NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shibou End wo Kaihi shita Galge no Heroine-tachi ga Ore no [Nikki-chou] o Yonde Himitsu o Shitta Rashii [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 7

 Penerjemah: Amir

Proffreader: Amir


Chapter 7 

Menunggu di Tempat Itu


Ketika pertengahan musim semi mulai menghapus sisa dingin musim dingin, bunga plum lebih dahulu dari tanaman lain menampakkan kelopaknya yang anggun, menyebarkan aroma harum sekaligus menjadi penanda pertama datangnya musim semi.


Sejak hari itu, hampir setahun telah berlalu──


Tubuhku pulih dengan baik, dan bahkan lengan kananku yang paling parah pun berhasil melewati rehabilitasi yang menyakitkan. Kini, aku sudah bisa menggenggam benda dengan tangan itu. Lengan yang semula divonis mungkin tak akan bisa bergerak lagi, kini telah pulih sejauh ini, semua itu berkat──


"Eh? Ada apa?"


"…Tidak, bukan apa-apa."


Satsuki yang berjalan di sampingku menoleh dengan ekspresi heran. Dalam kurun setahun yang singkat, penampilannya sudah meninggalkan kesan remaja SMA dan berubah menjadi sosok dengan aura elegan khas mahasiswi. Dari ekspresi dan gerak-geriknya, tampak jelas kepercayaan diri serta sinar yang menandai langkah menuju kedewasaan.


"Curang, ya~! Wajahmu itu jelas-jelas menyimpan sesuatu, kan?"


…Begitulah kesanku barusan. Keceriaannya yang polos ternyata masih sama.


"Aku hanya sedang teringat saja, sudah lama juga sejak kalian membuat dokter kewalahan gara-gara aku keluar dari kursi roda."


"Memangnya itu salahnya di mana?"


"Serius…?"


Satsuki memiringkan kepalanya dengan bingung.


Kadang aku masih teringat. Saat luka-lukaku sudah cukup sembuh sehingga aku bisa meninggalkan kursi roda, rasanya benar-benar merepotkan. Aku ingin segera berjalan bebas, tapi keempatnya bersikeras menolak, seolah ingin terus merawatku. Bahkan Shino sampai berkata:


"Dokter yang sampai salah menilai tidak ada gunanya. Sebutkan namamu."


Ia benar-benar membuat si dokter kewalahan.


Jujur saja, itu sama sekali bukan kenangan indah…


──Hari ketika Satsuki dan yang lain membaca catatan harian milikku. Kalau dipikir lagi, aku sering membaca cerita tentang reinkarnasi ke dalam dunia gim, termasuk di kehidupan sebelumnya. Tapi tokoh dalam cerita yang sampai tahu bahwa dunia ini hanyalah buatan, itu baru pertama kali kudengar.


Seharusnya, ‘kekuatan paksa dunia’ akan menghapus ingatan setelah membaca buku harian itu. Namun, sejak kami terbebas dari 【LoD】, kekuatan itu sudah tidak bekerja. Karena itulah mereka bisa mengingat. Penjelasan itu cukup masuk akal. Walau waktu disebut sebagai "orang berdosa dari dunia atas", aku sempat tertawa kecil. 


Begitu pula alasan mereka menanggung rasa bersalah yang berlebihan sekaligus rasa terima kasih yang terlalu besar kepadaku. Jika posisinya terbalik, mungkin aku juga bisa jatuh ke dalam kegelapan. Tapi jujur saja, semua itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah──


"Memalukan sekali…"


Aku mendongak ke langit sambil menutupi wajahku. Aku sama sekali tidak berniat memperlihatkan isi buku harian yang kupersembahkan untuk empat gadis cantik itu. Termasuk kalimat terakhirnya──


"‘Kesiapan untuk tak takut kehilangan nyawa adalah kunci menuju kemenangan──’"


Satsuki mengulanginya dengan wajah penuh kemenangan, menatapku lekat-lekat. Seketika wajahku panas hingga ke telinga.


"Hentikan, tolong…"


"Kenapa? Aku justru sangat bahagia, tahu! Tak banyak orang yang bisa mengatakan hal seperti itu. Aku benar-benar bisa merasakan betapa aku dicintai!"


"Kumohon, jangan pernah ucapkan itu di depan umum! Tolonglah!"


Saat ini kami sedang berada di pusat perbelanjaan. Bisa dibilang, ini adalah kencan. Biasanya kami berlima, tapi tiga orang lainnya ada urusan masing-masing, jadi hari ini hanya kami berdua. Tiba-tiba, Satsuki menyelipkan lengannya pada lengan kananku, lalu dengan ekspresi manja menatapku dari bawah.


"…Kan sudah kubilang, hari ini cuma ada kita berdua. Jadi, lihat aku saja sekarang."


"Iya, maaf…"


Astaga, pacarku ini terlalu manis…

Aku ketahuan sedang memikirkan yang lain, dan langsung ditebak olehnya. Saat berjalan di mal, aku bisa merasakan tatapan orang-orang tertuju pada kami. Terutama padaku, tatapan penuh iri itu terasa jelas.


"Yah, ini masih mending dibanding biasanya…"


Aku terkekeh getir. Kalau rasa iri bisa diukur, tatapan-tatapan itu mungkin baru seperempat dari biasanya.


Biasanya ada Reina, Shuna, dan Shino yang ikut serta.


Tatapan penuh tuduhan "dasar pria harem" sudah jadi makanan sehari-hari, bahkan di kampus aku sudah jadi semacam "maskot" karena selalu terlihat dikelilingi empat gadis cantik. Padahal, posisi ini semestinya ditempati oleh Sano Yuuto. Hidup memang tak terduga.


Ngomong-ngomong soal Sano, sejak kejadian itu, dia sama sekali tidak pernah lagi terlibat dengan kami. Entah karena benar-benar jera setelah keempat gadis itu marah besar, di kampus dia jadi jauh lebih tenang dan tidak pernah mencoba mendekati mereka. Mungkin saja, dia benar-benar menyesal.


Kalau begitu, aku sebenarnya ingin dia bisa memulai kembali dari awal. Orang lain mungkin akan menganggapku terlalu lunak, apalagi setelah aku nyaris kehilangan nyawa karena ulahnya. Tapi aku sendiri, yang di kehidupan sebelumnya juga seorang brengsek, tidak bisa benar-benar membenci seseorang selamanya. Dan, yang paling penting── empat gadis cantik itu kini hampir tak punya alasan lagi untuk terjerumus ke kegelapan.


Kadang-kadang memang masih ada emosi berlebihan, tapi dibanding dulu, itu sudah jauh lebih ringan. Hati dan pikiranku akhirnya bisa merasakan ketenangan.


"Itu salah, lho, Satoshi-kun. Alasannya kami tidak lagi jatuh ke kegelapan, ya karena kami benar-benar bisa merasakan cintamu."


"…Bisa tolong jangan membaca isi kepalaku begitu saja?"


"Fufufu, soalnya setiap malam pun kita selalu… panas, kan? Dengan cinta sebesar itu, wajar saja kalau kekhawatiran kami berkurang."


"Tolong jangan membicarakan hal semacam itu di tempat umum!?"


Satsuki menutup pipinya dengan ekspresi menggoda sambil melempar pernyataan berbahaya. Ia seakan larut dalam pikirannya sendiri, tak berniat berhenti. Tatapan penuh hangat bercampur iri dari sekitar membuatku merasa akan masuk angin.


…Ya, intinya begitu. Malam hari, biasanya aku bersama mereka berempat. Hanya saja, belakangan ini tenagaku… semakin terkuras. Meski sudah berusaha mencari cara untuk menyiasatinya, hasilnya tentu bisa ditebak.


“Yah, kalau itu memang benar adanya.”


“Bukan bercanda…?”


“Yang paling utama adalah, Satoshi-kun sudah membantu menyelesaikan kegelapan yang kami tanggung. Berkatmu, hati kami jadi terasa begitu lega! Terima kasih, ya?”


“Yah… itu memang sudah sewajarnya.”


Satsuki berhenti dari dunia gravure idol. Karena dia cukup populer, tentu saja pihak agensi menahannya habis-habisan, tapi aku mendesaknya habis-habisan dengan, ‘Bukankah kalian dulu justru menyuruh Satsuki melakukan makura eigyō, lalu begitu dia sukses malah berbalik sikap? Apa-apaan itu?’


Masalah dengan ibu Reine, urusan perusahaan Shuna, konflik keluarga Shino…Semuanya, masalah yang seharusnya diselesaikan Sano dalam 【LoD】, justru aku yang menanganinya sebagai pengganti.


Walau begitu, bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Kalau gadis yang kusukai sedang kesulitan, bukankah sudah sewajarnya aku menolongnya?


“Hm?”


Tiba-tiba tanganku ditarik.


“Itu nanti saja, ayo kita nikmati kencan ini! Waktu kita sampai malam tidak banyak, lho!”


“Ah, o-oke.”


“Pertama, kita mulai dari window shopping! Kita keliling semua toko!”


“Jangan bercanda!? Di sini ada sekitar tiga puluh toko, tahu…”



“Bagaimana dengan yang ini~?”


“Terlihat sangat musim semi. Cerah dan lembut, cocok sekali denganmu, Satsuki.”


“Eh~ begitu ya? Kalau yang ini bagaimana?”


“Secara keseluruhan auranya lembut sekali. Terutama rok panjang yang bergoyang tertiup angin itu, sangat terasa suasana musim semi, menurutku bagus sekali.”


Begitu Satsuki keluar dari ruang ganti, ia secara alami berpose dengan pas. Tidak heran, Ex-gravure idol, bakat menarik perhatian orang sudah mendarah daging. Tapi, aku justru khawatir kalau-kalau orang akan sadar bahwa dia memang Satsuki sendiri.


Lebih dari itu, masih berapa set baju lagi yang harus dicoba? Padahal sudah hampir dua jam berlalu…


“Satoshi-kun pandai sekali memuji, sampai-sampai aku lupa waktu. Rasanya menyenangkan sekali!”


“Ya, itu hasil latihan keras.”


Karena mereka berempat semua perempuan, wajar saja kalau punya minat terhadap fashion. Jadi window shopping seperti hari ini memang sering terjadi. Hanya saja, saat awal kami pacaran, aku benar-benar nol besar dalam urusan memuji.


Satsuki, Shuna, dan Shino tetap merasa senang walau aku asal saja, tapi Reine berbeda.


“Hei? Jadi tidak cocok ya?”


“Tadi juga komentarnya sama…”


“Fufu, tidak perlu memaksakan diri, kok…”


“Seperti dugaanku… aku ini memang—”


Lalu terus meredup. Setiap kali begitu, aku terpaksa memeluknya dan menenangkannya agar tidak menangis. Di depan banyak orang pula.


Dengan kata lain, teknik memuji yang kupunya sekarang lahir dari insting bertahan hidup.


Benar-benar berat… sungguh.


Reine sejak kecil tidak pernah tahu cara manja pada orang lain, jadi justru berbalik, ia sangat manja kepada kami. Kalau diabaikan, ia jelas-jelas bersedih, jadi kami semua berusaha memanjakannya.


Entahlah, rasanya seperti punya adik bungsu. Walaupun dia sendiri tidak pernah mau mengakuinya…padahal semua orang tahu, dia tidak bisa tidur malam tanpa ada seseorang di sisinya.


“Itu kalau begitu, ayo kita ke sana berikutnya.”


“Baiklah, ayo—”


Begitu melihat toko yang ditunjuk Satsuki, aku langsung kaku. Itu toko lingerie.


“Tolong, yang itu saja jangan…”


“Eh~! Padahal gara-gara seseorang ukuran—”


“Baik! Aku mengerti! Jangan lanjutkan lagi!”


“…Kalau sudah begitu, baguslah.”


Dengan senyum manis namun berbahaya, Satsuki setengah menyeretku masuk ke sana…



Setelah menyelesaikan tur lingerie neraka itu, kami pindah ke game center.


“Ahahaha! Satoshi-kun, parah banget mainnya!”


“Eh, jangan salahkan aku! Main taiko tanpa tangan kanan itu berat, tahu!?”


Kami bertanding di game taiko. Masalahnya, selain aku pemula, tanganku yang kanan memang tidak bisa digerakkan dengan baik. Dan itu adalah tangan dominanku. Jadi aku terpaksa memukul taiko dengan tangan kiri, hasilnya tentu saja hampir tidak pernah tepat.


“Satoshi-kun sama sekali tidak punya sense ritme, ya~”


“Bukan begitu! Kalau saja tangan kananku normal, aku pasti lebih baik! Lagipula, Satsuki juga sama buruknya denganku…”


“Meski hanya selisih tipis, yang menang tetap menang!”


Ia membusungkan dada—dengan percaya diri sekaligus menonjolkan dadanya yang besar.


“Argh…”


Meski perbedaannya tipis, kalah tetaplah kalah. Rasanya terlalu menyakitkan. Kalau begitu, aku ingin memilih permainan yang bisa kupastikan menang.


“Kalau begitu, bagaimana kalau main medal game?”


“Ditolak.”


“Kenapa!?”


“Soalnya gara-gara Shuna, medal game itu meninggalkan trauma buruk…”


“Ah… jadi begitu.”


Setelah masuk universitas, Shuna menemukan hobi baru. Masalahnya, hobinya itu adalah judi. Slot, pacuan kuda, balap perahu—semuanya dicoba. Kalau sekadar bermain dalam batas wajar sih tidak masalah. Tapi karena nasibnya selalu buruk, tidak jarang ia pulang dengan kantong kosong.


“Aku ini cuma berinvestasi pada sesuatu yang punya peluang, lho~. Percayalah, beberapa hari lagi pasti jadi berlipat ganda!”


Karena perkataannya itu, kini keuangan Shuna kami yang urus. Tentu saja dia protes habis-habisan, tapi kalau dibiarkan, bisa-bisa dia masuk ke jurang kehancuran, jadi kami terpaksa tega. Padahal, justru kamulah yang paling tahu betapa mengerikannya judi…


Meski Shuna adalah yang paling dewasa dan penuh pengertian di antara kami, anehnya dia juga yang paling bermasalah. Kelihatannya santai, tapi tindakannya sering benar-benar berbahaya.


“Kalau begitu, bagaimana kalau main UFO catcher?”


“Oh, ide bagus. Mana yang mau dicoba?”


“Karena aku ingin ada boneka di rumah. Bagaimana kalau yang itu?”


Yang ditunjuk Satsuki adalah seekor boneka teddy bear.


“Bukannya itu terlalu besar…? Bisa dapat yang begitu?”


Itu teddy bear raksasa, tinggi sekitar delapan puluh sentimeter. Tapi Satsuki sudah tampak benar-benar mantap dengan pilihannya.


“Ini bukan soal bisa atau tidak bisa mendapatkannya. Tapi kita harus mendapatkannya…!”


“Kenapa kedengarannya seperti kutipan bijak begitu…”


“Ayo! Kita main secara kerja sama! Aku tekan tombol kanan, Satoshi-kun yang kiri, ya!”


Jadi maksudnya, Satsuki tekan tombol kanan dan aku bagian kiri.


“Baik… eh, sebentar, itu sudah melenceng, tahu!?”


“Eh!? Kok bisa!?”


Kesimpulannya: sepertinya kami memang tidak punya bakat dalam permainan. Walau sudah dibantu “servis” oleh pegawai toko, tetap saja gagal.


Ya sudahlah. Lagipula kalau membawa boneka sebesar itu keliling jalanan, kami pasti akan jadi pusat perhatian. Jadi aku sama sekali tidak merasa kesal, kok?



“Ini dia~! Deluxe☆Strawberry Parfait! Dari tadi aku ingin sekali makan ini~”


Dengan mata berbinar, Satsuki memotret parfait itu berkali-kali.


Untuk menghapus suasana muram setelah gagal di game center, kami mampir ke kafe yang memang jadi incaran Satsuki. Saat baru masuk tadi, dia masih terlihat kecewa, tapi begitu hidangan yang ditunggu-tunggu disajikan di meja, ekspresinya langsung berubah ceria. Aku pun ikut merasa lega.


“Satoshi-kun, fotoin aku, ya!”


“Oke.”


“Peace!”


Dengan senyum semanis bunga sakura di depan parfait ukuran jumbo, Satsuki berpose. Pemandangan itu terlihat begitu bahagia sampai-sampai membuat hatiku ikut luluh. Hanya saja—


“Itu tidak terlalu banyak? Bisa habis sendirian?”


“Kau meremehkan aku, Satoshi-kun.”


Dia menggeleng-geleng sambil menjentikkan jari di depan bibirnya.


“Parfait itu, begitu seorang gadis memakannya, kalorinya otomatis berkurang separuh.”


“Dari mana teori aneh itu keluar…?”


Kalaupun mau memakai teori kalori ala masyarakat, ini sudah terlalu asal.


“Dan, selain itu—”


Sambil tersenyum nakal, Satsuki mengambil satu sendok penuh dari parfait: whipped cream putih yang lembut, diselimuti saus stroberi manis, dengan es krim merah muda mencuat dari bawahnya. Lalu ia menyodorkannya ke arahku.


“Kalau ditambah dengan koefisien [Aaan~], maka kebahagiaan dan kelezatannya akan berlipat ganda. Jadi ayo, aaan~.”


Dengan wajah tersenyum, ia menyorongkan sendok itu padaku. Sambil canggung melirik sekitar, aku membuka mulut dan menerima suapan itu. Saat mendongak, Satsuki sedang menatapku dengan senyum lembut.


“Buktinya jelas, kan?”


“...Memang begitu.”


Rasanya sih tetap sama, tapi perasaan bahagia bercampur malu justru datang meluap-luap. Sepertinya aku harus menarik kembali ucapanku yang bilang itu teori ngawur.


“Baiklah, sekarang giliranku! Ayo, suapi aku juga!”


“Kenapa jadi kayak anak baseball, sih…”


Kami pun bergantian saling menyuapi Deluxe☆Strawberry Parfait. Koefisien [Aaan~] itu rupanya bisa diterapkan tanpa batas, membuat rasa manisnya semakin terasa.


Suasana ini membuatku teringat dengan tren terbaru di rumah kami. Belakangan ini, sedang ramai-ramainya permainan kata dengan teori-teori okultisme aneh. Yang paling suka tentu saja Shino.


Sejak kuliah, kami sering membeli alkohol dan mabuk-mabukan di rumah. Belum cukup umur? Kalau mahasiswa, aman-aman saja, kan?

Yang paling suka minum ternyata Shino, tapi justru dia juga yang paling lemah menahan alkohol.


“Dengarkan baik-baik, Satoshi-saaan. Kan ada pepatah, huruf ‘人’ berarti manusia saling menopang. Tapi kalau di antara dua orang itu ada cinta [I], lalu mereka rebah di ranjang [H], hasilnya ya begitu~ Jadi ayo tidur bersamaku~”


Sambil menggigit cumi kering, menenggak highball, dan menepuk-nepuk punggungku, Shino selalu mengoceh teori om-om seperti itu. Penampilan itu jelas jauh dari citra Yamato Nadeshiko, tapi anehnya justru terasa begitu menggoda. Benar-benar curang.


Pernah juga kami bertekad berhenti minum. Tapi Shino malah ngambek parah, sampai tidur sambil memeluk botol kosong shouchuu. Akhirnya kami yang menyerah.


“Hmm~! Enak sekali! Pelayan-san~! Tambah satu lagi, ya!”


“Eh, hei…”


Aku mencoba menegurnya, tapi tentu saja Satsuki sama sekali tidak menggubris.


Entahlah… pada akhirnya aku menyerah. Selama Satsuki bahagia, rasanya itu sudah cukup.



“Wah, panen besar, panen besar.”


Kedua tangan Satsuki penuh dengan kantong belanja. Sebenarnya aku ingin menawarkan diri untuk membawanya, tapi dengan kondisi tangan kananku yang belum pulih, aku sama saja tak berguna.


Saat perjalanan pulang, aku sudah benar-benar kelelahan. Walau begitu, kencannya sendiri sangat menyenangkan. Hanya saja—


“Maaf ya~ gara-gara aku terlalu asyik, jadi tasku sampai hilang.”


“Y-yaah, lain kali hati-hati saja, ya.”


Ia menjulurkan lidah, sama sekali tanpa rasa menyesal.


Serius deh, aku sungguh ingin dia belajar berhati-hati!?


Di dalam tas itu ada dompet, ponsel, dan berbagai barang penting. Bagaimana bisa dia tetap santai saja?


Dari segi sifat dan lainnya, Satsuki termasuk yang paling “normal” di antara 【Empat Dewi】. Tapi ada satu kelemahan fatal: dia sangat sering kehilangan barang.


Kartu langganan kereta hilang itu sudah hal biasa. Sampai-sampai staf stasiun dan petugas barang hilang kampus jadi akrab dengannya. Bahkan sudah sering ke kantor polisi, sampai-sampai pak polisi bercanda, “Datang mau ditangkap, ya?”


“Aku ini sebenarnya narapidana, yang terkurung di penjara cinta bernama Satoshi-kun~”


“Tolong jangan baca pikiranku…”


Di sebelahku, Satsuki menimpali lamunan itu dengan gurauan, membuatku hanya bisa menghela napas.


“Lagi pula, soal tas itu tak perlu khawatir. Besok pasti sudah sampai di kantor polisi, kok.”


“? …yah, benar juga.”


Sekarang, meski aku panik, tidak ada gunanya. Lagipula, Satsuki tidak pernah sekali pun kehilangan sesuatu tanpa bisa menemukannya kembali secara ajaib. Jadi, kata-katanya barusan memang bisa dipercaya. Namun, ada satu hal yang kupahami setelah menghabiskan waktu bersama para heroine dari 【LoD】: mereka semua memiliki terlalu banyak kekurangan fatal. Tapi, bukan berarti aku jadi membenci mereka atau merasa kecewa. 


Justru sebaliknya, hal itu memberi mereka sisi manusiawi yang membuatku semakin merasa dekat. Kemanusiaan mereka—yang sama sekali tidak bisa terlihat hanya dari layar profil—justru terasa sangat menarik bagiku.


“Ah, kelihatan tuh!”


Sebuah apartemen sederhana mulai terlihat. Lampu menyala di kamar paling ujung—kamarku. Padahal ada lima kamar di sini, tapi entah kenapa makan malam dan tidur selalu dilakukan di kamarku. Setelah setahun, aku sudah terbiasa dengan rutinitas itu.


“Ah, akhirnya pulang juga~.”


“Selamat datang kembali.”


“Kamu lama sekali.”


“Yah, maaf ya~.”


Saat masuk ke kamar satu ruanganku, terlihat sushi, pizza, dan minuman beralkohol yang jelas bukan murahan. Untuk ukuran rumah kami, ini adalah hidangan yang sangat mewah.


“Eh, hari ini ada apa? Ulang tahun atau perayaan sesuatu?”


“Seperti yang kuduga, kamu lupa ya…”


Ulang tahunku sudah dirayakan, lalu apa lagi, ya…?


“Hari ini genap setahun sejak hari ketika kamu menyelamatkan kami, tahu?”


“Oh, begitu, ya?”


Aku melihat kalender, tapi tetap saja tidak ingat. Memang benar hari itu adalah hari di mana aku hampir mati, jadi aku hanya ingat perkiraannya, tapi tidak pernah mengingat tanggal tepatnya.


Rasanya semua pergulatan untuk melawan masa depan yang tak bisa diubah itu kini sudah seperti masa lalu yang jauh.


“Terima kasih ya, sudah menyelamatkan kami waktu itu.”


Satsuki dan yang lain menatapku sambil tersenyum.


Menyelamatkan para heroine itu awalnya hanyalah demi balas dendam. Itu hanya sebuah cara. Namun, pada diriku yang seperti itu—


“Mugyuu!?”


Reine tiba-tiba menjepit pipiku dengan kedua tangan, seolah sedang merajuk.


“Ya, ya. Waktu untuk merendahkan diri sudah selesai. Itu kebiasaan burukmu, Satoshi.”


“H-hya, maafkan aku…”


Begitu Reine melepas tangannya, pipiku masih terasa nyeri yang anehnya menenangkan.


“Tidak peduli apa pun yang kamu pikirkan, kenyataannya kamu sudah menyelamatkan kami, tahu?”


“Benar sekali. Tahun ini adalah tahun paling membahagiakan dalam hidupku…”


Shino mengangguk penuh perasaan. Saat mendengar kata-kata itu, dadaku terasa hangat. Karena, kenyataannya aku baru benar-benar bersama mereka selama setahun ini saja. Aku selalu khawatir kalau mereka tahu diriku yang sebenarnya, mereka akan kecewa. Namun, mendengar mereka berkata begitu… itu membuatku benar-benar bahagia.


“…Yah, terlepas dari itu, Satsuki, lepaskan Satoshi.”


Reine mengulurkan tangannya, mencoba menarikku dari Satsuki.


“Apa-apaan, sih!”


“Berlaku seakan-akan tidak tahu itu curang sekali, ya, Satsuki-chan.”


Shuna masih tersenyum seperti biasa. Tapi tekanannya luar biasa. Meski nadanya lembut, hawa dingin yang membuat bulu kuduk merinding terasa dari balik suaranya.


“A-apa, maksudmu?”


“Jangan pura-pura…”


Shino dengan wajah datar mengangkat selembar kertas catatan dengan ujung jarinya.


『Aku akan membawa Satoshi keluar, jadi persiapkan pestanya ☆』


…Aku menatap Satsuki. Satsuki berkeringat deras, matanya gelisah tak tentu arah. Namun begitu mata kami bertemu,


“Ehehe, maaf ya ☆”


Ia menyatukan kedua tangannya, menjulurkan lidah, lalu mengedip nakal. Senyum manisnya punya daya hancur mematikan, hampir membuat jantungku berhenti seketika. Namun, segera saja hawa membunuh dari belakang membuatku tersadar kembali.


“Kencan berdua itu dilarang, kan? Itu sudah diputuskan dalam 【Perjanjian Empat Pihak】.”


Shino menatap Satsuki dengan tatapan tajam. Reine dan Shuna pun memperlihatkan wajah serupa. Kini ia benar-benar terkepung. Secara harfiah, Satsuki tidak punya jalan keluar.


──Sepertinya Satsuki jadi terlihat kasihan juga.


“Shino.”


“Ya?”


“Planetarium yang kita kunjungi dua hari lalu, menarik sekali, ya.”


“Benar! Sangat… ah.”


Ucapan Shino langsung terhenti. Tiga pasang mata tajam menancap padanya, membuatnya buru-buru mengalihkan pandangan.


“…Yah, standar ganda itu memang keahlian politisi. Aku sih setuju saja.”


“Eh, itu… anu…”


“Seperti yang diharapkan dari orang kaya, kata-katanya memang berbobot, ya~.”


“B-bukan begitu…! Itu hanya… bagian dari pembelajaran, maksudnya…!”


“Padahal kamu berani-beraninya menegurku dengan nada tinggi, ya?”


“Ugh…”


Shino mulai jelas-jelas panik. Melihat itu, aku mengalihkan pandangan ke Shuna.


“Kamu juga kalah total waktu itu.”


“Uuh, jahat sekali! Bukannya aku bilang itu investasi untuk masa depan, ya… ah.”


“Shuna?”


“Jadi, kamu juga…!”


“Coba deh, pikirkan dulu dengan perasaan seperti apa kamu menegurku tadi!?”


Bahasa laut tidak akan kalah!


Dengan keyakinan tanpa dasar itu, aku ikut Shuna pergi bermain pachinko setelah sekian lama. Hasilnya? Kalah telak. Kini Shuna menghadapi tuntutan ganda.


“──Siapa tahu, ya~?”


“Jangan menghindar, lihat ke sini.”


Ia mencoba menangkis dengan senyum tenang, tapi tatapannya melirik sedikit ke samping. Sepertinya batas kemampuan poker face-nya sudah habis. Yang tersisa hanyalah satu orang──


“Haa… kalian benar-benar tidak bisa menaati aturan, ya.”


Suara dingin Reine membuat semua orang menoleh ke arahku. Namun,


“Aku memang tidak pernah jalan berdua dengan Reine, kan.”


“Tuh, lihat sendiri.”


Dengan wajah bangga, ia menepuk dadanya. Ketiga orang lainnya pun, meski enggan, sedikit menundukkan pandangan dengan raut bersalah. Namun──


“Kalau soal curhat tentang bagaimana caranya bisa lebih akrab dengan kalian bertiga, itu sih memang pernah, ya.”


“Itu…!”


Wajah Reine seketika memerah, kulit putihnya langsung berubah layaknya gurita rebus. Keheningan pun menyelimuti ruangan.


“R-Reine sampai berpikir begitu, aku jadi senang sekali… ahahaha…”


Aku mencoba menutupi rasa canggung dengan tawa hambar, tapi justru membuat keempat pasang mata kembali menatapku.


Dalam sekejap, tatapan penuh rasa kesal menancap dari segala arah.


…Aku sebenarnya tidak salah, kan? Lagipula, yang membuat aturan bernama 【Perjanjian Empat Pihak】 itu adalah mereka berempat. Yang melanggarnya juga mereka sendiri. Bahkan yang mengajakku pun mereka.


Hah? Kalau aku tahu aturannya, kenapa tidak kutolak saja? Ya jelas saja mustahil!


…Oke. Dengan kata lain, aku juga ikut bersalah. Baiklah.


Ngomong-ngomong, Satsuki yang kini sibuk menuding tiga orang lainnya sebagai “sesama pelanggar aturan,” sebenarnya masih punya dosa tersisa: ia pernah pergi denganku berdua ke kolam renang malam. Saat aku melirik dengan rasa heran, bertanya-tanya betapa tebalnya wajahnya, tiba-tiba mata kami bertemu.


──Rahasia.


Ia melemparkan sebuah kedipan mata dengan sudut pas agar tidak terlihat orang lain. Ekspresinya jelas-jelas berkata, “Kalau tidak ketahuan, itu bukan dosa,” tanpa ada sedikit pun rasa bersalah.


…Ya, aku tidak akan membocorkannya. Lagipula, masing-masing dari mereka juga punya “dosa kecil” yang tidak pernah diungkapkan pada yang lain. Kalau ini diungkit lebih jauh, pasti hanya akan berubah jadi pertengkaran sia-sia.


“Ya, yah… mari kita anggap semuanya sama-sama salah. Untuk hari ini, biarkan saja dulu.”


“…Setuju.”


Salah satu dari mereka bergumam, dan itu cukup menjadi sinyal. Suasana yang menegang pun perlahan mencair.


“Ayo, kan hari ini kita merayakan sesuatu! Semua harus bersenang-senang!”


Dengan suara riang Satsuki sebagai pemicu, mereka semua serentak meraih lenganku, saling tarik-menarik ke arah masing-masing. Langkahku jadi berantakan, tapi jauh di lubuk hati, aku kembali merasakan hal yang sama seperti biasa.


Setiap kali melihat pemandangan ini. Setiap kali dikelilingi oleh keriuhan ini. Berkali-kali. Berkali-kali lagi.


“Aku benar-benar mencintai mereka…”


Kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku.


“Eh? Ada apa?”


Satsuki menoleh dengan tatapan heran.


“…Bukan apa-apa kok.”


Syukurlah, sepertinya ia tidak mendengarnya dengan jelas.


Sampai hari terakhir dalam hidupku nanti, aku akan terus berlari demi mereka semua. Karena itulah arti kelahiranku di dunia ini—sebagai Iriya Satoshi.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close