuk dilakukan di dalam ruangan, seharusnya dilakukan di luar ruangan.

Namun, Orihime menangkapnya dengan mudah sekali.

Itu lemparanku yang paling kuat.

“Umu! Teruskan seperti itu!”

“Apa...!?”

Sambil menerima bola yang dikembalikan Orihime, aku tertegun.

Sebesar apa pun kecepatannya, dia bisa menangkap lemparanku yang barusan... Itu lebih seperti insting tubuh daripada sekadar mata yang melihat.

Sial. Ekor itu bergoyang penuh kegembiraan. Dia kelihatan sangat bersenang-senang.

Padahal tadi aku benar-benar ingin membuatnya kewalahan!

Aku tidak bisa kalah seperti ini. Kalau dia mengikuti bola berdasarkan naluri, maka aku hanya perlu memanfaatkan itu.

Kalau menekan tidak berhasil, tariklah. Kalau jauh tidak bisa, gunakan jarak dekat. Jangan remehkan aku, Orihime. Aku memang bukan tipe yang suka mengganggu orang lain, tapi kalau aku harus melakukannya, aku ini jenius.

Akan kutunjukkan padamu.

“Awas, aku lempar lagi!”

“Datanglah!”

Aku mengangkat kaki, siap melempar bola dengan seluruh tenaga ke arah Orihime.

Dia pun bersiap menyambutnya.

Namun, aku segera menurunkan kaki dan melempar bola dengan santai tepat di depan mataku.

“Kamu lihat itu!? Sekarang bagaimana ooohhhhh!!!!”

Orihime sempat tertipu sejenak oleh gerak tipuku, tapi kemudian dia menunjukkan reaksi naluriah seperti hewan, menerjang langsung ke arahku.

Dia menangkap bola itu sebelum menyentuh lantai, lalu berguling dengan keras, menyeretku ikut bersamanya.

Aku pun jatuh terdorong oleh Orihime, terlentang sambil memegangi bagian belakang kepalaku. Sepertinya aku membentur lantai saat jatuh tadi.

“Aduh... Lebih tepatnya, berat!”

“Hehe! Bagaimana? Aku berhasil menangkapnya!”

Kulihat Orihime duduk mengangkang di atasku. Di wajahnya terlukis ekspresi paling bangga hari ini.

Dia memamerkan bola yang berhasil ditangkapnya dengan sempurna.

“Kalau aku sampai terluka, bagaimana coba... Maksudku, aku yang...”

“Ohh! Itu tidak kupikirkan! Maaf! Tapi ini semua salahmu, loh. Karena kamu mencoba mengecohku, akhirnya jadi begini!”

Setelah mengatakan itu, Orihime mendekatkan wajahnya ke arahku.

Aku menatapnya heran, bertanya-tanya apa maksudnya, dan Orihime menyunggingkan senyum lebar lalu berkata, “Aku berhasil menangkapnya dengan sempurna! Pujilah aku!”

“Aah...”

“Pujilah aku! Cepat, puji aku!”

Nada bicaranya memang sok berkuasa, tapi dengan ekornya yang bergoyang dan ekspresi menunggu dielus di kepala, dia tak ubahnya seperti kucing atau anjing.

Kupikirkan untuk menolak, tapi dari gerak telinganya dan pandangannya yang memohon, aku tahu dia tak akan berhenti kalau tidak kuturuti. Maka, aku pun mengelus kepala Orihime dengan tangan kananku.

“Iya iya, kamu hebat sekali.”

“Umu! Puji lebih banyak, dong!”

“Lebih banyak...?”

Apa lagi yang harus kukatakan?

Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba terdengar suara kaca pecah. Itu adalah suara yang hanya bisa terdengar oleh mereka yang mahir mengendalikan sihir, suara ketika sebuah penghalang hancur. Orang biasa tidak akan bisa mendengarnya.

Dan kemudian, pintu terbuka perlahan.

“Al! Apa-apaan sih!? Kenapa kamu pasang penghalang penolak orang, lalu ditambah lagi penghalang di pintu!? Dan kerasnya keterlaluan lagi! Susah payah aku... Menghancurkannya...”

Yang muncul dari balik pintu adalah Elna.

Seperti yang dia katakan, sepertinya dia benar-benar kesulitan menghancurkan penghalang itu. Tangannya masih menggenggam pedang dan napasnya terengah-engah.

Namun, begitu dia melihat Orihime yang sedang duduk di atasku, ekspresinya langsung berubah drastis menjadi penuh amarah. Dan bersamaan dengan itu, tubuhku langsung bersimbah keringat dingin.

Begitulah, di saat yang paling buruk, tombak dan perisai akhirnya saling berhadapan.


Bagian 10

Mengapa Elna bisa datang ke sini? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Sudah ada penghalang penolak manusia di tempat ini, dan akses menuju kamarku seharusnya juga diblokir. Tanpa itu semua, Orihime takkan bisa masuk ke ruanganku. Tapi memikirkan itu sekarang tidak ada gunanya.

Hal pertama yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya aku bisa selamat dari situasi ini.

“Al... Jadi, kamu sedang bersenang-senang dengan seorang gadis di kamar, sampai-sampai memasang penghalang juga, begitu? Enak sekali hidupmu, ya?”

“Bukan, tenang dulu. Ini tidak seperti yang kamu pikir.”

“Dalam situasi seperti ini, kamu menyuruhku tenang!? Aku melihat para Pasukan Pengawal Kedua mondar-mandir, jadi aku mengendap-ngendap untuk mengecek keadaan, dan ternyata begini hasilnya!?”

Jadi gara-gara mereka, ya!? Sial! Bukannya menjaga, malah membawa ancaman langsung ke sini!

Sial! Sebisa mungkin aku tak ingin Elna tahu kalau Orihime adalah seorang Putri Pertapa...

“Elna, tenanglah dulu. Kamu sedang salah paham besar.”

“Benar itu. Orang asing, cepatlah pergi. Aku dan Arnold sedang sibuk.”

“!?”

Aku refleks membelalakkan mata dan menatap Orihime.

Sungguh bodoh. Apa dia sudah membuang naluri hewannya? Bertingkah seenaknya bahkan terhadap satu-satunya wanita di Kekaisaran yang tak boleh kamu buat marah. Memang pantas disebut Putri Pertapa.

“Orang asing...? Justru aku yang harus bilang begitu! Kenapa kamu duduk di atas Al!? Dia itu pangeran kekaisaran, tahu! Turun sekarang juga!”

“Kenapa aku harus menuruti perintahmu? Aku berada di sini sebagai pemenang. Sampai aku puas, aku takkan turun.”

“Apa...!? Al! Jelaskan ini! Siapa dia!?”

“Ah... Kalau dijelaskan, agak panjang...”

“Kalau kamu ingin tahu namaku, kenapa tak coba perkenalkan dirimu dulu? Itu pun kalau kamu punya nama yang pantas untuk dikenalkan.”

Orihime menatap Elna dengan senyum mengejek.

Elna langsung meledak.

Dia mengarahkan pedang yang sebelumnya dipakai untuk menghancurkan penghalang ke Orihime dan memperkenalkan dirinya sambil marah besar.

“Baiklah! Namaku Elna von Amrsberg! Calon kepala keluarga Armsberg, bangsawan Pahlawan! Sekarang giliranmu, sebutkan namamu!”

“Eh, Elna, dia itu bukan siapa-siapa...”

“Oh? Jadi kamu memang dari keluarga Armsberg! Namaku Orihime Kuon! Aku adalah Putri Pertapa dari negeri jauh di timur, Mizuho!”

Dengan wajah bangga, Orihime memotong penjelasanku dan mengumumkan nama serta gelarnya. Dia benar-benar menyebutkannya.

Bangsawan Pahlawan dari kekaisaran dan klan Rubah Suci dari Mizuho. Pahlawan dan Putri Pertapa. Tombak terkuat dan perisai terkokoh.

Bila dua kutub kekuatan ini saling mengenal secara langsung, hasilnya sudah pasti kacau.

Kalau ini kunjungan resmi, mungkin masih bisa ditangani. Tapi sekarang ini tidak resmi. Orihime bebas bertindak sesuka hatinya tanpa jadi masalah, dan memperlakukannya dengan kurang hormat pun tidak akan dipermasalahkan.

Toh dia tidak muncul di hadapan umum. Karena itulah aku juga bisa memperlakukannya dengan cara yang lebih alami. Tapi persepsiku terhadap Putri Pertapa berbeda dengan Elna.

Bagiku, dia hanya pejabat tinggi dari negara lain. Namun tidak bagi keluarga Armsberg. Mereka adalah keluarga yang selalu menyandang gelar sebagai yang terkuat. Pewaris pahlawan yang menyelamatkan benua, dan pengguna pedang suci, senjata paling kuat.

Mereka punya rasa saing tinggi terhadap siapa pun yang berdiri setara dengan mereka. Karena mereka percaya penuh pada kekuatan sendiri dan selalu membuktikannya.

Karena itulah, aku tak ingin Elna berinteraksi langsung dengan Putri Pertapa yang katanya bisa menahan pedang suci.

Elna bukan orang yang bisa bersikap dewasa dalam situasi seperti ini.

“Putri Pertapa, katamu...? Aku tak pernah dengar kabar kalau dia datang ke Kekaisaran.”

“Karena ini kunjungan rahasia. Meski disebut Keluarga Pahlawan di Kekaisaran, tampaknya kamu tak diberi tahu hal-hal penting, ya.”

“Begitu ya... Tapi tamu dari negeri kecil di timur tak layak diberitahu pada keluarga Armsberg. Kami tidak punya waktu luang seperti orang-orang tertentu.”

Mereka saling melempar percikan api. Ternyata bukan hanya keluarga Armsberg yang punya rasa saing. Orihime juga tampak lebih menantang dari biasanya.

Sebenarnya, bisakah dia turun dari tubuhku...

“Oh? Kamu tidak terlihat begitu sibuk. Aku sekarang sedang dalam tugas kenegaraan, dan kamu, apa urusanmu?”

“Aku juga sedang bertugas. Mengawal sang pangeran yang berada di bawahmu itu adalah tugasku.”

“Oh, begitu ya. Kalau begitu, kamu boleh pergi. Kalau soal pengawalan, aku sudah cukup. Aku ini ahli dalam penghalang.”

“Aku tak bisa percaya pada penghalang selemah itu.”

“Aneh sekali, padahal tadi kamu cukup kesulitan menghancurkannya. Itu saja cuma penghalang yang kubuat sambil lalu.”

“Ah, kebetulan. Aku pun menghancurkannya dengan hati-hati agar tidak merepotkan orang sekitar. Kalau aku serius, penghalang seperti itu takkan bisa menahan dampaknya.”

Saling menyindir dengan kata-kata. Kalau ini disebut interaksi Pahlawan dan Putri Pertapa, rasanya terlalu kekanak-kanakan. Tapi mungkin ini cuma ketenangan sebelum badai.

Keduanya berusaha keras agar tak kehilangan muka, tapi pipi mereka sudah tegang. Tampaknya kesabaran mereka sudah di ambang batas.

“Kamu! Aku takkan memaafkan penghinaan lebih jauh! Penghalang milikku itu kelas satu! Tak mungkin kalah dari Pahlawan yang hanya bisa mengayunkan pedang suci!”

“Apa!? Bukannya kamu juga mewarisi alat legendaris? Aku tahu itu! Kamu menjaga seluruh negara dengan alat itu, kan? Mungkin yang kuat sebenarnya adalah alatnya?”

“Apa katamu!? Seorang pahlawan gagal yang pamornya diambil oleh para petualang akhir-akhir ini berani bicara besar!?”

“Siapa yang pahlawan gagal!? Nama keluarga Armsberg tidak sedang merosot! Mungkin tempat terpencil seperti negerimu saja yang belum mendengarnya!”

“Mizuho bukan tempat terpencil! Kami adalah negara maju dengan perdagangan maritim yang berkembang pesat! Sepertinya kamu kurang belajar!”

“Hebat di timur tetap saja tak seberapa! Kekaisaran yang dilindungi dan dibesarkan oleh keluarga Armsberg tetaplah lebih unggul!”

“Kamu sok hebat hanya karena tumbuh di tempat aman tanpa monster! Jangan sok kuat hanya karena bisa menang melawan manusia biasa!”

“Apa katamu!?”

Kata-kata pedas berbalas lebih pedas. Ketegangan di antara mereka semakin tinggi.


Ini benar-benar gawat. Mungkin aku sekarang berada di tempat paling berbahaya di seluruh dunia.

Karena berbaring tidak memungkinkan untuk melarikan diri, aku pun bangkit dan menyingkirkan Orihime dari tubuhku.

“Apa yang kamu lakukan!?”

“Ha! Mungkin kamu terlalu berat?”

“Grghh... Jangan kelewatan! Kalau aku berat, itu karena dadaku! Tidak seperti kamu yang rata!”

“Apa!? Itu cuma gumpalan lemak, tahu!”

“Itu bukti keibuan! Perempuan yang hanya tahu cara mengayunkan pedang takkan pernah paham!”

“Argh! Sudah cukup!”

Sungguh perdebatan yang konyol. Elna dan Orihime kini berdiri berhadapan, saling menatap tajam.

Karena tubuhnya kecil, Orihime sedikit ditatap dari atas oleh Elna. Tapi Orihime malah mencibir sambil menatap dada Elna, membuat Elna semakin marah.

Inilah, pertarungan antara Pahlawan dan Putri Pertapa yang dinantikan seluruh benua. Betapa tidak bermaknanya.

“Al! Katakan sesuatu!”

“Percuma saja mengandalkan Arnold! Arnold sudah menjadi tawanan hatiku!”

“Apa kamu bilang!?”

“Dadaku lebih besar dari milikmu, dan jelas aku jauh lebih imut!”

“Kamu cuma pamer!”

Orihime membusungkan dada dengan penuh kemenangan dan sikap angkuh.

Perbedaan rasa percaya diri terhadap diri sendiri mulai terlihat. Orihime selalu merasa menjadi pusat dunia di mana pun dia berada. Dalam perdebatan pun, dia tidak pernah mundur dan selalu menunjukkan keyakinan tanpa dasar kepada orang lain. Elna tidak memiliki kepercayaan diri setinggi itu. Atau lebih tepatnya, dia tidak diizinkan untuk memilikinya.

Keluarga Pahlawan tetaplah bangsawan, dan sebagai bangsawan, mereka harus menghormati keluarga kekaisaran. Di sisi lain, seorang Putri Pertapa adalah sosok yang hampir disamakan dengan pelindung spiritual negeri Mizuho. Dia bahkan lebih populer daripada raja, dan setiap kata-katanya memiliki pengaruh besar. Wajar saja. Negara Mizuho sangat bergantung pada Putri Pertapa.

Itulah perbedaan di antara keduanya. Bukan masalah siapa yang lebih unggul, tapi dalam perdebatan, Orihime sangat sulit digoyahkan. Meskipun bisa juga dibilang dia hanya tidak bisa mendengarkan orang lain.

“Tentu saja aku imut, dan sudah sewajarnya pria menyukai gadis yang imut! Jadi, pergilah dari sini! Tak perlu ada wanita yang hanya bisa mengayunkan pedang di tempat ini!”

“Grgh... Apa-apaan sih! Al! Apa bagusnya gadis seperti ini!? Apa karena telinganya!? Atau ekornya!?”

Target Elna kini berpindah ke arahku. Gawat. Aku tidak menyangka situasi ini akan bergulir seperti ini, apalagi sampai aku yang jadi sasarannya.

Aku sempat berpikir bagaimana cara menengahi mereka, tapi kini sudah tak ada waktu lagi untuk berpikir.

“T-Tidak, aku...”

“Telinganya, ya! Aku merasa begitu!”

“Mesum!”

“Aku belum bilang apa pun, kan...”

Aku menarik napas panjang dengan lelah.

Bagaimanapun juga, aku merasa apa pun yang kukatakan akan membuatku dimaki, tapi meninggalkan situasi ini begitu saja juga bukan pilihan.

Jika dibiarkan, perdebatan ini bisa berujung ke adu kekuatan. Dan tepat saat itu...

“Yang Mulia Pangeran! Yang Mulia Kaisar memanggil Anda! Bersama Yang Mulia Putri Pertapa juga, mohon segera ke istana!”

Seorang kesatria pengawal masuk ke dalam ruangan dan menyampaikan pesan itu. Jika ini panggilan dari Ayahanda, mungkin rencana mereka mulai berjalan. Kalau begitu, tak masalah.

“Baik. Aku akan segera ke sana. Juga, sampaikan bahwa Elna akan ikut denganku.”

“Eh? Tapi, Yang Mulia... Kaisar tidak...”

“Aku tahu dia tidak memanggilnya. Tapi cepat atau lambat, dia akan dipanggil juga. Dan toh sekarang dia sudah tahu tentang keberadaan Orihime, jadi tak ada gunanya disembunyikan lagi, kan?”

Kalau aku biarkan Elna di sini, dia bisa saja meledak dan mengacau ke mana-mana. Aku tidak akan mengatakannya langsung, tapi aku lebih baik membawanya bersama.


Bagian 11

“Apa artinya ini, Arnold?”

“Silakan sampaikan keluhan itu pada Kanselir. Aku adalah korban di sini.”

Begitu aku memasuki ruang takhta bersama Elna dan Orihime, Ayahanda langsung mencecarku dengan pertanyaan. Tapi ini bukanlah situasi di mana aku harus minta maaf.

Ini bukan sesuatu yang bisa kuatasi sendiri. Aku tak bertanggung jawab atas semuanya.

“Maafkan saya. Yang Mulia Putri Pertapa mengatakan ingin pergi ke kamar Pangeran, jadi saya memberinya izin.”

“Tanpa syarat?”

“Seingat saya, syaratnya adalah beliau harus memasang penghalang sihir.”

“Elna curiga karena para kesatria mondar-mandir, jadi dia menyelinap saat ada celah pengamanan. Dan dia menghancurkan penghalangnya.”

“...”

“...”

Ayahanda dan Franz sama-sama memegangi kepala mereka. Melihat itu, Elna menunjukkan ekspresi bersalah, sementara Orihime dengan wajah puas penuh kemenangan seolah berkata, “Rasain!”

“Yah, lagipula kalian memang berniat memberitahukan hal ini pada Elna, bukan? Kalau sedikit lebih cepat, seharusnya tak masalah, bukan?”

“Itu memang benar... Tapi, sejauh mana kamu tahu, Arnold?”

“Aku tahu bahwa karena insiden di wilayah timur, monster yang sedang dalam masa dormansi di sekitar Kekaisaran mulai aktif bersamaan. Dan Kekaisaran tengah menyusun rencana penaklukan bersama dengan guild petualang. Kalau dibiarkan, perayaan peringatan bisa terganggu.”

“Jadi kamu tahu hampir semuanya. Padahal seharusnya ini rahasia.”

Ayahanda berbisik, terdengar heran, tapi tidak bertanya lebih lanjut.

Mungkin karena saat ini sumber informasi bukanlah yang terpenting.

“Elna. Seperti yang sudah kamu dengar, kami memanggil Yang Mulia Putri Pertapa untuk menangani masalah ini. Menurut guild petualang, ada setidaknya satu monster yang kekuatannya mengharuskan kami meminjam tenagamu.”

“Jika itu perintah dari Kaisar, aku akan pergi ke mana pun dan membasmi monster apa pun. Tapi... Kalau harus bertarung bersama, maka aku harus mempertimbangkannya.”

“Oh? Mengandalkan bantuan orang lain sebelum bertarung? Rupanya Keluarga Pahlawan tidak sehebat yang dibayangkan. Kalau kamu memang tak percaya diri, katakan saja terus terang. Kalau begitu, aku mungkin akan bersedia membantumu.”

“Siapa bilang aku tidak percaya diri...? Aku hanya berbicara tentang kemungkinan! Tidak sudi aku bertarung bersamamu!”

“Itu adalah kata-kata yang seharusnya aku ucapkan! Bahkan kalau diminta pun, aku tak akan membantu!”

Keduanya saling melemparkan api permusuhan dengan aku di tengah-tengah. Jujur saja, bisakah mereka mempertimbangkan tempat mereka sekarang?

Ya, keduanya memang memiliki kedudukan dan kekuatan yang luar biasa. Sedikit ketidaksopanan pun masih bisa dimaafkan.

Namun, orang yang seharusnya menegur mereka kini justru menunjukkan ekspresi sulit. Mungkin situasi ini lebih gawat daripada yang terlihat.

“Orihime.”

“Hm? Ada apa, Arnold! Kalau kamu sangat ingin, aku bisa mempertimbangkannya.”

“Diam.”

“Uh...!?”

“Kamu juga, Elna. Ini di hadapan Ayahanda.”

“Ugh... Mohon maaf, Yang Mulia.”

Keduanya menundukkan kepala, bahunya merosot.

Akhirnya situasi menjadi tenang. Barulah kami bisa bicara dengan serius.

“Jadi, monster seperti apa yang membutuhkan kekuatan Elna?”

“Monster itu disebut Kura-Kura Roh. Monster raksasa yang muncul entah dari mana. Hanya berjalan saja sudah menimbulkan bencana.”

“Entah dari mana? Bukannya tadi dikatakan monster-monster yang bangkit itu sedang dalam masa dormansi?”

“Benar. Kura-Kura Roh itu pertama kali muncul dua ratus tahun lalu, dan sejak saat itu tertidur.”

“Dua ratus tahun? Apa yang terjadi?”

Ada monster yang tertidur selama ratusan tahun, tapi itu sangat langka.

Leviathan sang naga laut yang pernah kami lawan sebelumnya pun hanya tertidur karena dipaksa. Biasanya, masa dormansi monster hanya beberapa dekade.

Pasti ada sesuatu yang terjadi.

“Kura-Kura Roh disebut monster abadi. Itu karena monster ini tak bisa dibunuh dengan cara biasa.”

“Bagaimana bisa begitu?”

“Menurut guild petualang, tubuh Kura-Kura Roh terdiri dari sihir. Ketika mengalami luka parah, ia memperkuat tubuhnya dan masuk ke masa dormansi. Setelah tubuhnya cukup kuat, ia bangkit kembali. Bahkan jika berhasil dikalahkan sebelum itu, karena tubuhnya adalah sihir, ia bisa membentuk dirinya kembali. Artinya, yang muncul sekarang dan dua ratus tahun lalu adalah entitas yang sama. Inilah alasan ia disebut monster abadi.”

“Kalau begitu, kenapa monster semerepotkan itu tidak jadi topik besar?”

“Saat muncul kembali setelah tubuhnya berubah menjadi sihir, ukurannya mengecil. Mungkin proses pertumbuhannya kembali semula. Jadi, jika dibunuh saat masih kecil, tidak terlalu berbahaya.”

Begitu rupanya. Walau abadi, tetap bisa dikalahkan.

Benar juga, kalau begitu tidak terlalu mengkhawatirkan. Tapi kalau ia tidur selama dua abad, berarti dua abad lalu kita gagal membunuhnya.

“Jadi? Kenapa gagal waktu itu?”

“Saat itu, Guild Petualang mengirim petualang kelas SS. Dia berhasil menekan Kura-Kura Roh sampai hampir terbunuh, tapi ada gangguan dan monster itu masuk ke masa dormansi.”

“Apa? Gangguan seperti apa yang bisa menghentikan petualang SS?”

“Naga purba yang pernah dibasmi oleh Silver. Dulu pun, dua ratus tahun lalu, naga itu berhadapan dengan petualang SS. Meski akhirnya dikalahkan dan lari lalu tertidur, ia menyisakan masalah besar.”

Ayahanda memperlihatkan ekspresi jengkel.

Apa naga tua yang kubasmi itu benar-benar melakukan hal seperti itu? Katanya, meski memiliki kekuatan yang luar biasa, dia tidak pernah bertarung langsung dengan Keluarga Pahlawan, tetapi malah bersembunyi di tengah benua dan menyebabkan kerusakan pada Kekaisaran dengan liciknya. Bahkan saat melawanku, dia berusaha kabur di akhir pertarungan. Aku mengira dia adalah naga yang pandai melarikan diri, tapi apakah makhluk seperti itu benar-benar mau membantu Kura-Kura Roh dengan sengaja mengganggu petualang SS?

Memasuki masa dorman dan memperkuat tubuh pastinya berarti ia akan terus memperkuat diri sampai bisa mengalahkan musuh yang kuat. Mungkin itu juga alasan mengapa prosesnya memakan waktu hingga dua ratus tahun.

Jika ada monster seperti itu, tentu akan lebih memudahkanku. Siapa tahu bisa saja monster itu malah mengalahkan Keluarga Pahlawan yang merepotkan. Mungkin saja ia bergerak dengan perhitungan seperti itu.

Tapi pada akhirnya, aku yang justru lebih dulu berhasil membasminya. Hadiah perpisahan yang ditinggalkannya terlalu besar untukku.

“Kalau monster itu memperkuat diri sampai bisa mengalahkan petualang SS, bukankah terlalu berbahaya jika Elna bertarung sendiri?”

“Kami pun menyadari risikonya. Karena itu, kami ingin Putri Pertapa ikut bertarung.”

“Umu, Yang Mulia Kaisar. Jangan salah paham. Aku bukan dipanggil untuk membasmi monster, tapi untuk menyegel bahaya. Kalau nyawaku terancam, tentu aku akan bertarung, tapi bukan demi kepentingan Kekaisaran. Kecuali, tentu saja, jika Kekaisaran memberikan keuntungan besar bagi negeriku.”

Pintar sekali dia bicara.

Kekaisaran sangat ingin perayaan penobatan berjalan sukses. Mereka sudah menjanjikan dukungan penuh pada guild petualang. Biayanya pasti besar.

Memberi keuntungan setara pada Negeri Mizuho juga pasti sulit. Terlalu sedikit imbalannya.

Putri Pertapa adalah spesialis penghalang. Dia bukan pemusnah monster raksasa. Memang bantuannya sangat berarti, tapi bukan tidak tergantikan.

“Sangat disayangkan. Kalau begitu, kita minta bantuan guild petualang saja.”

“Kalau harus bersama pria bertopeng itu... Ya, masih lebih baik dari Putri Pertapa.”

“Elna, kami tidak akan meminta bantuan Silver kali ini. Itu kesepakatan antara Kekaisaran dan guild petualang.”

“Eh!? Apa pria itu melakukan sesuatu!?”

“Tidak. Tapi Guild ingin menggali talenta baru dan menghindari ketergantungan pada Silver. Kekaisaran pun berharap lebih banyak petualang mendirikan markas di sini.”

“Hanya karena itu? Aku memang tidak menyukai pria itu, tapi fakta bahwa dia telah melindungi Kekaisaran tidak bisa disangkal. Seharusnya kita andalkan dia terlebih dahulu. Kalau hatinya menjauh dari Kekaisaran, apa yang akan kalian lakukan?”

“Aku sudah pikirkan itu. Arnold. Aku dengar kamu punya hubungan dengan Silver.”

“Lebih tepatnya, dia yang datang ke arahku.”

“Tapi kamu punya cara untuk menghubunginya, kan?”

“Belum tentu dia akan membalas. Sama seperti kantor cabang ibu kota. Dia selalu muncul dan menghilang sesuka hati. Tak ada cara pasti untuk menemukannya.”

“Kalau dia tak merespons, tidak apa. Tapi jangan menyerah sebelum mencoba. Katakan padanya bahwa Yang Mulia Kaisar ingin bertemu.”

“...Apa yang ingin Anda lakukan?”

“Hanya ingin berbicara. Tenang saja.”

Ayahanda berkata demikian sambil menatap ke luar istana.

Silver memang petualang SS, tapi tidak memiliki identitas resmi. Jika seorang kaisar memanggilnya, itu luar biasa.

Berbeda dari kemunculannya yang tiba-tiba sebelumnya, kini Ayahanda sendiri berusaha menjaga hubungan dengannya.

Ini sungguh perkembangan yang tak kuduga.


Bagian 12

Undangan dari sang Kaisar. Menolaknya mudah saja, namun jika aku menggunakannya sebagai alasan untuk mundur dari kejadian kali ini, maka hanya akan memperdalam jurang di antara kami.

Demi menjaga harga dirinya, sang Kaisar pun takkan bergantung lagi pada seorang petualang yang pernah menolak panggilannya. Jika itu terjadi, maka kemungkinan Silver terlibat dalam urusan ini akan tertutup sepenuhnya.

Dengan pertimbangan itu, aku memutuskan untuk menerima undangan Ayahanda sebagai Silver.

Aku menggunakan teleportasi dan menuju ke alun-alun menjorok dari Kastel Pedang Kaisar.

Di sana, sebuah meja dan dua kursi telah disiapkan. Ayahanda sudah duduk di salah satunya.

“Senang kamu datang, Silver.”

“Saya hanya datang karena ini undangan langsung dari Yang Mulia. Tapi apakah saya bertahan sampai akhir, tergantung pada isi pembicaraannya.”

“Heh, itu memang seperti dirimu.”

Sambil berkata begitu, Ayahanda menyilakanku duduk di kursi yang berhadapan dengannya.

Tampaknya beliau berniat untuk duduk sejajar dan berbicara. Bahkan untuk petualang SS, ini adalah perlakuan yang tidak biasa. Terlebih lagi.

“Kelihatannya penjagaan di sekitar sangat minim.”

“Kami sengaja menguranginya seminimal mungkin. Jika kamu memang berniat melakukan sesuatu, penjaga pun takkan bisa menghentikanmu.”

“Baiklah, saya akan menganggapnya sebagai bentuk kepercayaan.”

Di sekitar alun-alun hanya ada beberapa kesatria pengawal.

Mereka adalah penjaga terdekat. Tak ada seorang pun yang benar-benar dekat dengan Ayahanda kecuali aku. Ini sungguh hal yang luar biasa.

“Benar. Aku mempercayaimu. Berdasarkan prestasimu melindungi Kekaisaran hingga sekarang.”

“Sayangnya, saya tak pernah merasa telah melindungi Kekaisaran. Yang saya lindungi hanyalah rakyat.”

“Namun pada akhirnya itu sama saja. Melindungi rakyat berarti melindungi negara. Sejak kemunculanmu, keluhan dari rakyat menurun drastis. Kehadiran petualang kelas SS di Kekaisaran yang jarang muncul monster berbahaya adalah alasan besar bagi rakyat untuk merasa aman.”

“Saya berada di Kekaisaran karena tidak ada perselisihan dengan petualang lain. Di wilayah yang sering muncul monster berperingkat tinggi, para petualang saling berebut misi. Saya tak suka pertikaian semacam itu. Karena itu saya tinggal di sini.”

Sambil berkata demikian, aku menatap wajah beliau dengan tajam.

Meskipun di balik topeng, beliau tampaknya memahami maksud dari tatapan itu, dan hanya tersenyum masam.

“Kalau begitu, dari sudut pandangmu, kebijakan Kekaisaran akhir-akhir ini tak terlalu menyenangkan, ya?”

“Menarik petualang ke Kekaisaran adalah hal yang wajar bagi sebuah negara. Saya takkan menyalahkan itu. Tapi kalau saya merasa tak nyaman, saya akan pergi. Hanya itu.”

“Itu akan menyulitkan Kekaisaran. Meskipun kami undang banyak petualang kelas S, mereka tak bisa menggantikan petualang kelas SS. Dari segi kemampuan maupun reputasi. Rakyat pun pasti merasa cemas.”

“Urusan Kekaisaran bukan urusan saya. Jika seseorang masuk ke wilayah Kekaisaran, saya akan pindah, menjaga keseimbangan benua. Masih banyak tempat yang membutuhkan petualang kelas tinggi. Sebenarnya ini seharusnya tugas markas pusat guild... Tapi berharap pada mereka saat ini rasanya sia-sia.”

Akhir-akhir ini, markas pusat lebih banyak diisi oleh mereka yang tak punya pengalaman di lapangan.

Dulu, banyak petualang yang naik ke posisi atas. Tapi ketika mulai muncul perebutan kekuasaan, para pegawai guild yang tidak pernah bertarung malah menjadi lebih dominan.

Markas yang kini dikuasai oleh para pegawai menjadi lembaga yang sulit diurus.

Mereka berusaha menjaga hubungan baik dengan kelima petualang kelas SS di benua ini, sembari diam-diam mencoba mengendalikannya.

Padahal tak ada satu pun dari kami yang bisa dikendalikan. Mungkin karena menyadari hal itu, mereka mulai mencari petualang kelas SS yang baru.

Percuma saja. Kalau semudah itu menemukannya, takkan jadi masalah besar.

“Jadi pada akhirnya rakyatlah yang menjadi prioritas utamamu.”

“Itulah petualang. Kami melindungi rakyat dari posisi yang bebas. Tanpa memandang pangkat maupun status, itu satu-satunya prinsip kami.”

“Sederhana, ya. Aku menyukainya.”

Sambil berkata begitu, beliau menyeruput teh yang ada di atas meja.

Dari aromanya, sepertinya mengandung sedikit alkohol. Minuman kesukaannya, tampaknya.

“Yang Mulia. Anda bukan orang yang punya banyak waktu luang, bukan? Bagaimana kalau langsung ke inti pembicaraan?”

“Tenanglah. Jarang sekali ada waktu seperti ini, tanpa orang-orang di sekitar. Tak apa kalau sedikit menikmati, bukan?”

“Kalau begitu waktu saya hanya terbuang.”

“Lelaki yang terburu-buru tak begitu disukai, kamu tahu?”

“Perlukah saya beranjak dari sini?”

Ketika aku berkata demikian, beliau mengangkat bahu dan tertawa ringan dengan sikap santai.

Langka sekali melihatnya seperti ini, tanpa beban sebagai Kaisar. Ini pasti mendekati wujud aslinya.

“Baiklah, mari kita mulai pembicaraan penting.”

“Kalau begitu, cepatlah mulai.”

“Langsung saja kutanya. Apa kamu memiliki seseorang yang kamu sukai?”

“...Apa yang Anda bicarakan?”

“Kalau kamu tidak punya, aku ingin menjodohkanmu dengan salah satu putriku.”

“...Anda sadar dengan apa yang sedang Anda katakan?”

“Tentu. Menjodohkanmu, seorang pengguna sihir kuno, dengan seorang putri kekaisaran pasti akan ada yang keberatan. Sihir kuno dan darah kekaisaran, bagi warga ibu kota, itu adalah simbol ketakutan. Kakekku dulu menjadi gila karena penelitian sihir kuno dan menebar teror di ibu kota. Banyak orang masih mengingatnya, dan kisah itu terus diwariskan dari generasi ke generasi.”

“Kalau saya menikahi salah satu putri Anda dan punya anak, maka akan lahir keturunan keluarga kekaisaran yang juga pengguna sihir kuno. Bukankah itu masa depan yang tak diinginkan siapa pun?”

Tentu saja, sebagai Silver, aku tak pernah berniat menerima lamaran semacam itu. Tapi ini keputusan yang sangat berani dari beliau. Mestinya ini kartu yang paling tak ingin dia gunakan.

Tampaknya dia sangat ingin mempertahankan Silver di Kekaisaran.

“Ketakutan tidak akan membawa kita maju. Dulu, benua ini pernah dilanda malapetaka oleh Raja Iblis. Meskipun Raja Iblis sudah ditumpas oleh sang Pahlawan, siapa yang bisa menjamin ancaman semacam itu takkan muncul lagi? Karena itu, lima ratus tahun yang lalu, Kaisar saat itu menganugerahi gelar kebangsawanan pada sang Pahlawan dan melindungi garis keturunannya. Demi melindungi Kekaisaran, demi seluruh benua. Dan keluarga kekaisaran pun terus memperkuat garis keturunan mereka. Dengan mengambil darah terbaik, keluarga Ardler menjadi semakin kuat. Itu tidak akan berubah. Aku akan memberimu gelar Duke, menikahkanmu dengan putriku, dan menjadikan keturunanmu bagian dari keluarga kekaisaran. Ini demi Kekaisaran dan demi semua penghuni benua ini.”

“Gagasan yang luar biasa, tapi saya tak punya kewajiban untuk ikut serta. Masalah masa depan biarlah ditanggung oleh mereka yang hidup di masa itu. Lagipula, sihir kuno sangat tergantung pada bakat. Sekalipun darahnya diwariskan, tak ada jaminan bakat itu juga ikut menurun. Yang ada hanya meninggalkan beban tak perlu pada kehidupan yang belum lahir.”

“Hmm. Jadi tetap tidak bisa, ya?”

Sepertinya beliau tahu itu sejak awal.

Beliau menghela napas kecil, lalu kembali menyesap tehnya.

“Andaikan aku bisa melihat putriku menikah... Ah, ya. Kalau kamu mau, Fine atau Elna pun tak masalah, bagaimana?”

“Menyebalkan. Jangankan para putri, saya akan lebih menolak lagi. Menikahi wanita tercantik Kekaisaran hanya akan menciptakan musuh, dan menikahi sang Pahlawan akan menghancurkan hidup saya. Tolong hentikan paksaan ini.”

“Hahaha. Mungkin hanya kamu satu-satunya pria yang menolak kesempatan menikahi Fine atau Elna. Kalau kamu memang tak bisa melihat nilai dari wanita, ya sudahlah. Mari kita bicara hal yang lebih realistis.”

“Akhirnya... Saya harap ini akhir dari semua lelucon Anda.”

“Aku tidak main-main. Kamu adalah seorang pahlawan. Memberimu gelar dan menjadikanmu keluarga akan menjadi hal terbaik. Tapi memang hidup tak semudah itu. Sekarang, katakan syaratmu agar kamu mau tetap tinggal di Kekaisaran. Apa cukup kalau aku menjadi penjamin bagi wakil ketua guild yang kamu kenal itu?”

Mendengar usulan beliau, aku menahan kata-kata yang hendak keluar.

Karena itulah tepatnya yang hendak kuusulkan barusan.

Guild bersifat netral. Tapi tak mungkin benar-benar bebas dari pengaruh negara mana pun.

Pengaruh negara menjadi penting saat menentukan pemimpin tertinggi guild.

Saat ini, satu-satunya orang dalam jajaran atas guild yang memahami kondisi lapangan adalah Clyde. Jika Clyde menjadi pemimpin, markas pusat guild pasti akan berubah.

Itu juga merupakan hal yang kuinginkan. Karena itulah, aku berencana untuk menggunakan kejadian kali ini sebagai alasan agar aku bisa meminta mereka memberikan dukungan pada Clyde. Tapi ternyata, beliau lebih dulu mengusulkannya.

“Ada apa? Kamu keberatan dengan itu?”

“Kalau saya bilang tidak puas, apa yang akan Anda lakukan?”

“Aku akan mencari jalan kompromi.”

“Apakah dalam kompromi itu juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengan perebutan takhta?”

“Tidak. Sekalipun itu permintaanmu... Aku tak berniat memihak kandidat mana pun. Kursi putra mahkota harus direbut dengan tangan mereka sendiri.”

“Begitu, ya. Kalau begitu, saya setuju dengan usulan Anda. Jadilah pendukung Clyde. Selama Anda melindunginya, saya akan tetap seperti biasanya.”

Setelah mengatakan itu, aku bangkit dari tempat duduk. Tak ada gunanya berlama-lama di sini.

Namun, beliau memanggilku untuk menahan langkahku.

“Silver.”

“Ada lagi?”

“Ini pertanyaan pribadi. Tak usah dijawab jika kamu enggan. Siapa yang mengajarkanmu sihir kuno?”

“Saya tak berkewajiban untuk menjawabnya.”

“Begitu, ya... Sihir kuno bergantung pada bakat, dan juga harus mempelajari literatur langka. Seorang rakyat jelata yang lahir di desa takkan bisa mempelajarinya dengan mudah. Sihir kuno adalah ilmu yang bahkan sulit dipelajari tanpa status yang sesuai. Aku menduga kamu berasal dari darah bangsawan. Bagaimana?”

“Saya serahkan itu pada imajinasi Anda.”

“Baiklah, kalau begitu aku akan membiarkannya jadi tebakan. Mungkin kakekku dulu berhasil hidup lebih lama dengan cara tertentu, atau mungkin dia sempat memiliki murid. Salah satunya adalah gurumu, bukan?”

“Sebagai cerita, itu bayangan yang cukup menarik. Kalau Anda pensiun nanti, bagaimana kalau Anda menulis novel?”

“Hm, kupikir itu tebakan yang cukup masuk akal, lho.”

Aku hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata beliau, lalu meninggalkan tempat itu dengan teleportasi.

Jika aku berlama-lama berada di hadapannya, bisa saja segalanya terbongkar.



Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close