Penerjemah: Hanzel
Proffreader: Rion
Chapter 1
Tanpa Disadari, Garis Pertemanan Telah Terlampaui
"…Bangun, deh."
Hari upacara masuk sekolah, alarm yang tak pernah berbunyi selama liburan musim semi kini memaksaku untuk bangun.
Aku menyingkirkan selimut musim dingin yang sedikit berat, lalu membuka tirai di samping tempat tidur. Sinar matahari yang sudah tinggi di langit spontan menyambut mataku.
"Silau..."
Matahari yang bersinar di langit biru tanpa awan seakan memberkati para siswa yang akan memulai kehidupan baru mereka.
Para kepala sekolah di seluruh negeri yang melihat matahari ini mungkin akan menambahkan kalimat pembuka "Ditemani sinar hangat musim semi" pada naskah yang mereka selipkan di saku dada mereka.
"Selamat pagi, bu."
"Selamat pagi... Wah, wajahmu kelihatan lebih dewasa dari kemarin. Mungkin karena kamu sudah jadi anak SMA, ya?"
"Dalam sehari nggak mungkin ada yang berubah."
Sambil menangkis candaan Ibu yang dilemparkan ke kepalaku yang masih penuh kantuk, aku mulai menyantap sarapan yang tersaji di meja dengan gerakan otomatis.
"(---Selanjutnya, kita akan membahas tentang film yang akan tayang bulan depan...)"
Mendengarkan program berita pagi layaknya radio, aku menyelesaikan sarapan dan bersiap-siap. Setelah itu, aku mengenakan seragam yang masih sedikit kebesaran---ciri khas siswa baru.
"…Hmm! Seperti yang kuduga, karena mewarisi darah Ayahmu, kamu bisa memakai apa saja dan tetap terlihat cocok!"
"Ibu, tolong hentikan kebiasaan mengatakan itu setiap kali aku mengenakan sesuatu."
Saat keluar dari kamar dan kembali ke ruang tamu, aku disambut oleh Ibu yang tersenyum senang.
Aku bertanya-tanya apakah ini yang disebut sebagai "orang tua yang terlalu membanggakan anaknya," lalu mengangkat tas sekolah baru yang diletakkan di kursi.
"Kalau begitu, aku berangkat."
"Hati-hati di jalan."
Mendengar suara itu di belakangku, aku melangkah menuju lift yang ada di ujung lorong, mengusir kantuk yang masih tersisa dengan cahaya matahari.
Hal-hal yang biasa kulakukan saat keluar rumah terasa sedikit istimewa karena ada embel-embel "hari pertama masuk SMA." Mungkin, jauh di dalam hati, aku juga merasa bersemangat.
"Pagi~!"
Pikiran itu buyar seketika saat sebuah benturan terasa di punggungku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat tas sekolah baru yang kemungkinan besar telah menabrakku.
"Kamu semangat sekali ya, pagi-pagi begini."
"Astaga! Yuto, kalau seseorang mengucapkan selamat pagi, balaslah dengan selamat pagi juga!"
"…Selamat pagi, Akari."
"Bagus!"
Gadis yang tinggal di lantai yang sama denganku---Hotta Akari.
Sejak sebelum aku bisa mengingatnya, kami sudah selalu bersama---hubungan yang biasa disebut sebagai teman masa kecil. Sejak kecil hingga sekarang, dia tetap saja seperti bola energi yang tak ada habisnya.
"Melihatmu rasanya seperti menyerap semua energiku…"
"Ahaha! Kalau aku menyerap energimu, aku malah jadi kehabisan tenaga juga!"
"…Jadi, energiku ini racun atau apa?"
Dengan jarak yang tak pernah berubah sejak kecil, aku mengikuti ritme Akari yang selalu ceria sambil masuk ke dalam lift yang telah kami capai.
"Itu sih karena kamu orangnya kurang stamina, Yuto! Harusnya kamu itu latihan biar lebih kuat, nih coba bawain!"
Mengatakan itu, Akari menyodorkan tas sekolahnya kepadaku. Tanpa banyak bicara, aku menerimanya. Aku sudah tahu sejak bertahun-tahun lalu kalau melawan hanya akan sia-sia.
"Ngomong-ngomong, aku agak khawatir… Kira-kira aku bisa dapat teman, nggak ya?"
"Kalau kamu sampai nggak dapat teman, berarti nggak akan ada orang di dunia ini yang bisa berteman."
"Eeh? Tapi tetap saja aku khawatir, tahu? Aaah, andai saja kita bisa sekelas…"
"Kita kan beda jurusan, itu mustahil."
Sembari menekan tombol buka saat lift sampai di lantai dasar, aku menjawab. Akari pun keluar lebih dulu sambil menggumam, "Iya sih, aku tahu…"
Sekolah kami, SMA Swasta Ichiyou, adalah sekolah besar dengan lebih dari seribu siswa per angkatan. Di dalamnya, ada berbagai jurusan seperti jurusan reguler, akademik, musik, dan hiburan (performing arts).
"Ngomong-ngomong, kenapa Yuto nggak masuk jurusan hiburan saja? Memang sih sifatmu pendiam, tapi dengan wajah itu, kuyakin pasti gampang masuknya!"
"Setidaknya sebut 'cool' atau apalah, jangan sebut aku 'pendiam'. Lagipula, aku sudah bilang sebelumnya, kan? Aku nggak suka terlalu menonjol dan cuma mau hidup biasa-biasa saja."
"Sayang sekali, tahu… Tapi yah, mungkin di jurusan akademik, bakal banyak anak-anak sepertimu, jadi mungkin lebih gampang buatmu dapat teman."
Aku merasa dia baru saja meremehkan jurusan akademik, tapi kalau aku terlalu ambil pusing dalam hal ini, itu takkan ada habisnya, jadi aku memilih membiarkannya saja.
"Ohh ya, menurutmu aku kelihatan cocok banget pakai seragam ini, kah!?"
Sambil berkacak pinggang, Akari memamerkan seragamnya dengan penuh percaya diri.
Aku tak pernah sekalipun berpikir bahwa pakaian yang dia kenakan tidak cocok dengannya. Malah, wajahnya begitu menawan sampai-sampai sulit menemukan orang seusianya yang bisa dibandingkan dengannya.
Sepertinya dia pun sadar akan hal itu, karena ekspresi penuh percaya diri yang selalu ia pasang semakin memperkokoh pesonanya.
"Kalau aku tak memujimu, pasti bakal marah, kan? Yah, lagipula memang cocok sih."
Dengan bangga, dia mengangkat dagunya sedikit, menempelkan tangannya ke dada, dan tersenyum penuh kemenangan.
"Kalau mau jadi idol, minimal harus bisa kelihatan bagus pakai pakaian apa pun!"
Sejak kecil, Akari selalu dengan lantang menyatakan bahwa ia ingin menjadi seorang idol. Maka dari itu, tanpa ragu, ia memilih untuk masuk ke jurusan hiburan.
Mungkin ini hanya pandangan subjektif karena kami teman masa kecil, tetapi menurutku keceriaan yang dimiliki Akari memang sangat mirip dengan para idol di televisi yang mampu memberikan semangat kepada orang lain.
Saat kami berjalan di sepanjang rute menuju sekolah, jumlah siswa berseragam yang sama mulai bertambah.
Seiring dengan itu, jumlah tatapan yang tertuju pada kami… atau lebih tepatnya, pada Akari, juga semakin meningkat.
Wajahnya yang cantik dalam sekali pandang, serta kulit seputih salju yang pasti akan membuat gadis-gadis seusianya iri, menarik perhatian siapa pun yang lewat.
"Ah, rasanya aku bisa mulai rileks sekarang," katanya.
"…Begitu ya," jawabku.
Aku hanya bisa mendesah melihat bagaimana dia bisa mengatakan hal seperti itu meskipun tatapan yang tertuju padanya terus bertambah. Tapi setidaknya, melihatnya tetap santai seperti biasa membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Sambil bercakap-cakap seperti biasa dengan Akari, akhirnya kami sampai di depan gerbang sekolah yang besar, dengan papan bertuliskan "SMA Swasta Ichiyou". Jumlah siswa yang berlalu lalang jauh lebih banyak dibanding saat SMP, cukup untuk menandakan bahwa hari baru telah dimulai.
Sebagai sekolah dengan ribuan siswa, tentu saja luasnya sangat mengesankan. Setelah berjalan melewati halaman yang luas dan memasuki area sekolah, kami akhirnya tiba di gedung untuk siswa kelas satu, yang berada paling belakang di antara gedung-gedung lainnya. Rasanya seperti baru saja menyelesaikan jalan-jalan kecil.
Gedung ini terletak di bagian utara kompleks sekolah dan dibagi menjadi dua bagian utam; gedung pelatihan, yang lebih sering digunakan oleh siswa jurusan hiburan dan musik, serta gedung akademik, tempat ruang-ruang kelas untuk pelajaran umum berada.
Setelah berpisah dengan Akari di tangga---karena ruang kelasnya berada di lantai atas---aku berjalan sendirian melewati lorong lantai satu, tempat kelas-kelas jurusan reguler dan akademik berada.
Di ujung lorong, terdapat ruang kelas khusus untuk jurusan akademik---satu-satunya di antara siswa kelas satu, yakni Kelas 1-1.
Di depan pintu kelas, aku melihat ada daftar tempat duduk yang tertempel.
Baris pertama di sisi jendela, kursi kedua dari depan.
Sejak dulu, karena memiliki nama keluarga "Aoi", aku selalu menduduki nomor satu dalam daftar kehadiran. Namun, tampaknya "rekor tak terkalahkan" itu berakhir begitu masuk SMA.
Merasakan betapa ketatnya persaingan di sekolah ini, aku berjalan menuju kursiku sambil melirik meja-meja baru yang sebagian besar masih kosong.
Karena ini adalah hari pertama, suasana kelas masih sangat hening.
Begitu aku duduk, pandanganku langsung tertuju pada jendela di sebelah kiri. Dari sana, terlihat halaman luas dengan air mancur yang berada tepat di tengah---sebuah pemandangan yang entah bagaimana, membuat hatiku merasa lebih tenang.
Meskipun jumlah siswa di dalam kelas tidak sedikit, percakapan masih jarang terjadi---mungkin karena hampir semuanya adalah orang baru. Suasana yang tenang ini hanya diisi oleh suara percakapan kecil yang masih terasa canggung, serta suara air mancur dari luar jendela.
Sementara itu, di kursi tepat di depanku, duduklah pemilik nomor absen satu, Aida-san. Berbeda dengan suasana tegang yang terasa di kelas, dia tampaknya sama sekali tidak terganggu. Rambut hitam panjangnya berkibar tertiup angin musim semi dari jendela, sementara matanya terfokus pada sebuah buku saku dengan sampul cokelat tua.
Saat aku tanpa sadar memperhatikan sosoknya, seorang guru wanita yang tampaknya adalah wali kelas kami masuk melalui pintu depan kelas.
Sepertinya tak banyak waktu tersisa sebelum upacara pembukaan dimulai. Setelah mendengarkan perkenalan singkat dari wali kelas, kami segera dibawa ke aula acara tempat upacara penerimaan siswa baru akan berlangsung.
Aula ini cukup luas untuk menampung sekitar dua ribu orang. Kabarnya tempat ini bahkan sering digunakan untuk berbagai keperluan, seperti acara sekolah atau ujian siswa jurusan musik.
Sesuai instruksi wali kelas, aku duduk di kursi yang terasa cukup empuk, menunggu acara dimulai. Sambil mengamati betapa luasnya gedung ini---sesuatu yang jarang kulihat dalam kehidupan sehari-hari---seorang pria tua yang tampaknya adalah kepala sekolah naik ke panggung bersama dua siswi.
"---Di bawah sinar matahari musim semi yang hangat…"
Seperti biasa dalam acara semacam ini, kepala sekolah memberikan sambutan klise. Aku mendengarkan, lalu mengalihkan pandangan ke dua siswi yang berdiri tepat di belakangnya.
Salah satunya adalah teman sekelasku---Aida-san, yang duduk di depan tadi.
Setelah kepala sekolah menyelesaikan pidatonya, ia menyerahkan mikrofon kepada Aida-san, yang mulai menyampaikan pidato perwakilan siswa baru dengan suara jernih dan tenang.
Dia tak terlihat gugup sama sekali. Cara bicaranya yang lancar dan percaya diri semakin mempertegas kesan bahwa dia adalah seseorang yang cerdas.
Setelah Aida-san, giliran seorang siswi dari jurusan hiburan diperkenalkan---Minase Nagisa.
Kabarnya, dia telah aktif sebagai aktris cilik sejak kecil dan kini dikenal sebagai aktris remaja yang masih aktif di dunia hiburan.
Saat aku mendengar namanya, samar-samar aku mengingatnya. Kurasa aku pernah melihatnya di drama atau acara variety show yang ditonton oleh ibuku.
Aku juga ingat bahwa beberapa tahun lalu dia pernah beradu peran dengan ayahku dalam sebuah drama. Nama dan citra masa kecilnya masih tersimpan dalam ingatanku, tetapi aku tak menyangka bahwa dia masih aktif berkarier di dunia hiburan hingga sekarang.
Begitu mikrofon berpindah dari Aida-san ke Minase-san, suasana di dalam aula langsung berubah riuh. Dari reaksi yang terdengar, bisa dipastikan bahwa popularitasnya memang luar biasa.
Tanpa sadar, aku bergumam, "Hebat juga…"
Namun, suara kecilku tenggelam di antara tepuk tangan dan suara ceria Minase-san saat dia mulai berbicara.
Beberapa waktu duduk diam selama upacara berlangsung, aku menggerakkan tubuh untuk menghilangkan kekakuan sebelum meninggalkan aula acara. Saat itulah aku menerima pesan dari Akari di aplikasi perpesanan.
{Tunggu aku di depan air mancur!}
Sepertinya air mancur di taman juga terlihat jelas dari ruang kelas Akari yang berada di lantai dua.
Aku berjalan mengitari pintu masuk sekolah, mulai mendekati air mancur, di mana aku langsung melihat wajah yang sudah kukenal sejak pagi---Akari. Namun, kali ini dia sedang berbicara dengan seorang siswi lain dengan ekspresi akrab.
Dari pita dasi biru yang dikenakannya, aku bisa menebak bahwa dia adalah siswi tahun pertama seperti kami.
Tanpa ragu, aku memilih berhenti beberapa langkah dari Akari. Menyela obrolan seorang teman dengan temannya yang tidak kukenal adalah risiko besar.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku, berniat mengirim pesan agar bisa menemuinya setelah dia selesai berbicara. Namun, sebelum sempat kuketik, si bodoh itu malah berteriak dengan lantang,
"Yuuuuto~!"
Mata para siswa di sekitar langsung tertuju padaku. Tak mungkin aku bisa kabur dengan berlari dalam situasi ini. Merasa enggan, aku terpaksa berjalan mendekati mereka.
"Yuto! Lama banget!"
"Mau bagaimana lagi… kelas satu selalu keluar terakhir dari aula."
Meski alasanku sangat masuk akal, Akari tetap mengerucutkan bibir dan mengeluh, "Mou~!" Tapi tak lama kemudian, ekspresinya langsung berubah ceria saat ia menoleh ke temannya dan memperkenalkanku.
"Oh iya! Ini Yuto, teman masa kecil yang tadi kuceritakan!"
Aku memberi anggukan kecil sebagai salam, dan Akari melanjutkan dengan antusias, "Dan ini Murai Hinata-chan! Aku baru saja berteman dengannya hari ini! Dia sekelas denganku dan bercita-cita menjadi seorang aktris!"
"Uh… senang bertemu denganmu…"
"Hinata-chan, tolong jaga Yuto baik-baik, ya? Mungkin dia lagi sedih karena belum punya teman~"
"…Diam, aku akan mencarinya besok."
"Ehh, beneran belum punya?"
Akari menatapku, menyeringai jahil seolah ingin menggodaku. Saat aku sibuk meladeni ejekannya, aku mendengar Murai-san bergumam pelan.
"…Akari-chan, ada yang tak beres di sini."
"Hmm? Apa?"
"Dia tampan!"
Aku menatap heran saat dia mengepalkan tangan dan mulai gemetar dengan ekspresi yang… entah marah atau terkejut.
"Ya… mungkin. Tapi kenapa?"
"Biasanya kalau seseorang dibilang pendiam dan kutu buku sampai bisa masuk kelas khusus akademik, mereka itu lebih… kelihatan cupu! Minimal pakai kacamata, begitu!"
Melihat bagaimana Murai-san berusaha keras menjelaskan ketidakpuasannya dengan penuh semangat, aku tiba-tiba merasa bahwa pepatah "apapun yang sejenis akan saling tarik menarik" memang benar adanya.
Orang aneh memang selalu menarik orang aneh lainnya.
"Aku tak suka laki-laki tampan! Wajah mereka itu seperti bilang 'hidup ini gampang banget'---aku benar-benar nggak tahan! Dan kamu juga pasti begitu, Teman Masa Kecil-san!" (PF/N: Disini Hinata manggil Yuto, Osananajimi-san.)
"Aku sama sekali tak punya pikiran seperti itu, kok…"
"Bohong! Pasti kamu berpikiran begitu! Lihat saja wajahmu, ditambah lagi kamu pintar, pasti sudah dikelilingi banyak perempuan, kan?! Menjijikkan!"
"Haaah…"
"Kamu masih saja tak mengerti, ya!? Lihat baik-baik! Lihat wajahku ini! Aku marah, tahu!?"
Aku pun menatap wajahnya, seperti yang dia minta. Namun, dengan fitur wajah yang tak kalah imut dari Akari, serta tubuh mungil yang bahkan mungkin lebih kecil dari anak SMP itu, ekspresi kesal yang ia buat malah lebih terlihat seperti ancaman dari anak anjing kecil di mataku.
"Waah! Jangan mendekat seperti itu! Laki-laki tampan dalam jarak dekat itu benar-benar racun bagi mataku!"
Melihat ucapannya yang terus berubah-ubah, aku tanpa sadar menghela napas.
"…Akari, kamu berhasil menemukan teman yang luar biasa, bukan?"
Aku mengatakannya dengan nada penuh sarkasme, tapi si teman anehku ini malah memasang wajah benar-benar bahagia seraya menjawab, "Benar, kan!? Benar, kan!?"
…Sepertinya, bagi orang-orang aneh, sarkasme itu terdengar seperti pujian.
🔸◆🔸
"Tapi tetap saja, ini bukan seperti yang kubayangkan."
"Apa yang tak sesuai harapanmu?"
Saat berjalan pulang di sepanjang jalan menuju rumah, Akari tiba-tiba bergumam.
Ngomong-ngomong, Murai-san yang katanya akan main ke rumah Akari, masih menatapku dengan tatapan waspada---atau lebih tepatnya, menatap tajam seperti seekor kucing liar yang baru pertama kali bertemu orang asing.
Tunggu, sejak awal, bagaimana caranya mereka bisa sampai ke tahap saling main ke rumah teman di hari pertama sekolah?
"Yah, begini ya? Aku memang nggak punya niatan buat pacaran karena mau jadi idol, tapi tetap saja, kelihatannya di kelas hiburan pasti bakal banyak laki-laki keren, kan? Jadi, aku sempat... agak menantikannya."
"Kalau aku sama sekali tak menantikannya! Sama sekali! Aku memang masuk kelas hiburan demi mengejar mimpiku, tapi seperti yang kuduga, kebanyakan orang di sana kelihatan sembrono!"
"Sembrono…? Istilahnya jadul sekali…"
Murai-san, yang masih bersembunyi di balik Akari sambil mengamati situasi, sepertinya benar-benar tak suka dengan orang-orang "keren". Wajahnya dipenuhi kebencian yang seolah-olah mencerminkan kejadian-kejadian yang ia alami hari ini dengan teman-teman sekelasnya.
"Terus, apa yang bikin kamu kecewa, Akari?"
"Bukan kecewa sih… hanya saja, mereka ternyata lebih kekanak-kanakan dari yang kubayangkan. Maksudku, rasanya kecil kemungkinan bisa mengalami kisah cinta ala-ala manga shoujo… itu agak mengecewakan."
"Ngomong-ngomong, kenapa Teman Masa Kecil-san masuk kelas akademik? Dengan wajah menyebalkan seperti itu, pasti bisa mendominasi kelas hiburan juga, kan?"
"Namaku Yuto. Aku masuk kelas akademik karena memang nggak tertarik. Lagipula, aku cukup percaya diri dengan usahaku dalam belajar, dan aku tak mau hidup hanya mengandalkan DNA yang diberikan orang tuaku."
"Benar, sih. Lagipula, ibu Yuto memang cantik sekali."
"Ahh... kalau begitu, ayahnya pasti sangat tampan juga. Aku jadi penasaran ingin melihatnya."
"Oh, Yuto itu nggak punya ayah, jadi mustahil melihatnya."
Akari mengatakannya dengan santai, karena ia tahu baik aku maupun ibuku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Namun, begitu mendengar fakta tersebut, Murai-san langsung mengendurkan ekspresi waspadanya, terlihat sangat menyesal.
"Ah… bukan, aku… Memang sih, aku benci laki-laki tampan, tapi aku sama sekali tak bermaksud merendahkan atau menghina seperti itu…"
Melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba, aku tanpa sadar tertawa.
"Eh, kenapa malah tertawa!? Aku benar-benar merasa bersalah di sini!"
Meski kelihatan sedikit lega karena aku tidak tersinggung, Murai-san tetap mengekspresikan amarahnya dengan gestur tubuh yang besar, lalu menatapku dengan ekspresi tak puas.
"Maaf, maaf. Aku benar-benar tak masalah kok. Tapi ternyata, meskipun sering mengomel, kamu cukup berprinsip juga."
"A-aku benci laki-laki tampan karena banyak dari mereka yang suka menyakiti perasaan perempuan! Bukannya aku ini orang jahat atau semacamnya!"
Dia berusaha semaksimal mungkin mengekspresikan kemarahannya dengan tubuh kecilnya, meskipun itu malah membuatku semakin ingin tertawa.
"Jadi intinya, kamu bukan orang jahat, ya?"
"---Yosh! Kita sampai!"
Saat kami sibuk berbincang, ternyata kami sudah tiba di tempat tujuan.
"Wah… besar sekali. Rumahku itu rumah satu lantai, jadi rasanya sedikit bersemangat melihat apartemen seperti ini."
"Eh? Nyatanya tak seenak itu, tahu? Kalau buru-buru berangkat sekolah dan malah harus menunggu lift yang datangnya lama, itu bisa membuatmu kesal!"
"Tapi punya lift di dalam tempat tinggal itu keren sekali!"
"Eh? Begitukah?"
"Ya, kalau dipakai setiap hari, pasti ada hal yang menyebalkan juga."
"Begitu, ya?"
"Murai-san kelihatan seperti tipe orang yang bakal senang naik lift, sih."
"Hei! Jangan-jangan kalian pikir aku ini anak SMP?"
"Hmm… lebih seperti anak SD, malahan."
"Itu lebih parah!"
"Oh, Hinata-chan, mau pencet tombol liftnya?"
"Bahkan Akari-chan juga!? Tentu saja mau!"
Dengan ekspresi kesal, dia menekan tombol lift dengan penuh semangat.
Melihatnya begitu marah---atau mungkin lebih tepatnya malu---hingga pipinya sedikit memerah dan menggembung, aku dan Akari hanya bisa tertawa. Tapi anehnya, saat pintu lift terbuka, dia dengan sigap menekan tombol "Buka" agar kami bisa keluar lebih mudah.
"Eh? Teman Masa Kecil-san juga turun di lantai ini?"
"Tentu saja, aku tinggal di lantai yang sama… Dan namaku Yuto, tahu? Apa-apaan panggilan 'Teman Masa Kecil-san' itu?"
"Hmm… aneh rasanya kalau langsung memanggil nama tanpa embel-embel begitu, rasanya terlalu sok akrab…"
"Aku tak keberatan, kok. Panggil saja Yuto."
"Ah… umm… err…"
"Oh ya, nama belakang Yuto itu Aoi, lho!"
"Kalau begitu, aku panggil Aoi-kun saja!"
Dia dengan cepat memanggilku dengan nama keluarga, seolah-olah itu adalah cara terbaik untuk menghindari menyebut nama depanku.
Apakah aku yang terlalu sok akrab? Mungkin memang terlalu cepat untuk membangun kedekatan seperti ini, kecuali kalau punya bakat komunikasi alami seperti Akari…
"Duh! Yuto, kamu harus lebih peka! Hinata-chan pasti malu menyebut nama depanmu!"
"Eh? Tapi dia bahkan bisa memanggilmu Akari…"
"Kalau laki-laki itu beda lagi urusannya!"
"Haa, Yuto. Sekeren apa pun wajahmu, kalau kamu tak peka sama perasaan perempuan, nggak bakal ada yang mau jadi pacarmu, lho?"
"Itu bukan urusanmu…"
Di depan unit apartemen Akari---yang terletak sedikit sebelum unit milikku---mereka berhenti.
"Ini rumahku (unit/bilik apartemen)!"
"Hmm… jadi ini tempat tinggal Akari-san yang itu, ya…"
Entah "Akari-san" yang mana yang dia maksud, tapi melihat mereka mulai mengobrol dengan semangat, aku tahu ini saatnya untuk mundur.
"Baiklah, sampai jumpa besok, Akari. Murai-san juga."
"Iya! Sampai besok!"
"Ah, terima kasih untuk hari ini."
Dengan suara perpisahan mereka di belakangku, aku berjalan menuju rumah dan hendak membuka pintu.
"Ah."
"Kenapa?"
Aku samar-samar mendengar suara mereka dari belakang.
Kami sudah mengucapkan selamat tinggal, jadi kalau aku terus mendengarkan, Akari pasti bakal menuduhku menguping.
Aku memutuskan untuk tak peduli dan mulai membuka pintu.
"Ah, Yuto!"
Aku tak menyangka dia masih akan memanggilku.
"Apa?"
"Aku lupa kalau mama dan papa lagi nggak di rumah, dan aku juga lupa bawa kunci cadangan…"
"…Terus?"
"Errr.... Boleh masuk rumahmu sebentar?"
Aku hanya bisa menghela napas melihat kebodohan teman masa kecilku ini.
"Ya sudah, kemarilah…"
"Umm… aku lebih baik pulang saja, ya?"
"Nggak usah! Sudah jauh-jauh datang, sekalian saja mampir! Toh, tata letak rumah Yuuto sama kayak punyaku, jadi rasanya bakal seperti di rumah sendiri!"
"Hei, sejak kapan kamu jadi pihak yang memberikan izin?"
"Apa… benar tak apa? Aku kan baru pertama kali bertemu kalian…"
"Santai saja. Lagipula, kalau aku menyuruhmu pulang sekarang, malah akan terasa nggak enak. Lebih baik masuk saja."
"Kalau begitu… permisi…"
"Silakan."
Aku membuka pintu, mengundang mereka untuk masuk. Begitu pintu tertutup, terdengar suara langkah kaki mendekat dari dalam rumah.
"Selamat datang… Oh, Akari-chan dan…"
"Permisi…"
"…Pacarmu!?"
"Tentu saja bukan. Dia teman Akari."
"Yah, benar juga, Yuto mana mungkin punya nyali cukup besar buat bawa pacar ke rumah di hari pertama sekolah."
Ibu menyimpulkan hal itu seolah-olah semuanya sudah jelas, dan meskipun terdengar agak menyinggung, aku tak bisa membantahnya. Kalau pun aku punya pacar, aku juga tidak akan cukup berani untuk membawanya ke rumah.
Setelah pindah ke ruang tamu, Murai-san dan aku duduk di kursi makan dengan sikap kaku seperti kucing yang baru tiba di tempat asing, sementara Akari, tanpa sedikit pun beban, sudah bersantai di sofa. Perbedaan suasana ini hampir membuatku masuk angin.
Ibu datang membawakan minuman---teh untukku dan Murai-san, sementara untuk Akari, dia malah menyiapkan kotak jus jeruk yang sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Tapi, ibu lega juga. Meski perkenalannya lewat Akari-chan, akhirnya Yuto punya teman. Ibu sempat khawatir, tahu? Soalnya, Yuto kan anaknya agak pendiam, jadi ibu takut kalau bakal susah dapat teman."
Sambil berkata demikian dengan ekspresi lega, ibu menyerahkan jus ke Akari, yang menerimanya sambil menggeliat nyaman di sofa.
"Makasih, Yuuto-mama~"
…Dia kelihatan lebih santai di sini daripada di rumahnya sendiri, bukan?
Saat aku berpikir seperti itu, tiba-tiba Murai-san---yang duduk di sebelahku dengan sikap serba salah---menarik lengan seragamku dengan ragu.
"Um… kita ini… teman, ya?"
"…Entahlah."
Sebenarnya, dari mana batasan seseorang bisa disebut sebagai teman?
Bagi orang dengan kemampuan komunikasi yang tidak terlalu baik seperti aku, ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab.
Inti dari kebingungan ini sebenarnya lebih kepada, "Apakah dia bakal merasa terganggu kalau aku menganggapnya sebagai teman?"
Batas antara teman dan bukan teman itu seperti batasan antara malam dan pagi---selalu samar dan membingungkan.
"Menurutmu, dari mana seseorang bisa disebut teman?"
"Hmm… mungkin kalau kita sering ngobrol di sekolah?"
"Kalau begitu, apa kita teman?"
"…Mungkin?"
"Oh begitu. Ibu, ternyata secara teknis, kami belum bisa dibilang teman. Jadi, kesimpulannya hari ini aku tetap belum punya teman."
"Oh… begitu ya… Yah, tidak apa-apa! Masih ada hari esok! Pasti nanti akan---"
"Kami teman! Kami teman, kok! Iya, kan!?"
Murai-san tiba-tiba mengoreksi perkataanku dengan penuh semangat, sambil menggerakkan tangan seolah ingin memastikan ibu tak merasa kasihan padaku.
"Jadi, kita teman sekarang?"
"Kamu sengaja membuatku mengatakannya, ya…?"
"Jujur saja, aku memang ingin punya teman."
"Kalau begitu, bilang saja sejak awal… Kamu ini pengecut sekali!"
Meskipun tertawa kecil saat mengatakan itu, tapi tetap saja, dari cara bicaranya dia masih terlihat seperti seekor kucing yang malu-malu.
🔸◆🔸
"Seperti yang kuduga, kapan pun aku datang ke sini, rasanya nyaman sekali~"
Setelah mengobrol sebentar, sesuai usulan Akari, kami akhirnya pergi ke kamarku.
Akari, yang secara rutin mengunjungi kamarku, tanpa ragu merebahkan diri di sofa tipe yang "membuat siapa saja merasa ingin bermalas-malasan"---yang dulu pernah ia bawa sendiri.
"Ayo, Hinata-chan juga sini! Ini punyaku, lho."
"Kenapa barang pribadi Akari-chan ada di kamar Aoi-kun...?"
Meskipun berkata begitu, dia terlihat penuh rasa ingin tahu saat ia ikut berbaring di samping Akari.
Sofa berukuran cukup besar itu tampak nyaman bahkan untuk dua orang yang berbaring bersamaan.
"Yah, aku sering datang ke sini kalau lagi senggang. Oh, manga dan game di situ juga punyaku."
Di rak buku yang terpisah dari novel dan buku referensi, hampir seluruhnya dipenuhi koleksi manga milik Akari.
Sementara itu, di TV yang kubeli tahun lalu untuk menonton film, konsol game milik Akari sudah tersambung sejak hari pertama.
"Kalian akrab sekali, ya... Biasanya perempuan pasti bakal lebih canggung kalau masuk ke kamar laki-laki..."
"Ah, tapi tadi sebelum masuk, Hinata-chan memang kelihatan tegang, ya~"
Sambil tertawa, Akari mengambil sebuah manga dari rak.
"Jangan ditertawakan! Wajar saja, kan? Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar laki-laki selain milik adikku..."
"Tapi buatku, Yuto itu memang sudah seperti adik sendiri! Jadi rasanya nggak beda jauh sih~"
"Kenapa begitu? Aku lahir duluan darimu, tahu."
"Ah, ya, ya, kau bawel sekali... 'Onii-chan'---nah, puas?"
"Aku bukan memintamu memanggil begitu, itu cuma fakta saja."
"Kalian berdua selalu seperti ini...?"
Untuk kesekian kalinya melihat interaksi serupa, Murai-san bertanya dengan ekspresi setengah bingung, setengah pasrah.
"Yuto yang selalu mulai duluan~"
"Kalau kamu memperhatikan tingkahnya dari awal, kamu pasti langsung paham. Dia itu orang aneh."
"Benar juga. Akari-chan memang agak aneh. Kurasa kali ini Aoi-kun yang benar."
"Eh~? Kenapa Hinata-chan lebih membela Yuto?"
"Soalnya, begitu pertama kali ketemu langsung bilang ‘Lucu! Hari ini main ke rumahku, yuk!’ Itu saja sudah nggak normal. Aneh, benar-benar aneh."
Seperti yang diharapkan dari seseorang yang bercita-cita jadi aktris, caranya menirukan nada suara dan gerakan Akari begitu mirip hingga aku bisa langsung membayangkan kejadiannya. Tanpa sadar, aku tertawa.
"Akari memang selalu begitu, di mana pun itu."
"Eh~? Aku seaneh itu?"
"Jelas sekali."
"Iya, aneh."
Mendengar jawaban kami berdua, Akari memasang ekspresi seolah terdengar suara "Gaaaan" di latar belakang.
"Tapi menurutku, justru itu yang jadi poin plus dari Akari."
"Yutooo...!"
Saat sedang merasa down, sifatnya yang selalu santai itu kadang justru bisa jadi penyelamat.
Perbedaan seseorang dari orang lain adalah bagian dari kepribadian, dan itu bisa menjadi sebuah kelebihan.
"Yuto memang 'Onii-chan' yang baik! Sebagai ucapan terima kasih, aku mengizinkanmu ikut main game yang mau aku dan Hinata-chan mainkan! Ambil kontrolernya, nyalakan gamenya! Oh, pilih yang balapan, ya!"
"Kenapa aku yang harus menyiapkan semuanya... Hey, Murai-san, pernah main ini sebelumnya?"
"Ah, aku cuma pernah lihat adikku main..."
"Berarti ini kali pertama main, ya... Mungkin lebih mudah pakai setir."
Saat pertama kali ada konsol di rumah, aku kesulitan beradaptasi dengan kontroler biasa, jadi aku membeli kontroler berbentuk setir mobil sendiri. Aku mengambilnya, dan mulai menjalankan game.
.
.
.
"---Dan lagi-lagi aku juara satu~!"
"Kamu itu... Murai-san kan masih pemula, setidaknya beri dia kesempatan..."
"Yah, kalau begitu... Aku dan Hinata-chan bakal satu tim, kita hajar Yuto habis-habisan!
"Bukannya malah aku yang jadi korban di sini?"
Tapi kalau itu bisa membuat Murai-san lebih menikmati gamenya, ya sudahlah. Aku pun membagi tim.
"Oh ya, Yuto. Besok makan siang di kantin?"
"Rencananya begitu."
SMA Swasta Ichiyo, yang menampung ribuan siswa, memiliki kantin yang dibagi berdasarkan tingkatan kelas. Pilihan menunya beragam, rasanya enak, harganya terjangkau---kombinasi yang membuatnya sangat populer di kalangan siswa. Bahkan, ada yang sengaja masuk ke Ichiyo hanya demi kantinnya saja.
"Hinata-chan biasanya bawa bekal, tapi besok dia mau makan di kantin, jadi Yuto juga ikut, oke?"
"Aku? Boleh?"
"Soalnya kalau kamu sampai makan sendirian dengan wajah sedihmu itu, nanti aku jadi nggak nafsu makan kalau membayangkannya."
"Mana mungkin aku makan dengan wajah sedih..."
"Murai-san, nggak keberatan?"
"Ah, aku tak keberatan sama sekali. Aku rasa lebih seru kalau bertiga."
Sambil menjawab, Murai-san menunjukkan kebiasaan khas pemula---ikut memiringkan tubuhnya saat memutar setir di game.
Melihatnya begitu tenggelam dalam permainan, aku sampai khawatir dia bakal jatuh dari sofa suatu saat nanti.
"Kalau begitu, aku ikut makan bareng kalian..."
"Oke! Mau ketemuan langsung di kantin?"
"Tak perlu, nanti malah bingung mencari satu sama lain. Aku saja yang menjemput kalian ke kelas."
"Oke, kamu tahu kelasnya? Paling ujung di lantai dua, ya."
"Siap, paham."
🔸◆🔸
"Fuaaah~..."
Waktu melompat ke pagi hari sebelum pelajaran pertama dimulai keesokan harinya.
Sinar matahari musim semi yang tetap hangat menyelinap masuk melalui jendela, sukses membangkitkan kembali rasa kantukku yang hampir hilang saat berangkat ke sekolah.
"Hei, apa fetishmu?"
Sambil melihat-lihat suasana kelas yang mulai ramai dengan suara obrolan, aku bertanya-tanya dalam hati---mungkinkah hari ini aku bisa mengobrol dengan seseorang? Harapan kecil itu mulai muncul.
"Hey? Punya fetish apa?"
Ada yang sedang mengobrol dengan teman yang baru mereka kenal, ada juga yang sudah membuka buku referensi yang jelas-jelas bukan materi kelas satu SMA, padahal mereka baru saja menyelesaikan ujian masuk.
(Kesadaran mereka akan pelajaran tinggi sekali, ya...)
"Hey? Dengar nggak?"
Baru hari kedua sekolah, tapi aku sudah menyadari satu hal.
Di kelas jurusan akademik ini, hanya anak-anak dengan nilai cukup tinggi yang diterima.
Sebagian besar dari mereka bisa mendapatkan nilai bagus karena usaha keras mereka.
Sekitar 30% dari kelas adalah tipe yang selalu membuka buku referensi---bisa dibilang kutu buku sejati.
60% lainnya termasuk tipe yang belajar secara mandiri dengan disiplin. Aku sendiri masuk ke kelompok ini.
Sisa 10%, atau mungkin 1%, atau bahkan hanya 0,1%, adalah tipe yang berbeda.
Mereka adalah para jenius... atau orang-orang aneh.
"Hey, Aoi Yuto-kun, kan? Punya fetish apa?"
"...Kita baru pertama kali ngobrol, bukan?"
"Kemarin kita sempat bertatapan, jadi ini pertemuan kedua."
"Cara menghitungnya beneran begitu?"
Seharusnya yang duduk di depan mejaku adalah Aida-san, tapi saat dia meninggalkan kursinya sebentar, seseorang dengan santainya mengambil alih tempatnya.
Aku mengenali orang ini.
Di kelas akademik yang hanya berisi tiga puluh siswa, dia adalah pemilik nomor absen tiga puluh. Yamada Souma.
Aku masih mengingatnya karena pada hari pertama masuk sekolah, dia adalah orang terakhir yang masuk kelas, nyaris terlambat.
"...Jadi? Apa tadi?"
"Ya, aku tanya, apa fetishmu?"
"Bukannya caramu mendekat ke seseorang itu aneh sekali?"
"Oh, panggil aku Souma saja."
"...Souma, biasanya kalau baru kenalan sama teman SMA, pertanyaan pertama itu lebih seperti 'Dulu SMP di mana?', kan?"
"Hah? Buat apa menanyakan begituan? Kalau mau ngobrol, mending tanya sesuatu yang bisa dipakai buat obrolan ke depannya."
"Lalu, fetish bisa dipakai buat obrolan ke depan...?"
Seumur hidupku---atau bahkan sampai kapan pun---aku pikir takkan pernah bertemu orang yang lebih aneh dan semaunya sendiri dibanding Akari, teman masa kecilku.
Tapi orang ini berada di level yang berbeda.
Dia memancarkan aura yang membuat orang tak bisa lari dari ritmenya. Seorang eksentrik di antara para eksentrik.
"Jadi, apa fetishmu?"
"...Kalau begitu apa fetishmu, Souma? Aneh rasanya kalau cuma aku yang menjawab."
"Oh, bener juga. Aku sih, suka dada."
Ternyata, meskipun dia seorang eksentrik, seleranya masih cukup umum. Bahkan lebih umum dari kebanyakan orang.
"Kamu sendiri?"
"Kenapa Kamu kepo sekali sama fetish orang lain?"
"Soalnya, saat tadi aku lihat ada laki-laki tampan sekali di kelas, aku jadi kepikiran, 'Lucu juga kalau laki-laki tampan ngomongin yang beginian.'"
Aku mencoba sebisa mungkin untuk menghindar, tapi aku yakin dia takkan membiarkanku kabur.
"Sungguh orang aneh... paha."
"Oh, begitu."
Souma merespon jawabanku dengan reaksi yang terlalu... biasa saja.
Karena reaksinya yang datar, tiba-tiba rasa malu mulai muncul dalam diriku.
Tolong berikan ekspresi kaget atau respon yang lebih jelas! Setidaknya, berikan sedikit reaksi!
Tapi aku tahu betul, dengan teman masa kecil seperti Akari, berdebat dengan orang seperti Souma itu sia-sia.
Fakta bahwa aku sampai menanggapi obrolan ini saja sudah cukup membuktikan kekalahanku.
"Bisa tidak kalian berhenti membicarakan hal-hal tak senonoh di mejaku pagi-pagi begini?"
Suara jernih yang kudengar kemarin kini terdengar lebih dingin saat pemilik kursi ini, Aida-san, kembali.
Aku langsung merasakan keringat dingin mengalir, seakan suhu tubuhku menurun drastis.
Murni hanya imajinasiku, tapi membayangkan harus menanggung tatapan penuh rasa jijik dari Aida-san selama tiga tahun karena pembicaraan konyol seperti ini membuatku sedikit merinding.
"Ah, Yume-san! Maaf, aku pinjam kursimu sebentar!"
"…Begitu. Ya sudah, aku nggak masalah."
Souma dengan santainya bangkit dari kursi, seolah tidak terlalu memikirkannya.
Melihat itu, Aida-san sepertinya juga memutuskan bahwa tak perlu memperpanjang masalah ini, lalu duduk kembali di tempatnya.
"Kalau begitu, sampai nanti, Yuto."
"A-ah… iya, sampai nanti."
Orang seperti Souma, yang aneh dan semaunya sendiri, mungkin memang pandai masuk ke dalam lingkaran pergaulan orang lain.
Selain panggilan nama yang ia lakukan dengan begitu alami, kemungkinan besar ia juga sudah menghafal nama seluruh teman sekelas hanya dalam satu hari.
Aku tak bisa menahan rasa kagum terhadapnya.
Sampai pada jam keempat berakhir, aku berhasil melewati kelas tanpa diganggu oleh teman-teman aneh, lalu segera keluar dari ruang kelas, kemudian menaiki tangga yang berada tepat di sebelah.
Aku berjalan melawan arus siswa yang menuju kantin dan taman sekolah, menuju kelas Akari.
Begitu sampai di lantai atas, aku langsung belok kiri. Kelasnya berada tepat di atas kelasku.
Dari pintu yang sudah terbuka, aku mengintip ke dalam dan melihat dua orang sedang mengobrol akrab di dekat podium.
Suasana di kelas ini terasa berbeda dibanding kelas jurusan akademik---lebih ceria dan sedikit membuatku merasa canggung untuk masuk.
Berusaha untuk tak menarik perhatian secara aneh, aku mendekati mereka dengan hati-hati.
"Oh! Akhirnya datang juga, Yuuto~"
"Kelasmu sudah selesai lebih cepat?"
"Iya. Kami tadi pergi ke gedung praktik, tapi pas jam keempat, sensei mengizinkan kami kembali ke kelas lebih awal. Katanya biar nggak terlalu ramai sewaktu di kantin."
"Hee~ Kerja bagus, kalian."
"Aoi-kun juga ya."
"Halo, ketemu lagi sejak kemarin."
"Halo juga."
"Baiklah! Saatnya berangkat!"
Aku berjalan sedikit di belakang mereka, menjaga jarak agar tak tertinggal saat menuju kantin.
"Hinata-chan membuat bekalnya sendiri, loh."
"Hebat juga."
Aku melirik tas bekal bergambar kucing yang dibawa Murai-san dan tanpa sadar mengeluarkan suara kekaguman.
"Ah, tidak juga. Rasanya tak begitu merepotkan karena aku juga sekalian membuat punya adikku juga."
"Kamu juga buat untuk adikmu?"
"Iya, karena ibu sering kerja malam, jadi sejak adikku masuk SMP, aku mulai buat bekal untuknya juga."
"Hmm~ Hinata-chan pasti bakal jadi istri yang baik di masa depan. Yuto? Ini kesempatan bagus buatmu, bukan?"
"Ah, laki-laki tampan itu suka selingkuh, jadi agak..."
"Aku bukannya lagi mencari istri. Murai-san juga, tolong jangan sembarangan menilaiku. Itu cuma bercandaan, kan?"
"Aduh~ Sekarang skornya jadi nol menang, satu kalah ya."
"Jangan seenaknya memasukan ke catatan pertandingan!"
Melontarkan candaan seperti itu, kami akhirnya sampai di kantin.
Meskipun tempat duduk sudah hampir penuh, area mesin penjual tiket dan tempat pengambilan makanan tidak terlalu ramai.
Mungkin karena sistem pemesanan yang praktis---cukup scan kode QR kartu pelajar di mesin tiket dan memesan menu pilihan---antrian jadi tidak terlalu panjang.
Karena Murai-san membawa bekal sendiri, dia menawarkan diri untuk mencari tempat duduk terlebih dulu.
"Aku cari tempat duluan, ya!"
Tinggal aku dan Akari yang mengantri di tempat pengambilan makanan.
"Yah, kalau jalan berdua sama Yuto, kita pasti jadi pusat perhatian."
"Wajar saja. Kita sering dianggap pasangan."
Dari dulu, aku sudah terbiasa dengan tatapan penasaran seperti ini.
"Itu juga... tapi~ Yuto masih saja nggak peka sama tatapan orang terhadap dirimu sendiri..."
Mengatakan itu, Akari menutup mulutnya dengan tangan, lalu berbisik ke arahku. Aku pun sedikit mendekat agar bisa mendengar lebih jelas, sambil tetap memperhatikan sekitar.
"Yuto, kamu cukup terkenal di jurusan ku, tahu? Banyak yang penasaran kenapa ada laki-laki setampan dirimu malah masuk jurusan akademik, bukannya jurusan hiburan."
"......Mungkin, yang mereka maksud itu orang lain?"
"Bukan. Ada anak kelas lain yang bertanya, siapa laki-laki yang sebelumnya jalan bersamaku, lalu teman-teman di jurusan akademik juga menyebut 'Aoi inilah, Aoi itulah' begitu."
Sepertinya Akari sudah berhasil menyelesaikan misi yang tidak bisa kulakukan; membuat teman di kelas akademik.
Padahal jurusannya berbeda denganku...
"Bukannya aku sudah terkesan cukup pendiam, tapi apa aku memang sebegitunya mencolok?"
"Jelas. Dulu waktu SMP, kamu masih kelihatan agak kekanak-kanakan, tapi akhir-akhir ini, mungkin kamu mulai mirip---"
Ia berhenti sejenak, tampaknya menyadari tatapan sekitar. Lalu, kudengar suara napasnya yang sedikit tertahan di dekat telingaku.
"---Yuya-san."
"……Menurutmu sendiri bagaimana?"
"……Kalau dibandingin sama waktu muda, yah, mungkin."
"Jujur saja?"
"Cukup mirip."
Sepertinya Ibu tak sekadar berpendapat sebagai orang tua saat mengatakan aku semakin mirip dengan ayah.
Akari tahu sebagian dari situasiku.
Semuanya bermula ketika Ibu tanpa sengaja keceplosan. Saat itu kami masih SMP, tapi Akari cukup dewasa untuk memahami dan menyimpan rahasia ini.
Biasanya, ia takkan menyinggungnya bahkan dalam candaan. Tapi kali ini, kata-katanya seakan memberi bentuk nyata pada pikiranku.
'Kalau sampai ketahuan bahwa aku ini anaknya Hokujou Yuya…'.
Hanya karena wajah kami mirip, tidak banyak orang yang akan langsung menyadarinya.
Tapi, bagaimana jika ada yang mulai curiga?
Api sekecil apa pun, kalau dibiarkan, bisa membesar dengan cepat.
Memikirkan itu membuatku sedikit takut.
"Yah, untuk sekarang orang-orang cuma penasaran, ‘dia itu pacarnya Akari atau bukan~?’ Tapi kalau kamu terlalu sering sendirian, itu pasti bakal membuatmu jauh lebih mencolok, Yuto."
"……Baiklah, aku akan mengingatnya."
"……Bagus, kalau begitu!"
Setelah berkata begitu, ekspresinya kembali seperti biasa.
Aku harus berhati-hati agar tidak terlalu menonjol…
Sambil melihat antrean yang semakin maju, aku bersumpah dalam hati untuk tak menarik perhatian secara berlebihan.
Post a Comment