NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Side 5

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Side: Sakuraba Haru

“Kalau saja aku masih bisa menjadi seorang putri”

Dulu, saat di TK, aku pernah terpilih menjadi pemeran putri dalam sebuah drama panggung. Tapi tidak lama kemudian, peran itu diganti dengan anak lain yang menjadi “batu.” Itu karena aku menangis—padahal Ibu sudah bilang akan datang menonton. Aku tahu keluargaku tidak akan pernah datang menonton pertunjukan. Jadi, meskipun aku berusaha keras memerankan seorang putri, kalau tidak ada yang senang melihatnya, rasanya itu tak ada artinya.

Sejak hari itu, aku merasa hal-hal yang sungguh kuinginkan tidak akan pernah bisa kucapai. Dengan tergesa-gesa aku membeli semua yang kira-kira diperlukan untuk merawat orang sakit, lalu berlari menaiki tangga apartemen. Namun, pintu kamar Midoriya-kun sudah terbuka.

“…Pacarnya Midoriya-kun?”

Orang yang menopang bahu Midoriya-kun yang tampak sangat lemah itu adalah seorang perempuan yang cantiknya luar biasa. Rambut hitamnya yang terawat rapi dan kulit putih beningnya membuatku tertegun. Tatapan matanya yang penuh kasih saat melihatnya, begitu kuat dan tegas—benar-benar kebalikan dariku. Suara yang terdengar pun lantang dan berwibawa, persis suara yang pernah kudengar melalui telepon hari itu.

Pasti benar, pemilik cleansing oil mahal dan pengering rambut berteknologi tinggi yang kupakai kemarin, memang dia. Aku hanya bisa terpaku menatap, lalu keduanya masuk ke dalam kamar. Sesuatu menyentuh kakiku, dan ketika kulihat ke bawah, ternyata kantong belanjaanku terjatuh tanpa kusadari. Sebotol minuman olahraga menggelinding keluar.

“…Hah.”

Aku tahu seharusnya segera memungutnya. Tapi tubuhku bergerak sangat lambat.

“…Aku benar-benar terlihat bodoh, ya.”

Kuambil botol itu, menatapnya kosong. Pandanganku tiba-tiba kabur, sampai-sampai aku tidak bisa membaca tulisan di kemasannya.

“…Ugh, hhic… uuh…”

Ini pasti hukuman. Hukuman karena aku jatuh cinta pada seseorang yang sudah punya pacar, dan tetap berharap dia menjadi milikku. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Saat menyadarinya, aku sudah tidak bisa mundur lagi.

“…Uuh… aah… hhic…”

Aku menutup mulut dengan tangan agar suara tangisku tidak terdengar dari dalam kamar. Aku tahu dia sudah punya pacar. Tapi sepertinya aku belum benar-benar memahami artinya.

Dalam pengertianku, seorang laki-laki yang sudah punya pacar tidak akan memberikan cincin atau kunci cadangan rumahnya pada gadis lain.

“Kalau memang tidak berniat menjadikanku pacar, jangan kasih aku cincin itu!”

Padahal, aku senang sekali. Dia ingat hal kecil yang pernah kuucapkan, bahkan memberikannya padaku sebagai hadiah. Aku sempat berharap, walau sejenak—mungkin hubungannya dengan pacarnya tidak berjalan baik, mungkin dia mulai menyukaiku. Tapi melihat kenyataan, aku tahu itu mustahil. Mereka terlihat begitu bahagia.

Sementara aku? Aku hanya gadis dengan seragam sekolah, rambut acak-acakan dan wajah tanpa riasan, baru bangun tidur, dan sekarang duduk terjepit di tangga karena diusir halus dengan pesan “jangan pulang dulu.”

Awalnya kupikir itu kejam. Tapi dari posisiku—“seorang teman yang numpang tidur di rumah orang yang sudah punya pacar”—tentu saja aku harus bekerja sama agar tidak menimbulkan salah paham.

Menyadari itu, air mataku semakin deras. Di layar ponsel yang kugenggam erat, pesan terakhir darinya masih menyala.

Saat dia sedang sakit dan lemah, aku tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Aku ingin menyembunyikannya, ingin aku yang menolong-nya. Aku bisa memasak makanan bergizi, membuatnya mudah ditelan, menyusunnya setiap hari agar dia tidak pernah jatuh sakit lagi. Aku ingin menolongnya—setelah semua bantuan yang sudah dia berikan padaku.

“…Hhic…”

Aku patah hati. Sejak awal aku tahu cinta ini tidak punya harapan. Jadi aku harus menyerah. Itu saja. Aku jatuh cinta pada orang yang sudah punya pacar, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau aku terus menyukainya, hanya akan merepotkan.

Aku harus segera mencari cinta yang baru. Lagi pula, sebenarnya Midoriya-kun bukan tipeku. Tipeku adalah pria dewasa yang mandiri, pintar, dan bertanggung jawab. Dia benar-benar kebalikan. Tapi… apa aku benar-benar bisa jatuh cinta pada orang seperti itu?

“Kalau aku… kalau aku mencintai Shiki-kun, itu karena…”

Karena dia pandai menggambar kucing di atas omurice. Karena saat memboncengku dengan sepeda, dia selalu mengayuh pelan. Karena setiap kali aku memasak, dia selalu berkata “terima kasih” dan “enak.” Karena dia mengingat hal-hal kecil yang pernah kuucapkan. Karena senyumnya…

“Karena senyumnya yang manis.”

Kalau aku hanya jatuh cinta karena “syarat,” aku tidak akan terluka begini.

Air mataku menetes di cincin yang melingkari jari manis, buru-buru kuusap dengan panik. Saat menerima cincin itu, aku merasa seperti benar-benar menjadi seorang putri.

“…Tidak.”

Aku tidak bisa menyerah. Tidak ada orang lain yang bisa menandinginya. Makan bersama Shiki-kun selalu terasa berbeda, penuh rasa. Aku ingin selalu makan bersamanya, ingin selalu bisa memasakkan makanan untuknya. Aku berusaha keras belajar memasak karena aku ingin dia berkata “enak” sambil tersenyum. Masakan adalah wujud cinta. Masakanku terasa enak karena aku mencintainya.

“Memang… Shiki-kun saja yang bisa membuatku begini.”

Aku menengadah, berusaha menahan air mata, dan berbisik. Seakan keran emosiku pecah, berbagai perasaan terus mengalir tanpa henti.

Aku tahu, yang kulakukan ini adalah hal yang buruk. Tapi aku tetap menginginkan hak untuk berada di sisinya. Bahkan jika harus melakukan hal-hal yang bukan diriku.

Kalau sudah begini, aku harus siap untuk bertahan lama. Untungnya, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Waktu kebersamaanku dengannya lebih banyak, jadi peluangku tidaklah nol. Meski sekarang aku bukan yang utama, mungkin suatu hari nanti aku bisa.

Aku pandai memasak. Dengan aku di sisinya, Shiki-kun akan sangat terbantu. Dia selalu bilang “maaf” karena merepotkan, tapi setiap kali kubuatkan makanan, dia mengirim foto sambil berterima kasih. Saat kubuatkan hamburger, matanya berbinar.

“Shiki-kun memang tidak bisa tanpa aku, kan?”

Pernah kudengar di televisi, cara menjual sesuatu bukan membuat orang “ingin,” tapi membuat mereka merasa “butuh.” Dan memang benar. Selama dia tinggal sendiri, selama dia tidak tiba-tiba jadi ahli masak, dia tidak akan bisa melepaskanku. Sama sekali tidak.

“…Kau butuh aku, kan?”

Aku bergumam kecil, seakan mencari kepastian. Aku mungkin tidak lebih diinginkan daripada pacarnya. Tapi aku yakin—aku lebih dibutuhkan. Itu seharusnya sudah cukup membuatku bahagia. Namun, aku tetap iri. Karena ternyata, jauh lebih indah bila seseorang tidak hanya membutuhkanku… tapi juga sungguh-sungguh menginginkanku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close