NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 7

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 7

Ramen Cup di Rumah Jadi Jalan Aman

Aku terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa.

"... Silau."

Sepertinya aku lupa menutup gorden, cahaya matahari yang masuk dari jendela menerangi tubuhku yang lemas seperti cangkang kosong.

Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Sudah lewat tengah hari.

Setelah membatalkan telepon dengan Yuna dengan alasan tugas belum selesai, aku tidak bisa tidur semalam. Begitu masuk ke dalam selimut dan menutup mata, wajah Sakuraba yang hampir menangis terus terbayang.

Mumpung besok hari Sabtu, aku akhirnya terus berselancar di internet sampai rasa kantuk datang. Setelah sekitar tiga jam menghabiskan waktu sia-sia mengumpulkan informasi, akhirnya gelombang kantuk datang juga. Sampai sekarang pun, aku hampir tidak ingat apa saja yang kulakukan sebelum akhirnya tertidur. Yang jelas, aku bisa tidur pada akhirnya.

Meski sudah lama menatap layar ponsel, aku tidak mengingat apa pun, jadi aku memeriksa riwayat pencarian. Layar penuh dengan hal-hal seperti "Pacar hubungan jarak jauh" dan "Ciuman kecelakaan." Rasanya benar-benar ingin mati.

"Apa gunanya cari tahu hal-hal begini..."

Apa aku sedang khilaf? Pasti aku tidak waras waktu itu. Tanpa mesin waktu, hal yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan. Artinya, meskipun ciumanku dengan Sakuraba disebut kecelakaan, itu tetap tidak bisa sepenuhnya dianggap tidak pernah ada.

Jadwal shift kerja paruh waktuku berikutnya baru ada di awal minggu depan. Pertanyaannya, apakah Sakuraba masih mau datang ke rumahku lagi? Bisa jadi dia tidak akan datang lagi.

Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, tapi tanpa sadar tanganku meraba bibir. Aku mengembuskan napas panjang. Meski pikiran-pikiran lain terus menyerang, aku akhirnya selesai juga mencuci muka.

Sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu, misalnya makan makanan enak di luar. Hari ini aku benar-benar tidak bisa masak sendiri. Kebetulan ada kedai ramen yang sudah lama ingin kucoba, jadi aku membuka ponsel.

Suzu: "Shii-kun."

Suzu: "Hari ini bisa ketemu?"

... Awalnya aku ingin mengabaikan, tapi mengabaikan pesan dari orang ini tidak pernah berakhir baik. Lagipula, kalau dia sudah menghubungi, berarti sesuatu pasti sudah terjadi.

Dengan enggan, aku membuka pesannya, berniat membalas singkat: "Tidak bisa." Tapi tiba-tiba bel pintu berbunyi ding-dong. Sial. Aku tidak ingin mengeceknya. Perasaan buruk menyelimuti.

Suzu: "Aku udah datang."

Aku menepuk kepala sendiri setelah membaca pesan tambahan itu, lalu menatap lewat lubang intip pintu. Yang terlihat hanyalah sepasang mata sipit indah dalam jarak dekat.

Seperti yang kuduga, itu Suzu. Jadi aku pun membuka pintu. Ia memakai kaus putih pendek dan celana training hitam, gaya sporty yang anehnya sangat cocok dengannya.

"Kalau aku ternyata tidak di rumah, kau mau bagaimana?"

"Hmm, mungkin nunggu sampai kau pulang?"

Terlalu berbahaya. Anak ini meremehkan keamanan Tokyo dan pesonanya sendiri.

Aku menjentik dahinya ringan. "Auw," ia menjerit pelan sambil menekan dahinya, tapi sama sekali tidak terlihat menyesal. Aku menghela napas, lalu mempersilakan Suzu masuk. Ia melepas sepatu kets yang penuh noda cat di pintu, menaruhnya rapi, lalu duduk di depan meja sambil berkata pelan,

"Permisi."

"Mau teh?"

"Boleh."

"Ah, maaf, stok tehnya habis. Air putih saja?"

"Apa saja."

Aku memang belum sempat belanja, jadi persediaan teh masih kosong sejak kemarin. Aku mengambil botol air minum cadangan dari rak dapur lalu menuangkannya ke gelas.

"Suzu, kau sudah makan siang?"

"Belum. Aku memang mau makan bareng Shii-kun."

"Kalau begitu, pergi makan ramen?"

"Ayo."

Inilah yang kusukai. Hal-hal sederhana seperti ini terasa ringan.

Dulu, sampai setahun lalu, hidupku selalu seperti ini. Sejak mulai tinggal sendiri, terlalu banyak hal tak terduga yang membuatku lelah.

Aku juga baru bangun, jadi aku meneguk air putih, lalu mengambil pakaian dan pergi ke kamar mandi. Meski dekat rumah, keluar dengan pakaian tidur tetap tidak pantas. Aku cepat-cepat berganti pakaian lalu keluar, dan mendapati Suzu sedang menatapku dengan ekspresi tak puas.

"... Bukankah lebih gampang kalau ganti baju di sini saja?"

"Justru aneh, nanti kita sama-sama canggung."

"Aku hanya ingin melihat bentuk ototmu."

"... Begitu, ya?"

Aku baru teringat, sebenarnya aku sedang dalam posisi tertekan oleh ancamannya. Dia pernah bilang hanya menginginkan tubuhku. Refleks, aku memeluk tubuh sendiri.

"Nanti saja."

Suzu menyentuh dadaku dengan ujung telunjuknya, lalu tersenyum samar dengan cara yang mencurigakan. Kalau dia bilang itu demi melukis, aku tidak akan bisa menolaknya.

Karena aku teringat kejadian kemarin, aku diam saja. Lalu Suzu berkata, "Ayo," sambil memakai sepatu ketsnya lagi. Rasanya semua ini semakin berjalan ke arah yang buruk.

Aku tahu, membiarkan hal ini terus berlanjut tidak baik. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana agar semuanya bisa selesai. Dari titik mana aku salah langkah?

Untuk saat ini, aku harus fokus pada yang ada di depan mata. Aku menepuk pipi sendiri pelan, lalu mengenakan sepatu kets pemberian Yuna di ulang tahunku dua tahun lalu.

"... Suzu, ini antre berapa orang?"

"Lima belas, enam belas, tujuh belas..."

Kami saling berpandangan. Kedai ramen yang terkenal enak di dekat sini ternyata jauh lebih ramai daripada yang kubayangkan. Karena perut kami sudah keroncongan, akhirnya kami langsung putar balik pulang. Tidak ada pilihan lain, jadi hari ini kami makan mi instan stok di rumah saja.

Begitu masuk, Suzu langsung melepas sepatu ketsnya sembarangan lalu menuju tempat tidur. Seperti yang kuduga, dia langsung terjun ke atas kasur dengan tenaga penuh.

"Eh, oi!"

Setelah terbaring beberapa detik sambil menghirup napas panjang, ia bangkit dengan ekspresi datar seperti biasa.

"Haa... Bau Shii-kun. Rasanya tenang."

"Jangan nikmati dengan cara begitu."

Anak ini benar-benar menganggap rumahku seperti hotel. Meski ini pertama kalinya Suzu datang ke rumah baruku, ia terlihat sangat akrab. Mungkin karena wajahnya sendiri yang sudah begitu kukenal.

"Akhirnya bisa datang ke rumah barumu, aku senang."

"Soalnya pindahnya agak jauh, kan. Hari ini juga butuh waktu lama?"

"Iya. Aku sampai tidak bisa naik kereta, jadi harus tanya petugas stasiun. Shinjuku menyeramkan..."

Serius, ini sudah tahun keenam dia tinggal di Tokyo. Sekalipun bisa dibela dengan alasan "seniman" yang memang sering dihubungkan dengan kurangnya keterampilan sosial, tetap saja memalukan.

Aku menepuk-nepuk punggungnya, lalu mengunci tubuhnya dari belakang dan menyeretnya turun dari tempat tidur. Suzu menurut saja ketika kutarik, tapi karena lama-lama terasa berat, aku menjatuhkannya begitu saja di dekat dapur. Dengan suara gedebuk, ia terhempas ke lantai. Rupanya cukup sakit, karena ia menatapku dengan mata berkaca-kaca seakan menyimpan dendam.

"... Onii-chan jahat."

"Jelas-jelas kau yang salah. Nah, mau pilih yang mana?"

Di rak bawah wastafel, tersimpan stok mie instan daruratku. Suzu langsung mengambil pilihan: mie instan edisi kolaborasi terbatas dengan restoran terkenal yang sudah tidak dijual lagi, dan kebetulan itu yang paling kutunggu-tunggu.

Anak ini memang jeli. Tak heran, ia sudah keliling mencoba ramen-ramen yang juga mendapat nilai tinggi dari blogger ramen terkenal, sama sepertiku.

"Itu... apa kau benar-benar mau yang itu? Ada banyak pilihan lain, lho?"

Namun, karena hanya ada satu, aku berusaha memikirkan cara supaya mie instan itu jatuh ke tanganku. Saat aku sibuk berpikir, Suzu tiba-tiba mendongak dan bergumam:

"Eh, sepertinya barang-barangmu bertambah banyak dibanding rumah lama?"

"Ah... itu, Sakuraba—maksudku, teman yang mengajariku masak—suka meninggalkan peralatan masak di sini. Lalu ada juga alat pengiris kubis yang dipaksa Natsukawa untuk kuterima."

"Jadi terasa tidak nyaman. Buang saja, yuk?"

"Itu terlalu kejam, rasanya."

Apa benar barang-barangku bertambah banyak? ... Sepertinya iya.

Dulu, bahkan piring dan gelas pun tidak ada. Wajan untuk omelet pun baru ada karena ditinggalkan Sakuraba, kalau tidak, aku tidak akan pernah punya.

Awalnya, aku hanya tahu pisau, talenan, dan wajan. Jadi, ketika Natsukawa dari klub masak memperkenalkanku pada gunting dapur, aku hampir menangis saking terharunya, lalu langsung memeluknya erat-erat. Gunting dapur memang terlalu praktis. Aku sangat menyukainya.

Entah apa yang membuat Suzu kesal, tapi jelas terlihat ia sedang tidak senang. Mungkin aku harus segera merapikan rumah. Lagi pula, aku tidak tahu kapan Yuna akan datang. Saat aku sedang memikirkan itu, Suzu tiba-tiba sibuk menggeledah rak buku.

"Keluarkan juga buku album kenangan SD-mu, yuk."

Ia menjulurkan sebuah buku berwarna cerah yang penuh nostalgia. Meski ia tidak satu angkatan denganku, lukisan Suzu dulu pernah dipajang dengan bangga di gedung sekolah, lalu dijadikan sampul album kenangan, sehingga entah bagaimana ia juga punya album kenanganku.

"Jelas-jelas ku tolak. Kalau kubiarkan keluar, mereka semua bisa melihatnya."

"... Kalau begitu, jangan undang mereka masuk ke rumah."

Ah, dia ngambek. Suzu duduk dengan posisi memeluk lutut, wajahnya menoleh menjauh dengan jelas menunjukkan sikap merajuk.

Berdasarkan pengalamanku, cara paling ampuh untuk mengembalikan mood-nya adalah dengan sedikit menggoda sampai ia luluh. Jadi aku duduk di depannya, lalu menempelkan dahiku ke dahinya.

"Teman paling dekat tetap kau, kan?"

"..."

"Mulai sekarang kau bisa datang kapan pun ke rumah ini."

"Kau kira kalau begitu aku langsung baikan?"

"Tepat, ya?"

"Tepat."

Suzu tersenyum seperti anak kecil, lalu seketika kembali ceria dan menatapku. Di tangannya, masih ada mie instan tadi.

"Kalau begitu, yang ini biar aku yang makan, ya."

"Hei, sadar tidak, aku ini tuan rumah!?"

"Tentu saja aku berterima kasih pada tuan rumah."

"Arghh... ya sudah, terserah!"

Aku benar-benar kalah. Dengan pasrah, aku mengambil mie instan favoritku yang lain—pilihan kedua terbaik—lalu mulai merebus air.

"Suzu, siapin lagu tiga menit, ya."

"Memang Shii-kun paling tahu. Pakai timer itu membosankan."

"Sebenarnya cuma karena aku tidak punya timer... eh, ada sih. Itu Sakuraba yang membelikannya."

Tiba-tiba terdengar suara ledakan gitar. Aku kaget menoleh, ternyata Suzu memutar musik death metal keras-keras. Segera kutekan tombol stop.

"Apa-apaan itu!?"

"Ups, salah pencet. Maksudku mau memutar ini."

"... Ini juga..."

Kali ini, musik folk dari entah negara mana yang mengalun. Pilihannya sungguh aneh.

Sambil menggerutu, aku menuangkan air panas ke dalam mangkuk mie instan. Kali ini aku memastikan Suzu benar-benar memutar lagu berdurasi tiga menit. Ternyata yang ia putar adalah lagu Vocaloid lama.

"Kau tahu? Lagu ini tahun ini genap sepuluh tahun."

"Serius? Rasanya dulu masih dianggap lagu baru, ya."

"Iya. Aku jadi ingat saat kita saling tukar daftar lagu favorit di UKS. Nostalgia banget."

Dulu, aku dan Suzu sering menulis daftar lagu kesukaan di kertas kecil, lalu bertukar dan saling memberi komentar. Karena itu, selera musik kami jadi mirip.

"Dulu mana pernah terpikir kalau suatu saat kita bakal makan mie instan sambil nonton MeTube bareng."

"Benar juga. Waktu itu aku bahkan merasa kita tidak akan pernah jadi dewasa."

"Kau juga belum dewasa, kan."

"Diam. Aku lebih dewasa dari Shii-kun. Aku sudah cukup umur buat menikah, tahu."

Sambil bernostalgia, lagu pun hampir selesai. Aku membuka tutup mangkuk mie instan dan mengaduknya. Karena aku lebih suka mie agak keras, jadi sengaja lebih cepat. Aku menambahkan pasta pedas bawaan, lalu segera menyeruput mie dengan penuh semangat. Pedas yang menggigit! Rasa junk food yang khas!!

"Uwaaaahhh, enak banget!!!!"

"Senangnya lihat senyum itu. Kalau penciptanya mendengar, pasti bahagia sekali."

Aku ingin pembuat mie ini tahu betapa mengagumkannya rasanya.

Lezat. Benar-benar lezat.

Akhir-akhir ini, berkat Sakuraba, aku sering makan masakan rumah. Rupanya, lidahku merindukan rasa junk food, sehingga mie ini terasa makin nikmat.

"... Hmm. Ini juga enak."

Suzu, yang lidahnya sensitif terhadap panas, meniup-niup mie sambil tetap berusaha menyeruput dengan semangat. Tampaknya dia sangat menyukainya.

"Ini harus dibeli lagi, ya."

"Jangan coba-coba menimbun di rumahku."

"Rumah Shii-kun adalah rumahku. Rumah yang sudah sangat kukenal."

"Ini kan pertama kalinya kau datang ke sini."

"Tajam sekali. Ketahuan, ya."

Bukan masalah ketahuan atau tidak. Ini benar-benar sikap punyamu punyaku, punyaku juga tetap punyaku.

Setelah itu, agar mie tidak keburu mengembang, kami berdua menyantapnya dengan penuh semangat, lalu untuk menenangkan perut kami mulai menonton film kelas B tentang hiu secara asal. Ternyata film itu justru luar biasa seru sampai kami menonton dengan mata terpaku.

"Shii-kun, ini film yang butuh cola dan keripik kentang!"

"Sial! Jadi aku yang harus ambil, ya!?"

"Kau kan tuan rumah."

Tidak masuk akal.

Akhirnya aku juga yang harus bangkit dari tempat duduk, bolak-balik antara kulkas dan depan televisi dengan kecepatan rekor pribadiku. Namun saat kembali, tokoh utama bernama Bob sudah lenyap dimakan dalam sekejap. Apa yang terjadi denganmu, Bob!?

Entah apa yang menimpa Bob. Itu tetap menjadi misteri, tapi yang jelas filmnya sangat menghibur.

Setelah itu, kami pun secara alami menyalakan Smash Beasters. Dulu aku selalu lengah dan gampang terlempar oleh serangan dash, jadi kali ini aku sudah mempersiapkan strategi untuk mengatasinya.

"Eh, kenapa kau bisa sejago itu!?"

"Kenapa, ya? Apa aku memang jenius?"

Sialan, dia benar-benar memancingku!!

Aku memakai karakter populer yang serba bisa, sedangkan Suzu memilih karakter perempuan dengan kostum unik hanya karena alasan suka penampilannya. Justru itulah yang makin membuatku kesal saat kalah.

"Ah, a────……"

Sebuah air N yang mulus dari lompatan ganda. Serangan di udara yang telak. Aku kalah lagi.

Setelah beberapa ronde, tingkat kemenanganku tetap rendah. Suzu memegang kontroler dengan ekspresi penuh kemenangan sambil mendongak ke arahku.

Ah, entah kenapa, rasanya menyenangkan sekali.

"Rasanya ya, aku memang paling senang kalau bersama denganmu."

"Begitu, ya. Mau menikah?"

"……kenapa pembicaraannya jadi ke situ?"

"Karena aku juga paling senang kalau bersama Shii-kun, dan kalau menikah kita bisa terus bersama."

"…………"

"Eh, cuma bercanda."

Bercanda, ya? Suaranya terdengar serius, tapi bobot ucapannya terasa ringan sekali.

Suzu memang selalu melontarkan lelucon dengan wajah datar, jadi sulit dibedakan.

Sialan, sempat bikin jantungku berdebar kencang. Sebagai balas dendam kecil karena dipermainkan, aku menekan-nekan tinjuku ke lengannya. Anehnya, kali ini Suzu tersenyum lebar dan dengan semangat berkata:

"Kalau begitu sesuai janji, tolong lepas bajumu."

"…………apa?"

"Atasnya dulu saja tidak apa-apa."

"……ini untuk menggambar, kan?"

"Iya."

Kalau bukan karena urusan itu, sudah pasti aku akan menuduhnya melecehkan. Tapi dia dengan wajah serius berkata, "Di dunia kita, ini hal yang wajar." Jadi aku diam saja dan melepas bajuku.

"Dingin?"

Aku menggeleng. Karena awal musim panas, sebenarnya tidak dingin,

hanya terasa sepoi-sepoi. Namun jantungku berdebar lebih kencang karena keadaan aneh: tubuh bagian atas terbuka dan ditatap lekat-lekat.

Dulu aku hanya menganggap Suzu sebagai adik kecil yang manis, tapi kenyataannya dia seorang perempuan. Lebih buruk lagi, dia sudah tumbuh menjadi wanita cantik dengan tubuh yang proporsional. Tidak wajar kalau aku tidak merasa gugup.

"Kalau begitu, boleh kusentuh ya."

"Eh, a──……!"

"Jangan geli begitu. Hal seperti ini sudah biasa kita lakukan sejak dulu, kan?"

Hei, ini sangat memalukan!! Jangan samakan dengan masa SD, ketika tubuh kita masih polos dan tak terlihat jelas perbedaan jenis kelamin. Apalagi, barusan kami bercanda seperti dua laki-laki, suasananya jadi berubah drastis sehingga aku makin tegang.

Suzu mengusap bagian tulang selangkaku, lalu dengan jari telunjuknya menelusurinya ke arah perut. Sentuhannya sangat lembut, seperti sedang memperlakukan sesuatu yang berharga, sehingga makin membuatku geli.

"Eh, Suzu-san? Daerah itu──!"

"Ini penting. Aku harus tahu bagian mana bentuknya begini, ada tonjolan di mana……"

Tangannya bergerak hingga ke sekitar pusar, lalu dengan tangan putih nan indahnya dia membelai otot perutku.

"Haha. Sudah berkembang."

"──cukup!! Sampai di sini!"

"Tidak boleh."

"Perlihatkan lebih banyak," katanya. Suzu pun menelusuri setiap bagian tubuhku, mengamatinya dengan teliti. Tatapannya yang begitu lurus membuatku tak bisa bergerak, bahkan menelan ludah pun terasa sulit.

Biasanya dia bertingkah kekanak-kanakan, tapi justru di saat seperti ini ia menampilkan wibawa sebagai kakak, pesona kedewasaan, semacam daya tarik yang tiba-tiba saja muncul. Benar-benar curang.

"Ada tahi lalat di sini rupanya."

Tiba-tiba dia menyentuh di atas tulang pinggulku, membuatku refleks melonjak.

"Yuna juga tahu?"

"Enggak……"

"Kalau begitu, cuma aku yang tahu."

Dia tersenyum tipis. Ucapan itu diutarakan dengan sangat berharga, seakan sebuah harta. Aku jadi makin bingung dan tegang. Namun segera setelah itu, Suzu kembali dengan ekspresi datarnya yang biasa.

"Sudah selesai. Silakan pakai baju lagi."

"……kau ini ya."

"Apa? Shii-kun juga ingin menyentuhku? Tidak apa-apa, kok."

"Jangan sembarangan bicara hal begituan."

Aku mendesah pasrah menghadapi sikapnya yang selalu tanpa waspada, lalu kembali mengenakan jaket training andalanku.

Suzu lalu meraih kepalaku yang baru saja keluar dari leher baju, dan mengacak-acak rambutku.

"Hei, hentikan!"

"Hehe. Shii-kun, kau tidak pernah ingin mewarnai rambutmu?"

"Itu dulu aku dimarahi habis-habisan sama Yuna."

"Begitu, ya?"

"Itu kan gara-gara kau……"

Itu kejadian tahun lalu. Tiba-tiba Suzu datang ke rumah dan meminta rambutnya diwarnai. Aku pun membantu dengan obat bleaching yang dijual di pasaran hingga rambutnya jadi pirang.

Tidak lama kemudian, entah bagaimana, dia bilang, "Shii-kun juga harus coba mewarnai," lalu memanfaatkan aturan sekolah yang longgar hingga akhirnya aku juga diwarnai menjadi berambut cokelat.

Sebenarnya aku tidak keberatan, bahkan cukup menyukainya. Tetapi saat itu Suzu dengan penuh semangat langsung melakukan panggilan video dengan Yuna, dan dengan sengaja berkata, "Lihat, ini Shii-kun punyaku. Keren, kan?" Akibat ulahnya itu, entah kenapa aku yang malah kena marah. Akhirnya aku terpaksa menghitamkan rambutku lagi. Hasilnya, rambut jadi rusak, Yuna pun marah, dan semuanya berakhir berantakan.

"Padahal Shii-kun jauh lebih cocok dengan rambut cokelat."

"Yuna yang melarang. Katanya akan memberi kesan buruk di mata orang tuaku juga, jadi aku tidak bisa mewarnainya lagi."

"Hm…… Jadi, sebenarnya kau memang berniat menikah dengan Yuna?"

Kalau ditanya terus terang seperti itu, aku hanya bisa terdiam.

Jujur saja, aku sama sekali belum bisa membayangkan diriku menikah dengan siapa pun. Aku bahkan belum pernah menghasilkan uang sendiri. Aku memang menyukai Yuna, tapi membayangkan hidup bersama seseorang seumur hidup? Aku sama sekali tidak bisa.

Aku juga tidak punya impian besar yang harus diwujudkan, atau tujuan hidup yang jelas. Jadi, aku hanya berpikir samar-samar, "Kalau terus begini mungkin ya akan berujung ke sana." Tapi tetap saja, rasanya aneh diperlakukan seolah-olah pernikahan itu sudah menjadi kepastian, padahal aku bahkan belum pernah melamarnya.

Suzu menatapku dengan wajah yang sangat serius, sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya.

"Shii-kun, keluarga itu lebih merepotkan daripada yang kau kira. Mereka masih bisa dengan enteng melakukan perjodohan yang sudah ketinggalan zaman. Bisa jadi mereka juga sudah menyelidiki tentang keluargamu tanpa sepengetahuanmu."

"……itu sih."

Aku memang menyukai Yuna, dan aku hanya berpacaran dengan Yuna. Tapi entah kenapa, selalu ada begitu banyak gangguan yang mengiringinya.

Untungnya keluargaku termasuk keluarga pindah tugas, jadi tidak banyak ikatan sosial. Tapi hanya karena aku mulai berpacaran dengan Yuna, orang tuaku jadi sering didekati dalam pertemuan wali murid.

Suzu sendiri pernah bilang keluarganya punya hubungan dengan keluarga Yuna. Kemungkinan besar mereka termasuk keluarga terpandang. Boleh jadi Suzu sendiri pun pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan karena keluarganya.

"Aku paling sayang sama Shii-kun. Jadi kalau ada apa-apa, langsung saja cerita. Aku pasti akan menolongmu."

"……berlebihan sekali."

Meskipun kubilang begitu, jauh di dalam hati aku sadar mungkin memang hanya tersisa satu tahun lagi. Aku tidak tahu apakah Yuna juga sadar, tapi orang tuanya pernah bilang ingin aku kuliah jurusan manajemen, bahkan sempat menyebut soal bantuan finansial. Dan, ya…… Kalau aku benar-benar kembali ke Mie, itu berarti aku tidak bisa dengan mudah bertemu lagi dengan Suzu, Natsukawa, Nikaidou, apalagi Sakuraba. Selama ini aku sudah beberapa kali mengalami perpisahan, jadi aku tahu persis betapa sulitnya pertemuan kembali. Justru itulah yang membuatku semakin sedih.

"Tapi, terima kasih. Akan kupikirkan baik-baik."

"Iya."

Suzu tersenyum kecil, jadi aku mengusap kepalanya dengan lembut. Karena dia kenal baik dengan aku dan Yuna, mungkin tanpa kusadari aku sudah membuatnya ikut memikirkan masalah ini. Dia benar-benar orang baik.

"Ngomong-ngomong, apa kau tidak apa-apa? Sudah mulai gelap."

Benar juga. Bukankah sebenarnya dia datang ke sini untuk menggambar? Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan alasan itu. Suzu hanya memiringkan kepala sebentar, lalu berkata, "Ah, iya."

"Hari ini aku memang datang hanya untuk menyentuh Shii-kun. Gambarnya nanti akan kulukis setelah pulang."

Benar juga, tadi dia datang dengan tangan kosong. Setahuku, kalau menggambar butuh kuas, cat, atau semacamnya.

"Kalau begitu, ya sudah."

"Jangan-jangan kau sebenarnya lumayan suka dijadikan model?"

"……yah, aku juga penasaran bagaimana hasil gambaranku kalau kau yang melukis."

"Itu pujian terbaik."

Suzu berkata begitu sambil menangkup pipiku dengan kedua tangannya.

"Seorang pelukis bisa mengabadikan suatu momen. Kalau sudah dituangkan dalam lukisan, maka momen itu akan jadi milik pribadinya."

Dia menambahkan, sambil menatapku lurus.

"Seandainya Shii-kun juga bisa jadi milikku."

Aku tercekat. Tidak bisa membalas sepatah kata pun, hanya bisa menatap Suzu. Meski mungkin hanya bercanda, kali ini aku tidak bisa menganggapnya ringan. Untuk pertama kalinya aku melihat Suzu tampak rapuh.

"……Shii-kun."

Suzu membuka mulut. Aku menunggu kalimat yang akan keluar dari bibirnya yang indah itu, tapi tiba-tiba── pling-pong. Suara bel pintu yang nyaring terdengar dari arah depan.

Padahal aku merasa tidak ada paket yang datang hari ini. Saat aku berdiri, bahkan tanpa mengangkat interkom, terdengar suara penuh semangat dari balik pintu.

"Sen──pai! Ayo kita bikin takoyaki party!"

Sepertinya, tamu kedua hari ini baru saja tiba.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close