NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ippanjin no Ore o Geinouka Joshi-tachi ga Nigashite Kurenai Ken [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 6

 Penerjemah: Hanzel

Proffreader: Rion


Chapter 6

Cuaca dan Arah Angin


Pada hari Minggu, hari ujian berlangsung, yang menyambutku saat membuka tirai bukanlah matahari yang bersinar terang, melainkan langit gelap, lengkap dengan awan mendung nya.

Seperti biasa setiap pagi, perempuan di televisi menunjuk pada prakiraan cuaca hari ini, yang menunjukkan bahwa langit akan cerah mulai siang nanti.

Sambil melirik ke arah televisi, aku menyantap sarapan dan menyelesaikan persiapan pagiku seperti biasa.

Aku mengenakan seragam sekolah dan memasukkan topeng rubah yang dititipkan oleh Nagisa ke dalam tas sekolahku.

"Kalau begitu, Ibu akan datang untuk melihat. Semangat, ya!"

Saat aku sedang mengenakan sepatu di pintu masuk, suara Ibu terdengar dari arah kamar mandi.

"Meski begitu, Ibu mau mengingatkan, sebaiknya kamu tak sembarangan saat mendekati Ayah."

"Aku tahu, kok. Kalau pun sampai harus bicara, aku akan bersikap seperti hanya seorang penggemar biasa, jadi tak apa."

Meski kujawab dengan ringan seperti itu, rasa cemas di hatiku malah semakin membesar. Aku menghela napas pelan, berusaha menekan perasaan itu, lalu meletakkan tangan di gagang pintu.

"Aku berangkat."

Melangkah keluar, pandanganku kembali tertuju pada langit mendung yang kulihat dari jendela kamar tadi. Bersamaan dengan pemandangan itu, terdengar pula suara pintu terbuka dari rumah sebelah.

"Ah, selamat pagi."

"Selamat pagi."

Kami saling menyapa, sama-sama terkejut karena keluar rumah di waktu yang benar-benar bersamaan. Setelah memastikan bahwa Nagisa sudah mengunci pintu rumahnya, dia berdiri di sampingku.

"Kalau begitu, ayo berangkat?"


Kami berjalan di jalan sekolah, sambil mengobrol seperti biasa.

Seiring bertukar beberapa percakapan, ketegangan di dalam diriku perlahan-lahan mulai mencair.

"Seperti yang kuduga, orangnya masih sedikit~"

Melewati gerbang sekolah, Nagisa berjalan sedikit di depanku sambil menoleh ke kanan dan kiri, mengamati sekitar.

Memang, jumlah orang yang terlihat jelas lebih sedikit dari biasanya, bahkan tempat parkir untuk tamu yang terlihat di sepanjang jalan juga baru terisi sebagian kecil.

"Ah~ Tapi bosan juga... Masih sekitar empat jam lagi, kan? Waktu menunggunya."

"Kalau aku sih, malah bersyukur. Jadi bisa mempersiapkan mental."

"Eh~? Perlu ya? Persiapan mental segala?"

Nagisa menoleh cepat ke arahku, dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

"Aku ini orang biasa, tahu. Belum terbiasa dengan suasana semacam ini."

"Siapa tahu, hari ini kamu malah resmi lulus dari status orang biasa, lho? Bisa saja ada juri yang mendekat dan mengajakmu bicara."

"Sehebat apa pun, rasanya nggak mungkin. Tujuan ujian ini kan untuk siswa jurusan hiburan. Aku bahkan bukan target penilaiannya."

"Benarkah~? Aku malah merasa itu sangat memungkinkan, lho."

"Aku merasa terhormat diakui oleh Yang Mulia Nagisa."

"Umu. Tak perlu sungkan."

Saat aku membalasnya dengan nada bercanda, Nagisa mengangguk puas.

"Lagipula, tahu nggak..."

Sikapnya tiba-tiba berubah. Dengan ekspresi nakal seperti biasanya, dia terlihat seperti baru terpikir sesuatu.

"Aku agak kaget, lho~ Soalnya biasanya kamu selalu pasang muka kayak 'aku ini orang yang cool' begitu, tapi ternyata masih bisa gugup juga, ya~?"

"Itu wajar saja, lah..."

Aku ini juga manusia biasa.

"Hmm, kalau gitu biar aku yang mengeceknya langsung~"

Sambil berkata begitu, dia menghentikan langkah yang tadinya menuju ke gedung sekolah, lalu berbalik mendekat ke arahku.

Aku pun ikut berhenti, memperhatikan Nagisa dengan setengah heran, menduga dia akan berbuat sesuatu lagi.

Dan saat itu, tanpa peringatan, Nagisa langsung memelukku.

"...Apa yang kamu lakukan!?"

Aku bertanya sambil berusaha menyembunyikan keterkejutanku, tak mau jadi bahan olokan. Sementara itu, dia mengaitkan lengannya ke punggungku agar aku tak bisa kabur.

"Kelihatan, kan? Aku sedang mengeceknya. Mau lihat kamu gugup atau tidak."

Sambil berkata begitu, Nagisa memejamkan mata dan menempelkan telinganya di dadaku.

Meski ini hari Minggu dan siswa yang datang tidak banyak, tetap saja ada orang di sekitar.

Karena tatapan orang-orang sekitar dan wangi samar dari Nagisa, detak jantungku perlahan jadi makin cepat.

"Seorang aktris aktif memeluk laki-laki begini di tempat umum, nggak masalah, ya?"

"Kan nggak ada larangan soal cinta juga, lalu ini cuma iseng-iseng saja, kok. Tentunya..."

Setelah mendengarkan denyut jantungku yang semakin cepat, Nagisa melepaskan pelukannya sambil tersenyum puas dan berkata,

"Aku yang sekarang, cuma siswi SMA biasa, kok!"


🔸◆🔸


Ruang kelas di gedung pembelajaran yang biasanya digunakan untuk pelajaran teori, kini dijadikan ruang tunggu bagi para siswa yang akan mengikuti ujian.

Di antara para siswa yang mengikuti sesi pagi dan sesi siang, mereka yang ikut sesi pagi akan dipanggil untuk apel pada pukul delapan lewat tiga puluh.

Masih ada sekitar dua puluh menit sebelum waktu apel, tetapi semua ruang kelas yang dijadikan ruang tunggu sudah terisi dengan jumlah orang yang lumayan.

"Ah, selamat pagi."

Saat kami memasuki ruang kelas yang telah ditetapkan sebagai ruang tunggu untuk kelompok kami, kami disambut oleh beberapa tatapan dari mereka yang sudah ada di dalam, serta sapaan dari Aida-san.

"Selamat pagi, Aida-san."

Sambil membalas sapaan itu dengan ceria, Nagisa duduk di sebelah Aida-san yang berada di kursi biasa, baris paling depan dekat jendela.

Aku juga duduk di kursi biasa yang merupakan tempatku sehari-hari saat sekolah, yaitu di belakang Aida-san, dan menghela napas sebentar.

Menggantungkan tas sekolah di kait yang ada di meja, aku memperhatikan dua orang di depanku.

Nagisa merebahkan dirinya di atas meja sambil menghela napas panjang.

"Ahhh... Tapi dari sekarang kita harus menunggu sekitar empat jam, bukan..."

"Yah, kita kan tampil di akhir sesi pagi."

"…Bosaaaaan."

Nagisa mengeluh dengan wajah tak puas, sementara Aida-san menjawab santai sambil membaca naskah secara sekilas.

"Kenapa tak baca ulang naskah saja untuk menghabiskan waktu?”

Aku mengeluarkan naskah dari tas sekolah yang tergantung di meja, lalu menyodorkannya kepada Nagisa yang sama sekali tidak terlihat sedang dalam hari ujian.

…Namun, Nagisa hanya mengangkat tangan kirinya dan melambai-lambaikannya di udara, menandakan bahwa ia tak berniat menerimanya.

“Aku tipe yang suka rileks dan nggak memikirkan penampilan sampai satu jam sebelum tampil."

"Oh ya...? Menarik juga."

Sepertinya bagi Nagisa, tidak terlalu memaksakan diri adalah cara terbaik untuk memaksimalkan performanya.

Dengan pengalaman akting sedari kecil, dia tahu cara terbaik untuk mengeluarkan performa terbaiknya.

Aku pun, entah kenapa, ikut-ikutan dan menutup naskahku lalu memasukkannya kembali ke dalam tas.

“Yah, sebenarnya aku cuman meniru Yuya-san.”

“...."

Mendengar itu, Aida-san perlahan menutup naskah yang sedang dipegangnya dan meletakkannya di atas meja.

Orang ini... bener-bener penggemar berat Ayah...

“Entah kenapa, memikirkan bahwa suaraku akan didengar oleh Hokujou-san membuatku tiba-tiba jadi gugup."

Aida-san meletakkan tangan di dadanya dan mengambil napas dalam-dalam, dengan ekspresi tenang seolah tak kenal gugup.

“Oi, Nagisa, jangan bikin orang lain jadi tegang, dong!"

“Eh~? Emangnya itu salahku?”

Saat kami sedang mengobrol seperti itu, pintu kelas diketuk dan seorang wanita bersetelan jas masuk dari balik pintu yang terbuka.

Percakapan yang tadi terdengar di dalam kelas pun langsung terhenti, menciptakan suasana hening.

“Sekarang saya akan melakukan absen. Setelah absen selesai, harap berpindah ke ruang tunggu di aula acara tiga puluh menit sebelum giliran kalian.”

Wanita itu menyampaikan hal tersebut secara singkat, lalu mulai memanggil nama-nama perwakilan dari kelompok yang dialokasikan ke kelas ini untuk mengecek kehadiran.

Setelah proses absen yang berlangsung secara formal dan singkat selesai, wanita itu segera keluar dari kelas. Namun, suasana tegang tetap menyelimuti ruangan.

Itu wajar saja. Hanya aku, Nagisa, dan Aida-san yang tergolong “tidak biasa”---bagi kebanyakan siswa jurusan hubungan, ujian ini bisa jadi akan mengubah hidup mereka secara drastis.

Keheningan berlangsung selama beberapa puluh detik, dan suasana mulai membuat siapa pun kehilangan timing untuk membuka mulut---sampai akhirnya, pintu belakang kelas terbuka dengan keras.

“Hmm~ ...Ah! Ketemu~!”

Yang menghancurkan---bukan hanya memecah---suasana hening yang penuh ketegangan itu adalah teman masa kecilku yang, seperti biasa, santai dan ceroboh.

“Mou! Yuto~! Harusnya kamu kasih tahu lokasi ruang tunggunya dong!”

Akari berjalan ke arahku dengan napas sedikit terengah, lalu duduk di kursi sebelah sambil mengeluh, “Aku nyari-nyari dari tadi, tahu~!”

“Padahal Hinata-chan saja jelas sekali kasih tahunya, tapi teman masa kecilku ini malah begitu…!”

Dia mendesah secara berlebihan sambil menatapku dengan tatapan sebal.

“Murai-san ada di ruang kelas yang mana?”

Aku memotong omelannya, mengalihkan topik pembicaraan. Dia langsung mengganti ekspresi kesal tadi dan menempelkan jari ke dagunya sambil bergumam, “Eee~tto…”

“Sebelah… sebelahnya sebelah… eh? Apa satu ruang lagi sebelahnya, sebelah ya?”

Jawabannya tak langsung keluar, dan setelah beberapa detik berpikir, dia menyerah dengan berkata, “Ya sudahlah!”

“Yume-chan, Nagisa. Tolong jaga Yuto!”

Dengan posisi kepala menempel di meja dan tangan tergantung di bawahnya, ia melakukan semacam versi "dogeza" yang absurd, masih dalam gayanya yang khas.

Nagisa menanggapi dengan tawa kecil dan mengiyakan, sementara Aida-san membenahi posisi duduknya dengan serius dan memberikan jawaban formal.

“Ah! Jam sepuluh ujian Hinata-chan mulai, aku harus pergi!”

Baru saja duduk, Akari langsung berdiri lagi dengan panik, padahal jam di dinding bahkan baru hampir menunjukkan pukul sembilan.

“Masih ada waktu, kan?”

“Aku mau duduk di baris paling depan~!”

Begitu mendengar ucapanku, Akari yang sudah mulai berjalan menuju aula acara menjawab seperti itu dan keluar dari kelas.

“Buru-buru sekali, dia itu…”


🔸◆🔸


Begitulah, sudah sekitar satu jam yang lalu sejak Akari pergi.

Sambil menghabiskan waktu dengan bermain "Acchi Muite Hoi" dan hal-hal lainnya, mungkin karena benar-benar bosan, sekitar tiga puluh menit yang lalu Aida-san tiba-tiba memutuskan untuk jalan-jalan keliling sekolah.


TL/N:

Acchi Muite Hoi adalah permainan duel dua orang yang mengandalkan refleks, keberuntungan, dan sedikit strategi psikologis. Tujuannya adalah untuk "mengelabui" lawan dengan membuat mereka melihat ke arah yang salah atau menangkap mereka saat melihat ke arah yang kamu pilih.


Waktu sudah lewat jam sepuluh. Aku dan Nagisa masih harus menunggu sekitar dua jam lagi, dan sekarang benar-benar tak ada yang bisa dilakukan.

"Yuto~ ...Bisa ceritakan sesuatu yang seru~?"

"...Kamu pikir aku bisa menanggapi permintaan seperti itu?"

"Mm~ ...Kayaknya nggak bisa, ya..."

Nagisa menyandarkan tubuhnya ke meja dengan malas, kakinya mengayun-ayun di udara sambil menatapku dengan pandangan seolah sudah pasrah.

"Nee~ ...Ngobrol, yuk~"

"Ngobrol soal apa?"

"Mm~ ...Makan malam kemarin, mungkin?"

"Semalam kita makan hamburger steak. Lagian, kamu juga ikut makan, kan."

Sejak Nagisa dan ibuku saling bertukar kontak, dia makin sering ada di meja makan kami.

Ibuku sendiri bilang, "Hidup sendiri itu susah, kan? Jadi harus diperhatikan. Lagipula, dulu tetangga sebelah juga banyak membantu Yuto," tapi ekspresinya kelihatan seperti ibu hanya senang saja bisa memanjakan tipe gadis yang berbeda dari Akari.

"...Ah, tolong bilang ke ibumu, aku pengen makan hamburger steak lagi. Soalnya enak banget."

"Padahal rasanya semalam kamu sudah bilang itu berkali-kali."

"Buat jaga-jaga. Jaga-jaga~"

Aku membayangkan pemandangan semalam, saat Nagisa mencuci piring bersama ibu sambil terus-terusan minta dibuatkan hamburger steak lagi.

Ibu sendiri kelihatan senang, jadi sepertinya dalam waktu dekat makanan itu bakal muncul lagi di meja makan kami.

"Baiklah, akan kusampaikan."

Saat aku menjawab, meskipun sebenarnya tanpa aku sampaikan pun pasti akan dibuat lagi, kaki Nagisa yang tadi mengayun perlahan sekarang jadi bergerak lebih cepat dengan jelas.

Dia bahkan mulai bersenandung pelan, dan tepat saat itu, Aida-san akhirnya kembali ke kelas.

"Aku biasanya cuma lewat jalur yang itu-itu saja, tapi makin sering jalan-jalan, sekolah ini ternyata punya sisi yang menarik juga."

Aida-san duduk perlahan di kursinya dengan ekspresi seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan sebuah pekerjaan.

"Sekarang, apa yang kita lakukan?"

Sambil berkata begitu, dia mengeluarkan setumpuk kartu remi entah dari mana, mulai mengocoknya, lalu membagikan kartu sambil tersenyum penuh percaya diri.

.

.

.

"Main kartu susah juga."

Ternyata Aida-san hanya pernah bermain kartu beberapa kali saja bersama keluarganya, jadi kalau boleh jujur---dia memang lemah.

Kami mencoba berbagai permainan seperti Old Maid, Big Two, dan Speed, tapi akhirnya baru menyadari kalau Memory adalah satu-satunya game di mana dia masih bisa bersaing. Pada saat itu, waktu pun sudah cukup banyak berlalu, dan hanya kelompok kami yang masih tersisa di dalam kelas.

"Baiklah! Sekarang kita bisa coba itu!"

Awalnya dia tampak menikmati permainan, tapi mungkin karena sudah bosan dengan rangkaian pertandingan kartu yang tak ada habisnya, Nagisa tiba-tiba berdiri dan mulai memindahkan kursi-kursi kosong.

"...Kamu ngapain?"

"Gapapa, nanti bisa kita rapikan lagi sebelum keluar kelas, kan?"

Dengan penuh semangat, dia menyusun sekitar lima kursi di area kosong di depan kelas.

"...?"

Aida-san yang tampak tidak tahu harus berbuat apa, hanya terus mengocok kartu remi sambil melihat Nagisa dengan tatapan bingung.

"Apa sebenarnya yang kamu---"

Saat aku hendak bertanya, telapak tangan Nagisa tiba-tiba terjulur ke arahku, menyuruhku diam.

Dengan ekspresi penuh rasa bangga, dia melepas sepatu dalamnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas deretan kursi yang sudah dia susun seperti ranjang.

"Ini tempat tidur darurat!"

"...Jangan sampai jatuh, oke...?"

Mungkin karena terlalu bosan, Nagisa jadi tak peduli melakukan hal apa pun. Melihatnya seperti itu mengingatkanku pada Akari saat kami masih SD.

Waktu itu, Akari juga pernah melakukan hal serupa dan akhirnya jatuh dari kursi, untungnya tidak terluka parah, tapi dia menangis cukup lama.

"Kurasa aku bakal habiskan waktu sekitar tiga puluh menit lagi dengan begini."

Masih ada sekitar satu setengah jam sebelum ujian dimulai.

Nagisa sepertinya berencana tidur dulu sampai waktu satu jam sebelumnya, seperti yang dia sebutkan tadi.

"...Kira-kira aku bisa jalan-jalan lagi nggak, ya?"

"...Lagi?"

Aida-san yang melihat jam tiba-tiba mengisyaratkan ingin jalan-jalan keliling sekolah untuk kedua kalinya, membuatku spontan bertanya balik.

“Tenang saja. Aku pasti kembali tiga puluh menit sebelum waktu ujian. Kalau mau, Aoi-kun ikut juga? Ini bisa dibilang kencan berseragam, mungkin?”

Nagisa, yang tadinya sedang bersantai di atas kursi, langsung membalikkan posisi tubuhnya dan menatapku dengan pandangan marah.

…Apa dia khawatir aku bakal melakukan macam-macam kepada Aida-san?

Dari tatapan Nagisa, aku bisa merasakan tekanan semacam itu… meskipun jelas aku sama sekali tak berniat atau punya nyali untuk itu.

“Lewat saja, deh… Lagipula, meskipun itu kencan, kalau cuma keliling sekolah rasanya nggak perlu disebut kencan berseragam, kan?”

“Oh? Begitu, ya?”

“Sepertinya...”

“Hmm… Tapi aku tetap ingin coba kencan berseragam suatu saat nanti.”

Setelah berkata begitu, Aida-san pun keluar dari kelas.

Dan meskipun dia tidak bilang ingin kencan berseragam denganku secara spesifik, Nagisa malah makin memperlihatkan sikap waspada padaku.

Kurasa Aida-san hanya tertarik pada ide "kencan berseragam" itu sendiri, bukan orangnya.

.

.

.

Beberapa menit pun berlalu.

Tanpa banyak bicara, dan meskipun niatku sebenarnya ingin rileks tanpa memikirkan ujian, tanpa sadar aku malah mengulang-ulang naskah ujian di dalam kepala---seperti yang kulakukan akhir-akhir ini.

Kebiasaan memang menakutkan.

“Nee, Yuto~”

Dari posisi membelakangiku tadi, Nagisa merubah posisinya supaya wajahnya bisa terlihat dari tempatku duduk.

“Kursi ini keras sekali, badanku sakit.”

“Jelas saja. Kursi itu memang dibuat khusus buat duduk, bukan untuk rebahan.”

“Andai ada bantal~”

Sambil berkata begitu, dia mencoba menjadikan tas sekolahnya sebagai bantal, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa itu tetap tak bisa dianggap nyaman.

“Yah, sudahlah…”

Sambil menghela napas menyerah, dia duduk di salah satu kursi yang tadi dia susun.

“Enaknya ngapain, ya… Aida-san juga kayaknya baru balik sekitar tiga puluh menit lagi.”

“Sepertinya, iya.”

Selama masa latihan menghadapi ujian, aku jadi paham. Orang seperti dia, sepertinya adalah asal-usul dari kata "kebebasan". Bahkan mungkin, kata "bebas" itu sendiri diciptakan setelah seseorang melihat Aida-san.

“Yuto, mari lakukan sesuatu."

“Kalau dibilang ‘lakukan sesuatu’, paling-paling cuma main kartu lagi," Kataku, melirik ke arah kotak kartu remi yang dibiarkan begitu saja di atas meja yang tadi dipakai Aida-san.

“Sudah cukup kartunya…”

Karena benar-benar kehabisan ide untuk membunuh waktu, ditambah dengan hangatnya sinar matahari yang mulai masuk lewat jendela sesuai ramalan cuaca, aku pun tak sengaja menguap.

“Kenapa? Kamu ngantuk, Yuto?”

“Hmm? Ya, agak ngantuk sih.”

Aku menjawab jujur, lalu Nagisa berdiri dari kursinya dengan ekspresi seolah telah membuat keputusan penting.

“Pakai saja.”

“Eh, kursi itu? Tapi keras, kan?”

Tadi dia sendiri yang bilang kursi itu tak cocok untuk rebahan santai.

“Nggak apa-apa. Aku punya bantalnya, kok.”

Sambil berkata begitu, Nagisa duduk di tempat yang tadi jadi sandaran kepalanya dan menepuk pahanya sendiri.

“Nih, silakan?”

Dengan tatapan yang sedikit berharap, ia menawariku dengan nada menggoda.

“Uhh… nggak, aku tak apa.”

“Kenapaaa!? Kamu suka paha, kan!?”

Begitu aku menolak dengan jujur tanpa tergoda, tiba-tiba percakapan waktu itu malah bocor ke luar.

“…Kamu tahu dari mana?”

“Aku dengar dari orang bernama Yamada. Katanya kalau kamu lagi capek, disuruh kasih kamu bantal paha.”

“Orang itu, benar-benar kebanyakan omong…!”

Aku mengakui nyalinya yang berani bicara begitu ke aktris aktif yang bahkan baru ditemuinya, tapi dalam hati aku bersumpah untuk memastikan dia takkan membocorkan hal itu lagi saat kami bertemu nanti.

“Nggak usah percaya sama orang sepertinya.”

“Jadi bohong? Kamu nggak suka paha?”

“…Bukan bohong sih....”

“Kalau gitu, kenapa nggak mau pakai?”

Sambil terus menepuk pahanya, Nagisa menatapku seolah menantang.

“…Aida-san bisa saja tiba-tiba kembali.”

“Dia nggak bakal balik dalam waktu dekat, kamu juga tahu, kan?”

Alasan yang kupakai untuk menghindar langsung hancur dipatahkan olehnya.

Bisa saja aku mencari alasan lain, tapi aku sudah menyerah mencari kata-kata. Akhirnya, aku berdiri di depan Nagisa.

“Nah, silakan?”

Dengan senyum lembut di wajahnya, Nagisa menatapku dari bawah dengan mata yang seolah tak mau melepaskan pandangannya dariku.

“Permisi…”

Aku memalingkan pandangan secara paksa dan meletakkan kepalaku di atas pahanya.

Apa yang pertama datang adalah rasa malu dan kaget.

Pikiran rasionalku sempat mempertanyakan, “Apa yang sebenarnya kami lakukan di ruang kelas kosong seperti ini?”

Namun hal itu segera disapu oleh sensasi lembut dari pahanya.

Karena malu, aku sama sekali tak sanggup menatap wajah Nagisa.

Aku memalingkan wajah ke arah luar, menatap ke dinding belakang kelas di mana ada coretan entah siapa yang menggambarnya, berusaha sekuat tenaga agar pikiranku tak melantur terlalu jauh… tapi---

“Yoosh, yoosh…”

Dengan nada lembut seperti sedang menenangkan anak kecil, ia mulai mengelus kepalaku perlahan.

Karena tindakan tak terduga dari Nagisa, bahkan menatap coretan di papan belakang pun jadi tak bisa kulakukan dengan tenang.

“Terima kasih, ya… sudah mau ikut ujian bersamaku.”

Ia berusaha bicara dengan tenang, tapi dalam suaranya terdengar jelas rasa malu yang terselip.

“Sebenernya kamu nggak harus maksa diri kayak gini juga, kok…”

Begitu aku sadar bahwa Nagisa juga sebenarnya tak sepenuhnya tenang, sedikit rasa bersalah muncul dalam diriku.

“Aku… cuma ingin melakukannya saja…”

Suaranya sedikit bergetar saat ia berkata begitu, mungkin karena malu.

“Jadi…”

Tiba-tiba mataku ditutupi oleh tangan Nagisa yang hangat, membenamkanku dalam kehangatan itu.

“Untuk sekarang… jangan lihat wajahku dulu, ya…?”


🔸◆🔸


Setelah lima menit berlalu sejak sesi bantal pangkuan dimulai dan aku masih belum terbiasa, tampaknya justru Nagisa yang mulai tenang kembali.

Menilai bahwa aku tak melakukan perlawanan---atau lebih tepatnya, tidak bisa melakukannya---Nagisa mulai bertingkah, membelai kepalaku sambil berkata, “Imutnya~” dengan suara seolah sedang menenangkan anak kecil.

...Namun, aku tak merasa terganggu. Jujur saja, aku bahkan merasa nyaman. Sadar akan tubuhku yang mulai terasa panas seperti terbakar, aku pun menerima godaan Nagisa begitu saja.

“Sekarang, apa pun yang Yuto mau, akan aku lakukan, lho?”

Bisikan suaranya yang menggoda menyentuh lembut telingaku.

“Nagisa... kamu agak keterlaluan, tahu...”

“Apa? Menyerah, ya?”

Logika dan kesadaranku nyaris meleleh oleh hangatnya napasnya, dan meskipun aku berusaha menahan tindakan Nagisa, dia justru salah mengartikan kata-kataku sebagai tanda menyerah. Tampaknya itu semakin membuatnya senang, terlihat dari senyuman yang semakin lebar di wajahnya.

“Karena Yuto biasanya nggak pernah diajak ngobrol sama perempuan...”

Aku mendengar suara napas dalam yang dihirup dekat telingaku.

“Gimana kalau aku bilang ‘suka’ padamu?”

Kata-kata manis yang menyentuh telingaku membuat tubuhku tersentak.

Melihat reaksiku, Nagisa jadi makin senang dan tak bisa dihentikan.

"Hey…? Mau bagimana? Demi pengalaman Yuto, aku lagi mikir buat kasih ‘servis’ spesial, lho…?”

Seperti saat sedang demam, panas dari dalam tubuhku menyeruak naik, membuat kepalaku terasa berkabut.

“Kalo nggak bilang apa-apa, aku nggak bakal ngomong, lho? Tiga… dua… satu…”

“---Kalau dipikir-pikir, dua kali dalam waktu singkat itu membosankan juga, ya.”

Tiba-tiba terlihat sosok Aida-san yang membuka pintu dan masuk sambil berucap sendiri dengan ekspresi rumit.

...Dan seketika dunia terasa jungkir balik, aku seperti terlempar jatuh dari langit kembali ke lantai dan realita.

Rasa sakit di punggung dan penyesalan atas apa yang baru saja kulakukan menyerang bersamaan.

...Kalau dulu Akari sempat menangis beberapa menit, aku sekarang benar-benar bisa memahami kenapa.

“Bukan! Eh, ini, anu~!”

Langsung berdiri dengan panik, wajah Nagisa yang tadi menggoda kini memerah seketika.

“Ini cuma karena suasananya jadi aneh saja, oke!!”

Nagisa berteriak, wajahnya benar-benar merah padam.

Aku yang masih terbaring di lantai merasa dilanda berbagai emosi---penyesalan, malu, dan canggung.

Sementara Aida-san berdiri bingung, tak paham apa yang sedang terjadi.

Ruang tunggu pun dipenuhi kekacauan.

.

.

.

Sejak saat itu, atmosfer aneh yang menggantung antara aku dan Nagisa tak kunjung mereda, bahkan saat kami tiba di aula acara tempat ujian akan dilaksanakan.

Entah karena perhatian atau memang tak sadar, Aida-san sama sekali tidak menyinggung soal jarak fisik yang jelas terlihat mencurigakan antara aku dan Nagisa.

Dalam perjalanan menuju ruang tunggu khusus peserta yang diarahkan oleh petugas resepsi, aku mencoba mengalihkan pikiranku dari kejadian barusan dengan memikirkan hal-hal tak penting.

Lalu, di ujung lorong, aku melihat wajah yang familiar.

“Ah, itu kan Aoi-kun dan yang lain.”

Murai-san, yang sudah selesai ujian lebih dulu, menyapa kami sambil menyampirkan handuk berwarna cerah di lehernya.

“Kamu lagi mau pulang, Murai-san?”

“Iya. Kebetulan sekali, aku memang baru mau pulang, jadi pas banget nih ketemunya.”

Setelah menyapa Nagisa yang berdiri sedikit di belakangku dan membungkuk sopan kepada Aida-san---yang mungkin baru pertama kali bertemu dengan Murai-san yang berada di antara kami---dia mulai berbicara dengan volume suara yang hanya bisa kudengar.

“...Ada sesuatu yang terjadi, ya?”

“Semacam itulah...”

Sejujurnya, aku tak ingin terlalu dalam membahas hal itu.

“Ngomong-ngomong, bagimana ujiannya tadi?”

“Ngomong-ngomong, katanya...”

Percobaan mengganti topik secara paksa yang biasanya hanya bisa kugunakan ke Akari, membuat Murai-san menatapku dengan ekspresi sedikit khawatir. Namun tampaknya dia sadar kalau aku tidak ingin membahasnya lebih jauh, karena ia hanya bergumam “Hmm...” sambil menatap ke langit, seperti sedang mencoba mengingat kembali jalannya ujian tadi.

“Pokoknya ramai sekali, sih… Mungkin tiga kali lebih ramai dari yang kubayangkan. Kalau dilihat dari atas panggung, terasa sekali tekanannya.”

“Yah, soalnya kan Hokujou Yuya datang juga. Mungkin banyak yang datang cuma buat melihat beliau.”

"Benar, benar. Sebaiknya kamu siap-siap mental biar nggak grogi."

Dia mungkin khawatir karena aku akan tampil di atas panggung untuk pertama kalinya. Kekhawatiran itu tampak jelas di matanya.

“Makasih. Aku bakal berusaha.”

Murai-san mengangguk kecil menerima ucapanku, lalu berpamitan kepada Nagisa dan Aida-san sebelum berjalan ke arah pintu keluar.

Setelah melihat punggungnya menghilang, kami kembali menuju ruang tunggu sambil tetap menjaga jarak canggung yang entah kenapa masih terasa.

Sesampainya di ruang tunggu khusus peserta, kami langsung meletakkan barang-barang dan segera diarahkan ke ruangan lain.

Peserta dipisah berdasarkan jenis kelamin, jadi aku tak tahu apa yang dilakukan para perempuan. Sementara itu, aku dipersilakan duduk di kursi seperti yang biasa ada di salon oleh seorang petugas perempuan yang tampak sibuk, dan tanpa banyak tanya aku langsung dirias.

Karena akan memakai topeng, sebenarnya riasan di sekitar mata tidak diperlukan. Tapi melihat ekspresi serius sang petugas saat merias, aku merasa enggan untuk menyela.

Begitu selesai, aku langsung dipakaikan kostum dan dikembalikan ke ruang tunggu.

Sepertinya mereka sudah melakukan ini seharian penuh. Prosesnya berlangsung sangat cepat dan efisien, seperti mesin yang sudah panas dan berjalan dalam kecepatan maksimal.

Merasa kagum akan profesionalisme mereka, aku pun kembali ke ruang tunggu dan berpapasan pandang dengan Aida-san, yang seperti biasa sedang menatap naskah.

“Oh, kamu kelihatan bagus.”

“Terima kasih... Eh, Nagisa mana?”

“Karena aku bilang nggak ikut naik buat tampil, jadi aku kabur duluan. Mungkin dia masih di dalam dan sedang disiapkan?”

Aku mengira mereka akan kembali bersama, tapi sepertinya Aida-san mampu berbicara di tengah suasana seperti itu. Kalau aku di posisinya, mungkin aku sudah sibuk merias diri di belakang panggung sambil berlatih narasi.

Sambil merasa kagum, aku duduk di kursi dengan hati-hati agar kostumku tidak kotor. Tepat saat itu, pintu terbuka.

Pakaian berkilauan.

Aku pernah melihat Nagisa mengenakan pakaian seperti itu sebelumnya.

Tapi kali ini, ditambah dengan sentuhan makeup profesional.

Bahkan sesama jenis pun pasti akan terpikat. Apalagi lawan jenis.

…Seharusnya begitu. Tapi, baik aku maupun Aida-san tak memandang ke arah Nagisa.

Tatapan kami tertuju pada seseorang di belakangnya.

“Hokujou... Yuya-san?”

Dengan suara bergetar penuh campuran antara terkejut dan senang, Aida-san bergumam. Aku baru sadar bahwa sejak tadi aku menahan napas tanpa sadar.

"Haha, aku mau menyapa Minase-chan, eh, ketemu di depan ruang ganti. Waktunya pas sekali!”

Aku bahkan tak tahu apakah boleh bersuara. Pikiranku malah melayang ke acara dokumenter yang pernah kulihat, yang menunjukkan sisi santai Hokujou Yuya di kehidupan pribadinya---hal yang sama sekali tidak relevan saat ini.

“Salam kenal, aku Hokujou Yuya.”

Ayah kandungku menyebutkan namanya yang sudah jelas kuketahui, lalu duduk di kursi kosong dan mulai mengobrol santai dengan Nagisa.

Mungkin tidak kuat menahan diri karena orang yang diidolakannya ada di depan mata, Aida-san menyerahkan kertas dan pulpen padaku, lalu berkata, “Tolong minta tanda tangannya, ya!" sebelum buru-buru keluar dari ruangan, seakan bergantian posisi dengan Hokujou Yuya.

Aku memandangi kertas kosong di tanganku, lalu melihat ke arah ayah kandungku yang sedang berbincang dengan Nagisa, dan kembali lagi ke kertas itu---kebingungan tentang bagaimana sebaiknya memulai pembicaraan.

Memang saat aku meminta dia menjadi narator, Aida-san sempat bilang, “Kalau bisa sekalian minta tanda tangannya.” Tapi aku berharap bisa menyampaikannya lewat perantara Nagisa.

…Namun,

“Saya juga bisa gugup, lho?”

Sambil mengobrol begitu dengan ayahku, Nagisa beberapa kali mencuri pandang ke arahku lalu buru-buru mengalihkan tatapan.

Sejak kejadian di ruang kelas tadi, Nagisa tampak tidak bisa bersikap seperti biasanya, dan aku juga tak percaya diri bisa berkomunikasi dengannya secara normal.

Aku tahu, kalau saja tadi aku tak terbawa suasana, semua ini bisa dihindari. Tapi karena akulah yang menyerah pada godaan "bantal pangkuan" waktu itu, perasaan canggung dan penyesalan sekarang justru makin besar---hingga membuatku ragu untuk bicara.

Kalau aku gagal mendapatkan tanda tangan karena tak berani bicara, aku akan merasa sangat bersalah pada Aida-san.

Lagipula, akulah yang bilang bahwa aku mungkin bisa mendapatkan tanda tangan itu. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini karena kesalahanku sendiri. Aku menghela napas pelan agar tak terdengar oleh mereka berdua.

“A-anuu... Apa saya boleh mendapatkan tanda tangan...?”

Begitu aku berkata demikian, aku menyerahkan kertas dan pulpen dengan sedikit terlambat.

Jika ini dilihat sebagai percakapan antara ayah dan anak, pasti akan mendapat nilai nol.

Namun, jika dilihat oleh orang seperti Nagisa yang tidak tahu apa-apa, ini hanya terlihat seperti percakapan antara orang biasa yang gugup dan seorang aktor terkenal... mungkin begitu.

“Ya! Tentu saja tidak masalah.”

Entah karena diminta tanda tangan oleh penggemar atau karena ini pertama kalinya dia diajak bicara oleh anaknya, wajahnya menunjukkan ekspresi bahagia yang tampak jelas. Ia menerima kertas dari tanganku.

Nagisa, yang sedang berbicara dengan ayahku, mengikuti pandangan ayahku dan menatap ke arahku, tapi rasanya mata kami tak saling bertemu.

“Eh... jadi, untuk Aoi Yuto-kun... Benar, ya?”

Mendengar namaku keluar dengan alami, dadaku sedikit berdebar, tapi setelah berpikir sejenak, tidak aneh jika Hokujou Yuya yang datang sebagai penguji mengingat nama peserta.

Apalagi jika dia tahu bahwa Nagisa adalah temannya dan mereka adalah rekan tim, jadi tidak heran jika dia mengingat nama orang yang dia kenal. 


PF/N: 

Ini mc takut sama pandangan orang luar, dimana kalau dipikirsama orang luar, kok bisa Hokujou Yuya tahu nama mc. Jadi bukan karena mc bingung kenapa ayahnya tahu nama dia.


“Ah, tadi gadis yang keluar itu meminta saya untuk meminta tanda tangan Anda... Namanya Aida Yume.”

“Jadi... bisa ditulis untuk... Yume-chan, ya? Kanji-nya menggunakan 'mimpi' saat tidur, kan?”

Aku mengangguk dan mengonfirmasi, lalu dia mulai menulis tanda tangan dengan gerakan yang terlatih di atas kertas, dan hanya dalam beberapa detik, tanda tangan itu selesai.

“Lalu, apa kamu tidak mau tanda tangan juga?”

Dengan senyum yang terlihat seperti stiker di aplikasi pesan, dia tersenyum kepadaku.

“Ah... eh...”

Biasanya, pasti aku ingin mendapatkan tanda tangan ini.

Maksudku, sebagai aktor, aku juga ingin mendapatkan tanda tangan dari Hokujou Yuya.

Namun, aku yang sebenarnya datang untuk bertemu Hokujou Yuya sebagai ayah, bukan sebagai aktor, jadi aku tidak membawa kertas untuk tanda tangan.

Aku sedikit ragu, tapi akhirnya aku mengeluarkan naskah yang ada di dalam tas sekolahku.

Bukan kertas, tapi ini adalah naskah yang sudah aku gunakan selama masa ujian, jadi meskipun tak ada noda mencolok, ada beberapa lipatan yang terlihat.

Namun, Hakujou Yuya tetap menuliskan tanda tangan di naskah itu dengan ekspresi senang, seolah hal itu bukan masalah sama sekali.

[Tertulis: "Untuk Yuto"]

Tanda tangan yang ditulis dengan huruf hiragana yang lembut itu terasa seperti bentuk kasih sayang diam-diam dari ayahku sendiri.

Secara alami, ingatan hari-hari yang kuhabiskan bersama ibu pun muncul di benakku.

Padahal aku tidak punya kenangan buruk atau pengalaman menyakitkan, tapi ada sesuatu yang hangat terasa di lubuk hatiku.

Rasanya, aku mulai bisa memahami seperti apa sebenarnya sosok yang disebut ayah, yang selama ini hanya aku kenal sebagai konsep dan kata-kata.

“Kalau begitu, aku kembali duluan ya. Kalau ketahuan aku main-main ke sini, bisa-bisa dimarahi~"

Ayahku berkata seperti itu dengan nada bercanda, membuatku tak bisa menahan tawa kecil.

Beliau yang melihat itu tampak puas, lalu berkata, “Kalau begitu, aku menantikan hasil ujiannya,” dan meninggalkan ruang tunggu.

Aku menatap tulisan pada naskah itu beberapa detik, lalu perlahan menyimpannya kembali ke dalam tas agar tak sampai rusak.

Saat pulang nanti, bagaimana ya aku akan menceritakan ini pada ibu?

Padahal hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum kami harus pindah lokasi, tapi pikiranku malah melayang ke hal lain, bukan ke ujian.

Mungkin karena itulah…

Aku jadi tak menyadarinya.

“…Hei.”

Dengan suara pelan, Nagisa yang sedang serius menatap layar ponsel tiba-tiba mengajakku bicara.

Mungkin sekarang pikirannya sudah mulai lepas dari insiden "bantal pangkuan" tadi.

Demi ujian juga, sebaiknya suasana di antara kami kembali seperti biasa. Yah, kupikir Nagisa adalah tipe yang bisa langsung fokus saat ujian dimulai.

“Ada apa?”

Sambil berpikir begitu, aku menjawab dengan berusaha tetap tenang.

“Lihat ini.”

Sambil berkata begitu, dia menyodorkan layar ponselnya kepadaku. Di sana terlihat gambar lama Hokujou Yuya yang diambil cukup lama lalu.

…Sepertinya itu dari masa ketika ia masih menjadi seorang idol, sebelum aku lahir.

“Terus, kenapa dengan ini?”

Sebenarnya jantungku berdebar keras, tapi aku berusaha mati-matian tetap terlihat tenang.

“Menurutmu nggak mirip?”

“Mirip siapa?”

“Kamu.”

Aku merebahkan punggung ke sandaran kursi dan meregangkan tubuh, seolah-olah tak peduli dan menunjukkan ekspresi santai.

“Hmm… aku sih nggak tahu sendiri, tapi Aida-san juga bilang gitu, jadi mungkin beneran~”

“Aku juga baru pertama kali ngeh, tapi kalian mirip sekali.”

“Hee~ ...itu sih pujian yang menyenangkan.”

Aku berharap pembicaraan itu berhenti di sana. Tapi nyatanya, tidak.

“Dulu, waktu aku masih jadi aktris cilik, aku pernah main bareng Yuya-san. Aku dapat peran sebagai anak perempuannya.”

“Kurasa pernah dengar sekilas. Mungkin ibuku pernah cerita.”

Bukan sekilas. Aku tahu persis.

Aku mengikuti semua drama dan film yang ayahku mainkan.

Awalnya aku menonton karena ingin melihat Hokujou Yuya sebagai aktor, dan sejak bertemu dengan Nagisa, aku menyadari bahwa aktris cilik di drama itu adalah dia.

“Waktu itu aku mikir, aku nggak akan pernah bisa menang dari orang ini, seumur hidupku. Tatapannya begitu lembut, benar-benar seperti ayah sungguhan. Waktu aku ditegur sedikit sama staf, dia diam-diam kasih aku permen. Rasanya benar-benar seperti ayah yang memanjakan anak perempuannya…”

Nagisa bercerita dengan nada mengenang masa lalu, tapi matanya tak pernah lepas dariku. Tak mau lepas...

“Aku sudah bertahun-tahun ada di dunia hiburan ini. Jadi aku cukup percaya diri bisa membedakan mana yang akting dan mana yang tulus.”

Tangannya yang memegang ponsel mulai gemetar, dan perlahan menurunkannya.

“Kenapa…”

Suara Nagisa mulai bergetar.

“Kenapa tatapan itu… sikap itu… yang benar-benar tulus itu… justru diarahkan kearahmu, Yuto…?”

Aku tak bisa berkata apa-apa.

“Kenapa kamu nggak bilang apa-apa?”

Sepertinya Nagisa sudah menyadarinya. Dia sudah sampai pada kesimpulan itu.

Bahwa "anak berbakat" yang disebut-sebut oleh orang yang paling ia hormati---yang membuatnya tertekan dan merasa tersiksa selama ini---itu ternyata adalah aku.

Bahkan dalam situasi seperti ini, alih-alih langsung mengucap kata penolakan yang spontan, aku malah mencari solusi terbaik dalam pikiranku untuk meloloskan diri dari situasi ini.

Melihatku seperti itu, ekspresi Nagisa makin terlihat sedih.

“Sudah dapat tanda tangannya?”

Di saat paling buruk namun juga paling tepat, Aida-san kembali. Sepertinya dia merasakan sesuatu yang aneh, lalu menatap bergantian antara aku dan Nagisa dengan curiga.

“...Ada sesuatu yang terjadi?”

Nagisa, yang terlihat seperti sedang menahan tangis, hanya menggeleng pelan dengan lemah.


🔸◆ Minase Nagisa PoV ◆🔸


Pernah suatu kali aku tampil di acara variety show bertema kuis, dan saat itu aku belajar bahwa emosi marah pada manusia mulai mereda sekitar enam detik setelah muncul.

“~~~!!!”

Tanpa memikirkan perasaan Yuto, aku keluar dari ruang tunggu dan berlari ke belakang panggung---satu menit waktu yang kuhabiskan untuk itu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi hatiku dengan rasa penyesalan.

“Umm… Minase-san? Kamu tidak apa-apa?”

Saat aku terduduk karena dorongan emosi di pintu belakang panggung, seorang guru yang pernah beberapa kali mengajar di kelas yang sama denganku menanyai dengan nada khawatir.

“Saya cuma sedikit gugup, tapi tidak apa-apa kok.”

“Begitu ya…? Jadi Minase-san juga bisa gugup rupanya. Tidak apa-apa, semangat ya!”

Guru itu, yang terkenal di kalangan siswa jurusan hiburan karena senyumnya yang ramah, memberiku semangat sebelum bergegas pergi memanggil staf lain.

Di tengah kesibukan persiapan ujian, beliau pasti menyempatkan diri untuk menyapaku karena melihat keadaanku.

“……Ah.”

Sambil merasa bersyukur pada guru itu dan berniat membalas kebaikannya dengan kembali fokus pada ujian, pintu masuk terbuka, dan Yuto bersama Aida-san masuk.

“Umm… maaf.”

Yuto, yang sempat menatapku tapi kemudian mengalihkan pandangannya seolah merasa bersalah, mengucapkan kata maaf.

"…Kenapa kamu yang minta maaf."

Padahal aku juga seharusnya minta maaf, tapi aku malah menjawab dengan dingin.

…Kalau aku punya kepribadian yang manis seperti Akari, mungkin aku bisa lebih jujur dan meminta maaf juga.

"…Maaf."

Yuto, yang tampak seolah menanggung semua kesalahan sendiri, kembali mengucapkan permintaan maaf.

Kalau kupikirkan sebentar saja, aku bisa mengerti alasan Yuto tak bisa bicara tentang hal itu. Sebagai senior dalam hal akting, aku seharusnya bisa membaca maksudnya dan menciptakan suasana yang membuatnya bisa fokus di atas panggung.

Sejak awal, yang salah… semua ini… adalah…

“Kalian berdua.”

Tepat saat aku mulai tenggelam dalam pikiran gelap yang seakan membuatku tak bisa tampil di atas panggung, Aida-san berdiri di antara kami dan meraih tangan kami dengan suara seolah berdoa, seolah memohon.

“Semangat… ya?”

Mengatakan itu, dia berlari menuju para staf yang sedang sibuk mempersiapkan segalanya.

"…Kamu harus pakai topeng, kan?"

Dengan keberanian yang kudapat dari perhatian tulus Aida-san, aku berbicara kepada Yuto yang masih memegang topeng di tangan kanannya. Seperti yang kuduga, dia tampaknya lupa, dan buru-buru mulai memakainya.

Namun karena tergesa-gesa, simpul talinya jadi longgar.

"…Kamu ini," saat aku hendak membantu mengencangkan tali topeng itu, suara staf yang memanggil kami untuk bersiap-siap menghentikan gerakanku.

Kulihat punggung Yuto yang terburu-buru menuju posisi panggung, dan dengan sedikit rasa khawatir yang masih tersisa, ujian pun akhirnya dimulai.

.

.

.

Bunyi bel menandakan tirai panggung mulai terbuka.

Tepuk tangan dari para penonton menyambut kami.

Saat tirai sepenuhnya terbuka, lampu sorot langsung mengarah padaku.

"Haaah, bosan banget! Hari ini pun aku sendirian di sini?"

Adegan dimulai dengan seorang putri yang manja dan nakal sedang berteriak di kamar pribadinya---karakter yang sudah sejak lahir tak pernah meninggalkan area kastil karena statusnya. Tak lama kemudian, ksatria yang diperankan Yuto masuk ke dalam ruangan.

Jujur saja, aku sempat khawatir apakah insiden barusan akan memengaruhi performa Yuto.

“Sama seperti yang dikatakan Yang Mulia Raja…”

Saat ucapan Yuto terdengar dan satu sorotan lampu tambahan menyinari panggung, aku bisa merasakan ketegangan aneh menyelimuti penonton dan kursi juri.

Sebuah ketegangan yang penuh harapan dan kegembiraan yang tercampur menjadi satu. Perasaan itu jelas terasa juga olehku---dan aku ingat betul rasa itu.

“Sungguh putri yang penuh semangat.”

Meski mengenakan kostum ksatria yang kaku, sikap santainya, nada suaranya yang lembut, dan senyum tenang di sudut bibirnya memberikan kesan yang berbeda.

Cara dia membawa dirinya, cara dia menampilkan pesonanya---semua itu terasa seolah dia benar-benar mengerti bagaimana cara terbaik memanfaatkan keberadaannya sendiri. Tanpa bisa kutolak, aku pun mulai membandingkannya dengan Hakujou Yuya, yang saat ini duduk di kursi juri di depan panggung.

Cerita terus berlanjut diiringi narasi Aida-san yang tetap konsisten menjaga kualitas seperti saat latihan, seolah menenangkan diriku yang mulai terbawa suasana. Hubungan antara kami pun perlahan berubah.

“Aku nggak suka sikapmu, tapi kalau bersamamu aku bisa pergi ke kota, kan!?”

“Tentu saja. Takkan ada bahaya selama aku tetap bersamamu.”

Yuya-san biasanya tidak memerankan karakter yang mencolok sampai menelan kehadiran pemain lain demi menjaga keseluruhan kualitas karya. Tapi Yuto, yang baru pertama kali tampil di atas panggung, tentu belum memikirkan hal seperti itu---dan tampil habis-habisan sejak awal.

…Ini lumayan menyenangkan juga.

Padahal akulah pemeran utama dalam ujian ini, tapi entah sejak kapan posisiku terasa terancam oleh seorang pemuda yang bahkan belum sebulan menyentuh dunia akting. Sadar akan hal itu, sudut bibirku terangkat tanpa sadar.

Mungkin… beginilah yang disebut sebagai rival. Seseorang yang membuatmu merasa tak ingin kalah. Seseorang yang membakar semangatmu.

“Kalau kamu merasa takut, pejamkan saja matamu dan sembunyilah di belakangku.”

Entah kenapa, setiap kali Yuto melontarkan dialognya, suara-suara mulai terdengar dari arah penonton---terutama dari para wanita.

“Benar-benar… menyebalkan sekali sih orang ini!”

Dialog yang mengandung emosi lebih dari sekadar naskah mengisi ruangan, dan kedua karakter pun turun ke kota.


Setelah menyisakan satu adegan terakhir; di mana sang putri, setelah menjelajahi kota dan mengenal dunia luar, duduk bersama sang ksatria dan membicarakan rencana mereka ke depan.

Kami duduk berdampingan di bangku depan air mancur, tangan kami yang entah sejak kapan bersentuhan kini saling menggenggam lebih erat dengan sengaja, sambil menatap lalu-lalang orang yang dulu hanya bisa dilihat sang putri dari balik jendela istana.

“Dunia ini… isinya benar-benar penuh dengan hal-hal yang tak kuketahui.”

Ujian ini… akan segera berakhir.

“Mulai sekarang pun, kamu akan terus belajar banyak hal lagi, bukan?”

Dengan kehadiran yang tidak kalah---tidak, bahkan melebihi milikku---Yuto menyelesaikan dialog terakhirnya.

Apa yang Yuya-san katakan sambil duduk santai di kursi juri memang benar.

Anak yang memiliki bakat seperti ini… takkan ditemukan jika sejak awal tidak ada di kelas jurusan hiburan.

“Tak perlu disuruh pun, memang itu niatku! Dan besok pun, lindungi aku baik-baik!”

“Kalau begitu, bagaimana kalau aku melindungimu, selamanya?”

Seharusnya setelah dialogku, cerita ditutup dengan narasi dari Aida-san. Tapi Yuto tiba-tiba menambahkan improvisasi---dan itu jenis improvisasi yang paling mungkin memicu sorakan dari penonton, mengingat reaksi mereka sepanjang pertunjukan hari ini.

Aida-san juga tampaknya langsung mengerti apa yang sedang terjadi dan menunggu reaksiku.

…Namun, tepat pada saat itu, topeng yang menutupi wajah Yuto agar tak terlihat oleh penguji dan penonton malah terlepas.

Mungkin karena tersenggol, atau mungkin talinya longgar seiring waktu---topeng itu jatuh seolah dijatuhkan oleh tangan usil dewa. Yuto terdiam kaku.

“Kalau kamu ingin melindungiku, aku akan membiarkanmu melakukannya sesukamu. Tapi, harus benar-benar selamanya, oke?”

Aku, yang sudah menduga topeng itu mungkin akan jatuh, membalas improvisasi Yuto sambil menangkap topeng yang melayang di udara. Kemudian, menarik wajah Yuto yang sedang tertegun kaget mendekat ke arahku.

Dengan begitu, dari luar panggung, wajah Yuto tetap tak terlihat karena tertutupi topeng yang kupegang.

Sekarang tinggal mengarahkannya pada narasi Aida-san, lalu menyelesaikannya dengan akhir yang indah.

Itu mudah saja. Ending cerita cinta biasanya selalu punya pola yang jelas.

Aku menatap Yuto yang masih membeku di balik bayangan topeng, lalu berbisik pelan---dengan suara sekecil mungkin, agar tak terdengar oleh mikrofon maupun telinga Yuto sendiri.

“Sekarang… biarkan aku yang melindungimu, oke?”


🔸◆ Aoi Yuto PoV ◆🔸


Begitu aku menyadari topengnya terlepas, terdengar bunyi bel yang menandakan tirai panggung mulai turun. Di saat yang sama, wajah Nagisa mendekat.

“Dasar bodoh… kamu pasangnya longgar banget…”

Di tengah sorak sorai dan tepuk tangan, tirai pun turun sepenuhnya, dan tatapan dari arah penonton menghilang. Di bangku tempat kami berada, wajah Nagisa perlahan menjauh.

Pada saat itulah aku melihat topeng rubah yang dia pegang di tangan kanannya. Aku langsung mengerti---dia sengaja memutus pandangan dari arah penonton.

Bahkan, sambil tetap mempertahankan kesan bahwa itu adalah bagian dari pertunjukan yang dipertontonkan untuk orang lain.

“Kita balik, ya. Kalau tetap di sini, bakal ganggu.”

Saat dia mengatakan itu, aku melihat sekeliling dan mendapati para staf mulai membereskan properti yang digunakan dalam ujian tadi.

Nagisa pun berdiri dari bangku, dan sambil menyapa para staf, dia masuk ke sisi panggung.

Sambil menatap punggungnya yang menjauh, aku secara refleks menyentuh bibirku, seolah ingin memastikan apa yang baru saja terjadi.

Aku yakin, tadi ada sesuatu yang menyentuhnya.

Sesuatu yang lembut, wajah Nagisa yang mendekat begitu dekat, lebih dekat dari sebelumnya. Dan bersamaan dengan itu, sensasi lembut yang terasa di bibirku.

Dari semua itu, hanya ada satu kesimpulan yang bisa ditarik secara alami---dan tubuhku mulai memanas dengan sendirinya.

“Kamu tak apa...?”

Seorang staf menatapku dengan pandangan curiga, membawaku kembali ke dunia nyata dari keadaan membeku di atas bangku.

Aku membalasnya dengan sedikit anggukan, lalu buru-buru meninggalkan panggung. Saat itu, aku langsung ditangkap oleh staf yang merias wajahku sebelum pertunjukan---sepertinya dia memang menungguku.

Setelah mengembalikan kostum dan lain-lain kepada para staf dewasa yang kini terlihat lebih santai setelah sesi pagi berakhir, aku kembali ke ruang tunggu. Di sana, aku langsung bertemu pandang dengan Nagisa yang tampaknya sudah lebih dulu menyelesaikan urusannya.

“...Kerja bagus.”

Tentang ayahku sebelum ujian, tentang ciuman di akhir ujian. Karena keduanya terus mengisi pikiranku, kata-kataku terdengar agak canggung, berbeda dari biasanya.

“...Iya.”

Mungkin Nagisa juga memikirkan hal yang sama. Setelah menjawab singkat begitu, ia sengaja memalingkan pandangannya dariku.

Aku duduk di kursi yang berseberangan diagonal dengannya dan menatap jam dinding yang tergantung di tembok.

“......”

“......”

Tak ada kata yang terucap di antara kami. Hanya suara detik jam yang terdengar di ruang tunggu.

…Kalau saja Aida-san cepat kembali, mungkin rasa canggung ini bisa sedikit berkurang…

Sambil berharap Aida-san segera kembali, aku mencoba mengalihkan rasa canggung ini dengan meraih botol minum dari tas sekolahku.

“…Hei.”

Nagisa memanggilku. Aku pun menghentikan gerakanku, padahal aku sebenarnya tak merasa haus.

“Tentang tadi itu…”

Mata Nagisa menatapku, seolah ingin membaca reaksiku. Ada rasa cemas yang tergambar jelas di sana.

Tapi di kepalaku, muncul satu pertanyaan.

“Maksudmu… yang mana?”

“...Tentu saja, soal Yuya-san, kan?”

Nada bicaranya seolah menyiratkan bahwa itu hal yang jelas. Tapi matanya berpaling secara tak wajar, dan suaranya sedikit bergetar.

Mungkin… Nagisa juga sedang memikirkan soal ciuman itu.

“Yah… itu, maaf. Sungguh. Bukan berarti aku nggak percaya padamu atau semacamnya.”

Tentu saja aku tak mungkin bisa mengatakan hal yang sebenarnya, jadi aku hanya bisa meminta maaf pada Nagisa.

Padahal aku adalah orang yang seharusnya memberikan jawaban atas kata-kata Hokujou Yuya---yang menjadi alasan Nagisa memilih sekolahnya. Tapi aku malah diam saja, dan parahnya lagi, dia mengetahuinya di saat yang paling buruk---tepat sebelum ujian penting dimulai.

Wajar kalau Nagisa merasa marah. Bahkan, bukan hal aneh kalau ia tak mau bicara lagi denganku.

“Bukan! Aku yang seharusnya minta maaf…”

Berlawanan dengan pikiranku, Nagisa malah berkata seperti itu, dengan tatapan yang tampak bersalah dan gelisah.

“Kalau dipikir-pikir, ya wajar sih kamu nggak bisa langsung ngomong begitu. Lagipula, membuat suasana jadi kacau sebelum tampil itu juga jelas salah, dan waktu itu aku…”

Ia menghentikan kalimatnya di situ, lalu memalingkan pandangan dengan wajah malu sebelum menelungkupkan kepala ke atas meja.

“...Aduh! Aku harus ngomong apa sih sebenarnya…!?"

Dari suara yang terdengar, aku tahu ia sedang menendang-nendakkan kakinya ke lantai dengan gemas.

Saat aku masih bingung harus berkata apa kepada Nagisa---yang entah kenapa malah tampak lebih bingung daripada aku---tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruang tunggu.

“......”

Dari celah kecil yang terbuka, wajah Aida-san terlihat mengintip dengan hati-hati, seperti sedang menilai suasana di dalam ruangan.

“Ehm… selamat datang kembali?”

Aku tidak tahu kata apa yang tepat untuk situasi ini, jadi aku hanya mengucapkan sesuatu untuk menyambut Aida-san.

Masih bingung dengan tingkah Aida-san yang tak kuketahui alasannya, aku melirik Nagisa yang---dari celah lengan di meja tempat ia menunduk---sedang memandang ke arah pintu

Haruskah pembicaraan ini dihentikan sampai di sini? Atau lebih baik kuberitahukan juga pada Aida-san?

Tapi dulu saat Aida-san mulai curiga, aku malah mengabaikannya. Dan yang paling kupikirkan sekarang adalah---jika aku cerita, bayangan ideal tentang Hokujou Yuya yang ada di benak Aida-san bisa saja hancur.

“Masih bertengkar, ya…?”

Saat aku masih bimbang di antara dua pilihan itu, Aida-san---yang kini menampakkan setengah tubuhnya dari balik pintu---bertanya dengan ragu.

Kalau ternyata Aida-san sulit kembali ke ruang tunggu karena mengira aku membuat Nagisa marah, aku benar-benar merasa bersalah.

Dengan pikiran seperti itu, aku menggeleng pelan.

“Benarkah? Tapi Minase-san kelihatan seperti sedang menangis, lho…”

“Aku nggak nangis!”

“Kalau begitu, syukurlah.”

Nagisa berdiri dengan cepat, membantah pernyataan Aida-san yang mengatakan bahwa dia menangis---sepertinya dia sangat tidak suka dianggap seperti itu. Tapi Aida-san hanya menunjukkan ekspresi lega tanpa terlihat terkejut sedikit pun.

“Jadi… dari tadi aku kepikiran terus tentang apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua…”

Masih berdiri setengah di balik pintu, Aida-san melayangkan pandangannya ke udara dengan canggung, lalu dengan wajah seolah sudah mengambil keputusan besar, dia membuka pintu lebar-lebar.

“Akhirnya kupikir, satu-satunya cara adalah langsung tanya ke kalian. Dan pas aku balik ke sini… ternyata, beliau juga ada.”

Tatapan Aida-san mengarah pada sosok Hokujou Yuya, yang menunjukkan ekspresi bersalah.

Ayahku yang ikut masuk ke ruang tunggu bersama Aida-san duduk di sebelahku, tampak agak canggung.

“Yah, bukannya berniat menguping atau apapun, cuma… kebetulan terdengar…”

Pandangan ayah beralih bergantian antara aku dan Nagisa, dengan wajah penuh penyesalan. Sepertinya dia sudah mendengar---tentang bagaimana Nagisa menyadari semuanya.

“Termasuk soal ujian juga… kalian yang tentukan sendiri, apa mau membicarakannya di sini atau tidak.”

Maksudnya mungkin, apakah kami akan menceritakan semuanya pada Aida-san juga atau tidak.

Ayah bicara sambil berusaha menjaga agar isi pembicaraan tidak terlalu blak-blakan, tapi pandangannya tetap tertuju padaku.

Aida-san yang duduk di hadapanku tampak tegang, punggungnya tegak, matanya berpindah-pindah di antara kami bertiga.

"Aku... ingin bicara," kataku, menoleh ke ayah di sebelahku, masih dengan nada formal yang tak sengaja terbawa. "Sebagai teman."

"Seperti yang mungkin sudah disadari Minase-chan, aku dan Aoi Yuto adalah ayah dan anak. Kami punya hubungan darah."

Mendengar kata-kataku sebelumnya, ayah mengangguk kecil dengan ekspresi puas, lalu berbicara dengan nada ringan tanpa jeda. Bersamaan dengan itu, terdengar suara botol minum yang dipegang Aida-san jatuh ke lantai, menggema di ruang tunggu.

“Ma-maaf…!”

Aida-san buru-buru membungkuk hendak memungut botol yang jatuh, tapi malah membenturkan kepalanya ke meja.

“A-aduuhh!!”

Dari suara keras yang dihasilkan, aku bisa membayangkan betapa sakitnya itu.

Mungkin karena terkejut atau terlalu bingung dengan pengakuan tadi, Aida-san jelas terlihat sangat panik---dan entah karena itu lucu atau karena ingin mencairkan suasana agar tidak terlalu berat, ayahku tertawa kecil dengan nada geli.

“Kalau soal kerenggangan yang tadi Yume-chan khawatirkan, kurasa itu memang salahku.”

Sambil berkata maaf, ayah menundukkan kepala. Melihat itu, Nagisa yang sejak tadi hanya diam menyimak langsung berdiri dengan wajah panik.

“Tidak…! Itu salah saya…!”

Ayah mengangkat kepala karena ucapan Nagisa, lalu bertatapan dengannya sejenak sebelum menggeleng pelan.

“Aku jadi mengerti sekarang kenapa banyak orang tua yang punya anak remaja merasa kesulitan menjalin hubungan. Ternyata, ikut campur itu jarang membawa hasil baik.”

Sambil mengusap pipinya, ayah tersenyum canggung.

“Ya, aku mungkin dipanggil ke sini karena pengalamanku sebagai aktor, tapi pengalaman sebagai ayah masih sangat kurang, rupanya.”

“Saya yang minta maaf… Kalau saja waktu itu saya tak kehilangan kendali, semua ini pasti takkan terjadi…”

Nagisa menunduk dengan wajah menyesal, membuat ayah tertawa kecil.

“Bukan, ini salahku karena tidak bisa menahan keinginan untuk ketemu dengan Yuto. Lagipula, aku memang sudah berniat pensiun saat dia lahir. Jadi, aku tak keberatan soal orang lain tahu atau tidak.”

Sambil berkata begitu, ayah melirik ke arahku dan mengangkat satu tangannya ke udara.

Setelah beberapa detik ragu-ragu, tangannya akhirnya mendarat di kepalaku---dan aku pun mengerti.

Dia gugup. Orang seperti Hokujou Yuya yang selalu tenang di hadapan kamera pun bisa merasa tegang hanya untuk mengelus kepala seorang anak SMA.

Begitu menyadari itu, aku tak bisa menahan tawa.

Melihatku tiba-tiba tertawa, Nagisa dan Aida-san menatapku dengan heran, sementara ayah memalingkan wajah, tampak malu.

“Yah, bagimana ya. Mungkin tak buruk juga kalau aku umumkan semuanya sekarang…”

“Jangan. Aku memang tak suka jadi pusat perhatian, tapi… aku masih lebih ingin lihat ayahku tampil keren di TV.”

Kata “ayah” keluar begitu saja dari mulutku, seolah sudah terbiasa, membuat ayah menggaruk-garuk kepala dengan wajah salah tingkah.

“Kalau anak satu-satunya bilang begitu, mana mungkin aku bisa menolak.”

Sambil tersenyum kecil, dia menatap jam dinding, lalu berdiri.

“Kalau begitu, aku pamit dulu. Dan juga…”

Ayah melangkah menuju pintu, memegang gagangnya, lalu menoleh ke arahku.

“Aku selalu siap untuk tampil bersama sebagai ayah dan anak.”

Meninggalkan kata-kata yang entah bercanda atau serius, ayah keluar dari ruang tunggu.

Setidaknya bagiku, kata-kata itu terdengar cukup serius…

Setelah ayah pergi, ruang tunggu dipenuhi keheningan yang aneh.

Mungkin karena kami bertiga sama-sama menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu.

“Kalau bisa, aku minta tolong rahasiakan soal hubungan antara ayah dan aku…”

Sambil memecah keheningan, aku sekaligus memastikan hal yang penting.

“Aku sih nggak masalah…”

Nagisa langsung menjawab tanpa banyak berpikir, lalu menatap ke arah Aida-san yang duduk di sebelahnya.

“Aku juga nggak keberatan… meskipun rahasianya cukup berat...”

Sambil berbisik, “Ah, jadi begini rasanya sakit perut karena stress…” Aida-san mengelus perutnya, dan melihat itu, aku merasa sedikit bersalah melihatnya.


🔸◆🔸



Malam itu, setelah pesta “selamat atas selesainya ujian” yang kembali diadakan di rumahku tanpa pemberitahuan sebelumnya selesai, dan setelah aku mengantar pulang Aida-san dan Murai-san, dua orang yang tidak punya batasan waktu pulang---Nagisa dan Akari---menghabiskan waktu seperti biasa di kamarku, masing-masing dengan aktivitasnya sendiri.

"……"

"Akari? Sudah mulai, lho?"

"……Ah, maaf."

Seperti biasa, kami mulai bermain pertarungan online dengan menggenggam kontroler, tapi Akari tampak melamun.

Ini bukan hal yang baru; bahkan saat pesta berlangsung pun dia terlihat sedikit tidak fokus, sampai-sampai Murai-san sempat khawatir padanya.

"……Nagisa, ada perlu sesuatu?"

"T-tidak ada apa-apa!"

Sama halnya dengan Akari, Nagisa juga seperti biasa mengambil manga dari rak, tapi tak membacanya dan terus saja melirik ke arahku.

Sudah lebih dari tiga puluh menit dia membuka halaman yang sama. Sebegitu kerennya kah adegan dalam manga itu?

"……Setelah ujian selesai, waktu tirai sudah ditutup, aku sempat ngobrol bareng orang-orang yang duduk di barisan paling depan. Tahu nggak…"

Tanpa kusadari, Akari sudah meletakkan kontroler di lantai, melipat lututnya seperti segitiga, dan menatap kosong ke layar game yang menampilkan kucing terjatuh sebagai tanda kekalahan.

"Yang terakhir itu… kalian… ciuman, ya?"

Di dalam ruangan yang kini hening, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah BGM dari game yang diputar saat kalah.

Dari sudut pandangku, aku bisa melihat Nagisa menjatuhkan manga yang tadi dipegangnya ke atas perut setelah mendengar perkataan itu.

“C-ciuman…? M-mungkin…”

Nagisa menatapku, pipinya sedikit memerah.

“Aku juga nggak yakin… tapi, rasanya memang ada sesuatu yang menyentuh bibirku…”

“…Kalau begitu, mungkin memang begitu, ya… aku juga, sih.”

Setelah menjatuhkan manganya, Nagisa yang kebingungan harus menatap ke mana akhirnya mengalihkan pandangannya ke jam digital, lalu melanjutkan ucapannya, “Tapi!”

“Itu cuma karena salah jarak aja, oke!? Sebenarnya aku mau berhenti sedikit sebelum itu! Itu bukan sengaja, kok!”

“Aku tahu. Aku malah bersyukur atas kejadian itu. Serius.”

Melihat Nagisa yang menjelaskan dengan wajah merah padam malah membuatku jadi lebih tenang, dan aku pun menyampaikan rasa terima kasihku dengan jujur. Toh, kejadian itu sebenarnya terjadi karena dia mencoba menutupi kesalahanku. Penyebab utamanya memang aku.

Namun, mungkin karena aku justru bersikap tenang berbanding terbalik dengannya, Nagisa malah cemberut sambil memanyunkan bibir dan menatapku dengan ekspresi kesal.

“Lagi pula itu cuma akting! Ciuman di atas panggung itu cuma bagian dari pertunjukan! Beda sama yang pribadi! Jangan salah paham dan merasa itu spesial atau bagaimana gitu!”

“…Yah, aku nggak bakal salah paham.”

“Malah lupakan saja!”

Setelah berkata begitu, Nagisa melempar bantal ke arahku---entah untuk mengekspresikan kemarahan atau hal lain---lalu membuang muka sambil mengeluarkan suara “hmph” yang terdengar manja.

“Serius… lupakan saja…”

Sambil berbisik begitu lagi, Nagisa menyentuhkan ujung jarinya ke bibirnya sendiri---mungkin mencoba mengingat kembali sensasi yang ia rasakan---dengan tangan kanannya yang kini kosong karena manganya sudah terjatuh.

…Kalau dia melakukan hal seperti itu disaat wajahnya memerah begitu, mana bisa aku benar-benar melupakannya?

“...Aku pulang duluan, ya.”

Akari, yang mendengar seluruh percakapan tadi, tiba-tiba berdiri dan berkata begitu sambil membawa satu-satunya barang bawaannya, ponsel, lalu berjalan keluar dari kamarku.

“Ah! Tunggu, aku juga!”

Dan entah karena ingin segera kabur dari suasana aneh yang menyelimuti kamar sejak tadi, atau karena tak ingin berduaan saja denganku, Nagisa buru-buru mengejar Akari keluar kamar.

Namun, ponsel Nagisa masih tertinggal di atas tempat tidurku.

"Nagisa."

Saat Nagisa hendak buru-buru keluar dari kamar, aku meraih tangannya. Mungkin karena ia salah paham dan mengira aku ingin berduaan dengannya, dia langsung menatapku dengan wajah memerah dan mata yang dipenuhi rasa malu.

"Eh, itu, a-aku maksudnya, memang nggak perlu buru-buru juga sih… t-tapi aku juga belum mandi, jadi… maksudku, kamu juga nggak perlu melupakannya kalau nggak mau… jadi, kumohon biarkan saja untuk hari ini…"

"Aku nggak bakal ngapa-ngapain kok… Ponselmu, ketinggalan."

Begitu aku berkata begitu dan meletakkan ponselnya ke tangannya, dia langsung terlihat lega dan berkata "M-makasih..." dengan nada malu-malu.

Aku memutuskan untuk tak mengantarnya ke pintu masuk karena takut nanti dia salah paham lagi, jadi aku hanya melihatnya pergi dari dalam kamar. Lalu, karena sepertinya dia berpapasan dengan ibuku di lorong, terdengar suara mereka bercakap-cakap.

Percakapan itu pun tidak berlangsung lama---belum satu menit---sudah terdengar suara pintu depan dibuka.

"......"

Di kamar yang kembali hening, entah kenapa aku teringat lagi bagaimana cara Nagisa tadi menyentuh bibirnya dengan ujung jari.

Bersamaan dengan itu, yang terlintas di kepalaku adalah ketegangan saat ujian, rasa panik ketika sadar telah membuat kesalahan fatal yang seharusnya tidak terjadi, dan kelembutan bibir Nagisa sesaat setelahnya.

"…Harusnya beneran kulupakan."

Membayangkan Nagisa sambil mengingat sensasi itu jelas bukan hal yang baik.

Sambil menenangkan diri, aku mengucapkan hal itu seperti sedang menasihati diri sendiri, lalu membereskan manga yang masih ada di atas tempat tidur. Saat aku hendak membereskan game dan meraih kontroler, pintu kamar terbuka.

"Akari-chan kenapa?"

Ibuku masuk ke kamar dengan wajah sedikit khawatir.

"Entahlah… sudah dari tadi dia seperti itu. Dan sepertinya dia nggak mau ditanya-tanya, jadi aku juga nggak tanya apapun."

"Begitu… sampai-sampai dia pilih minum teh, bukan jus jeruk. Sepertinya cukup serius, ya…"

Ibuku menilai keseriusan situasi dengan standar yang entah dari mana, lalu keluar dari kamar sambil tetap memasang ekspresi cemas.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close