NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Side 4

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Side: Sakuraba Haru

“Penyesalan Sang Dewi”

Beberapa hari setelah aku tahu kalau Midoriya-kun punya pacar.

Saat menjemputku sepulang kerja paruh waktu, Midoriya-kun tetap menjalankan perannya sebagai pacarku tanpa ada perubahan sedikit pun.

"Yo. Ayo cepat pulang," katanya sambil tersenyum ramah pada teman-teman kerjaku dan memberi salam sopan.

Sikapnya yang sama sekali tidak berubah itu membuatku hampir ingin tertawa, seolah-olah segala kegelisahan yang kurasakan tiap hari selama ini sama sekali tidak ada artinya.

"Midoriya-kun, hari ini juga terima kasih, ya."

"Bukannya begitu. Ini semua demi bisa makan masakan enak."

Kata-kata yang dulu kukira hanya basa-basi penutup rasa malu itu, baru kusadari beberapa hari lalu kalau memang hanya sebatas itu adanya.

Kalau kupikir baik-baik, sebenarnya Midoriya-kun sama sekali tidak bersalah. Sebagai ganti mengajarkannya memasak, aku meminta dia berperan sebagai pacarku. Sejak awal memang itu kesepakatan kami. Kalau kemudian aku yang menaruh harapan lebih dari hubungan itu, itu sepenuhnya salahku sendiri.

Aku yang salah mengartikan. Karena dia membiarkanku masuk ke rumahnya. Karena setiap kali aku memasak untuknya sambil bercakap-cakap ringan, dia selalu tertawa sambil bilang enak. Aku jadi yakin kalau dia sebenarnya tidak punya pacar.

Ah… betapa praktisnya aku memikirkan hal-hal sesuai keinginanku.

Seperti biasa, Midoriya-kun memasukkan tasku ke keranjang sepedanya, lalu mulai berjalan sambil menuntun sepeda itu. Aku pun buru-buru menyusul di sampingnya.

"Hari ini kita nggak perlu mampir ke supermarket, kan?"

"Ah, iya. Sepertinya masih cukup dengan sisa kemarin."

Aku bahkan tahu isi kulkasnya. Apa yang membuatnya senang, makanan apa yang dia suka atau tidak suka, berapa jumlah piring yang dia punya, bahkan stok bumbu masak di rumahnya. Hal-hal kecil semacam itu semua aku tahu. Kalau orang lain melihat, mungkin akan mengira ini percakapan sepasang kekasih.

Dulu aku berpikir, pergi ke supermarket bersama seorang laki-laki adalah sesuatu yang sangat istimewa, hal yang hanya bisa dilakukan pasangan. Bagiku itu pengalaman pertama, tapi bagi Midoriya-kun mungkin itu hal biasa. Aku yang mengira dia juga sama-sama berdebar. Aku yang terlalu percaya diri. Aku saja yang larut terbawa suasana. Karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, percakapan kami terhenti. Aku buru-buru mencari topik baru.

"Ngomong-ngomong, aku dengar dari Aoi-chan. Katanya hari itu, waktu kamu datang menolongku, sebenarnya kamu sudah janji dengan Aoi-chan ya?"

"Ah… ya, ada, ya?"

"Ada kok. Memang aku yang ditolong, tapi tetap saja membatalkan janji itu tidak baik, kan? Setidaknya kabari dulu, begitu."

Begitu keluar dari mulut, aku langsung menyesal.

Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin mengatakan hal seperti itu. Lihat saja, Midoriya-kun jadi menunjukkan wajah sedikit malas menanggapinya.

"Itu sudah kamu bilang ke Natsukawa?"

"Nggak, aku nggak bilang. Mana bisa aku ngomong begitu!"

"Kalau begitu, jangan bilang terus. Biar ini jadi rahasia kita berdua."

"…Kamu jahat, ya."

"Haha. Tapi kan, sekalipun itu hal buruk, kalau tidak ada yang tahu ya tidak apa-apa."

Yang dia ucapkan memang tidak bisa dibenarkan, tapi saat dia mengatakan "rahasia kita berdua", aku justru merasa senang. Aku yang bereaksi seperti itu, mungkin lebih parah lagi.

Seandainya aku tidak tahu kalau Midoriya-kun punya pacar, mungkin sekarang aku bisa dengan santai menggandeng tangannya, atau membiarkan diriku larut dalam ucapannya yang menggoda, tanpa merasa bersalah sedikit pun.

"Midoriya-kun, ternyata kamu punya pacar, ya."

"…Eh. Aku nggak pernah bilang, ya?"

"Nggak pernah. Baru-baru ini aku kaget sekali waktu Aoi-chan cerita kalau kamu punya pacar jarak jauh."

"Serius? Padahal waktu masuk klub masak aku sudah bilang di depan semua orang. Kupikir karena itu aku pasti sudah sempat bilang juga."

Midoriya-kun menjawab santai sambil terus menuntun sepedanya.

"Harusnya aku bilang dari awal, ya. Kalau begitu, Sakuraba pasti bisa lebih tenang."

Mungkin maksudnya karena waktu itu aku sedang resah gara-gara sikap manajer toko.

Ya, kalau dari awal dia bilang begitu, mungkin aku memang bisa lebih tenang. Aku tidak akan terlalu terombang-ambing hanya karena ucapan "kamu imut" atau "kamu calon istri yang baik." Aku tidak jatuh cinta pada Midoriya-kun. Sama sekali tidak. Bukan seperti itu. Tapi, dia menolongku. Dia memanggilku imut. Selama ini aku tidak pernah sekalipun menganggap Midoriya-kun hanya sekadar teman.

"Kalau begitu, kenapa kamu sering bilang aku imut, calon istri yang baik, dan hal-hal membingungkan lainnya?"

Pikiran yang selama ini terus berputar di kepalaku akhirnya tumpah lewat mulut. Rasanya ingin menangis. Pahit, menyakitkan, menyedihkan. Aku belum pernah merasakan hal semacam ini.

"Itu kan fakta. Sakuraba memang imut, dan memang terlihat seperti calon istri yang baik."

"~~ッ!"

"Sakuraba, kamu sendiri sebenarnya nggak menganggap aku tipe kamu, kan?"

"…Iya. Jadi, bukan berarti aku salah paham atau gimana. Hanya saja, hal-hal seperti itu, seharusnya kamu bilang lebih cepat. Karena aku sempat takut itu membuat pacarmu tidak nyaman."

Ya, benar. Sama sekali bukan tipeku. Masakannya kacau, tidak punya perasaan, dan sudah punya pacar tapi tetap lengket dengan adik kelas. Malah lebih tepatnya, aku mungkin tidak suka dia.

Padahal aku sempat membayangkan kapan dia akan menyatakan perasaan, sampai-sampai sulit tidur malam, dan berhari-hari bingung harus menjawab apa.

Sekarang kupikir, otakku benar-benar terlalu penuh bunga. Aku menatap tajam Midoriya-kun yang sedang tertawa riang di sampingku.

"Pacarmu, cantik?"

"Sangat cantik. Mau lihat fotonya?"

"…Nggak usah!"

Ah, sudah lah. Rasanya aku ingin mati saja.

Di kepalaku aku sempat berpikir begitu, tapi saat melihat senyum malu-malu Midoriya-kun, jantungku malah berdegup kencang. Itu membuatku semakin malu, sampai rasanya benar-benar ingin mati. Semoga saja tidak ketahuan.

Tidak apa-apa. Aku masih baik-baik saja. Masih bisa mundur kapan saja.

──────Harusnya aku masih bisa mundur.

"Tadi itu kecelakaan."

Kecelakaan? Sedikit pun aku tidak menganggapnya begitu. Meskipun semua "yang pertama" Midoriya-kun bukan denganku, aku ingin semua "yang pertama" milikku bersama Midoriya-kun.

Rasanya bahagia sekaligus menyakitkan. Seperti sudah terlambat untuk kembali.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close