Penerjemah: Hanzel
Proffreader: Rion
Chapter 2
Kibarkan Bendera di Sekolah
Sudah sekitar dua minggu sejak aku masuk ke SMA Ichiyou. Pagi ini, aku mulai terbiasa dengan sensasi seragam baru yang kukenakan. Seperti biasa, aku masih harus berjuang melawan rasa kantuk di pagi hari, seraya menikmati sarapan.
"Oh iya, ngomong-ngomong, tetangga sebelah kita sepertinya akan pindah ke luar negeri."
"Benarkah? Hmm... yah, belakangan ini dia memang jarang pulang."
Tetangga kami yang sudah tinggal di sana selama bertahun-tahun itu hidup sendiri dan sering pergi ke luar negeri karena urusan pekerjaan. Akibatnya, rumahnya sering kosong.
Saat dia pulang, dia biasanya membawakan camilan atau mainan langka yang sulit ditemukan di Jepang untukku dan Akari, anak-anak kecil yang tinggal di lantai yang sama. Karena itu, kami cukup akrab dengannya...
Aku merasa sedikit sedih, tapi tetap saja, memiliki rumah yang jarang ditinggali pasti merepotkan. Dulu, saat aku masih di sekolah dasar, mungkin aku akan sulit menerima ini, tapi sekarang aku bisa lebih memahami situasinya.
Kalau aku masih kecil, mungkin aku sudah menangis.
"Jadi, rumah itu akan kosong untuk sementara waktu?"
"Tidak juga. Katanya dia akan memberikannya kepada kerabatnya yang ingin mencoba tinggal sendiri. Mungkin minggu ini dia sudah pindah ke sana."
"Oh ya? Semoga orangnya baik."
"Semoga saja."
"Terima kasih atas makanannya."
Setelah selesai bersiap-siap, aku bertemu Akari di depan lift, lalu kami berangkat ke sekolah.
Aku mulai lebih sadar dengan tatapan orang-orang di sekitarku, tapi tetap menjalani hari seperti biasa.
Sepulang sekolah, Akari punya urusan, jadi aku pulang sendirian kali ini.
Entah kenapa, jika sering melewati jalanan yang sama, rasanya perjalanan akan jadi lebih cepat. Hal itu terasa lebih jelas di jalan pulang sekolah.
Katanya, karena otak sudah terbiasa dengan pemandangan di sepanjang jalan, ia hanya memproses informasi yang diperlukan, sehingga perjalanan terasa lebih singkat.
Sambil mengingat informasi yang bahkan tak bisa disebut sebagai trivia itu, aku sampai di rumah.
Di dalam apartemen yang selalu terasa sama seperti biasanya, ada satu hal yang berbeda.
Mungkin karena obrolan pagi tadi dengan ibu, aku jadi lebih sadar akan perubahan di sekitar. Nama di papan nama tetangga sebelah sudah berubah.
"Minase...?"
Melihat karakter kanji yang terasa familier, aku spontan mengucapkannya.
Gadis bernama Minase yang memberikan sambutan saat upacara penerimaan siswa baru---sosoknya muncul dalam pikiranku.
Namun, aku masih merasa ada yang janggal.
"Memangnya, mana ada anak SMA yang mau repot-repot tinggal sendirian...?"
Dalam novel, ada banyak cerita di mana anak SMA hidup sendiri, tapi dalam kenyataan, hal seperti itu sepertinya cukup jarang terjadi.
Sebenarnya, keuntungan apa yang bisa didapat seorang siswa SMA dari hidup sendiri selain memiliki lebih banyak waktu sendirian?
Haruskah seorang siswa SMA menjalani kehidupan di mana mereka harus melakukan semua pekerjaan rumah sendiri, seperti bersih-bersih, mencuci, dan memasak?
…Yah.
Nama keluarganya memang tak begitu umum, tapi itu bukan masalahku.
Dia bilang ingin mencoba tinggal sendiri, jadi mungkin yang pindah itu seseorang yang setidaknya sudah mahasiswa.
Bagaimanapun, aku hanya ingin menjalani kehidupan yang tenang di rumah. Aku sama sekali tak mengharapkan tetangga yang bersekolah di jurusan hiburan dan bahkan seorang aktris SMA. Itu terlalu berlebihan.
Dengan kesimpulan itu, aku pun membuka pintu rumah seperti biasa.
🔸◆🔸
"Permisi~!"
Siang hari di hari Minggu.
Ibuku pergi berbelanja, menjadikannya waktu yang sempurna untuk menikmati hobiku. Aku sedang menikmati hari libur yang sangat tenang, membaca buku di sofa empuk yang ditinggalkan Akari---jenis sofa yang bisa membuat orang malas seketika.
Namun, dari pintu masuk, terdengar suara seseorang yang jelas bertolak belakang dengan suasana tenang ini.
Entah kenapa, meskipun aku yakin sudah mengunci pintu, seseorang berhasil masuk.
Lagipula, aku tak punya janji dengan siapa pun.
Mungkin jika aku bersembunyi, orang itu akan menyerah dan pergi?
Saat aku masih memikirkan hal itu, pintu kamarku terbuka, membiarkan udara nyaman yang memenuhi ruangan perlahan menghilang.
"Oh? Jadi kamu ada di sini, Yuto! Kenapa nggak jawab?"
"…Aku punya pertanyaan dulu. Kenapa kamu bisa masuk? Aku yakin sudah mengunci pintunya."
"Tadi aku ketemu ibumu di luar, terus aku bilang mau main ke sini, jadi dia kasih aku kuncinya."
Saat berkata begitu, dia menunjukkan gantungan kunci besar berbentuk beruang yang jelas-jelas milik ibuku.
"Aku sedang membaca. Kalau kamu cuman mau mengganggu, lebih baik pulang saja sana."
"Tenang-tenang, aku nggak akan ganggu. Aku cuma mau main game dengan tenang."
Setelah mengatakan itu, dia melempar kunci ke tempat tidur dan mengambil kontroler.
Menyadari bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan teman masa kecil yang sudah berniat menetap, aku pun menyerah dan memutuskan untuk pindah ke ruang tamu.
"Nggak perlu pergi, kok. Cukup geser kakimu sedikit."
"…Seperti ini?"
Saat aku mengikuti permintaannya dan sedikit membuka ruang di antara kakiku, Akari langsung masuk dan menggunakan tubuhku sebagai sandaran.
"…Apa-apaan?"
"Hmm? Posisi bermain game."
"…Aku bisa geser ke samping saja, tahu?"
"Nggak, nggak. Kalau mau serius main game, aku harus sedikit condong ke depan. Masalahnya, sofa ini terlalu empuk dan tenggelam. Jadi, posisinya ini pas sekali."
Tanpa melihatku sama sekali, dia mulai mencari pertandingan online, sementara aku hanya bisa menghela napas, menunjukkan wajah penuh kebingungan.
"Ini membuatku susah baca buku, tahu?"
"Gunakan kepalaku. Posisi kepalaku pas sekali, kan?"
Dilihat dari posisinya yang lebih rendah, kepala Akari memang berada di tempat yang pas untuk dijadikan sandaran buku.
"Selamat, ya! Kamu bisa pakai kepala seorang siswi SMA sebagai tempat meletakkan buku. Mewah banget, bukan?"
"Jangan samakan kebiasaan aneh itu dengan seleraku..."
Menyerah, aku meletakkan bukuku di lantai dan tanpa sadar mulai melihat layar game Akari sekadar untuk mengisi waktu. Entah sudah berapa lama berlalu, tiba-tiba bel berbunyi.
"Akari, minggir sebentar. Mungkin ibuku sudah pulang."
"Eh~! Tunggu dulu! Satu menit lagi… tidak, dua menit!"
"Aku nggak bisa nunggu selama itu!"
Aku berdiri paksa, menyebabkan Akari kehilangan keseimbangan dan berteriak, "Gyaa!" sambil terjatuh.
Saat keluar dari kamar, aku baru sadar kalau yang berbunyi bukan bel interkom di gerbang utama, melainkan bel pintu apartemen kami.
Aku berjalan ke pintu depan dan membukanya.
"Ah, salam kenal. Saya Minase, baru saja pindah ke sebelah hari ini."
…Perasaan burukku ternyata benar.
Di depan pintu berdiri Minase Nagisa, gadis yang memberikan sambutan saat upacara penerimaan siswa baru.
Melihatnya dari jarak sedekat ini terasa berbeda dibanding saat di aula besar waktu itu. Mungkin karena dia seorang aktris, meski masih kelas satu SMA, dia terlihat sedikit lebih dewasa daripada kebanyakan anak seusianya.
"Mungkin, nanti saya akan sedikit merepotkan, jadi mohon bantuannya…"
Untungnya, sepertinya dia tak mengenaliku, karena aku dari jurusan akademik, sedangkan dia dari jurusan hiburan.
Baiklah, aku hanya perlu melewati ini tanpa menarik perhatian dan menjaga ketenangan hidupku. Biarkan urusan ribet nanti ditangani oleh diriku di hari-hari sekolah berikutnya.
"Oh, iya. Senang bertemu denganmu juga."
Aku menjawab dengan respons netral, mencoba mengakhiri pembicaraan dengan cepat.
"Tsk… gara-gara Yuto, rank-ku turun…"
Sampai kemudian, tiba-tiba Akari muncul dari belakangku.
"Hah? Nagisa-chan?"
"…Hotta-san? Kenapa kamu ada di sini…?"
Memasang ekspresi terkejut, Nagisa bergantian melihat papan nama di samping pintu dan wajah Akari.
"Hmm? Aku cuma main ke sini, kok. Ini rumah Yuto. Ahh, Yuto yang ini, kelas satu jurusan akademik."
Akari berdiri di belakangku, menusukkan telunjuknya ke kepalaku sambil dengan santainya mengungkap semua informasi yang ingin kusembunyikan.
"Jadi… kamu tahu siapa aku?"
Atas pertanyaan itu, aku hanya bisa menjawab dengan suara nyaris menghilang, sementara dalam hati aku mengutuk kebiasaan buruk teman masa kecilku yang selalu ikut campur.
"…Begitulah."
Setelah jawaban lemah dariku, beberapa detik keheningan pun berlalu. Minase menghela napas kecil, lalu entah kenapa dia langsung ikut masuk ke dalam rumah, tanpa ragu duduk di tempat tidurku, dan mulai berbicara.
"Kenapa kamu pura-pura nggak kenal?"
"Eh, bukan bermaksud pura-pura… Aku cuma tak merasa perlu mengatakannya saja…"
"Ah~ kalau tahu kita satu sekolah dan seangkatan, aku tak perlu tegang dan jaga image segala, tahu."
Dia kembali menghela napas panjang, tapi nada sopan yang sempat kurasakan darinya saat upacara masuk dan di depan pintu tadi kini menghilang.
Jadi, ini kepribadian aslinya ketika dia tidak sedang berpura-pura, ya?
"Lalu, Hotta-san, kenapa ada di sini? Pacarnya? Atau hubungan yang lebih… berantakan?"
"Dia cuma teman masa kecil…"
"Biasanya, anak SMA nggak sembarangan main ke kamar teman laki-lakinya, bukan?"
"…Yah, dia memang orangnya kayak begitu."
Aku tak bisa memberikan jawaban lain atas pertanyaan masuk akal dari Minase selain bahwa itu memang murni sifat Akari.
Bahkan dalam cerita fiksi, biasanya teman masa kecil setidaknya akan sedikit sadar dengan keberadaan satu sama lain, tapi Akari yang asli justru sedang bermalas-malasan di sofa, membaca manga tanpa sedikit pun menunjukkan adanya batasan antara laki-laki dan perempuan.
"Sejak upacara masuk, dia selalu mendatangiku setiap waktu istirahat, dan meskipun aku bersikap dingin, dia tetap mengikutiku seperti stalker… Aku sudah curiga kalau dia agak aneh…"
Dari percakapan kami di depan pintu tadi, aku sudah tahu mereka saling mengenal. Tapi rupanya hubungan mereka bukanlah yang bisa disebut sebagai pertemanan biasa.
Sepertinya Minase sudah cukup menderita selama dua minggu terakhir, terlihat dari tatapan kosongnya. Aku jadi merasa sedikit bersimpati.
"Kamu tahu, selain tinggal di lantai yang sama… dia sering datang ke kamarku… dan membawa banyak barang-barang pribadinya ke sana…"
"Yah… semoga beruntung..."
Setelah ucapan Minase yang menatapku dengan mata penuh rasa iba terhadap penderitaanku akibat teman masa kecil yang aneh ini, ruangan pun kembali sunyi.
Satu-satunya harapan yang mungkin bisa membantu, yaitu teman masa kecilku, malah tak menunjukkan kehebohannya di saat seperti ini. Dari mulutnya hanya keluar tawa kecil karena manga yang sedang dibacanya, bukannya membantu situasi ini.
Aku sudah tahu kalau Akari takkan peduli, jadi percuma saja berharap padanya. Tapi yang membuatku benar-benar tidak nyaman adalah kehadiran Minase di kamarku, seseorang yang baru pertama kali berbicara denganku hari ini.
Saat aku masih ragu-ragu apakah harus memintanya untuk pulang atau tidak, Minase tiba-tiba menghela napas panjang di tengah keheningan.
"Sial sekali… Aku akhirnya bisa hidup sendiri, tapi ternyata ada dua orang dari sekolah yang tinggal di apartemen ini, di lantai yang sama pula…"
"Hah? Begitukah? Menurutku itu keberuntungan besar, pasti bakalan seru!"
Akari, yang entah sejak kapan sudah menyelesaikan manganya, segera menyusup ke dalam percakapan.
"…Aku berbeda denganmu, Hotta-san. Aku lebih suka suasana yang tenang. Laki-laki itu mungkin tak masalah, tapi kalau kamu ada di sini, pasti jadi... terlalu ramai, kan?"
"Ah… Mungkin memang begitu. Maaf, ya? Kalau aku berisik."
"Eh? Bukan, aku bukannya ingin bilang kamu berisik…"
Melihat Akari yang tiba-tiba menunjukkan ekspresi sedikit suram sambil meminta maaf---sesuatu yang sangat jarang terjadi---sepertinya Minase merasa bersalah karena kata-katanya terdengar terlalu ketus. Ia buru-buru mencoba meluruskan ucapannya.
"Tapi aku benar-benar senang, tahu? Karena Minase-san pindah ke lantai yang sama di apartemen ini."
Wajah suram tadi langsung menghilang, berganti dengan ekspresi cerah yang khas darinya. Kata-kata tulus yang diucapkannya tampaknya mampu menghangatkan hati Minase.
"Jadi, kalau ada masalah, kapan pun kamu bisa mengandalkanku, oke?"
"…Baiklah."
Nada bicaranya masih terdengar ketus, tapi jelas terlihat bahwa ekspresinya kini jauh lebih lembut.
Aku jadi mengerti kenapa teman masa kecilku ini memiliki banyak teman.
Sebelum orang lain membuka hati mereka, dia sendiri yang lebih dulu melakukannya.
Meskipun aku yakin dia tak pernah benar-benar memikirkan hal itu secara sadar, sifatnya yang transparan dan apa adanya mungkin menjadi salah satu alasan kenapa banyak orang menyukainya.
Sekarang, entah bagaimana, hubungan antara Akari dan Minase mendadak menjadi lebih dekat. Mereka duduk bersama di sofa, meninggalkanku yang hanya bisa mengamati dari kejauhan, seolah-olah aku hanyalah seorang tamu di rumahku sendiri.
Tiba-tiba, suara bel dari sistem interkom apartemen berbunyi.
Aku segera melihat monitor dan akhirnya memastikan bahwa kali ini, benar-benar ibuku yang pulang.
Aku pergi menjemput ibuku di depan pintu gerbang otomatis dan mengambil kantong belanjaan dari tangannya, lalu berjalan menuju lift.
"Oh iya, tadi tetangga baru datang ke rumah. Dia siswa tahun pertama di kelas hiburan di SMA Ichiyou, dan dia juga sudah akrab dengan Akari."
"Oh~ Perempuan?"
"Iya."
"Wah, jadi penasaran! Pasti anaknya cantik, kan?"
"Ya, memang cantik sih…"
Aku menahan diri untuk tidak menambahkan bahwa kepribadiannya tidak semanis yang terlihat di TV atau saat upacara penerimaan siswa baru. Sementara itu, ibuku yang terlihat bersemangat berjalan menuju tempat kami, dan aku mengikutinya dari belakang.
.
.
.
"---Eh? Bukannya ini Minase-chan! Yang sering main di drama, kan?"
"Ah, halo… Saya Minase. Baru saja pindah ke sebelah. Saya satu sekolah dengan anak ibu… Maaf, tiba-tiba datang tanpa izin."
"Ah, nggak masalah~! Tapi boleh ibu minta jabat tangan? Ibu ini fans beratmu, lho~!"
Minase tampak sedikit tertekan oleh semangat ibuku, tetapi tetap menjabat tangannya. Setelah itu, ibuku berkata, "Ibu mau memasak, jadi kalian berdua juga makan di sini, ya~?" lalu meninggalkan ruangan.
"Kupikir kamu bakal tetap jadi dirimu sendiri di depan ibuku."
Saat berbicara dengan ibuku, Minase tampak seperti dirinya yang sempurna---persis seperti saat di sekolah.
"Dia orang yang lebih tua dan juga pemilik rumah. Jelas aku harus bersikap sopan, beda denganmu. Lagipula, kamu sendiri pasti nggak butuh sikap formal seperti itu, kan?"
"Hmm…"
Sebenarnya, aku lebih nyaman dengan cara bicaranya yang santai seperti ini daripada harus menghadapi formalitas yang kaku. Mungkin inilah alasan kenapa Minase tampak lebih dewasa.
Atau mungkin juga, setelah lama terbiasa menghadapi seseorang seperti Akari, hampir semua orang akan terlihat lebih dewasa bagiku.
"Kalau kamu nggak mau makan di sini, aku bisa bilang ke ibuku. Kurasa akan sulit kalau kamu sendiri yang menolaknya langsung."
"Tidak juga. Aku juga belum ada rencana makan malam, jadi kalau boleh, aku mau ikut saja. Oh ya, namamu tadi… Yuto, kan? Aku panggil pakai nama aja, ya? Soalnya kalau aku tetap panggil ‘kamu’ atau ‘kau’ di depan orang tuamu, kesannya bisa jadi jelek."
"Menurutku sih, ibu takkan peduli… Tapi, terserahlah."
"Oke~!"
Begitu Minase selesai berbicara, tiba-tiba Akari menyela dengan penuh semangat.
"Eh! Kalau gitu, panggil aku juga 'Akari'! Masa cuma Yuto saja yang dapat perlakuan spesial!"
Sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu. Setelah beberapa detik ragu-ragu, Minase akhirnya berbisik pelan dengan wajah sedikit malu.
"…Akari."
"Ya! Nagisa!"
Dan sekali lagi, aku hanya jadi penonton di luar lingkaran mereka…
Post a Comment