Penerjemah: Hanzel
Proffreader: Rion
Chapter 5
Terkadang ada baiknya jika salah mengukur jarak
Beberapa hari setelah itu, setiap pulang sekolah aku menjalani latihan untuk persiapan ujian, namun hari Minggu ini latihannya libur karena urusan pekerjaan Nagisa. Kabarnya, Nagisa baru akan pulang lewat pukul sepuluh malam.
Jadi seorang aktris aktif memang tidak mudah.
Meski kupikir seperti itu seolah-olah urusan orang lain... well, sebenarnya memang urusan orang lain sih, aku menikmati waktu santai setelah makan malam, sesuatu yang sudah lama tak kurasakan.
Biasanya aku akan membaca buku, tapi entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk menonton film yang dibintangi ayah.
“Memang hebat...”
Bahkan sebelum aku mulai serius memikirkan soal akting lewat ujian ini, sebenarnya aku sudah memperhatikan ekspresi dan gerak tubuh beliau saat menonton, tapi setelah mendapat arahan dari Nagisa belakangan ini, sudut pandangku rasanya berubah lagi.
Ekspresi dan arah pandangan mungkin bisa kutiru, tapi cara menampilkan diri di depan kamera yang diperoleh ayah lewat perjalanan panjang sebagai aktor, jelas bukan sesuatu yang bisa dikuasai dalam waktu singkat.
Setelah menonton satu film penuh yang durasinya cukup panjang dengan penuh konsentrasi, aku melihat jam yang hampir menunjukkan pergantian hari, lalu mulai bersiap untuk tidur.
“Bagian ketika ada momen hening itu memang sudah direncanakan dari naskah, ya...?”
Aku berjalan ke kamar mandi sambil bergumam sendiri, tak ditujukan pada siapa-siapa.
“Sebelum adegan ciuman itu, dia sengaja memalingkan pandangan...?”
Bahkan setelah selesai bersiap tidur dan berbaring di tempat tidur, pikiranku yang sudah mulai berputar tidak juga berhenti.
Kalau semua adegan yang terasa janggal bagiku itu bukan tertulis di naskah, tapi improvisasi dari ayah, maka aku merasa takkan pernah bisa mencapai level seperti itu. Lagi pula, tak ada cara untuk memastikan apakah itu improvisasi atau bukan kecuali dengan langsung menanyakannya pada orangnya.
Aku menyerah untuk terus berpikir dan membiarkan tubuhku bersandar di atas ranjang, lalu memejamkan mata.
“...Nggak... bisa...”
Kalau memang semudah itu melepaskan benang pikiran, setengah dari orang-orang yang susah tidur di dunia ini mungkin sudah bisa tidur nyenyak.
Akhirnya aku menyerah untuk langsung tidur, lalu meraba-raba mencari saklar lampu samping tempat tidur dan menyalakannya.
Dibungkus cahaya yang tak begitu terang maupun terlalu redup, aku mengambil naskah ujian yang ada di dekatku, duduk, dan mulai membacanya.
Setelah membaca beberapa bagian, ponsel yang ada di samping bantal bergetar pelan.
{Nagisa: Sudah tidur?}
Pesan singkat seperti itu muncul di layar---dari Nagisa.
{Yuto: Belum bisa tidur, lagi baca naskah}
{Nagisa: Rajin juga, nggak bolos latihannya~}
{Yuto: Bolos? Seharusnya hari ini hari libur, kan?}
{Nagisa: Aku tipe orang yang menilai semangat siswanya.}
{Yuto: Begitu...}
Aku meletakkan kembali naskah ke tempat semula, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur sambil tetap memegang ponsel.
{Yuto: Kamu sudah pulang ke rumah?}
{Nagisa: Tentu saja.}
{Nagisa: Aku juga sudah selesai siap-siap tidur, jadi sebelum tidur kupikir sekalian mengecek keadaanmu juga.}
{Yuto: Itu sangat membantu.}
{Nagisa: Mau rapat strategi sebelum tidur? Soalnya besok kan pertama kalinya kita latihan di ruang latihan.}
Ruang latihan yang disediakan SMA Ichiyou untuk siswa jurusan hiburan dan sejenisnya. Biasanya digunakan untuk latihan menari, tapi bisa dipakai oleh siapa saja selama mengajukan permintaan pemakaian setelah jam pelajaran.
Karena banyak juga siswa lain yang menggunakannya untuk persiapan ujian, perlu waktu cukup lama sampai kami bisa mendapatkan jadwal pemakaiannya. Jadwal Aida-san juga sudah disesuaikan, jadi akhirnya kami bisa latihan bersama untuk pertama kalinya di sana.
{Yuto: Rapat strategi? Boleh, mau lewat telepon?}
Aku mulai lelah menggeser dan mengetik pesan.
Kalau lihat Akari yang bisa mengirim pesan tanpa henti dengan kecepatan gila, aku kadang ragu dia itu manusia biasa atau bukan.
{Nagisa: Ada apa? Kamu mau ngobrol di telepon gitu maksudnya? Mau sleep call-an?}
{Yuto: Sleep call itu apa?}
Atas munculnya istilah yang asing di telinga, aku langsung membalas untuk mengusir rasa penasaran. Balasannya adalah stiker kelinci bermata sayu seolah kelelahan menghadapi kebodohanku.
{Nagisa: Itu tuh, kayak yang dilakukan pasangan. Telepon terus tersambung sampai mereka ketiduran.}
{Yuto: Bukan itu maksudku.}
Karena hanya teks yang terlihat, aku tak bisa tahu ekspresinya, tapi kalau dia ada di depanku sekarang, dia pasti memasang senyum menyebalkan sambil bilang, “Masa kamu nggak tahu sih? Lemah banget ya soal urusan cinta!” sambil mengejek.
{Nagisa: Maaf saja, tapi aku nggak berniat melakukan begituan dengan laki-laki yang bahkan bukan pacarku.}
Padahal aku tak berniat mengajaknya melakukan apa yang disebut "Sleep Call” itu, tapi dia tetap membalas dengan stiker kelinci yang membungkuk dalam-dalam disertai kalimat maaf yang sopan.
{Yuto: Aku cuma merasa komunikasi bakal lebih gampang kalau kita ngobrol secara langsung.}
{Nagisa: Eh?}
{Nagisa: Jadi maksudnya kamu cuma lagi pengen dengar suaraku?}
{Yuto: Jangan bilang yang aneh-aneh.}
{Yuto: Itu cuma demi kelancaran komunikasinya.}
{Nagisa: Duh...}
{Nagisa: Ya sudah, mau bagaimana lagi.}
Setelah itu, ponselku bergetar. Tapi bukan karena panggilan masuk---melainkan pesan suara.
Sepertinya dia memang cukup keras kepala soal tidak mau melakukan panggilan telepon.
Aku menekan tombol putar pada pesan yang masuk.
"(...Yahho~)"
Hanya sepatah dua patah kata.
Tapi suara yang mengalun dari ponsel yang kupegang dekat wajah itu terasa agak berbeda dari biasanya.
"(...Kedengeran? Eh, kamu tahu cara memutar pesannya, kan?)"
Tanpa jeda lama, satu pesan pendek lagi masuk.
"...Aku dengar kok."
Entah kenapa, rasanya agak canggung berbicara ke arah ponsel, dan akhirnya ada jeda beberapa detik di awal pesanku.
"(...Senang akhirnya bisa dengar suaraku? Mana ucapan terima kasihnya?)"
"Kenapa juga harus bilang... Ya sudahlah, makasih..."
Mungkin karena dia juga sudah mau tidur, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, dan tanpa sadar aku mengucapkan terima kasih dengan jujur, tanpa melawan.
"Terus, kita jadi rapat strategi atau enggak?"
"(Rapat strategi ya... Oh! Karena sekarang aku tahu Yuto bisa akting, gimana kalau kita masukkan adegan ciuman? Biar ekspresinya lebih luas begitu~"
Karena ini lewat pesan suara, aku bisa tahu dari nada suaranya---Nagisa jelas-jelas sedang menggodaku.
"Nggak! Lagipula, biasanya nggak ada adegan ciuman di ujian, kan?”
"(Yah, aku juga sudah menebak kalau kamu pasti bakal bilang begitu sih. Tapi katanya, tim lain banyak juga yang memasukkan adegan itu. Lagipula, kalau main drama, adegan ciuman itu dasar banget, lho.)"
Aku membayangkan harus melakukan ciuman dengan Nagisa di depan Akari, ibu, dan ayah.
...Mustahil.
"Tolonglah jangan begitu."
"(Aaahaha, kamu pasti membayangkan tadi, kan? Terus jadi malu, kan~?)"
Aku bisa membayangkan senyum jail Nagisa di kepalaku.
"Mending kita ngomongin sesuatu yang lebih serius..."
Akhirnya, pertukaran pesan suara ini berakhir saat kesadaranku perlahan memudar.
🔸◆ Minase Nagisa PoV ◆🔸
"O~~~iiii!"
Aku mengirim pesan suara lagi, sama seperti sebelumnya.
Apa dia sudah tidur, ya? Yuto.
"Ketiduran ya~?"
Aku mengirim sekali lagi, tapi masih belum dibaca.
Akhirnya aku menyerah menunggu balasan dan melemparkan ponsel ke samping bantal, membenamkan wajahku ke bantal, meronta-ronta.
"Aaaah!! Ini hampir kayak sleep call, kan!! Apa sih yang aku lakukan!"
Aku terus berteriak ke arah bantal meski tahu percuma menyesalinya.
...Tapi, suara dia lewat ponsel barusan, entah kenapa enak sekali didengar...
Aku mengambil kembali ponsel yang tadi kulempar, mendekatkannya ke telinga, dan mengetuk layar.
"(...Aku dengar kok)"
"(...Tolonglah, jangan begitu)"
"(Mending kita ngomongin sesuatu yang lebih serius...)"
"~~~!!!!"
Aku kembali meronta karena jarak di antara kami terasa sangat berbeda dari biasanya.
"Apa sih yang kulakukan... aku ini..."
Bukan, ini bukan perasaan cinta atau semacamnya.
Hanya pertemanan.
Aku yang sedang berada dipuncak masa puber, tiba-tiba jadi terlalu akrab dengan lawan jenis dan entah kenapa bermain-main bersamanya.
Tapi, meskipun aku tak punya perasaan cinta ke Yuto, aku tetap penasaran... bagaimana sebenarnya cara Yuto memandangku.
...Dalam artian, apakah dia benar-benar menganggapku sebagai teman?
Aku membuat alasan yang tidak masuk akal dalam hati, lalu entah kenapa menekan tombol rekam pesan suara.
"...Hey? ...Menurutmu, aku itu bagaimana...?"
Perasaanku yang sesungguhnya lolos dari mulut dan mengalir lewat gelombang suara. Aku menunggu beberapa menit, tapi belum juga dibaca.
"...Tidur saja, ah."
🔸◆ Aoi Yuto PoV ◆🔸
“Halo~! Pagi, Yuto!”
“Pagi.”
Keesokan paginya, seperti biasa aku bertemu dengan Akari di depan lift.
Karena semalam aku terus berbalas pesan dengan Nagisa sampai sekitar jam satu, aku merasa agak kurang tidur hari ini.
Aku benar-benar iri dengan orang-orang yang tetap segar meski hanya tidur sebentar.
“Pagi juga, Akari.”
“Eh, Nagisa! Hari ini kamu bisa ke sekolah dari pagi?”
“Iya.”
Saat kami sedang menunggu lift datang, tepat pada saat itu Nagisa keluar dari rumahnya.
Kalau dilihat dari beberapa pesan yang masuk dari Nagisa setelah aku mengirim pesan terakhir, sepertinya dia tidur lebih larut daripada aku. Tapi dia sama sekali tak terlihat lelah.
“Pagi juga, Yuto.”
“Pagi.”
Sambil naik lift yang baru saja sampai, aku teringat sesuatu.
“Ngomong-ngomong, Nagisa, semalam kamu membatalkan pesan terakhir yang kamu kirim, kan? Apa yang kamu hapus?”
Setelah aku tertidur, beberapa pesan dari Nagisa masuk, tapi hanya yang terakhir yang dibatalkan pengirimannya.
“Hmm? Nggak ada apa-apa kok, nggak usah dipikirkan. Cuma salah kirim saja.”
Lalu dia memalingkan pandangannya, dengan sengaja.
Aku sempat merasa sedikit curiga, tapi ini bukan sesuatu yang pantas dikejar lebih jauh. Rasa ganjil itu pun segera menghilang, dan obrolan kami bertiga bergeser ke topik lain.
“Ngomong-ngomong, Yuto, kamu nggak lupa soal nanti sepulang sekolah, kan?”
“Aku tahu. Lantai empat gedung praktik, kan?”
Hari ini adalah hari di mana kami bisa menggunakan ruang latihan yang sudah kami pesan sebelumnya.
“Hmm~? Apa itu? Mau menyatakan perasaan ke seseorang?”
Akari menatap kami dengan pandangan menggoda, terlihat jelas kalau dia cuma ingin mengusili.
"Kalau tentang urusan itu, mana mungkin aku bahas di depanmu. Ini cuma latihan buat ujian."
“Eh~!? Latihan hari ini? Boleh aku nonton?”
“Nggak.”
Kalau dia datang, bisa dipastikan dia bakal mengganggu dan membuat latihan kami tak berjalan lancar.
“Eeh~! Yuto pelit! Nggak apa! Kalau aku minta izin ke Nagisa saja pasti boleh, kan~ Ya kan, Nagisa?”
“Yah, aku juga nggak akan mengizinkannya”
“Eh~ Bahkan Nagisa juga!? Jahat sekali~?”
Padahal beberapa minggu lagi dia bisa melihat versi yang jauh lebih sempurna, tapi tetap saja dia merengek seperti ini---benar-benar keterlaluan.
"Nanti aku rekam videonya, jadi puaslah dengan itu."
"Ah! Kalau begitu, mari adakan acara nonton bareng di rumah Yuto!"
"Iya, iya..."
Begitu ada ide yang bisa dia terima, sikapnya langsung berubah 180 derajat. Dasar orang yang gampang dibujuk.
Tapi, yah, itu juga salah satu sisi baiknya sih, menurutku.
🔸◆🔸
“Kalau begitu, mohon kerjasamanya, Aida-san.”
“Ya, aku juga. Minase-san.”
Setelah berkata demikian, Aida-san mengulurkan tangan kanannya dengan halus. Sepertinya dia mengajak berjabat tangan.
Di zaman sekarang, berjabat tangan sebagai salam hanya bisa kulihat di luar negeri atau dalam suasana bisnis---pokoknya, cukup jarang ditemui di antara teman.
Seperti biasa, dia orang yang punya jarak sosial yang unik.
Setelah berjabat tangan dan melewati beberapa detik aneh saling menatap satu sama lain, Nagisa perlahan mendekatiku dan berbicara dengan suara yang tak bisa didengar oleh Aida-san.
“Dia memang orang yang unik bukan...? Mirip seperti Akari.”
Sekarang pun, kulihat dia sedang melakukan latihan vokal yang sering muncul di TV atau internet, seperti "A i u e o...”. Memang aneh, tapi dari sana bisa kusimpulkan bahwa dia benar-benar serius, juga orang yang baik.
“Kalau begitu, mari kita coba dulu. Sudah siap, Aida-san?”
“Ya. Kapan saja.”
Aku meminjam tripod yang biasa dipakai untuk pelatihan dansa, lalu memasang ponsel agar bisa merekam keseluruhan.
“Kalau begitu, mari kita mulai.”
Begitu memastikan semua orang sudah mengambil posisi masing-masing, Nagisa bertepuk tangan sebagai aba-aba untuk memulai latihan.
.
.
.
“---Sepertinya lumayan bagus, ya?”
Merasa cukup puas dengan hasilnya, aku mengatur napas yang sedikit tersengal, lalu menatap mereka berdua sambil meminta pendapat.
“Yah, aku sih bukan ahli akting, tapi menurutku aktingmu, Aoi-kun, bagus kok. Nggak kalah dari Minase-san.”
Mendengar kata-kata itu---yang paling ingin kudengar saat ini---membuat pipiku sedikit mengendur karena senang.
“Tidak, tidak. Justru ini berkat Aida-san yang bisa menyesuaikan diri dengan kami secara sempurna meski ini baru pertama kali.”
“Aku sendiri merasa kalau dibandingkan kalian berdua, tingkat kesulitanku tak terlalu tinggi. Jadi, paling tidak aku harus bisa melakukan ini.”
Berbeda dengan teman masa kecilku yang selalu besar kepala setiap dipuji, sikap rendah hati Aida-san yang konstan ini membuatku merasakan simpati padanya.
Sepertinya dia juga berlatih dengan serius di rumah. Tidak ada keraguan dalam pengucapan, dan suaranya bisa berubah-ubah sesuai adegan, memberi nuansa yang hidup.
Mendengar suaranya yang jernih dan bergema jelas di ruang latihan meski tanpa mikrofon, aku semakin yakin bahwa mempercayakan peran narator padanya adalah keputusan yang tepat.
"Kalau begini... aku yakin bisa... di depan Yuya-san..."
Mungkin Nagisa juga merasakan hasil yang memuaskan.
Dari sisi Nagisa yang berdiri di sebelahku, aku bisa merasakan antusiasme terhadap kemungkinan masa depan yang akan datang.
“Aoi-kun, kameranya nggak dimatikan?”
Ia menunjuk tripod sambil menegurku, dan aku baru teringat kalau sedang merekam video dengan ponselku.
Setelah menghentikan perekaman dan menghadap ke depan, aku bertemu pandang dengan Aida-san yang menatapku dengan sedikit curiga.
“Ini hanya firasatku saja, tapi... aktingmu, Aoi-kun, mirip dengan Hokujou-san, bukan? Apa kamu menjadikannya sebagai referensi?”
Jantungku sempat berdebar saat mendengar nama ayahku disebut tiba-tiba, tapi aku berusaha menjaga ekspresi tetap tenang dan menjawab seolah itu hal biasa.
“Ya, aku memang menjadikannya referensi. Dulu sering nonton drama, terutama yang Hokujou Yuya mainkan.”
“Kualitasnya cukup tinggi ya... Ditambah wajahmu juga mirip, jadi aku sempat merasa seperti melihat orang aslinya.”
Kupikir dia hanya bersikap tenang, ternyata dalam hati cukup bersemangat... Tapi bukan itu masalahnya---baru kali ini, selain ibuku dan Akari, ada orang lain yang bilang wajahku mirip dengan ayah. Itu membuat jantungku kembali berdegup kencang.
“Masa, sih? Soal akting, oke lah kalau memang kelihatan mirip, tapi wajah... bukannya Yuya-san kelihatan lebih dewasa? Menurutku Yuto tipe yang beda...”
Nagisa yang tadinya sibuk menatap naskah ikut menyela dan membantahnya. Karena aku sendiri sempat bingung mau menjawab apa, bantuan ini sungguh menyelamatkan.
"Aku bicara soal Hokujou-san waktu dia masih jadi idol. Sekitar waktu kita lahir, mungkin... sebelum dia berusia 25 tahun?"
“Wah... kamu tahu banyak juga ya.”
Nagisa, yang terkesan pada Aida-san yang bicara sedikit lebih cepat dari biasanya, mengangguk sambil menunjukkan ketertarikan pada isi pembicaraan.
“Yah, aku ini mengklaim diri sebagai penggemar nomor satu di dunia... lihat ini, bagian matanya...”
Dengan ekspresi sedikit senang karena dipuji, Aida-san menerobos batas ruang pribadiku dan mendekat sampai jarak yang begitu dekat hingga kami bisa saling merasakan napas masing-masing.
“Eh, bukannya terlalu dekat? Aida-san.”
Nagisa, yang selama ini bicara dengan Aida-san dalam jarak wajar, tampak kaget dan bersuara heran karena perubahan tiba-tiba dalam jarak ini.
“...Ya, dilihat dari dekat memang makin mirip... Rasanya penglihatanku jadi lebih tajam.”
Aida-san bahkan makin mendekat, dan aku yang biasanya akan langsung menjaga jarak justru terdiam, sepenuhnya terpaku pada kata "mirip". Tubuhku seakan tak bisa bergerak.
Apa aku harus menertawakannya untuk mengalihkan suasana...?
Sambil memikirkan cara mengatasi situasi ini, waktu terus berjalan, dan suhu tubuhku perlahan meningkat karena detak jantung yang semakin cepat.
“~~~!!!”
Saat pikiranku mulai kehilangan ketenangan, tiba-tiba rasa sakit di kakiku menghentikan segalanya secara paksa.
“Mukamu kenapa merah begitu sih! Menjijikan!”
Pelakunya---Nagisa---melihatku yang tergeletak di lantai sambil menyilangkan tangan. Sepertinya aku baru saja ditendang sangat keras di tulang kering ku.
“Dengar ya! Kalau gampang salah paham soal hal seperti ini, kamu bakal ngerasain yang lebih sakit lagi!”
Sesuatu yang lebih sakit itu baru saja aku rasakan.
“Ayo latihan!”
“Y-ya...?”
Aida-san tampak bingung dengan perubahan suasana hati Nagisa yang tiba-tiba jadi tak bersahabat, tapi ia tetap mengambil naskah dan mulai bersiap.
“Cepat! Yuto juga buruan!”
Merasa lega karena topik berhasil dialihkan secara paksa, aku buru-buru bersiap untuk latihan sambil berusaha tidak memperparah suasana hati Nagisa yang sedang tak stabil. Setelah itu, latihan pun berjalan lancar tanpa Aida-san mengungkit kejadian tadi lagi.
🔸◆🔸
"Yahho! Maaf mengganggu!"
Setelah pulang ke rumah, sekitar lewat pukul delapan malam, Akari membuka pintu rumah tanpa menekan bel dan langsung masuk ke kamarku.
"Setidaknya pencet dulu belnya..."
"Eeh? Kan ini rumahnya Yuto, jadi nggak apa-apa, kan? Lagipula kalaupun aku pencet bel, Yuto pasti cuma jawab dengan suara malas, 'Masuk saja~', kan?"
Dia menurunkan suaranya seolah-olah meniruku, tapi karena Akari termasuk perempuan dengan suara yang cukup tinggi, meski suaranya diturunkan sedikit pun tetap saja sisi feminimnya tidak berkurang.
"Terus, kamu juga tahu kan kalau aku nggak bakal pencet bel, makanya kamu nggak mengunci pintunya?"
"Karena dirimu lah, tingkat keamanan rumahku jadi kacau."
"Kalau begitu nggak apa, kunci saja pintunya kan?"
"Asal kamu berhenti ngotak-ngatik gagang pintu dan memanggil-manggil namaku dengan suara kencang. Itu mengganggu tetangga."
"Aku kan nggak teriak-teriak kalau datang malam."
"Aku bilang juga jangan guncang pintu dan teriak-teriak saat siang hari juga."
Aku memukul ringan kepala Akari dengan novel yang sedang kubaca saat menunggunya datang.
"Mana Nagisa? Kupikir kalian bakal datang bareng."
Karena pagi tadi dia sudah mengatakan mau nonton bersama, rasanya aneh kalau Akari tak mengajaknya.
"Ah, aku sudah mengajaknya, tapi katanya dia tipe yang nggak mau dengar pendapat siapa pun sebelum tampil, jadi dia menolaknya."
Sambil sengaja menjatuhkan bahunya, dia menunjukan ekspresi kecewa dengan tubuhnya.
"Ya sudah, pokoknya ayo kita tonton! Maksudku, aku sudah nggak sabar banget!"
Akari merengek sambil menggoyang-goyangkan tangan dan kakinya, jadi aku mengangkat ponsel yang ada di dekat tangan kananku.
"...Entah kenapa jadi malu."
Perasaan itu tiba-tiba muncul. Kalau dipikir-pikir, sekarang dia akan melihat aktingku yang terekam di layar.
Hanya ada karakter putri dan ksatria di panggung, jadi karakter kami jadi cukup kuat.
Dan aku malah mendapatkan peran yang membuatku jadi sok keren...
"Eh? Jangan bilang kamu berubah pikiran dan nggak mau menunjukkannya?"
"...Nggak boleh ya?"
"Tentu saja!"
Akari yang tengkurap di sofa menatapku dengan ekspresi serius yang jarang aku lihat.
"Baiklah, baiklah, tonton saja... Aku akan berada di ruang tamu."
Aku tahu aku takkan bisa menarik kembali keputusan ini sekarang, jadi aku menyerah dan memberikan ponsel yang sudah siap memutar video itu ke Akari sambil menghela napas.
Lalu aku mencoba keluar dari kamar sambil membawa novel---
"Tunggu."
Tapi rencanaku gagal. Akari yang duduk di sofa mencondongkan badan dan menarik bajuku.
"Yuto? Masa yang begini saja kabur? Yang melihatnya cuma aku, teman masa kecilmu, lho? Pas tampil nanti bakal lebih banyak orang yang nonton, kan?"
Akari yang masih dengan tatapan seriusnya, tidak menunjukkan sedikit pun perilaku ceroboh atau konyol seperti biasanya---yang kalau dibilang secara baik, itu ceria, tapi kalau dibilang secara buruk, itu bodoh---dan terus mendesakku tanpa ampun.
"Apa nggak bisa dikompromi...?"
"Nggak bisa!"
Sambil menggelengkan kepala dengan gaya dibuat-buat dan berbicara dalam dialek Kansai, aku pun menyerah melarikan diri darinya, kembali ke tempat tidur, dan pasrah menenggelamkan wajahku ke bantal.
Lagian, kalau aku kabur, dia pasti bakal mengejarku sampai ke ruang sebelah juga.
Dan kalau itu sampai terjadi, ibuku mungkin malah ikut-ikutan nonton dan situasinya jadi makin kacau.
"Yuto, sini, sini!"
Saat aku mengangkat kepala, kulihat Akari menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya---yang cukup untuk satu orang duduk.
"Nonton bareng yuk!"
Sepertinya dia bukan hanya ingin menyaksikan penampilanku, tapi juga memaksaku menonton bersamanya.
"Aduh... Tak perlu khawatir, aku nggak bakal mengejek! Kali ini aku bakal ngeliatnya sebagai bentuk perkembangan Yuto, tahu?! Dari sudut pandang seorang 'Onee-chan'~"
Mungkin dia bisa menebak dari ekspresiku apa yang sedang kupikirkan, jadi dia langsung menenangkan kekhawatiran yang muncul sebelum aku sempat bilang apa-apa.
"Padahal ulang tahunku lebih dulu darimu..."
Aku mengeluh pelan, lalu dengan berat hati bangkit dan duduk di sampingnya.
"Dan sekarang, silakan ambil kembali ponselmu."
Ponsel yang tadi kuberikan kini dikembalikan ke tanganku.
"Terus, buka kaki, sedikit."
Begitu aku mengikuti ucapannya dan membuka sedikit posisi dudukku, Akari pun langsung duduk di ruang yang terbuka di antara kaki itu.
"Dan sekarang, pegang ponselnya di depanku."
Aku menuruti lagi, meskipun...
"...Kita nontonnya kayak gini?!"
"Ya iyalah. Kalau aku yang pegang, Yuto malah jadi susah lihat, kan? Dan tanganku juga cepet capek."
Karena perbedaan tinggi badan kami, dari posisi ini, layar ponsel memang pas berada di depan mata Akari dan aku juga masih bisa melihat dengan jelas.
Yah, walau aku harus melingkarkan tangan untuk memegang ponsel di depan Akari, dan itu justru bikin tanganku lebih pegal...
"Kenapa nggak kita taruh saja di tengah-tengah antara kita? Toh aku juga yang akan pegang."
"Eeh? Tapi posisi yang begini tuh rasanya enak! Hangatnya tubuh manusia itu bikin nyaman, dan katanya suara detak jantung itu menenangkan, lho~"
Sambil berkata begitu, dia menempelkan telinganya ke dadaku dan memejamkan mata seakan sedang mendengarkan dengan seksama.
"...Eh? Aneh...?"
Beberapa detik setelah mendengarkan, dia tiba-tiba bergumam, memasang ekspresi serius.
“Padahal ada teman masa kecil yang secantik ini menempel padamu, tapi detak jantungmu sama sekali nggak naik...?”
Ucapan Akari yang diiringi ekspresi serius itu memperlihatkan dengan jelas betapa percaya dirinya terhadap pesonanya sendiri---tanpa punya niatan menyembunyikannya sama sekali.
“Aku sudah terbiasa.”
“Eh? Jadi dulu sempat deg-degan~?”
Sambil berbicara, dia menyentuh pahaku pelan dengan ujung jarinya.
“Cuma sampai kelas satu SMP.”
“Beneran? Aku sama sekali nggak sadar!"
“Makanya, sekarang posisi seperti ini sudah nggak ada untungnya buatku.”
“Yah, sudahlah~ Nggak apa-apa, kan?”
Dia menggelengkan kepala, membuat rambutnya berayun lembut. Dari gerakan itu, semerbak harum elegan dan menyegarkan ikut menyebar lewat angin kecil yang tercipta.
“Aku habis selesai mandi, jadi wangi, kan, kan? Yuto bisa menikmati wangi tubuh gadis SMA yang baru mandi! Itu keuntungan juga buatmu! ...Jadi, mulai ya~”
Dia lalu mulai memutar video dari ponsel yang ada di tanganku, dan tayangan pun segera dimulai.
“Whoa~ Nagisa berubah sekali~!”
Menyaksikan secara langsung momen ketika seseorang beralih ke karakternya---yang biasanya tak bisa dilihat di drama biasa---dia langsung bertepuk tangan, memberi reaksi.
Tak lama, dialogku pun dimulai. Tapi aroma harum Akari yang masuk ke hidungku entah kenapa malah membuat hatiku jadi tenang.
...Memang, wanginya enak juga.
Sambil memikirkan hal itu, aku terus menatap layar ponsel.
"(Silakan, Tuan Putri.)"
Aku yang ada di dalam video mengucapkan kalimat yang jelas-jelas tak mungkin kuucapkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan wajah serius.
Tanpa kostum ksatria ataupun topeng yang harusnya kupakai saat tampil, hanya mengenakan jaket olahraga sekolah, aku tetap melontarkan dialog gombal itu.
Aku sudah siap mental untuk diledek, tapi seperti yang sudah dikatakannya tadi, Akari tidak mengeluarkan satu pun komentar konyol seperti biasanya.
Justru karena dia benar-benar diam dan tidak tertawa, aku malah makin merasa tak nyaman.
Apa mungkin, kalau tadi dia langsung meledek, aku malah bakalan lebih tenang?
Tak sanggup menahan malu, aku pun mengalihkan pandangan dari layar, lalu menunduk dan menyembunyikan wajahku di rambut Akari yang ada tepat di bawah garis pandangku, memenuhi seluruh pandangan.
Karena, sebentar lagi ada adegan yang akan membuatku makin merasa malu.
Untuk sementara, aku harus bertahan seperti ini dulu.
Dan... konsentrasikan penuh dengan aroma Akari...
...Tunggu, kalau dipikir-pikir, ini pikiran yang lumayan---tidak, malah sangat menjijikkan kan?
Menikmati aroma yang berasal dari teman masa kecil yang baru selesai mandi... kalau ditulis dalam kata-kata, jelas-jelas terdengar seperti kelakuan orang mesum. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menahan diri dan bertahan dengan menenangkan pikiran sebaik mungkin.
“...Yuto?”
Saat dipanggil seperti itu, aku pun mengalihkan pandangan kembali ke depan. Di saat yang sama, aku sadar kalau video yang diputar sudah berhenti.
“Ada apa? Kenapa? Ada yang terjadi?”
Ketika aku bertanya begitu, Akari yang wajahnya memerah perlahan menoleh ke arahku.
Lalu dengan nada sungkan dan pandangan yang melirik ke arah lain, ia berkata, “Bukan masalah sih... cuma...”
“Kayaknya... kamu sedikit, sedikit... terlalu menikmati baunya... sampai-sampai aku jadi malu... begitu...”
“...Maaf.”
Melihat ekspresi teman masa kecilku yang belum pernah kulihat sebelumnya, aku cuma bisa meminta maaf.
“Yuk! Lanjut yuk! Lanjut!”
Setelah pipinya sedikit memerah, Akari secara alami bergeser dari posisi duduk di antara kakiku dan berpindah ke sebelahku, menatap layar ponsel dari sisi samping. Dia juga menepukkan tangan, seolah ingin mengganti suasana canggung yang sempat menyelimuti ruangan.
Aku bisa lihat dia berusaha keras menatap mataku, tapi jelas-jelas pandangannya tidak fokus.
“Seriusan, maaf...”
Melihat teman masa kecilku yang jelas berbeda dari biasanya, rasa bersalahku malah semakin dalam.
"Bukan, bukan begitu! Tak apa, kok!? Serius! Kan Yuto sudah seperti adikku sendiri!"
Dia mengibaskan tangan dengan heboh untuk menyangkal... tapi matanya berkedip tak menentu, dan bahkan orang yang bukan teman masa kecil pun pasti bisa melihat betapa gugupnya dia---yang justru membuatku semakin merasa bersalah.
“Aduh! Ayolah, kasih komentar kayak biasanya dong! Kamu kan yang lahir lebih dulu dari aku!”
Sambil menggosokkan sikunya ke arahku, dia mencoba menggoda seperti biasa.
“Beneran nggak apa! Nih! Mau seberapa pun juga boleh!”
Sambil berkata begitu dengan mata yang masih tidak tenang, dia menjatuhkan dirinya ke dadaku.
...Apa ini artinya dia bilang, “Silakan cium aromaku sepuasnya”?
Aku tak punya muka setebal itu sampai bisa dengan santainya mengendus-endus seperti anjing di situasi seperti ini.
Aku bingung---haruskah aku menegur Akari yang membuatnya jadi aneh begini, atau menerima upaya putus asanya untuk memperbaiki suasana?
Terus berpikir, waktu pun berlalu, dan kepala Akari yang berada di bawah pandanganku mulai bergetar pelan.
“...Maaf, bisa lupakan saja yang tadi?”
Katanya sambil menatapku dari bawah, wajahnya semakin memerah seiring waktu.
Itu jadi pukulan terakhir. Rasa canggung di ruangan pun mencapai titik kritis, aku memutuskan untuk menyerah menonton video untuk sementara. Dengan alasan istirahat, aku pergi ke ruang tamu untuk mengambil teh.
.
.
.
“Oh, perhatian sekali!”
“Terima kasih.”
Mungkin karena aku sengaja meluangkan waktu agak lama, Akari sekarang terlihat kembali seperti biasanya.
“Itu... soal tadi, maaf... Aku cuma mau mengalihkan perhatian dari videonya...”
“Sudah-sudah, aku nggak ambil pusing kok!”
Fakta bahwa dia menerima permintaan maafku dengan ringan justru membuatku merasa lega. Aku juga kembali ke sikap biasaku.
“Tadi aku bilang ke Hinata-chan dan Nagisa kalau Yuto itu punya fetish sama bau-bauan, dan entah kenapa aku langsung merasa plong~!”
Dengan senyum lebar, dia menepuk-nepuk sofa tempat dia duduk.
“Ayo! Kita duduk lagi kayak tadi! Nggak apa-apa kok! Meskipun Yuto itu punya fetish bau, aku nggak bakal jijik atau jadi benci kok! Soalnya kita teman masa kecil, kan?”
“... Kamu beneran bilang begitu?”
“Iya.”
Dia pun menunjukkan layar obrolan grup antara Murai-san, Akari, dan Nagisa---yang bahkan aku tak tahu kalau itu ada.
Pesan yang terpampang jelas dan menyakitkan itu tertulis:
{Akari: Yuto ternyata punya fetish bau-bauan, dia suka sekali dengan aroma rambut sehabis mandi!}
Dan sudah ada dua tanda baca yang menandakan pesan itu telah dibaca.
Lalu balasan mereka:
{Hinata: Dia memang kelihatan seperti tipe yang pendiam tapi mesum.}
{Nagisa: Kamu pakai sampo apa memangnya?}
PF/N:
Di chat kali ni w gatau mana yg dikirim sama Nagisa atau Hinata. Makanya w menilai sendiri. Dan yg w rasa, yg nanya Akari pakai sampo apa itu ya Nagisa.
Fyi, sebenernya di tiap pesan gaada info nama yg ngirim. Makanya kalo ada pesan yg double, itu kadang agak membingungkan (misal Nagisa abis kirim chat, terus kirim chat lagi sebelum dapat balasan).
Dua orang itu benar-benar teman yang perhatian, sampai bisa langsung memberikan responnya begitu.
Mungkin berkat itu juga, suasana hati Akari jadi membaik.
...Yah, kalau hukuman ku cuma sebatas ini dan bisa dimaafkan, mungkin itu tak terlalu buruk.
“Ayo cepet kita nonton lagi, Yuto!”
Dengan senyum puas di wajahnya, seolah tahu aku bakal menderita karenanya, dia mendorongku untuk lanjut menonton video.
Aku meletakkan minuman di atas meja samping tempat tidur dan kembali ke posisi sebelumnya.
Tentu saja, sambil dengan sadar mengalihkan perhatian dari rambutnya...
Setelah itu, semuanya berjalan lancar. Aku hanya mendengarkan komentar Akari seperti “Kereeen!” atau “Wah~ Yuto hebat juga~!” sambil menonton video bersama lewat ponsel.
...Aku juga sudah tak terlalu terganggu lagi dengan adegan-adegan memalukan yang kulakukan di video itu.
Dibandingkan dengan suasana canggung sebelumnya, ini jelas jauh lebih nyaman.
"(Kalau begini... aku yakin bisa... di depan Yuya-san...)"
"(Aoi-kun, kameranya nggak dimatikan?)"
Saat suara dua orang itu terdengar, video pun otomatis berhenti.
“Jadi... bagimana menurutmu?”
“Bagus sih... tapi, Yuto, kamu beneran bakal tampil di ujian, ya...”
Ucap Akari pelan, seolah sedang merenung. Aku menyingkirkan ponsel dari depan wajahnya dan melemparkannya ringan ke atas ranjang.
“Dari awal juga aku sudah bilang, kan?”
“Soalnya, aku masih nggak percaya... Yuto yang dulu bilang benci sekali dengan ayahnya, sekarang malah mau tampil di depan beliau...”
Dia merebahkan diri, lalu meletakkan kepalanya di perutku sambil menatap langit-langit.
“Maksudmu waktu kita kelas dua SMP?”
“Iya! Waktu itu Yuto terus-terusan bilang benci sekali dengan beliau, kan?”
Memang, aku ingat pernah bilang begitu.
“Yah, mungkin karena lagi masa-masa pemberontakan. Saat itu aku mencoba memahami kondisi keluargaku dengan pikiran anak SMP, dan malah membuat cerita sendiri dari imajinasiku, tanpa benar-benar bertanya ke Ibu soal kebenarannya. Hasilnya, satu-satunya kata yang bisa kugunakan untuk menunjukkan perasaanku ke Ayah hanyalah kata ‘benci’.”
Kalau diingat sekarang, mungkin yang membuatku kesal waktu itu adalah karena tatapan Ayah---yang di drama begitu penuh cinta ke istri dan hangat ke anak---tak pernah mengarah padaku atau Ibu.
Tapi ternyata, Ibu dan Ayah masih saling berkomunikasi, dan Ayah pun terus menerima kabar soal tumbuh kembangku.
“Waktu itu kamu belum sempat cerita detailnya... Tapi, beneran nggak apa-apa ketemu Yuya-san pas ujian nanti?”
Akari duduk tegak dan bersimpuh, lalu menatapku serius dengan sorot penuh kekhawatiran.
Dia memang selalu penuh perhatian.
“Jujur saja... mungkin aku nggak sepenuhnya siap...”
“Eh!? T-terus gimana dong? Gimana kalau aku saja yang menggantikanmu? Ah, tapi pesertanya harus laki-laki ya...”
Saat aku menggumamkan hal itu dengan wajah sedikit suram---sekadar untuk menggodanya sedikit---aku bisa melihat Akari panik, pemandangan yang cukup langka.
Aku tertawa kecil dan meletakkan tanganku di atas kepalanya.
“Yah, ini pertama kalinya dalam hidup aku bakal ketemu ayah yang selama ini cuma bisa kulihat di TV, jadi… jelas saja kalau merasa gugup. Tapi…”
“Tapi?”
Dia menatapku dari bawah sambil memegang tanganku dengan kedua tangannya, matanya jelas menyiratkan tanda tanya.
“Kalau ada apa-apa, kamu bakal menghiburku, kan? Wahai 'Onee-chan' yang baik hati~"
Setelah sempat terlihat bingung, Akari tersenyum lebar dan langsung melompat ke pelukanku.
“Serahkan saja sama 'Onee-chan' mu ini!”
Karena dia benar-benar melompat dengan sekuat tenaga, aku pun terdorong dan bersandar sepenuhnya ke sofa.
Aku menghela napas geli melihat semangatnya yang berlebihan, lalu mengusap lembut kepala teman masa kecilku yang ada di pelukanku.
"Oh, boleh saja bermanja-manja, asal kasih kabar dulu sebelumnya, oke?"
“Kenapa?”
Padahal aku tak bilang apapun soal bermanja tadi… Tapi tatapan sahabat kecilku yang disertai senyum itu langsung membungkam semua bantahanku.
“Soalnya, aku harus mandi dulu demi Yuto, kan?”
“...Makasih.”
Menghargai perhatian tulus dari teman masa kecilku, aku tak bisa membantahnya dan akhirnya menerima gelar "fetish aroma" itu dengan pasrah...
🔸◆🔸
{Akari: Aku dipanggil guru, jadi tunggu sebentar ya!}
Pesan dari Akari masuk tepat setelah homeroom selesai keesokan harinya.
{Nagisa: Gimana?}
Tak lama kemudian, pesan dari Nagisa pun masuk.
Kami bertiga memang sudah terbiasa pulang bersama setiap kali Nagisa masuk sekolah, jadi hari ini pun rencananya akan pulang bertiga.
{Yuto: Mau habisin waktu di perpustakaan?}
Sambil mengirimkan usulan itu, aku keluar kelas untuk menemui Nagisa.
{Nagisa: Aku nggak tahu di mana tempatnya. Soalnya belum pernah ke sana.}
{Yuto: Itu bangunan besar di tengah-tengah area sekolah.}
Aku naik tangga yang ada tepat di sebelah kelas, lalu menuju ke kelas yang sedikit lebih jauh dari kelas Akari dan yang lainnya.
Dari pintu belakang kelas itu, aku mengintip ke dalam dan langsung mengenali sosok yang familiar duduk di dekat jendela yang menghadap ke lorong.
{Nagisa: Aku nggak tahu, jadi jemput aku dong!}
“Aku sudah di sini.”
“...!? Kamu itu hobi sekali ya, muncul dari belakang?”
Nagisa terkejut dan menoleh dengan ekspresi kesal.
“Mana ada orang yang hobinya begitu.”
“Yakin? Soalnya dua hari berturut-turut, kamu terus muncul dari belakangku, tepatnya saat aku jalan di malam hari.”
“Itu kebetulan saja, serius...”
Saat aku berkata begitu dengan wajah agak canggung, Nagisa malah tersenyum senang.
“Kalau begitu, antar aku ya?”
“Iya, iya.”
Memberitahu Akari lewat pesan kalau kami akan ke perpustakaan, aku dan Nagisa mengikuti arus orang yang mulai menipis dan meninggalkan gedung sekolah.
Bangunan itu terletak di tengah-tengah jalan panjang yang menghubungkan ke gerbang sekolah. Namanya Pusat Perpustakaan.
Bentuk bangunannya seperti kotak, dengan tembok putih yang dihiasi pola polkadot hitam---desain yang sederhana tapi entah kenapa memberikan kesan futuristik.
Sejak sebelum masuk sekolah pun, aku sudah merasa antusias karena ingin mengunjungi perpustakaan ini.
“Heeh~ ...Jadi ini tuh perpustakaan.”
“Orang normal biasanya penasaran, kan? Terus mencoba masuk, setidaknya sekali."
“Enggak tuh? Aku pikir ini bangunan aneh yang agak mencurigakan.”
“Mana mungkin sekolah membuat fasilitas mencurigakan di dalam area mereka.”
Begitu masuk lewat pintu otomatis di depan, kami langsung disambut udara segar dari AC yang khas perpustakaan---ada aroma kertas yang menenangkan.
Biasanya aku cuma keliling lihat-lihat rak buku di lantai satu, atau kalau datang bersama Souma, aku bakal langsung ke ruang belajar. Tapi karena kali ini kami tak punya banyak waktu, kami memutuskan duduk santai di area baca dekat jendela di lantai dua.
“Tempatnya enak juga.”
Sambil menurunkan volume suaranya, Nagisa menunjukkan ekspresi ceria saat memandangi lalu lalang di jalan setapak depan perpustakaan dari jendela di hadapan kami.
“Entah kenapa, suasana ini membuatku pengen baca buku.”
“Perpustakaan itu punya sihir yang membuat orang merasa begitu.”
Melihat rak-rak buku yang tertata rapi dan buku-buku yang berjejer dengan teratur, membuat tangan ini ingin mengambilnya walaupun sebenarnya bukan yang dicari.
“Ya, walaupun aku nggak bakal baca sih.”
Jadi tetap nggak baca juga.
“Rasanya tenang sekali di sini~”
Nagisa berkata begitu sambil membiarkan tubuhnya bersandar ke meja, kedua tangannya terjulur ke depan seolah bermalas-malasan di bawah cahaya matahari yang masuk lewat jendela.
Lalu, dengan kepalanya bertumpu pada lengannya yang terjulur, Nagisa menatapku santai dan membuka mulut.
“...Ngomong-ngomong.”
“Apa?”
“Kemarin, itu beneran yang kamu baru sadar kalau kamu punya fetish bau-bauan?”
“...Itu bohong.”
“Hee, bohong... Soalnya kamu dari dulu sudah punya ketertarikan sama aroma kan.”
Nagisa menyimpulkan sesuka hatinya sambil mengalihkan lagi pandangannya ke lalu lintas di luar jendela.
“...Tunggu dulu. Aku bahkan nggak pernah sadar kalau aku punya fetish itu.”
“Beneran?”
“Tentu.”
“Kalau begitu, yang kemarin itu apa?”
“...Kami cuma sedang menonton video latihan.”
“Hmm~”
Mendengar jawabanku, Nagisa mulai memainkan ponselnya dengan ekspresi datar, seolah sorotan di matanya hilang. Apa perasaan macam apa itu...
“Kalau begitu, ini apa?”
Nagisa mengulurkan ponselnya ke depanku.
Yang terpampang di layar adalah ruang chat antara Akari dan Nagisa.
Di situ terlihat Akari membalas dengan sangat rinci pesan dari Nagisa yang bertanya, {Nagisa: Detailnya bagaimana?}.
Lalu, Akari menjelaskan semua; mulai dari saat aku bercanda, saat dia bilang boleh mencium baunya, sampai aku benar-benar menekan wajahku ke kepala Akari, bahkan jumlah kali aku menghirup bau Akari pun disebutkan.
“...Maaf.”
“Aku nggak menuntut permintaan maaf, kok?”
“Terus aku harus apa...”
“Nggak usah melakukan apapun~”
Sepertinya aku memang tidak diizinkan untuk menebus dosa ini dan harus terus memikul salib ini selamanya.
Nagisa kemudian mematikan ponselnya. Dengan wajah tak puas dan merebahkan dirinya di meja, ia bergumam pelan.
"Aku juga kok, setelah mandi, pasti baunya wangi..."
Kenapa dia tiba-tiba jadi kompetitif begitu?
Padahal waktu kami berdua latihan bareng sebelumnya pun, dia bukan baru selesai mandi, tapi aroma sabun yang lembut tetap tercium jelas dan meninggalkan kesan di ingatanku.
"......"
Sampai di situ, aku mulai sadar kemungkinan kalau aku ini sebenarnya memang sudah punya ketertarikan dengan aroma sejak dulu, dan buru-buru mencoba mengalihkan pikiran itu dengan mengambil earphone wireless dari dalam tas untuk mendengarkan musik.
"......Aku juga mau dengar."
Dengan sedikit sikap merajuk, Nagisa meminta, jadi aku menyerahkan satu sisi earphone wireless kepadanya.
Kalau ini era komedi romantis zaman Heisei, mungkin ada adegan klise di mana kami terpaksa dekat karena harus berbagi earphone berkabel.
Tapi sayangnya ini sudah era Reiwa.
Bahkan momen mendengarkan musik bersama pun tetap menjaga jarak yang pas.
"......?"
"Ada apa?"
Nagisa berkali-kali membenarkan posisi earphone dengan ekspresi bingung.
"Kayaknya koneksinya jelek... Ah, kalau begini baru bisa."
Sambil berkata begitu, Nagisa mendekat, sampai jarak kami cukup dekat hingga bahu kami saling bersentuhan.
Begitu rupanya... ini caranya adegan klise itu di era Reiwa.
Sambil berpikir begitu, aku juga sadar bahwa sekitar setengah dari konsentrasi otakku sekarang malah tersedot oleh aroma sabun dari Nagisa.
Sepertinya... itu memang benar, jika aku ini punya fetish bau-bauan.
🔸◆🔸
Setelah itu, kami terus berlatih secara rutin, hingga tiba hari Jumat, beberapa hari sebelum ujian.
Aku dan Nagisa sedang dalam perjalanan menuju ruang kostum di gedung praktik untuk melakukan pengepasan kostum untuk hari ujian.
"Katanya kita hanya perlu memilih dari beberapa jenis yang tersedia, jadi sepertinya takkan memakan banyak waktu..."
Nagisa berkata demikian sambil menatap layar pengumuman yang sepertinya ia terima sebagai ketua tim ini.
"Yah, karena juga tidak ada batasan waktu keluar, bagaimana kalau kita ambil foto dan kirim ke Aida-san?"
Sambil berkata begitu, dia tampak bersenang-senang, melambaikan topeng rubah yang ia bawa dari rumah, sambil mengintip reaksiku.
"Menurutku boleh saja? Kita tak tahu apakah nanti saat acara ada waktu untuk mengambil foto kenang-kenangan atau tidak."
Dalam pengumuman yang dikirimkan kepada Nagisa, tertulis "hanya untuk peserta".
Mungkin itu demi menghindari keramaian akibat peserta yang mengundang teman-teman mereka... Begitulah kira-kira pertimbangannya. Namun, dari pihak Aida-san sendiri sudah lebih dulu menyatakan, "Karena aku tak benar-benar tampil di atas panggung untuk berakting, aku akan menahan diri saja."
Tak lama setelah itu, kami pun sampai di ruang kostum.
"Banyak juga, ya..."
Begitu membuka pintu, jauh lebih banyak kostum dari yang kami bayangkan langsung memenuhi pandangan.
Ada pakaian tradisional Jepang, baju pelayan (maid), baju zirah berat yang entah kapan akan dipakai, bahkan sampai baju renang.
"Sepertinya kita... di bagian sana?"
Di dalam ruangan yang dibagi menjadi beberapa area, di sudut tampak sebuah kertas bertuliskan "Untuk Ujian Mahasiswa Tahun Pertama Tahun Ini".
Mengikuti punggung Nagisa yang berjalan di depanku, kami terus maju. Begitu memasuki area tersebut, pandangan kami langsung dipenuhi kostum bergaya Eropa yang sering terlihat di dunia akting.
"Whoa~ ...ternyata jumlahnya lumayan banyak juga~"
Meski kostumnya banyak, ruangannya diatur sedemikian rupa sehingga tetap terasa nyaman dan tidak sempit.
Sepertinya pengelolaannya memang dibuat agar tak terlalu ramai, karena di area itu hanya ada sekitar empat kelompok siswa lainnya.
"Mau mulai dari punyamu dulu, Yuto?"
"Boleh."
Aku mengangguk sambil menjawab, lalu berpindah dari area kostum wanita.
"Kamu mau model yang seperti apa?"
"…Sejujurnya, apa saja tak masalah."
Desain kostum bergaya ksatria Barat yang tersedia ada beberapa jenis, selebihnya hanya berbeda warna saja.
"Aku sudah menduga kamu bakal jawab begitu... Pegang ini, ya?"
Dengan nada sedikit kesal, Nagisa menghela napas lalu menyerahkan topeng rubah yang tadi dibawanya.
Setelah menyerahkan topeng itu kepadaku, Nagisa mulai melihat-lihat kostum sambil bergumam, "Putih... atau mungkin hitam juga cocok?"
Akhirnya, setelah memilih desain dan warna, kami mengambil kostum yang didominasi warna putih.
"Kalau begitu, coba pakai kostum ini, oke? Di sana ada ruang ganti, mungkin staf akan membantumu."
"Kalau kamu?"
"Aku akan menyusul nanti, jadi tunggu saja di depan ruang gantinya"
"Siap."
Melihat punggung Nagisa yang berjalan ke arah area kostum wanita, aku pun menuju ruang ganti.
Dibantu mengenakan kostum oleh staf yang ada di tempat yang diarahkan Nagisa, aku berdiri sambil mengenakan kostum yang belum terlalu biasa kupakai, memegang topeng rubah di satu tangan, dan menunggu Nagisa.
"Bagaimana? Ksatriaku?"
Nagisa keluar dari salah satu ruang ganti dan berdiri di depanku, memperlihatkan kostumnya yang mewah sambil sedikit memiringkan tubuh, seolah ingin melihat reaksiku.
"Itu sangat cocok, Tuan Putri."
Sambil mengenakan topeng yang kugenggam di tangan kiri, aku mengambil tangan Nagisa dan dengan sengaja melontarkan kata-kata genit. Mendengar itu, Nagisa pun tersenyum puas.
"Baiklah, kamu boleh mendekat."
Setelah berkata begitu dengan penuh kebanggaan, ekspresinya berubah menjadi seringai nakal.
"Terus? Bagaimana? Jadi jatuh cinta lagi sama aku?"
"Sepengetahuan ku, aku tak pernah jatuh cinta sejak awal."
Dari sikapnya yang tadinya bak seorang putri bangsawan, Nagisa langsung berubah menjadi gadis SMA biasa.
"Hmm~? Masa sih? Siapa tahu di balik topeng itu kamu malah grogi sekali?"
"Biasa saja."
"Masa~?"
Sambil berkata begitu, Nagisa perlahan melepas topeng dari wajahku.
"…Biasa saja, ya..."
"Aku sudah terbiasa dengan godaan kecil semacam ini."
"Membosankan, ah~"
Nagisa sengaja mengerucutkan bibirnya seolah kecewa, tapi tiba-tiba merubah wajahnya dengan ekspresi ceria. Dia lalu berbalik dan menyapa siswa di dekatnya.
"Maaf, boleh minta tolong fotoin kami berdua?"
Dia mengambil ponselnya dari tas sekolah yang diletakkan di dekat situ, lalu menyerahkannya kepada siswa yang dengan senang hati menerima permintaan itu.
"Kalau begitu, Yuto, gendong aku selayaknya putri!"
"…Seriusan?"
Permintaan yang terdengar seperti candaan itu membuatku tanpa sadar bersuara kebingungan.
"Serius, super serius."
Apakah dia lupa bahwa ada siswa lain yang melihat? Atau mungkin sebagai calon aktris, dia memang tak merasa risih dilihat orang?
Saat aku masih berpikir seperti itu, siswa yang memegang ponsel sudah siap mengarahkan kameranya ke kami, menunggu.
Tak ada waktu untuk berpikir lama...
Aku menghela napas dalam-dalam, lalu bergerak ke belakang Nagisa untuk mengangkatnya seperti seorang putri.
"Eh, padahal aku mau bilang---"
Nagisa sempat hendak mengatakan sesuatu, tapi aku memotongnya dengan gerakan, menyelipkan satu tangan di pinggangnya dan satu lagi di bawah pahanya.
"Oke, aku angkat, ya?"
"T-tunggu sebentar...!"
Memberi aba-aba, aku mengangkat Nagisa dengan cepat. Seketika lengannya melingkar di leherku, membuat kami dalam posisi saling berpelukan.
"Tak perlu berpegangan sekuat itu, aku nggak akan menjatuhkanmu kok..."
Aku bukan orang yang lemah, dan lagi, Nagisa juga cukup ringan.
"...Sudah, diam!"
Entah kenapa, dia malah melampiaskan kemarahan tidak masuk akal padaku sambil menekan topeng rubah ke wajahku, membuat seluruh pandanganku menjadi gelap.
"Aku nggak bisa lihat apa-apa, tahu..."
"Yuto, diam saja! ...Dan, tunggu sebentar ya untuk fotonya!"
Dari suara yang kudengar, aku bisa merasakan kemarahan Nagisa.
Meski kata-katanya sopan, nada bicaranya ke siswa yang mau mengambil foto terdengar agak galak.
Kami dibiarkan menunggu sekitar sepuluh detik. Setelah terdengar suara napas panjang, Nagisa akhirnya membetulkan posisi topeng yang tadi asal ditempelkan ke wajahku, membuat pandanganku cerah kembali.
"...Oke, sekarang tolong fotokan."
Meski kemarahannya sudah mereda, Nagisa masih menunjukkan wajah masam.
Namun, entah kenapa, siswa yang memegang ponsel justru tersenyum ramah, bersiap-siap mengambil foto kami...
Previous Chapter | ToC |
Post a Comment