Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Chapter 9
Omurice Tidak Lulus Uji
Sudah beberapa hari sejak Sakuraba berhenti datang ke rumah.
Aku sendiri, sejauh ini masih bisa bertahan. Masakan buatanku tetap saja tidak terlalu enak, tetapi dibandingkan sebelum dia mengajariku, perbedaannya bagai langit dan bumi.
Makanan yang berada di ambang batas “masih bisa dimakan atau tidak” kupaksa masuk ke dalam perut, lalu tidur. Hari-hari seperti itu masih sanggup kujalani. Hanya saja, baik saat berbelanja maupun memasak, Sakuraba selalu menemaniku. Karena itu, sekarang terasa ada kekosongan, sebuah kehilangan yang membuatku sepi.
“…Aku yang merusaknya, ya.”
Seandainya dari awal aku mengatakan bahwa aku sudah punya pacar, semuanya tidak akan jadi rumit. Mungkin saja aku dan Sakuraba bisa tetap menjalin hubungan sebagai teman yang baik.
Setelah membuat tumisan seadanya untuk makan malam, aku melangkah gontai keluar rumah menuju pusat perbelanjaan. Alasannya, ingin makan es krim karena mulut terasa hambar. Kebetulan juga hari ini Jumat, jadi kupikir boleh menghadiahi diri sendiri setelah satu minggu penuh bekerja keras… meski sebenarnya itu hanya alasan saja.
Tujuanku yang sebenarnya adalah memastikan Sakuraba tidak mengalami hal berbahaya. Meskipun aku hanya berpura-pura menjadi pacarnya, bukan berarti si pelaku benar-benar menyerah begitu saja. Untungnya tempat kerja paruh waktunya dekat dari rumahku, tepat di belakang minimarket yang menjual es krim favoritku belakangan ini.
Jadi, sebagai bentuk tanggung jawab sekecil apa pun, aku terus melakukan “patroli.”
“Baiklah. Seperti biasa, aman.”
Dari kejauhan, aku mengamati para pekerja paruh waktu yang sudah kukenal berjalan pulang satu per satu. Aku sengaja bersembunyi, karena mereka semua mengenalku sebagai pacar Sakuraba. Jika sampai ketahuan, pasti canggung. Meski mungkin sekarang mereka juga sudah melupakannya.
Bagaimanapun, sudah cukup lama sejak aku berhenti menjalani peran sebagai pacar palsu dan berhenti menjemput Sakuraba sepulang kerja. Namun, di antara mereka tidak ada Sakuraba. Bisa jadi dia sudah lebih dulu pulang, atau memang hari ini tidak mendapat jadwal shift. Apalagi, manajer toko yang biasanya bertahan hingga tutup pun kali ini tampak buru-buru keluar.
“Ah, baiklah. Sekalian beli es krim saja.”
Aku bergumam, meski tidak ada siapa pun yang mendengar, lalu melangkah ke arah minimarket. Saat itulah—
“Anda pacarnya Sakuraba-san, bukan?”
“Uwah!”
Aku terkejut dan langsung menoleh. Ternyata seorang pegawai wanita dari tempat kerja yang sama dengan Sakuraba berdiri di sana. Aku tidak tahu namanya, tapi kami pernah beberapa kali saling menyapa saat pulang.
Aku ragu untuk menyangkal, tetapi tidak juga bisa langsung mengiyakan. Saat aku terdiam, dia justru mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak kuduga.
“Maaf mendadak. Tapi… apakah Sakuraba-san sempat menghubungi Anda?”
“Eh…? Memangnya kenapa dengan Sakuraba?”
“Barusan, setelah dipanggil oleh manajer, dia tiba-tiba saja berlari keluar dari toko. Kami kira dia langsung pulang, tapi karena Anda ada di sini, saya jadi heran.”
Keluar dari toko… begitu saja? Sakuraba? Manajer yang tadi terburu-buru, dan Sakuraba yang lari seperti melarikan diri.
Pikiran buruk langsung melintas di kepalaku.
“Terima kasih! Aku coba hubungi dia.”
Aku buru-buru mengucapkan terima kasih, lalu bergegas menelpon Sakuraba. Kutelepon berkali-kali sambil menggenggam ponsel erat-erat, seolah berdoa, tapi panggilan itu sama sekali tidak tersambung. Bisa saja aku diblokir, atau mungkin memang ponselnya mati karena baterai habis.
“…Tidak boleh sampai sia-sia.”
Aku berbisik pelan, lalu mulai berlari, mencari ke tempat-tempat yang pernah kudatangi bersama Sakuraba. Aku harus menemukannya sebelum manajer itu.
“Jadi, di sini juga tidak ada…”
Kesimpulannya, aku salah kira. Aku sudah berlari ke mana-mana: ke supermarket langganan, ke restoran cepat saji tempat biasa, bahkan ke depan apartemenku sendiri. Tapi Sakuraba tidak ada.
Itu sebenarnya kabar baik. Lebih baik prediksi burukku meleset. Mungkin saja bukan karena masalah manajer, melainkan sekadar sakit mendadak, lalu dia sudah pulang lebih dulu dengan kereta.
Aku sedang menenangkan napas di depan apartemen ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin jatuh mengenai lenganku.
“Hah, hujan pula!”
Benar-benar hari sial. Aku berniat masuk ke kamar, tapi sempat ragu, lalu memutuskan untuk membawa dua payung dan keluar lagi.
Bagaimana kalau Sakuraba sedang mengalami pelecehan lagi dari manajer, lalu kehujanan pula? Kasihan sekali. Lagipula aku juga belum jadi membeli es krim.
Baiklah, satu putaran terakhir, baru aku berhenti. Begitu gumamku dalam hati, aku kembali berlari. Pusat perbelanjaan memiliki bagian yang beratap dan bagian yang terbuka. Aku memeriksa dengan saksama area yang tidak beratap. Namun, Sakuraba tidak ada di sana juga. Hujan yang awalnya seperti gerimis pelan kini berubah deras, hingga layak disebut hujan lebat. Saat aku memutuskan berhenti dan berniat pulang—
“…Sakuraba?”
Di tepi jalan yang gelap tanpa penerangan lampu jalan, aku melihat sosok yang terbungkuk. Meskipun samar, instingku langsung mengenalinya dan aku berseru.
“…Midoriya-kun.”
Benar, itu Sakuraba. Aku buru-buru berlari mendekat dan menaungi dengan payung. Wajah cantiknya basah kuyup, namun ia tetap memaksakan senyum rapuh, bibirnya sedikit terbuka.
“…Tolong aku…”
“…!”
Aku refleks merangkul pundaknya dan membantunya berdiri. Tubuh Sakuraba lunglai, seluruh berat badannya bersandar padaku. Badannya terasa dingin sekali, mungkin karena lama diguyur hujan. Dingin itu membuatku tersentak.
Dengan susah payah menopangnya, aku membawanya pulang. Saat sampai di rumah, jam sudah lewat pukul sepuluh malam.
Setelah sampai di rumah, Sakuraba sepertinya mulai pulih—mungkin karena hangat oleh suhu tubuhku—hingga akhirnya ia bisa berbicara dengan normal.
Meski begitu, aku masih khawatir, jadi aku buru-buru menyiapkan air hangat di kamar mandi dan “melemparnya” masuk. Terus terang, hanya mendengar suara air dari dalam kamar mandi saja sudah membuatku tegang, tapi kali ini keadaan darurat, jadi kupaksa menekan diri.
“…Midoriya-kun, itu… kau punya cleansing oil, atau semacamnya?”
“Ada. Buka rak kanan di wastafel.”
“Terima kasih.”
Tentu saja cleansing oil itu milik Yuna, yang pernah ia tinggalkan di sini. Kurasa kalau hanya berkurang sedikit, tidak akan ketahuan.
Selesai membereskan sedikit pekerjaan di dapur, aku menjatuhkan tubuh di atas kasur dengan tangan dan kaki terentang, lalu menarik napas panjang.
Karena ruangan sunyi, samar-samar aku bisa mendengar suara dari kamar mandi.
Berhenti. Jangan membuatku membayangkan hal yang tidak-tidak.
Sambil berusaha menenangkan napas, tiba-tiba ada panggilan masuk di ponselku. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku segera bergeser ke sudut ruangan dan menekan tombol panggil.
『Halo…』
“Maaf, sekarang aku lagi repot! Mungkin malam ini tidak bisa bicara!”
『Eh? Kau baik-baik saja? Haruskah aku menelepon lagi nanti?』
“Sejujurnya, aku sedang kurang enak badan. Aku ingin cepat tidur. Maaf, ya.”
『Tidak apa-apa. Jaga kesehatanmu.』
Aku mengucapkan kebohongan yang sangat klise. Mana mungkin aku mengatakan bahwa aku sedang menampung teman sekelas yang baru saja mengalami pelecehan? Lagi pula, sebelum Sakuraba keluar dari kamar mandi, aku harus sudah menutup telepon.
Tapi tetap saja, itu hal yang rendah dariku. Melihat Yuna, yang sama sekali tidak curiga dan sungguh-sungguh mengkhawatirkanku, membuatku merasa bersalah dan semakin muak pada diriku sendiri.
『Ngomong-ngomong, Shiki, suaramu terdengar lebih serak dari biasanya. Tidurlah yang hangat, ya?』
“Ya, terima kasih.”
『Kalau begitu, selamat malam. Semoga mimpi indah.』
Aku membalas “selamat malam,” lalu Yuna menutup telepon.
Sesaat kemudian, terdengar suara pintu lorong terbuka, lalu suara manis khas seorang gadis.
“Midoriya-kun, aku sudah selesai mandi.”
Aku hampir mati saking tegangnya. Rasanya seperti baru saja melewati tali yang hampir putus di atas jurang. Aku membalas singkat, lalu menoleh ke arah suara.
Dari kamar mandi muncul Sakuraba yang mengenakan jaket training milikku, kebesaran, yang menjuntai di tubuh mungilnya. Tunggu. Tunggu, tunggu. Tunggu sebentar! Aku jelas sudah memberinya bawahan juga. Kenapa sepasang kaki jenjangnya malah terlihat keluar dari bawah jaket itu?
Sensasi saat kakinya melilit kakiku waktu pesta takoyaki tiba-tiba teringat kembali, membuatku buru-buru mengalihkan pandangan.
“…Sakuraba, kenapa tidak pakai celana?”
“Pinggangnya terlalu longgar, jadi melorot. Tadi sempat tersangkut dan aku hampir jatuh… Rasanya lebih aman kalau tidak kupakai sekalian.”
Kalau Sakuraba merasa baik-baik saja, aku pun tidak masalah. Bahkan, lebih dari sekadar tidak masalah—ini sungguh pemandangan yang membuatku hampir bersorak dalam hati.
Sambil menenangkan diriku, aku mempersilakan Sakuraba duduk di atas bantal dengan gaya “pacar bohongan mengenakan jaket” itu. Dia pun menundukkan kepala dalam-dalam.
“Maaf sudah merepotkan!!”
“Tidak apa-apa, sungguh…”
“Tidak! Aku yang dulu meminta berhenti berpura-pura jadi pacarku, tapi malah menyalahgunakan kebaikanmu, dan akhirnya seperti ini…”
“Serius, tidak masalah. Tapi… mungkin aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Sejujurnya, aku sama sekali tidak merasa terganggu. Malah, aku berpikir semua ini salahku juga. Tapi aku tetap penasaran: kenapa Sakuraba bisa sampai duduk meringkuk di jalan gelap, basah kuyup oleh hujan?
Saat aku bertanya, wajah Sakuraba terlihat penuh rasa bersalah. Lalu perlahan-lahan ia mulai bercerita.
Ringkasnya begini: sejak aku berhenti berperan sebagai pacarnya, pelecehan dari manajer semakin menjadi-jadi. Dan hari ini, akhirnya manajer itu mengancam: “Kalau tidak mau jadi pacarku, aku akan membongkar soal pekerjaan paruh waktumu ke sekolah.”
Kalau saja dia berusaha mendekati Sakuraba dengan cara normal, mungkin masih bisa disebut “mencoba.” Tapi menggunakan ancaman seperti itu? Benar-benar hina.
Sakuraba tetap menolak. Akibatnya, manajer itu hampir menggunakan kekerasan. Karena itulah dia lari keluar.
“Aku sudah terlanjur menuliskan alamat rumah di riwayat lamaran, jadi aku takut pulang. Baterai ponselku juga habis. Saat aku bingung harus ke mana, tiba-tiba hujan turun, aku panik, terjatuh… dan akhirnya tidak bisa bangun lagi. Jadi aku hanya tetap di sana.”
“Hari terburuk, ya…”
Hanya mendengarnya saja sudah membuatku ikut sedih. Bisa dibilang, dari semua orang di sekitar sini, hari Sakuraba pasti yang paling menyedihkan.
“Yang penting, kau berhasil kabur. Untung juga lukamu tidak parah. Tapi… kau harus berhenti kerja di sana.”
“Aku akan berhenti…”
“Bagus.”
Kalau saja dia berkata ingin lanjut, mungkin aku sudah mendatangi toko itu sendiri untuk memaksanya berhenti.
Oh, dan soal bagaimana aku bisa menemukannya, aku bilang saja bahwa aku kebetulan lewat saat mau membeli es krim di minimarket. Kalau harus menjelaskan semuanya dari awal, terlalu repot. Yang lebih penting sekarang adalah memastikan Sakuraba tidak masuk angin.
Setelah obrolan agak reda, aku pergi ke wastafel dan mengambil pengering rambut, lalu kembali ke ruang tengah.
“Sakuraba, ini. Kalau rambutmu tetap basah, nanti masuk angin.”
“Terima kasih.”
Ia menerima benda itu, memandangi tombol-tombolnya sebentar, lalu menurunkan alisnya dengan wajah bingung.
“…Maaf. Aku sepertinya tidak tahu cara memakainya.”
“Ya, itu memang agak rumit.”
Pengering rambut itu tentu milik Yuna juga. Sepertinya barang mahal, karena fiturnya banyak dan agak susah digunakan.
Aku mengambil kembali dari tangan Sakuraba, lalu memilih mode yang biasa kugunakan saat mengeringkan rambut Yuna. Kalau tidak salah, mode “lembap” namanya. Lalu aku langsung menggenggam sejumput rambut Sakuraba.
“K-ka-kalau mengeringkan rambut, aku bisa melakukannya sendiri…!?”
“Tidak apa-apa. Serahkan padaku. Aku suka mengeringkan rambut orang lain.”
Aku sendiri jarang perlu mengeringkan rambutku yang pendek. Justru karena itu, mengeringkan rambut panjang terasa menyenangkan.
Sakuraba tampak canggung, tapi juga kelihatan sedikit senang. Jadi aku lanjutkan saja.
“…Ini tidak adil.”
“Hm? Sakuraba, kau bilang sesuatu?”
Suara pengering rambut terlalu bising, jadi sulit terdengar. Aku mendekatkan wajah untuk memastikan, tapi Sakuraba tidak mengulanginya.
Rambut Sakuraba terasa lembut dan halus, berbeda dengan Yuna. Menyentuhnya terasa nyaman. Setelah cukup kering, aku mengganti ke mode udara dingin untuk memastikan panasnya benar-benar hilang.
Saat hasilnya selesai, Sakuraba tersenyum sambil berkata, “Hebat! Seperti penata rambut!” Sepertinya semangatnya mulai pulih. Teknik yang dulu kupelajari ketika dipaksa Yuna menonton video di MeTube ternyata berguna juga.
“Ngomong-ngomong, Midoriya-kun, kau sudah makan malam? Kalau belum, sebagai ucapan terima kasih aku bisa…”
“Aku sudah makan, jadi tidak apa-apa. Lebih penting lagi, bukankah kau ingin memeriksa perkembangan murid kesayanganmu?”
“Eh?”
Aku membawa Sakuraba, yang tampak bingung, ke dapur. Lalu kuhidangkan masakan yang kubuat ketika ia mandi, setelah dengan susah payah menyingkirkan segala pikiran yang mengganggu.
“…Omurice?”
“Ya. Memang sudah agak dingin, sih.”
Itu menu pertama yang pernah dibuatkan oleh Sakuraba untukku, sekaligus menu pertama yang diajarkannya padaku.
Selama dua minggu terakhir, aku sudah memutuskan bahwa ini akan menjadi hidangan pertama yang kutunjukkan pada Yuna. Karena itu aku berlatih beberapa kali, dan dari semua repertoirku, aku paling percaya diri pada masakan ini.
“Tadi perutmu sempat berbunyi, jadi…”
“…Uuuh. Sebenarnya tadi aku memang mencium aroma yang enak sekali. Sejujurnya, aku belum sempat makan malam. Boleh aku makan ini?”
“Tentu saja. Memang kubuat untukmu.”
Sakuraba perlahan menyendok omelet nasi itu. Saat aku memperhatikannya dengan wajah serius ketika ia memasukkan sesuap ke mulut, ia protes, “Jangan menatap terus.”
Menurutku hasilnya cukup bagus, meskipun ada sedikit bagian telur yang gosong. Aku menutupinya dengan gambar kucing dari saus tomat. Karena ada trik kecil semacam itu, aku sempat khawatir, tapi melihat Sakuraba memakannya dengan lahap, tampaknya tidak seburuk itu. Aku merasa lega, lalu mengambil sesuatu yang sudah kusimpan di laci.
“Aku memang berniat memberimu ini.”
“…?”
Sakuraba berhenti menggerakkan sendok dan menatapku bingung. Ketika ia membuka bungkusannya, ekspresinya berubah dari bingung menjadi terkejut besar.
“Kenapa… ini?”
“Kau pernah bilang menginginkannya, kan?”
Di telapak tangannya ada sebuah cincin mainan berwarna merah muda.
Mungkin karena produk kolaborasi yang populer, meskipun hanya hadiah dari paket makanan anak, hasil buatannya cukup bagus.
“Aku sampai bosan makan paket spesial itu.”
Makanan di Wack selalu enak, jadi aku memesan paket spesial hanya karena iseng. Tanpa terasa, aku sudah menghabiskan tujuh kali pesanan, sampai akhirnya berhasil mengoleksi semuanya. Sisa mainannya kusimpan sebagai pajangan di kamar.
Saat aku menatap Sakuraba dengan wajah bangga, setetes air mata jatuh dari matanya.
“…Aku akan—”
“Hm?”
“Aku akan menjaganya selamanya! Kalau aku mati, aku mau cincin ini
ikut dimasukkan ke dalam kuburanku…!”
Hei, tunggu. Untuk mainan dari paket makanan anak? Aku ingin menghentikannya, tapi Sakuraba menggeleng keras, bersikeras akan menjaganya sampai mati. Melihat ia sebegitu bahagia, aku jadi merasa campur aduk, seharusnya kuberikan sesuatu yang lebih baik.
Sakuraba buru-buru mengusap air matanya, lalu tanpa ragu menyematkan cincin itu di jari manis tangan kirinya.
Itu kan… sedikit, tidak, sangat bermakna. Apa tidak masalah mengenakan mainan murahan yang kebetulan ia terima dariku?
Aku sempat panik memikirkannya, tapi wajah Sakuraba begitu bersinar penuh kebahagiaan ketika menatap cincin itu, hingga aku tak sanggup berkata apa-apa.
Sekilas terlintas di benakku: aku bahkan belum pernah memberikan cincin pada Yuna. Apa ini sebuah kesalahan fatal? Keringat dingin langsung muncul, tapi toh Yuna tidak akan tahu. Lagi pula, melihat Sakuraba sebegitu bahagia, kurasa tidak masalah.
Sakuraba kembali mengusap air matanya, lalu melanjutkan menyantap omelet nasi buatanku.
“Kalau cuma seperti ini, sama sekali belum cukup.”
“Apa maksudmu…?”
“Aku akan menghabiskan semua masakan yang kau buat. Tapi, sebagai gurumu, aku belum bisa memberimu nilai lulus.”
Dengan senyum lembut yang bercampur sisa air mata, ia melanjutkan:
“Sepertinya aku masih harus terus membimbingmu.”
Artinya, ia akan tetap mengajariku memasak. Aku tidak bisa menahan senyum yang muncul begitu saja, lalu segera mengendalikannya dan berjalan menuju rak tempat aku menyimpan barang-barang penting. Dari dalam laci paling depan, kuambil sebuah benda dan melemparkannya pada Sakuraba.
“Nih, kunci cadangan rumahku.”
“…Hah?”
“Meski kau berhenti kerja, bukan berarti sudah pasti aman. Kalau suatu saat kau bertemu lagi dengan manajer itu, atau bahkan kalau dia sampai menungguimu di rumah, kau bisa langsung datang ke sini kapan saja.”
Setelah kejadian tadi, jelas Sakuraba butuh tempat yang benar-benar aman. Karena alamat rumahnya sudah diketahui dan tidak ada orang lain yang bisa ia andalkan—hanya aku yang tahu soal pekerjaan paruh waktunya—aku sampai pada kesimpulan ini.
Memang agak berlebihan memberikan kunci rumah, tapi aku tidak ingin menyesal jika suatu hari terjadi sesuatu. Meski ia bukan pacarku, Sakuraba tetap seseorang yang berharga bagiku.
“Kalau nanti tidak perlu lagi, kembalikan saja. Anggap saja ini jimat, sebagai tempat berlindung kalau kau butuh.”
“Aku jadi terus menerima pemberian darimu…”
Sakuraba berkedip beberapa kali, menatap kunci di telapak tangannya. Lalu ia berbisik pelan, “Terima kasih,” sambil membelai permukaannya dengan lembut, seolah memastikan keberadaannya.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan kepala masih terasa berat.
“…Tenggorokanku… sakit…”
Sepertinya aku benar-benar terkena flu. Mungkin karena semalam berlari ke sana kemari di tengah hujan, tubuhku jadi drop. Kepalaku terasa sangat berat, kemungkinan besar juga disertai demam. Aku sempat berpikir, akhirnya kebohonganku jadi kenyataan. Tapi di sisi lain, aku juga kagum pada Yuna yang bisa menyadari perubahan kecil pada suaraku hanya dari telepon, padahal aku sendiri tidak menyadarinya.
“…Nnn…”
Saat menoleh ke samping, kulihat Sakuraba tidur dengan wajah tenang. Meski disebut “di samping,” sebenarnya ia tidur di tempat tidurku, sedangkan aku di futon yang kupasang di lantai… mungkin itulah juga salah satu penyebab aku jadi jatuh sakit.
Jujur saja, Sakuraba itu manis. Kalau ditanya apakah aku menyukainya, tentu jawabannya iya. Tapi kalau dibandingkan, apakah aku lebih menyukai Sakuraba daripada Yuna, aku bisa tegas menggeleng. Aku sudah terlanjur terlibat, jadi aku harus melindunginya. Dengan alasan itu pula aku menumpuk rahasia yang tak bisa kukatakan pada Yuna. Meski begitu, orang yang paling aku cintai tetaplah dia, kekasihku.
Hanya saja, aku tetap butuh Sakuraba untuk mengajarkan masakan. Karena itu, kurasa akan lebih baik bila hubungan kami tetap seperti sekarang.
“Selamat pagi.”
Sakuraba membuka matanya perlahan. Saat aku menyapanya, ia sempat terlihat bingung, lalu sepertinya baru teringat bahwa ini rumahku. Ia pun tersenyum tipis.
“…Selamat pagi.”
Setelah itu, ia berdiam diri di atas ranjang hampir sepuluh menit dengan wajah kosong, lalu akhirnya menyeret tubuhnya untuk bangun. Ia berjalan goyah ke kamar mandi, mencuci muka, dan kembali dengan ekspresi jauh lebih segar, seolah orang yang berbeda.
“Kau sebenarnya boleh saja… tetap sedikit mengantuk lebih lama.”
Soalnya, wajah Sakuraba yang baru bangun itu benar-benar menggemaskan. Ah, suara serakku parah sekali.
“H-hentikan! Malu, tahu! Aku tidak bisa terus-terusan seenaknya tidur di rumah orang lain… eh? Suaramu aneh, ya?”
Aku juga merasakannya. Setiap bicara, tenggorokanku perih.
“Kayaknya aku kena flu. Kalau Sakuraba, kau baik-baik saja?”
“Aku sama sekali tidak apa-apa. Midoriya-kun, kau pasti mencariku keras-keras tadi malam, kan…?”
“…Bukan begitu.”
“Jangan bohong. Orang dari tempat kerja paruh waktuku sudah menghubungiku, kok. Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan beli kompres dingin dan yang lainnya!”
Di rumahku memang tidak ada perlengkapan untuk merawat orang sakit. Sakuraba, yang bahkan lebih hafal isi rumahku daripada aku sendiri, buru-buru mengganti pakaian dengan seragamnya. Anehnya, ia malah tampak senang, lalu dengan terburu-buru keluar rumah.
Aku, yang tubuhnya terasa sangat lemas hingga untuk bangkit saja berat, hanya bisa melihatnya menutup pintu dengan kunci cadangan.
Beberapa saat kemudian, ketika aku sedang menatap langit-langit, bel interkom tiba-tiba berbunyi.
“…Siapa lagi, sih.”
Mungkin kurir. Sesaat aku mengira Sakuraba sudah kembali, tapi kalau itu benar, ia pasti masuk dengan kunci. Kalau ternyata cuma iklan atau sales, aku tidak akan pernah memaafkannya. Dengan pikiran itu, aku menyeret tubuhku dan mengintip melalui lubang pintu.
“…!”
Sepasang mata sipit dengan rambut hitam berkilau.
“Shiki?”
Satu-satunya orang yang memanggilku tanpa embel-embel adalah kekasihku.
Aku panik. Segera kembali ke kamar, futon tempatku tidur tadi langsung kulempar masuk ke dalam lemari. Untungnya, kamar dan kamar mandi sudah dibersihkan semalam oleh Sakuraba—ia memaksa ingin membantu setidaknya sejauh itu—jadi tidak ada masalah.
Kemudian, aku cepat-cepat mengumpulkan semua barang milik Sakuraba, melemparkannya ke balkon, lalu menutupinya dengan terpal plastik. Aku sendiri kaget dengan betapa gesitnya gerakanku, padahal sebelumnya tubuhku lemas sekali. Sakuraba, sungguh maaf!
Bel berbunyi lagi untuk kedua kalinya. Aku bergegas ke pintu, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. Aku kembali untuk mengambil ponsel dan mengirim pesan:
“Maaf, jangan pulang dulu. Nanti kuberikan barang-barangmu.”
Setelah memastikan pesannya terkirim, aku membuka pintu. Seperti dugaanku, Yuna berdiri di sana dengan kedua tangan penuh kantong belanja dari apotek.
“…Yuna!? Kenapa kau—”
“Hati-hati! Kau ini selalu sembrono.”
Tubuhku, yang kelelahan akibat semua tindakan panik tadi, langsung ambruk ke depan. Yuna segera menangkapku dalam pelukannya, lalu menghela napas lega.
“Begitu tahu Shiki sakit, aku… sama sekali tidak bisa konsentrasi belajar. Jadi aku ikut ayahku yang kebetulan ada perjalanan dinas ke Tokyo.”
“…Itu terlalu berlebihan, kan.”
“Yang hampir tumbang sekarang itu kamu, tahu. Benar-benar… Shiki tidak bisa hidup tanpa aku.”
Meski kata-katanya terdengar seperti keluhan, wajah Yuna justru tersenyum bahagia.
Katanya, cinta adalah ketika seseorang diam-diam berharap orang yang ia sukai memiliki kekurangan yang bisa ia perbaiki. Kalimat dari novel cinta yang pernah kubaca dulu tiba-tiba kembali terngiang di kepalaku.
“…Tapi serius, kau benar-benar cepat menyadarinya, ya…”
“Ya jelas saja aku sadar. Soalnya… aku pacarmu.”
“Aku cinta kamu.”
“Hah!? Kenapa tiba-tiba!? Pasti kamu lagi demam, kan!?”
Aku merebahkan tubuh pada Yuna, dan di tengah kesadaranku yang mulai memudar, pemandangan saat aku membuka pintu tadi terlintas kembali. Di atas tangga spiral menuju lantai dua, seolah aku sempat melihat Sakuraba berdiri sambil memeluk kantong belanja besar.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
Post a Comment